Saya barusan baca Mulapariyaya Sutta, memang tidak dibagi menjadi 6 tahap seperti yang diposting bro Dilbert. Kalau saya lihat di Sutta, biasanya Sang Buddha memang tidak menjabarkan/menjelaskan secara detail apa yang beliau babarkan ya (misalnya ada 6 tahap yang katanya versi MMD).
Sama halnya tentang Sanna yang barusan kita bahas. Sepertinya umat buddhist jaman dulu, langsung bisa mengerti tentang pancakhanda (definisi dan hubungan-hubungannya), jadi tidak banyak ditemukan penjelasan panjang-lebar tentang suatu hal. Sedangkan saya di sini masih dalam tahap bertanya-tanya karena membaca saja rasanya tidak cukup. Entah apa karena perbedaan bahasa (pali vs inggris/indonesia) atau karena perbedaan kebijaksanaan (dulu orangnya cepet nangkep)
Biasanya memang sutta dibabarkan untuk orang yang bersesuaian dengan sutta tersebut, jadi memang bisa jadi juga penggunaan istilahnya adalah bagi yang mengerti. Itu sebabnya kadang diperlukan tambahan dari kitab komentar untuk mengerti apa yang dimaksudkan.
Lalu, pendapat bro Kainyn tentang Mulapariyaya Sutta, bagaimana?
Ada persamaan antara pendapat saya dengan PH (Pak Hudoyo), yaitu di mana ada satu bagian 'proses pikiran' yang harus berhenti untuk mencapai 'pembebasan'. Persamaan ini yang membuat beberapa orang yang [saya anggap] gagal memahami saya, menilai saya sebagai 'sama persis' dengan MMD.
Perbedaannya antara lain adalah saya tidak melihat keenam proses tersebut bukan selalu satu kesatuan.
(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.
(i) sañjānāti adalah proses mencerap objek dengan indera, namun belum tentu disertai pengertian benar. (Dalam konteks sutta ini, istilah tersebut digunakan untuk 'pencerapan yang tidak disertai pengertian'.)
Karena tidak memahaminya, maka timbul pandangan 'aku/diri' terhadap objek, yaitu salah satu dari nomor (ii) - (v) ("aku/diri" adalah objek; "aku/diri" bagian dari objek; "aku/diri" terpisah dari objek; objek adalah "milikku") dan karena pandangan tersebut, maka ia bersenang di dalam konsep tersebut (vi), otomatis timbullah kemelekatan.
Kalau tidak salah, PH mengatakan bahwa dalam vipassana, proses itu dihentikan di tahap (i), sehingga tidak muncul konsepsi lebih jauh. Menurut saya, konsepsi tidak untuk dihentikan, namun pemahaman tentang objek apa adanya yang harus dikembangkan. Dengan pemahaman benar timbul, maka konsepsi tetap timbul, namun tanpa disertai pandangan salah di mana ada 'aku/diri' sebagai/bagian/di luar/memiliki konsep tersebut. Dalam sutta Palinya, ketika orang memahami objek dengan benar, maka ia tidak dikatakan me-"sañjānāti" objek, namun meng-"abhijānāti".
Singkatnya, yang saya tangkap (dan mungkin saja salah), di MMD adalah latihan menghentikan proses "maññati". Saya setuju bahwa "maññati" harus berhenti, namun bukan dengan menginterupsi proses konsepsi, melainkan dengan memahaminya.
Bukan "maññati" yang dihentikan, namun "sañjānāti"-nya yang harus disertai pemahaman, sehingga menjadi "abhijānāti". Mencerap objek dengan memahaminya, maka "seharusnya" paham "aku" tidak timbul, walaupun kadang masih ada kecenderungan timbul dalam diri seorang sekha. (Sama seperti misalnya dengan pandangan benar tentang makhluk apa adanya, seharusnya paham 'kasta' tidak timbul. Namun bagi orang yang masih berlatih, yang belum melenyapkan pandangan salah 'kasta' secara keseluruhan, masih bisa timbul kesombongan berkenaan dengan strata sosial dalam dirinya.)
Namun pada Ariya yang lebih tinggi, mencerap objek dengan memahaminya, maka paham "aku" sudah tidak lagi timbul. Bagaimanapun pikiran mempersepsi dan mengkonsepkan objek, serumit dan sekompleks apa-pun, tetap tidak timbul konsep "aku/diri" di sana, maka ia tidak lagi bergembira dalam konsep tersebut.
Ini sepertinya juga perbedaan pandangan antara saya dan PH, karena saya ingat PH mengatakan bahwa dalam kondisi meditatif 'tanpa aku', seseorang tidak berpikir (secara intelektual) yang rumit karena akan terjadi konsepsi pikiran. Menurut saya, bisa saja, itulah sebabnya para Arahat pun tetap bisa melakukan penilaian dan pemikiran yang rumit, namun tetap memahaminya apa adanya, tanpa 'aku/diri' dalam konsep tersebut.