Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Pengembangan Buddhisme => DhammaCitta Press => Topic started by: seniya on 15 February 2018, 08:34:15 AM

Title: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 08:34:15 AM
Berikut ada terjemahan buku Bhikkhu Bodhi berjudul "The Buddha's Teaching on Social and Communal Harmony"

=================================================

KOTBAH SANG BUDDHA TENTANG KERUKUNAN SOSIAL
Bhikkhu Bodhi

Kata Pengantar
Oleh Yang Mulia Dalai Lama

Buddha historis, Shakyamuni, hidup, mencapai pencerahan, dan mengajar di India lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Namun, saya meyakini bahwa banyak dari apa yang beliau ajarkan begitu lama yang lampau masih relevan bagi kehidupan masyarakat saat ini. Sang Buddha melihat bahwa orang-orang dapat hidup bersama dengan bebas sebagai individu-individu, yang setara pada prinsipnya dan oleh sebab itu bertanggung jawab terhadap satu sama lain.

Beliau melihat bahwa tujuan kehidupan ini adalah untuk menjadi bahagia. Beliau menyatakan tentang penderitaan dalam konteks cara-cara untuk mengatasinya. Beliau mengetahui bahwa sementara ketidaktahuan mengikat makhluk-makhluk dalam keputusasaan dan penderitaa yang tiada akhir, pengembangan kebijaksanaan adalah bersifat membebaskan. Sang Buddha melihat bahwa setiap anggota keluarga manusia, apakah pria atau wanita, memiliki hak yang sama menuju pembebasan, tidak hanya dalam hal kebebasan politik atau bahkan spiritual, tetapi pada tingkat fundamental kebebasan dari ketakutan dan keinginan. Beliau mengetahui bahwa masing-masing dari kita hanyalah manusia biasa seperti halnya yang lain. Tidak hanya kita semua menginginkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan, tetapi masing-masing dari kita memiliki hak yang sama untuk mengejar tujuan-tujuan ini.

Dalam komunitas monastik yang dibangun Sang Buddha, individu-individunya adalah setara, apa pun kelas sosial atau kasta asal mereka. Kebiasaan berkeliling mengumpulkan dana makanan dijalankan untuk memperkuat kesadaran para bhikkhu atas ketergantungan mereka terhadap orang lain. Dalam komunitas itu, keputusan-keputusan diambil dengan pemungutan suara dan perbedaan-perbedaan diselesaikan dengan kesepakatan bersama.

Sang Buddha mengambil pendekatan praktis dalam menciptakan suatu dunia yang lebih bahagia, yang lebih damai. Tentu saja beliau menetapkan jalan menuju pembebasan dan pencerahan yang terus diikuti oleh para umat Buddha di banyak bagian dunia saat ini, tetapi beliau juga secara konsisten memberikan nasehat bahwa siapa pun dapat memperhatikan untuk hidup dengan bahagia di sini dan saat ini.

Pilihan-pilihan dari nasehat dan pengajaran Sang Buddha yang dikumpulkan dalam buku ini – di bawah judul yang berhubungan untuk menjadi orang yang realistis, berdisiplin, bertutur kata lembut, bersabar alih-alih menjadi marah, memperhatikan kebaikan orang lain – semuanya memiliki hubungan dengan menjalin persahabatan dan mempertahankan perdamaian dalam komunitas.

Kita umat manusia adalah hewan sosial. Karena masa depan kita bergantung pada orang lain, kita membutuhkan teman-teman untuk memenuhi kepentingan kita. Kita tidak berteman dengan bertengkar, iri hati, dan marah, tetapi dengan bersungguh-sungguh dalam perhatian kita terhadap orang lain, dengan melindungi kehidupan mereka, dan menghormati hak-hak mereka. Berteman dan membangun kepercayaan adalah landasan di mana masyarakat bergantung padanya. Seperti para guru besar lainnya, Sang Buddha memuji toleransi dan sifat memaafkan dalam mengembalikan kepercayaan dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang muncul karena kecenderungan kita untuk melihat orang lain sehubungan dengan “kita” dan “mereka.”

Dalam buku yang mengagumkan ini Bhikkhu Bodhi, seorang bhikkhu Buddhis yang terpelajar dan berpengalaman, telah mengambil dari kitab-kitab dari tradisi Pāli, salah satu dari catatan ajaran Sang Buddha yang paling awal, untuk menggambarkan perhatian Sang Buddha terhadap kerukunan sosial dan komunal. Saya yakin para umat Buddha akan menemukan kumpulan ini berharga, tetapi saya berharap para pembaca umum akan menemukan ketertarikannya juga. Bahan-bahan yang dikumpulkan di sini jelas menunjukkan bahwa tujuan tertinggi Buddhisme adalah untuk melayani dan memberi manfaat dalam kemanusiaan. Karena apa yang menarik saya bukanlah mengubah keyakinan orang lain ke dalam Buddhisme, tetapi bagaimana kita umat Buddha dapat berkontribusi pada masyarakat menurut pemikiran kita sendiri, saya yakin bahwa para pembaca yang hanya tertarik dalam menciptakan suatu dunia yang lebih bahagia, yang lebih damai akan juga menemukan buku ini bersifat memperkaya [wawasan mereka].
 
Dalai Lama

Kata Pembuka
Oleh Hozan Alan Senauke

Buddha Gotama tumbuh dewasa di sebuah negeri dari kerajaan-kerajaan, suku-suku, dan varna, yang bermakna kelas sosial atau kasta. Itu adalah suatu masa dan tempat yang berbeda tetapi serupa dengan zaman kita, di mana kehidupan seseorang secara erat ditentukan oleh status sosial, pekerjaan keluarga, identitas budaya, dan jenis kelamin. Sebelum pencerahan Sang Buddha, identitas adalah bersifat definitif. Jika seseorang dilahirkan dalam kasta ksatria atau kasta pedagang atau kasta petani atau kasta buangan, ia menjalankan kehidupan itu sepenuhnya dan hampir selalu menikahi seseorang dari kelas atau kasta yang sama. Anak-anaknya melakukan hal yang sama. Tidak ada pemahaman hak individu atau nasib personal, tidak ada cara untuk mewujudkan kemampuan manusia selain dari peran sosial yang diberikan sejak lahir. Maka ajaran Sang Buddha dapat dilihat sebagai penegasan keras atas kemampuan individual. Hanya melalui usaha seseorang pencerahan dimungkinkan, melampaui batasan kasta, kedudukan sejak lahir, atau realitas konvensional. Dalam syair 396 dari Dhammapada, Sang Buddha mengatakan:

Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang brahmana hanya karena kelahiran, karena ia dilahirkan dari seorang ibu (brahmana). Jika ia memiliki kemelekatan, ia hanya disebut “sombong.” Seseorang yang tanpa kemelekatan, tanpa keterikatan – ia kusebut sebagai seorang brahmana.

Pada waktu yang sama, Sang Buddha dan para siswanya tinggal di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak mendirikan vihara-vihara mereka di puncak gunung yang terpencil tetapi di pinggiran kota-kota besar seperti Sāvatthī, Rājagaha, Vesālī, dan Kosambī. Mereka bergantung pada umat awam perempuan dan laki-laki, upāsikā and upāsaka, untuk kebutuhan kehidupan mereka. Bahkan saat ini para bhikkhu dan bhikkhuni dalam tradisi Theravāda di Burma (atau Myanmar), Thailand, Sri Lanka, Kamboja, dan Laos pergi pada pagi hari untuk berkeliling mengumpulkan dana makanan sebagai makanan mereka. Walaupun mereka menjalankan disiplin monastik yang ketat, adalah salah membayangkan bahwa vihara-vihara Asia Tenggara tertutup dan terpisah dari saudara-saudarinya di dunia sekuler. Vihara-vihara dan komunitas sekuler adalah saling bergantungan, dalam suatu tradisi yang manis dan sepenuhnya hidup.

Pada musim gugur tahun 2007 masyarakat dari sekeliling dunia terinspirasi oleh “Revolusi Saffron” Burma yang teguh tetapi damai – yang dibawakan oleh suatu protes tanpa kekerasan dari para bhikkhu Burma terhadap penindasan pemerintahan militer. Protes itu dipicu oleh naiknya harga bahan bakar secara tiba-tiba dan tajam yang secara drastis mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk bekerja atau mendapatkan bahan bakar untuk masak atau bahkan makanan pokok. Hubungan yang erat antara para bhikkhu, bhikkhuni, dan umat awam secara historis telah bermakna sehingga ketika satu bagian mengalami kesengsaraan, yang lainnya merespon. Para bhikkhu Burma telah memiliki sejarah panjang bersuara melawan ketidakadilan. Mereka telah berani menentang kolonialisme Inggris, pemerintahan diktator, dan dua dasawarsa junta militer.

Bagi Buddhis Burma para bhikkhu telah menjadi agen perubahan dalam masyarakat yang berdiri pada jurang perubahan nyata. Walaupun perubahan ini tidak terhindarkan, junta militer telah sebelumnya menentangnya dengan tekad yang kuat. Pertemuan dari keadaan-keadaan ini menciptakan suatu celah: terpilihnya suatu pemerintahan sipil yang baru (meskipun orang dapat mempertanyakan proses pemilihannya), dibebaskannya para tahanan politik (termasuk pemenang hadiah Nobel Daw Aung San Suu Kyi setelah bertahun-tahun ditahan sebagai tahanan rumah), gerakan tanpa kekerasan di sekeliling dunia yang didorong oleh “Musim Seni Arab” tahun 2011, dan dialog baru antara pemimpin Burma dan perwakilan dari Eropa, Amerika Serikat, dan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya. Terdapat suatu perasaan kemungkinan dan harapan di mana-mana.

Kumpulan teks ini menggarisbawahi kehidupan dalam Dhamma dalam suatu masyarakat yang bebas dan rukun, dengan menggunakan ucapan Sang Buddha yang telah teruji oleh waktu. Kembali dari Burma pada bulan November 2011, saya telah berpikir tentang perlunya di sana dan di tempat lain atas jenis kumpulan dari sutta-sutta Pāli ini. Pada tahun 2012 kekerasan komunal meletus di negara bagian Rakhine Burma dan di tempat lain di negeri itu. Perlunya untuk melihat secara mendalam ke dalam ajaran-ajaran Sang Buddha tentang kerukunan sosial telah menjadi mendesak. Karena bukan seorang cendikiawan atau seorang penerjemah, saya menghubungi beberapa teman yang terpelajar. Ternyata bahwa beberapa tahun belakangan Bhikkhu Bodhi, salah seorang penerjemah Buddhisme Awal kita yang paling dihormati dan produktif, telah mengumpulkan suatu kumpulan yang demikian sebagai tambahan dalam kurikulum pelatihan untuk kerukunan sosial di Sri Lanka, yang diorganisasikan oleh Institut untuk Studi Hak-Hak Asasi Manusia di Universitas Columbia.

Di sini terdapat nasehat Sang Buddha tentang bagaimana hidup secara rukun dalam masyarakat yang tidak menindas mereka yang berbeda agama atau latar belakang etnisnya, dengan tidak memperlakukan dengan kejam dan mengeksploitasi diri mereka sendiri atau orang lain. Walaupun situasi di Burma, Sri Lanka, Thailand, India, atau Amerika Serikat berbeda-beda, ajaran-ajaran sosial Sang Buddha memberikan sejenis kebijaksanaan yang melampaui kekhususan waktu dan tempat. Ajaran-ajaran beliau menyediakan suatu landasan kebebasan di mana masing-masing bangsa dan masyarakat dapat membangunnya menurut keperluannya sendiri.

Saya sangat berterima kasih kepada Bhikkhu Bodhi atas kebijaksanaan dan kemurahan hati beliau. Orang-orang dari semua keyakinan dan kepercayaan di seluruh negeri mendambakan kebahagiaan dan kebebasan. Saya memberikan penghormatan kepada mereka yang bergerak menuju kebebasan, dan berharap agar ucapan Sang Buddha tentang kerukunan sosial dapat membawa kita tanpa rasa takut sepanjang jalan kita.

Berkeley, CA

Ucapan Terima Kasih

Pada tahun 2011 Bhikkhu Khemaratana membagikan saya suatu ringkasan teks-teks dari Kanon Pāli yang telah beliau persiapkan tentang tema kerukunan monastik, suatu topik di mana beliau secara khusus tertarik padanya. Teks-teks yang telah saya pilih untuk beberapa bagian dari kumpulan teks ini disarankan oleh teks-teks yang dipilih oleh Ven. Khemaratana, walaupun perlakuan saya terhadap topik itu telah dipengaruhi oleh tujuan dari kumpulan teks ini dan dengan demikian berbeda dari ringkasan beliau. Saya juga berterima kasih kepada Alan Senauke untuk menuliskan suatu kata pembuka dan penutup pada buku ini, yang mengambil dari pengalamannya sendiri menggunakan versi lebih awal dari kumpulan teks ini dalam pekerjaannya memelihara kerukunan sosial dan rekonsiliasi di India dan Myanmar.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 08:51:20 AM
Pendahuluan Umum

Asal Mula Ajaran Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial

Konflik dan kekerasan telah mengganggu umat manusia sejak zaman dahulu, meninggalkan catatan sejarah yang dinodai dengan darah. Walaupun hati manusia selalu membangkitkan kerinduan terhadap kedamaian, kerukunan, dan persahabatan yang penuh cinta kasih, cara-cara memuaskan kerinduan ini selalu terbukti sulit dicapai. Dalam hubungan internasional, perang silih berganti satu sama lain bagaikan adegan-adegan dalam sebuah film, dengan hanya sedikit waktu jeda di mana kekuatan yang berseteru mulai menghimpun sekutu-sekutu baru dan membuat perampasan wilayah secara diam-diam. Tatanan sosial terus-menerus diporak-porandakan oleh perjuangan kelas, di mana kelas elit berusaha mengumpulkan lebih banyak hak istimewa dan kelas bawah berusaha mencapai hak yang lebih tinggi dan lebih banyak keamanan. Apakah ini adalah konflik antara majikan dan budak, antara tuan tanah dan pekerja, antara bangsawan dan rakyat jelata, antara modal dan tenaga kerja, ini tampaknya bahwa hanya wajah-wajah yang berubah sedangkan dinamika perebutan kekuasaan yang mendasari tetaplah sama. Masyarakat juga terus-menerus terancam oleh perselisihan internal. Persaingan memperebutkan kekuasaan, perbedaan pendapat, dan kepentingan yang berseteru di antara para anggota masyarakat dapat memecah belah masyarakat, melahirkan siklus baru permusuhan. Ketika setiap perang, perpecahan, atau perselisihan baru telah memuncak, harapan muncul agar rekonsiliasi akan terjadi, bahwa kedamaian dan persatuan akan akhirnya menang. Namun, lagi-lagi, harapan-harapan ini dengan cepat menjadi sia-sia.

Sebuah kutipan yang menggerakkan hati dalam kitab-kitab Buddhisme Awal membuktikan perbedaan antara cita-cita kita atas kedamaian dan kenyataan kelam atas konflik yang berkelanjutan. Pada suatu ketika, dikatakan, Sakka, raja para dewa, mengunjungi Sang Buddha dan menanyakan pertanyaan yang menyedihkan: “Mengapa bahwa ketika orang-orang ingin hidup dalam kedamaian, tanpa kebencian atau permusuhan, mereka di mana-mana terlibat dalam kebencian dan permusuhan?” (lihat Teks VIII,1). Pertanyaan yang sama berkumandang selama berabad-abad, dan ini dapat dipertanyakan dengan urgensi yang sama atas banyaknya daerah konflik di dunia saat ini: Irak dan Suriah, Jalur Gaza, Republik Afrika Tengah dan Sudan Selatan, Myanmar dan Sri Lanka, Charleston dan Baltimore.

Masalah ini pasti juga berpengaruh pada hati Sang Buddha ketika beliau berkelana di dataran Sungai Gangga dalam perjalannya mengajar. Masyarakat pada masa beliau terbagi menjadi kasta-kasta terpisah yang dibedakan dengan hak khusus kaum elit dan status rendah dari mereka yang berada di bawah. Mereka yang berada di luar sistem kasta, kaum buangan, diperlakukan bahkan lebih buruk, mengalami penghinaan yang paling merendahkan. Pemandangan politik, juga, berubah-ubah, karena kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh para raja yang ambisius bangkit dari abu-abu negera kesukuan dan memulai serangan militer yang bermaksud untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Dalam istana persaingan pribadi antara meraka yang lapar akan kekuasaan sangat sengit. Bahkan komunitas spiritual pada masa itu tidak bebas dari konflik. Para filsuf dan para pertapa menyombongkan ajaran-ajaran mereka yang diperdebatkan satu sama lain dalam perdebatan yang panas, masing-masing berusaha mengalahkan musuh mereka dan meningkatkan jumlah para pengikut mereka.

Dalam sebuah syair yang sangat menggugah hati dalam Suttanipāta (vv. 935–37) Sang
Buddha menyuarakan perasaan kegamangan atas kekerasan yang dirasakan dalam dirinya, mungkin tak lama setelah beliau meninggalkan Kapilavatthu dan menyaksikan langsung dunia di luar negeri kelahirannya:

Ketakutan telah muncul dalam diri seseorang yang telah meninggalkan kekerasan:
lihatlah orang-orang yang terlibat dalam perselisihan.
Aku akan mengatakan kepada kalian perasaan kemendesakanku,
bagaimana aku tergerak oleh perasaan kemendesakan.

Setelah melihat orang-orang bergemetaran
bagaikan ikan dalam anak sungai dengan sedikit air,
ketika aku melihat mereka bermusuhan satu sama lain,
ketakutan muncul dalam diriku.

Dunia telah menjadi rapuh di mana-mana;
seluruh penjuru arah dalam kekacauan.
Menginginkan suatu kediaman bagi diriku sendiri,
aku tidak melihat tempat mana pun yang tidak didiami.

Ketika beliau mulai mengajar, misi utama Sang Buddha adalah memperkenalkan jalan yang berpuncak pada kedamaian internal, dalam keamanan tertinggi dari nibbāna, pembebasan dari siklus kelahiran, usia tua, dan kematian. Tetapi Sang Buddha tidak berbalik dari kondisi manusiawi demi tujuan pencarian pertapaan murni yang introspektif terhadap kebebasan. Dari posisi beliau sebagai seorang pertapa yang berdiri di luar tatanan sosial konvensional, beliau melihat dengan penuh keprihatinan terhadap umat manusia yang hidup dengan susah payah, terjerat dalam konflik namun mencita-citakan kedamaian, dan demi belas kasih beliau berusaha membawakan kerukunan ke dalam arena sulit dalam hubungan manusia, untuk mengembangkan suatu cara hidup yang berdasarkan toleransi, kerukunan, dan kebaikan.

Tetapi beliau bahkan melakukan lebih. Beliau mendirikan suatu komunitas intensional yang dicurahkan untuk memelihara kedamaian internal dan eksternal. Tugas ini dipercayakan beliau hampir dari awalnya; karena Sang Buddha bukanlah seorang pengembara penyendiri, yang mengajarkan mereka yang datang kepada beliau untuk bimbingan dan kemudian membiarkan mereka menjalankannya sendiri. Beliau adalah pendiri gerakan spiritual baru yang dari permulaannya tak diragukan lagi bersifat komunal. Segera setelah beliau mengakhiri kotbah pertamanya, lima orang pertapa yang mendengarnya memohon untuk menjadi siswanya. Seraya berjalannya waktu, ajaran beliau menarik semakin banyak laki-laki dan perempuan yang memilih mengikuti beliau dalam kehidupan tanpa rumah dan menanggung beban penuh pelatihannya. Demikianlah sebuah Sangha – sebuah komunitas para bhikkhu dan bhikkhuni yang tinggal bersama, berkelana bersama, dan berlatih bersama – perlahan-lahan berkembang di sekitar beliau.

Namun berganti dari pakaian biasa mereka menjadi jubah kuning tua bukanlah paspor langsung menuju kesucian. Walaupun cara hidup mereka telah berubah, para bhikkhu dan bhikkhuni yang memasuki tata tertib Sang Buddha masih membawa dalam diri mereka kecenderungan-kecenderungan manusiawi yang berurat akar atas kemarahan, kesombongan, ambisi, keirihatian, kemunafikan, dan sifat keras kepala. Ini demikian jelas bahwa ketegangan-ketegangan dalam komunitas monastik akan muncul, berkembang sewaktu-waktu menjadi permusuhan langsung, dan menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan bahkan konflik yang hebat. Agar Sangha berkembang, Sang Buddha telah sesungguhnya menjadi seorang “manusia organisasi.” Walaupun beliau dapat menyatakan cita-cita spiritual yang tinggi di mana para siswanya dapat berlatih, ini tidak cukup untuk memastikan kerukunan dalam Sangha. Beliau juga harus mengembangkan suatu aturan yang terperinci untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi komunal yang seragam dan membuat aturan yang akan mengendalikan jika tidak sepenuhnya melenyapkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat memecah belah. Ini menjadi Vinaya, kumpulan disiplin monastik.

Sang Buddha juga mengajarkan dan membimbing orang-orang yang memilih untuk mengikuti ajarannya di rumah, sebagai para siswa awam, yang tinggal di tengah-tengah keluarga mereka dan bekerja dalam kesibukan sehari-hari. Beliau dengan demikian dihadapkan dengan tugas tambahan menetapkan pedoman bagi masyarakat secara keseluruhan. Selain aturan dasar pelatihan moral umat awam, beliau harus memberikan prinsip-prinsip untuk memastikan bahwa orang tua dan anak, suami dan istri, atasan dan bawahan, dan orang-orang dari latar belakang dan kelas sosial yang sangat berbeda dapat hidup bersama dengan damai. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, ruang lingkup Dhamma meluas. Dari sifat aslinya sebagai suatu jalan menuju kebebasan spiritual, yang berpusat di sekitar pelatihan kontemplatif dan pandangan filosofis, ia menjadi suatu etika luas yang berlaku tidak hanya pada perilaku individual tetapi pada hubungan antara orang-orang yang hidup di bawah kondisi-kondisi yang berbeda, apakah di vihara-vihara atau di rumah, apakah mencari penghidupan di pasar atau bengkel atau dalam pelayanan negara. Di bawah semua keadaan ini, kebutuhan etis utama adalah penghindaran menyakiti: menyakiti dengan serangan, menyakiti dengan menginjak-injak hak orang lain, menyakiti melalui konflik dan kekerasan. Cita-citanya adalah untuk menyebarluaskan kehendak baik dan kerukunan dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran.

Struktur Buku Ini

Kumpulan teks ini dimaksudkan untuk menyoroti ajaran-ajaran Sang Buddha tentang kerukunan sosial dan komunal. Ini didasarkan pada teks-teks yang saya susun pada tahun 2011 atas permintaan Program tentang Pembangunan Perdamaian dan Hak-Hak dari Institut untuk Studi Hak-Hak Asasi Manusia di Universitas Columbia, yang dimaksudkan untuk digunakan di antara para bhikkhu Buddhis di Sri Lanka sebagai akibat dari konflik berkepanjangan di negeri itu yang berakhir pada tahun 2009. Versi yang diperluas ini memasukkan teks-teks baru dan perubahan dalam susunannya.

Teks-teks semuanya diambil dari Kanon Pāli, kumpulan kitab yang dianggap sebagai “Ucapan Sang Buddha” (buddha-vacana) yang sah oleh para pengikut Buddhisme Theravāda, aliran Buddhisme yang tersebar luas di negara-negara Asia bagian selatan – terutama Sri Lanka, Burma, Thailand, Kamboja, dan Laos. Kutipan-kutipan yang saya ambil secara khusus berasal dari Sutta Piṭaka, Kumpulan Kotbah, yang mengandung kotbah-kotbah Sang Buddha dan para siswa terkemuka beliau. Saya tidak memasukkan teks-teks dari dua kumpulan lainnya, Vinaya Piṭaka, Kumpulan Disiplin Monastik, dan Abhidhamma Piṭaka, Kumpulan Risalah Doktrinal. Walaupun bagian-bagian dari Vinaya Piṭaka mungkin relevan dalam proyek ini, sejumlah besar bahan bacaan dalam kumpulan itu berhubungan dengan aturan-aturan monastik dan dengan demikian akan lebih sesuai bagi para pembaca khusus. Lebih jauh, kutipan-kutipan dari Vinaya yang kebanyakan berhubungan dengan kerukunan komunal memiliki paralel dalam Sutta Piṭaka yang telah dimasukkan di sini.

Walaupun Kanon Pāli merupakan kumpulan kitab yang disahkan dari Buddhisme Theravāda, teks-teks dari kumpulan ini tidak dianggap hanya terkait dengan aliran Buddhisme tertentu mana pun, karena teks-teks ini berasal dari strata tertua literatur Buddhis, dari kumpulan kotbah yang berdiri pada sumber asli Buddhisme. Juga ajaran-ajaran ini tidak terikat dengan kepercayaan atau sistem keyakinan agama mana pun. Dalam kejelasan, daya yang meyakinkan, dan pemahaman mendalam atas sifat manusia, teks-teks ini dapat berkata kepada siapa pun tidak peduli apa pun agamanya. Teks-teks ini memiliki pesan universal yang membuat mereka dapat diterapkan pada semua upaya keras untuk menyebarluaskan hubungan yang damai antara orang-orang. Mereka menyediakan diagnosa atas akar-akar yang mendasari konflik, dengan sederhana dan dengan jelas diungkapkan, dan memberikan strategi praktis untuk menyelesaikan perselisihan, mengembangkan rekonsiliasi, dan membangun kerukunan masyarakat.

Saya telah menyusun pilihan-pilihan berdasarkan suatu struktur yang dengan sengaja mencerminkan, dalam beberapa hal, pola yang diadopsi Sang Buddha sendiri dalam menguraikan ajarannya. Pada bagian yang tersisa dari pendahuluan umum ini saya akan menjelaskan dasar pemikiran yang mendasari penyusunan saya. Masing-masing bagian diawali dengan pendahuluannya masing-masing, yang dimaksudkan untuk mengikat bersama teks-teks dalam bab itu dan mengungkapkan secara eksplisit hubungan mereka dengan tema bab itu.

Bagian I terdiri dari teks-teks tentang pandangan benar atau pemahaman benar. Sang Buddha membuat pandangan benar faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan dan di tempat lain menekankan peranan pandangan benar sebagai pemandu menuju kehidupan bermoral dan spiritual. Karena tujuan dari kumpulan teks ini adalah untuk menyediakan perspektif Buddhis tentang kerukunan komunal alih-alih menunjukkan jalan menuju kebebasan akhir, teks-teks yang saya masukkan di sini menyoroti jenis pemahaman benar yang menumbuhkan perilaku etis. Ini kadangkala disebut “pandangan benar duniawi” – berbeda dengan “pandangan benar yang melampaui-duniawi,” pandangan terang ke dalam sifat kosong dan tanpa inti dari semua hal berkondisi yang memotong akar-akar belenggu pada siklus kelahiran kembali.

Pemahaman benar terhadap prinsip kamma memiliki akibat yang menentukan pada perilaku seseorang. Ketika kita menyadari bahwa perbuatan kita sendiri pada akhirnya memantul kembali pada diri kita sendiri dan menentukan nasib kita pada kehidupan-kehidupan mendatang, kita akan termotivasi untuk meninggalkan kualitas-kualitas batin yang ternodai dan menghindari perilaku buruk. Alih-alih, kita akan terinspirasi untuk melakukan perilaku baik dan mengembangkan kualitas-kualitas bermanfaat. Pola ini dicerminkan dalam struktur jalan mulia berunsur delapan itu sendiri, di mana pandangan benar membawa pada kehendak benar, yang kemudian terwujud dalam ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.

Dalam Bagian II, saya membahas akibat pemahaman benar pada individu di bawah judul “pelatihan personal.” Buddhisme Awal melihat perubahan personal sebagai kunci bagi perubahan masyarakat. Masyarakat yang damai dan rukun tidak dapat dipaksakan dari luar dengan titah seorang penguasa yang berkuasa tetapi hanya muncul ketika orang-orang memperbaiki pikiran mereka dan mengadopsi standar perilaku yang pantas. Dengan demikian tugas mengembangkan kerukunan komunal harus dimulai dari perubahan personal. Perubahan personal terjadi melalui suatu proses pelatihan yang melibatkan pertunjukan keluar perilaku yang baik dan pemurnian internal. Mengikuti skema Buddhis tradisional, saya memasukkan jalan perubahan personal di bawah tiga judul kedermawanan, disiplin-diri etis, dan pengembangan pikiran.

Halangan utama kerukunan sosial adalah kemarahan atau kebencian. Kemarahan adalah bibit di mana permusuhan tumbuh, dan dengan demikian, dalam proses pelatihan personal, Sang Buddha memberikan perhatian khusus pada pengendalian dan pelenyapan kemarahan. Saya oleh sebab itu mengkhusus Bagian III pada “Menghadapi Kemarahan.” Teks-teks yang dimasukkan mengungkapkan landasan di mana kemarahan muncul, kekecewaan dan bahaya tunduk pada kemarahan, dan penangkal praktis yang dapat digunakan untuk melenyapkan kemarahan. Obat utama untuk kemarahan adalah kesabaran, yang diajarkan Sang Buddha bahkan di bawah kondisi yang paling berat. Demikianlah dua bagian terakhir dalam bab itu terdiri dari teks-teks yang berhubungan dengan kesabaran, sebagai anjuran dan melalui kisah-kisah tentang mereka yang terbaik memberikan teladan kesabaran.

Bagian IV dikhususkan pada ucapan. Ucapan adalah aspek perilaku manusia yang peranannya berhubungan dengan kerukunan sosial adalah begitu penting sehingga Sang Buddha membuat ucapan benar sebagai faktor tersendiri dalam jalan mulia berunsur delapan. Saya telah mengikuti contoh Sang Buddha dengan mengkhususkan suatu pemilihan teks-teks dengan pokok bahasan tentang ucapan. Ini berhubungan tidak hanya dengan ucapan benar seperti yang biasanya dipahami tetapi juga dengan cara tepat untuk berpartisipasi dalam perdebatan, ketika akan memuji dan mengkritik orang lain, dan bagaimana mengoreksi seseorang yang berbuat kesalahan ketika dibutuhkan.

Dengan Bagian V, kita bergerak lebih lanjut secara eksplisit dari lingkup pengembangan personal ke hubungan interpersonal. Hubungan ini dimulai dengan persahabatan baik, suatu kualitas yang ditekankan Sang Buddha sebagai landasan untuk kehidupan yang baik. Dalam teks-teks yang saya pilih, kita melihat Sang Buddha menjelaskan kepada para siswa monastik dan para pengikut awamnya nilai dari pergaulan dengan sahabat-sahabat baik, menggambarkan kualitas-kualitas seorang sahabat baik, dan menjelaskan bagaimana sahabat seharusnya memperlakukan satu sama lain. Beliau menghubungkan persahabatan baik dengan keberhasilan dalam kehidupan berumah tangga dan pengembangan spiritual seorang bhikkhu.

Bagian VI memperluas lingkup penyelidikan dari persahabatan personal menuju lingkup pengaruh yang lebih luas. Dalam bab ini saya memasukan pemilihan teks-teks di mana Sang Buddha menyoroti akibat sosial dari perilaku personal. Bab itu dimulai dengan kutipan-kutipan yang membandingkan antara orang bodoh dan orang bijaksana, orang jahat dan orang baik. Bab itu kemudian berlanjut membandingkan para praktisi yang mencurahkan dirinya hanya pada kebaikannya sendiri dengan mereka yang juga mencurahkan dirinya pada kebaikan orang lain. Apa yang tampak adalah suatu penegasan yang jelas bahwa jalan pelatihan terbaik adalah ia yang mendedikasikan dirinya pada dua jenis kebaikan: kebaikan diri sendiri dan orang lain.

Bagian VII membawa kita pada pembangunan suatu komunitas intensional. Karena Sang Buddha adalah pendiri suatu tatanan monastik, bukan seorang pemimpin sekuler, pedoman-pedoman yang beliau usulkan untuk membangun komunitas yang secara alami berhubungan dengan kehidupan monastik. Tetapi pada kesempatan beliau diminta oleh para pemimpin pemerintahan untuk memberikan nasehat tentang memelihara kerukunan dalam masyarakat pada umumnya, dan prinsip-prinsip yang beliau tetapkan telah dipertahankan dalam kotbah-kotbah. Pemilihan lainnya dalam bab ini berhubungan dengan kerjasama antara dua cabang komunitas Buddhis, para monastik dan umat awam.

Namun demikian, bahkan ketika mereka berbuat dengan maksud yang terbaik, orang-orang membawa kecenderungan-kecenderungan yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Perselisihan membentuk pokok bahasan Bagian VIII. Teks-teks yang dimasukkan di sini berhubungan dengan perselisihan internal di antara para monastik dan umat awam, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan asal mulanya tetapi dalam hal lain muncul dari sebab-sebab yang berbeda. Bagian ini membawa secara alami menuju Bagian IX, yang dikhususkan pada cara-cara menyelesaikan perselisihan. Di sini kita melihat Sang Buddha dalam peranannya sebagai seorang pembuat aturan monastik, yang menetapkan pedoman untuk menyelesaikan konflik dan memberikan jalan pelatihan untuk mencegah perselisihan muncul pada masa yang akan datang.

Bagian X, yang terakhir dalam kumpulan teks ini, bergerak dari komunitas intensional, seperti yang diwakilkan oleh tatanan monastik, menuju wilayah sosial yang lebih luas. Temanya adalah pembangunan suatu masyarakat yang adil. Saya di sini memasukkan kutipan-kutipan dari kotbah-kotbah yang menjelajahi hubungan yang terjalin dan saling berkaitan yang membentuk susunan masyarakat. Teks-teks itu memasukkan ajaran Sang Buddha tentang kehidupan keluarga, tentang hubungan antara orang tua dan anak serta suami dan istri, dan pemeliharaan suatu kehidupan rumah yang bermanfaat. Bagian terakhir dari bab ini berhubungan dengan cita-cita politik Sang Buddha, yang diwakilkan oleh tokoh “raja pemutar-roda,” rājā cakkavattī, penguasa adil yang mengatur kerajaannya sesuai dengan hukum moral. Walaupun prinsip-prinsip pemerintahan yang ditetapkan bagi seorang raja mungkin tampak usang pada masa kita saat ini dengan komitmennya yang diakui terhadap demokrasi, dalam penekanannya pada keadilan, kebajikan, dan kebenaran sebagai landasan untuk kekuasaan politik, teks-teks kuno Buddhis ini masih memiliki relevansi pada masa kini.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:05:24 AM
I. Pemahaman Benar

Pendahuluan

Sang Buddha mengajarkan bahwa pemahaman benar, atau “pandangan benar,” adalah pelopor pada jalan menuju kebebasan. Beliau menempatkan pandangan benar pada posisi faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, jalan menuju akhir penderitaan, dan menyatakan bahwa semua faktor-faktor lainnya dari sang jalan harus dituntun oleh pandangan benar menuju tujuan ajarannya, lenyapnya penderitaan. Tetapi bagi Sang Buddha, pandangan benar memainkan suatu peranan penting tidak hanya dalam jalan menuju kebebasan tetapi juga dalam pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan dalam siklus kelahiran kembali. Ia melakukan hal ini dengan menekankan perlunya perilaku etis. Jenis pandangan benar yang melengkapi kehidupan bermoral kadangkala disebut “pandangan benar duniawi” (lokiya-sammādiṭṭhi) atau “pandangan benar atas tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya sendiri” (kammassakatā sammādiṭṭhi). Jenis pandangan benar ini didasarkan pada dasar pemikiran bahwa terdapat suatu landasan yang objektif dan transeden atas moralitas yang tidak bergantung pada penilaian dan pendapat manusia. Melalui pencerahannya, Sang Buddha menemukan hukum moral ini dan mengambil darinya suatu anjuran etis yang khusus dalam ajaran beliau.

Berdasarkan penemuan ini, Sang Buddha menyatakan bahwa keabsahan pembedaan moral dibangun ke dalam susunan alam semesta. Penilaian moral dapat dibedakan sebagai benar dan salah, perbuatan ditentukan sebagai baik dan buruk, dengan acuan pada suatu hukum moral yang sama efektifnya, sama universalnya dalam cara kerjanya seperti hukum-hukum fisika dan kimia. Oleh sebab itu, sebagai agen moral, kita tidak dapat membenarkan perbuatan kita hanya berdasarkan daya tarik dari preferensi personal, ataupun kita tidak dapat berharap mengikuti preferensi kita untuk mengamankan kesejahteraan kita sendiri. Alih-alih, untuk mencapai kesejahteraan sejati, kita harus bertindak sesuai dengan hukum moral, yang adalah Dhamma itu sendiri, prinsip utama kebenaran dan kebaikan yang selalu ada apakah para buddha menemukannya dan mengungkapkannya atau tidak.

Pandangan benar menegaskan bahwa perbuatan kita yang signifikan secara moral memiliki konsekuensi yang dapat membawa kita bahagia atau menderita. Perilaku kita membuat kamma, suatu kekuatan dengan kekuatan untuk menghasilkan akibat yang berhubungan dengan kualitas etis dari perbuatan asalnya. Kamma memberikan “buah,” akibat retributif yang mencerminkan perbuatan di mana ia muncul. Prinsip dasar yang mendasari bekerjanya kamma adalah bahwa perbuatan baik membawa buah yang menyenangkan, yang mendukung pada keberuntungan dan kebahagiaan, sedangkan perbuatan jahat membawa buah yang tidak menyenangkan, yang menyebabkan ketidakberuntungan dan penderitaan. Demikianlah akibat dari perbuatan kita yang disertai kehendak tidak terbatas pada pengaruh yang langsung terlihat, mereka muncul dari rantai sebab akibat yang sepenuhnya bersifat alami. Terdapat suatu prinsip yang tidak tampak dari sebab akibat moral yang bekerja di balik layar sedemikian sehingga, dengan berlalunya waktu, apakah panjang atau pendek, perbuatan-perbuatan kita akhirnya kembali kepada kita dan menentukan nasib kita pada kehidupan ini dan pada kehidupan-kehidupan mendatang.

Sang Buddha membedakan pandangan benar atas kemanjuran kamma dengan tiga jenis pandangan salah yang dikemukakan oleh para pemikir yang berlawanan pada masa beliau.[1] Satu jenis pandangan salah, yang disebut doktrin nihilisme moral (natthikavāda), menolak bertahannya personalitas setelah kematian dan mengatakan bahwa tidak ada buah dari perbuatan baik dan buruk kita. Saat kematian, orang bodoh dan orang bijaksana musnah sama sekali, hanya meninggalkan seonggokan mayat. Jenis kedua pandangan salah, disebut ajaran tidak-berbuat (akiriyavāda), menolak bahwa terdapat suatu landasan valid untuk membuat pembedaan moral. Mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan seperti membantai dan menyiksa orang lain tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan salah; mereka yang memberi dengan penuh kedermawanan dan melindungi orang-orang yang tidak berdaya tidak dapat dikatakan berbuat dengan benar. Perbedaan antara perbuatan jahat dan perbuatan berjasa adalah suatu buatan manusia, sepenuhnya bersifat subjektif, dan dengan demikian penilaian moral hanyalah proyeksi dari pendapat pribadi. Jenis ketiga pandangan salah, disebut doktrin tanpa-sebab (ahetukavāda), menyatakan bahwa tidak ada sebab atau alasan bagi kekotoran makhluk-mahkluk dan tidak ada sebab atau alasan bagi pemurnian makhluk-makhluk. Makhluk-makhluk dikotori dan dimurnikan tanpa sebab apa pun. Mereka tidak memiliki agensi moral, kemampuan menentukan nasibnya sendiri, tetapi didorong untuk berbuat seperti yang mereka lakukan oleh takdir, keadaan, dan kodrat.

Sang Buddha menguraikan konsepsi beliau tentang pandangan benar sebagai respon pada tiga jenis pandangan salah ini. Beliau mengajarkan bahwa identitas personal bertahan melampaui kematian fisik, dan bentuk yang kita ambil pada masing-masing kehidupan ditentukan oleh kamma kita. Makhluk-makhluk hidup melalui suatu rangkaian kelahiran kembali yang tanpa awal di mana selama itu mereka menuai buah dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk mereka. Kenyataan bahwa perbuatan kita sendiri kembali kepada kita dengan demikian menyediakan suatu dorongan kuat untuk menghindari kejahatan dan berbuat kebaikan. Berlawanan dengan doktrin tidak-berbuat, Sang Buddha menyatakan bahwa penilaian moral tidaklah acak. Mereka memiliki suatu landasan yang objektif, sehingga perbuatan-perbuatan tertentu – seperti membunuh dan mencuri – dapat dengan tepat dijelaskan sebagai kejahatan, sedangkan jenis perilaku lainnya – seperti memberi dan pengendalian moral – dapat dengan tepat dijelaskan sebagai kebaikan. Dan Sang Buddha menyatakan bahwa sesungguhnya terdapat sebab-sebab untuk kekotoran dan pemurnian makhluk-makhluk. Orang-orang tidak digerakkan secara tidak berdaya oleh takdir tetapi memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri. Melalui kelalaian kita mengotori diri kita sendiri dan dengan usaha keras kita dapat memurnikan diri kita sendiri. Penentu nasib kita berada dalam diri kita sendiri dan bergantung pada kendali kehendak kita.

Kerukunan dalam komunitas mana pun, apakah kelompok kecil atau keseluruhan masyarakat, bergantung pada komitmen bersama pada perilaku etis. Walaupun bisa jadi ada kerukunan di antara para pencuri, kerukunan demikian hanya dapat bertahan selama para pencuri itu jujur satu sama lainnya, dan karena alasan ini, persatuan kelompok yang demikian umumnya berumur pendek. Seperti yang telah lama diketahui para filsuf, komunitas sebenarnya bergantung pada komitmen bersama terhadap kebajikan. Karena Sang Buddha menyatakan bahwa perilaku etis bergantung pada landasan pandangan benar, maka pemahaman benar yang secukupnya adalah penting untuk memelihara suatu komunitas yang rukun. Namun pada masa sekarang, ketika metode kritis ilmu pengetahuan telah memunculkan skeptisisme tentang bertahannya kesadaran setelah kematian, akan lancang untuk memaksakan bahwa penerimaan penuh atas pandangan benar seperti yang diajarkan Sang Buddha diperlukan sebagai suatu landasan untuk kerukunan sosial. Tampaknya, meskipun, bahwa kerukunan sosial membutuhkan minimal agar para anggota kelompok mana pun berbagi keyakinan bahwa terdapat standar objektif untuk membedakan antara perilaku baik dan buruk dan bahwa terdapat manfaat-manfaat, bagi kelompok dan para anggota individualnya, dalam menghindari jenis-jenis perilaku yang umumnya dianggap buruk dan dalam hidup berdasarkan pada standar yang umumnya dianggap baik. Beberapa teks menunjukkan bahwa Sang Buddha sendiri tampaknya menyadari bahwa moralitas dapat dikembangkan berdasarkan refleksi-diri dan penalaran etis tanpa membutuhkan suatu kepercayaan pada bertahannya personalitas saat kematian.

Dalam Bagian I, saya telah mengumpulkan sejumlah sutta yang menjelaskan sifat pandangan benar. Teks-teks yang telah saya pilih menekankan pandangan atas tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya sendiri alih-alih pandangan benar yang membawa menuju kebebasan. Text I,1 mengambil sepasang pembedaan yang terdapat dalam seluruh ajaran Buddha. Kutipan ini dimulai dengan menyorot peranan pandangan benar sebagai pelopor sang jalan, yang tugas pertamanya adalah untuk membedakan antara pandangan salah dan pandangan benar. Dengan demikian pandangan benar tidak hanya memahami sifat sejati berbagai hal, tetapi ia juga membedakan antara pendapat yang salah dan benar tentang sifat berbagai hal. Dalam kutipan ini, Sang Buddha menjelaskan pandangan salah dengan rumusan umum untuk pandangan nihilisme moral. Dalam mendefinisikan pandangan benar, beliau mengambil pembedaan kedua, bahwa antara pandangan benar yang masih “tunduk pada noda-noda,” yang adalah pandangan atas kepemilikan seseorang terhadap perbuatannya sendiri, dan pandangan benar “yang melampaui-duniawi” yang berhubungan dengan jalan mulia berunsur delapan. Pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, yang juga disebut sebagai pandangan benar duniawi, membedakan antara yang tidak bermanfaat dan yang bermanfaat. Ia mengungkapkan akar-akar perilaku baik dan buruk dan menyatakan prinsip-prinsip di balik bekerjanya kamma, hukum sebab akibat moral yang memastikan perbuatan-perbuatan baik dan buruk akhirnya menghasilkan buah yang sesuai. Walaupun jenis pandangan benar ini, dengan dirinya sendiri, tidak membawa pada kebebasan, ia penting untuk kemajuan dalam siklus kelahiran kembali dan berperan sebagai landasan untuk pandangan benar yang melampaui-duniawi, yang melenyapkan ketidaktahuan dan kekotoran-kekotoran yang berhubungan.

Pandangan benar duniawi adalah pemahaman terhadap kemanjuran kamma. Melalui pandangan benar duniawi, seseorang memahami bahwa kamma yang tidak bermanfaat, perbuatan-perbuatan yang muncul dari motif-motif yang tidak murni, akhirnya kembali pada diri sendiri dan membawa penderitaan, kelahiran kembali yang buruk, dan kemunduran spiritual. Sebaliknya, seseorang memahami bahwa kamma yang bermanfaat yang muncul dari motif-motif yang baik, membawa pada kebahagiaan, kelahiran kembali yang menguntungkan,  dan kemajuan spiritual. Dalam Teks I,2, Yang Mulia Sāriputta menyebutkan jalan kamma tidak bermanfaat dan akar-akar yang mendasarinya, dan juga jalan kamma bermanfaat dan akar-akarnya. Kamma tidak bermanfaat dijelaskan dengan cara “sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat.” Akar-akar kamma tidak bermanfaat, motif-motif di mana ia berasal, adalah keserakahan, kebencian, dan delusi. Sebaliknya, kamma bermanfaat dijelaskan dengan cara sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, yang memasukkan pandangan benar terhadap kamma dan buahnya. Akar-akar bermanfaat disebutkan sebagai tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian, dan tanpa-delusi, yang dapat dinyatakan lebih positif sebagai kedermawanan, cinta-kasih, dan kebijaksanaan.

Teks I,3 memberikan analisis kamma yang lebih terperinci. Dalam kutipan ini, Sang Buddha menyatakan faktor penting dalam terbentuknya kamma adalah kehendak atau niat (cetanā), karena adalah kehendak yang memberikan perbuatan kualitas moralnya. Beliau juga menjelaskan keberagaman kamma dengan cara kemampuannya membawa pada kelahiran kembali pada alam-alam kehidupan yang berbeda; ini adalah lima alam tujuan menurut kosmologi Buddhisme Awal. Menurut sutta-sutta, kamma membawa buahnya tidak hanya di alam manusia tetapi di mana pun di antara lima alam tujuan itu. Kamma tidak bermanfaat membawa pada kelahiran dalam tiga alam yang lebih rendah – neraka, alam binatang, dan alam hantu yang menderita; kamma bermanfaat membawa kelahiran kembali dalam dua alam yang lebih tinggi – alam manusia dan alam deva atau surga. Kamma lebih lanjut dibedakan menurut jangka waktu di mana ia memunculkan buahnya: beberapa perbuatan menghasilkan buahnya dalam kehidupan ini juga; yang lain akan memberikan akibatnya pada kehidupan berikutnya; dan yang lain lagi dapat masak dalam kehidupan mana pun setelah kehidupan berikutnya.

Pengelompokan lebih lanjut tentang cara kerja kamma disediakan oleh Teks I,4, di mana Sang Buddha menjelaskan kepada seorang brahmana tiga pengetahuan jernih yang beliau capai pada malam pencerahannya. Yang kedua adalah pengetahuan mata dewa, di mana beliau dapat melihat secara langsung bagaimana makhluk-makhluk berlanjut dari kematian menuju kelahiran baru sesuai dengan kamma mereka. Mereka yang melakukan perbuatan salah berlanjut menuju keadaan-keadaan yang menderita; mereka yang melakukan perbuatan baik berlanjut menuju keadaan-keadaan yang bahagia. Prinsip umum yang muncul dari kejadian ini adalah hubungan erat antara perbuatan kita dan akibatnya. Melampaui jurang masa-masa kehidupan, kamma menghasilkan buah yang mencerminkan perbuatan asal di mana ia muncul. Demikianlah mereka yang membunuh menciptakan kamma yang membawa menuju masa kehidupan yang pendek, mereka yang melindungi kehidupan menciptakan yang membawa menuju masa kehidupan yang panjang; suatu prinsip yang sama berlaku pada jenis perbuatan lainnya.

Meskipun Sang Buddha mengembangkan etika berdasarkan pandangan kemanjuran perbuatan – prinsip bahwa perbuatan baik membawa akibat yang menyenangkan dan perbuatan buruk membawa akibat yang tidak menyenangkan – beliau juga memberikan landasan yang independen untuk kehidupan etis. Demikianlah, walaupun mengetahui hukum kamma sebagai suatu dorongan untuk perilaku bermoral, penerimaan sebab akibat kamma tidak diperlukan sebagai suatu pembenaran untuk etika. Perlunya perilaku etis dapat dikembangkan berdasarkan landasan lain yang tidak mengemukakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang bertahan setelah kematian. Landasan-landasan ini dapat dicapai melalui refleksi personal.

Dalam Kālāma Sutta, yang dikutip dalam bagian ini sebagai Teks I,5, Sang Buddha bertanya kepada orang-orang Kālāma dari Kesaputta, yang ragu-ragu apakah terdapat kehidupan setelah kematian, untuk menyingkirkan penilaian-penilaian tentang hal-hal demikian dan mengetahui secara langsung untuk diri mereka sendiri, dengan refleksi-diri, bahwa berbuat dengan landasan keserakahan, kebencian, dan delusi membawa pada bahaya dan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain; sedangkan, sebaliknya, membebaskan pikiran dari keserakahan, kebencian, dan delusi dan berbuat dengan cara yang bermanfaat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan pada diri sendiri dan orang lain. Dalam sutta lainnya, yang juga dikutip sebagai di sini dalam Teks I,6, Sang Buddha meletakkan jenis-jenis utama perbuatan benar, seperti menghindari pembunuhan dan pencurian, berdasarkan refleksi moral di mana seseorang menempatkan dirinya sendiri pada posisi orang lain dan memutuskan bagaimana bertindak setelah mempertimbangkan bagaimana ia merasakannya jika orang lain memperlakukan dirinya dengan cara demikian. Walaupun Sang Buddha di sini menanggapi pertanyaan tentang cara-cara menuju kelahiran kembali surgawi, beliau tidak dengan tegas melandaskan anjuran moral pada hukum kamma atau keberadaan setelah kematian tetapi pada prinsip timbal-balik. Prinsip ini, yang dijelaskan secara terperinci di sini, secara ringkas diungkapkan oleh syair dalam Dhammapada: “Semua makhluk bergetar menghadapi kekerasan, semua takut akan kematian. Dengan menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan orang lain membunuh” (v. 129).
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:07:50 AM
1. Pandangan Benar Muncul pada Urutan Pertama

“Para bhikkhu, pandangan benar muncul pada urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul pada urutan pertama? Seseorang memahami pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

“Dan apakah pandangan salah? ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktek benar yang, setelah menembus dunia ini dan dunia lain bagi diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, menyatakannya kepada orang lain.’ Ini adalah pandangan salah.

“Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pandangan benar, aku katakan, ada dua jenis: ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.[2]

“Dan apakah pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? ‘Ada yang diberikan, yang dikorbankan dan yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktek benar yang, setelah menembus dunia ini dan dunia lain oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, menyatakannya kepada orang lain.’ Ini adalah pandangan benar yang tunduk pada noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

“Dan apakah pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Kebijaksanaan, indria kebijaksanaan, kekuatan kebijaksanaan, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, faktor sang jalan pandangan benar dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

“Seseorang berusaha untuk meninggalkan pandangan salah dan memasuki pandangan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam pandangan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling pandangan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.”

(dari MN 117, MLDB 934–35)

2. Memahami yang Tidak Bermanfaat dan yang Bermanfaat

[Yang Mulia Sāriputta berkata:] “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

“Dan apakah, teman-teman, yang tidak bermanfaat, apakah akar dari yang tidak bermanfaat, apakah yang bermanfaat, apakah akar dari yang bermanfaat? Membunuh makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perbuatan seksual yang salah adalah tidak bermanfaat; ucapan bohong adalah tidak bermanfaat; ucapan yang memecah belah adalah tidak bermanfaat; berkata kasar adalah tidak bermanfaat; omong kosong adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; permusuhan adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat. Ini disebut dengan yang tidak bermanfaat. Dan apakah akar dari yang tidak bermanfaat? Keserakahan adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebencian adalah akar dari yang tidak bermanfaat; delusi adalah akar dari yang tidak bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang tidak bermanfaat.

“Dan apakah yang bermanfaat? Menghindari membunuh makhluk hidup adalah bermanfaat; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; menghindari perbuatan seksual yang salah adalah bermanfaat; menghindari ucapan bohong adalah bermanfaat; menghindari ucapan yang memecah belah adalah bermanfaat; menghindari berkata kasar adalah bermanfaat; menghindari omong kosong adalah bermanfaat; tanpa-ketamakan adalah bermanfaat; berbelas kasih adalah bermanfaat; pandangan benar adalah bermanfaat. Ini disebut dengan yang bermanfaat. Dan apakah akar dari yang bermanfaat? Tanpa-keserakahan adalah akar dari yang bermanfaat; tanpa-kebencian adalah akar dari yang bermanfaat; tanpa-delusi adalah akar dari yang bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang bermanfaat.”

(dari MN 9, MLDB 132–33)

3. Serba-Serbi tentang Kamma

[Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:] “Ketika dikatakan: ‘Kamma seharusnya dipahami, sumber dan asal mula kamma seharusnya dipahami, keberagaman kamma seharusnya dipahami, akibat kamma seharusnya dipahami, lenyapnya kamma seharusnya dipahami, dan jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Adalah kehendak, para bhikkhu, yang kusebut kamma. Karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula kamma? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman kamma? Ada kamma yang harus dialami di neraka; ada kamma yang harus dialami di alam binatang; ada kamma yang harus dialami di alam hantu menderita; ada kamma yang harus dialami di alam manusia; ada kamma yang harus dialami di alam deva. Ini disebut keberagaman kamma.

“Dan apakah akibat kamma? Akibat kamma, Aku katakan, ada tiga: [yang dialami] pada kehidupan ini, atau pada kelahiran kembali [berikutnya], atau pada beberapa kelahiran berikutnya. Ini disebut akibat dari kamma.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya kamma? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kamma.

“Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kamma, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kamma, sumber dan asal-mula kamma, keberagaman kamma, akibat kamma, lenyapnya kamma, dan jalan menuju lenyapnya kamma, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kamma.”

(dari AN 6:63, NDB 963)

4. Makhluk-Makhluk Mengembara Sesuai Kamma Mereka

[Sang Buddha berkata kepada seorang brahmana:] “Ketika, brahmana, pikiranku terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, hina dan mulia, cantik dan jelek, beruntung dan tidak beruntung, dan aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela orang-orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam menderita, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan jelek, beruntung dan tidak beruntung, dan aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. Ini adalah pengetahuan sejati kedua yang kucapai pada waktu jaga pertengahan malam itu. Ketidaktahuan dilenyapkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan dilenyapkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang berdiam penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh. Ini, brahmana, adalah penerobosanku yang kedua, bagaikan anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.”

(AN 8:11, NDB 1128–29)

5. Ketika Anda Mengetahuinya Sendiri

Orang-orang Kālāma dari Kesaputta mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada beliau: “Bhante, ada beberapa pertapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin orang lain. Tetapi kemudian beberapa pertapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin orang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan yang manakah dari para pertapa baik ini yang mengatakan kebenaran dan yang manakah yang mengatakan kebohongan.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, orang-orang Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, orang-orang Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan kitab, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Pertapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, orang-orang Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Ketika keserakahan, kebencian, dan delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?” – “Demi bahaya baginya, Bhante.” – “Orang-orang Kālāma, seseorang yang dikuasai keserakahan, kebencian, dan delusi, dengan pikiran yang dikuasai oleh hal-hal ini, melakukan pembunuhan makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”—“Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?”—“Tercela, Bhante.”—“Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”—“Dicela oleh para bijaksana, Bhante.”—“Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?”—“Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, orang-orang Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, orang-orang Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, orang-orang Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ... atau karena kalian berpikir: ‘Pertapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Ketika seseorang adalah tanpa keserakahan, kebencian, dan delusi, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?” – “Demi kesejahteraan baginya, Bhante.” – “Orang-orang Kālāma, seseorang yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan delusi, yang pikirannya tidak dikuasai oleh hal-hal ini, tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, orang-orang Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”—“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?”—“Tidak tercela, Bhante.”—“Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”—“Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.”—“Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?”—“Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, orang-orang Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, orang-orang Kālāma, janganlah menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

(dari AN 3:65, NDB 280–82)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:08:34 AM
6. Sebuah Ajaran yang Dapat Diterapkan oleh Diri Sendiri

Para perumah tangga dari Gerbang Bambu berkata kepada Sang Bhagavā: “Sudilah mengajarkan kami Dhamma sedemikian sehingga kami dapat berdiam dengan bahagia di rumah dan setelah kematian terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

“Aku akan mengajarkan kalian, para perumah tangga, suatu pembabaran Dhamma yang dapat diterapkan oleh diri sendiri. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.” – “Baik, Yang Mulia,” para brahmana perumah tangga dari Gerbang Bambu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Apakah, para perumah tangga, pembabaran Dhamma yang dapat diterapkan oleh diri sendiri? Di sini, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah seseorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati; aku menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan. Karena aku adalah seorang yang ingin hidup … dan menolak penderitaan, maka jika seseorang membunuhku, itu tidak akan menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku membunuh orang lain — seseorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati, yang menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan—itu tidak akan menyenangkan dan tidak disukai orang lain juga. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku adalah juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, menasihati orang lain untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup, dan memuji tindakan menghindari pembunuhan makhluk hidup. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang mengambil dariku apa yang tidak kuberikan, yaitu, melakukan pencurian, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku mengambil dari orang lain apa yang tidak ia berikan, yaitu, melakukan pencurian, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menasihati orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan memuji tindakan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang melakukan hubungan seksual dengan istriku, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku melakukan hubungan seksual dengan istri orang lain, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku adalah juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari hubungan seksual yang salah, menasihati orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah, dan memuji tindakan menghindari hubungan seksual yang salah. Demikianlah perbuatan melalui jasmani ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang merusak kesejahteraanku dengan kebohongan, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku merusak kesejahteraan orang lain dengan kebohongan, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari kebohongan, menasihati orang lain untuk menghindari kebohongan, dan memuji tindakan menghindari kebohongan. Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang memecah-belahku dari teman-temanku dengan ucapan yang memecah-belah, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku memecah-belah orang lain dari teman-temannya dengan ucapan yang memecah-belah, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain …’ Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang berkata kepadaku dengan ucapan kasar, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku berkata kepada orang lain dengan ucapan kasar, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain …’ Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.

“Kemudian, para perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Jika seseorang berkata kepadaku dengan ucapan yang tanpa tujuan dan omong kosong, itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Sekarang jika aku berkata kepada orang lain dengan ucapan tanpa tujuan dan omong kosong, itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain. Bagaimana mungkin aku menimbulkan kepada orang lain, apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?’ Setelah merenungkan demikian, ia menghindari omong kosong, menasihati orang lain untuk menghindari omong kosong, dan memuji tindakan menghindari omong kosong. Demikianlah perbuatan melalui ucapan ini dimurnikan dalam tiga aspek.”

(dari SN 55:7, CDB 1797–99)

Catatan Kaki:

[1] Tiga jenis pandangan salah dan pasangan mereka ini diselidiki dan dianalisis dalam MN 60. Mereka juga ditemukan dalam DN 2, MN 76, dan di tempat-tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Dalam DN 2, nihilisme moral dihubungkan dengan seorang pemikir bernama Ajita Kesakambalī; doktrin tidak-berbuat dengan Pūraṇa Kassapa; dan doktrin tanpa-sebab dengan Makkhali Gosāla.

[2] Tiga noda (āsava) adalah keinginan indera, keinginan terhadap kelangsungan, dan ketidaktahuan. Perolehan (upadhi) adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati yang membentuk identitas individual. Pandangan benar yang dipengaruhi oleh noda-noda adalah pembentuk jalan duniawi yang mendukung pada kelahiran kembali yang menguntungkan dalam saṃsāra, rangkaian kelahiran dan kematian yang berkelanjutan. Pandangan benar yang bebas dari noda-noda adalah kebijaksanaan yang melampaui-duniawi yang menghancurkan rangkaian kelahiran dan kematian yang berkelanjutan tersebut.

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:16:34 AM
II. Pelatihan Personal

Pendahuluan

Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan-pandangan kita mempengaruhi semua aspek lain kehidupan kita. Pengaruh itu dimulai dari dampak pandangan kita terhadap motivasi kita. Dalam struktur jalan berunsur delapan, pandangan salah adalah kondisi bagi motivasi yang salah, karena kehendak yang dikuasai oleh nafsu, permusuhan, dan kekerasan, sedangkan pandangan benar adalah kondisi bagi motivasi yang benar, karena kehendak yang dikuasai oleh ketidak-melekatan, kebaikan, dan belas kasih.[1] Sang Buddha membandingkan pandangan salah dengan sebutir benih yang pahit, di mana dari sana pasti menghasilkan tanaman yang pahit (AN 10:104, NDB 1485): “Bagaikan sebutir benih mimba, pare, atau labu pahit, yang ditanam di tanah yang lembab dan menerima air, semuanya akan mengarah pada buah-buah dengan rasa pahit, demikian pula bagi seorang dengan pandangan salah … apa pun perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktivitas-aktivitasnya, semuanya mengarah pada bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.” Pandangan benar, sebaliknya, bagaikan benih tanaman yang manis: “Bagaikan sebutir benih tebu, beras gunung, atau anggur, yang ditanam di tanah yang lembab dan menerima air, semuanya akan mengarah pada buah dengan rasa yang manis dan lezat, demikian pula, bagi seorang dengan pandangan benar ... apa pun perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktivitas-aktivitas kehendaknya, semuanya mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya baik.”

Demikianlah ketika kita menganut pandangan salah, pandangan itu membentuk kehendak-kehendak kita sedemikian sehingga bermanifestasi sebagai perilaku yang tidak bermanfaat dan perbuatan-perbuatan yang buruk. Bagi Sang Buddha, motivasi untuk berperilaku bermoral dilemahkan oleh kepercayaan bahwa tidak ada kelangsungan personal setelah kematian, tidak ada pembedaan yang sah antara perbuatan baik dan buruk, dan tidak ada kebebasan untuk memilih benar dan salah. Sebaliknya, motivasi untuk berperilaku bermoral diperkuat oleh oleh kepercayaan bahwa kematian tidak menandai akhir segalanya dari kelangsungan personal, bahwa terdapat pembedaan yang sah antara perbuatan baik dan buruk, dan bahwa nasib kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Tetapi proses transformasi personal tidak terjadi secara otomatis. Agar pandangan benar dapat memberikan pengaruh yang positif, usaha personal dibutuhkan, suatu upaya yang disengaja untuk mengharmoniskan perilaku kita dengan pemahaman dan kehendak-kehendak kita.

Teks-teks yang dimasukkan dalam Bagian II menggambarkan pengaruh transformatif pandangan benar dan kehendak benar pada perilaku. Saya telah menyusun kutipan-kutipan itu sesuai dengan pengelompokan tradisional atas perbuatan-perbuatan berjasa menjadi tiga kelompok: memberi, perilaku bermoral, dan pengembangan batin (dāna, sīla, bhāvanā). Ini berhubungan dengan metode Sang Buddha sendiri dalam membabarkan Dhamma, di mana beliau memulai dengan kedermawanan, melanjutkan ke perilaku yang baik, dan kemudian, ketika pendengarnya siap, mengajarkan empat kebenaran mulia dan jalan mulia berunsur delapan.

Saya mulai dengan sutta-sutta yang menyorot aspek-aspek yang berbeda dari kedermawanan atau memberi. Kedermawanan (cāga) dapat dilihat sebagai suatu ungkapan kehendak baik dari pelepasan. Ini adalah penawar pada kekikiran, suatu hasil dari kemelekatan, yang, seperti ditunjukkan oleh Teks II,1(1), adalah keenganan membagikan kepemilikan seseorang, sahabat, bahkan pengetahuan kepada orang lain. Kebalikan dari kekikiran, kedermawanan, seperti yang disebutkan dalam II,1(2), berasal dari perbuatan memberi (dāna), di mana seseorang melepaskan kemelekatan pada berbagai hal dan bergembira dalam membagikannya kepada orang lain. Oleh sebab itu memberi menciptakan ikatan solidaritas dengan orang lain dan memelihara rasa dukungan bersama.

Memberi dapat dipraktekkan karena alasan-alasan yang berbeda, tetapi seperti yang dinyatakan Teks II,1(3), alasan terbaik dalam memberi adalah “untuk tujuan menghiasi pikiran.” Perbuatan memberi juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang berbeda, tetapi menurut Text II,1(4), ia paling baik ketika didasarkan pada keyakinan, dilakukan dengan penuh penghormatan, pada waktu yang tepat, dengan hati yang dermawan, dan yang terpenting, tanpa merendahkan si penerima. Memberi secara khusus berarti mempersembahkan kepada mereka yang membutuhkan hal-hal yang dapat meringankan kesulitan mereka. Teks II,1(5) dan II,1(6) mengatakan bahwa yang terbaik di antara pemberian materi adalah pemberian makanan, tetapi yang terunggul dari semua pemberian materi, dikatakan dalam II,1(7), adalah pemberian Dhamma.

Kunci untuk perilaku bermoral (sīla), menurut Teks II,2(1), adalah intropeksi moral; yaitu, pemeriksaan-diri ke dalam atas akibat yang mungkin dari perbuatan yang dikehendaki seseorang. Di sini, Sang Buddha mengajarkan putra beliau, samanera Rāhula, bahwa sebelum berbuat seseorang seharusnya merenungkan tentang akibat perbuatannya yang mungkin terjadi bagi diri sendiri dan orang lain. Keputusan seseorang untuk menolak perbuatan itu atau melakukannya seharusnya sesuai dengan hasil perenungannya, tentang apakah ini mungkin membawa bahaya bagi diri sendiri dan orang lain atau membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ini telah memperkenalkan suatu dimensi sosial dalam pertimbangan moral seseorang. Namun komponen pertimbagan-lain adalah diimbangi oleh suatu “tujuan mencerahkan diri” yang terletak pada mempertimbangkan akibat perbuatan yang disengaja seseorang pada diri sendiri. Seseorang tidak melakukan kebaikan untuk orang lain dengan cara yang menodai integritas moral diri sendiri.

Perilaku bermoral itu sendiri dikembangkan dengan mengambil pelatihan moral dan berbuat sesuai dengan sepuluh jalan perbuatan bermanfaat. Lima pelatihan moral (pañcasīla) menyusun aturan moral paling penting yang diajarkan Sang Buddha: menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan seksual yang salah, kebohongan, dan konsumsi minuman keras. Mengikuti pelatihan moral ini, menurut Teks II,2(2), disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral. Aturan moral yang lebih luas, yang memasukkan juga sikap batin dan pandangan benar, diletakkan dalam sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, yang memperluas perlunya ucapan benar dan juga memasukkan orientasi mental. Pelatihan moral dan jalan perbuatan bermanfaat mengatur perilaku jasmani dan ucapan, memastikan bahwa kita tidak mengakibatkan bahaya terhadap orang lain. Mereka juga membentuk kehendak-kehendak kita sehingga kita mengenali jenis sikap apakah yang membawa pada konflik dan perselisihan dan menggantinya dengan kehendak-kehendak baik yang membawa kerukunan. Teks II,2(3) menunjukkan bahwa manfaat menjalankan pelatihan moral tidak hanya menguntungkan bagi diri sendiri tetapi juga banyak orang lain, memberikan “sejumlah tak terhingga makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan.” Dengan demikian perilaku bermoral menyatukan manfaat bagi diri sendiri dan manfaat bagi orang lain; ia menggabungkan tujuan penting mencerahkan diri dengan tujuan altruisme etis.

Berjalan beriringan dengan penerapan perilaku bermanfaat adalah upaya pengembangan batin. Pengembangan batin melibatkan proses ganda yang bertujuan menjauhkan pikiran dari emosi-emosi yang mengotori dan menghasilkan kualitas-kualitas mental yang mendukung pada keringanan, kemurnian, dan kedamaian internal. Karena banyak kotbah Sang Buddha berhubungan degan dua proses ini, saya telah membatasi pemilihan saya pada teks-teks yang tampak paling relevan untuk menyebarluaskan kerukunan sosial.

Teks II,3(1), sebuah kutipan dari Perumpamaan Kain, menginstruksikan pelenyapan enam belas kekotoran batin. Dalam pemeriksaannya akan terlihat bahwa hampir semua kekotoran ini – keadaan-keadaan seperti ketamakan dan permusuhan, kemarahan dan kebencian, keirihatian dan kekikiran – memiliki akibat sosial yang berskala luas. Dengan demikian proses pelatihan mental, sementara menyebabkan pemurnian batin, secara bersamaan memunculkan kerukunan sosial.

Dalam sebuah kotbah otobiografi yang sebagian dikutip sebagai Teks II,3(2), Sang Buddha menjelaskan bagaimana, ketika beliau sedang berjuang demi pencerahan, beliau membedakan pikiran-pikirannya menjadi dua kategori – yang baik dan yang buruk – dan kemudian menggunakan perenungan yang sesuai untuk melenyapkan pikiran-pikiran buruk dan mengembangkan pikiran-pikiran baik. Perenungan beliau mempertimbangkan tidak hanya akibat pikiran-pikirannya pada dirinya sendiri tetapi juga akibatnya pada orang lain. Pikiran-pikiran buruk adalah pikiran-pikiran yang membawa bahaya bagi orang lain, pikiran-pikiran baik adalah pikiran-pikiran yang tidak membahayakan orang lain. Teks II,3(3) menjelaskan proses dari apa yang disebut “penghapusan” (sallekha), pelenyapan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, melalui pelepasan empat puluh empat kekotoran, suatu skema komprehensif yang memasukkan beberapa kelompok tambahan seperti lima rintangan, sepuluh jalan perbuatan salah, dan yang lainnya.

Bersama dengan pelenyapan kekotoran-kekotoran, pelatihan pikiran melibatkan pengembangan kualitas-kualitas baik. Di antara hal-hal baik itu yang paling penting pada pengembangan kerukunan sosial adalah kualitas-kualitas yang terdiri dari “empat hal yang tak terukur” (appamaññā) atau “empat kediaman luhur” (brahmavihāra): cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan.[2] Teks II,4(1) adalah rumusan kanonik standar untuk empat hal yang tak terukur. Seperti yang didefinisikan dalam komentar Pāli, cinta kasih adalah keinginan atas kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; belas kasih adalah keinginan untuk melenyapkan penderitaan; kegembiraan altruistik adalah kegembiraan atas keberhasilan dan keberuntungan orang lain; dan keseimbangan adalah ketidakberpihakan dan kebebasan dari prasangka.[3]

Sebagai landasan untuk tiga lainnya, cinta kasih mendapatkan perhatian paling banyak dalam Nikāya-Nikāya. Saya mencerminkan penekanan ini dengan menyoroti cinta kasih dalam Teks II,4(2)-(5). Kita di sini melihat Sang Buddha memuji pengembangan cinta kasih sebagai perbuatan berjasa terpenting yang berhubungan dengan siklus kelahiran kembali. Ia menciptakan kasih sayang kepada orang lain dan menjamin perlindungan-diri. Ia membawa pada kelahiran yang lebih tinggi dan berperan sebagai kondisi bagi penghancuran kekotoran-kekotoran. Di antara semua kualitas-kualitas baik, kebijaksanaan dianggap yang tertinggi, karena kebijaksanaan sendiri dapat sepenuhnya mencabut akar ketidaktahuan dan ketagihan yang mengikat kita pada siklus kelahiran dan kematian. Namun demikian, seperti yang ditunjukkan Teks II,4(5), cinta kasih dan empat landasan perhatian, praktek yang membawa pada kebijaksanaan, tidak saling terpisah tetapi dapat dikembangkan serentak. Adalah dengan melatih landasan-landasan perhatian dan mengembangkan kebijaksanaan di mana seseorang melindungi dirinya sendiri; adalah dengan cinta kasih di mana seseorang melindungi orang lain. Akhirnya, Teks II,4(6) menunjukkan bagaimana penyerapan meditatif dalam cinta kasih dapat digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan pandangan terang dan mencapai tujuan akhir, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan yang muncul bersama dengan penghancuran kekotoran-kekotoran.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:22:16 AM
1. Kedermawanan

(1) Kekikiran

“Terdapat, para bhikkhu, lima jenis kekikiran ini. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Ini adalah lima jenis kekikiran. Di antara lima jenis kekikiran ini, yang paling buruk adalah kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Kehidupan spiritual dijalankan demi meninggalkan dan melenyapkan lima jenis kekikiran ini.”

(AN 5:254–55, NDB 839)

(2) Kesempurnaan dalam kedermawanan

“Apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, bermurah hati dengan bebas, bertangan terbuka, bergembira dalam pelepasan, mencurahkan diri dalam derma, bergembira dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan dalam kedermawanan.”

(dari AN 4:61, NDB 450)

(3) Alasan-Alasan untuk Memberi

“Terdapat, para bhikkhu, delapan landasan untuk memberi ini. Apakah delapan ini? (1) Seseorang memberikan suatu pemberian karena keinginan. (2) Seseorang memberikan suatu pemberian karena kebencian. (3) Seseorang memberikan pemberian karena delusi. (4) Seseorang memberikan pemberian karena takut. (5) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Memberi telah dipraktikkan sebelumnya oleh ayahku dan leluhurku; aku seharusnya tidak meninggalkan kebiasaan keluarga yang sudah berlangsung sejak lama ini.’ (6) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Setelah memberikan pemberian ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam tujuan kelahiran yang baik, di alam surga.’ (7) Seseorang memberikan pemberian, dengan berpikir: ‘Ketika aku sedang memberikan pemberian ini pikiranku menjadi tenang, dan kegirangan dan kegembiraan muncul.’ (8 ) Seseorang memberikan pemberian dengan tujuan menghiasi pikiran, melengkapi pikiran. Ini adalah delapan landasan untuk memberi itu.”

(AN 8:33, NDB 1166)

(4) Pemberian Orang Unggul

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang unggul ini. Apakah lima ini? Ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan; ia memberikan pemberian dengan hormat; ia memberikan pemberian pada waktu yang tepat; ia memberikan pemberian dengan hati yang dermawan; ia memberikan pemberian tanpa merendahkan.

(1) “Karena ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan ia menjadi tampan, menarik, anggun, memiliki penampilan yang luar biasa baik.

(2) “Karena ia memberikan pemberian dengan hormat, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan anak dan istrinya, para budak, para pelayan, dan para pekerjanya patuh, mendengarkannya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya.

(3) “Karena memberikan pemberian pada waktu yang tepat, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan manfaat-manfaat datang kepadanya sesuai waktunya secara berlimpah.

(4) “Karena ia memberikan pemberian dengan hati yang dermawan, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan pikirannya condong pada menikmati hal-hal yang terbaik di antara lima utas kenikmatan indria.

(5) “Karena memberikan pemberian tanpa merendahkan dirinya sendiri atau orang lain, di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, berlimpah, dan makmur, dan tidak ada kehilangan pada hartanya terjadi dari sumber mana pun, apakah dari api, banjir, raja, penjahat, atau pewaris yang tidak disukai.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima pemberian dari orang unggul.”

(AN 5:148, NDB 763–64)

(5) Pemberian Makanan (1)

“Para bhikkhu, jika orang-orang mengetahui, seperti yang aku ketahui, akibat dari memberi dan berbagi, mereka tidak akan makan tanpa memberi, ataupun mereka tidak akan mengizinkan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam pikiran mereka. Bahkan jika itu adalah butiran terakhir mereka, suapan terakhir mereka, mereka tidak akan makan tanpa membagikannya, jika terdapat seseorang untuk berbagi dengannya. Tetapi, para bhikkhu, karena orang-orang tidak mengetahui, seperti yang aku ketahui, akibat dari memberi dan berbagi, mereka makan tanpa diberikan, dan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam pikiran mereka.”

(It §26)

(6) Pemberian Makanan (2)

“Seorang siswa mulia perempuan, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah empat ini? Ia memberikan kehidupan panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan. Dengan memberikan kehidupan panjang, ia memperoleh kehidupan panjang, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kecantikan, ia memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kebahagiaan, ia memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusiawi. Dengan memberikan kekuatan, ia memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusiawi. Seorang siswa mulia perempuan, dengan memberikan makanan, memberikan empat hal itu kepada penerimanya.”

(AN 4:57, NDB 447)

(7) Pemberian Dhamma

“Para bhikkhu, ada dua jenis pemberian ini. Apakah dua ini? Pemberian benda-benda materi dan pemberian Dhamma. Di antara dua jenis pemberian ini, pemberian Dhamma adalah yang terunggul. Ini adalah dua jenis pemberian itu ... dua jenis kedermawanan ini ... dua objek pelepasan. Apakah dua ini? Pelepasan benda-benda materi dan pelepasan [dengan memberikan] Dhamma. Ini adalah dua jenis pelepasan. Dari dua jenis pelepasan ini, pelepasan [dengan memberikan] Dhamma adalah yang terunggul.”

(AN 2:141–44, NDB 182)

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:28:17 AM
2. Perilaku Bermoral

(1) Introspeksi Moral

“Bagaimana menurutmu, Rāhula? Apakah gunanya cermin?”

“Untuk merefleksikan, Bhante.”

“Demikian pula, Rāhula, suatu perbuatan melalui jasmani seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui ucapan seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui pikiran seharusnya dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang.

“Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau tidak boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini tidak akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu.

“Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau seharusnya menghentikan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui jasmani itu.

“Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau seharusnya merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau seharusnya mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, engkau harus menjalani pengendalian di masa depan. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”[4]

(MN 61, MLDB 524–26)

(2) Kesempurnaan dalam Perilaku Bermoral

“Apakah, para bhikkhu, kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh makhluk hidup, mengindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari ucapan bohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.”

(dari AN 4:61, NDB 449–50)

(3) Melindungi Tidak Terhitung Makhluk

“Di sini, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, menghindari pembunuhan makhluk hidup. Dengan menghindari pembunuhan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati kebebasan tidak terbatas dari ketakutan, dari permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian pertama, pemberian besar, yang utama, yang telah berlangsung sejak lama, tradisional, kuno, yang tidak dapat dipalsukan, dan belum pernah dipalsukan, yang tidak dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak akan dibantah oleh para pertapa dan brahmana bijaksana.

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Dengan menghindari dari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian kedua....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan perbuatan seksual yang salah. Dengan menghindari dari perbuatan seksual yang salah, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian ketiga....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati tidak terhitung kebebasan dari ketakutan, permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian keempat....

“Kemudian, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Dengan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, siswa mulia itu memberikan tidak terhitung makhluk kebebasan dari ketakutan, dari permusuhan, dan dari kesengsaraan. Ia sendiri pada gilirannya menikmati kebebasan tidak terbatas dari ketakutan, dari permusuhan, dan kesengsaraan. Ini adalah pemberian kelima, pemberian besar, yang utama, yang telah berlangsung sejak lama, tradisional, primitif, yang tidak dapat dipalsukan, dan belum pernah dipalsukan, yang tidak dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak akan dibantah oleh para pertapa dan brahmana bijaksana.”

(dari AN 8:39, NDB 1174)

(4) Baik dan Buruk

“Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kalian apa yang baik dan apa yang buruk. Dan apakah yang buruk? Membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, perbuatan seksual yang salah, ucapan bohong, ucapan memecah belah, ucapan kasar, omong kosong, ketamakan, permusuhan, dan pandangan salah. Ini disebut buruk.

“Dan apakah yang baik? Menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari ucapan bohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, menghindari omong kosong, tanpa-ketamakan, berbelas kasih, dan pandangan benar. Ini disebut baik.”

(AN 10:178, NDB 1526)

(5) Ketidakmurnian dan Kemurnian

“Ketidakmurnian melalui jasmani, Cunda, ada tiga. Ketidakmurnian melalui ucapan ada empat. Ketidakmurnian melalui pikiran ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidakmurnian melalui jasmani yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang membunuh. Ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan kekerasan, tanpa belas kasih pada makhluk-makhluk hidup. (2) Ia mengambil apa yang tidak diberikan. Ia mencuri kekayaan dan harta milik orang lain di desa atau hutan. (3) Ia melakukan perbuatan seksual yang salah. Ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan. Dengan cara inilah ketidakmurnian jasmani itu ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidak-murnian ucapan yang ada empat itu? (1) Di sini, seseorang berbohong. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat.’ Demikianlah ia dengan sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. (2) Ia mengucapkan kata-kata yang memecah-belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah orang-orang itu dari orang-orang ini; atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia mengulanginya kepada orang-orang ini untuk memecah-belah mereka dari orang-orang itu. Demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang bersatu, seorang pembuat perpecahan, seorang yang menikmati kelompok-kelompok, bergembira dalam kelompok-kelompok, bersenang dalam kelompok-kelompok, seorang pengucap kata-kata yang menciptakan kelompok-kelompok. (3) Ia berkata-kata kasar. Ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakitkan bagi orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak kondusif bagi konsentrasi. (4) Ia menikmati omong kosong. Ia berbicara pada saat yang tidak tepat, mengucapkan dusta, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengucapkan apa yang bertentangan dengan Dhamma dan disiplin; dan pada saat yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak bernilai, tidak logis, melantur, dan tidak bermanfaat. Dengan cara inilah ketidakmurnian ucapan itu ada empat.

“Dan bagaimanakah, Cunda, ketidakmurnian pikiran yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang penuh ketamakan. Ia menginginkan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain menjadi milikku!’ (2) Ia memiliki pikiran permusuhan dan kehendak membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh, dibantai, dipotong, dihancurkan, atau dibinasakan!’ (3) Ia menganut pandangan salah, dan memiliki perspektif keliru sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada di dunia ini para pertapa dan brahmana yang dengan perilaku baik dan praktik benar yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, kemudian menyatakannya kepada orang lain.’ Dengan cara inilah ketidakmurnian pikiran itu ada tiga.

“Ini, Cunda, adalah sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat .... Adalah karena orang-orang melibatkan diri dalam sepuluh kamma tidak bermanfaat ini maka neraka, alam binatang, alam hantu menderita, dan alam tujuan buruk lainnya menjadi terlihat.

“Kemurnian melalui jasmani, Cunda, ada tiga. Kemurnian melalui ucapan ada empat. Kemurnian melalui pikiran ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian melalui jasmani yang ada tiga itu? (1) Di sini, Cunda, setelah meninggalkan membunuh makhluk hidup, ia menghindari membunuh makhluk hidup. Dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati nurani dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas-kasih kepada semua makhluk hidup. (2) Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia tidak mencuri kekayaan dan harta orang lain di desa atau di dalam hutan. (3) Setelah meninggalkan perbuatan seksual yang salah, ia menghindari perbuatan seksual yang salah. Ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu mereka, oleh ayah, ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan. Dengan cara inilah kemurnian jasmani itu ada tiga.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian ucapan yang ada empat itu? (1) Di sini, seseorang, setelah meninggalkan kebohongan, menghindari kebohongan. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat.’ Demikianlah ia tidak dengan sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. (2) Setelah meninggalkan ucapan memecah-belah, ia menghindari ucapan memecah-belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia tidak mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah orang-orang itu dari orang-orang ini; atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak mengulanginya kepada orang-orang ini untuk memecah-belah mereka dari orang-orang itu. Demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang pengucap kata-kata yang memajukan kerukunan. (3) Setelah meninggalkan ucapan kasar; ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, memikat, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. (4) Setelah meninggalkan omong kosong, ia menghindari omong kosong; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sesuai fakta, mengatakan apa yang bermanfaat, berbicara tentang Dhamma dan disiplin; pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, logis, singkat, dan bermanfaat. Dengan cara inilah kemurnian ucapan itu ada empat.

“Dan bagaimanakah, Cunda, kemurnian pikiran yang ada tiga itu? (1) Di sini, seseorang tanpa ketamakan. Ia tidak merindukan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain menjadi milikku!’ (2) Ia berbelas kasih dan kehendaknya bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini hidup berbahagia, bebas dari permusuhan, kesengsaraan, dan kecemasan!’ (3) “Ia menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dikorbankan, ada yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada di dunia ini para pertapa dan brahmana dengan perilaku baik dan praktik benar yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, kemudian menyatakannya kepada orang lain.’ Dengan cara inilah kemurnian pikiran itu ada tiga.

“Ini, Cunda, adalah sepuluh jalan kamma bermanfaat .... Adalah karena orang-orang melibatkan diri dalam sepuluh kamma bermanfaat ini maka para deva, manusia, dan alam tujuan baik lainnya menjadi terlihat.”

(dari AN 10:176, NDB 1519–22)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:32:26 AM
3. Melenyapkan Kekotoran-Kekotoran Pikiran

(1) Enam Belas Kekotoran Pikiran

“Apakah, para bhikkhu, kekotoran-kekotoran yang mengotori pikiran? Ketamakan dan keserakahan yang tidak benar adalah kekotoran yang mengotori pikiran. Permusuhan … kemarahan … kebencian … sikap merendahkan … kecongkakan … iri hati … kekikiran … kecurangan … penipuan … sifat keras kepala … persaingan … keangkuhan … kesombongan … kepongahan … kelalaian adalah kekotoran yang mengotori pikiran. Mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah kekotoran yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya. Mengetahui bahwa permusuhan … kelalaian adalah kekotoran yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.

(dari MN 7, MLDB 118)

(2) Dua Jenis Pikiran

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanku, sewaktu aku masih seorang bodhisatta yang belum tercerahkan, aku berpikir: ‘Bagaimana jika aku membagi pikiran-pikiranku dalam dua kelompok.’ Kemudian aku mengelompokkan ke satu sisi pikiran-pikiran keinginan indria, pikiran-pikiran permusuhan, dan pikiran-pikiran kekejaman, dan aku mengelompokkan ke sisi yang lain pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, pikiran-pikiran berbelas kasih, dan pikiran-pikiran tanpa-kekejaman.

“Sewaktu aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, atau pikiran kekejaman muncul dalam diriku. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran buruk ini telah muncul dalam diriku. Ini mengarah pada penderitaanku, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari nibbāna.’ Ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan keduanya,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku; ketika aku merenungkan: ‘pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari nibbāna,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriku. Kapan pun pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, atau pikiran kekejaman muncul dalam diriku, aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

“Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran keinginan indria, ia telah meninggalkan pikiran pelepasan keduniawian untuk mengembangkan pikiran keinginan indria, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran keinginan indria. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran permusuhan … pikiran kekejaman, ia telah meninggalkan pikiran tanpa-kekejaman untuk mengembangkan pikiran kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada kekejaman.

“Bagaikan pada bulan terakhir musim hujan, pada musim gugur, ketika panen berlimpah, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya dengan secara terus-menerus menepuk dan menyodok sapi-sapinya dan dengan tongkat untuk mengawasi dan mengekang sapi-sapi itu. Mengapakah? Karena ia melihat bahwa ia akan dicambuk, dikurung, dihukum, atau disalahkan [jika ia membiarkan sapi-sapi itu berkeliaran ke dalam wilayah panen]. Demikian pula aku melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dan berkah pelepasan keduniawian, aspek pemurnian.

“Sewaktu aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, atau pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diriku. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran baik ini telah muncul dalam diriku. Ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju nibbāna.’ Jika aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan maka aku dapat melelahkan tubuhku, dan jika tubuhku lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka aku mengokohkan pikiranku secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranku tidak terganggu.

“Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, ia telah meninggalkan pikiran keinginan indria untuk mengembangkan pikiran pelepasan keduniawian, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran pelepasan keduniawian. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran berbelas kasih … pikiran tanpa-kekejaman, ia telah meninggalkan pikiran kekejaman untuk mengembangkan pikiran tanpa-kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada tanpa-kekejaman.

“Bagaikan pada bulan terakhir musim panas, ketika semua hasil panen telah dibawa ke dalam desa-desa, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya sambil duduk di bawah sebatang pohon atau di ruang terbuka, karena ia hanya perlu memperhatikan bahwa sapi-sapinya ada di sana; demikian pula, aku hanya perlu memperhatikan bahwa kondisi-kondisi itu ada di sana.

(dari MN 19, MLDB 207–9)

(3) Mempraktekkan Penghapusan

Sang Bhagavā berkata: “Sekarang, Cunda, ini adalah penghapusan[5] yang seharusnya engkau praktikkan:

(1) ‘Orang lain akan bertindak kejam; di sini kita tidak akan bertindak kejam’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(2) ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; di sini kita akan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup’; penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(3) ‘Orang lain akan mengambil apa yang tidak diberikan; di sini kita akan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.
(4) ‘Orang lain tidak hidup selibat; di sini kita akan hidup selibat’:...
(5) ‘Orang lain akan mengatakan kebohongan; di sini kita akan menghindari ucapan bohong’:....
(6) ‘Orang lain akan mengucapkan ucapan yang memecah belah; di sini kita akan menghindari ucapan yang memecah belah’:....
(7) ‘Orang lain akan berkata-kata kasar; di sini kita akan menghindari ucapan kasar’:....
(8) ‘Orang lain akan menyenangi omong kosong; di sini kita akan menghindari omong kosong:....
(9) ‘Orang lain akan bersifat tamak; di sini kita tidak akan bersifat tamak’:....
(10) ‘Orang lain akan memiliki sifat permusuhan; di sini kita akan berbelas kasih’:....
(11) ‘Orang lain akan memiliki pandangan salah; di sini kita akan memiliki pandangan benar’:....
(12) ‘Orang lain akan memiliki kehendak salah; di sini kita akan memiliki kehendak benar’: ....
(13) ‘Orang lain akan memiliki ucapan salah; di sini kita akan memiliki ucapan benar’: ....
(14) ‘Orang lain akan memiliki perbuatan salah; di sini kita akan memiliki perbuatan benar’:....
(15) ‘Orang lain akan memiliki penghidupan salah di sini; di sini kita akan memiliki penghidupan benar’:....
(16) ‘Orang lain akan memiliki usaha salah; di sini kita akan memiliki usaha benar’:....
(17) ‘Orang lain akan memiliki perhatian salah; di sini kita akan memiliki perhatian benar’:....
(18) ‘Orang lain akan memiliki konsentrasi salah; di sini kita akan memiliki konsentrasi benar’:....
(19) ‘Orang lain akan memiliki pengetahuan salah; di sini kita akan memiliki pengetahuan benar’:....
(20) ‘Orang lain akan memiliki kebebasan salah; di sini kita akan memiliki kebebasan benar’: ....
(21) ‘Orang lain akan dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan; di sini kita akan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan’:....
(22) ‘Orang lain akan gelisah; di sini kita tidak akan gelisah’:....
(23) ‘Orang lain akan merasa ragu-ragu; di sini kita akan melampaui keragu-raguan’:....
(24) ‘Orang lain akan marah; di sini kita tidak akan marah’:....
(25) ‘Orang lain akan kesal; di sini kita tidak akan kesal’:....
(26) ‘Orang lain akan bersikap merendahkan; di sini kita tidak akan bersikap merendahkan:....
(27) ‘Orang lain akan congkak; di sini kita tidak akan congkak’:....
(28) ‘Orang lain akan merasa iri; di sini kita tidak boleh iri’:....
(29) ‘Orang lain akan bersifat tamak; di sini kita tidak akan bersifat tamak’:....
(30) ‘Orang lain akan menipu; di sini kita tidak akan menipu’:...
(31) ‘Orang lain akan curang; di sini kita tidak akan curang’:...
(32) ‘Orang lain akan bersifat keras kepala; di sini kita tidak akan bersifat keras-kepala’:....
(33) ‘Orang lain akan bersikap angkuh; di sini kita tidak akan bersikap angkuh’:....
(34) ‘Orang lain akan sulit dinasihati; di sini kita akan mudah dinasihati’:....
(35) ‘Orang lain akan memiliki teman-teman jahat; di sini kita akan memiliki teman-teman baik’:....
(36) ‘Orang lain akan lalai; di sini kita akan waspada’:....
(37) ‘Orang lain akan tidak berkeyakinan; di sini kita akan berkeyakinan’:...
(38) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa malu; di sini kita akan memiliki rasa malu’:....
(39) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah; di sini kita akan takut melakukan perbuatan salah’: ....
(40) ‘Orang lain akan sedikit belajar; di sini kita akan banyak belajar’:....
(41) ‘Orang lain akan malas; di sini kita akan bersemangat’:....
(42) ‘Orang lain akan tanpa perhatian; di sini kita akan penuh perhatian’:....
(43) ‘Orang lain akan tanpa kebijaksanaan; di sini kita harus memiliki kebijaksanaan’:....
(44) ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan sulit melepaskannya; kita tidak akan terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan akan melepaskannya dengan mudah’: penghapusan seharusnya dipraktikkan demikian.

(dari MN 8, MLDB 125–27)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:38:27 AM
4. Cinta Kasih dan Belas Kasih

(1) Empat Kediaman Luhur

[Sang Buddha berkata kepada brahmana muda Subha:][6] Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat; seperti juga ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana[7], tidak ada yang bertahan di sana. Ini adalah jalan menuju perkumpulan Brahmā.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasih … dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik … dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat; seperti juga ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada kamma yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana.”

(dari MN 99, MLDB 816–17)

(2) Cinta Kasih Bersinar Bagaikan Rembulan

“Para bhikkhu, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Bagaikan sinar semua bintang tidak menyamai seperenam belas bagian dari sinar rembulan, tetapi sinar rembulan melampaui sinar bintang-bintang itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas bagian dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Bagaikan pada bulan terakhir dari musim hujan, pada musim gugur, ketika langit cerah dan bebas dari awan, matahari, ketika terbit, menghalau kegelapan angkasa dan memancarkan cahaya, yang cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk menghasilkan jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

“Dan bagaikan pada malam hari, pada saat fajar, bintang kejora memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang, demikian juga, apa pun landasan yang ada untuk membuat jasa kebajikan produktif pada kelahiran mendatang, ini tidak menyamai seperenam belas dari kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Kebebasan pikiran melalui cinta kasih melampaui landasan-landasan itu dan memancarkan cahaya, cerah dan cemerlang.

(It §27)

(3) Manfaat-Manfaat Cinta Kasih

“Para bhikkhu, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, sebelas manfaat ini dapat diharapkan. Apakah sebelas ini? (1) Seseorang tidur dengan nyenyak; (2) ia terjaga dengan bahagia; (3) ia tidak bermimpi buruk; (4) ia disukai manusia; (5) ia disukai makhluk halus; (6) para dewa melindunginya; (7) api, racun, dan senjata tidak dapat melukainya; (8) pikirannya dengan cepat dapat terkonsentrasi; (9) raut wajahnya tenang; (10) ia meninggal dunia dengan tidak bingung; dan (11) jika ia tidak menembus lebih jauh, ia mengembara menuju alam brahmā. Ketika, para bhikkhu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih terus-menerus ditekuni, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dilaksanakan dengan benar, sebelas manfaat ini dapat diharapkan.”

(AN 11:15, NDB 1573–74)

(4) Manfaat-Manfaat yang Lebih Jauh

“Para bhikkhu, jika seseorang memberikan seratus mangkuk makanan sebagai dana di pagi hari, seratus mangkuk makanan sebagai dana di siang hari, dan seratus mangkuk makanan sebagai dana di malam hari, dan jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menarik ambing susu sapi, apakah di pagi, siang, atau malam hari, ini adalah lebih bermanfaat daripada yang pertama. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan sepenuhnya menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

(SN 20:4, CDB 707)

(5) Cinta Kasih dan Perhatian Benar

“‘Aku akan melindungi diriku sendiri,’ para bhikkhu: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. ‘Aku akan melindungi orang lain’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain? Dengan menekuni, mengembangkan, dan melatih [empat penegakan perhatian]. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain.
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tanpa kekejaman, cinta kasih, dan simpati. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

“‘Aku akan melindungi diri sendiri’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. ‘Aku akan melindungi orang lain’: demikianlah seharusnya penegakan-penegakan perhatian dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.”

(dari SN 47:19, CDB 1648–49)

(6) Penghancuran Noda-Noda

[Yang Mulia Ānanda berkata kepada seorang perumah tangga bernama Dasama:] “Kemudian, perumah tangga, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah kedua, demikian pula arah ketiga, demikian pula arah keempat. Demikianlah ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah dan dengan segala cara, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih ini adalah dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang dibentuk dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal ini, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena kemelekatan pada Dhamma itu, karena kesenangan pada Dhamma itu, maka, dengan hancurnya sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti akan mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”[8]

(dari MN 52, MLDB 456; AN 11:16, NDB 1575)

Catatan Kaki:

[1] Lihat AN 10:103, NDB 1485.

[2] Dalam bahasa Pāli: mettā, karuṇā, muditā, and upekkhā

[3] Untuk rinciannya, lihat Vism 318, Ppn 9.93–96.

[4] Refleksi yang sama diterapkan untuk perbuatan ucapan dan perbuatan pikiran, kecuali bahwa perbuatan pikiran tidak bermanfaat tidak untuk diakui melainkan untuk disesali dan dihindari pada masa yang akan datang.

[5] Sallekha. Penghapusan kekotoran-kekotoran.

[6] Sang Buddha di sini berkata kepada seorang brahmana muda yang bertanya tentang jalan untuk bersatu dengan Brahmā, tuhan pencipta dalam keyakinan sang brahmana.

[7] “Tidak ada kamma yang membatasi yang tersisa di sana” (yaṃ pamāṇakataṃ kammaṃ na taṃ tatrāvasissati): Menurut komentar, ini berarti bahwa kamma yang berhubungan dengan alam indera tidak dapat mencegah kamma yang diciptakan oleh “kebebasan pikiran” ini dalam menghasilkan akibatnya, dalam menghasilkan kelahiran kembali di alam brahma, dunia surgawi dari alam bentuk: “Bagaikan banjir yang membanjiri genangan air, demikianlah kamma bermanfaat dari penyerapan meditatif dari cinta-kasih ini melampaui semua kamma alam indera dalam kekuatannya.”

[8] Menurut komentar, apa yang mencegah praktisi ini dari pencapaian kearahantan adalah kemelekatan pada “dhamma” dari konsentrasi dan pandangan terang. Lima belenggu yang lebih rendah (pañc’orambhāgiyāni saṃyojanāni) adalah: pandangan diri, keragu-raguan, kemelekatan pada aturan-aturan dan ritual, nafsu indera, dan permusuhan. Dengan pelenyapan belenggu-belenggu ini, seseorang menjadi seorang tidak-kembali (anāgāmī), yang terlahir kembali secara spontan di alam bentuk (rūpadhātu) dan mencapai pembebasan akhir di sana, tanpa pernah kembali ke alam indera.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 10:48:04 AM
III. Menghadapi Kemarahan

Pendahuluan

Di antara kekotoran-kekotoran batin yang mengacaukan kerukunan sosial, mungkin yang paling merugikan adalah kemarahan. Karena hampir semua komunitas, termasuk vihara-vihara Buddhis, terdiri atas orang-orang yang masih cenderung pada nafsu-nafsu egoistik, mereka terus-menerus dalam bahaya terpecah belah karena kemarahan, kekesalan, dan dendam di antara para anggotanya. Karena alasan ini, kontrol kemarahan adalah penting dalam kerukunan komunal. Sang Buddha menyadari bahwa walaupun melampiaskan kemarahan memberikan beberapa tingkatan kepuasan, beliau menunjukkan bahwa ledakan kemarahan pada akhirnya kembali pada diri sendiri, menyebabkan bahaya langsung bagi diri sendiri dan mengakibatkan seseorang terlibat konflik dengan orang lain. Oleh sebab itu dalam Text III,1 beliau menggambarkan kemarahan memiliki “akar yang beracun dan pucuk yang bermadu.”

Kemarahan muncul dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang membedakan orang-orang menjadi jenis-jenis yang berbeda. Text III,2 mengelompokkan orang-orang ke dalam tiga jenis berdasarkan hubungan mereka pada kemarahan: mereka yang sering marah dan memelihara kemarahan mereka bagaikan garis yang digoreskan pada batu; mereka yang sering marah tetapi dengan cepat menghilangkan kemarahannya bagaikan garis yang digambarkan di atas tanah; mereka yang tetap bersabar bahkan ketika diserang oleh orang lain bagaikan garis yang digambarkan pada air. Teks III,3 lebih lanjut membedakan orang-orang sehubungan dengan kemarahan dengan membandingkannya dengan empat jenis ular berbisa.

Karena Sang Buddha mencari solusi pada permasalahan umat manusia dengan bantuan prinsip sebab akibat, untuk membantu kita memahami lebih jelas mengapa kemarahan muncul, beliau menjabarkan “sepuluh landasan bagi kekesalan,” yang beliau sebutkan dalam Teks III,4 dengan ketelitian dan ketepatan beliau yang biasanya. Sepuluh hal itu diperoleh dengan mempertimbangkan pertama tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi bahaya diri sendiri; berikutnya, tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi bahaya terhadap temannya; dan berikutnya, tanggapan seseorang pada mereka yang berbuat demi manfaat musuhnya. Masing-masing dari hal ini dibedakan berdasarkan tiga periode waktu – masa lampau, masa sekarang, dan masa depan – sembilan secara totalnya. Akhirnya, Sang Buddha menambahkan kemarahan irasional, hal yang menjengkelkan dari “seseorang yang menjadi marah tanpa alasan.”

Pengembangan kerukunan komunal menuntut agar para anggota komunitas berusaha untuk mengatasi kemarahan. Langkah pertama dalam melenyapkan kemarahan terletak pada perenungan terhadap bahaya dalam kemarahan. Saya telah menyusun sejumlah kotbah tentang kekecewaan dari kemarahan dalam Teks III,5(1)-(4). Karena kemarahan menyebabkan ancaman yang demikian menakutkan pada kesejahteraan seseorang, Sang Buddha mengemukakan berbagai metode untuk melenyapkan kemarahan. Dalam Teks III,6(1) beliau mengajarkan sepuluh kesempatan ketika kekesalan seharusnya dihilangkan, berpasangan dengan sepuluh landasan kekesalan. Kemudian, dalam III,6(2) beliau menganjurkan lima metode untuk menghilangkan kemarahan. Dalam Teks III,6(3), siswa utama Sāriputta menjelaskan lima metode lain untuk mengatasi kemarahan.

Mendasari beranekaragam teknik yang dilakukan dalam menghadapi kemarahan terdapat satu kebaikan utama, kesabaran (khanti), di mana Sang Buddha menyebutnya sebagai pertapaan tertinggi.[1] Kesabaran adalah metode untuk menyembuhkan pikiran dari kemarahan dan kualitas yang muncul ketika kemarahan telah sepenuhnya ditaklukkan. Dalam Teks III,7(1) Sang Buddha mengajarkan para siswanya untuk tetap bersabar ketika mereka diserang oleh kata-kata yang menusuk; bahkan lebih lanjut, beliau mengatakan, “jika para penjahat memotong-motong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh kalian dengan gergaji bergagang dua,” kalian harus menahan kemarahan kalian dan melingkupi mereka dengan pikiran cinta kasih. Dalam Teks III,7(2) Sāriputta mengajarkan bagaimana seorang bhikkhu, ketika diserang dengan kata-kata kasar atau diserang dengan senjata, dapat mempertahankan kesabaran dengan menerapkan perenungan terhadap ketidakkekalan dan unsur-unsur materi. Sebuah kotbah yang dianggap berasal dari Sakka, raja para dewa – dimasukkan di sini sebagai Teks III,7(3) – membandingkan dua cara menghadapi celaan, cara seorang realis politis atau cara seorang idealis etis. Dalam kejadian ini, kusir surgawi Mātali mewakili realis politis, yang menganjurkan penghukuman terhadap musuh, sedangkan Sakka, sebagai raja yang baik, memuji kesabaran dan pengendalian diri.

Tantangan mempertahankan kesabaran juga ditemukan dengan meniru teladan-teladan yang patut diteladani. Oleh sebab itu, dalam bagian terakhir dari bab ini, saya memberikan kisah bagaimana tokoh-tokoh teladan menegakkan komitmen mereka dalam kesabaran di bawah keadaan-keadaan yang sulit. Teks III8(1)-(4) menunjukkan bagaimana Sang Buddha, bhikkhu misionaris Puṇṇa, siswa utama Sāriputta, dewa Sakka semuanya memunculkan kesabaran untuk bertahan terhadap para penentang mereka.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 11:57:14 AM
1. Membunuh Kemarahan

Sakka, raja para deva, mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, berdiri pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap?
Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih?
Apakah satu hal ini, O Gotama,
yang pembunuhannya engkau setujui?”

[Sang Bhagavā:]

“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap;
setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih;
Pembunuhan kemarahan, O Vāsava,
dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu:
inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia,
Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.”

(SN 11:21, CDB 337)

2. Tiga Jenis Orang

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Orang yang seperti garis yang digoreskan di batu, orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah, dan orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

(1) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di batu? Di sini, beberapa orang sering marah, dan kemarahannya bertahan untuk waktu yang lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di batu tidak akan cepat terhapus oleh angin dan air melainkan bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang sering marah, dan kemarahannya itu bertahan untuk waktu yang lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di batu.

(2) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah? Di sini, beberapa orang sering marah, tetapi kemarahannya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di tanah dengan cepat terhapus oleh angin dan air dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah.

(3) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di air? Di sini, beberapa orang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat terhadap lawannya, bergaul dengannya, dan menyapanya. Seperti halnya garis yang digoreskan di air yang dengan cepat lenyap dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, beberapa orang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat terhadap lawannya, bergaul dengannya, dan menyapanya. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 3:132, NDB 361–62)

3. Orang-Orang yang Bagaikan Ular Berbisa

“Para bhikkhu, ada empat jenis ular berbisa ini. Apakah empat ini? Ular yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; ular yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; ular yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan ular yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Ini adalah keempat jenis ular berbisa itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan ular-ular berbisa itu yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, tetapi kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan juga kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, dan juga kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang serupa dengan ular-ular berbisa itu yang terdapat di dunia.”

(AN 4:110, NDB 491–92)

4. Landasan-Landasan bagi Kekesalan

“Para bhikkhu, ada sepuluh landasan bagi kekesalan ini. Apakah sepuluh ini? (1) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (2) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (3) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (4) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (5) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (6) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (7) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (8 ) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (9) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (10) Dan seseorang menjadi marah tanpa alasan. Ini, para bhikkhu, adalah sepuluh landasan bagi kekesalan itu.”

(AN 10:79, NDB 1439)

5. Bahaya-Bahaya dalam Kemarahan dan Manfaat-Manfaat dalam Kesabaran

(1) Lima Bahaya

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidaksabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh banyak orang; ia menimbun permusuhan; ia memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah lima bahaya dalam ketidaksabaran.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang menyenangkan dan disukai oleh banyak orang; ia tidak menimbun permusuhan; ia tidak memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah lima manfaat dalam kesabaran.”

(AN 5:215, NDB 825)

(2) Lima Bahaya Lainnya

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidaksabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh banyak orang; ia kasar; ia penuh penyesalan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam ketidaksabaran.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang menyenangkan dan disukai oleh banyak orang; ia tidak kasar; ia tanpa penyesalan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam kesabaran.”

(AN 5:216, NDB 825)

(3) Tujuh Bahaya

“Para bhikkhu, ada tujuh hal ini yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia menjadi berpenampilan buruk!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada penampilan baik musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin mandi dengan baik, diminyaki dengan baik, dengan rambut dan janggutnya dicukur rapi, berpakaian putih, tetap saja ia berpenampilan buruk. Ini adalah hal pertama yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(2) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidur tidak lelap!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang ketika musuhnya tidur lelap. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin tidur di atas dipan beralaskan permadani, selimut, dan alas, dengan penutup dari kulit rusa, dengan kanopi dan guling di kedua sisinya, tetap saja ia tidak tidur lelap. Ini adalah hal kedua yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(3) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak berhasil!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada keberhasilan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, jika ia memperoleh apa yang berbahaya, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang bermanfaat,’ dan jika ia memperoleh apa yang bermanfaat, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang berbahaya.’ Ketika, dengan dikuasai kemarahan, ia memperoleh hal-hal yang bertentangan ini, hal-hal itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Ini adalah hal ketiga yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(4) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi kaya!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kekayaan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, raja-raja akan menyerahkan kepada bendahara kerajaan segala kekayaan yang telah ia peroleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan dengan kekuatan tangannya, yang didapatkan dengan keringat di keningnya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik. Ini adalah hal keempat yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(5) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi termasyhur!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kemasyhuran musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia kehilangan segala kemasyhuran yang telah ia peroleh melalui kewaspadaan. Ini adalah hal kelima yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(6) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak memiliki teman!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya memiliki teman. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan anggota keluarganya, menghindarinya dari jauh. Ini adalah hal keenam yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(7) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya pergi ke alam tujuan yang baik. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan masih dikuasai oleh kemarahan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ketujuh yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

“Ini adalah tujuh hal yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.”

(AN 7:64, NDB 1066–67)

(4) Dijauhi oleh Orang Lain

“Orang jenis apakah yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani? Di sini, seseorang mudah marah dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula … Seperti halnya sebatang kayu pohon tinduka yang terbakar menyala, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mendesis dan bergemercik bahkan lebih besar, demikian pula... Seperti halnya sebuah lubang kotoran, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan menjadi berbau lebih busuk, demikian pula, seseorang di sini mudah marah dan … memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Ia dapat menghinaku, memakiku, dan membahayakan aku.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diikuti, dan tidak boleh dilayani.

(dari AN 3:27, NDB 222)

6. Melenyapkan Kemarahan

(1) Sepuluh Cara Menghilangkan Kekesalan

“Para bhikkhu, ada sepuluh cara ini untuk melenyapkan kekesalan. Apakah sepuluh ini? (1) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (2) Dengan berpikir: ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (3) Dengan berpikir: ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (4) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak …’ (5) … ‘Mereka sedang bertindak …’ (6) … ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang menyenangkan dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (7) Dengan berpikir: ‘Mereka telah bertindak …’ (8 ) … ‘Mereka sedang bertindak …’ (9) … ‘Mereka akan bertindak demi keuntungan bagi orang yang tidak menyenangkan dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (10) Dan seseorang tidak menjadi marah tanpa alasan. Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh cara itu untuk melenyapkan kekesalan.”

(AN 10: 80, NDB 1440)

(2) Sang Buddha Mengajarkan Lima Cara

“Para bhikkhu, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Ia seharusnya mengembangkan cinta kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (2) Ia seharusnya mengembangkan belas kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (3) Ia harus mengembangkan keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (4) Ia harus mengabaikan orang yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (5) Ia harus menerapkan gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya; ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk.’ Dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

(AN 5:161, NDB 773–74)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 12:19:10 PM
(3) Sāriputta Mengajarkan Lima Cara

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu seharusnya sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Di sini, perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi perilaku ucapannya murni; seseorang seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (2) Perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni; seseorang juga seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (3) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga seharusnya melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (4) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan ia tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (5) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni, dan dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

(1) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmaninya tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni? Misalkan seorang bhikkhu pemakai jubah kain potongan melihat sepotong kain di tepi jalan. Ia akan menginjaknya dengan kaki kirinya, menghamparkannya dengan kaki kanannya, merobek bagian yang utuh, dan mengambilnya; demikian pula, ketika perilaku jasmani orang lain tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku jasmaninya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(2) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni? Misalkan terdapat sebuah kolam yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan terjun ke dalam kolam, menyingkirkan ganggang dan tanaman air dengan tangannya, meminum air dengan menangkupkan tangannya, dan kemudian pergi; demikian pula, ketika perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi perilaku jasmaninya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku ucapannya melainkan seharusnya memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(3) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan ada sedikit air dalam sebuah genangan. Kemudian seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan berpikir: ‘Ada sedikit air dalam genangan ini. Jika aku mencoba untuk meminumnya dengan menangkupkan tanganku atau menggunakan wadah, maka aku akan mengacaukannya, mengganggunya, dan membuatnya tidak dapat diminum. Biarlah aku merangkak dengan keempat tangan dan kaki, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi.’ Kemudian ia merangkak pada keempat tangan dan kakinya, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidakmurnian perilaku jasmani dan ucapannya, melainkan harus memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan.

(4) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan yang tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu? Misalkan seorang yang sakit, menderita, sakit keras sedang melakukan perjalan di sepanjang jalan raya, dan desa terakhir di belakangnya dan desa berikutnya di depannya keduanya berjauhan. Ia tidak akan memperoleh makanan dan obat-obatan yang sesuai atau perawat yang kompeten; ia tidak akan dapat bertemu kepala desa. Seorang lainnya yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya itu mungkin bertemu dengannya dan membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir: ‘Oh, semoga orang ini memperoleh makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan seorang perawat yang kompeten! Semoga ia dapat bertemu dengan kepala desa! Karena alasan apakah? Agar orang ini tidak menemui kemalangan dan bencana di sini.’ Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni, dan ia dari waktu ke waktu tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir, ‘Oh, semoga Yang Mulia ini meninggalkan perilaku buruk melalui jasmani dan mengembangkan perilaku baik melalui jasmani; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui ucapan dan mengembangkan perilaku baik melalui ucapan; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui pikiran dan mengembangkan perilaku baik melalui pikiran! Karena alasan apakah? Agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(5) “Bagaimanakah, teman-teman, seharusnya kekesalan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih, manis, dan sejuk, bersih, dengan tepian yang landai, sebuah tempat yang menyenangkan di bawah keteduhan berbagai pepohonan. Kemudian seseorang datang, dirundung dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Setelah terjun ke dalam kolam itu, ia akan mandi dan minum, dan kemudian, setelah keluar dari sana, ia akan duduk atau berbaring di bawah keteduhan sebatang pohon di sana. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya, memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya, dan memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu seharusnya dilenyapkan. Teman-teman, melalui seseorang yang menginspirasi keyakinan dalam berbagai cara, maka pikiran memperoleh keyakinan.

“Ini, teman-teman, adalah lima cara itu untuk melenyapkan kekesalan di mana seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

(AN 5:162, NDB 774–77)

7. Kesabaran di Bawah Provokasi

(1) Bersabar Ketika Dikritik

“Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih, para bhikkhu.

“Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: ‘Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah.’ Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: ‘Jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah!’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?”—“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya … Di sini, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa permusuhan.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih, para bhikkhu.

(dari MN 21, MLDB 221)

(2) Tanpa Balas Dendam

[Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:] “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu, ia memahami: ‘Perasaan menyakitkan ini yang muncul dari kontak-telinga telah muncul padaku. Yang bergantung, bukan tidak bergantung. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak.’ Kemudian ia melihat bahwa kontak adalah tidak kekal, bahwa perasaan adalah tidak kekal, bahwa persepsi adalah tidak kekal, bahwa aktivitas-aktivitas kehendak adalah tidak kekal, dan bahwa kesadaran adalah tidak kekal. Dan pikirannya, setelah menjadikan suatu unsur sebagai objek pendukungnya, masuk ke dalam [objek pendukung yang baru itu] dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan.

“Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: ‘Jasmani ini memiliki sifat sedemikian sehingga kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau dapat menyerangnya. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam “nasihat tentang perumpamaan gergaji”: “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang dua, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranku.” Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana persisnya ajaran para Buddha ini sedang dipraktikkan.’”

(dari MN 28, MLDB 279–80)

(3) Kesabaran Atas Hukuman

Sang Bhagavā berkata demikian: “Suatu ketika pada masa lampau, para bhikkhu, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada para asura sebagai berikut: ‘Teman-teman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, jika para asura menang dan para deva kalah, ikat Sakka, raja para deva, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di kota para asura.’ Dan Sakka, raja para deva, berkata kepada para deva Tāvatiṃsa sebagai berikut: ‘Teman-teman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, jika para deva menang dan para asura kalah, ikat Vepacitti, raja para asura, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di aula pertemuan Suddhamma.’

“Dalam perang itu, para bhikkhu, para deva menang dan para asura kalah. Maka para deva Tāvatiṃsa mengikat Vepacitti pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan membawanya ke hadapan Sakka di aula pertemuan Suddhamma. Ketika Sakka sedang memasuki dan meninggalkan aula pertemuan Suddhamma, Vepacitti, yang terikat keempat anggota tubuh dan lehernya, menghina dan mencercanya dengan kata-kata kasar. Kemudian, para bhikkhu, Mātali, si kusir berkata kepada Sakka, raja para deva, dalam syair:

“‘Ketika berhadapan secara langsung dengan Vepacitti
apakah, Maghavā, karena takut atau lemah
sehingga engkau menahankannya dengan begitu sabar,
mendengarkan kata-kata kasarnya?’

[Sakka:]

“‘Bukan karena takut atau lemah
sehingga aku bersabar terhadap Vepacitti.
Bagaimana mungkin seorang bijaksana sepertiku
terlibat pertempuran dengan orang bodoh?’

Mātali:

“‘Orang bodoh akan lebih banyak lagi melampiaskan kemarahannya
jika tidak ada seorang pun yang mengalahkannya.
Karena itu dengan hukuman yang keras
Sang bijaksana seharusnya mengendalikan orang bodoh.’

Sakka:

“‘Aku sendiri menganggap ini satu-satunya
cara untuk mengalahkan orang bodoh:
Ketika seseorang mengetahui bahwa musuhnya marah
ia harus dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaian.’

Mātali:

“‘Aku melihat cacat ini, O Vāsava,
dalam melatih menahan kesabaran:
Jika orang bodoh berpikir engkau demikian,
“Ia menahan sabar karena takut,”
si tolol akan lebih jauh lagi mengejarmu
Seperti yang dilakukan seekor banteng terhadap seseorang yang melarikan diri.’

Sakka:

“‘Biarlah apakah ia berpikir atau tidak berpikir,
“Ia menahan sabar karena takut,”
di antara tujuan yang berpuncak dalam kebaikan seseorang
tidak ditemukan yang lebih baik daripada kesabaran.

“‘Ketika seseorang memiliki kekuatan
dengan sabar menghadapi yang lemah,
mereka menyebutnya kesabaran tertinggi;
yang lemah harus selalu sabar.

“‘Mereka menyebut kekuatan itu sebagai tidak ada kekuatan sama sekali –
kekuatan yang merupakan kekuatan orang bodoh –
tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mencela seseorang
yang kuat karena dijaga oleh Dhamma.

“‘Seseorang yang membalas seorang pemarah dengan kemarahan
dengan cara demikian membuat segala sesuatu lebih buruk bagi dirinya sendiri.
Tanpa membalas seorang pemarah dengan kemarahan,
ia memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.

“‘Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak –
kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain –
ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah,
ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“‘Ketika ia mencapai kesembuhan bagi kedua belah pihak —
kesembuhan dirinya sendiri dan orang lain –
orang-orang yang menganggapnya bodoh
adalah tidak terampil dalam Dhamma.’”

“Demikianlah, para bhikkhu, jika Sakka, raja para deva, dapat memuji kesabaran dan kelembutan, maka seberapa layaknya hal ini bagi kalian, yang telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan sedemikian baik, untuk menjadi sabar dan lembut.”

(SN 11:4, CDB 321–23)

8. Teladan-Teladan Kesabaran

(1) Sang Buddha Menolak Umpatan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Pertapa Gotama.” Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?” – “Mereka datang berkunjung, Guru Gotama.” – “Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?” – “Aku melakukannya, Guru Gotama.” – “Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?” – “Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milik kami.”

“Demikian pula, brahmana, aku tidak mencaci siapa pun, tidak memarahi siapa pun, tidak mencerca siapa pun. Aku menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan makian yang engkau tujukan kepadaku. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya — ia dikatakan memakan makanan, memasuki pertukaran. Tetapi aku tidak memakan makananmu; aku tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!”

(SN 7:2, CDB 255–56)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 12:20:21 PM

(2) Semangat Berani Puṇṇa

[Sang Buddha berkata kepada bhikkhu Puṇṇa:] “Sekarang aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Bhante, aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tinju, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan bongkahan tanah, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tongkat.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tongkat, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tongkat, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan pisau, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, apakah yang akan engkau pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa malu dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari bagaimana agar kehidupan mereka dirampas dengan pisau. Tetapi aku telah menyebabkan kehidupanku dirampas dengan pisau bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian, engkau akan mampu berdiam di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

Kemudian, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan menjaga beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa pengasingan musim hujan, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati.[2] Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.

(dari MN 145, MLDB 1118–19)

(3) Auman Singa Sāriputta

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, aku telah menyelesaikan masa berdiam musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”

“Engkau boleh pergi, Sāriputta, sesukamu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi beliau dengan sisi kanannya menghadap beliau, dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta.”

“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.

Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi tempat tinggal demi tempat tinggal, [sambil menyerukan]: “Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sāriputta, salah satu dari para bhikkhu temanmu telah mengajukan keluhan terhadapmu bahwa memukulnya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni ke atas bumi – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah — namun bumi ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti bumi, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya sebuah kain lap yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun kain lap itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sehelai kain lap, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta buangan, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor banteng dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran banteng yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(8 ) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci—akan terusir, malu, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku terusir, malu, dan jijik oleh tubuh busuk ini.

(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.

“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian bhikkhu penuduh itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku yang dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping tepat di sana.”

“Aku akan memaafkannya, Bhante, jika ia meminta maaf kepadaku.”

(AN 9:11, NDB 1261–64)

(4) Sakka dan Yakkha Pemakan Kemarahan

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau sesosok yakkha cacat yang buruk rupa duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva. Kemudian, para deva Tāvatiṃsa mengetahui hal ini, menggerutu, dan mengeluhkan, dengan berkata: ‘Sungguh mengagumkan, tuan! Sungguh menakjubkan, tuan! Yakkha cacat yang buruk rupa ini duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva!’ Tetapi semakin para deva Tāvatiṃsa itu menggerutu dan mengeluhkan hal ini, yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.

“Kemudian, para bhikkhu, para deva Tāvatiṃsa itu mendatangi Sakka dan berkata kepadanya: ‘Di sini, Baginda, yakkha cacat yang buruk rupa telah menduduki tempat dudukmu … Tetapi semakin para deva menggerutu … yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.’ — Dia pasti yakkha pemakan kemarahan.’

“Kemudian, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mendekati yakkha pemakan kemarahan itu. Setelah mendekat, ia merapikan jubah atasnya di satu bahu, berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada yakkha itu, ia menyebutkan namanya tiga kali: ‘Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva! Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva!’ Semakin Sakka menyebutkan namanya, yakkha itu menjadi semakin buruk dan buruk dan menjadi lebih cacat hingga ia lenyap dari sana.

“Kemudian, para bhikkhu, setelah duduk di tempat duduknya sendiri, dengan memberikan instruksi kepada para deva Tāvatiṃsa, Sakka, raja para deva, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair ini:

“‘Aku tidak terganggu dalam pikiran,
ataupun tidak mudah terpengaruh oleh pusaran kemarahan.
Aku tidak pernah marah dalam waktu yang lama,
ataupun kemarahan tidak bertahan lama dalam diriku.

“‘Ketika aku marah, aku tidak mengucapkan kata-kata kasar
dan aku tidak memuji kebajikanku.
Aku menjaga diriku senantiasa terkendali baik
demi kebaikanku sendiri.’”

(SN 11:22, CDB 338–39)

Catatan Kaki:

[1] Dhp 184: Khantī paramaṃ tapo titikkhā.

[2] Pengetahuan tentang kehidupan lampau seseorang, pengetahuan tentang bagaimana orang lain meninggal dan terlahir kembali menurut kamma mereka, dan pengetahuan atas penghancuran noda-noda, yaitu, kearahantan.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 12:52:52 PM
IV. Ucapan yang Tepat

Pendahuluan

Salah satu ciri khusus manusia, yang membedakannya dari binatang, adalah kemampuannya untuk berbicara. Kata-kata dapat menciptakan permusuhan atau persahabatan, dapat memenangkan atau mengeraskan hati, dapat menipu orang lain atau membuka mereka pada jalur pemahaman yang baru. Perubahan sosial dalam sejarah telah difasilitasi oleh ucapan, apakah lisan atau tertulis: pikirkan saja pengaruh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Manifesto Komunis, Gettysburg Address oleh Lincoln, and pidato “I Have a Dream” oleh Martin Luther King. Dengan ucapan, gagasan-gagasan baru disebarluaskan, pengetahuan-pengetahuan baru dibagikan, dan cakrawala baru terbuka bagi penyelidikan umat manusia. Ucapan telah menyulut perang dan memelihara perdamaian. Semua harapan dan kerinduan hati manusia, dalam setiap lingkup kehidupan kolektif kita, telah menemukan ungkapannya melalui media ucapan.

Sehubungan dengan Dhamma, peranan ucapan adalah begitu penting sehingga Sang Buddha mengatakan salah satu dari dua kondisi untuk munculnya pandangan benar adalah “ucapan orang lain.”[1] Mengetahui peranan yang sangat penting dari ucapan, dalam jalan mulia berunsur delapan dan di antara sepuluh jalan perbuatan bermanfaat beliau menempatkan empat posisi pada ucapan: menghindari ucapan bohong, ucapan yang memecah belah, perkataan kasar, dan omong kosong – yang didefinisikan dalam Teks II,2(5) di atas.

Dalam Bagian IV, saya memperluas pembahasan sebelumnya dengan mengambil ucapan tepat sebagai topik yang terpisah secara tersendiri. Bab ini dimulai dengan dua sutta pendek tentang unsur pembentuk “ucapan yang diucapkan dengan baik” – Teks IV,1(1)-(2) – satu menyebutkan empat faktor, yang lain lima faktor. Karena keduanya tidak sepenuhnya berhubungan, faktor-faktor ucapan yang diucapkan dengan baik dapat ditambah melalui kelompok empat yang biasanya. Sang Buddha juga memberikan nasehat bagi mereka yang bermaksud mengadakan diskusi dan ikut serta dalam debat, yang merupakan hal yang umum di antara para pertapa dan komunitas monastik sezaman yang berkembang di India bagian utara. Ini biasanya berpusat di sekeliling seorang guru yang kharismatik. Para pengikut sekte-sekte lawan akan sering bertemu untuk berdiskusi dan memperdebatkan ajaran masing-masing. Seluruh taman dipersiapkan bagi para pertapa kelana untuk tinggal di sana dan berdiskusi pandangan-pandangan mereka, dan kota-kota yang lebih besar menyediakan sebuah aula debat di mana para pertapa akan berkumpul untuk berdebat.

Meskipun Sang Buddha berusaha menghindari perdebatan yang tidak bermanfaat yang dilakukan dengan tujuan mempermalukan orang lain dan memperkuat kebanggaan terhadap ajaran diri sendiri, tidak dapat dihindarkan bahwa ketika para bhikkhu berkelana di antara kota-kota di India bagian utara, mereka akan dilibatkan ke dalam diskusi dengan para brahmana, para filsuf, dan para pertapa dari pandangan yang berbeda. Untuk mempertahankan nama baik Dhamma, mereka harus mengetahui bagaimana melibatkan diri dalam debat. Salah satu kualifikasi siswa yang terlatih dengan baik adalah kemampuan “menjelaskan ajaran gurunya sendiri, mengajarkannya, menyatakannya, mengembangkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menjelaskannya, dan untuk menyanggah dengan seksama dengan penalaran ajaran-ajaran lain yang umum dan mengajarkan Dhamma yang bermanfaat.”[2] Dalam Teks IV,2 Sang Buddha menetapkan standar untuk digunakan para siswanya ketika terlibat dalam debat. Beliau membedakan di antara jenis-jenis pertanyaan yang berbeda yang dapat ditanyakan, menunjukkan bagaimana seseorang seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan menentukan sikap yang seharusnya dibawakan seseorang dalam debat. Ini diringkas dalam syair-syair penutup dari kutipan ini: orang bijaksana berkata tanpa pertengkaran atau kesombongan, mengucapkan ucapan yang dipraktekkan orang-orang mulia, dan berkata dengan cara yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.

Salah satu tugas seorang bhikkhu atau bhikkhuni adalah mengajarkan dan membabarkan Dhamma. Untuk menjalankan tugas ini secara efektif diperlukan untuk mengetahui bagaimana berkata kepada orang lain dengan cara yang akan membangunkan minat dan mempertahankan perhatian mereka. Keahlian dalam mengajar orang lain dapat dilihat sebagai suatu aspek dari “terampil dalam cara” (upāyakosalla). Dalam Teks IV,3, Sang Buddha menjelaskan lima contoh di mana suatu pembicaraan “disampaikan dengan salah” – semua kasus ketika subjek pembicaraan tidak sesuai dengan watak dan minat pendengarnya. Pembicaraan yang “disampaikan dengan benar” adalah pembicaraan yang pokok pembahasannya sesuai dengan watak dan minat pendengarnya. Namun pedoman ini seharusnya dilihat sebagai strategi sementara alih-alih yang mutlak; karena pasti terdapat kasus-kasus ketika, sebagai contoh, pembicaraan tentang moralitas mungkin apa yang perlu didengar oleh orang yang tidak bermoral, sedangkan pembicaraan tentang kedermawanan mungkin cara yang paling efektif untuk memotivasi orang yang pelit agar berubah hatinya dan mulai mempraktekkan kedermawanan.

Beberapa teks yang dimasukkan dalam bab ini mungkin memberi kejutan. Walaupun Sang Buddha menyoroti bahaya-bahaya dalam membuat perdebatan yang tidak perlu dan dalam memberikan pujian dan celaan dengan acak, tanpa penyelidikan – seperti yang dilakukan masing-masing dalam Teks IV,4 dan IV, 5 – beliau tidak memaksakan bahwa ucapan harus selalu manis dan menyenangkan bagi pendengarnya. Sebaliknya, beliau menyatakan seseorang seharusnya tanpa ragu mengkritik mereka yang pantas dikritik. Demikianlah dalam Teks IV,6 beliau menyatakan bahwa seseorang seharusnya mengucapkan pujian dan celaan ketika hal itu sesuai dengan situasinya, dan dalam Teks IV,7 beliau bahkan mengatakan bahwa “ketika seseorang mengetahui ucapan tajam yang terbuka adalah benar, tepat, dan bermanfaat, seseorang dapat mengucapkannya, dengan mengetahui waktu melakukannya.”

Menegur orang lain adalah suatu masalah yang mengganggu karena potensinya menyulut kebencian dan menabur benih-benih konflik. Namun demikian, ketahanan moral komunitas mana pun bergantung pada perilaku lurus para anggotanya, dan dengan demikian ketika para anggota menyimpang dari batasan-batasan kesopanan, menjadi kewajiban untuk mengendalikan mereka. Dalam tatanan monastik Buddhis, untuk melindungi integritas kelompok, sering diperlukan bagi seorang bhikkhu untuk menegur bhikkhu lainnya. Untuk mempertahankan kerukunan dan rasa hormat bersama selama proses teguran, dalam Teks IV,8, Sāriputta menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh orang yang bermaksud untuk menegur orang lain dan cara yang sesuai bagi subjek teguran untuk menanggapi kritik. Demikianlah meskipun kotbah-kotbah menekankan pentingnya mengembangkan sikap yang lembut dan berbelas kasih sebelum mengkritik orang lain, mereka tidak menganjurkan berkata kepada orang lain hanya dengan cara yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka menasehati seseorang untuk mengkritik orang lain ketika kritik itu diperlukan.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:03:36 PM
1. Ucapan yang Diucapkan dengan Baik

(1) Memiliki Empat Faktor

Sang Bhagavā berkata demikian: “Para bhikkhu, ketika ucapan memiliki empat faktor, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk, dan ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela di antara para bijaksana. Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hanya mengucapkan apa yang diucapkan dengan baik, bukan apa yang diucapkan dengan buruk. Ia hanya mengucapkan Dhamma, bukan non-Dhamma. Ia hanya mengucapkan apa yang menyenangkan, bukan apa yang tidak menyenangkan. Ia hanya mengucapkan apa yang benar, bukan apa yang salah. Ketika suatu ucapan memiliki keempat faktor ini, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk, dan ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela di antara para bijaksana.”

(dari Sn III,3; lihat juga SN 8:5, CDB 284–85)

(2) Memiliki Lima Faktor

“Para bhikkhu, ketika ucapan memiliki lima faktor, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana. Apakah lima ini? Ucapan itu diucapkan pada waktu yang tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan pikiran cinta kasih. Ketika ucapan memiliki kelima faktor ini, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana.”

(AN 5:198, NDB 816)

2. Mengadakan Diskusi

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab secara tegas dan ia tidak menjawab secara tegas; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab tanpa memberikan pembedaan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab tanpa mengajukan pertanyaan balasan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan dan ia tidak mengesampingkannya, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.[3]

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab secara tegas dan ia menjawab secara tegas; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab setelah memberikan pembedaan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab dengan mengajukan pertanyaan balasan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan dan ia mengesampingkannya, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia tidak bertahan dalam strateginya; jika ia tidak bertahan dalam pernyataan atas apa yang diketahui; jika ia tidak bertahan dalam prosedur, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.[4]

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia bertahan dalam strateginya; jika ia bertahan dalam pernyataan atas apa yang diketahui; jika ia bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia menjawab dengan cara menghindar, mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak menjawab dengan cara menghindar, tidak mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia membingungkan si penanya, menghancurkannya, mengejeknya, dan menangkapnya atas kesalahan kecil,[5] dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak membingungkan si penanya, tidak menghancurkannya, tidak mengejeknya, dan tidak menangkapnya atas kesalahan kecil, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai apakah memiliki kondisi pendukung atau tidak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang tidak mendengar dengan seksama tidak memiliki kondisi pendukung; seorang yang mendengar dengan seksama memiliki kondisi pendukung. Seorang yang memiliki kondisi pendukung secara langsung mengetahui satu hal, sepenuhnya memahami satu hal, meninggalkan satu hal, dan merealisasi satu hal. Dengan secara langsung mengetahui satu hal, dengan sepenuhnya memahami satu hal, dengan meninggalkan satu hal, dan dengan merealisasi satu hal, ia mencapai kebebasan benar.[6]

“Ini, para bhikkhu, adalah tujuan pembicaraan, tujuan diskusi, tujuan dari kondisi pendukung, tujuan mendengarkan dengan seksama, yaitu, pembebasan pikiran melalui ketidakmelekatan.”

Mereka yang berbicara dengan niat bertengkar,
kokoh dalam pendapat mereka, menggembung dengan keangkuhan,
tidak mulia, setelah menyerang moralitas,
mencari celah untuk menyerang satu sama lain.

Mereka saling bersenang ketika lawan mereka
berbicara dengan buruk dan melakukan kesalahan,
mereka bergembira dalam kebingungan dan kekalahannya;
tetapi para mulia tidak terlibat dalam pembicaraan demikian.

Jika seorang bijaksana ingin berbicara,
setelah mengetahui waktu yang tepat,
tanpa pertengkaran atau keangkuhan,
seorang bijaksana seharusnya mengucapkan
ucapan yang dipraktekkan para mulia,
yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.

Tidak kasar atau bersifat menyerang,
dengan pikiran tidak bangga,
ia berbicara bebas dari iri hati
berdasarkan pada pengetahuan benar.
Ia seharusnya menyetujui apa yang diungkapkan dengan benar
tetapi ia tidak seharusnya menyerang apa yang disampaikan dengan buruk.

Ia tidak boleh berlatih dalam mencari kesalahan
juga tidak menangkap kesalahan orang lain;
ia tidak seharusnya membingungkan dan menghancurkan lawannya,
ataupun tidak mengucapkan kata-kata dusta.
Sesungguhnya, suatu diskusi di antara orang-orang baik
adalah demi pengetahuan dan keyakinan.

Demikianlah cara orang mulia mendiskusikan hal-hal;
ini adalah diskusi para mulia.
Setelah memahami hal ini, orang bijaksana
tidak seharusnya menggembung melainkan mendiskusikan hal-hal.

(AN 3:67, NDB 287–89)

3. Berkata dengan Cara yang Tepat

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

“Sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”

(AN 5:157, NDB 770–72)

4. Jangan Membuat Percekcokan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Sangha, lima bahaya diharapkan baginya. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai; (2) ia jatuh dari apa yang telah ia capai; (3) suatu berita tentang keburukannya beredar; (4) ia meninggal dunia dalam kebingungan; dan (5) dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Saṅgha, lima bahaya ini dapat diharapkan baginya.”

(AN 5:212, NDB 823)

5. Memberikan Pujian dan Celaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

(AN 5:236, NDB 832–33)

6. Memuji ketika Pujian Diperlukan

Kemudian pengembara Potaliya mendekati Sang Bhagavā, dan bertukar salam dengan beliau. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Potaliya, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Seseorang lainnya memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu. (3) Seseorang lainnya lagi tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (4) Dan seseorang lainnya lagi mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Ini adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia. Sekarang, Potaliya, yang manakah di antara keempat jenis orang ini yang tampak bagimu sebagai yang paling unggul dan paling luhur?”

“Di antara keempat ini, Guru Gotama, yang tampak bagiku sebagai yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Guru Gotama, adalah keseimbangan.”

“Di antara keempat ini, Potaliya, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Potaliya, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.”

(AN 4:100, NDB 480–82)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:04:20 PM

7. Mengetahui Apa yang Dikatakan dan Bagaimana Mengatakannya

[Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:] “Dikatakan: ‘Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’ Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata tersamar adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apapun. Ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan bermanfaat, ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apapun. Ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan bermanfaat, ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’”

(dari MN 139, MLDB 1083–84)

8. Menegur Orang Lain

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu demikian: “Teman-teman, seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama seharusnya menegakkan lima hal dalam dirinya. Apakah lima ini? (1) Ia seharusnya mempertimbangkan: ‘Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; (2) aku akan berbicara dengan jujur, bukan dengan berbohong; (3) aku akan berbicara secara halus, bukan secara kasar; (4) aku akan berbicara dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; (5) aku akan berbicara dengan pikiran cinta kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama seharusnya menegakkan kelima hal ini dalam dirinya....

“Teman-teman, seseorang yang ditegur seharusnya kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan tanpa kemarahan. Jika orang lain menegurku—apakah pada waktu yang tepat atau pun pada waktu yang tidak tepat; apakah tentang apa yang benar atau pun tentang apa yang tidak benar; apakah secara halus atau pun secara kasar; apakah dalam cara yang bermanfaat atau pun dalam cara yang berbahaya; apakah dengan pikiran cinta kasih atau pun selagi memendam kebencian — aku seharusnya tetap kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan tanpa kemarahan. Jika aku mengetahui: ‘Ada kualitas demikian padaku,’ aku memberitahunya: ‘Hal ini ada. Kualitas ini ada padaku.’ Jika aku mengetahui: ‘Tidak ada kualitas demikian padaku,’ aku memberitahunya: ‘Hal ini tidak ada. Kualitas ini tidak ada padaku.’”

(dari AN 5:167, NDB 780–82)

Catatan Kaki:

[1] Parato ghosa. Kondisi lainnya adalah pengamatan seksama (yoniso manasikāra). Lihat AN 2:126 (NDB 178).

[2] Pernyataan ini muncul dalam DN II 104–5 (LDB 246–47), SN V 261–62 (CDB 1724–25), AN IV 310–11 (NDB 1214–15), dan Ud 63–64.

[3] Ini adalah empat cara merumuskan pertanyaan; lihat AN 4:42. Komentar menjelaskan: “(1) Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan tegas (ekaṃsavyākaṇanīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah mata tidak kekal?’ yang seharusnya dijawab dengan tegas dengan ‘Ya, ia tidak kekal.’ (2) Pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan (vibhajjavyākaraṇīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah yang tidak kekal adalah mata?’ yang seharusnya dijawab dengan memberikan pembedaan: ‘Tidak hanya mata, tetapi telinga, hidung, dst., juga tidak kekal.’ (3) Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan (paṭipucchāvyākaraṇīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah mata memiliki sifat yang sama dengan telinga?’ Seseorang seharusnya menjawab hal ini dengan bertanya, ‘Sehubungan dengan apa?’ Jika mereka menjawab. ‘Sehubungan dengan melihat,’ ia seharusnya menjawab tidak. Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan ketidakkekalan,’ seseorang seharusnya menjawab ya. (4) Pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan (ṭhapanīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah tubuh sama dengan jiwa?’ Ini seharusnya dikesampingkan tanpa menjawabnya, dengan mengatakan, ‘Ini tidak dinyatakan oleh Sang Tathāgata.’”

[4] Makna dari ungkapan-ungkapan ini tidak jelas. Terjemahan saya bergantung pada penjelasan yang diberikan dalam komentar. Untuk rinciannya, lihat NDB catatan no. 465, pp. 1654ff.

[5] Yaitu, ia menangkap suatu kesalahan kecil pada pihak lawan sebagai dalih untuk mengkritiknya.

[6] Komentar menjelaskan: “Ia secara langsung mengetahui satu hal, jalan mulia. Ia sepenuhnya memahami satu hal, kebenaran penderitaan. Ia meninggalkan satu hal, semua kualitas tidak bermanfaat. Ia merealisasi satu hal, buah kearahantan atau lenyapnya [nibbāna]. Dengan pengetahuan ia mencapai kebebasan benar, pembebasan melalui buah kearahantan.”
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:08:42 PM
V. Persahabatan yang Baik

Pendahuluan

Komunitas yang kuat bergantung pada hubungan personal antara para anggotanya, dan hubungan yang paling mendasar antara orang-orang di luar hubungan keluarga adalah hubungan persahabatan. Dengan Bagian V, seraya kita bergerak dari pelatihan personal, fokus dari bab-bab sebelumnya, menuju pengembangan hubungan interpersonal, kita secara alami memulai dengan persahabatan. Sang Buddha menempatkan penekanan khusus pada pemilihan sahabat seseorang, yang beliau lihat memiliki pengaruh mendalam pada perkembangan individu seseorang dan juga pada penciptaan komunitas yang rukun dan lurus secara etis. Persahabatan yang baik adalah penting tidak hanya karena ia bermanfaat bagi kita ketika sedang kesulitan, memuaskan naluri sosial kita, dan memperbesar lingkup kepedulian kita dari diri sendiri kepada orang lain. Ia penting karena persahabatan baik menanamkan dalam diri kita perasaan diskresi, kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, dan memilih [tindakan] yang dimuliakan dibandingkan [tindakan] yang praktis. Oleh sebab itu Sang Buddha mengatakan bahwa semua kualitas baik lainnya terbentang dari persahabatan baik, dan Maṅgala Sutta yang terkenal, yang menyebutkan tiga puluh dua berkah, memulai dari “menghindari orang-orang bodoh dan bergaul dengan orang bijaksana.”[1]

Saya memulai Bagian V dengan dua sutta pendek – Teks V,1(1)-(2) – yang menyebutkan kualitas-kualitas seorang sahabat baik. Yang pertama adalah bersifat umum, sedangkan yang kedua lebih khusus pada kehidupan monastik. Teks V,2 melanjutkan dengan jejak yang sama, tetapi menganalisis kualitas-kualitas seorang sahabat baik dengan lebih terperinci, dengan membedakan empat jenis “sahabat yang baik hati” dan menyebutkan kualitas khusus masing-masing. Teks V,3 dikutip dari sebuah kotbah yang disampaikan kepada seorang umat awam bernama Byagghapajja, yang bertanya kepada Sang Buddha tentang hal-hal yang “membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami pada kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan mendatang.” Sang Buddha menjawab dengan menjelaskan empat sumber manfaat bagi seorang umat awam pada kehidupan sekarang: inisiatif personal, perlindungan harta seseorang, persahabatan baik, dan kehidupan yang seimbang. Beliau melanjutkan hal ini dengan empat sumber manfaat pada kehidupan-kehidupan mendatang: keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Para sahabat di mana umat awam tersebut dianjurkan agar bergaul dengannya adalah mereka yang mendorong seseorang dalam empat kualitas yang sama itu. Demikianlah di mana faktor pertama, kedua, dan keempat yang dimasukkan di bawah kesejahteraan sementara semuanya berhubungan dengan memastikan keamanan ekonomi seseorang, persahabatan baik dimaksudkan untuk membangun suatu komitmen pada nilai-nilai yang kondusif pada kesejahteraan spiritual. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa walaupun persahabatan baik didaftarkan di bawah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan saat ini, dalam penyelidikannya ia sebenarnya berperan sebagai perangsang pada pengembangan spiritual dan dengan demikian menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan kebaikan sementara pada kehidupan sekarang dengan kesejahteraan jangka panjang pada kehidupan-kehidupan mendatang.

Kehidupan monastik dalam Buddhisme Awal kadangkala dibayangkan sebagai suatu petualangan sunyi di mana sang aspiran selalu “berdiam sendiri, mengundurkan diri, tekun, gigih, dan penuh tekad.”[2] Terdapat sesungguhnya teks-teks yang menyampaikan ungkapan demikian. Sebagai contoh, dalam syair demi syair, Khaggavisāṇa Sutta dari Suttanipāta menganjurkan pencari yang bersungguh-sungguh untuk meninggalkan keramaian dan “berkelana sendiri bagaikan tanduk badak” (eko care khaggavisāṇakappo). Dipertimbangkan secara tersendiri, teks-teks ini dapat dibaca menyetujui suatu versi kehidupan monastik yang sangat individualistik di mana semua pertemanan harus dihindari. Namun sebenarnya yang sebaliknya adalah model yang lazim. Sang Buddha menciptakan sebuah komunitas dari para pria dan wanita yang mencurahkan diri pada praktek ajarannya sepenuh waktu, dan seperti yang beliau anjurkan kepada orang-orang biasa untuk bergaul dengan para sahabat baik, beliau juga mengajarkan para monastik untuk mencari teman-teman baik dan para pembimbing dalam kehidupan spiritual. Beliau mengatakan bahwa seperti halnya fajar adalah pendahulu terbitnya matahari, demikianlah persahabatan baik adalah pendahulu munculnya jalan mulia berunsur delapan, “satu hal yang paling membantu bagi munculnya jalan mulia berunsur delapan”; dan, beliau menambahkan, tidak ada faktor lain yang demikian kondusif bagi munculnya sang jalan seperti halnya persahabatan baik.[3]

Dalam bagian ini saya telah memasukkan dua sutta yang menyoroti peranan persahabatan baik dalam kehidupan monastik. Dalam Teks V,4(1), ketika Ānanda mendatangi Sang Buddha dan menyatakan bahwa persahabatan baik adalah “setengah dari kehidupan spiritual,” Sang Bhagavā pertama-tama membatasinya dan kemudian memperbaikinya dengan menyatakan bahwa persahabatan baik adalah “keseluruhan kehidupan spiritual.” Dan dalam Teks V,4(2) beliau menjelaskan empat cara di mana bergaul dengan sahabat-sahabat baik dapat membawa pada masaknya faktor-faktor yang matang pada kebebasan kepada bhikkhu Meghiya yang keras kepala. Vinaya menunjukkan bagaimana persahabatan baik menjangkau sampai hubungan antara seorang guru pembimbing dan muridnya serta antara seorang guru dan siswanya. Mahāvagga menggambarkan secara sangat terperinci bagaimana para guru dan siswa mendukung satu sama lain dan merawat satu sama lain dalam menjalankan kehidupan spiritual, tetapi dalam kompilasi ini saya telah membatasi pemilihan saya pada teks-teks dari kumpulan sutta-sutta.[4]
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:16:02 PM
1. Kualitas-Kualitas Seorang Sahabat Sejati

(1) Tujuh Faktor

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki tujuh faktor. Apakah tujuh ini? (1) Ia memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Ia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Ia dengan sabar menahankan apa yang sulit ditahankan. (4) Ia mengungkapkan rahasianya kepadamu. (5) Ia menjaga rahasiamu. (6) Ia tidak meninggalkanmu ketika engkau berada dalam kesulitan. (7) Ia tidak dengan kasar merendahkanmu. Seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki ketujuh faktor ini.”

Seorang teman memberikan apa yang sulit diberikan,
dan ia melakukan apa yang sulit dilakukan.
Ia memaafkan engkau atas kata-katamu yang kasar
dan menahankan apa yang sulit ditahankan.

Ia memberitahukan rahasianya kepadamu,
namun ia menjaga rahasiamu.
Ia tidak meninggalkan engkau dalam kesulitan-kesulitan,
ataupun ia tidak dengan kasar merendahkanmu.

Seseorang di sini yang padanya
ketujuh kualitas ini ditemukan adalah seorang teman.
Seorang yang menginginkan teman
seharusnya mendatangi orang demikian.

(AN 7:36, NDB 1021–22)

(2) Tujuh Faktor Lainnya

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman bhikkhu yang memiliki tujuh kualitas; seseorang harus mendatanginya dan melayaninya bahkan jika ia mengusirmu. Apakah tujuh ini? (1) Ia menyenangkan dan disukai; (2) ia terhormat dan (3) dihargai; (4) ia adalah seorang pembabar; (5) ia dengan sabar menahankan apa yang diucapkan kepadanya; (6) ia memberikan khotbah yang mendalam; dan (7) ia tidak menganjurkan seseorang untuk melakukan apa yang salah.”

Ia disayangi, dihormati, dan dihargai,
seorang pembabar dan seorang yang menahankan ucapan;
ia memberikan khotbah yang mendalam dan tidak menganjurkan seseorang
untuk melakukan apa yang salah.

Orang ini di sini yang padanya
kualitas-kualitas ini ditemukan adalah seorang teman,
baik hati dan berbelas kasih.
Bahkan jika seseorang diusir olehnya,
ia yang menginginkan teman
seharusnya mendatangi orang seperti itu.

(AN 7:37, NDB 1022)

2. Empat Jenis Sahabat Baik

[Sang Buddha berkata kepada seorang pemuda bernama Sīgalaka:] “Anak muda, ada empat jenis teman yang baik hati: teman yang suka membantu, teman yang berbagi kebahagiaan dan penderitaan seseorang, teman yang menunjukkan apa yang baik, dan teman simpatik.

“Dalam empat hal seorang teman yang suka membantu dapat diketahui. Ia menjagamu ketika engkau lengah; ia menjaga hartamu ketika engkau lengah; ia adalah seorang pelindung ketika engkau ketakutan; dan ketika beberapa kebutuhan muncul, ia memberikan engkau dua kali dari jumlah yang diperlukan.

“Dalam empat hal seorang teman yang berbagi kebahagiaan dan penderitaan seseorang dapat diketahui. Ia mengungkapkan rahasianya kepadamu; ia menjaga rahasiamu; ia tidak meninggalkanmu ketika engkau dalam kesulitan; dan ia bahkan akan mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.

“Dalam empat hal seorang teman yang menunjukkan apa yang baik dapat diketahui. Ia mencegahmu melakukan kejahatan; ia menganjurkanmu melakukan kebaikan; ia memberitahukan apa yang belum pernah engkau dengar, dan ia menunjukkanmu jalan menuju alam surga.

“Dalam empat hal seorang teman simpatik dapat diketahui. Ia tidak bergembira di atas kemalanganmu; ia bergembira di atas keberuntunganmu; ia menghentikan mereka yang mencelamu; dan ia menghargai mereka yang memujimu.”

(dalam DN 31, LDB 465–66)

3. Persahabatan Baik dalam Kehidupan Berumah Tangga

“Apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka — apakah yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan moralitas yang matang — yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh apa pun mereka sempurna dalam keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan keyakinan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan perilaku bermoral; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kedermawanan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kebijaksanaan. Ini disebut pertemanan yang baik.”

(dari AN 8:54, NDB 1194–95)

4. Persahabatan Baik dalam Kehidupan Monastik

(1) Kepada Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā, ia memberi hormat kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, ini adalah setengah dari kehidupan suci, yaitu, persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik.”

“Tidak demikian, Ānanda! Tidak demikian, Ānanda! Ini adalah keseluruhan kehidupan suci, yaitu, persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik. Ketika seorang bhikkhu memiliki sahabat yang baik, seorang teman yang baik, saudara yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan.

“Dan bagaimanakah, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang sahabat yang baik, teman yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan kehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Adalah dengan cara ini, Ānanda, bahwa seorang bhikkhu yang memiliki seorang sahabat yang baik, teman yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan.

“Dengan metode berikut ini juga, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik: dengan mengandalkan aku sebagai seorang teman yang baik, Ānanda, maka makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran akan terbebas dari kelahiran; makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan akan terbebas dari penuaan; makhluk-makhluk yang tunduk pada kematian akan terbebas dari kematian; makhluk-makhluk yang tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan, akan terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan. Dengan metode ini juga, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik.”

(SN 45:2, CDB 1524–25)

(2) Ketika Seorang Bhikkhu Memiliki Sahabat Baik

“Meghiya, ketika kebebasan pikiran belum matang, lima hal mengarah pada kematangannya. Apakah lima ini? (1) Di sini, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal pertama yang mengarah pada kematangannya. (2) Kemudian, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha,[5] memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal kedua yang mengarah pada kematangannya. (3) Kemudian, seorang bhikkhu dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ketiga yang mengarah pada kematangannya. (4) Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal keempat yang mengarah pada kematangannya. (5) Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal kelima yang mengarah pada kematangannya.

“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bermoral, menjadi seorang yang berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha; bahwa ia akan dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran; bahwa ia akan membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan melatih kualitas-kualitas yang bermanfaat; bahwa ia akan menjadi bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

(dari AN 9:3, NDB 1249–50; lihat juga Ud 4.1)

Catatan Kaki:

[1] Sn 261: asevanā ca bālānaṃ paṇḍitānañ ca sevanā.

[2] Lihat, sebagai contoh, pengulangan dalam SN 22:35–36 dan SN 22:63–70.

[3] Untuk enam sutta berpasangan yang mengunggulkan peranan persahabatan baik dalam memfasilitasi pencapaian sang jalan, lihat SN 45:49 dan 45:56, SN 45:63 dan 45:70, serta SN 45:77 dan 45:80 (CDB pp. 1543–48).

[4] Tentang tugas bersama guru pembimbing dan muridnya, lihat khususnya Vin I 46–53 (BD 4:59–69).

[5] Aturan disiplin monastik.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:20:52 PM
VI. Kebaikan Diri Sendiri dan Kebaikan Orang Lain

Pendahuluan

Dalam Bagian VI kita bergerak melampaui persahabatan yang berpasangan untuk melihat bagaimana kitab-kitab Buddhisme Awal memperlakukan hubungan antara individu dan mereka yang muncul dalam lingkup pengaruhnya. Karena Sang Buddha terutama mengajar para monastik, teks-teks memprioritaskan kepentingan monastik, tetapi bahkan ini memiliki implikasi yang lebih luas. Pemilihan pertama, Teks VI,1, menarik suatu perbedaan antara orang bodoh dan orang bijaksana, dengan menegaskan bahwa orang bodoh – yang dibedakan oleh perilaku salah secara jasmani, ucapan, dan pikiran – adalah sebab semua bencana dan kemalangan, sedangkan orang bijaksana – yang dibedakan oleh perilaku baik secara jasmani, ucapan, dan pikiran – tidak membawa bencana dan kemalangan. Teks VI,2 melanjutkan sepanjang jejak yang sama, tetapi membedakan antara orang jahat dan orang baik berdasarkan sekumpulan kriteria yang secara eksplisit menunjuk pada pengaruh mereka masing-masing terhadap orang lain. Kriteria itu terdiri atas kualitas-kualitas kepribadian (yang dapat dianggap bersifat personal), para guru dan teman-teman mereka, keputusan mereka, cara mereka menasehati orang lain, ucapan mereka, perbuatan mereka, pandangan mereka, dan sikap mereka dalam memberi.

Beberapa teks awal mengatakan tentang keserakahan, kebencian, dan delusi sebagai akar-akar perbuatan tidak bermanfaat, dan lawan mereka sebagai akar-akar perbuatan bermanfaat. Dalam Teks VI,3, dalam sebuah percakapan dengan seorang brahmana, Sang Buddha membuat hubungan ini lebih spesifik. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan delusi bertindak demi penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan kemudian beliau menyatakan bahwa motivasi demikian mendasari perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang salah. Lebih lanjut, seseorang yang pikirannya dikuasai oleh keadaan-keadaan mental tidak dapat bahkan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, apalagi bertindak dengan benar. Namun ketika keadaan-keadaan mental ini ditinggalkan, seseorang kemudian dapat membuat pembedaan moral yang diperlukan dan bertindak demi manfaat diri sendiri dan orang lain.

Teks VI,4(1) membedakan empat jenis orang berdasarkan apakah mereka berlatih (1) demi kesejahteraan mereka sendiri tetapi bukan kesejahteraan orang lain; (2) demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan kesejahteraan mereka sendiri; (3) bukan demi kesejahteraan keduanya; dan (4) demi kesejahteraan keduanya. Sang Buddha memuji seseorang yang berlatih demi kesejahteraan keduanya sebagai “yang terkemuka, terbaik, terunggul, tertinggi, dan termulia di antara keempat orang ini.” Mungkin tampak aneh bahwa beliau menempatkan orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan kesejahteraan orang lain di atas orang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri, yang tampaknya secara langsung bertentangan dengan beberapa penafsiran cita-cita bodhisattva. Namun ketika niatnya disoroti, kontradiksi yang tampak menghilang.

Alasan untuk penempatan ini muncul dari Teks VI,4(2) dan VI,4(3), yang menyebutkan tentang empat jenis orang sehubungan dengan pelenyapan nafsu, kebencian, dan delusi, dan menjalankan lima aturan latihan. Ternyata bahwa orang yang mengabaikan kesejahteraannya sendiri adalah ia yang tidak berusaha mengatasi nafsu, kebencian, dan delusi dan tidak menjalankan lima pelatihan moral. Karena seseorang yang demikian akan terus-menerus bertindak dalam cengkeraman kekotoran dan terlibat dalam perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat, walaupun berniat baik, perbuatannya akhirnya membawa bahaya terhadap orang lain juga.

Dua bagian berikutnya dalam bab ini, Teks VI,5 dan VI,6, menjelaskan dengan menunjuk pada bhikkhu dan umat awam, masing-masing, bagaimana seseorang memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Kedua bagian menghubungkan gagasan “memberi manfaat kepada orang lain” dengan mengajar dan membimbing orang lain dalam Dhamma. Akhirnya, dalam Teks VI,7, Sang Buddha menyatakan seseorang dengan kebijaksanaan besar adalah seseorang yang memikirkan “kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia.” Kotbah-kotbah seperti ini pastinya menunjukkan bahwa perspektif altruistik telah menyatu dalam Buddhisme Awal, dan bahwa Mahāyāna hanya memberikan lebih banyak penekanan pada sikap ini, mungkin sebagai reaksi pada kecenderungan kemunduran yang muncul di antara beberapa aliran yang berkembang dari ajaran-ajaran awal.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:29:12 PM
1. Orang Bodoh dan Bijaksana

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas seharusnya dikenali sebagai seorang bodoh. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Seorang yang memiliki ketiga kualitas ini seharusnya dikenali sebagai seorang bodoh. Seorang yang memiliki tiga kualitas seharusnya dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Seorang yang memiliki ketiga kualitas ini seharusnya dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Bahaya apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Bencana apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Kemalangan apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Seperti halnya api yang memercik dalam sebuah rumah yang terbuat dari tanaman rambat atau rerumputan akan membakar bahkan sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup; demikian pula, bahaya apa pun yang muncul … semuanya muncul karena orang bodoh, bukan karena orang bijaksana; orang bodoh membawa bahaya, orang bijaksana tidak membawa bahaya; orang bodoh membawa bencana, orang bijaksana tidak membawa bencana; orang bodoh membawa kemalangan, orang bijaksana tidak membawa kemalangan. Tidak ada bahaya dari orang bijaksana; tidak ada bencana dari orang bijaksana; tidak ada kemalangan dari orang bijaksana.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari tiga kualitas yang membuat seseorang dikenal sebagai seorang bodoh, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan tiga kualitas yang membuat seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih.”

(AN 3:1–2, NDB 201–2)

2. Orang Jahat dan Orang Baik

“Para bhikkhu, seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk; ia bergaul seperti seorang jahat, ia berkehendak seperti seorang jahat, ia memberikan nasihat seperti seorang jahat, ia berbicara seperti seorang jahat, ia bertindak seperti seorang jahat, ia menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat, dan ia memberikan persembahan seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk? Di sini seorang jahat tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; ia tidak terpelajar, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk.

“Dan bagaimanakah seorang jahat bergaul seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat berteman dengan para pertapa dan brahmana yang tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; yang tidak terpelajar, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang jahat bergaul seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat berkehendak seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat menghendaki penderitaannya sendiri, menghendaki penderitaan makhluk lain, atau menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang jahat berkehendak seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memberikan nasihat seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, demi penderitaan makhluk lain, atau demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang jahat memberikan nasihat seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat berbicara seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat mengucapkan kebohongan, ucapan yang memecah belah, kata-kata kasar, dan omong kosong. Itu adalah bagaimana seorang jahat berbicara seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat bertindak seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan melakukan perbuatan seksual yang salah. Itu adalah bagaimana seorang jahat bertindak seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para pertapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang jahat menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memberikan persembahan seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat memberikan persembahan secara ceroboh, memberikan bukan dengan tangannya sendiri, memberikan tanpa menunjukkan penghormatan, memberikan apa yang seharusnya dibuang, memberikan dengan pandangan bahwa tidak ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang jahat memberikan persembahan seperti seorang jahat.

“Seorang jahat itu — yang memiliki kualitas-kualitas buruk demikian, yang bergaul seperti seorang jahat, berbicara seperti seorang jahat, bertindak seperti seorang jahat, menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat, dan memberikan persembahan seperti seorang jahat demikian — ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang jahat. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang jahat? Adalah neraka atau alam binatang....

“Para bhikkhu, seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik; ia bergaul seperti seorang baik, ia berkehendak seperti seorang baik, ia memberikan nasihat seperti seorang baik, ia berbicara seperti seorang baik, ia bertindak seperti seorang baik, ia menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik, dan ia memberikan persembahan seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik? Di sini seorang baik memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; ia terpelajar, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik bergaul seperti seorang baik? Di sini seorang baik berteman dengan para pertapa dan brahmana yang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; yang terpelajar, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang baik bergaul seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik berkehendak seperti seorang baik? Di sini seorang baik tidak menghendaki penderitaannya sendiri, tidak menghendaki penderitaan makhluk lain, dan tidak menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang baik berkehendak seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memberikan nasihat seperti seorang baik? Di sini seorang baik tidak memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, tidak demi penderitaan makhluk lain, dan tidak demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang baik memberikan nasihat seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik berbicara seperti seorang baik? Di sini seorang baik menghindari ucapan bohong, ucapan yang memecah belah, kata-kata kasar, dan omong kosong. Itu adalah bagaimana seorang baik berbicara seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik bertindak seperti seorang baik? Di sini seorang baik menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan seksual yang salah. Itu adalah bagaimana seorang baik bertindak seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik? Di sini seorang baik menganut pandangan seperti berikut: ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para pertapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang baik menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memberikan persembahan seperti seorang baik? Di sini seorang baik memberikan persembahan secara saksama, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan dengan menunjukkan penghormatan, memberikan persembahan yang berharga, memberikan dengan pandangan bahwa ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang baik memberikan persembahan seperti seorang baik.

“Seorang baik itu — yang memiliki kualitas-kualitas baik demikian, yang bergaul seperti seorang baik, berbicara seperti seorang baik, bertindak seperti seorang baik, menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik, dan memberikan persembahan seperti seorang baik demikian — ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang baik. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang baik? Kemuliaan di antara para dewa atau manusia.”

(dari MN 110, MLDB 892–95)

3. Akar-Akar Bahaya dan Manfaat bagi Diri Sendiri dan Orang Lain

Seorang brahmana pengembara tertentu mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat secara langsung, Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang dikuasai oleh keserakahan menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh keserakahan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang dikuasai oleh keserakahan tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Seseorang yang dikuasai oleh kebencian menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh kebencian melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang dikuasai oleh kebencian tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(3) “Seseorang yang dikuasai oleh delusi menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh delusi melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang dikuasai oleh delusi tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

(AN 3:54, NDB 250–51)

4. Empat Jenis Orang di Dunia

(1) Jenis Orang Terbaik

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

“Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain.

“Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini. Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini. Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini.

“Ini adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:95, NDB 476–77)

(2) Pelenyapan Nafsu, Kebencian, dan Delusi

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka, tetapi tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, juga tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, dan ia mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:96, NDB 477–78)

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:32:38 PM
(3) Lima Aturan Pelatihan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri menghindari membunuh tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh. Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia sendiri menghindari hubungan seksual yang salah tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah. Ia sendiri menghindari berbohong tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari berbohong. Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang itu sendiri tidak menghindari membunuh tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri tidak menghindari membunuh dan tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan dan tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan dan mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:99, NDB 479–80)

5. Bhikkhu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.”

(AN 5:20, NDB 639–40)

6. Umat Awam

Mahānāma orang Sakya bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; (2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral; (3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan; (4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu dan juga mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu; (5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati dan juga mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati; (6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar dan juga mendorong orang lain untuk mengingat ajaran; (7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat dan juga mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya; (8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma dan juga mendorong orang lain agar berlatih sesuai dengan Dhamma. Dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”

(dari AN 8:25, NDB 1155)

7. Orang dengan Kebijaksanaan Mulia

Seorang bhikkhu tertentu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dikatakan, Bhante, ‘seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia?”

“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Alih-alih, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia.”

(dari AN 4:186, NDB 555)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:42:52 PM
VII. Komunitas Intensional

Pendahuluan

Komunitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yang dapat kita sebut komunitas alami dan intensional. Sebuah komunitas alami adalah komunitas yang muncul secara spontan dari ikatan alami antara orang-orang. Dalam pengalaman konkrit, komunitas alami telah diberikan bersama dalam dunia kehidupan di mana kita tertanam. Kita tidak membentuk komunitas alami tetapi menemukan diri kita tenggelam di dalamnya, bahkan sejak lahir, sepenuhnya seperti seekor ikan yang tenggelam dalam lautan. Kehidupan kita sepenuhnya terjalin dengan komunitas alami, di mana kita tidak dapat terpisahkan darinya; hanya suatu batas yang mengambang dan berpori memisahkan diri personal dan komunitas alami. Komunitas intensional, sebaliknya, dibentuk dengan sengaja. Komunitas intensional membawa orang-orang bersama di bawah spanduk dari tujuan atau cita-cita bersama. Mereka biasanya menetapkan persyaratan-persyaratan bagi keanggotaannya dan diatur oleh aturan dan regulasi. Mereka tunduk pada keretakan dan harus memastikan bahwa para anggotanya tetap setia pada tujuan kelompok dan berperilaku dengan cara yang mendukung keberhasilannya. Komunitas yang demikian biasanya juga menetapkan batas-batas pelanggaran yang mengharuskan pengusiran dari kedudukannya.

Prinsip-prinsip yang mengatur suatu komunitas intensional adalah perhatian khusus bagi Sang Buddha karena beliau adalah pendiri suatu tatanan monastik yang membawa bersama-sama para pria dan wanita di bawah komitmen bersama dalam ajaran ini. Para anggota tatanan itu datang dari wilayah geografis yang berbeda, telah lahir dalam kasta yang berbeda, memiliki gagasan dan sikap yang sangat berbeda, dan bahkan berbicara dalam dialek yang berbeda. Beliau juga merupakan pembimbing sekumpulan para pengikut awam yang lebih besar yang tersebar sepanjang daerah yang membentang kira-kira dari Delhi saat ini sampai Bengal Barat. Demikianlah bagi Sang Buddha, mempertahankan kekompakan komunitas beliau adalah suatu tugas penting, yang terus-menerus ditantang oleh ketegangan-ketegangan dalam kehidupan komunal. Beliau mengetahui bahwa untuk memastikan bahwa ajaran beliau bertahan utuh, diperlukan untuk menetapkan aturan-aturan yang akan menentukan standar perilaku dan mendefinisikan prosedur-prosedur untuk melakukan urusan komunal. Dalam menghadapi tekanan yang memecah belah dan bahkan pemberontakan, beliau harus mempertahankan kerukunan dan menyembuhkan konflik-konflik, yang meledak beberapa kali dalam perjalanan karir pengajaran beliau.

Bagian VII terdiri dari teks-teks yang berhubungan dengan pengembangan dan pemeliharaan komunitas intensional. Meskipun kebanyakan teks yang dipilih memberikan referensi tertentu pada tatanan monastik, tujuan di belakang prinsip-prinsip ini tidak perlu terikat pada cara hidup monastik. Prinsip-prinsip yang mereka nyatakan dapat diadopsi oleh komunitas-komunitas lainnya dan disesuaikan dengan tujuannya.

Bab ini mulai dengan serangkaian kotbah pendek, Teks VII,1(1)-(5), yang membedakan lima jenis komunitas yang berlawanan – dangkal dan dalam, terpecah dan rukun, dan seterusnya – dengan memuji jenis-jenis komunitas yang pantas di atas yang tidak pantas.[1] Teks VII,2(1)-(3) membahas kekuatan-kekuatan penarik yang menarik orang-orang bersama dalam komunitas. Faktor umum disebutkan dalam VII,2(1): orang-orang bertemu dan bersatu “berdasarkan unsur-unsur.” Karena watak (adhimutti) mereka, orang-orang bersatu dengan mereka yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Kekuatan-kekuatan penarik juga membagi komunitas yang dihasilkan menjadi dua jenis: penyatuan yang buruk, yang bagaikan kotoran menyatu dengan kotoran atau ludah dengan ludah. Teks VII,2(2) menambatkan bersama sejumlah kotbah yang merincikan “unsur-unsur” di mana orang-orang bersatu karenanya, dengan menyebutkan kualitas-kualitas buruk dan kualitas-kualitas baik yang membawa orang-orang bersama. Dalam kotbah lain yang tidak dimasukkan di sini (SN 14:15), Sang Buddha menunjukkan bagaimana para bhikkhu yang condong pada kebijaksanaan berkumpul di sekeliling Sāriputta; mereka yang condong pada kekuatan batin berkumpul di sekeliling Moggallāna; mereka yang tertarik dalam disiplin monastik berkumpul di sekeliling Upāli; mereka yang cenderung pada praktek keras berkumpul di sekeliling Mahākassapa; dan mereka yang memiliki keinginan jahat berkumpul di sekeliling Devadatta, sepupu Sang Buddha yang ambisius.

Suatu kumpulan prinsip untuk membangun komunitas yang sehat adalah empat saṅgahavatthu, sebuah istilah yang dapat diterjemahkan sebagai “empat cara merangkul orang lain” atau “empat cara daya tarik atau dukungan.” Ini awalnya ditetapkan sebagai metode di mana seseorang dapat membangun suatu jaringan persahabatan, tetapi mereka dapat juga digunakan untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang harmonis dalam suatu kelompok yang besar. Empat hal itu – yang digambarkan dalam Teks VII,2(3) – adalah memberi, ucapan yang penuh kasih sayang, perilaku yang bermurah hati, dan sikap tidak membeda-bedakan, yang terakhir ditafsirkan sebagai cara memperlakukan orang lain sama seperti diri sendiri. Kumpulan tertentu ini, anehnya, disebutkan hanya dalam sedikit kesempatan dalam kitab-kitab Buddhisme Awal. Mereka mendapatkan lebih banyak perhatian dalam sūtra-sūtra Mahāyāna dan ulasan-ulasannya, di mana keempat hal itu didaftarkan sebagai cara utama yang digunakan seorang bodhisattva untuk menarik orang lain dan mengubah mereka ke arah yang positif.

Ketika suatu komunitas intensional telah terbentuk, penting bagi keberhasilannya adalah masalah kepemimpinan. Selama masa kehidupan Sang Buddha sendiri, para pengikut beliau selalu melihat beliau sebagai standar otoritas dan dengan demikian kharisma personal beliau adalah cukup bagi para siswa untuk menerima instruksi-instruksi beliau sebagai pengikat. Tetapi sebelum wafatnya, Sang Buddha menolak untuk menunjuk seorang pengganti personal, alih-alih mendorong para siswanya menganggap Dhamma dan Vinaya sebagai guru dan standar otoritas mereka: “Mungkin, Ānanda, bahwa kalian berpikir: ‘Ajaran ini telah kehilangan gurunya. Kami tidak lagi memiliki seorang guru.’ Kalian tidak seharusnya berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan dan ditetapkan olehku akan menjadi guru kalian setelah aku tiada.”[2] Teks VII,3(1) menyatakan prinsip yang sama. Yang Mulia Ānanda ditanya oleh brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, bagaimana para bhikkhu tetap bersatu ketika guru mereka telah meninggal dunia. Ānanda menjawab bahwa walaupun Sang Buddha sudah tiada, mereka bukan tanpa pelindung, karena mereka masih memiliki Dhamma sebagai pelindung mereka.

Sebagai seorang pembuat aturan bagi komunitasnya, Sang Buddha menetapkan sekumpulan aturan terperinci bagi para bhikkhu dan bhikkhuni, yang secara seksama dijelaskan dan didefinisikan dalam Vinaya Piṭaka. Aturan-aturan pelatihan juga dimaksudkan untuk menyebarluaskan kerukunan dan harmoni, baik di antara komunitas monastik maupun di antara komunitas monastik dan umat awam. Ini dapat dilihat dalam Teks VII,3(2), yang menyebutkan sepuluh alasan Sang Buddha menetapkan suatu aturan pelatihan. Dua di antara sepuluh alasan itu menunjukkan bahwa aturan-aturan sebagian ditetapkan untuk menginspirasi keyakinan dalam diri para perumah tangga yang tanpa keyakinan dalam ajaran dan untuk memperkuat keyakinan para umat awam yang telah menerima Dhamma.

Vinaya Piṭaka tidak hanya mengandung penjelasan atas aturan-aturan monastik individual tetapi juga regulasi untuk melakukan tindakan komunal. Regulasi ini juga menyoroti perhatian Sang Buddha untuk menjaga kerukunan komunal. Agar suatu prosedur komunal menjadi sah bagi Sangha yang tinggal pada satu tempat tertentu, semua penghuninya (apakah tetap atau yang berkunjung) harus hadir atau, jika mereka tidak dapat ikut serta secara langsung (sebagai contoh, karena sakit), mereka harus memberikan persetujuan mereka agar prosedur itu berlangsung tanpa kehadirannya. Transaksi-transaksi dibagi menjadi empat kategori: mereka yang dapat disahkan hanya berdasarkan suatu pengumuman; mereka yang membutuhkan suatu usulan; mereka yang membutuhkan suatu usulan dan sebuah pernyataan; dan mereka yang membutuhkan suatu usulan dan tiga pernyataan. Tindakan-tindakan yang membutuhkan suatu prosedur yang lebih rumit dianggap lebih penting daripada mereka yang dapat dilewatkan dengan suatu prosedur yang lebih sederhana. Demikianlah suatu tindakan penahbisana, di mana seorang calon baru diterima dalam Sangha, dianggap suatu prosedur penting yang membutuhkan suatu usulan dan satu pernyataan. Selama prosedur itu, para anggota komunitas memberikan persetujuan mereka dengan tetap berdiam diri. Semua yang hadir diundang untuk menyuarakan keberatan apa pun selama proses itu, dan jika tidak ada keberatan, transaksi dinyatakan telah terjadi.[3]

Untuk memelihara kerukunan dalam komunitas monastik, Sang Buddha mengajarkan sekumpulan pedoman yang dikenal sebagai enam prinsip kerukunan (dhammā sāraṇīyā), yang dimasukkan di sini sebagai Teks VII,3(3). Prinsip-prinsip ini dipuji sebagai “yang membawa pada kasih sayang, penghormatan, kerukunan, harmoni, tanpa perselisihan, dan persatuan.” Mulanya dimaksudkan untuk tatanan monastik, dengan perubahan yang sesuai mereka dapat diadopsi oleh komunitas intensional lainnya. Mereka menekankan kebaikan yang bersifat timbal-balik, perilaku baik, dan berbagi perolehan bersama membuat mereka sebuah penangkal kuat bagi individualisme, dan sifat mementingkan diri sendiri yang dapat memecah belah komunitas dan menghancurkannya berkeping-keping. Dalam sebuah penafsiran yang diperluas, di mana teks itu mengatakan tentang berbagi bersama isi mangkuk dana makanan, ini dapat dipahami menyatakan pembagian bersama sumber-sumber daya dan pembagian kembali pendapatan untuk menghilangkan kesenjangan kesejahteraan yang menyolok. Di mana teks membicarakan tentang kerukunan pandangan, dalam masyarakat yang pluralistik ini dapat ditafsirkan sebagai saling menghormati dan toleransi di antara mereka yang menganut pandangan-pandangan yang beranekaragam. Sepuluh prinsip kerukunan tambahan, yang dengan sama digambarkan tetapi dengan fokus yang lebih bersifat monastik, diajarkan dalam Teks VII,3(4).

Seperti lazimnya di India selama masa beliau, Sang Buddha kadangkala didatangi oleh para pemimpin masyarakat sipil dan meminta nasehat tentang menyebarkan kekompakan dalam komunitas mereka sendiri. Sebagai jawaban beliau mengajarkan tujuh prinsip yang dirancang untuk memelihara kerukunan sosial. Locus classicus [suatu teks yang terkemuka atau paling otoritatif] untuk hal ini ditemukan dalam Teks VII,3(5), di mana beliau mengajarkan “tujuh kondisi untuk ketidakmunduran” kepada orang-orang Vajji, suatu konfederasi republik para bangsawan yang berpusat di sekeliling kota Vesālī yang maju. Tujuh kondisi itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa orang-orang Vajji dapat bertahan dalam tantangan-tantangan yang dilancarkan oleh kerajaan-kerajaan tetangga, terutama kerajaan Magadha, yang rajanya dengan gencar mengabsorpsi wilayah mereka ke dalam wilayah kekuasaannya. Pada kesempatan itu Sang Buddha memberikan pedoman yang mulanya dimaksudkan untuk masyarakat sipil dan kemudian, dengan perubahan yang sesuai, menetapkannya untuk tatanan monastik. Ini dilakukan dengan tujuh prinsip untuk ketidakmunduran dalam Teks VII,3(6), suatu versi yang sesuai dengan situasi para bhikkhu.

Teks berikutnya, VII,3(7), berhubungan dengan aspek khusus kehidupan komunal, kepedulian terhadap orang sakit. Di sini Sang Buddha menyebutkan lima kualitas yang diharapkan dari seorang perawat dan lima kualitas yang diharapkan dari seorang pasien. Walaupun beliau tampaknya mengatakan kepedulian terhadap orang sakit di sebuah vihara, di mana perawatan profesional umumnya tidak tersedia, kualitas-kualitas yang sama dapat berperan sebagai pedoman untuk merawat seorang pasien dalam kehidupan berumah tangga.

Seperti yang telah banyak diketahui, masyarakat India selama masa Sang Buddha dibedakan menjadi empat kasta atau tingkatan sosial, yang ditentukan berdasarkan kelahiran. Terdapat golongan khattiya (Sanskrit kshatriya), kasta bangsawan atau yang mengurus pemerintahan; brāhmaṇa, kasta pendeta; vessa (vaishya), para pedagang dan petani; dan sudda (śūdra), para pekerja kasar dan buruh lainnya. Di luar sistem kelas berunsur empat ini terdapat mereka yang tanpa status kasta, yang dikenal sebagai orang-orang buangan, orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan yang sangat rendah, seperti pengumpul sampah, pembersih kamar kecil, dan pekerja tempat kremasi. Dalam bab ini saya menyajikan sikap Sang Buddha terhadap kasta dalam tatanan monastik; dalam bab terakhir saya akan menghubungkan dengan pandangan Buddhis terhadap status kasta dalam masyarakat sekuler. Dalam tatanan monastik, Sang Buddha menganggap status kasta tidak relevan. Dalam Teks VII,4(1) beliau mengatakan bahwa, seperti halnya air dari sungai-sungai besar India, ketika sampai di samudera, melepaskan nama-nama sungai mereka dan hanya dikenal sebagai “air samudera,” demikian juga orang-orang dari semua keempat kasta yang bergabung dalam Sangha melepaskan status kasta mereka dan hanya dikenal sebagai para pengikut pertapa Sakya. Dalam Teks VII,4(2) beliau menyatakan bahwa orang-orang dari berbagai latar belakang kasta yang memasuki kehidupan tanpa rumah dapat mengembangkan suatu pikiran cinta kasih yang mulia dan, lebih lanjut lagi, dapat mencapai tujuan akhir, penghancuran semua kekotoran. Teks VII,4(3), yang disampaikan kepada Raja Pasenadi, menyatakan bahwa siapa pun yang meninggalkan lima rintangan batin dan mencapai lima kesempurnaan seorang arahant adalah ladang jasa yang tertinggi tanpa memperhatikan latar belakang kastanya.

Teks VII,5 memberikan suatu kisah luar biasa tentang sekelompok kecil bhikkhu yang tinggal bersama dalam persatuan yang sempurna, bercampur bagaikan susu dan air. Rahasia keberhasilan mereka, mereka katakan, adalah masing-masing mengesampingkan apa yang ia inginkan dan memperhatikan apa yang orang lain inginkan. Dengan cara yang demikian, walaupun mereka berbeda dalam tubuh, mereka adalah satu dalam pikiran.

Dalam masyarakat Buddhis, kerukunan penting tidak hanya di dalam komunitas umat awam dan tatanan monastik karena mereka melakukan urusan-urusan internal mereka secara terpisah, tetapi juga antara kedua komunitas dalam interaksi bersama mereka. Demikianlah bagian terakhir dari bab ini dicurahkan untuk kolaborasi antara komunitas umat awam dan monastik. Teks VII,6(1) menyatakan dengan tegas bahwa ajaran berkembang ketika dua cabang komunitas Buddhis mengetahui kewajiban khusus mereka satu sama lainnya dan saling mendukung dalam semangat penghargaan bersama. Tiga sutta berikutnya, Teks VII,6(2)-(4), menggambarkan hal ini dari kedua sudut pandang, dengan menunjukkan cara yang tepat bagi umat awam memperlakukan para monastik dan bagi para monastik memperlakukan umat awam. Harus diingat bahwa standar perilaku yang ditetapkan di sini mengandalkan kebudayaan India kuno di mana Buddhisme muncul darinya – suatu masa ketika umat awam jarang memiliki akses pada ajaran-ajaran yang lebih tinggi dan umumnya melakukan praktek-praktek kebajikan yang membawa pada kelahiran kembali di surga. Dalam dunia saat ini, ketika umat awam dapat mempelajari Dhamma dengan mendalam dan mengambil jangka waktu untuk praktek intensif, perubahan-perubahan dalam hubungan khusus ini akan secara alami mengikuti. Namun, jika kerukunan muncul di antara kedua komunitas, semangat penghormatan dan kebaikan yang membentuk hubungan ini harus tetap tidak berubah.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 01:52:44 PM
1. Jenis-Jenis Komunitas

(1) Dangkal dan Dalam

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas. Apakah dua ini? Komunitas dangkal dan komunitas dalam.

“Dan apakah komunitas dangkal? Komunitas di mana para bhikkhu gelisah, angkuh, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa arah, dengan perhatian yang kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan indera-indera yang kendur: ini disebut komunitas dangkal.

“Dan apakah komunitas dalam? Komunitas di mana para bhikkhu tidak gelisah, tidak angkuh, tidak tinggi hati, tidak banyak bicara, tidak berbicara tanpa arah, melainkan dengan perhatian yang kokoh, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan indera-indera yang terkendali: ini disebut komunitas dalam.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas dalam adalah yang terunggul.”

(AN 2:42, NDB 161)

(2) Terpecah dan Rukun

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas yang terpecah dan komunitas yang rukun.

“Dan apakah komunitas yang terpecah? Komunitas di mana para bhikkhu terbiasa berdebat dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam: ini disebut komunitas yang terpecah.

“Dan apakah komunitas yang rukun? Komunitas di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan kasih sayang: ini disebut komunitas yang rukun.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas yang rukun adalah yang terunggul.”

(AN 2:43, NDB 161)

(3) Rendah dan Unggul

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas orang-orang rendah dan komunitas orang-orang unggul.

“Dan apakah komunitas orang-orang rendah? Di sini, dalam komunitas jenis ini para bhikkhu senior hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kebiasaan-kebiasaan yang tercela, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Mereka pada generasi berikutnya mengikuti jejak mereka. Mereka juga hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kebiasaan-kebiasaan yang tercela, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut komunitas orang-orang rendah.

“Dan apakah komunitas orang-orang unggul? Di sini, dalam komunitas jenis ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan yang tercela dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Mereka pada generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan yang tercela dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut komunitas orang-orang unggul.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas orang-orang unggul adalah yang terunggul.”

(AN 2:44, NDB 161–62)

(4) Tidak Mulia dan Mulia

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas orang-orang tidak mulia dan komunitas orang-orang mulia.

“Dan apakah komunitas orang-orang tidak mulia? Komunitas di mana para bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini disebut komunitas orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah komunitas orang-orang mulia? Komunitas di mana para bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini disebut komunitas orang-orang mulia.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas orang-orang mulia adalah yang terunggul.”

(AN 2:45, NDB 162–63)

(5) Tidak Bajik dan Bajik

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas yang tidak bajik dan komunitas yang bajik.

“Dan apakah komunitas yang tidak bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma diajukan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak diajukan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin diajukan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak diajukan. Ini disebut komunitas yang tidak bajik. Adalah karena tidak bajik maka dalam komunitas ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan … dan tindakan disiplin yang sesuai dengan disiplin tidak diajukan.

“Dan apakah komunitas yang bajik? Di sini, dalam komunitas ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang sesuai Dhamma diajukan dan tindakan disiplin yang bertentangan Dhamma tidak diajukan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin diajukan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak diajukan. Ini, para bhikkhu, disebut komunitas yang bajik. Adalah karena bajik maka dalam komunitas ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan … dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak diajukan.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas yang bajik adalah yang terunggul.”

(AN 2:49, NDB 165–66)

2. Pembentukan Komunitas

(1) Bagaimana Makhluk-Makhluk Berkumpul dan Bersatu

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian. Bagaikan kotoran berkumpul dan bersatu dengan kotoran, air seni dengan air seni, air ludah dengan air ludah, nanah dengan nanah, dan darah dengan darah, demikian pula, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian. Bagaikan susu berkumpul dan bersatu dengan susu, minyak dengan minyak, ghee dengan ghee, madu dengan madu, dan sirop gula dengan sirop gula, demikian pula, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.”

(SN 14:16, CDB 640)

(2) Yang Sama Menarik yang Sama

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang kurang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang kurang berkeyakinan, mereka yang tidak memiliki rasa malu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah, mereka yang tidak terpelajar dengan mereka yang tidak terpelajar, mereka yang malas dengan mereka yang malas, mereka yang berpikiran kacau dengan mereka yang berpikiran kacau, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian; dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkeyakinan, mereka yang memiliki rasa malu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah, mereka yang terpelajar dengan mereka yang terpelajar, mereka yang bersemangat dengan mereka yang bersemangat, mereka yang penuh perhatian dengan mereka yang penuh perhatian, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Mereka yang membunuh makhluk-makhluk hidup berkumpul dan bersatu dengan mereka yang membunuh makhluk-makhluk hidup; mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan … yang melakukan perbuatan seksual yang salah … yang mengucapkan kebohongan … yang menikmati anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menikmati minuman memabukkan.

“Mereka yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; mereka yang menghindari mengambil apa yang tidak diberikan … menghindari perbuatan seksual yang salah … menghindari berbohong … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari minuman memabukkan.”

“Mereka yang berpandangan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan salah; mereka yang berkehendak salah … ucapan salah … perbuatan salah … penghidupan salah … usaha salah … perhatian salah … konsentrasi salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi salah.

“Mereka yang berpandangan benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan benar; mereka yang berkehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi benar.”

(SN 14:17, 14:25, 14:28; CDB 641, 644, 645)

(3) Empat Cara Merangkul Orang Lain

“Para bhikkhu, ada empat cara ini untuk merangkul orang lain. Apakah empat ini? Memberi, ucapan yang penuh kasih sayang, perilaku yang bermurah hati, dan sikap tidak membeda-bedakan. Ini adalah keempat cara untuk merangkul orang lain.”

Memberi, ucapan penuh kasih sayang,
perilaku bermurah hati, dan tidak membeda-bedakan
di bawah kondisi-kondisi duniawi yang beranekaragam,
sesuai dengan tiap-tiap kasus:
cara-cara merangkul orang lain ini
adalah bagaikan sumbu dari roda kereta yang berputar.

Jika tidak ada cara-cara merangkul orang lain seperti ini,
maka ibu atau ayah
tidak akan memperoleh penghargaan
dan penghormatan dari anak-anak mereka.

Tetapi ada cara-cara merangkul orang lain seperti ini,
maka orang-orang bijaksana menghormati mereka;
demikianlah mereka mencapai kemuliaan
dan sangat dipuji.

(AN 4:32, NDB 419–20)

3. Mempertahankan Komunitas

(1) Standar Otoritas

Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”[4]

“Tidak ada seorang bhikkhu pun, Brahmana, yang ditunjuk oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

“Tetapi, adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kita ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu pun, Brahmana, yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kita ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

“Tetapi jika engkau tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?”

“Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.”

“Engkau mengatakan, Guru Ānanda,bahwa kalian memiliki Dhamma sebagai perlindungan kalian. Bagaimanakah hal ini seharusnya dipahami?”

“Brahmana, Sang Bhagavā telah menetapkan aturan latihan bagi para bhikkhu dan beliau telah menetapkan Pātimokkha. Pada hari-hari uposatha[5] kami semua yang hidup dengan bergantung pada satu desa tertentu berkumpul bersama, dan ketika kami berkumpul kami memohon pada seseorang yang menguasai Pātimokkha untuk melafalkannya. Jika seorang bhikkhu mengingat suatu pelanggaran ketika Pātimokhha sedang dibacakan, maka kami menindaknya sesuai dengan Dhamma dengan cara yang telah diajarkan. Bukan para mulia yang mengatur kami; adalah Dhamma yang mengatur kami.”

(MN 108, MLDB 892–95)

(2) Alasan-Alasan bagi Aturan-Aturan Pelatihan

Yang Mulia Upāli mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, berdasarkan berapa banyak landasankah Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha?”
“Adalah, Upāli, berdasarkan sepuluh landasan Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha. Apakah sepuluh ini? (1) Demi kesejahteraan Saṅgha; (2) demi kenyamanan Saṅgha; (3) untuk menekan orang-orang yang membandel; (4) sehingga para bhikkhu yang berperilaku baik dapat berdiam dengan nyaman; (5) untuk mengendalikan noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan sekarang; (6) untuk menghalau noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; (7) agar mereka yang tanpa keyakinan dapat memperoleh keyakinan; dan (8 ) untuk meningkatkan keyakinan dari mereka yang berkeyakinan; (9) demi kelanjutan Dhamma sejati; dan (10) untuk memajukan disiplin. Adalah berdasarkan sepuluh landasan ini Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha.”

(AN 10:31, NDB 1387)

(3) Enam Prinsip Kerukunan

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui ucapan terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan atas pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …
“Ini, para bhikkhu, adalah enam prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan persatuan.”

(AN 6:12, NDB 866–67; lihat MN 48, MLDB 420–21)

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:08:48 PM
(4) Sepuluh Prinsip Kerukunan

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika mereka berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan, di mana beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, diskusi apakah yang sedang kalian lakukan barusan ketika kalian sedang duduk bersama di sini? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Bhante, setelah kami makan, ketika kembali dari perjalan menerima dana makanan, kami berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika kami berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk.”

“Para bhikkhu, tidaklah selayaknya bagi kalian, para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk.

“Ada, para bhikkhu, sepuluh prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan. Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Karena seorang bhikkhu bermoral … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna—ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Karena seorang bhikkhu telah banyak belajar … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik. Karena seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi; ia sabar dan menerima ajaran dengan hormat. Karena seorang bhikkhu mudah dikoreksi … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu terampil dan rajin dalam melakukan berbagai tugas yang harus dilakukan demi teman-temannya para bhikkhu; ia memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar. Karena seorang bhikkhu terampil dan rajin … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu menyukai Dhamma dan menyenangkan dalam pernyataan-pernyataannya, penuh dengan kegembiraan luhur yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin. Karena seorang bhikkhu menyukai Dhamma … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Karena seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(8) “Kemudian, seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Karena seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu penuh perhatian, memiliki perhatian dan kewaspadaan tertinggi, seorang yang mengingat apa yang telah dilakukan dan diucapkan yang telah lama berlalu. Karena seorang bhikkhu penuh perhatian … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(10) “Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Karena seorang bhikkhu bijaksana … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.”

(AN 10:50, NDB 1399–1401)

(5) Tujuh Kondisi bagi Kerukunan Sosial

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Tempat Pemujaan Sārandada. Kemudian sejumlah orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepada mereka sebagai berikut: “Aku akan mengajarkan kepada kalian, para Licchavi, tentang tujuh prinsip ketidakmunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para Licchavi itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Dan apakah, para Licchavi, tujuh prinsip ketidakmunduran itu?

(1) “Para Licchavi, selama para Vajji sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para Vajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Vajji dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para Vajji tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti prinsip-prinsip kuno Vajji seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para sesepuh Vajji dan berpikir bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan altar-altar tradisi, baik yang berada di dalam [kota] maupun di luar kota, dan tidak mengabaikan pengorbanan baik seperti yang dipersembahkan kepada altar-altar itu di masa lalu, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para Vajji memberikan perlindungan baik, naungan baik, dan penjagaan baik kepada para Arahant, [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar para Arahant yang belum datang ke sini dapat datang ke negeri kami, dan bagaimanakah agar para Arahant itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’ maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para Licchavi, selama ketujuh prinsip ketidakmunduran ini berlanjut di antara para Vajji, dan para Vajji terlihat kokoh di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

(AN 7:21, NDB 1009–10)

(6) Tujuh Kondisi bagi Kerukunan Monastik

Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidakmunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidakmunduran itu?

(1) “Selama para bhikkhu sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para bhikkhu berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Saṅgha dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para bhikkhu tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti aturan-aturan latihan seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para bhikkhu yang adalah para sesepuh, yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pembimbing Saṅgha, dan berpikir bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para bhikkhu tidak dikuasai oleh ketagihan yang telah muncul yang mengarah pada penjelmaan baru, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para bhikkhu bertekad untuk menetap di tempat-tempat tinggal di dalam hutan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para bhikkhu masing-masing menegakkan perhatian sehingga teman-teman para bhikkhu yang berperilaku baik yang belum datang dapat datang, dan dengan demikian para bhikkhu yang berperilaku baik itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidakmunduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat kokoh di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

(AN 7:23, NDB 1013–14)

(7) Melayani Orang Sakit

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia mampu mempersiapkan obat. (2) Ia mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, sehingga ia tidak memberikan apa yang berbahaya dan memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien dengan pikiran cinta kasih, bukan demi mendapatkan imbalan materi. (4) Ia tidak merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dengan khotbah Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien.

“Dengan memiliki lima kualitas lainnya, seorang pasien adalah mudah dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang bermanfaat. (2) Ia melakukan secukupnya apa yang bermanfaat. (3) Ia meminum obatnya. (4) Ia secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia memberitahukan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia dapat dengan sabar menahan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien adalah mudah dirawat.”

(AN 5:123–24 digabungkan, NDB 741–42)

4. Kasta adalah Tidak Relevan

(1) Bergabung Bagaikan Sungai-Sungai  dalam Samudera

“Seperti halnya, ketika sungai-sungai besar – Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū dan Mahī – mencapai samudra raya, sungai-sungai itu meninggalkan nama dan sebutannya dan hanya disebut sebagai samudra raya, demikian pula, ketika anggota-anggota dari empat kasta — khattiya, brahmana, vessa, dan sudda[6] — meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mereka meninggalkan nama dan suku sebelumnya dan hanya disebut sebagai para pertapa yang mengikuti putra Sakya.”

(dari AN 8:19, NDB 1144; Ud 5.5)

(2) Semua Dapat Merealisasikan Tujuan Tertinggi

“Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan. Jika seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang dari arah timur atau dari arah barat atau dari arah utara atau dari arah selatan atau dari manapun kalian inginkan, setelah mendatangi kolam itu ia akan memuaskan dahaganya dan demam cuaca panasnya. Demikian pula, para bhikkhu, jika siapapun dari kasta khattiya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, atau dari kasta brahmana atau dari kasta vessa atau dari kasta sudda, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang pertapa, aku katakan.

“Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta khattiya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, atau dari kasta brahmana atau dari kasta vessa atau dari kasta sudda, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang pertapa karena hancurnya noda-noda itu.

(dari MN 40, MLDB 374–75)

(3) Kriteria Kelayakan Spiritual

[Sang Buddha bertanya kepada Raja Pasenadi:] “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang tidak terlatih, tidak mahir, tidak cakap, tidak berpengalaman, cemas, ngeri, takut, cepat melarikan diri. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja tidak, Bhante.”

“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang tidak terlatih … cepat melarikan diri. Akankah engkau mempekerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?” – “Tentu saja tidak, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang terlatih, mahir, cakap, berpengalaman, berani, teguh, tegas, siap di tempatnya. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja, Bhante.”

“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang terlatih … siap di tempatnya. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja, Bhante.”

“Demikian pula, Baginda, ketika seseorang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tidak peduli dari suku apa, jika ia meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor, maka apa yang diberikan kepadanya akan menghasilkan buah besar. Lima faktor apakah yang telah ditinggalkan? Keinginan indria telah ditinggalkan; permusuhan telah ditinggalkan; kelambanan dan ketumpulan telah ditinggalkan; kegelisahan dan penyesalan telah ditinggalkan; keragu-raguan telah ditinggalkan. Apakah lima faktor yang ia miliki? Ia memiliki kelompok moralitas dari seseorang yang telah melampaui latihan, ia memiliki kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebebasan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Demikianlah apa yang diberikan kepada seorang yang telah meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor adalah menghasilkan buah besar.

“Bagaikan seorang raja yang bertekad untuk berperang
Akan mempekerjakan seorang pemuda yang terampil dengan busur,
Seorang yang memiliki kekuatan dan keberanian,
Tetapi bukan seorang pengecut sehubungan dengan kelahirannya —
Demikian pula walaupun ia berkelahiran rendah,
Seseorang seharusnya menghormati orang yang berperilaku mulia,
Seorang bijaksana yang padanya telah berkembang
Perilaku bermoral dari kesabaran dan kelembutan.”

(dari SN 3:24; CDB 190–91)


Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:10:02 PM
5. Teladan Kerukunan Monastik

Pada suatu kesempatan ketika Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Hutan Pohon Sāla Gosinga, Sang Bhagavā pergi mengunjungi mereka. Ketika mereka mendengar beliau telah tiba, ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luarNya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kakiNya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya cukup nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Kami dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, kami cukup nyaman, dan kami tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Bhante, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

“Bhante, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan perbuatan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan perbuatan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa aku tidak mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ Kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, tetapi kami satu dalam pikiran. Itu adalah bagaimana, Bhante, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Bagus, bagus! Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tentu saja, Bhante, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

“Bhante, sehubungan dengan hal itu, siapa pun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapa pun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apapun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia menyimpan tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seorang lainnya dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat kami terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

(dari MN 31, MLDB 301–2)

6. Para Monastik dan Umat Awam

(1) Saling Mendukung

“Para bhikkhu, para perumah tangga adalah sangat membantu bagi kalian. Mereka menyediakan kalian dengan kebutuhan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan pada waktu sakit. Dan kalian, para bhikkhu, adalah sangat membantu bagi para perumah tangga, karena kalian mengajarkan mereka Dhamma yang baik pada awalnya, pertengahannya, dan akhirnya, dengan makna dan ungkapan yang tepat, dan kalian menyatakan kehidupan spiritual dalam pemenuhan dan kemurnian sempurnanya. Demikianlah, para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalankan dengan saling mendukung demi tujuan menyeberangi banjir dan mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

(It §107)

(2) Seorang Tamu Keluarga-Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia memperlihatkan keakraban hanya terhadap yang dikenal; (2) ia memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia bergaul untuk tujuan menciptakan perpecahan; (4) ia berbisik di telinga; dan (5) ia mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas lainnya, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia tidak memperlihatkan keakraban hanya terhadap yang dikenal; (2) ia tidak memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia tidak bergaul untuk tujuan menciptakan perpecahan; (4) ia tidak berbisik di telinga; dan (5) ia tidak mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

(AN 5:111, NDB 736)

(3) Menunjukkan Belas Kasih kepada Umat Awam

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasih kepada para umat awam. Apakah lima ini? (1) Ia mendorong mereka sehubungan dengan perilaku bermoral. (2) Ia mengokohkan mereka dalam pemahaman Dhamma. (3) Ketika mereka sakit ia mendatangi mereka dan mengingatkan mereka untuk membangkitkan perhatian terhadap para arahant. (4) Ketika sekumpulan besar para bhikkhu tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri, ia mendatangi para umat awam dan memberitahu mereka: ‘Teman-teman, sekumpulan besar para bhikkhu telah tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri. Berbuatlah jasa. Ini adalah kesempatan untuk melakukan jasa.’ (5) Ia sendiri memakan makanan apa pun yang mereka berikan kepadanya, apakah kasar atau baik; ia tidak menghambur-hamburkan apa yang telah diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasih kepada para umat awam.”

(AN 5:235, NDB 832)

(4) Keluarga-Keluarga yang Layak Dikunjungi

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka. Apakah sembilan ini? (1) Mereka tidak bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka tidak memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka tidak mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Walaupun mereka memiliki banyak, namun mereka memberi sedikit. (6) Walaupun mereka memiliki benda-benda bagus, namun mereka memberikan benda-benda buruk. (7) Mereka memberi dengan tidak hormat, bukan dengan hormat. (8) Mereka tidak duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka tidak mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka. Apakah sembilan ini? (1) Mereka bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka tidak menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Jika mereka memiliki banyak, mereka memberi banyak. (6) Jika mereka memiliki benda-benda bagus, mereka memberikan benda-benda bagus. (7) Mereka memberi dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (8) Mereka duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka.”

(AN 9:17, NDB 1270–71)

Catata Kaki:

[1] Dalam bagian AN di mana kutipan-kutipan ini diambil, sepuluh pasang komunitas dijelaskan. Saya telah memilih lima ini sebagai yang paling berkaitan dengan tema buku ini.

[2] Lihat DN 16.6.1 (LDB 269–70).

[3] Untuk rinciannya, lihat Ṭhānissaro Bhikkhu, The Buddhist Monastic Code II, bab 12.

[4] Percakapan ini jelas terjadi setelah Sang Buddha meninggal dunia. Brahmana Vassakāra adalah perdana menteri Raja Ajātasattu dari Magadha. Mungkin ia bertanya kepada Ānanda tentang administrasi tatanan monastik karena ia menyadari kekerasan hebat yang terjadi dalam hak atas tahta. Ajātasattu telah memerintahkan ayahnya dieksekusi untuk mendapatkan kedudukan raja, dan ia pada gilirannya dibunuh oleh putranya sendiri.

[5] Uposatha, hari bulan purnama dan bulan baru, ketika para monastik berkumpul untuk melafalkan Pātimokkha, aturan monastik, dan umat awam sering mengambil pelatihan moralitas tambahan.

[6] Lebih dikenal dalam istilah Sanskrit kshatriya, brāhmaṇa, vaishya, dan śūdra.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:16:17 PM
VIII. Perselisihan

Pendahuluan

Karena komunitas-komunitas, apakah besar atau kecil, tersusun atas para manusia, mereka tak terhindarkan terkena ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh kelemahan manusia. Kecenderungan bawaan atas sikap membesarkan diri sendiri, keinginan terhadap keuntungan pribadi, sikap membenarkan diri sendiri, dan kemelekatan pada pendapat pribadi dapat membawa pada pembentukan faksi-faksi dan perselisihan dan bahkan memecah belah komunitas menjadi pecahan-pecahan kecil. Perselisihan demikian adalah pokok bahasan Bagian VIII, dan penyelesaian perselisihan menjadi pokok bahasan Bagian IX.

Kutipan-kutipan yang dimasukkan dalam Bagian VIII berhubungan dengan perselisihan di antara para monastik dan umat awam, yang mirip dalam beberapa hal tetapi berbeda dalam hal lain. Teks VIII,1 membawakan tema bab ini. Kita di sini melihat Sakka, raja para dewa, mendatangi Sang Buddha dan menanyakan beliau suatu pertanyaan sulit: “Ketika makhluk-makhluk semuanya ingin untuk hidup dalam kedamaian, mengapa mereka terus-menerus terlibat dalam konflik?” Jawaban Sang Buddha mengawali suatu percakapan yang mencari awal mula konflik sampai pada tingkatan yang semakin halus.

Dalam Teks VIII,2 bhikkhu senior Mahākaccāna menyatakan bahwa umat awam bertengkar satu sama lain karena kemelekatan mereka pada kesenangan indera sedangkan para pertapa bertengkar satu sama lain karena kemelekatan mereka pada pandangan-pandangan. Teks VIII,3-6 menggambarkan poin beliau: dua teks pertama dalam kelompok ini berhubungan dengan perselisihan di antara para perumah tangga dan dua yang terakhir dengan perselisihan di antara para pertapa. Meskipun tesis Mahākaccāna mungkin hanya benar sebagian, perjalanan sejarah sesungguhnya menunjukkan situasi yang lebih rumit. Telah terjadi perang antara bangsa-bangsa dan blok-blok regional terhadap ideologi-ideologi lawan – lihatlah Perang Dingin yang mengadu kapitalisme korporasi melawan komunisme, dan permusuhan yang terjadi saat ini antara Muslim Sunni dan Syiah. Pada pihak lain, demi tujuan kebutuhan materi mereka, pemberian tanah, dukungan dari para perumah tangga, serta nama baik dan kehormatan, para pertapa telah terlibat dalam konflik yang sengit satu sama lainnya dan bahkan telah mengajukan tuntutan hukum demi perolehan materi.

Karena Sang Buddha menempatkan Sangha – tatanan para bhikkhu dan bhikkhuni – pada inti komunitas spiritual, beliau menyadari bahwa umur panjang Dhamma bergantung pada kemampuan para siswanya yang telah ditahbiskan untuk mengendalikan konflik yang timbul dalam posisi mereka dan membangun kembali persatuan. Konflik benar-benar pecah, yang paling terkenal adalah pertengkaran yang memecah para bhikkhu dari Kosambī bersama dengan para pengikut awam mereka menjadi dua kelompok yang bermusuhan yang kebencian di antara mereka sedemikian kuat sehingga mereka menolak upaya Sang Buddha untuk menengahi, seperti yang terlihat dalam Teks VIII,7.[1]

Untuk mencegah perselisihan pecah dalam tatanan monastik, Sang Buddha mencurahkan beberapa kotbah pada permasalahan ini dan cara-cara menyelesaikannya ketika ia muncul. Dalam Teks VIII,8 beliau menunjukkan “enam akar perselisihan” (vivādamūla); karena lima faktor pertama muncul berpasangan, ketika mereka dihitung secara terpisah akar-akar perselisihan sebenarnya berjumlah sebelas. Mencegah perselisihan memerlukan para monastik melenyapkan akar-akar perselisihan yang dapat muncul di tengah-tengah mereka sebelum mereka memburuk menjadi perpecahan berskala besar.

Jika konflik-konflik menjadi lebih parah, mereka menyebabkan bahaya perpecahan yang lebih lanjut, perpecahan tatanan monastik ke dalam dua kelompok yang bermusuhan yang menolak untuk mengakui keabsahan tindakan pihak lainnya. Sang Buddha menganggap perpecahan dalam Sangha sebagai salah satu ancaman paling berat pada keberhasilan misi beliau. Oleh sebab itu saya menutup bagian ini dengan Teks VIII,9, yang menguntai bersama beberapa sutta pendek tentang kondisi-kondisi yang membawa pada perpecahan dalam Sangha dan akibat-akibatnya masing-masing bagi mereka yang menimbulkan perpecahan dan mereka yang mempersatukan suatu Sangha yang terpecah belah.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:25:24 PM
1. Mengapa Makhluk-Makhluk Hidup dalam Kebencian?

Sakka, raja para dewa, bertanya kepada Sang Bhagavā: “Makhluk-makhluk ingin hidup tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan; mereka ingin hidup dalam kedamaian. Namun mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh. Oleh belenggu-belenggu apakah mereka terikat, Tuan, sehingga mereka hidup dengan cara yang demikian?”

[Sang Bhagavā berkata:] “Raja para dewa, adalah belenggu kecemburuan dan kekikiran yang mengikat makhluk-makhluk sehingga, walaupun mereka berharap tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan, dan hidup dalam kedamaian, tetapi mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh.”

Sakka, yang bergembira, menyatakan: “Demikianlah, Sang Bhagavā, demikianlah, Yang Berbahagia! Melalui jawaban Sang Bhagavā aku telah mengatasi keragu-raguanku dan bebas dari ketidakpastian.” Kemudian Sakka, setelah menyatakan penghargaannya, bertanya pertanyaan lain: “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan kecemburuan dan kekikiran, apakah awal mulanya, bagaimanakah mereka lahir, bagaimanakah mereka muncul? Ketika apakah yang ada sehingga mereka muncul, dan ketika apakah yang tidak ada sehingga mereka tidak muncul?”

“Kecemburuan dan kekikiran muncul dari rasa suka dan tidak suka; ini adalah awal mulanya, ini adalah bagaimana mereka lahir, bagaimana mereka muncul. Dengan ini ada, mereka muncul, ketika ini tidak ada, mereka tidak muncul.”

“Tetapi, tuan, apakah yang memunculkan rasa suka dan tidak suka ... ? – “Mereka muncul dari keinginan ... “ – “Dan apakah yang memunculkan keinginan ... ?” – “Ia muncul dari pemikiran. Ketika pikiran berpikir tentang sesuatu, keinginan muncul; ketika pikiran tidak berpikir apa-apa, keinginan tidak muncul.” – “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan pemikiran ... ?”

“Pemikiran, raja para dewa, muncul dari persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang.[2] Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang ada, pemikiran muncul. Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang tidak ada, pemikiran tidak muncul.”

(dari DN 21, LDB 328–29)

2. Perselisihan di Antara Para Umat Awam, Perselisihan di Antara Para Pertapa

Seorang brahmana mendekati Yang Mulia Mahākaccāna dan bertanya kepadanya: “Mengapakah, Guru Kaccāna, para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria, belenggu pada nafsu pada kenikmatan indria, maka para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga.”

“Mengapakah, Guru Kaccāna, para pertapa berselisih dengan para pertapa?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan, belenggu pada pandangan-pandangan, maka para petapa berselisih dengan para petapa.”

“Kalau begitu adakah seseorang di dunia ini yang telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini?”

“Ada”

“Dan siapakah itu?”

“Di sebuah kota di sebelah timur yang disebut Sāvatthī, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sekarang sedang berdiam. Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, brahmana itu bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, menurunkan lututnya menyentuh tanah, dengan penuh hormat menghormat ke arah di mana Sang Bhagavā berada, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Sesungguhnya, Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”

(AN 2:37, NDB 157–58)

3. Konflik-Konflik Karena Kenikmatan Indria

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para bangsawan berselisih dengan para bangsawan, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah-tangga berselisih dengan perumah-tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

(dari MN 13, MLDB 181–82)

4. Berakar pada Ketagihan

“Aku akan mengajarkan kepada kalian, para bhikkhu, sembilan hal yang berakar pada ketagihan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.” – “Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah sembilan hal yang berakar pada ketagihan? (1) Dengan bergantung pada ketagihan terdapat pencarian. (2) Dengan bergantung pada pencarian terdapat perolehan. (3) Dengan bergantung pada perolehan terdapat pertimbangan. (4) Dengan bergantung pada pertimbangan terdapat keinginan dan nafsu. (5) Dengan bergantung pada keinginan dan nafsu terdapat kemelekatan. (6) Dengan bergantung pada kemelekatan terdapat kepemilikan. (7) Dengan bergantung pada kepemilikan terdapat kekikiran. (8) Dengan bergantung pada kekikiran terdapat penjagaan. (9) Dengan penjagaan sebagai landasan muncullah pengambilan tongkat pemukul dan senjata, pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan, tuduhan, ucapan memecah-belah, dan ucapan bohong, dan banyak hal-hal buruk yang tidak bermanfaat lainnya. Ini adalah sembilan hal yang berakar pada ketagihan.”[3]

(AN 9:23, NDB 1280)

5. Orang-Orang Buta dan Gajah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu sejumlah para pertapa dan brahmana, para pengembara dari sekte lain, sedang berdiam di sekitar Sāvatthī. Mereka menganut berbagai pandangan, kepercayaan, dan pendapat, dan menyebarluaskan berbagai pandangan. Dan mereka suka bertengkar, berdebat, berselisih, melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan, dengan mengatakan, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu! Dhamma bukan seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”

Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk berkeliling mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, duduk pada satu sisi, dan menceritakan kepada beliau apa yang telah mereka lihat. Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, para pengembara dari sekte lain adalah buta dan tidak berpenglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang merupakan Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, dan dengan demikian mereka suka bertengkar dan berdebat demikian.

“Pada masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang raja di Sāvatthī yang memerintahkan pelayannya untuk mengumpulkan semua orang di kota yang buta sejak lahir. Ketika pelayan itu telah melakukan demikian, raja memerintahkan pelayan itu untuk menunjukkan seekor gajah kepada orang-orang buta itu. Kepada beberapa orang buta ia memberikan kepala gajah itu, kepada beberapa orang telinganya, kepada yang lain sebuah gading, belalai, badan, kaki, bagian belakang, ekor, atau jambul pada ujung ekornya. Dan kepada masing-masing orang ia berkata, ‘Ini adalah seekor gajah.’

“Ketika ia melaporkan kepada raja apa yang telah ia lakukan, raja pergi menemui orang-orang buta itu dan bertanya kepada mereka: ‘Seperti apakah seekor gajah itu?’

“Mereka yang telah ditunjukkan kepalanya menjawab, ‘Seekor gajah, Baginda, adalah seperti sebuah kendi air.’ Mereka yang telah ditunjukkan telinganya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tampi.’ Mereka yang telah ditunjukkan gadingnya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah mata bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan belalainya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tiang bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan badannya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti gudang penyimpanan.’ Dan masing-masing yang lain dengan cara yang sama menggambarkan gajah sesuai dengan bagian yang telah ditunjukkan kepada mereka.

“Kemudian dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah bukan seperti itu! Seekor gajah bukan seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka berkelahi satu sama lain dengan kepalan tangan mereka. Dan raja menjadi gembira. Demikian juga, para bhikkhu, dengan para pengembara dari sekte lain yang buta dan tidak berpenglihatan, dan demikianlah mereka suka bertengkar, berdebat, dan berselisih, dengan melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan.”

(Ud 6.4)

6. Percekcokan di Antara Para Bhikkhu

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, aku merasa tidak nyaman untuk mengarahkan perhatianku ke sana, apalagi pergi ke sana. Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Apakah tiga hal yang telah ditinggalkan? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah ditinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, aku merasa nyaman untuk pergi ke sana, apalagi untuk mengarahkan perhatianku ke sana. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Apakah tiga hal yang telah mereka tinggalkan? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka tinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa permusuhan. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’”

(AN 3:124, NDB 354–55)

7. Pertengkaran di Kosambī

Pada suatu ketika para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada beliau, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Bhante, para bhikkhu di sini di Kosambi sedang bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi para bhikkhu itu demi belas kasih.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante, mohon Sang Bhagavā, Raja Dhamma, hidup dengan tenang menekuni kediaman yang nyaman di sini dan saat ini. Kamilah yang bertanggung-jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Untuk ke tiga kalinya bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante … Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk menerima dana makanan. Ketika beliau telah menerima dana makanan di Kosambi dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau merapikan tempat peristirahatannya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, dan sambil berdiri mengucapkan syair-syair ini:

“Ketika banyak suara berteriak sekaligus
tidak ada yang menganggap dirinya sendiri sebagai seorang bodoh;
walaupun Sangha sedang terpecah
tidak ada yang merasa dirinya bersalah.

Mereka telah melupakan ucapan bijaksana,
mereka berbicara dengan hanya dikuasai oleh kata-kata.
Dengan mulut tidak terkekang, mereka berteriak sesukanya;
tidak ada yang mengetahui apa yang membuat mereka bertindak demikian.

‘Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampasku’ –
pada mereka yang memendam pikiran-pikiran seperti ini
kebencian tidak akan pernah lenyap.

Karena di dunia ini kebencian tidak akan pernah
dilenyapkan melalui tindakan kebencian lebih lanjut.
Kebencian dilenyapkan oleh tanpa kebencian:
Ini adalah hukum yang tetap dan abadi.

Mereka tidak mengetahui
bahwa di sini kita harus mengendalikan diri sendiri.
Tetapi mereka yang bijaksana yang menyadari ini
seketika mengakhiri segala permusuhan mereka.

Para penghancur tulang-belulang dan para pembunuh,
mereka yang mencuri ternak, kuda, dan harta kekayaan,
mereka yang menjarah seluruh negeri —
bahkan orang-orang ini dapat bertindak bersama
mengapa kalian tidak dapat melakukan demikian juga?

Jika seseorang dapat menemukan teman yang layak,
seorang teman yang bermoral dan setia,
maka dengan mengatasi segala ancaman bahaya
dan berjalan bersamanya dengan puas dan penuh perhatian.

Tetapi jika seseorang tidak menemukan teman yang layak,
tidak ada teman yang bermoral dan setia,
maka bagaikan seorang raja meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya
berjalanlah sendirian bagaikan gajah di hutan.

Lebih baik berjalan sendirian,
tidak berteman dengan orang-orang bodoh.
Berjalan sendirian dan tidak melakukan kejahatan,
santai bagaikan gajah di hutan.

(dari MN 128, MLDB 1008–10)

8. Akar-Akar Perselisihan

“Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan. Ketika seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan dan kurang ajar … (3) … bersikap iri dan kikir … (4) … licik dan munafik … (5) … seorang yang memiliki keinginan jahat dan pandangan salah … (6) … seorang yang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Ketika seorang bhikkhu melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam akar perselisihan itu.”

(AN 6:36, NDB 898–99; MN 104, MLDB 854–55)

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:31:35 PM
9. Perpecahan dalam Sangha

Yang Mulia Upāli mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, duduk pada satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, dikatakan: ‘Perpecahan dalam Saṅgha, perpecahan dalam Saṅgha.’ Bagaimanakah, Bhante, terjadinya perpecahan dalam Saṅgha?”

“Di sini, Upāli, (1) para bhikkhu menjelaskan bukan-Dhamma sebagai Dhamma, (2) dan Dhamma sebagai bukan-Dhamma. (3) Mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai disiplin, dan (4) disiplin sebagai bukan-disiplin. (5) Mereka menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh beliau, dan (6) apa yang dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau. (7) Mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai dipraktikkan oleh beliau, dan (8) apa yang dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh beliau. (9) Mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai ditetapkan oleh Beliau, dan (10) apa yang ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak ditetapkan oleh Beliau. Atas sepuluh dasar ini mereka menarik diri dan berpisah. Mereka melakukan tindakan-tindakan resmi secara terpisah dan melafalkan Pātimokkha secara terpisah. Dengan cara inilah, Upāli, terjadi perpecahan dalam Saṅgha.”

“Bhante, dikatakan: ‘Kerukunan dalam Saṅgha, kerukunan dalam Saṅgha.’ Bagaimanakah terjadinya kerukunan dalam Saṅgha?”

“Di sini, Upāli, (1) para bhikkhu menjelaskan bukan-Dhamma sebagai bukan-Dhamma, dan (2) Dhamma sebagai Dhamma. (3) Mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin, dan (4) disiplin sebagai disiplin. (5) Mereka menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh beliau, dan (6) apa yang dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh beliau. (7) Mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh beliau, dan (8) apa yang dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai dipraktikkan oleh beliau. (9) Mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak ditetapkan oleh beliau, dan (10) apa yang ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai ditetapkan oleh beliau. Atas sepuluh dasar ini mereka tidak menarik diri dan tidak berpisah. Mereka tidak melakukan tindakan-tindakan resmi secara terpisah dan tidak melafalkan Pātimokkha secara terpisah. Dengan cara inilah, Upāli, terjadi kerukunan dalam Saṅgha.”

Pada kesempatan lain Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, ketika seseorang menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha yang rukun, apakah yang ia hasilkan?” – “Ia menghasilkan keburukan selama satu kappa.” – “Tetapi, Bhante, keburukan apakah itu yang berlangsung selama satu kappa?” – “Ia disiksa di neraka selama satu kappa.”

Seseorang yang menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha mengarah menuju kesengsaraan,
mengarah menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa.
Bersenang dalam perpecahan, kokoh dalam bukan-Dhamma,
ia jatuh dari keamanan dari belenggu.
Setelah menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha yang rukun,
ia disiksa di neraka selama satu kappa.

Kemudian Yang Mulia Ānanda bertanya: “Bhante, ketika seseorang merukunkan Saṅgha yang terpecah, apakah yang ia hasilkan?” – “Ia menghasilkan jasa surgawi, Ānanda.” – “Tetapi, Bhante, apakah jasa surgawi itu” – “Ia bergembira di surga selama satu kappa, Ānanda.”

Menyenangkan adalah kerukunan dalam Saṅgha,
dan saling membantu dari mereka yang hidup dalam kerukunan.
Bergembira dalam kerukunan, kokoh dalam Dhamma,
ia tidak jatuh dari keamanan dari belenggu.
Setelah membawakan kerukunan kepada Saṅgha,
ia berbahagia di surga selama satu kappa.

(AN 10:37–40 digabungkan, NDB 1389–91)

Catatan Kaki:

[1] Peristiwa lengkap tentang pertengkaran di Kosambī dikisahkan dalam Vinaya Piṭaka pada Mahāvagga, bab X; lihat BD 4:483–513. Lihat juga MN 48 dalam hubungan ini.

[2] Papañcasaññāsaṅkhā. Istilah yang penuh makna ini, yang tidak terdefinisi dalam Nikāya-Nikāya, tampaknya menunjuk pada persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang telah “terinfeksi” oleh prasangka-prasangka subjektif, “berkembang” oleh kecenderungan-kecenderungan pada ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan yang terdistorsi. Menurut komentar, ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan adalah tiga faktor yang bertanggung jawab atas pengembangan konseptual (papañca).

[3] Sembilan istilah yang berakar pada ketagihan, dengan penjelasan dari komentar dalam tanda kurung, adalah: (1) pariyesanā (mencari objek-objek seperti bentuk); (2) lābha (mendapatkan objek-objek seperti bentuk); (3) vinicchaya (memutuskan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan, bagus dan biasa, berapa banyak yang disimpan dan berapa banyak yang diberikan, berapa banyak yang digunakan dan berapa banyak yang dihemat, dst.); (4) chandarāga (masing-masing nafsu lemah dan nafsu kuat); (5) ajjhosāna (kepercayaan kuat pada “aku” dan “milikku”); (6) pariggaha (mengambil kepemilikan dengan cara ketagihan dan pandangan-pandangan); (7) macchariya (keengganan untuk berbagi dengan orang lain); (8) ārakkha (menjaga dengan berhati-hati); (9) daṇḍādāna, dst (mengambil senjata untuk melindungi dari orang lain).
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:35:55 PM
IX. Menyelesaikan Perselisihan

Pendahuluan

Sementara bab sebelumnya dicurahkan pada asal mula perselisihan, Bagian IX dicurahkan pada penyelesaian perselisihan. Jenis perselisihan yang paling mudah diselesaikan adalah antara dua orang yang berniat baik. Dalam kehidupan monastik perselisihan demikian sering berkembang di sekitar aturan-aturan disiplin. Demikianlah Teks IX,1 menunjukkan bahwa suatu perselisihan yang demikian dapat dihentikan sejak awalnya ketika kelompok yang bersalah mengakui pelanggarannya seperti demikian, dan penuduh menerima permintaan maafnya dan memaafkannya.

Setelah ini muncul sepasang sutta yang tampaknya telah diucapkan Sang Buddha pada masa tuanya, mungkin tepat pada akhir kehidupan beliau. Dalam Teks IX,2, beliau mengajarkan pedoman-pedoman untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atas penafsiran terhadap Dhamma. Penting di sini bahwa beliau menekankan makna ajaran di atas harfiahnya, yang beliau sebut “sepele”. Dalam kotbah yang sama beliau juga memberikan nasehat tentang menindak seorang pelanggar aturan. Beliau menegaskan bahwa, walaupun bhikkhu yang menegur mungkin menemukannya sulit untuk mengoreksi pelanggar itu, dan walaupun pelanggar itu mungkin terluka oleh teguran itu, sepanjang ia memiliki kesempatan apa pun untuk mengubah perilaku sang pelanggar dan membantunya “bangkit dari yang tidak bermanfaat dan berkembang dalam yang bermanfaat,” seseorang seharusnya memberitahukannya. Tetapi, Sang Buddha mengatakan, ketika tidak ada kesempatan mengubah perilaku sang pelanggar, dan berupaya untuk mengoreksinya hanya membuat situasi semakin buruk, “seseorang seharusnya tidak memandang rendah keseimbangan terhadap orang yang demikian.”

Teks IX,3, menurut pembukaannya, berawal mula tak lama setelah kematian Mahāvīra, pemimpin komunitas Jain, yang dikenal dalam Kanon Pāli sebagai Nātaputta. Setelah kematiannya para pengikutnya terpecah menjadi dua kubu yang saling menyerang dengan sengit. Kotbah itu di sini diucapkan oleh Sang Buddha untuk mencegah nasib yang sama menimpa komunitas beliau sendiri. Sang Buddha mendefinisikan ancaman utama terhadap keberhasilan ajaran beliau sebagai ketidaksepahaman atas tiga puluh tujuh faktor menuju pencerahan. Ketidaksepahaman tentang penghidupan dan aturan-aturan pelatihan, beliau mengatakan, adalah hal penting yang kedua. Dalam kotbah yang sama beliau menjelaskan bagaimana menyelesaikan perselisihan tentang Dhamma dan Vinaya. Dua metode pertama adalah menyelesaikan ketidaksepahaman di antara orang-orang yang berselisih dan membawakan ketidaksepahaman menuju komunitas yang lebih besar dan tunduk pada keputusan mayoritas. Metode terakhir, yang digunakan ketika metode lainnya gagal, adalah suatu prosedur yang disebut “menutupi dengan rumput.” Ini memungkinkan seorang bhikkhu yang mewakili dari masing-masing pihak yang berselisih untuk mengakui pelanggaran atas nama seluruh kelompok – dengan pengecualian yang dibuat untuk pelanggaran berat – tanpa menghiraukan rinciannya. Metode ini, yang membiarkan masa lalu menjadi masa lalu, menghindari perlunya untuk meninjau kembali keseluruhan latar belakang konflik, yang mungkin hanya menghidupkan kembali kebencian lama.

Teks IX,4(1) menekankan bahwa untuk mencegah masalah disiplin bergejolak dan menghasilkan perpecahan, para bhikkhu yang terlibat – baik orang yang melakukan pelanggaran maupun orang yang menegurnya – seharusnya merenungkan dalam diri mereka masing-masing, memadamkan permusuhan terhadap satu sama lain, dan mencapai perdamaian. Teks IX,4(2) menegaskan bahwa permasalahan disiplin seharusnya pertama-tama “diselesaikan secara internal,” dalam lingkaran pengikutnya sendiri, sehingga pertikaian tidak menyebar keluar dan melibatkan orang lain.

Sang Buddha sering menegaskan bahwa agar Sangha berkembang, para bhikkhu dan bhikkhuni harus terus-menerus memperbaiki, menasehati, dan mendorong satu sama lainnya. Sikap ideal, menurut Teks IX,5, ada tiga tahap: terbuka menerima koreksi dari orang lain; mau mengoreksi para pelanggar, bahkan seniornya sendiri, ketika diperlukan; dan siap untuk melakukan perbaikan atas pelanggarannya. Namun, menerima kritik dari orang lain dapat menyengat ego, yang menyulut perlawanan dan permusuhan. Untuk menyampaikan masalah ini, dalam Kotbah tentang Kesimpulan – yang dimasukkan di sini sebagai Teks IX,6 – Yang Mulia Moggallāna menyebutkan kualitas-kualitas yang membuat seorang bhikkhu bersifat melawan terhadap koreksi dan menjelaskan perlunya instrospeksi diri untuk melenyapkan kualitas-kualitas itu.

Konflik kadangkala pecah di antara para anggota komunitas umat awam dan tatanan monastik. Dalam beberapa hal Sang Buddha menyadari bahwa perilaku seorang umat awam mengundang ungkapan ketidaksetujuan dari Sangha; demikianlah beliau mengizinkan para bhikkhu untuk “membalikkan mangkuk makanan,” yaitu, menolak menerima persembahan dari seorang umat awam yang bersikap ofensif.[1] Kondisi-kondisi di mana suatu tindakan demikian diizinkan disebutkan dalam Teks IX,7(1). Juga diketahui bahwa para umat awam dapat membenarkan keluhan terhadap seorang bhikkhu yang tidak menjalankan standar disiplin yang diharapkan dari bhikkhu itu. Sebagai tanggapan, para umat awam diizinkan secara resmi menyatakan “kehilangan keyakinan” terhadap bhikkhu itu, kondisi-kondisi yang dijelaskan dalam Teks IX,7(2). Untuk memfasilitasi rekonsiliasi antara bhikkhu dan umat awam itu, Sangha dapat memutuskan bahwa seorang bhikkhu yang tidak patuh harus mendekati umat awam yang telah ia sakiti hatinya dan meminta maaf atas kelakukan buruknya, seperti yang ditunjukkan dalam Teks IX,7(3).

Empat aturan untuk para bhikkhu yang ditetapkan dalam Pātimokkha disebut Pārājika, “pelanggaran-pelanggaran [yang menyebabkan] pengusiran.” Ini adalah hubungan seks; pencurian (atas suatu barang di atas nilai batas tertentu); membunuh manusia; dan menyatakan pernyataan tidak benar atas pencapaian “keadaan adimanusiawi,” suatu kekuatan batin atau keadaan realisasi yang lebih tinggi. Seorang bhikkhu yang melanggar hal-hal ini tidak lagi dalam perkumpulan bersama para bhikkhu dan harus diusir dari Sangha.[2] Biasanya, para bhikkhu atau bhikkhuni yang jatuh dalam pelanggaran ini akan mengakui pelanggaran mereka dan dengan sukarela meninggalkan tatanan monastik. Tetapi terdapat kasus-kasus di mana sang pelanggar menyembunyikan pelanggarannya dan berusaha untuk bertindak sebagai seorang anggota monastik yang sah. Dalam kasus-kasus demikian Sang Buddha tidak segan-segan untuk memerintahkan para bhikkhu agar mengusir orang jahat itu.

Teks IX,8(1)-(2) berhubungan dengan suatu situasi yang demikian. Dalam teks pertama, Sang Buddha menetapkan prinsip-prinsip umum bahwa pembuat kesalahan yang menyatakan diri sebagai seorang bhikkhu biasa harus diusir. Ia bagaikan sekam di antara gandum. Teks kedua menggambarkan suatu kejadian di mana Sang Buddha menolak melafalkan Pātimokkha karena seorang jahat, “yang busuk di dalam, rusak, dan jahat,” sedang duduk di tengah-tengah perkumpulan. Moggallāna, yang menemukan si pembuat kesalahan dengan kekuatan batinnya, dengan paksaan mengusirnya dari aula dan mengunci pintu di belakangnya.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 02:43:18 PM
1. Mengakui dan Memaafkan

Suatu ketika dua orang bhikkhu bertengkar dan salah seorang bhikkhu telah melakukan pelanggaran terhadap yang lainnya. Kemudian bhikkhu pertama mengakui pelanggarannya kepada bhikkhu lainnya, namun bhikkhu kedua tidak memaafkannya. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā dan melaporkan kepada Beliau apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] “Para bhikkhu, ada dua jenis orang bodoh: seorang yang tidak melihat suatu pelanggaran sebagai pelanggaran; dan seorang yang, ketika orang lain mengakui pelanggaran, tidak memaafkannya. Ini adalah dua jenis orang bodoh. Ada dua jenis orang bijaksana: seorang yang melihat suatu pelanggaran sebagai pelanggaran; dan seorang yang, ketika orang lain mengakui pelanggaran, memaafkannya. Ini adalah dua jenis orang bijaksana.”

(SN 11:24, CDB 339)

2. Menyelesaikan Perbedaan Pendapat

“Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma.[3]
“Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu manapun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Kemudian bhikkhu manapun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

“Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang manapun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Kemudian bhikkhu yang manapun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

“Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang manapun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Kemudian bhikkhu yang manapun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

“Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang manapun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Kemudian bhikkhu yang manapun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

“Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran. Sekarang, para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak terbiasa menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

“Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu terbiasa menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

“Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak terbiasa menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

“Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu terbiasa menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

“Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu terbiasa menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

“Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, kekesalan, dan kesedihan. Maka bhikkhu yang manapun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, kekesalan, dan kesedihan. Jika Sang Guru mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Jika Sang Guru mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

“Kemudian bhikkhu yang manapun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, kekesalan, dan kesedihan. Jika Sang Guru mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Jika Sang Guru mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

“Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kokoh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(dari MN 103, MLDB 848–52)

3. Menyelesaikan Perselisihan dalam Sangha

Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Bhante, mengatakan bahwa guru Jain Nātaputta baru saja meninggal dunia.[4] Setelah kematiannya para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok, ditinggalkan tanpa perlindungan.’ Aku berpikir, Yang mulia: ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”

“Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinya — yaitu, empat penegakan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan — adakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”

“Tidak, Bhante, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Bhante, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”

“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.

“Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal ... [seperti dalam Teks VIII,8] ...  melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan....

“Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan [perkara disiplin] melalui kehadiran? Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Ketika  tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara disiplin itu harus diselesaikan sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara disiplin melalui kehadiran. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian beberapa perkara disiplin di sini dengan cara ini, dengan penghapusan melalui kehadiran.[5]

“Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan.[6] Ketika tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara disiplin itu harus diselesaikan sedemikian sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian beberapa perkara disiplin di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas....

“Dan bagaimanakah terjadinya menutupi dengan rumput? Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang pertapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Sangha yang mulia mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang pertapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutupi dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’

“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Sangha yang mulia mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang pertapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutupi dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian beberapa perkara disiplin di sini melalui menutupi dengan rumput.

(MN 104, MLDB 855–59)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 03:09:02 PM
4. Perselisihan dalam Disiplin

(1) Perlunya Refleksi Diri

“Para bhikkhu, jika, sehubungan dengan perkara disiplin tertentu, bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing tidak merefleksikan diri mereka, maka adalah mungkin bahwa perkara disiplin ini akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu tidak dapat berdiam dengan nyaman. Tetapi jika bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing dengan seksama merefleksikan diri mereka, maka adalah mungkin bahwa persoalan disiplin ini tidak akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman.

“Dan bagaimanakah bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran merefleksikan dirinya dengan seksama? Di sini, bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani. Bhikkhu itu melihatku melakukan hal itu. Jika aku tidak melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia tidak akan melihatku melakukan hal itu. Tetapi karena aku telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia melihatku melakukan hal itu. Ketika ia melihatku melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka ia menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka ia mengungkapkan ketidaksenangannya kepadaku. Karena ia mengungkapkan ketidaksenangannya kepadaku, maka aku menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka aku memberitahukan kepada orang lain. Demikianlah dalam hal ini adalah aku yang menimbulkan pelanggaran, seperti halnya apa yang dilakukan oleh seorang pelancong ketika ia menghindari pembayaran pajak atas barang-barangnya.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu itu yang telah melakukan pelanggaran merefleksikan dirinya dengan seksama.

“Dan bagaimanakah bhikkhu yang menegur merefleksikan dirinya dengan seksama? Di sini, bhikkhu yang menegur merefleksikan sebagai berikut: ‘Bhikkhu ini telah melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani. Aku melihatnya melakukan hal itu. Jika bhikkhu ini tidak melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka aku tidak akan melihatnya melakukan hal itu. Tetapi karena ia melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, maka aku melihatnya melakukan hal itu. Ketika aku melihatnya melakukan perbuatan buruk tidak bermanfaat tertentu melalui jasmani, aku menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka aku mengungkapkan ketidaksenanganku kepadanya. Karena aku mengungkapkan ketidaksenanganku kepadanya, maka ia menjadi tidak senang. Karena tidak senang, maka ia memberitahukan kepada orang lain. Demikianlah dalam hal ini adalah aku yang menimbulkan pelanggaran, seperti halnya apa yang dilakukan oleh seorang pelancong ketika ia menghindari pembayaran pajak atas barang-barangnya.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu yang menegur merefleksikan dirinya dengan seksama.

“Jika, para bhikkhu, sehubungan dengan perkara disiplin tertentu, bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing tidak merefleksikan diri mereka, maka adalah mungkin bahwa perkara disiplin ini akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu tidak dapat berdiam dengan nyaman. Tetapi jika bhikkhu yang telah melakukan suatu pelanggaran dan bhikkhu yang menegurnya masing-masing dengan seksama merefleksikan diri mereka, maka adalah mungkin bahwa persoalan disiplin ini tidak akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama dan para bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman.”

(AN 2:15, NDB 145–47)

(2) Menghindari Dendam

“Para bhikkhu, ketika, sehubungan dengan perkara disiplin, perdebatan kata-kata antara dua pihak, kekeras-kepalaan atas pandangan-pandangan, dan kebencian, ketidaksenangan, dan kejengkelan tidak diselesaikan secara internal,[7] maka adalah mungkin bahwa perkara disiplin ini akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama, dan para bhikkhu tidak akan berdiam dengan nyaman.

“Para bhikkhu, ketika, sehubungan dengan perkara disiplin, perdebatan kata-kata antara dua pihak, kekeras-kepalaan atas pandangan-pandangan, dan kebencian, ketidaksenangan, dan kejengkelan diselesaikan dengan baik secara internal, maka adalah mungkin bahwa perkara disiplin ini tidak akan mengarah pada dendam dan permusuhan dalam waktu yang lama, dan para bhikkhu akan berdiam dengan nyaman.”

(AN 2:63, NDB 170)

5. Saling Mengoreksi

“Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kepada kalian tentang keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan tentang keberdiaman bersama di antara orang-orang baik. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan bagaimanakah keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan bagaimanakah orang-orang jahat hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang bhikkhu senior — atau menengah atau bhikkhu junior — tidak boleh mengoreksiku. Aku tidak boleh mengoreksi seorang bhikkhu senior atau menengah atau bhikkhu junior. Jika seorang bhikkhu senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan merisaukannya, dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya. Jika seorang bhikkhu menengah mengoreksiku … Jika seorang bhikkhu junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan merisaukannya, dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’

“Seorang bhikkhu menengah juga berpikir … seorang bhikkhu junior juga berpikir: ‘Seorang bhikkhu senior — atau menengah atau bhikkhu junior — tidak boleh mengoreksiku. Aku tidak boleh mengoreksi seorang bhikkhu senior … dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’ Demikianlah keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan demikianlah orang-orang jahat hidup bersama.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keberdiaman bersama di antara orang-orang baik dan bagaimanakah orang-orang baik hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang bhikkhu senior — atau menengah atau bhikkhu junior — harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang bhikkhu senior atau menengah atau bhikkhu junior. Jika seorang bhikkhu senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan merisaukannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya. Jika seorang bhikkhu menengah mengoreksiku … Jika seorang bhikkhu junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan merisaukannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’

“Seorang bhikkhu menengah juga berpikir … seorang bhikkhu junior juga berpikir: ‘Seorang bhikkhu senior—atau menengah atau bhikkhu junior—harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang bhikkhu senior … dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’ Demikianlah keberdiaman bersama di antara orang-orang baik, dan demikianlah orang-orang baik hidup bersama.

(AN 2:62, NDB 168–70)

6. Menerima Koreksi dari Orang Lain

[Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada para bhikkhu:] “Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu berkata sebagai berikut: ‘Semoga para mulia mengoreksi aku, aku ingin dikoreksi oleh para mulia,’ namun jika ia sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dikoreksi, jika ia tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya tidak dikoreksi atau tidak diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang tidak dapat dipercaya.

“Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya sulit dikoreksi? (1) Di sini seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan-keinginan jahat; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dikoreksi. (2) Kemudian, seorang bhikkhu memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dikoreksi. (3) Kemudian, seorang bhikkhu marah dan dikuasai oleh kemarahan … (4) ... marah, dan kesal karena kemarahan … (5) ... marah, dan keras kepala karena kemarahan … (6) ... marah, dan ia mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan … (7) Kemudian, ketika ditegur,  ia menentang si penegur … (8) ... ketika ditegur, ia meremehkan si penegur … (9) ... ketika ditegur, ia balik menegur si penegur … (10) ... ketika ditegur, ia berbicara berputar-putar, mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan … (11) ... ketika ditegur, ia tidak memperbaiki perilakunya … (12) Kemudian, seorang bhikkhu merendahkan orang lain dan kurang ajar … (13) Kemudian, seorang bhikkhu iri dan tamak … (14) ... menipu dan curang … (15) ... keras kepala dan angkuh … (16) Kemudian, seorang bhikkhu melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dikoreksi. Ini disebut kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dikoreksi.

“Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu tidak berkata sebagai berikut: ‘Semoga para mulia mengoreksi aku, aku ingin dikoreksi oleh para mulia,’ namun jika ia mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi, jika ia sabar dan menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya dikoreksi atau diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang dapat dipercaya.

“Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya mudah dinasihati? (1) Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan jahat dan tidak dikuasai oleh keinginan jahat; ini adalah kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi. (2) Kemudian, seorang bhikkhu tidak memuji dirinya sendiri dan tidak mencela orang lain; ini adalah kualitas … (3) Kemudian, seorang bhikkhu tidak marah dan tidak membiarkan kemarahan menguasainya … (4) ... tidak marah dan tidak kesal karena kemarahan … (5) ... tidak marah dan tidak keras kepala karena kemarahan … (6) ... tidak marah, dan ia tidak mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan … (7) ... ketika ditegur, ia tidak menentang si penegur … (8) ... ketika ditegur, ia tidak meremehkan si penegur … (9) ... ketika ditegur, ia tidak balik menegur si penegur … (10) ... ketika ditegur, ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan … (11) ... ketika ditegur, ia memperbaiki perilakunya … (12) Kemudian, seorang bhikkhu tidak merendahkan orang lain dan tidak kurang ajar … (13) ... tidak iri-hati dan tidak tamak … (14) ... tidak menipu dan tidak curang … (15) ... tidak keras kepala dan tidak angkuh … (16) Kemudian, seorang bhikkhu tidak melekat pada pandangan-pandangannya sendiri atau menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan mudah; ini adalah kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi. Teman-teman, ini disebut kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi.

“Sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu seharusnya berkesimpulan tentang dirinya sebagai berikut: (1) ‘Seseorang yang memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan tidak akan dikuasai oleh keinginan jahat.’

(2) ‘Seseorang yang memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain … (16) ‘Seseorang yang melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat, dan aku akan melepaskannya dengan mudah.’

“Sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut: (1) ‘Apakah aku memiliki keinginan jahat dan apakah aku dikuasai oleh keinginan jahat?’ Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku memiliki keinginan jahat, aku dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak memiliki keinginan jahat, aku tidak dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut: ‘Apakah aku memuji diri sendiri dan mencela orang lain?’ … (16) ‘Apakah aku melekat pada pandangan-pandanganku, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah?’ Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini belum ditinggalkan olehnya, maka ia harus berusaha untuk meninggalkannya seluruhnya. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini telah seluruhnya ditinggalkan olehnya, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat. Seperti halnya ketika seorang perempuan — atau laki-laki — muda, belia, menyukai hiasan, ketika melihat bayangan wajahnya di cermin yang bersih atau dalam semangkuk air, melihat noda atau kotoran di sana, maka ia berusaha untuk membersihkannya, tetapi jika ia melihat tidak ada noda atau kotoran di sana, maka ia menjadi gembira dengan pikiran: ‘Sungguh suatu keberuntungan bagiku bahwa wajahku bersih’; demikian pula ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian … maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”

(MN 15, MLDB 190–93)

7. Menyelesaikan Perselisihan antara Umat Awam dan Sangha

(1) Membalikkan Mangkuk Makanan

“Para bhikkhu, ketika seorang umat awam memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh membalikkan mangkuk makanan terhadapnya. Apakah delapan ini? (1) Ia berusaha menghalangi para bhikkhu memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan para bhikkhu; (3) ia berusaha mencegah para bhikkhu menetap [di dekatnya]; (4) ia menghina dan mencaci para bhikkhu; (5) ia memecah-belah para bhikkhu satu sama lain; (6) ia mencela Sang Buddha; (7) ia mencela Dhamma; (8) ia mencela Saṅgha. Ketika seorang umat awam memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh membalikkan mangkuk makanan terhadapnya.

“Para bhikkhu, ketika seorang umat awam memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh menegakkan mangkuk makanan terhadapnya. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha menghalangi para bhikkhu memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan para bhikkhu; (3) ia tidak berusaha mencegah para bhikkhu menetap [di dekatnya]; (4) ia tidak menghina dan tidak mencaci para bhikkhu; (5) ia tidak memecah-belah para bhikkhu satu sama lain; (6) ia memuji Sang Buddha; (7) ia memuji Dhamma; (8) ia memuji Saṅgha. Ketika seorang umat awam memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh menegakkan mangkuk makanan terhadapnya.”

(AN 8:87, NDB 1235)

(2) Kehilangan Keyakinan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan kehilangan keyakinan terhadapnya.[8] Apakah delapan ini? (1) Ia berusaha menghalangi umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia menghina dan mencaci umat-umat awam; (4) ia memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia mencela Sang Buddha; (6) ia mencela Dhamma; (7) ia mencela Saṅgha; (8) mereka melihatnya di tempat yang tidak selayaknya. Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan kehilangan keyakinan terhadapnya.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan keyakinan terhadapnya. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha menghalangi umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia tidak menghina dan tidak mencaci umat-umat awam; (4) ia tidak memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia memuji Sang Buddha; (6) ia memuji Dhamma; (7) ia memuji Saṅgha; (8) mereka melihatnya di tempat [yang selayaknya]. Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan keyakinan terhadapnya.”

(AN 8:88, NDB 1236)

(3) Rekonsiliasi

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh memerintahkan suatu tindakan rekonsiliasi terhadapnya.[9] Apakah delapan ini? (1) Ia berusaha menghalangi para umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan para umat awam; (3) ia menghina dan mencaci para umat awam; (4) ia memecah-belah para umat awam satu sama lain; (5) ia mencela Sang Buddha; (6) ia mencela Dhamma; (7) ia mencela Saṅgha; (8) ia tidak memenuhi janji yang sah kepada para umat awam. Ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh memerintahkan suatu tindakan rekonsiliasi terhadapnya.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh mencabut suatu tindakan rekonsiliasi [yang dijatuhkan padanya sebelumnya]. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha menghalangi para umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan para umat awam; (3) ia tidak menghina dan tidak mencaci para umat awam; (4) ia tidak memecah-belah para umat awam satu sama lain; (5) ia memuji Sang Buddha; (6) ia memuji Dhamma; (7) ia memuji Saṅgha; (8) ia memenuhi janji yang sah kepada para umat awam. Ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh mencabut suatu tindakan rekonsiliasi [yang dijatuhkan padanya sebelumnya].”

(AN 8:89, NDB 1236–37)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 03:10:39 PM

8. Mengusir Orang-Orang Jahat

(1) Bersihkanlah Sekam!

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggārā. Pada saat itu para bhikkhu sedang mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran. Ketika sedang dikecam, bhikkhu itu menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, keluarkan orang ini! Para bhikkhu, keluarkan orang ini! Orang ini harus diusir. Mengapakah putra orang lain harus menjengkelkan kalian?[10]

“Di sini, para bhikkhu, selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu memiliki tingkah laku yang sama seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, maka mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para pertapa, bagaikan sekam dan sampah di antara para pertapa. Kemudian mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah lahan gandum sedang tumbuh, setangkai gandum yang rusak akan muncul yang hanya berupa sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Selama buahnya belum muncul, akarnya akan tampak sama seperti akar gandum-gandum yang baik; tangkainya akan tampak sama seperti tangkai gandum-gandum yang baik; dedaunannya akan tampak sama seperti daun gandum-gandum yang baik. Akan tetapi, ketika buahnya muncul, mereka mengenalinya sebagai gandum rusak, hanya sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Maka mereka mencabutnya di akarnya dan membuangnya keluar dari lahan gandum. Karena alasan apakah? Agar gandum rusak itu tidak merusak gandum-gandum yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki tingkah laku yang sama seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para pertapa, hanya sekam dan sampah di antara para pertapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.”

Dengan hidup bersama dengannya, mengenalinya sebagai
seorang pemarah yang berkeinginan jahat;
seorang pencemar, keras kepala, dan kurang-ajar,
iri, kikir, dan menipu.

Ia berbicara kepada orang-orang bagaikan seorang petapa,
[berkata kepada mereka] dengan suara tenang,
tetapi diam-diam ia melakukan perbuatan jahat,
menganut pandangan sesat, dan tanpa hormat.

Walaupun ia penuh tipu daya, pengucap kebohongan;
kalian harus mengenalinya sebagaimana adanya ia sesungguhnya;
kemudian kalian seluruhnya harus berkumpul dalam kerukunan
dan dengan tegas mengusirnya.

Buanglah sampah!
Lenyapkan teman-teman yang rusak!
Bersihkanlah sekam, para bukan pertapa
yang menganggap diri mereka sendiri adalah para pertapa!

Setelah mengusir mereka yang berkeinginan jahat,
yang berperilaku dan memiliki tempat kunjungan yang buruk,
berdiam dalam kerukunan, senantiasa penuh perhatian,
yang murni dengan yang murni;
maka, dalam kerukunan, waspada,
kalian akan mengakhiri penderitaan.

(AN 8:10, NDB 1122–24)

(2) Pengusiran Paksa

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Pada saat itu, pada hari uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, pada larut malam, ketika jaga pertama telah berlalu, Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, malam telah larut; jaga pertama telah berlalu; Saṅgha para bhikkhu telah duduk cukup lama. Sudilah Sang Bhagavā melafalkan Pātimokkha untuk para bhikkhu.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berdiam diri.

Ketika malam [semakin] larut, ketika jaga pertengahan telah berlalu, Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduknya untuk ke dua kalinya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, malam telah [semakin] larut; jaga pertengahan telah berlalu; Saṅgha para bhikkhu telah duduk cukup lama. Bhante, sudilah Sang Bhagavā melafalkan Pātimokkha untuk para bhikkhu.” Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berdiam diri.

Ketika malam [semakin] larut [lagi], ketika jaga terakhir telah berlalu, ketika fajar menyingsing dan berkas cahaya kemerahan muncul di cakrawala, Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, malam telah [semakin] larut [lagi]; jaga terakhir telah berlalu; fajar telah menyingsing dan berkas cahaya kemerahan telah muncul di cakrawala; Saṅgha para bhikkhu telah duduk cukup lama. Sudilah Sang Bhagavā melafalkan Pātimokkha untuk para bhikkhu.”

“Kumpulan ini tidak murni, Ānanda.”

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berpikir: “Siapakah yang dirujuk oleh Sang Bhagavā ketika Beliau berkata: ‘Kumpulan ini tidak murni, Ānanda’?” Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna memusatkan perhatiannya pada keseluruhan Saṅgha para bhikkhu, melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Kemudian ia melihat orang itu duduk di tengah-tengah Saṅgha para bhikkhu: seorang yang tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, berperilaku mencurigakan, tindakan-tindakannya penuh kerahasiaan, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai seorang petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku selibat, busuk di dalam, jahat, rusak. Setelah melihatnya, ia bangkit dari duduknya, mendatangi orang itu, dan berkata kepadanya: “Bangkitlah, teman. Sang Bhagavā telah melihatmu. Engkau tidak boleh hidup bersama dengan para bhikkhu.” Ketika hal ini dikatakan, orang itu berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ketiga kalinya Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada orang itu: “Bangkitlah, teman. Sang Bhagavā telah melihatmu. Engkau tidak boleh hidup bersama dengan para bhikkhu.” Untuk ketiga kalinya orang itu berdiam diri.
Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna mencengkeram orang itu pada lengannya, mengeluarkannya melalui gerbang luar rumah itu, dan mengunci pintu. Kemudian ia kembali kepada Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Aku telah mengeluarkan orang itu, Bhante. Kumpulan ini sudah murni. Sudilah Sang Bhagavā melafalkan Pātimokkha untuk para bhikkhu.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Moggallāna, bagaimana manusia kosong itu menunggu hingga ia dicengkeram pada lengannya.” Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Sekarang, para bhikkhu, kalian sendiri yang harus mengadakan uposatha dan melafalkan Pātimokkha. Sejak hari ini dan seterusnya, aku tidak akan melakukannya lagi. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa Sang Tathāgata dapat mengadakan uposatha dan melafalkan Pātimokkha dalam sebuah kumpulan yang tidak murni.”

(dari AN 8:20, NDB 1145–46; Ud 5.5)

Catatan Kaki:

[1] Prosedur membalikkan mangkuk makanan dan mengubahnya tegak lurus disahkan dalam Vin II 124–27. Lihat Ṭhānissaro, The Buddhist Monastic Code II, hal. 411–12. Komentar menjelaskan bahwa para bhikkhu tidak benar-benar membalikkan mangkuk makanan terbalik di hadapan umat awam tetapi menyetujui suatu usulan tidak menerima pemberian darinya. Hal yang sama, mereka membatalkan tindakan ini dengan menyetujui suatu usulan untuk menerima pemberian lagi. Prosedur membalikkan mangkuk makanan digunakan di Myanmar pada tahun 2007 yang baru-baru ini ketika para bhikkhu menjatuhkan suatu penalti kepada junta militer. Untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap para jenderal, mereka berjalan di jalanan dengan mangkuk mereka benar-benar terbalik.

[2] Untuk para bhikkhu, delapan pelanggaran pengusiran telah ditetapkan.

[3] Saya menganggap abhidhamma di sini menunjuk, bukan pada kumpulan risalah-risalah yang menyusun Abhidhamma Piṭaka atau filosofinya, tetapi pada Dhamma itu sendiri, dengan awalan abhi- berfungsi referensial semata, dalam pengertian “tentang, mengenai, berhubungan dengan.”

[4] Nātaputta, juga dikenal sebagai Mahāvīra, merupakan pemimpin komunitas Jain pada waktu itu dan sering dianggap sebagai pendiri historis Jainisme, walaupun mungkin ia melanjutkan suatu silsilah para guru yang telah dimulai jauh sebelumnya.

[5] Terdapat empat jenis perkara disiplin: melibatkan suatu perselisihan (vivādādhikaraṇa); melibatkan suatu tuduhan (anuvādādhikaraṇa); melibatkan suatu pelanggaran (āpattādhikaraṇa); dan melibatkan prosedur (kiccādhikaraṇa). Ini dibahas secara terperinci dalam Vin II 88–92. Secara singkat, perkara yang melibatkan suatu perselisihan muncul ketika para bhikkhu atau bhikkhuni berselisih tentang Dhamma dan Vinaya; perkara yang melibatkan suatu tuduhan muncul ketika seseorang menuduh anggota lain melakukan suatu pelanggaran; perkara yang melibatkan suatu pelanggaran muncul ketika seorang bhikkhu atau bhikkhuni telah melakukan suatu pelanggaran melakukan rehabilitasi; dan perkara yang melibatkan prosedur berhubungan dengan prosedur kolektif Sangha. Kutipan yang dikutip di sini berhubungan dengan metode-metode menyelesaikan perselisihan.

[6] Dhammanetti samanumajjitabbā. Komentar menyediakan berbagai penjelasan bagaimana menerapkan tuntunan Dhamma, dari sudut pandang baik sutta maupun Vinaya.

[7] Komentar menjelaskan ungkapan “tidak diselesaikan secara internal” (ajjhattaṃ avūpasantaṃ) sebagai berikut: “Tidak diselesaikan dalam pikiran seseorang dan dalam lingkaran para siswa dan muridnya.”

[8] Appasāda. Ketika ini telah dinyatakan, mereka tidak perlu bangkit dari tempat duduk mereka, atau memberikan penghormatan kepadanya, atau pergi menyambutnya, atau memberinya pemberian.

[9] Paṭisāraṇiyakamma. Ketika ini telah dijatuhkan, bhikkhu itu harus pergi menemui perumah tangga itu, ditemani oleh bhikkhu lainnya, dan meminta maaf. Jika ia gagal mendapatkan maaf dari perumah tangga itu, temannya harus berusaha merekonsiliasi mereka. Kisah latar belakangnya terdapat dalam Vin II 15–18, dengan penentuan legalnya dalam Vin II 18–21. Untuk rinciannya, lihat Ṭhānissaro, The Buddhist Monastic Code II, hal. 407–11.

[10] Komentar tidak memberikan penjelasan atas ungkapan ini, tetapi maknanya tampaknya bahwa bhikkhu yang membuat masalah itu, berdasarkan perilakunya, bukan siswa Sang Buddha yang sebenarnya dan dengan demikian dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, seorang siswa) guru lain.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 03:23:25 PM
X. Membangun Masyarakat yang Adil

Pendahuluan

Dalam bagian terakhir dari kumpulan teks ini, kita bergerak dari komunitas intensional menuju komunitas alami, yang berlanjut dari keluarga sampai masyarakat yang lebih besar dan kemudian menuju negara. Teks-teks yang dimasukkan di sini mengungkapkan kecerdikan pragmatis dari kebijaksanaan Sang Buddha, kemampuan beliau untuk menyampaikan permasalahan praktis dengan pengetahuan dan keterusterangan yang luar biasa. Walaupun beliau mengadopsi kehidupan seorang samaṇa, seorang yang telah meninggalkan keduniawian yang berdiri di luar semua institusi sosial, dari jauh beliau melihat kembali ke dalam institusi sosial pada masa beliau dan menyarankan gagasan-gagasan dan pengaturan untuk menyebarluaskan kesejahteraan spiritual, psikologis, dan fisik orang-orang yang masih terbenam dalam batasan duniawi. Beliau tampaknya melihat kunci pada suatu masyarakat yang sehat terletak pada pemenuhan tanggung jawab seseorang terhadap orang lain. Beliau menganggap tatanan sosial sebagai sebuah permadani dari hubungan yang tumpang tindih dan saling menyilang di mana masing-masing membebankan orang-orang kewajiban sehubungan dengan orang-orang pada kutub lain dari masing-masing hubungan di mana mereka berpartisipasi.

Poin ini muncul secara menonjol dalam Teks X,1, sebuah kutipan dari suatu kotbah yang diberikan kepada seorang pemuda bernama Sīgalaka. Sang Buddha di sini memperlakukan masyarakat terdiri atas enam hubungan yang berpasangan: orang tua dan anak, suami dan istri, teman dengan satu sama lain, atasan dan bawahan, guru dan murid, serta guru agama dan umat awamnya. Untuk masing-masing Sang Buddha menyatakan lima (atau dalam satu kasus enam) kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing terhadap yang lain. Beliau melihat individu – setiap individu – berdiri pada suatu titik di mana “enam arah” bertemu, dan dengan demikian wajib menghormati arah-arah ini dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang melekat dalam hubungan itu.

Sang Buddha menganggap keluarga sebagai unit dasar integrasi dan akulturasi sosial. Ia terutama adalah hubungan yang dekat, yang menyayangi antara orang tua dan anak-anak yang memelihara kebajikan dan rasa tanggung jawab manusiawi yang penting dalam suatu tatanan sosial yang bersatu. Dalam keluarga, nilai-nilai ini diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dengan demikian masyarakat yang rukun sangat bergantung pada hubungan yang ramah dan penuh hormat antara orang tua dan anak-anak. Dalam Teks X,2(1) beliau menjelaskan bagaimana orang tua bermanfaat besar terhadap anak-anaknya, dan dalam X,2(2) beliau mengatakan bahwa orang tua seseorang tidak akan pernah cukup dibalas dengan memberikan manfaat-manfaat materi kepada mereka tetapi hanya dengan mengembangkan mereka dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Hubungan yang bermanfaat antara orang tua dan anak-anak bergantung pada gilirannya pada saling menyayangi dan menghormati suami dan istri. Kotbah yang dipilih untuk Teks X,3 memberikan pedoman untuk hubungan yang baik antara pasangan yang telah menikah, dengan menganggap bahwa pernikahan ideal adalah pernikahan di mana baik suami maupun istri berbagi komitmen pada perilaku bermoral, kedermawanan, dan nilai-nilai spiritual.

Dalam bagian berikutnya saya telah mengumpulkan teks-teks yang berhubungan dengan perilaku sosial perumah tangga. Dua yang pertama, Teks X,4(1)-(2), menegaskan bahwa perumah tangga yang bersungguh-sungguh muncul demi kesejahteraan orang banyak dan membawa anggota keluarganya dalam pengembangan keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Teks X,4(3) membahas cara yang benar dalam mencari kekayaan, yang harus dilakukan dalam batasan penghidupan benar. Dimensi spiritual masuk dengan memastikan bahwa perumah tangga menggunakan kekayaan  “tanpa terikat padanya, tergila-gila dengannya, dan secara buta terpikat di dalamnya.” Teks X,4(4) mengatakan lima perdagangan yang dilarang bagi para pengikut awam yang bersungguh-sungguh, dilarang karena mereka melibatkan bahaya, apakah aktual atau potensial, bagi makhluk hidup lainnya. Teks X,4(5) kemudian menjelaskan lima cara yang benar menggunakan kekayaan. Penjelasan itu menunjukkan bahwa kekayaan yang didapat dengan benar adalah untuk digunakan baik bagi manfaat diri sendiri maupun manfaat orang lain; setelah seseorang mengamankan kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya, ia akan menggunakan kekayaan itu terutama untuk melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang merupakan pelayanan kepada orang lain.

Bagian berikutnya membawa kita kembali pada isu kasta, yang menyentuh dari perspektif dalam Bagian VII. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Sang Buddha tidak secara terbuka menganjurkan penghapusan sistem kasta, yang pada masa beliau belum memperoleh kerumitan dan kekakuan yang ia peroleh pada abad-abad belakangan, terutama seperti yang dirumuskan dalam kitab-kitab hukum Hindu. Mungkin beliau melihat bahwa pembagian sosial dan perbedaan tanggung jawab yang disebabkan olehnya tidak dapat dihindarkan. Tetapi beliau memang menolak klaim tentang kekeramatan sistem kasta pada beberapa landasan, teologis, moral, dan spiritual. Secara teologis, beliau menyangkal klaim brahmana bahwa kasta diciptakan oleh Brahmā, dewa pencipta; alih-alih beliau menganggap sistem itu sebagai hanyalah institusi sosial yang bermula dari manusia. Secara moral, beliau menolak kepercayaan bahwa status kasta adalah indikasi kelayakan moral, dengan status moral yang unggul terdapat pada mereka dari kasta yang lebih tinggi. Alih-alih beliau menyatakan bahwa adalah perbuatan seseorang yang menentukan kelayakan moralnya, dan bahwa siapa pun dari kasta mana pun dapat mempraktekkan Dhamma dan mencapai tujuan tertinggi.

Argumen-argumen ini disajikan di sini dalam Teks X,5(1)-(4). Percakapan yang dicatat dalam kotbah-kotbah ini – di mana struktur kasta diperlakukan sebagai suatu model yang digunakan para brahmana untuk diterapkan pada masyarakat – menyatakan bahwa di India timur laut, di mana Buddhisme muncul, stratifikasi kasta belum mencapai tingkat kekakuan dan sifat otoritatif yang telah ia capai di India bagian barat dan tengah. Menarik juga dicatat bahwa ketika mendaftarkan kasta secara berurutan, di mana para brahmana menempatkan diri mereka sendiri di puncak dan para khattiya di bawah mereka, Sang Buddha menempatkan para khattiya di puncak dan para brahmana di tempat kedua. Dalam hal ini, beliau mungkin telah mengikuti kebiasaan yang ada di negeri-negeri bagian timur laut anak benua itu.

Dalam X,5(1) Sang Buddha berdebat melawan klaim brahmana, yang diajukan oleh brahmana Esukārī, bahwa masyarakat seharusnya diatur menurut suatu hirarki pelayanan yang tetap, seperti bahwa semua orang dari kasta yang lebih rendah harus melayani para brahmana, sedangkan para sudda, pada bagian bawah dari jenjang kasta, harus melayani semua orang lainnya. Sang Buddha, sebaliknya, menyatakan bahwa pelayanan harus didasarkan pada kesempatan yang diberikan demi kemajuan moral seseorang. Brahmana Esukārī juga menyatakan bahwa mereka pada masing-masing kasta memiliki kewajiban tetap mereka sendiri yang mengikuti status kasta mereka; ini tampaknya menjadi pelopor teori svadharma yang menjadi terkemuka dalam kitab-kitab hukum Hindu, gagasan bahwa masing-masing kasta memiliki kewajibannya sendiri yang harus dipenuhi seseorang jika ia ingin mendapatkan kelahiran kembali yang lebih baik dan maju menuju pembebasan akhir. Lagi, Sang Buddha menolak pandangan ini, dengan menyatakan bahwa “Dhamma adiduniawi” adalah kekayaan alami setiap orang. Siapa pun yang menjalankan prinsip-prinsip perilaku baik, tidak peduli latar belakang kastanya, mengembangkan “Dhamma yang adalah bermanfaat.”

Dalam Teks X,5(2), bhikkhu Mahākaccāna, yang ia sendiri adalah keturunan brahmana, berdebat melawan klaim brahmana bahwa sistem kasta berawal mula surgawi dan bahwa hanya para brahmana adalah “putra Brahmā, keturunan Brahmā.” Ia alih-alih menyatakan bahwa “ini hanyalah suatu peribahasa di dunia.” Sistem kasta adalah murni bersifat konvensional, dan orang-orang dari kasta mana pun dapat membuktikan diri mereka secara moral mulia atau secara moral cacat. Dalam X,5(3)-(4) Sang Buddha lagi-lagi menolak gagasan bahwa status kasta ditentukan oleh kelahiran dan mengemukakan redefinisi dari konsep brahmana dan orang buangan, masing-masing, di mana mereka didefinisikan bukan oleh kelahiran tetapi oleh karakter moral orang itu sendiri.

Bagian berikutnya secara singkat memandang pada visi politik Sang Buddha. Pada masa beliau, anak benua India terbagi menjadi enam belas negeri, yang jenisnya ada dua: republik suku dan monarki. Kita telah melihat suatu contoh nasehat Sang Buddha kepada para pemimpin republik dalam Teks VII,3(4), tentang tujuh kondisi untuk ketidakmunduran yang beliau ajarkan kepada orang-orang Vajji. Namun, wilayah sebelah utara India dengan cepat mengalami transisi tektonik yang menjungkirbalikkan tatanan politik yang ada. Raja-raja dari beberapa negeri memperluas dan mencaplok kerajaan-kerajaan yang lebih lemah dan republik-republik kecil, yang riwayatnya tidak akan lama lagi. Bersaing klaim atas wilayah dan kemakmuran membawa pada bangkitnya militerisme dan bentrokan penuh kekerasan. Daerah itu dengan cepat menuju suatu era perebutan kekuasaan yang kejam dan perang agresi berkepanjangan yang dengan tajam digambarkan dalam syair-syair berikut (SN 1:28, CDB 103):

Mereka dengan kekayaan dan harta benda yang banyak,
bahkan para khattiya yang memerintah kerajaan,
memandang satu sama lain dengan mata yang penuh keserakahan,
tidak pernah terpuaskan dalam kenikmatan-kenikmatan indera.

Karena kemenangan jenis pemerintahan monarki tampaknya tidak terhindarkan, Sang Buddha mencari perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan dengan menempatkan suatu model kedudukan raja yang akan membawahi seorang raja pada otoritas yang lebih tinggi, suatu standar objektif kebaikan yang dapat membatasi penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Beliau menyadari bahwa dalam sistem politik monarki, keseluruhan masyarakat mengikuti teladan yang diberikan oleh penguasanya, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Demikianlah dalam Teks X,6(1) beliau menggambarkan peranan raja, dengan menganggap suatu kekuatan mistis sebagai sumber pengaruh perilaku penguasa pada kerajaannya. Dalam masa perebutan militer atas wilayah kekuasaan, beliau mengecam penggunaan perang sebagai cara menyelesaikan konflik. Teks X,6(2) menyatakan bahwa kemenangan hanya melahirkan kebencian dan mempertahankan siklus balas dendam. Jātaka, kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha, lebih lanjut merangkum kualitas-kualitas yang diharapkan dari seorang penguasa yang adil dalam suatu skema sepuluh kebajikan raja: memberi, perilaku bermoral, pelepasan, kejujuran, kelemah-lembutan, kesederhanaan personal, tanpa kemarahan, tanpa melukai, kesabaran, dan tidak menentang kehendak rakyat.[1] Kukka Jātaka, sebagai contoh, menggambar raja yang baik sebagai seorang yang “mengikuti sepuluh kebajikan raja ini, memerintah sesuai dengan Dhamma, membawakan kemakmuran dan kemajuan bagi dirinya sendiri dan orang lain tanpa mempersulit siapa pun” (Jātaka III 320).

Untuk memastikan para raja memiliki standar teladan pemerintahan yang dapat dicontoh, Sang Buddha membangun ideal “raja pemutar-roda” (rājā cakkavattī), raja adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, hukum kebenaran yang impersonal. Raja pemutar-roda adalah padanan sekuler dari Sang Buddha; bagi keduanya, roda adalah simbol otoritas mereka. Seperti yang ditunjukkan oleh Teks X,6(3), Dhamma yang ditaati oleh raja pemutar-roda adalah dasar kebenaran bagi pemerintahannya. Ia memperluas perlindungan kepada semua orang dalam kerajaannya, kepada orang-orang dari setiap pekerjaan dan bahkan kepada burung-burung dan binatang. Disimbolkan dengan harta karun roda suci, hukum kebenaran memungkinkan raja menaklukkan dunia dengan damai dan membangun pemerintahan dunia yang damai berdasarkan pada pemenuhan lima pelatihan moral dan sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, seperti yang digambarkan dalam Teks X,6(4).

Di antara kewajiban-kewajiban raja adalah mencegah kejahatan menyebar luas dalam kerajaannya, dan untuk menjaga kerajaan aman dari kejahatan ia harus memberikan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam Buddhisme Awal, kemiskinan dianggap sebagai landasan yang melahirkan kejahatan dan pengurangan kemiskinan dengan demikian menjadi salah satu kewajiban raja. Kewajiban ini disebutkan di antara kewajiban-kewajiban seorang raja pemutar-roda dalam Teks X,6(5), yang menunjukkan bagaimana, dari kegagalan mengurangi kemiskinan, semua perilaku kemerosotan moral muncul: pencurian, pembunuhan, ucapan bohong, dan pelanggaran lainnya. Kewajiban raja menghilangkan kemiskinan diuraikan dalam X,6(6). Di sini, dalam suatu kisah yang konon menunjuk pada masa lampau yang jauh, seorang penasehat kerajaan – yang tidak lain adalah Sang Buddha pada kelahiran lampau – menasehati raja bahwa cara yang tepat untuk mengakhiri pencurian dan perampokan mengganggu kerajaannya bukan dengan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dan memperketat penegakan hukum tetapi dengan memberikan para penduduk cara-cara yang mereka butuhkan untuk memperoleh penghidupan yang layak. Ketika orang-orang menikmati standar kehidupan yang memuaskan, mereka kehilangan minat dalam menyakiti orang lain dan kerajaan menikmati kedamaian dan ketenangan.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 03:36:41 PM
1. Tanggung Jawab Timbal-Balik

[Sang Buddha berkata kepada pemuda bernama Sīgalaka:] “Dan bagaimanakah, anak muda, seorang siswa mulia melindungi enam penjuru? Enam hal ini harus dianggap sebagai enam penjuru. Timur merupakan ibu dan ayah. Selatan merupakan guru-guru. Barat merupakan istri dan anak-anak. Utara merupakan teman-teman dan rekan-rekan. Bawah merupakan para pelayan, pekerja dan pembantu. Atas merupakan para pertapa dan brahmana.

“Ada lima cara bagi seorang putra untuk melayani ibu dan ayahnya sebagai arah timur. [Ia harus berpikir:] ‘Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. Aku harus melakukan tugas-tugas mereka untuk mereka. Aku harus menjaga tradisi keluarga. Aku akan layak atas warisanku. Setelah orang tuaku meninggal dunia aku akan membagikan persembahan mewakili mereka.’ Dan ada lima cara oleh orang tua, yang dilayani demikian oleh putra mereka sebagai arah timur, akan membalas: mereka harus menjauhkannya dari kejahatan, mendukungnya dalam melakukan kebaikan, mengajarinya suatu keterampilan, mencarikan istri yang pantas dan, pada waktunya mewariskan warisan kepadanya. Dengan demikian arah timur telah dicakup, membuatnya aman dan bebas dari bahaya.

“Ada lima cara bagi seorang murid untuk melayani guru-guru mereka sebagai arah selatan: dengan bangkit menyapa mereka, dengan menanti mereka, dengan memberikan perhatian, dengan melayani mereka, dengan menguasai keterampilan yang mereka ajarkan. Dan ada lima cara bagi guru yang dilayani demikian oleh murid mereka sebagai arah selatan, dapat membalas: mereka akan memberikan instruksi yang menyeluruh, memastikan mereka menangkap apa yang seharusnya mereka tangkap, memberikan landasan menyeluruh terhadap semua keterampilan, merekomendasikan murid-murid mereka kepada teman dan rekan mereka, dan memberikan keamanan di segala penjuru. Dengan demikian arah selatan telah dicakup, membuatnya aman dan bebas dari bahaya.

“Ada lima cara bagi seorang suami untuk melayani istri mereka sebagai arah barat: dengan menghormatinya, dengan tidak meremehkannya, dengan setia kepadanya, dengan memberikan kekuasaan kepadanya, dengan memberikan perhiasan kepadanya. Dan ada lima cara bagi seorang istri yang dilayani demikian sebagai arah barat, dapat membalas: dengan melakukan pekerjaannya dengan benar, dengan bersikap baik kepada para pelayan, dengan setia kepadanya, dengan menjaga tabungan, dan dengan terampil dan rajin dalam semua yang harus ia lakukan. Dengan demikian arah barat telah dicakup, membuatnya aman dan bebas dari bahaya.

“Ada lima cara bagi seseorang untuk melayani teman dan rekan mereka sebagai arah utara: dengan pemberian, dengan kata-kata yang ramah, dengan menjaga kesejahteraan mereka, dengan memperlakukan mereka seperti diri sendiri, dan dengan menepati janjinya. Dan ada lima cara bagi teman dan rekan, yang dilayani demikian sebagai arah utara, dapat membalas: dengan menjaganya saat ia lengah, dengan menjaga hartanya saat ia lengah, dengan menjadi pelindung baginya saat ia ketakutan, dengan tidak meninggalkannya saat ia berada dalam masalah, dan dengan menunjukkan perhatian terhadap anak-anaknya. Dengan demikian arah utara telah dicakup, membuatnya dan bebas dari bahaya.

“Ada lima cara bagi seorang majikan untuk melayani para pelayan dan para pekerjanya sebagai arah bawah: dengan mengatur pekerjaan mereka sesuai kekuatan mereka, dengan memberikan makan dan upah, dengan merawat mereka ketika mereka sakit, dengan berbagi makananan lezat dengan mereka, dan dengan memberikan hari libur pada waktu yang tepat. Dan ada lima cara bagi para pelayan dan para pekerja, yang dilayani demikian sebagai arah bawah, dapat membalas: dengan bangun tidur lebih pagi daripada majikannya, dengan pergi tidur lebih larut daripada majikannya, mengambil hanya apa yang diberikan, melakukan tugas-tugas mereka dengan benar, dan menjadi pembawa pujian dan reputasi baik bagi majikannya. Dengan demikian arah bawah telah dicakup, membuatnya aman dan bebas dari bahaya.

“Ada lima cara bagi seseorang untuk melayani para petapa dan brahmana mereka sebagai arahatas: dengan bersikap baik dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dengan membuka pintu bagi kedatangan mereka, dan dengan memberikan barang-barang kebutuhan fisik mereka. Dan ada lima cara bagi para petapa dan brahmana, yang dilayani demikian sebagai arah atas, dapat membalas: mereka akan menjauhkannya dari kejahatan, mendukungnya dalam melakukan kebaikan, berbelas kasih kepadanya, mengajarinya apa yang belum pernah ia dengar, dan menunjukkan jalan menuju surga. Dengan demikian arah atas telah dicakup, membuatnya aman dan bebas dari bahaya.

(dari DN 31, LDB 466–68)

2. Orang Tua dan Anak-Anak

(1) Orang Tua adalah Sangat Membantu

“Para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam dengan Brahmā di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan guru-guru pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan dewa-dewa pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan orang-orang suci di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

“’Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Guru-guru pertama,’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Dewa-dewa pertama’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Orang-orang suci’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. Dan mengapakah? Ibu dan ayah adalah sangat membantu bagi anak-anak mereka: mereka membesarkan anak-anak mereka, memelihara mereka, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

(AN 4:63, NDB 453)

(2) Membalas Orang Tua Seseorang

“Para bhikkhu, ada dua individu yang tidak dapat dengan mudah dibalas. Apakah dua ini? Ibu dan ayah seseorang. Bahkan jika seseorang menggendong ibunya di satu bahunya dan ayahnya di bahu lainnya, dan selagi ia melakukan demikian ia memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, dan hidup selama seratus tahun; dan jika ia melayani mereka dengan cara meminyaki mereka dengan balsam, dengan cara memijat mereka, memandikan mereka, dan menggosok bagian-bagian tubuh mereka, dan mereka bahkan membuang kotoran dan air kencing mereka di sana – bahkan dengan itu ia masih tetap belum cukup melakukan untuk kedua orangtuanya, juga belum membalas mereka. Bahkan jika ia mengangkat orangtuanya menjadi raja tertinggi dan penguasa di seluruh penjuru bumi ini yang berlimpah dengan tujuh pusaka, ia tetap masih belum cukup melakukan untuk kedua orangtuanya, juga belum membalas mereka. Karena alasan apakah? Orangtua adalah bantuan besar bagi anak-anak mereka; mereka membesarkan anak-anak mereka, memberi mereka makan, dan menunjukkan dunia ini kepada mereka. Tetapi, para bhikkhu, jika orangtuanya tidak berkeyakinan, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam keyakinan; jika, orangtuanya tidak bermoral, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam perilaku bermoral; jika orangtuanya adalah orang-orang kikir, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam kedermawanan; jika orangtuanya tidak bijaksana, ia mendorong, memantapkan, dan menegakkan mereka dalam kebijaksanaan – dengan demikian ia telah cukup melakukan untuk orangtuanya, membalas mereka, dan melakukan lebih dari cukup untuk mereka.”

(AN 2:33, NDB 153–54)

3. Suami dan Istri

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya antara Madhurā dan Verañjā. Sejumlah perumah tangga laki-laki dan perempuan juga sedang melakukan perjalanan di jalan yang sama. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan raya dan duduk di bawah sebatang pohon. Para perumah tangga laki-laki dan perempuan itu melihat Sang Bhagavā duduk di sana dan mendatangi Beliau, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada mereka:

“Para perumah tangga, ada empat jenis pernikahan ini. Apakah empat ini? Seorang malang hidup bersama dengan seorang malang; seorang malang hidup bersama dengan seorang dewi; seorang dewa hidup bersama dengan seorang malang; seorang dewa hidup bersama dengan dewi.

 “Dan bagaimanakah seorang malang hidup bersama dengan seorang malang? Di sini, para perumah tangga, sang suami adalah seorang yang membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan; ia tidak bermoral, berkarakter buruk; ia berdiam di rumah dengan pikiran dikuasai oleh noda kekikiran; ia menghina dan mencela para pertapa dan brahmana. Dan istrinya adalah persis sama dalam segala hal. Dengan cara demikian seorang malang hidup bersama dengan seorang malang.

 “Dan bagaimanakah seorang malang hidup bersama dengan seorang dewi? Di sini, para perumah tangga, sang suami adalah seorang yang membunuh makhluk hidup … ia menghina dan mencela para pertapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang menghindari membunuh ... menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina dan tidak mencela para pertapa dan brahmana. Dengan cara demikian seorang malang hidup bersama dengan seorang dewi.

 “Dan bagaimanakah seorang dewa hidup bersama dengan seorang malang? Di sini, para perumah tangga, sang suami adalah seorang yang menghindari membunuh makhluk hidup … yang tidak menghina dan tidak mencela para pertapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang membunuh makhluk hidup … yang menghina dan mencela para pertapa dan brahmana. Dengan cara demikian seorang dewa hidup bersama dengan seorang malang.

“Dan bagaimanakah seorang dewa hidup bersama dengan seorang dewi? Di sini, para perumah tangga, sang suami adalah seorang yang menghindari membunuh … menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina dan tidak mencela para pertapa dan brahmana. Dan istrinya adalah persis sama dalam segala hal. Dengan cara demikian seorang dewa hidup bersama dengan seorang dewi.

“Ini adalah keempat cara hidup bersama itu.”

(AN 4:53, NDB 443–44)

4. Rumah Tangga

(1) Demi Kesejahteraan Banyak Orang

“Para bhikkhu, ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan (1) ibu dan ayahnya, (2) istri dan anak-anaknya, (3) para budak, pekerja, dan pelayan, (4) teman-teman dan kerabatnya, dan (5) para petapa dan brahmana. Seperti halnya awan hujan yang besar, memelihara tanaman, muncul demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, demikian pula, ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan ibu dan ayahnya … para petapa dan brahmana.”

(AN 5:42, NDB 667)

(2) Bagaikan Pegunungan Himalaya

“Para bhikkhu, dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam lima hal. Apakah lima ini? (1) Pepohonan itu tumbuh dalam hal dahan, daun, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu tumbuh dalam hal kulit kayunya; (3) pepohonan itu tumbuh dalam hal tunas; (4) pepohonan itu tumbuh dalam hal kayu lunak; dan (5) pepohonan itu tumbuh dalam hal inti kayu. Dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam kelima hal ini. Demikian pula, ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam lima hal. Apakah lima ini? (1) Mereka tumbuh dalam keyakinan; (2) mereka tumbuh dalam perilaku bermoral; (3) mereka tumbuh dalam pembelajaran; (4) mereka tumbuh dalam kedermawanan; dan (5) mereka tumbuh dalam kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam kelima hal ini.”

(AN 5:40, NDB 664)

(3) Cara-Cara Mencari Kekayaan

“Seorang perumah tangga yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayaannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya — ia dapat dipuji atas empat dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar kedua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ketiga yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Dasar keempat yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayaannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Perumah tangga ini dapat dipuji atas empat dasar ini.

“Seperti halnya, dari sapi dihasilkan susu, dari susu dihasilkan dadih, dari dadih dihasilkan mentega, dari mentega dihasilkan ghee, dan dari ghee dihasilkan krim-ghee, yang dianggap sebagai yang terbaik di antara semua itu, demikian pula, di antara semua perumah tangga, yang terunggul, yang terbaik, yang menonjol, yang tertinggi, dan yang termulia adalah ia yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira; dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayaannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya.”

(dari AN 10:91, NDB 1461; lihat juga SN 42:12, CDB 1356)

(4) Menghindari Penghidupan Salah

“Para bhikkhu, seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini. Apakah lima ini? Berdagang senjata, berdagang makhluk-makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman memabukkan, dan berdagang racun. Seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini.”

(AN 5:177, NDB 790)

(5) Penggunaan Kekayaan yang Benar

Sang Bhagavā berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Perumah tangga, ada lima pemanfaatan kekayaan ini. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam dirinya; ia membuat orangtuanya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka; ia membuat istri dan anak-anaknya, para budak, para pekerja, dan para pelayan bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang pertama.

(2) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat teman-teman dan para sahabatnya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang kedua.

(3) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan persiapan perbekalan dengan kekayaannya untuk menghadapi kehilangan yang mungkin muncul karena api atau banjir, raja-raja atau para penjahat atau pewaris yang tidak disukai; ia membuat dirinya aman terhadap hal-hal itu. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ketiga.

(4) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan lima pengorbanan: kepada sanak saudara, para tamu, para leluhur, raja, dan para dewa. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang keempat.

(5) Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu memberikan persembahan yang lebih tinggi — suatu persembahan yang surgawi, yang memberikan hasil dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga — kepada para pertapa dan brahmana yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang menjinakkan diri mereka sendiri, menenangkan diri mereka sendiri, dan berlatih untuk mencapai nibbāna. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang kelima.”

(AN 5:41, NDB 665–66)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 04:10:30 PM
5. Status Sosial

(1) Tidak Ada Hirarki Hak Istimewa yang Tetap

Kemudian brahmana Esukārī pergi menemui Sang Bhagavā dan berkata kepada beliau: “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat tingkat pelayanan. Mereka menetapkan tingkat pelayanan kepada seorang brahmana, tingkat pelayanan kepada seorang khattiya, tingkat pelayanan kepada seorang vessa, tingkat pelayanan kepada seorang sudda. Para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang brahmana: seorang brahmana boleh melayani seorang brahmana, seorang khattiya boleh melayani seorang brahmana, seorang vessa boleh melayani seorang brahmana, dan seorang sudda boleh melayani seorang brahmana. Mereka menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang khattiya: seorang khattiya boleh melayani seorang khattiya, seorang vessa boleh melayani seorang khattiya, dan seorang sudda boleh melayani seorang khattiya. Mereka menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang vessa: seorang vessa boleh melayani seorang vessa, dan seorang sudda boleh melayani seorang vessa. Mereka menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pekerja: hanya seorang sudda yang boleh melayani seorang sudda; karena siapakah orang lainnya yang akan melayani seorang sudda? Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat tingkat pelayanan ini?” — “Tidak, Guru Gotama.”—“Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat dan memberitahunya: ‘Orang baik, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para pertapa dan brahmana lainnya, namun para brahmana menetapkan keempat tingkat pelayanan itu.

“Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik karena pelayanan itu, maka aku katakan bahwa orang itu seharusnya tidak dilayani. Dan jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk karena pelayanan itu, maka aku katakan bahwa orang itu seharusnya dilayani....

Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan, juga aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan. aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan, juga aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia kaya-raya, juga aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia kaya-raya. Karena di sini, Brahmana, seseorang yang berasal dari keluarga bangsawan mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan yang memecah belah, mengucapkan kata-kata kasar, mengucapkan omong kosong, tamak, memiliki pikiran permusuhan, dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi juga, Brahmana, seseorang dari keluarga bangsawan mungkin menghindari membunuh mangkuk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari mengucapkan ucapan salah, menghindari mengucapkan ucapan yang memecah belah, menghindari kata-kata kasar, menghindari omong kosong, tidak tamak, memiliki pikiran berbelas kasih, dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan.

“Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaannya bertambah dalam pelayanannya, maka aku katakan bahwa orang itu seharusnya dilayani.”
Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat jenis kekayaan. Mereka menetapkan kekayaan seorang brahmana, kekayaan seorang khattiya, kekayaan seorang vessa, dan kekayaan seorang sudda. Para brahmana menetapkan mengembara mengumpulkan dana makanan sebagai kekayaan seorang brahmana; seorang brahmana yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu mengembara mengumpulkan dana makanan, berarti menyalahi tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Mereka menetapkan busur dan tempat anak panah sebagai kekayaan seorang khattiya; seorang khattiya yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu busur dan tempat anak panah, berarti menyalahi tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Mereka menetapkan bercocok-tanam dan mengembang-biakkan ternak sebagai kekayaan seorang vessa; seorang vessa yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu bercocok-tanam dan mengembang-biakkan ternak, berarti menyalahi tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Mereka menetapkan sabit dan galah pengangkut beban sebagai kekayaan seorang sudda; seorang sudda yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu sabit dan galah pengangkut beban, berarti menyalahi tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat jenis kekayaan ini?” — “Tidak, Guru Gotama.” — “Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat dan memberitahunya: ‘Orang baik, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana lainnya, namun para brahmana menetapkan keempat jenis kekayaan itu.

“Brahmana, aku menyatakan Dhamma adiduniawi yang mulia sebagai kekayaan seseorang. Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali. Jika ia terlahir kembali dalam kasta khattiya, maka ia diakui sebagai seorang khattiya; jika ia terlahir kembali dalam kasta brahmana, maka ia diakui sebagai seorang brahmana; jika ia terlahir kembali dalam kasta vessa, maka ia diakui sebagai seorang vessa; jika ia terlahir kembali dalam kasta sudda, maka ia diakui sebagai seorang sudda. Seperti halnya api diakui melalui kondisi tertentu yang bergantung pada apa api itu membakar — jika api membakar dengan bergantung pada kayu batang, maka api itu dikenal sebagai api kayu batang; jika api membakar dengan bergantung pada kayu ranting, maka api itu dikenal sebagai api kayu ranting; jika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka api itu dikenal sebagai api rumput; jika api membakar dengan bergantung pada kotoran-sapi, maka api itu dikenal sebagai api kotoran-sapi — demikian pula, Brahmana, aku menyatakan Dhamma adiduniawi yang mulia sebagai kekayaan seseorang. Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali.”

(dari MN 96, MLDB 786–89)

(2) Kasta Hanyalah Kesepakatan

Raja Avantiputta dari Madhurā bertanya kepada Yang Mulia Mahākaccāna: “Guru Kaccāna, para brahmana berkata sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta dengan kulit paling cerah, kasta lainnya berkulit gelap; hanya para brahmana yang murni, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan putera-putera Brahmā, keturunan Brahmā, terlahir dari mulut Brahmā, terlahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Bagaimana menurut Guru Kaccāna mengenai hal ini?”

“Itu hanyalah peribahasa di dunia ini, Baginda. Dan ada satu cara untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini. Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang khattiya makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para khattiya yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para brahmana, para vessa, dan para sudda yang akan melakukan hal serupa?” – “Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang brahmana makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para brahmana yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para vessa, para sudda, dan para khattiya yang akan melakukan hal serupa?” – “Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang vessa makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para vessa yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para sudda, para khattiya, dan para brahmana yang akan melakukan hal serupa?” – “Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang sudda makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para sudda yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para khattiya, para brahmana, dan para vessa yang akan melakukan hal serupa?” – “Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang khattiya membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan yang memecah belah, mengucapkan kata-kata kasar, mengucapkan omong kosong, tamak, memiliki pikiran permusuhan, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia sewajarnya muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang khattiya demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan sewajarnya muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda berbuat hal yang sama?”

“Jika seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan sewajarnya muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan yang memecah belah, menghindari kata-kata kasar, dan menghindari omong kosong, dan tidak tamak, memiliki pikiran berbelas kasih, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia sewajarnya muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang khattiya demikian, Guru Kaccāna, ia akan sewajarnya muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia sewajarnya muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja demikian, Guru Kaccāna, ia akan sewajarnya muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang khattiya mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, atau menggoda istri orang lain, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apapun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apapun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang khattiya, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda … melakukan hal yang sama, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apapun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apapun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang khattiya, setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari ucapan salah. Menghindari makan di malam hari, ia hanya makan pada satu bagian siang hari, dan menjalani hidup selibat, bermoral, berkarakter baik. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?”

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang khattiya, dan hanya dikenal sebagai seorang pertapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda melakukan hal yang sama. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana … seorang vessa … seorang sudda, dan hanya dikenal sebagai seorang pertapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah peribahasa di dunia ini.”

(dari MN 84, MLDB 698–702)
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 04:18:12 PM
(3) Status Ditentukan oleh Perbuatan

[Sang Buddha berkata kepada brahmana muda Vāseṭṭha:]

“Sementara pada banyak jenis makhluk ini
tanda-tanda khusus mereka ditentukan oleh kelahiran,
pada manusia tidak ada tanda-tanda khusus
yang dihasilkan dari kelahiran tertentu mereka.

“Tidak di rambut juga tidak di kepala,
tidak di telinga juga tidak di mata,
tidak di mulut juga tidak di hidung,
tidak di bibir juga tidak di kening;

“Juga tidak di bahu atau di leher,
juga tidak di perut atau di punggung
juga tidak di bokong atau di dada
juga tidak di anus atau organ kelamin;

“Tidak di tangan juga tidak di kaki,
juga tidak di jari tangan atau di kuku,
tidak di lutut juga tidak di paha,
juga tidak dalam warna kulit atau dalam suara:
kelahiran tidak memiliki tanda khusus
seperti halnya dengan jenis makhluk lainnya.

“Pada tubuh manusia
tidak ada tanda khusus dapat ditemukan.
Pengelompokan di antara manusia
hanyalah sebutan verbal

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui pertanian,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia adalah seorang petani, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui berbagai keahlian,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang ahli, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui barang-barang dagangan,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pedagang, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan dengan melayani orang-orang lain,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pelayan, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan dengan mencuri,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pencuri, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui keterampilan memanah,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang prajurit, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui pelayanan religius,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pandita, bukan seorang brahmana.

“Seseorang di antara manusia
yang memerintah negeri dan kerajaan,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang raja, bukan seorang brahmana.

“Aku tidak menyebut seseorang brahmana
berdasarkan asal-usul dan silsilahnya.
Ia hanyalah seorang pembual yang sombong
jika ia terintangi oleh hal-hal.
Seseorang yang tidak memiliki apa pun, tidak membawa apa pun:
ia kusebut seorang brahmana.

“Seseorang yang telah memotong semua belenggu,
yang sesungguhnya tidak gelisah,
yang telah mengatasi segala ikatan, terlepas:
ia kusebut seorang brahmana....

Yang mengetahui tempat-tempat kediaman masa lampaunya,
yang melihat surga dan alam sengsara,
yang telah mencapai hancurnya kelahiran:
ia kusebut seorang brahmana.

“Karena nama dan suku diberikan
sebagai sekadar sebutan di dunia ini;
Berawal mula dari kesepakatan,
yang diberikan di sana-sini.

“Bagi mereka yang tidak mengetahui hal ini,
pandangan salah telah lama menjadi kecenderungan mereka;
tanpa mengetahui, mereka mengatakan kepada kita:
‘Ia adalah seorang brahmana melalui kelahiran.’

“Seseorang bukanlah seorang brahmana melalui kelahiran,
juga bukan melalui kelahiran seseorang menjadi bukan-brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana,
melalui perbuatan seseorang menjadi bukan-brahmana.

“Seseorang menjadi petani melalui perbuatan,
melalui perbuatan seseorang menjadi ahli.
Seseorang menjadi pedagang melalui perbuatan,
melalui perbuatan seseorang menjadi pelayan.

“Seseorang menjadi pencuri melalui perbuatan mereka,
melalui perbuatan seseorang menjadi prajurit.
Seseorang menjadi pandita melalui perbuatan mereka,
melalui perbuatan seseorang menjadi raja.

“Maka demikianlah bagaimana orang bijaksana
melihat perbuatan sebagaimana adanya –
orang yang telah melihat kemunculan bergantungan,
terampil dalam perbuatan dan akibatnya.

“Oleh perbuatan dunia berputar,
oleh perbuatan populasi berputar.
Makhluk-makhluk hidup terikat oleh perbuatan
bagaikan pasak poros roda pada kereta yang bergerak.

“Melalui pertapaan, melalui kehidupan suci,
melalui pengendalian diri, melalui pelatihan batin —
melalui hal ini seseorang menjadi brahmana;
ini adalah kebrahmanaan tertinggi.

(dari MN 98, MLDB 800–807; Sn III,9)

(4) Perbuatan Menyebabkan Orang Buangan

Sang Bhagavā berkata kepada brahmana Aggibhāradvāja: “Apakah engkau mengetahui, brahmana, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan?”

“Aku tidak tahu, Guru Gotama, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan. Mohon agar Guru Gotama mengajarkanku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat mengetahui apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan.”

“Dalam hal itu, brahmana, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Baik, tuan,” brahmana Aggibhāradvāja menjawab. Sang Bhagavā berkata demikian:

“Seseorang yang marah dan penuh permusuhan,
seorang jahat yang merendahkan,
berpandangan sempit, seorang penipu:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang di sini yang melukai makhluk hidup
apakah yang terlahir-sekali atau terlahir-dua-kali,
yang tidak berbelas kasih terhadap makhluk hidup:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....

“Seseorang yang memuji dirinya sendiri
dan memandang rendah orang lain,
rendah karena kesombongannya sendiri,
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang yang suka mencaci maki, pelit,
berkeinginan jahat, kikir, seorang penipu,
seorang tanpa rasa malu atau takut berbuat jahat:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang yang mencaci maki Sang Buddha
atau siswanya,
seorang pengembara atau seorang perumah tangga:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....

“Seseorang tidak menjadi orang buangan melalui kelahiran,
juga tidak melalui kelahiran seseorang menjadi brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi orang buangan,
melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana.”

(dari Sn I,7)

6. Negara

(1) Ketika Raja-Raja Tidak Baik

“Para bhikkhu, ketika raja-raja tidak baik, maka para pejabat kerajaan menjadi tidak baik. Ketika para pejabat kerajaan tidak baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik. Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik, maka para penduduk di kota dan di pedesaan menjadi tidak baik. Ketika para penduduk di kota dan di pedesaan tidak baik, maka matahari dan rembulan bergerak di luar jalurnya. Ketika matahari dan rembulan bergerak di luar jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang bergerak di luar jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang bergerak di luar jalurnya, maka siang dan malam berjalan di luar waktunya … bulan-bulan dan dwi mingguan berjalan di luar waktunya … musim demi musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya. Ketika musim demi musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya, maka angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak. Ketika angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak, maka para dewa menjadi marah. Ketika para dewata menjadi marah, maka hujan tidak turun dengan cukup. Ketika hujan tidak turun dengan cukup, maka pertanian menjadi masak dengan tidak teratur. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak dengan tidak teratur, mereka menjadi berumur pendek, berpenampilan buruk, lemah, dan rentan terhadap penyakit.

“Tetapi ketika raja-raja baik, maka para pejabat kerajaan menjadi baik. Ketika para pejabat kerajaan baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi baik. Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi baik, maka para penduduk di kota dan di pedesaan menjadi baik. Ketika para penduduk di kota dan di pedesaan baik, maka matahari dan rembulan bergerak sesuai jalurnya. Ketika matahari dan rembulan bergerak sesuai jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang bergerak sesuai jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang bergerak sesuai jalurnya, maka siang dan malam berjalan sesuai waktunya … bulan-bulan dan dwi mingguan berjalan sesuai waktunya … musim demi musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya. Ketika musim demi musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya, maka angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan. Ketika angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan, maka para dewa tidak menjadi marah. Ketika para dewa tidak menjadi marah, maka hujan turun dengan cukup. Ketika hujan turun dengan cukup, pertanian menjadi masak sesuai musimnya. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak sesuai musimnya, mereka menjadi berumur panjang, berpenampilan baik, kuat, dan sehat.”

(4) Perbuatan Menyebabkan Orang Buangan

Sang Bhagavā berkata kepada brahmana Aggibhāradvāja: “Apakah engkau mengetahui, brahmana, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan?”

“Aku tidak tahu, Guru Gotama, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan. Mohon agar Guru Gotama mengajarkanku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat mengetahui apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan.”

“Dalam hal itu, brahmana, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Baik, tuan,” brahmana Aggibhāradvāja menjawab. Sang Bhagavā berkata demikian:

“Seseorang yang marah dan penuh permusuhan,
seorang jahat yang merendahkan,
berpandangan sempit, seorang penipu:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang di sini yang melukai makhluk hidup
apakah yang terlahir-sekali atau terlahir-dua-kali,
yang tidak berbelas kasih terhadap makhluk hidup:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....

“Seseorang yang memuji dirinya sendiri
dan memandang rendah orang lain,
rendah karena kesombongannya sendiri,
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang yang suka mencaci maki, pelit,
berkeinginan jahat, kikir, seorang penipu,
seorang tanpa rasa malu atau takut berbuat jahat:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.

“Seseorang yang mencaci maki Sang Buddha
atau siswanya,
seorang pengembara atau seorang perumah tangga:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....

“Seseorang tidak menjadi orang buangan melalui kelahiran,
juga tidak melalui kelahiran seseorang menjadi brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi orang buangan,
melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana.”

(dari Sn I,7)

Ketika ternak sedang menyeberangi sungai,
jika sapi pemimpin berjalan berbelok-belok,
semua lainnya berjalan berbelok-belok
karena pemimpin mereka berjalan berbelok-belok.
Demikian pula, di antara manusia,
ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
berperilaku tidak baik,
orang-orang lain juga melakukan demikian.
Seluruh kerajaan menjadi suram
jika rajanya tidak baik.

Ketika ternak sedang menyeberangi sungai
jika sapi pemimpin berjalan lurus,
semua yang lainnya berjalan lurus
karena pemimpin mereka berjalan lurus.
Demikian pula, di antara manusia,
ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
berperilaku baik,
orang-orang lain juga melakukan demikian.
Seluruh kerajaan bergembira
jika rajanya baik.

(AN 4:70, NDB 458–59)

(2) Perang Menumbuhkan Kebencian

Raja Ajātasattu dari Magadha, putra Videha, menggerakkan empat divisi bala tentara dan berjalan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Pasenadi dari Kosala. Raja Pasenadi mendengar laporan ini, menggerakkan empat divisi bala tentara dan melepaskan barisan penahan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Ajātasattu. Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha dan Raja Pasenadi dari Kosala bertempur dalam sebuah peperangan, di mana Raja Ajātasattu mengalahkan Raja Pasenadi. Raja Pasenadi, terkalahkan, mundur ke ibukotanya sendiri di Sāvatthī.

Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah menerima dana makanan dan telah kembali, setelah makan, mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, Raja Ajātasattu dari Magadha memiliki teman-teman jahat Raja Pasenadi dari Kosala memiliki teman-teman baik. Namun pada hari ini, Raja Pasenadi, setelah dikalahkan; akan tidur dengan tidak nyenyak malam ini.

“Kemenangan menumbuhkan permusuhan,
Yang kalah tidur dengan buruk,
Yang damai tidur dengan nyaman,
Setelah meninggalkan kemenangan dan kekalahan.”

[Pada kesempatan lain, ketika Pasenadi mengalahkan Ajātasattu, Sang Bhagavā berkata:]

“Si dungu berpikir keberuntungan berada di pihaknya
selama kejahatannya belum masak,
tetapi ketika kejahatan masak
si dungu mengalami penderitaan.

“Pembunuh melahirkan pembunuh,
seorang yang menaklukkan, seorang penakluk.
Penyiksa melahirkan siksaan,
seorang pencaci, seorang yang mencaci.
Demikianlah dengan terbentangnya kamma
si perampas dirampas.”

(SN 3:14–15, CDB 177–78)

(3) Raja Pemutar-Roda

Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik, tidak memerintah kerajaannya tanpa raja di atasnya.”

Seorang bhikkhu tertentu bertanya: “Tetapi siapakah, Bhante, raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik?”

“Ini adalah Dhamma, hukum kebenaran,” jawab Sang Bhagavā berkata. “Seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan kepada para penduduk di wilayahnya. Ia memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan kepada para khattiya yang melayaninya; kepada para pasukan, kepada para brahmana dan para perumah tangga, kepada para penduduk kota dan desa, para pertapa dan brahmana, dan binatang-binatang dan burung-burung. Seorang raja pemutar-roda, yang memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan demikian kepada semua makhluk, adalah seseorang yang memerintah hanya dengan Dhamma. Dan pemerintahan itu tidak dapat digulingkan oleh manusia jahat mana pun juga.”

(dari AN 3:14, NDB 208–9)

(4) Bagaimana Raja Pemutar-Roda Menaklukkan Wilayah

“Di sini, ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari uposatha tanggal lima belas[2] dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan uposatha, di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam segala aspek. Ketika melihatnya, raja mulia yang sah itu berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari uposatha tanggal lima belas dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan uposatha, dan di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam segala aspek, maka raja itu menjadi seorang raja pemutar-roda. Apakah aku akan menjadi seorang raja pemutar-roda?’

“Kemudian raja mulia yang sah itu bangkit dari duduknya, dan dengan membawa sekendi air di tangan kirinya, ia memercikkan pusaka-roda itu dengan tangan kanannya, dengan berkata: ‘Berputarlah maju, pusaka-roda yang baik; menanglah, pusaka-roda yang baik!’ Kemudian pusaka-roda itu berputar maju ke arah timur dan sang raja pemutar roda mengikutinya bersama dengan empat barisan bala tentaranya. Sekarang di wilayah manapun pusaka-roda itu berhenti, di sana sang raja pemutar-roda berdiam bersama keempat barisan bala tentaranya. Dan para raja lawan di arah timur mendatangi raja pemutar-roda dan berkata: ‘Datanglah, Raja Agung; selamat datang, Raja Agung; berikanlah perintah, Raja Agung; berikanlah nasihat, Raja Agung.’ Sang raja pemutar-roda berkata sebagai berikut: ‘Kalian tidak boleh membunuh makhluk-makhluk hidup; kalian tidak boleh mengambil apa yang tidak diberikan; kalian tidak boleh melakukan perbuatan seksual yang salah; kalian tidak boleh mengucapkan kebohongan; kalian tidak boleh meminum minuman memabukkan; kalian seharusnya menikmati apa yang biasanya kalian nikmati.’ Dan para raja lawan di arah timur mematuhi raja pemutar-roda.

“Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera timur dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah selatan … Dan para raja lawan di arah selatan mematuhi raja pemutar-roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera selatan dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah barat … Dan para raja lawan di arah barat mematuhi raja pemutar-roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera barat dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah utara … Dan para raja lawan di arah utara mematuhi raja pemutar-roda.

“Sekarang ketika pusaka-roda telah memenangkan seluruh bumi hingga ke batas samudera, pusaka-roda itu kembali ke ibukota dan berdiam seolah-olah terpasang pada porosnya di gerbang istana di istana bagian dalam sang raja pemutar-roda, sebagai penghias gerbang menuju istana bagian dalamnya. Demikianlah pusaka-roda yang muncul bagi seorang raja pemutar-roda.”

(dari MN 129, MLDB 1023–24; lihat juga DN 26, LDB 397–98)

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 04:18:37 PM

(5) Kewajiban-Kewajiban Raja

[Sang Buddha menceritakan kisah dari masa lampau:] “Raja Daḷhanemi memanggil putra tertuanya, putra mahkota, dan berkata: ‘Putraku, pusaka-roda suci telah jatuh dari posisinya. Dan aku pernah mendengar bahwa jika hal ini terjadi pada seorang raja pemutar-roda, ia tidak hidup lama lagi. Aku telah puas dengan kenikmatan manusiawi, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan surgawi. Engkau, putraku, ambil-alihlah kendali atas negeri ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Dan, setelah mengangkat putera tertuanya menjadi raja selayaknya, Raja Daḷhanemi mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan tujuh hari setelah sang raja meninggalkan keduniawian, pusaka-roda suci lenyap.

“Kemudian seseorang mendatangi raja baru itu dan berkata: ‘Baginda, engkau harus tahu bahwa pusaka-roda suci telah lenyap.’ Mendengar kata-kata ini raja berduka dan bersedih. Ia mendatangi ayahnya, sang pertapa kerajaan, dan memberitahukan berita itu. Dan sang pertapa kerajaan berkata kepadanya: ‘Anakku, engkau tidak perlu berduka dan merasa sedih karena lenyapnya pusaka-roda. Pusaka-roda bukanlah warisan dari ayahmu. Tetapi sekarang, anakku, engkau harus merubah dirimu menjadi raja pemutar-roda yang mulia. Dan kemudian akan terjadi, jika engkau melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda yang mulia, pada hari uposatha tanggal lima belas, ketika engkau mencuci kepalamu dan naik ke teras di puncak istanamu untuk menjalankan hari uposatha, pusaka-roda suci akan muncul bagimu, berjeruji seribu, lengkap dengan lingkar, sumbu dan segala hiasannya.’

“‘Tetapi apakah, Baginda, tugas-tugas seorang raja pemutar-roda yang mulia?’”

“Yaitu, anakku: Dengan bergantung pada Dhamma, menghormatinya, menghargainya, dan memuliakannya, menjadikan Dhamma sebagai patokan, spanduk, dan otoritasmu, engkau seharusnya memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan bagi para penduduk di wilayahmu. Engkau seharusnya memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan kepada para khattiya yang melayanimu; kepada para pasukanmu, kepada para brahmana dan perumah tangga, kepada para penduduk kota dan desa, kepada para pertapa dan brahmana, kepada binatang-binatang dan burung-burung. Jangan biarkan kejahatan merebak di kerajaanmu, dan bagi mereka yang membutuhkan, berikan barang-barang kebutuhan mereka. Dan siapa pun para pertapa dan brahmana dalam kerajaanmu yang meninggalkan nafsu indriawi dan menjalani praktik kesabaran dan kelembutan, masing-masing menjinakkan diri mereka, masing-masing menenangkan diri mereka dan masing-masing berusaha untuk mengakhiri ketagihan, dari waktu ke waktu engkau seharusnya mengunjungi mereka dan bertanya: “Apakah, Bhante, yang bermanfaat dan apakah yang tidak bermanfaat, apakah yang patut dicela dan apakah yang tanpa cela, apakah yang harus diikuti dan apakah yang tidak boleh diikuti? Perbuatan apakah yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan kemalangan dan penderitaan, dan apa yang menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan?” Setelah mendengarkan mereka, engkau seharusnya menghindari apa yang tidak bermanfaat dan melakukan apa yang bermanfaat. Itu, anakku, adalah tugas seorang raja pemutar-roda yang mulia.’

“‘Baik, Baginda,’ ia berkata, dan ia melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda yang mulia. Dan demikianlah berturut-turut enam raja berikutnya muncul yang menjadi raja pemutar-roda. Kemudian raja ketujuh yang muncul dalam dinasti ini tidak pergi menemui sang pertapa kerajaan [ayahnya, raja sebelumnya] dan bertanya kepadanya tentang tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Alih-alih, ia memerintah orang-orang menurut gagasannya sendiri, dan karena diperintah dengan cara demikian, orang-orang tidak menjadi makmur seperti halnya yang mereka alami di bawah raja-raja sebelumnya yang telah melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda.

“Raja kemudian memerintahkan semua menteri dan penasehatnya untuk berkumpul, dan ia berkonsultasi kepada mereka. Dan mereka menjelaskan kepadanya tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Dan setelah mendengarkan mereka, raja membangun penjagaan dan perlindungan terhadap para penduduknya, tetapi ia tidak memberikan barang-barang kebutuhan kepada mereka yang membutuhkan, dan sebagai akibatnya, kemiskinan menjadi tersebar luas. Dari pertumbuhan kemiskinan, pencurian meningkat. Dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat; dari meningkatnya penggunaan senjata, pembunuhan meningkat, kebohongan meningkat, ucapan yang memecah belah meningkat, dan perbuatan seksual yang salah meningkat – dan karena hal ini, usia kehidupan orang-orang berkurang dan kecantikan mereka berkurang.”

(dari DN 26, LDB 396–401, diringkas)

(6) Memberikan Kesejahteraan kepada Orang-Orang

Sang Bhagavā berkata kepada brahmana Kūṭadanta: “Brahmana, pada suatu masa ada seorang raja yang bernama Mahāvijita. Ia kaya, memiliki banyak harta kekayaan, dengan emas dan perak yang berlimpah, harta benda dan barang-barang kebutuhan berlimpah, dan uang, dengan gudang harta dan lumbung yang penuh. Dan ketika Raja Mahāvijita sedang bersenang-senang sendirian, ia berpikir: ‘Aku memiliki sangat banyak kekayaan, aku memiliki tanah yang sangat luas yang kutaklukkan. Bagaimana jika sekarang aku menyelenggarakan upacara pengorbanan besar yang akan memberikan manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama?’ Dan ia memanggil penasehat kerajaan, dan menceritakan pemikirannya. ‘Aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Ajarilah aku, Bhante, bagaimana hal ini dapat memberi manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama.’

“Sang penasehat kerajaan menjawab: ‘Negeri Baginda diserang oleh para pencuri. Ia dirusak; desa-desa dan kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda berpikir: “Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, atau dengan penyitaan, ancaman, dan pengusiran”, gangguan ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri Baginda. Namun, dengan rencana ini engkau dapat secara total melenyapkan gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini yang bermata pencaharian bertani dan beternak sapi, bagikanlah benih dan makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, berikanlah modal; yang bekerja melayani pemerintahan, berikanlah upah yang sesuai. Maka orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat, dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.’

“Dan dengan mengatakan: ‘Jadilah demikian!’ raja menerima nasihat sang penasehat kerajaan: ia memberikan benih dan makanan ternak, modal kepada yang berdagang, upah yang sesuai kepada mereka yang bekerja melayani pemerintahan. Kemudian mereka, karena tekun dalam pekerjaan mereka, tidak mengganggu kerajaan. Penghasilan raja bertambah; negeri menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri; dan masyarakat, dengan hati gembira, bermain dengan anak-anak mereka, dan menetap di dalam rumah yang terbuka.”

(dari DN 5, LDB 135–36)


Catatan Kaki:

[1] Dānaṃ sīlaṃ pariccāgaṃ, ajjavaṃ maddavaṃ tapaṃ; akkodhaṃ avihiṃsañca, khantiñca avirodhanaṃ.

[2] Tanggal lima belas dari dwi mingguan penanggalan lunar, hari bulan purnama, yang ditetapkan untuk menjalankan kegiatan keagamaan khusus.
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 04:39:37 PM
Penutup
Oleh Hozan Alan Senauke

Jika Buddha Shakyamuni adalah Tabib Agung, maka ajaran-ajaran beliau adalah obat yang kita butuhkan untuk membawa kehidupan kita ke dalam keseimbangan dan keharmonisan. Obat tidak ada gunanya jika ia tetap berada dalam lemari. Ajaran-ajaran dan teks-teks tidak ada gunanya jika mereka dibiarkan tanpa dibuka di sebuah rak. Obat dan ajaran-ajaran harus sama-sama diterapkan ke dalam tubuh dan pikiran kita, di mana mereka dapat mengkatalisasi kebebasan dari penderitaan.

Ketika Bhikkhu Bodhi membagikan saya naskah buku ini (di bawah judul aslinya, Memelihara Kerukunan Sosial), jelas bahwa kumpulan ini memiliki daya tarik lebih luas bagi para umat Buddha di Asia dan di Barat, mereka yang memahami bahwa dukkha adalah bersifat personal dan dibentuk secara sosial. Tidak ada kehidupan individu yang terpisah dari pengaruh bersama komunitas, masyarakat, dan bangsa. Masyarakat ada sebagai bentukan bersama dari semua yang hidup di dalamnya. Walaupun teknologi telah mempercepat langkah dan lingkup hubungan dan kelompok manusia, realitas sosial dari saling menciptakan bersama adalah berlaku pada masa dan tempat Sang Buddha seperti juga masa kita.

Saya benar tentang daya tarik buku ini. Ketika saya menunjukkan kepada teman-teman sebuah cetakan dari Memelihara Kerukunan Sosial, mereka selalu menginginkan memperoleh sebuah salinan. Dengan izin Bhikkhu Bodhi, edisi bahasa Burma dan Inggris yang sangat terbatas dari versi yang lebih awal diterbitkan di Myanmar pada tahun 2014. Pertanyaan-pertanyaan tentang penerbitan dalam bahasa-bahasa lokal telah muncul saat itu dari Thailand, Sri Lanka, India, dan Jepang. Semua ini menggembirakan, tetapi pertanyaannya tetap: Bagaimana kita dapat menggunakan ajaran-ajaran ini sebagai obat yang baik untuk memelihara kerukunan sosial?

Lebih dari beberapa tahun pengajaran saya telah mengeksplorasi pertanyaan ini. Dasar Buddhis saya tumbuh dari landasan Mahayana dari Buddhisme Zen. Sejak sekolah menengah atas saya telah menjadi seorang aktivis sosial, dan itu berlanjut sampai sekarang dalam usia saya yang sudah enam puluhan tahun dengan cara yang terasa bergema sesuai Dharma. Selama hampir dua puluh lima tahun saya telah dengan dekat terlibat dalam Buddhist Peace Fellowship dan International Network of Engaged Buddhists, dua suara organisasional yang dihormati dalam Buddhisme humanis secara sosial. Karena kecenderungan pribadi saya selalu menjadi seorang internasionalis, yang melihat keterkaitan terbalik antara kesejahteraan dan hak istimewa di Barat dan kemiskinan dari berjuta-juta orang di sekeliling dunia. Melalui lingkaran BPF dan INEB saya berhubungan dekat dengan penderitaan dari mereka yang tidak diberikan hak istimewa dibandingkan saya, dan dengan keyakinan besar mereka dalam kekuatan yang membebaskan dari Buddhadhamma.

Ini khususnya berlaku di India, di mana suatu kebangkitan kembali Buddhis telah memunculkan gerakan yang kuat di negeri kelahiran Sang Buddha itu. Gerakan ini, yang terinspirasi pada pertengahan abad keduapuluh oleh seorang pemimpin religius dan sosial yang visioner, B. R. Ambedkar, telah mengakar dalam komunitas-komunitas yang paling tertindas di India, mereka yang selama ribuan tahun telah digolongkan sejak lahir sebagai yang tidak boleh disentuh. Saya bekerja di antara para Buddhis Ambedkarite ini, dan bersama mereka saya telah mengeksplorasi bagaimana menggunakan isi buku ini sebagai ajaran-ajaran yang hidup. Dalam kata penutup ini saya akan membagikan gambaran komunitas ini dan bagaimana kita mempelajari ajaran-ajaran sosial Sang Buddha.

Karena kebangkitan Buddhisme India ini sedikit diketahui di Barat, sebagai awal saya memberikan beberapa latar belakangnya. Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, ketika Sang Buddha mencapai pencerahan, sebuah komunitas yang termasuk para bhikkhu dan bhikkhuni, umat awam laki-laki dan perempuan, dari semua kasta terbentuk di sekeliling beliau. Sistem kasta yang turun-temurun, yang berdasarkan pada pekerjaan dan warna kulit, telah ada pada masa Sang Buddha. Ini sejak saat itu telah berevolusi menjadi suatu sistem sosial yang rumit dan hierarkis dengan ketidaksetaraan yang bertingkat. Di puncak piramida terdapat para brahmana atau pendeta keagamaan. Sang Buddha sendiri dilahirkan dalam kasta bangsawan, kshatriya. Di bawah mereka terdapat kasta pedagang dan petani, vaishya. Shudra adalah para buruh dan pelayan. Dan di bawah mereka terdapat Yang Tidak Boleh Disentuh, yang lebih belakangan ini disebut Dalit, yang berarti, dalam bahasa Hindi dan Marathi, orang-orang yang “rusak” atau berada di bawah roda penindasan.[1] Visi egalitarian Sang Buddha memasukkan mereka semua, tetapi kedudukan dan kemuliaan dinilai berdasarkan perbuatan etis dan pemahaman. Dalam Suttanipāta (v. 142) Sang Buddha mengatakan:

Seseorang tidak menjadi seorang buangan melalui kelahiran,
bukan melalui kelahiran seseorang menjadi seorang brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi seorang buangan,
melalui perbuatan seseorang menjadi seorang brahmana.

Tetapi Buddhisme telah tunduk pada penegasan kembali nilai-nilai brahmanis sejak milenium pertama Masehi. Belakangan ia secara sistematis ditindas oleh serbuan Muslim sejak abad kedua belas, dan dengan demikian ia lebih kurang lenyap sebagai suatu kekuatan kultural yang tersendiri di India. Tentu saja terdapat sisa-sisa yang terjalin dalam budaya itu. Penemuan situs-situs terkenal Buddhis abad kesembilan belas menginspirasi revivalis Buddhis Sri Lanka Anagarika Dharmapala untuk menyuarakan kelahiran kembali Buddhisme di India, di mana beliau pada akhirnya mendirikan Maha Bodhi Society.

Namun demikian kasta masih merupakan unsur yang menentukan dalam masyarakat India. Dalam The Age of Kali William Dalrymple menulis:

Dalam banyak desa India, kasta masih menentukan tidak hanya apa yang anda kenakan, tetapi di mana anda tinggal, apakah perdagangan yang anda ikuti, kepada siapa anda menikah, bahkan warna cat rumah anda. Setiap rincian kehidupan di desa tradisional India, di mana 80 persen orang India masih tinggal, diatur.[2]

Pada tahun 1920-an seorang tokoh baru muncul secara terkemuka, yang memperhatikan hak-hak asasi manusia, religius, dan ekonomi dari para Yang Tidak Boleh Disentuh atau Dalit, populasi besar dari komunitas yang tertindas di India. B. R. Ambedkar merupakan seorang pemikir dan penulis yang berpengaruh, yang berasal dari kasta Mahar yang tidak boleh disentuh di India tengah. Melalui kebaikan kecemerlangannya, Ambedkar memenangkan beasiswa di Perguruan Tinggi Elphinstone di Bombay dan mendapatkan gelar lanjutan di Universitas Columbia di New York dan Sekolah Ekonomi London. Ia kembali dari Barat pada tahun 1920-an sebagai salah seorang yang paling terpelajar di India kolonial, yang masih menghadapi diskriminasi yang telah menjadi nasib semua Yang Tidak Boleh Disentuh.

Dalam pengajaran universitas dan pekerjaan legalnya Ambedkar menjadi seorang penyokong yang bersemangat bagi para Yang Tidak Boleh Disentuh. Sementara Gandhi memilih jalan antikolonial dan nasionalis, kita dapat melihat Dr. Ambedkar adalah pemimpin gerakan hak-hak sipil. Ia bekerja untuk menghancurkan penindasan kasta di India ketika rezim kolonial bertahan, sampai setelah Perang Dunia II dan runtuhnya kerajaan Britania, dan sampai dasawarsa pertama kemerdekaan India. Walaupun konflik tajam dengan Gandhi, setelah kemerdekaan Ambedkar dipilih sebagai Menteri Hukum pertama India. Ia umumnya dilihat sebagai “bapak konstitusi India,” suatu naskah yang visioner bahkan saat ini.

Pada tahun 1930-an Ambedkar menyimpulkan bahwa agama Hindu yang dominan, dengan diskriminasi kasta yang melekat, tidak mungkin bereaksi pada reformasi politik atau religius. Pada Konferensi Kelas-Kelas yang Tertindas Yeola tahun 1935, Ambedkar menyatakan: “Saya terlahir sebagai seorang Hindu, tetapi saya dengan sungguh-sungguh menegaskan kalian bahwa saya tidak akan meninggal sebagai seorang Hindu.” Pada dasawarsa berikutnya ia menyelidiki agama Islam, kr****n, dan Sikh – dan dirayu oleh masing-masing kelompok ini, yang menyadari dengan baik bahwa perubahan keyakinan Ambedkar akan membawa serta jutaan orang Yang Tidak Boleh Disentuh dan harapan kekuatan politik yang lebih luas. Tetapi adalah Buddhisme, yang merupakan agama asli India, terbuka pada semua orang, dan sangat rasional, yang memenangkan hati dan pikirannya.

Pada tahun 1956, merasakan bayangan kematian, B. R. Ambedkar mengatur perubahan keyakinannya ke dalam Buddhisme. Pada tanggal 14 Oktober 1956, di Deekshabhoomi (Tanah Perubahan Keyakinan) di Nagpur, ia mengambil Tiga Perlindungan dalam Buddha, Dharma, dan Sangha, dan menerima lima sila dari bhikkhu senior Buddhis Theravadin di India, U Chandramani. Kemudian Ambedkar melakukan suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya, khususnya tidak pernah terjadi bagi seorang umat awam Buddhis. Berbalik kepada empat ratus ribu orang pengikut Yang Tidak Boleh Disentuh yang hadir, ia menawarkan mereka perlindungan dan dua puluh dua ikrar, yang termasuk lima sila dan pelepasan klausul khusus praktek dan kepercayaan Hindu. Tindakan perubahan keyakinan yang disengaja ini menandai pembaharuan Buddhisme yang sangat penting di India. Sejumlah perubahan keyakinan massal diikuti dalam minggu demi minggu, yang mengubah identitas spiritual jutaan orang Dalit. Tetapi pada awal bulan Desember, kurang dari dua bulan kemudian, Dr. Ambedkar meninggal dunia, disebabkan oleh komplikasi diabetes dan sakit jantung.

Hampir enam puluh tahun kemudian Buddhisme masih berakar di antara komunitas Dalit. Vihara-vihara di tepi jalan dan kuil-kuil sederhana dapat ditemukan di seluruh sudut negeri. Sebuah laporan Penelitian Pew tahun 2012 menempatkan populasi Buddhis India hampir sepuluh juta orang. Buddhis yang tidak menyatakan diri semakin meningkatkan jumlah itu. Tetapi diskriminasi kasta – dengan kejahatan dan pembunuhan sehari-hari terhadap yang paling miskin dari kaum miskin – tetap menjadi fakta yang pahit dan kejam dari kehidupan orang India. Tujuan kerukunan sosial, yang sangat jelas dinyatakan oleh Sang Buddha dan oleh Dr. Ambedkar, masih merupakan mimpi yang jauh.

Nagaloka, di Nagpur di mana upacara perubahan keyakinan pertama terjadi, adalah sebuah kampus seluas lima belas acre didedikasikan pada kesatuan Buddhisme dan perubahan sosial, sesuai dengan visi Ambedkar. Jantung fisik dari kampus yang damai ini adalah sebuah Buddha emas setinggi empat puluh kaki, yang dipahatkan sedang berdiri dengan kokoh dengan tangannya diangkat dalam abhaya mudra, yang menghasilkan keamanan, menghalau rasa takut. Dalam Nagaloka terdapat program pelatihan residensial, Institut Pelatihan Nagarjuna (Nagarjuna Training Institute/NTI), yang mengajarkan anak-anak muda meditasi, dasar Buddhisme, pengorganisasian sosial, dan pekerjaan Dr. Ambedkar. Sejak tahun 2002 lebih dari delapan ratus anak muda perempuan dan laki-laki antara usia tujuh belas dan dua puluh lima, yang berdatangan dari hampir setiap negara bagian Indian, telah menyelesaikan program sembilan bulan NTI. Banyak yang melanjutkan untuk tinggal dan menjalankan studi tahun kedua atau ketiga sebelum kembali ke daerah asal mereka atau masuk ke pendidikan yang lebih tinggi.

Saya telah bekerja bersama anak-anak muda ini selama enam tahun terakhir. Upaya yang sedang saya lakukan adalah menyediakan dukungan ekonomi bagi para mahasiswa NTI, dengan mengumpulkan dana di Barat dengan membagikan pengalaman saya tentang vitalitas sosial dan spiritual dari Buddhisme India “baru” ini. Setiap kali saya mengunjungi Nagaloka saya memberikan kuliah yang singkat tetapi intensif yang mengeksplorasi wilayah di mana praktek Buddhis dan tindakan sosial bertemu. Kita telah menjalankan unit tentang permasalahan gender dalam sejarah Buddhisme dan dalam masyarakat India yang sezaman; ras, kasta, dan diskriminasi – dengan melihat pada gerakan Hak-Hak Sipil AS dan masalah kaum yang tidak boleh disentuh di India; penuturan cerita sebagai suatu cara menyeberangi hambatan sosial; dan ajaran-ajaran Buddhis Dr. Ambedkar.

Pada bulan November 2014 saya telah menggunakan buku ini sebagai teks inti kami, dengan mengambil beberapa bagian penting dalam kuliah satu minggu:

•   Pemahaman benar
•   Komunitas
•   Ucapan yang Tepat
•   Kemarahan
•   Perselisihan dan Menyelesaikan Perselisihan

Ajaran-ajaran dalam bagian-bagian ini, dan seluruh buku Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial, sangat jelas dalam bahasa dan tujuannya. Langkah demi langkah mereka menunjukkan para praktisi menghindari apa yang tidak bermanfaat dan menuju yang bermanfaat. Tetapi dalam ruang kelas kami menemukan suatu tantangan. Seperti yang telah dinyatakan Bhikkhu Bodhi dalam percakapan, kami menemukan bahwa Sutta Piṭaka adalah sedikit ambigu – dan dunia yang kita tinggali tidak. Untuk menyatakan dengan cara lain, diskusi ruang kelas kami, yang dimulai dengan teks kanon yang tidak ambigu, dengan cepat tiba pada situasi di mana pilihan yang bermanfaat tidak mudah untuk dikenali. Tanpa kebijaksanaan Sang Buddha yang memotong intan, kita sering menemukan diri kita dalam ketidakpastian, menyadari motivasi kita yang bercampur aduk.

Sebenarnya, suatu landasan ambiguitas ditemukan dalam paragraf ketiga dalam bab pertama, “Pandangan Benar,” yang diambil dari Majjhima Nikāya:

“Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pandangan benar, aku katakan, ada dua jenis: ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada pandangan benar yang mulia, bebas dari noda-noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

“Pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda” menyiratkan bahwa bahkan ketika kita berusaha melihat dan bertindak sesuai dengan Dharma, kita masih dipengaruhi oleh delusi diri. “Berhubungan dengan kebajikan” adalah menggunakan praktek Buddhis untuk apa yang kita anggap bermanfaat bagi diri sendiri. “Matang dalam perolehan” berarti menjadi atau mendapatkan suatu diri. Ini adalah cara-cara biasa atau duniawi. Pandangan benar sebagai sebuah faktor dari jalan mulia berunsur delapan, bebas dari noda-noda atau tidak ternoda, dan melampaui keduniawian, melampaui perangkap dan jerat dunia ini.

Catatan bahwa Sang Buddha tidak mengatakan bahwa pandangan benar duniawi atau biasa sama dengan pandangan salah, yang akan menjadi sudut pandang absolutis. Alasan beliau mungkin lebih bahwa pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda adalah awal yang baik ... lanjutkan. Pandangan benar yang bebas dari noda-noda dan melampaui keduniawian adalah pandangan kebijaksanaan dan kejelasan menjaga Dharma dalam pikiran. Ambillah hal itu sebagai tujuan.

Bagian berikutnya, juga dari Majjhima Nikāya, menjelaskan bagaimana berlatih dengan apa yang tidak bermanfaat, yang bermakna perbuatan-perbuatan kita berakar dalam keserakahan, kebencian, dan delusi, perbuatan-perbuatan yang menyebabkan satu orang menentang orang lainnya. Beliau bertanya, “Apakah akar dari yang tidak bermanfaat?”

Membunuh makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perbuatan seksual yang salah adalah tidak bermanfaat; ucapan bohong adalah tidak bermanfaat; ucapan yang memecah belah adalah tidak bermanfaat; berkata kasar adalah tidak bermanfaat; omong kosong adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; permusuhan adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat.

Kita mengenali hal-hal ini sebagai sebuah versi sila Buddhis dasar, landasan moral dari latihan kita. Latihan apa yang bermanfaat hanya dengan menghindari tindakan-tindakan kebiasaan ini, yag lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Tentu saja kita memulai di dunia ini, dengan semua pandangan tidak sempurna dan hubungan kita yang rumit. Pada awalnya para mahasiswa NTI menemukan ini bersifat mengecilkan hati. Kita manusia sering menginginkan sekumpulan instruksi ilahi, rambu-rambu yang menunjukkan kita jalan yang benar. Alih-alih, diskusi ruang kelas kami menempatkan kami dalam kerumitan kehidupan nyata dan melempar kita kembali pada penilaian, pengalaman, dan kebijaksanaan kita.

Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 15 February 2018, 04:40:10 PM
Ini menjadi jelas ketika kita mengambil ajaran Sang Buddha tentang ucapan. Ini dan instruksi-instruksi yang sama muncul pada beberapa titik dalam kumpulan sutta Pāli.

“Para bhikkhu, ketika ucapan memiliki lima faktor, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana. Apakah lima ini? Ucapan itu diucapkan pada waktu yang tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan pikiran cinta kasih. Ketika ucapan memiliki kelima faktor ini, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana.” (AN 5:198)

Jadi persyaratan Sang Buddha untuk ucapan yang tepat membutuhkan kata-kata yang tepat waktu, benar, lembut, bermanfaat atau berguna, dan didorong oleh cinta kasih. Para mahasiswa Nagaloka, yang berlatih meditasi cinta kasih tradisional sehari-hari, dengan cepat menyetujui instruksi-instruksi ini, tetapi saya mengajukan serangkaian pertanyaan.

Bagaimana kita mengetahui apakah yang “tepat waktu” itu? Jika saya terlibat suatu konflik dengan seorang teman, apakah tepat waktunya bagi saya mungkin tidak demikian bagi teman saya. Apakah yang “benar” itu? Kita mengetahui bahwa kebenaran adalah (hampir) selalu hal yang subjektif. Pengalaman saya sebagai mediator adalah bahwa dua orang sering memiliki versi “kebenaran” yang bertentangan satu sama lain.

“Lembut” dan “bermanfaat” adalah juga bersifat subjektif. Seperti yang ditunjukkan Bhikkhu Bodhi dalam pendahuluan beliau pada Bagian IV (hal. 73):

... meskipun kotbah-kotbah menekankan pentingnya mengembangkan sikap yang lembut dan berbelas kasih sebelum mengkritik orang lain, mereka tidak menganjurkan berkata kepada orang lain hanya dengan cara yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka menasehati seseorang untuk mengkritik orang lain ketika kritik itu diperlukan.

Seorang Buddha, dengan kekuatan kemahatahuan, tidak akan menebak-nebak. Tetapi bagi kebanyakan kita di sini dalam saṃsāra empat kondisi ucapan ini tidak dapat diketahui. Jika saya mengetahui teman saya dengan baik, aku mungkin membuat terkaan yang bagis tentang apa yang dapat ia anggap sebagai tepat, benar, lembut, dan bermanfaat. Dan saya mungkin menerka dengan salah. Jika perbedaan saya adalah bersama seseorang yang tidak saya kenal atau bersama orang di mana saya telah memiliki sejarah konflik dengannya, mungkin kita tidak dapat menyetujui pada satu atau lebih poin ini.

Kondisi kelima untuk ucapan yang tepat adalah “didorong oleh cinta kasih.” Sementara seseorang dapat, tentu saja, membodohi diri sendiri tentang motivasi, ini adalah aspek ucapan yang dapat kita ketahui dengan baik dalam diri kita. Menggunakan Dhamma sebagai penyelidikan, saya dapat menentukan apakah keinginan saya adalah untuk terhubung dengan orang lain atau untuk memisahkan diri saya darinya. Apakah saya berbalik menuju  makhluk-makhluk hidup atau menjauh dari mereka?

Ini memicu diskusi ruang kelas yang kaya tentang ucapan – apakah yang kita katakan kepada orang lain, kapan, dan mengapa. Nilai diskusi ini bukan bahwa semua mahasiswa mencapai kesepakatan atas masalah tersebut, tetapi bahwa kita dapat memiliki percakapan yang bersemangat dan menikmatinya. Para mahasiswa melihat bahwa mereka mereka dapat menganut pandangan-pandangan yang berbeda – menyetujui dan menolak – ketika tetap dalam hubungan satu sama lain. Ini adalah langkah pertama menuju suatu masyarakat yang berdasarkan pemikiran kritis.

Seraya kita membaca bagian lain dari buku Memelihara Kerukunan Sosial, permasalahan-permasalahan yang sama muncul. Dengan menyelidiki sepuluh “landasan bagi kekesalan” – lihat III,4 dari buku ini – membawa pada debat hidup tentang apakah kemarahan dapat dipahami dalam menghadapi kekerasan dan sistem sosial yang menekan, dan apakah kemarahan demikian memang bermanfaat.

Bab tentang “komunitas intensional” mengandung suatu kutipan dari “Buku Ketujuh” Aṅguttara Nikāya – di sini VII,3(5) – di mana Sang Buddha mengajarkan tujuh kondisi bagi kerukunan sosial kepada orang-orang Licchavi atau Vajji di India Utara kuno. Termasuk suatu nasehat bahwa “selama para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.” Poin ini menyentuh suatu diskusi tentang pemerkosaan, perdagangan wanita, penindasan gender, dan ketakutan dalam komunitas para mahasiswa Nagaloka sendiri.

Saya melihat para mahasiswa India ini menggunakan ajaran Sang Buddha bukan sebagai dogma atau doktrin, tetapi sebagai panduan untuk melihat pada kerumitan situasi kehidupan nyata. Mereka belajar berpikir bagi diri mereka sendiri dan menerima keanekaragaman pandangan dengan menggunakan Dhamma itu sendiri.

Dalam sebuah esai tahun 1950, “Buddha dan Masa Depan Agamanya,” Dr. Ambedkar mempertimbangkan perubahan keyakinan komunitas Dalit dari yang tidak boleh disentuh menjadi Buddhisme. Ia melihat suatu tradisi spiritual yang berdasarkan pemikiran kritis:

[Sang Buddha] berkata kepada Ananda bahwa agamanya didasarkan pada pemikiran dan pengalaman dan bahwa para pengikutnya tidak seharusnya menerima ajarannya sebagai benar dan terikat hanya karena mereka berasal dari beliau. Didasarkan pada pemikiran dan pengalaman mereka bebas untuk mengubah atau bahkan meninggalkan ajarannya yang mana pun jika ini ditemukan bahwa pada suatu masa atau suatu situasi mereka tidak berlaku .... Beliau menginginkan bahwa ini seharusnya selalu hijau dan dapat melayani pada semua masa .... Tidak ada guru agama lain yang telah menunjukkan keberanian demikian.

Keadaan Buddhis India yang buruk terutama pada keadaan kultural. Tetapi kuliah yang bersisi banyak yang saya jelaskan, menggunakan buku Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial sebagai sebuah titik loncatan, adalah tidak dapat dihindari. Saya memiliki jenis diskusi provokatif yang sama di Burma dan di AS. Realitas tidak dapat dilingkupi dengan pernyataan-pernyataan yang pasti benar. Bahkan orang-orang yang berniat baik dapat menganut beranekaragam pandangan. Tetapi suatu visi yang sebenarnya atas kerukunan sosial dan toleransi menunjuk pada suatu dunia yang lebih damai.

Dalam pengertian praktis, mengembangkan kehendak kita untuk terhubung adalah kuncinya, yang dilakukan melalui pelatihan dan praktek ajaran-ajaran ini. Sang Buddha terus-menerus menyatakan tantangan dan perlunya praktek ini. Beliau mengatakan:

Seseorang yang membalas seorang yang marah dengan kemarahan
dengan demikian membuat hal-hal lebih buruk bagi dirinya.
Tidak membalas seorang yang marah dengan kemarahan,
seseorang memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.

Ia berlatih demi kesejahteraan kedua pihak –
dirinya sendiri dan orang lain –
ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah,
ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

Ketika ia mencapai kesembuhan bagi kedua pihak –
dirinya sendiri dan orang lain –
orang-orang yang menganggapnya orang bodoh
adalah tidak terampil dalam Dhamma.

Melalui usaha tekun kita, semoga kita belajar menemukan kerukunan bahkan dalam masa-masa konflik. Seraya kita tumbuh dalam kebijaksanaan semoga kita merenungkan bahwa “negeri kita menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri; dan masyarakat, dengan hati gembira, bermain dengan anak-anak mereka, dan tinggal di dalam rumah yang terbuka.”

Catatan Kaki:

[1] Untuk lebih rincinya tentang Dalit, mantan “Yang Tidak Boleh Disentuh”, Dr. Ambedkar, gerakan Buddhis “baru” di India, dan para murid di mana saya telah bekerja bersama mereka, lihat buku saya Heirs To Ambedkar: The Rebirth of Engaged Buddhism in India (Berkeley: Clear View Press, 2013).

[2] William Dalrymple, The Age of Kali: Indian Travels and Encounters (New York: Penguin, 1998), 115.

S E L E S A I

:lotus: :lotus: :lotus:
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: Hanni_Tan on 15 February 2018, 08:02:46 PM
Xie2..  ^:)^ ^:)^ ^:)^ ^:)^ _/\_ _/\_ _/\_ini uda semuanya diterjemahkan kah?
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: Hanni_Tan on 15 February 2018, 08:03:22 PM
Xie2.. ^:)^ ^:)^ ^:)^ ^:)^ ^:)^ ini uda semuanya diterjemahkan kah?
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: Arya Karniawan on 17 February 2018, 11:27:16 PM
Akhirnya dituliskan juga disini...  ;D
Title: Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
Post by: seniya on 19 February 2018, 02:15:34 PM
Xie2..  ^:)^ ^:)^ ^:)^ ^:)^ _/\_ _/\_ _/\_ini uda semuanya diterjemahkan kah?

Udah