Saya pikir kalau ada yang punya 'urat' cukup kuat, tidak ada salahnya dijawab. Seberapapun sinisnya, berapa kalipun ditanya, jawab saja dan berikan penjelasan. Jangan menilai "yang bertanya sepertinya aliran T" atau "sepertinya ini maksudnya nyindir", dsb. Jawab saja pernyataannya, sedangkan konten lain yang tidak perlu ditanggapi, jangan ditanggapi. Bagaimana?
Saya contohkan kalau dari interpretasi saya pribadi:
Bodhisatva dalam Mahayana, cenderung pada personifikasi dari satu kualitas ketimbang pada satu persona/pribadi makhluk. Kisah dari sosok tersebut digunakan sebagai penjelasan dan gambaran dari kualitas tersebut, misalnya kisah Avalokiteshvara yang ingin menolong makhluk menderita (di neraka), sebagai gambaran belas kasih (karuna). Sosok lainnya misalnya adalah Manjusri yang melambangkan kebijaksanaan (Pali: paññᾱ), Ksitigarbha melambangkan tekad (Pali: Addhittana), dan Samantabhadra yang melambangkan moralitas (Pali: Sila).
Ketika seseorang misalnya berlindung kepada Avalokiteshvara, maka sebetulnya bukan seperti ada sosok makhluk lain yang bisa melindunginya dari akibat buruk, tapi latihan pengembangan cinta kasihnya yang akan melindunginya. (Sebab semua orang dilindungi karmanya sendiri.)
Sebaliknya juga kalau orang bilangnya berlindung pada Samantabhadra, tapi moralitasnya bobrok, berarti itu nol besar, tidak akan ada hasilnya, walaupun dia punya rupang Samantabhadra yang di-liam-keng 24 jam setiap hari.
Perbedaan dengan "Tuhan" di agama lain pada umumnya adalah cukup jelas, sebab bagi kebanyakan kepercayaan lain, perbuatan baik tidak cukup tanpa kepercayaan pada sosok Tuhan tertentu, sedangkan kalau dari Buddhisme, tanpa perlu kenal sosok Avalokiteshvara atau agama Buddha sekalipun, orang yang mengembangkan cinta kasih sempurna sendiri bisa disebut sebagai 'jelmaan' Avalokiteshvara. Jadi penting kualitas, bukan sosoknya.
Mengapa kalau di sutra itu kisahnya "wah" semua? Menurut saya ajaran itu memang dikemas ke dalam cerita yang disesuaikan dengan budaya setempat pada saat itu, jadi mungkin terpengaruh 'gaya' dari agama setempat yang telah berkembang sebelumnya di sana.
Itulah yang akan saya jawab kalau ada orang bertanya pada saya, terlepas dari benar atau tidaknya menurut kesepakatan Mahayanis pada umumnya.