//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - hudoyo

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9 10 11 12 ... 128
61
<Artikel ini isinya kontroversial.>

[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio]

APAKAH MEDITASI MENGENAL DIRI (MMD) ITU?

Oleh: Hudoyo Hupudio

Pendahuluan

Kata ‘meditasi’ mengandung banyak makna bagi para pemakai kata itu dan bagi para pendengarnya. Ada banyak tujuan orang bermeditasi; dengan demikian, ada banyak pula cara atau teknik meditasi. Ada meditasi yang bertujuan untuk mencapai hal-hal yang bersifat duniawi—seperti kesaktian, kesembuhan, melihat alam gaib, dsb—dan ada pula meditasi yang mempunyai tujuan spiritual, seperti mencapai atau menyatu dengan prinsip yang dianggap “tertinggi”, seperti Tuhan, Nirvana, Moksha, Alam Semesta dsb. Pada umumnya, meditasi menyangkut pemusatan perhatian (konsentrasi) pada suatu obyek tertentu—seperti: nafas, visualisasi, kata-kata/mantra, dsb—untuk waktu yang lama, dengan harapan pada akhirnya mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, sifat umum dari kebanyakan jenis meditasi adalah suatu pencapaian, yang tentu saja dipahami akan tercapai di masa depan.

Ada satu jenis meditasi yang berbeda dengan kebanyakan meditasi lain. Meditasi ini diajarkan oleh Buddha Gautama, lebih dari 2500 tahun lalu, disebut meditasi vipassana. Meditasi ini berangkat dari fakta eksistensial yang diajarkan oleh Sang Buddha, yakni bahwa segala sesuatu dalam kehidupan atau eksistensi ini tidak kekal, terus-menerus berubah, dan tidak memuaskan; fakta ini menyebabkan penderitaan bagi orang yang tidak memahaminya: ia melekat erat pada jasmani & batinnya, dan mencari kebahagiaan & keabadian yang tidak pernah diperolehnya. Sang Buddha juga mengajarkan, bahwa penyebab atau sumber dari penderitaan eksistensial itu ialah oleh karena manusia tidak memahami aku/dirinya, terutama pikiran dan keinginannya, yang selalu mencari kebahagiaan & keabadian. Untuk mencapai kebahagiaan & keabadian itu manusia selalu terlibat dalam konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan orang lain di sekitarnya; ia terlibat konflik antara apa yang ada sekarang dengan apa yang dicita-citakan di masa depan dalam pikirannya.

Sang Buddha mengajarkan, bahwa dengan meditasi vipassana—yakni mengamati secara pasif setiap gerak-gerik jasmani & batin (pikiran, perasaan, emosi, keinginan, harapan, keputusasaan, kesenangan, penderitaan dsb)—manusia dapat memperoleh pencerahan akan hakikat sesungguhnya dari kehidupan/eksistensi yang tidak kekal dan tidak memuaskan ini. Dengan tercapainya pencerahan itu, manusia terbebas dari kelekatan pada jasmani & batinnya; dengan demikian, terbebas dari penderitaan. Namun pembebasan dari penderitaan ini tidak mungkin tercapai dengan suatu usaha yang aktif dari aku/diri ini untuk mencapainya, oleh karena justru aku/diri inilah sumber atau penyebab dari penderitaannya; aku/diri tidak mungkin dapat melenyapkan aku/diri. Justru  sifat-sifat khusus dari meditasi vipassana adalah: pasif, berhenti, diam, lepas, berada pada saat kini. Seperti kata Sang Buddha kepada Angulimala, si perampok dan pembunuh: “Aku sudah lama berhenti. Kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah!” Berada pada saat kini terus-menerus, yang di situ aku/diri dan pikiran ini berhenti, itulah pintu menuju pembebasan, menurut Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta (Majjhima Nikaya, 1).

Namun, patut disayangkan bahwa, dengan perjalanan waktu, dalam banyak praktik meditasi vipassana yang diajarkan di dunia pada dewasa ini, prinsip-prinsip meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha telah bergeser: dari pelepasan menjadi pencapaian, dari kepasifan menjadi berupaya dan aktif berkonsentrasi. Bagi banyak praktisi vipassana, mungkin pergeseran ini tidak dirasakan; namun, bagi sementara praktisi vipassana yang lain, mereka mengalami kesulitan untuk benar-benar memahami gerak-gerik jasmani & batin ini sehingga tercapai pencerahan & pembebasan apabila mereka diharuskan berusaha, apalagi dengan berkonsentrasi, untuk mencapainya. Bagi para praktisi yang tersebut belakangan inilah, sejak beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD), yakni suatu jenis meditasi vipassana yang diyakini telah dikembalikan kepada sifat-sifat khusus meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Meditasi Mengenal Diri (MMD)

Kesadaran bahwa praktik meditasi vipassana yang banyak diajarkan pada dewasa ini telah bergeser jauh dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Sang Buddha diilhami oleh ajaran J. Krishnamurti pada abad ke-20 M. Krishnamurti mengritik kebanyakan teknik meditasi yang semuanya mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi. Dalam hal ini termasuk pula banyak “teknik vipassana” yang pada umumnya juga mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi.

Bagi Krishnamurti, teknik-teknik meditasi apa pun sama sekali tidak membebaskan, tidak mentransformasikan batin manusia; alih-alih, malah lebih dalam membuat manusia terjerat dalam keterkondisian batinnya. Teknik-teknik konsentrasi apa pun hanya membawa praktisinya ke dalam suatu keadaan pemusatan batin yang kuat, yang mungkin memberikan suatu rasa nikmat yang intens, sehingga disangka pembebasan, tetapi sesungguhnya menjerat batin dalam keterkondisian dan ketidakbebasan yang lebih halus.

Meditasi Mengenal Diri (MMD) adalah jenis meditasi vipassana yang selama beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara “tradisional”, namun telah banyak dimodifikasi berdasarkan ajaran Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif, atau sadar/eling tanpa memilih. Dengan demikian, ada beberapa perbedaan penting antara meditasi vipassana versi MMD dan meditasi vipassana “tradisional”:

(1) Tujuan meditasi vipassana

Bila seorang praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan meditasi vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada badan & batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’. Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” ditentukan dan berasal dari doktrin Agama Buddha. Tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai pada suatu saat di masa depan.

Adapun tujuan MMD adalah berakhirnya aku/diri, yang berarti berakhirnya dukkha. Tujuan MMD ini tidak dilihat sebagai berada di masa depan, melainkan harus terjadi pada saat kini, sebagai suatu transformasi batin yang pada awalnya berlangsung sesaat, dan kemudian berangsur-angsur bertambah panjang durasinya, sehingga akhirnya menjadi menetap. Dengan kata lain, tujuan MMD adalah sadar/eling sedalam-dalamnya dan terus-menerus terhadap gerak-gerik badan & batin ini pada saat munculnya, sekarang dan di sini, dari saat ke saat.

Sepintas lalu, secara teoretis tampak bahwa tujuan MMD tidak berbeda dengan tujuan meditasi vipassana “tradisional”, namun di dalam praktik, ternyata terdapat perbedaan mendasar di antara kedua jenis meditasi vipassana itu. Pengertian ‘tujuan’ selalu mengacu pada suatu keadaan di masa depan; tetapi seperti dikatakan di atas, tujuan MMD secara paradoksal adalah berada pada saat kini terus-menerus. Dengan kata lain, di dalam MMD tidak relevan lagi orang bicara tentang suatu ‘tujuan’ di masa depan, di dalam MMD tidak ada ‘tujuan’. Dengan kata lain pula, ‘tujuan’ MMD adalah identik/sama dengan ‘metode’-nya, yakni berada pada saat kini terus-menerus. Paradoks ini tidak terdapat dalam vipassana “tradisional”.

Jadi, tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; MMD tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa berada pada saat kini terus-menerus, di situlah terdapat kemungkinan—itulah pintu—kepada berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh manusia sepanjang zaman.

Apa & bagaimana berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia itu tidak dibahas dan tidak dikonseptualisasikan dalam praktik MMD, karena hal itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang ada, dan hanya merintangi orang untuk berada pada saat kini terus-menerus.

Tujuan MMD bukan hanya melenyapkan keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa & moha seperti di dalam vipassana “tradisional”, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Ketika semua keadaan batin, yang negatif maupun positif itu dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin yang negatif dan/atau melekat pada keadaan batin yang positif.

(2) Teknik/metode meditasi vipassana

Adanya perbedaan dalam tujuan meditasi vipassana antara meditasi vipassana “tradisional” dan MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik meditasi di antara kedua versi meditasi vipassana itu.
Dalam kebanyakan meditasi vipassana “tradisional”, diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan oleh pemeditasi kalau ia ingin mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan teknik-teknik berikut:

•   berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “obyek utama”;
•   mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);
•   melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;
•   memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.

Semua itu dilakukan, dan didasari usaha (viriya) yang maksimal, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang diharapkan, dan akhirnya tercapai pembebasan (nibbana).

Di lain pihak, di dalam MMD:

•   tidak ada konsentrasi pada ‘obyek utama” apa pun—karena ‘sadar/eling’ yang berkembang secara pasif akan mengembangkan pula perhatian yang kuat (sati), tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu obyek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah sehingga menyadari seluruh rangsangan yang masuk melalui pancaindra dan pintu ingatan;

•   segala fenomena yang muncul dalam badan & batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;

•   keadaan batin ‘sadar/eling’ itu bisa dilakukan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, tanpa membedakan kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan meditatif itu berkembang menjadi kesadaran sepanjang waktu;

•   gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, tetapi itu pun bukan menjadi teknik meditasi dalam MMD.
Secara singkat, di dalam MMD tidak dikenal teknik meditasi apa pun. Selain itu, di dalam MMD tidak dikenal usaha maksimal (viriya). Dengan demikian, pemeditasi bebas dari beban meditasi, sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan apa pun, merupakan keadaan pasif, diam, berhenti dan “istirahat” yang sempurna.

(3) Referensi dari kitab suci

Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan doktrin-doktrin Buddhisme, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma (fenomena badan & batin) yang diajarkan dalam Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan intelektual dan bukan kesadaran/keelingan aktual yang pasif terhadap fenomena yang muncul pada saat sekarang & di sini. Mendiang Ajahn Buddhadasa Mahathera menyebut Mahasatipatthana-sutta sebagai tidak lebih daripada sekadar “daftar panjang dari teknik-teknik meditasi Buddhis”; beliau menggunakan Anapanasati-sutta untuk mengajarkan jalan menuju pembebasan/nibbana.

Di lain pihak, MMD menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha memberikan tuntunan vipassana yang langsung dan sangat singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta, Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme” apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana secara murni tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada waktu itu juga Bahiya mencapai pencerahan terakhir. Tuntunan yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).

Oleh karena tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat “bebas doktrin Buddhisme”, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis, maupun kepada para peminat MMD yang Buddhis juga.

(4) Ritualisme

Oleh karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme. Ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang bebas sepenuhnya. Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di situ sejak awal tidak terdapat simbol-simbol Buddhisme sedikit pun, sehingga tidak mendorong timbulnya ritualisme dalam praktik retretnya.

Di dalam MMD, sekalipun retret diadakan di dalam Dharmasala sebuah vihara, disarankan bahwa selama retret berlangsung peserta tidak melakukan ritual keagamaan apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam), membaca paritta, dsb. Suatu kekecualian adalah bagi peserta retret yang beragama Islam, karena ritual sholat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan. Lebih baik teman Muslim itu mengikuti retret MMD yang tidak melarangnya untuk melakukan ibadah sholat, daripada tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk belajar sadar/eling.

Retret MMD

Retret MMD telah diselenggarakan sejak tahun 2000 di berbagai vihara dan tempat lain di Indonesia. Pada dewasa ini, secara teratur retret MMD diadakan di Jawa Barat (Cipanas dan Vihara Siripada/Bumi Serpong Damai), Jawa Tengah (Vihara Mendut), dan Bali (Brahmavihara-arama/Kabupaten Buleleng). Secara insidentil retret MMD diadakan juga di Samarinda, Kalimantan Timur (Vihara Muladharma), di Solo (Vihara Dhamma Sundara), dan di Sumatera Utara.

Kepada para peminat MMD ditawarkan dua jenis retret MMD: Retret MMD Akhir Pekan, dan Retret MMD Seminggu. Jadwal retret-retret MMD selama setahun berjalan, lengkap dengan alamat (nomor telepon, HP dan email) tempat pendaftaran di masing-masing lokasi di atas, dapat dilihat pada situs web MMD, [deleted] Informasi lebih lanjut dan diskusi mengenai MMD dapat diikuti di Forum Diskusi MMD, [deleted]

Semua retret MMD diberikan tanpa dipungut biaya, kecuali sumbangan sukarela yang diserahkan kepada vihara pada akhir retret.

62
Akan segera terbit:

"Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri"

Oleh:
Sri Pannyavaro Mahathera
Hudoyo Hupudio

Diterbitkan oleh: <dalam perencanaan>

Jumlah halaman: +/- 20 halaman

Daftar isi:

1. "Hanya Menyadari Saja, Tidak Memadamkan" - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan retret seminggu MMD di Vihara Mendut, 24 Des.'08

2. "Menyadari dan Mengatasi Timbulnya Keakuan" - Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera

3. <Judul & isi belum ditetapkan> - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan retret seminggu MMD di Vihara Mendut, 1 Jan.'09

4. "Apakah Meditasi Mengenal Diri (MMD) itu?" - Oleh: Hudoyo Hupudio

5. Rujukan: "Udana 1.10 - Bahiya-sutta" - diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Hudoyo Hupudio

63
[Berikut ini disajikan terjemahan baru dari Bahiya-sutta, mengikuti teks bahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Bhikkhu Thanissaro. Terjemahan ini saya lakukan, karena saya merasa terjemahan yang ada kurang memuaskan, terlalu kaku.]

[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio]

Udana 1.10

BAHIYA-SUTTA

Saya telah mendengar bahwa pada suatu ketika Sang Bhagava [Sang Buddha] menetap di dekat Savatthi, di Jetavana, vihara Anathapindika. Pada waktu itu, Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—tinggal di Supparaka, di tepi pantai. Ia dipuja, dijunjung tinggi, dihormati, dianggap suci, diberi persembahan—menerima jubah, makanan, penginapan, dan obat-obatan bagi orang sakit. Maka, ketika ia berada sendirian dalam keterasingan, pikiran ini muncul dalam kesadaraannya: “Apakah saya termasuk di antara mereka di dunia yang adalah arahat atau telah memasuki jalan ke-arahat-an?”

Maka seorang dewata, yang dulu adalah sanak keluarga Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—penuh welas asih, mengharapkan kesejahteraannya, mengetahui dengan sadar pikiran yang muncul dalam kesadaran [Bahiya]—pergi mendapatkan Bahiya di tempatnya, dan setelah tiba, berkata kepadanya: “Bahiya, Anda bukan seorang arahat, juga bukan orang yang telah memasuki jalan ke-arahat-an. Anda bahkan tidak berlatih demikian rupa sehingga Anda bisa menjadi arahat atau memasuki jalan ke-arahat-an.”

“Tetapi, siapakah, yang hidup di dunia ini—beserta para dewata—yang merupakan arahat atau telah memasuki jalan ke-arahat-an?”

“Bahiya, ada sebuah kota di negeri utara bernama Savatthi. Sang Bhagava—seorang arahat, tercerahkan sendiri dengan sebenarnya—tinggal di sana sekarang. Ialah sesungguhnya seorang arahat, dan ia mengajarkan Dhamma yang menuntun pada ke-arahat-an.”

Maka Bahiya, yang sangat menyesal mendengar kata-kata dewata itu, meninggalkan Supparaka seketika itu juga, dan dalam waktu satu hari satu malam, pergi langsung ke tempat Sang Bhagava tinggal di dekat Savatthi, di Jetavana, vihara Anathapindika. Pada waktu itu, banyak bhikkhu tengah melakukan meditasi jalan di udara terbuka. Ia mendapatkan mereka, dan setelah tiba, bertanya: “Para bhante, di manakah Sang Bhagava tinggal—sang arahat, yang tercerahkan sendiri dengan sebenarnya? Kami ingin bertemu dengan dia.”
“Ia telah pergi ke kota mengumpulkan makanan.”

Maka, Bahiya, yang dengan bergegas meninggalkan Jetavana dan masuk ke Savatthi, melihat Sang Bhagava pergi mengumpulkan makanan di Savatthi—tenang, menenangkan, indranya damai, batinnya damai, hening dan seimbang dalam arti tertinggi, selesai tugasnya, terlatih, terjaga, indranya terkendali, seorang besar. Melihat Sang Bhagava, Bahiya mendekatinya, dan setelah sampai kepadanya, bersujud di kakinya, dengan kepala menyentuh kaki Sang Bhagava, dan berkata: “Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Bhagava! Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Tathagata, agar memberiku kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kepadaku.”

Setelah ini dikatakan, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Ini bukan waktunya, Bahiya. Kami tengah memasuki kota untuk mengumpulkan makanan. “

Untuk kedua kali Bahiya berkata kepada Sang Bhagava: “Tetapi, sukar mengetahui dengan pasti bahaya apa yang mengancam kehidupan Sang Bhagava, atau bahaya apa yang mengancam kehidupanku. Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Bhagava! Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Tathagata, agar memberiku kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kepadaku.”

Untuk kedua kali Sang Bhagava berkata kepadanya: “Ini bukan waktunya, Bahiya. Kami tengah memasuki kota untuk mengumpulkan makanan. “

Untuk ketiga kali Bahiya berkata kepada Sang Bhagava: “Tetapi, sukar mengetahui dengan pasti bahaya apa yang mengancam kehidupan Sang Bhagava, atau bahaya apa yang mengancam kehidupanku. Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Bhagava! Ajarkan Dhamma kepadaku, wahai Tathagata, agar memberiku kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kepadaku.”

“Kalau begitu, Bahiya, engkau harus berlatih demikian: dalam hal apa yang terlihat, hanya ada yang terlihat. Dalam hal apa yang terdengar, hanya ada yang terdengar.  Dalam hal apa yang tercerap, hanya ada yang tercerap. Dalam hal apa yang teringat, hanya ada yang teringat. Demikianlah engkau harus berlatih. Bila bagimu hanya ada yang terlihat dalam hal apa yang terlihat, hanya ada yang terdengar dalam hal apa yang terdengar, hanya ada yang tercerap dalam hal apa yang tercerap, hanya ada yang teringat dalam hal apa yang teringat, maka, Bahiya, tidak ada engkau berkaitan dengan itu. Bila tidak ada engkau berkaitan dengan itu, maka tidak ada engkau di situ. Bila tidak ada engkau di situ, maka tidak ada engkau di sini, atau di sana, atau di antara keduanya. Inilah, hanya inilah, akhir dukkha.”

Ketika mendengar penjelasan Dhamma secara singkat dari Sang Bhagava, batin Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—terbebas pada saat itu juga dari arus kotoran batin karena tidak lagi memiliki kelekatan/pelestari. Setelah memberikan tuntunan berisi penjelasan Dhamma secara singkat kepada Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—Sang Bhagava pergi.

Tidak lama setelah Sang Bhagava pergi, Bahiya meninggal dunia akibat serangan seekor sapi betina yang mempunyai seekor anak. Lalu Sang Bhagava, setelah mengumpulkan makanan di Savatthi, setelah menyantapnya, kembali bersama sejumlah besar bhikkhu, melihat bahwa Bahiya telah meninggal dunia. Setelah melihatnya, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, “Angkatlah jenazah Bahiya, letakkan di atas usungan dan bawalah pergi, perabukan dan dirikan sebuah tugu peringatan. Sahabat kalian dalam kehidupan suci telah meninggal dunia.”

“Baik, Bhante,” jawab para bhikkhu itu. Setelah meletakkan jenazah Bahiya di atas usungan, membawanya pergi, memperabukannya serta mendirikan sebuah tugu peringatan, para bhikkhu itu pergi mendapatkan Sang Bhagava, dan setelah tiba, dan bernamaskara kepada Sang Bhagava, mereka duduk di satu sisi. Sementara duduk, mereka bertanya kepada Sang Bhagava: “Jenazah Bahiya telah diperabukan, Bhante, dan tugu peringatan baginya telah didirikan. Ke manakah Bahiya pergi? Di manakah ia berada nanti?”

“Para bhikkhu, Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—adalah orang arif. Ia mempraktikkan Dhamma sesuai dengan Dhamma, dan tidak menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Dhamma. Bahiya—petapa berpakaian kulit kayu—telah padam dengan sempurna (parinibbuto).”

Maka, menyadari makna penting dari peristiwa itu, pada kesempatan itu Sang Bhagava berucap:

“Bila air, tanah, api dan angin tidak memiliki tempat berpijak:
Di situ bintang-bintang tidak bersinar,
Matahari tidak tampak,
Rembulan tidak muncul,
Kegelapan tidak ditemukan.

Dan bila seorang suci,
seorang brahmana, dengan arif
mengetahui sendiri [hal ini],
maka dari wujud & tanpa-wujud,
dari kenikmatan & kesakitan,
ia terbebaskan.


Sumber: Access To Insight
Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Inggris oleh Bhikkhu Thanissaro
Hak Cipta © 1994 Bhikkhu Thanissaro
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Hudoyo Hupudio

*****

CATATAN: Tuntunan vipassana singkat & murni yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada petapa Bahiya di atas diberikan pula kepada seorang bhikkhu tua, Malunkyaputta (Lihat: Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95). Seperti halnya Bahiya, Bhikkhu Malunkyaputta pun mencapai pembebasan terakhir (ke-arahat-an). Dalam hal Bahiya, ia mencapainya dengan seketika begitu mendengar tuntunan Sang Buddha; sedangkan dalam hal Bhikkhu Malunkyaputta, ia mencapainya setelah berlatih beberapa lama.



64
[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio]

APAKAH MEDITASI MENGENAL DIRI (MMD) ITU?

Oleh: Hudoyo Hupudio

Pendahuluan

Kata ‘meditasi’ mengandung banyak makna bagi para pemakai kata itu dan bagi para pendengarnya. Ada banyak tujuan orang bermeditasi; dengan demikian, ada banyak pula cara atau teknik meditasi. Ada meditasi yang bertujuan untuk mencapai hal-hal yang bersifat duniawi—seperti kesaktian, kesembuhan, melihat alam gaib, dsb—dan ada pula meditasi yang mempunyai tujuan spiritual, seperti mencapai atau menyatu dengan prinsip yang dianggap “tertinggi”, seperti Tuhan, Nirvana, Moksha, Alam Semesta dsb. Pada umumnya, meditasi menyangkut pemusatan perhatian (konsentrasi) pada suatu obyek tertentu—seperti: nafas, visualisasi, kata-kata/mantra, dsb—untuk waktu yang lama, dengan harapan pada akhirnya mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, sifat umum dari kebanyakan jenis meditasi adalah suatu pencapaian, yang tentu saja dipahami akan tercapai di masa depan.

Ada satu jenis meditasi yang berbeda dengan kebanyakan meditasi lain. Meditasi ini diajarkan oleh Buddha Gautama, lebih dari 2500 tahun lalu, disebut meditasi vipassana. Meditasi ini berangkat dari fakta eksistensial yang diajarkan oleh Sang Buddha, yakni bahwa segala sesuatu dalam kehidupan atau eksistensi ini tidak kekal/tidak abadi, dan tidak memuaskan; fakta ini menyebabkan penderitaan bagi orang yang tidak memahaminya dan mencari kekekalan serta kebahagiaan abadi. Sang Buddha juga mengajarkan, bahwa fakta penderitaan eksistensial itu disebabkan oleh karena manusia tidak memahami aku/dirinya, yang antara lain adalah pikirannya, yang selalu mencari kekekalan dan kebahagiaan abadi. Untuk mencapai kekekalan dan kebahagiaan abadi itu manusia selalu terlibat dalam konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan orang lain di sekitarnya; ia terlibat konflik antara ‘apa yang ada’ (sekarang) dengan ‘apa yang dicita-citakan’ di masa depan dalam pikirannya.

Sang Buddha mengajarkan, bahwa dengan meditasi vipassana—yakni mengamati secara pasif setiap gerak-gerik badan jasmani dan batin (pikiran, perasaan, emosi, keinginan, harapan, keputusasaan, kesenangan, penderitaan dsb)—manusia dapat memperoleh pencerahan akan hakikat sesungguhnya dari kehidupan/eksistensi yang tidak kekal dan tidak memuaskan ini. Dengan tercapainya pencerahan itu, manusia terbebas dari kelekatan pada jasmani & batinnya; dengan demikian, bebas dari penderitaan. Namun pembebasan ini tidak mungkin tercapai dengan suatu usaha yang aktif dari aku/diri ini untuk mencapainya, oleh karena justru diri/aku inilah sumber penyebab dari penderitaannya sekarang. Sifat-sifat khusus dari meditasi vipassana adalah: pasif, berhenti, diam, lepas, berada pada saat kini. Seperti kata Sang Buddha kepada Angulimala, si perampok dan pembunuh: “Aku sudah lama berhenti. Kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah!” Berada pada saat kini terus-menerus, yang di situ aku/diri dan pikiran ini berhenti, itulah pintu menuju pembebasan, menurut Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.

Namun, patut disayangkan bahwa, dengan perjalanan waktu, dalam banyak praktik meditasi vipassana yang diajarkan di dunia pada dewasa ini, prinsip-prinsip meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha telah bergeser: dari pelepasan menjadi pencapaian, dari kepasifan menjadi berupaya dan aktif berkonsentrasi. Bagi banyak praktisi vipassana, mungkin pergeseran ini tidak dirasakan; namun, bagi sementara praktisi vipassana, mereka mengalami kesulitan untuk benar-benar memahami gerak-gerik badan & batin ini sehingga tercapai pencerahan & pembebasan apabila mereka diharuskan berusaha untuk mencapainya, apalagi dengan konsentrasi. Bagi para praktisi yang tersebut belakangan inilah, sejak beberapa tahun terakhir telah dikembangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD), yakni suatu jenis meditasi vipassana yang kembali kepada sifat-sifat khusus meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Meditasi Mengenal Diri (MMD)

Kesadaran bahwa praktik meditasi vipassana yang banyak diajarkan pada dewasa ini telah bergeser jauh dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Sang Buddha diilhami oleh ajaran J. Krishnamurti pada abad ke-20 M. Krishnamurti mengritik kebanyakan teknik meditasi yang semuanya mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi. Dalam hal ini termasuk pula banyak “teknik vipassana” yang pada umumnya juga mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi.

Bagi Krishnamurti, teknik-teknik meditasi seperti itu sama sekali tidak membebaskan, tidak mentransformasikan batin manusia; alih-alih, malah lebih dalam membuat manusia terjerat dalam keterkondisian batinnya. Teknik-teknik konsentrasi apa pun hanya membawa praktisinya ke dalam suatu keadaan pemusatan batin yang kuat, yang mungkin memberikan suatu rasa nikmat yang intens, yang disangka pembebasan, tetapi sesungguhnya tetap menjerat batin dalam keterkondisian dan ketidakbebasan.

Meditasi Mengenal Diri (MMD) adalah jenis meditasi vipassana yang selama beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara “tradisional”, namun telah banyak dimodifikasi berdasarkan ajaran Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif, atau sadar/eling tanpa memilih. Dengan demikian, ada beberapa perbedaan penting antara meditasi vipassana versi MMD dan meditasi vipassana “tradisional”:

(1) Tujuan meditasi vipassana

Bila seorang praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan meditasi vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada badan & batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’. Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” tidak terlepas dari doktrin Agama Buddha. Pada umumnya, tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai pada suatu saat di masa depan, jauh atau dekat.
 
Adapun “tujuan” MMD tampak sepintas lalu tidak banyak berbeda dengan tujuan meditasi vipassana “tradisional” itu, namun perbedaan yang “tidak banyak” itu menghasilkan perbedaan mendalam di dalam praktik kedua jenis meditasi vipassana itu. “Tujuan” MMD adalah sadar/eling sedalam-dalamnya terhadap gerak-gerik badan & batin ini pada saat munculnya, sekarang dan di sini, dari saat ke saat. Dengan demikian, “tujuan” MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; MMD tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa ‘berada pada saat kini terus-menerus’, di situlah terdapat kemungkinan—itulah pintu—kepada berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh manusia sepanjang zaman.

Apa & bagaimana ‘berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia’ itu tidak dibicarakan dalam praktik MMD, karena hal itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang ada, dan hanya merintangi orang untuk ‘berada pada saat kini terus-menerus’. “Tujuan” MMD bukan hanya memahami keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa & moha seperti disebutkan di atas, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Ketika keadaan-keadaan batin yang negatif maupun positif itu dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin yang negatif atau melekat pada keadaan batin yang positif; tidak ada lagi penolakan terhadap yang satu dan kelekatan kepada yang lain.

(2) Teknik/metode meditasi vipassana

Adanya tujuan meditasi vipassana yang berbeda antara meditasi vipassana “tradisional” dan MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik meditasi di antara kedua versi meditasi vipassana itu.

Dalam kebanyakan meditasi vipassana “tradisional”, diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan oleh pemeditasi kalau ia ingin mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan teknik-teknik berikut:

•   berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “obyek utama”;

•   mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);

•   melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;

•   memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.

Semua itu dilakukan, dan didasari ‘usaha (viriya) yang maksimal’, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang diharapkan, dan akhirnya tercapai ‘pembebasan’ (nibbana).

Di lain pihak, di dalam MMD:

•   tidak ada konsentrasi pada ‘obyek utama” apa pun—karena ‘sadar/eling’, apabila berkembang secara pasif, akan mengembangkan pula perhatian yang kuat (sati), tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu obyek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah sehingga menyadari seluruh rangsangan yang masuk melalui pancaindra dan batin;

•   segala fenomena yang muncul dalam badan & batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;

•   keadaan batin ‘sadar/eling’ itu bisa dilakukan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, dan tanpa membedakan kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan meditatif berkembang menjadi kesadaran setiap saat;

•   gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, tetapi itu pun bukan menjadi teknik meditasi.

Secara singkat, di dalam MMD tidak dikenal teknik meditasi apa pun. Selain itu, di dalam MMD tidak dikenal ‘usaha maksimal’ (viriya). Dengan demikian, pemeditasi bebas dari beban meditasi, sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan apa pun, merupakan keadaan pasif, diam, berhenti dan “istirahat” yang sempurna.

(3) Referensi dari kitab suci

Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan doktrin-doktrin Buddhisme, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma (fenomena badan & batin) yang diajarkan dalam Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan intelektual dan bukan kesadaran/keelingan aktual yang pasif terhadap fenomena yang muncul pada saat sekarang & di sini.

Di lain pihak, MMD menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha memberikan tuntunan vipassana yang langsung dan sangat singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta, Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme” apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana secara langsung tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada waktu itu juga Bahiya mencapai pencerahan terakhir. Tuntunan yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).
 
Oleh karena tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat “bebas doktrin Buddhisme”, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis, maupun kepada para peminat MMD yang Buddhis juga.

(4) Ritualisme

Oleh karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme. Ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang bebas sepenuhnya. Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di situ sejak awal tidak terdapat simbol-simbol Buddhisme atau agama lain sedikit pun.
 
Di dalam MMD, sekalipun retret diadakan di sebuah vihara, disarankan bahwa selama retret berlangsung peserta tidak melakukan ritual keagamaan apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam), membaca paritta, dsb. Suatu kekecualian adalah bagi peserta retret yang Muslim, karena ritual sholat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan. Lebih baik teman Muslim itu mengikuti retret MMD yang tidak melarangnya untuk melakukan ibadah sholat, daripada tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk belajar ‘sadar/eling’ hanya karena dilarang menjalankan ibadah yang baginya adalah wajib.

Retret MMD

Retret MMD telah diselenggarakan sejak tahun 2000 di berbagai vihara dan tempat lain di Indonesia. Pada dewasa ini, secara teratur retret MMD diadakan di Jawa Barat (Cipanas dan Vihara Siripada, Bumi Serpong Damai), Jawa Tengah (Vihara Mendut), dan Bali (Brahmavihara-arama, Kabupaten Buleleng). Secara insidentil retret MMD diadakan juga di Samarinda, Kalimantan Timur (Vihara Muladharma), di Solo (Vihara Dhamma Sundara), dan di Sumatera Utara.
Kepada para peminat MMD ditawarkan dua jenis program retret MMD: Program MMD Akhir Pekan, dan Program MMD Seminggu. Jadwal retret-retret MMD selama setahun berjalan, lengkap dengan alamat (nomor telepon, HP dan email) tempat pendaftaran di masing-masing lokasi di atas, dapat dilihat di internet.

Semua retret MMD diberikan tanpa dipungut bayaran, kecuali sumbangan sukarela yang diserahkan kepada vihara pada akhir retret.

Pada dewasa ini, MMD hanya diajarkan oleh Dr. Hudoyo Hupudio, MPH, 65 tahun. Tetapi di kemudian hari diharapkan akan tampil para penerus yang kompeten untuk berbagi pengalaman dan mengajarkan prinsip-prinsip MMD demi pencerahan banyak orang.

65
[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio]

MENYADARI DAN MENGATASI TIMBULNYA KEAKUAN

Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera

Pikiran, Pemikiran, Sankhara

Dalam pandangan agama Buddha, antara pikiran dan pemikiran tidaklah dibedakan. Pemikiran yang dalam pengertian umum adalah hasil dari pikiran, sesungguhnya adalah pikiran itu sendiri. Sama seperti kita melihat rumah. Komponen-komponen seperti tiang, kasau-kasau, dinding, kerangka atap, genteng dan lantai; yang disusun membentuk rumah, sebenar-benarnya adalah rumah itu sendiri. Sama sekali tidak bisa dikatakan, bahwa "rumah" ini memiliki tiang seperti ini, dinding seperti ini, atap begini, lantai begitu, dan sebagainya. Rumah yang mana yang memiliki atau menjadi si pemilik semua itu? Tidak ada! Komponen atau bagian-bagian itu sendiri, yang tersusun seperti itu, adalah "rumah" itu sendiri. Tidak ada si pemilik atau bagian utama rumah, dan bagian lainnya adalah bagian yang dimiliki atau menjadi pelengkap. Persis seperti itu adalah pikiran kita. Pikiran ini adalah pemikiran itu sendiri, termasuk juga proses berpikir.

Pemikiran itu pun bukan juga suatu yang muncul kemudian berhenti, sehingga boleh dianggap sebagai hasil akhir dari suatu proses bepikir. Satu pemikiran muncul sesaat, kemudian berubah, cepat sekali, terus begitu tanpa henti.  Semua yang muncul menjadi pikiran atau pemikiran disebut sankhara, perpaduan. Disebut perpaduan karena sifat kemunculannya yang tidak mandiri tetapi terjadi karena banyak faktor. Dan juga faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya pikiran itu tidak kekal, berubah terus, maka pikiran yang muncul pun berubah dengan cepat.

Pengertian Benar

Bila faktor yang berpengaruh pada pikiran itu benar dan baik, maka pikiran pun mendapatkan faktor yang benar dan baik. Pengaruh baik itu dalam Delapan Unsur Jalan Mulia disebut Pengertian Benar atau Pandangan Benar. Pengertian yang benar adalah pengertian yang sesuai dengan Hukum Alam (Niyama Dhamma) dan membawa keterbebasan dari penderitaan.

Seluruh ajaran Guru Agung Buddha Gotama atau Dhamma, yang kita pelajari dan fahami adalah pengertian benar. Pengertian benar ini mempengaruhi pikiran. Tetapi pikiran tidak selalu berada dalam pengaruh atau arahan pengertian yang benar. Faktor-faktor lain pun masih sering muncul mempengaruhi pikiran kita, misalnya keserakahan, kebencian, keakuan, dan berbagai angan-angan lainnya. Bila pengaruh buruk itu muncul pada pikiran, lalu seseorang teringat pada pengertian benar bahwa keburukan akan berakibat keburukan; oleh karenanya pengaruh buruk jangan diikuti; maka pikiran buruk tidak akan berlanjut terus.
 
Proses tidak berlanjutnya pikiran buruk itu dapat diterangkan sebagai berikut: Adanya kewaspadaan yang mengetahui bahwa pikiran buruk sedang atau mulai muncul, kemudian digunakanlah pengertian atau konsep yang baik untuk menghentikannya. Memang bisa berhasil. Meski bisa juga tidak berhasil. Artinya, pikiran yang buruk itu berjalan terus sampai muncul menjadi ucapan atau tindakan yang buruk. Cara ini yang dilakukan oleh hampir semua umat beragama. Pengertian benar yang sudah diyakini atau diimani digunakan untuk mengatasi pikiran-pikiran buruk.

Demikian juga, umat Buddha mengenal pengertian Anatta (tanpa-aku), atau Sunnyata (tanpa inti yang kekal). Tetapi, bukan berarti kalau seseorang sudah mengerti atau faham benar tentang pengertian Anatta yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama, maka sudah tidak ada lagi pikiran keakuan padanya. Pikiran keakuan itu tetap saja timbul dengan begitu cepat dan begitu sering meskipun dia sudah sangat faham Anatta dan juga sudah tidak menghendaki pikiran keakuan itu timbul.

Bila ia waspada terhadap munculnya pikiran keakuan itu: "Ini kebaikanku. Ini jasaku. Ini kewajibanku. Ini hasilku," dan masih banyak lagi, lalu dilawanlah pikiran keakuan itu dengan pengertiannya tentang 'Anatta' (Tanpa-aku) yang sudah diyakini kebenarannya. Maka yang sekarang menjadi pikirannya adalah pikiran atau konsep tentang 'Anatta' (Tanpa-aku) tersebut. Cara ini bukanlah cara mengatasi atau menghabiskan keakuan, melainkan melawan konsep (keakuan) dengan konsep (tanpa-aku).

Untuk memudahkan mengingat, kita berikan saja nama untuk cara ini: cara konvensional atau cara biasa.

Kewaspadaan atau Perhatian

Cara menghabiskan pikiran keakuan yang sering muncul dan menjadi sumber keburukan atau penderitaan menurut ajaran Guru Agung Buddha Gotama adalah: Perhatikan atau waspadai terus-menerus bila pikiran keakuan itu muncul. Jangan menyesali bila pikiran keakuan muncul, tetapi yang sangat penting adalah menyadari atau memperhatikan pikiran itu. Perhatikan saja! Waspadai saja! Waspadai dengan sikap pasif. Artinya, tidak perlu menggunakan konsep Anatta (tanpa-aku) untuk menghentikan atau melawannya. Tidak menganalisis dari mana munculnya pikiran keakuan itu, dan juga tidak perlu ingin menghentikannya karena tidak sesuai dengan Dhamma. Tetapi, perhatikan saja terus-menerus, awasi saja terus-menerus. Mengawasi dengan pasif. Hanya mengawasi saja! Maka, pikiran keakuan itu akan teratasi, akan berhenti dengan sendirinya. Inilah cara yang diajarkan oleh Dhamma ajaran Guru Agung Buddha Gotama sebagai cara untuk menghabiskan keakuan. Kita namakan cara ini: cara 'vipassana' atau cara pencerahan.

Memang kita belum mampu mengawasi setiap timbulnya pikiran buruk: keserakahan, iri hati, kebencian, kekejaman, kejengkelan, kekecewaan, dan keakuan yang menjadi sumber semuanya. Tetapi bila kita mengetahui atau menyadari bahwa pikiran itu mulai atau sedang muncul, maka perhatikanlah, awasilah! Pikiran itu akan berrhenti. Selanjutnya hanya kesadaran murni yang berlangsung. Kesadaran murni itu adalah kata lain dari kebebasan. Kebebasan dari penderitaan. Meski hanya dialami sesaat, kesadaran murni adalah kebebasan. Bagi yang belum mencapai kebebasan penuh, kebebasan itu hanya dialami sesaat. Mengapa hanya dialami sesaat? Karena kotoran yang lain dari pikiran masih akan muncul lagi.

Perbedaan Manfaat Kedua Cara

Apakah perbedaan di antara kedua cara, yakni cara biasa dan cara 'vipassana', dalam mengatasi pikiran buruk? Cara biasa, yaitu cara melawan konsep buruk atau pikiran buruk dengan pikiran baik yang didasari pengertian benar atau keyakinan memang bisa menghentikan pikiran buruk. Karena pikiran buruk bisa dihentikan, maka perilaku buruk tidak akan dilakukan. Tetapi cara ini tidak banyak mengurangi kelekatan seseorang pada kenikmatan dalam melakukan keburukan. Ketagihan pada kenikmatan terhadap keburukan, dan juga kenikmatan terhadap kebaikan, akan memperkuat pikiran keakuan. Keakuan ini kemudian menyebabkan berbagai keinginan bermunculan.

Cara 'vipassana' atau mengembangkan pandangan terang akan menumbuhkan pencerahan mental yang menyadarkan kita bahwa kondisi pikiran ini adalah tidak kekal. Dalam perhatian penuh atau perhatian terus-menerus itu kita akan menyadari dengan jelas munculnya suatu pikiran, bertahan sebentar, lalu tenggelam. Kemudian muncul pikiran yang lain, bergolak, berkembang, tidak lama juga lalu tenggelam. Begitu seterusnya! Arus pikiran ini tidak akan pernah berhenti. Pencerahan mental yang timbul dari perhatian terus-menerus (Nyana), bukan logika intelektual, terhadap pikiran kita sendiri ini akan mengurangi kelekatan atau kelengketan kita terhadap segala kenikmatan sesaat. Kekuatan keakuan yang timbul dalam pikiran menjadi berkurang. Kekuatannya yang membakar-bakar berbagai keinginan pun berkurang.

Kemampuan mengetahui pikiran-pikiran yang muncul, utamanya pikiran keakuan, dan mengawasi atau menyadari terus-menerus sampai pikiran keakuan itu lenyap adalah latihan dan juga tujuan meditasi Buddhis.

26 Desember 2006

66
Akan segera terbit:

"Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri"

Oleh:
Sri Pannyavaro Mahathera
Hudoyo Hupudio

Diterbitkan oleh: <dalam perencanaan>

Jumlah halaman: +/- 20 halaman

Daftar isi:

1. "Hanya Menyadari Saja, Tidak Memadamkan" - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan retret seminggu MMD di Vihara Mendut, 24 Des.'08

2. "Menyadari dan Mengatasi Keakuan" - Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera

3. <Judul & isi belum ditetapkan> - Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan retret seminggu MMD di Vihara Mendut, 1 Jan.'09

4. "Apakah Meditasi Mengenal Diri (MMD) itu?" - Oleh: Hudoyo Hupudio

5. Rujukan: "Udana 1.10 - Bahiya-sutta" - diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Hudoyo Hupudio

67
HANYA MENYADARI SAJA, TIDAK MEMADAMKAN

Dr. Hudoyo pembimbing meditasi,
Para Ibu, Bapak, Saudara peserta meditasi pada akhir tahun 2008 ini,

Sebagai Kepala Vihara Mendut, saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta. Bagi para peserta yang sudah beberapa kali mengikuti meditasi di vihara ini, tentu ini selamat datang untuk yang kesekian kalinya. Bagi Ibu, Bapak & Saudara yang baru pertama kali mengikuti meditasi ini, tentu selamat datang yang pertama bagi Ibu, Bapak, Saudara. Selamat datang di Vihara Mendut untuk melatih diri mengenal meditasi dan sekaligus melatih meditasi.

Para Ibu, Bapak , Saudara,

Semua orang tentu menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan menjadi obsesi, menjadi tujuan hampir semua orang, apa pun agama, kepercayaan, tradisi, atau adat-istiadatnya. Kemudian, tiap-tiap orang berusaha untuk membuat rincian, meskipun mungkin tidak mendetail, gambaran apakah bahagia yang mereka inginkan? Apakah bahagia yang kita harapkan? Seperti apakah kebahagiaan itu?

Ibu, Bapak & Saudara,

Cita-cita atau harapan kebahagiaan itu kemudian diusahakan untuk dicapainya. Sesungguhnya, harapan atau keinginan untuk bahagia itu kemudian menumbuhkan keinginan-keinginan yang sangat banyak. Mengapa keinginan-keinginan lain tumbuh sangat banyak? Keinginan-keinginan itu tumbuh seiring dengan usaha untuk mencapai hidup bahagia?

Apa yang menjadi fenomena, apa yang menjadi gejala kemudian? Sesungguhnya, yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan. Mengapa? Karena keinginan atau harapan untuk bahagia itu justru membuahkan penderitaan. Harapan menimbulkan kegelisahan, harapan menimbulkan kekhawatiran, harapan membuat seseorang, kita semua, waswas, dan kalau tidak terpenuhi, kecewa.

“Tetapi, Bhante,” ada yang menanyakan, “kalau keinginan atau harapan itu terpenuhi, bukankah kita bahagia?” Ya, kita bahagia sebentar, karena tidak ada bahagia yang abadi. Dan kalau bahagia sebentar itu lenyap, maka timbullah ketagihan, kecanduan, keinginan yang lebih berkobar-kobar.

Sesungguhnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan yang benar, dan “kebahagiaan” ini harus ditulis dengan tanda petik, tidak dicapai dengan keinginan. Kebahagiaan yang benar justru akan tumbuh—begitulah bahasa yang boleh kita pakai—kalau keinginan dikurangi. Bukan dengan menambah keinginan lalu tercapai, itulah kebahagiaan. Bukan! Tetapi dengan berkurangnya keinginan, lenyapnya keinginan, justru itulah kebahagiaan yang benar.

“Apakah mungkin, Bhante, melenyapkan keinginan, membuang keinginan, hidup di masyarakat, baik sebagai bhikkhu, rohaniwan ataupun sebagai perumah tangga?” Memang sulit, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita hanya selektif, menyeleksi keinginan. Mengapa? Karena kalau keinginan bertambah, maka masalah bertambah. Kalau masalah bertambah, penderitaan bertambah. Ini bukan dalil agama, Ibu, Bapak & Saudara, ini adalah hukum alam. Kalau Ibu, Bapak & Saudara menambah keinginan, menambah harapan, maka waswas bertambah, gelisah bertambah, kekhawatiran bertambah, kekecewaan bertambah, penderitaan bertambah. Tetapi kalau keinginan dikurangi, maka masalah juga akan berkurang. Kalau masalah berkurang, ketegangan juga berkurang. kekhawatiran berkurang, penderitaan berkurang.

Tetapi, Ibu, Bapak & Saudara, selama Ibu, Bapak & Saudara tujuh hari mengikuti meditasi di vihara ini—meditasi yang kita kenal dengan nama Meditasi Mengenal Diri, atau boleh juga disebut meditasi Vipassana, atau hanya meditasi saja, karena nama tidaklah penting—Ibu, Bapak & Saudara bisa berlatih dan mengalami, untuk membuang hampir semua keinginan. Tidak perlu memikirkan besok masak apa, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dikerjakan, karena semua sudah disiapkan oleh vihara ini, sederhana sudah tentu, sesuai dengan kemampuan kami, untuk membantu Ibu, Bapak & Saudara mempunyai latihan dan mengalami kondisi atau dimensi membuang keinginan secara maksimal. Tentu ada keinginan, tetapi keinginan itu keinginan yang fungsional, seperti ingin ke belakang, ingin melangkahkan kaki, makan pagi sebagai kebutuhan untuk kelangsungan fisik kehidupan ini, makan siang, berbaring—keinginan-keinginan fungsional yang sangat terbatas. Keinginan yang lain ditiadakan.

Tetapi apakah mudah? Tidak. Meskipun Ibu, Bapak & Saudara, dan kita sudah bersepakat, selama tujuh hari ini saya tidak ingin mempunyai keinginan apa-apa; keinginan yang ada hanya sesedikit mungkin, keinginan-keinginan fungsional sehari-hari. Meskipun sudah disepakati seperti itu, keinginan itu muncul saja, mengganggu pemikiran kita. Bahkan mungkin semakin hebat, semakin hebat; apalagi Ibu, Bapak & Saudara yang belum pernah melatih meditasi, dan kali ini adalah kali yang pertama, dengan waktu yang cukup panjang, tidak hanya Jumat, Sabtu, Minggu, tetapi satu minggu.

Lalu, bagaimana cara kita untuk membuang keinginan itu? Membuang keinginan tidak dengan sederhana berucap, “Aku tidak ingin punya keinginan.” Dalam bahasa kasar, “Lho, mengapa masih muncul saja keinginan? Bukankah aku sudah sepakat untuk tidak mau punya keinginan?” Biar, Ibu, Bapak & Saudara, biar. Tidak usah marah, tidak usah merasa tidak berhasil. Tidak usah menyalahkan diri sendiri, mengapa keinginanku masih saja berkobar-kobar, tidak bisa dibuang; dikurangi saja tidak bisa. Tidak usah marah, tidak usah menyalahkan diri sendiri, tidak usah kecewa. Keinginan yang muncul itu juga tidak usah dipadamkan. Dalam bahasa sehari-hari, “Lho, mengapa tidak dipadamkan? Tadi di depan dijelaskan, keinginan harus dikurangi, dibuang sampai maksimal. Sekarang kalau keinginan muncul mrngapa tidak boleh dipadamkan?” Kalau Ibu, Bapak & Saudara berusaha untuk memadamkan keinginan itu, maka ributlah pikiran ini. Keinginan yang muncul dilawan dengan keinginan untuk tidak mau punya keinginan. Maka keinginan perang dengan keinginan. Pusinglah, ramailah pikiran kita.

Meditasi hanya mengamat-amati saja, menyadari kalau keinginan muncul, keinginan ini keinginan itu, ingatan ini ingatan itu, mau seperti ini mau seperti itu. Tugas kita bermeditasi hanya menyadari saja; tidak memadamkan, tidak menggempur, tidak menganalisis dari mana datangnya, tidak merentang-rentang apakah ini wahyu, apakah ini vision, tidak. Kita hanya menyadari saja, menyadari dengan pasif, menyadari dengan pasif. Nanti keinginan-keinginan itu padam sendiri. Padam bukan dengan keinginan untuk dipadamkan, hanya disadari, disadari, disadari saja.

Itulah secara garis besar latihan Ibu, Bapak & Saudara selama seminggu ini. Tidak perlu doa, tidak perlu meminta-minta, tidak perlu mengharap berkah dari siapa pun, tidak ada ritual-ritual, upacara-upacara yang harus ditaati. Tetapi sadarilah pikiran, perasaan, jasmani; jasmani, perasaan, pikiran. Guru-guru meditasi sering menulis, kemukjizatan itu bukan kalau kita bisa terbang, kemukjizatan itu bukan kalau kita bisa melihat makhluk-makhluk halus, kemukjizatan itu bukan pada saat kita duduk meditasi mengalami yang aneh-aneh; tetapi kemukjizatan itu pada waktu kita berjalan kita menyadari langkah kaki kita yang menempel di bumi ini; itulah kemukjizatan, kalau hal itu boleh disebut kemukjizatan. Kemukjizatan bukan membaca pikiran orang, melihat makhluk halus, pergi ke alam lain, melainkan mampu menyadari timbulnya pikiran sendiri apa pun juga, mampu menyadari timbulnya perasaan sendiri apa pun juga.

Oleh karena itu, di dalam meditasi ini semua menjadi obyek: pikiran yang disebut baik, tidak baik, pikiran bagus, pikiran luhur, pikiran dosa, pikiran jorok, ingatan masa lalu, kenangan yang pahit, kenangan yang manis, khayalan, rencana segala macam, semuanya mempunyai fungsi yang sama: diperhatikan. Pikiran yang baik juga diperhatikan, pikiran yang buruk juga diperhatikan. Dan tidak usah dinilai: ini baik, ini buruk. Perasaan senang timbul juga diperhatikan, perasaan tidak senang timbul juga diperhatikan; perasaan sedih timbul diperhatikan, perasaan gembira timbul juga diperhatikan, tidak dicegah, tidak dibesar-besarkan. Dan tidak usah diberi nama: “O, ini senang; o, ini tidak senang.” Untuk menjelaskan, memang, saya menggunakan kalimat: “Perasaan senang diperhatikan, perasaan tidak senang diperhatikan.” Tetapi di dalam praktik, sadari saja. Tidak usah diberi label, diberi nama: “O, ini senang, ini tidak senang.” Karena kalau kita memberikan nama, nanti kekuatan senang menjadi lebih besar, kekuatan tidak senang menjadi lebih besar. Kita lebih serakah pada yang menyenangkan, kita lebih benci pada yang tidak menyenangkan, karena konsep senang dan tidak senang dipertajam dalam meditasi dengan memberikan label, “O, ini senang, ini tidak senang.”

Jadi, kalau ada perasaan yang mengganggu, disadari saja, “O, perasaan begini,” sudah cukup. “O, pikiran muncul; o, pikiran muncul,” cukup. Di dalam penjelasan-penjelasan bahkan dikatakan, dalam meditasi yang sering dikenal dengan sebutan vipassana itu, pada tingkat-tingkat tertentu di dalam teori dikatakan akan timbullah yang disebut nyana, pengetahuan bukan dari hasil pemikiran intelektual, bukan dari hasil berfikir, tetapi hasil dari meditasi. Pengetahuan hasil meditasi itu pun juga kotoran batin yang halus, vipassana-upakilesa. Jadi, apa fungsi kita? Fungsi kita hanya menyadari saja, menyadari, pasif, menyadari, pasif. Tidak menjadi kebanggaan, tidak menjadi sesuatu yang sangat luar biasa. karena kalau dikelompokkan pengetahuan yang muncul dari meditasi itu juga kelompok kotoran batin yang halus. Jadi diperhatikan saja.

Dengan memperhatikan, memperhatikan, memperhatikan, maka keinginan itu akan padam, padam, padam. Padamnya keinginan itulah lenyapnya penderitaan. Istilah ‘lenyapnya penderitaan’ lebih tepat kalau ingin digunakan, daripada menggunakan “kebahagiaan”. Lenyapnya penderitaan itulah “kebahagiaan yang benar” dalam tanda petik. Daripada menggunakan istilah “kebahagiaan”, ‘lenyapnya penderitaan’ menjadi kalimat yang lebih tepat untuk menamakan padamnya keinginan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Gunakanlah waktu tujuh hari ini untuk mengamati jasmani, langkah kaki, nafas, perasaan yang timbul, pikiran, termasuk ingatan, kenangan. Tidak usah tegang, tetapi tidak malas. Dalam bahasa Jawa dikatakan jangan ndlenger. Dalam bahasa gaul, banyak anak-anak muda yang ikut meditasi, mereka mempunyai istilah, “O, kalau kita ingin ikut vipassana, ingin ikut MMD ini, harus ‘sersan’,” katanya. Apa itu ‘sersan’? Serius tapi santai. Kalau serius saja, maka nanti keinginan akan muncul, keinginan “Saya ingin bermeditasi sungguh-sungguh, saya ingin membuang keinginan sungguh-sungguh,” apalagi kalau, “Saya ingin mendapatkan pengalaman yang aneh-aneh.” Serius. Ya, keinginan justru berkembang, bertambah, bukan berkurang. Tetapi kalau santai, tidak menghadirkan kesadaran, santai saja, banyak tidur—kalau nanti tidur di ruang tidur tidak enak, ya duduk di tempat meditasi tetapi tidur—ya, itu terlalu santai. Meditasi menghadirkan kesadaran dengan wajar; menghadirkan kesadaran itu yang oleh anak-anak muda di katakan serius, tetapi wajar, wajar itulah santai. Serius tapi santai, santai tapi kesadaran harus hadir.

Ibu, Bapak & Saudara,

Semogalah selama tujuh hari, Dr. Hudoyo akan mendampingi, memberikan bimbingan, Ibu, Bapak & Saudara akan mendapatkan kemajuan. Kalau saya menyebutkan ‘kemajuan’ di sini adalah mampu melihat pikiran, mampu melihat perasaan, mampu melihat gerak-gerik jasmani dengan kesadaran. Paling tidak kita mengalami berkurangnya keinginan. Pada saat keinginan berkurang itulah mulai bebas dari penderitaan.

Dan nanti setelah selesai meditasi ini, Ibu, Bapak & Saudara pulang ke rumah, Ibu, Bapak & Saudara bisa menggunakan pengalaman selama tujuh hari ini untuk menghadirkan kesadaran dalam keseharian. Karena tidak ada gunanya mengikuti retret kalau kesadaran dalam keseharian tidak
dihadirkan.

Apalagi di antara saudara-saudara kita ada yang bangga, “O, saya sudah ikut retret sepuluh kali, Anda baru berapa kali, baru dua kali?” Tidak menjadi ukuran, sepuluh kali atau dua puluh kali ikut retret, tidak menjadi ukuran sejauh mana penderitaan berkurang, kebebasan bisa dialami. Tetapi menghadirkan kesadaran itulah yang penting, di vihara ini maupun dalam kehidupan Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari.

Semogalah latihan ini bermanfaat. Terima kasih.


68
Salam dari Vihara Mendut,

Hari ini, 28 Desember 2008, hari keempat retret MMD seminggu di Vihara Mendut, Jawa Tengah.

Fasilitas tempat tidur untuk peserta retret di Vihara Mendut hanya sebanyak 32 matras (16 di gedung laki-laki, 16 di gedung perempuan).

Peserta retret MMD Seminggu di Vihara Mendut kali ini meluap melebihi kapasitas. Beberapa peserta memaksa datang sekalipun tidak terdaftar pada panitia. Tiga puluh tujuh orang datang dan hampir tidak mungkin menolak siapa pun juga. Jadi terpaksa beberapa orang dititipkan di rumah tetangga.

Jumlah peserta: 37 orang, terdiri dari:
15 laki-laki
22 perempuan.

Di antara peserta:
22 orang (60%) peserta lama MMD,
15 orang (40%) peserta baru.

Di antara peserta, yang beragama Buddha 17 orang (46%), Islam 12 orang (32%), selebihnya ka****k, Protestan dan lain-lain.

Peserta yang pernah mengikuti retret vipassana lain:
Goenka (4)
Mahasi Sayadaw (5).

Usia peserta paling muda 11 tahun, masih duduk di kelas 6 SD. Ia bermeditasi bersama ibunya. Luar biasa!

Kota asal peserta:
Yogyakarta (9)
Jakarta (8)
Tangerang (5)
SOlo (3)
Semarang (3)
Magelang (2)
Parakan/Temanggung (2)
Bandung (1)
Pekalongan (1)
Kudus (1)
Sidoarjo (1)
Samarinda (1)

Bhante Pannyavaro memberikan wejangan pada pembukaan retret. Menurut rencana, beliau juga akan memberikan wejangan lagi pada penutupan retret pada 1 Januari 2009 nanti.

Salam,
Hudoyo

69
Cerita dari Mendut (1): Peserta mbludak

Salam dari Vihara Mendut,

Hari ini hari keempat retret MMD seminggu di Vihara Mendut, Jawa Tengah.

Fasilitas tempat tidur untuk peserta retret di Vihara Mendut hanya sebanyak 32 matras (16 di gedung laki-laki, 16 di gedung perempuan).

Peserta retret MMD Seminggu di Vihara Mendut kali ini meluap melebihi kapasitas. Beberapa peserta memaksa datang sekalipun tidak terdaftar pada panitia. Tiga puluh tujuh orang datang dan hampir tidak mungkin menolak siapa pun juga. Jadi terpaksa beberapa orang dititipkan di rumah tetangga.

Jumlah peserta: 37 orang, terdiri dari:
15 laki-laki
22 perempuan.

Di antara peserta:
22 orang (60%) peserta lama MMD,
15 orang (40%) peserta baru.

Di antara peserta, yang beragama Buddha 17 orang (46%), Islam 12 orang (32%), selebihnya ka****k, Protestan dan lain-lain.

Peserta yang pernah mengikuti retret vipassana lain:
Goenka (4)
Mahasi Sayadaw (5).

Usia peserta paling muda 11 tahun, masih duduk di kelas 6 SD. Ia bermeditasi bersama ibunya. Luar biasa!

Kota asal peserta:
Yogyakarta (9)
Jakarta (8)
Tangerang (5)
SOlo (3)
Semarang (3)
Magelang (2)
Parakan/Temanggung (2)
Bandung (1)
Pekalongan (1)
Kudus (1)
Sidoarjo (1)
Samarinda (1)

Bhante Pannyavaro memberikan wejangan pada pembukaan retret. Menurut rencana, beliau juga akan memberikan wejangan lagi pada penutupan retret pada 1 Januari 2009 nanti.

Salam,
Hudoyo

70
Untuk apa memamerkan "masih melekat" atau "tidak melekat"? Cukup saling menasehati saja.

71
Namun hati-hati dalam prakteknya, banyak jebakan yang halus yang kemungkinan besar tidak disadari.
"Melekat untuk tidak melekat" adalah kemelekatan.
Hal ini harus dibedakan dengan hanya "tidak melekat".
Berpegang teguh pada ketidakmelekatan adalah kemelekatan lain yang halus sifatnya.

Nasehat yang sangat bagus.

Quote
Apakah anda masuk ke dalam jebakan ini ? hanya anda yang tahu batin anda.

Sayang nasehat yang bagus itu diakhiri dengan pertanyaan yang tidak pada tempatnya. Seharusnya Anda --dan saya dan setiap orang-- bertanya kepada diri sendiri: "Apakah SAYA tidak melekat?"

hudoyo


72
Saya belum pernah secara langsung menanggapi opini anda, yang saya tanggapi adalah pernyataan tentang J. Krisnamurti dari saudara/i xuvie. Mungkin dikarenakan berkaitan dengan J. Krisnamurti, maka anda "merasa" bahwa pernyataan saya tersebut mengarah kepada anda. Tidak berbeda dengan sebagian penganut agama yang merasa "dirinya" disentuh pada saat "agama-nya" mendapatkan respon yang bertolakbelakang. Ini merupakan suatu bentuk ke-aku-an juga, suatu kepemilikan.

Silakan saja Anda menafsirkan demikian. ... Yang tahu isi batin saya hanya saya sendiri.


Quote
Saya setuju, namun "merk" tersebut "terpaksa' harus saya gunakan di dalam bahasa komunikasi, dan kebetulan saya masih dalam proses belajar, dimana saya tertarik kepada satu merk diantara merk lainnya melalui perbandingan (dalam lingkup intelektual) yang masih berpegang pada aku dengan harapan pada merk tersebut terdapat petunjuk yang pas buat saya untuk mengantar pada kebenaran sejati, yaitu tanpa aku.

Ada orang yang melekat pada doktrin tertentu dengan "harapan" untuk sampai pada Kebebasan sejati --entah kapan--.
Ada orang yang memahami sifat doktrin apa pun --yang menghalangi orang untuk melihat apa adanya-- sehingga bebas dari kelekatan pada doktrin apa pun sejak awal melangkah.

hudoyo

73
Semoga tidak ada sensor2 dan pembengkokan kognitif o/ Penerbit Mizan dlm penerbitan buku "Book of Life" ;D
Jauh-jauh hari utk informasi ttg talkshow sebelumnya ya pak, cukup menarik mengetahui pemikiran Pak Hud, ada poin2 yg dapat dipelajari dan menjadi masukan. :)

mettacitena
_/\_

Copyright buku itu tetap ada pada Yayasan Krishnamurti Indonesia. Jadi saya rasa penerbit tidak akan berani melakukan distorsi terhadap isi buku.

Tentang sensor, justru itu terjadi di DC ini. Chat saya yang membahas tentang kematian berdasarkan ajaran Krishnamurti dan saya letakkan di thread yang benar ternyata dihapus oleh moderator tanpa alasan jelas.

74
Quote
wah pak hudoyo... anda benar benar "detonator", begitu disulut langsung bom bom pada meledak...
sabar sabar sabar sabar ...
kalau boleh saya katakan BUDDHA DHARMA bukan milik-ku... tidak tahu dengan yang lain ???

hehehe ... iyalah ... :))  Terima kasih. :)

Tentang istilah "Buddha Dharma", itu bukan kebenaran yang tertinggi, karena masih punya merek, punya identitas ... yang mudah sekali dilekati dan diacung-acungkan sebagai senjata oleh orang-orang yang diliputi moha tapi fanatiknya tidak ketulungan.

Kebenaran yang lebih tinggi lagi dari "Buddha Dharma" adalah "Dharma" ... atau bahkan tidak perlu kata Sanskrit lagi ... tinggal "apa adanya", yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa saja.

hudoyo

75
Kalo saya malah bertolak belakang memandangnya, kalimat yang dibold biru diatas malah membuat keraguan apakah JK benar2 "melihat" ajaran Buddha. Saya berpegang pada kata2 yg notabene terdapat di dalam Tipitaka, bahwa orang yang melihat Dhamma juga melihat Buddha. Jadi tidak perlu menunggu bentuk fisik seorang Buddha, karena Buddha sama dengan Dhamma.
Kesimpulan saya dari kalimat tersebut adalah yang dipraktekkan oleh beliau bukanlah ajaran Buddha karena JK secara tidak langsung mengaku bukan murid Buddha karena tidak ada Buddha secara fisik lahir pada saat ini.
Apakah dikarenakan tidak ada Buddha yang lahir menjadikan dirinya tidak menjadi murid Buddha? Lalu ajaran manakah yang dia praktekkan?
Kemungkinan besar tanggapan saya memiliki bias karena saya tidak mempelajari tulisan2 JK, Namun itulah yang saya tangkap dari kalimat yang ada.

Anda dengan opini Anda, saya dengan opini saya, kalau bertolak belakang gak perlu diperdebatkan.

hudoyo

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9 10 11 12 ... 128
anything