//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 659346 times)

0 Members and 4 Guests are viewing this topic.

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #615 on: 18 April 2009, 11:20:05 AM »
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???

Kagak lah pak emangnya g Buddha :))

jd apa donk???

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #616 on: 18 April 2009, 11:24:40 AM »
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???

Kagak lah pak emangnya g Buddha :))

jd apa donk???

gini Bro, Karena Aye ada kerjaan lagi diluar, aye jawab singkat aja. Saya tidak punya kemampuan untuk membuat hinaya nanti saya jadi ngawur dong. Hinaya terbentuk di maha itu atas dasar dari para sanggha yang memiliki Prajna minimal setinggkat Arahat. Hinaya yang dikembangkan di mahayana dibentuk atas dasar musyawarah para sangha, Juga yang memiliki Dhamma jauh lebih dari saya lah. saya mah belum bisa bikin hinaya Atuh.
 

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #617 on: 18 April 2009, 11:27:02 AM »
Apa maksudnya VINAYA?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #618 on: 18 April 2009, 11:30:23 AM »
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???

Kagak lah pak emangnya g Buddha :))

jd apa donk???

gini Bro, Karena Aye ada kerjaan lagi diluar, aye jawab singkat aja. Saya tidak punya kemampuan untuk membuat hinaya nanti saya jadi ngawur dong. Hinaya terbentuk di maha itu atas dasar dari para sanggha yang memiliki Prajna minimal setinggkat Arahat. Hinaya yang dikembangkan di mahayana dibentuk atas dasar musyawarah para sangha, Juga yang memiliki Dhamma jauh lebih dari saya lah. saya mah belum bisa bikin hinaya Atuh.
 

ya, ini pasti VINAYA, kalau versi Theravada, Vinaya yang bikin Sang Buddha sendiri, bahkan para Arahat tidak berhak menambah, mengurang, merevisi Vinaya.

  :outoftopic:  :backtotopic:

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #619 on: 18 April 2009, 11:35:13 AM »
Kok diskusinya jadi tidak nyambung ya?

Dikatakan bahwa seorang Buddha menyelamatkan mahluk lain adalah dengan memberi petunjuk jalan, tetapi yang menjalankan harus kita sendiri, konyol sekali kalau beranggapan yang dimaksud menyelamatkan mahluk seperti konsep agama tetangga.

Agama tetangga mengatakan dengan mengucap secara berulang-ulang nama sang penyelamat, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada sang penyelamat akan diselamatkan ke nirvana/surga abadi, tanpa perlu bersusah payah.

Mungkinkah seorang Buddha bermeditasi supaya orang lain yang mencapai pencerahan? atau mungkinkah seseorang memindahkan rasa senang atau rasa sakit, yang dideritanya kepada orang lain? Umpamanya si A sakit gigi, mungkinkah ia memindahkan sakit giginya kepada si B? sehingga si B yang merasa sakit gigi, sedangkan si A tidak lagi merasa sakit gigi?

demikian juga bermeditasi, mungkinkah kita memindahkan hasil meditasi kita kepada orang lain? sehingga orang lain yang mencapai pencerahan?

Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan saya hanya penunjuk jalan. Sang Buddha hanya menyelamatkan mahluk hidup dengan mengajarkan Sang Jalan.

Yang melatih Sang Jalan adalah kita sendiri, tak ada orang lain yang bisa melatihkan Sang Jalan untuk kita.

Analogi yang lain lagi: bila si A berlatih sepeda maka ketrampilan menaiki sepeda adalah menjadi milik A, tak mungkin terjadi si A berlatih, kemudian ketrampilannya pindah kepada si B tanpa si B berlatih.

Si B bisa juga menguasai ketrampilan bersepeda yang sama berdasarkan petunjuk dari si A. Tetapi yang harus berlatih adalah si B sendiri.

Demikian juga mengenai kesucian, kesucian kita sendiri yang harus mencapainya tak ada orang lain yang bisa membantu kita, orang lain hanya bisa mengajarkan jalan.

karena Nirvana hanya bisa dicapai oleh mahluk yang telah mencapai kesucian, maka kita sendiri yang harus mencapai Nirvana, tak ada mahluk lain yang bisa membawa kita pada Nirvana. Mahluk lain hanya menunjukkan jalan.

metta,
« Last Edit: 18 April 2009, 11:38:37 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #620 on: 18 April 2009, 11:36:03 AM »
[at] bro purnama

jaaaahhhhh, kabur dia, hehehe....

[at] bro indra n ryu

nanya-nya satu2, nafsu banget, tuh anak orang kabur jadi-nya
wakakakakaka..............
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #621 on: 18 April 2009, 11:38:29 AM »
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)

mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...

Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.



BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #622 on: 18 April 2009, 11:41:19 AM »
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)

mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...

Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.



BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?
saya Pikir tidak perlu, Bro.
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.

_/\_

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #623 on: 18 April 2009, 11:43:41 AM »
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)

mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...

Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.



BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?
saya Pikir tidak perlu, Bro.
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.

_/\_

TS tuh apa maksudnya ya mas Indra?
The truth, and nothing but the truth...

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #624 on: 18 April 2009, 11:45:13 AM »
TS=Thread Starter, poster pertama dalam suatu thread

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #625 on: 18 April 2009, 11:45:55 AM »
sekedar berkomentar.

kebuddhahan atau arahat dapat dicapai bila seseorang mempunyai parami yang cukup.

sehingga mengkondisikan........

maka itu yg menganggap di kehidupan ini tidak dapat mencapai nibbana... dengan pencapaian arahat... sebaiknya berusaha menyempurnakan paraminya.... untuk modal di kehidupan selanjutnya..

bahkan sapa tau bisa jadi bodhisatva........
i'm just a mammal with troubled soul



Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #626 on: 18 April 2009, 11:48:30 AM »
TS=Thread Starter, poster pertama dalam suatu thread

Kiranya begitu, terima kasih mas.
The truth, and nothing but the truth...

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #627 on: 18 April 2009, 11:52:59 AM »
saya Pikir tidak perlu, Bro.
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.

_/\_

OK deh.  _/\_





Analogi yang lain lagi: bila si A berlatih sepeda maka ketrampilan menaiki sepeda adalah menjadi milik A, tak mungkin terjadi si A berlatih, kemudian ketrampilannya pindah kepada si B tanpa si B berlatih.

Si B bisa juga menguasai ketrampilan bersepeda yang sama berdasarkan petunjuk dari si A. Tetapi yang harus berlatih adalah si B sendiri.

Demikian juga mengenai kesucian, kesucian kita sendiri yang harus mencapainya tak ada orang lain yang bisa membantu kita, orang lain hanya bisa mengajarkan jalan.
Ini perumpamaan yang tepat, tapi tetap bisa dibalas begini:
Seseorang yang "Mahayana" tidak akan berhenti mengajar naik sepeda sebelum semua orang bisa naik sepeda.
(Maka orang yang sudah bisa naek sepeda, belajar naik motor, tidak nunggu yang lain bisa naik sepeda = Hinayana.)
;D

Menurut saya, yang tidak konsisten dari Mahayana adalah konsep "Anitya" yang tidak jelas berlaku pada apa saja. Sebentar bilang semua mahluk terkondisi demikian, sebentar bilang kecuali Buddha yang punya "tubuh mutlak". Sebentar bilang dalam samsara semua berubah, sebentar bilang samsara = nirvana karena tidak ada dualisme. Bikin bingung.


Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #628 on: 18 April 2009, 12:43:33 PM »
Quote from: sobat-dharma
Sah-sah saja seorang memiliki penafsirannya sendiri, begitu juga saya memiliki penafsiran berbeda.

Dua baris pertama jelas-jelas mengatakan bahwa pada dasarnya "diri itu tidak ada", meskipun penderitaan dan perbuatan "ada", yang berarti pada dasarnya memang diri itu tidak ada. Oleh karen itu, ketika seseorang dikatakan mencapai nirvana, bukan berarti diri itu musnah atau berubah dari ada menjadi tiada, karena diri itu pada dasarnya memang pada dasarnya tiada pada permulaannya.

Dikatakan ada yang merealisasi nirvana, namun pada dasarnya memang tidak ada yang merealisasi. Dikatakan ada yang menempuh jalan, tapi pada dasarnya tidak ada yang menemupuh. Dengan demikian, jika memang sejak awal tidak ada yang menderita dan tidak ada pelaku, maka sebenarnya ketika merealisasi nirvana seseorang tidak kehilangan apapun atau mencapai apapun. Sebab, akhirnya "ia" hanya menyadari hakikat yang sejati bahwa diri itu tiada.

Pernyataan ini juga sekaligus menggambarkan bagaimana pada dasarnya samsara dan nirvana tidaklah berbeda, yang berbeda hanya kesadaran akan hakikat diri yang tak berwujud atau kosong.

(yang berikut ini ada konklusi tambahan dari penafsiran saya)

Jadi mencapai nirvana bukan berarti seseorang mengalami eksklusi selamanya dari dunia samsara, karena jika demikian maka pencapaian nirvana berarti terjadi perubahan dari yang ada menjadi tiada. Sebaliknya realisasi nirvana justru menggambarkan suatu proses yang alami, kembali ke hakikat yang sejati yaitu bahwa diri itu anatta atau sunyata. Dengan pemahaman demikianlah maka realisasi nirvana tidak terikat dengan kehidupan dan kematian, "ia" tidak pasif terikat oleh suatu keadaan, sebaliknya "ia" mengatasi semua kondisi yang ada.

Tidak ditemukan diri, karena tidak ada penggerak utama dalam satu fenomena yang disebut "makhluk". Tiada substansi inti ini berarti tiada diri, alias anatta. Sampai di sini kita sudah sepakat.

Jika Anda mengatakan samsara identik dengan Nirvana, artinya Anda tidak bisa menyampingkan 2 realitas lainnya; yaitu dukkha dan anitya. Apakah hakikat sejati Nirvana juga termasuk dukkha dan anitya?

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #629 on: 18 April 2009, 12:43:47 PM »
Quote from: sobat-dharma
Analoginya membingungkan bro. Kalau tidak makan apa bisa membuat seseorang menjadi kenyang? Saya sebagai pemula, mohon tuntunannya.

Maksud saya; kalau kita ingin merealisasi kenyang, maka kita sendiri yang harus makan. Tidak mungkin ada orang yang bisa membantu kita untuk merealisasi kenyang.


Quote from: sobat-dharma
Seseorang tidak akan termotivasi oleh suatu kata-kata apabila ia tidak meyakini kebenaran kata-kata tersebut. Logis kan? :)

Tidak juga. :) Yesus pernah berkata, "jika seseorang menampar pipi kirimu, berikanlah pipi kananmu."
Kalimat ini juga kalimat bijak, inspiratif dan memotivasi saya. Tapi saya tidak menelannya bulat-bulat. Dan setelah saya saring dengan akal sehat, saya melihat kepincangannya sehingga saya tidak menggenggamnya sebagai pedoman hidup. Meski demikian, saya rasa kalimat itu tidak kalah bijaknya dari kalimat yang diucapkan oleh bodhisattva itu.


Quote from: sobat-dharma
Saya kan bilang “kalau”. Sebaliknya  saya justru berpandangan bahwa logika lah yang terlalu sempit untuk memahami segala sesuatu. Jika kita menggunakan semata-mata logika dan akal sehat sebagai ukuran  segala sesuatu, maka kita terjebak membenarkan pikiran ego belaka. Logika dan akal sehat pada dasarnya adalah keyakinan akan suatu standar kebenaran yang digunakan untukmengevaluasi segala sesuatu. Sebagai sebuah “standar” ia  harus diyakini dulu sebagai kebenaran.

Oleh karena itu, logika tidak lain hanya klaim akan kebenaran yang disahkan atas pengakuan atas keunggulan rasio dan meremehkan aspek-aspek lain dalam manuisia seperti emosi dan tubuh. Bahkan dalam dunia filsafat barat saja, sudah sangat sering logika dan akal sehat dikritisi keabsahannya sebagai suatu standar kebenaran.

Okey, kita kemudian merasa ada, “hey tunggu, kalau logika salah, ada saringan lapis kedua yaitu empirisme atau pembuktian.” Pandangan ini tentu saja terkesan memasang sikap berhati-hati dan seolah-olah menerapkan sikap kritis pada logika itu sendiri. Namun di sisi lain, akibat penggunaan logika dan akal sehat sebagai saringan tingkat pertama telah menyebabkan “kebenaran” kemungkinan-kemungkinan di luar logika dipersempit. Dalam hal ini sifat logika dan akal sehat adalah membatasi mana yang benar dan mana yang salah, akibat batas ini adalah kemungkinan hanya dibatasi sejauh logika membenarkannya. Dengan demikian akhirnya seseorang akhirnya diperbudak oleh logikanya sendiri.

Saya rasa logika tidak menjadi tuan saya. Saya memakai logika dan akal sehat pun sewajarnya, hanya sebatas panduan awal. Tentunya keabsahan mereka bergantung dari tingkat intelektual, cara pandang dan pengalaman saya sebagai pribadi. Dan selama ini, logika dan akal sehat selalu memberikan jaminan yang lebih tinggi daripada perasaan dan harapan. Akal sehat dan logika mengarahkan saya untuk melihat suatu hal lebih realistis - tidak dibuai oleh imajinasi, dan tidak perlu yakin pada suatu hal dengan cara menghibur diri sendiri.

Kalau memang Anda memilah suatu hal dengan menggunakan filter yang berbeda dari saya, saya menghormati Anda. Karena saya sangat menghormati kehendak bebas orang lain.


Quote from: sobat-dharma
Ada kesalahpahaman seolah ketika seseorang menyebut tentang tempat, ia semata-mata hanya merujuk pada makna tempat secara harafiah. Padahal makna “tempat” secara harafiah sebenarnya hanya dalam kamus bahasa belaka yang seolah waktu dan tempat adalah makna yang berdiri sendiri-sendiri. Pada pengalaman eksistensial empirik sehari-hari, tempat dan waktu tidak terpisah. Mengapa? Misalnya ketika kita menyebut suatu tempat, misalnya “Jakarta." Pada pengalaman empiriknya Jakarta yang disebut adalah Jakarta yang hanya bermakna suatu titik atau tempat di peta ataupun konsep tentang jakarta sebagai sebuah kota yang terletak di wilayah lebih luas tidak benar-benar eksis, tapi yang benar-benar dialami adalah Jakarta saat ini sebagaimana di alami oleh saya pada waktu dan ruang yang spesifik “di sini”. Sehingga walaupun ada orang lain yang juga berada di Jakarta apa yang dialaminya sebagai “di sini” berbeda dengan yang saya alami. Jadi “Jakarta” sebagai pengalaman empirik tidaklah mungkin adalah suatu esensi yang terpisah antara tempat dan waktu, karena dalam pengalaman “di sini”, tempat dan waktu itu menyatu. Jakarta sebagai hanya tempat hanya ada dalah konsep di pikiran, hanya jakarta yang riil dialami sebagai ruang dan waktu merupakan Jakarta yang "nyata" dialami.

Nah, setelah kita memahami bawa pengalaman “di sini” tidak mungkin dipahami sebagai ruang dan waktu dalam makna abstrak yang eksklusif satu sama lain sebagaimana dalam kamus bahasa, kia memasuki pemahaman lebih jauh yaitu: bahwa pengalaman empirik akan ruang dan waktu selalu melibatkan kesadaran subjek akan kehadirannya. Ketika kita menyebut “di sini”, kita selalu mengandaikan di mana subjek berada, atau lebih spesifiknya di mana tubuhnya berada dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Atau lebih tepatnya keberadaan ruang dan waktu yang sebagaimana dialami subjek hanya mungkin dapat dirasakan oleh subjek dan di mana tubuhnya hadir. Begitu juga kehadiran subjek hanya mungkin hadir jika ada ruang dan tempat yang dirasakan terpisah olehnya. Singkatnya objek ada karena subjek, dan subjek ada karena objek.

Dari sini, saya coba kembali ke kata saya: “Nirvana ada di sini.” Maka kata ini tidak hanya menunjuk pada “tempat” belaka. Sebagaimana penjelasan panjang lebar saya di atas, “di sini” berarti juga melibatkan ruang dan waktu serta bagaimana subjek mengalaminya, dan bagaimana subjek dan objek adalah esensi yang saling mengadakansatu sama lain. Oleh karena itu, realisasi nirvana bisa terbantu jika kita menggali bagaimana relasi antara subjek dan objek  dengan membangun kesadaran yang menembus realitas subjek fan objek. Singkatnya “sunyata” ada di dalam pengalaman akan subjek dan objek.

Saya mengerti maksud Anda...
Ada perbedaan yang tersirat kasat mata antara 2 kalimat ini...
1) "Saya sudah di sini"
2) "Nirvada ada di sini"

- Kalimat yang pertama menunjukkan bahwa saya sudah sampai di lokasi ini. Kata pengubung "sudah" dalam kalimat itu, menunjukkan dengan jelas bahwa saya telah sampai di sini. Di kalimat ini, sebenarnya dapat diserap pemahaman bahwa "saya baru saja sampai di sini". Artinya kalimat itu juga menunjukkan "kapan" saya sampai di lokasi itu. Namun kalimat itu juga bisa ditambahkan keterangan waktu, seperti : "Saya sudah di sini sejak satu jam lalu". Artinya, kalimat baru ini merujuk pada penjelasan masa lalu.
Kesimpulannya -> kalimat pertama memang secara implisit menunjukkan "kapan" / "waktu", tapi kebenarannya belum akurat. Untuk memastikan waktunya, penambahan keterangan waktu harus diberikan.

- Kalimat yang kedua menunjukkan bahwa "subjek"; yaitu Nirvana; ada di "objek"; yaitu di sini". Secara implisit, kalimat ini juga menunjukkan lokasi (tempat) dan kapan (waktu). Kalimat ini menunjukkan bahwa Nirvana ada di lokasi ini dan di kehidupan ini. Perbedaan minornya dengan kalimat yang pertama adalah posisi dari "subjek", yaitu "Nirvana". Jika dikatakan bahwa Nirvana ada di sini, ini berarti menunjukkan bahwa Nirvana sudah ada, memang selalu ada, terus hadir, dsb. Tidak perlu penambahan keterangan waktu lagi. Karena kalimat ini dengan gamblang menyatakan bahwa "Nirvana memang ada di tempat ini dan di kehidupan ini".
Kesimpulannya -> kalimat kedua memang secara implisit menunjukkan "kapan" / "waktu", dan kebenarannya sudah akurat. Karena tidak perlu dijelaskan sejak kapan ada, yang pasti saat ini memang Nirvana itu sudah ada.


Maka, jika memang pada saat ini Nirvana ada di sini (samsara), artinya Nirvana pun berada di dalam samsara. Sama seperti contoh kalimat pertama tadi : "Saya sudah ada di sini". Kalimat itu menyatakan bahwa saya ada di dalam area / lokasi ini.

Berangkat dari pemahaman ini, menurut saya adalah tidak tepat untuk memakai kalimat bahwa "Nirvana ada di sini". Karena sudah jelas akan membuat orang memandang bahwa Nirvana identik dengan ruang (samsara) dan saat ini kita sudah mencapai "Nirvana". Lihat saja buktinya, dari dulu banyak teman-teman yang selama ini menangkap Nirvana sebagai suatu domisili baru dalam rancah Buddhisme Mahayana.


Quote from: sobat-dharma
Maksudnya?

Sudahlah... Yang ini tidak perlu dibahas lagi. :)


Quote from: sobat-dharma
Dengan standar apa? standar siapa?

Standarnya adalah memberi kebaikan bagi makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri. Standarnya adalah tidak merugikan makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri.

« Last Edit: 18 April 2009, 12:48:29 PM by upasaka »