//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dhammapada Atthakatha  (Read 144167 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #120 on: 07 December 2008, 01:26:21 AM »
Syair 149 (XI:4. Kisah Bhikkhu-bhikkhu Adhimanika)

Setelah lima ratus bhikkhu menerima obyek meditasi yang diberikan Sang Buddha, mereka pergi ke hutan. Di sana mereka melatih meditasi dengan bersemangat dan rajin sehingga mencapai ‘Penunggalan Kesadaran?(jhana). Setelah mencapai Jhana mereka berpikir bahwa mereka telah bebas dari hawa nafsu oleh karena itu mereka telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Padahal kenyataannya, mereka hanya menilai dirinya sendiri berlebihan. Mereka pergi menjumpai Sang Buddha dengan maksud untuk memberitahukan tentang pencapaian ke-arahat-an mereka.

Ketika mereka tiba di gerbang luar vihara, Sang Buddha berkata kepada Y.A. Ananda, "Bhikkhu-bhikkhu itu tidak akan mendapat banyak manfaat apabila menemui-Ku sekarang, biarkan mereka pergi ke kuburan sekarang, baru kemudian menemui-Ku sesudahnya."

Kemudian Ananda memberitahukan pesan Sang Buddha kepada para bhikkhu, dan mereka merenung, "Sang Buddha mengetahui segalanya, Beliau pasti mempunyai beberapa alasan agar kita pergi ke kuburan terlebih dahulu." Maka pergilah para bhikkhu tersebut ke kuburan.

Setelah tiba di kuburan, mereka melihat banyak mayat yang telah membusuk, kemudian mereka melihat dirinya sendiri bagaikan kerangka dan tulang belulang, dan ketika mereka melihat mayat-mayat yang baru, mereka menyadari bahwa mereka masih memiliki hawa nafsu.

Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau melihat dan muncul di hadapan para bhikkhu, kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu! Dengan melihat tulang belulang yang telah memutih, apakah pantas mempunyai hawa nafsu dalam dirimu?"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 149 berikut :

Bagaikan labu yang dibuang pada musim rontok, demikian pula halnya dengan tulang-tulang yang memutih ini. Kesenangan apakah yang didapat dari memandangnya?

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #121 on: 07 December 2008, 01:31:10 AM »
Syair 150 (XI:5. Kisah Rupananda Theri ,Janapadakalyani)

Janapadakalyani adalah puteri dari Gotami, ibu tiri Pangeran Siddhattha. Karena sangat cantik Puteri Janapadakalyani dikenal dengan nama Rupananda. Dia menikah dengan Nanda, saudara sepupu Pangeran Siddhattha. Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak dari kakak saya, suami saya, ibu saya, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!" Setelah merenung demikian dia pergi ke vihara untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhuni, bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang diri.

Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan, sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi karena begitu banyak orang memuji Sang Buddha, akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.

Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya."

Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik, berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek dibandingkan dengan anak gadis itu, yang seperti seekor angsa putih. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut bertambah tua berusia 20, terus menerus ia memperhatikan anak gadis yang berada di samping Sang Buddha itu bertambah tua dan menjadi sangat tua. Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya, tua, dan sangat tua.

Rupananda menyadari bahwa dengan timbulnya bayangan baru, bayangan lama lenyap, dan dia mulai menyadari proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan tubuh. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya bekurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha telah berubah menjadi wanita jompo, yang tidak dapat mengatur gerak tubuhnya lagi, terjatuh. Akhirnya bayangan wanita itu meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu.

Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini di hadapan mataku. Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak; akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia." Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya kenyataan kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khandha) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut :

Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati.

Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #122 on: 07 December 2008, 01:36:40 AM »
Syair 151 (XI:6. Kisah Ratu Mallika)

Suatu hari, Mallika pergi ke kamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangannya. Anjing peliharaannya juga masuk, ketika dia membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan senang. Raja melihat kejadian aneh lewat jendela kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, "Oh kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi? Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan mataku sendiri."

Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun. Kemudian dia melanjutkan, "Tetapi, ruangan itu sangat aneh. Jika seseorang masuk ke ruang itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak mempercayaiku, Raja, silakan masuk ke ruangan itu dan saya akan melihat lewat jendela ini."

Raja pergi ke kamar mandi. Ketika dia keluar, Mallika bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu. Raja menyangkal, tetapi ratu bersikeras bahwa dia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seperti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.

Sejak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina. Kelak, walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah diberikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya. Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di alam neraka (niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja bertanya kepada Sang Buddha, di mana dia dilahirkan kembali. Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma. Beliau mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharusnya pertanyaan itu ditanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.

Setelah tujuh hari di alam neraka (niraya), ratu dilahirkan kembali di surga Tusita. Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau berharap dapat beristirahat di bangsal kereta tempat kereta kerajaan disimpan. Setelah mempersembahkan dana makanan, raja bertanya kepada Sang Buddha, di mana Ratu Mallika dilahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab, "Mallika telah dilahirkan di surga Tusita." Mendengar hal ini raja sangat gembira dan berkata,"Dimana lagi dia dapat dilahirkan ? Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan dipersembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante, sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus dikerjakan."

Kepada raja Sang Buddha berkata, "Lihat pada kereta ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan. Hanya Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran kehancuran."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 151 berikut :

Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh ini akan menjadi tua. Tetapi ‘Ajaran?(Dhamma) orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #123 on: 07 December 2008, 01:38:58 AM »
Syair 152 (XI:7. Kisah Laludayi Thera)

Laludayi adalah seorang bhikkhu, yang bodoh dan sangat pelupa. Dia tidak bisa mengatakan sesuatu hal sesuai dengan situasi pada saat itu, walaupun dia telah berusaha mencobanya. Pada suatu kesempatan yang berbahagia dan menguntungkan, dia berbicara tentang kesedihan, dan pada kesempatan yang menyedihkan dia membicarakan kesenangan dan kebahagiaan. Di samping itu, dia tidak pernah menyadari bahwa dia telah mengatakan hal yang tidak sesuai dengan keadaan.

Ketika berbicara tentang hal ini, Sang Buddha berkata, "Seseorang seperti Laludayi, yang memiliki sedikit pengetahuan sama halnya seperti seekor lembu jantan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 152 berikut :

Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #124 on: 07 December 2008, 01:43:38 AM »
Syair 153-154 (XI:8. Kisah "Kata-kata Kebahagiaan Sang Buddha")

Dua syair ini, syair 153 dan 154 Kitab Suci Dhammapada, adalah ungkapan tulus dan mendalam dari kebahagiaan yang dirasakan Sang Buddha pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Syair-syair ini diulang di Vihara Jetavana atas permintaan dari Yang Ariya Ananda.

Pangeran Siddhattha, dari keluarga Gotama, anak dari Raja Suddhodana dan Ratu Maya dari kerajaan suku Sakya, meninggalkan keduniawian pada usia 29 tahun dan menjadi pertapa untuk mencari Kebenaran (Dhamma).

Selama 6 tahun beliau mengembara di lembah Gangga, menemui pemimpin-pemimpin agama yang terkenal, belajar ajaran dan metodenya. Beliau hidup dengan keras dan menyerahkan dirinya pada peraturan pertapaan yang keras. Tetapi ia merasa semua latihan itu tidak berguna.

Akhirnya, Beliau memutuskan untuk menemukan kebenaran dengan jalannya sendiri, dan menghindari dua jalan ekstrim dari pemuasan kenikmatan yang berlebihan dan penyiksaan diri sendiri. Beliau menemukan ‘Jalan Tengah? yang menuju kebebasan mutlak, Nibbana. Jalan tengah ini adalah jalan mulia berfaktor delapan, yaitu : Pengertian Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Matapencaharian Benar, Daya-upaya Benar, Kesadaran Benar, dan Konsentrasi Benar.

Pada suatu sore, duduk di bawah pohon bodhi, di tepi sungai Neranjara, Pertapa Siddhattha Gotama mencapai ‘Penerangan Sempurna?(Bodhi-nana atau Sabbannutanana) pada usia tiga puluh lima tahun. Pada saat malam jaga pertama, Siddhattha mencapai kemampuan batin pengetahuan kelahiran-Nya sendiri yang lampau (Pubbenivasanussati-nana). Pada saat malam jaga kedua, Beliau mencapai kemampuan batin pengetahuan penglihatan tembus (Dibbacakkhu-nana). Kemudian pada malam jaga ketiga, Beliau memahami hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) dalam hal kemunculan (Anuloma) demikian pula pengakhiran (Patiloma).

Menjelang fajar, Siddhattha Gotama dengan kemampuan akal-budinya, dan pandangannya yang terang mampu menembus pengetahuan ‘Empat Kebenaran Mulia? Empat Kebenaran Mulia adalah kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkha Ariya Sacca), kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan (Dukkha Samudaya Ariya Sacca), kebenaran mulia tentang akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Ariya Sacca), dan kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariya Sacca).

Terdapat juga dalam diri Beliau, dengan segala kemurniannya, pengetahuan tentang keberadaan ‘kebenaran mulia?(Sacca-nana), pengetahuan tentang perlakuan yang diharapkan terhadap ‘kebenaran mulia?itu (Kicca-nana) dan pengetahuan tentang telah dipenuhinya perlakuan yang diharapkan terhadap ‘kebenaran mulia?itu (Kata-nana), dengan demikian Beliau mencapai ‘Sabbannuta-nana?(Bodhi-nana) dari seorang Buddha. Sejak saat ini Beliau dikenal sebagai Buddha Gotama.

Dalam hal ini, perlu dicatat jika ‘Empat Kebenaran Mulia? dengan tiga aspek tersebut di atas (jadi keseluruhan ada 12 cara) telah benar-benar jelas bagi Beliau, barulah Sang Buddha mengumumkan kepada umat manusia, para dewa, dan para brahma, bahwa Beliau telah mencapai ‘Penerangan Sempurna? dan menjadi seorang ‘Buddha?

Pada saat pencapaian tingkat ke-Buddha-an, Beliau membabarkan syair 153 dan 154 berikut ini :

Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara(siklus kehidupan). Terus mencari, namun tidak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.

O, pembuat rumah, engkau telah Kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batin-Ku telah mencapai ‘Keadaan Tak Berkondisi (Nibbana)? Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #125 on: 04 February 2009, 12:42:22 AM »
Syair 155-156 (XI:9. Kisah Putra Mahadhana)

Putra Mahadhana tidak belajar ketika ia masih berusia muda, ketika menjelang dewasa dia menikah dengan putri orang kaya. Seperti dia keadaannya, istrinya juga tidak berpendidikan. Ketika orang tua kedua pihak meninggal dunia, mereka mewarisi 80 nilai mata uang dari masing-masing pihak dan menjadi sangat kaya. Tetapi mereka berdua bodoh, hanya tahu menghabiskan uang dan tidak tahu bagaimana menyimpannya atau melipat-gandakannya. Mereka hanya makan, minum dan bersenang-senang, menghabiskan uang mereka dengan sia-sia. Ketika mereka telah menghabiskan semua uangnya, mereka menjual ladang mereka dan kebun serta akhirnya rumah mereka. Kemudian mereka menjadi sangat miskin dan tidak berguna. Karena tidak tahu cara mencari nafkah, mereka harus mengemis.

Suatu hari, Sang Buddha melihat anak orang kaya ini bersandar di dinding vihara, mengambil sisa makanan yang diberikan oleh para samanera. Melihat itu Sang Buddha tersenyum.

Yang Ariya Ananda bertanya kepada Sang Buddha mengapa Beliau tersenyum.

Sang Buddha menjawab, "Ananda, lihat kepada putra orang kaya ini, dia hidup dengan tidak berguna dan mempunyai kehidupan yang tidak bertujuan. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap pertama kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya yang teratas, atau apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang arahat dan istrinya akan menjadi seorang anagami. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap kedua kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya tingkat kedua; apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang anagami dan istrinya menjadi seorang sakadagami. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap ketiga kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya tingkat ketiga; atau apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang sakadagami dan istrinya akan menjadi seorang sotapanna. Karena dia tidak berbuat apa-apa dalam tiga tahap kehidupannya dia kehilangan seluruh kekayaan duniawinya, dia juga kehilangan kesempatan mencapai ‘Jalan dan Hasil Kesucian?(Magga-Phala).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 155 dan 156 berikut :

Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya.

Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #126 on: 04 February 2009, 12:45:32 AM »
Bab XII-ATTA VAGGA

Syair 157 (XII:1. Kisah Bodhirajakumara)

Suatu ketika Pangeran Bodhi membangun sebuah istana yang sangat indah untuk tempat tinggalnya. Ketika istana tersebut selesai dibangun, ia mengundang Sang Buddha untuk berdana makanan.

Untuk acara istimewa ini, ia menghias bangunan dengan memberi pengharum ruangan empat macam wangi-wangian dan dupa. Juga, kain yang panjang dilembarkan di lantai untuk alas, mulai dari ambang pintu sampai ke dalam ruangan. Karena ia tidak mempunyai anak, Pangeran membuat harapan dan tebakan yang sungguh-sungguh, dengan berkata dalam hati, "Bila Sang Buddha berjalan di atas kain tersebut, semoga aku akan mempunyai anak!"

Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi dengan hormat memohon kepada Beliau sebanyak tiga kali untuk memasuki ruangan. Tetapi Sang Buddha tidak beranjak, hanya melihat pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada Pangeran Bodhi untuk memindahkan kain dari ambang pintu. Dan Sang Buddha pun masuk ke dalam istana.

Setibanya di dalam istana, pangeran mempersembahkan makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai makan, pangeran bertanya, "Bhante, mengapa Bhante tidak mau berjalan di atas kain alas?"

Sang Buddha bertanya balik kepada pangeran, "Bukankah pangeran membentangkan kain itu dengan harapan agar dikaruniai anak apabila Aku berjalan di atas kain itu ?"

Pangeran membenarkan pertanyaan itu. Kepadanya Sang Buddha mengatakan bahwa ia dan istrinya tidak akan memperoleh anak akibat perbuatan jahat yang mereka lakukan di masa yang lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah masa lalu mereka.

Pada salah satu kehidupan mereka yang lampau, Pangeran dan istrinya adalah satu-satunya orang yang selamat dari bencana kapal Mereka terdampar pada pulau yang tidak berpenduduk. Mereka hidup dengan memakan telur-telur burung, anak-anak burung, dan burung, tanpa perasaan menyesal sepanjang waktu. Untuk perbuatan jahat itu, mereka tidak dikaruniai anak. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatan mereka pada saat itu, mereka akan mempunyai seorang atau dua orang anak pada kehidupan sekarang.

Kembali kepada Pangeran, Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mencintai dirinya sendiri harus menjaga dirinya sendiri dalam seluruh tingkat kehidupan, atau sedikitnya dalam satu tahap kehidupannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 157 berikut :

Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.

Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #127 on: 04 February 2009, 01:00:13 AM »
Syair 158 (XII:2. Kisah Upananda Sakyaputta Thera)

Upananda adalah seorang pengkhotbah yang sangat pandai. Ia memberikan pelajaran kepada orang lain untuk tidak tamak, dan hanya memiliki sedikit keinginan. Iapun berbicara dengan fasih tentang manfaat kepuasan, kehematan, dan praktek hidup sederhana. Akan tetapi ia tidak pernah mempraktekkan apa yang diajarkannya kepada orang lain. Ia mengambil untuk dirinya sendiri seluruh jubah dan keperluan-keperluan lain yang diberikan oleh umat.

Suatu ketika Upananda pergi ke sebuah vihara desa sesaat sebelum tiba masa vassa. Beberapa bhikkhu muda terkesan oleh kepandaiannya memberi khotbah, dan meminta kepadanya untuk bervassa di vihara mereka. Ia menanyakan kepada mereka berapa jubah biasanya yang diterima setiap bhikkhu sebagai dana pada saat akhir masa vassa di vihara mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka biasanya menerima satu jubah untuk tiap bhikkhu. Maka ia tidak jadi menetap di vihara tersebut, tetapi ia meninggalkan sandalnya di vihara tersebut.

Pada vihara berikutnya, ia mengetahui bahwa para bhikkhu menerima dua jubah untuk masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa. Di sana ia meninggalkan tongkatnya. Pada vihara berikutnya, para bhikkhu menerima tiga jubah masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa, di sana ia meninggalkan botol airnya. Akhirnya, di vihara di mana masing-masing bhikkhu menerima empat jubah, ia memutuskan untuk tinggal selama masa vassa.

Pada akhir masa vassa, ia menuntut bagian jubahnya di vihara-vihara di mana ia meninggalkan barang-barang pribadinya. Kemudian ia mengumpulkan semua barang-barangnya dalam sebuah kereta dan kembali ke vihara lamanya. Dalam perjalanan ia bertemu dua bhikkhu muda yang sedang berdebat perihal pembagian dua buah jubah dan sebuah selimut dari beludru yang ada pada mereka. Karena mereka tidak memperoleh kesepakatan bersama, mereka bertanya kepada Upananda bagaimana pemecahan masalah itu. Upananda memberi mereka masing-masing sebuah jubah dan ia mengambil selimut beludru yang berharga sebagai penggantinya.

Dua bhikkhu muda tersebut merasa tidak puas dengan keputusan tersebut tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan perasaan tidak puas dan murung, mereka menemui Sang Buddha dan memberitahukan kejadian tersebut. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mengajar orang lain, seharusnya mengajar dirinya sendiri terlebih dahulu dan berkelakuan sebagaimana yang ia ajarkan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 158 berikut :

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.

Dua bhikkhu muda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #128 on: 04 February 2009, 01:02:17 AM »
Syair 159 (XII:3. Kisah Padhanikatissa Thera)

Padhanikatissa Thera, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, tinggal di hutan bersama 500 bhikkhu lainnya. Di sana, ia memberitahu pada bhikkhu agar menjaga perhatian dan tekun berlatih meditasi. Setelah memperingatkan bhikkhu yang lain, ia sendiri berbaring dan tidur. Bhikkhu-bhikkhu muda melatih meditasi seperti yang diberitahukan kepada mereka. Mereka berlatih meditasi selama saat jaga pertama. Ketika tiba saat tidur bagi mereka, Padhanikatissa bangun, dan memberitahu mereka agar kembali berlatih meditasi. Ketika mereka selesai berlatih meditasi saat jaga kedua dan ketiga, Padhanikatissa juga mengatakan hal yang sama kepada mereka.

Selama ia bertingkah laku dengan cara tersebut di atas, bhikkhu-bhikkhu muda tidak pernah merasa tenteram, dan mereka juga tidak dapat berkonsentrasi pada saat latihan meditasi atau bahkan dalam melafalkan bacaan.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk menyelidiki apakah guru mereka benar-benar rajin dan berjaga seperti yang dikemukakan oleh dirinya. Ketika mereka mengetahui bahwa guru mereka Padhanikatissa hanya pandai menasehati orang lain tetapi ia sendiri tidur sepanjang hari, mereka mengatakan, " Kita tertipu, guru kita hanya tahu bagaimana mengajari kita, tetapi ia sendiri hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan apapun."

Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan istirahat yang cukup, mereka capai dan letih. Alhasil tidak seorang bhikkhupun yang memperoleh kemajuan dalam latihan meditasinya.

Pada akhir masa vassa, mereka kembali ke Vihara Jetavana dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Seseorang yang akan mengajar orang lain seharusnya terlebih dahulu mengajar dirinya sendiri dan memperlakukan dirinya dengan tepat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 159 berikut :

Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri.

Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #129 on: 04 February 2009, 01:04:27 AM »
Syair 160 (XII:4. Kisah Ibu Dari Kumarakassapa)

Suatu ketika, seorang wanita muda yang telah menikah meminta izin kepada suaminya untuk menjadi seorang bhikkhuni. Karena ketidaktahuannya, ia bergabung dengan bhikkhuni-bhikkhuni yang menjadi pengikut Devadatta. Wanita ini sedang mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia tidak takut akan akibatnya.

Dengan berjalannya waktu, kehamilannya terlihat oleh bhikkhuni-bhikkhuni lain. Mengira ia telah melakukan perbuatan yang melanggar vinaya, mereka membawa permasalahan itu kepada guru mereka, Devadatta.

Devadatta menyuruh wanita itu kembali ke hidup berumah-tangga. Kemudian wanita muda ini mengatakan kepada bhikkhuni-bhikkhuni lainnya, "Saya tidak berniat menjadi bhikkhuni muridnya Devadatta, saya datang kemari merupakan suatu kesalahan. Tolong antarkan saya ke Vihara Jetavana, bawa saya menghadap Sang Buddha." Kemudian ia datang menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha mengetahui kalau ia telah mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, oleh karena itu ia tidak bersalah. Tetapi Sang Buddha tidak ingin mengatasi masalah tersebut sendiri. Sang Buddha mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindikha, orang kaya terkenal, dan Visakha, dermawan terkenal Vihara Pubbarama dan banyak orang lainnya. Kemudian Beliau menyuruh Upali untuk menjernihkan persoalan tersebut pada masyarakat.

Visakha membawa wanita muda tersebut ke belakang tirai. Ia memeriksa dan melaporkan kepada Upali Thera bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum menjadi bhikkhuni. Upali Thera kemudian mengumumkan kepada hadirin bahwa wanita tersebut tidak bersalah dan oleh karena itu ia tidak melanggar peraturan ke-bhikkhuni-an (sila).

Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni, wanita itu melahirkan seorang putra. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ia mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, kemudian ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sang Buddha. Setelah ia dewasa, ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.

Sebagai bhikkhu, ia mendapat pelajaran meditasi dari Sang Buddha dan pergi ke hutan. Di sana, ia melatih meditasi dengan tekun dan sungguh-sungguh dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian arahat. Walaupun demikian, ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari dua belas tahun.

Selama dua belas tahun itu pula, ibu dari Kumarakassapa tidak pernah bertemu dengan anaknya, padahal ia sangat rindu untuk menemuinya. Suatu hari, ketika melihat anaknya, ibu yang bhikkhuni itu tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan penuh emosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan memanggil-manggil nama anaknya.

Melihat ibunya, Kumarakassapa berpikir, jika ia berbicara dengan lembut kepada ibunya, ibunya masih akan memiliki kemelekatan kepadanya, dan masa depan ibunya akan tidak berkembang. Jadi demi masa depan ibunya, agar dapat memperoleh kebebasan (merealisasi nibbana) ia dengan sengaja berbicara keras kepada ibunya, "Bagaimana anda sebagai anggota Sangha yang menjalankan peraturan, tidak dapat memutuskan ikatan terhadap anaknya ?"

Ibunya berpikir bahwa anaknya sangat keras kepadanya, dan ia bertanya apa maksudnya ? Kumarakassapa mengulangi apa yang ia ucapkan sebelumnya.

Mendengar jawabannya, Ibu Kumarakassapa membalas, "Ya, dua belas tahun aku cucurkan air mata, untuk anakku. Dua belas tahun pula aku memendam rindu, ingin melihat senyum dan mendapat sapaan yang hangat dari darah dagingku. Namun, apa yang terjadi sekarang ? Bukannya sapaan yang halus dan senyum bahagia karena bertemu dengan ibunya, malahan jawaban ketus yang kuterima. Apa gunanya ikatanku kepadamu ?" Kerinduan kepada anaknya mendadak menghilang.

Kemudian, kemelekatan yang sia-sia terhadap anaknya mulai jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong kemelekatan kepada anaknya. Dengan memotong seluruh kemelekatan, Ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian arahat pada hari itu.

Suatu hari, pada saat pertemuan, beberapa bhikkhu berkata pada Sang Buddha, "Bhante, jika Ibu dari Kumarakassapa mengikuti Devadatta, ia dan putranya tidak akan menjadi arahat. Tentunya, Devadatta telah melakukan kesalahan besar terhadap mereka, tetapi Bhante telah menjadi tempat berlindung bagi mereka."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, dalam perjuangan untuk mencapai alam dewa, atau mencapai tingkat kesucian arahat, kalian tidak bisa tergantung pada orang lain, kalian harus berusaha keras sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 160 berikut :

Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya. Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #130 on: 04 February 2009, 01:06:15 AM »
Syair 161 (XII:5. Kisah Upasaka Mahakala)

Pada suatu hari uposatha, Mahakala pergi ke Vihara Jetavana. Hari itu ia melaksanakan delapan peraturan moral (atthasila) dan mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam. Pada malam itu juga beberapa pencuri menyusup masuk ke dalam sebuah rumah. Pemilik rumah terbangun dan mengejar para pencuri. Pencuri-pencuri itu berlarian ke segala arah. Beberapa pencuri berlari ke arah vihara. Mereka berlari mendekat vihara. Pada saat itu Mahakala sedang mencuci muka di tepi kolam dekat vihara. Pencuri-pencuri itu meninggalkan barang curiannya di depan Mahakala dan kemudian mereka berlari pergi. Ketika pemilik barang tiba di tempat itu, mereka melihat Mahakala dengan barang curian. Mengira bahwa Mahakala adalah salah seorang pencuri, mereka berteriak ke arahnya, mengancamnya dan memukulnya dengan keras. Mahakala meninggal dunia di tempat itu. Pada pagi harinya, ketika beberapa bhikkhu muda dan samanera-samanera dari vihara pergi ke kolam untuk mengambil air, mereka melihat mayat itu dan mengenalinya.

Sekembali mereka ke vihara, mereka melaporkan hal yang telah dilihatnya kepada Sang Buddha. "Bhante, seorang upasaka di vihara yang telah mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam ditemukan meninggal dunia secara tidak pantas." Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, jika kalian hanya mengetahui perbuatan baik yang telah ia lakukan pada kehidupan saat ini, tentunya ia tidak akan ditemukan meninggal dunia secara tidak layak. Tetapi kenyataannya, ia harus menerima akibat perbuatan jahat yang telah ia lakukan pada kehidupan lampaunya. Pada salah satu kehidupan lampaunya, ketika ia sebagai seorang anggota istana sebuah kerajaan, ia jatuh cinta pada istri orang lain dan memukul suami wanita tersebut sehingga suami itu meninggal dunia. Oleh karena perbuatan jahatnya, pasti akan membuat seseorang menderita, bahkan dapat mengakibatkan kelahiran kembali dalam salah satu dari empat alam penderitaan (apaya)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 161 berikut :

Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oleh diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan memecah permata yang keras.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #131 on: 04 February 2009, 01:08:43 AM »
Syair 162 (XII:6. Kisah Devadatta)

Suatu hari beberapa bhikkhu sedang bercakap-cakap di antara mereka sendiri, kemudian Sang Buddha tiba dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka menjawab bahwa mereka sedang berbicara tentang Devadatta dan kemudian mereka melanjutkan, "Bhante, Devadatta adalah sungguh seorang yang tidak mempunyai moralitas, ia juga sangat serakah. Ia berusaha memperoleh keterkenalan dan keberuntungan dengan mengambil kepercayaan Ajatasattu dengan cara tidak jujur. Ia juga berusaha meyakinkan Ajatasattu bahwa dengan membebaskan diri dari ayahnya, ia akan menjadi raja besar. Hasutan Devadatta dapat mempengaruhi Ajatasattu, sehingga Ajatasattu membunuh ayahnya, raja yang mulia, Bimbisara. Devadatta juga telah mencoba tiga kali untuk membunuh-Mu, Guru kami yang mulia. Devadatta adalah benar-benar sangat jahat dan tidak dapat diperbaiki."

Setelah mendengarkan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan pada mereka bahwa Devadatta telah mencoba membunuhnya tidak hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga pada kehidupan yang lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan cerita tentang pemburu rusa.

"Saat itu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi, Buddha yang sekarang ini hidup sebagai seekor rusa, dan Devadatta saat itu adalah seorang pemburu rusa. Suatu hari pemburu rusa melihat jejak kaki rusa di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mengambil sebatang bambu pada pohon tersebut dan menunggu dengan tombak yang diarahkan ke rusa. Rusa tersebut datang tetapi ia datang dengan hati-hati. Pemburu rusa melihatnya ragu-ragu, dan melempari beberapa buah-buahan untuk membujuknya. Tetapi hal itu membuat rusa waspada. Ia terlihat lebih hati-hati dan mengetahui ada pemburu rusa pada dahan pohon. Rusa itu pura-pura tidak melihat pemburu tersebut dan berbalik dengan lambat. Dari jarak tertentu, rusa berseru, "Oh pohon, kamu selalu menjatuhkan buah-buahmu secara vertikal, tetapi hari ini kamu telah menentang hukum alam dan telah menjatuhkan buah-buahmu secara miring. Sejak kamu menentang hukum alam dari pohon, saya akan meninggalkanmu untuk berpindah ke pohon lain."

Melihat rusa tersebut berbalik pergi, pemburu melempar tombaknya ke tanah dan berkata, "Ya, kamu sekarang dapat berpindah, untuk hari ini saya telah salah perhitungan." Rusa tersebut yang adalah calon Buddha menjawab, "O pemburu, kamu benar-benar salah perhitungan hari ini, tetapi perbuatan (kamma) burukmu tidak akan keliru, hal itu akan selalu mengikutimu.""Jadi, Devadatta tidak saja mencoba membunuhku sekarang tetapi juga di masa lalu, tetapi ia tidak pernah berhasil.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan, "Para bhikkhu ! Seperti tanaman menjalar mengelilingi pohon tempat ia berada, demikian juga ia yang tidak mempunyai moral, akan dikuasai oleh nafsu keinginan, akhirnya akan terlempar ke alam neraka (niraya)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 162 berikut :

Orang yang berkelakuan buruk adalah seperti tanaman menjalar maluva yang melilit pohon sala. Ia akan terjerumus sendiri, seperti apa yang diharapkan musuh terhadap dirinya.
 
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #132 on: 04 February 2009, 01:10:50 AM »
Syair 163 (XII:7. Kisah Perpecahan Sangha)

Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana, Devadatta datang kepadanya dan menyarankan bahwa Sang Buddha kini telah menjadi tua, seharusnya tugas-tugas kepemimpinan Sangha diserahkan kepada Devadatta. Tetapi Sang Buddha menolak permintaannya, menegurnya, dan menyebutnya "penjilat lidah" (khelasika). Sejak saat itu, Devadatta sangat membenci Sang Buddha. Ia bahkan berusaha membunuh Sang Buddha sebanyak tiga kali, tetapi selalu gagal. Kemudian Devadatta mencoba taktik lain. Kali ini ia datang ke hadapan Sang Buddha dan mengajukan lima peraturan untuk para bhikkhu untuk dilakukan sepanjang hidupnya.

Ia mengajukan :
1. Para bhikkhu harus tinggal di hutan.
2. Para bhikkhu harus hidup dengan makanan yang hanya diterima pada saat pindapatta.
3. Mereka harus mengenakan jubah yang hanya terbuat dari potongan kain yang diperoleh dari tumpukan sampah.
4. Mereka harus berdiam di bawah pohon dan
5. Mereka tidak boleh memakan ikan atau daging.

Sang Buddha tidak menolak terhadap peraturan tersebut dan tidak keberatan terhadap siapa yang sanggup melakukannya, tetapi dengan berbagai pertimbangan yang benar, Beliau tidak menetapkan peraturan itu untuk para bhikkhu secara keseluruhan.

Devadatta menuntut bahwa peraturan yang diajukannya lebih baik daripada peraturan yang telah ada, dan beberapa bhikkhu baru sepakat dengannya.

Suatu hari, Sang Buddha bertanya kepada Devadatta apakah benar bahwa ia berusaha membuat perpecahan dalam Sangha, dan ia mengakui bahwa hal itu benar. Sang Buddha memperingatkannya bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan buruk yang serius, tetapi Devadatta tidak mempedulikan peringatan itu. Setelah itu Devadatta bertemu dengan Ananda Thera pada saat berpindapatta di Rajagaha, Devadatta berkata kepada Ananda Thera, "Ananda mulai hari ini, saya akan melakukan kegiatan uposatha, dan menjalankan tugas-tugas Sangha secara terpisah, tidak tergantung kepada Sang Buddha dan pasamuan bhikkhu-bhikkhu." Sekembalinya dari pindapatta, Ananda Thera memberitahu Sang Buddha apa yang telah dikatakan oleh Devadatta.

Mendengar hal itu, Sang Buddha menjelaskan, "Devadatta melakukan kesalahan yang sangat serius, pebuatan itu akan menyebabkan ia terlahir ke alam neraka Avici. Bagi orang yang bersifat baik, sangatlah mudah melakukan perbuatan baik dan sulit berbuat jahat, tetapi orang yang jahat sangatlah mudah berbuat jahat dan sulit melakukan perbuatan baik. Memang, dalam hidup ini adalah mudah untuk melakukan suatu yang tidak bermanfaat, tetapi sulit untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 163 berikut :

Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.

Kemudian pada hari Uposatha, Devadatta diikuti oleh lima ratus bhikkhu-bhikkhu suku Vajji, memisahkan diri dari pasamuan Sangha, dan pergi ke Gayasisa. Akan tetapi ketika dua murid utama, Sariputta dan Maha Moggallana pergi menemui para bhikkhu pengikut Devadatta, dan berbicara kepada mereka. Mereka menyadari kesalahannya, sehingga banyak di antara mereka yang kembali bersama dua murid utama kepada Sang Buddha.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #133 on: 04 February 2009, 01:13:04 AM »
Syair 164 (XII:8. Kisah Kala Thera)

Di Savatthi ada seorang wanita tua yang melayani seorang Thera bernama Kala seperti putranya sendiri. Suatu hari, wanita tua ini mendengar dari tetangganya mengenai kebaikan hati Sang Buddha, ia sangat berharap untuk pergi ke Vihara Jetavana dan mendengarkan khotbah Sang Buddha. Lalu ia mengatakan kepada Kala Thera tentang harapannya tersebut, tetapi Kala Thera menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Tiga kali wanita tersebut mengatakan kepada Kala Thera mengenai keinginannya tersebut, tetapi Kala Thera selalu mencegahnya.

Pada suatu hari, dengan tidak mengindahkan larangannya, wanita itu memutuskan untuk pergi ke vihara. Setelah meminta putrinya untuk menyediakan kebutuhan Kala Thera, ia meninggalkan rumahnya. Ketika Kala Thera datang saat berkeliling pindapatta, ia mengetahui wanita tersebut telah pergi ke Vihara Jetavana. Kemudian ia berpikir, "Kemungkinan wanita di rumah ini telah hilang kepercayaannya kepada saya." Lalu dengan cepat dan tergesa-gesa ia menyusul wanita tersebut ke vihara. Di sana ia menemukan wanita itu sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Ia mendekati Sang Buddha dengan perasaan hormat dan berkata, "Bhante, wanita ini sangat bodoh, ia tidak akan mengerti Dhamma yang tinggi, tolong ajari ia hanya mengenai pemberian (dana) dan kesusilaan (sila)."

Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Kala Thera sedang membicarakan kegusarannya dan mempunyai maksud yang tersembunyi. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Kala Thera, "Bhikkhu! Karena kamu bodoh dan berpandangan salah, kamu merendahkan ajaran-Ku. Kamu membuat hancur dirimu sendiri, kenyataannya, kamu hanya mencoba untuk menghancurkan dirimu sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 164 berikut :

Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina ajaran orang mulia, orang suci dan orang bajik. Ia akan menerima akibatnya yang buruk, seperti rumput kastha yang berbuah hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Wanita tua itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #134 on: 04 February 2009, 01:14:57 AM »
Syair 165 (XII:9. Kisah Upasaka Culakala)

Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma. Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya. Pemilik barang melihat Culakala berada dekat barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan.

Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau berkata kepada Culakala, "Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri, tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 165 berikut :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang dapat mensucikan orang lain.

Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....