Jika kita jujur, apakah baik Theravada maupun Mahayana dapat menjamin 100% semua sutta/sutra yang yang ada dalam kumpulan Tripitaka/Tipitaka adalah otentik. Kenyataannya usaha untuk memilah-milah mana sutra/sutta yang otentik mana yang tidak bukankah seringkali hanyalah kerja intelektual belaka.
Dalam Theravada sendiri muncul pada sebagian penganutnya pandangan yang tidak mengijinkan untuk mempertanyakan keaslian sutta-sutta dalam kumpulan Tipitaka? Bukankah pandangan ini menolak bahwa jika seorang dengan sewenang2 menggunakan logika memilah-milah sutta mana yang asli dan palsu dianggap sebagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan? Bukankah kemudian dianjurkan ehipassiko dan praktik sebagai sarana yang valid untuk menilai keotentikan sutta dibandingkan hanya mengandalkan logika?
Saya heran, mengapa pandangan demikian tidak bisa diterapkan juga untuk sutra-sutra dalam Mahayana?
Dalam hal ini saya melihat Mahayanis seperti bro. Tan adalah yang cukup terbuka dengan pandangan bahwa kemungkinan adanya sutra aspal dalam Mahayana. Pemikiran ini jujur dan tidak menipu diri sendiri. Secara terbuka, bro Tan bahkan mengakui bahwa tidak masalah apakah sebuah sutra itu aspal namun isinya lebih penting daripada otentisitasnya. Ini sangat bebeda dengan orang-orang yang dalam dirinya mempertanyakan keotentikan sutra/sutta namun harus terus-menerus menepis keraguannya secara diam-diam semata-mata di lingkungannya menganut superioritas kebenaran sutra/sutta sebagai yang tertinggi. Orang yang demikian justru menipu diri sendiri dan terjebak dalam kebohongan tanpa akhir...
Paham tentang superioritas sutra yang mengatasi segala-galanya yang demikian, saya khawatir akan menyebabkan seseorang menjadi "fundamentalis kitab suci." Mereka kemudian menjadikan isi kitab suci sebagai doktrin yang tak terbantahkan dan aturan baku sebagaimana dalam ajaran-ajaran samawi. Hal demikian dapat menyebabkan seseorang melupakan bahwa hakikat dari kitab suci yang hanya merupakan petunjuk, bukan kebenaran itu sendiri. Sebagai sebuah petunjuk, maka apa yang ditunjuk olehnya lebih penting ketimbang alat untuk menunjuk itu sendiri. Dalam hal ini, untuk meraih kebenaran Buddhadharma seseorang harus melampaui kitab suci apapun.
Oleh karena itu, saya sangat menghargai sikap bro. Tan yang berpegangan pada anggapan bahwa jika suatu kitab suci tidak bertentangan dengan hakikat Buddhadharma, maka otentik atau tidak otentik bukanlah masalah. Buddhisme hakikatnya hanya mengenal "fundamentalisme nirvana", bukan fundamentalisme kitab suci ataupun metode praktik tertentu. Menentukan otentik atau tidak otentiknya suatu karya adalah kerja ilmuwan forensik dan filologi (ilmu tetang teks kuno), bukan urusan seseorang yang berniat mempraktikkan Buddhadharma...
Demikianlah pandangan saya tentang Sutra Bakti dan pendapat Bro Tan tentangnya.