Namo Buddhaya,
Saya hanya sekedar menambahkan. Mengenai nibanna/ nirvana - pembebasan dari dukkha, saya bukannya percaya atau tidak percaya, tetapi bagi saya konsepnya adalah masuk akal. Berdasarkan pengalaman hidup saya penderitaan terjadi karena kemelekatan yang diwujudkan dalam penerimaan atau penolakan bagi sesuatu. Dengan kata lain kita memiliki keinginan (bahasa Buddhisnya: tanha) untuk selama mungkin berada dalam kondisi menyenangkan dan menolak kondisi yang menurut kita tidak menyenangkan. Oleh karena itu, agar kita terbebas dari dukkha adalah dengan mengikis keinginan tadi. Ini sesuatu yang masuk akal, terlepas dari nibanna itu ada atau tidak ada. Saya ingin mobil Mercedes Benz tapi apa daya uang tak sampai - timbul dukkha. Oleh karena itu, agar tiada dukkha harus mengikis keinginan memiliki mobil Mercedes Benz. Ini sesuatu yang logis. Jadi saya menerima nibanna sebagai sesuatu yang logis.
Tetapi saya setuju dan mengakui bahwa banyak hal dalam Buddhisme yang tidak dapat dibuktikan dengan sains, seperti alam2 kehidupan tak kasat mata dan hukum karma sendiri.
Banyak orang jahat hidup bahagia - seperti Dr. Joseph Mengele
Banyak orang baik hidup menderita - seperti Raoul Wallenberg yang telah menyelamatkan jutaan nyawa dalam PD II, tetapi harus mati mengenaskan sebagai tawanan perang Rusia.
Kita sebagai orang Buddhis hanya dapat memberikan jawaban, bahwa barangkali hal itu disebabkan karma masa lampau. Tetapi jawaban ini harus kita akui hanya sebagai "alat" untuk menjawab pertanyaan di atas, yakni agar "kita dapat memberikan suatu jawaban" (berapologetika). Benarkah karma masa lampau ada? Kita tidak tahu secara pasti. Jawaban itu hanya kita peroleh dari buku yang disebut kitab suci atau perkataan para guru agama Buddha.
Saya juga tidak percaya atau percaya pada hukum karma, hanya menurut saya hukum karma adalah suatu mekanisme kontrol bagi kemoralan di tengah masyarakat, serta menjawab mengapa beberapa orang menderita sedangkan yang lainnya bahagia. Dalam hal ini terlepas dari benar dan tidaknya hukum karma, ajaran semacam itu bermanfaat karena dapat mengendalikan moralitas di tengah masyarakat. Jadi hukum karma bukan tahayul, karena saya mempergunakan istilah tahayul dalam artian negatif; yakni sesuatu yang tidak mempunyai nilai moral apapun tetapi diyakini dan dipraktekkan oleh masyarakat. Contohnya adalah larangan menggunting rambut di malam hari. Pada zaman dahulu ini bukan tahayul, karena penerangan masih belum baik, sehingga berbahaya menggunakan benda tajam (baca: gunting) di malam hari. Tetapi karena penerangan zaman sekarang sudah baik, maka hal itu kini menjadi tahayul dan tidak perlu dipraktikkan atau diyakini lagi. Jadi semua saya kembalikan pada azas manfaatnya.
Saya paham maksud Bro Dharmakara, yang kalau saya tidak salah tangkap adalah mengajak kita untuk melihat ajaran Buddha dalam perspektif yang lebih luas lagi, sebagaimana halnya Bro. Morpheus. Kita tidak perlu malu bila banyak ajaran Buddha yang tidak atau belum dapat dibuktikan oleh sains, karena memang demikianlah adanya. Menolak kenyataan adalah juga dukkha. Demikian semoga bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang kurang berkenan.
Metta,
Tan