Kilas Balik.
Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.
1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p
Nampaknya mas Tan kurang mengerti mengenai teori nihilisme, karena jawabannya panjang dan tadinya saya malas menulis terlalu panjang, itu alasan pertama.
Alasan kedua adalah karena saya menghindar untuk membandingkan antara Mahayana dengan ajaran lain. Dan hanya membandingkan ajaran Mahayana dengan ajaran Mahayana sendiri atau ajaran non Buddhis seperti Hindu. Tetapi karena
mas Tan sendiri yang mengklaim bahwa Tipitaka ada di Mahayana (walaupun saya tidak beranggapan demikian). Jadi saya rasa saya tidak perlu sungkan-sungkan membandingkan Tipitaka dengan buku-buku Mahayana yang lain, karena bukankah Tipitaka Pali juga 99% sama dengan Tripitaka Mahayana? jadi hanya 1 diantara 100 yang berbeda. Jadi Saya tidak membandingkan T dengan M, karena T juga termasuk M menurut pemahaman mas Tan iya kan?
dan ini saya terapkan khusus (hanya) bila bertanya dengan kritis terhadap mas Tan.
Pertama saya kutipkan pendapat Mahayana menurut Nagarjuna. Dikutip dari
systems of Buddhistic thought Oleh Yamakami Sogen hal 18 (Bharatiya publishing house 1979). Supaya jelas kontradiksi kedua pandangan ini.
“’Tetapi sementara secara empati memelihara doktrin anatman, Buddha dan para Siswanya tidak pernah dalam ajarannya dan khotbahnya menolak kehadiran apa yang disebut empirical ego. Fakta ini telah di kemukakan dengan jelas oleh Nagarjuna dalam komentar terhadap Prajnaparamita sutra’, dimana ia mengatakan:
‘ Sang Tathagata kadang-kadang mengajarkan bahwa atman ada dan pada lain waktu Ia mengajarkan bahwa atman tidak ada. Ketika Ia mengajarkan bahwa atta ada dan merupakan sipenerima penderitaan atau kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya sebagai hasil dari karmanya sendiri, objeknya adalah untuk menyelamatkan manusia agar tidak jatuh kedalam paham nihilisme (ucchedavada).
Ketika Beliau mengajarkan bahwa tidak ada atman, dalam pengertian pencipta atau yang merasakan atau sesuatu substansi yang bebas, terlepas dari nama umum yang diberikan kepada ke lima pancaskandha, tujuannya adalah untuk menyelamatkan manusia gara tidak terjatuh pada pandangan yang berseberangan dengan nihilisme (Sasvatavada).’”Ini Sebenarnya adalah pandangan plin-plan. Perhatikan cara penyampaiannya disini, jelas nampak
seolah-olah Sang buddha adalah mahluk mendua yang kadang mengajarkan A, kadang mengajarkan B, tidak konsekuen. Hal lain yang jelas juga disini adalah: bahwa Nagarjuna (saya katakan bahwa ini pandangan Nagarjuna) berpandangan secara tidak langsung atman (atta) ada. Sebenarnya PANDANGAN NAGARJUNA ADALAH TERMASUK PANDANGAN SEMI ETERNALIS (Brahmajala Sutta ada membahas 62 pandangan salah dan pandangan Nagarjuna adalah salah satu diantaranya).
MEMPERSOALKAN ADA ATAU TIDAK ADA ADALAH SATU KOIN DUA SISI. adalah merupakan pandangan salah.Sekarang kita bandingkan dan saya kutipkan pendapat dari Tipitaka.
Kaccayanagotta Sutta (SN XII.15) — To Kaccayana Gotta (on Right View)Baca:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn12/sn12.015.than.htmlKaccayanagotta Sutta (SN XII.15) — To Kaccayana Gotta (on Right View)
“oleh dan banyak orang, Kaccayana, dunia ini didukung oleh (mengambilnya sebagai objek) sebuah polaritas, yaitu (pandangan) mengenai keberadaan dan ketiadaan. (existence & non-existence). Tetapi jika seseorang melihat asal mula dunia sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar, ‘ketiadaan (non-existence)’ yang berkenaan dengan dunia tak lagi muncul pada seseorang. Jika seseorang melihat penghentian dunia sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar, ‘keberadaan’ yang berhubungan dengan dunia (existence) tak lagi muncul pada seseorang.”“oleh dan banyak orang, Kaccayana, dunia ini terbelenggu oleh kemelekatan, keterikatan (makanan), & bias. Tetapi bagi mereka ini yang tak terlibat atau tak terbelenggu oleh keterikatan-keterikatan ini, perhatian yang terbelenggu (fixation of awareness), bias, atau obsesi, atau juga ia tak melekat pada pandangan ini ‘milikku diri.’ Ia tak memiliki keraguan atau ketidak pastian bahwa, penderitaan ketika timbul, dia timbul; penderitaan ketika tenggelam, dia tenggelam. Beginilah, pandangannya terlepas dari yang lainnya. Sejauh inilah, kaccayana, ada pandangan benar.
“’Segala sesuatu ada’: Ini adalah satu pandangan ekstrim. ‘Segala sesuatu tidak ada ‘: ini adalah pandangan ekstrim kedua. Menghindari kedua pandangan ekstrim ini, Sang Tathagata mengajarkan Dhamma melalui jalan tengah: Dari ketidak tahuan sebagai sebab, muncullah bentuk-bentuk batin. Dari bentuk-bentuk batin sebagai sebab muncullah kesadaran. Dari keadaran sebagai sebab muncullah batin dan jasmani. Dari batin dan jasmani ……. (PATICCA SAMUPPADA)….. Dari kelahiran sebagai sebab, kemudian umur tua & kematian, penderitaan, ratap tangis, kesakitan, stress, & putus asa muncul. Itulah asal mula seluruh bentuk penderitaan dan stress Apakah cukup jelas?
Sang Buddha tak pernah terjebak pandangan eternalisme maupun nihilisme....
Menurut kitab suci Tipitaka Pali, Nagarjuna (yang berpandangan semi eternalisme) telah salah merepresentasikan Sang Buddha.
Sang Buddha tidak berpandangan eternalisme atau Nihilisme, tetapi Sang Buddha berpandangan sesuai dengan Paticca Samuppada
yaitu segala sesuatu yang muncul akan lenyap kembali.
Sebagai tambahan ini saya kutipkan sebagian dari Uttiya Sutta (AN.X no 95) :
Baca : (
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.095.than.html)
“Baiklah Yang Mulia Gotama, apakah alam semesta terbatas… alam semesta tak terbatas… Jiwa dan tubuh adalah sama… Jiwa adalah suatu hal, dan tubuh adalah hal lain… setelah meninggal Sang Tathagata ada… Setelah meninggal Sang Tathagata tak ada… Setelah wafat Sang Tathagata ada dan tidak ada… Setelah meninggal Sang Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada. Hanya ini yang benar, tetapi diluar ini tak berharga’?”
“Uttiya, Saya tak pernah menyatakan bahwa ‘Setelah wafat Sang Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada: Hanya ini yang benar; yang lainnya tak berharga.’”
“Tetapi, Yang Mulia Gotama, pada waktu ditanya, ‘Apakah “alam semesta abadi: hanya ini yang benar yang lain tak berharga”?’ Anda mengatakan kepada saya, ‘Uttiya, Saya tak pernah menyatakan bahwa”Alam semesta abadi: hanya ini yang benar yang lain tak berharga.’” Pada waktu ditanya “Alam semesta tak abadi… Alam semesta terbtas…Alam semesta tak terbatas… Jiwa dan tubuh adalah sama… jiwa satu hal dan tubuh adalah hal lainnya… Setelah wafat seorang Tathagata ada… Setelah wafat seorang Tathagata tiada… Setelah wafat Tathagata ada dan tiada… Setelah wafat Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada. hanya ini yang benar yang lain tak berharga”?’ Anda mengatakan kepada saya, Uttiya, Saya tak menyatakan bahwa “Sang Tathagata setelah wafat bukan tidak ada, juga bukan ada. hanya ini yang benar yang lain tak berharga.’” Lalu apa yang sudah dinyatakan?”
“Uttiya, Setelah mengetahuinya, Aku mengajarkan Dhamma kepada murid-muridku untuk memurnikan batin mahluk-mahluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratapan, untuk lenyapnya penderitaan dan stress, untuk pencapaian metode benar & untuk mencapai kebebasan.”
“Dan, Yang Mulia Gotama, ketika telah mengetahui langsung (menembus), anda mengajarkan Dhamma kepada para siswa untuk memurnikan batin mahluk-mahluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratap tangis, untuk melenyapkan penderitaan dan stress, untuk pencapaian metode benar & untuk mencapai kebebasan, akankah semua alam semesta terbebaskan, atau setengah atau sepertiga.?”Ketika ditanya begini, Sang Buddha diam.
Kemudian pikiran demikian muncul pada Y.A. Ananda: “jangan biarkan Uttiya si pengelana memiliki pandangan buruk bahwa,’Ketika saya menanyakan pertanyaan yang mencakup semuanya, Petapa Gotama bimbang dan tidak menjawab. Mungkin ia tak dapat menjawab. ‘(pandangan) ini akan membuat melukai dan membawa penderitaan baginya untuk waktu yang lama.” Lalu ia bertanya kepada Uttiya, “Jika demikian halnya, sahabat, Saya akan membuat perumpamaan, karena pada kasus kasus tertentu orang-orang yang cerdas dapat mengerti arti dari apa yang dikatakan.
“Uttiya, umpamanya ada benteng istana dengan parit-parit dan tembok-tembok pertahanan yang kuat, , hanya memiliki sebuah gerbang. Disana ada seorang penjaga gerbang yang bijaksana banyak pengetahuan dan kompeten menjagadan mengusir mereka yang tidak dikenalnya dan mengijinkan masuk mereka yang mengenalnya. Ia ronda mengelilingi jalanan di dalam kota, ia menjaga agar tak ada retakan atau celah yang cukup besar yang memungkinkan kucing bisa masuk. Walaupun ia tidak tahu bahwa ‘Demikian banyak mahluk yang telah masuk atau meninggalkan kota,’ ia tahu demikian; ‘ Mahluk besar manapun yang masuk atau keluar kota semua memasuki atau keluar dari gerbang ini.’
“Demikian juga dengan cara yang sama, sang Tathagata tidak berusaha agar seluruh alam semesta atau setengahnya atau sepertiga terbawa kearah pembebasan dengan Dhamma ini. Tetapi Ia tahu ini: ‘Semua yang telah terbebas, sedang dibebaskan, atau akan terbebas dari alam semesta, telah melakukannya, sedang melakukannya, atau akan melakukannya setelah mengatasi kelima ritangan batin – kekotoran-kekotoran dari kewaspadaan/kesadaran yang melemahkan pengertian – setelah memapankan batinnya dengan empat landasan perhatian, dan setelah mengembangkan, sebagaimana seharusnya, ketujuh faktor pencerahan. Jika anda bertanya kepada Sang Buddha pertanyaan ini, anda bertanya dari sisi yang lain. Itulah sebabnya Beliau tidak menanggapi.Perhatikan Tipitaka Pali menjawab dengan telak
spekulasi Nagarjuna (bahkan jauh sebelum Nagarjuna lahir)
yang mendua, bahwa
Sang Tathagata ada dan tidak ada atau Sang Tathagata bukan tidak ada tetapi juga bukan ada.Mas Tan karena mas Tan hanya memperdalam dari satu sisi, sehingga sulit mengerti mengenai ajaran pada sisi yang lain.
Seperti perumpamaan demikian: (harap diingat ini hanya perumpamaan)
Ada seseorang yang kecelakaan tertabrak jatuh hingga tak sadarkan diri. Kemudian seseorang berusaha menolong orang tersebut, setelah bangun alih-alih berusaha ramah terhadap orang itu, ia malah menuduh orang yang menolongnya itulah yang mencelakainya (moral story adalah: asumsi tak berdasar).
Apakah satu sisi itu? ajaran mengenai ada dan tidak ada (nihilisme dan eternalisme) atau tengah antara nihilisme dan eternalisme, atau tidak dua-duanya (bukan nihilisme dan bukan eternalisme).
Sang Buddha dalam Tipitaka Pali tidak mengajarkan hal itu, tetapi berdasarkan suatu pandangan yang samasekali berbeda, terlepas dari dualisme ada dan tidak ada.
Sisi yang lain yaitu:
YAITU : PRATITYA SRAMUTPADA.
Mohon jangan dibantah, bukankah kitab suci Tipitaka sama dengan kitab suci Tripitaka Mahayana?
untuk lebih jelasnya, baca kembali syair Sang Buddha ketika di Bodhgaya waktu baru mencapai penerangan sempurna, yaitu:
"Semua faktor-faktor pendukung dumadi (tumimbal lahir)telah dihancurkan, maka tak akan ada lagi kelahiran."
2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.
Mas Tan mari kita ke basic.. tolong jelaskan hukum karma menurut mas Tan apakah melingkupi mahluk hidup saja dan apakah melingkupi benda mati?
PERTANYAAN INI
SANGAT SEDERHANA (TAK PERLU ADA SPEKULASI) TETAPI MAS TAN TAK BISA MENJAWAB, (ATAU TAK BERANI MENJAWAB.....? ? ? ? ?) ANAK SD SAJA BISA MENJAWAB PERTANYAAN INI HEHEHE....
3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?
Pertanyaan aneh.
Seperti pertanyaan : Bandung ada di Jawa Barat. Sekarang pertanyaan dibalik: apakah Jawa barat ada di Bandung?
Dukkha termasuk Dharma, pertanyaan dibalik apakah Dharma bersifat dukkha?
Nien Fo adalah temasuk Dharma, apakah Dharma bersifat Nien Fo?
Lari pagi supaya sehat adalah Dharma, Apakah Dharma adalah lari pagi?
Aneh, sungguh aneh. (mas Hatred mode: on)
Perhatikan: sutta berikut:
Sabbe sankhara anicca
sabbe sankhara dukkha
Sabbe Dhamma anatta.
perhatikan anicca dan dukkha diterapkan pada sankhara, tetapi tidak diterapkan pada Dhamma.
Semoga lain kali mas Tan mengajukan pertanyaan yang lebih berbobot dan tidak spekulatif seperti itu.
Metta,