//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - No Pain No Gain

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8]
106
“Bukan berpegang teguh pada perintah dan larangan, melainkan membentuk kebiasaan berpikir, berucap dan bertindak secara bijaksana dan welas asih, inilah kebahagiaan tertinggi.”


Dalam ajaran agama umumnya dikenal adanya perintah dan larangan. Perintah adalah hal yang wajib dilakukan, sedangkan larangan adalah sesuatu yang harus dihindari. Perintah dan larangan ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar.

Melaksanakan perintah diyakini akan mendatangkan pahala, sedang pelanggaran atas perintah akan mendapatkan ganjaran. Demikian juga halnya dengan larangan. Mematuhi larangan akan memperoleh imbalan, sedang melanggar larangan akan dicap berdosa dan mendapat hukuman setimpal atau bahkan berkali lipat.

Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai perintah dan larangan ini? Tak dipungkiri ada yang beranggapan bahwa juga terdapat perintah dan larangan dalam ajaran Buddha. Secara sepintas memang tampak demikian adanya, namun bila kita cermati makna esensial Buddha Dharma secara mendalam, maka akan kita temukan suatu konteks yang sangat berbeda dibandingkan dengan pemahaman umum.

Dalam konteks umum, sebuah perintah dan larangan yang dilanggar akan mendapatkan ganjaran/hukuman dari si pemberi perintah. Namun dalam ajaran Buddha, perintah dan larangan yang ditetapkan oleh Buddha semata-mata bertujuan untuk melindungi para praktisi agar tidak terjatuh ke dalam belenggu penderitaan. Bila para praktisi melanggarnya, maka keterpurukan hanya dialami oleh praktisi itu sendiri, bukan orang lain, dengan kata lain tidak ada pengertian dosa turunan. Pun hukuman yang terjadi bukan merupakan bentuk rasa ketidaksenangan atau angkara murka dari Buddha. Dengan adanya pemahaman ini, kita tahu bahwa sesungguhnya perintah dan larangan dalam konteks ajaran Buddha tidaklah benar-benar berkorelasi dengan masalah pahala atau hukuman dari si pembuat perintah atau larangan itu, namun tak lebih hanya merupakan hasil dari proses sebab akibat.

Sebenarnya, baik perintah maupun larangan, Buddhisme memandangnya sebagai sebuah bentuk pengungkungan yang menghilangkan kehendak bebas (free will) manusia. Kehendak bebas di sini menunjuk pada kehendak yang sadar dan berdasarkan hati nurani. Jelasnya, perintah maupun larangan merupakan sebuah keharusan yang membatasi seorang penganut ajaran sehingga tidak bisa bertindak sesuai dengan kehendak bebas yang dimilikinya, bahkan ada kalanya keharusan itu bertentangan dengan hati nurani. Ya, memang benar, bukan perintah atau larangan itu yang tidak benar, melainkan umatlah yang kurang tepat dalam meng-interpretasi-kan makna perintah atau larangan dalam agama. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kesalahpengertian yang dapat berakibat fatal ini, Buddha memberikan sebuah pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tak terlepas dari hukum karma (hukum sebab akibat), bersumbu pada ehipassiko (datang dan buktikan) serta berpegang pada prinsip welas asih. Ini merupakan pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan (baik pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani) adalah ditujukan demi manfaat dan kebahagiaan semua makhluk serta semua perbuatan itu dilakukan berlandaskan kebijaksanaan dan welas asih (dalam bahasa awam adalah akal budi dan nurani), bukan karena berdasarkan perintah ataupun larangan.

Banyak orang yang melakukan perbuatan baik dengan menganggapnya sebagai bagian dari perintah, sehingga tidak lagi memahami perbuatan baik itu sebagai sesuatu yang baik untuk dilakukan, tetapi sering kali berbuat baik hanya karena ingin mengejar pahala atau takut akan dosa. Akibatnya perbuatan baik itu hanya sebatas perbuatan fisik (jasmani) yang tak memberi manfaat berarti bagi perkembangan batiniah menumbuhkan rasa welas asih (empati) bagi makhluk lain. Inilah dampak dari perbuatan yang dilandasi hanya karena adanya perintah dan larangan yang cenderung membawa umat manusia pada upaya pengumpulan poin-poin agar mendapatkan kenikmatan surgawi, bukan karena rasa peduli yang besar pada orang-orang di sekitarnya.

Buddha, guru para dewa dan manusia yang telah mencapai kebijaksanaan dan welas asih tiada banding, mengajarkan pula bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan hendaknya diawali dengan Pengertian Benar. Dengan adanya Pengertian Benar ini maka setiap perbuatan yang kita lakukan adalah karena memang baik untuk dilakukan, pun sesuatu yang tidak kita lakukan adalah karena memang tidak baik untuk dilakukan, tidak semata-mata karena demikianlah yang telah disebutkan dalam Kitab Suci, atau karena adanya ancaman hukuman neraka, pun pernyataan iming-iming pahala surgawi. Dengan demikian, tidak heran jika Pengertian Benar berada di urutan paling atas dalam Delapan Jalan Utama yang diajarkan Buddha.

Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.
(Dhammpada 292)

Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan selalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.
(Dhammpada 293)

Dalam ayat Dhammapada 292 dan 293 di atas, terlihat dengan jelas bahwa Buddha menyatakan pentingnya melakukan hal-hal yang patut dilakukan dan menghindari hal-hal yang patut dihindari. Buddha tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai perintah yang harus dilakukan ataupun larangan yang harus dihindari.

Sila Buddhis
Sila Buddhis sering kali dipahami sebagai perintah atau larangan, ini adalah salah kaprah yang fatal. Sila adalah butir-butir kedisiplinan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan makhluk lain. Karena maknanya yang sangat penting ini maka para siswa yang bertekad melaksanakan Sila harus lebih dahulu melakukan permohonan tuntunan Sila pada anggota Sangha agar dapat sepenuhnya memperoleh pemahaman yang benar mengenai makna Sila itu sendiri. Singkatnya, Sila dilaksanakan tidak sekedar sebagai kegiatan ritual ataupun bagian dari perintah dan larangan, namun sebagai proses pelatihan pemurnian batin.

Hal ini dapat terlihat jelas dalam butir-butir Panca Sila Buddhis yang berbunyi sebagai berikut:

1. Saya berjanji berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berjanji berusaha untuk menghindari pencurian.
3. Saya berjanji berusaha untuk menghindari perbuatan asusila.
4. Saya berjanji berusaha untuk menghindari berbohong.
5. Saya berjanji berusaha untuk menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran.

Kelima sila tersebut diawali dengan ucapan "saya berjanji berusaha" yang memiliki dua makna penting. Pertama, adanya “saya” sebagai subyek aktif, bukan obyek pasif yang menerima perintah. Kedua, ucapan “berjanji berusaha” yang merupakan sebuah tekad atau ikrar, bukan pernyataan pasif menerima perintah. Di sini dengan jelas dapat dilihat bahwa subyek “saya” dengan penuh kesadaran dan atas kehendak sendiri menyatakan tekad untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan makhluk lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan tekad yang diiringi dengan pengertian dan pemahaman benar bahwa setiap butirnya merupakan perbuatan yang patut dihindari, sekali-kali bukan karena itu merupakan bagian dari larangan atau perintah.

Peraturan Komunitas Sangha
Namun tidak dipungkiri bahwa sebagai sebuah organisasi, komunitas Sangha juga memerlukan adanya peraturan demi menjaga keharmonisan dan kesolidannya. Untuk itu Buddha menetapkan beberapa pedoman dan peraturan yang sekilas tampak tidak berbeda dengan perintah ataupun larangan dalam konteks umum.

Tetapi seperti yang dikemukakan di atas, sanksi atas pelanggaran peraturan Sangha adalah ditujukan demi kebaikan si pelaku pun demi menjaga kedisiplinan Sangha, bukan semata-mata demi pelampiasan rasa angkara murka dari pembuat peraturan itu kepada si pelanggar.

Sebenarnya makna dan tujuan perintah atau larangan yang ditetapkan oleh Buddha sangatlah sederhana, yakni demi terwujudnya kebahagiaan individu dan semua makhluk. Bukan merupakan pernyataan kekuatan adikuasa yang mutlak harus dipatuhi, melainkan suatu kehendak bebas yang bertanggung jawab yang didasarkan pada rasa welas asih dan kebijaksanaan.

Jiwa Bodhisattva
Para pakar dunia pendidikan menggolongkan tingkah laku dalam 4 tahap.

1. Tingkah Laku Pasif. Tidak adanya inisiatif dari dalam (inner vision) sehingga diperlukan adanya dorongan dari luar diri (outer power) agar yang bersangkutan berkenan melakukan suatu perbuatan yang terpuji. Ini adalah tahap tingkah laku yang terendah.

2. Tingkah Laku Aktif. Memiliki inisiatif dalam dirinya, tetapi karena lemahnya pengendalian diri maka masih diperlukan adanya dorongan luar.

3. Tingkah Laku Sadar. Memiliki inisiatif dan kesadaran diri serta tidak diperlukan lagi dorongan luar, tetapi meski demikian masih tetap diperlukan dorongan tekad yang kuat untuk senantiasa mengingatkan diri sendiri agar selalu sadar dan berkenan melakukan perbuatan terpuji.

4. Tingkah Laku Otomatis. Tidak diperlukan lagi tekad maupun dorongan dari luar. Tingkah lakunya bukan lagi merupakan paksaan (baik dari dalam maupun luar dirinya), melainkan merupakan kebiasaan yang alamiah. Inilah tahap tingkah laku yang tertinggi.

Panca Sila Buddhis merupakan langkah awal dalam tindakan perwujudan terciptanya kebahagiaan bagi semua makhluk. Meski masih berupa langkah awal, namun pelaksana Sila ini sudah tergolong dalam tahap Tingkah Laku Aktif karena perbuatannya dilandasi oleh dorongan mulia dalam dirinya, bukan karena kekuatan luar yang berupa perintah atau larangan.

Kemudian seiring dengan meningkatnya kemurnian batin yang diperoleh dari pelatihan diri ini, pada puncaknya para praktisi Buddhis akan mencapai tahap Tingkah Laku Otomatis. Saat itu bahkan tak diperlukan lagi tekad dari dalam, semua perbuatan bajik dilakukan secara alamiah dan apa adanya. Tak ada lagi keluhan, tak mengenal lelah, tanpa pamrih, semua makhluk adalah dirinya, dirinya adalah semua makhluk, perbedaan itu telah lenyap, inilah yang dinamakan sebagai Jiwa Bodhisattva. Hanya mereka yang telah memiliki Jiwa Bodhisattva sejati baru dapat dengan sempurna mengarungi Jalan Bodhisattva yang mulia. Dengan kata lain, kalau menggunakan bahasa awam, berlatih membentuk kebiasaan untuk melakukan setiap perbuatan demi kebahagiaan semua makhluk dengan tanpa membedakan, keluhan ataupun pamrih, inilah metode pelatihan Jiwa Bodhisattva.

Jadi, kebahagiaan sejati yang tertinggi bukan diperoleh dengan berpegang teguh pada perintah atau larangan, melainkan dengan membentuk kebiasaan berpikir, berucap dan bertindak secara bijaksana dan welas asih, inilah kebahagiaan tertinggi.***

Thanx to: Singthung

107

Banyak umat Buddha awam dan umat agama lain yang telah keliru menganggap reinkarnasi adalah sebuah istilah agama Buddha. Padahal, ajaran Buddha justru ingin mendefinisikan kembali (mengoreksi) istilah 'reinkarnasi' yang dikenal kaum Hindu dan menggantinya dengan punarbhava, atau rebirth dalam bahasa Inggris, karena istilah ini lebih tepat!

Reinkarnasi berarti inkarnasi (penjelmaan) kembali suatu makhluk yang telah mati ke tubuh yang baru. Dalam agama Buddha, tidak ada istilah penjelmaan kembali bagi suatu makhluk yang telah mati dan memasuki tubuhnya yang baru. Agama Buddha hanya mengenal kelahiran kembali (rebirth). Dalam pengertian reinkarnasi, roh (jiwa) seseorang yang telah mati berpindah ke tubuh yang baru. Di sini, roh dianggap suatu substansi yang kekal yang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya.

Dalam konsep Buddhis, tidak dikenal istilah 'roh (jiwa) yang kekal' karena agama Buddha menganut konsep anatta (tanpa roh). Tidak ada suatu diri yang kekal yang berpindah setelah kita mati. Yang ada hanyalah suatu energi (berbentuk kesadaran penyambung) yang meneruskan kehidupan berikutnya. Ibarat api lilin yang diteruskan dari satu lilin ke lilin yang lain, api lilin itu sendiri tidak berpindah, karena lilin-lilin sebelumnya tetap menyala, melainkan karena adanya kondisi (sumbu lilin) yang memungkinkan lilin-lilin berikutnya menyala. Demikian pula kita terlahir kembali karena masih adanya sumbu kehidupan (kemelekatan).

Ingatlah hukum fisika yang menyatakan: energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Hukum karma dalam agama Buddha dapat dibandingkan dengan hukum energi dalam fisika. Hukum karma menyatakan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan manusia akan berakibat (akibatnya tidak akan hilang). Tetapi akibatnya bisa dalam berbagai kondisi (bentuk) sesuai dengan kadar perbuatannya. Akibat dari suatu karma buruk yang tidak terlalu besar dapat diminimalkan dengan suatu karma baik yang besar. Akibat itu sendiri tidaklah hilang, tetapi seolah-olah telah hilang karena kekuatan karma baik yang besar. Ini dapat diibaratkan garam yang berkurang rasa asinnya apabila dilarutkan dengan air yang banyak.

108
Buddhisme untuk Pemula / MENGHARGAI HIDUP SEBAGAI MANUSIA
« on: 03 August 2009, 10:35:19 PM »
Jika seorang pengemis tidak menyadari kalau ia memiliki permata di kantongnya, maka ia tidak akan memanfaatkannya dan akan tetap miskin. Sama halnya dengan kita, jika tidak mengerti bahwa kita memiliki kesempatan yang luar biasa pada kehidupan ini, kita tidak akan memanfaatkan waktu dengan bijaksana

Apa sebenarnya "permata" yang kita miliki? Mungkin kita semua mempunyai kegiatan sehari-hari yang hampir sama, setiap hari kita mengawali hari baru dengan bangun tidur, makan, bekerja, setelah pulang kerja kemudian istirahat sambil menikmati makan malam, nonton televisi atau VCD terbaru, bertelepon bersuka ria dengan teman-teman dan setelah lelah tidur. Dan pada akhir pekan hari-hari kita penuh janjian dengan teman, seperti nonton, shopping setelah pulang dari kebaktian. Atau mungkin ada beberapa dari kita yang kesiangan bangun di hari minggu karena malam minggu keasyikan main internet, jadi hanya cukup dengan bernamaskara ketika ke vihara, kemudian langsung ngobrol dan diakhiri dengan jalan-jalan bersama teman-teman. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan tahun berganti tahun.

Apakah hanya seperti itu yang dapat kita kerjakan pada kehidupan yang sangat berharga ini? Setiap hari berlalu, setiap hari umur kita bertambah. Saat ini kita yang memiliki badan yang sehat dan berpikir bahwa hidup kita masih panjang, masih 40 atau 50 tahun lagi. Kita telah disibukkan untuk pengejaran materi, membicarakan sesuatu yang hanya membuang energi atau menimbulkan emosi dan kesenangan duniawi lainnya yang telah menyita waktu dan menghabiskan energi yang kita miliki .

Kita tidak pernah berpikir bahwa setiap saatpun kematian akan datang, mungkin esok hari kita tidak dapat melihat mentari bersinar lagi. Seperti tragedi WTC di Amerika, apakah mereka yang saat itu berada di gedung WTC maupun di pesawat, sebelum kejadian akan tahu bahwa mereka akan mati pada hari itu? Tentu tidak, sebab pada dasarnya mereka sama seperti kita juga mempunyai banyak rencana untuk hari itu, hari esok, akhir pekan maupun masa depan.

Dan kita yang saat ini masih bernafas, dapat berpikir dengan kecerdasan yang kita miliki, tentu kita tidak akan melewatkan hari-hari kita dengan begitu-begitu saja, karena pada kehidupan ini di mana kita memiliki kesempatan terlahir sebagai manusia, mempunyai kesempatan yang besar, terutama karena kita terlahir sebagai manusia dapat mengenal, mempelajari dan mempraktekkan Dhamma. Suatu kesempatan yang sangat langka dan tidak dimiliki oleh setiap manusia di muka bumi. Kita memiliki "Kehidupan sebagai manusia yang sangat berharga, melebihi semua permata termahal di dunia ini."

Kehidupan kita yang penuh kebebasan dan berkah. Jika kita sedang sedih karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, kita sering menganggap bahwa kita orang yang paling menderita di dunia dan hidup kita selalu tidak menyenangkan, padahal kita masih mempunyai tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan yang cocok, makanan dan pakaian yang lebih dari cukup dan teman-teman yang baik. Dan semua hal yang terpenting dari semua yang ada di alam semesta ini, kita memiliki kehidupan yang berharga, karena penuh dengan berkah dan kebebasan.

Kemerosotan yang bisa kita alami, antara lain: Kemerosotan untuk terlahir di alam neraka. Bayangkan jika saat ini kita terlahir di alam neraka bersama dengan makhluk-makhluk lainnya, kita sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal, mempelajari dan mempraktikkan Dhamma. Tidak mungkin untuk bisa bersantai walaupun hanya sejenak. Pada kehidupan ini kita mempunyai waktu yang sangat banyak untuk belajar dan mempraktikkan Dhamma, tapi sering kita lewati dengan bersantai dulu, misalnya kita ingin bermeditasi setelah makan malam, tanpa sengaja kita menonton sinetron di televisi yang pemainnya cantik dan tampan, lalu rencana kita untuk bermeditasi diundur satu jam kemudian.

Setelah berlalu, kemudian kita teringat ada VCD baru yang belum sempat ditonton atau mungkin ada tabloid gosip terbaru yang belum sempat dibaca, rencana untuk bermeditasipun akhirnya tertunda lagi dan setelah selesai menonton atau membaca cerita gosip, kita sudah lupa untuk bermeditasi yang telah direncanakan sebelumnya, karena kita sudah ingin tidur. Setiap hari berlalu dengan begitu saja. Kita tidak sadar seandainya saat ini terlahir di alam neraka, tidak ada kesempatan untuk bersantai, bermeditasi, mendengarkan Dhamma atau mempraktikkannya. Hanya penderitaan alam neraka atau siksaan panasnya api neraka atau siksaan lainnya yang ada. Jika saat ini kita sakit kepala sedikit saja, kita malas sekali untuk mempraktekkan Dhamma, kita selalu mencari alasan-alasan, apalagi kalau kita di alam neraka, tidak mungkin untuk berpikir sedikit saja tentang Dhamma apalagi praktek.

Kemerosotan terlahir di alam peta. Peta atau setan kelaparan selalu haus dan lapar, makhluk-makhluk peta sulit sekali dapat menemukan makanan meskipun hanya sebutir nasi, karena kamma mereka mengakibatkan segala sesuatu itu menjijikkan bagi mereka. Untuk mendapatkan makan dan minum saja sulit sekali bagi mereka, apalagi untuk memikirkan dan mempraktekkan Dhamma. Jika mereka menemukan makanan yang telah dicari bertahun-tahun atau berkalpa-kalpa itupun tidak akan membuat mereka kenyang tetapi malah membuat mereka semakin lapar. Misalnya, saat ini kita sedang lapar, padahal tadi kita ditraktir makan oleh teman di restoran ''All you can eat,' porsi makanan tersebut melebihi batas maksimal, tetapi saat ini perut kita lapar lagi.

Dengan begitu tentu kita akan mencari makanan lagi di sana-sini. Apakah dalam kondisi seperti ini kita dapat membaca dan memahami buku Dhamma? Atau mungkin pada waktu kita melakukan kebaktian, kalau perut kita saja belum diisi segelas air, apakah mungkin kita dapat membaca paritta dan mendengarkan Dhamma dengan pikiran penuh konsentrasi? Tentu tidak mungkin. Begitu juga dengan para setan kelaparan di alam peta, tidak mungkin dapat mempelajari dan mempraktikkan Dhamma meskipun hanya sedikit. Tetapi lucunya, setiap kali kita bangun tidur di pagi hari, pertama yang kita cari adalah sarapan dan kopi atau susu hangat dan tidak pernah merenungkan hal yang paling membahagiakan di saat kita terbangun adalah kita masih dapat bernafas. Kita tidak sadar bahwa masih bisa bernafas berarti kita masih mempunyai kesempatan yang besar untuk menanam kamma baik sebagai bekal kehidupan yang akan datang.

Kemerosotan terlahir di alam binatang. Karena kebodohan yang dimiliki binatang, mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbuat baik, apalagi untuk mempelajari dan mempraktekkan Dhamma. Jika kita mencoba mengajarkan anjing kesayangan kita untuk bernamaskara, adalah suatu hal yang tidak mungkin. Pada umumnya binatang hanya mempertahankan hidupnya untuk mencari makan dan nafsu semata. Misalnya, ada binatang pemangsa yang hanya hidup untuk mencari mangsa, mungkin binatang lain yang menjadi sasaran atau binatang itu sendiri justru dimangsa oleh makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang terlahir untuk memakan binatang lainnya, seperti ular, singa, macan dan lainnya, itu hanya menambah karma buruk mereka untuk kehidupan yang akan datang, sedangkan binatang seperti ayam, ikan, dan sapi diberi makan oleh manusia sehingga cepat besar dan gemuk hanya untuk dipotong-potong dan dijual dagingnya maupun dikonsumsi sendiri oleh manusia. Binatang hidup selalu dalam cengkeraman ketakutan dan kebodohan.

Berkah yang kita miliki, antara lain: Terlahir sebagai manusia. Salah satu berkah terbesar bagi manusia adalah memiliki akal atau kecerdasan. Dengan kemampuan akalnya, manusia dapat memenuhi semua kebutuhannya dan menciptakan teknologi-teknologi yang canggih untuk mempermudah hidupnya. Dan dengan terlahir sebagai manusia kita juga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sehingga mempunyai kesempatan yang besar untuk berbuat kebaikan. Dan hal yang paling terpenting dari semua itu, yaitu setiap manusia dapat mencapai Nibbana.

Terlahir di negara yang terdapat ajaran Buddha. Kita terlahir sebagai manusia di negara Indonesia. Negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, bangsa yang beragama, mengijinkan rakyatnya untuk menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing serta pemerintah mendukung berkembangnya agama Buddha dan rakyatnya hidup bertoleransi. Dan yang terpenting dari semua itu kita masih dapat mengenal dan mempelajari ajaran Sang Buddha di Indonesia. Agama Buddha di Indonesia cukup berkembang terbukti dengan banyak sekali vihara yang nyaman dengan fasilitas yang lengkap, dibangun sebagai tempat menanam kamma baik dan mempraktekkan Dhamma. Kita dapat mendengarkan Dhamma yang sangat indah dari para anggota Sangha. Kita dapat menunjukkan rasa bakti kita kepada para anggota Sangha. Kita juga dapat membaca buku Dhamma dan lainnya untuk dipraktikkan. Hal ini berarti kita memiliki berkah yang sangat luar biasa terlahir di negara ini.

Dapat kita bayangkan, misalnya kita terlahir di negara yang selalu terjadi peperangan, sering terjadi bencana alam, kelaparan dan tidak mengenal agama Buddha. Mana mungkin kita dapat belajar dan mempraktikkan Dhamma, kalau pikiran kita hanya terfokus pada perang, membunuh untuk mempertahankan hidup atau mati dibunuh; jika terlahir di negara yang sering terjadi bencana alam, maka kita selalu hidup penuh rasa ketakutan. Kita mungkin ngeri mendengarnya tetapi itu kenyataan, seperti kita lihat ada negara yang tidak mengenal ajaran Buddha, tidak sedikit negara-negara yang selalu berperang, sering mengalami bencana alam dan kelaparan di mana rakyatnya hidup dengan penuh kebencian, ketakutan dan kelaparan. Dan satu lagi yang paling penting, yakni kita hidup pada kehidupan di mana ajaran Buddha telah muncul dan masih ada. Ini merupakan kehidupan yang sangat jarang dan susah untuk didapatkan lagi.

Terlahir dengan anggota tubuh yang lengkap. Kita terlahir sebagai manusia dengan organ tubuh yang lengkap, kita memiliki mata untuk melihat rupang Buddha yang sangat indah, melihat para anggota Sangha dan indahnya vihara, dan membaca buku paritta dan buku Dhamma; kita memiliki telinga untuk mendengarkan Dhamma, paritta dan lagu-lagu Buddhis yang indah; kita memiliki mulut sehingga kita mempunyai kemampuan untuk memberikan dana tertinggi, yaitu membabarkan Dhamma; dan lainnya. Kita memiliki semua berkah itu melalui anggota tubuh kita yang lengkap. Coba bayangkan, jika kita tidak memiliki salah satu saja, misalnya mata, maka kita tidak dapat melihat indahnya rupang Buddha yang penuh metta dan karuna, kita tidak dapat membaca paritta apalagi buku Dhamma lainnya.

Terlahir sebagai umat Buddha.

Seperti analogi, seekor kura-kura buta berada di samudera yang luas dan ada sebuah gelang mengapung berpindah-pindah di permukaan. Kura-kura buta tersebut muncul ke permukaan setiap seratus tahun sekali, berapa kali kemungkinan kura-kura buta tersebut dapat meraih gelang itu? Seperti itulah kita untuk terlahir sebagai manusia yang dapat mengenal, mempelajari dan mempraktikkan Dhamma. Kesempatan ini sangat susah untuk didapatkan.

Setelah hal itu kita dapatkan sekarang ini, hidup ini juga tidak kekal, akan cepat berakhir seperti kilat di malam hari yang gelap. Jadi saat ini kita memiliki kehidupan yang sangat jarang dapat melihat sesuatu secara benar, banyak manusia yang tidak mengenal ajaran Guru Buddha karena ketidaktahuan dan kamma mereka. Mereka memiliki pandangan salah dalam menjalani kehidupan, yang tentu hanya membawa mereka ke penderitaan yang lebih dalam. Jadi kita memiliki karma baik yang sangat luar biasa, dapat terlahir sebagai manusia yang mengenal ajaran Guru Buddha. Kita telah memiliki harta karun yang terbesar, melebihi harta karun apapun yang ada di dunia ini, yakni kelahiran sebagai manusia yang dapat mengenal, mempelajari dan mempraktekkan Dhamma, dengan semua kebebasan dari kelahiran di alam-alam rendah yang sangat menderita dan menyedihkan, dan dengan berkah-berkah yang kita miliki pada kehidupan ini.

Semua penderitaan yang kita alami pada kehidupan sehari-hari, itu sangat jauh dan tidak seberapa jika dibandingkan kehidupan kita yang sangat berharga ini. Dan kalau kita mau merenungkan, kita bisa melihat betapa sangat banyaknya orang yang tidak beruntung, yang hidupnya kaya raya, memiliki kekayaan duniawi apapun, tenar dan memiliki jabatan tinggi, hidup mereka selalu berfoya-foya tetapi sebenarnya hambar, berlalu begitu saja, bila mereka tidak dapat mengenal, mempelajari, dan mempraktikkan Dhamma. Kita dapat melihat berapa banyak orang kaya dan sukses yang stress, sakit jiwa bahkan bunuh diri. Jika kita melihat di sisi lain, berapa banyak orang yang kelaparan, kepanasan, kehujanan di jalanan; hidup mereka hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana caranya mencari sesuap nasi setiap hari, mana mungkin mereka dapat memikirkan hal demikian, meskipun sedikit saja tentang tujuan hidup mereka apalagi tentang Dhamma.

Jadi kita telah mempunyai "kunci" untuk keluar dari semua penderitaan di alam samsara, kita mempunyai kesempatan yang luar biasa, yang sangat langka ini, kita harus berusaha untuk memanfaatkan kehidupan ini, detik demi detik dengan sebaik-baiknya, mencapai tujuan hidup kita sebagai umat Buddha, yaitu Nibbana. Mempelajari dan mempraktekkan Dhamma bukanlah menjadi seorang petapa di gunung selama berpuluh-puluh tahun, tetapi kita dapat mempelajari dan mempraktekkan Dhamma pada setiap detik dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak menunggu hari-hari berlalu begitu saja, dan ketika tua di mana pengelihatan, pendengaran, ketajaman pikiran merosot, kita baru menyadari kalau kehidupan ini sangat berharga dan penuh makna. Kita tidak tahu kapan kita akan mati, karena pada saat kematian tiba nanti kita akan kehilangan semuanya, harta kekayaan, jabatan, orang-orang yang kita sayangi bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita bawa.

Hanya satu yang dapat kita bawa yaitu perbuatan yang menunjukkan praktik Dhamma pada kehidupan ini, yang merupakan perbuatan (kamma) baik yang kita pupuk pada kehidupan ini sebagai bekal kehidupan yang akan datang.


--------------------------------------------------------------
Referensi:
1. Geshe Acharya Thubten Loden, Path To Enlightenment in Tibetan Buddhism.
2. Venerable Thubten Chodron, Taming The Monkey Mind.

Thanx to: Singthung..

109
Buddhisme untuk Pemula / Pada Siapa Aku Memohon
« on: 03 August 2009, 10:31:59 PM »
Kepada siapa sebenarnya umat Buddha berdoa dan memohon? Pada Dewa, Tuhan atau Buddha???


Ora et Labora, sebuah ungkapan yang sangat umum kita dengar. Berdoa dan Bekerja, ungkapan yang menjelaskan bahwa di samping berdoa, kita juga harus berkarya. Terlepas dari usaha yang dilakukan, doa bagi banyak orang adalah hal yang sangat pokok, bahkan sering diyakini bahwa tanpa doa manusia tidak akan mencapai apa yang diinginkannya. Kalau memang doa itu demikian krusial dalam hidup manusia, apakah umat Buddha juga harus berdoa? Lalu berdoa pada siapa?

Buddha secara tegas menolak pandangan bahwa apa yang diinginkan manusia dapat diwujudkan lewat doa. Pada satu kesempatan, Buddha berkata pada hartawan Anathapindika:

Oh, perumah tangga, di dunia ini ada lima hal yang diinginkan, menarik dan menyenangkan. Apakah kelima hal itu? Tidak lain adalah usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran dan kelahiran kembali di alam-alam Surga. Akan tetapi, oh, perumah tangga, Saya tidak pernah mengajarkan bahwa lima hal tersebut dapat diperoleh dengan doa (acayana) ataupun dengan kaul/nadar (patthana). Jika seandainya dapat diperoleh dengan doa atau kaul/nadar, siapakah yang tidak akan melakukannya?

Bagi seorang siswa mulia, oh, perumah tangga, yang mendambakan usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan kelahiran kembali di alam-alam Surga; sangatlah tidak tepat apabila ia berdoa atau merasa senang dalam usaha seperti itu. Sebaliknya, ia selayaknya menempuh jalan kehidupan yang mengakibatkan usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran dan kelahiran kembali di alam-alam Surga. Hanya dengan berbuat demikianlah ia dapat memperoleh apa yang diinginkan, menarik dan menyenangkan.

Buddha dalam Dhammapada syair 1 dan 2 secara gamblang mengajarkan:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

Buddha dengan jelas mengajarkan bahwa perbuatan atau jalan kehidupan yang kita tempuh, bukan doa, adalah upaya benar untuk memperoleh keinginan yang menyenangkan. Sedang dari perbuatan yang kita lakukan, pikiran adalah pelopor. Jadi, mengendalikan pikiran yang merupakan sumber awal segala perbuatan adalah jauh lebih penting daripada berdoa. Dengan kata lain, doa yang kita lakukan haruslah bertujuan memurnikan pikiran, bukannya sekedar meminta-minta demi kepentingan pribadi atau bahkan berkehendak melepaskan diri dari tanggung jawab atas perbuatan yang tidak benar yang kita lakukan. Inti ajaran Buddha adalah pemahaman benar tentang hukum karma (hukum perbuatan & sebab akibat). Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Bukan apa yang kita doakan, itulah yang kita tuai.

Manusia haruslah menjadi makhluk yang menggapai apa yang diinginkan melalui usahanya sendiri, bukan dengan meminta-minta pada sesuatu di luar dirinya. Sudah tentu, usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia itu haruslah bajik dan benar. Umat Buddha meyakini bahwa diri sendiri bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan, oleh karenanya umat Buddha tidak pernah (dan tidak layak) meminta-minta, baik pada Dewa, Tuhan, Bodhisattva atau Buddha.

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Dhammapada syair 127.

Tidak ada tempat untuk bersembunyi dari akibat perbuatan jahat yang dilakukan oleh diri sendiri, ini berarti bahwa tidak ada cara untuk menghindarkan diri dari akibat perbuatan jahat itu. Ini juga berarti, akibat perbuatan bajik itu pun akan datang dengan sendirinya tanpa memintanya.

Sebuah ungkapan bijaksana mengajarkan: hendaknya kita tidak memandang ke luar jendela, melainkan lihatlah ke dalam cermin. Melihat ke luar jendela adalah mencari kejelekan orang lain serta merusak batin dengan hanya tahu berharap dari luar diri sendiri, sedang memandang ke dalam cermin mengajarkan kita untuk introspeksi serta memurnikan batin dengan tidak bergantung pada sesuatu di luar diri sendiri. Kebahagiaan dan kemurnian batin tidak didapatkan dari luar, melainkan berada dalam diri kita sendiri. Bila demikian, apakah kita masih melakukan permohonan doa? Lalu, apa benar umat Buddha itu tidak berdoa?

Sesungguhnya doa dalam ajaran Buddha memiliki definisi yang berbeda dengan khalayak umum. Dalam Buddhisme Theravada dikenal adanya pembacaan paritta (yang sering kali secara umum diartikan sebagai membaca doa). Paritta sesungguhnya bukan doa. Dalam paritta tidak akan ditemukan satupun permintaan ataupun permohonan sebagaimana yang dipanjatkan dalam sebuah doa.

Paritta berisi pernyataan, tekad/ikrar (bukan sumpah) serta pengharapan. Semisal dalam kebaktian pelatihan bersama, pembacaan Vandana adalah pernyataan pencerahan agung Buddha Gautama; pembacaan Tisarana merupakan pernyataan bernaung pada Buddha, Dharma dan Sangha; pembacaan Pancasila Buddhis menyatakan tekad berlatih diri menghindari perbuatan buruk membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan; pembacaan Karaniyametta Sutta menyadarkan diri sendiri untuk mengembangkan cinta kasih universal; serta pembacaan Ettavatta menyatakan harapan tercapainya kebahagiaan bagi semua makhluk (dengan melimpahkan jasa kebajikan). Melimpahkan buah perbuatan bajik yang kita lakukan pada semua makhluk agar mereka berbahagia, inilah yang disebut sebagai pelimpahan jasa kebajikan.

Pelimpahan jasa kebajikan demi kebahagiaan semua makhluk juga diterapkan dalam Buddhisme Mahayana. Selain itu, Mahayana juga mengajarkan pernyataan ikrar Bodhisattva. Bodhisattva menunjuk pada makhluk hidup (sattva) yang sadar (bodhi), yang berarti mereka telah sadar akan hakekat sejati kehidupan dan bertekad mencapai keBuddhaan serta membimbing semua makhluk hidup untuk terbebas dari lautan penderitaan yang merupakan putaran kelahiran dan kematian yang tak berawal dan tak berakhir. Jalan Bodhisattva telah tak mengenal lagi kata “aku” atau kepentingan diri sendiri. Segala hal yang dilakukan Bodhisattva adalah demi kebahagiaan semua makhluk.

Baik pembacaan paritta, pelimpahan jasa ataupun ikrar Bodhisattva, semua itu ditujukan demi kebahagiaan semua makhluk, bukan demi diri sendiri. Jadi boleh dibilang, siswa Buddha yang baik tidak mengenal doa yang meminta kesenangan bagi diri sendiri, melainkan pengharapan dan upaya nyata bagi kebahagiaan semua makhluk. Ingin berpenghasilan cukup, maka tempalah diri serta ulurkan tangan welas asih bagi mereka yang membutuhkan bantuan, bukan sekedar berdoa lalu menunggu kekayaan itu tiba. Ingin negara terbebas dari keterbelakangan, maka berpartisipasilah dalam dunia pendidikan dan pemberdayaan sumber daya manusia, bukan hanya sekedar berdoa lalu mengharapkan semuanya berjalan sesuai doa kita. Ingin umat manusia hidup dalam perdamaian, maka bergabunglah dalam barisan pembabar Dharma dan terapkan Dharma itu dalam keseharian, bukan hanya sekedar berdoa lalu beranggapan sudah melakukan yang terbaik.

Singkat kata, doa walau secara psikologis dapat membantu manusia menjadi lebih tegar namun di sisi lain merapuhkan mental manusia menjadi sangat bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Ini bukan hakekat doa yang benar. Seorang petani alih-alih berdoa mengharapkan “sawahnya memberi hasil”, tindakan konkrit “mengolah sawah dengan baik” serta perilaku bajik akan memiliki kemungkinan lebih besar dalam mewujudkan harapannya.

Bagaimana pula yang disebut sebagai tindakan konkrit “mengolah sawah dengan baik” serta berperilaku bajik secara Buddhisme? Di samping pemahaman Buddha Dharma yang benar, kita juga harus tekun mempelajari iptek terkait, pun berdisiplin dan sungguh-sungguh dalam menerapkannya. Selain itu, membina kesabaran juga hal yang tak boleh diabaikan karena semua jerih payah itu bukan berlangsung dalam satu malam, juga bila setelah berusaha masih menemui kegagalan, hendaknya kita tidak cepat menyerah dan menerimanya sebagai pelajaran hidup yang berharga, seperti halnya kesabaran Thomas Alfa Edison saat menghadapi 999 kegagalan sebelum berhasil menemukan lampu bohlam. Sudah tentu, untuk dapat bersabar sangat diperlukan konsentrasi (pemusatan kehendak dan semangat) yang tinggi. Selain itu, jangan lupa untuk senantiasa mengulurkan tangan welas asih dengan berdana membantu orang-orang di sekitar yang memerlukan bantuan kita. Dan semua upaya itu harus kita lakukan dengan bijaksana. Saat memperoleh keberhasilan, jangan lupa diri; kala menemui kegagalan, hadapi dengan lapang dada; lakukan semua upaya dengan cara yang tepat dan benar.

Jadi, kepada siapa sebenarnya umat Buddha berdoa dan memohon? Pada Dewa, Tuhan atau Buddha? Dua syair berikut akan menjawab pertanyaan kita.

“Karenanya, Ananda, bersemayamlah sebagai pulau bagi dirimu sendiri, pelindungmu sendiri, tiada pelindung lain; Dhamma (Dharma) sebagai pulaumu, Dhamma (Dharma) sebagai pelindungmu, tiada pelindung lain.”
Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

“Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. Setelah memberisihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.”
Dhammapada syair 238.

Pulau pelindung bagi diri kita dan semua makhluk, tak lain tak bukan adalah pemahaman dan penerapan Dharma yang benar dalam keseharian. Inilah hakekat permohonan doa dalam Buddhisme. Sekali lagi, jangan memandang ke luar jendela, melainkan lihatlah ke dalam cermin.

thanx to : Singthung

110
Buddhisme untuk Pemula / Manfaat Membaca Paritta
« on: 03 August 2009, 10:29:16 PM »
Manfaat Membaca Paritta



Bahum pi ce sahitaṁ bhāsamāno, na takkaro hoti naro pamatto
Gopo va gāvo ganayaṁ paresaṁ, na bhāgavā sāmaññassa hoti.

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, maka orang yang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain. Ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

(Dhammapada 19)
[/b]


Banyak sekali umat Buddha yang tidak memahami akan pentingnya membaca paritta suci di rumah, mereka lebih senang dengan berdoa saja, alasan mereka katanya; kalau berdoa sangat mudah untuk diucapkan, tidak sulit dan tidak memakan waktu yang terlalu lama serta dapat mencapai segala sesuatu yang diharapkan. Sedangkan membaca paritta menurut mereka sangat sulit dan memakan waktu yang lama.

Berdasarkan pandangan inilah banyak umat Buddha yang tidak mau membaca paritta di rumah. Sesungguhnya membaca paritta lebih baik daripada hanya sekedar berdoa. Lagipula membaca paritta itu tidak sulit dan tidak memakan waktu yang terlalu lama, paling hanya sepuluh menit atau lima belas menit, seperti; Namakāra Pāñha, Vandana, Tisarana, Pañcasῑla, Buddhānussati, Dhammānussati, Saṅghānussati, Saccakiriya Gāthā, Karaṇῑyametta Sutta, dan diakhiri dengan Ettāvatā. Apabila ingin menambahkan juga lebih baik.

Agama Buddha mengajak kita untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri, kitalah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan penderitaan hidup ini. Tidak ada makhluk tertinggi yang menjadi tumpuan dan harapan kita. Tetapi hal seperti ini tidak disadari bagi sebagian orang, sehingga banyak orang yang menangis dengan berdoa untuk mencari rejeki, jodoh, keselamatan dan kebahagiaan agar jauh dari bencana. Mereka memohon-mohon dengan mantra-mantra, dan katanya ada mantra yang sangat ampuh apabila mantra itu dihafal dan diucapkan.

Bagaimana sikap umat Buddha terhadap hal ini? ”Sang Buddha menyatakan dengan jelas, bukan dengan mengucapkan ayat-ayat suci, menyiksa diri, tidur di atas tanah, pengulangan doa-doa, penembusan dosa, jimat, mantra, jampi yang dapat membawa kebahagiaan sejati, hanya pemurnian pikiranlah yang dapat membawa kebahagiaan". Sesungguhnya paritta yang dibacakan dalam ritual agama Buddha adalah ajaran yang disampaikan Sang Buddha yang mengandung arti perlindungan, artinya jika seseorang meneladani dan menerapkan pesan-pesan Dhamma dalam paritta itu, maka perlindungan akan dicapainya.

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia umumnya tidak dapat terlepas dari pengalaman kebahagiaan dan penderitaan. Dalam setiap kejadian manusia senantiasa membutuhkan suatu kekuatan moril yang merupakan dorongan untuk mengatasi penderitaan. Di samping itu, dalam kehidupan masyarakat ini, kita mengalami berbagai macam peristiwa seperti; pernikahan, kelahiran, ulang tahun, sakit, meninggal dunia, dan sebagainya. Ada juga harapan-harapan agar usaha-usaha dalam hidup memperoleh kemajuan.

Para umat Buddha biasanya yakin bahwa peristiwa-peristiwa tersebut bisa diharapkan bila dibacakan paritta-paritta suci, juga yakin bahwa getaran suara dari pembacaan paritta yang disertai dengan pemusatan pikiran dapat menentramkan keadaan saraf serta menghasilkan keheningan dan ketenangan pikiran. Pikiran yang tenang meskipun belum bersih sangatlah bermanfaat bagi hidup kita, sebab kedamaian pikiran sangat dibutuhkan di mana saja. Umat Buddha juga sadar bahwa paritta menyimpan kekuatan yang luar biasa, selalu dapat dimanfaatkan sebagai perlindungan batin serta memperoleh berkah sesuai dengan harapan yang dikehendaki. Kalau begitu apakah setiap paritta yang dibacakan akan selalu mendapat manfaat dan harapan-harapan sesuai dengan yang kita inginkan?

Kita perlu ingat kembali kata-kata Y.A. Nagasena, bahwa paritta tidak selalu dapat memberikan perlindungan karena tiga sebab:

1. Halangan kamma masa lalu,

2. Halangan karena kekotoran batin masa kini, dan

3. Halangan karena kurangnya keyakinan.

Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan kekuatan karena cacat mereka sendiri. Meskipun demikian kita tidak usah khawatir atau takut, pokoknya yang terpenting bagi kita rajin-rajinlah membaca paritta setiap pagi dan sore di rumah. Dengan berbekal kamma baik dan keyakinan yang kuat, semoga nantinya kita dapat mencapai apa yang kita harapkan. Pada jaman Sang Buddha orang-orang yang mendengar paritta, sabda-sabda Sang Buddha, mengerti apa yang diucapkan, pengaruhnya sangat luar biasa terhadap mereka. Kebiasaan ini masih saja dilakukan hingga sekarang khususnya di negara-negara Buddhis.

Menurut Dhamma, pikiran sangat erat hubungannya dengan jasmani, di mana pikiran mempengaruhi kesehatan jasmani. Sejumlah dokter mengatakan bahwa tidak ada suatu penyakitpun yang dikatakan sebagai jasmani yang murni. Oleh karena itu, penting sekali pembacaan paritta sebagai kondisi untuk menjernihkan pikiran. Getaran suara yang dihasilkan oleh paritta meredakan kegelisahan dan menimbulkan ketenangan pikiran serta membawa kedamaian secara menyeluruh. Sebagaimana pengaruh buruk yang datang dari pengaruh jahat, dapat ditiadakan dengan membaca paritta. Pengaruh jahat itu sebenarnya hasil dari pikiran jahat, maka ia dapat dihancurkan dengan pikiran baik hasil dari mendengarkan dan yakin akan syair-syair yang terdapat dalam paritta itu.

Dapat disimpulkan bahwa ada empat manfaat yang diperoleh dari membaca paritta yaitu:

1. Memperkuat keyakinan (saddhā),

2. Memperkuat konsentrasi, sehingga memperoleh ketenangan,

3. Dapat merenungkan sifat-sifat luhur Sang Buddha, dan

4. Memperoleh kebijaksanaan.

Inilah empat manfaat dari membaca paritta. Untuk itu rajin-rajinlah membaca paritta di rumah setiap pagi dan sore, agar kita juga selalu ingat pada ajaran Sang Buddha. Sang Buddha bersabda; mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah diterangkan dengan baik, akan mencapai pantai seberang, menyeberangi alam kematian yang amat sukar untuk diseberangi.

Sumber: Dhammapada 86 & Petikan Milinda Panha (IX.14)


thanx to : singthung

111
Diskusi Umum / Bagaimana tanggapan anda tentang amulet???
« on: 17 March 2009, 11:15:31 PM »
 _/\_

bro & sis sekalian...bagaimana tanggapan anda terhadap amulet??
saya soalnya masih bingung...apakah sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran sang Buddha??

thanx ya...cuman penasaran aja...

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8]