salah satu tulisan di makalah minggu kemaren dengan alasan dasar hukum.
sedangkan 'hukuman' alternatif yang pernah diajukan sudah pernah ditulis. semoga bermanfaat
Salah satu alternatif yang banyak dikemukakan untuk menghukum pelaku korupsi adalah dengan penerapan hukuman mati. Sudah sejak jaman dulu pidana mati untuk kejahatan berat dikenakan dimana-mana, berdasarkan atas pembalasan terhadap perbuatan yang sangat kejam dari seorang manusia. Tujuannya selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar dengan ancaman pidana mati, mereka takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakhibatkan mereka dipidana mati (Syamsul:2010, hlm. 47). Pembalasan sering kali sebagai dasar pembenaran untuk melegalkan hukuman mati tapi jika dipertanyakan balik, apakah dengan melakukan hukuman mati yang setimpal, korban yang telah meninggal atau hak yang telah hilang dapat kembali secara utuh? Tindakan pembalasan (retaliation) justru akan menimbulkan kesedihan yang mendalam di pihak lain.
Untuk menanggulangi masalah korupsi kelihatannya satu-satunya cara untuk menghilangkannya dengan memberikan hukuman seberat-beratnya, banyak yang mengusulkan diberikan hukuman mati sedangkan masalah hukuman mati sudah diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Monang Siahaan: 2013, hlm. 93) menyatakan:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Tetapi dibagian penjelasan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Hanya saja dalam pelaksanaaannya Hakim pada umumnya hampir tidak ada yang menjatuhkan hukuman mati karena dikaitkan dengan alasan yang memberatkan maupun meringankan dan faktor meringankannya jauh lebih dominan dari batasan hukuman tertinggi, pendidikan dan lain-lain (ibid). Dari bagian penjelasan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan penekanan pada ‘keadaan tertentu’ untuk memilah kasus hukuman mati bagi pelaku tindak pindak korupsi secara legal dapat dilakukan. Dengan melihat ‘kondisi tertentu’ maka hal kekhususan yang akan dilakukan hukuman mati sedangkan hukuman secara umum masih mengacu pada hukuman pidana berupa kurungan fisik, penyitaan dan ganti rugi materiil.
Para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadapa para koruptor kakap karena bertentangan dengan HAM, UUD 1945 dan Pancasila. Asmara Nababan mengusulkan agar hukuman mati dicabut dengan alasan bahwa penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan international. Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan bertentangan dengan Pasal 28A, UUD 1945 menyatakan bahwa:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.**
Pernyataan selanjutnya dari Asmara, “Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pengawasan dan pertanggungjawaban.” Hal senada juga disampaikan oleh Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial, bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia." (hukumonline.com)
Bila kita mencoba untuk bergeser melihat ketidakmampuan hukum positif berperan lebih luas memberantas korupsi, yang tidak terjangkau oleh sanksi hukum, dapat dihadapkan pada jangkauan sanksi sosial yang bila benar-benar dijalankan memberikan efek lebih efektif. Sanksi sosial bukan hanya bersifat mencegah (preventif) guna menciptakan masyarakat yang secara sadar menolak segala bentuk korupsi dan mendorong pelaksanaan sanksi hukum yang setimpal dan adil tetapi juga mampu memberikan sanksi yang belum terjangkau oleh hukum positif (Ruslan, antikorupsi.org).
Pemberantasan korupsi tidak mungkin hanya mengandalkan pendekatan hukum tetapi juga diperlukan pendekatan sosial yang berbasiskan pada moral dan budaya. Pendekatan ini sangat beralasan mengingat korupsi berkaitan erat dengan naluri manusia yang cenderung berkeinginan mengumpulkan harta kekayaan secara tidak terbatas. Sanksi sosial tidak boleh mengabaikan hukum, sebaliknya hukum dan pelaksanaanya harus mampu menyerap aspirasi dan nilai sosial (ibid) yang berlaku di masyarakat setempat (local wisdom). Kesadaran berhukum timbul karena adanya hukum juga perlu dibangun bukan hanya hukum ada untuk digunakan menakuti-nakuti.
Syamsul Hidayat, 2010, Pidana Mati di Indonesia, Genta Publishing.
Monang Siahaan, 2013, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan, PT Elex Media Komputindo.
___
mohon digunakan sebagaimana semestinya sebagai karya akademis.