//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: MMD (Meditasi Mengenal Diri)  (Read 568317 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1410 on: 17 January 2009, 09:23:14 AM »
iya makanya sebaiknya kita bisa melihat "APA ADANYA" bukan menafsirkan :)
salah sambung om...
sebagai orang yg blom suci, sewaktu kita membaca satu kalimat kitab suci, spontan saat itu juga sebuah tafsiran muncul di kepala...
bagaimana bisa ada orang awam yg mengaku melihat apa adanya?
itu maksudnya om...

Berarti orang awam gak akan bisa melihat apa adanya?
Berarti hanya orang suci yang bisa melihat apa adanya?
Yang berbahaya menurut aye mengambil sepenggal atau sebagian trus ditafsirkan untuk membenarkan pendapat pribadinya lho ;D
Kalo ngambil kata2 ci lily Objek adalah netral itu termasuk juga kitab suci juga netral khan ;D
Ketika orang menafsirkan apakah jadi netral?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1411 on: 17 January 2009, 09:26:45 AM »
Banjir Ketidaktahuan / Kebodohan

Karena ketidaktahuannya, orang yang telah melakukan pembunuhan, perampokan atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya berpikir, bila mereka mengakui kesalahannya, mereka akan dimaafkan. Sebenarnya pikiran semacam ini tak benar. Bila seseorang memiliki ketidaktahuan atas kebenaran ia akan diperangkap oleh 4 arus di atas.

Semua orang awam ada dalam pengaruh 4 banjir besar ini. Mereka mau menikmati kesenangan sensual (indra) bukan hanya ingin mempertahankan kesenangan tersebut tapi untuk memperoleh lebih dan lebih banyak lagi. Arus nafsu indra semacam ini memang sangat kuat dan bila seseorang tak memiliki kemauan kuat untuk membebaskan diri, ia akan ditenggelamkan.

Dibawah kendali kemelekatan untuk meng-ada, seseorang tidak melihat bahaya keber-ada-an. Bahkan hewan sekalipun menikmati keberadaannya sebagai hewan karena ketidaktahuan. Maka, bila seseorang tidak dapat melihat bahaya keber-ada-an, ia tak akan mampu memotong arus menuju kekeselamatan.

Sepanjang belum mampu memotong arus menuju kekeselamatan kita tetap berada dibawah pengaruh 62 pandangan salah. Selama masa itu kita akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan menutup mata terhadap kebenaran. Kita memandang diri sendiri terlalu berlebihan dan mengakibatkan kita ditenggelamkan oleh banjir dari pandangan-pandangan salah.

Dengan diliputi ketidaktahuan kita sedang berada disuatu tempat gelap gulita dan tak bisa melihat apapun. Akibatnya saat melangkah kita bisa menabrak dinding, pohon, tersandung batu, dan lain-lain. Sepanjang masih terperangkap oleh arus ketidaktahuan kita tak akan bisa melihat kebenaran.

Saat ini kita cukup beruntung karena mengenal ajaran Sang Buddha, dimana beliau telah membabarkan bagaimana cara menyeberang sungai menuju kekeselamatan. Tugas kita adalah bersungguh-sungguh. Sebab, bila kita hanya berusaha setengah-setengah, maka kita bahkan tak dapat melihat sisi seberang sungai. Juga bagi yang mau berusaha akan dapat melihat sekejap keselamatan (nibbana) dapat diraih.

Tanpa mengenal ajaran Sang Buddha, kita seperti berada di palung sungai yang gelap gulita. Tak peduli betapa kerasnya berlatih, kita tak akan memiliki kesempatan mencapai sisi seberang sungai. Karena kita tidak mengetahui cara yang benar. Jika kita menyadari betapa berharganya cara yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, maka kita harus bekerja keras untuk meraih nibbana.

Kita harus bersungguh-sungguh dalam berlatih meditasi vipassana dan mencatat (dalam batin) dengan tepat. (dalam MMD tidak ada mencatat khan?) Yang perlu diketahui, sangat tidak mudah mencapai sisi seberang sungai saat kita berada dibawah pengaruh kekotoran batin. Dengan demikian kita harus berusaha keras dan lebih keras lagi.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1412 on: 17 January 2009, 09:32:52 AM »
Banjir Ketidaktahuan / Kebodohan

Karena ketidaktahuannya, orang yang telah melakukan pembunuhan, perampokan atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya berpikir, bila mereka mengakui kesalahannya, mereka akan dimaafkan. Sebenarnya pikiran semacam ini tak benar. Bila seseorang memiliki ketidaktahuan atas kebenaran ia akan diperangkap oleh 4 arus di atas.

Semua orang awam ada dalam pengaruh 4 banjir besar ini. Mereka mau menikmati kesenangan sensual (indra) bukan hanya ingin mempertahankan kesenangan tersebut tapi untuk memperoleh lebih dan lebih banyak lagi. Arus nafsu indra semacam ini memang sangat kuat dan bila seseorang tak memiliki kemauan kuat untuk membebaskan diri, ia akan ditenggelamkan.

Dibawah kendali kemelekatan untuk meng-ada, seseorang tidak melihat bahaya keber-ada-an. Bahkan hewan sekalipun menikmati keberadaannya sebagai hewan karena ketidaktahuan. Maka, bila seseorang tidak dapat melihat bahaya keber-ada-an, ia tak akan mampu memotong arus menuju kekeselamatan.

Sepanjang belum mampu memotong arus menuju kekeselamatan kita tetap berada dibawah pengaruh 62 pandangan salah. Selama masa itu kita akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan menutup mata terhadap kebenaran. Kita memandang diri sendiri terlalu berlebihan dan mengakibatkan kita ditenggelamkan oleh banjir dari pandangan-pandangan salah.

Dengan diliputi ketidaktahuan kita sedang berada disuatu tempat gelap gulita dan tak bisa melihat apapun. Akibatnya saat melangkah kita bisa menabrak dinding, pohon, tersandung batu, dan lain-lain. Sepanjang masih terperangkap oleh arus ketidaktahuan kita tak akan bisa melihat kebenaran.

Saat ini kita cukup beruntung karena mengenal ajaran Sang Buddha, dimana beliau telah membabarkan bagaimana cara menyeberang sungai menuju kekeselamatan. Tugas kita adalah bersungguh-sungguh. Sebab, bila kita hanya berusaha setengah-setengah, maka kita bahkan tak dapat melihat sisi seberang sungai. Juga bagi yang mau berusaha akan dapat melihat sekejap keselamatan (nibbana) dapat diraih.

Tanpa mengenal ajaran Sang Buddha, kita seperti berada di palung sungai yang gelap gulita. Tak peduli betapa kerasnya berlatih, kita tak akan memiliki kesempatan mencapai sisi seberang sungai. Karena kita tidak mengetahui cara yang benar. Jika kita menyadari betapa berharganya cara yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, maka kita harus bekerja keras untuk meraih nibbana.

Kita harus bersungguh-sungguh dalam berlatih meditasi vipassana dan mencatat (dalam batin) dengan tepat. (dalam MMD tidak ada mencatat khan?) Yang perlu diketahui, sangat tidak mudah mencapai sisi seberang sungai saat kita berada dibawah pengaruh kekotoran batin. Dengan demikian kita harus berusaha keras dan lebih keras lagi.

Bro ryu, ini dari sutta mana yah (yang ada nasihat untuk mencatat sewaktu meditasi)?

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1413 on: 17 January 2009, 09:36:05 AM »
itu teknik mahasi bro

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1414 on: 17 January 2009, 09:42:21 AM »
itu teknik mahasi bro

Oooh... OK.

Kalau dari yang saya mengerti (dari Satipatthana Sutta) bahkan tindakan mencatat itu sendiri juga harus diketahui sebagai proses pikiran, dan terbentuknya "catatan" itu juga diketahui sebagai "pembentukan buah pikiran". Maka, walaupun "catatan" itu bisa membawa kita pada arah yang lebih baik, kita tetap tidak menggenggam "catatan" tersebut, yang sebetulnya juga adalah bentukan pikiran yang dihasilkan persepsi.


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1415 on: 17 January 2009, 09:46:13 AM »

Bro ryu, ini dari sutta mana yah (yang ada nasihat untuk mencatat sewaktu meditasi)?
Anapanasati Sutta

Demikian telah kudengar. Satu ketika Sang Bhagava tengah bersemayam di Savatthi di Taman Timur, istana ibunya Migara, beserta banyak siswa sesepuh yang terkemuka - YM Sariputta, YM Maha Moggallana, YM Maha Kassapa, YM Maha Kaccayana, YM Maha Kotthita, YM Maha Kappina, YM Maha Cunda, YM Revata, YM Ananda, dan juga siswa sesepuh yang terkemuka lainnya. Adapun pada waktu itu para bhikkhu sesepuh tengah mengajar dan menasihati para bhikkhu baru. Beberapa bhikkhu sesepuh tengah mengajar dan menasihati sepuluh bhikkhu, beberapa tengah mengajar dan menasihati duapuluh bhikkhu, beberapa tengah mengajar dan menasihati tigapuluh bhikkhu, beberapa tengah mengajar dan menasihati empatpuluh bhikkhu. Para bhikkhu baru, tengah diajar dan dinasihati oleh para bhikkhu sesepuh, memahami perbedaan-perbedaan besar yang berturut-turut.

Adapun pada ketika itu - hari Uposatha tanggal limabelas, malam purnama dari upacara Pavarana - Sang Bhagava duduk di udara terbuka dikelilingi oleh pasamuan para bhikkhu. Setelah memantau pasamuan para bhikkhu yang bungkam, beliau mengamanatkan mereka:

"Para bhikkhu, aku senang dengan latihan ini. Aku senang di hati dengan latihan ini. Jadi bangkitkan semangat yang bahkan lebih hebat untuk meraih yang belum diraih, mencapai yang belum dicapai, menginsyafi yang belum diinsyafi. Aku akan tetap di sini di Savatthi [untuk sebulan lagi] selama bulan 'Bakung putih', bulan keempat dari musim hujan."

Para bhikkhu di luar kota mendengar, "Sang Bhagava, konon, akan tetap di sini di Savatthi selama bulan 'Bakung putih', bulan keempat dari musim hujan." Maka mereka menuju Savatthi untuk melihat Sang Bhagava.

Lalu para bhikkhu sesepuh mengajar dan menasihati para bhikkhu baru bahkan dengan lebih hebat. Beberapa bhikkhu sesepuh mengajar dan menasihati sepuluh bhikkhu, beberapa mengajar dan menasihati duapuluh bhikkhu, beberapa mengajar dan menasihati tigapuluh bhikkhu, beberapa mengajar dan menasihati empatpuluh bhikkhu. Para bhikkhu baru, tengah diajar dan dinasihati oleh para bhikkhu sesepuh, memahami perbedaan-perbedaan besar yang berturut-turut.

Adapun pada ketika itu - hari Uposatha tanggal limabelas, malam purnama dari bulan Bakung putih, bulan keempat dari musim hujan -- Sang Bhagava duduk di udara terbuka dikelilingi oleh pasamuan para bhikkhu. Setelah memantau para bhikkhu yang bungkam, beliau mengamanatkan mereka:

"Para bhikkhu, perkumpulan ini tiada ocehan kosong, tanpa ocehan kosong, dan terbentuk dari hati kayu yang murni. Demikian pasamuan para bhikkhu ini, demikian perkumpulan ini: sejenis perkumpulan yang patut atas pemberian, patut atas keramahtamahan, patut atas persembahan, patut atas penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Demikian pasamuan para bhikkhu ini, demikian perkumpulan ini: sejenis perkumpulan yang di situ pemberian kecil, tatkala diberikan, menjadi besar, dan perberian besar lebih besar lagi. Demikian pasamuan para bhikkhu ini, demikian perkumpulan ini: sejenis perkumpulan yang langka terlihat di dunia. Demikian pasamuan para bhikkhu ini, demikian perkumpulan ini: sejenis perkumpulan yang untuk melihatnya pantas ditempuh beryojana-yojana dengan membawa perbekalan.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang arahat dengan noda-noda berakhir, yang telah mencapai pemenuhan, melaksanakan tugas, menurunkan beban, meraih tujuan sejati, sepenuhnya memutuskan belenggu keberadaan, dan terbebas melalui gnosis yang benar - demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang dengan sepenuhnya memutuskan lima belenggu pertama akan muncul seketika (di Kediaman Suci), dan di sana Padam sepenuhnya, takkan kembali dari alam itu - demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang dengan sepenuhnya memutuskan tiga belenggu, serta meredakan nafsu, kebencian, dan waham, merupakan para pengembali-sekali, yang kembali sekali lagi ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan: demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang dengan sepenuhnya memutuskan tiga belenggu merupakan para pemasuk-arus, takkan terkena alam sengsara, terjamin, dan menuju Swabangun: demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang bersemayam mengabdikan diri pada pengembangan empat peneguhan keelingan ... empat upaya benar ... empat dasar kesaktian ... lima daya ... lima kekuatan ... tujuh faktor kebangunan ... jalan mulia berfaktor delapan: demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang bersemayam mengabdikan diri pada pengembangan cinta kasih ... welas asih ... simpati ... keseimbangan ... (pencerapan atas) keburukan (jasmani) ... pencerapan atas ketakkekalan: demikianlah para bhikkhu dalam pasamuan para bhikkhu ini.

"Dalam pasamuan para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang bersemayam mengabdikan diri pada keelingan pernafasan.

"Keelingan pernafasan, tatkala telah terkembang & terolah, berbuah besar dan berfaedah besar. Keelingan pernafasan, tatkala telah terkembang dan terolah, menyempurnakan empat peneguhan keelingan. Empat peneguhan keelingan, tatkala telah terkembang dan terolah, menyempurnakan tujuh faktor kebangunan. Tujuh faktor kebangunan, tatkala telah terkembang dan terolah, menyempurnakan pengetahuan & pembebasan.

Keelingan Pernafasan

"Dan bagaimanakah keelingan pernafasan dikembangkan, bagaimanakah itu diolah, agar berbuah besar & berfaedah besar?

"[1] Menarik nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menarik nafas panjang;' atau, menghembuskan nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas panjang.' [2] Atau menarik nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menarik nafas pendek;' atau, menghembuskan nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas pendek.' [3] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap seluruh jasmani.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap seluruh jasmani.' [4] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi jasmani (nafas keluar-masuk).' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi jasmani.'

"[5] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap keriaan.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap keriaan.' [6] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap kenikmatan.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap kenikmatan.' [7] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap pengondisi hati (pencerapan dan perasaan).' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap pengondisi hati.' [8] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi hati.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi hati.'

"[9] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap hati.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap hati.' [10] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas memuaskan hati.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas memuaskan hati.' [11] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menetapkan hati.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menetapkan hati.' [12] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas membebaskan hati.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas membebaskan hati.'

"[13] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan ketakkekalan.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan ketakkekalan.' [14] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan nirnafsu.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan nirnafsu.' [15] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan penghentian.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan penghentian.' [16] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan pelepasan.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan pelepasan.'

"Demikianlah, para bhikkhu, keelingan pernafasan itu dikembangkan & diolah agar berbuah besar & berfaedah besar.

Empat Peneguhan Keelingan

"Dan bagaimanakah keelingan pernafasan dikembangkan, bagaimanakah itu diolah, agar menyempurnakan empat peneguhan keelingan?

"[1] Oleh karena ketika seorang bhikkhu menarik nafas panjang ia mengetahui 'Aku menarik nafas panjang;' atau, menghembuskan nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas panjang;' atau, menarik nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menarik nafas pendek;' atau, menghembuskan nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas pendek;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap seluruh jasmani;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap seluruh jasmani;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi jasmani;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi jasmani;' maka, pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan jasmani dalam jasmani - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia. Jasmani tertentu dalam jasmani-jasmani, para bhikkhu, demikian kukatakan nafas keluar-masuk ini. Itulah sebabnya pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan jasmani dalam jasmani - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan & kekesalan di dunia.

"[2] Oleh karena ketika seorang bhikkhu berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap keriaan;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap keriaan;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap kenikmatan;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap kenikmatan;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap pengondisi hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap pengondisi hati;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi hati;' maka, pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan perasaan dalam perasaan-perasaan - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia. Perasaan tertentu dalam perasaan-perasaan, para bhikkhu, demikian kukatakan perhatian yang baik terhadap nafas keluar-masuk ini. Itulah sebabnya pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan perasaan dalam perasaan-perasaan - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia.

"[3] Oleh karena ketika seorang bhikkhu berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap hati;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas memuaskan hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas memuaskan hati;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menetapkan hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menetapkan hati;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas membebaskan hati;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas membebaskan hati;' maka, pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan hati dalam hati -- tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia. Aku tidak berkata, para bhikkhu, bahwa terdapat keelingan pernafasan bagi ia yang pelupa dan tidak waspada. Itulah sebabnya pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan hati dalam hati - tekun, eling & waspada -- menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia.

"[4] Oleh karena ketika seorang bhikkhu berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan ketidakkekalan;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan ketidakkekalan;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan nirnafsu;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan nirnafsu;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan penghentian;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan penghentian;' ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas merenungkan pelepasan;' ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas merenungkan pelepasan;' maka, pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan hal dalam hal-hal - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia. Siapa yang telah melihat dengan baik lewat kearifan terlepasnya ketamakan dan kekesalan adalah ia yang mengawasi dengan keseimbangan. Itulah sebabnya pada ketika itu bhikkhu tersebut bersemayam merenungkan hal dalam hal-hal - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia.

"Demikianlah, para bhikkhu, keelingan pernafasan itu dikembangkan & diolah agar menyempurnakan empat peneguhan keelingan.

Tujuh Faktor Kebangunan

"Dan bagaimanakah empat peneguhan keelingan dikembangkan, bagaimanakah itu diolah, agar menyempurnakan tujuh faktor kebangunan?

"[1] Oleh karena ketika seorang bhikkhu bersemayam merenungkan jasmani dalam jasmani - tekun, eling dan waspada - menyingkirkan ketamakan dan kekesalan di dunia, maka ketika itu keelingannya menjadi teguh dan tanpa jeda. Ketika keelingannya menjadi teguh dan tanpa jeda, maka keelingan sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[2] Bersemayam eling seperti itu, ia memeriksa, menyelidik, dan sampai pada pengertian atas hal itu lewat kearifan. Ketika bersemayam eling seperti itu, memeriksa, menyelidik, dan sampai pada pengertian atas hal itu lewat kearifan, maka penyelidikan hal-hal sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[3] Bagi ia yang memeriksa, menyelidik dan sampai pada pengertian atas hal itu lewat kearifan, semangat yang menggebu menjadi timbul. Ketika semangat yang menggebu menjadi timbul bagi ia yang memeriksa, menyelidik, dan sampai pada pengertian atas hal itu lewat kearifan, maka semangat sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[4] Bagi ia yang semangatnya timbul, keriaan yang bukan-daging muncul. Ketika keriaan yang bukan-daging muncul bagi ia yang semangatnya timbul, maka keriaan sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[5] Bagi ia yang benaknya ria, jasmani menenang dan hati menenang. Ketika jasmani menenang dan hati menenang bagi ia yang benaknya ria, maka ketenangan sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[6] Bagi ia yang jasmaninya tenang - berbahagia - hatinya memusat. Ketika hatinya memusat bagi ia yang jasmaninya tenang - berbahagia, maka pemusatan sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

"[7] Ia mengawasi hati yang terpusat baik seperti itu dengan keseimbangan. Ketika ia mengawasi hati yang terpusat baik seperti itu dengan keseimbangan, keseimbangan sebagai faktor kebangunan menjadi timbul. Ia mengembangkannya, dan baginya itu menuju kesempurnaan dari pengembangannya.

[Serupa untuk tiga peneguhan keelingan lainnya: perasaan-perasaan, hati, dan hal-hal.]

"Demikianlah, para bhikkhu, empat peneguhan keelingan itu dikembangkan dan diolah agar menyempurnakan tujuh faktor kebangunan.

Pengetahuan & Pembebasan

"Dan bagaimanakah tujuh faktor kebangunan dikembangkan, bagaimanakah itu diolah, agar menyempurnakan pengetahuan dan pembebasan?

"Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan keelingan sebagai faktor kebangunan bergantung pada penyepian, nirnafsu dan penghentian, menghasilkan pelepasan. Ia mengembangkan analisis hal-hal sebagai faktor kebangunan ... semangat sebagai faktor kebangunan ... keriaan sebagai faktor kebangunan ... ketenangan sebagai faktor kebangunan ... pemusatan sebagai faktor kebangunan ... keseimbangan sebagai faktor kebangunan bergantung pada penyepian, nirnafsu dan penghentian, menghasilkan pelepasan.

"Demikianlah, para bhikkhu, tujuh faktor kebangunan itu dikembangkan dan diolah agar menyempurnakan pengetahuan dan pembebasan.

Inilah yang Sang Bhagava katakan. Merasa puas, para bhikkhu bergembira atas kata-kata Sang Bhagava.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1416 on: 17 January 2009, 09:56:09 AM »
Saya tetap tidak ketemu anjuran untuk mencatat/mengingat. Yang ada hanya mengetahui dan merefleksikan.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1417 on: 17 January 2009, 10:09:34 AM »
Saya tetap tidak ketemu anjuran untuk mencatat/mengingat. Yang ada hanya mengetahui dan merefleksikan.
Mas, aye mah kaga tau teori meditasi tuh kek apa :)) yang kalo aye TAFSIRKAN engetahui itu sama dengan mencatat :)) , cuma kalo salah harap maklum :)) :
[1] Menarik nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menarik nafas panjang;' atau, menghembuskan nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas panjang.' [2] Atau menarik nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menarik nafas pendek;' atau, menghembuskan nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas pendek.' [3] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap seluruh jasmani.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap seluruh jasmani.' [4] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi jasmani (nafas keluar-masuk).' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi jasmani.'

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1418 on: 17 January 2009, 10:11:57 AM »
itu teknik mahasi bro

Oooh... OK.

Kalau dari yang saya mengerti (dari Satipatthana Sutta) bahkan tindakan mencatat itu sendiri juga harus diketahui sebagai proses pikiran, dan terbentuknya "catatan" itu juga diketahui sebagai "pembentukan buah pikiran". Maka, walaupun "catatan" itu bisa membawa kita pada arah yang lebih baik, kita tetap tidak menggenggam "catatan" tersebut, yang sebetulnya juga adalah bentukan pikiran yang dihasilkan persepsi.



Dari catatan pa Hudoyo :
Jadi, (asli menurut) Sang Buddha dalam Maha Satipatthana Sutta, dijelaskan
bahwa konsentrasi yang benar itu, keterangannya adalah mencapai jhana sampai ke
jhana 4. Gak mungkin sutta ini salah tokh?
---------------
Bukan soal "salah" atau "benar", melainkan apakah isi Maha-satipatthana-sutta
itu benar-benar berasal dari mulut Sang Buddha? Ingat bahwa Tipitaka Pali baru
ditulis 500 (baca: lima ratus) tahun setelah zaman Sang Buddha. Kajian kritis
terhadap kitab suci (scriptural criticism) menunjukkan bahwa sutta-sutta panjang
yang terdapat dalam Digha-nikaya dan Majjhima-nikaya sering kali merupakan
"mozaik" dari potongan-potongan sutta-sutta pendek yang jauh lebih tua
dibandingkan sutta-sutta panjang itu sendiri. Buddhadasa Mahathera alm. menyebut
Maha-satipatthana-sutta "tidak lebih dari deretan bertele-tele dari obyek-obyek
meditasi", dengan kata lain bukan satu khotbah yang berdiri sendiri. Dari kajian
kritis kitab suci itu disimpulkan bahwa sutta-sutta pendek (seperti yang banyak
terrcantum dalam kitab-kitab Udana, Itivuttaka, Sutta-nipata dll) berumur jauh
lebih tua daripada sutta-sutta panjang dalam Digha-nikayadan Majjhima-nikaya.
Banyak ungkapan-ungkapan pendek yang ORISINAL dalam sutta-sutta pendek itu yang
mengisyaratkan KEOTENTIKAN. (Misalnya: "Atthi, bhikkhave, ajatam akatam abhutam
asankhatam." -- "Ada, para bhikkhu, yang tak terlahirkan, tak tercipta, bukan
makhluk/entitas, tak terkondisi", dalam kitab Udana. Hampir tidak pernah kita
temukan ungkapan ini dalam sutta-sutta lain, apa lagi dalam sutta-sutta panjang.

Bahkan saya pribadi meragukan apakah RUMUSAN "Empat Kebenaran Suci" dan "Jalan
Suci Berunsur Delapan" yang begitu banyak terdapat dalam ratusan sutta, dan
konon "pertama kali" dikhotbahkan dalam "Dhamma-cakka-ppavattana-sutta" pada
Hari Asadha, itu benar-benar berasal dari mulut Sang Buddha sendiri, ataukah
berkembang belakangan di kalangan para bhikku untuk MENGHAFALKAN ajaran Sang
Buddha.

Keraguan saya ini didasarkan pada isi sutta pendek bernama "Bahiya-sutta". Di
situ Sang Buddha mengajarkan vipassana murni kepada petapa Bahiya, yang bukan
bhikkhu, bukan muridnya. Sang Buddha tidak mengajarkan tentang Empat Kebenaran
Suci & Jalan Suci Berunsur Delapan; toh pada akhir khotbah pendek itu, petama
Bahiya langsung mencapai pembebasan terakhir (menjadi arahat). -- Begitu pula
fakta yang saya lihat dalam pelatihan MMD: banyak peserta non-Buddhis langsung
bisa menangkap kiat vipassana tanpa harus belajar teori-teori Agama Buddha lebih
dulu.

Salam,
Hudoyo
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1419 on: 17 January 2009, 10:18:26 AM »
Mas, aye mah kaga tau teori meditasi tuh kek apa :)) yang kalo aye TAFSIRKAN engetahui itu sama dengan mencatat :)) , cuma kalo salah harap maklum :)) :
[1] Menarik nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menarik nafas panjang;' atau, menghembuskan nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas panjang.' [2] Atau menarik nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menarik nafas pendek;' atau, menghembuskan nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas pendek.' [3] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap seluruh jasmani.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap seluruh jasmani.' [4] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi jasmani (nafas keluar-masuk).' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi jasmani.'


Kalau ryu sedang makan dengan sadar, mengetahui bahwa "saya lagi makan", tetapi belum tentu mencatat, "saya kunyah 193x, menggigit 87x" dan lain sebagainya. Dalam mencatat, selalu ada tolok ukur suatu "waktu", "pada saat itu". Dalam mengetahui, hanya ada "saat ini".


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1420 on: 17 January 2009, 10:23:01 AM »
Mas, aye mah kaga tau teori meditasi tuh kek apa :)) yang kalo aye TAFSIRKAN engetahui itu sama dengan mencatat :)) , cuma kalo salah harap maklum :)) :
[1] Menarik nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menarik nafas panjang;' atau, menghembuskan nafas panjang ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas panjang.' [2] Atau menarik nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menarik nafas pendek;' atau, menghembuskan nafas pendek ia mengetahui, 'Aku menghembuskan nafas pendek.' [3] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas peka terhadap seluruh jasmani.' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas peka terhadap seluruh jasmani.' [4] Ia berlatih, 'Aku akan menarik nafas menenangkan pengondisi jasmani (nafas keluar-masuk).' Ia berlatih, 'Aku akan menghembuskan nafas menenangkan pengondisi jasmani.'


Kalau ryu sedang makan dengan sadar, mengetahui bahwa "saya lagi makan", tetapi belum tentu mencatat, "saya kunyah 193x, menggigit 87x" dan lain sebagainya. Dalam mencatat, selalu ada tolok ukur suatu "waktu", "pada saat itu". Dalam mengetahui, hanya ada "saat ini".


Berarti yang mengajarkan meditasi dengan mencatat salah ya?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1421 on: 17 January 2009, 10:24:14 AM »
itu teknik mahasi bro

Oooh... OK.

Kalau dari yang saya mengerti (dari Satipatthana Sutta) bahkan tindakan mencatat itu sendiri juga harus diketahui sebagai proses pikiran, dan terbentuknya "catatan" itu juga diketahui sebagai "pembentukan buah pikiran". Maka, walaupun "catatan" itu bisa membawa kita pada arah yang lebih baik, kita tetap tidak menggenggam "catatan" tersebut, yang sebetulnya juga adalah bentukan pikiran yang dihasilkan persepsi.



Dari catatan pa Hudoyo :
Jadi, (asli menurut) Sang Buddha dalam Maha Satipatthana Sutta, dijelaskan
bahwa konsentrasi yang benar itu, keterangannya adalah mencapai jhana sampai ke
jhana 4. Gak mungkin sutta ini salah tokh?
---------------
Bukan soal "salah" atau "benar", melainkan apakah isi Maha-satipatthana-sutta
itu benar-benar berasal dari mulut Sang Buddha? Ingat bahwa Tipitaka Pali baru
ditulis 500 (baca: lima ratus) tahun setelah zaman Sang Buddha. Kajian kritis
terhadap kitab suci (scriptural criticism) menunjukkan bahwa sutta-sutta panjang
yang terdapat dalam Digha-nikaya dan Majjhima-nikaya sering kali merupakan
"mozaik" dari potongan-potongan sutta-sutta pendek yang jauh lebih tua
dibandingkan sutta-sutta panjang itu sendiri. Buddhadasa Mahathera alm. menyebut
Maha-satipatthana-sutta "tidak lebih dari deretan bertele-tele dari obyek-obyek
meditasi", dengan kata lain bukan satu khotbah yang berdiri sendiri. Dari kajian
kritis kitab suci itu disimpulkan bahwa sutta-sutta pendek (seperti yang banyak
terrcantum dalam kitab-kitab Udana, Itivuttaka, Sutta-nipata dll) berumur jauh
lebih tua daripada sutta-sutta panjang dalam Digha-nikayadan Majjhima-nikaya.
Banyak ungkapan-ungkapan pendek yang ORISINAL dalam sutta-sutta pendek itu yang
mengisyaratkan KEOTENTIKAN. (Misalnya: "Atthi, bhikkhave, ajatam akatam abhutam
asankhatam." -- "Ada, para bhikkhu, yang tak terlahirkan, tak tercipta, bukan
makhluk/entitas, tak terkondisi", dalam kitab Udana. Hampir tidak pernah kita
temukan ungkapan ini dalam sutta-sutta lain, apa lagi dalam sutta-sutta panjang.

Bahkan saya pribadi meragukan apakah RUMUSAN "Empat Kebenaran Suci" dan "Jalan
Suci Berunsur Delapan" yang begitu banyak terdapat dalam ratusan sutta, dan
konon "pertama kali" dikhotbahkan dalam "Dhamma-cakka-ppavattana-sutta" pada
Hari Asadha, itu benar-benar berasal dari mulut Sang Buddha sendiri, ataukah
berkembang belakangan di kalangan para bhikku untuk MENGHAFALKAN ajaran Sang
Buddha.

Keraguan saya ini didasarkan pada isi sutta pendek bernama "Bahiya-sutta". Di
situ Sang Buddha mengajarkan vipassana murni kepada petapa Bahiya, yang bukan
bhikkhu, bukan muridnya. Sang Buddha tidak mengajarkan tentang Empat Kebenaran
Suci & Jalan Suci Berunsur Delapan; toh pada akhir khotbah pendek itu, petama
Bahiya langsung mencapai pembebasan terakhir (menjadi arahat). -- Begitu pula
fakta yang saya lihat dalam pelatihan MMD: banyak peserta non-Buddhis langsung
bisa menangkap kiat vipassana tanpa harus belajar teori-teori Agama Buddha lebih
dulu.

Salam,
Hudoyo

Itu 'kan "katanya" Pak Hudoyo, berdasarkan "subjektifitasnya" Pak Hudoyo.
Menurut "subjektifitas" saya, "tafsiran" saya, tidak begitu. ;D
Saya tidak terlalu mementingkan otentik/tidak. Kalau tidak bermanfaat bagi saya, otentik atau tidak tetep saja tidak bermanfaat. Memang sutta itu banyak yang "bertele-tele", tapi kalau menurut saya, memang tidak semua orang bisa dijelaskan dengan singkat. Semua orang punya keterbatasan. Itu sebabnya Buddha (lagi-lagi menurut subjektifitas saya,) kadang "bertele-tele" (misalnya kalau menjelaskan ke perumahtangga atau orang beraliran lain), kadang "irit kalimat" (misalnya kalau bicara dengan Maha-Kaccana).



Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1422 on: 17 January 2009, 10:27:07 AM »
Berarti yang mengajarkan meditasi dengan mencatat salah ya?

Pertama-tama, saya tidak di posisi menentukan benar atau salah.
Tetapi kalau dari pendapat pribadi saya, belum tentu salah. Tergantung apa yang dilakukan dengan pencatatan tersebut.
Seperti saya bilang, mencatat juga proses pikiran, catatan juga bentukan pikiran. Ketika ia merefleksikannya demikian, maka akan menjadi selaras dengan Satipatthana Sutta. Jika orang menggenggam catatannya sebagai "ini kebenaran, ini sebuah pencapaian, ini nibbana" dan lain sebagainya, menurut saya itu salah.


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1423 on: 17 January 2009, 10:30:37 AM »
Berarti yang mengajarkan meditasi dengan mencatat salah ya?

Pertama-tama, saya tidak di posisi menentukan benar atau salah.
Tetapi kalau dari pendapat pribadi saya, belum tentu salah. Tergantung apa yang dilakukan dengan pencatatan tersebut.
Seperti saya bilang, mencatat juga proses pikiran, catatan juga bentukan pikiran. Ketika ia merefleksikannya demikian, maka akan menjadi selaras dengan Satipatthana Sutta. Jika orang menggenggam catatannya sebagai "ini kebenaran, ini sebuah pencapaian, ini nibbana" dan lain sebagainya, menurut saya itu salah.


Retret MMD akhir pekan di Bali (Brahmavihara-arama, Kab. Buleleng) kemarin (20 - 22 Juni 2008) diikuti oleh 21 orang, di antaranya 7 orang (33%) peserta lama.

Peserta termuda berusia 16 tahun, paling tua berusia 58 tahun. Agama peserta: 11 (52%) orang Buddhis, 7 (33%) orang Hindu, 2 orang Katholik.

Seperti biasa, menjelang akhir retret, peserta diminta menuliskan komentar tentang pengalaman, kesan dsb selama melakukan retret.

Berikut ini disampaikan dua komentar yang menarik, karena isinya bertolak belakang. Dua-duanya tidak menyebutkan nama, tapi tampaknya penulisnya pernah mengikuti retret vipassana versi Mahasi Sayadaw sebelum mengikuti retret MMD sekarang.

Salam,
hudoyo

=============================
REKAN A:

"Pengalaman: Saya melihat MMD ini sama saja dengan metode meditasi yang lain; intinya menyadari. Semua meditasi vipassana yang lain juga menyadari. Kalau ada orang yang menyatakan ini berbeda dengan metode lain, itu disebabkan karena orang itu memegang perbedaan itu.

Memang ada perbedaan sedikit, tapi saya tidak melihat sebagai sesuatu yang penting: MMD tidak mencatat, metode yang lain mencatat.

Hasilnya: dengan MMD, sepertinya perhatian kurang tajam.
Metode Mahasi, perhatian tajam.

Hasil akhirnya sama mencapai keheningan, tidak adanya 'aku' (kosong), walaupun cuma beberapa detik.

Terima kasih."

=============================
REKAN B:

"Semoga berbahagia.

Selama saya mengikuti retret MMD ini, walaupun hanya 3 hari, saya merasakan adanya perbedaan dengan retret meditasi metode Mahasi. Saya merasa tidak terbebani secara mental dalam retret MMD ini. Saya begitu apa adanya rasanya setelah tidak melabel dan mau menerima apa adanya gejolak batin yang timbul, seperti bosan, cemas, senang karena mendapat pengalaman baru, kebanggaan. Hal ini tidak sepenuhnya saya rasakan pada saat retret metode yang lain, di mana saya harus berkonsentrasi dan melabel.

Semoga retret MMD semakin berkembang."

=============================
CATATAN PEMBIMBING:

Tentang adanya perbedaan pengalaman & kesan yang bertolak belakang antara Rekan A dan Rekan B tidak perlu saya tanggapi. Hal itu adalah wajar-wajar saja.

Yang ingin saya tanggapi adalah pernyataan Rekan A:
"Hasilnya: dengan MMD, sepertinya perhatian kurang tajam.
Metode Mahasi, perhatian tajam."

Observasi Rekan A itu memang benar. Tetapi tidak ada yang salah dalam kedua versi vipassana itu, karena masing-masing versi bertolak dari pemahaman yang sangat berbeda satu sama lain.

Seperti dikatakan oleh Pak Bing dalam poster yang ditempel di dinding Brahmavihara-arama kemarin, vipassana versi Mahasi Sayadaw bertolak dari pemahaman bahwa vipassana adalah suatu "usaha sekuat tenaga untuk mencapai nibbana". Jadi praktik vipassana versi Mahasi Sayadaw berupa suatu usaha (viriya) maksimal, dengan cara berkonsentrasi, memperlambat gerakan, mencatat (melabel) segala sesuatu yang diamati.

Dengan sendirinya, hasilnya adalah perhatian yang tajam. Perhatian yang tajam ini pada gilirannya akan menghasilkan 'pengetahuan-pengetahuan' (nyana-nyana) sampai akhirnya tercapai nibbana. Begitu teorinya.

Sebaliknya, MMD bertolak dari pemahaman bahwa vipassana BUKANLAH "usaha sekuat tenaga" untuk "mencapai sesuatu di masa depan", melainkan suatu sikap sadar (eling) yang pasif pada saat kini, tanpa memikirkan tujuan apa pun di masa depan. Oleh karena itu, dalam MMD ditekankan sikap pasif, tidak ada usaha (viriya) apa pun, tidak ada konsentrasi, tidak ada teknik meditasi apa pun (memperlambat gerakan, mencatat dsb), tidak ada cita-cita/tujuan.

Dengan sendirinya, hasilnya perhatian kurang tajam (dibandingkan perhatian pada vipassana metode Mahasi Sayadaw); perhatian dalam MMD tidak banyak berbeda dengan perhatian dalam kesadaran sehari-hari, namun di situ ada keheningan, ada pelepasan (bukan konsentrasi). Di sisi lain, hasil yang segera dirasakan adalah terlepasnya 'beban meditasi', adanya rasa ringan, rasa bebas, tanpa tujuan, tanpa usaha, sebagaimana dialami oleh Rekan B.

Dalam MMD tidak dibutuhkan konsentrasi yang tajam, karena MMD tidak bertujuan untuk mencapai nyana-nyana seperti dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw. Alih-alih, sebagaimana dinyatakan oleh Sang Buddha kepada Bahiya dan Malunkyaputta, kalau pemeditasi bisa berada dalam keadaan sadar secara pasif, tanpa usaha apa pun, maka aku/atta tidak ada, dan itulah akhir derita (nibbana). Itulah dasar pemahaman & praktik MMD.

Nah, para peminat meditasi, kalau ingin membandingkan kedua versi vipassana itu, silakan mencoba kedua-duanya.

Salam,
Hudoyo
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #1424 on: 17 January 2009, 10:43:32 AM »
Sadhu, sadhu, sadhu

Ajaran Ajahn Chah memang paling dekat dengan MMD, dan ini diikuti oleh Sri Pannyavaro Mahathera.




Bhante Pannya tidak mengikuti MMD, melainkan mendukung MMD secara terang-terangan. Sudah baca wejangan beliau pada pembukaan dan penutupan retret MMD seminggu di Vihara Mendut Desember lalu?

Hudoyo


Ini sih ke GE Er-an aja  ^-^

Lagi pula, jhana tidak bisa "dilepaskan" dari batin orang yang mengalaminya. Jadi bicara tentang jhana, tentulah bicara tentang batin orang yang mengalaminya. -- Ini seperti kilah banyak orang: "Yang salah bukan agamanya, tapi orangnya." Mana ada 'agama' yang berada di awang-awang, di luar kepala penganutnya?


Kata siapa jhana tidak bisa dilepaskan  :)) kalo belum merasakan berjhana ria lalu bisa melepaskan, jangan asbun. coba dulu baru beli om  ^-^. Biasanya Anda suruh org praktek MMD baru ngomong. Ini jelas Anda juga ASBUN tanpa pernah mengalami jhana tapi berasumsi ttg jhana :)) . Anda kira jhana tidak bisa dilepaskan  ^-^


Ya, jelas Ajahn Chah tidak ANTI terhadap jhana ... untuk apa pula beliau ANTI-jhana?

Tetapi di lain pihak, Ajahn Chah dengan tegas menyatakan jhana tidak perlu untuk pembebasan. ... Ini berbeda dengan pandangan banyak bhikkhu lain, termasuk pandangan muridnya sendiri Ajahn Brahmavamso.

Hudoyo


Jhana memang tidak diperlukan untuk pembebasan dan didalam jhana memang tidak bisa bervipasanna, tapi yg diperlukan adalah gema jhana SETELAH keluar dari jhana atau di upacara samadhi. Dan mereka mau menggunakan gema jhana atau tidak itu terserah masing2. Jadi Anda jelas salah tangkap mengartikan pandangan Ajahn Chah dengan muridnya Ajahn Brahmavamsoyg Anda katakan berbeda, BACALAh yg jelas. Dan perlu diketahui Ajahn Chah juga memiliki jhana. Dan tepat sekali apa yg dikatakan Ajahn Chah untuk tidak membedakan samatha dan vipasanna karena itu merupakan kesatuan. Jadi hanya orang bodoh yg memilah2 atau menghilangkan satu sama lainnya. Dan guru Ajahn Chah sendiri juga memilki jhana tetapi mereka tidak melekat dan bisa melepaskan. ^-^

Ajahn Chah Menjawab:
TANYA: Anda mengatakan 'samatha' dan 'vipassana' , atau konsentrasi
dan pencerahan, itu sama. Dapatkah Anda menjelaskan lebih lanjut?

JAWAB: Itu sederhana sekali. Konsentrasi (samatha) dan kearifan
(vipassana) bekerja bersama-sama


Ajahn chah MENEGASKAN perlunya KONSENTRASI sementara MMD tidak perlu konsentrasi (menurut Pak Hud) jadi keliatannya cuma nyama2 in aja deh... supaya jualannya laku ya..^-^ Lihat tulisan Pak Hud yg di posting ryu diatas.


TANYA: Apakah perlu untuk mampu masuk ke dalam absorpsi [jhana] dalam
latihan kita?

JAWAB: Tidak, absorpsi [jhana] tidak perlu. Anda harus menegakkan
ketenangan dan pemusatan batin sampai taraf tertentu. Lalu Anda
gunakan itu untuk menyelidiki diri Anda sendiri. Tidak dibutuhkan
apa-apa yang istimewa. Jika absorpsi [jhana] muncul dalam praktek
Anda, itu juga OK. Tapi jangan melekat kepadanya. Sementara orang
memikirkan terlalu banyak tentang absorpsi [jhana]. Kita bisa
bermain-main dengan itu secara sangat menyenangkan. Anda harus tahu
batas-batas yang semestinya. Jika Anda arif, maka Anda akan tahu
kegunaan dan keterbatasan absorpsi [jhana], persis seperti Anda tahu
keterbatasan anak-anak dibandingkan orang dewasa.


Coba baca kalimat selanjutnya dong... jangan makan sayur mentah aja bung  ^-^[/color


« Last Edit: 17 January 2009, 10:50:25 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada