//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - bodohsatva

Pages: [1] 2 3
1
Diskusi Umum / Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« on: 16 December 2009, 04:25:10 PM »
bukannya buddha dharma tidak melarang juga tidak mengharuskan?
hanya membabarkan akibat yang akan di terima jika melakukan ini...

pendapat si“bodoh" ini sih bahwa... jika ingin terbebas dari penderitaan... seharusnya menghindari hal-hal yang menjadi akar dari penderitaan dalam kasus ini tentunya "keserakahan" akan pemuasan "napzu syetan" (kata2 dari agama tetangga he he he...)

dan sekali lagi.. ini hanya anjuran jika toh masih mau dan bersedia tanggung akibatnya yah "go ahead"...  

2
kamma Vipaka...
sebenarnya sama seperti sesuatu yang kita tanam...
bisa berbuah, bisa pula tidak...
ada yang cepat berbuah ada yang pelan...
sebelum panen pun masih bisa terjadi perubahan karena perubahan "pikiran" dan "sikap" kita...
ciiw

3
Pengalaman Pribadi / Re: Apakah ada yang telah mencapai Jhana ?
« on: 16 December 2009, 01:27:28 PM »
saya tidak yakin apakah yg saya alami adalah jhana...
tapi jika dibanding deskripsinya sih iya...

namun kata teman2 theravada... mesti melewati tahap adanya "nimitta"
dan kyknya belum ada tuh... selain kunang2 kecil yang kadang muncul selesai meditasi...

4
Pengalaman Pribadi / Re: Fenomena Hubungan Karma
« on: 16 December 2009, 01:06:19 PM »
nice posting..
anumodhana...
juga bukan kebetulan saya membaca posting anda...

5
Perkenalan / Re: Alamat FACEBOOK...
« on: 16 December 2009, 10:03:02 AM »
bodohsatva... di WDC
di FB en YM:
whitephoenix_knight [at] yahoo.com

6
padahal...
para bodhisatva ketika jaman dimana dhama sejati tidak ada di dunia, mereka bersedia mengorbankan apapun termasuk nyawanya hanya demi mendengar... dharma sejati di babarkan walau hanya satu bait...

tragedi...

7
Meditasi / Re: Stock foto untuk meditasi asubha
« on: 03 August 2009, 10:53:11 PM »
di zip aja, trus upload ke perpustakaan

terserah tuhan d... heheeh.. itu filenya ga dikecilkan ko.. saya dapet email langsung upload..

[at) Anestan
Aku akn menderita Usia tua, aku akn menderita penyakit, aku akn menderita kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku.... Hendaklah ini kita renungkan setiap saat....[/color]

kata-katanya bagus niee cocok buat signature ayee , .... minta izin yooooo
Thanks .......  _/\_


ini kan kalau ga salah paritta.. silahkan saja... aye ga ada hak.. ;D

trimakasih atas fotonya....
ho ho ho...

8
ha ha ha...
yang menulis kesaksian itu punya banyak kelemahan...
1. orang yang paham akan buddha dharma "tidak" takut akan penderitaan dan kematian... jika dikatakan "wang" buddhis dan memahami nibbana lalu bersikap seperti ini... adalah penipuan yang lucu bagi semua saudara2 di forum ini...
saya jadi kasihan dengan umat2nya yang sering kali menjadi korban penipuan pimpinan mereka yang kurang bijak sana (masih menumpuk kebencian, keserakahan dan kebodohan batin)

2. sering kali mengatakan "roh-roh jahat" sesungguhnya siapakah yang jahat yah? ha ha ha... belajar sejarah gak sih?
buddhisme sangat netral menilai setiap makhluk... dalam buddhisme tidak ada yang jahat... tidak ada yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesenangan seseorang selain dirinya sendiri...
kasian umat2 mereka yang kemudian sangat terikat dan bergantung pada-Nya... dan kasihan "Dia" yang harus melayani setiap umat2 yang tiap hari siang malam mangil2 dalam doa mereka... bayangkan semilyar lebih umat artinya 24 terus ada kiriman doa dari dunia.. he he he... jadi di surga sana juga sibuk sekali yah???

3. seperti hukum pemasaran pada umumnya... "mana ada yang jual kecap no2??"

ha ha ha lelucon ini untuk pembodohan kalangan mereka sendiri lah...

9
Ada dua maksud yang penting mengapa Patriat tidak lagi mewariskan Jubah dan Patra. Yang pertama adalah demi keselamatan beliau dan terutama keselamatan suksesinya nanti, sebab tanpa adanya kedua pusaka itu maka tak ada lagi yang menjadi objek rebutan. Yang kedua adalah untuk menyatakan sistem kepatriatan kebhiksuan telah berakhir, dan kini sampailah waktunya garis kepatriatan dengan kehidupan anagarika dan upasaka(perumah-tangga). Kenyataan ini merupakan suatu peralihan yang hebat dalam sejarah Buddhisme.
Disebabkan oleh ucapan Patriat bahwa Jubah dan Patra tidak akan diwariskan kepada siapa pun, maka semua orang bahkan hinga sekarang menganggap bahwa setelah Patriat Hui Neng tidak ada lagi Patriat penerus. Dan karena umat Buddhis selalu melihat Jubah dan Patra senantiasa berada di sisi sang Patriat maka perhatian orang pada waktu itu hanya diarahkan ke viahara Pao Lin, tempat dimana Patriat menyebarkan Dharma, dan dunia tidak tahu sedikitpun tentang Patriat Pai dan Ma yang hidup jauh di luar garis gemerlapnya pelita vihara.

Demikianlah awal garis kepatriatan Buddhisme Maitreya setelah Patriat Hui Neng, yang merupakan buah jerih payah perjuangan beliau selama periode tertutup. Dengan demikian setelah Patriat ke-6 garis kepatriatan masih terus dilanjutkan walaupun tanpa pewaris jubah dan patra. Patriat ke-7 yang terdiri dari dua orang itu adalah anagarika Buddhis(bukan lagi bhiksu). Kedua guru inilah yang mulai meletakan sistem pengamalan Buddhisme yang lebih sederhana dan bersifat sehari-hari dalam kehidupan non-biara. Di samping mempraktekan Dhyana(Penginsafan ke dalam Bodhi watak diri sendiri) dalam momen aktif yaitu dalam saat berpikir,berbicara,dan bekerja(inilah aspek pembinaan Dhyana) mereka berdua juga melaksanakan praktek pertobatan(yang juga diajarkan dalam Sutra Altar), bahkti-puja dan penyerahan diri kepada maitri-karuna Buddha Maitreya(inilah aspek pembinaan kebaktian). Gabungan kedua aspek di atas ini yang disebut Dhyana-Kebaktian! Namun bagaimanapun juga aspek Dhyana/Zen dari Patriat ke-6, Guru mereka, masih menjadi personalitas yang paling utama.

Patriat ke-7 lalu menurunkan Ajaran Esoteris ini kepada Anagarika Lo Wei Chin yang sekaligus menjadi Patriat ke-8. Patriat ke-8 inilah yang banyak mengembangkan ajaran moral kebajikan dan cinta kasih(pengembangan dalam aspek kebaktian). Bila sebelumnya Buddhisme banyak dikenal sebagai ajaran Lokuttara(pelepasan duniawi) maka Patriat ke-8 ini justru menitik beratkan ajaran lokya yaitu penyucian diri dengan sikap yang lebih membumi(mendunia). Pengamalan agama bukan lagi semata samadhi tetapi hendaklah diikuti dengan pengembangan moral kebajikan yang luhur. Agama Buddha bukan hanya diperuntukan pada kaum cerdik yang pandai(kaum skolastik) melainkan harus mendatangi ke dalam segala lapisan masyarakat bahkan para buruh dan petani yang awam yang tidak tahu menahu tentang Buddha, Dharma dan Sangha pun dapat ikut serta membina diri dengan mengembangkan pribadi luhur Bodhisatva, hidup jauh dari kebodohan dan kejahatan di dunia. Ajaran Panca Sila(larangan membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan mabuk-mabukan) dikembangkan menjadi Panca Budi(cinta kasih, keadilan, susila, kebijaksanaan dan kepercayaan). Sekalipun demikian, Patriat ke-8 masih melaksanakan hidup tertutup meneruskan sikap Gurunya Patriat ke-7. Pengikut-pengikut beliau masih sedikit sekali, sebab masa beliau belum tiba.

Patriat Lo Wei Cin menurunkan Ajaran Esoteris kepada Huang Te Hwi sekaligus mewariskan kedudukan kepatriatan sehingga Huang Te Hwi inilah yang menjadi suksesi sebagai Patriat ke-9. Patriat ke-9 inilah yang telah banyak mengembangkan tehnik pembinaan diri dan pengamalan Ketuhanan melalui aspek kebaktian dalam Buddhisme Maitreya sehingga walaupun secara fundamental Buddhisme Maitreya adalah agama Buddha Mahayana namun secara penampilan tampak berbeda khususnya dalam hal ritual dan bhakti-puja. Yaitu unsur Samadhi telah digantikan dengan unsur Kebaktian. Jadilah Budhisme Maitreya sebagai sebagai Buddhisme Dhyana/Zen yang kuat aspek Kebaktiannya. Gebrakan yang paling besar yang telah beliau letakan yaitu ajaran tentang konsep Tuhan sebagai Maha Penguasa alam semesta! Bila sebelumnya konsep Tuhan hanya dikenal dalam aspek transenden yaitu hanya sebagai hukum Kesunyataan, maka oleh beliau konsep Tuhan telah dipersonifikasikan. Tuhan bukan hanya disinggung secara abstrak dan kabur atau secara tak langsung sebagaimana dalam sabda Sang Buddha: "Ketahuilah O para Bhikkhu bahwa ada 'sesuatu' yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta..."(Kitab Udana VIII:3), maka oleh Patriat ke-9 Tuhan dijelaskan secara langsung sebagai sebuah Maha Pribadi dengan sebutan Ming Ming Shang Ti(artinya Tuhan Maha Kuasa). Bila sebelumnya konsep Tuhan hanya diajarkan sebagai Pribadi yang pasif artinya Tuhan telah menggariskan hukum Kesunyataan, maka hukum Kesunyataan itulah yang bekerja dalam segala kejadian di alam semesta. Salah satu hukum Kesunyataan itu adalah hukum Karma, jadi artinya tidak ada kuasa apapun lagi di luar hukum karma termasuk kuasa Tuhan itu sendiri. Namun lain halnya dengan ajaran Patriat ke-9 dalam Buddhisme Dhyana-Kebaktian, Tuhan itu Maha Kuasa, kekuasaan Tuhan tidak terhingga termasuk merubah hukum Karma. Kuasa Tuhan ada di atas semua hukum kesunyataanNya(di atas hukum Karma, hukum Tri-lakkhana,Pattica Sammuppada dan Catur Aryasaccani). Jadi pribadi Tuhan itu aktif, Maha Pengasih, Maha Bijaksana, Maha Pengampun dan Maha Esa. Berbeda dengan masa hukum sebelumnya, Tuhan dianggap tidak ikut campur tangan terhadap perjuangan seorang manusia sebab hukum Kesunyataan telah bekerja di dunia dan bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri ia dapat mencapai Kesempurnaan tertinggi. Maka Patriat ke-9 justru mengajar tentang Kuasa Tuhan sebagai unsur mutlak untuk mencapai Kesempurnaan diri. Tiada seorang pun dapat mencapai kesempurnaan tertinggi tanpa rahmat kasih Tuhan. Kuasa Tuhan yang Maha dahsyat itulah yang disebut sebagai Kuasa Firman Tuhan! Inilah konsep utama yang perlu diimani sepenuhnya oleh umat Buddhisme Maitreya. Oleh Patriat ke-9 inilah lahir Etika bhakti-puja pengagungan langsung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang bertahan hingga sekarang yang juga merupakan ciri khas dari Buddhisme Maitreya. Beliaulah yang telah mengungkapkan rahasia transmisi yang sebenarnya yang berlansung antar Patriat sejak Sang Buddha di India hingga Patriat ke-9, yaitu yang disebut Ajaran Esoteris sesungguhnya adalah ajaran Dharma Hati dan Kuasa Firman Tuhan. Ajaran Dharma Hati menunjuk pada aspek Dhyana sedangkan Ajaran tentang Kuasa Firman Tuhan menunjuk pada aspek Kebaktiannya. Hingga sekarang umat Buddhisme Maitreya yakin sepenuhnya bahwa ajaran esoteris yang terdiri dari Transmisi Dharma Hati(aspek Dhyana) dan Transmisi Kuasa Firman Tuhan telah dimulai sejak Sang Buddha di India. Peristiwa menggoyangkan bunga Khumbala di gunung Grdhrakuta adalah saat berlangsungnya Transmisi Dharma Hati dan Kuasa Firman Tuhan kepada Yang Arya Maha Kasyapa yang kemudian terus diturunkan hinga Patriat ke-28(Patriat ke-1 Bumi Timur), Yang Arya Bodhidharma, dilanjutkan hingga ke Patriat ke-6 Hui Neng, terus sampai ke Patriat ke-9 Huang Te Hui hingga sekarang pada kedua Maha Guru, Bapak Guru Agung dan Ibunda Suci dalam Buddhisme Maitreya. Umat Buddhisme tidak memandang ini sebagai suatu ajaran yang baru dalam Buddhisme, melainkan adalah inti ajaran dari Buddhisme itu sendiri yang kemudian dipertahankan oleh Patriat Suci secara turun temurun.

Semua ini menunjukkan betapa agama Buddha itu luas dan dalam bagaikan samudera yang diam, hening penuh rahasia! Buddhisme bagaikan sebuah batu berlian yang memiliki banyak sudut dan sisi dan semua sudut dan sisi itu bercahaya! Semua itu bermuara pada diri Sang Buddha sebagai Guru Junjungan dunia yang tak ada tandingan! Kedalaman pribadi beliau bagaikan dasar lautan besar, tak seorangpun yang dapat menjangkau dan mengatakan bahwa hanya demikianlah ajaran Sang Buddha dan tak ada lagi yang lain! Dan tak boleh ada lagi ada yang lain! Orang yang berpandangan demikian bukanlah seorang Buddhis sejati!
Dalam Samyutta Nikaya tertulis : Pada suatu hari, sambil berjalan Sang Buddha meraih segenggam daun simsapa sambil bertanya pada siswanya :"Duhai para bhikkhu, manakah yang lebih banyak daun yang berada dalam genggamanku atau yang berada di dalam hutan belantara ini?" Para Bhikkhu segera menjawab :"Tentu saja yang ada di hutan belantara ini." Sang Buddha :"Benar sekali, demikianlah adanya dengan Dharma yang telah kusampaikan hanyalah menyerukan Dharma daun simsapa yang ada dalam genggamanku, sedangkan yang belum kusampaikan masih begitu banyak ibarat daun simsapa yang ada di hutan belantara ini."
Kutipan di atas menunjukkan betapa Sang Buddha adalah Seorang Guru yang luar biasa sebab dalam kebijaksanaannya yang tinggi beliau justru begitu rendah hati! Kalau Sang Buddha saja begitu rendah hati, bagaimana semestinya seorang Buddhis? Dan pula kerendahan hati Sang Buddha itu malah menunjukkan kebijaksanaan dan sikapnya yang amat realistis sebab memang demikianlah adanya hukum kebenaran yang telah disampaikan beliau belumlah semuanya!

Teknik pembinaan di dalam Jalan Ketuhanan Maitreya sungguhlah luhur dan istimewa, di mana kita meneladani metode pembinaan Buddha Maitreya. Dalam segenap kelahiran-Nya di masa lampau, Buddha Maitreya dengan tekun berjuang agar dapat merealisasikan 'Kasih', memanifestasikan sebuah Nurani yang sadar cemerlang. Semangat pembinaan ini Beliau tuangkan lewat Baktipuja, Pertobatan, dan Penyelamatan Nuraniah. Dengan metode inilah Beliau mengantar segenap umat manusia menuju kecemerlangan Hati Nurani. Juga dengan metode pembinaan inilah Beliau mencapai tingkat Kebuddhaan Tertinggi, pribadi Sang Pengasih yang Agung.

Dalam Sutra Purvapranidhana, tertulislah sebuah dialog antara Buddha Sakyamuni dan Ananda. Sang Buddha bersabda, "Wahai Ananda yang bijaksana, ketahuilah bahwa sesungguhnya Bodhisatva Maitreya telah mencapai kesempurnaan tanpa perlu melaksanakan pengorbanan telinga, hidung, kepala, tangan, kaki, badan, jiwa, kekayaan, kota, anak-isteri, dan kerajaan untuk didanakan, melainkan hanya melaksanakan metode pembinaan yang fleksibel, praktis, dan membahagiakan, hingga akhirnya mencapai Kesempurnaan Kesejatian Tertinggi."

Ananda bertanya, "Dengan metode fleksibel dan praktis yang bagaimana Bodhisatva Maitreya mencapai kesempurnaan Kebuddhaan?"

Sang Buddha bersabda, "Bodhisatva Maitreya telah berjuang dalam tiga waktu pada siang dan malam, dengan sepenuh hati mendisiplinkan badan, merapikan jubah dengan posisi berlutut menghadap ke sepuluh penjuru alam (berbaktipuja) sambil memanjatkan ikrar:

"Aku bertobat atas semua kesalahanku, dan berjuang menasehati dan membimbing umat manusia ke dalam kebenaran Dharma. Dengan penuh ketulusan aku bersembah sujud ke hadapan-Mu para Buddha. Semoga dengan ini aku dapat mencapai Anuttara Prajna (kebijaksanaan tak terhingga)."

Jadi dalam aspek Kebaktiannya, umat Maitreya akan meneladani tehnik dan perjuangan Bodhisatva Maitreya untuk mencapai kebuddhaan yang intinya adalah :
1.Penyesalan dan bertobat
2.Menghormati dan memuliakan semua makhluk
3.Mengasihi semua makhluk

Sedangkan dalam aspek Dhyananya, Buddhisme Maitreya mengacu pada ajaran Dharma Esoteris dari Buddha Sakyamuni yang oleh para Patriat suci disebut Dharma Nurani yaitu melihat ke dalam diri sendiri; menginsafi bodhi watak diri sendiri yang sekarang terkenal dengan sebutan Hati Nurani.


satu lagi... sari teman...

ADAKAH AJARAN BUDDHA YANG ASLI DARI DULU SAMPAI SEKARANG MASIH BERTAHAN??
menurut saya tidak ada, karena Sang Buddha sendiri mengatakan bahwa karena didirikannya Sangha Bhikkuni maka Dharma yang luhur hanya akan BERTAHAN 500 tahun. Nah kenyataannya betul kan??


10
Ke 27 Patriat ini lebih sering disebut sebagai 27 Patriat Langit Barat(India). Patriat ke-28 yaitu Yang Arya Bodhidharma. Patriat ke-28 ini amat populer terutama di Negeri Tiongkok sebab beliaulah yang telah membawa ajaran esoteris-sejak Sang Buddha- ke Negeri Tiongkok. Sehingga dengan misinya yang unik beliau juga dihormati sebagai Patriat pertama Bumi Timur. Kehadiran beliau dipandang sebagai awal penyebaran Buddhisme Zen India di Tiongkok tepatnya yaitu pada zaman dinasti Liang (502-522M) di daerah Nanking. Begitu tiba di Tiongkok beliau segera melaksanakan misinya untuk menemukan seseorang yang dapat menerima ajaran esoteris dan menjadi suksesinya sebagai Patriat ke-29 atau Patriat ke-2 Bumi Timur.
Demikianlah dikemudian hari dikenal garis kepatriatan sebagai berikut :
Patriat1. Bodhidharma
Patriat2. Hui Khe
Patriat3. Sheng Chan
Patriat4. Tao Sin
Patriat5. Hong Ren
Patriat6. Hui Neng

Menurut para sarjana Buddhis dan berdasarkan perkembangan sejarah dapat dikatakan bahwa Budhisme Zen baru benar2 menunjukkan karakteristiknya pada masa Patriat ke-6 Hui Neng. Sedangkan masa Patriat ke-1 sampai Patriat ke-5 adalah masa peralihan. Sekali lagi dapat kita katakan bahwa sejak Patriat ke-6 inilah agama Buddha Mahayana mengalami lagi sebuah perkembangan yang besar. Banyak istilah yang dipergunakan oleh Patriat Hui Neng yang kedengaran janggal dan sedikit asing, misalnya beliau sangat menekankan tentang realitas Jiwa(Hsing), yang sebelumnya jarang sekali dipergunakan dalam Buddhisme Primitif. Namun demikian istilah ini jangan dulu dipandang sebagai sebuah penyimpangan dalam Buddhisme. Sebab jiwa yang dimaksud oleh Patriat Hui Neng dan Master2 Zen bukanlah jiwa dalam pengertian yang umum.

Prof.D.T.Suzuki menegaskan jika Hsing(Jiwa) ingin diterjemahkan sebagai mind dalam bahasa Inggris maka harus ditulis Mind(dengan huruf besar). Sebab kata Hsing yg digunakan dalam Buddhisme Zen mempunyai pengertian yang amat unik. Hsing yang dimaksud bukan sekedar jiwa hati, perasaan,atau pikiran yang khayal dan berubah-ubah. Hsing yang dimaksud justru menunjuk pada sebuah realitas yang hidup yang bebas khayalan dan ikatan, yang bebas tak berkondisi, bebas tiada keakuan. Hsing yg dimaksud justru menunjuk pada sebuah realitas yang hidup yang bebas khayalan dan ikatan, yg bebas tak berkondisi; bebas tiada keakuan. Hsing yang dimaksud menunjuk pada sebuah realitas yang nirwanic yang ada dlm diri setiap manusia. Disamping itu beliau juga amat menekankan metode pertobatan dan penyesalan akan dosa dan karma diri sendiri. Metode pertobatan ini telah menjadi tradisi yang amat penting dalam Buddhisme Maitreya. Dalam Buddhisme Maitreya, pertobatan dilaksanakan dalam setiap kegiatan bahkti-puja, bahkan dalam setiap saat! Inilah tehnik pembinaan diri sebagai realisasi nyata dalam ajaran Patriat Hui Neng tentang pertobatan arupa (pertobatan bebas wujud). Di sisi lain kita melihat betapa pada masa sebelum Hui Neng, kelima Patriat terdahulu amat menekankan praktek Dhyana-samadhi, namun pada masa Hui Neng, praktek Dhyana yang pasif digantikan dengan Kebangkitan Prajna (Kebijaksanaan Luhur) yang sifatnya aktif. Hal ini jelas sekali tertulis dalam sutra beliau yang amat terkenal yaitu Sutra Altar Mustika Dharma bahwa Dhyana sejati ada dalam gerak-aktif yang terkenal dengan istilah samadhi dalam perilaku. Inilah ajaran beliau yang terkenal dan merupakan sebuah gebrakan yang hidup dalam Buddhisme! Dalam segenap hidupnya, Patriat Hui Neng tidak pernah mengajarkan bagaimana duduk bersila, bagaimana bermeditasi, tehnik latihan perhitungan nafas dan semacamnya. Sikap dan pandangan beliau inilah yang dianut oleh Buddhisme Maitreya sebagai prinsip utama dalam membina diri untuk mencapai pencerahan. Demikianlah sebabnya hingga sekarang Buddhisme Maitreya tidak menerapkan tehnik Meditasi bagi umatnya melainkan menekankan praktek Dhyana sejati yaitu samadhi dalam prilaku. Samadhi dalam setiap tindak dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam posisi berjalan, duduk, berdiri atau berbaring, gerak maupun diam, dalam suka maupun duka, dalam kesendirian maupun dalam keramaian seorang umat Maitreya harus mengadakan penyadaran diri(Dhyana). Bagi Buddhisme Maitreya, Dhyana sejati ada dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam perbuatan yang sekecil-kecilnya pun. Lepas dari kehidupan sehari-hari tak ada Dhyana yang perlu dibicarakan. Kemanakah kebenaran mau dicari? Dan kemanakah kebenaran mau diterapkan? Mungkinkah dicari dan diterapkan jauh dari kehidupan sehari-hari? Hal ini amat ditekankan oleh semua Guru Zen sejati, antara lain dapat kita ikuti tanya jawab antara seorang bhiksu dengan Master Zen Chin-yen Sin-she (660-740)M, (salah satu siswa utama dari Patriat ke-6 Hui Neng). Bhisu :"Sudikah tuan menjelaskan makna utama Buddhisme dengan sebuah kalimat?" Master Zen Chin-yen menanggapi dengan sebuah jawaban yang amat janggal: "Berapa harga beras di desa Lu-Ling?" Master Chin-yen menggunakan kata beras dan harga beras untuk mengungkap realitas kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan sang Bhiksu sendiri. Dimanakah makna utama agama Buddha? Makna utamanya tersimpan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan kita sehari-hari. Carilah dan temukanlah sesuatu yang hidup yang ada dalam diri ini yang terpancar dalam kegiatan keseharian!
Guru Zen Ma-Tzu Tao Ie (707-786 M) malah menegaskan : "Phing chang Shing she tao." Artinya suasana jiwa keseharian itulah realitas kebenaran! Apakah yang dimaksud dengan suasana jiwa keseharian (yang bebas dan wajar)? Pernahkah saudara melihat rumput-rumpur di tepi jalan samping rumah anda yang setiap hari anda lewati? Apa kesan anda?Aneh?Heran?Suka dan duka?Senang atau benci? Puas atau penasaran? Bukan itu semua. Itulah suasana jiwa yang keseharian(bebas dan wajar)! Master Zen Ma-tzu kembali menegaskan suasana jiwa keseharian itulah hati Buddha dengan pernyataan beliau yang terkenal : "Jiwa itulah Buddha." Semua Guru Zen yang telah mencapai pencerahan menekankan bahwa Buddha Dharma ada dalam kehidupan sehari-hari. Ada dalam setiap kegiatan pikiran, ucapan dan perbuatan. Dan Budhisme Maitreya memandang pikiran, ucapan dan perbuatan adalah satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Semua bentuk pikiran luhur dan ucapan bijaksana harus diikuti dengan perbuatan nyata. Perbuatan nyata itu harus berupa prilaku amal. Semangat bekerja nyata inilah yang paling diutamakan. Dalam Buddhisme Maitreya, kerja nyata adalah segala-galanya. Omong kosong segala macam khotbah Dharma jika tidak diikuti dengan kerja nyata(prilaku amal). Bekerja nyata dari hal yang kecil, menyapu, membersihkan lantai dan jendela Vihara, memasak dan melayani umat, sikap berdiri, duduk dan jalan yang disiplin, tuturkata yang bijaksana, senyuman, prilaku kasih sampai pengorbanan seperti yang diberikan oleh para Maha Sesepuh dan Pandita demi kebahagiaan umat manusia. Semua ini adalah praktek nyata dari ajaran Hui Neng tentang Dhyana sejati yaitu samadhi dalam prilaku. Dan inilah semangat Bodhisatva, semangat Buddhisme sejati! Bukankah Sang Buddha juga bersikap demikian? Sang Buddha tidak pernah memisahkan hidup dari masyarakat dan umat manusia. Keagungan dan kesucian beliau bukan tersimpan secara abstrak dalam jiwanya melainkan terpancar dalam setiap tindak-tanduknya. Beliau begitu indah dan mempesona sekalipun hanya dalam posisi berbaring. Semua sikap diri beliau adalah samadhi! Waktu berjalan, meminta sedekah, makan dan minum, duduk atau berbaring semuanya adalah Dhyana sejati. Segenap hidup beliau adalah Zen. Sungguh beliau adalah seorang pengamal samadhi dalam perilaku yang tiada tandingan! Segenap hidup beliau adalah sebuah kesempurnaan prilaku amal yang tak ada duanya!Semangat inilah yang amat diutamakan oleh Buddhisme Maitreya!

Prof.D.T.Suzuki dalam karyanya :"The Essays of Zen Buddhism" menulis bnyak tentang keistimewaan Patriat ke-6 Hui Neng bahkan menyatakan tanpa Patriat ke-6 ini tidak akan ada Buddhisme Dhyana hingga sekarang. Dalam karya Hui Neng Sutra Altar, bab 1 tertulis : ketika beliau ditanya oleh Yin Cong tentang Dharma/Doktrin apa yang telah diajarkan oleh Patriat ke-5 kepadanya, Hui Neng menjawab: Tiada doktrin tertentu melainkan hanya membicarakan masalah keinsafan Watak Diri Sendiri. Prof.D.T.Suzuki berpendapat bahwa jawaban Hui Neng yang singkat inilah yang kemudian menjadi dasar pondasi utama Buddhisme Zen. Mengenai peristiwa suci pencapaian Samma Sambodhi telah disimplikasi beliau dengan pencapaian Satori (Wu atau pencerahan jiwa). Bertolak dari ajaran-ajaran beliau yang sederhana dan modifikatif inilah lahir Buddhisme khas yang secara formal agak lain dengan Buddhisme lainnya yaitu Buddhisme Maitreya! Demikianlah sepintas latar belakang sejarah mengapa Buddhisme Maitreya tidak mengutamakan pembacaan paritta dan praktek meditasi melainkan mengutamakan pembinaan jiwa dalam tindakan nyata. Inilah sikap Buddhisme Maitreya dalam merealisasikan doktrin prajna dan samadhi dalam prilaku dari Patriat Hui Neng untuk mencapai keinsafan akan Watak Diri Semula yang oleh Hui Neng disebut Satori yang merupakan simplifikasi dari pencapaian Samma Sambodhi Sang Buddha Sakyamuni di India.

Jadi Patriat Hui Neng adalah pendiri kerangka bangunan agama Buddha Maitreya sedangkan Sang Buddha dalah peletak pondasi dasar. Ajaran-ajaran Hui Neng yang praktis, dinamis dan aktif inilah yang menjadikan Buddhisme Maitreya sebagai agama Buddha yang khas. Jadi Patriat Hui Neng selain dipandang sebagai Bapak Buddhisme Zen juga sebagai Bapak Buddhisme Maitreya. Untuk lebih jelasnya marilah kita pelajari dua periode dalam perjalanan hidup Patriat setelah beliau meninggalkan Gurunya di Huang Mei. Periode pertama yaitu periode tertutup/persembunyian. Periode ini berlangsung lebih kurang 15 tahun dihitung dari lamanya waktu persembunyian Patriat sejak meninggalkan Huang Meii sampai kemunculan beliau di Vihara Pao Lin. Periode kedua yaitu periode terbuka/penampakan diri yang terhitung dari masa kemunculan beliau di Vihara Pao Lin hingga wafat. Periode terbuka dapat kita ketahui melalui sutra Beliau yaitu Sutra Altar. Selama periode terbuka inilah Hui Neng mengembangjayakan Buddhisme Zen dengan personalitas dan penerapan yang khas yang hingga sekarang berkembang luas ke seluruh dunia sebagai Buddhisme Zen/Dhyana-samadhi. Lalu bagaimana dengan perjuangan beliau semasa periode tertutup? Menurut pandangan umum, selama periode tertutup beliau hanya bersembunyi dan tidak mengajarkan Dharma, dengan sendirinya beliau tidak mempunyai seorang murid pun. Lebih jelasnya kita simak pengakuan beliau dalam Sutra Altar, bahwa beliau telah bersembunyi di antara kaum pemburu selama 15 tahun. Hidup makan bersama mereka namun tetap mempertahankan sila vegetarisnya. Ungkapan ini membuat kita bertanya-tanya dalam hati mengapa beliau harus bersembunyi untuk waktu yang begitu lama? Kurun waktu 15 tahun tidaklah singkat. Mungkinkah selama waktu 15 tahun itu beliau hanya bersembunyi tanpa melakukan misi apapun? Dan mengapa beliau tidak segera tampil di Vihara Pao Lin, yang akhirnya baru dikunjungi setelah 15 tahun persembunyiannya. Padahal bukankah di Vihara Pao Lin beliau telah disambut dengan penuh rasa hormat dan kekaguman? Apalah perbedaan di Vihara Pao Lin sebelum dan sesudah kurun waktu 15 tahun. Hal ini membuat kita mengambil kesimpulan bahwa beliau bukan sekedar bersembunyi melainkan bersembunyi demi suatu misi tertentu. Dan jelas sekali, misi ini tidak akan pernah tercatat dalam Sutra Altra khotbahannya yang telah ditulis oleh salah satu muridnya. Namun untunglah, dalam sutra yang sama beliau sempat mengungkap sedikit sisi hidupnya yang penuh rahasia itu. Beliau bersabda bahwa sekalipun dalam masa persembunyian tetapi bila menemukan situasi dan kondisi yang tepat, beliau pun akan memberikan uraian Dharma! Pernyataan yang sedikit ini cukup menerangkan betapa selama periode persembunyian itu, beliau tetap menyebarkan Dharma. Berarti beliau memiliki murid yang tidak diketahui umum! Dharma apakah yang telah beliau ajarkan? Hal ini tidak pernah beliau singgung lagi dalam segenap hidupnya. Namun ini jelas sekali bagi kita, persembunyian beliau itu mempunyai misi tertentu. Sama seperti misi gurunya sendiri (patria ke-5) padanya yang berlangsung tengah malam tanpa diketahui atau disaksikan oleh siapapun! Itulah misi suci seorang Patriat kepada suksesinya. Kalau bukan karena misi tertentu mengapa beliau harus menghilang begitu lama padahal di daerah selatan(contohnya di Vihara Pao Lin) tidak ada yang memusuhinya.

Murid beliau yang tidak diketahui umum itulah Patriat ke-7! Patriat yang akan membentangkan garis silsilah kepatriatan lanjutan, yaitu garis Kepatriatan Budhisme Maitreya! Demi sebab jodoh yang agung inilah, Patriat ke-6 Hui Neng telah mengangung segala penderitaan dan kesakitan selama 15 tahun! Setelah menemukan suksesinya barulah beliau lega dan segera menampakkan dirinya di depan umum di vihara Pao Lin.
Sejarah di atas merupakan peristiwa yang amat penting bagi Buddhisme maitreya. Sebab tanpa perjuangan Patriat Hui Neng selama 15 tahun itu maka tidak akan ada garis kepatriatan Buddhisme Maitreya hingga sekarang ini. Sebagai kesimpulan, dalam masa periode terbuka, Patriat Hui Neng telah mendirikan Buddhisme Dhyana Samadhi yang sekarang tetap dikenal sebagai Buddhisme Zen! Sedangkan dalam masa periode tertutup beliau telah mengembangkan Buddhisme Dhyana-kebaktian / Dhyana-sukhavati (Zen-jodo) yang kemudian dikenal sebagai Buddhisme Maitreya!

Mengenai perjalanan hidup dan perjuangan Patriat dapat diketahui melalui Kitab tentang Garis Nadi Kepatriatan Buddhisme Maitreya. Dalam kitab tersebut tertulis ketika Patriat Hui Neng dikejar-kejar oleh musuhnya begitu beliau meninggalkan Huang Mei(tempat dimana beliau berguru pada patriat ke-5) beliau sempat tersusl oleh Hui Ming yang larinya paling cepat diantara pengejar lainnya. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan Patriat segera bersembunyi di balik sebuah batu besar setelah meletakan jubah dan patra di atasnya dengan maksud menyerahkan pada musuhnya itu jika memang jubah dan patra yang diincar. Kejadian ini membuktikan betapa jubah dan patra tetap hanyalah jubah dan patra(simbol). Jubah dan patra dapat dirampas namun kepatriatan seorang tidak tidak dapat diganggu-gugat dengan cara apapun. Sebab dalam Buddhisme Maitreya diyakini bahwa kepatriatan seseorang adalah pertanda kewenangan seorang Guru Pengemban Firman Tuhan! Sedangkan jubah dan patra hanyalah simbol, yang boleh ada boleh tiada. Hukumnya tidak mutlak. Itulah sebabnya sebelum bersembunyi Patriat telah meninggalkan kedua benda tsb di atas batu. Namun ternyata Tuhan telah menunjukkan kuasa-Nya! Tuhan telah turun tangan melindungi kedua benda tersebut sehingga ketika Hui Ming berusaha mengangkatnya, kedua benda tersebut tidak bergeming(kisah ini dapat dibaca dalam Sutra Altar Bab I). Oleh pandangan umum peristiwa ini tampaknya seakan tidak penting namun ada juga sebagian yang memberikan pandangan bahwa pada saat Hui Neng bersembunyi, para Buddha dan Bodhisatva telah turun tangan mengamankan jubah dan patra itu. Namun umat Maitreya memandang peristiwa itu sebagai campur tangan kuasa Tuhan untuk melindungi kemuliaan Patriat pilihan-Nya agar tidak direndahkan oleh musuhnya.

Singkat kisah, setelah menurunkan Dharma pada Hui Ming, beliau meneruskan perjalanannya sebab beliau masih terus dikejar oleh musuh-musuh lainnya. Akhirnya sampailah beliau di sebuah ladang yang luas dengan jeraminya yang lebat dan tinggi membentuk semak-semak yang sulit dilewati sehingga Patriat merasa kewalahan dan tidak tahu harus berbuat apa. Keadaan yang panik dan bingung ini dapat kita pahami sebab beliau telah dikejar berhari-hari, disamping itu keterbatasan tenaga fisiknya telah membuat beliau keletihan dan semakin payah. Pada saat genting seperti itulah beliau bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Pai Ie Can. Pemuda Pai ini adalah seorang anagarika Buddhis. Melihat penampilan dan wajahnya, patriat segera mengetahui pemuda dusun yang lugu ini adalah seorang pengamal sila Buddhis yang kuat, terlihat pada kedisiplinan perilakunya yang tinggi dan pancaran sinar kebajikannya yang kuat. Tanpa ragu Patriat Hui Neng segera mengikuti pemuda itu yang kemudian dibawa ke rumahnya untuk menghindari pengejaran musuh-musuhnya. Di gubuk itulah kemudian Patriat bertemu dengan sahabat karib pemuda Pai yang bernama Ma Tuan Yang yang juga seorang anagarika yang luar biasa. Disanalah Patriat dilayani oleh kedua pemuda itu dengan penuh ketulusan dan hormat. Tanpa terasa bertahun-tahun telah Patriat lewati dengan tenang dan aman di gubuk itu. Di sanalah Patriat menguraikan Dharmanya yang luar biasa, dan yang terpenting adalah di situlah Patriat telah menurunkan ajaran esoteris transmisi dari hati ke hati sama seperti yang telah beliau terima dari Gurunya, Patriat ke-5, di Huang Mei, kepada pemuda Pai Ie Can dan Ma Tuan Yang ini. Dengan kemudian kedua muridnya yang bernama Pai Ie Can dan Ma Tuan Yang inilah yang menjadi Patriat ke7! Sama seperti yang dipesankan oleh Gurunya, Patriat Hui Neng pun berpesan pada kedua muridnya ini untuk terus menyembunyikan diri, sebab misi mereka berdua adalah menjaga Firman Tuhan(ajaran esoteris transmisi dari hati ke hati) yang telah dipercayakan oleh patriat kepada mereka. Untuk kemudian diturunkan kepada Patriat penerus lainnya. Kepada mereka berdua, Patriat telah mengajar Buddhisme Dhyana-kebaktian. Itulah Buddhisme perpaduan antara unsur Dhyana dan Keyakinan akan belas kasih Buddha(kekuatan diri sendiri dan kekuatan dari belas kasih dari Buddha Maitreya).

Mulai dari Patriat ke-7 ini sistem kehidupan kebhiksuan telah ditinggalkan, diganti dengan sistem kehidupan ke-Anagarikaan. Sebuah bentuk kehidupan yang penuh sila menyerupai kehidupan seorang bhiksu namun tidak menggundulkan kepala dan mengenakan jubah kuning. Demikianlah kedua Guru Pai dan Ma ini melakukan hidup keanagarikaan secara tersembunyi, jauh dari vihara-vihara Buddhis waktu itu.
Setelah menurunkan ajaran esoteris kepada kedua murid utamanya itu, Patriat Hui Neng terus melanjutkan perjalanannya hingga bertemulah beliau dengan para pemburu dan sempat hidup bersama mereka, setelah itu baru beliau meneruskan perjalanannya ke arah selatan yaitu menuju Vihara Pao Lin. Di sanalah beliau mengembangkan ajaran Buddhisme Zen (Dhyana-samadhi) serta senantiasa mengingatkan pada umum bahwa Jubah dan Patra tidak akan beliau wariskan lagi pada siapa-siapa. Namun hal ini bukan berarti bahwa sistem kepatriatan harus ditiadakan. Hal ini jelas sekali dapat kita simak pada pesan Patriat ke-6 bahwa beliau harus menghentikan tradisi pewarisan Jubah dan Patra, dan Patriat ke-6 sama sekali tidak berpesan untuk meniadakan garis kepatriatan! Secara logika kita akan berkesimpulan bahwa tradisi pewarisan Jubah dan Patra telah ditiadakan namun tidak ada sangkut pautnya antara kepatriatan seseorang dengan kedua benda tersebut. Apalagi Patriat ke-6 tidak berpesan untuk itu. Dan Patriat ke-6 sendiri pun tidak menyatakan bahwa sejak beliau tak akan ada lagi suksesi yang akan menjadi Patriat ke-7. Secara logika, kita pun akan berpikir mengapa garis kepatriatan yang telah berlangsung begitu panjang sejak Sang Buddha hingga Patriat ke-6, yang berarti telah terbentuk 33 Patriat yang terus berkesinambungan, harus berhenti pada Patriat ke-6? Apalagi kita jangan lupa bahwa Patriat ke-6 sendiri tidak pernah menyatakan tentang peniadaan garis kepatriatan. Beliau cuma menegaskan tentang peniadaan tradisi pewarisan Jubah dan Patra. Dan kita harus dapat membedakan antara pemilikan jubah dan patra dengan kedudukan seorang Patriat. Bukankah Patriat ke-6 pernah menegaskan bahwa Jubah dan Patra hanyalah dimaksudkan sebagai simbol kepatriatan seseorang? Kalau hanya simbol itu berarti bole ada, boleh tidak.

bersambung...

11
saya baru di sini tapi koq semua yg maitreya di loock???

ini ada sedikit artikel yang saya kumpulkan sebagai masukan...

Mengapa sekarang ini ada tradisi pemujaan thdp Buddha Maitreya? Kenapa bnyk umat2 Buddhis yg tidak bisa menerima ini?
Kita mengenal adanya Buddha Maitreya berdasarkan Sabda Sang Buddha Sakyamuni di dalam Sutra Maha Ratna Kuta (Ta Pao Ci Cing) Bab88 (Pertemuan Maha Kasyapa):
Suatu ketika Junjungan Dunia menjulurkan tangan-Nya yang membiaskan cahaya kemilauan, hasil paduan kesucian laksa asamkheya kalpa. Dengan jari dan telapak tangan-Nya yang bersinar bagaikan bunga teratai, Beliau mengusap ubun-ubun Bodhisatva Ajita(nama Maitreya pada masa itu) sambil bersabda," Wahai Maitreya! Demikianlah kupesankan kepadamu nanti masa lima ratus tahun kelima, saat lenyapnya Dharma Sejati, engkau harus datang melindungi Tri Mustika. Jangan sampai lenyap dan terputus". Seketika itu juga Trisahasra Maha Sahasra lokya dhatu(alam semesta) dipenuhi cahaya terang dan diikuti enam bentuk suara gemuruh yang dahsyat. Semua makhluk suci dan deva serentak menghormati Bodhisatva Maitreya dengan sikap anjali sambil berkata, "Sang Tathagata telah berpesan kepadamu yang mulia dengan pengharapan seluruh umat manusia dan deva mendapatkan berkah kebahagiaan, terimalah pesan itu Yang Mulia!" Saat itu Bodhisatva Maitreya segera berdiri sambil menampakkan bahu kanannya, dan berlutut menghormati Sang Buddha dengan sikap anjali: "Junjungan Dunia, demi keselamatan semua makhluk aku telah menerima penderitaan laksaan kalpa yang tak terhitung, apalagi kini Tathagata telah menyampaikan pesan Dharma sejati,bagaimana mungkin tidak diterima? Wahai Junjungan Dunia!Kini aku berjanji pada masa yang akan datang akan kubabarkan Dharma Anuttara Samma Sambodhi yang telah Tathagata capai dalam perjuangan berlaksa-laksa asam-kheya kalpa yang tak terhitung!"

Kemudian dalam Sutra tentang Bodhisatva Maitreya Mencapai Surga Tusita (Mi Lek Sang Seng Cin) Sang Buddha bersabda :"Setelah aku mencapai maha pari-nirwana bila ada bhikhu-bhikhu, upasaka-upasaka,deva,naga,yaksa dan sebagainya hingga kelompok rahulata, yang begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus timbul rasa gembira maka setelah akhir hidupnya dalam waktu yang seketika akan mencapai surga tusita dan berkesempatan mendengarkan Maha Dharma Bodhisatva Maitreya!" Sang Buddha melanjutkan :"Bila ada bhikhu-bhikhu,upasaka-upasaka,deva,naga bahkan kelompok rahulata bila begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus bersikap anjali dan memberi hormat yang tulus, maka terbebaslah orang atau makhluk ini dari dosa karma samsara 500 kalpa. Dan kepada mereka yang dapat melaksanakan bhakti-puja menghormati Buddha Maitreya maka orang itu akan segera terbebas dari ikatan dosa karma samsara puluhan milyar kalpa, sekalipun tidak berhasil mencapai Surga Tusita, namun pasti dapat berjumpa dengan Buddha Maitreya pada masa yang akan datang, mendengar Maha Dharma tak terhingga dan mencapai Kesempurnaan!"

Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, serta merta massa yang tak terhitung, dengan perasaan yang senang dan puas memberikan hormat pada Bodhisatva Ajita yang terus berdiri dari semula dalam mendengarkan khotbah Sang Buddha. Bodhisatva Ajita inilah Buddha Maitreya akan datang!

Berdasarkan catatan sejarah ini kita dapat menyimpulkan bahwa bibit tradisi pemujaan pada Buddha Maitreya telah tertanam dengan kuat pada semua massa yang telah mendengarkan khotbah Sang Buddha itu. Hal ini terbukti pada sikap massa yang dipenuhi dengan rasa gembira dan segera berdiri memberikan hormat pada Bodhisatva Ajita! Singkat kata, adalah Sang Buddha sendiri telah menanamkan sradha pemujaan pada Buddha Maitreya. Sang Buddhalah orang pertama yang memperkenalkan treadisi kebaktian dalam Budhisme Maitreya kepada umat-umatnya. Dan kita semua mengetahui setiap khotbah Sang Buddha pasti disesuaikan dengan sebab-jodoh tertentu artinya pasti merupakan jawaban atas kebutuhan umat manusia. Sang Buddha tidak akan menyampaikan sesuatu tanpa tujuan tertentu. Semua yang beliau khotbahkan bukan sekedar teori kosong, untuk sekedar dipahami secara intelektual saja melainkan untuk dilaksanakan oleh umatnya. Lalu kita bertanya kapankah tradisi bhakti-puja pada Buddha Maitreya ini dilaksanakan? Jawabannya telah disampaikan oleh Sang Buddha dalam kutipan di atas: "Setelah aku memasuki maha-parinirwana bila ada bhikhu-bhikhuni....yang melaksanakan bhakti-puja pada Buddha Maitreya maka dia akan mendapatkan berkah..." Yaitu setelah Sang Buddha memasuki maha-parinirwana! Jadi tradisi ini telah dianjurkan Sang Buddha untuk dilaksanakan setelah beliau tiada lagi di dunia. Sang Buddha tidak mengatakan harus menunggu turunnya Buddha Maitreya ke Saha-loka ini baru tradisi ini boleh dilaksanakan. Sang Buddha dengan jelas memaparkan makna luhur bhakti-puja pada Buddha Maitreya tanpa perlu dikaitkan dengan kelahiran Buddha Maitreya. Jadi walaupun Buddha Maitreya belum lahir ke dunia, Sang Buddha telah menganjurkan tradisi ini untuk dilaksanakan.
Saudara Padma yg terkasih, mengenai silsilah garis kepatriatan dari Hui Neng sampai dengan patriat2 dlm Buddhisme Maitreya yg anda singgung tsb, maka saya ingin memaparkan sedikit tentang sejarah Budhisme Maitreya berdasarkan buku2 yang pernah saya baca.
Secara historis Buddhisme Maitreya adalah dari Buddhisme Mahayana sebab Buddhisme Maitreya merupakan sebuah perkembangan lanjutan dari Buddhisme Dhyana(Ch'an/Zen). Dalam perkembangan hingga ke bentuk yang sekarang, Buddhisme Maitreya memiliki doktrin dan garis kepatriatan yang langsung dan kontinue dari Buddhisme Zen. Sedangkan Buddhisme Zen, dengan segala keunikannya, merupakan salah satu mazhab Buddhisme Mahayana yang amat terkenal. Tetapi sebelum saya memaparkan lebih lanjut, saya ingin memulai dari Buddhisme secara umum.
Kita semua tahu bahwa Buddhisme adalah sebuah agama yang besar dan unik.
Bila ada pertanyaan apakah Buddhisme itu, maka kita akan menjawab Buddhisme adalah ajaran2 yg diwariskan oleh Sang Buddha. Demikian jawaban yang umum diberikan. Tidak salah, namun lebih tepat bila dikatakan Buddhisme adalah kesempurnaan pribadi Sang Buddha itu sendiri!. Jadi kebulatan pribadi(kepenuhan hidup beliau) itulah yang menjadi pondasi yang teguh dari agama Buddha. Sehingga kita boleh mengatakan Buddhisme adalah pribadi Sang Buddha, dan pribadi Sang Buddha adalah Buddhisme itu sendiri. Disinilah letak keunikan agama Buddha yg berbeda dgn ajaran lainnya. Semua yg diajarkan oleh Sang Buddha adalah bagian dari hidupnya. Semua yg diwejangkan adalah pengalaman langsung dari beliau. Semua vinaya dan sila yg amat beliau tekankan adalah suri teladan hidup dari prilakunya. Sang Buddha tak pernah mau mengajarkan sesuatu yg ada di luar hidupnya; sesuatu yg tidak mampu beliau lakukan atau sesuatu yg hanya beliau imani tanpa beliau hayati secara langsung. Sungguh beliau adalah Guru yang tiada tandingan. Jadi bila kita ingin memahami apa itu Buddhisme? maka tak pelak kita harus menemukan jantung hati yang menjadi titik tolak dan landasan dari segenap hidup-Nya yang luar biasa! Jantung hati adalah peristiwa beliau mencapai pencerahan! Peristiwa agung inilah yang menjadi titik tolak dari segenap lembaran hidup beliau yang mengagumkan. Tanpa peristiwa pencerahan, tidak akan ada Buddhisme! Tanpa doktrin tentang pencerahan, Budhisme sama sekali tidak menarik. Lalu apa itu pencerahan? Maksud saya, apa yang telah dialami,dihayati dan dirasakan oleh Sang Buddha pada momen2 pencerahan tersebut? Inilah pertanyaan yg paling esensial yg menjadi jantung hati dari ajaran Buddhisme!

Apakah Sang Buddha telah membeberkan semua yang telah beliau alami secara langsung dan hidup dalam momen pencerahan itu? Apakah pengalaman yang hidup itu tertulis di dalam Tri-Pitaka? Inilah permasalahan yang teramat penting untuk dipahami oleh seorang Buddhis sejati. Dan dalam Buddhisme Maitreya diyakini, inilah yang menjadi ladang perburuan dari semua patriat dan master2 Zen dan Guru-guru hidup dalam Budhisme Maitreya! Dan Buddhisme Maitreya memandang inilah inti ajaran dari Buddhisme yang sejati. Inti ajaran dari semua Buddha sepanjang masa.

Kembali pada pertanyaan di atas, apakah Sang Buddha telah membeberkan semua pengalaman langsung yang telah beliau alami dalam kespontanan waktu beliau mencapai kesempurnaan? Untuk menjawab secara obyektif tanpa prasangka pribadi, marilah kita amati beberapa kejadian lanjutan setelah Buddha mencapai pencerahan sempurna tertinggi(Anuttara Samyak Sambodhi). Yang pertama, setelah menikmati kebahagiaan dalam kesempurnaan yang telah beliau capai, beliau segera dirundung kesedihan dan kebimbangan. Mengapa beliau sedih dan bimbang? Bagi Sang Buddha yang maha bijaksana, kesedihan dan kebimbangan tersebut pasti amat beralasan! Beliau sedih dan bimbang apakah umat manusia akan mampu menginsafi apa yang telah beliau hayati secara langsung itu. Begitu sulitkah bagi umat manusia untuk menginsafi apa yang telah menjadi pengalaman beliau yang amat pribadi itu hingga Guru junjungan manusya-deva itu sedih dan bimbang?

Yang kedua, yaitu kehadiran Brahma Sahampati yang turun dari Brahmaloka, yang memohon kepada Sang Buddha untuk tetap mengajarkan Dharma pada umat manusia, sebab tidak semua umat manusia diliputi oleh ketidaktahuan dan kebodohan yang fatal. Mendengar permohonan tersebut, barulah Sang Buddha memutuskan untuk mengajar Dharma. Demikianlah kemudian dibabarkanlah doktrin Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama. Begitukah peristiwa yang sesungguhnya? Perlukah Sang Buddha yang maha bijaksana diingatkan oleh Brahma Sahampati bahwa tingkat kesadaran umat manusia itu berbeda-beda? Tak mampukah Sang Buddha melihat sendiri?

Tak mampukah Sang Buddha melihat sendiri?Pertanyaan demikian tak perlu dijawab. Sebab semua umat Buddha mengenal siapa Sang Buddha. Sesungguhnya Sang Buddha melihat jauh lebih jelas dari Brahma Sahampati, lalu mengapa Sang Buddha perlu penegasan dan sumbangan pikiran dari Brahma Sahampati untuk memutuskan mengajarkan Dharma? Konteks inilah yang perlu dipelajari dengan seksama. Sebelum permohonan Brahma Sahampati, Sang Buddha sedih dan bimbang sebab pada waktu itu Sang Buddha berkeinginan untuk mengajarkan secara penuh realitas kebenaran yang telah beliau alami secara amat pribadi. Dan ini merupakan ajaran di luar ajaran. Ini bukan sekedar sebuah filsafat tentang kehidupan atau ajaran tentang moral-kebajikan. Namun ini berhubungan secara amat langsung ke dalam diri setiap umat manusia, bahkan setiap makhluk. Dalam versi Mahayana, dikatakanlah pada momen pencerahan itu, Sang Buddha telah bersabda dengan penuh rasa takjub dan kagum: "Sungguh menakjubkan ternyata semua makhluk hingga seekor ulat sekalipun juga memiliki raga Vajrabuddha." Jadi semua makhluk ternyata memiliki sebuah dasar Buddhata yang senantiasa bersinar di sini dan dalam kespontanan waktu ini juga! Sebuah dasar fisik Buddhata yang nirwanic, yang bersembunyi di balik panca skhanda. Namun sungguh disayangi, mampukan umat manusia menerimanya? Atau meyakininya? Inilah yang menyedihkan-Nya. Dan setelah pertemuan dengan Brahma Sahampati, beliau memutuskan mengajarkan Hukum Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama sebagai Dharma yang diberikan sesuai dengan tingkatan kesadaran umat manusia. Jadi Empat kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama jelas hanyalah sebuah Upaya Kausalya, bukan kebenaran penuh yang mau beliau sampaikan sebelumnya. Sebab beliau tak perlu menjadi sedih dan bimbang hanya untuk mengajarkan Dharma Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama yang mau disampaikan sejak semula, sudah pasti Sang Buddha akan segera menyampaikan tak perlu menunggu penegasan dari Brahma Sahampati. Sang Buddha sendiri jauh lebih mengerti!

Jadi jelas ada perbedaan antara Dharma upaya kausalya dengan pengalaman langsung Sang Buddha dalam momen pencerahan. Yang terakhir inilah yang menjadi obyek perburuan para Patria dan Master Zen, dan yang amat diutamakan oleh Guru-guru suci dalam Budhisme Maitreya! Sesungguhnya inilah spirit Buddhisme sejati.

Alasan kedua kesedihan beliau sebab beliau menyadari tidak semua realitas kebenaran dapat disampaikan dengan surat dan kata. Tidak semua kebenaran dapat disampaikan melalui khotbah atau ceramah. Melalui khotbah, sebuah filosofi disampaikan namun filosofi adalah filosofi, sedangkan kebenaran adalah kebenaran. Mereka berbeda. Yang satu konkrit sedang yang lain abstrak. Mereka sama seperti benda dan bayangannya. Janganlah menjadikan bayangan sebagai bendanya. Segala macam khotbah dan bimbingan mendatangkan pemahaman. Namun pemahaman tidak sama dengan pengalaman langsung! Seorang Buddhis bukan berjuang untuk mencari pemahaman melainkan mencari pengalaman langsung.Pengalaman langsung akan kebenaran yang hidup! Dan kebenaran yang hidup itu bukan untuk untaian filosofi, bukan kumpulan Dharma, bukan segala macam doktrin tentang suatu kebenaran. Kebenaran yang hidup ada di dalam diri ini, di depan mata, dalam waktu ini juga! Tidak perlu cari kemana-mana, carilah ke dalam! Oleh sebab itulah maka dikisahkan bahwa suatu ketika Sang Buddha sedang berkumpul dengan murid-muridnya di Gunung Grdhrakuta, datanglah seorang Brahmin yang memberikan sekuntum bunga khumbala kepada Sang Buddha seraya memohon beliau berwelas memberikan Dharma. Pada saat itu Sang Buddha hanya menggerak-gerakkan bunga khumbala itu dengan pelan di depan wajahnya yang tenang tanpa menyampaikan sepatah kata pun(peristiwa ini tercatat dalam Sutra tentang Dialog antara Sang Buddha dengan Mahapitaka Brahmaraja). Tanpa menyampaikan sepatah katapun inilah yang amat berlawanan dengan kebiasaan sebelumnya dimana Sang Buddha pasti menyampaikan sabda-sabda sucinya. Sikap diam dan hanya menggerak-gerakkan sekuntum bunga, belum pernah beliau tunjukkan sebelumnya. Sehingga peristiwa tersebut menjadi sesuatu yang amat asing dan membingungkan. Tak heran kalau semua muridnya merasa bingung dan terheran-heran. Tiada seoranpun yang dapat menangkap makna yang sedang disampaikan oleh Sang Buddha, kecuali Maha Kasyapa yang tersenyum melihat tindakan Sang Buddha. Mengapa beliau tersenyum? Sebab beliau telah berhasil menangkap sesuatu yang hidup yang ada di balik pribadi Sang Buddha! Sesuatu yang hidup itu bersembunyi di balik setiap gerakan tubuh yang palsu ini. Sesuatu yang hidup itu begitu luar biasa dan Sang Buddha sedang mendemonstrasikannya di depan semua muridnya. Setelah melihat Maha Kasyapa tersenyum, Sang Buddha seraya bersabda: "Tathagata memiliki Dharma tertinggi sempurna yang tersimpan dalam mata, sebuah jiwa yang gaib dan nirwanic (bebas samsara), berwujud-tiada berwujud(ada namun bukan ada). Inilah Dharma esoteris utama, bebas surat dan kata, di luar segala sistem ajar-belajar. Kini kutransmisikan(kuturunkan) kepadamu, Maha Kasyapa!"
Sayang sekali semua muridnya kecuali Maha Kasyapa, hanya bingung dan terheran-heran. Mereka terus mencoba menginterpretasikan apa filosofi yang mau disampaikan.
Begitulah mereka telah terbiasa dengan sikap demikian. Sikap inilah yang menghalangi mereka pada sesuatu yang hidup yang ada di balik kebulatan pribadi Sang Buddha. Dalam hati mereka penuh dengan kata 'Dharma, Dharma dan sekali lagi Dharma'. Sikap demikian lain sekali dengan Maha Kasyapa. Maha Kasyapa bukan sedang ingin mengumpulkan filosofi dan Dharma. Semua filosofi dan Dharma hanyalah konsep atau ide, bkan sesuatu yang hidup! Beliau tersenyum sebab beliau telah melihat sesuatu yang sama dengan yang ada di balik pribadinya sendiri. Sesuatu yang hidup ini begitu luar biasa dan ada di atas segala-galanya. Tak ada sesuatu apapun yang dapat menandinginya. Dalam Buddhisme Maitreya, sesuatu yang hidup inilah yang disebut Dharma Hati atau Hakekat Rohani! Kata Dharma jangan diartikan sebagai Dharma dalam konsep umum, demikian juga dengan kata hakekat. Peristiwa inilah yang sering disebut sebagai ajaran dari hati ke hati; berkontak dari Jiwa ke Jiwa yang populer disebut Transmisi simbol hati Buddha. Buddhisme Maitreya memandang peristiwa Transmisi sejati sebagai inti ajaran dari agama Buddha, bahkan inti ajaran dari semua Buddha sepanjang masa.
Peristiwa tersebut di atas dakan sastra-sastra Zen sering disebut :"Menggoyang bunga menyampaikan makna (Nien hwa she cung)". Dan Buddhisme Maitreya memandang peristiwa tersebut sebagai awal dari peristiwa transmisi sejati dari Sang Buddha kepada seorang Patriat, yang kemudian diteruskan dari seorang Patriat kepada Patriat penerusnya.

Berawal dari peristiwa suci inilah lahirlah sebuah mazhab baru dalam Budhisme Mahayana yang diberi nama Budhisme Zen, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Budhisme Maitreya. Budhisme Zen mempunyai sikap yang amat berbeda dari mazhab Buddhisme lainnya. Buddhisme Zen menganggap bahwa hukum kebenaran yang hidup tidak ada sangkut pautnya dengan segala macam surat dan kata. Segala macam surat dan kata hanya menyentuh intelek manusia namun bukan keinsyafan Bodhi Watak-diri seseorang. Jadi kita dituntut untuk membedakan bahwa pemahaman intelektual sama sekali berbeda dengan Pengalaman intuisi. Pemahaman hanyalah sebuah kegiatan intelek sedangkan pengalaman langsung itu berhubungan dengan fakta pribadi seseorang dalam kespontanan waktu ini juga! Oleh sebab itu Budhisme Zen amat mengutamakan perjuangan penginsafan ke dalam diri sendiri. Sedangkan semua bentuk uraian Dharma hanyalah filosofi belaka, filosofi itu bukanlah realitas kebenaran yang hidup. Realitas kebenaran yang hidup tersimpan di dalam dasar jiwa seseorang. Maka secara tradisional Buddhisme Zen memiliki prinsip utamanya yaitu :
Transmisi sejati di luar sistem pengajaran
Bebas tiada surat dan kata
Pengungkapan langsung dasar diri manusia
menginsafi watak diri dan mencapai ke-Buddhaan
Dari empat bait syair di atas dapat kita lihat tehnik pendekatan kehidupan spiritual dalam Buddhisme Zen amatlah berbeda dengan mazhab Budhisme lainnya.

Sehingga, setelah peristiwa di Gunung Grdhrakuta tersebut, maka terbentuklah satu garis Nadi Kepatriatan sebagai berikut :

Sang Buddha Sakyamuni
1. Patriat ke-1 Yang Arya Maha Kasyapa
2. Patriat ke-2 Yang Arya Ananda
3. Patriat ke-3 Yang Arya Sanavasa
4. Patriat ke-4 Yang Arya Upagupta
5. Patriat ke-5 Yang Arya Dhritaka
6. Patriat ke-6 Yang Arya Micchaka
7. Patriat ke-7 Yang Arya Vasumitra
8. Patriat ke-8 Yang Arya Budhhanandi
9. Patriat ke-9 Yang Arya Buddhamitra
10.Patriat ke-10 Yang Arya Parsva
11.Patriat ke-11 Yang Arya Punyayasas
12.Patriat ke-12 Yang Arya Asvaghosa
13.Patriat ke-13 Yang Arya Kapimala
14.Patriat ke-14 Yang Arya Nagarjuna
15.Patriat ke-15 Yang Arya Kanadeva
16.Patriat ke-16 Yang Arya Rahulata
17.Patriat ke-17 Yang Arya Sanghanandi
18.Patriat ke-18 Yang Arya Gayasata
19.Patriat ke-19 Yang Arya Kumarata
20.Patriat ke-20 Yang Arya Jayata
21.Patriat ke-21 Yang Arya Vasubhandu
22.Patriat ke-22 Yang Arya Manorhita
23.Patriat ke-23 Yang Arya Haklena
24.Patriat ke-24 Yang Arya Simha
25.Patriat ke-25 Yang Arya Basiasita
26.Patriat ke-26 Yang Arya Punyamitra
27.Patriat ke-27 Yang Arya Prajnatara

bersambung....

12
pertanyaannya adalah...

apakah motif dari bervegetarian anda? itu saja...
jika karena "cinta kasih" maka anda ada di jalan yang tepat sesuai buddha dharma...

jika alasan lain-lain... yah itu pilihan anda...
toh hidup kita yang jalani...

sekali lagi buddha dharma tidak bersifat memaksa... (termasuk memaksakan persperktif)

13
sambungan...

Namun bagaimanapun, sebenarnya Siha memang menyediakan daging di dalam jamuan makan itu dan banyak di antara kami merasa tidak enak karena menerima makanan yang diberikan tanpa banyak bertanya, selama ini belum pernah ada pengikut Sang Buddha yang sengaja menyuguhkan daging. Agak mengherankan juga mengapa Siha marah, mungkin ia menyadari kebodohannya dalam perbuatannya yang salah itu. Setelah selesai makan, Sang Bhagava memberikan khotbah Dhamma tentang menghindari pembunuhan. Aura belas kasihnya memancar bagaikan gelombang cahaya hingga segala sesuatu di sekelilingnya seperti menyatu pada cahayanya yang agung. Tidak mungkin melukai segala sesuatu bahkan yang kecil pun karena semua adalah satu. Siapa yang membunuh hewan berkaki empat untuk makanan, hari-harinya akan menjadi suram dan dunia yang jauh kini akan semakin menjauh darinya. "Semua makhluk hidup adalah satu kesatuan, dalam penderitaan maupun dalam ikatan darah. Belas kasih adalah rantai yang menyatukannya. Bagaimana seseorang mempunyai perasaan belas kasih jika dia dengan sengaja menyembelih hewan atau burung untuk dimakan? Dia bukan siswa saya, ia mengikuti cara seorang tukang daging atau pemburu, dan orang yang membeli dari tukang daging atau pemburu daging hewan yang mereka bunuh, adalah sama artinya dengan ia yang membunuh. Jangan dikarenakan kepentingan hidup, kita menghilangkan nyawa makluk lain. Tetapi jika seseorang memakan daging tanpa mengetahui bahwa hewan itu disembelih khusus untuknya, maka ia tidak bersalah. Karena ada jalan tengah antara pembunuhan hewan untuk dimakan dengan untuk dijadikan pakaian, dan penolakan makanan berdaging dalam mangkuk seorang bhikkhu. Namun bukan berarti dengan berpantang makan makanan berdaging maka hati menjadi suci, karena hal itu hanya dapat dilakukan dengan pengendalian hawa nafsu. Bukan berarti dengan menolak makanan berdaging maka perasaan belas kasih akan timbul, karena hal itu hanya dapat dilakukan dengan memadamkan semua pertengkaran di dunia ini dengan rasa cinta kasih dan persahabatan. Pancarkan cinta kasih pada semua makhluk, maka nafsu untuk menyantap makanan berdaging akan lenyap dari dirimu." Setelah kejadian ini, Sang Buddha membuat peraturan bahwa anggota Sangha tidak boleh makan daging yang khusus yang disediakan untuknya. Kabar ini pun menyebar ke seluruh kota, sehingga tidak ada lagi umat yang meyediakan makanan berdaging bagi anggota Sangha. Dalam kenyataannya, pada saat mulai memutar roda Dhamma pada usia tiga puluh lima tahun, pembunuhan binatang untuk dimakan adalah merupakan suatu kebiasaan, dan Sang Buddha selalu menyamakan orang yang dibebani oleh nafsu seperti seekor lembu yang berjalan mendekati pisau tukang daging. Tetapi sewaktu beliau memasuki Parinirvana pada usia delapan puluh tahun, pengaruh belas kasih-Nya sudah demikian besar sehingga semakin sedikit hewan yang dibunuh dan semakin banyak orang-orang yang tidak makan daging.






Dikutip dari buku ?Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru?
Oleh:
Marie Beuzeville Byles
Marie Beuzeville Byles memberi sesuatu yang baru dalam buku ini, dengan mempersilahkan Yasa, siswa keenam Sang Bhagava, menuturkan perjalanan panjang mereka bersama Sang Guru selama empat puluh lima tahun tersebut. Hal yang membuat buku ini berbeda dari buku-buku yang mengisahkan perjalanan suci Sang Buddha adalah mungkin tentang konflik-konflik batin yang terjadi pada orang-orang yang bertemu dengan beliau saat itu dan juga konflik-konflik batin yang dialami para siswa-Nya, seperti Yasa sendiri atau Ananda, yang terkadang sangat manusiawi dan menyentuh hati.

14
ikut nimplung yah...
ha ha ha..

berikut kisah:
Siha dan Makan Daging

Engkau akan bertemu dengan pertapa ke mana pun engkau pergi, tua, muda dan beberapa di antaranya wanita. Ada yang mengenakan jubah kuning, putih, ada yang telanjang. Kebanyakan hanya ingin berdiskusi tentang pertanyaan metafisika abstrak, tetapi ada juga yang bersungguh-sungguh mencari kehidupan Brahmana dan jalan menuju keabadian. Ada yang mengikuti seorang guru dan ada yang sendirian.
Mereka memperoleh makanan dan pakaian dengan meminta-minta, kadang-kadang mereka menemukan tempat berteduh, kadang tidak. Pada zaman itu juga ada aliran lain yaitu Kaum Nigantha yang diketuai oleh Nataputta. Doktrin utamanya adalah tidak membunuh dan tanpa kekerasan atau ahimsa, tetapi beberapa pengikutnya lebih cenderung kepada teori daripada pelaksanaannya. Seorang pengikutnya tidak makan karena mendapat makanan yang ada sekerat dagingnya, mereka harus hati-hati memilih rumah untuk meminta makanan. Di Vesali, Jenderal Siha adalah pengikut Nigantha yang setia, bagaimana bisa seorang jenderal pasukan 'mendamaikan' profesi membunuh yang memang kewajiban seorang prajurit dengan doktrin tanpa kekerasan, tidak melukai, atau ahimsa, aku tidak pernah mengerti.
Sang Buddha sedang berdiam di Kutagara-sala, Balai Beratap Runcing, yang terletak di pinggiran hutan yang membentang ke utara dari Vesali selama musim hujan setelah Sona menjadi anggota Sangha. Tempat ini tidak jauh dari desa dengan gubuk-gubuk bambu yang berlumpur dan ditutupi jerami, tetapi pohon palem, pohon pisang, dan pohon mangga tumbuh subur di sekitarnya, sementara para penduduk sangat akrab dengan gajah-gajah yang digunakan untuk menarik batang pohon dari hutan untuk dijadikan bangunan-bangunan besar seperti Kutagara-sala ini. Sejak persinggahan beliau yang agak lama di Vesali dulu, Sang Buddha menjadi terkenal di daerah tersebut dan ketika beliau kembali ke Vesali, para pengikut Nigantha yang masih muda menganggap beliau sebagai seorang pemimpin sebuah sekte yang merupakan saingan sekte mereka, yang dianggap lebih tua, sehingga mereka mencegah para anggota mereka untuk mengunjungi Guru baru tersebut.
Jenderal Siha yang rajin dan selalu bekerja keras ingin menjumpai Sang Buddha setelah mendapat berita tentang beliau. Dia mendengar ajaran Sang Buddha mengenai pelepasan diri dari ikatan duniawi, melepaskan diri dari segala aktifitas kehidupan ini. Bagi dia yang selalu mengutamakan kerja, tentu saja hal ini tidak mungkin. Baginya manusia lahir untuk bekerja. Suatu hari ketika bangsawan-bangsawan Licchavi berkumpul membicarakan Sang Buddha, mereka semuanya mengagungkan ajaran-Nya. Hal ini membuat ia semakin ingin tahu tentang orang suci yang dipanggil sebagai Buddha ini, yang senantiasa tinggal di pinggir kota, di antara gubuk-gubuk bambu dan kebun sayuran karena dia menyenangi ketenangan. Dia berpikir walaupun ajaran Sang Gautama bersifat heretikal, tidak ada salahnya untuk bertemu dan mendengarkan ajarannya. Kemudian ia menemui gurunya dan mengutarakan hasratnya untuk bertemu dengan Sang Gautama. "Bagaimana bisa kamu, yang percaya akan 'tindakan', pergi mengunjungi dan mendengarkan Sang Gautama, yang percaya akan 'tanpa tindakan'?" Pertanyaan gurunya membuat keinginannya lenyap seketika, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa adalah suatu kebodohan mengunjungi orang suci yang menganjarkan hal yang tak masuk akal.
Tetapi kemudian dia mendengar tentang sifat cinta kasih pertapa Gautama, ketenangan dan kebijaksanaannya. Dia menghadap gurunya untuk kedua kali dan kali ini pun dia dicegah dan keinginannya pun padam. Ketika ingin bertemu dengan Sang Buddha untuk ketiga kalinya, dia tidak lagi bertanya kepada gurunya. Dia mengendarai kereta kebesarannya dan dengan pembantunya menuju tempat Sang Buddha, kami sering melihatnya di jalanan Vesali, tetapi kami tidak pernah menyadari kekuatan dan kegagahannya. Dalam sifatnya yang blakblakan, dia mengemukakan sesuatu selalu langsung pada sasaran. "Saya telah mendengar teori 'tanpa tindakan' dan penerapannya dalam kehidupan para pengikut Anda. Saya yakin orang-orang tidak sembarangan berbicara mengenai Anda. Saya tidak menuduh Anda salah, saya hanya ingin langsung mengetahui darimu apakah berita itu memang benar." "Pada satu sisi saya mengajarkan 'tanpa tindakan'," jawab Sang Buddha tenang, "Dan pada sisi lain saya mengajarkan 'tindakan'." "Bagaimana Anda bisa mengajarkan keduanya?" tanya Siha. "Saya mengajarkan 'tanpa tindakan' dalam hal perbuatan, perkataan dan pikiran yang salah. Saya mengajarkan 'tindakan' dalam hal perbuatan benar, perkataan benar dan pikiran benar." Siha senang dengan jawaban itu, tetapi dia tidak segera puas. "Bagaimana dengan pembinasaan atau anihilasi? Orang-orang mengatakan Anda seorang annihilasionis." "Mereka benar," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Saya mengajarkan pembinasaan nafsu rendah, kebencian dan kemelekatan." Siha tertawa. Dia tidak akan mengunjungi Sang Buddha bila tidak ada perasaan ingin tahu, kemudian dia pun memohon agar diterima sebagai seorang pengikut. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Jenderal Siha. Jangan tinggalkan sekte Anda tanpa alasan kuat. Saya tidak bermaksud untuk menarik pengikut aliran lain, tetapi hanya untuk menunjukkan pada mereka cara membebaskan diri dari penderitaan. Introspeksi diri Anda dan ajaran saya sebelum Anda memutuskan untuk menjadi pengikut saya." "Saya sudah memikirkannya matang-matang." "Walaupun demikian, kembalilah, pertimbangkan sekali lagi. Penyelidikan sangat penting bagi orang penting seperti Anda." Siha kembali protes bahwa keputusannya sudah bulat. Tetapi Sang Bhagava berkata, "Tidak, pertimbangkanlah lagi. Dan saya harap apapun keputusanmu, kamu tidak akan berhenti membagikan makanan kepada Kaum Nigantha, karena makanan mereka tergantung pada kemurahan hatimu." Kata-kata ini menyadarkan Siha untuk memikirkannya kembali. "Tetapi apakah Sang Bhagava bersedia bersantap di rumah saya besok?" Dia bertanya. Sang Guru mengiyakan dan Siha meninggalkan beliau dengan sangat bersemangat. Dia bagaikan anak muda yang baru jatuh cinta dan dia memberitahukan kepada siapa saja tentang kunjungannya itu dan juga memberitahukan bahwa dia bukan lagi seorang Nigantha. Dia menyediakan makanan yang sama sekali berbeda dengan makanan yang disediakan untuk Nigantha. Dia memperhatikan bahwa anggota Sangha berbeda dengan Nigantha, sama sekali tidak menanyakan makanan apa yang diberikan di dalam mangkuk, tetapi menyatap semuanya walaupun mungkin ada daging di dalamnya, dan jamuan makan mewah yang ia sediakan untuk Sang Buddha mengandung daging. Beberapa kaum Nigantha mengetahui hal ini dan sewaktu kami sedang makan, seorang kurir masuk dan berbisik ke telinga Siha bahwa mereka akan mengelilingi jalan Vesali sambil berteriak, "Hari ini Jenderal Siha menyembelih hewan besar untuk dipersembahkan pada Sang Gautama dan Sang Gautama pun makan daging yang khusus disediakan untuknya. "Siha bangkit dengan marah. "Ini tidak benar," dia berteriak. "Sudah lama kaum Nigantha ingin menghina Sang Buddha tetapi mereka tidak dapat menyakitinya dan ini adalah fitnahan yang sia-sia."
bersambung...

15
Kafe Jongkok / Re: Kesaktian Meditasi
« on: 16 June 2009, 06:03:45 PM »
sebagi umat buddha kita memahami hukum karma...
tidak ada kejadian yang terjadi tanpa karma... (termasuk kasus 1998)
bahkan yang arya mogalana yang kesaktiannya tiada bading juga meninggal akibat "dirajam" (dilempari batu sampai tewas)
maka dari itu, kesaktian tidak mutlak perlu... sang Bhagavan bahkan melarang siswa nya mempertunjukkan kesaktian...
karena sebenarnya lebih banyak akibat negatif daripada positif-nya

dalam jalan dhrama kita mengikis kemelekatan...
jika kesaktian justru menghalangi/menjadi kemelekatan, terutama jika kebijakssanaan belum cukup maka akibatnya bisa menyesatkan diri sendiri dan orang lain...
bahkan dalam buddhisme zen jika buddha rupang menjadi kemelekatan diri maka para praktisi senior tidak segan2 menjadikannya kayu bakar...

ha ha

Pages: [1] 2 3
anything