Aliran apa saja yang berada dalam naungan Mahayana ?
apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
kalau ajaran paling penting dalam mahayana itu apa?
Aliran apa saja yang berada dalam naungan Mahayana ?
Paling besar dan pertama kali adalah aliran tanah Suci. dari sini mengalami evolusi dan berkembang menjadi aliran aliran lain
kalau ajaran paling penting dalam mahayana itu apa?
Aliran apa saja yang berada dalam naungan Mahayana ?
Paling besar dan pertama kali adalah aliran tanah Suci. dari sini mengalami evolusi dan berkembang menjadi aliran aliran lain
trims om Purnama,
Jadi yg di Child Board Mahayana, hanya itu saja aliran Mahayana,
sepertinya kebanyakan lahir dari Tiongkok ya?
lalu adakah aliran Mahayana yg lahir dan berkembang di India?
apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Mau Tanya Kenapa di Mahayana mengunakan Upaya Kausaliya? dan Apa Manfaatnya?
Ada yang Bisa bantu saya?
_/\_
Thanks & Best Regards
Gunawan S S
mau tanya, alam sukhavati itu = dgn alamnya anagami?
sebab d sebutkan d sukhavati d ajarkan dhamma oleh buddha amitabha dan lsg mencapai nibanna.
CMIIW
mau tanya, alam sukhavati itu = dgn alamnya anagami?ada yang bilang itu alam brahmana
sebab d sebutkan d sukhavati d ajarkan dhamma oleh buddha amitabha dan lsg mencapai nibanna.
CMIIW
kalau ajaran paling penting dalam mahayana itu apa?
Semua Penting.
Tidak ada yang tidak penting
dalam Mahayana teori Dhamma haruslah diimbangi dengan Pratek Dhamma.
Barulah dia mengerti dhamma
apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
tdk ada yg lebih tinggi dan tdk ada yg lebih rendah , sama saja.
aliran sungai yg berbeda toh menuju samudra yg sama .
mau tanya, alam sukhavati itu = dgn alamnya anagami?ada yang bilang itu alam brahmana
sebab d sebutkan d sukhavati d ajarkan dhamma oleh buddha amitabha dan lsg mencapai nibanna.
CMIIW
sebenarnya menurut saya, itu alam saha seperti bumi ato dunia yg kita tempati
cuma bedanya alam sukhavati itu ada diplanet lain disebelah barat...
disono kita belajar dharma, dan umur manusia nya tidak tak terbatas
klu tidak tak terbatas, berhubung umurnyaaaaaaaa panjaanngggggg....
trus belajar dharma terus tiap hari, kenapa tidak bisa mencapai nibbana? ^-^
CMIIW,
navis
pembahasan
Banyak menyangka bahwa kitab suci pertama Buddhis itu adalah bahasa pali sebenarnya kitab suci pertama Agama Budhha itu sansekerta. Mahayana diperkenankan setiap orang telah mencapai arahat untuk mengembangkan Dhamma sesuai dengan keadaan kondisi, waktu, dan tempat.
Kekurangan Mahayana di Indonesia adalah penerjemah sastra mandarin, Ahli bahasa sansekerta dan juga staff ahli pengajar yang tepat, karena pembahasan Dhamma dalam mahayana jauh lebih complek dari pada diperkirakan orang.
Sebagian Sutra Mahayana berkembang di Negeri Tiongkok kemudian menyebar sesuai kondisi, tempat dan waktu sehingga mengalami evolusi Dogma. Maka itulah kenapa Mahayana lebih komplek.
kalau ajaran paling penting dalam mahayana itu apa?Semua Penting.
Tidak ada yang tidak penting
dalam Mahayana teori Dhamma haruslah diimbangi dengan Pratek Dhamma.
Barulah dia mengerti dhamma
semuanya penting? benar? tanpa terkecuali?apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
tdk ada yg lebih tinggi dan tdk ada yg lebih rendah , sama saja.
aliran sungai yg berbeda toh menuju samudra yg sama .
ada aliran sungai yg pendek dan panjang kan, yg belok, yg lurus saja, dll
Yang jadi pertanyaan saya ke Bro Pur adalah Apakah ada Sejarah Resmi yang mengatakan bahwa Kitab Suci pertama tertulis Bhs Sansekerta? dan Apakah anda sudah Mengecek Pada Tahun Berapa 3 Rahib China (Fa Xien,Xuan Tzuang,It-Ching) yang mencari Kitab Ke Barat krn Mrk lah yang membantu menyebarkan Agama Buddha di Negeri Tiongkok dan perlu di ketahui bahwa pd waktu itu di negeri tiongkok ada banyak Kaisar yang menentang Agama Buddha shg Para Kaisarnya memerintahkan untuk membakar habis Kitab-kitab agama Buddha di Tiongkok pd waktu itu? [/qoute]
U bener Bro. Aku baca dari Eksklopedia Buddhis dari teman punya, melihat dari sejarah kita lihat Kapilavastu itu adanya di nepal bro, wajarlah Bahasa sansekerta digunakan. Dalam sejarah Tiongkok emang benar ada beberapa kaisar dari negeri tiongkok tolak mentah - mentah Dharma.
Buddhim itu berkembang pesan pada saat dinasti tang.
Seblumnya udah ada tapi banyak yang kagak suka
contoh Tat mo kot su Setengah mati ngajarin dharma ke kaisar pada jaman enam dinasti, malah milih Shaolin se.
banyak hal yang saya bisa aja beri tahu.
menurut i, semua obat dan racun sudah disediakan...
silahkan bedakan sendiri :P (nah loh...)
Mau Tanya Kenapa di Mahayana mengunakan Upaya Kausaliya? dan Apa Manfaatnya?
Ada yang Bisa bantu saya?
_/\_
Thanks & Best Regards
Gunawan S S
Hanya Bodhisattva tingkat atas yang mampu melakukan upaya kausalya yang melanggar sila, dan tentu upaya kausalya ini sekalipun melanggar sila, ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk.
Apabila ada seorang Bodhisattva melakukan upaya kausalya yang melanggar sila, maka ini bukanlah sebagai teladan, namun sebagai teguran pada kita.
aku mo tambahkan juga, Buddha atau arahat atau orang suci siapa (yang mana) yang melanggar sila? coba sebutkan bro!
kutipan :
kutipan dari topik Puisi-puisi Master Chan Xuyun :
Menyelami Chan! Abaikan takhayul yang tak masuk akal itu
Hal itu membuat beberapa orang mengaku bahwa mereka mencapai Chan.
Keyakinan bodoh dari mereka yang belum terbangunkan.
Dan mereka adalah yang membutuhkan pendalaman Chan!
semoga kutipan ada relevansinya
good hope and love
coedabgf
QuoteYang jadi pertanyaan saya ke Bro Pur adalah Apakah ada Sejarah Resmi yang mengatakan bahwa Kitab Suci pertama tertulis Bhs Sansekerta? dan Apakah anda sudah Mengecek Pada Tahun Berapa 3 Rahib China (Fa Xien,Xuan Tzuang,It-Ching) yang mencari Kitab Ke Barat krn Mrk lah yang membantu menyebarkan Agama Buddha di Negeri Tiongkok dan perlu di ketahui bahwa pd waktu itu di negeri tiongkok ada banyak Kaisar yang menentang Agama Buddha shg Para Kaisarnya memerintahkan untuk membakar habis Kitab-kitab agama Buddha di Tiongkok pd waktu itu? [/qoute]
U bener Bro. Aku baca dari Eksklopedia Buddhis dari teman punya, melihat dari sejarah kita lihat Kapilavastu itu adanya di nepal bro, wajarlah Bahasa sansekerta digunakan. Dalam sejarah Tiongkok emang benar ada beberapa kaisar dari negeri tiongkok tolak mentah - mentah Dharma.
Buddhim itu berkembang pesan pada saat dinasti tang.
Seblumnya udah ada tapi banyak yang kagak suka
contoh Tat mo kot su Setengah mati ngajarin dharma ke kaisar pada jaman enam dinasti, malah milih Shaolin se.
banyak hal yang saya bisa aja beri tahu.
[at] Bro Pur = Pada awal tahun 1 Masehi di China ada 2 Filsafat Moteso dan Lokaraksa yang mengembangkan Agama Buddha di china baru kemudian di bantu perkembangannya oleh 3 Rahib China tsb (Fa Xien,It Ching dan Xuan Tjuang). ada Info Lagi Bro Pur Bhw Raja Asoka mengirim Dhamma Dutanya ke Seluruh pelosok termasuk China pada tahun 250SM, tetapi apakah telah terbentuk Kitab Suci dalam bhs Sansekerta pd waktu itu? Tetapi menurut info yang saya dapat bahwa Kitab Suci Agama Buddha di China berkembang dari 3 Rahib tersebut.
No Offense .... :)
_/\_
Gunawan S S
Mau Tanya Kenapa di Mahayana mengunakan Upaya Kausaliya? dan Apa Manfaatnya?
Ada yang Bisa bantu saya?
_/\_
Thanks & Best Regards
Gunawan S S
Hanya Bodhisattva tingkat atas yang mampu melakukan upaya kausalya yang melanggar sila, dan tentu upaya kausalya ini sekalipun melanggar sila, ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk.
Apabila ada seorang Bodhisattva melakukan upaya kausalya yang melanggar sila, maka ini bukanlah sebagai teladan, namun sebagai teguran pada kita.
[at] Bro Naviscope = Anumodana atas Penjelasannya...... :) Jadi maksud anda Walaupun Melanggar sila asal untuk Kesejahteraan dan Kebahagiaan semua Makhluk , semua itu adalah Benar? Maaf ya Bro,Apakah Sang Buddha pernah Mengatakan seperti ini? apakah ada Sutranya?.. Thanks ya Bro.....Semoga kita bisa saling Asah,Asih dan Asuh.
No Offense..... :)
_/\_
Thanks & Best Regards
Gunawan S S
mau tanya, alam sukhavati itu = dgn alamnya anagami?ada yang bilang itu alam brahmana
sebab d sebutkan d sukhavati d ajarkan dhamma oleh buddha amitabha dan lsg mencapai nibanna.
CMIIW
sebenarnya menurut saya, itu alam saha seperti bumi ato dunia yg kita tempati
cuma bedanya alam sukhavati itu ada diplanet lain disebelah barat...
disono kita belajar dharma, dan umur manusia nya tidak tak terbatas
klu tidak tak terbatas, berhubung umurnyaaaaaaaa panjaanngggggg....
trus belajar dharma terus tiap hari, kenapa tidak bisa mencapai nibbana? ^-^
CMIIW,
navis
rumput tetangga memang lebih hijau ;D
aku mo tambahkan juga, Buddha atau arahat atau orang suci siapa (yang mana) yang melanggar sila? coba sebutkan bro!
kutipan :
kutipan dari topik Puisi-puisi Master Chan Xuyun :
Menyelami Chan! Abaikan takhayul yang tak masuk akal itu
Hal itu membuat beberapa orang mengaku bahwa mereka mencapai Chan.
Keyakinan bodoh dari mereka yang belum terbangunkan.
Dan mereka adalah yang membutuhkan pendalaman Chan!
semoga kutipan ada relevansinya
good hope and love
coedabgf
bearti memang chan kan wakkaaaa
mo nanya emanasi itu apa ya?bahasa awam-nya penjelma-an
Oh Begitu Toh Bro.... Anumodana yach... Bagaimana dengan Istilah Buddha Amitabha? Avalokitesvara? Konsep Trikaya? Boleh minta di jelaskan sekalian Bro? hehehe... ;D
_/\_
Thanks & Best Regards
Gunawan S S
aku mo tambahkan juga, Buddha atau arahat atau orang suci siapa (yang mana) yang melanggar sila? coba sebutkan bro!
kutipan :
kutipan dari topik Puisi-puisi Master Chan Xuyun :
Menyelami Chan! Abaikan takhayul yang tak masuk akal itu
Hal itu membuat beberapa orang mengaku bahwa mereka mencapai Chan.
Keyakinan bodoh dari mereka yang belum terbangunkan.
Dan mereka adalah yang membutuhkan pendalaman Chan!
semoga kutipan ada relevansinya
good hope and love
coedabgf
bearti memang chan kan wakkaaaa
Jigong Chanshi [emanasi seorang Arhat] yang suka mabuk-mabukan dan makan daging
Apakah Sutra-sutra di Mahayana kebanyakan berisikan percapakan antara Sang Buddha dengan YM.Sariputta Thera? dan YM Sariputta Thera sebagai apa? atau di sebut apa ?
Jigong Chanshi [emanasi seorang Arhat] yang suka mabuk-mabukan dan makan daging
omong - omong g juga suka sama cerita berita beliau pembabaran beliau lebih dharma membumi
mau tanya, alam sukhavati itu = dgn alamnya anagami?
sebab d sebutkan d sukhavati d ajarkan dhamma oleh buddha amitabha dan lsg mencapai nibanna.
CMIIW
sepertinya kebanyakan lahir dari Tiongkok ya?
lalu adakah aliran Mahayana yg lahir dan berkembang di India?
nech saya kasi contoh lagi ya
Kuan Kong merupakan salah satu orang bijak yang harus diteladani, karena kesetiaan pada negara, pemberani.
Kuan Kong tidak akan membunuh orang ataupun merencanakan pembunuhan pada tentara musuh klo tidak ada sebabnya. jika Kuan Koang tidak berperang maka akan lebih BERSALAH lagi melihat penderitaan pada rakyat banyak.
sedangkan Jigong Chansi, mengunakan upaya-kausalya untuk menyadarkan orang-orang yang berasal dari berbagai tingkatan pemahaman.
"According to Mahayana Buddhism one of the attributes of a Bodhisattva is to use skill-in-means or upaya-kausalya. This refers to the ability to present Buddhist teachings in such a way as to be be understood by audiences with different levels of comprehension."
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana)
apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
apa tidak ada yg akan salah menagkap maksud Jigong Chansi nanti?
atau mungkin nanti seperti menjadi alasan bhante mata duitan yg beroperasi di pasar, yg ngaku2 berpanutan pada Jigong Chansi
Quoteapa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Semuanya bertahap jalannya. Dari Hinayana terus Mahayana terus Vajrayana.
Apakah bertahap ini merupakan tinggi-tinggian atau tidak, silahkan renungkan sendiri.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quoteapa tidak ada yg akan salah menagkap maksud Jigong Chansi nanti?
atau mungkin nanti seperti menjadi alasan bhante mata duitan yg beroperasi di pasar, yg ngaku2 berpanutan pada Jigong Chansi
Maka dari itu Jigong Chanshi sendiri pernah mengatakan bahwa seseorang seharusnya mengkritik perbuatannya, bukan malah menirunya mabuk-mabukan plus makan daging.
Demikianlah yang kudengar dari Bhiksu Hai Tao Fashi.
_/\_
The Siddha Wanderer
kalau jalan bergitu dekat , kenapa mesti memilih jalan yg bergitu jauh
dan saya pernah bertanya.. kepada orang yg lebih tua. katanya, ajaran dari T ke M ke Tantra memang dari Tiongkok yah
seorang yg tidak dapat ditiru, apa bisa menjadi panutan?
Quotekalau jalan bergitu dekat , kenapa mesti memilih jalan yg bergitu jauh
dan saya pernah bertanya.. kepada orang yg lebih tua. katanya, ajaran dari T ke M ke Tantra memang dari Tiongkok yah
Di India udah ada ajaran dari T ke M terus ke Tantra.....
Ya kebanyakan orang yang lebih tua taunya ya dari tradisi Mahayana Tiongkok... makanya bilang begitu...
Mengenai jalan... gini deh... apa bisa anda langsung loncat jadi siswa SMA padahal anda belum menjadi siswa TK, SD atau SMP?
_/\_
The Siddha Wanderer
Quoteseorang yg tidak dapat ditiru, apa bisa menjadi panutan?
Kebajikannya yang perlu kita jadikan panutan.
Mabuk2annya ya jangan lah.....
Misalnya anda punya ortu yang suka marah tapi gemar berdana dan tulus dalam memberi....
Apakah tidak boleh anda menjadikan ortu anda sebagai panutan berderma??
_/\_
The Siddha Wanderer
apa seorang osama bin laden bisa diambil baiknya saja? dalam pikiran umat nya sendiri saja banyak bertentangan.
bagaimana dengan musuhya.. apa bisa memberikan contoh yg baik?
Masalahnya Hinayana, Mahayana, Vajrayana itu TK, SD, SMP...... bukan sama2 TK, demikian menurut pandangan Mahayana / Vajrayana.
Kalau anda umat T memandang semua TK ya sah2 dan maklum2 saja.... tapi pandangan Mahayana / Vajrayana ya beda lagi....
_/\_
The Siddha Wanderer
Quoteapa seorang osama bin laden bisa diambil baiknya saja? dalam pikiran umat nya sendiri saja banyak bertentangan.
bagaimana dengan musuhya.. apa bisa memberikan contoh yg baik?
Yah anda pikir apakah kekeliruan Jigong Chanshi itu separah Osama Bin Laden?
Bodhisattva kok dibandingin sama teroris.
Makanya saya pake contoh ortu kita yang bagai seorang Bodhisattva bagi kita!
_/\_
The Siddha Wanderer
ini pendapat pribadi atau ada referensinya?
bagaimana dengan orang tua lain?
yang menjual anaknya.. memperkosa.. apa bisa dijadikan panutan untuk anaknya?
Quoteini pendapat pribadi atau ada referensinya?
Referensi ya buanyak... silahkan baca sendiri sutra2 Mahayana plus kalau mau belajar lamrim sekalian... buku Pembebasan Di Tangan Kita saya saranin.... Bahkan di Tiongkok modern ini, pembelajaran Lamrim Chenmo - Putidaocidiguanglun [菩提道次第廣論] cukup populer di kalangan mahasiswa di sana.....
_/\_
The Siddha Wanderer
Quotebagaimana dengan orang tua lain?
yang menjual anaknya.. memperkosa.. apa bisa dijadikan panutan untuk anaknya?
Tampaknya anda tidak memahami arah diskusi.
Saya ya tentu tidak membandingkan dengan ortu semacam itu.
Kalau semuanya pakai pola pikir kaya yang anda sebutin itu... ya kagak bakalan ada lagu "Ma Ma Hao" lah dan juga kagak bakalan ada kalimat "Kasih Ibu Sepanjang Masa".....
Toh katanya anda masih ada juga ibu yang kejam....hehe.....
_/\_
The Siddha Wanderer
^Quotenech saya kasi contoh lagi ya
Kuan Kong merupakan salah satu orang bijak yang harus diteladani, karena kesetiaan pada negara, pemberani.
Kuan Kong tidak akan membunuh orang ataupun merencanakan pembunuhan pada tentara musuh klo tidak ada sebabnya. jika Kuan Koang tidak berperang maka akan lebih BERSALAH lagi melihat penderitaan pada rakyat banyak.
bagaimana dengan lawannya, bukankah mempunyai tujuan yg sama?
Quotesedangkan Jigong Chansi, mengunakan upaya-kausalya untuk menyadarkan orang-orang yang berasal dari berbagai tingkatan pemahaman.
"According to Mahayana Buddhism one of the attributes of a Bodhisattva is to use skill-in-means or upaya-kausalya. This refers to the ability to present Buddhist teachings in such a way as to be be understood by audiences with different levels of comprehension."
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana)
apa tidak ada yg akan salah menagkap maksud Jigong Chansi nanti?
atau mungkin nanti seperti menjadi alasan bhante mata duitan yg beroperasi di pasar, yg ngaku2 berpanutan pada Jigong Chansi
pengalaman pembebasan dari usaha-usaha pengalaman jasmani (ekstrim kanan maupun kiri), contoh ektrimnya adalah sadhana sex
^
^
^
xixixi....
calm down bro, calm down....
emang umat2 sekarang, hebat2 loh. sangkin hebatnya.... Tongue
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
kenapa tidak
rasa ingin tahu pangkal ehipassiko
kalau curiga kan agak2 negatif geto
rasa ingin tahu kan netral.... ;D
CMIIW,
navis
^Quotenech saya kasi contoh lagi ya
Kuan Kong merupakan salah satu orang bijak yang harus diteladani, karena kesetiaan pada negara, pemberani.
Kuan Kong tidak akan membunuh orang ataupun merencanakan pembunuhan pada tentara musuh klo tidak ada sebabnya. jika Kuan Koang tidak berperang maka akan lebih BERSALAH lagi melihat penderitaan pada rakyat banyak.
bagaimana dengan lawannya, bukankah mempunyai tujuan yg sama?
^
jika anda sudah membaca buku tiga kerajaan/ sam kok
ato minimal nonton film tiga kerajaan
anda akan melihat mana yang benar-benar berjuang demi rakyat, mana yang haus akan kekuasaanQuotesedangkan Jigong Chansi, mengunakan upaya-kausalya untuk menyadarkan orang-orang yang berasal dari berbagai tingkatan pemahaman.
"According to Mahayana Buddhism one of the attributes of a Bodhisattva is to use skill-in-means or upaya-kausalya. This refers to the ability to present Buddhist teachings in such a way as to be be understood by audiences with different levels of comprehension."
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana)
apa tidak ada yg akan salah menagkap maksud Jigong Chansi nanti?
atau mungkin nanti seperti menjadi alasan bhante mata duitan yg beroperasi di pasar, yg ngaku2 berpanutan pada Jigong Chansi
kenapa bhante itu tidak beralasan sedang menjalankan Pindapata? lebih masuk akal kan....... ;D CMIIW
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
Hehe..... termasuk kita2 ini kan belum mencapai Nibbana nih.......
Seeppp 2x...
_/\_
The Siddha Wanderer
^Quotenech saya kasi contoh lagi ya
Kuan Kong merupakan salah satu orang bijak yang harus diteladani, karena kesetiaan pada negara, pemberani.
Kuan Kong tidak akan membunuh orang ataupun merencanakan pembunuhan pada tentara musuh klo tidak ada sebabnya. jika Kuan Koang tidak berperang maka akan lebih BERSALAH lagi melihat penderitaan pada rakyat banyak.
bagaimana dengan lawannya, bukankah mempunyai tujuan yg sama?
^
jika anda sudah membaca buku tiga kerajaan/ sam kok
ato minimal nonton film tiga kerajaan
anda akan melihat mana yang benar-benar berjuang demi rakyat, mana yang haus akan kekuasaanQuotesedangkan Jigong Chansi, mengunakan upaya-kausalya untuk menyadarkan orang-orang yang berasal dari berbagai tingkatan pemahaman.
"According to Mahayana Buddhism one of the attributes of a Bodhisattva is to use skill-in-means or upaya-kausalya. This refers to the ability to present Buddhist teachings in such a way as to be be understood by audiences with different levels of comprehension."
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana)
apa tidak ada yg akan salah menagkap maksud Jigong Chansi nanti?
atau mungkin nanti seperti menjadi alasan bhante mata duitan yg beroperasi di pasar, yg ngaku2 berpanutan pada Jigong Chansi
kenapa bhante itu tidak beralasan sedang menjalankan Pindapata? lebih masuk akal kan....... ;D CMIIW
tadi saya serius, melihat anda suka bercanda tentang film samkok , saya ikutan yah
sungguh mulia cita2 kuan koang ^O^
membunuh bergitu banyak dengan alasan yg mulia. memang patut dicontoh
apa ada istilah jihad diajaran sang Buddha, saya ingin ikut juga. bisa kasih sutta jihad disini. karena saya juga merasah
ditindas nih.
sesuai cerita diatas
banteng nya mengaku2 berpanutan pada Jigong Chansi sebagai idola. emang kenapa? gak boleh?
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
Hehe..... termasuk kita2 ini kan belum mencapai Nibbana nih.......
Seeppp 2x...
_/\_
The Siddha Wanderer
banyak bacot dari tadi, baru sadar? ^-^
Masalahnya Hinayana, Mahayana, Vajrayana itu TK, SD, SMP...... bukan sama2 TK, demikian menurut pandangan Mahayana / Vajrayana.
Kalau anda umat T memandang semua TK ya sah2 dan maklum2 saja.... tapi pandangan Mahayana / Vajrayana ya beda lagi....
_/\_
The Siddha Wanderer
seperti contoh tentang moralitas karena pada dasarnya manusia ditaruh timbangan kebenaran yaitu hati nurani sehingga paling gak dapat membedakan yang mana yang baik yang mana tidak layak, gak tahu dah klo sudah tumpul, gelap alias sesat.
anak 12 tahun, lalu perawan 9 tahun, atau orgy atau swinger, free sex dengan alasan dibenarkan keyakinan, penghakiman membabi-buta bahkan membunuh tanpa kesesuaian/pembuktian jalur hukum bukan karena kejahatan nyata tetapi karena berbeda pemahaman keyakinan. Apa jadinya manusia dengan keyakinannya dan dunia ini semakin lama klo begitu? :'(
Masalahnya Hinayana, Mahayana, Vajrayana itu TK, SD, SMP...... bukan sama2 TK, demikian menurut pandangan Mahayana / Vajrayana.
Kalau anda umat T memandang semua TK ya sah2 dan maklum2 saja.... tapi pandangan Mahayana / Vajrayana ya beda lagi....
_/\_
The Siddha Wanderer
menurut statistik saya, jumlah encek2 yg gak lulus SD dan berhasil sukses (baca: kaya) lebih banyak daripada sarjana yang nganggur (baca: miskin)
^
^
ngak lah bro....
jangan gitu donk
masak sech, kayaknya ngak dech....
IMHO, kainyn_kutho itu kan lumayan loh, dalam jajaran MOD cukup diperhitungkan loh.
menurut statistik saya, jumlah encek2 yg gak lulus SD dan berhasil sukses (baca: kaya) lebih banyak daripada sarjana yang nganggur (baca: miskin)
OOT ah....
ney encek2 generasi kapan ya,, SD nya mantep amat... :))
ternyata SD jaman doeloe, hoebat2 =))
menurut statistik saya, jumlah encek2 yg gak lulus SD dan berhasil sukses (baca: kaya) lebih banyak daripada sarjana yang nganggur (baca: miskin)
Quoteapa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Semuanya bertahap jalannya. Dari Hinayana terus Mahayana terus Vajrayana.
Apakah bertahap ini merupakan tinggi-tinggian atau tidak, silahkan renungkan sendiri.
_/\_
The Siddha Wanderer
Maklum lah si gendalf masih anak kecil. Belum dewasa
Setuju sama Bro Indra. Terang aja encek enceknya langsung pratek, lebih tahan banting, daripada sarjana sok pintar tapi Ngak bisa apa - apa pas lansung prateknya.
Alias tong kosong nyaring bunyinya
mau nanya yah..
bagaimana pandangan pure land (tanah suci) jika dibandingkan dengan re-birth?
apa keberadaan pure land itu sendiri merupakan nirvana atau apa ya..
maaf, saya bener2 nggak ngerti
mau nanya yah..
bagaimana pandangan pure land (tanah suci) jika dibandingkan dengan re-birth?
apa keberadaan pure land itu sendiri merupakan nirvana atau apa ya..
maaf, saya bener2 nggak ngerti
Pure Land itu bukan nirvana. Sesuai dengan penjelasan saya sebelumnya, Sukhavati itu sama seperti dunia Saha kita ini, tapi dengan kondisi yang berbeda.Perbedaannya ialah kondisi dunia Sukhavati yg terbebas dari berbagai macam delusi, dan memiliki Buddha yaitu Amita Buddha yg masih mengajarkan Dhamma.Dengan berbabagai kondisi yang "pas" tersebut, Sukhavati menjadi lokasi yg paling cocok untuk kita melatih diri dan memperoleh pencerahan di sana.
Sukhavati sendiri tidak abadi, karena suatu saat pun akan hancur dan berputar kembali sesuai dengan hukum anicca, tetapi Sukhavati dikatakan dalam Sutra bahwa memiliki lifespan yg sangat panjang, sehingga dikatakan umurnya hampir tak terhingga.
coba jelaskan secara 4 kesunyataan mulia sesuai aja deh dengan kitab mahayana...kita tidaklah perlu membahas boddhisatva ada berapa tingkatan....
kan sammasambuddha lahir terus..
jadi masih menderita lah...
Wah..4 kebenaran mulia, bahkan dalam Dasabhumika Sutra yg membahas tingkatan bodhisatva juga menjabarkan 4 kebenaran mulia dan pattica sammpuda dgn masing2 tingkatan dgn tingkat pemahaman yg berbeda2. Cukup menarik, bahkan tidak mudah dipahami oleh orang awam seperti saya. Tapi saya percaya Isi kitab ini tidak se'naif" yg bro bayangkan, karena mereka bisa membahas panjang lebar ttg 4 kebenaran mulia yg dikaitkan dgn jalan bodhisatva. Entah mereka sekedar ngarang2 sambil makan kacang, ah...ga mungkin deh...
Oya sammasambbudha telah mencapai kondisi tidak lahir dan tidak lenyap, bebas dari dualitas. Di Mahayana tulisan seperti ini buaanyaakknya minta ampun. Apa ga cukup ? Jangan terpaku pada Buddha lahir lagi di lokasi x. dll, itu kan sudah dikatakan bahwa ini bukan jenis kelahiran yg mengikuti siklus 21 musabab saling bergantungan. Buddha yg transeden memiliki abhinna yg tidak kita pahami, jadi bukan Buddha melanggar ucapannya sendiri.
masalah paham nihilis......itu jikalau kita beranggapan bahwa sesudah kita meninggal, maka tidak ada sama sekali lagi apa-apa...tamat sudah.
tentu hal ini dianggap nihilisme dikarenakan masih ada sebab...tetapi tidak ada akibat.
nah..bro bisa membedakan kondisi nihilis/lenyap antara orang awam yg beranggapan salah dengan seorang Buddha yg mencapai anutpadisesa nibbana.
Seharusnya juga bisa membedakan antara kondisi Buddha yg bisa bermanifestasi lagi di tempat lain dengan orang awam yg dilahirkan kembali.
kita kembali ke hukum sebab akibat..
mau nanya yah..
bagaimana pandangan pure land (tanah suci) jika dibandingkan dengan re-birth?
apa keberadaan pure land itu sendiri merupakan nirvana atau apa ya..
maaf, saya bener2 nggak ngerti
menurut statistik saya, jumlah encek2 yg gak lulus SD dan berhasil sukses (baca: kaya) lebih banyak daripada sarjana yang nganggur (baca: miskin)
memang begitulah pelajaran tingkat tinggi... banyak XXXXXXX -nya....variabel nya rumit...Quoteapa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Semuanya bertahap jalannya. Dari Hinayana terus Mahayana terus Vajrayana.
Apakah bertahap ini merupakan tinggi-tinggian atau tidak, silahkan renungkan sendiri.
_/\_
The Siddha Wanderer
kalau dari klaim konsep MAHAYANA, bahwa Hinayana berakhir pada jalan SAVAKA/SRAVAKA yang di MAHAYANA hanya identik dengan Bodhisatva tkt-7, dan masih bisa mengambil jalan MAHAYANA untuk mencapai bodhisatva tkt-10 (setara dengan samyaksambuddha/sammasambuddha), masih ada LOGIKA PEMBENARAN-NYA...
Tetapi apakah yang melandaskan pandangan bahwa Tahapan selanjutnya dari MAHAYANA adalah VAJRAYANA/TANTRA ? Apakah karena konsep VAJRAYANA yang "mengusahakan" tercapai-nya penerangan sempurna (annutara samyaksambuddha) hanya dalam 1 kehidupan saja ?
JIKA BEGITU... Malah yang ingin saya tanyakan... apakah dari sekian banyak praktisi VAJRAYANA/TANTRA, ada yang "di-ketahui" sudah mencapai penerangan sempurna annutara samyaksambuddha ? (SOALNYA KALAU ALIRAN VAJRAYANA/TANTRA, KOK YANG KEDENGARAN ADALAH EMANASI EMANASI TERUS MENERUS, malah NAMA SAMPAI pakai angka ROMAWI... ada yang sampai XVI ? ? ? )
memang beda antara datang dan melihat..........dengan datang dan percayamau nanya yah..
bagaimana pandangan pure land (tanah suci) jika dibandingkan dengan re-birth?
apa keberadaan pure land itu sendiri merupakan nirvana atau apa ya..
maaf, saya bener2 nggak ngerti
sis yuliany, saya kasih ilustrasi (anggap saja seperti cerita fiksi, bisa juga loh buat inspirasi).
Alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia.
Klo alam sukhavati, adalah salah satu alam spiritual yang dipimpin oleh guru Buddha Amithaba.
apa kegiatannya sama seperti di dunia ini? Berbeda, saya beri ilustrasi kehidupan disana seperti biara shaolin, tapi bukan belajar pukulan (kung fu) melainkan belajar pendalaman DHAMMA hingga pencerahan oleh guru BUDDHA Amithaba.
Bagaimana untuk mencapainya? yaitu bagi mereka pelaku pemeraktek/pengikut/pemercaya guru Buddha Amithaba.
kutipan dari marcedes :
tetapi bagaimana pandangan mahayana tentang pure land........
bisa dibuktikan dengan apa?
dengan "saddha" yang tebal seperti ajaran nasra*i Huh? alias percaya buta/blind faith.
saya mo meluruskan seperti pandangan banyak teman-teman yang lain tentang iman kekeristenan dibilang percaya buta/blind faith. coba klo sebaliknya praktek keyakinan teman-teman ditanyakan kepada mereka yang memiliki iman kekeristenan. apa jawaban atau penjelasan mereka? bukan karena kebenaran (petunjuk jalan) pengajaran guru Buddha (mungkin mereka tidak tahu karena tidak mendalami), tetapi kenyataan praktek-praktek umat buddhist secara umum mereka malah melakukan praktek kepercayaan yang membabi buta seperti yang dinyatakan oleh guru Buddha sebagai kepercayaan takhayul, apalagi bagaimana mungkin untuk dapat melepaskan/menanggalkan pandangan salah tentang aku ciri diri sementara yang anicca => dukkha dan anatta untuk dapat meraih pengetahuan sempurna kesejatian (pencerahan) dan bagaimana mungkin untuk dapat merealisasikan kehidupan sejati/nibanna (memberlakukan dalam kehidupan) bila tidak mencapai pengetahuan sejati tentang kesejatian hidup (diri)/kebenaran Mutlak, hanya dalam kekhayalan atau bahkan takhayul.
Seperti yang sudah saya jelaskan/gambarkan/ilustrasikan pada sis yuliany bahwa alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia (yang berujung ketidak-kekalan/maut/kebinasaan), didalam praktek penyembahan kepercayaan/keyakinan apapun juga itu menghadirkan suatu kuasa atau kekuatan (yang saya ilustrasikan sebagai tuan-tuan atau raja-raja penguasa atau bahkan preman-preman), tetapi baik atau jahat, yang mengandung (sifat-sifat) kebenaran/terang atau kejahatan/kegelapan pada akhirnya siapa yang tahu, sebagai contohnya pohon atau batu atau patung yang ditumpu (dilekat keyakinan) atau disembah sajapun bisa mendatangkan suatu figur kuasa/kekuatan. Tetapi klo anda mau sungguh-sungguh mempelajarinya, iman kekeristenan bukanlah suatu kepercayaan yang membabi buta atau kepercayaan buta/blind faith, sebab iman kepercayaan kekeristenan diluar dari atau kepada kepercayaan yang ada terhadap (di)dunia ini dengan jelas terpisahkan. (diluar dari praktek-praktek salah manusia penganutnya)
Jangan menjadi tersinggung (aku ciri diri/atta), semoga dapat melihat dan menjadi inspirasi buat perenungan umat.
good hope and love
coedabgf
mau nanya yah..
bagaimana pandangan pure land (tanah suci) jika dibandingkan dengan re-birth?
apa keberadaan pure land itu sendiri merupakan nirvana atau apa ya..
maaf, saya bener2 nggak ngerti
sis yuliany, saya kasih ilustrasi (anggap saja seperti cerita fiksi, bisa juga loh buat inspirasi).
Alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia.
Klo alam sukhavati, adalah salah satu alam spiritual yang dipimpin oleh guru Buddha Amithaba.
apa kegiatannya sama seperti di dunia ini? Berbeda, saya beri ilustrasi kehidupan disana seperti biara shaolin, tapi bukan belajar pukulan (kung fu) melainkan belajar pendalaman DHAMMA hingga pencerahan oleh guru BUDDHA Amithaba.
Bagaimana untuk mencapainya? yaitu bagi mereka pelaku pemeraktek/pengikut/pemercaya guru Buddha Amithaba.
kutipan dari marcedes :
tetapi bagaimana pandangan mahayana tentang pure land........
bisa dibuktikan dengan apa?
dengan "saddha" yang tebal seperti ajaran nasra*i Huh? alias percaya buta/blind faith.
saya mo meluruskan seperti pandangan banyak teman-teman yang lain tentang iman kekeristenan dibilang percaya buta/blind faith. coba klo sebaliknya praktek keyakinan teman-teman ditanyakan kepada mereka yang memiliki iman kekeristenan. apa jawaban atau penjelasan mereka? bukan karena kebenaran (petunjuk jalan) pengajaran guru Buddha (mungkin mereka tidak tahu karena tidak mendalami), tetapi kenyataan praktek-praktek umat buddhist secara umum mereka malah melakukan praktek kepercayaan yang membabi buta seperti yang dinyatakan oleh guru Buddha sebagai kepercayaan takhayul, apalagi bagaimana mungkin untuk dapat melepaskan/menanggalkan pandangan salah tentang aku ciri diri sementara yang anicca => dukkha dan anatta untuk dapat meraih pengetahuan sempurna kesejatian (pencerahan) dan bagaimana mungkin untuk dapat merealisasikan kehidupan sejati/nibanna (memberlakukan dalam kehidupan) bila tidak mencapai pengetahuan sejati tentang kesejatian hidup (diri)/kebenaran Mutlak, hanya dalam kekhayalan atau bahkan takhayul.
Seperti yang sudah saya jelaskan/gambarkan/ilustrasikan pada sis yuliany bahwa alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia (yang berujung ketidak-kekalan/maut/kebinasaan), didalam praktek penyembahan kepercayaan/keyakinan apapun juga itu menghadirkan suatu kuasa atau kekuatan (yang saya ilustrasikan sebagai tuan-tuan atau raja-raja penguasa atau bahkan preman-preman), tetapi baik atau jahat, yang mengandung (sifat-sifat) kebenaran/terang atau kejahatan/kegelapan pada akhirnya siapa yang tahu, sebagai contohnya pohon atau batu atau patung yang ditumpu (dilekat keyakinan) atau disembah sajapun bisa mendatangkan suatu figur kuasa/kekuatan. Tetapi klo anda mau sungguh-sungguh mempelajarinya, iman kekeristenan bukanlah suatu kepercayaan yang membabi buta atau kepercayaan buta/blind faith, sebab iman kepercayaan kekeristenan diluar dari atau kepada kepercayaan yang ada terhadap (di)dunia ini dengan jelas terpisahkan. (diluar dari praktek-praktek salah manusia penganutnya)
Jangan menjadi tersinggung (aku ciri diri/atta), semoga dapat melihat dan menjadi inspirasi buat perenungan umat.
good hope and love
coedabgf
Quoteapa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Semuanya bertahap jalannya. Dari Hinayana terus Mahayana terus Vajrayana.
Apakah bertahap ini merupakan tinggi-tinggian atau tidak, silahkan renungkan sendiri.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quoteapa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
Semuanya bertahap jalannya. Dari Hinayana terus Mahayana terus Vajrayana.
Apakah bertahap ini merupakan tinggi-tinggian atau tidak, silahkan renungkan sendiri.
_/\_
The Siddha Wanderer
Mana yang lebih tinggi, Hindu atau Tibetan? dua-duanya memiliki ajaran Yoga dan Tantra.
Barangkali lebih tinggi lagi kr****n dan Islam karena mereka adalah ajaran dari langit. penguasa alam semesta.
saya bukan praktisi pure land, saya hanya pemula praktisi tanah kristal lazuardi..... ^-^
CMIIW,
navis
Awal Mula Pemikiran Tanah SuciSelama saya mempelajari Buddha Dhamma Theravada saya hanya mengetahui YM.Ananda Thera sebagai Bendahara Dhamma. YM.Anandalah yang mengulang Dhamma pada Konsili pertama dan YM.Ananda Thera tidak pernah menyebut-nyebut Masalah Tanah Suci ataupun Amitabha. Saya yang masih Bodoh Mau tanya Siapakah yang Mengulang Dhamma ajaran Sang Buddha pertama kali dan Kapan (Versi Mahayana) ?
Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada seorang raja vernama Bimbisra yang dipenjara oleh putera mahkotanya sendiri, Pangeran Ajatasatru . Bahkan Ratu Vaidehi pun sulit bertemu dengan sang raja. Anak yang keras kepala ini kejam dan tidak mempunyai rasa berbakti. Ia merebut tahta dan memenjarakan sang raja. Raja Bimbisara merasa sangat sedih dan putus asa. Ia merasa prihatin atas Dunia Saha ini, yaitu dunia lima kemerosotan, yang penuh dengan penderitaan, setan-setan kelaparan, dan binatang. Ia berpikir dalam hati, “Oh, Buddha! Pada situasi sulit ini, mengapa Engkau tidak datang dan menolongku? Tunjukkanlah satu tempat berlindung yagn dapat menentramkan diriku yang letih ini!”
Ratu Vaidehi memohon untuk bertemu sang raja. Ajatasatru tidak mengijinkan Ratu Vaidehi membawa makanan kepada Raja Bimbisara. Raja Vaidehi dengan sedih melumuri madu dan tepung pada badannya untuk mengurangi rasa lapar sang raja. Pada saat tanpa harapan dan menyedihkan ini keduanya berdoa agar Buddha memberikan ajaran cinta kasih kepada mereka. Terjadilah seperti yagn mereka harapkan. Sang Buddha muncul didepan mereka melalui kekuatan gaib-Nya. Beliau berkata kepada Ratu Vaidehi dan Raja Bimbisara. “Pada jarak sepuluh juta milyar Tanah-tanah Buddha menuju barat dari Dunia Saha ini, terdapat sebuah dunia disebut kebahagiaan tertinggi, disana Buddha Amitabha sedang mengajarkan Dharma. Tidak ada penderitaan dalam dunia Amitabha. Itu adalah tempat yang paling suci, paling aman, dan paling membahagiakan. Anda hanya perlu membaca nama Buddha Amitabha. Buddha Amitabha akan menggunakan kekuatan tekad mulia-Nya untuk memanggil mereka yang menyebut nama-Nya untuk terlahir kembali di Tanah Suci”.
Setelah mendengar ajaran Sang Buddha, Raja Bimbisara dan Ratu Vaidehi mulai membaca berulang-ulang nam Amitabha. Sebuah hanmparan tanah yang terang dan bersih benar-benar muncul di depan mata mereka. Ini benar-benar Tanah Suci Amitabha yang membahagiakan. Ini merupakan awal mula filosofi Tanah Suci.
Kita mengetahui eksistensi Tanah Suci dari kejadian nyata orang-orang yang terlahir kembali di sana.
Di antara orang-orang yang membacakan berulang-ulang nama Buddha Amitabha, ada yang dapat meramalkan kapan mereka akan meninggal dunia; beberapa di antaranya dapat melihat Amitabha Buddha mengajak mereka secara pribadi; ada yang dapat mencium wangi aneh di kamar mereka. Peristiwa peristiwa seperti ini hanya terjadi pada mereka yang melatih ajaran Tanah Suci. Mereka dapat terlahir kembali di Tanah Suci saat mereka telah mencapai kesempurnaan latihan pembacaan berulang-ulang nama Buddha Amitabha.
Kita mengetahui eksistensi Tanah Suci dengan bukti ilmiah
Dari bukti ilmiah saat ini, kita ketahui bahwa ada sistem tata surya yang lain, di samping galaksi kita sendiri, dan terdapat banyak galaksi lain, selain yang kita tinggali. Alam semesta tidak terbatas luasnya; hal ini di luar imajinasi' umat manusia. Dengan kata lain, banyak terdapat dunia-dunia, selain planet Bumi kita.
Sebenarnya, kita tidak mernbutuhkan penemuan-penemuan dari ilmuwan-ilmuwan modem untuk membuktikan bahwa ada sistem tata surya lain di alam semesta.
Selama saya mempelajari Buddha Dhamma Theravada saya hanya mengetahui YM.Ananda Thera sebagai Bendahara Dhamma. YM.Anandalah yang mengulang Dhamma pada Konsili pertama dan YM.Ananda Thera tidak pernah menyebut-nyebut Masalah Tanah Suci ataupun Amitabha. Saya yang masih Bodoh Mau tanya Siapakah yang Mengulang Dhamma ajaran Sang Buddha pertama kali dan Kapan (Versi Mahayana) ?
Saya yang masih Bodoh mau Tanya? Apakah hanya dengan Membacakan Mantra Amitabha saja kita bisa ke Tanah Suci? dan Siapakah yang dapat memberikan Bukti nyata dari keberadaan Tanah Suci tsb? Dan Apakah Hanya Praktisi Tanah Kristal Lazuardi saja yang mampu mencapai tanah Suci tsb?
Note : Saya Hanya mau Tanya dan Belajar Mengenai Mahayana .... ;D Tidak ada maksud lain.... :) No Offense..... ^:)^
kutipan dari marcedes :coba 1 bulan?...apa bisa lihat itu tanah dan bertemu buddha amitabha?
tetapi bagaimana pandangan mahayana tentang pure land........
bisa dibuktikan dengan apa?
dengan "saddha" yang tebal seperti ajaran nasra*i Huh? alias percaya buta/blind faith.
"ehipassiko" kata ini selalu berhubungan langsung dengan ajaran buddha.
bro/ sis mercedes, sendiri bisa mengatakan ehipassiko, tidak berdasarkan kepercayaan yg membabi buta....
kalau gitu, kenapa tidak bro/ sis mercedes membuktikan nya sendiri dengan ehipassiko terlebih dahulu...
cobalah dengan keyakinan yang sepenuh hati dan tulus, melapalkan namo amitabha buddha selama maybe
1 bulan, dan cobalah liat hasilnya terlebih dahulu, jangan menjudge, sesuatu tanpa ehipassiko.
Awal Mula Pemikiran Tanah Suci
Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada seorang raja vernama Bimbisra yang dipenjara oleh putera mahkotanya sendiri, Pangeran Ajatasatru . Bahkan Ratu Vaidehi pun sulit bertemu dengan sang raja. Anak yang keras kepala ini kejam dan tidak mempunyai rasa berbakti. Ia merebut tahta dan memenjarakan sang raja. Raja Bimbisara merasa sangat sedih dan putus asa. Ia merasa prihatin atas Dunia Saha ini, yaitu dunia lima kemerosotan, yang penuh dengan penderitaan, setan-setan kelaparan, dan binatang. Ia berpikir dalam hati, “Oh, Buddha! Pada situasi sulit ini, mengapa Engkau tidak datang dan menolongku? Tunjukkanlah satu tempat berlindung yagn dapat menentramkan diriku yang letih ini!”
Ratu Vaidehi memohon untuk bertemu sang raja. Ajatasatru tidak mengijinkan Ratu Vaidehi membawa makanan kepada Raja Bimbisara. Raja Vaidehi dengan sedih melumuri madu dan tepung pada badannya untuk mengurangi rasa lapar sang raja. Pada saat tanpa harapan dan menyedihkan ini keduanya berdoa agar Buddha memberikan ajaran cinta kasih kepada mereka. Terjadilah seperti yagn mereka harapkan. Sang Buddha muncul didepan mereka melalui kekuatan gaib-Nya. Beliau berkata kepada Ratu Vaidehi dan Raja Bimbisara. “Pada jarak sepuluh juta milyar Tanah-tanah Buddha menuju barat dari Dunia Saha ini, terdapat sebuah dunia disebut kebahagiaan tertinggi, disana Buddha Amitabha sedang mengajarkan Dharma. Tidak ada penderitaan dalam dunia Amitabha. Itu adalah tempat yang paling suci, paling aman, dan paling membahagiakan. Anda hanya perlu membaca nama Buddha Amitabha. Buddha Amitabha akan menggunakan kekuatan tekad mulia-Nya untuk memanggil mereka yang menyebut nama-Nya untuk terlahir kembali di Tanah Suci”.
Setelah mendengar ajaran Sang Buddha, Raja Bimbisara dan Ratu Vaidehi mulai membaca berulang-ulang nam Amitabha. Sebuah hanmparan tanah yang terang dan bersih benar-benar muncul di depan mata mereka. Ini benar-benar Tanah Suci Amitabha yang membahagiakan. Ini merupakan awal mula filosofi Tanah Suci.
Awal Mula Pemikiran Tanah Suci
Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada seorang raja vernama Bimbisra yang dipenjara oleh putera mahkotanya sendiri, Pangeran Ajatasatru . Bahkan Ratu Vaidehi pun sulit bertemu dengan sang raja. Anak yang keras kepala ini kejam dan tidak mempunyai rasa berbakti. Ia merebut tahta dan memenjarakan sang raja. Raja Bimbisara merasa sangat sedih dan putus asa. Ia merasa prihatin atas Dunia Saha ini, yaitu dunia lima kemerosotan, yang penuh dengan penderitaan, setan-setan kelaparan, dan binatang. Ia berpikir dalam hati, “Oh, Buddha! Pada situasi sulit ini, mengapa Engkau tidak datang dan menolongku? Tunjukkanlah satu tempat berlindung yagn dapat menentramkan diriku yang letih ini!”
Ratu Vaidehi memohon untuk bertemu sang raja. Ajatasatru tidak mengijinkan Ratu Vaidehi membawa makanan kepada Raja Bimbisara. Raja Vaidehi dengan sedih melumuri madu dan tepung pada badannya untuk mengurangi rasa lapar sang raja. Pada saat tanpa harapan dan menyedihkan ini keduanya berdoa agar Buddha memberikan ajaran cinta kasih kepada mereka. Terjadilah seperti yagn mereka harapkan. Sang Buddha muncul didepan mereka melalui kekuatan gaib-Nya. Beliau berkata kepada Ratu Vaidehi dan Raja Bimbisara. “Pada jarak sepuluh juta milyar Tanah-tanah Buddha menuju barat dari Dunia Saha ini, terdapat sebuah dunia disebut kebahagiaan tertinggi, disana Buddha Amitabha sedang mengajarkan Dharma. Tidak ada penderitaan dalam dunia Amitabha. Itu adalah tempat yang paling suci, paling aman, dan paling membahagiakan. Anda hanya perlu membaca nama Buddha Amitabha. Buddha Amitabha akan menggunakan kekuatan tekad mulia-Nya untuk memanggil mereka yang menyebut nama-Nya untuk terlahir kembali di Tanah Suci”.
Setelah mendengar ajaran Sang Buddha, Raja Bimbisara dan Ratu Vaidehi mulai membaca berulang-ulang nam Amitabha. Sebuah hanmparan tanah yang terang dan bersih benar-benar muncul di depan mata mereka. Ini benar-benar Tanah Suci Amitabha yang membahagiakan. Ini merupakan awal mula filosofi Tanah Suci.
jadi buddha ajar apa disitu?
4 kesunyataan mulia?
penderitaan saja tidak ada disana...buddha nya ngajarin apa?
kutipan dari amitabha sutra:jangan berfantasi bro...
"Pada masa yang akan datang, Buddhadharma akan hilang. Para raja siluman paling takut pada Surangama Sutra, dan karenanya Surangama Sutra akan lenyap terlebih dahulu, sebab tanpa Sutra ini, tidak ada yang bisa mengucapkan mantra.Lalu satu persatu Sutra-Sutra lainnya akan hilang.
Yang akan lenyap paling akhir adalah Amitabha Sutra. Ia akan tinggal di dunia seratus tahun lagi dan membawa makhluk hidup yang tak terhingga banyaknya menyebrangi lautan penderitaan menuju pantai lainnya, yaitu Nirvana.
yah, coba bacaSelama saya mempelajari Buddha Dhamma Theravada saya hanya mengetahui YM.Ananda Thera sebagai Bendahara Dhamma. YM.Anandalah yang mengulang Dhamma pada Konsili pertama dan YM.Ananda Thera tidak pernah menyebut-nyebut Masalah Tanah Suci ataupun Amitabha. Saya yang masih Bodoh Mau tanya Siapakah yang Mengulang Dhamma ajaran Sang Buddha pertama kali dan Kapan (Versi Mahayana) ?
Saya yang masih Bodoh mau Tanya? Apakah hanya dengan Membacakan Mantra Amitabha saja kita bisa ke Tanah Suci? dan Siapakah yang dapat memberikan Bukti nyata dari keberadaan Tanah Suci tsb? Dan Apakah Hanya Praktisi Tanah Kristal Lazuardi saja yang mampu mencapai tanah Suci tsb?
Note : Saya Hanya mau Tanya dan Belajar Mengenai Mahayana .... ;D Tidak ada maksud lain.... :) No Offense..... ^:)^
Seperti semua perbincangan diskusi pengetahuan Dhamma yang berandai-andai, sayapun mau ikut cerita yang berandai-andai pula,
1.saya yang percaya buta yang seolah-olah hanya menggunakan sedikit intelektualitas sehingga seolah-olah membuta dibandingkan teman-teman yang dapat melihat melalui kepandaian pertimbangan pikiran intelektualitasnya masing-masing, hanya mau menggambarkan saja,
klo menurut kisah setelah maha parinibanna guru Buddha Sakyamuni, apakah sudah ada murid-murid atau pendengar yang dapat mengerti ajaran jalan mulia dan mencapai pencerahan langsung?. dan kapasitas Ananda pada saat itu sebelum konsili pertama apakah sudah dapat menembus kebenaran pengetahuan mulia pencerahan? seperti yang diceritakan, meskipun memiliki banyak perbendaharaan (mengikuti) pengajaran guru Buddha, tetapi hanya dengan cara teguran perenungan oleh Kassapa dan menyerah saat menanggalkan kepandaian pengetahuan intelektualitasnya, Ananda baru mengerti hakekat kebenaran sejati dan tercerahkan. sehingga apakah ada kemungkinan apakah Ananda mengetahui semua segala sesuatunya secara keseluruhan tentang pengajaran guru Buddha? dan apakah ada kemungkinan juga ada terpecah pengikut-pengikut menurut keterbatasan penerimaan ajaran (kebijaksanaan para pengikut) yang menyebabkan terjadinya pengelompokan pendokumentasian (pengikut) ajaran-ajaran, bahkan saat guru Buddha hiduppun ada terjadi seperti cerita 500 murid yang keluar/pergi tidak mengikuti ajaran selanjutnya (maaf gambarannya klo gak salah)?
2.secara teoritis dan kenyataan bahwa setiap orang mewarisi karmanya masing-masing. secara kenyataannya akan kembali mengikuti jalur (kelekatannya) kepercayaannya/keyakinannya dan kenyataan mewarisi karmanya juga yang membentuk kehidupannya (dimana keyakinan dan kepercayaannya juga itu adalah hasil dari karma kehidupannyanya juga). Dan seperti yang sudah saya jelaskan/gambarkan/ilustrasikan pada tulisan terdahulu bahwa alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia (yang berujung ketidak-kekalan/maut/kebinasaan), dimana anda akan terproses atau menuju pada akhirnya (setelah kematian) menurut pilihan keyakinan/kepercayaan anda masing-masing. Tinggal pilih saja iman/keyakinan/kepercayaan yang benar, yang sesat atau tanpa pengetahuan tentang kebenaran keyakinan yang benar.
Seperti sorga barat sukhavati, mereka yang sungguh-sungguh mempercayainya berarti mereka juga yang memiliki keyakinan dan berusaha mempersiapkan dirinya menyesuaikan diri menurut kebenaran pengajaran dalam setiap aspek kehidupan, (sehingga) memiliki keyakinan untuk dapat memperoleh kesempatan mengalami kehidupan disana.
Dan pada saat kematian jasmaninya, mereka akan dibawa oleh kekuatan Buddha Amitabha masuk dalam kehidupan surga sukhavati.
Dan satu hal bila setiap pemercaya yang mengalami kematian jasmani di bumi ini dibawa kesana oleh kekuatan Buddha Amitabha, berarti sebenarnya di bumi ini tidak ada perwakilan yang dibilang mewakili surga sukhavati (yang membilang baik oleh perorangan pribadi maupun suatu kelompok seperti yang terdengar pada pengakuan beberapa aliran). Dan disana mereka secara khusus (anggap saja saya istilahkan secara intensif) diajar dan belajar seperti yang saya beri ilustrasi kehidupan disana seperti biara shaolin, tapi bukan belajar pukulan (kung fu) melainkan belajar pendalaman DHAMMA hingga pencerahan oleh (kekuatan) guru BUDDHA Amithaba.
Semoga dapat menjadi aspirasi cerita fiksi yang menjadi kenyataan.
Good hope and love
Nb :
Penjelasan untuk beberapa pertanyaan tentang Christianity harap sabar.
hhaha, kan kita lagi d konteks mahayana... kosongkan isi cangkirnya bro (gitu sebut guru zen)
coba u bayangkan bro
40 tahun nonstop, ucap2 amitabha terus.
mencerap jhana gak? mencerap lahh
so, apa bedanya denga buddha-buddha-buddhahhaha, kan kita lagi d konteks mahayana... kosongkan isi cangkirnya bro (gitu sebut guru zen)
coba u bayangkan bro
40 tahun nonstop, ucap2 amitabha terus.
mencerap jhana gak? mencerap lahh
Oh...Jadi menurut anda pencapaian Jhana di mahayana Bisa dilakukan hanya dengan Baca Mantra Amitabha?
penderitaan di alam dewa dan alam brahma juga hanya ada 1 saja, yaitu kematian... Tidak ada sakit, dan usia tua hanya sebentar saja menjelang kematian. Apakah di alam sukhavati ada kematian ?
so, apa bedanya denga buddha-buddha-buddhahhaha, kan kita lagi d konteks mahayana... kosongkan isi cangkirnya bro (gitu sebut guru zen)
coba u bayangkan bro
40 tahun nonstop, ucap2 amitabha terus.
mencerap jhana gak? mencerap lahh
Oh...Jadi menurut anda pencapaian Jhana di mahayana Bisa dilakukan hanya dengan Baca Mantra Amitabha?
aki-aki-aki
masuk-masuk-masuk
keluar-keluar-keluar
so, apa bedanya denga buddha-buddha-buddhahhaha, kan kita lagi d konteks mahayana... kosongkan isi cangkirnya bro (gitu sebut guru zen)
coba u bayangkan bro
40 tahun nonstop, ucap2 amitabha terus.
mencerap jhana gak? mencerap lahh
Oh...Jadi menurut anda pencapaian Jhana di mahayana Bisa dilakukan hanya dengan Baca Mantra Amitabha?
aki-aki-aki
masuk-masuk-masuk
keluar-keluar-keluar
bro gunawan,
Bukan pelafalannya yang ditekankan dalam penyebutan Amitabha Buddha, tetapi pemfokusan pikiran.Jadi, jika seseorang sedang menyebutkan "Amitofo" berulang2 kali, tidak hanya sebatas ucapan, tetapi pikiran pun turut serta difokuskan. INILAH yang seharusnya DITEKANKAN bagi para pelafal Amitofo.
Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.saudara edward yg bijak,
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
bro edward yang bijak,
logika tidak selama-nya benar, tetapi kenyataan/fakta yang pasti benar.
kalau masalah diskusi,
sebuah diskusi akan memiliki arah yang baik apabila, memakai kenyataan sebagai acuan..
tetapi kalau sudah pakai fantasi...yah tentu bercabang-cabang.
Sorry, can't help. ;DSekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.saudara edward yg bijak,
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
dalam sutra mahayana (saya lupa nama sutra nya, kalau tahu namanya bisa kasih info donk) dikatakan gotama telah mencapai pencerahan baik sebelum dilahirkan di suku sakya,bahkan jauh sebelum kelahiran-nya menjadi pertapa sumedha.
kok,beliau bisa lupa akan pencerahan-nya?
sehingga butuh guru-guru bahkan mesti 6 tahun menyiksa diri.atau bahkan sampai lewat pemusik?
Ada berbagai metode dalam kultivasi Sukhavati, selain dengan merenungkan keagungan dan tanda2 dan gambaran seorang Buddha Amitabha, bisa juga dengan pelafan. Pelafalan tentu tidak sebatas dalam ucapan, tetapi memfokuskan pikiran dlm 1 titik, yaitu sosok Amitabha Buddha. Selain itu, "efek" dari pemfokusan terus menerus akan menumbuhkan " kebiasaan" akan selalu mengingat seorang Buddha, sehingga memungkinkan akan terlahir di sukhavati.sosok nya saja belum pernah dilihat...
Dari kalimat saya di atas, apakah ada yg bisa melihat korelasinya dengan, Buddhanusati, Samatha Bhavana, dan karma baik dari "KEBIASAAN" mengingat akan dhamma dlm sistem Abhidhamma?
jika demikian saya bertanya dari awalbro edward yang bijak,
logika tidak selama-nya benar, tetapi kenyataan/fakta yang pasti benar.
kalau masalah diskusi,
sebuah diskusi akan memiliki arah yang baik apabila, memakai kenyataan sebagai acuan..
tetapi kalau sudah pakai fantasi...yah tentu bercabang-cabang.
Ok, saya setuju.
Jika anda memank sudah bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas, mari anda berbagi dengan kita semua sehingga saya pun, yang masih belajar ini bertambah pengetahuannya agar bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas.
Karena kedua aliran memiliki referensi yg berbeda, akan lebih baik jika kenyataan dapat dijelaskan tanpa terikat embel2 menurut "Sutta ini benar, menurut Sutra ini salah".Karena jika tetap berpatokan dengan hal tersebut, pembahasan akan berujung pada debat kusir.
Karena jujur saja, dengan segala ketebatasan yg ada, sutra/sutta yg saya baca itu baru sangat sedikit.
Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
Ada berbagai metode dalam kultivasi Sukhavati, selain dengan merenungkan keagungan dan tanda2 dan gambaran seorang Buddha Amitabha, bisa juga dengan pelafan. Pelafalan tentu tidak sebatas dalam ucapan, tetapi memfokuskan pikiran dlm 1 titik, yaitu sosok Amitabha Buddha. Selain itu, "efek" dari pemfokusan terus menerus akan menumbuhkan " kebiasaan" akan selalu mengingat seorang Buddha, sehingga memungkinkan akan terlahir di sukhavati.sosok nya saja belum pernah dilihat...
Dari kalimat saya di atas, apakah ada yg bisa melihat korelasinya dengan, Buddhanusati, Samatha Bhavana, dan karma baik dari "KEBIASAAN" mengingat akan dhamma dlm sistem Abhidhamma?
mau disuruh berfantasi sampai dimana saudara edward?
jika merenungkan buddhanusati. disitu seorang yogi bisa membangkitkan saddha dimana seorang buddha tercerahkan.
dikarenakan "Dhamma-nya."
jadi bukan sekedar percaya buddha...tetapi "apa yang ditemukan buddha"
buddha dan dhamma itu tidak dapat dipisahkan....
tidak mungkin meng-Agung-kan "sesosok" yang tidak ada "apa-apa-nya"
buddha di agungkan karena menemukan Dhamma, dan Dhamma ada karena Buddha menemukan.
kalau samantha bhavana.....melafalkan nama itu memicu pikiran agar tidak lari dan konsentrasi ke objek awal...
tidak mungkin mencapai konsentrasi yang baik apabila "si penggerak" yg dipakai.
mengingat kebiasaan baik?....saya tidak melihat adanya perbuatan baik/buruk apabila seseorang mengucapkan "besok hari sabtu" selama 100x.
semua itu dari pikiran-nya.
salam metta.
Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
Rekan TS,
Dengan postingan ini, anda telah melanggar aturan yang anda buat sendiri, atas dasar apakah Saudara mengatakan Sutta versi Theravada itu SALAH?
tadinya saya ingin meng-click report to moderator, tapi saya pikir tidak ada gunanya karena anda adalah moderatornya.
Mohon Klarifikasi.
Ok, saya setuju.
Jika anda memank sudah bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas, mari anda berbagi dengan kita semua sehingga saya pun, yang masih belajar ini bertambah pengetahuannya agar bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas.
Karena kedua aliran memiliki referensi yg berbeda, akan lebih baik jika kenyataan dapat dijelaskan tanpa terikat embel2 menurut "Sutta ini benar, menurut Sutra ini salah".Karena jika tetap berpatokan dengan hal tersebut, pembahasan akan berujung pada debat kusir.
Karena jujur saja, dengan segala ketebatasan yg ada, sutra/sutta yg saya baca itu baru sangat sedikit.
jika demikian saya bertanya dari awal
"apakah kelahiran merupakan suatu penderitaan?"
Selama saya mempelajari Buddha Dhamma Theravada saya hanya mengetahui YM.Ananda Thera sebagai Bendahara Dhamma. YM.Anandalah yang mengulang Dhamma pada Konsili pertama dan YM.Ananda Thera tidak pernah menyebut-nyebut Masalah Tanah Suci ataupun Amitabha. Saya yang masih Bodoh Mau tanya Siapakah yang Mengulang Dhamma ajaran Sang Buddha pertama kali dan Kapan (Versi Mahayana) ?
Saya yang masih Bodoh mau Tanya? Apakah hanya dengan Membacakan Mantra Amitabha saja kita bisa ke Tanah Suci? dan Siapakah yang dapat memberikan Bukti nyata dari keberadaan Tanah Suci tsb? Dan Apakah Hanya Praktisi Tanah Kristal Lazuardi saja yang mampu mencapai tanah Suci tsb?
Note : Saya Hanya mau Tanya dan Belajar Mengenai Mahayana .... ;D Tidak ada maksud lain.... :) No Offense..... ^:)^
Seperti semua perbincangan diskusi pengetahuan Dhamma yang berandai-andai, sayapun mau ikut cerita yang berandai-andai pula,
1.saya yang percaya buta yang seolah-olah hanya menggunakan sedikit intelektualitas sehingga seolah-olah membuta dibandingkan teman-teman yang dapat melihat melalui kepandaian pertimbangan pikiran intelektualitasnya masing-masing, hanya mau menggambarkan saja,
klo menurut kisah setelah maha parinibanna guru Buddha Sakyamuni, apakah sudah ada murid-murid atau pendengar yang dapat mengerti ajaran jalan mulia dan mencapai pencerahan langsung?. dan kapasitas Ananda pada saat itu sebelum konsili pertama apakah sudah dapat menembus kebenaran pengetahuan mulia pencerahan? seperti yang diceritakan, meskipun memiliki banyak perbendaharaan (mengikuti) pengajaran guru Buddha, tetapi hanya dengan cara teguran perenungan oleh Kassapa dan menyerah saat menanggalkan kepandaian pengetahuan intelektualitasnya, Ananda baru mengerti hakekat kebenaran sejati dan tercerahkan. sehingga apakah ada kemungkinan apakah Ananda mengetahui semua segala sesuatunya secara keseluruhan tentang pengajaran guru Buddha? dan apakah ada kemungkinan juga ada terpecah pengikut-pengikut menurut keterbatasan penerimaan ajaran (kebijaksanaan para pengikut) yang menyebabkan terjadinya pengelompokan pendokumentasian (pengikut) ajaran-ajaran, bahkan saat guru Buddha hiduppun ada terjadi seperti cerita 500 murid yang keluar/pergi tidak mengikuti ajaran selanjutnya (maaf gambarannya klo gak salah)?
2.secara teoritis dan kenyataan bahwa setiap orang mewarisi karmanya masing-masing. secara kenyataannya akan kembali mengikuti jalur (kelekatannya) kepercayaannya/keyakinannya dan kenyataan mewarisi karmanya juga yang membentuk kehidupannya (dimana keyakinan dan kepercayaannya juga itu adalah hasil dari karma kehidupannyanya juga). Dan seperti yang sudah saya jelaskan/gambarkan/ilustrasikan pada tulisan terdahulu bahwa alam-alam, dunia ini seperti rimba raya, ada tuan-tuan yang baik dan jahat, ada kerajaan-kerajaan dengan penguasa-penguasanya, ada yang didalam penguasaan tuan-tuan baik yang baik maupun yang jahat, atau dalam kerajaan-kerajaan, ada gelandangan terlunta-lunta, ada preman yang berlaku hukum rimba, tetapi tetap meskipun seolah-olah ada atau tiada hukum, semua ada di bawah/tunduk kepada (terproses oleh) satu kuasa hukum tertinggi dunia (yang berujung ketidak-kekalan/maut/kebinasaan), dimana anda akan terproses atau menuju pada akhirnya (setelah kematian) menurut pilihan keyakinan/kepercayaan anda masing-masing. Tinggal pilih saja iman/keyakinan/kepercayaan yang benar, yang sesat atau tanpa pengetahuan tentang kebenaran keyakinan yang benar.
Seperti sorga barat sukhavati, mereka yang sungguh-sungguh mempercayainya berarti mereka juga yang memiliki keyakinan dan berusaha mempersiapkan dirinya menyesuaikan diri menurut kebenaran pengajaran dalam setiap aspek kehidupan, (sehingga) memiliki keyakinan untuk dapat memperoleh kesempatan mengalami kehidupan disana.
Dan pada saat kematian jasmaninya, mereka akan dibawa oleh kekuatan Buddha Amitabha masuk dalam kehidupan surga sukhavati.
Dan satu hal bila setiap pemercaya yang mengalami kematian jasmani di bumi ini dibawa kesana oleh kekuatan Buddha Amitabha, berarti sebenarnya di bumi ini tidak ada perwakilan yang dibilang mewakili surga sukhavati (yang membilang baik oleh perorangan pribadi maupun suatu kelompok seperti yang terdengar pada pengakuan beberapa aliran). Dan disana mereka secara khusus (anggap saja saya istilahkan secara intensif) diajar dan belajar seperti yang saya beri ilustrasi kehidupan disana seperti biara shaolin, tapi bukan belajar pukulan (kung fu) melainkan belajar pendalaman DHAMMA hingga pencerahan oleh (kekuatan) guru BUDDHA Amithaba.
Semoga dapat menjadi aspirasi cerita fiksi yang menjadi kenyataan.
Good hope and love
Nb :
Penjelasan untuk beberapa pertanyaan tentang Christianity harap sabar.
yah, coba baca
Yuganaddha Sutta
Pada suatu waktu YM Ananda sedang tinggal di Kosambi, di Vihara di Taman Ghosita. Disana beliau berbicara pada para bhikkhu, "Teman-teman!"
"Ya, teman," jawab para bhikkhu.
YM Ananda berkata: "Teman-teman, siapapun — bhikkhu atau bhikkhuni — menyatakan pencapaian arahantnya didepan hadapanku, mereka semua melalui satu dari empat jalan. Apakah empat itu?
"Ada kasus dimana seorang bhikkhu telah mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan. Seiring dia mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan, sang jalan muncul. Dia mengikuti jalan itu, mengembangkannya, menjalaninya. Seiring dia mengikuti sang jalan, mengembangkannya & menjalaninya — belenggu-belenggunya ditinggalkan, obsesi-obsesinya hancur.
"Kemudian ada kasus dimana seorang bhikkhu telah mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang. Seiring dia mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang, sang jalan muncul. Dia mengikuti jalan itu, mengembangkannya, menjalaninya. Seiring dia mengikuti sang jalan, mengembangkannya & menjalaninya — belenggu-belenggunya ditinggalkan, obsesi-obsesinya hancur.
"Kemudian ada kasus dimana seorang bhikkhu telah mengembangkan ketenangan bersama-sama dengan pandangan terang. Seiring dia mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang, sang jalan muncul. Dia mengikuti jalan itu, mengembangkannya, menjalaninya. Seiring dia mengikuti sang jalan, mengembangkannya & menjalaninya — belenggu-belenggunya ditinggalkan, obsesi-obsesinya hancur.
"Kemudian ada kasus dimana pikiran seorang bhikkhu yang kegelisahan tentang Dhamma [Comm: kekotoran pandangan] terkendali dengan baik. Ada suatu waktu dimana pikirannya menjadi seimbang didalam, tenang, dan menjadi terpusat & terkonsentrasi. Didalam dirinya sang jalan muncul. Dia mengikuti jalan itu, mengembangkannya, menjalaninya. Seiring dia mengikuti sang jalan, mengembangkannya & menjalaninya — belenggu-belenggunya ditinggalkan, obsesi-obsesinya hancur.
"Siapapun — bhikkhu atau bhikkhuni — menyatakan pencapaian arahantnya dihadapanku, mereka semua melakukannya melalui salah satu dari empat jalan ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
ditambah....
sampasadaniya sutta
"Bhante, sebenarnya kami tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui pikiran para Arahat, Sammasambuddha, baik dari masa lampau, yang akan datang maupun sekarang. Tetapi, meskipun demikian kami memiliki pengetahuan tentang tradisi Dhamma (Dhammanvayo)."
"Bhante, sama seperti perbatasan-negara milik seorang raja yang mempunyai benteng yang kokoh, dengan dinding dan menara penjagaan yang kuat dan hanya mempunyai sebuah pintu saja. Dan di sana, ada seorang penjaga pintu yang pandai, berpengalaman serta cerdas, yang akan mengusir orang-orang yang tidak dikenal dan hanya mengijinkan masuk orang-orang yang dikenal saja. Ketika ia memeriksa dengan menyusuri jalan yang mengelilingi dinding benteng-negara itu, ia tidak melihat adanya sebuah lubang atau celah, di dinding benteng-negara itu, yang cukup untuk dilewati oleh binatang, sekali pun hanya sekecil seekor kucing. Dan ia berpikir: "Seberapa pun besarnya mahluk-mahluk yang akan masuk atau meninggalkan negara ini, mereka semua hanya dapat melalui pintu ini."
"Bhante, hanya dengan cara demikian aku memiliki pengetahuan tentang tradisi Dhamma (Dhammanvayo). Oleh karena, para Bhagava, Arahat, Sammasambuddha yang pernah ada pada masa lampau, dengan meninggalkan lima rintangan batin (pancanivarana) dan noda-noda pikiran (citta-upakkilesa) melalui kekuatan kebijaksanaan, dan dengan pikiran yang terpusat baik pada empat landasan kesadaran (cattarosatipatthana), serta mengembangkan dengan sempurna tujuh faktor Penerangan Sempurna (satta-sambojjhanga), maka mereka telah mencapai kesempurnaan sepenuhnya dalam Penerangan Sempurna (Sambodhi) yang tiada bandingannya (anuttara)."
------------------------------------------------------------------------
tahu itu pintu apa?
mahaparinibbana sutta.
"Subhadda, dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana pun tidak akan terdapat seorang petapa sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana pun akan terdapat petapa yang sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kami ajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan itu, maka dengan sendirinya juga terdapat petapa-petapa sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat.
Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. Subhadda, jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini tidak akan kekosongan Arahat.
Subhadda, sejak kami berumur duapuluh sembilan tahun, kami telah meninggalkan kehidupan duniawi untuk mencari kebaikan. Subhadda, kini telah lewat limapuluh satu tahun, dan sepanjang waktu itu, kami telah berkelana dalam suasana kebajikan dan kebenaran, waktu itu di luar tidak ada manusia suci. Juga tidak dari tingkat kedua, ketiga ataupun tingkat kesucian keempat. Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. Subhadda, jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini tidak akan kekosongan Arahat."
=============================================
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu : "Para bhikkhu, perhatikanlah nasehat ini : 'Segala sesuatu adalah tidak kekal. Berusahalah dengan sungguh-sungguh.' (Vaya dhamma sankhara, appamadena sampadetha)."
Inilah kata-kata terakhir Sang Tathagata.
namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhasa.
namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhasa.
namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhasa.
banyak berkah pada anda
salam metta.
"Berbahagialah orang yang percaya namun tidak melihat."
Apabila tidak melihatnya saya ganti dengan buta, yg notabene adalah sinonim dari kata "tidak melihat,
bukankah kalimat tersebut menjadi:
"Berbahagialah orang yang percaya, buta."
Maaf sebelumnya, bukan bermaksud menyinggung, namun memang itulah yang dikatakan sebagai 'Iman", yang berbeda dengan ke"yakin"an, yang "melihat", apapun agamanya atau bahkan tidak ber"agama" sama sekali.
bro edward yang bijak,Ada berbagai metode dalam kultivasi Sukhavati, selain dengan merenungkan keagungan dan tanda2 dan gambaran seorang Buddha Amitabha, bisa juga dengan pelafan. Pelafalan tentu tidak sebatas dalam ucapan, tetapi memfokuskan pikiran dlm 1 titik, yaitu sosok Amitabha Buddha. Selain itu, "efek" dari pemfokusan terus menerus akan menumbuhkan " kebiasaan" akan selalu mengingat seorang Buddha, sehingga memungkinkan akan terlahir di sukhavati.sosok nya saja belum pernah dilihat...
Dari kalimat saya di atas, apakah ada yg bisa melihat korelasinya dengan, Buddhanusati, Samatha Bhavana, dan karma baik dari "KEBIASAAN" mengingat akan dhamma dlm sistem Abhidhamma?
mau disuruh berfantasi sampai dimana saudara edward?
jika merenungkan buddhanusati. disitu seorang yogi bisa membangkitkan saddha dimana seorang buddha tercerahkan.
dikarenakan "Dhamma-nya."
jadi bukan sekedar percaya buddha...tetapi "apa yang ditemukan buddha"
buddha dan dhamma itu tidak dapat dipisahkan....
tidak mungkin meng-Agung-kan "sesosok" yang tidak ada "apa-apa-nya"
buddha di agungkan karena menemukan Dhamma, dan Dhamma ada karena Buddha menemukan.
kalau samantha bhavana.....melafalkan nama itu memicu pikiran agar tidak lari dan konsentrasi ke objek awal...
tidak mungkin mencapai konsentrasi yang baik apabila "si penggerak" yg dipakai.
mengingat kebiasaan baik?....saya tidak melihat adanya perbuatan baik/buruk apabila seseorang mengucapkan "besok hari sabtu" selama 100x.
semua itu dari pikiran-nya.
salam metta.
Apakah ada salah satu dari kita ini yg pernah melihat secara langsung sosok Siddharta?
Buddha memank tidak dapat dipisahkan dengan Dhamma.Bukankah banyak terdapat tulisan dalam sutta/sutra bahwa ada banyak dunia laen dengan Buddha masing2? Ato jgn2 tulisan seperti itu hanya ada dalam sutra yah?
Lain lagi, bukankah kualitas semua buddha itu sama?
Dhamma ada dimana2, bahkan ada sebelum kedatangan Samyaksambuddha, rasanya lebih tepat jika dikatakan bahwa seorang Samyaksambuddha "hanya" memutar roda dhamma dengan menemukannya kembali dan membabarkannya kepada semua makhluk agar dapat menemui dhamma.
Saya rasa ada yg salah dengan anda pahami dalam pelafalan Amitabha.
Membiasakan diri untuk selalu fokus pikirannya dan merenungkan sosok Buddha tidak ada gunanya?
Kalau memank seperti ini "pakem" pemikiran anda, stament 1 n 2 sudah ditolak, tentu stament 3 sebagai akibat, udh pasti tidak relevan.
bro edward, pertanyaan ini saya tujukkan kepada anda...Quotejika demikian saya bertanya dari awal
"apakah kelahiran merupakan suatu penderitaan?"
Penderitaan itu sebab atau akibat?
saya menjelaskan tentang suatu gambaran (umum) apa?saudara coedabgf yang bijak,
anda menjelaskan tentang apa?
mengenai keyakinan,
klo seseorang atau anda melangkah bertindak karena (didahului) apa?
saat ada pengakuan kata-kata 'namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhasa.' itu mencerminkan apa?
saat ada pengakuan kata-kata 'aku berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha' itu mencerminkan apa?
apakah anda sudah berjumpa Buddha?
dengan sudah mengetahui, melihat pintu (pikiran) itu, apakah anda sudah dapat melihat 'keBuddhaan'?
apakah DHAMMA/kebenaran yang sesungguhnya?
apakah karma itu?
apakah mengalami kelahiran dan kematian yang berulang-ulang itu?
apakah anda sebelumnya sudah melihat 'Nibanna'?
apakah anda sudah mencapai arahat?
mengapa anda mengikuti jalan dan memegang teguh ajaran guru Buddha dan mencerminkan pengakuan sebagai umat/pengikut/murid?
apakah dengan pengajaran jalan umum sekarang yang dapat dimengerti oleh intelektualitas anda (sebagai bukti anda dapat menjelaskan dengan baik dan dapat melakukan) anda sudah tercerahkan, melihat dan berlaku segala sesuatunya apa adanya seperti Buddha/mereka yang tercerahkan melihat?
dan yang terakhir, apakah anda sudah mengalami semuanya itu? klo belum karena apa anda memiliki (memegang teguh) pengetahuan itu?
berbahagialah mereka yang belum melihat namun percaya.
(catatan : bisa berbeda makna tulisan jika seperti tendensi bung hendarko tulis "Berbahagialah orang yang percaya namun tidak melihat.", muncul ketidak-murnian pencerapan/pandangan karena apa?)
sebab seperti guru Buddha bilang :
Pada saat itu Yang Dijunjungi mengucapkan suatu gatha yang berbunyi :
Barang siapa melihat-Ku dalam wujud,
Barang siapa mencari-Ku dalam suara,
Dia mempraktekkan jalan menyimpang,
Dan tidak dapat melihat Hyang Tathagatha.
sesungguhnya dari kisah penjelasan kalimat diatas, sebenarnya kita sudah (pernah) melihat atau belum? apa yang membuat manusia tidak melihat atau terbatasi melihat?
teori saja, tindakan meraih apa yang belum terlihat, pengalaman-kebenaran kenyataan teori yang dinyatakan (sebagai pembelajaran untuk meraih/menuju hasil yang belum terlihat), jika menuju untuk mencapai hasil di depan belum terlihat itu karena apa?
good hope and love
coedabgf
apakah DHAMMA/kebenaran yang sesungguhnya?
apakah karma itu?
apakah mengalami kelahiran dan kematian yang berulang-ulang itu?
apakah anda sebelumnya sudah melihat 'Nibanna'?
apakah anda sudah mencapai arahat?
mengapa anda mengikuti jalan dan memegang teguh ajaran guru Buddha dan mencerminkan pengakuan sebagai umat/pengikut/murid?
Tuan Mod/TS yg baik,Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
Rekan TS,
Dengan postingan ini, anda telah melanggar aturan yang anda buat sendiri, atas dasar apakah Saudara mengatakan Sutta versi Theravada itu SALAH?
tadinya saya ingin meng-click report to moderator, tapi saya pikir tidak ada gunanya karena anda adalah moderatornya.
Mohon Klarifikasi.
Ok, saya setuju.
Jika anda memank sudah bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas, mari anda berbagi dengan kita semua sehingga saya pun, yang masih belajar ini bertambah pengetahuannya agar bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas.
Karena kedua aliran memiliki referensi yg berbeda, akan lebih baik jika kenyataan dapat dijelaskan tanpa terikat embel2 menurut "Sutta ini benar, menurut Sutra ini salah".Karena jika tetap berpatokan dengan hal tersebut, pembahasan akan berujung pada debat kusir.
Karena jujur saja, dengan segala ketebatasan yg ada, sutra/sutta yg saya baca itu baru sangat sedikit.
Rekan Marcedes, karena anda yang sebagai partner diskusi dengan saya, bisakah tolong bantu memberikan klarifikasi seperti yg rekan Semit minta?Atau anda pun ternyata sebenarnya membutuhkan klarifikasi seperti rekan Semit?
^
^
^
se7, satu2 oi, nafsu bangetttt semua... ;D
bukan nya di theravada
jauh-jauh sebelum sakyamuni mencapai pencerahan, dia bertemu dengan buddha dipankara yang mengajarkan dharma kepada dia?
kenapa sekarang mereka sangat sulit untuk mempercayai ada buddha lain yang membabarkan dharma ya?
"Berbahagialah orang yang percaya namun tidak melihat."
Apabila tidak melihatnya saya ganti dengan buta, yg notabene adalah sinonim dari kata "tidak melihat,
bukankah kalimat tersebut menjadi:
"Berbahagialah orang yang percaya, buta."
Maaf sebelumnya, bukan bermaksud menyinggung, namun memang itulah yang dikatakan sebagai 'Iman", yang berbeda dengan ke"yakin"an, yang "melihat", apapun agamanya atau bahkan tidak ber"agama" sama sekali.
pernyataan bung hendrako sudah saya jelaskan sekalian pada tulisan diatas Reply #159.
Menurut Tradisi Theravada, pelajaran Dhamma memang bisa didapatkan seorang Bodhisatta dari Buddha yang ada pada masa itu. Contohnya Bodhisatta Gotama pada kehidupan sebagai Jotipala, menjadi bhikkhu dari Samma Sambuddha Kassapa.^
^
^
se7, satu2 oi, nafsu bangetttt semua... ;D
bukan nya di theravada
jauh-jauh sebelum sakyamuni mencapai pencerahan, dia bertemu dengan buddha dipankara yang mengajarkan dharma kepada dia?
kenapa sekarang mereka sangat sulit untuk mempercayai ada buddha lain yang membabarkan dharma ya?
Ini pernyataan aneh, di sutta mana dikatakan bahwa pertapa Sumedha belajar Dhamma dari Buddha Dipankara? memang pertapa Sumedha mendapat penetapan tetapi bukan belajar Dhamma.
petapa sumedha begitu serius menunggu kedatangan dan menyambut buddha dipankara...
trus begitu dia selesai menyambut buddha dipankara.
apakah pernah disebutkan tujuan buddha dipankara datang?
apakah cuma datang, buat ramah tamah, trus pergi?
tidak ada kotbah dharma sama sekali? so wasted u know....
atau memang buddha dipankara ada berkotbah, tapi
petapa sumedha tidak ikut?petapa sumedha pergi? pulang dulu-an? mgkn ada urusan... ;D
no offense, just asking.... :P
CMIIW,
navis
^
^
^
se7, satu2 oi, nafsu bangetttt semua... ;D
bukan nya di theravada
jauh-jauh sebelum sakyamuni mencapai pencerahan, dia bertemu dengan buddha dipankara yang mengajarkan dharma kepada dia?
kenapa sekarang mereka sangat sulit untuk mempercayai ada buddha lain yang membabarkan dharma ya?
Ini pernyataan aneh, di sutta mana dikatakan bahwa pertapa Sumedha belajar Dhamma dari Buddha Dipankara? memang pertapa Sumedha mendapat penetapan tetapi bukan belajar Dhamma.
Menurut Tradisi Theravada, pelajaran Dhamma memang bisa didapatkan seorang Bodhisatta dari Buddha yang ada pada masa itu. Contohnya Bodhisatta Gotama pada kehidupan sebagai Jotipala, menjadi bhikkhu dari Samma Sambuddha Kassapa.
Yang sebetulnya berbeda adalah dalam Tradisi Theravada, ajaran semua Buddha adalah sama PERSIS.
Jadi berbeda dengan aliran lain misalnya Mahayana yang mengajarkan ajaran alternatif dari Buddha Amitabha (yaitu tekad menuju Sukhavati yang tidak diajarkan Buddha Sakyamuni), atau juga misalnya aliran Maitreya yang mengajarkan ajaran Buddha itu bisa kadaluwarsa dan digantikan dengan ajaran Buddha berikutnya.
Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
oh ic, nice info bro kaiyn kutho
ternyata tidak belajar dari buddha dipankara
tapi belajar dari buddha kasyapa....
oh ic, nice info bro kaiyn kutho
ternyata tidak belajar dari buddha dipankara
tapi belajar dari buddha kasyapa....
Bukan hanya Buddha Kassapa, tetapi dari semua Buddha juga. Bedanya lagi, menurut Tradisi Theravada, selama seorang Bodhisatta belum menjadi Buddha (di kehidupan terakhirnya), maka ia tidak mencapai pencerahan atau kesucian apa pun. Ia tetap hanya "orang biasa".
sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
Just Asking yach.... ;) Apakah Mahayana banyak mengambil Ajaran-ajaran dari Rahib-rahib China (Fa-Xien,I Ching,Xuan Zhuang) yang mengambil kitab suci ke barat ?. Kalo tidak salah mereka bertiga mengeluarkan 3 kitab yang berbeda tentu dengan pendapatnya masing-masing... dan pada saat itu juga terdengar banyak Kaisar-kaisar yang anti Buddhism sehingga membakar habis Kitab-kitab yang ada.
No Offense ..Just Asking.... ;D
_/\_
Gunawan S S
Sembilan Kehidupan Lampau Siddharta Sebagai Bhikkhu
(i) Sebagai Raja Dunia Vijitavi yang kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kondanna,
(ii) Sebagai Brahmana Suruci dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Manggala,
(iii) Sebagai Brahmana Uttara dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sumedhà,
(iv) Sebagai raja dunia dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sujàta,
(v) Sebagai Raja Vijitavi dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Phussa,
(vi) Sebagai Raja Sudassana dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Vessabhu,
(vii) Sebagai Raja Khemà dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kakusandha,
(viii) Sebagai Raja Pabbata dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Konàgamana,
(ix) Sebagai Jotipàla, si pemuda brahmana dan kemudian menjadi bhikkhu pada massa Buddha Kassapa.
Demikianlah Beliau menerima ramalan dalam sembilan kehidupan sebagai bhikkhu
Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (hal 383-384)
sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
ada kok diceritakan, setelah Buddha Dipankara mengucapkan ramalan, selanjutnya Buddha Dipankara dan rombongan melanjutkan perjalanan disertai oleh para penduduk Ramavati, ke vihara yang dibangun khusus untuk Buddha dan rombongan, di sana Buddha Dipankara memberi ceramah Dhamma kepada para penduduk. sedangkan pada saat yang sama Sumedha malah bermeditasi dan merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan.
Jadi memang benar, bahwa Petapa Sumedha tidak belajar dari Buddha Dipankara.
^
^
^
waduh2, ternyata buddha belajar dengan banyak buddha
trus yang jadi pertanyaan, buddha masa lampau tersebut, sekarang masih mengajarkan dharma?
dialam manakah sang buddha masa lampau tersebut?sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
ada kok diceritakan, setelah Buddha Dipankara mengucapkan ramalan, selanjutnya Buddha Dipankara dan rombongan melanjutkan perjalanan disertai oleh para penduduk Ramavati, ke vihara yang dibangun khusus untuk Buddha dan rombongan, di sana Buddha Dipankara memberi ceramah Dhamma kepada para penduduk. sedangkan pada saat yang sama Sumedha malah bermeditasi dan merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan.
Jadi memang benar, bahwa Petapa Sumedha tidak belajar dari Buddha Dipankara.
oh ic2, bener2, bro indra
katanya petapa sumedha lagi menikmati pencapaian jhana nya (alias bertapa dihutan)
umm.......... something strange.. :-?
katanya yg bakalan pertama hilang adalah sutra tersebut bukan?
umm.......... something strange.. :-?
Sembilan Kehidupan Lampau Siddharta Sebagai Bhikkhu
(i) Sebagai Raja Dunia Vijitavi yang kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kondanna,
(ii) Sebagai Brahmana Suruci dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Manggala,
(iii) Sebagai Brahmana Uttara dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sumedhà,
(iv) Sebagai raja dunia dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sujàta,
(v) Sebagai Raja Vijitavi dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Phussa,
(vi) Sebagai Raja Sudassana dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Vessabhu,
(vii) Sebagai Raja Khemà dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kakusandha,
(viii) Sebagai Raja Pabbata dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Konàgamana,
(ix) Sebagai Jotipàla, si pemuda brahmana dan kemudian menjadi bhikkhu pada massa Buddha Kassapa.
Demikianlah Beliau menerima ramalan dalam sembilan kehidupan sebagai bhikkhu
Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (hal 383-384)
waduh2, ternyata petapa sumedha belajar dengan banyak buddha ya
trus yang jadi pertanyaan, buddha masa lampau tersebut, sekarang masih mengajarkan dharma?
dialam manakah sang buddha masa lampau tersebut?sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
ada kok diceritakan, setelah Buddha Dipankara mengucapkan ramalan, selanjutnya Buddha Dipankara dan rombongan melanjutkan perjalanan disertai oleh para penduduk Ramavati, ke vihara yang dibangun khusus untuk Buddha dan rombongan, di sana Buddha Dipankara memberi ceramah Dhamma kepada para penduduk. sedangkan pada saat yang sama Sumedha malah bermeditasi dan merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan.
Jadi memang benar, bahwa Petapa Sumedha tidak belajar dari Buddha Dipankara.
oh ic2, bener2, bro indra
katanya petapa sumedha lagi menikmati pencapaian jhana nya (alias bertapa dihutan)
merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan. >> berarti petapa sumedha menapaki jalan mahayana donk??? 10 paramita bodhisattva tah?
setau saya petapa sumedha sudah memenuhi pencapaian arahat pada saat itu juga kan, dia bisa saja jadi arahat dan kembali kejalan theravada kan? CMIIW
no offense, just curiousity....
_/\_
waduh2, ternyata petapa sumedha belajar dengan banyak buddha ya
trus yang jadi pertanyaan, buddha masa lampau tersebut, sekarang masih mengajarkan dharma?
dialam manakah sang buddha masa lampau tersebut?
oh ic2, bener2, bro indra
katanya petapa sumedha lagi menikmati pencapaian jhana nya (alias bertapa dihutan)
merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan. >> berarti petapa sumedha menapaki jalan mahayana donk??? 10 paramita bodhisattva tah?
setau saya petapa sumedha sudah memenuhi pencapaian arahat pada saat itu juga kan, dia bisa saja jadi arahat dan kembali kejalan theravada kan? CMIIW
no offense, just curiousity....
Sembilan Kehidupan Lampau Siddharta Sebagai Bhikkhu
(i) Sebagai Raja Dunia Vijitavi yang kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kondanna,
(ii) Sebagai Brahmana Suruci dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Manggala,
(iii) Sebagai Brahmana Uttara dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sumedhà,
(iv) Sebagai raja dunia dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sujàta,
(v) Sebagai Raja Vijitavi dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Phussa,
(vi) Sebagai Raja Sudassana dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Vessabhu,
(vii) Sebagai Raja Khemà dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kakusandha,
(viii) Sebagai Raja Pabbata dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Konàgamana,
(ix) Sebagai Jotipàla, si pemuda brahmana dan kemudian menjadi bhikkhu pada massa Buddha Kassapa.
Demikianlah Beliau menerima ramalan dalam sembilan kehidupan sebagai bhikkhu
Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (hal 383-384)
waduh2, ternyata petapa sumedha belajar dengan banyak buddha ya
trus yang jadi pertanyaan, buddha masa lampau tersebut, sekarang masih mengajarkan dharma?
dialam manakah sang buddha masa lampau tersebut?sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
ada kok diceritakan, setelah Buddha Dipankara mengucapkan ramalan, selanjutnya Buddha Dipankara dan rombongan melanjutkan perjalanan disertai oleh para penduduk Ramavati, ke vihara yang dibangun khusus untuk Buddha dan rombongan, di sana Buddha Dipankara memberi ceramah Dhamma kepada para penduduk. sedangkan pada saat yang sama Sumedha malah bermeditasi dan merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan.
Jadi memang benar, bahwa Petapa Sumedha tidak belajar dari Buddha Dipankara.
oh ic2, bener2, bro indra
katanya petapa sumedha lagi menikmati pencapaian jhana nya (alias bertapa dihutan)
merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan. >> berarti petapa sumedha menapaki jalan mahayana donk??? 10 paramita bodhisattva tah?
setau saya petapa sumedha sudah memenuhi pencapaian arahat pada saat itu juga kan, dia bisa saja jadi arahat dan kembali kejalan theravada kan? CMIIW
no offense, just curiousity....
_/\_
Sumber RAPB tidak menyebutkan demikian, tidak ada sama sekali dalam theravada seorang yang sudah Arahat bisa terlahir kembali. tapi tentunya akan OOT kalau membahas theravada di sini, jadi silahkan
:backtotopic:
cuma ide aja...
kita flash back ma sejarah peradaban manusia dengan waktu paling pertama kali Buddha muncul...
apa sesuai.. ?
(tapi keknya OOT.. dah gak usah dibahas.. :hammer:)
Sembilan Kehidupan Lampau Siddharta Sebagai Bhikkhu
(i) Sebagai Raja Dunia Vijitavi yang kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kondanna,
(ii) Sebagai Brahmana Suruci dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Manggala,
(iii) Sebagai Brahmana Uttara dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sumedhà,
(iv) Sebagai raja dunia dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Sujàta,
(v) Sebagai Raja Vijitavi dan kemudian menjadi bhikkhu pada masa Buddha Phussa,
(vi) Sebagai Raja Sudassana dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Vessabhu,
(vii) Sebagai Raja Khemà dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kakusandha,
(viii) Sebagai Raja Pabbata dan menjadi bhikkhu pada masa Buddha Konàgamana,
(ix) Sebagai Jotipàla, si pemuda brahmana dan kemudian menjadi bhikkhu pada massa Buddha Kassapa.
Demikianlah Beliau menerima ramalan dalam sembilan kehidupan sebagai bhikkhu
Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (hal 383-384)
waduh2, ternyata petapa sumedha belajar dengan banyak buddha ya
trus yang jadi pertanyaan, buddha masa lampau tersebut, sekarang masih mengajarkan dharma?
dialam manakah sang buddha masa lampau tersebut?
[/quote]sudah baca kisahnya bro
tapi tidak lengkap
tidak mendetail....
setelah membungkuk buat di injak oleh buddha dipankara
dia langsung bertekad menjadi buddha
trus diramalkan bakal jadi samma sambuddha (oleh buddha dipankara)
tapi tidak diceritakan, trus petapa sumedha, setelah itu ikut rombongan atau langsung pulang rumah?
ada kok diceritakan, setelah Buddha Dipankara mengucapkan ramalan, selanjutnya Buddha Dipankara dan rombongan melanjutkan perjalanan disertai oleh para penduduk Ramavati, ke vihara yang dibangun khusus untuk Buddha dan rombongan, di sana Buddha Dipankara memberi ceramah Dhamma kepada para penduduk. sedangkan pada saat yang sama Sumedha malah bermeditasi dan merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan.
Jadi memang benar, bahwa Petapa Sumedha tidak belajar dari Buddha Dipankara.
oh ic2, bener2, bro indra
katanya petapa sumedha lagi menikmati pencapaian jhana nya (alias bertapa dihutan)
merenungkan 10 Paramita yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-citanya di masa depan. >> berarti petapa sumedha menapaki jalan mahayana donk??? 10 paramita bodhisattva tah?
setau saya petapa sumedha sudah memenuhi pencapaian arahat pada saat itu juga kan, dia bisa saja jadi arahat dan kembali kejalan theravada kan? CMIIW
no offense, just curiousity....
_/\_
Tuan Mod/TS yg baik,Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
Rekan TS,
Dengan postingan ini, anda telah melanggar aturan yang anda buat sendiri, atas dasar apakah Saudara mengatakan Sutta versi Theravada itu SALAH?
tadinya saya ingin meng-click report to moderator, tapi saya pikir tidak ada gunanya karena anda adalah moderatornya.
Mohon Klarifikasi.
Ok, saya setuju.
Jika anda memank sudah bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas, mari anda berbagi dengan kita semua sehingga saya pun, yang masih belajar ini bertambah pengetahuannya agar bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas.
Karena kedua aliran memiliki referensi yg berbeda, akan lebih baik jika kenyataan dapat dijelaskan tanpa terikat embel2 menurut "Sutta ini benar, menurut Sutra ini salah".Karena jika tetap berpatokan dengan hal tersebut, pembahasan akan berujung pada debat kusir.
Karena jujur saja, dengan segala ketebatasan yg ada, sutra/sutta yg saya baca itu baru sangat sedikit.
Rekan Marcedes, karena anda yang sebagai partner diskusi dengan saya, bisakah tolong bantu memberikan klarifikasi seperti yg rekan Semit minta?Atau anda pun ternyata sebenarnya membutuhkan klarifikasi seperti rekan Semit?
saya mungkin mekakukan kesalahan dengan nimbrung langsung setelah 11 halaman, sebelum membaca thread ini dari awal, karena saya merasa surorised dengan statement anda. dan sambill saya membaca thread ini dari awal, bisakah menjelaskan aturan khusus berdiskusi di thread ini, selain yang terdapat dalam posting pertama. misalnya. semua pertanyaan yg memohon klarifikasi kepada TS/Mod akan dialihkan ke lawan diskusi dari TS.
saudara edward yang bijak,Tuan Mod/TS yg baik,Sekali lagi Marcedes, rasanya anda kurang mengerti.
Coba saya jawab secara singkat kepada anda:
Yang ada dalam SUTTA VERSI THERAVADA ITU SALAH!!
KARENA DALAM SUTRA MAHAYANA BERBEDA!
So, MEMASUKKAN KUTIPAN SUTTA THERAVADA TIDAK RELEVAN, KARENA ISI-nya RANCU,MELENCENG dan MELAYANG-LAYANG DARI DHARMA YANG SEBENARNYA!
Rekan TS,
Dengan postingan ini, anda telah melanggar aturan yang anda buat sendiri, atas dasar apakah Saudara mengatakan Sutta versi Theravada itu SALAH?
tadinya saya ingin meng-click report to moderator, tapi saya pikir tidak ada gunanya karena anda adalah moderatornya.
Mohon Klarifikasi.
Ok, saya setuju.
Jika anda memank sudah bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas, mari anda berbagi dengan kita semua sehingga saya pun, yang masih belajar ini bertambah pengetahuannya agar bisa melihat kenyataan secara murni dan jelas.
Karena kedua aliran memiliki referensi yg berbeda, akan lebih baik jika kenyataan dapat dijelaskan tanpa terikat embel2 menurut "Sutta ini benar, menurut Sutra ini salah".Karena jika tetap berpatokan dengan hal tersebut, pembahasan akan berujung pada debat kusir.
Karena jujur saja, dengan segala ketebatasan yg ada, sutra/sutta yg saya baca itu baru sangat sedikit.
Rekan Marcedes, karena anda yang sebagai partner diskusi dengan saya, bisakah tolong bantu memberikan klarifikasi seperti yg rekan Semit minta?Atau anda pun ternyata sebenarnya membutuhkan klarifikasi seperti rekan Semit?
saya mungkin mekakukan kesalahan dengan nimbrung langsung setelah 11 halaman, sebelum membaca thread ini dari awal, karena saya merasa surorised dengan statement anda. dan sambill saya membaca thread ini dari awal, bisakah menjelaskan aturan khusus berdiskusi di thread ini, selain yang terdapat dalam posting pertama. misalnya. semua pertanyaan yg memohon klarifikasi kepada TS/Mod akan dialihkan ke lawan diskusi dari TS.
Ok, karena Marcedes tidak dapat membantu, saya akan menjelaskan sendiri.
Sebelum penjelasan saya, ada alasan mengapa saya meminta pada Marcedes untuk bantu menjelaskan, karena saya perlu mengetahui respon tertulis mengenai statement saya.Yaitu persamaan visi.Dengan begitu diskusi dapat berjalan dengan lancar tanpa adu2 referensi yang berbeda.
Dan penjelasan saya mengenai statement saya ialah:
1.Kalimat itu sebagai kalimat "pemotong" secara langsung pada beberapa member yang secara eksplisit maupun tidak, membanding2kan sutra Mahayana dengan Sutta Theravada.Bahwa menurut sutta itu "x", tapi jika menurut sutra itu "y", bearti "y" itu salah.Saya melihat ada arah diskusi menuju ke arah ini, tentu saja saya akan MENCEGAH, sebelum hal tersebut terjadi.Karena jika benar2 terjadi, akan menjadi debat kusir, dan saya sebagai moderator pasti akan menutup thread ini.Dan jika ujung2nya debat kusir, thread ini akan percuma dan tidak akan membawa manfaat.
2.Apakah isi sutra dan sutta berbeda?
Jika isi dari kedua kitab tersebut sama persis, apakah akan timbul yang namanya THERAVADA DAN MAHAYANA?
Bagi yang gemar menelusuri jejak2 sejarah penulisan sutta / sutra, silahkan diteliti dan dilihat.Dari awal penulisan aja udh beda.Tetapi keduanya memiliki sejarah dan jejak yang sangat kuat.
Bagaimana bisa beda? I don't know.
Untuk itulah, salah satu tujuan dari saya memulai thread ini ialah, agar kita sama2 bisa melihat dan menjembatani segala perbedaan yang ada.Hal ini tentu saja sulit, bagi saya sendiri yg bertugas sebagai Moderator,dan bagi kawan2 yang tertarik untuk berdiskusi. Karena diperlukan NETRALITAS, KETERBUKAAN, DAN SIKAP MENGHARGAI yang kuat agar diskusi dapat berjalan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan.
saudara edward yang bijak,
sudah di katakan berulang dan berulang, yang kita bicarakan adalah "kenyataan"
kembali ke pertanyaan awal.
bagi anda saudara edward, "apakah kelahiran merupakan penderitaan?"
bagus, dan apakah anda setuju juga,saudara edward yang bijak,
sudah di katakan berulang dan berulang, yang kita bicarakan adalah "kenyataan"
kembali ke pertanyaan awal.
bagi anda saudara edward, "apakah kelahiran merupakan penderitaan?"
Dan saya mengulang dan mempertegas kalimat saya karena adanya permintaan dari rekan Semit. :)
"apakah kelahiran merupakan penderitaan?"
Ya. :)
Menurut Tradisi Theravada, pelajaran Dhamma memang bisa didapatkan seorang Bodhisatta dari Buddha yang ada pada masa itu. Contohnya Bodhisatta Gotama pada kehidupan sebagai Jotipala, menjadi bhikkhu dari Samma Sambuddha Kassapa.
Yang sebetulnya berbeda adalah dalam Tradisi Theravada, ajaran semua Buddha adalah sama PERSIS.
Jadi berbeda dengan aliran lain misalnya Mahayana yang mengajarkan ajaran alternatif dari Buddha Amitabha (yaitu tekad menuju Sukhavati yang tidak diajarkan Buddha Sakyamuni), atau juga misalnya aliran Maitreya yang mengajarkan ajaran Buddha itu bisa kadaluwarsa dan digantikan dengan ajaran Buddha berikutnya.
saya akhiri saja diskusi ini,
semoga anda semua bisa merenungkan nya......
saya mulai dari malafalkan amitabha....
masalah melafalkan amitabha, anda katakan semua buddha sama, dan dhamma-nya sama.
ketika melafalkan amitabha,di kehidupan sekarang ini..... katakanlah memiliki peluang 50% untuk bisa ke alam sana....
dan ketika anda memenangkan peluang 50% tersebut... anda mesti dibimbing lagi oleh buddha amitabha...
apakah yang diajarkan buddha amitabha? >> inilah pokok permasalahan-nya.
dikatakan Sammasambuddha gotama telah membabarkan dhamma dengan sempurna, hingga tidak ada satupun dirahasiakan-nya...
jadi...begitu anda berhadapan dengan buddha amitabha....disitu hanya mengulang kata-kata buddha gotama bukan...
mengapa tidak belajar sekarang saja disini?.....mari lihat untung rugi-nya?
1. untuk masuk ke alam tersebut, mesti berjuang tanpa keberhasilan 100%....mengapa dikatakan bukan 100%.....
karena tidak ada satupun orang yang mampu mengatakan bahwa "alam ini telah saya lihat",
berbeda dengan jhana yang dapat dicapai saat ini....dengan mengikuti petunjuk...ada bukti nyata lagi.
2.ternyata ketika anda telah masuk...anda hanya mendengarkan hal yang sama.
jikalau demikian apa bedanya belajar disini dan di sana?
3.buddha amitabha berkata "4 kesunyataan mulia"
- kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan , sakit adalah penderitaan, kehilangan orang yang dicintai,dsb-nya...
bukankah hal ini merujuk pada kebohongan?...di sana kan tidak ada penderitaan...
apa anda mau menyatakan UUD45 di negara singapura? tidak berlaku kan....
jadi buddha mengajarkan kebenaran Absolut(paramatha)? atau kebenaran perspektif(samuthi)?
sama halnya disini dan disana.....
===================================
tidak ada alasan pergi kesana belajar dan berharap mendengar "dhamma special" yang membawa pada pencerahan.
kemudian apabila katakanlah telah berhasil ke sana dan telah belajar dhamma disana....
coba lihat perhatikan...
"sariputta
(murid utama yang dikatakan oleh sang buddha sebagai tauladan yang baik)
dikatakan akan terlahir lagi entah dikalpa mana, disitu akan mencapai sammasambuddha.
sampai disini...ternyata "kelahiran" bukan merupakan penderitaan lagi.
sudah berbalik fakta dengan 4 kesunyataan mulia..atau bahkan anda sendiri tadi menyatakan "kelahiran merupakan penderitaan"
dan ketika telah mencapai sammasambuddha parah nya lagi.
---kutipan sutra-----
Ketika Buddha itu sedang menginjak Jalan KeBodhisattvaan, Ia telah mengucapkan Prasetya Agung dengan berkata:"Setelah Aku menjadi Seorang Buddha dan setelah Aku moksha, maka dimanapun juga jika didalam negeri di alam semesta ini terdapat suatu tempat dimana Sutta Bunga Teratai Dari Hukum Yang Menakjubkan dikhotbahkan, maka disitulah Stupa-Ku akan muncul dan menjulang tinggi agar Aku dapat mendengarkan Sutta itu dan memberi kesaksian terhadap-Nya serta memuji-Nya dengan berkata:"Bagus sekali !"
----------------
jadi ternyata "anda belum bebas dari kelahiran"
belum bebas dari penderitaan?...padahal sudah jadi sammasambuddha loh. !!!
ditambah ini....
---kutipan sutra---
Pada saat itu Sang Sakyamuni Buddha bangkit dari tempat duduk Hukum-Nya untuk memperlihatkan Kekuatan Ghaib, dan meletakkan Tangan kanan-Nya diatas kepala-kepala dari Para Bodhisattva-Mahasattva yang tak terhitung jumlah-Nya serta bersabda demikian :
“Selama ratusan ribu koti asamkhyeya kalpa yang tanpa hitungan, Aku telah melaksanakan Hukum Kesunyataan Penerangan Agung yang aneh ini. Sekarang Aku percayakan kepada kalian. Sebar luaskanlah Hukum Kesunyataan ini dengan sepenuh hati Kalian dan tingkatkan serta suburkanlah di seluruh pelosok alam semesta.”
----------------
kapan yah bebas dari kelahiran?
atau saya ubah menjadi "kapan tidak menderita lagi?"
dan maka lengkaplah semua menjadi............
"buddha menyelamatkan makhluk hidup dari apa?
menyelamatkan dari penderitaan?... toh masih juga lahir...(berarti menderita)
buddha mengajarkan kebahagiaan....toh masih ada penderitaan....
renungkan lah ini.........^^
mari kita bahas lagi lebih lanjut..............
dikatakan telah beribu-ribu koti kalpa tidak terhingga,buddha telah mengajarkan hukum kesunyataan...
------kutipan sutra----
Kemudian Sang Buddha menyapa Semua Bodhisattva-Bodhisattva itu :"Wahai Putera-Putera-Ku Yang Baik ! Sekarang Aku harus memaparkan dan menyatakan dengan jelas kepada Kalian. Seandainya Kalian mengumpulkan atom-atom dari semua dunia itu, baik yang sudah di tebarkan maupun yang belum, kemudian menghitung setiap butiran atom itu sebagai satu kalpa, maka waktu sejak Aku menjadi Buddha masih juga melampaui semuanya ini dengan ratusan ribu koti nayuta asamkhyeya kalpa. Mulai saat itu dan seterusnya, Aku telah tiada henti-hentinya berkhotbah dan mengajar di dalam Dunia Saha ini serta memimpin dan menyelamatkan semua mahluk hidup di tempat-tempat lain dalam ratusan ribu koti nayuta asamkhyeya kawasan. Putera-Putera Yang Baik ! Selama waktu ini, Aku selalu bersabda mengenai Diri-Ku Sendiri sebagai Sang Buddha Cahaya Menyala, dan juga bersabda mengenai Buddha-Buddha yang lain serta menceritakan pula kepada Mereka tentang masuknya Para Buddha ke Nirvana. Demikianlah telah Aku gambarkan kepada Mereka secara Bijaksana.
-------
1.kok bisa lupa cara pencapaian sempurna, bahkan butuh guru bimbingan sampai lewat pemusik?
2.apa mesti menikah lagi dengan yasodhara? jadi siapa lagi calon berikut nya?
3.butuh 6 tahun menyiksa baru pencapaiannya kembali?...apakah pencapaian sammasambuddha bisa memudar?.....
ternyata baik buddha amitabha, buddha gotama, atau bahkan buddha maitreya....masih juga harus menderita....
sariputta pun ikut menjadi tumbal dari kelahiran.......termasuk calon murid yakni anda
inikah jalan menuju kebahagiaan?
bagian mana-nya yang bahagia?
yang ada hanya P E N D E R I T A A N
banyak berkah pada anda..
salam metta.
Sori Bro, saya menolak IKT dikategorikan dalam Mahayana, maupun sebaliknya. ;D
Dan setahu saya, Tradisi Mahayana jg mengakui bahwa ajaran para Buddha sama, cma seperti iklan2, *terms and condition apply* ;D
Mari kita ulang secara lengkap 4 Kebenaran Ariya :bro edward yang bijak,
1. Kebenaran Ariya tentang dukkha;
2. Kebenaran Ariya tentang sebab dukkha;
3. Kebenaran Ariya tentang berakhirnya dukkha;
4. Kebenaran Ariya tentang Jalan menuju berakhirnya dukkha.
Apakah dukkha itu? Apakah serta merta dukkha = penderitaan? Dukkha dalam arti luas pun mengandung makna yg lebih dalam seperti : ketidakpuasan, ketidaksempurnaan, sakit, ketidakabadian, ketidakselerasan, ketidaknyamanan.
Anda bertanya "Apakah bagi Edward kelahiran merupakan penderitaan?" Tentu saya jawab "ya". Karena dalam kehidupan ini saya masih terbelenggu akan ikatan dan kebahagiaan yg terkondisikan.Tapi apakah sama bagi seseorang yg telah "TERBEBASKAN" sepenuhnya?Ketika kondisi2 telah dilepaskan, tubuh fisik telah dilepaskan dan yg ada adalah tubuh dhamma, yang tidak terkondisikan.Sama seperti makna akan Dhamma itu sendiri.
Jika mengikuti secara serta merta dukkha=penderitaan=kelahiran... Dan kita memasukkan ke dalam Kebenaran Ariya ke 3, menjadi "Kebenaran Ariya tentang Berakhirnya kelahiran" Woooww...Bukankah terlihat seperti paham nihilis? Jika diskusi mencapai k tahap ini, tentu saya akan mengakhiri, karena yg ada adalah spekulasi semata. Karena dengan kapasitas yang ada saat ini, saya belum mencapai tahap melihat dan memahami sepenuhnya dengan pengalaman sendiri.
Mengenai Amitabha Buddha.
Jika berikrar untuk terlahir dalam Sukhavati setelah kematian setelah kehidupan ini, berarti kita tidak mempelajari Dhamma dari Siddharta dan berlatih sesuai ajarannya pada kehidupan ini?Itu hanya ada dalam pikiran makhluk malas!
Dan seperti Jhana, BANYAK praktisi yang telah melihat alam Sukhavati dan tubuh dhamma Amitabha Buddha sebelum harus MATI dahulu.
Apakah Sukhavati memungkinkan menjadi tempat melihat sendiri 4 Kebenaran Ariya?Jika memaknai dukkha = penderitaan, tentu saja TIDAK.Tapi apakah makna dukkha sebegitu sempitnya? ???
Apakah Sukhavati memungkinkan menjadi tempat melihat sendiri 4 Kebenaran Ariya?Jika memaknai dukkha = penderitaan, tentu saja TIDAK.Tapi apakah makna dukkha sebegitu sempitnya? Huh?
ada yang mengatakan "masih ada 84.000 cara" atau ada juga yang masih berkata "daun yang belum digenggam Tathagatha itu banyak."Namun tidak semua orang bisa langsung merealisasikannya di sini dan sekarang. Rasanya semua orang juga memerlukan proses untuk menemukan kebenaran sejati "saat ini".
semua itu hanya mencari pembenaran....kebenaran sejati itu hanya ada "sekarang"
bukan "nanti" atau "masa lalu"
saya jadi sangat mengerti mengapa sariputta begitu mendengar nasehat dari bikkhu Assaji.
bisa merealisasikan kehidupan pemasuk arus....yakni hanya terlahir sisa 7x.
ada yang mengatakan "masih ada 84.000 cara" atau ada juga yang masih berkata "daun yang belum digenggam Tathagatha itu banyak."Namun tidak semua orang bisa langsung merealisasikannya di sini dan sekarang. Rasanya semua orang juga memerlukan proses untuk menemukan kebenaran sejati "saat ini".
semua itu hanya mencari pembenaran....kebenaran sejati itu hanya ada "sekarang"
bukan "nanti" atau "masa lalu"Quotesaya jadi sangat mengerti mengapa sariputta begitu mendengar nasehat dari bikkhu Assaji.
bisa merealisasikan kehidupan pemasuk arus....yakni hanya terlahir sisa 7x.
Salah alamat. Dalam Mahayana, Shariputra tetap akan terus terlahir lagi sampai suatu saat akan mencapai Anuttara Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha.
Dalam Saddharma Pundarika Sutra, dikatakan bahwa seseorang Arahat yang mengatakan kelahirannya telah berakhir dan tidak bertekad mencapai Samyak Sambodhi, adalah seorang Arahat PALSU yang SOMBONG dan tidak bebas dari kesalahan.
Juga seorang Arahat atau Pratyeka Buddha yang tidak mengambil sumpah untuk mencapai Samyak Sambodhi, maka mereka bukanlah murid Tathagata.
Jadi tidak bisa pakai kitab Pali untuk membandingkan, walaupun ada karakter yang sama, namun kisah dan ajarannya berbeda.
Salah alamat. Dalam Mahayana, Shariputra tetap akan terus terlahir lagi sampai suatu saat akan mencapai Anuttara Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha.
Dalam Saddharma Pundarika Sutra, dikatakan bahwa seseorang Arahat yang mengatakan kelahirannya telah berakhir dan tidak bertekad mencapai Samyak Sambodhi, adalah seorang Arahat PALSU yang SOMBONG dan tidak bebas dari kesalahan.
Juga seorang Arahat atau Pratyeka Buddha yang tidak mengambil sumpah untuk mencapai Samyak Sambodhi, maka mereka bukanlah murid Tathagata.
Jadi tidak bisa pakai kitab Pali untuk membandingkan, walaupun ada karakter yang sama, namun kisah dan ajarannya berbeda.
Salah alamat. Dalam Mahayana, Shariputra tetap akan terus terlahir lagi sampai suatu saat akan mencapai Anuttara Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha.
Dalam Saddharma Pundarika Sutra, dikatakan bahwa seseorang Arahat yang mengatakan kelahirannya telah berakhir dan tidak bertekad mencapai Samyak Sambodhi, adalah seorang Arahat PALSU yang SOMBONG dan tidak bebas dari kesalahan.
Juga seorang Arahat atau Pratyeka Buddha yang tidak mengambil sumpah untuk mencapai Samyak Sambodhi, maka mereka bukanlah murid Tathagata.
Jadi tidak bisa pakai kitab Pali untuk membandingkan, walaupun ada karakter yang sama, namun kisah dan ajarannya berbeda.
bole tau, di bab berapa dari sadharmapundarika sutra yang mengatakan demikian?
"Lagi, Wahai Sariputra ! Jika para bhiksu dan bhiksuni yang menyatakan bahwa mereka telah menjadi Arhat dan berkata," inilah penitisan kami yang terakhir, sebelum mencapai Nirvana," dan kemudian mereka tidak berusaha lagi untuk mencari Penerangan Agung, maka ketahuilah bahwa golongan ini semuanya sangat sombong. Karena betapapun juga tidak ada hal yang seperti itu sebagai seorang bhiksu yang telah benar-benar mencapai kearhatan meskipun ia tidak menyakini hukum ini. Tetapi terdapat perkecualian jika setelah kemokshaan Sang Buddha tidak terdapat seorang Buddha lagi yang hadir. Karena sesudah kemokshaan Sang Buddha nanti, sangatlah begitu sulit untuk mencari seseorang yang dapat menerima, memelihara, membaca dan menghafalkan serta menjelaskan makna dari sutra-sutra semacam ini. Hanya jika mereka bertemu dengan para Buddha yang lain, barulah mereka dapat memperoleh pemecahan masalah di dalam Hukum Kesunyataan yang sama ini.
^
^
^
jangan mengutip sepotong-sepotong,
karena mengutip sepotong sepotong, bisa menghasilkan salah presepsi...
sutra saddharma pundarika sutra, bukan sutra yang dalam 1-2 menit langsung bisa dipahami...
kalau masih terikat dengan kendaraan yang lain, akan sangat sulit menerima sutra ini.
Tetapi terdapat perkecualian jika setelah kemokshaan Sang Buddha tidak terdapat seorang Buddha lagi yang hadir.
Karena sesudah kemokshaan Sang Buddha nanti, sangatlah begitu sulit untuk mencari seseorang yang dapat menerima, memelihara, membaca dan menghafalkan serta menjelaskan makna dari sutra-sutra semacam ini. Hanya jika mereka bertemu dengan para Buddha yang lain, barulah mereka dapat memperoleh pemecahan masalah di dalam Hukum Kesunyataan yang sama ini.
Seperti saya bilang, ini 'kan pandangan Mahayana, jadi tidak bisa pakai acuan Theravada atau yang lain.
Ini seperti dalam Is1am, Yesus ga disalib; dalam Krist3n, Yesus disalib. Karakternya sama, tapi kisah dan ajarannya 'kan beda.
Kalau untuk akhir dari penderitaan, sepertinya sejak mencapai Arahat (sravaka/Pratyeka) sudah tidak ada penderitaan bathin lagi, tetapi Arahat yang benar akan mengambil jalan Mahayana untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi demi orang lain.
Seperti saya bilang, ini 'kan pandangan Mahayana, jadi tidak bisa pakai acuan Theravada atau yang lain.
Ini seperti dalam Is1am, Yesus ga disalib; dalam Krist3n, Yesus disalib. Karakternya sama, tapi kisah dan ajarannya 'kan beda.
Kalau untuk akhir dari penderitaan, sepertinya sejak mencapai Arahat (sravaka/Pratyeka) sudah tidak ada penderitaan bathin lagi, tetapi Arahat yang benar akan mengambil jalan Mahayana untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi demi orang lain.
saya tidak menanyakan dari sisi pandang Theravada, dari sisi MAHAYANA kapankah penderitaan itu berakhir ?
---
kemudian pernyataan di atas, bahwa arahat yang benar akan mengambil jalan Mahayana... berarti savaka/sravaka hinayana itu gak benar ?Begitulah. Maka harus dibimbing kembali ke jalan Mahayana karena mereka hanya setengah jalan (seperti memang dikatakan sebelumnya, baru TK, harus lanjut SD, SMP, dst). Maka dikatakan bahwa Sariputra sendiri keliru mengira perjuangannya telah berakhir, namun sebenarnya akan terus terlahir sampai mencapai Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha. Saya lupa persisnya pembicaraan ini di mana.
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Tidak menyesatkan juga. Jika mengambil dan menempuh jalan Hinayana secara benar, pasti di kemudian hari akan mengerti ajaran dari para Buddha untuk meneruskan ke jalan Mahayana. Semua Sravaka seperti Sariputra juga 'kan menempuh jalan Hinayana, lalu setelah mendengarkan ajaran Buddha, mereka melanjutkan ke jalan Mahayana.
Para Buddha yang mana aja ya?, darimana kita tahu itu jalan yang benar?Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Tidak menyesatkan juga. Jika mengambil dan menempuh jalan Hinayana secara benar, pasti di kemudian hari akan mengerti ajaran dari para Buddha untuk meneruskan ke jalan Mahayana. Semua Sravaka seperti Sariputra juga 'kan menempuh jalan Hinayana, lalu setelah mendengarkan ajaran Buddha, mereka melanjutkan ke jalan Mahayana.
gak ada yg bakalan mencapai nibanna dong.. mesti ngantri berapa lama?Karena itu, dlm Tripitaka, Sang Buddha mengenalkan Amitabha Buddha dan berlatih secara langsung kepada seorang Buddha..
kumpulin pahala aja deh biar masuk surga
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Begitulah. Maka harus dibimbing kembali ke jalan Mahayana karena mereka hanya setengah jalan (seperti memang dikatakan sebelumnya, baru TK, harus lanjut SD, SMP, dst). Maka dikatakan bahwa Sariputra sendiri keliru mengira perjuangannya telah berakhir, namun sebenarnya akan terus terlahir sampai mencapai Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha. Saya lupa persisnya pembicaraan ini di mana.
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Tidak menyesatkan juga. Jika mengambil dan menempuh jalan Hinayana secara benar, pasti di kemudian hari akan mengerti ajaran dari para Buddha untuk meneruskan ke jalan Mahayana. Semua Sravaka seperti Sariputra juga 'kan menempuh jalan Hinayana, lalu setelah mendengarkan ajaran Buddha, mereka melanjutkan ke jalan Mahayana.
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
Kalau begitu, seharusnya JALAN HINAYANA itu menyesatkan, dan harus di BERANTAS... karena menurut berbagai sumber MAHAYANA, bukan jalan yang benar...
eh.udah dong..jangan saling nyalahin..kan postingan ini awalnya dibuka biar orang lebih paham sama mahayana, bukan saling jelek2in ,iya nggak?
Kalo udah kayak gini mendingan saling damai. Kalo ga bisa lagi better di-lock aja. Masa sesama DC begini?? Tau begini saya nggak mau nanya tentang tanah suci karena ujung2nya jadi gini..
Begitulah. Maka harus dibimbing kembali ke jalan Mahayana karena mereka hanya setengah jalan (seperti memang dikatakan sebelumnya, baru TK, harus lanjut SD, SMP, dst). Maka dikatakan bahwa Sariputra sendiri keliru mengira perjuangannya telah berakhir, namun sebenarnya akan terus terlahir sampai mencapai Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha. Saya lupa persisnya pembicaraan ini di mana.
namaste suvatthi hotu
Dari teks Mahayana yang mana pernyataan seperti itu dikutip?
mohon tuliskan sumber teks sutranya dong, untuk ricek
thuti
kalau berdiskusi dan di situ ada kebencian, lebih baik sudahi saja....
kalau berdiskusi dan di situ tidak ada pertemuan titik pikiran..lebih baik sudahi saja...
makanya dari awal saya tanyakan
"apakah kelahiran merupakan suatu penderitaan?"
ketika pertanyaan ini dijawab "tidak" maka tidak ada pembahasan.
tetapi dikatakan "ya"
maka saya hanya menujukkan dimana letak "YA" nya itu berlawanan dengan "tujuan".
saya membaca buku lama "what's wrong with us"
disitu ada kalimat berbunyi
25.para bijak berkata "pembicaraan apapun juga tidak berdasarkan aniccam bukanlah pembicaraan dari seorang yang bijaksana"
sifat ketidak-kekalan dari segala sesuatu yang berkondisi adalah kenyataan, realita kebenaran.
bukan sekedar teori imajinasi, khayalan , impian , pendapat atau kepercayaan.
anda perlu bukti? tidak sulit.
cobalah temukan satu hal saja yang betul-betul anda tahu pasti bersifat kekal abadi, permanen, tidak berubah sepanjang masa...
pastikan hal tersebut nyata dalam kepercayaan atau khayalan anda saja. Dapatkah anda termukan? bila tidak maka mulai sekarang marilah kita berbicara berdasarkan apa yang nyata secara universal saja : bahwa segala sesuatu yang berkondisi itu memang tidak kekal adanya (anicca).
kalau berdiskusi dan di situ ada kebencian, lebih baik sudahi saja....
kalau berdiskusi dan di situ tidak ada pertemuan titik pikiran..lebih baik sudahi saja...
makanya dari awal saya tanyakan
"apakah kelahiran merupakan suatu penderitaan?"
ketika pertanyaan ini dijawab "tidak" maka tidak ada pembahasan.
tetapi dikatakan "ya"
maka saya hanya menujukkan dimana letak "YA" nya itu berlawanan dengan "tujuan".
saya membaca buku lama "what's wrong with us"
disitu ada kalimat berbunyi
25.para bijak berkata "pembicaraan apapun juga tidak berdasarkan aniccam bukanlah pembicaraan dari seorang yang bijaksana"
sifat ketidak-kekalan dari segala sesuatu yang berkondisi adalah kenyataan, realita kebenaran.
bukan sekedar teori imajinasi, khayalan , impian , pendapat atau kepercayaan.
anda perlu bukti? tidak sulit.
cobalah temukan satu hal saja yang betul-betul anda tahu pasti bersifat kekal abadi, permanen, tidak berubah sepanjang masa...
pastikan hal tersebut nyata dalam kepercayaan atau khayalan anda saja. Dapatkah anda termukan? bila tidak maka mulai sekarang marilah kita berbicara berdasarkan apa yang nyata secara universal saja : bahwa segala sesuatu yang berkondisi itu memang tidak kekal adanya (anicca).
27. banyak orang tidak menyukai kebenaran. mereka lebih suka bentuk kepercayaan.
seindah apapun kedengarannya, suatu bentuk kepercayaan tetaplah hanyalah kepercayaan.
tidak lebih dari sekedar produk khayalan ilusi.
tetapi sayang-nya malahan kebanyakan orang lebih suka terbuai dan terikat dalam kepercayaan atau khayalan karena mereka khawatir kebenaran yang sesungguhnya mungkin tidak sesuai dengan harapan.
Sebenarnya sekejab saja menyadari dan mengalami kebenaran langsung jauh lebih berharga daripada hidup beribu-ribu tahun dalam "indah-nya" ilusi.
salam metta.
ada satu hal yang kekal / tidak berubah... dari dulu begitu begitu saja...
MAU TAHU ?... yang kekal dan tidak berubah-ubah dari dulu adalah KETIDAKKEKALAN itu sendiri. Tidak ada yang kekal, yang kekal hanyalah perubahan itu (ketidakkekalan)...
mengapa secara umum umat seolah-olah bijaksana berpengetahuan seolah-olah berbicara prisip kebenaran berasal dari inti pengajaran guru Buddha, padahal semua itu dinyatakan oleh guru Buddha bukan dari inti kebenaran sejati melainkan sebagai ciri-ciri fenomena dari ketidak-kekalan semua yang bersifat duniawi atau carnal (daging) yang harus ditanggalkan/dilepaskan/tidak sepatutnya layak dipercayai, seperti :saudara coedabgf yang bijak,
perkataan mercedes :
-para bijak berkata "pembicaraan apapun juga tidak berdasarkan aniccam bukanlah pembicaraan dari seorang yang bijaksana"
sifat ketidak-kekalan dari segala sesuatu yang berkondisi adalah kenyataan, realita kebenaran.
bukan sekedar teori imajinasi, khayalan , impian , pendapat atau kepercayaan.
-apa yang nyata secara universal saja : bahwa segala sesuatu yang berkondisi itu memang tidak kekal adanya (anicca).
-banyak orang tidak menyukai kebenaran. mereka lebih suka bentuk kepercayaan.
seindah apapun kedengarannya, suatu bentuk kepercayaan tetaplah hanyalah kepercayaan.
tidak lebih dari sekedar produk khayalan ilusi.
-Sebenarnya sekejab saja menyadari dan mengalami kebenaran langsung jauh lebih berharga daripada hidup beribu-ribu tahun dalam "indah-nya" ilusi.
pernyataan dilbert :
-ada satu hal yang kekal / tidak berubah... dari dulu begitu begitu saja...
MAU TAHU ?... yang kekal dan tidak berubah-ubah dari dulu adalah KETIDAKKEKALAN itu sendiri. Tidak ada yang kekal, yang kekal hanyalah perubahan itu (ketidakkekalan)...
dimana pada setiap pembicaraan timbul pada hakekatnya suatu pernyataan yang bertentangan atau kekacauan dan kebingungan tentang kebenaran sejati yang dimaksudkan guru Buddha, tentang kenyataan kebenaran pemahaman 'ada dan tiada', 'anicca dan anatta', tentang keberadaan (kehidupan) makhluk/mereka yang telah tercerahkan. mengapa?
Seperti sering saya tulis tanyakan 'siapakah yang telah tercerahkan?', karena secara massal (umum) umat (buddhist) saya beri gambaran/ilustrasi sebagai berikut 'dalam kekhayalan berbicara kebenaran sejati'. apa artinya?
coba anda renungkan syair yang sudah saya tuliskan diatas :
Semua (masih) hanyalah kekhayalan
Mau keluar kekhayalan memakai kekhayalan
Menyelami yang sejati (masih) terikat pada yang terkondisi
Menilai yang Mutlak dari (keterbatasan) pengalaman persepsi kemelekatan (pada) yang sementara
Apa maksudnya?, yaitu semua apa yang anda/umat/awam nyatakan, apa yang dibicarakan, sesungguhnya semua dalam lingkup (pandang) kesementaraan saja alias bersifat ilusi saja.
Seperti pembicaraan tentang blind faith? siapa umat/awam (buddhist) yang dapat membuktikan tentang sesuatu yang menjadi inti keyakinan/kepercayaan guru Buddha sehingga Ia dapat mencapai pengetahuan pandangan terang tentang kesejatian inti keberadaan kehidupan sehingga dapat terbebas dari cengkraman/ikatan/cekatan ketidak-kekalan kehidupan sementara yang palsu atau khayal pada sutta udanna VIII.3, sehingga timbul suatu yang diistilahkan umat/awam dengan yang tercerahkan atau Buddha?
Tentang prinsip ehipassiko yang biasa dinyatakan oleh umat/awam yang masih dalam kesementaraan (yang masih terikat pada yang terkondisi) dalam setiap diskusi, itu sebenarnya pada akhirnya tertuju/ditujukan untuk pemuasan (logika) apa? tetapi guru Buddha menyatakan prinsip itu supaya murid/umat untuk menggali/melihat/membuktikan kebenaran, bukan malah pada posisi yang terbalik yaitu menutup mata atau menolak segala sesuatu yang tidak sesuai atau asing (belum diketahui) karena kemapanan (seolah-olah berpengetahuan) diri (atta) ini biasanya berkecenderungan terjadi pada Buddhist theravada atau menerima langsung percaya seperti pada praktek-praktek umat pada Buddhist tradisi tantra (mengarah takhayul).
Semoga kawan-kawan buddhist dapat menerima tulisan cinta dari seorang sahabat dan terbebaskan. Untuk lebih jelasnya silahkan renungi tulisan saya pada reply #241 diatas.
semoga bukan memandang dengan kemarahan dan kebanggaan kemapanan (pengetahuan) atta diri
good hope and love
coedabgf
NB : sabar bro gunawan, saya fokus pada tulisan-tulisan akhir, blom fokus baca tulisan-tulisan anda.
Dan pada teman-teman yang lain, jawaban tentang pertanyaan yang berhubungan kekeristenan
bagaimana yah, masih mau di ulas?
saudara coedabgf yang bijak,
kata-kata itu di ucapkan oleh ven. Ajahn Chah sendiri..
sudah saya katakan di postingan sebelumnya,
syair mengenai "keraguan" akan pencapaian adalah sebuah kebodohan.
ketika kita melihat "anicca" apakah dibutuhkan rekayasa atau semacam pembenaran?
anicca itu begitu "alamiah" sangat alamiah.
sama hal nya dengan kelahiran maka ada jara-marana... semua itu begitu alamiah, tanpa ada penghalang dalam melihat.
hanya ketika seseorang melihat hal ini, orang tersebut ragu akan kebenaran kenyataan.
maka biasanya muncul pada pandangan
"saya umat awam, masih belum tahu apa-apa"
saya umat awam, masih butuh belajar"
saya umat awam, masih harus berguru
saya umat awam, masih harus mengikis khayalan"
inilah beberapa pandangan jika seseorang tidak bisa mandiri membangkitkan kebijaksanaan untuk melihat "secara alamiah"
atau saya sebut "sebagaimana adanya"
1+1 = 2... di ubah bagaimana pun, kenyataannya tetap demikian...
ada kelahiran maka ada penderitaan, di ubah bagaimana pun, kenyataan tetap lah demikian....
demikian pencapaian "apakah harus ada keraguan ketika melihat hasil nya demikian"?
hanya kebodohan yang membuat nya demikian...
ketika seseorang sudah melihat anicca demikian, dan masih "ragu" akan kebenaran anicca. orang tersebut benar-benar bodoh.
=================================
nb:
"masih butuh belajar" adalah dimana ketika seseorang menguasai 1+1=2 tetapi orang ini ragu akan kebenaran dari hasil 2.
atau ketika seseorang sudah menguasai 1+1=2 tetapi hanya pelajaran itu yang diulang-ulang....
salam metta _/\_
‘mengapa secara umum umat seolah-olah bijaksana berpengetahuan seolah-olah berbicara prisip kebenaran berasal dari inti pengajaran guru Buddha, padahal semua itu dinyatakan oleh guru Buddha bukan dari inti kebenaran sejati melainkan sebagai ciri-ciri fenomena dari ketidak-kekalan semua yang bersifat duniawi atau carnal (daging) yang harus ditanggalkan/dilepaskan/tidak sepatutnya layak dipercayai’, awal untuk dapat masuk/mengenal dan menyelami kedalam pengetahuan kebenaran sejati (pengalaman udanna VIII.3), masih bersifat dangkal atau kulit luar bukan kebenaran inti yang sesungguhnya yang dimaksudkan guru Buddha tetapi umat/awam sangat tercekat, sukar untuk memisahkan diri.
‘mengapa secara umum umat seolah-olah bijaksana berpengetahuan seolah-olah berbicara prisip kebenaran berasal dari inti pengajaran guru Buddhaapa hubungannya anicca dengan buddha gotama?
‘Sebab keBuddhaan sudah diluar dari pengetahuan/kebenaran itu semua’kebenaran apapun itu..semua hanya ada dalam pikiran... bukan di luar pikiran.
‘masih bersifat dangkal atau kulit luar bukan kebenaran inti yang sesungguhnya yang dimaksudkan guru Buddha tetapi umat/awam sangat tercekat, sukar untuk memisahkan diri’, ‘bukan dari inti kebenaran sejati melainkan sebagai ciri-ciri fenomena dari ketidak-kekalan semua yang bersifat duniawi atau carnal (daging) yang harus ditanggalkan/dilepaskan/tidak sepatutnya layak dipercayai’, tetapi melainkan ‘sebagai pengetahuan awal untuk dapat masuk/mengenal kedalam pengetahuan kebenaran sejati’. Dan apalagi kalau dalam kapasitas kebenaran kata-kata saja seperti yang sudah saya tulis diatas sebagai berikut :
ven Ajahn Chah attained kebenaran sejati atau tidak, awam siapa yang tahu.
Kalaupun ven Ajahn Chah mencapai kebenaran sejati, kata-katanya hanyalah kata-kata, realitas kebenarannya hanya dapat diraih oleh pengalaman pribadi. Diluar realitas pengalaman kebenaran sendiri, pengetahuan atau kata-kata kebenaran tetaplah hanyalah ilusi.
Tentang prinsip ehipassiko yang biasa dinyatakan oleh umat/awam yang masih dalam kesementaraan (yang masih terikat pada yang terkondisi) dalam setiap diskusi, itu sebenarnya pada akhirnya tertuju/ditujukan untuk pemuasan (logika) apa? tetapi guru Buddha menyatakan prinsip itu supaya murid/umat untuk menggali/melihat/membuktikan kebenaran, bukan malah pada posisi yang terbalik yaitu menutup mata atau menolak segala sesuatu yang tidak sesuai atau asing (belum diketahui) karena kemapanan (seolah-olah berpengetahuan) diri (atta) ini biasanya berkecenderungan terjadi pada Buddhist theravada atau menerima langsung percaya seperti pada praktek-praktek umat pada Buddhist tradisi tantra (mengarah takhayul).
Begitulah. Maka harus dibimbing kembali ke jalan Mahayana karena mereka hanya setengah jalan (seperti memang dikatakan sebelumnya, baru TK, harus lanjut SD, SMP, dst). Maka dikatakan bahwa Sariputra sendiri keliru mengira perjuangannya telah berakhir, namun sebenarnya akan terus terlahir sampai mencapai Samyak Sambodhi bernama Padmaprabha. Saya lupa persisnya pembicaraan ini di mana.
namaste suvatthi hotu
Dari teks Mahayana yang mana pernyataan seperti itu dikutip?
mohon tuliskan sumber teks sutranya dong, untuk ricek
thuti
"Aku berikrar bahwa bila Aku mencapai Penerangan di masa yang akan datang, jika ada makhluk hidup yang menempuh jalan menyimpang, Aku akan membimbing mereka kembali ke jalan Penerangan.
Jika ada yang menjadi pengikut jalan Sravaka atau Pacekkabuddha, mereka akan berangsur-angsur dibimbing ke Jalan Mahayana."
"Now, Sâriputra, such disciples, Arhats, or Pratyekabuddhas who do not hear their actually being called to the Buddha-vehicle by the Tathâgata, who do not perceive, nor heed it, those, Sâriputra, should not be acknowledged as disciples of the Tathâgata, nor as Arhats, nor as Pratyekabuddhas."
... Thou thinkest that thou hast reached final rest. I, wishing to revive and renew in thee the knowledge of thy former vow to observe the (religious) course, will reveal to the disciples the Dharmaparyaya called 'the Lotus of the True Law,' this Sûrânta.
Again, Sâriputra, at a future period, after innumerable, inconceivable, immeasurable Æons, when thou shalt have learnt the true law of hundred thousand myriads of kotis of Tathâgatas, showed devotion in various ways, and achieved the present Bodhisattva-course, thou shalt become in the world a Tathâgata, named Padmaprabha
apakah semua sravaka itu harus melanjutkan ke jalan MAHAYANA ?
Para Buddha yang mana aja ya?, darimana kita tahu itu jalan yang benar?
saudara kainyn yang bijak,
coba sebutkan 4 hukum kesunyataan mulia....
1.dukkha ( dari sini sebuah calon harusnya berusaha untuk menghindari dari dukkha)
2.sebab dukkha
3.akhir dukkha
4.jalan menuju akhir dukkha.
dan kenyataan setelah "LULUS dengan baik secara katakanlah "hinaya" eh, kok di TK belajar menghindari dukkha..sekarang SD.SMP,SMA diajarkan untuk terus menikmati dukkha?
TK dan SMP--- kok tidak nyambung?
[...]
Dalam satu terjemahan, ditulis demikian:
"Again, Shariputra, if there should be monks or nuns who claim that they already have attained the status of arhat, that this is their last incarnation, that they have reached the final nirvana, and that therefore they have no further intention of seeking anuttara-samyak-sambodhi, then you should understand that such as these are all persons of overbearing arrogance. Why do I say this? Because if they are monks who have truly attained the status of arhat, then it would be unthinkable that they should fail to believe this Law. The only
exception would be in a time after the Buddha had passed away, when there was no Buddha present in the world. Why is this? Because after the Buddha has passed away it will be difficult to find anyone who can embrace, recite, and understand the meaning of sutras such as this. But if persons at that time encounter another Buddha, then they will attain decisive understanding with regard to this Law."
Jelas di sini bahwa yang mengatakan kelahiran kembali telah berakhir namun tidak mengambil tekad mencapai Samyak Sambodhi, ia hanyalah orang yang mengaku-ngaku sebagai Arahat.
Bait sebelumnya adalah:
"Now, Sâriputra, such disciples, Arhats, or Pratyekabuddhas who do not hear their actually being called to the Buddha-vehicle by the Tathâgata, who do not perceive, nor heed it, those, Sâriputra, should not be acknowledged as disciples of the Tathâgata, nor as Arhats, nor as Pratyekabuddhas."
Apakah Bunyi Mantra2 itu HANYALAH untuk memuji Buddha tersebut atau bagaimana? soalnya terdengar seperti Buddha tersebut sebagai sosok yang ingin di puji baru memberikan bantuan :DPara Buddha yang mana aja ya?, darimana kita tahu itu jalan yang benar?
Saya kurang tahu. Tetapi kalau di Sutra Mahayana, memang banyak disebutkan tentang Buddha lain. Pembagiannya adalah satu Buddha dalam satu galaksi, lalu ada Buddha di sebelah barat, utara, selatan, timur, zenith (atas), dan Nadir (bawah). Lalu dari arah masing-masing Buddha tersebut, ada Buddha lainnya lagi. Jadi sungguh banyak tak terhitung. Misalnya di sebelah barat ada Buddha Amitayus, Amitaskhamdha, Amitadhavaja, Mahaprabha, dan lain-lain. Di sebelah timur ada Buddha Aksobhya, Merudhvaja, Mahameru, daln lain-lain. Begitu juga di arah-arah lainnya.
Kalau setahu saya, yang dijelaskan dalam sutra adalah Amitayus (Amitabha) dan Bhaisajyaguru. (Dalam wihara Mahayana, sering kita lihat 3 patung utama Buddha, yaitu Sakyamuni di tengah, Amitayus di kiri, dan Bhaisajyaguru di kanan.)
bro and sis semua...,bro coedabgf yang bijak,
lepaskan cangkang... segala (kelekatan) kewujudan. Contoh perumpamaan level tinggi adalah seperti syair guru Buddha tentang bahkan (pengetahuan tertinggi) Dhammapun seperti sebuah rakit yang harus ditinggalkan/ditanggalkan untuk menjejak di pantai seberang, apalagi yang (bersifat) fenomena atau bukan yang nyata/sejati, hanya (bersifat) sementara.
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan
(Dhammapada 214)
Apakah Bunyi Mantra2 itu HANYALAH untuk memuji Buddha tersebut atau bagaimana? soalnya terdengar seperti Buddha tersebut sebagai sosok yang ingin di puji baru memberikan bantuan :DPara Buddha yang mana aja ya?, darimana kita tahu itu jalan yang benar?
Saya kurang tahu. Tetapi kalau di Sutra Mahayana, memang banyak disebutkan tentang Buddha lain. Pembagiannya adalah satu Buddha dalam satu galaksi, lalu ada Buddha di sebelah barat, utara, selatan, timur, zenith (atas), dan Nadir (bawah). Lalu dari arah masing-masing Buddha tersebut, ada Buddha lainnya lagi. Jadi sungguh banyak tak terhitung. Misalnya di sebelah barat ada Buddha Amitayus, Amitaskhamdha, Amitadhavaja, Mahaprabha, dan lain-lain. Di sebelah timur ada Buddha Aksobhya, Merudhvaja, Mahameru, daln lain-lain. Begitu juga di arah-arah lainnya.
Kalau setahu saya, yang dijelaskan dalam sutra adalah Amitayus (Amitabha) dan Bhaisajyaguru. (Dalam wihara Mahayana, sering kita lihat 3 patung utama Buddha, yaitu Sakyamuni di tengah, Amitayus di kiri, dan Bhaisajyaguru di kanan.)
Dalam satu terjemahan, ditulis demikian:
"Again, Shariputra, if there should be monks or nuns who claim that they already have attained the status of arhat, that this is their last incarnation, that they have reached the final nirvana, and that therefore they have no further intention of seeking anuttara-samyak-sambodhi, then you should understand that such as these are all persons of overbearing arrogance. Why do I say this? Because if they are monks who have truly attained the status of arhat, then it would be unthinkable that they should fail to believe this Law. The only
exception would be in a time after the Buddha had passed away, when there was no Buddha present in the world. Why is this? Because after the Buddha has passed away it will be difficult to find anyone who can embrace, recite, and understand the meaning of sutras such as this. But if persons at that time encounter another Buddha, then they will attain decisive understanding with regard to this Law."
Jelas di sini bahwa yang mengatakan kelahiran kembali telah berakhir namun tidak mengambil tekad mencapai Samyak Sambodhi, ia hanyalah orang yang mengaku-ngaku sebagai Arahat.
Bait sebelumnya adalah:
"Now, Sâriputra, such disciples, Arhats, or Pratyekabuddhas who do not hear their actually being called to the Buddha-vehicle by the Tathâgata, who do not perceive, nor heed it, those, Sâriputra, should not be acknowledged as disciples of the Tathâgata, nor as Arhats, nor as Pratyekabuddhas."
Boleh ditanya dapat darimana Bro ?
Dalam Saddharma Pundarika Sutra Bab II, dikatakan bahwa Sravaka, Arahat, Pratyeka Buddha yang tidak "terpanggil" untuk memasuki Buddhayana (Bodhisatvayana), maka seharusnya tidak dianggap Sravaka, Arahat, Pratyeka Buddha, atau pun murid dari Tathagata.
Ini berarti hanya yang sejati yang akan terpanggil ke dalam Bodhisatvayana.Quote"Now, Sâriputra, such disciples, Arhats, or Pratyekabuddhas who do not hear their actually being called to the Buddha-vehicle by the Tathâgata, who do not perceive, nor heed it, those, Sâriputra, should not be acknowledged as disciples of the Tathâgata, nor as Arhats, nor as Pratyekabuddhas."
Apakah Bunyi Mantra2 itu HANYALAH untuk memuji Buddha tersebut atau bagaimana? soalnya terdengar seperti Buddha tersebut sebagai sosok yang ingin di puji baru memberikan bantuan :D
^
^
^
[at] bro kaiyn kutho
manttafffff om
mo +1 ah....
bro and sis semua...,bro coedabgf yang bijak,
lepaskan cangkang... segala (kelekatan) kewujudan. Contoh perumpamaan level tinggi adalah seperti syair guru Buddha tentang bahkan (pengetahuan tertinggi) Dhammapun seperti sebuah rakit yang harus ditinggalkan/ditanggalkan untuk menjejak di pantai seberang, apalagi yang (bersifat) fenomena atau bukan yang nyata/sejati, hanya (bersifat) sementara.
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan
(Dhammapada 214)
silahkan jawab pertanyaan saya,
"apakah (kelahiran = penderitaan) itu merupakan kebenaran sejati"?
kalau anda menyebut rakit, saya menyebut demikian.
"seseorang yang belum melihat "kelahiran=penderitaan", jangan kan menaiki rakit, melihat rakit saja belum bisa"
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan
(Dhammapada 214)
yah tentu saja syair ini realita., dari kemelekatan ada kelahiran, dari kelahiran ada jara-marana.
siapa bebas dari kelahiran sama saja bebas dari jara-marana..
kok arti syair nya beda dengan kutipan sutra? ^^
atau mungkin sama seperti kata Ajahn Brahm,
"seseorang saat ini biasanya memakai rakit,belum sampai di tujuan malah sudah di lepas ditengah lautan"
orang seperti ini biasanya menganggap bahwa mencari "pembebasan" adalah kemelekatan itu sendiri.
dan orang seperti ini menganggap bahwa diri-nya telah berusaha "melepas"
sayang-nya yang terjadi justru "melepas" di tengah lautan.
salam metta.
Apakah Bunyi Mantra2 itu HANYALAH untuk memuji Buddha tersebut atau bagaimana? soalnya terdengar seperti Buddha tersebut sebagai sosok yang ingin di puji baru memberikan bantuan :D
Sepertinya bukan. Kalau menurut dugaan saya, setiap Buddha 'kan punya karakteristik masing-masing. Mantra masing-masing Buddha itu adalah untuk mengingatkan kita pada kualitas khas itu. Seperti dalam Atanatta Paritta Tradisi Theravada (paritta untuk perlindungan), juga disebutkan karakteristik Buddha-Buddha di masa lampau.
saya mau nanya dong, sehubungan dengan pertanyaannya bro ryu..lagu pendupaan yang banyak dinyanyikan di vihara mahayana dan terkadang dinyanyikan oleh suhu, kan ada kalimat seperti ini...'saat pujianku telah melimpah_limpah, para Buddha menampakkan dirinya, aum vajra dupe aum.'..
Apa benar para Buddha akan menampakkan diri jika kita memuji para Buddha sampai melimpah2?
Mohon pencerahannya ya
saya mau nanya dong, sehubungan dengan pertanyaannya bro ryu..lagu pendupaan yang banyak dinyanyikan di vihara mahayana dan terkadang dinyanyikan oleh suhu, kan ada kalimat seperti ini...'saat pujianku telah melimpah_limpah, para Buddha menampakkan dirinya, aum vajra dupe aum.'..
Apa benar para Buddha akan menampakkan diri jika kita memuji para Buddha sampai melimpah2?
Mohon pencerahannya ya
saya mau nanya dong, sehubungan dengan pertanyaannya bro ryu..lagu pendupaan yang banyak dinyanyikan di vihara mahayana dan terkadang dinyanyikan oleh suhu, kan ada kalimat seperti ini...'saat pujianku telah melimpah_limpah, para Buddha menampakkan dirinya, aum vajra dupe aum.'..
Apa benar para Buddha akan menampakkan diri jika kita memuji para Buddha sampai melimpah2?
Mohon pencerahannya ya
Kalau pendapat saya pribadi, sepertinya bukan karena puji2an itu menyenangkan Buddha, tetapi karena devosi/pengabdiannya yang sungguh-sungguh. Kalau dalam kisah-kisah Theravada, orang yang mengasingkan diri menjaga sila tanpa cela selama 4 bulan, menjaga api upacara tidak padam, akan dikunjungi oleh Brahma. Kalau saya lihat, Brahma di sini menghargai kualitas moralitas & pengabdian orang itu sehingga bersedia mengunjunginya.
Barangkali, demikian juga maksud penampakan Buddha dalam nyanyian itu. Kalau mau lebih jelas, mungkin bisa ditanyakan ke yang mengerti.
saya mau nanya dong, sehubungan dengan pertanyaannya bro ryu..lagu pendupaan yang banyak dinyanyikan di vihara mahayana dan terkadang dinyanyikan oleh suhu, kan ada kalimat seperti ini...'saat pujianku telah melimpah_limpah, para Buddha menampakkan dirinya, aum vajra dupe aum.'..
Apa benar para Buddha akan menampakkan diri jika kita memuji para Buddha sampai melimpah2?
Mohon pencerahannya ya
Kalau pendapat saya pribadi, sepertinya bukan karena puji2an itu menyenangkan Buddha, tetapi karena devosi/pengabdiannya yang sungguh-sungguh. Kalau dalam kisah-kisah Theravada, orang yang mengasingkan diri menjaga sila tanpa cela selama 4 bulan, menjaga api upacara tidak padam, akan dikunjungi oleh Brahma. Kalau saya lihat, Brahma di sini menghargai kualitas moralitas & pengabdian orang itu sehingga bersedia mengunjunginya.
Barangkali, demikian juga maksud penampakan Buddha dalam nyanyian itu. Kalau mau lebih jelas, mungkin bisa ditanyakan ke yang mengerti.
kan lagu juga bikinan pemusiknya yang belum tentu sudah cerah.
kalo Para Buddha bermusyawarah keknya diambil dari Taoisme dimana para dewa2 sendiri suka bermusyawarah di depan Raja Langit.
kalo Para Buddha bermusyawarah keknya diambil dari Taoisme dimana para dewa2 sendiri suka bermusyawarah di depan Raja Langit. ====> beda konsep Bro. Kalo saya baca dari buku Taoisme. ada perbedaan Tao dengan mahayana sedikit. Dalam konsep tao Dewa dewa tao lebih melapor ke raja langit, Atau di kenal sebagai Hi Tian Shang di bukan Thay siang Lo Cin Bro. Emang secara garis besar TSLC saya singkat ;D, adalah maha dewa. Tapi Yang bertangung jawab atas kedamaian bumu itu Kaisar langit. So jadi ada perbedaan tipis disini.
".....The Bhagavant said to Shariputra: "Do you know that if you travel westwards from here, passing a hundred thousand kotis of nayutas of Buddha-lands, you come to the land called 'Utmost Bliss,' where there is a Bhagavant named 'Amitayus' or 'Amitabha' with ten titles, including Tathagata, Arhat and Samyaksambuddha. He is living there at this very moment, teaching the profound and wonderful Dharma to sentient beings to give them supreme benefit and bliss......"
(Sukhāvatīvyūhaḥ Sutra)
Ada yang bisa menjelaskan terutama kalimat yang dibold??
_/\_
".....The Bhagavant said to Shariputra: "Do you know that if you travel westwards from here, passing a hundred thousand kotis of nayutas of Buddha-lands, you come to the land called 'Utmost Bliss,' where there is a Bhagavant named 'Amitayus' or 'Amitabha' with ten titles, including Tathagata, Arhat and Samyaksambuddha. He is living there at this very moment, teaching the profound and wonderful Dharma to sentient beings to give them supreme benefit and bliss......"
(Sukhāvatīvyūhaḥ Sutra)
Ada yang bisa menjelaskan terutama kalimat yang dibold??
_/\_
Ten titles of Amitabha = Tathagata Arhat Samyaksambuddha
Samakan dengan versi Pali
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
juga merupakan titel dari Sakyamuni Buddha.
".....The Bhagavant said to Shariputra: "Do you know that if you travel westwards from here, passing a hundred thousand kotis of nayutas of Buddha-lands, you come to the land called 'Utmost Bliss,' where there is a Bhagavant named 'Amitayus' or 'Amitabha' with ten titles, including Tathagata, Arhat and Samyaksambuddha. He is living there at this very moment, teaching the profound and wonderful Dharma to sentient beings to give them supreme benefit and bliss......"
(Sukhāvatīvyūhaḥ Sutra)
Ada yang bisa menjelaskan terutama kalimat yang dibold??
_/\_
Ten titles of Amitabha = Tathagata Arhat Samyaksambuddha
Samakan dengan versi Pali
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
juga merupakan titel dari Sakyamuni Buddha.
Apakah ini tidak membingungkan? dalam Theravada Arahat adalah telah mencapai kesucian, Sammasambuddha artinya sama.
Arahat adalah Savaka Buddha, seorang Sammasambuddha dikatakan telah mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dari Mahayana dikatakan Arahat belum mencapai Buddha lantas mengapa disebutkan bersama dengan Samyak Sambuddha? mengapa disejajarkan dengan Samyak Sambuddha?
Bingung... aku bingung.....
Apakah anda pernah bermeditasi?Dlm bermeditasi, kita mengenal istilah dengan "meluaskan" dan "memfokus"kan.Coba saja anda meruncingkan konsentrasi untuk "mendeteksi" berbagai Tanah Suci yg ada dlm kosmos ini, rasanya anda akan dapat merasakannya.
".....The Bhagavant said to Shariputra: "Do you know that if you travel westwards from here, passing a hundred thousand kotis of nayutas of Buddha-lands, you come to the land called 'Utmost Bliss,' where there is a Bhagavant named 'Amitayus' or 'Amitabha' with ten titles, including Tathagata, Arhat and Samyaksambuddha. He is living there at this very moment, teaching the profound and wonderful Dharma to sentient beings to give them supreme benefit and bliss......"
(Sukhāvatīvyūhaḥ Sutra)
Ada yang bisa menjelaskan terutama kalimat yang dibold??
_/\_
Ten titles of Amitabha = Tathagata Arhat Samyaksambuddha
Samakan dengan versi Pali
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
juga merupakan titel dari Sakyamuni Buddha.
Apakah ini tidak membingungkan? dalam Theravada Arahat adalah telah mencapai kesucian, Sammasambuddha artinya sama.
Arahat adalah Savaka Buddha, seorang Sammasambuddha dikatakan telah mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dari Mahayana dikatakan Arahat belum mencapai Buddha lantas mengapa disebutkan bersama dengan Samyak Sambuddha? mengapa disejajarkan dengan Samyak Sambuddha?
Bingung... aku bingung.....
dalam diri seorang SammasamBuddha, ia juga seorang Arahat, ia juga seorang Tathagatha, ia juga seorang Samyaksambuddha, ini adalah kualitas batin seorang Sammasambuddha. namun seorang Arahat tentu bukan seorang Sammasambuddha.
navis dah coba?
navis dah coba?
sudah coba shortcut-nya saja....
recitation buddha meditation
dimana mengucap tetapi tidak mengucap
tidak mengucap, tetapi mengucap... (bingung dech loe :P)
^
^
^
kalau tidak salah,
Arahat = Bodhisattva tingkat 8
kalau mo lanjut ke samyaksambuddha harus lanjut ke bodhisattva tingkat 9 s/d 10
sering kalau kitab di "karang-karang" dan tidak jeli, maka timbul banyak pertanyaan-pertanyaan yang "mencurigakan", karena terjadi in-konsistensi.
navis dah coba?
sudah coba shortcut-nya saja....
recitation buddha meditation
dimana mengucap tetapi tidak mengucap
tidak mengucap, tetapi mengucap... (bingung dech loe :P)
katanya lagi nunggu angkot ke mangga dua, sempat mengucap tanpa mengucap?
sering kalau kitab di "karang-karang" dan tidak jeli, maka timbul banyak pertanyaan-pertanyaan yang "mencurigakan", karena terjadi in-konsistensi.
bagaimana mengetahui kitab itu di"karang-karang"?
Apakah ini tidak membingungkan? dalam Theravada Arahat adalah telah mencapai kesucian, Sammasambuddha artinya sama.
Arahat adalah Savaka Buddha, seorang Sammasambuddha dikatakan telah mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dari Mahayana dikatakan Arahat belum mencapai Buddha lantas mengapa disebutkan bersama dengan Samyak Sambuddha? mengapa disejajarkan dengan Samyak Sambuddha?
Bingung... aku bingung.....
bukan mengutip dari kitab secara langsung, tapi ngutip dari buku Pure Land Buddhism, Dialogues with ancient master
Apakah anda pernah bermeditasi?Dlm bermeditasi, kita mengenal istilah dengan "meluaskan" dan "memfokus"kan.Coba saja anda meruncingkan konsentrasi untuk "mendeteksi" berbagai Tanah Suci yg ada dlm kosmos ini, rasanya anda akan dapat merasakannya.
Menarik sekali. Saya ingin mencoba, di kitab Mahayana manakah bro Edward mengutip kata-kata "meluaskan" dan "memfokuskan"? untuk mendeteksi tanah suci?
pernyataan judgemental..jgn salahin ajarannya kalo emank kga isa mengertisering kalau kitab di "karang-karang" dan tidak jeli, maka timbul banyak pertanyaan-pertanyaan yang "mencurigakan", karena terjadi in-konsistensi.
bagaimana mengetahui kitab itu di"karang-karang"?
mending kalau kitab itu konsep-nya beda sendiri... kalau nyambung konsep orang... itu-lah akibatnya banyak terjadi celah celah inkonsistensi...
Tapi om edward, yang mengerti apakah banyak?pernyataan judgemental..jgn salahin ajarannya kalo emank kga isa mengertisering kalau kitab di "karang-karang" dan tidak jeli, maka timbul banyak pertanyaan-pertanyaan yang "mencurigakan", karena terjadi in-konsistensi.
bagaimana mengetahui kitab itu di"karang-karang"?
mending kalau kitab itu konsep-nya beda sendiri... kalau nyambung konsep orang... itu-lah akibatnya banyak terjadi celah celah inkonsistensi...
[at] Romo Cunda = Keq na Ajaran nya banyak Terkontaminasi oleh kebudayaan setempat jadinya membinggungkan.......... ???. Mudah-mudahan saya saja yang Binggung..... ^:)^
_/\_
Gunawan S S
[at] Romo Cunda = Keq na Ajaran nya banyak Terkontaminasi oleh kebudayaan setempat jadinya membinggungkan.......... ???. Mudah-mudahan saya saja yang Binggung..... ^:)^
_/\_
Gunawan S S
Kalau di Mahayana, Arahat 'kan bukan tingkat akhir, tapi masih pertengahan, kenapa julukan itu dipakai untuk Buddha?
Karena Arahat adalah tingkat bawah, jadi seperti mengatakan X dokter, lulusan SMU. Sebetulnya 'kan dengan adanya "dokter", tidak perlu disebutkan lagi "lulusan SMU"-nya.
kita tanyakan kepada sesepuh yang menciptakan Mahayana kalo begitu, bahkan mereka mengakui di setiap kitabnya seorang Sammsambuddha bergelar Bhagavan Arahate Samyaksambuddha dan tidak menuliskan Boddhisatvayam Tathagatanam Samyaksambuddhanam.
dan spekulasi gw adalah menurut Mahayana, Arahat sendiri sudah mencicipi nibbana dan mereka berdiam disitu tanpa mengajarkan pengetahuan itu kepada banyak makhluk,menurut Mahayana,sebenarnya Arahat ini bisa keluar dari keadaaan parinibbana total dan mengambil jalan menuju Sammasambuddha. jadi dalam Mahayana,sebenarnya Arahat bukanlah dipandang kecil dan Bodhisatva lebih tinggi, melainkan mereka yang menikmati Nibbana seharusnya memperpanjang kehidupannya untuk mengajarkan Dhamma kepada makhluk hidup. ini juga untuk Pacceka Buddha yang berbuat sama, Nibbana sendiri.
^
^
^
oh iya, nepal, sori2
I AM SORI
I AM KHILAF
tapi koq sang buddha kita mirip orang india ya...
oh ya, kalau ngomong asli asli nya, dulu dulu bukan nya sang buddha sendiri pakai bahasa Sansekerta
kenapa sekarang diganti ya? tanya ken apa?
salam piss n love,
navis
Mudahnya dipahami tidak perlu diributkan. Kalau orang yang sudah memiliki kebijakan tinggi dan kebajikan yang tinggi. Orang tersebut bs bisa tanpa aliran apapun. Orang memiliki pancaran kebuddhaan yang sesungguhnya, Sudah tidak memiliki Ego dalam diri. Kalau anda mau mempelajari mahayana, mudahnya Lepaskan Ego dalam pikiran anda baru anda bisa mengerti
_/\_
Mudahnya dipahami tidak perlu diributkan. Kalau orang yang sudah memiliki kebijakan tinggi dan kebajikan yang tinggi. Orang tersebut bs bisa tanpa aliran apapun. Orang memiliki pancaran kebuddhaan yang sesungguhnya, Sudah tidak memiliki Ego dalam diri. Kalau anda mau mempelajari mahayana, mudahnya Lepaskan Ego dalam pikiran anda baru anda bisa mengerti
_/\_
Theravada bilang pakai bahasa Pali, mana yang benar...? lebih aman buka buku sejarah.....
Apakah ini jawaban ? Apakah bro Purnama sudah memahami?
darimana anda dapat ?
Kalo saya dapatnya dari Eksklopedia Buddhis . Saya mau tanya anda mau berniat provokasi aliran ?
Kalo Provokasi aliran udah gak jaman. Sayang banget ternyata ada orang mengaku dirinya aliran tera tapi masih prokasi aliran.
Percuma belajar Abidhamma, sutta,dan sebagainya cuman buat menujukan keegoisan dan keintelektualan diri.
Saya cuman mengingatkan para clonengan Abidhamma,sutta dan sebagai bukan untuk meyombongkan diri sendiri, tapi buat mengikis diri dari ke egoan dalam diri. Jangan bisa teori saja prateknya juga dari sikap anda
Kalo anda niat Prokavokasi, dan hanya ,menyombongkan diri mu. bro Sabdo palon Anda salah menafirkan kemampuan anda dalam dhamma yang sesungguh tercipta.
saya setujuh ama bro sabdo. bagaimana melepaskan ego ? kalau sudah bisa melepaskan bearti kan kita sudah......
masih melanjutkan ke mahayana, bukan kah bolak balik jadinya.
^
^
^
benar tah?
buku sejarah belum tentu benar loh
bahkan sudah dipolitisir sedemikian rupa,
ambil contoh aja buku sejarah kita bro... :P
no offense loh
untuk lebih jelasnya mari kita tanya ke bro kainyn kutho, ato maybe bro2 lain ada yang tahu
setahu saya emang dulu sang buddha pakai bahasa Sansekerta, bahkan saya sudah mengklarisisapi dengan teman2 saya yang dari aliran si itu tuch... ^_^Mudahnya dipahami tidak perlu diributkan. Kalau orang yang sudah memiliki kebijakan tinggi dan kebajikan yang tinggi. Orang tersebut bs bisa tanpa aliran apapun. Orang memiliki pancaran kebuddhaan yang sesungguhnya, Sudah tidak memiliki Ego dalam diri. Kalau anda mau mempelajari mahayana, mudahnya Lepaskan Ego dalam pikiran anda baru anda bisa mengerti
_/\_
apakah itu yang dinama kan, buddhayana tah?
saya setujuh ama bro sabdo. bagaimana melepaskan ego ? kalau sudah bisa melepaskan bearti kan kita sudah......
masih melanjutkan ke mahayana, bukan kah bolak balik jadinya.
g aja mahayana, bisa belajar teravada juga dari Jimmy lominto, Dia aja bisa mahayana dan tera dijuga maha, Bahkan g belajar aliaran lain kok masih tetap di agama Buddha. gak ada bolak balik tuh malah tetap Buddhis. Orang tera juga ada yang bisa mahayana kok masih tetap di tera ngak pake acara serang menyerang.
Intinya apa ?.hanya menunjukan keegoisan diri saja, kalo itu ditunjukan buat apa thread ini dibuka. Bikin cape nulis dan emosi saja yang ada
Purnama,
anda mahayanist, kok belajar theravada? bukankah seorang mahayanist sudah melampaui theravada dengan menerapkan dalil, Theravada=TK, mahayana=SD, vajrayana=SMP
Purnama,
anda mahayanist, kok belajar theravada? bukankah seorang mahayanist sudah melampaui theravada dengan menerapkan dalil, Theravada=TK, mahayana=SD, vajrayana=SMP
Yang dibilang TK itu 'kan "Hinayana", bro Indra. Bukan Theravada :)
dari pada tidak ada kerjaan bos ;DBelajar satu per satu dan kemudian pilih yang cocok, memang langkah yang tepat.
kalau konsepnya beda, dipikirin juga jadinya kacau. jadi sekarang kalau saya, ambil 1 - 1 dulu
cuma kalau tera dibilang di bawah maha kan gimana yahKenapa harus terusik? Bagaimana kalau dibilang agama anda ga bakalan selamat, "bergantung" pada manusia (Buddha), bukan Tuhan, dan lain sebagainya. Sama saja, yang terusik sebetulnya ego 'kan? Ego itulah yang bikin menderita.
Maafkan kesalahanku, Thanks Bro Kain
ngomporin mode on >:DTidak relevan dimasukkan ke mana pun, karena sudut pandang "yana"-nya sendiri berbeda. Ini nanti seperti menanyakan, "Lucifer ada di neraka Avici yah?", sementara sudut pandang yang percaya "lucifer" dan "avici" 'kan sudah beda.
trus Theravada masuk mana?
Playgroup ???
Purnama,
anda mahayanist, kok belajar theravada? bukankah seorang mahayanist sudah melampaui theravada dengan menerapkan dalil, Theravada=TK, mahayana=SD, vajrayana=SMP
Yang dibilang TK itu 'kan "Hinayana", bro Indra. Bukan Theravada :)
namaste suvatthi hotu
Kata "Hinayana" merujuk pada aliran yang bukan Mahayana, walaupun Theravada menolak disebut Hinayana
Thuti
saya setujuh ama bro sabdo. bagaimana melepaskan ego ? kalau sudah bisa melepaskan bearti kan kita sudah......
masih melanjutkan ke mahayana, bukan kah bolak balik jadinya.
g aja mahayana, bisa belajar teravada juga dari Jimmy lominto, Dia aja bisa mahayana dan tera dijuga maha, Bahkan g belajar aliaran lain kok masih tetap di agama Buddha. gak ada bolak balik tuh malah tetap Buddhis. Orang tera juga ada yang bisa mahayana kok masih tetap di tera ngak pake acara serang menyerang.
Intinya apa ?.hanya menunjukan keegoisan diri saja, kalo itu ditunjukan buat apa thread ini dibuka. Bikin cape nulis dan emosi saja yang ada
Purnama,
anda mahayanist, kok belajar theravada? bukankah seorang mahayanist sudah melampaui theravada dengan menerapkan dalil, Theravada=TK, mahayana=SD, vajrayana=SMP
Namaste suvatthi hotu
Perumpamaan seperti tersebut di atas sangat tidak masuk akal dan lebih menjurus pada kesombongan penganutnya dan merendahkan kaum yang lain.
Apabila Theravada cuma TK maka orang Mahayana adalah kaum yang tidak lulus TK (baca Theravada), dan bagaimana dengan Vajrayana? (gak lulus TK dan tidak lulus SD)
Untuk lulus TK (baca: Theravada) waktu anda tidak akan cukup, aku sudah menggeluti pali teks lebih dari 30 th masih belom lulus (mungkin bodoh).
thuti
bentar dulu......
biar gak terjadi kesalah pahaman.........
perumpamaan ini memang benar dinyatakan oleh Mahayana atau segelintir Mahayanis?
Masa? Saya malah nggak tau ada perumpamaan seperti itu. Tapi, perumpamaan ini kok sepertinya malah ngejelekin aliran orang tapi malah mental juga kena sendiri.memangnya yang sma n s1, s2, dsb siapa kalo gitu?
Marilah kita sepakat untuk tidak menghina aliran lain dalam buddhisme, toh kalau kita bisa hidup harmonis kita bisa bahagia...
Saya sendiri, biarpun sepertinya punya ikatan karma dgn theravada memiliki suami yang condong ke mahayana. Dan selama ini saya dan suami rukun2 aja nggak saling menjelekkan... :-?
[at] ryuTujuan Buddha yaitu mencari Obat dari Dukkha, cara melepas dari Dukkha sudah di ajarkan, Nah katanya ada 84000 jalan, nah apakah itu untuk lepas dari Dukkha atau malah Jalan untuk ber Dukka lagi ?
itu pertanyaannya sama juga gak... dengan pertanyaan 'memang yang telah mencapai pencerahan/arahat/keBuddhaan banyak gak?'.
apa sebabnya napa gak ngerti? (mode on : tanya napa?)
Masa? Saya malah nggak tau ada perumpamaan seperti itu. Tapi, perumpamaan ini kok sepertinya malah ngejelekin aliran orang tapi malah mental juga kena sendiri.memangnya yang sma n s1, s2, dsb siapa kalo gitu?
Marilah kita sepakat untuk tidak menghina aliran lain dalam buddhisme, toh kalau kita bisa hidup harmonis kita bisa bahagia...
Saya sendiri, biarpun sepertinya punya ikatan karma dgn theravada memiliki suami yang condong ke mahayana. Dan selama ini saya dan suami rukun2 aja nggak saling menjelekkan... :-?
Tanya sama yang nulis. Klo diliat-liat urutannya sich pasti yang dari vajra, sebab vajra yang dibilang number one :)). (bingung juga sich tapi koq pake tekhnik-tekhnik pencerahan aneh-aneh mencari-cari pada kewujudan nama-rupa yang dibilang guru Buddha malah bersifat spekulasi. oh... no....! :o ;) ;D
wah, bro ryu ketinggalan neh..[at] ryuTujuan Buddha yaitu mencari Obat dari Dukkha, cara melepas dari Dukkha sudah di ajarkan, Nah katanya ada 84000 jalan, nah apakah itu untuk lepas dari Dukkha atau malah Jalan untuk ber Dukka lagi ?
itu pertanyaannya sama juga gak... dengan pertanyaan 'memang yang telah mencapai pencerahan/arahat/keBuddhaan banyak gak?'.
apa sebabnya napa gak ngerti? (mode on : tanya napa?)
Kalau pandangan Saya, Surga sukhavati dll itu hanya seperti bayang2, impian, kemelekatan, janji2, dogma hampir sama dengan agama tetangga yang mengajarkan percaya dan masuk surga bukankah mereka menjanjikan lebih baik? dimana katanya hidup kekal selamanya tidak ada kelahiran kembali?
Soal percaya sudah pernah saya post tentang berlindung pada triratna :)wah, bro ryu ketinggalan neh..[at] ryuTujuan Buddha yaitu mencari Obat dari Dukkha, cara melepas dari Dukkha sudah di ajarkan, Nah katanya ada 84000 jalan, nah apakah itu untuk lepas dari Dukkha atau malah Jalan untuk ber Dukka lagi ?
itu pertanyaannya sama juga gak... dengan pertanyaan 'memang yang telah mencapai pencerahan/arahat/keBuddhaan banyak gak?'.
apa sebabnya napa gak ngerti? (mode on : tanya napa?)
Kalau pandangan Saya, Surga sukhavati dll itu hanya seperti bayang2, impian, kemelekatan, janji2, dogma hampir sama dengan agama tetangga yang mengajarkan percaya dan masuk surga bukankah mereka menjanjikan lebih baik? dimana katanya hidup kekal selamanya tidak ada kelahiran kembali?
kaga ada kehidupan abadi di sukhavati...Dan surga sukhavati bukan "final destination" seperti ajaran seberang...
klo alam hugh hefner (playboy club), mencapai tingkatan alam apa yach? 8) :-?
minta link doonkkk...yang ini?
nyari pake sistem search kga nemu nih...
jadi seperti dalam kriste'n yah trinitas gitu.. satu untuk semua :Psalah bro.. ;D
^
^
^
maksud pernyataan diatas, bisa tolong diperjelas?
apakah dengan ini, maksudnya, jalan besar sudah tidak ada artinya
apakah para sesepuh dari mahayana tidak mungkin mendapatkan pencerahan?
"ingat banyak jalan lain menuju roma"
jangan berpikiran sempit.....
saya yakin dari 84.000 pintu dharma bisa mencerahkan lebih banyak orang
daripada hanya ber pegangan pada 8 jalan utama saja, yang mungkin bisa mencerahkan orang (tapi tidak bisa banyak, maka dikatakan kendaraan kecil)
IMO, karena pada dasarnya 84.000 pintu dharma itu adalah perluasan dari 8 jalan utama.
salam piss n love,
navis
trikaya ini Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya.
Kaya itu artinya apa ya?
Dharmakaya = Dharma... ?
Samboghakaya= .......?
NirmanaKaya = maksudnya Nirwana ya?
trikaya ini Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya.
Kaya itu artinya apa ya?
Dharmakaya = Dharma... ?
Samboghakaya= .......?
NirmanaKaya = maksudnya Nirwana ya?
Theravada bilang pakai bahasa Pali, mana yang benar...? lebih aman buka buku sejarah.....
Apakah ini jawaban ? Apakah bro Purnama sudah memahami?
darimana anda dapat ?
Kalo saya dapatnya dari Eksklopedia Buddhis . Saya mau tanya anda mau berniat provokasi aliran ?
Kalo Provokasi aliran udah gak jaman. Sayang banget ternyata ada orang mengaku dirinya aliran tera tapi masih prokasi aliran.
Percuma belajar Abidhamma, sutta,dan sebagainya cuman buat menujukan keegoisan dan keintelektualan diri.
Saya cuman mengingatkan para clonengan Abidhamma,sutta dan sebagai bukan untuk meyombongkan diri sendiri, tapi buat mengikis diri dari ke egoan dalam diri. Jangan bisa teori saja prateknya juga dari sikap anda
Kalo anda niat Prokavokasi, dan hanya ,menyombongkan diri mu. bro Sabdo palon Anda salah menafirkan kemampuan anda dalam dhamma yang sesungguh tercipta.
Bagaimana dengan Bodhisattva? apakah mereka sudah mencicipi Nibbana belum? Lalu apakah yang dicicipi oleh Sammasambuddha? Apa tujuan pencapaian keBuddhaan?
Theravada bilang pakai bahasa Pali, mana yang benar...? lebih aman buka buku sejarah.....
Apakah ini jawaban ? Apakah bro Purnama sudah memahami?
darimana anda dapat ?
Kalo saya dapatnya dari Eksklopedia Buddhis . Saya mau tanya anda mau berniat provokasi aliran ?
Kalo Provokasi aliran udah gak jaman. Sayang banget ternyata ada orang mengaku dirinya aliran tera tapi masih prokasi aliran.
Percuma belajar Abidhamma, sutta,dan sebagainya cuman buat menujukan keegoisan dan keintelektualan diri.
Saya cuman mengingatkan para clonengan Abidhamma,sutta dan sebagai bukan untuk meyombongkan diri sendiri, tapi buat mengikis diri dari ke egoan dalam diri. Jangan bisa teori saja prateknya juga dari sikap anda
Kalo anda niat Prokavokasi, dan hanya ,menyombongkan diri mu. bro Sabdo palon Anda salah menafirkan kemampuan anda dalam dhamma yang sesungguh tercipta.
Owe Bertanya kepada bro Nyana, yang jawab orang lain, ditanya balik jadi begini :( Inikah pemahaman, kebijakan, kebajikan?
Bro Nyana apa pendapat bro Nyana terhadap pertanyaanku?QuoteBagaimana dengan Bodhisattva? apakah mereka sudah mencicipi Nibbana belum? Lalu apakah yang dicicipi oleh Sammasambuddha? Apa tujuan pencapaian keBuddhaan?
Bingung.... aku bingung.....
trikaya ini Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya.
Kaya itu artinya apa ya?
Dharmakaya = Dharma... ?
Samboghakaya= .......?
NirmanaKaya = maksudnya Nirwana ya?
Dharma kaya = tubuh dharma...
sambhogakaya = tubuh kebahagiaan...
nirmanakaya = tubuh penjelmaan...
sebagai contoh : Master Lu menyatakan konsep trikaya dirinya sebagai berikut :
Dharmakaya = BUDDHA VAIROCANA
Sambhogakaya = PADMAKUMARA PUTIH
Nirmanakaya = LU SHENG YEN...
trikaya ini Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya.
Kaya itu artinya apa ya?
Dharmakaya = Dharma... ?
Samboghakaya= .......?
NirmanaKaya = maksudnya Nirwana ya?
Dharma kaya = tubuh dharma...
sambhogakaya = tubuh kebahagiaan...
nirmanakaya = tubuh penjelmaan...
sebagai contoh : Master Lu menyatakan konsep trikaya dirinya sebagai berikut :
Dharmakaya = BUDDHA VAIROCANA
Sambhogakaya = PADMAKUMARA PUTIH
Nirmanakaya = LU SHENG YEN...
bro dilbert saya mau tanya maksud u,
Master lu itu master lu sheng yen itu ?
Kalau di Mahayana, Arahat 'kan bukan tingkat akhir, tapi masih pertengahan, kenapa julukan itu dipakai untuk Buddha?
Karena Arahat adalah tingkat bawah, jadi seperti mengatakan X dokter, lulusan SMU. Sebetulnya 'kan dengan adanya "dokter", tidak perlu disebutkan lagi "lulusan SMU"-nya.
kita tanyakan kepada sesepuh yang menciptakan Mahayana kalo begitu, bahkan mereka mengakui di setiap kitabnya seorang Sammsambuddha bergelar Bhagavan Arahate Samyaksambuddha dan tidak menuliskan Boddhisatvayam Tathagatanam Samyaksambuddhanam.
dan spekulasi gw adalah menurut Mahayana, Arahat sendiri sudah mencicipi nibbana dan mereka berdiam disitu tanpa mengajarkan pengetahuan itu kepada banyak makhluk,menurut Mahayana,sebenarnya Arahat ini bisa keluar dari keadaaan parinibbana total dan mengambil jalan menuju Sammasambuddha. jadi dalam Mahayana,sebenarnya Arahat bukanlah dipandang kecil dan Bodhisatva lebih tinggi, melainkan mereka yang menikmati Nibbana seharusnya memperpanjang kehidupannya untuk mengajarkan Dhamma kepada makhluk hidup. ini juga untuk Pacceka Buddha yang berbuat sama, Nibbana sendiri.
Bagaimana dengan Bodhisattva? apakah mereka sudah mencicipi Nibbana belum? Lalu apakah yang dicicipi oleh Sammasambuddha? Apa tujuan pencapaian keBuddhaan?
Bingung.... aku bingung.....
berdasarkan keyakinan itu mah masih teori, tetapi klo kitab suci itu anda percayakah itu adalah gambaran kebenaran (the real truth)?
Sang Buddha masih hidup atau sudah mati? Dua-duanya "ya" dan dua-duanya "tidak." Sang Buddha "tidak mati" karena bila "mati" itu artinya Anda sudah masuk dalam sudut pandang ekstrem nihilisme. Sang Buddha "tidak hidup lagi" karena bila "hidup terus" pada kenyataannya tidak ada lagi Buddha Sakyamuni dalam wujud fisik pada masa sekarang ini. Sang Buddha tidak "tidak mati" karena bila Anda menganggapnya demikian, Anda telah masuk ke dalam pandangan ekstrem eternalisme. Sang Buddha tidak "hidup" karena bila menganggapnya demikian Anda menganggap Buddha masih hidup dengan tubuh fisikNya.
Dengan adanya pemahaman semacam itu, tidak masalah bila ada seorang Buddha dengan "tubuh termurnikan" seperti Amitabha yang seolah-olah masih hidup membabar Dharma di Sukhavati. YM. Mahabhikshu Thich Nhat Hanh pernah menasihatkan: "Jangan biarkan kata-kata menipu kita."
Amiduofo,
Tan
Sang Buddha masih hidup atau sudah mati? Dua-duanya "ya" dan dua-duanya "tidak." Sang Buddha "tidak mati" karena bila "mati" itu artinya Anda sudah masuk dalam sudut pandang ekstrem nihilisme. Sang Buddha "tidak hidup lagi" karena bila "hidup terus" pada kenyataannya tidak ada lagi Buddha Sakyamuni dalam wujud fisik pada masa sekarang ini. Sang Buddha tidak "tidak mati" karena bila Anda menganggapnya demikian, Anda telah masuk ke dalam pandangan ekstrem eternalisme. Sang Buddha tidak "hidup" karena bila menganggapnya demikian Anda menganggap Buddha masih hidup dengan tubuh fisikNya.
Dengan adanya pemahaman semacam itu, tidak masalah bila ada seorang Buddha dengan "tubuh termurnikan" seperti Amitabha yang seolah-olah masih hidup membabar Dharma di Sukhavati. YM. Mahabhikshu Thich Nhat Hanh pernah menasihatkan: "Jangan biarkan kata-kata menipu kita."
Amiduofo,
Tan
Kalau menurut saya sih antar aliran yang beda, terdapat persamaan dan perbedaan.
Yang berbeda tidak perlu disama-samakan. Air tetaplah air, bukan es, bukan gas. Walaupun ikatan 2H dan O, orang mandi dengan air, bukan es. Tetapi juga perbedaan itu tidak perlu dibesar-besarkan seolah-olah satu "asli" dan lainnya "as-pal".
Demikian juga persamaan yang ada (seperti sama-sama menganut 4 Kebenaran Mulia), tidak perlu dibeda-bedakan hanya karena ada perbedaan prinsipal lainnya.
walau air dan es mempunyai manifestasi yg berbeda.. tetap mempunyai sifat dasar H2O
TAN:
Sifat dasarnya adalah atom2 yang sama2 terdiri dari elektron, proton, dan netron. Dalam tataran atomik, ketiganya tidak dapat dibedakan satu sama lain.
Metta,
Tan
Mas Tan,
Jadi bagaimana Buddha itu menurut mas Tan? hidup atau mati? atau setengah hidup atau setengah mati? Atau seperti kata orang-orang, hidup enggan mati tak mau? atau mungkin kadang hidup kadang mati?
TAN:
Wah jangan bilang menurut saya donk. Kalo menurut saya pasti salah..hehehe. Saya pakai referensi ajaran para sesepuh saja, yakni Nagarjuna. Buddha itu tidak mati, tidak hidup, hidup dan mati sekaligus, tidak tidak mati dan tidak tidak hidup. Ini disebut tetralemma atau kebenaran rangkap empat. Kalau bingung ikuti saja ajaran Sang Bhagava di Vacchagota Sutta. Inti dari tetralemma itu adalah: Kondisi seorang Buddha itu tak terkatakan. Hidup dan mati itu tak dapat menggambarkan kondisi Beliau lagi. Buddha mengajar pada Vacchagota agar jangan berspekulasi. Pikiran manusia tidak akan bisa mencerap atau menggambarkannya.
Pikiran manusia masih diliputi dualisme, sehingga bingung dengan ajaran seorang Buddha yang mengajar di Sukhavati. Mereka seolah-olah menganggap bahwa itu mengacu pada seorang Buddha yang HIDUP mengajar selama-lamanya. Padahal pengertian "hidup"nya Buddha Amitabha itu tidak sama dengan pengertian kita akan "hidup." Apakah wujud Buddha Amitabha itu masih terdiri dari daging dan tulang seperti manusia? Tidak pernah dikatakan demikian dalam Sutra2 Mahayana. Definisi hidup menurut manusia yang masih dalam tataran kebenaran relatif (samvriti satya) akan sulit memahami hal itu. Sebagian umat Buddha menganggap bahwa ajaran Sukhavati tidak Buddhistis, tetapi alasan yang mereka kemukakan justru mencerminkan pandangan nihilisme, yang juga ditentang Buddha dalam Brahmajala Sutta.
Lebih baik kita banyak praktik Dharma, sehingga tidak memperdebatkan sesuatu yang tidak membawa pada pembebasan.
Amiduofo,
Tan
Baik, saya mengutip Vacchagota Sutta karena hendak memperlihatkan bahwa tidak ada pertentangan antara T dan M dari segi ini. Saya melihat bahwa keduanya sebenarnya mempunyai intisari yang sama (layaknya air, es, dan uap air dengan H2O sebagai rumus molekulnya - lihat pembahasan di atas). Baik kalau begitu kita kesampingkan Vacchagota Sutta, kita pakai saja filosofi Madhyamika milik Nagarjuna. Saya kira telah jelas. Tetralemma menggambarkan bahwa kondisi kedemikianan dari segala sesuatu termasuk Buddhata (hakekat sejati Kebuddhaan) itu diluar kata-kata dan logika konvensional. Seekor ikan yang belum pernah melihat daratan, jelas tak akan dapat mengenal benar-benar apa itu daratan, walaupun bermilyar2 kata dipergunakan untuk menjelaskannya. Umpamanya ada guru geografi ikan yang berkata, "daratan itu adalah tempat yang tidak ada air.. tidak seperti tempat hidup kita...bla...bla..bla." Apakah keterangan si guru ikan itu dapat menjelaskan daratan dengan sempurna? Begitu juga manusia yang belum mencapai Kebuddhaan. Bisakah kita mengerti kondisi Kebuddhaan dengan sungguh2?
Mengenai perdebatan, mudah-mudahan mas Tan jangan menganggap ini sebagai perdebatan, anggaplah ini sebagai orang yang kurang mengerti, yang dengan kritis bertanya kepada orang yang lebih mengerti.
TAN:
Bagaimana mungkin kita dapat mengerti? Kita ini laksana ikan yang belum pernah lihat daratan. Bagaimana mungkin dapat mengerti daratan. Saya adalah ikan yang sangat amat bodoh. Bagaimana mungkin saya dapat membuat Anda mengerti? Saya justru sedang berjuang agar dapat "melihat" daratan itu sendiri. Perjalanan saya masih panjang.
Metta,
Tan
kalau tidak dapat dibedakan... darimana muncul-nya istilah proton, neutron dan elektron ? ? ?
TAN:
Sebenarnya ini ada di buku2 tentang ilmu kimia. Kalau ingin tahu lebih lanjut silakan cari referensi tentang kimia. Sebenarnya ini tidak perlu dibahas terlalu panjang lebar di sini. Semua sudah ada di buku kimia. Tetapi akan saya ulas secara singkat mumpung lagi liburan. Sehabis ini, saya mungkin tidak ada banyak waktu untuk menanggapinya. Coba kita runut ke belakang. Air, es, dan uap air sama-sama memiliki rumus molekul H2O. Jadi apa yang nampak berbeda itu sebenarnya terdiri dari suatu elemen yang sama. Terus kalau kita tarik kembali, H2O terdiri dari atom Hidrogen dan Oksigen. Kedua atom itu memang nampak beda, yakni dari segi jumlah elektron, netron, dan protonnya. Ketiga partikel elementer itu memang beda, terutama dari segi muatannya. Namun kalau kita tarik lagi semakin dalam, elektron yang dimiliki atom O dan H itu sama. Jadi tidak ada elektron yang khas O, H, atau unsur lain. Semua elektron, netron, dan proton pada masing-masing unsur adalah SAMA. Hanya saja, terjadi 114 unsur yang telah dikenal karena setiap unsur itu memiliki jumlah masing-masing yang berbeda. Semoga penjelasan ini cukup dapat memberikan pengertian lebih mendalam.
Metta,
Tan
walau air dan es mempunyai manifestasi yg berbeda.. tetap mempunyai sifat dasar H2O
TAN:
Sifat dasarnya adalah atom2 yang sama2 terdiri dari elektron, proton, dan netron. Dalam tataran atomik, ketiganya tidak dapat dibedakan satu sama lain.
Metta,
Tan
lha... yang berbeda secara prinsipil itu manifestasi dari buddhadharma ?
TAN:
Buddhadharma dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai wujud. Banyak orang tertipu karena melihat wujud-wujud itu dan menganggapnya berbeda. Es padat dan dingin, air cair dan bisa dingin ataupun panas, tetapi intinya tetap H2O. Padat adalah secara prinsipil berbeda dengan cair. Namun apakah atom H dan O yang menyusun es dan air berbeda? Janga biarkan wujud menipu kita. Sutra Vajracchedika mengatakan bahwa barangsiapa mencari Buddha dalam wujud ia telah tertipu. Semoga ini dapat membantu.
Salam metta,
Tan
Apakah bedanya Buddha Amitabha dengan Brahma dan alam Dewa? Brahma dan dewa juga tidak memiliki daging dan tulang seperti manusia? Apakah mereka mati? tentu tidak, mereka masih hidup di alamnya, apakah mereka hidup? nyatanya yang kita lihat mereka telah mati.
TAN:
Menurut Anda sama atau beda? Buddha Amitabha seorang Buddha yang telah lepas dari lingkaran kelahiran dan kematian. Apakah Brahma sudah lepas dari lingkaran kelahiran dan kematian? Definisi "hidup" antara Brahma, manusia, dan Buddha Amitabha serta Buddha-Buddha kosmis lainnya sama? Saya kira hal ini tidak perlu dibahas lebih jauh. Karena ini adalah sub bagian Mahayana dari dhammacita.org, maka saya asumsikan bahwa sebagian besar telah mengerti filosofi Mahayana. Jadi saya kira tidak perlu dibahas lebih lanjut secara panjang lebar.
Jadi Dewa dan Brahma juga cocok dengan penggambaran tetralemma yang mas Tan maksudkan: 1. tidak mati dan tidak hidup, 2. hidup dan mati sekaligus, 3. tidak tidak mati, 4. tidak tidak hidup.
TAN:
Saya kurang mengerti mengapa Brahma dapat Anda pandang sesuai bagi tetralemma itu? Silakan uraikan secara lebih jelas.
Mengenai Vacchagota sutta, apakah itu penjelasan menurut T atau dituturkan oleh Nagarjuna? mas Tan memiliki pengetahuan yang luas, bisakah memberikan penjelasan hanya menurut sutra-sutra M? Sesuai dengan pernyataan mas Tan sendiri yang mengatakan dalam reply no 393. kalau kita membahas M jangan memakai filosofi T kan? Selain itu saya ingin tahu sudut pandang M. Kepada siapa lagi saya harus bertanya selain kepada mas Tan?
TAN:
Baik, saya mengutip Vacchagota Sutta karena hendak memperlihatkan bahwa tidak ada pertentangan antara T dan M dari segi ini. Saya melihat bahwa keduanya sebenarnya mempunyai intisari yang sama (layaknya air, es, dan uap air dengan H2O sebagai rumus molekulnya - lihat pembahasan di atas). Baik kalau begitu kita kesampingkan Vacchagota Sutta, kita pakai saja filosofi Madhyamika milik Nagarjuna. Saya kira telah jelas. Tetralemma menggambarkan bahwa kondisi kedemikianan dari segala sesuatu termasuk Buddhata (hakekat sejati Kebuddhaan) itu diluar kata-kata dan logika konvensional. Seekor ikan yang belum pernah melihat daratan, jelas tak akan dapat mengenal benar-benar apa itu daratan, walaupun bermilyar2 kata dipergunakan untuk menjelaskannya. Umpamanya ada guru geografi ikan yang berkata, "daratan itu adalah tempat yang tidak ada air.. tidak seperti tempat hidup kita...bla...bla..bla." Apakah keterangan si guru ikan itu dapat menjelaskan daratan dengan sempurna? Begitu juga manusia yang belum mencapai Kebuddhaan. Bisakah kita mengerti kondisi Kebuddhaan dengan sungguh2?
Mengenai perdebatan, mudah-mudahan mas Tan jangan menganggap ini sebagai perdebatan, anggaplah ini sebagai orang yang kurang mengerti, yang dengan kritis bertanya kepada orang yang lebih mengerti.
TAN:
Bagaimana mungkin kita dapat mengerti? Kita ini laksana ikan yang belum pernah lihat daratan. Bagaimana mungkin dapat mengerti daratan. Saya adalah ikan yang sangat amat bodoh. Bagaimana mungkin saya dapat membuat Anda mengerti? Saya justru sedang berjuang agar dapat "melihat" daratan itu sendiri. Perjalanan saya masih panjang.
Metta,
Tan
Yang saya sukai dari ajaran BUDDHA (khususnya aliran T), bahwa tidak terdapat pernyataan-pernyataan metafisis yang tidak dapat dibayangkan ataupun "diharamkan" untuk dapat dimengerti dengan pameo pameo bahwa TIDAK DAPAT "DIKATAKAN" SEBELUM MEREALISASIKAN-NYA... PERTANYAAN LANJUTAN, darimana kita tahu SEORANG INDIVIDU MEREALISASIKAN KE-BUDDHA-AN (walaupun mengikuti ajaran M) kalau BUKAN DARI PENGAKUAN DIRI SENDIRI. DAN JIKA ADA YANG MENGAKU, APAKAH BISA DI-PERCAYA ?
Jadi menurut saya, ketika ada yang menyatakan bahwa kondisi nibbana itu tidak dapat diceritakan ? menurut saya, SALAH BESAR, dengan jelas sekali bahwa kondisi nibbana adalah kondisi yang aLOBHA, aMOHA dan aDOSA. Sudah tahu kriteria nibbana, sekarang tinggal pelaksanaannya... dan pelaksanaannya yang sulit...
Yang saya sukai dari ajaran BUDDHA (khususnya aliran T), bahwa tidak terdapat pernyataan-pernyataan metafisis yang tidak dapat dibayangkan ataupun "diharamkan" untuk dapat dimengerti dengan pameo pameo bahwa TIDAK DAPAT "DIKATAKAN" SEBELUM MEREALISASIKAN-NYA... PERTANYAAN LANJUTAN, darimana kita tahu SEORANG INDIVIDU MEREALISASIKAN KE-BUDDHA-AN (walaupun mengikuti ajaran M) kalau BUKAN DARI PENGAKUAN DIRI SENDIRI. DAN JIKA ADA YANG MENGAKU, APAKAH BISA DI-PERCAYA ?
TAN:
Seorang sah-sah saja mengatakan dirinya telah mencapai Kebuddhaan. Tetapi kita bisa menilai dari tindak tanduk pribadi yang mengaku dirinya telah mencapai Kebuddhaan. Namun hal ini bukan sesuatu yang harus dipercaya atau diimani seperti dalam agama lain. Kalau tidak percaya lantas masuk neraka. Anda tidak percaya bahwa Buddha Sakyamuni telah mencapai Kebuddhaan juga tidak masalah. Buddhisme berpusat pada Dharmanya. Saya sendiri tidak peduli apakah Buddha Sakyamuni telah merealisasi Kebuddhaan atau belum. Yang saya tahu, Dharma sungguh baik dan bermanfaat. Itu saja.
Suatu fenomena sebenarnya "bisa" dikatakan sebelum seseorang merealisasinya. Tetapi masalahnya apa yang dikatakan atau DIDEFINISIKAN DENGAN KATA-KATA itu tidaklah mewakili "kesejatian" fenomena tersebut. Bisakah Anda menjelaskan rasa mangga pada orang yang belum pernah makan mangga, sehingga ia sungguh-sungguh mengerti rasa mangga? Mendefinisikan rasa mangga dengan kata-kata adalah sah-sah saja. Tetapi realita yang dituangkan dengan kata-kata itu tidak mewakili hakikat sejati rasa mangga. Hal ini telah diulas dengan gamblang dalam Sutra Samdhinirmocana.
Jadi menurut saya, ketika ada yang menyatakan bahwa kondisi nibbana itu tidak dapat diceritakan ? menurut saya, SALAH BESAR, dengan jelas sekali bahwa kondisi nibbana adalah kondisi yang aLOBHA, aMOHA dan aDOSA. Sudah tahu kriteria nibbana, sekarang tinggal pelaksanaannya... dan pelaksanaannya yang sulit...
TAN:
Apa yang Anda katakan itu ada diulas dalam buku karya Kalupahana tentang filsafat Buddhis. Memang dalam kanon Pali, nibanna didefinisikan secara negatif, yakni dengan menggunakan kalimat ingkaran (awalan "a" yang artinya "tidak"); seprti alobha, amoha, adosa, dan lain-lain. Tetapi masalah apakah sederet definisi seperti alobha, amoha, adosa, dan lain-lain itu telah mewakili nibanna? Menurut saya nibanna yang sejati tidak dapat didefinisikan dengan kata2 secara sempurna. Kata-kata adalah kata-kata dan nibanna adalah nibanna.
Metta,
Tan
TAN:
Maaf, bukan mempertentangkan antara T dan M. Saya hanya menanggapi berdasarkan apa yang Anda tanyakan. Kalau Anda menganggap saya mempertentangkan T dan M, maka kemungkina Anda salah tafsir terhadap apa yang saya uraikan sebelumnya.
Oke. Kalau mau dianggap mirip antara dewa yang menjelma jadi manusia mungkin memang ada miripnya. Saya pakai kata "mungkin" karena saya tidak banyak tahu bagaimana proses penjelmaaan suatu makhluk adikodrati seperti yang Anda ungkapkan di atas. Anda sendiri mengatakan bahwa segala sesuatu atau persamaan atau perbedaannya, bukan? Hanya saja, "penjelmaan" itu tidak sepenuhnya sama. Kita sepakati saja bahwa memang ada kemiripannya. Tetapi sesuatu yang mirip tidak selamanya identik bukan?
TAN:
Bukankah saya sudah mengulas panjang lebar tentang "penjelmaan" tadi? Saya sudah menguraikan tentang Tiga Tubuh Buddha, yakni Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya. Ini merupakan acuan untuk menjelaskan mengenai "manifestasi" seorang Buddha menurut Mahayana. Nirmanakaya adalah Tubuh Jelmaan. Sedangkan Samboghakaya secara harafiah berarti Tubuh Pahala. Seorang Buddha dapat memanifestasikan diriNya dalam miliaran nirmanakaya, sementara itu Dharmakayanya tidak perlu berpindah tempat sama sekali, karena Dharmakaya atau Tubuh Dharma itu omnipresence (maha hadir). Mungkin analoginya adalah matahari (selaku Dharmakaya), sinar matahari (Sambhogakaya), dan bayangan matahari di air (Nirmanakaya). Dengan demikian, seorang Buddha dapat "menjelma" di mana saja dan sebagai apa saja, tetapi Dharmakaya-nya tidak bergerak ke manapun. Ini adalah konsep Mahayana. Saya menerima konsep ini karena menurut saya sangat logis dan masuk akal. Mengapa sangat logis dan masuk akal? Marilah kita cermati alasan2 berikut ini:
1.Seorang Buddha telah mengumpulkan paramita yang tak terhitung jumlahnya (silakan lihat kitab Buddhacarita - Fo Shuo Xing Chan, Lalitavistara Sutra, Sutra Damamukanidana - Xianyujing, dll). Seorang Buddha telah menyempurnakan maitri karunanya melalui tingkatan-tingkatan Boddhisattva (diulas di Sutra Dashabhumika - bagian kumpulan Avatamsaka). Dengan demikian, tidak mungkin setelah ia memasuki Nirvana Tanpa Sisa, Beliau berhenti memancarkan energi belas kasihNya terhadap para makhluk. Tidak mungkin energi paramita-paramita itu berhenti begitu saja. Kalau dengan memasuki Nirvana Tanpa Sisa seorang Buddha tidak memiliki dan tidak dapat memancarkan belas kasih lagi, paramita-paramita yang dilakukannya akan menjadi sia-sia; dengan asumsi bahwa maitri karuna yang sejati itu tak terbatas dan tak terkatakan. Maitri karuna sejati tidak dapat mengatakan, "Oke sampai di sini saja saya menolong kamu." Maitri karuna seorang Buddha itu tak dapat berakhir, beda dengan maitri karuna manusia biasa: "Ada uang abang disayang. Tak ada uang abang ditendang."
2.Orang yang telah bebas tentunya dapat pergi ke mana saja, bukan? Karena itu, bagi saya sangat masuk akal pandangan bahwa seorang Buddha masih dapat "pergi" atau "masuk" lagi ke dunia samsara. Hanya saja "masuk" atau "menjelma"nya Beliau ke dalam samsara itu bukan didasari oleh lobha, dosa, dan moha. Kalau dikatakan bahwa seorang Buddha tidak dapat "menjelma," maka nirvana akan menjadi semacam penjara yang "membatasi" seorang yang telah mencapai pencerahan. Banyak orang dari agama lain yang memahami nirvana semacam ini jadi menyalah artikan bahwa nirvana adalah penjara. Padahal nirvana adalah suatu kondisi, yang melambangkan pembebasan sejati.
Analoginya adalah sebagai berikut. Penjahat harus masuk penjara karena kesalahannya. Tetapi orang bebas (dalam artian bebas dari hukum pidana penjara) boleh berkunjung ke penjara dan setelah itu keluar lagi. Ia datang ke penjara bukan karena kesalahannya dan tidak harus ke sana. Ia datang ke penjara untuk menghibur dan menasihati para narapidana.
Tentu saja, sang Buddha masih dapat datang mengunjungi "penjara" kita ini. Hanya saja dengan cara yang berbeda dengan kita-kita "terlahir" di penjara ini. Beliau hadir bukan karena lobha, dosa, mohanya, melainkan karena maitri karuna Beliau. Konsep Trikaya dapat menjelaskan bagaimana "Kebuddhaan" hadir di samsara ini.
3.Nirvana dan samsara adalah identik menurut Mahayana.
Nah, demikian uraian saya mengenai konsep Buddhologi dalam Mahayana? Apakah uraian saya di atas mempertentangkan antara M dan T? Saya tidak merasa demikian. Bahkan saya tidak pakai kata "T" sama sekali. Silakan Anda cek. Tentu saja penjelasan saya masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan waktu dan tempat.
TAN:
Tentu ada donk. Banyak sekali. Bisa cek di Sutra Avatamsaka, Lankavatara, Saddharmapundarika, Srimaladevisimhanada, Mahaparinirvana, dll.
Di sastra juga banyak, antara lain: Mahayana Uttara Tantra Sashtra, Cheng Wei Shi Lun (karya Xuanzang), Madhyamakasashtra (karya Nagarjuna), dll.
Anda saya sarankan membaca naskah2 di atas, karena saya tidak ada waktu untuk menguraikannya. Lagipula membaca langsung dari sumbernya lebih baik bukan?
Amiduofo,
Tan
1.Seorang Buddha telah mengumpulkan paramita yang tak terhitung jumlahnya (silakan lihat kitab Buddhacarita - Fo Shuo Xing Chan, Lalitavistara Sutra, Sutra Damamukanidana - Xianyujing, dll). Seorang Buddha telah menyempurnakan maitri karunanya melalui tingkatan-tingkatan Boddhisattva (diulas di Sutra Dashabhumika - bagian kumpulan Avatamsaka). Dengan demikian, tidak mungkin setelah ia memasuki Nirvana Tanpa Sisa, Beliau berhenti memancarkan energi belas kasihNya terhadap para makhluk. Tidak mungkin energi paramita-paramita itu berhenti begitu saja. Kalau dengan memasuki Nirvana Tanpa Sisa seorang Buddha tidak memiliki dan tidak dapat memancarkan belas kasih lagi, paramita-paramita yang dilakukannya akan menjadi sia-sia; dengan asumsi bahwa maitri karuna yang sejati itu tak terbatas dan tak terkatakan. Maitri karuna sejati tidak dapat mengatakan, "Oke sampai di sini saja saya menolong kamu." Maitri karuna seorang Buddha itu tak dapat berakhir, beda dengan maitri karuna manusia biasa: "Ada uang abang disayang. Tak ada uang abang ditendang."
2.Orang yang telah bebas tentunya dapat pergi ke mana saja, bukan? Karena itu, bagi saya sangat masuk akal pandangan bahwa seorang Buddha masih dapat "pergi" atau "masuk" lagi ke dunia samsara. Hanya saja "masuk" atau "menjelma"nya Beliau ke dalam samsara itu bukan didasari oleh lobha, dosa, dan moha. Kalau dikatakan bahwa seorang Buddha tidak dapat "menjelma," maka nirvana akan menjadi semacam penjara yang "membatasi" seorang yang telah mencapai pencerahan. Banyak orang dari agama lain yang memahami nirvana semacam ini jadi menyalah artikan bahwa nirvana adalah penjara. Padahal nirvana adalah suatu kondisi, yang melambangkan pembebasan sejati.
Analoginya adalah sebagai berikut. Penjahat harus masuk penjara karena kesalahannya. Tetapi orang bebas (dalam artian bebas dari hukum pidana penjara) boleh berkunjung ke penjara dan setelah itu keluar lagi. Ia datang ke penjara bukan karena kesalahannya dan tidak harus ke sana. Ia datang ke penjara untuk menghibur dan menasihati para narapidana.
Tentu saja, sang Buddha masih dapat datang mengunjungi "penjara" kita ini. Hanya saja dengan cara yang berbeda dengan kita-kita "terlahir" di penjara ini. Beliau hadir bukan karena lobha, dosa, mohanya, melainkan karena maitri karuna Beliau. Konsep Trikaya dapat menjelaskan bagaimana "Kebuddhaan" hadir di samsara ini.
3.Nirvana dan samsara adalah identik menurut Mahayana.
4. Saya menganggap konsep Buddha atau makhluk adikodrati apapun yang sudi menjelma ke dunia yang sarat penderitaan ini sebagai sesuatu yang baik secara filosofis. Ini mencerminkan ajaran tentang kepedulian. Ini menjadi teladan bagi saya untuk lebih peduli pada orang lain, terutama mereka yang menderita. Jadi terlepas dari apakah benar2 ada Buddha atau makhluk adikodrati yang menjelma, ajaran semacam ini memiliki makna yang baik.
Amiduofo,
Tan
ANDA:
Jika Nirvana dan Samsara itu tidak berbeda (terlepas dari dualisme), darimana adanya maitri karuna yang sejati itu tak terbatas dan tak terkatakan, yang terus menerus di pancarkan, bahkan setelah seorang BUDDHA merealisasikan nibbana tanpa sisa...
INKONSISTEN...
TAN:
Justru sebaliknya, Bang. SANGAT KONSISTEN. Jika seseorang telah merealisasi kesamaan nirvana dan samsara, maka ia akan dapat memancarkan maitri karuna yang sejati. Bagi dia sudah tak ada segala bentuk pembedaan. Dualisme telah hilang. Sekarang saya balik bertanya, kemana perginya semua paramita yang ditimbun seorang Buddha saat Beliau masih menempuh jalan Bodhisattva? Saya melihat Anda menganut pandangan nihilisme penuh, karena yakin bahwa setelah seorang Buddha parinirvana, kekuatan maitri karunanya ikut musnah total. Ini bertolak belakang dengan pandangan sains bahwa materi tidak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan, melainkan materi hanya dapat ditransformasikan menjadi materi lainnya. Justru saya melihat pandangan Mahayana ini lebih sesuai dengan sains modern.
Saya balik pula bertanya, seorang Buddha dapat mengingat kehidupan lampaunya hingga sejauh yang Beliau inginkan. Pertanyaan saya, di manakan ingatan atau memori atas masa lampau itu tersimpan? Berarti bukankah ada suatu gudang penyimpanan yang ada terus menerus selama berkalpa2? Terus setelah seorang Buddha parinirvana ke manakah perginya "gudang" tersebut. Kalau tidak ada "gudang" itu, bagaimana seorang Buddha dapat merekoleksi kembali kehidupannya hingga jutaan kalpa yang lampau? Mohon penjelasannya secara jelas. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.
Amiduofo,
Tan
Karena jawaban Sdr. Upasaka sangag panjang terpaksa saya potong2.
JAWABAN KEPADA UPASAKA 1
Upasaka:
Saya juga ingin berdiskusi...
Sepertinya memang ada perbedaan goal antara Theravada dengan Mahayana. Meski kata "Nibbana" (T) dan "Nirvana" (M) sama-sama merujuk pada makna Pembebasan Sempurna, namun saya sering melihat ada perbedaan fundamental di antara kedua konsep ini. Jika Aliran Theravada dan Mahayana sama-sama memegang konsep anicca-dukkha-anatta, seharusnya Nibbana dan Nirvana adalah Pembebasan Mutlak. Pembebasan Mutlak ini adalah kondisi yang berada di luar hidup-mati.
Pembebasan ini seharusnya adalah kondisi tak bersyarat. Bagaimana mungkin orang yang telah terbebas masih memiliki sisa (baca : bisa memancarkan belas-kasih lagi). Jadi Nirvana itu Pembebasan Mutlak atau Pembebasan yang Bersyarat?
TAN:
Baik! Kata Anda tak bersyarat bukan? Jika Pembebasan Mutlak itu "tidak bisa memancarkan belas kasih lagi" bukankah itu adalah syarat juga? Di sini ada kontradiksi terhadap pernyataan Anda. Anda melepaskan nirvana dari satu syarat tetapi melekatkan padanya suatu syarat lainnya. Masalahnya tidak menjadi selesai, malah berputar2 lagi di hal itu-itu saja. Menurut saya pembebasan mutlak tak bersyarat itu justru adakah kesanggupan untuk memancarkan maitri karuna secara murni tanpa bias2 lobha, dosa, dan moha. Kita tidak dapat mencintai orang lain dengan sungguh2 karena masih diliputi bias-bias lobha, dosa, dan moha. Semua kebajikan kita pada orang sedikit banyak pasti diliputi oleh pertimbangan2 ego betapapun halusnya itu. Adalah ironis bila setelah seseorang mengikis lobha, dosa, dan moha, ia tak dapat lagi memancarkan belas kasih pada makhluk lain. Padahal belas kasih semacam itu adalah belas kasih yang secara logis merupakan maitri karuna sejati. Pandangan bahwa setelah seseorang mencapai nirvana, ia tak dapat lagi memancarkan belas kasih, menurut hemat saya adalah tidak masuk akal.
(bersambung ke jilid 2)
Orang yang telah merealisasi Pembebasan (Nibbana / Nirvana) sudah tidak dapat lagi ditemukan dalam bentuk 'orang' atau 'pribadi'. Wujud personal itu terbelenggu oleh anicca-dukkha-anatta. Bila orang yang dikatakan sudah merealisasi Pembebasan itu masih bisa ditemukan dalam bentuk 'orang' atau 'pribadi', maka orang itu sesungguhnya belum merealisasi Pembebasan.
Orang yang terbebas pun adalah orang yang tidak lagi terikat oleh dualisme duniawi ini. Selama masih berada di lingkup jagad raya, maka dualisme akan selalu ada. Orang yang terbebas tidak akan lagi masuk atau keluar. Karena masuk atau keluar adalah sifat dualistis. Dan hal itu tidak kongruen dengan sifat Nibbana / Nirvana yang dalam konsep sejatinya dikatakan absolut.
NB : Orang yang dapat seenaknya keluar-masuk itu bukan orang yang bebas, itu hanyalah orang yang memiliki izin keluar-masuk. Orang yang bebas itu seharusnya tidak dibatasi ruangan atau apapun (tidak perlu keluar-masuk).
"Sadarlah! Lihat dirimu sendiri. Hanya Anda yang dapat menolong dirimu sendiri."
Jadi Apa/Siapa yang memancarkan belas kasih tersebut (ketika sudah merealisasikan nibbana tanpa sisa) ?
ANDA:
Jika Nirvana dan Samsara itu tidak berbeda (terlepas dari dualisme), darimana adanya maitri karuna yang sejati itu tak terbatas dan tak terkatakan, yang terus menerus di pancarkan, bahkan setelah seorang BUDDHA merealisasikan nibbana tanpa sisa...
INKONSISTEN...
TAN:
Justru sebaliknya, Bang. SANGAT KONSISTEN. Jika seseorang telah merealisasi kesamaan nirvana dan samsara, maka ia akan dapat memancarkan maitri karuna yang sejati. Bagi dia sudah tak ada segala bentuk pembedaan. Dualisme telah hilang. Sekarang saya balik bertanya, kemana perginya semua paramita yang ditimbun seorang Buddha saat Beliau masih menempuh jalan Bodhisattva? Saya melihat Anda menganut pandangan nihilisme penuh, karena yakin bahwa setelah seorang Buddha parinirvana, kekuatan maitri karunanya ikut musnah total. Ini bertolak belakang dengan pandangan sains bahwa materi tidak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan, melainkan materi hanya dapat ditransformasikan menjadi materi lainnya. Justru saya melihat pandangan Mahayana ini lebih sesuai dengan sains modern.
Saya balik pula bertanya, seorang Buddha dapat mengingat kehidupan lampaunya hingga sejauh yang Beliau inginkan. Pertanyaan saya, di manakan ingatan atau memori atas masa lampau itu tersimpan? Berarti bukankah ada suatu gudang penyimpanan yang ada terus menerus selama berkalpa2? Terus setelah seorang Buddha parinirvana ke manakah perginya "gudang" tersebut. Kalau tidak ada "gudang" itu, bagaimana seorang Buddha dapat merekoleksi kembali kehidupannya hingga jutaan kalpa yang lampau? Mohon penjelasannya secara jelas. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.
Amiduofo,
Tan
Jadi Apa/Siapa yang memancarkan belas kasih tersebut (ketika sudah merealisasikan nibbana tanpa sisa) ?
pertanyaan siapa dan apa tidak berlaku bagi yang telah merealisasikan nirvana, karena pada dasarnya tidak ada aku dan orang lain, bagaimana bisa ada "siapa" atau "apa"? Pada dasarnyanya di dalam diri setiap orang ada Sifat Kebuddhaan, maka kehadiran nirvana adalah mutlak di dalam "samsara"; karena samsara menjadi ada semata-mata kita tertutup oleh debu duniawi ego-diri,jika kita bisa melnghentikan gerak ego-diri yang liar, maka realisasi nirvana akan terjadi dengan sendirinya. Oleh karena itu, nirvana sebenarnya adalah hakikat sejati yang konstan terus menerus yang dilupakan oleh kita karena sifat ego-diri.
Yang dimaksud oleh Bro Dilbert adalah Parinibbana, Nibbana tanpa sisa.
Yang dimaksud oleh Bro Dilbert adalah Parinibbana, Nibbana tanpa sisa.
Apakah "sisa" itu kalau gitu? Apa yang bisa tersisa dari pencapaian nibbana? Kalau tanpa sisa apa yang tak tersisa kalau demikian? Mohon masukkannya. Terimakasih.
Pertanyaan Anda ini juga inkonsten: "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" Anda mengatakan bahwa nirvana adalah absolut, maka tentunya tak ada lagi dualisme. Tak ada lagi yang mengkondisikan nirvana. Tetapi Anda mempertentangkan nirvana dengan menyatakan mana yang mengkondisikan mana. Jika Anda berpegang bahwa nirvana adalah sesuatu yang absolut, maka tidak ada yang saling mengkondisikan lagi. Justru pandangan bahwa nirvana identik dengan samsara memperlihatkan bahwa keduanya tidak saling mengkondisikan. Di sini saya melihat filosofi Mahayana sangat konsisten. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" karena berpandangan bahwa nirvana identik dengan samsara. Tidak ada yang saling mengkondisikan. Justru orang yang berpandangan nirvana beda dengan samsara itulah yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan Anda boleh dikatakan salah alamat.
Anda menyatakan: "Lantas jika memang identik, mengapa orang yang telah merealisasi Nirvana dikatakan tidak ingin memasuki Nirvana tanpa sisa? Bukankah Nirvana dan samsara saling berkaitan, sehingga orang yang telah merealisasi Nirvana memang tidak akan bisa memasuki Nirvana tanpa sisa?"
Pertanyaan saya: Logika dari mana itu? Saya tidak paham maksud Anda pun tidak mengerti apa keterkaitannya dengan topik diskusi kita.
Amiduofo,
Tan
Pancakhanda.
JAWABAN KEPADA UPASAKA (3)
Upasaka:
Jika Nirvana dan samsara adalah identik, berarti dalam pandangan Mahayana secara jelas menyatakan bahwa Nirvana adalah 'tempat' / 'ruang' ? Apakah benar demikian?
Jika Nirvana memang adalah tempat / ruang / alam, maka sudah seharusnya Nirvana pun tunduk di bawah Panca Niyama (5 Hukum Tertib Kosmis), Tilakkhana (anicca-dukkha-anatta), Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang saling Bergantung), 4 Kebenaran Ariya.
Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?
Lantas jika memang identik, mengapa orang yang telah merealisasi Nirvana dikatakan tidak ingin memasuki Nirvana tanpa sisa? Bukankah Nirvana dan samsara saling berkaitan, sehingga orang yang telah merealisasi Nirvana memang tidak akan bisa memasuki Nirvana tanpa sisa?
TAN:
Pertanyaan ini tidak tepat, seperti menanyakan jika api mati ke mana perginya api itu. Tetapi pertanyaan Anda saya tanggapi dengan pertanyaan pula. Menurut Anda apakah samsara itu sebuah "tempat" atau "ruang"? Samsara adalah kondisi pikiran. Pikiran yang menentukan Anda "terlahir" di mana saat ini. Anda dilanda keserakahan, artinya Anda sedang terlahir di alam preta. Anda sedang berbahagia, artinya Anda ada di alam dewa. Samsara adalah kondisi pikiran. Jika pikiran tidak mengkondisikan samsara, maka samsara itu tidak ada lagi. Karena itu, samsara adalah nirvana dan nirvana adalah samsara.
Pertanyaan Anda ini juga inkonsten: "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" Anda mengatakan bahwa nirvana adalah absolut, maka tentunya tak ada lagi dualisme. Tak ada lagi yang mengkondisikan nirvana. Tetapi Anda mempertentangkan nirvana dengan menyatakan mana yang mengkondisikan mana. Jika Anda berpegang bahwa nirvana adalah sesuatu yang absolut, maka tidak ada yang saling mengkondisikan lagi. Justru pandangan bahwa nirvana identik dengan samsara memperlihatkan bahwa keduanya tidak saling mengkondisikan. Di sini saya melihat filosofi Mahayana sangat konsisten. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" karena berpandangan bahwa nirvana identik dengan samsara. Tidak ada yang saling mengkondisikan. Justru orang yang berpandangan nirvana beda dengan samsara itulah yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan Anda boleh dikatakan salah alamat.
Anda menyatakan: "Lantas jika memang identik, mengapa orang yang telah merealisasi Nirvana dikatakan tidak ingin memasuki Nirvana tanpa sisa? Bukankah Nirvana dan samsara saling berkaitan, sehingga orang yang telah merealisasi Nirvana memang tidak akan bisa memasuki Nirvana tanpa sisa?"
Pertanyaan saya: Logika dari mana itu? Saya tidak paham maksud Anda pun tidak mengerti apa keterkaitannya dengan topik diskusi kita.
Amiduofo,
Tan
Bukan BEDA dengan samsara, melainkan BUKAN samsara.
ANDA:
Timbunan paramita seorang Bhodhisattva memuncak pada pencapaian Sammasambuddha.
TAN:
Setelah itu habis sama sekali ya? Sungguh ironis! Seseorang berjuang sungguh-sungguh demi membebaskan diri dari lobha dosa, dan moha. Tetapi begitu "gong"nya sudah dicapai, semua "hilang" sama sekali. Tidak ada sisa2 maitri karunanya. Ini yang saya tidak bisa terima. Mohon maaf bagi saya tidak logis.
***
Setelah Parinibbana, dimana tubuh telah melapuk, Buddha adalah Dhamma.
Disebut nihilis apabila tidak ada apa-apa samasekali sebagai kebalikan dari ada, masalahnya disini Parinibbana bukanlah dalam konteks ada dan tiada atau bahkan biasanya ditambahkan masih dan sudah. Melainkan diluar ada dan tiada. Kata nihilis tidak berlaku dalam kondisi ini.
TAN:
Oke. Saya balik bertanya. Begini: "bukan dalam konteks ada dan tiada" itu maksudnya gimana? Coba dijelaskan pandangan Anda. Sehingga arah diskusi menjadi jelas.
***
Pada saat anda berbicara tentang warna, apakah kata tinggi dan pendek dapat digunakan untuk menggambarkan warna??
Baru kali ini saya membaca Nibbana diidentikkan dengan materi..??
TAN:
Siapa yang mengidentikkan nirvana dengan materi? Anda salah mengerti. Yang Anda bold hijau itu pertanyaan saya untuk Sdr. Dilbert atau Upasaka. Silakan Anda jawab pertanyaan tersebut.
****
Kalimat anda berkesan demikian, berikut kutipannya:
TAN:
Ini bertolak belakang dengan pandangan sains bahwa materi tidak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan, melainkan materi hanya dapat ditransformasikan menjadi materi lainnya. Justru saya melihat pandangan Mahayana ini lebih sesuai dengan sains modern.
TAN:
Penafsiran Anda salah. Tidak perlu saya tanggapi lebih lanjut.
Amiduofo,
_/\_
Tan
Bukan BEDA dengan samsara, melainkan BUKAN samsara.
"Beda" dan "bukan" bedanya apa bro?
Contohnya:
Hitam adalah "bukan" apapun yang berwarna putih
Putih adalah "bukan" apapun yang berawarna hitam
maka, hitam dan putih adalah "beda".
Yang baik adalah "bukan" apapun yang jahat
Yang jahat adalah "bukan" apapun yang baik
Bukan \kah tepat dikatakan "baik" dan "jahat" adalah dua hal yang berbeda
gimana bro?
Penjelasan tentang beda dan bukan dari saya adalah sebagai contoh berikut.
Ikan teri BEDA dengan ikan kakap.
Ikan Bukan serangga.
Penjelasan tentang beda dan bukan dari saya adalah sebagai contoh berikut.
Ikan teri BEDA dengan ikan kakap.
Ikan Bukan serangga.
Kalau digantikan dengan:
Ikan teri BUKAN ikan kakap
Ikan beda dengan serangga
bukankah maknanya nggak berubah?
HENDRAKO:
Kalimat anda berkesan demikian, berikut kutipannya:
TAN:
Ini bertolak belakang dengan pandangan sains bahwa materi tidak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan, melainkan materi hanya dapat ditransformasikan menjadi materi lainnya. Justru saya melihat pandangan Mahayana ini lebih sesuai dengan sains modern.
TAN:
Ah itu khan kesan Anda saja. Sah-sah saja Anda mau berkesan apapun. Ini negara demokratis. Yang pasti saya tidak menganggap demikian. Itu hanya analogi saja.
Amiduofo,
Tan
PROTON (+), ELEKTRON (-) dan NEUTRON (netral) itu TIDAK SAMA.
Menarik sekali.QuotePROTON (+), ELEKTRON (-) dan NEUTRON (netral) itu TIDAK SAMA.
Cuma mau menanggapi yang ini. he5x
+, -, ~ adalah sama. Mengapa? Karena + dapat diganti oleh - dan - dapat diganti oleh +. Ini dikarenakan adalah sebuah elektriksitas dan magnetis. Jadi sebenarnya + adalah - dan - adalah +
Jadi jika ditanggapi sama atau tidak sama. Jawabannya adalah sama.
Untuk mahayana vs theravada silahkan lanjut.
Baik! Kata Anda tak bersyarat bukan? Jika Pembebasan Mutlak itu "tidak bisa memancarkan belas kasih lagi" bukankah itu adalah syarat juga? Di sini ada kontradiksi terhadap pernyataan Anda. Anda melepaskan nirvana dari satu syarat tetapi melekatkan padanya suatu syarat lainnya. Masalahnya tidak menjadi selesai, malah berputar2 lagi di hal itu-itu saja. Menurut saya pembebasan mutlak tak bersyarat itu justru adakah kesanggupan untuk memancarkan maitri karuna secara murni tanpa bias2 lobha, dosa, dan moha. Kita tidak dapat mencintai orang lain dengan sungguh2 karena masih diliputi bias-bias lobha, dosa, dan moha. Semua kebajikan kita pada orang sedikit banyak pasti diliputi oleh pertimbangan2 ego betapapun halusnya itu. Adalah ironis bila setelah seseorang mengikis lobha, dosa, dan moha, ia tak dapat lagi memancarkan belas kasih pada makhluk lain. Padahal belas kasih semacam itu adalah belas kasih yang secara logis merupakan maitri karuna sejati. Pandangan bahwa setelah seseorang mencapai nirvana, ia tak dapat lagi memancarkan belas kasih, menurut hemat saya adalah tidak masuk akal.
Apakah yang dimaksud dengan "orang" dan "pribadi" di sini? Apakah orang dalam arti fisik atau bagaimana?
Dikatakan "keluar-masuk", sebenarnya adalah analogi belaka. Justru karena Nirvana absolut, maka orang yang merealisasi nibbana dapat berada di mana-mana pada saat bersamaan dia tidak ada di mana-mana. Justru aneh sekali jika kita menganggap nirvana absolut, dengan tetap berpandangan bahwa samsara dan nirvana adalah dualitas yang berbeda. Jika nirvana dan samsara adalah dua realitas yang berdiri sendiri-sendiri, maka nirvana itu sendiri pasti berada dalam dualitas. Justru karena nirvana adalah absolut maka ia tidak bisa dipisahkan dengan samsara sekaligus tidak bisa dianggap sebagai esensi yang sama. Sebab "beda" dan "sama" sekali lagi merupakan konstruksi duniawi.
Justru karena itu. Karena tidak adanya konsep masuk atau keluar, belas kasih seorang Buddha akan tetap eksis - TIDAK DIBATASI RUANG DAN WAKTU. Saya tidak menerima pandangan Anda di atas, karena:
1.Seolah-olah menyatakan bahwa nirvana hanya dapat dicapai setelah seseorang wafat atau tidak hidup di jagad raya ini. Bagaimana dengan nirvana dengan sisa (saupadisesa nirvana)? Ini nampak nyata dari pernyataan Anda: "Selama masih berada di lingkup jagad raya, maka dualisme akan selalu ada." - artinya selama masih di jagad raya seseorang tak akan mencapai nirvana.
2.Pernyataan Anda kontradiksi dengan poin 1 di atas dengan menyatakan bahwa "Orang yang terbebas tidak akan lagi masuk atau keluar." Dengan demikian, mustahil bagi seseorang mencapai nirvana atau terbebaskan. Begitu terbebaskan, ia akan "keluar" dari jagad raya dan tidak masuk lagi. Jika demikian, dalam benaknya selamanya akan tetap ada dualisme. Bagaimana mungkin ada pembebasan sejati? Justru konsep Mahayana bahwa samsara dan nirvana adalah sama lebih sesuai dengan konsep tidak ada masuk dan keluar. Pantai seberang adalah pantai ini juga (lihat Sutra Prajnaparamitahrdaya) - Gate-gate Paragate Parasamgate Boddhi Svaha!
Apakah Anda tidak sadar bahwa pernyataan Anda "Orang yang bebas itu seharusnya tidak dibatasi ruangan atau apapun (tidak perlu keluar-masuk)" justru mendukung konsep Trikaya dan juga kesamaan samsara dan nirvana.
Peryataan "Orang yang dapat seenaknya keluar-masuk itu bukan orang yang bebas, itu hanyalah orang yang memiliki izin keluar-masuk" ini hanya permainan kata2 Anda saja. Bagaimana kalau saya tanggapi dengan permainan kata-kata pula: "ORANG YANG MENURUT ORANG YANG BELUM TERCERAHI NAMPAK SEPERTI KELUAR MASUK, TETAPI SESUNGGUHNYA DALAM BATINNYA TIDAK ADA KELUAR MASUK." Nah pertanyaan, saya apakah orang itu "keluar masuk"?
Keluar masuk dari sudut pandang siapa?
Amiduofo,
Tan
Pertanyaan ini tidak tepat, seperti menanyakan jika api mati ke mana perginya api itu. Tetapi pertanyaan Anda saya tanggapi dengan pertanyaan pula. Menurut Anda apakah samsara itu sebuah "tempat" atau "ruang"? Samsara adalah kondisi pikiran. Pikiran yang menentukan Anda "terlahir" di mana saat ini. Anda dilanda keserakahan, artinya Anda sedang terlahir di alam preta. Anda sedang berbahagia, artinya Anda ada di alam dewa. Samsara adalah kondisi pikiran. Jika pikiran tidak mengkondisikan samsara, maka samsara itu tidak ada lagi. Karena itu, samsara adalah nirvana dan nirvana adalah samsara.
Pertanyaan Anda ini juga inkonsten: "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" Anda mengatakan bahwa nirvana adalah absolut, maka tentunya tak ada lagi dualisme. Tak ada lagi yang mengkondisikan nirvana. Tetapi Anda mempertentangkan nirvana dengan menyatakan mana yang mengkondisikan mana. Jika Anda berpegang bahwa nirvana adalah sesuatu yang absolut, maka tidak ada yang saling mengkondisikan lagi. Justru pandangan bahwa nirvana identik dengan samsara memperlihatkan bahwa keduanya tidak saling mengkondisikan. Di sini saya melihat filosofi Mahayana sangat konsisten. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" karena berpandangan bahwa nirvana identik dengan samsara. Tidak ada yang saling mengkondisikan. Justru orang yang berpandangan nirvana beda dengan samsara itulah yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan Anda boleh dikatakan salah alamat.
Anda menyatakan: "Lantas jika memang identik, mengapa orang yang telah merealisasi Nirvana dikatakan tidak ingin memasuki Nirvana tanpa sisa? Bukankah Nirvana dan samsara saling berkaitan, sehingga orang yang telah merealisasi Nirvana memang tidak akan bisa memasuki Nirvana tanpa sisa?"
Pertanyaan saya: Logika dari mana itu? Saya tidak paham maksud Anda pun tidak mengerti apa keterkaitannya dengan topik diskusi kita.
Amiduofo,
Tan
Kontradiksinya, diri justru yang sering menghambat seseorang merealisasi nirvana. Karena terjebak pandangan ini, kita kemudian berpikir bahwa nirvana bisa direalisasi dengan kehendak dan usaha diri. Pada dasarnya, orang yang menyerahkan upayanya pada "diri" ataupun "bantuan yang lain" pada dasarnya menempuh jalan berbeda menuju arah yang sama. Seseorang yang pada awalnya mengandalkan tekad diri sendiri, pada suatu titik di jalan dia harus menanggalkan bahwa usaha dari diri yang berlebihan justru menghambat pencapaian nirvana. Karena bagaimanapun "diri" adalah wujud dari ego yang harus dilepaskan. Begitu juga yang mengandalkan metode "bantuan yang lain" pada satu titik pencapaian realisasi tertentu ia menyadari bahwa "tidak ada jarak antara yang dibantu dan membantu", sehingga akhirnya ia harus juga melepaskan "yang lain" dari pandangannya. Oleh karena itu dalam Mahayana selalu dikatakan "Sifat Kebuddhaan telah ada di dalam diri setiap makhluk hidup," hanya yang sadar disebut sebagai Buddha, yang tidak sadar yang disebut sebagai awam. Dalam jalan menuju realisasi Nibbana, seseorang akan melepaskan dikotomi antara "diri/aku" dengan "yang lain", maka apa bedanya antara memulai dengan "kemampuan diri sendiri" atau "dengan memohon bantuan yang lain", keduanya jika dilakukan dengan praktik yang benar akan menuju hasil yang sama baiknya. Sebaliknya jika keduanya dilakukan dengan praktik yang salah akan menuju hasil yang buruk.
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Tekad dan semangatnya sangat baik dan positif. Namun satu hal yang kurang pas di akal sehat saya adalah nilai logisnya. Karena :
- Kita tidak mungkin mampu menolong semua makhluk.
- Seandainya semua makhluk sudah terbebas, akhirnya tinggal kita yang belum terbebas. Saat itu bila kita membutuhkan pertolongan, maka tidak ada satu makhluk pun yang ada untuk mau / mampu menolong kita.
- Jumlah makhluk hidup di samsara ini tidak terhitung. Kalau semua orang kerjanya hanya menunda, ujung-ujungnya hanya ada hukum timbal-balik antara penunda dengan orang yang ditunggu. Alias berjalan di tempat.
- Menurut saya (ini menurut saya yha...), samsara ini selalu ada... Jadi tidak mungkin samsara ini kehabisan penghuninya / makhluk hidup.
- dan kalau semua poin itu benar, maka tekad 'menolong makhluk lain' ini hanya menjadi aksi kebaikan yang merugikan diri sendiri - ibarat memberi makan pada semua pengemis di dunia, tapi diri sendiri akhirnya mati kelaparan.
- dll...
Mohon penjelasan lanjutnya... :)
Pancakhanda.
Jadi yang membedakan antara nibbana dan parinibbana, hanya pada hilang dan lenyapnya tubuh belaka atau alias mati? Bukankah demikian maksudnya? Kalau demikian, maka nibbana masih bisa dicemari oleh pancakandha. Kalau seseorang dikatakan sudah merealisasikan nibbana/nirvana tapi masih tercemar oleh pancakandha bukankah sulit dikatakan bahwa ia merealisasikan nibbana/nirvana? Jika kematian masih membawa dampak perubahanan padanya dapatkah dikatakan ia mencapai nibbana/nirvana? Bukankah nibbana/nirvana adalah kondisi yang melampaui kehidupan dan kematian?
DILBERT:
buat apa lagi semua paramita ketika dualisme nirvana dan samsara sudah tidak ada ? bukankah ini INKONSISTEN...
TAN:
Buat apa lagi semua paramita dilepaskan ketika dualisme nirvana dan samsara sudah tidak ada? Apakah paramita itu sesuatu yang bisa kita lepaskan seenaknya seperti membawa tas belanjaan setelah berbelanja di mall? Saya kira tidak begitu lho. Paramita tidaklah dipegang atau dilepaskan. Itu adalah sesuatu yang alami.
Amiduofo,
Tan
ANDA:
Timbunan paramita seorang Bhodhisattva memuncak pada pencapaian Sammasambuddha.
TAN:
Setelah itu habis sama sekali ya? Sungguh ironis! Seseorang berjuang sungguh-sungguh demi membebaskan diri dari lobha dosa, dan moha. Tetapi begitu "gong"nya sudah dicapai, semua "hilang" sama sekali. Tidak ada sisa2 maitri karunanya. Ini yang saya tidak bisa terima. Mohon maaf bagi saya tidak logis.
***
Yang dimaksud oleh Bro Dilbert adalah Parinibbana, Nibbana tanpa sisa.
Apakah "sisa" itu kalau gitu? Apa yang bisa tersisa dari pencapaian nibbana? Kalau tanpa sisa apa yang tak tersisa kalau demikian? Mohon masukkannya. Terimakasih.
ANDA:
Timbunan paramita seorang Bhodhisattva memuncak pada pencapaian Sammasambuddha.
TAN:
Setelah itu habis sama sekali ya? Sungguh ironis! Seseorang berjuang sungguh-sungguh demi membebaskan diri dari lobha dosa, dan moha. Tetapi begitu "gong"nya sudah dicapai, semua "hilang" sama sekali. Tidak ada sisa2 maitri karunanya. Ini yang saya tidak bisa terima. Mohon maaf bagi saya tidak logis.
***
"Maitri Karuna" seorang Sammasambuddha, adalah beliau mengajar manusia dan dewa.
>> mungkin kita tidak bisa menolong semua, tapi berapa banyak yang bisa kita tolong kita tolong (mengikis ke-egoisan, mementingkan diri sendiri)Apakah Mahayana mempertimbangkan bahwa seseorang yang belum mencapai Ke-Buddha-an bisa berbuat kesalahan, sehingga bisa juga mengajarkan hal yang keliru, ataukah hanya berasumsi ajaran Mahayana pasti benar, keegoisan dikikis dengan menyebarkan ajaran PASTI BENAR ini?
beda pemikiran theravada ama mahayanaIni pemikiran keliru tentang Theravada. Dalam Theravada, kita TIDAK BISA menolong orang lain, bahkan Buddha sendiri tidak bisa. (Bisa dilihat dari kedatangan Buddha Gotama TIDAK "menyulap" semua mahluk jadi suci.)
Theravada : mencapai buddha baru menolong orang (tapi base berdasarkan pemikiran ini, saya ragu, kalau setelah mencapai buddha mo menolong orang, karena sudah berpikiran masa bodoh dengan orang lain, yang penting saya selamat).
Mahayana : mencapai boddhisattva dan berusaha menolong semua orang (karena kalau menunggu mencapai buddha dulu, sudah terlalu lama dan terlambat)
>> mungkin kita tidak bisa menolong semua, tapi berapa banyak yang bisa kita tolong kita tolong (mengikis ke-egoisan, mementingkan diri sendiri)Apakah Mahayana mempertimbangkan bahwa seseorang yang belum mencapai Ke-Buddha-an bisa berbuat kesalahan, sehingga bisa juga mengajarkan hal yang keliru, ataukah hanya berasumsi ajaran Mahayana pasti benar, keegoisan dikikis dengan menyebarkan ajaran PASTI BENAR ini?Quotebeda pemikiran theravada ama mahayanaIni pemikiran keliru tentang Theravada. Dalam Theravada, kita TIDAK BISA menolong orang lain, bahkan Buddha sendiri tidak bisa. (Bisa dilihat dari kedatangan Buddha Gotama TIDAK "menyulap" semua mahluk jadi suci.)
Theravada : mencapai buddha baru menolong orang (tapi base berdasarkan pemikiran ini, saya ragu, kalau setelah mencapai buddha mo menolong orang, karena sudah berpikiran masa bodoh dengan orang lain, yang penting saya selamat).
Mahayana : mencapai boddhisattva dan berusaha menolong semua orang (karena kalau menunggu mencapai buddha dulu, sudah terlalu lama dan terlambat)
Buddha hanya memberikan jalan, namun seseorang harus 'menolong dirinya sendiri'. Jadi mungkin di Mahayana ada semacam "Juru selamat" yang bisa menolong orang lain, namun di Theravada tidak. Terlebih lagi, orang yang masih menggapai-gapai dalam lumpur TIDAK BISA menyelamatkan orang yang di lumpur juga. Orang yang sudah selamat dari lumpur baru bisa membantu mereka yang masih di lumpur.
Jadi ajaran Theravada bukan agar egois & berpangku tangan, tetapi agar seseorang tahu diri kalau ga bisa berenang, jangan jadi lifeguard.
Mengenai hal ini, saya mau tanya, apakah ini berarti di Mahayana, orang yang terperangkap dalam lumpur, belum keluar dari lumpur, bisa menolong orang lain yang juga di lumpur?
Jadi ajaran Theravada bukan agar egois & berpangku tangan, tetapi agar seseorang tahu diri kalau ga bisa berenang, jangan jadi lifeguard.
Mengenai hal ini, saya mau tanya, apakah ini berarti di Mahayana, orang yang terperangkap dalam lumpur, belum keluar dari lumpur, bisa menolong orang lain yang juga di lumpur?<< setidaknya kita berusaha, sama2 keluar dari lumpur
bukan nya mo sok jadi lifeguardMemangnya kalo Bro naviscope masuk vihara Theravada, semua orang nongkrong sendiran di perpustakaan baca buku, tidak ada yang diskusi, nanya bhante, ikut dhamma class, denger ceramah?
tapi berusaha saling belajar, saling sharing, saling membantu, bahu membahu (beda kalau ditheravada, kan lebih cenderung belajar sendiri, nah kalau belajar sendiri-sendiri, umat awam yang tidak mengerti, langsung dikasi buku tripitaka, nech belajar sendiri ya, sang buddha sudah menunjukan jalan)
<< setidaknya kita berusaha, sama2 keluar dari lumpur
kalau kayak gitu, belum keluar dari lumpur, kita harus keluar dari lumpur dulu, tetapi orang lain sudah keburu tenggelam dan mati bro, gimana dong? orang itu sudah terlanjur masuk neraka, gimana lagi mo diselamatin?
Ini memang kepercayaan, masalah kecocokan, bukan benar & salah. Tapi kalau saya memang lebih cocok dengan "keluarlah dari lumpur secepatnya, maka dengan begitu bisa membantu yang masih di lumpur" bukan "saya tidak akan keluar dari lumpur kalau tidak beramai-ramai".
bukan nya mo sok jadi lifeguardMemangnya kalo Bro naviscope masuk vihara Theravada, semua orang nongkrong sendiran di perpustakaan baca buku, tidak ada yang diskusi, nanya bhante, ikut dhamma class, denger ceramah?
tapi berusaha saling belajar, saling sharing, saling membantu, bahu membahu (beda kalau ditheravada, kan lebih cenderung belajar sendiri, nah kalau belajar sendiri-sendiri, umat awam yang tidak mengerti, langsung dikasi buku tripitaka, nech belajar sendiri ya, sang buddha sudah menunjukan jalan)
Saya sih memang ke vihara mana pun, tapi setahu saya, rumah ibadah agama apa pun ga ada yang cuma disodorin buku lalu disuruh belajar sendiri deh.
Saya rasa OK saja tentu kalau sesama umat saling peduli, justru harus begitu. Tetapi saya kurang cocok dengan sikap "promosi agama sendiri" ke orang lain dengan dalih "mengikis keegoisan". Saya juga sering bertemu dengan "sales agama" dengan dalih "mengasihi dan ingin menyelamatkan jiwa saya". Bagi saya, itu bukan "tidak egois" atau "mengasihi", tetapi lebih ke arah "menghakimi" ("saya sudah tahu yang paling benar, sementara anda punya salah, maka saya mengenalkan punya saya supaya anda ga sesat").Quote<< setidaknya kita berusaha, sama2 keluar dari lumpur
kalau kayak gitu, belum keluar dari lumpur, kita harus keluar dari lumpur dulu, tetapi orang lain sudah keburu tenggelam dan mati bro, gimana dong? orang itu sudah terlanjur masuk neraka, gimana lagi mo diselamatin?
Ada kasus seseorang mau menolong temannya hampir tenggelam, tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Orang yang hampir tenggelam itu meronta-ronta sambil berusaha terus memeluk "penyelamat"nya dengan keras. Alhasil, keduanya mati tenggelam.
Terlepas dari niat baiknya, si penyelamat tidak tahu bahwa kalau mau menolong orang yang hampir tenggelam itu harus dari belakang, maka hasilnya begitu.
Ini memang kepercayaan, masalah kecocokan, bukan benar & salah. Tapi kalau saya memang lebih cocok dengan "keluarlah dari lumpur secepatnya, maka dengan begitu bisa membantu yang masih di lumpur" bukan "saya tidak akan keluar dari lumpur kalau tidak beramai-ramai".
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
Sebenernya ngak ada yang duluan Pis, dua duanya itu udah berdiri sendiri semenjak Buddha kita meninggal. Angak ada istilah permurnian ajaran aliran tapi yang ada adalah pemahaman, doktrin, tradisi dan juga kehadiran dua aliran ini emang sudah ada. jadi tidak ada yang saling mendahului dan tidak ada paling murni sebenarnya.
Lagi pula Sadarlah yang merasa sana sini pali, Buddha kita tuh sebenarnya tuh ngak pernah bisa berbahasa pali, dia mengunakan Bahasa Maghandi. makanya kenapa saya gembar gembor buku Wacana Buddha Dharma karangan Romo Khrisnanda Wijaya Mukti, karena dalam buku itu sudah disebutkan kedua aliran ini hadir darimana . Makanya Baca dulu. Sebelum komentar
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
Sebenernya ngak ada yang duluan Pis, dua duanya itu udah berdiri sendiri semenjak Buddha kita meninggal. Angak ada istilah permurnian ajaran aliran tapi yang ada adalah pemahaman, doktrin, tradisi dan juga kehadiran dua aliran ini emang sudah ada. jadi tidak ada yang saling mendahului dan tidak ada paling murni sebenarnya.
Lagi pula Sadarlah yang merasa sana sini pali, Buddha kita tuh sebenarnya tuh ngak pernah bisa berbahasa pali, dia mengunakan Bahasa Maghandi. makanya kenapa saya gembar gembor buku Wacana Buddha Dharma karangan Romo Khrisnanda Wijaya Mukti, karena dalam buku itu sudah disebutkan kedua aliran ini hadir darimana . Makanya Baca dulu. Sebelum komentar
Aliran-aliran BUDDHA sudah ada sejak BUDDHA masih hidup ? Interpretasi sendiri sendiri atau gimana ?
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
Sebenernya ngak ada yang duluan Pis, dua duanya itu udah berdiri sendiri semenjak Buddha kita meninggal. Angak ada istilah permurnian ajaran aliran tapi yang ada adalah pemahaman, doktrin, tradisi dan juga kehadiran dua aliran ini emang sudah ada. jadi tidak ada yang saling mendahului dan tidak ada paling murni sebenarnya.
Lagi pula Sadarlah yang merasa sana sini pali, Buddha kita tuh sebenarnya tuh ngak pernah bisa berbahasa pali, dia mengunakan Bahasa Maghandi. makanya kenapa saya gembar gembor buku Wacana Buddha Dharma karangan Romo Khrisnanda Wijaya Mukti, karena dalam buku itu sudah disebutkan kedua aliran ini hadir darimana . Makanya Baca dulu. Sebelum komentar
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
Sebenernya ngak ada yang duluan Pis, dua duanya itu udah berdiri sendiri semenjak Buddha kita meninggal. Angak ada istilah permurnian ajaran aliran tapi yang ada adalah pemahaman, doktrin, tradisi dan juga kehadiran dua aliran ini emang sudah ada. jadi tidak ada yang saling mendahului dan tidak ada paling murni sebenarnya.
Lagi pula Sadarlah yang merasa sana sini pali, Buddha kita tuh sebenarnya tuh ngak pernah bisa berbahasa pali, dia mengunakan Bahasa Maghandi. makanya kenapa saya gembar gembor buku Wacana Buddha Dharma karangan Romo Khrisnanda Wijaya Mukti, karena dalam buku itu sudah disebutkan kedua aliran ini hadir darimana . Makanya Baca dulu. Sebelum komentar
menurut mbah Wiki, http://en.wikipedia.org/wiki/Pali
Bahasa Pali adalah bahasa yang dipakai oleh penduduk Kerajaan Magadha, jadi bahasa Pali=Magadha.
Serperti saya tekankan sama seperti Bro tan. Konsep Tera dengan maha memang ada perbedaan. Bukan berarti Mahayana itu tidak murni ajarannya, bukan berarti tera murni ajarannya, karena semua kitab kitab suci yang ada itu tidak ada letak permurnianya. Semua itu berdiri sendiri Mahayana dengan Kanon Sansekerta pada konsuil ke 2. Sementara kanon pali Pada konsuil ke 3. Dimana kedua aliran ini sebenarnya tidak pernah ketemu. memiliki daerah masing, tradisi sendiri - sendiri. Bagaimana mungkin bisa kalo memaksakan Konsep Tera ke maha. Konsep maha ke tera kalo orangnya masih punya EGO sendiri. Seperti saya katakan anda hilangkan EGO anda dulu baru bisa pelajari sesuatu yang berbenda dengan anda.
Serperti saya tekankan sama seperti Bro tan. Konsep Tera dengan maha memang ada perbedaan. Bukan berarti Mahayana itu tidak murni ajarannya, bukan berarti tera murni ajarannya, karena semua kitab kitab suci yang ada itu tidak ada letak permurnianya. Semua itu berdiri sendiri Mahayana dengan Kanon Sansekerta pada konsuil ke 2. Sementara kanon pali Pada konsuil ke 3. Dimana kedua aliran ini sebenarnya tidak pernah ketemu. memiliki daerah masing, tradisi sendiri - sendiri. Bagaimana mungkin bisa kalo memaksakan Konsep Tera ke maha. Konsep maha ke tera kalo orangnya masih punya EGO sendiri. Seperti saya katakan anda hilangkan EGO anda dulu baru bisa pelajari sesuatu yang berbenda dengan anda.
Bukan masalah siapa yang murni kok di sini. Saya tidak perlu ajaran murni/asli/benar kalau isinya ga nyambung dengan pemahaman saya. Bahkan kalau menurut saya sih, sudah tidak ada yang murni (bukan tidak ada yang benar, tapi semua sudah terdistorsi waktu).
Sikap yang menurut saya pribadi cocok adalah: TIDAK MENYEMBUNYIKAN ajaran, namun TIDAK MEMAKSAKAN pengajaran kepada orang lain.
Mahayana menilai kalau punya ajaran dan tidak disebar-luaskan, adalah egois. Saya kurang sependapat.
Mahayana juga menilai bahwa semua jalan (benar) akan kembali pada Mahayana. Saya juga tidak sependapat. Itu saja.
Kalo anda tidak sependapat yah tidak usah maksain kehendak anda dengan orang lain supaya sependapat dengan anda. Itu namanya EGO. Kalo mengungkap pendapat silakan saja, tidak perlu teriak - teriak.
^
^
^
thanks bro
tapi apakah kamu yakin mahayana ada dulu-an?
kalau mahayana ada dulu-an, lebih asli mana donk,
ama yang muncul belakangan...
pertanyaan retoris... ;D
Sebenernya ngak ada yang duluan Pis, dua duanya itu udah berdiri sendiri semenjak Buddha kita meninggal. Angak ada istilah permurnian ajaran aliran tapi yang ada adalah pemahaman, doktrin, tradisi dan juga kehadiran dua aliran ini emang sudah ada. jadi tidak ada yang saling mendahului dan tidak ada paling murni sebenarnya.
Lagi pula Sadarlah yang merasa sana sini pali, Buddha kita tuh sebenarnya tuh ngak pernah bisa berbahasa pali, dia mengunakan Bahasa Maghandi. makanya kenapa saya gembar gembor buku Wacana Buddha Dharma karangan Romo Khrisnanda Wijaya Mukti, karena dalam buku itu sudah disebutkan kedua aliran ini hadir darimana . Makanya Baca dulu. Sebelum komentar
menurut mbah Wiki, http://en.wikipedia.org/wiki/Pali
Bahasa Pali adalah bahasa yang dipakai oleh penduduk Kerajaan Magadha, jadi bahasa Pali=Magadha.
Di postingan-postingan yang sebelumnya, Saudara Tan menyatakan bahwa "2.Orang yang telah bebas tentunya dapat pergi ke mana saja, bukan? Karena itu, bagi saya sangat masuk akal pandangan bahwa seorang Buddha masih dapat "pergi" atau "masuk" lagi ke dunia samsara. Hanya saja "masuk" atau "menjelma"nya Beliau ke dalam samsara itu bukan didasari oleh lobha, dosa, dan moha."...
Jadi saya yang ingin bertanya; "Apakah yang dimaksud dengan 'orang' di statement itu? Apakah orang dalam arti fisik atau bagaimana?"
Orang yang telah merealisasi Nirvana berada dapat berada di mana-mana namun tidak ada di mana-mana pada saat bersamaan? Apakah Nirvana masih mengenal konsep dualistis ada dan tiada; hadir dan absen; muncul dan tidak muncul? Statement sobat-dharma ini juga seudah jelas menyatakan secara implisit bahwa orang yang telah merealisasi Nirvana 'masih hadir', 'masih eksis', 'masih berkehendak', dan dengan kata lain seharusnya masih tunduk pada Hukum Alam Semesta.
Kalo anda tidak sependapat yah tidak usah maksain kehendak anda dengan orang lain supaya sependapat dengan anda. Itu namanya EGO. Kalo mengungkap pendapat silakan saja, tidak perlu teriak - teriak.
Teriak-teriak apa yah? Saya maksain kehendak yang mana?
Lagipula saya tidak merasa ada diskusi dengan anda sebelumnya. Kok malah ego anda yang terusik?
apa benar kalau mahayana tingkatnya lebih tinggi dari T ? kenapa?
tdk ada yg lebih tinggi dan tdk ada yg lebih rendah , sama saja.
aliran sungai yg berbeda toh menuju samudra yg sama .
santai juga bro kainyn, santai....
;D
[at] bro purnama
santai bro, santai...
bisa tlg di tulis lebih lengkap judul buku-nya
jd penasaran pengen baca... :P
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.
Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Tekad dan semangatnya sangat baik dan positif. Namun satu hal yang kurang pas di akal sehat saya adalah nilai logisnya.Akal sehat dan logika tidak akan membantu seseorang merealisasikan nirvana, justru dengan tekad dan semangat yang positif Sang Buddha akhirnya merealisasi nirvana
Karena :Jika anda melihat semua makhluk secara kuantitas belaka.... Eihh... kalau nggak salah ada nada takut sendirian di sini? Ketakutan jika tidak ada yang menolong nanti kalau sendirian bro? ;D Bukankah kalau sendirian bisa dengan usaha sendiri, setidaknya menurut keyakinan bro demikian kan? :))
- Kita tidak mungkin mampu menolong semua makhluk.
- Seandainya semua makhluk sudah terbebas, akhirnya tinggal kita yang belum terbebas. Saat itu bila kita membutuhkan pertolongan, maka tidak ada satu makhluk pun yang ada untuk mau / mampu menolong kita.
- Jumlah makhluk hidup di samsara ini tidak terhitung. Kalau semua orang kerjanya hanya menunda, ujung-ujungnya hanya ada hukum timbal-balik antara penunda dengan orang yang ditunggu. Alias berjalan di tempat.
- Menurut saya (ini menurut saya yha...), samsara ini selalu ada... Jadi tidak mungkin samsara ini kehabisan penghuninya / makhluk hidup.Ucapan singa! Saya pikir ini tidak berdasarkan logika, tapi lebih berdasarkan keyakinan bukan?
- dan kalau semua poin itu benar, maka tekad 'menolong makhluk lain' ini hanya menjadi aksi kebaikan yang merugikan diri sendiri - ibarat memberi makan pada semua pengemis di dunia, tapi diri sendiri akhirnya mati kelaparan.Barang siapa yang takut merugikan diri sendiri, silahkan saja mempertahankan pikiran demikian. Saya pingin tahu apa yang masih mempertahankan pikiran ‘takut merugikan diri sendiri’ bisa menghilangkan klesa... Selama seseorang masih mempertahankan pikiran untung dan rugi saya nggak tahu apa yang bisa dicapainya... mungkin sukses dalam berdagang kali..:)
- dll..
bukan hanya pada "hilang"-nya tubuh (rupa) yang merupakan salah satu khandha dari panca khanda... tetapi semua khanda sudah tidak bersatu padu lagi. Terhenti proses bersatu-nya khanda-khanda itu...
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....Tekad dan semangatnya sangat baik dan positif. Namun satu hal yang kurang pas di akal sehat saya adalah nilai logisnya.Akal sehat dan logika tidak akan membantu seseorang merealisasikan nirvana, justru dengan tekad dan semangat yang positif Sang Buddha akhirnya merealisasi nirvanaKarena :Jika anda melihat semua makhluk secara kuantitas belaka.... Eihh... kalau nggak salah ada nada takut sendirian di sini? Ketakutan jika tidak ada yang menolong nanti kalau sendirian bro? ;D Bukankah kalau sendirian bisa dengan usaha sendiri, setidaknya menurut keyakinan bro demikian kan? :))
- Kita tidak mungkin mampu menolong semua makhluk.
- Seandainya semua makhluk sudah terbebas, akhirnya tinggal kita yang belum terbebas. Saat itu bila kita membutuhkan pertolongan, maka tidak ada satu makhluk pun yang ada untuk mau / mampu menolong kita.- Jumlah makhluk hidup di samsara ini tidak terhitung. Kalau semua orang kerjanya hanya menunda, ujung-ujungnya hanya ada hukum timbal-balik antara penunda dengan orang yang ditunggu. Alias berjalan di tempat.
Kalau pada dasarnya nibbana sudah ada di sini, saat ini, maka sebenarnya nggak ada yang menunda-nunda ataupun yang ditunggu...- Menurut saya (ini menurut saya yha...), samsara ini selalu ada... Jadi tidak mungkin samsara ini kehabisan penghuninya / makhluk hidup.Ucapan singa! Saya pikir ini tidak berdasarkan logika, tapi lebih berdasarkan keyakinan bukan?- dan kalau semua poin itu benar, maka tekad 'menolong makhluk lain' ini hanya menjadi aksi kebaikan yang merugikan diri sendiri - ibarat memberi makan pada semua pengemis di dunia, tapi diri sendiri akhirnya mati kelaparan.Barang siapa yang takut merugikan diri sendiri, silahkan saja mempertahankan pikiran demikian. Saya pingin tahu apa yang masih mempertahankan pikiran ‘takut merugikan diri sendiri’ bisa menghilangkan klesa... Selama seseorang masih mempertahankan pikiran untung dan rugi saya nggak tahu apa yang bisa dicapainya... mungkin sukses dalam berdagang kali..:)
- dll..
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....
"membuka diri" adalah istilah dalam bahasa indonesia untuk lebih terbuka dengan perbedaan. Seperti halnya "makan hati", bukan berarti kita memakan hati yang sebenarnya bukan :))
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Wah ini mau bikin kuesioner ya...? :) Kalau si penanya memaksakan suatu pilihan yang terbatas pada penjawabnya, maka ia hanya menginginkan "kepastian", bukan diskusi. maaf bro, kalau diberi pilihan kaku demikian, saya enggan menjawab. Trims.
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Wah ini mau bikin kuesioner ya...? :) Kalau si penanya memaksakan suatu pilihan yang terbatas pada penjawabnya, maka ia hanya menginginkan "kepastian", bukan diskusi. maaf bro, kalau diberi pilihan kaku demikian, saya enggan menjawab. Trims.
Dalam hal ini, tentu kita dibatasi bahasa dalam menyampaikan apa yang dimaksudkan. Seringkali kita menggunakan analogi untuk menyebutkan misalnya 'orang yang merealisasi nibbana', namun jelas-jelas ini cuma analogi belaka. Begitu juga nama "Buddha", jelas hanyalah metafora untuk menyampaikan sesuatu yang lebih tinggi. Kata "Buddha" berarti "Yang Mengetahui" atau "Yang Sadar", jika kata ini digunakan kita pun seharusnya bertanya siapa yang sadar? siapa yang mengetahui? Kalau pada dasarnya "tidak ada diri" saat seseorang merealisasi nibbana.
Karena itu walaupun digunakan bahasa yang seolah-olah menyebutkan tentang 'diri', memang tidak ada 'diri' yang merealisasi. Artinya tidak ada diri-ego yang sebagaimana kita alami sebagai manusia awam. Begitu juga juga soal 'keluar' dan 'masuk', karena sejak semula tidak ada yang keluar ataupun masuk, karena nibbana/nirvana itu identik dengan samsara, sekaligus bukan identik :) Lebih jauh lagi sobat, nirvana itu berada di luar hukum alam semesta, karena bagaimana pun hukum alam semesta (sebatas pengetahuan manusia) adalah bagian dari dunia samsara yang dikenali oleh ego-diri (pikiran). Namun bagi seorang yang merealisasi nibbana, tidaklah berbeda antara alam semesta dan nibbana/nirvana itu sendiri.
Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....Tekad dan semangatnya sangat baik dan positif. Namun satu hal yang kurang pas di akal sehat saya adalah nilai logisnya.Akal sehat dan logika tidak akan membantu seseorang merealisasikan nirvana, justru dengan tekad dan semangat yang positif Sang Buddha akhirnya merealisasi nirvanaKarena :Jika anda melihat semua makhluk secara kuantitas belaka.... Eihh... kalau nggak salah ada nada takut sendirian di sini? Ketakutan jika tidak ada yang menolong nanti kalau sendirian bro? ;D Bukankah kalau sendirian bisa dengan usaha sendiri, setidaknya menurut keyakinan bro demikian kan? :))
- Kita tidak mungkin mampu menolong semua makhluk.
- Seandainya semua makhluk sudah terbebas, akhirnya tinggal kita yang belum terbebas. Saat itu bila kita membutuhkan pertolongan, maka tidak ada satu makhluk pun yang ada untuk mau / mampu menolong kita.- Jumlah makhluk hidup di samsara ini tidak terhitung. Kalau semua orang kerjanya hanya menunda, ujung-ujungnya hanya ada hukum timbal-balik antara penunda dengan orang yang ditunggu. Alias berjalan di tempat.
Kalau pada dasarnya nibbana sudah ada di sini, saat ini, maka sebenarnya nggak ada yang menunda-nunda ataupun yang ditunggu...- Menurut saya (ini menurut saya yha...), samsara ini selalu ada... Jadi tidak mungkin samsara ini kehabisan penghuninya / makhluk hidup.Ucapan singa! Saya pikir ini tidak berdasarkan logika, tapi lebih berdasarkan keyakinan bukan?- dan kalau semua poin itu benar, maka tekad 'menolong makhluk lain' ini hanya menjadi aksi kebaikan yang merugikan diri sendiri - ibarat memberi makan pada semua pengemis di dunia, tapi diri sendiri akhirnya mati kelaparan.Barang siapa yang takut merugikan diri sendiri, silahkan saja mempertahankan pikiran demikian. Saya pingin tahu apa yang masih mempertahankan pikiran ‘takut merugikan diri sendiri’ bisa menghilangkan klesa... Selama seseorang masih mempertahankan pikiran untung dan rugi saya nggak tahu apa yang bisa dicapainya... mungkin sukses dalam berdagang kali..:)
- dll..
Sebaiknya diskusi yang sehat bukan mencari-cari syntax error, saya bisa dan saya yakin anda juga memahami bahwa "diri sendiri" yang dimaksud oleh Bro upasaka, adalah kita semua sebagai gabungan pancakkhandha. kita sebagai buddhist memang sudah sepakat bahwa tidak ada diri (anatta), tapi dalam percakapan sehari2, bahkan Sang Buddha (dalam Sutta) juga sering menggunakan kata diri sebagai suatu konvensi bahasa.
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Yah tentu saja menurut M kita sudah Nirvana mas Indra, bukankah Nirvana dan Samsara sama?
Quote from: sobat-dharmaDalam hal ini, tentu kita dibatasi bahasa dalam menyampaikan apa yang dimaksudkan. Seringkali kita menggunakan analogi untuk menyebutkan misalnya 'orang yang merealisasi nibbana', namun jelas-jelas ini cuma analogi belaka. Begitu juga nama "Buddha", jelas hanyalah metafora untuk menyampaikan sesuatu yang lebih tinggi. Kata "Buddha" berarti "Yang Mengetahui" atau "Yang Sadar", jika kata ini digunakan kita pun seharusnya bertanya siapa yang sadar? siapa yang mengetahui? Kalau pada dasarnya "tidak ada diri" saat seseorang merealisasi nibbana.
Karena itu walaupun digunakan bahasa yang seolah-olah menyebutkan tentang 'diri', memang tidak ada 'diri' yang merealisasi. Artinya tidak ada diri-ego yang sebagaimana kita alami sebagai manusia awam. Begitu juga juga soal 'keluar' dan 'masuk', karena sejak semula tidak ada yang keluar ataupun masuk, karena nibbana/nirvana itu identik dengan samsara, sekaligus bukan identik :) Lebih jauh lagi sobat, nirvana itu berada di luar hukum alam semesta, karena bagaimana pun hukum alam semesta (sebatas pengetahuan manusia) adalah bagian dari dunia samsara yang dikenali oleh ego-diri (pikiran). Namun bagi seorang yang merealisasi nibbana, tidaklah berbeda antara alam semesta dan nibbana/nirvana itu sendiri.
Sobat...
Jika memang tidak ada diri, lalu siapa atau apa yang bisa memancarkan maitri-karuna itu?
Apakah orang yang telah merealisasi Nirvana itu akan kekal?
salah besar cayank :Pnumpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Yah tentu saja menurut M kita sudah Nirvana mas Indra, bukankah Nirvana dan Samsara sama?
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Yah tentu saja menurut M kita sudah Nirvana mas Indra, bukankah Nirvana dan Samsara sama?
Mr. TL,
saya sudah Nirvana padahal saya masih bernafsu besar, walaupun tenaga kurang. :)) tapi biarlah, karena gue udah nirvana, kan gak perlu lagi segala macam sila, meditasi, dll, apa yg harus dilakukan sudah dilakukan, kehidupan suci telah selesai. finish
salah besar cayank :Pnumpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Yah tentu saja menurut M kita sudah Nirvana mas Indra, bukankah Nirvana dan Samsara sama?
kata sapa menurut M, menurut kata loe kale, bukan menurut kata M, tlg jangan suka mengarahkan opini public kearah yang tidak benar ya...
Pikiran yang menentukan Anda "terlahir" di mana saat ini. Anda dilanda keserakahan, artinya Anda sedang terlahir di alam preta. Anda sedang berbahagia, artinya Anda ada di alam dewa. Samsara adalah kondisi pikiran. Jika pikiran tidak mengkondisikan samsara, maka samsara itu tidak ada lagi. Karena itu, samsara adalah nirvana dan nirvana adalah samsara.
Pertanyaan Anda ini juga inkonsten: "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" Anda mengatakan bahwa nirvana adalah absolut, maka tentunya tak ada lagi dualisme. Tak ada lagi yang mengkondisikan nirvana. Tetapi Anda mempertentangkan nirvana dengan menyatakan mana yang mengkondisikan mana. Jika Anda berpegang bahwa nirvana adalah sesuatu yang absolut, maka tidak ada yang saling mengkondisikan lagi. Justru pandangan bahwa nirvana identik dengan samsara memperlihatkan bahwa keduanya tidak saling mengkondisikan. Di sini saya melihat filosofi Mahayana sangat konsisten. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan "Jika Nirvana bukanlah tempat, lantas mengapa Nirvana identik dengan samsara? Apakah Nirvana itu yang mengkondisikan samsara, atau samsara yang mengkondisikan Nirvana?" karena berpandangan bahwa nirvana identik dengan samsara. Tidak ada yang saling mengkondisikan. Justru orang yang berpandangan nirvana beda dengan samsara itulah yang harus menjawab pertanyaan tersebut.
Upasaka:
4) Anda tidak perlu memainkan kontekstual makna dalam kalimat saya. Saya mengajukan pertanyaan yang saya ambil dari pemahaman Mahayana saya yang masih dangkal. Maksudnya, saya ingin menerka masa depan samsara ditinjau dari pandangan Mahayana. Jikalau semua makhluk sudah terbebas dari penderitaan, lantas apa yang akan dilakukan oleh 'sang juru selamat' setelah itu...?
Sobat Dharma:
Jawab: Pertanyaannya iseng banget... Tapi okey koq. Jika semua makhluk terbebas dari penderitaan ya bersaam dengan itu ia terbebas juga ... Kan katanya ‘semua makhluk’, berarti ia sendiri termasuk dong
oke,
TL, saya mo tanya,
penasaran saja, kalau kamu sudah mencapai nirvana, kamu bakal ingat pada yang lain tidak?
loe bakal membantu yg lain tidak, yang belum mencapai nirvana
kalau saya liat sech, sangat kecil kemungkinan, mo perduli sama yang lain
saya sudah capai nirvana, yang lain bukan urusan saya lagi?
betul demikian kah?
yah memang ada perbedaan pandangan
kalo nggak beda gak ada namanya aliran...
^
^
^
hmmm....
[quote dari kamu]
mas Sobat Dharma, mungkin yang dimaksudkan mas Upasaka, ialah: jika seorang Bodhisattva memasuki Nirvana berarti ia sudah melanggar sumpahnya sendiri, karena Ia sudah bersumpah tak akan memasuki Nirvana sebelum semua mahluk masuk Nirvana.
Bodhisattva yang lain juga begitu, mereka memiliki sumpah yang sama yaitu tak akan memasuki Nirvana sebelum semua mahluk memasuki Nirvana.
Karena hanya dengan menjadi Bodhisattva bisa memasuki Nirvana yang sesungguhnya (menjadi Buddha) maka siapakah yang memasuki Nirvana?
Bukankah semuanya akan saling menunggu yang lain memasuki Nirvana? Dengan demikian tak ada yang memasuki Nirvana karena saling menunggu?
metta,
kamu mempertanyakan boddhisattva
saya mempertanyakan kembali ke kamu, kamu setelah jadi buddha, apakah masi ingat orang lain yang belum mencapai nirvana? kamu sudah memasuki nirvana, apakah kamu masi ingat?
ato kamu tidak ingat lagi, karena sudah nirvana
apakah kamu akan bertindak seperti dibawah ini?
saya sudah selamat, tinggal melihat dari seberang pantai saja
yang belum menyeberang pantai, kacian dech loe....
kamu mempertanyakan boddhisattvabagaimana kl saya modif sedikit menjadi...
saya mempertanyakan kembali ke kamu, kamu setelah jadi buddha, apakah masi ingat orang lain yang belum mencapai nirvana? kamu sudah memasuki nirvana, apakah kamu masi ingat?
ato kamu tidak ingat lagi, karena sudah nirvana
apakah kamu akan bertindak seperti dibawah ini?saya sudah selamat, tinggal melihat dari seberang pantai saja
saya sudah selamat, tinggal melihat dari seberang pantai saja
yang belum menyeberang pantai, kacian dech loe....
bukankah dengan mencapai nirvana berarti sudah menyelamatkan 1 umat manusia dari kegelapan batin, yaitu diri sendiri. :-? Apakah itu termaksud egois ?? :-?tergantung, siapa yg mengatakan siapa yg egois? ;D
Bukankah suatu kesalahpahaman jika menyatakan Boddhisattva melanggar sumpah sendiri jika mengatakan bahwa semua Boddhisattva menyatakan tidak akan mengalami Nirvana jika semua makhluk belum memasuki Nirvana?AFAIK, Boddhisattva bersumpah karena weles asih/kasih sayang/.. dll mereka kepada semua mahluk, sehingga mereka bersumpah untuk tidak masuk ke Nirvana demi menolong semua mahluk.
Setahu saya ini cuma sumpah beberapa Boddhisattva deh...
numpang belok dikit, setelah ini silahkan lanjut lagi.
merujuk pada persamaan Nirvana=Samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai Nirvana? yes/no
_/\_
Wah ini mau bikin kuesioner ya...? :) Kalau si penanya memaksakan suatu pilihan yang terbatas pada penjawabnya, maka ia hanya menginginkan "kepastian", bukan diskusi. maaf bro, kalau diberi pilihan kaku demikian, saya enggan menjawab. Trims.
itu karena saya menggunakan pendekatan matematis, tapi tentu anda tetap diperbolehkan memberikan penjelasan sepanjang yg anda mau. anyway, demi kenyamanan anda, saya akan meralat:
jika, nirvana=samsara, apakah ini berarti bahwa kita semua sudah mencapai nirvana? boleh dijawab dengan jawaban apapun yg anda anggap benar.
semoga Bro sobat-dharma tidak enggan menjawab.
Mari kita menggunakan kata-kata dalam Visuddhimagga untuk membantu anda memahaminya:
Penderitaan belakalah yang ada, tiada penderita yang ditemukan;
Perbuatan ada, tetapi pelaku perbuatan tidak ada;
Nibbana ada, tetapi orang yang memasuki tidak ada;
Jalan ada, tetapi pejalannnya tidak ada.
Di sini bisa kulanjutkan:
pancaran maitri-karuna ada, tetapi yang memancarkan tidak ada.
1)Anda tidak perlu memainkan tendensi kata-kata. Saya rasa Anda sudah paham siapa itu diri sendiri yang saya maksud.
Jawab: saya tidak sedang bermain-main bro, dan memangnya siapa diri sendiri yang bro maksudkan? Memangnya ada “diri” yang lain lagi?
2) Saya sudah bisa menerimanya dari dulu. Tapi hanya sebatas kalimat motivasi, bukan filsafat realitas.
Jawab: cerita dong biar lengkap ...
3) Akal sehat dan logika memang bukan hal utama yang dibutuhkan untuk merealisasikan Nirvana. Namun bila kita berangkat tanpa akal sehat dan logika, kita mudah sekali dibutakan oleh dunia. Ini ibarat Anda menyatakan : "tidak perlu akal sehat dan logika, yang kau butuhkan hanyalah tekad dan semangat untuk dapat menghentikan revolusi Bumi."
Jawab: Iya, itu yang dilakukan Sang Buddha ketika melempar mangkoknya ke aliran sungai... Dan ternyata melawan arus sungai bro! Kalau meragukan “akal sehat” dan “logika” dalam cerita ini, setidaknya hikmatnya bisa diambilkan...
4) Anda tidak perlu memainkan kontekstual makna dalam kalimat saya. Saya mengajukan pertanyaan yang saya ambil dari pemahaman Mahayana saya yang masih dangkal. Maksudnya, saya ingin menerka masa depan samsara ditinjau dari pandangan Mahayana. Jikalau semua makhluk sudah terbebas dari penderitaan, lantas apa yang akan dilakukan oleh 'sang juru selamat' setelah itu...?
Jawab: Pertanyaannya iseng banget... :)) Tapi okey koq. Jika semua makhluk terbebas dari penderitaan ya bersaam dengan itu ia terbebas juga ... Kan katanya ‘semua makhluk’, berarti ia sendiri termasuk dong :))
5) Nirvana bisa direalisasikan di hidup ini, bukannya sudah ada di sini. Kata "di sini" yang Anda pakai saja secara implisit menunjukkan pemahaman Anda bahwa Nirvana adalah sebuah tempat. Dan satu lagi... Kalau tidak ada yang perlu ditunda atau ditunggu, kenapa bodhisatva dengan lantang menyerukan "...saya tunda pencapaian kebuddhaan saya, karena...", ...?
Jawab: “Di sini” adalah keberadaan yang melampaui eksistensi ...
6) Kan sudah saya bilang, ini menurut saya. Alasan saya menyatakan demikian karena samsara itu tiada berawal. Jadi akan menjadi terlalu berspekulasi kalau saya menyatakan bahwa samsara juga akan lenyap. Kalau menurut Anda sendiri, bagaimana?
Jawab: Saya tidak tahu? Bagaimanapun saya kan bukan Arahat, Bodhisattva, apalagi Buddha yang Sempurna, bagaimana saya bisa tahu...
7) Tidak mementingkan keuntungan diri sendiri, memberi keuntungan pada orang lain; adalah tindakan terpuji. Tapi bukan berarti lebih baik menjadi orang baik hati yang bodoh. Di sinilah letak kebijaksanaan berperan, apakah seseorang ingin melakukan kebaikan dengan cara yang arif atau monoton...
Jawab: berapakah banyak dari mereka yang memikirkan keuntungan dan kerugian di kepalanya bisa disebut bijak?
Baik. Di sini sebatas yang saya pahami, Anda mengangkat dikotomi antara “nirvana bersisa” dan “tanpa sisa.” Buddha semasa masih hidup di dunia masih beraktifitas. Buddha masih dapat berdialog dengan Mara waktu ia meminta Buddha segera parinirvana. Terlebih lagi, dalam Sutta Mahaparinibanna disebutkan bahwa seorang Buddha masih dapat hidup berkalpa2 kalau Ananda yang memohonnya. Jika tidak ada aktifitas bagaimana mungkin Buddha dapat mempertahankan “tubuh fisiknya” jika ada permohonan? Bukankah saat itu Buddha sudah nirvana? Di sini saya melihat Anda menganggap bahwa “nirvana bersisa” itu lebih rendah dari “nirvana tanpa sisa.” Sehingga pada akhirnya nirvanapun masih menjadi subyek yang berkondisi. Penjelasan ini menurut hemat saya tak masuk akal. Pernyataan Anda: “Oleh karena itu, sesuatu yang tidak dilahirkan; tidak menjelma; tidak muncul; tidak tercipta, tidak mungkin masih memancarkan atau tidak memancarkan belas kasih lagi.” Pertanyaan saya: “Mengapa tidak mungkin?” Buddha saat menerima makanan dari Cunda sudah memasuki nirvana belum? Mengapa Buddha masih berbelas kasih pada Cunda? Mungkin Anda menjawab: “Itu nirvana dengan sisa.” Dengan demikian, permasalahan tetap tidak terpecahkan juga, karena seperti yang baru saja saya ungkapkan, seolah2 nirvana dengan sisa itu lebih rendah dari nirvana tanpa sisa. Jika nirvana masih dapat dipilah-pilah, apakah itu mencerminkan sesuatu yang absolut?
Justru karena konsisten dengan pandangan bahwa tiada pembedaan dalam nirvana, maka Mahayana berpandangan bahwa seorang Buddha sampai kapanpun tetap dapat memancarkan maitri karunanya. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih Mahayana.
sah sah saja bahkan seorang bodhisatta itu mengucapkan sumpah... Karena sepanjang "seorang" individu yang disebut/telah menyandang karir bodhisatta masih terus menerus mempunyai keinginan (bahkan keinginan luhur/chanda), maka individu tersebut TIDAK AKAN MEREALISASIKAN KE-BUDDHA-AN... (ini sejalan dengan apa yang diungkapkan di dalam SUTRA INTAN/VAJRACHEDDIKA SUTRa).
Kutipan Sutra Intan :
Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"
Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.
Baik. Di sini sebatas yang saya pahami, Anda mengangkat dikotomi antara “nirvana bersisa” dan “tanpa sisa.” Buddha semasa masih hidup di dunia masih beraktifitas. Buddha masih dapat berdialog dengan Mara waktu ia meminta Buddha segera parinirvana. Terlebih lagi, dalam Sutta Mahaparinibanna disebutkan bahwa seorang Buddha masih dapat hidup berkalpa2 kalau Ananda yang memohonnya. Jika tidak ada aktifitas bagaimana mungkin Buddha dapat mempertahankan “tubuh fisiknya” jika ada permohonan? Bukankah saat itu Buddha sudah nirvana? Di sini saya melihat Anda menganggap bahwa “nirvana bersisa” itu lebih rendah dari “nirvana tanpa sisa.” Sehingga pada akhirnya nirvanapun masih menjadi subyek yang berkondisi. Penjelasan ini menurut hemat saya tak masuk akal. Pernyataan Anda: “Oleh karena itu, sesuatu yang tidak dilahirkan; tidak menjelma; tidak muncul; tidak tercipta, tidak mungkin masih memancarkan atau tidak memancarkan belas kasih lagi.” Pertanyaan saya: “Mengapa tidak mungkin?” Buddha saat menerima makanan dari Cunda sudah memasuki nirvana belum? Mengapa Buddha masih berbelas kasih pada Cunda? Mungkin Anda menjawab: “Itu nirvana dengan sisa.” Dengan demikian, permasalahan tetap tidak terpecahkan juga, karena seperti yang baru saja saya ungkapkan, seolah2 nirvana dengan sisa itu lebih rendah dari nirvana tanpa sisa. Jika nirvana masih dapat dipilah-pilah, apakah itu mencerminkan sesuatu yang absolut?
Justru karena konsisten dengan pandangan bahwa tiada pembedaan dalam nirvana, maka Mahayana berpandangan bahwa seorang Buddha sampai kapanpun tetap dapat memancarkan maitri karunanya. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih Mahayana.
Ya. Itulah sebabnya dikatakan nirvana itu tak terkatakan dan tak terbayangkan.
Ada dan tiada hanya ada dalam benak orang yang berdiskusi masalah nirvana, tetapi belum merealisasi nirvana itu sendiri, seperti kita-kita. Bicara masalah dualistis, toh masih ada “nirvana dengan sisa” dan “tanpa sisa.” Pertanyaan saya apakah kedua istilah itu mengacu pada nirvana yang sama atau beda? Apakah pancaskandha dapat mencemari nirvana?
Ya. Dari sudut pandang orang yang tercerahi adalah identik. Bagi yang belum akan memandangnya tak identik.
Bukan ingin lagi. Tetapi itu adalah sifat alaminya. Dingin adalah sifat alami es. Es tidak ingin dirinya dingin. Seekor beruang kutub punya bulu lebat. Apakah keinginan si beruang kutub untuk punya bulu lebat? Apakah api ingin dirinya panas? Untuk memancarkan maitri karuna, Buddha tak perlu keinginan lagi, Bang.
Pertanyaan itu ada, karena Anda masih memandang nirvana bersisa dan tanpa sisa dari sudut pandang dualistis. Telah saya katakan bahwa maitri karuna adalah sifat alami seorang Buddha. Tidak ada keinginan lagi di sini. Tanggapan saya di bagian sebelumnya, menjadikan pertanyaan Anda di sini tidak lagi valid.
TANGGAPAN TERPADU
Menarik juga diskusi ini, karena sehari saja saya tidak mengecek dhammacitta sudah ada puluhan posting yang masuk. Sungguh luar biasa. Karena keterbatasan ruang dan waktu, saya tidak dapat membaca semuanya. Oleh karena itu, saya hanya akan menanggapi yang saya anggap penting saja.
Sebelumnya, saya melihat bahwa diskusi ini pada akhirnya tetap pada akhirnya akan menjurus pada perdebatan juga. Pihak non Mahayanis akhirnya tetap menanggapi Mahayana dari sudut pandang alirannya. Jadi perdebatan pada akhirnya tetap terelakkan. Memang perdebatan bukan sesuatu yang buruk, jika masing-masing pihak menyadari bahwa masalah agama berbeda dengan ranah ilmu pasti, dimana suatu jawaban empiris mungkin ditemukan. Namun dalam diskusi masalah agama, kebanyakan hal tidak dapat dibuktikan secara empiris. Akhirnya keputusan bergantung pada pilihan masing-masing. Demikian pula pandangan saya tentang Mahayana, walaupun hanya dapat dibuktikan secara ontologis, namun bagi saya filsafat Mahayana sangat masuk akal.
Baik kita akan lanjutkan diskusinya. Sebelumnya, karena banyaknya posting yang masuk saya tidak akan menanggapi satu persatu, melainkan merangkum semuanya menjadi satu posting. Tidak semua pernyataan akan saya tanggapi. Hanya yang sempat saya baca dan anggap penting saja yang akan ditanggapi. Oleh karena itu, harap maklum adanya.
Pernyataan:
Saya ingin bertanya kepada mas Tan, Dharmakaya seorang Buddha dengan Buddha yang lain sama atau berbeda? dimanakah Dharmakaya seorang Buddha ketika ia terlahir kembali sebagai pangeran Siddharta?
TAN:
Dharmakaya adalah tubuh absolut seorang Buddha. Mempertanyakan di mana dharmakaya adalah suatu pertanyaan yang tidak tepat. Ibaratnya menanyakan di manakah Buddha Sakyamuni setelah Beliau parinirvana. Menurut Nagasena pertanyaan ini tidak tepat dan dapat disamakan dengan menanyakan ke manakah perginya api setelah padam (lihat Na shien pi chiu ching – Nagasena bhikshu Sutra – padanan Milindapanha dalam Mahayana). Dharmakaya sendiri tidak mati ataupun menjelma, sehingga ini konsisten dengan konsep bahwa seorang Buddha tidak lagi menjelma. Yang memanifestasikan sebagai Buddha manusia adalah Nirmanakaya (tubuh jelmaan). Ingat dharmakaya sendiri tidaklah ke mana-mana. Dengan demikian, ia merupakan sesuatu yang absolut. Sampai di sini tidak ada pertentangan dengan doktrin aliran non Mahayana bukan? Karena merupakan tubuh yang absolute pertanyaan Anda di atas tidak berlaku.
Pernyataan:
Saya ingin bertanya kepada mas Tan, bagaimanakah konsep anitya (anicca) menurut Mahayana? Apakah kesadaran nitya atau anitya? Adakah suatu kekecualian terhadap hukum anitya?
TAN:
Pertanyaan Anda saya balik pula dengan pertanyaan, apakah hukum karma itu nitya atau anitya? Kalau hukum karma adalah anitya, maka suatu saat, entah di masa lampau atau di masa mendatang, ada kalanya hukum karma tak berlaku. Kemungkinan ada masa di mana orang jahat tidak menuai kejahatannya dan orang baik tidak menuai buah kebaikannya. Apakah kondisi nirvana itu sendiri nitya atau anitya. Kalau anitya, kemungkinan seseorang dapat jatuh lagi setelah merealisasi nirvana. Poin yang hendak saya ungkapkan, ada kalanya pertanyaan-pertanyaan itu tidak tepat. Umpamanya dengan menanyakan “adakah segitiga yang mempunyai empat sisi?”
Pernyataan:
Sebenarnya yang manakah yang merupakan penjara menurut mas Tan? Nirvana atau batin dan jasmani (panca skandha)? Apakah mas Tan tahu apa yang menyebabkan mahluk terlahir kembali? apakah di Mahayana diajarkan pratitya sramutpada atau tidak?
TAN:
Jika Anda mengatakan nirvana adalah suatu batasan, maka itu adalah penjara. Perlu dibedakan antara penyebab para makhluk yang belum tercerahi terlahir kembali dan tubuh jelmaan yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai perwujudan. Tentu saja di Mahayana diajarkan pratiyasamutpada. Tetapi ingat bahwa ini berlaku bila suatu makhluk masih memiliki avidya. Dalam kasus nirmanakaya penyebabnya beda. Avidya tidak lagi hadir di sini.
Pernyataan:
Baik! Pembebasan Mutlak (Nirvana) adalah kondisi yang tanpa syarat. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak dilahirkan; tidak menjelma; tidak muncul; tidak tercipta, tidak mungkin masih memancarkan atau tidak memancarkan belas kasih lagi. Karena Nirvana bukanlah sebab atau akibat, maka tidak akan ada yang namanya aktivitas. Aktivitas memancarkan belas kasih ataupun aktivitas tidak memancarkan belas kasih tidak pernah ada dalam Nirvana. Pun Nirvana adalah bukan ada maupun tiada. Oleh karenanya tidak akan memancarkan belas kasih berbeda dengan tidak bisa memancarkan belas kasih. Komentar saya sebelumnya ternyata malah Anda tanggapi sebagai dualisme lainnya...
Menurut Anda Pembebasan Tak Bersyarat adalah kesanggupan memancarkan maitri-karuna tanpa terbias lobha-dosa-moha? Lalu menurut Anda maitri-karuna itu dipancarkan dari dan oleh siapa / apa? ngat, kata 'memancarkan' itu adalah kata kerja. Memangnya konsep Nirvana bagi Anda itu masih mengenal aktivitas / bekerja?
Pandangan saya bahwa orang yang telah merealisasi Nirvana untuk masih memancarkan maitri-karuna adalah masuk akal. Namun itu saat pancakkhandha masih ada (masih menjalani penghidupan), bukan setelah Parinirvana - alias Nirvana Tanpa Sisa.
TAN:
Baik. Di sini sebatas yang saya pahami, Anda mengangkat dikotomi antara “nirvana bersisa” dan “tanpa sisa.” Buddha semasa masih hidup di dunia masih beraktifitas. Buddha masih dapat berdialog dengan Mara waktu ia meminta Buddha segera parinirvana. Terlebih lagi, dalam Sutta Mahaparinibanna disebutkan bahwa seorang Buddha masih dapat hidup berkalpa2 kalau Ananda yang memohonnya. Jika tidak ada aktifitas bagaimana mungkin Buddha dapat mempertahankan “tubuh fisiknya” jika ada permohonan? Bukankah saat itu Buddha sudah nirvana? Di sini saya melihat Anda menganggap bahwa “nirvana bersisa” itu lebih rendah dari “nirvana tanpa sisa.” Sehingga pada akhirnya nirvanapun masih menjadi subyek yang berkondisi. Penjelasan ini menurut hemat saya tak masuk akal. Pernyataan Anda: “Oleh karena itu, sesuatu yang tidak dilahirkan; tidak menjelma; tidak muncul; tidak tercipta, tidak mungkin masih memancarkan atau tidak memancarkan belas kasih lagi.” Pertanyaan saya: “Mengapa tidak mungkin?” Buddha saat menerima makanan dari Cunda sudah memasuki nirvana belum? Mengapa Buddha masih berbelas kasih pada Cunda? Mungkin Anda menjawab: “Itu nirvana dengan sisa.” Dengan demikian, permasalahan tetap tidak terpecahkan juga, karena seperti yang baru saja saya ungkapkan, seolah2 nirvana dengan sisa itu lebih rendah dari nirvana tanpa sisa. Jika nirvana masih dapat dipilah-pilah, apakah itu mencerminkan sesuatu yang absolut?
Justru karena konsisten dengan pandangan bahwa tiada pembedaan dalam nirvana, maka Mahayana berpandangan bahwa seorang Buddha sampai kapanpun tetap dapat memancarkan maitri karunanya. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih Mahayana.
Pernyataan:
Jadi saya yang ingin bertanya; "Apakah yang dimaksud dengan 'orang' di statement itu? Apakah orang dalam arti fisik atau bagaimana?"
TAN:
Kata-kata apapun, baik “orang” atau apa saja hanya dipergunakan untuk menjelaskan (lihat Sutra Samdhinirmocana).
Pernyataan:
Orang yang telah merealisasi Nirvana berada dapat berada di mana-mana namun tidak ada di mana-mana pada saat bersamaan?
TAN:
Ya. Itulah sebabnya dikatakan nirvana itu tak terkatakan dan tak terbayangkan.
Pernyataan:
Apakah Nirvana masih mengenal konsep dualistis ada dan tiada; hadir dan absen; muncul dan tidak muncul? Statement sobat-dharma ini juga seudah jelas menyatakan secara implisit bahwa orang yang telah merealisasi Nirvana 'masih hadir', 'masih eksis', 'masih berkehendak', dan dengan kata lain seharusnya masih tunduk pada Hukum Alam Semesta.
TAN:
Ada dan tiada hanya ada dalam benak orang yang berdiskusi masalah nirvana, tetapi belum merealisasi nirvana itu sendiri, seperti kita-kita. Bicara masalah dualistis, toh masih ada “nirvana dengan sisa” dan “tanpa sisa.” Pertanyaan saya apakah kedua istilah itu mengacu pada nirvana yang sama atau beda? Apakah pancaskandha dapat mencemari nirvana?
Pernyataan:
- Samsara dan Nirvana adalah identik...
-
TAN:
Ya. Dari sudut pandang orang yang tercerahi adalah identik. Bagi yang belum akan memandangnya tak identik.
Pernyataan:
- Setelah memasuki Nirvana (maksudnya Parinirvana), Buddha masih ingin memancarkan maitri-karuna...
TAN:
Bukan ingin lagi. Tetapi itu adalah sifat alaminya. Dingin adalah sifat alami es. Es tidak ingin dirinya dingin. Seekor beruang kutub punya bulu lebat. Apakah keinginan si beruang kutub untuk punya bulu lebat? Apakah api ingin dirinya panas? Untuk memancarkan maitri karuna, Buddha tak perlu keinginan lagi, Bang.
Pernyataan:
- Karena masih ingin, artinya kalau tidak ingin pun sebenarnya bisa...
- Namun karena keinginan-Nya lebih kuat, maka Buddha pun tetap memancarkan maitri-karuna - alias tidak ingin memasuki Nirvana Tanpa Sisa.
- Karena menurut Buddha, memasuki Nirvana Tanpa Sisa adalah tidakan yang tidak layak untuk Orang Yang Tercerahkan.
- Karena samsara dan Nirvana adalah identik, maka seharusnya memang tidak ada Nirvana Tanpa Sisa. Karena keidentikan Nirvana dengan samsara ini secara implisit menujukkan bahwa Nirvana adalah kondisi yang masih memiliki elemen-elemen... (memancarkan, maitri, karuna, keinginan - itu semua elemen-elemen / unsur-unsur).
TAN:
Pertanyaan itu ada, karena Anda masih memandang nirvana bersisa dan tanpa sisa dari sudut pandang dualistis. Telah saya katakan bahwa maitri karuna adalah sifat alami seorang Buddha. Tidak ada keinginan lagi di sini. Tanggapan saya di bagian sebelumnya, menjadikan pertanyaan Anda di sini tidak lagi valid.
Amiduofo,
Tan
bila dibandingkan dengan menunda 1 orang dan menyelamatkan 10 orang, mana yang lebih egois?
^
^
^
uda dech bro
uda jelas-jelas jawaban-nya
bila dibandingkan dengan menunda 1 orang dan menyelamatkan 10 orang, mana yang lebih egois?
jgn berusaha membenar-benarkan sesuatu yang tidak benar
karena sesuatu yang tidak benar, kalau dibenar-benarin jadi salah
haaa...
Sebelumnya, saya melihat bahwa diskusi ini pada akhirnya tetap pada akhirnya akan menjurus pada perdebatan juga. Pihak non Mahayanis akhirnya tetap menanggapi Mahayana dari sudut pandang alirannya.Kalau gitu saya tanya yang tidak pakai aliran sama sekali:
TAN:
Dharmakaya adalah tubuh absolut seorang Buddha. Mempertanyakan di mana dharmakaya adalah suatu pertanyaan yang tidak tepat. Ibaratnya menanyakan di manakah Buddha Sakyamuni setelah Beliau parinirvana. Menurut Nagasena pertanyaan ini tidak tepat dan dapat disamakan dengan menanyakan ke manakah perginya api setelah padam (lihat Na shien pi chiu ching – Nagasena bhikshu Sutra – padanan Milindapanha dalam Mahayana). Dharmakaya sendiri tidak mati ataupun menjelma, sehingga ini konsisten dengan konsep bahwa seorang Buddha tidak lagi menjelma. Yang memanifestasikan sebagai Buddha manusia adalah Nirmanakaya (tubuh jelmaan). Ingat dharmakaya sendiri tidaklah ke mana-mana. Dengan demikian, ia merupakan sesuatu yang absolut. Sampai di sini tidak ada pertentangan dengan doktrin aliran non Mahayana bukan? Karena merupakan tubuh yang absolute pertanyaan Anda di atas tidak berlaku.
TAN:
Pertanyaan Anda saya balik pula dengan pertanyaan, apakah hukum karma itu nitya atau anitya? Kalau hukum karma adalah anitya, maka suatu saat, entah di masa lampau atau di masa mendatang, ada kalanya hukum karma tak berlaku. Kemungkinan ada masa di mana orang jahat tidak menuai kejahatannya dan orang baik tidak menuai buah kebaikannya. Apakah kondisi nirvana itu sendiri nitya atau anitya. Kalau anitya, kemungkinan seseorang dapat jatuh lagi setelah merealisasi nirvana. Poin yang hendak saya ungkapkan, ada kalanya pertanyaan-pertanyaan itu tidak tepat. Umpamanya dengan menanyakan “adakah segitiga yang mempunyai empat sisi?”
Jika Anda mengatakan nirvana adalah suatu batasan, maka itu adalah penjara. Perlu dibedakan antara penyebab para makhluk yang belum tercerahi terlahir kembali dan tubuh jelmaan yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai perwujudan. Tentu saja di Mahayana diajarkan pratiyasamutpada. Tetapi ingat bahwa ini berlaku bila suatu makhluk masih memiliki avidya. Dalam kasus nirmanakaya penyebabnya beda. Avidya tidak lagi hadir di sini.
Hukum karma berhenti kalo sudah mencapai parinibbana.
Kalo 10 orang itu kecebur lumpur gara-gara 1 orang yang narik, maka kalau kemudian orang itu tinggalkan 10 lainnya, itu egois.Coba jangan lari dari konteks.
Kalo 1 orang itu naik dengan menginjak kepala 10 orang di lumpur (sehingga lebih susah naik), maka itu juga egois.
sudah dech, bilang saja dari awal, kalau kamu memang berusaha menyelamatkan diri sendiri dulu, ketimbang menyelamatkan orang lain.
haaa...
Kalau dibilang "anitya", berarti "suatu saat nanti, bunuh orang berbuah umur panjang".
Kalo 10 orang itu kecebur lumpur gara-gara 1 orang yang narik, maka kalau kemudian orang itu tinggalkan 10 lainnya, itu egois.Coba jangan lari dari konteks.
Kalo 1 orang itu naik dengan menginjak kepala 10 orang di lumpur (sehingga lebih susah naik), maka itu juga egois.
sudah dech, bilang saja dari awal, kalau kamu memang berusaha menyelamatkan diri sendiri dulu, ketimbang menyelamatkan orang lain.
haaa...
Saya masuk penjara karena perbuatan kriminal yang saya lakukan.
10 orang lain masuk penjara karena perbuatan yang mereka lakukan.
Di penjara, saya berkelakuan baik sehingga mendapat pengurangan masa hukuman, sementara 10 orang lain malah bikin onar.
Ketika saya sudah habis masa hukumannya, saya keluar "sendirian".
Saya mau tanya jadinya saya egois atau tidak kalau menurut Mahayana? Atau saya mesti ikutan bikin onar supaya bebasnya bareng baru dibilang Mahayanis sejati?
Kalo 10 orang itu kecebur lumpur gara-gara 1 orang yang narik, maka kalau kemudian orang itu tinggalkan 10 lainnya, itu egois.Coba jangan lari dari konteks.
Kalo 1 orang itu naik dengan menginjak kepala 10 orang di lumpur (sehingga lebih susah naik), maka itu juga egois.
sudah dech, bilang saja dari awal, kalau kamu memang berusaha menyelamatkan diri sendiri dulu, ketimbang menyelamatkan orang lain.
haaa...
Saya masuk penjara karena perbuatan kriminal yang saya lakukan.
10 orang lain masuk penjara karena perbuatan yang mereka lakukan.
Di penjara, saya berkelakuan baik sehingga mendapat pengurangan masa hukuman, sementara 10 orang lain malah bikin onar.
Ketika saya sudah habis masa hukumannya, saya keluar "sendirian".
Saya mau tanya jadinya saya egois atau tidak kalau menurut Mahayana? Atau saya mesti ikutan bikin onar supaya bebasnya bareng baru dibilang Mahayanis sejati?
mengenai masalah ini.........
pandangan egois itu adalah pandangan duniawi........
jadi sebenarnya orang yg keluar penjara itu egois menurut orang yg masih di dalam penjara tetapi bagi orang yg di luar penjara hal itu tidak dipermasalahkan......
sama saja menyebut
Arahat yg parinibanna itu egois menurut orang jelek yg suka jelek2in orang..... tetapi tidak dipermasalahkan bagi arahat lainnya......
Kalo 10 orang itu kecebur lumpur gara-gara 1 orang yang narik, maka kalau kemudian orang itu tinggalkan 10 lainnya, itu egois.Coba jangan lari dari konteks.
Kalo 1 orang itu naik dengan menginjak kepala 10 orang di lumpur (sehingga lebih susah naik), maka itu juga egois.
sudah dech, bilang saja dari awal, kalau kamu memang berusaha menyelamatkan diri sendiri dulu, ketimbang menyelamatkan orang lain.
haaa...
Saya masuk penjara karena perbuatan kriminal yang saya lakukan.
10 orang lain masuk penjara karena perbuatan yang mereka lakukan.
Di penjara, saya berkelakuan baik sehingga mendapat pengurangan masa hukuman, sementara 10 orang lain malah bikin onar.
Ketika saya sudah habis masa hukumannya, saya keluar "sendirian".
Saya mau tanya jadinya saya egois atau tidak kalau menurut Mahayana? Atau saya mesti ikutan bikin onar supaya bebasnya bareng baru dibilang Mahayanis sejati?
mengenai masalah ini.........
pandangan egois itu adalah pandangan duniawi........
jadi sebenarnya orang yg keluar penjara itu egois menurut orang yg masih di dalam penjara tetapi bagi orang yg di luar penjara hal itu tidak dipermasalahkan......
sama saja menyebut
Arahat yg parinibanna itu egois menurut orang jelek yg suka jelek2in orang..... tetapi tidak dipermasalahkan bagi arahat lainnya......
[at] bro upasaka
Kasus keluar dari penjara di atas bukanlah tindakan egois. Karena untuk dapat keluar dari penjara, seseorang harus menghabiskan masa tahananya dan atau menerima amnesti (pengurangan hukuman). Ini semua dapat diterima seseorang melalui usahanya sendiri. Jadi tidak ada narapidana yang bisa membebaskan narapidana lain.
<<kalau ini saya setuju....
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg ^-^
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
[at] bro upasaka
Kasus keluar dari penjara di atas bukanlah tindakan egois. Karena untuk dapat keluar dari penjara, seseorang harus menghabiskan masa tahananya dan atau menerima amnesti (pengurangan hukuman). Ini semua dapat diterima seseorang melalui usahanya sendiri. Jadi tidak ada narapidana yang bisa membebaskan narapidana lain.
<<kalau ini saya setuju....
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg ^-^
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
Ke-anitya-an hukum karma sudah terkandung di dalam hukum itu sendiri:
Hukum karma sebagaimana hal lain di alam samsara adalah hal yang terkondisi, perpaduan, dan bersyarat.
Diperlukan sebab agar hukum berlaku.
Tanpa sebab, hukum karma tidak berlaku sekaligus hal ini juga merupakan hukum karma itu sendiri.
Inilah ke-anitya-an hukum karma, berkondisi.
Hal ini bagaikan orang yang membunuh dirinya.
Dan karena hal inilah maka pembebasan dimungkinkan.
Hal yang terlihat sederhana,
namun hanya dapat dilihat dan diajarkan oleh seorang Sammasambuddha.
Jadi apakah hukum karma anitya?
Jawabannya YA.
Namun bukan dalam artian permukaan, yaitu sebab akan tidak membawa akibat.
Namun dalam artian ke-tidak-ada-an sebab yang menyebabkan kelahiran kembali,
yang secara otomatis memotong proses hukum karma.
Sebelum parinibbana, seorang arahat hanya menerima akibat tanpa sebab yang baru.
Setelah Parinibbana, aliran segala potensi akibat lalu, secara otomatis terpotong oleh terpotongnya arus kelahiran.
[at] bro upasaka
Kasus keluar dari penjara di atas bukanlah tindakan egois. Karena untuk dapat keluar dari penjara, seseorang harus menghabiskan masa tahananya dan atau menerima amnesti (pengurangan hukuman). Ini semua dapat diterima seseorang melalui usahanya sendiri. Jadi tidak ada narapidana yang bisa membebaskan narapidana lain.
<<kalau ini saya setuju....
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg ^-^
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
tuh kan betul........ pandangan orang jelek yg suka ngejelekin oran laen... emang beda beda dan macem macem........
ada yg bilang.. tuh arahat kurang kerjaan...... ada yg bilang bego......... ada yg bilang arahat itu penuh cinta kasih..... ada yg bilang mulia (hotel kaleee)
tapi bagi arahat seharusnya hal itu gak jadi masalah lageee.........
ibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
bodhisatva blum arahat kan?
ibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
[at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
Quote from: naviscopeibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
Jadi Boddhisattva Ksitigarbha masuk ke neraka untuk mengajarkan Dharma pada makhluk-makhluk di sana ya?
Beliau memasuki neraka dengan cara apa? Meninggal dan terlahir di alam neraka? Atau singgah sebentar di neraka?
^
^
^
maksudnya apa nech, menurut orang jelek yang suka jelek2in orang????
wakakakaka......
cuma beda pandangan saja,
aliran T bisa melihat kesusahan,
sedangkan aliran M tidak bisa melihat kesusahan, makanya meninggalkan nibbana, untuk menolong makhluk hidup yang kesusahan... bukan berdiam di nibbana...
toh pada saat setelah mencapai nibbana, tidak tega melihat kesusahan
toh akhirnya keluar dari jalur, dan menapaki jalan mahayana...
toh akhirnya buntut2 nya masuk ke mahayana lg, am I right? hehehe,,,
[at] bro upasaka
Kasus keluar dari penjara di atas bukanlah tindakan egois. Karena untuk dapat keluar dari penjara, seseorang harus menghabiskan masa tahananya dan atau menerima amnesti (pengurangan hukuman). Ini semua dapat diterima seseorang melalui usahanya sendiri. Jadi tidak ada narapidana yang bisa membebaskan narapidana lain.
<<kalau ini saya setuju....
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg ^-^
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
^
^
^
maksudnya apa nech, menurut orang jelek yang suka jelek2in orang????
wakakakaka......
cuma beda pandangan saja,
aliran T bisa melihat kesusahan,
sedangkan aliran M tidak bisa melihat kesusahan, makanya meninggalkan nibbana, untuk menolong makhluk hidup yang kesusahan... bukan berdiam di nibbana...
toh pada saat setelah mencapai nibbana, tidak tega melihat kesusahan
toh akhirnya keluar dari jalur, dan menapaki jalan mahayana...
toh akhirnya buntut2 nya masuk ke mahayana lg, am I right? hehehe,,,
Kalau masih berkutat dengan keinginan untuk menyelamatkan makhluk hidup (bahkan walaupun yang namanya keinginan luhur / chanda), maka tidak bisa merealisasikan nibbana... jadi bukan sudah "masuk"/"merealisasikan" nibbana lantas keluar lagi...
ibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
'Subhuti, janganlah mengatakan Tathagatha punya pikiran "Aku telah membabarkan Dharma." Janganlah berpikir begitu. Apa sebabnya?Jika seseorang mengatakan bahwa Tathagatha telah membabarkan Dharma dia menghina Hyang Buddha disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk mengerti apa yang kukatakan.
Subhuti, di dalam Dharma yang dibabarkan sebenarnya tidak ada Dharma yang bisa dibabarkan, oleh sebab itu disebut Dharma yang dibabarkan.'
'Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva.'
'Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.'
Mungkin perbandingan yang saya berikan kurang tepat karena dibatasi ruang dan waktu, tetapi untuk ilustrasi penggambaran perbedaan pencapaian kehidupan pengalaman pencerahan.
Perbedaannya seperti orang awam yang bercerita tentang bulan dengan seorang astronot yang sudah pergi ke bulan bercerita tentang bulan.
Orang biasa (awam) bercerita tentang bulan tetapi dia masih dan hanya tetap bertumpu pada (hanya terikat/melekat/tercekat pada) pengalamannya pada bumi, tetapi astronot tersebut sudah mengalami menjejakan kaki pada bulan (the truth/kenyataan/pengalaman, paradigma berbeda), dimana mungkin cerita awam dapat saja menggambarkan hal yang sama (mirip) seperti pengalaman nyata sang astronot.
Jadi dari cerita perbandingan diatas, siapakah yang sedang berspekulasi?
Siapakah dan apakah yang dimaksud (yang sedang) berspekulasi menurut guru Buddha dalam brahmajala?
Saat ada pertanyaan atau pernyataan tentang mati-hidup/lahir, penderitaan, alam-alam, dewa dsbnya (yang) duniawi atau penjelasan keBuddhaan, Nibanna,Tuhan, atta anatta, ada tiada, kosong sunya dsbnya, awam hanya membicara bersifat apakah.... dengan kebanggaannya masih bertumpu pada/masih ketercekatannya pada (sudut pandang pengalaman) keakuan dagingnya?
tetapi yang tercerahkan seperti seorang astronot dia tahu gambaran bumi tetapi saat dia cerita kenyataan gambaran bulan yang sebenarnya, ketika dia bercerita bulan dia sudah melewati batasan kungkungan bayang-bayang lingkup pengalaman/bukan dari/sudah terbebas dari cekatan paradigma bumi lagi, bukan (masih) bumi lagi.
Itulah sebabnya para suci yang sungguh (the real one) mengajarkan menanggalkan (tidak meributkan/memperkarakan/membesarkan/mempolemikan lagi benar atau salah) segala yang sifatnya duniawi tetapi memperkatakan DHAMMA (the absolute truth) dan (yang berhubungan dengan segala) pencapaiannya (the Absolut (truth)).
Semoga dapat membantu sedikit memberi gambaran pada pertanyaan dari dan diskusi-diskusi yang lain dalam mencari kebenaran DHAMMA dan menuju the Absolute.
good hope and love
sahabatmu
.................
but and i have a Savior
Quote from: naviscopeibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
Ga usah jauh2 ke neraka, bagaimana kalau para Bodhisatva mengajar dharma ke binatang dulu? Bisa atau tidak?
Atau lebih tidak jauh lagi, mengajar manusia yang sangat jahat, misalnya. Bisa atau tidak? Kok masih banyak orang jahat?
^
^
^
maksudnya apa nech, menurut orang jelek yang suka jelek2in orang????
wakakakaka......
cuma beda pandangan saja,
aliran T bisa melihat kesusahan,
sedangkan aliran M tidak bisa melihat kesusahan, makanya meninggalkan nibbana, untuk menolong makhluk hidup yang kesusahan... bukan berdiam di nibbana...
toh pada saat setelah mencapai nibbana, tidak tega melihat kesusahan
toh akhirnya keluar dari jalur, dan menapaki jalan mahayana...
toh akhirnya buntut2 nya masuk ke mahayana lg, am I right? hehehe,,,
Kalau masih berkutat dengan keinginan untuk menyelamatkan makhluk hidup (bahkan walaupun yang namanya keinginan luhur / chanda), maka tidak bisa merealisasikan nibbana... jadi bukan sudah "masuk"/"merealisasikan" nibbana lantas keluar lagi...
kalau begitu bro dilbert, arahat tidak punya kesempatan menjadi samma sambuddha lg donk???
Quote from: naviscopeibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
Ga usah jauh2 ke neraka, bagaimana kalau para Bodhisatva mengajar dharma ke binatang dulu? Bisa atau tidak?
Atau lebih tidak jauh lagi, mengajar manusia yang sangat jahat, misalnya. Bisa atau tidak? Kok masih banyak orang jahat?
Bisa juga lokh Bro, Buddha sendiri saja mengajarkan Dhamma Kepada semua mahluk termasuk binatang, para Bodhisatva mengajarkan Dhamma sesuai panutan Beliau mengajarkan kepada semua mahluk Lokh,
Siapa Tau Alam binatang itu dulunya orang orang yang tidak pernah mengenal Dharma, atau pernah melakukan kesalahan, Lagi pula Subtansi Bodhisatva mengajar dhama itu tidak mengenal siapa dia, bentuk dia, dimana dia. Intinya adalah Selalu siap sedia dimanapun, kapanpun, mengajar dhamma itu, mereka selalu siap.
Masalah Ksigarbha mengajar Dhamma agar satu, mengurangi semua mahluk yang pernah bersalah, melakukan kesalahan di neraka avici, agar bisa bertobat, mengikuti ajaran Sang Buddha.
Quote from: naviscopeibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
Ga usah jauh2 ke neraka, bagaimana kalau para Bodhisatva mengajar dharma ke binatang dulu? Bisa atau tidak?
Atau lebih tidak jauh lagi, mengajar manusia yang sangat jahat, misalnya. Bisa atau tidak? Kok masih banyak orang jahat?
Bisa juga lokh Bro, Buddha sendiri saja mengajarkan Dhamma Kepada semua mahluk termasuk binatang, para Bodhisatva mengajarkan Dhamma sesuai panutan Beliau mengajarkan kepada semua mahluk Lokh,
Siapa Tau Alam binatang itu dulunya orang orang yang tidak pernah mengenal Dharma, atau pernah melakukan kesalahan, Lagi pula Subtansi Bodhisatva mengajar dhama itu tidak mengenal siapa dia, bentuk dia, dimana dia. Intinya adalah Selalu siap sedia dimanapun, kapanpun, mengajar dhamma itu, mereka selalu siap.
Masalah Ksigarbha mengajar Dhamma agar satu, mengurangi semua mahluk yang pernah bersalah, melakukan kesalahan di neraka avici, agar bisa bertobat, mengikuti ajaran Sang Buddha.
OK, kalau begitu berarti bisa.
Lalu kenapa masih banyak orang jahat di muka bumi? Ini karena para Bodhisatva kurang gigih, atau orang-orangnya kepala batu?
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
pembebasan sendiri juga butuh pembimbing kalo gitu ngak butuh Sangha dong. Buat apa Sangha di buat. Kalo gitu Anda ngapain belajar dari Buddha tapi anda sendiri bisa kok memiliki pencerahan.
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
mana mungkinlah diri sendiri diselamatkan tapi sudah diselamat orang lain tidak diselamatkan.
Bro Kaiyn juga kenal agama Buddha juda dari orang Yang mengajar agama Buddha juga kan. kalo ngak Mana mungkin bisa tahu agama Buddha. Kalo ngak ada yang kasih Tau. Emangnya Dhamma langsung muncul dari langit tokh :)
Duh semesti kita masih inget ada tuh cerita di jantaka dimana kisah Buddha sudah mencapai kesempurnaan, Seorang kakek membujuk beliau mau mengajarkan dhamma kepada semua mahluk supaya semua mahluk Bisa mencapai kesempurnaan Beliau. Dan Beliau Namakara kepada kakek tersebut. Dan Akhirnya Beliau memilih mau mengajarkan Dhamma kepada kita semua sampai sekarang. Itu dia konsep yang dijalani oleh mahayana. Ngak hanya harus menyelamatkan diri sendiri bro tapi juga mau bantu menyelamatkan yang lain, Kalo tidak Dhamma bisa musnah lebih awal dong ?. kalo Berpikiran Hanya sendiri saja terselamatkan semua gimana Dhamma bisa Cepat berakhir sebelum Ramalan Buddha kita.
^
^
^
waduh2, cilako...
tidak perlu ada-nya sangha
tapi kan lama bro, kalau dibantu bimbingan bukan nya lebih cepat.....
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
pembebasan sendiri juga butuh pembimbing kalo gitu ngak butuh Sangha dong. Buat apa Sangha di buat. Kalo gitu Anda ngapain belajar dari Buddha tapi anda sendiri bisa kok memiliki pencerahan.
tidak harus mutlak ada sangha baru bisa terbuka JALAN PEMBEBASAN... contohnya pacceka buddha bisa muncul di dunia dengan kekosongan ajaran... Di Kalpa bhadda (kalpa bahagia ini), muncul 5 orang sammasambuddha yang merupakan kalpa dengan jumlah sammasambuddha terbanyak, oleh karena itu dikatakan kalpa bahagia...
Sulit untuk terlahir sebagai manusia...
Lebih Sulit lagi untuk terlahir sebagai manusia dan mendengarkan dharma ajaran seorang sammasambuddha...
Lebih Lebih Sulit lagi terlahir sebagai manusia pada masa seorang sammasambuddha terlahirkan dan mendengarkan dhamma.
Lebih Lebih dan Lebih Sulit lagi terlahir sebagai manusia dan menjadi murid langsung dari seorang sammasambuddha....
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
mana mungkinlah diri sendiri diselamatkan tapi sudah diselamat orang lain tidak diselamatkan.
Bro Kaiyn juga kenal agama Buddha juda dari orang Yang mengajar agama Buddha juga kan. kalo ngak Mana mungkin bisa tahu agama Buddha. Kalo ngak ada yang kasih Tau. Emangnya Dhamma langsung muncul dari langit tokh :)
Duh semesti kita masih inget ada tuh cerita di jantaka dimana kisah Buddha sudah mencapai kesempurnaan, Seorang kakek membujuk beliau mau mengajarkan dhamma kepada semua mahluk supaya semua mahluk Bisa mencapai kesempurnaan Beliau. Dan Beliau Namakara kepada kakek tersebut. Dan Akhirnya Beliau memilih mau mengajarkan Dhamma kepada kita semua sampai sekarang. Itu dia konsep yang dijalani oleh mahayana. Ngak hanya harus menyelamatkan diri sendiri bro tapi juga mau bantu menyelamatkan yang lain, Kalo tidak Dhamma bisa musnah lebih awal dong ?. kalo Berpikiran Hanya sendiri saja terselamatkan semua gimana Dhamma bisa Cepat berakhir sebelum Ramalan Buddha kita.
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
mana mungkinlah diri sendiri diselamatkan tapi sudah diselamat orang lain tidak diselamatkan.
Bro Kaiyn juga kenal agama Buddha juda dari orang Yang mengajar agama Buddha juga kan. kalo ngak Mana mungkin bisa tahu agama Buddha. Kalo ngak ada yang kasih Tau. Emangnya Dhamma langsung muncul dari langit tokh :)
Duh semesti kita masih inget ada tuh cerita di jantaka dimana kisah Buddha sudah mencapai kesempurnaan, Seorang kakek membujuk beliau mau mengajarkan dhamma kepada semua mahluk supaya semua mahluk Bisa mencapai kesempurnaan Beliau. Dan Beliau Namakara kepada kakek tersebut. Dan Akhirnya Beliau memilih mau mengajarkan Dhamma kepada kita semua sampai sekarang. Itu dia konsep yang dijalani oleh mahayana. Ngak hanya harus menyelamatkan diri sendiri bro tapi juga mau bantu menyelamatkan yang lain, Kalo tidak Dhamma bisa musnah lebih awal dong ?. kalo Berpikiran Hanya sendiri saja terselamatkan semua gimana Dhamma bisa Cepat berakhir sebelum Ramalan Buddha kita.
Bukan di kisah Jataka, tetapi di kisah kehidupan siddharta ketika mencapai penerangan sempurna dan mencapai annutara sammasambuddha, yaitu :
Brahmà Sahampati Memohon Pengajaran Dhamma
(Brahmà Sahampati yang agung adalah seorang Thera mulia bernama Sahaka pada masa Buddha Kassapa. Dalam kapasitasnya, ia berhasil mencapai Jhàna Pertama Rupàvacara dan karena ia meninggal dunia tanpa terjatuh dari Jhàna, ia terlahir di Alam Jhàna Pertama dan menjadi Mahàbrahmà yang memiliki umur kehidupan enam puluh empat antara kappa yang setara dengan satu asankhyeyya kappa. Ia disebut Brahmà Sahampati di alam brahmà tersebut. Samyutta Atthakatthà dan Sàrattha Tikà).
Ketika Buddha masih tidak berkeinginan untuk berusaha mengajarkan Dhamma, Mahàbrahmà Sahampati berpikir, “Nassati vata bho loko! Vinassati vata bho loko!” “O teman, dunia akan binasa! O teman, dunia akan binasa!” Buddha yang layak mendapat penghormatan oleh dewa dan manusia karena telah menembus pengetahuan semua Dhamma di dunia tidak sudi mengajarkan Dhamma!” Kemudian dalam sekejap, dengan kecepatan bagaikan seorang kuat yang merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, Brahmà Sahampati lenyap dari alam brahmà bersama-sama dengan sepuluh ribu Mahàbrahmà lainnya, muncul di hadapan Buddha. Pada waktu itu, Mahàbrahmà Sahampati meletakkan selendangnya (selendang brahmà) di bahu kirinya dan berlutut dengan lutut kanannya menyentuh tanah (duduk cara brahmà). Bersujud kepada Buddha dengan mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan berkata:
“Buddha yang agung, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Buddha agung yang memiliki bahasa yang baik, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Ada banyak makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu kotoran di mata pengetahuan dan kebijaksanaan mereka. Jika makhluk-makhluk ini tidak berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha, mereka akan menderita kerugian besar karena tidak memperoleh Dhamma yang luar biasa Magga-Phala yang layak mereka dapatkan. Buddha yang mulia, akan terbukti bahwa ada dari mereka yang mampu memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Kemudian lagi, setelah mengucapkan dengan bahasa prosa biasa, Mahàbrahmà juga mengajukan permohonan dalam syair seperti berikut:
“Buddha yang agung, pada masa lampau sebelum kemunculan-Mu, di Negeri Magadha, terdapat ajaran salah yang tidak suci, yang diajarkan oleh enam guru berpandangan salah, seperti Purana Kassapa yang dinodai oleh lumpur kotoran. Dan oleh karena itu, sudilah membuka pintu gerbang Magga untuk memasuki Nibbàna yang abadi (yang tertutup sejak lenyapnya ajaran Buddha Kassapa). Izinkan semua makhluk mendengarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia yang terlihat jelas oleh-Mu yang bebas dari debu kilesa.
“Buddha yang mulia dan bijaksana, yang memiliki mata kebijaksanaan yang mampu melihat segala sesuatu! Bagaikan seorang yang memiliki pandangan mata yang tajam berdiri di puncak gunung dan melihat semua orang di sekelilingnya, demikian pula Engkau, Buddha yang mulia, karena telah terbebas dari kesedihan, naik ke menara Pa¤¤à dan melihat semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà, yang terjatuh ke dalam jurang kesedihan (karena dilindas oleh kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, dan lain-lain).
“Buddha yang mulia dan memiliki kecerdasan, yang hanya mengetahui kemenangan, tidak pernah kalah, dalam semua pertempuran! Bangunlah! Buddha yang mulia, yang bebas dari hutang kenikmatan indria, yang memiliki kebiasaan membebaskan makhluk-makhluk yang ingin mendengarkan dan mengikuti ajaran Buddha, dari perjalanan sulit berupa kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dan bagaikan pemimpin rombongan, yang mengantar mereka dengan selamat menuju Nibbàna! Sudilah, mengembara di dunia ini dan mengumandangkan Dhamma dari Buddha yang agung, sudilah, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada semua makhluk manusia, dewa, dan brahmà. Buddha yang mulia, ada makhluk-makhluk yang dapat melihat dan memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
(Kenyataan bahwa brahmà datang dan mengajukan permohonan untuk mengajarkan Dhamma, tepat pada waktu Buddha merenungkan dalamnya Dhamma dan besarnya kilesa makhluk-makhluk, dan tidak berniat untuk berusaha mengajarkan Dhamma adalah dhammatà bagi semua Buddha).
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
pembebasan sendiri juga butuh pembimbing kalo gitu ngak butuh Sangha dong. Buat apa Sangha di buat. Kalo gitu Anda ngapain belajar dari Buddha tapi anda sendiri bisa kok memiliki pencerahan.
tidak harus mutlak ada sangha baru bisa terbuka JALAN PEMBEBASAN... contohnya pacceka buddha bisa muncul di dunia dengan kekosongan ajaran... Di Kalpa bhadda (kalpa bahagia ini), muncul 5 orang sammasambuddha yang merupakan kalpa dengan jumlah sammasambuddha terbanyak, oleh karena itu dikatakan kalpa bahagia...
Sulit untuk terlahir sebagai manusia...
Lebih Sulit lagi untuk terlahir sebagai manusia dan mendengarkan dharma ajaran seorang sammasambuddha...
Lebih Lebih Sulit lagi terlahir sebagai manusia pada masa seorang sammasambuddha terlahirkan dan mendengarkan dhamma.
Lebih Lebih dan Lebih Sulit lagi terlahir sebagai manusia dan menjadi murid langsung dari seorang sammasambuddha....
Kenapa Anda jadi manusia juga udah tau itu penderitaan ?, Kalo ngak bth sanggha, ngak butuh dhamma, Pertanyaaanya adalah Anda Beragama Buddha Untuk apa ?. KTP saja
Lagi pula kalo anda Belajar Agama Buddha sama aja anda sudah diselamatkan Dhamma.
Kalo Anda merasa diri Anda Sudah Tercerahkan, ngapain Belajar Dhamma lagi, Ngapain ngaku beragama Buddha kalo, masih pengan hinaya,
Anda sendiri nulis bahwa pencerahan berasal dari sendiri kalo ngak tau Dhamma bagaimana bisa, Emangnya Dhamma jatuh dari langit, Rasionalistas sedikit, Saya tanya lg anda tau agama Buddha darimana ?. ngak Butuh Sangha kalo gitu kenapa anda ngak bubarin aja ngak guna kok ?.
Sekarang Balik lagi ke rasional Siapa yang bisa kasih tau agama Buddha kalo ngak Ada manusia yang ngak mau kasih tau, agak ada para Boddhisatva, Agak ada Buddha, Ngak mungkin anda bisa mengenal Dhamma. Intinya Pandangan itu justru menyimpang Dhamma.
Ngak mungkin Langsung bisa tercerahkan kalo ngak ada petunjuk, Buat apa Hinaya, buat apa Sutta, anda anda tidak merasa butuhkan, Karena anda Sudah merasa Tercerahakan jadi kagak butuh itu namanya Dhamma.
Kenapa Anda jadi manusia juga udah tau itu penderitaan ?,
Kalo ngak bth sanggha, ngak butuh dhamma, Pertanyaaanya adalah Anda Beragama Buddha Untuk apa ?. KTP saja
Lagi pula kalo anda Belajar Agama Buddha sama aja anda sudah diselamatkan Dhamma.
Kalo Anda merasa diri Anda Sudah Tercerahkan, ngapain Belajar Dhamma lagi, Ngapain ngaku beragama Buddha kalo, masih pengan hinaya,
Anda sendiri nulis bahwa pencerahan berasal dari sendiri kalo ngak tau Dhamma bagaimana bisa, Emangnya Dhamma jatuh dari langit, Rasionalistas sedikit,
Saya tanya lg anda tau agama Buddha darimana ?. ngak Butuh Sangha kalo gitu kenapa anda ngak bubarin aja ngak guna kok ?.
Sekarang Balik lagi ke rasional Siapa yang bisa kasih tau agama Buddha kalo ngak Ada manusia yang ngak mau kasih tau, agak ada para Boddhisatva, Agak ada Buddha, Ngak mungkin anda bisa mengenal Dhamma. Intinya Pandangan itu justru menyimpang Dhamma.
Ngak mungkin Langsung bisa tercerahkan kalo ngak ada petunjuk, Buat apa Hinaya, buat apa Sutta, anda anda tidak merasa butuhkan, Karena anda Sudah merasa Tercerahakan jadi kagak butuh itu namanya Dhamma.
Orangnya belum mencapai keBuddhaan, Buddha aja tidak pantang menyerah bro, kenapa mesti menyerah. Beliau aja masih mau menyadarkan devata dari Lobha, kenapa para Bodhisatava kagak mau mengikuti jejak beliau ?. Aneh kan
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
[at] kainyn
tanya diri anda yang tahu kenapa. :))
bro kainyn sudah tahu jawabannya... bahwa semua-nya tergantung kepada diri sendiri... jadikanlah diri sendiri sebagai pulau sendiri... buddha dan para suciwan hanya menunjukkan jalan, selanjutnya untuk menempuh JALAN PEMBEBASAN itu tergantung kepada diri sendiri...
Tapi kalau dibilang begitu, nanti dibilang "tidak mengosongkan cangkir, bro dilbert. Maka saya tanya dari sisi "cangkir" seberang.
Orangnya belum mencapai keBuddhaan, Buddha aja tidak pantang menyerah bro, kenapa mesti menyerah. Beliau aja masih mau menyadarkan devata dari Lobha, kenapa para Bodhisatava kagak mau mengikuti jejak beliau ?. Aneh kan
Lalu Buddha sekarang kok tidak terus mengajar di sini?
dari pertanyaan kainyn_kutho sbb :Jawab saja kalau mau, jangan banyak komentar yang ga perlu.
OK, kalau begitu berarti bisa.
Lalu kenapa masih banyak orang jahat di muka bumi? Ini karena para Bodhisatva kurang gigih, atau orang-orangnya kepala batu?
koq komentar-komentarnya jadi melintir.
dari pertanyaan kainyn_kutho sbb :Jawab saja kalau mau, jangan banyak komentar yang ga perlu.
OK, kalau begitu berarti bisa.
Lalu kenapa masih banyak orang jahat di muka bumi? Ini karena para Bodhisatva kurang gigih, atau orang-orangnya kepala batu?
koq komentar-komentarnya jadi melintir.
[at] bro dilbert
Bukan dikatakan Sangha tidak berguna dalam pembabaran Dharma, malahan Sangha itu (dikala ketidakhadiran seorang sammasambuddha di dunia) adalah merupakan wakil buddha untuk membabarkan dhamma ajaran buddha, dan jika ada sangha di dunia, maka masih merupakan keberuntungan bagi dunia.
tapi kata-nya, sangha sendiri saja belum mencapai pencerahan, mo sok2 ajarin orang
ibaratnya kalau belum bisa berenang, jangan sok jadi baywatch....
aku jd bingung, bingung sana bingung sini
sebentar bilang tidak bole
sebentar bilang bole
no offense :P
^
^
^
eeewwww... CAPS LOCK
AKU TIDAK BILANG KAMU BRO, JGN MARAH ATUH...
aye juga tidak menuduh sapa2, aye hanya baca, trus aye berusaha menyambung nyambungkan
ternyata tidak bisa nyambung... hehehe...
kaburrrrr lgggggggggggg.............
no offense loh :P
Orangnya belum mencapai keBuddhaan, Buddha aja tidak pantang menyerah bro, kenapa mesti menyerah. Beliau aja masih mau menyadarkan devata dari Lobha, kenapa para Bodhisatava kagak mau mengikuti jejak beliau ?. Aneh kan
Lalu Buddha sekarang kok tidak terus mengajar di sini?
Tak usah jawab tokh di dalam sutta tera juga ada cari sendiri dekh
[Qoute]saya jadi manusia karena belum terputus dari rantai kelahiran kembali... salah satu penyebabnya adalah avijja (kegelapan bathin) sehingga masih terus menerus terlahirkan kembali di 31 alam kehidupan ini (hanya saja dalam kehidupan ini "kebetulan" karena karma saya yang harus terlahir-kan menjadi manusia)...
Note : baca pattica samupada (hukum sebab musabab yang bergantungan) untuk lebih mengerti tentang roda samsara kelahiran kembali.[/qoute]
Kalo gitu kebetulan dong agama Buddhanya?
Kalo Tidak mengajarkan kepada mahluk lain gimana Buddha mengajar Dhama ?
Artinya anda gak ngerti maksud bahasa saya. saya katakan emangnya Dhamma langsung hadir gitu aja.
Anda jawab sendiri pertanyaan anda sendiri. Yang tidak mengerti tuh anda. saya sengaja nanya kayak seperti itu, artinya saya buka jalan pikiran kebudhaan anda bukan ?. Anda aja bisa cape jelasin kesaya. Saya juga bisa cape dong ajarin anda, padahal Buddha kita tuh ngak kenal kata cape lok untuk mengajar dhamma. Bodhisatva aja ngak kenal kata cape.
Baca buku Sejarah Bos, Beliau belajar dulu sama orang lain sebelum Beliau mencapai pencapaian sempurna. Beliau saja mencari jawaban dulu dari guru guru brahmana yang terkenal. Sebelum jadi Buddha
dari pertanyaan kainyn_kutho sbb :
OK, kalau begitu berarti bisa.
Lalu kenapa masih banyak orang jahat di muka bumi? Ini karena para Bodhisatva kurang gigih, atau orang-orangnya kepala batu?
Saya belum pernah kenal atau ketemu Bodhisatva, jadi saya tidak tahu.
Mau bantu jawab?
loh sutta ada sutra ada (dokumentasi pengajaran yang dibabarkan guru Buddha), Sangha ada, jadi maksud komentar saya tanya pada diri anda/masing-masing sendiri kenapa gitu loh...
dari pertanyaan kainyn_kutho sbb :Jawab saja kalau mau, jangan banyak komentar yang ga perlu.
OK, kalau begitu berarti bisa.
Lalu kenapa masih banyak orang jahat di muka bumi? Ini karena para Bodhisatva kurang gigih, atau orang-orangnya kepala batu?
koq komentar-komentarnya jadi melintir.
sorry bro kainyn,
bukan maksudnya komentarin tulisan anda pada kutipan tapi komentar-komentar diskusi selanjutnya teman-teman yang lain. ^:)^ _/\_
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
Quote from: sobat-dharmaMari kita menggunakan kata-kata dalam Visuddhimagga untuk membantu anda memahaminya:
Penderitaan belakalah yang ada, tiada penderita yang ditemukan;
Perbuatan ada, tetapi pelaku perbuatan tidak ada;
Nibbana ada, tetapi orang yang memasuki tidak ada;
Jalan ada, tetapi pejalannnya tidak ada.
Di sini bisa kulanjutkan:
pancaran maitri-karuna ada, tetapi yang memancarkan tidak ada.
Sobat...
Empat baris awal yang Anda ketik itu berbicara mengenai realita anatta dalam tataran pra-Parinirvana. Artinya, dengan atau tidak menerima konsep anatta, fakta berbicara bahwa pada hakikatnya tidak ditemukan substansi inti (diri) di dunia ini. Penderita, pelaku perbuatan, orang yang merealisasi maupun pejalan; dinyatakan tidak ada, karena tidak ada penggerak utama yang beraktivitas dalam orang yang bersangkutan.
Namun pada dua baris akhir yang Anda ketik, statement itu berbicara dalam tataran pasca-Parinirvana. Di taraf ini, orang yang sudah memasuki Parinirvana sudah tidak lagi beraktivitas. Anda menyatakan bahwa pancaran maitri-karuna ada. Ini merujuk pada dua hal, yaitu :
- mungkin orang yang bersangkutan (Buddha) masih melakukan kegiatan memancarkan maitri-karuna.
- mungkin maitri-karuna itu dipancarkan oleh sesuatu (thing) - yang notabene adalah orang yang sudah memasuki Parinirvana.
Mohon penjelasan lanjutnya...
Maksudnya : "...yang bisa membuat diri sendiri (seseorang) merealisasi Pembebasan adalah diri sendiri (orang itu) pula."
Analoginya -> yang bisa membuat diri sendiri kenyang adalah diri sendiri pula.
Saya melihat kalimat yang diucapkan bodhisatva itu hanya sebatas kalimat motivasi yang mendorong saya untuk mengembangkan kebajikan; tidak egois. Namun jika ditinjau dari pernyataan logika, maka kalimat itu agak pincang.
Bro, jadi menurut Anda kejadian yang menimpa Petapa Sidharta itu tidak logis? Apa maksud Anda hukum alam memberi pengecualian agar mangkok itu mengalir melawan arus? Saya melihat kisah itu bisa saja terjadi, dan itu bukanlah suatu kejadian yang tidak bisa dijelaskan secara logika atau ilmu eksak. Bagi saya, akal sehat dan pemikiran logis merupakan filter awal untuk memilah suatu hal. Setelah itu, untuk pembuktian tentu saja saya harus mempraktikkannya.
Menurut saya, frase "di sini" adalah menunjukkan lokasi. Saya kurang mengerti dengan penjelasan ini; mengapa frase "di sini" dapat merujuk pada "keberadaan" -yang merupakan aktivitas-.
Kalau Anda tidak tahu, kenapa Anda mengiyakan pertanyaan saya mengenai; "apakah semua makhluk akan merealisasi Nirvana, sehingga samsara kosong dari para makhluk", ...
Saya tidak tahu. Saya bukanlah ahli sensus, Arhat, ataupun Samyaksambuddha...
Namun yang saya tahu, orang bijak itu selalu mempertimbangkan suatu hal berdasarkan prioritas dan faedahnya.
Saya tidak punya referensinya. Bisa Bro ceritakan sedikit mengenai kisahnya?
Agar saya tahu, dan teman-teman yang lain pun tahu...?
:)
[at] bro upasaka
Kasus keluar dari penjara di atas bukanlah tindakan egois. Karena untuk dapat keluar dari penjara, seseorang harus menghabiskan masa tahananya dan atau menerima amnesti (pengurangan hukuman). Ini semua dapat diterima seseorang melalui usahanya sendiri. Jadi tidak ada narapidana yang bisa membebaskan narapidana lain.
<<kalau ini saya setuju....
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
<< liat contoh nya, boddhisattva ksitigarbha,
sampai masuk ke neraka,.....
kalau orang lain, mgkn beranggapan dia bodoh, tapi kalau saya beranggapan, cita2 sungguh mulia, sungguh sangat sangat jarang bisa ditemukan bodhisattva yg demikian hebatnya nazar nya
pdhal dia sudah keluar penjara loh, kenapa mo masuk penjara lg ^-^
buka mata, buka telinga, ini nyata, cuma ada di mahayana loh
tuh kan betul........ pandangan orang jelek yg suka ngejelekin oran laen... emang beda beda dan macem macem........
ada yg bilang.. tuh arahat kurang kerjaan...... ada yg bilang bego......... ada yg bilang arahat itu penuh cinta kasih..... ada yg bilang mulia (hotel kaleee)
tapi bagi arahat seharusnya hal itu gak jadi masalah lageee.........
ibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
bodhisatva blum arahat kan?
bodhisatva blum arahat kan? << tergantung level berapa tuh boddhisattva
bodhisatva level 8, klu tidak salah sudah setara dengan arahat
trus, klu level 9 - 10 sudah diatas arahat loh
ibarat kateee........ tuh bodhisatva yg kek gitu kek para pandita atau guru ngaji yang ngajarin para napi di penjara......
<< [at] bro upasaka, ini lah, wujud sumbangsih mahayana, untuk menolong makhluk lain
TL:
Saya ingin bertanya kepada mas Tan, Dharmakaya seorang Buddha dengan Buddha yang lain sama atau berbeda? dimanakah Dharmakaya seorang Buddha ketika ia terlahir kembali sebagai pangeran Siddharta?
TAN:
Dharmakaya adalah tubuh absolut seorang Buddha. Mempertanyakan dimana dharmakaya adalah suatu pertanyaan yang tidak tepat. Ibaratnya menanyakan di manakah Buddha Sakyamuni setelah Beliau parinirvana. Menurut Nagasena pertanyaan ini tidak tepat dan dapat disamakan dengan menanyakan ke manakah perginya api setelah padam (lihat Na shien pi chiu ching – Nagasena bhikshu Sutra – padanan Milindapanha dalam Mahayana). Dharmakaya sendiri tidak mati ataupun menjelma, sehingga ini konsisten dengan konsep bahwa seorang Buddha tidak lagi menjelma. Yang memanifestasikan sebagai Buddha manusia adalah Nirmanakaya (tubuh jelmaan). Ingat dharmakaya sendiri tidaklah ke mana-mana. Dengan demikian, ia merupakan sesuatu yang absolut. Sampai di sini tidak ada pertentangan dengan doktrin aliran non Mahayana bukan? Karena merupakan tubuh yang absolute pertanyaan Anda di atas tidak berlaku.
TL:
Saya ingin bertanya kepada mas Tan, bagaimanakah konsep anitya (anicca) menurut Mahayana? Apakah kesadaran nitya atau anitya? Adakah suatu kekecualian terhadap hukum anitya?
TAN:
Pertanyaan Anda saya balik pula dengan pertanyaan, apakah hukum karma itu nitya atau anitya? Kalau hukum karma adalah anitya, maka suatu saat, entah di masa lampau atau di masa mendatang, ada kalanya hukum karma tak berlaku. Kemungkinan ada masa di mana orang jahat tidak menuai kejahatannya dan orang baik tidak menuai buah kebaikannya. Apakah kondisi nirvana itu sendiri nitya atau anitya. Kalau anitya, kemungkinan seseorang dapat jatuh lagi setelah merealisasi nirvana. Poin yang hendak saya ungkapkan, ada kalanya pertanyaan-pertanyaan itu tidak tepat. Umpamanya dengan menanyakan “adakah segitiga yang mempunyai empat sisi?”
TL:
Sebenarnya yang manakah yang merupakan penjara menurut mas Tan? Nirvana atau batin dan jasmani (panca skandha)? Apakah mas Tan tahu apa yang menyebabkan mahluk terlahir kembali? apakah di Mahayana diajarkan pratitya sramutpada atau tidak?
TAN:
Jika Anda mengatakan nirvana adalah suatu batasan, maka itu adalah penjara. Perlu dibedakan antara penyebab para makhluk yang belum tercerahi terlahir kembali dan tubuh jelmaan yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai perwujudan. Tentu saja di Mahayana diajarkan pratiyasamutpada. Tetapi ingat bahwa ini berlaku bila suatu makhluk masih memiliki avidya. Dalam kasus nirmanakaya penyebabnya beda. Avidya tidak lagi hadir di sini.
Pernyataan:
- Samsara dan Nirvana adalah identik...
-
TAN:
Ya. Dari sudut pandang orang yang tercerahi adalah identik. Bagi yang belum akan memandangnya tak identik.
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Persis konsep Hindu reply no: 500Sebetulnya, kalau masih ada "dualisme" dan "non-dualisme", itu juga sudah dualisme. ;D
translation of Yoga Vasistha (supreme Yoga) by Swami Venkatesananda: 29 april
nirvana eva nirvanams santam sante sive sivam, nirvamapyanirvanam sanabhortham navapi tat.
Nirvana is nirvana . in peace there is peace, in the divine there is divinity. Nirvana (emanciaption) also anirvana (non emancipation), associated with space and also not associated.
Nirvana adalah Nirvana. Dalam kedamaian ada kedamaian, dalam kesucian ada kesucian. Nirvana (non emansipasi) juga anirvana (non-emansipasi), berhubungan dengan angkasa dan juga tidak berhubungan.
perhatikan non dualisme nirvana - anirvana ; anirvana - samsara.
Non dualisme adalah jiplakan dari Hindu.
Persis konsep Hindu reply no: 500Sebetulnya, kalau masih ada "dualisme" dan "non-dualisme", itu juga sudah dualisme. ;D
translation of Yoga Vasistha (supreme Yoga) by Swami Venkatesananda: 29 april
nirvana eva nirvanams santam sante sive sivam, nirvamapyanirvanam sanabhortham navapi tat.
Nirvana is nirvana . in peace there is peace, in the divine there is divinity. Nirvana (emanciaption) also anirvana (non emancipation), associated with space and also not associated.
Nirvana adalah Nirvana. Dalam kedamaian ada kedamaian, dalam kesucian ada kesucian. Nirvana (non emansipasi) juga anirvana (non-emansipasi), berhubungan dengan angkasa dan juga tidak berhubungan.
perhatikan non dualisme nirvana - anirvana ; anirvana - samsara.
Non dualisme adalah jiplakan dari Hindu.
Yang saya tahu, seharusnya kita bisa melihat ilusi dualisme itu sendiri, bukan menyama-nyamakan yang berbeda (nirvana-samsara) dengan alasan sudah "non-dualisme", juga membeda-bedakan yang sama (samsara "dualisme" dan samsara "non-dualisme").
Ilusi dualisme itu hanya terbentuk di pikiran, tidak nyata. Misalnya dualisme ilusi "mahayana" & "hinayana". Kalau kita lihat secara nyata, yang ada hanya orang-orang yang menjalani hidup saja. Dualisme itu hanya ada pada orang yang pikirannya terilusi demikian (bahasa kasarnya: brainwashed). Bagi orang yang tidak pernah belajar "Mahayana dan Hinayana", dualisme tersebut tidak muncul.
Sedangkan di sisi lain, perbedaan nyata adalah sederhana. Pria yah pria, wanita yah wanita. Entahlah kalau orang "non-dualisme" yang sudah melihat nirvana = samsara, mungkin melihat pria = wanita?
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
engga ada penyelamatan diri sendiri itu maksudnya apa ya?Persis konsep Hindu reply no: 500Sebetulnya, kalau masih ada "dualisme" dan "non-dualisme", itu juga sudah dualisme. ;D
translation of Yoga Vasistha (supreme Yoga) by Swami Venkatesananda: 29 april
nirvana eva nirvanams santam sante sive sivam, nirvamapyanirvanam sanabhortham navapi tat.
Nirvana is nirvana . in peace there is peace, in the divine there is divinity. Nirvana (emanciaption) also anirvana (non emancipation), associated with space and also not associated.
Nirvana adalah Nirvana. Dalam kedamaian ada kedamaian, dalam kesucian ada kesucian. Nirvana (non emansipasi) juga anirvana (non-emansipasi), berhubungan dengan angkasa dan juga tidak berhubungan.
perhatikan non dualisme nirvana - anirvana ; anirvana - samsara.
Non dualisme adalah jiplakan dari Hindu.
Yang saya tahu, seharusnya kita bisa melihat ilusi dualisme itu sendiri, bukan menyama-nyamakan yang berbeda (nirvana-samsara) dengan alasan sudah "non-dualisme", juga membeda-bedakan yang sama (samsara "dualisme" dan samsara "non-dualisme").
Ilusi dualisme itu hanya terbentuk di pikiran, tidak nyata. Misalnya dualisme ilusi "mahayana" & "hinayana". Kalau kita lihat secara nyata, yang ada hanya orang-orang yang menjalani hidup saja. Dualisme itu hanya ada pada orang yang pikirannya terilusi demikian (bahasa kasarnya: brainwashed). Bagi orang yang tidak pernah belajar "Mahayana dan Hinayana", dualisme tersebut tidak muncul.
Sedangkan di sisi lain, perbedaan nyata adalah sederhana. Pria yah pria, wanita yah wanita. Entahlah kalau orang "non-dualisme" yang sudah melihat nirvana = samsara, mungkin melihat pria = wanita?
Gini bos Ngak ada yang namanya penyelamatan diri sendiri dan penyelamatan sama orang lain.
Ente semestinya ngerti kalimat Sabbe Satta Bhanvantu Sukhita ngak apa artinye ?
Sembenarnya konsepnya penyelamatan itu bukan dari versi tentangga. u Salah kaprah. Penyelamatan sebenernya tuh kepada semua mahluk. kan seperti saya katakan ngak tera ngak maha sebenar cuman beda beda tipis konsepnya, Sebagaian ajaran besar sama. Cuman bedanya Kalo dimahayana di kembangkan lagi, kalo tera ngak. Jujur aje kayak ente tanya sebenernya juga ada dalam tipitaka.
engga ada penyelamatan diri sendiri itu maksudnya apa ya?Persis konsep Hindu reply no: 500Sebetulnya, kalau masih ada "dualisme" dan "non-dualisme", itu juga sudah dualisme. ;D
translation of Yoga Vasistha (supreme Yoga) by Swami Venkatesananda: 29 april
nirvana eva nirvanams santam sante sive sivam, nirvamapyanirvanam sanabhortham navapi tat.
Nirvana is nirvana . in peace there is peace, in the divine there is divinity. Nirvana (emanciaption) also anirvana (non emancipation), associated with space and also not associated.
Nirvana adalah Nirvana. Dalam kedamaian ada kedamaian, dalam kesucian ada kesucian. Nirvana (non emansipasi) juga anirvana (non-emansipasi), berhubungan dengan angkasa dan juga tidak berhubungan.
perhatikan non dualisme nirvana - anirvana ; anirvana - samsara.
Non dualisme adalah jiplakan dari Hindu.
Yang saya tahu, seharusnya kita bisa melihat ilusi dualisme itu sendiri, bukan menyama-nyamakan yang berbeda (nirvana-samsara) dengan alasan sudah "non-dualisme", juga membeda-bedakan yang sama (samsara "dualisme" dan samsara "non-dualisme").
Ilusi dualisme itu hanya terbentuk di pikiran, tidak nyata. Misalnya dualisme ilusi "mahayana" & "hinayana". Kalau kita lihat secara nyata, yang ada hanya orang-orang yang menjalani hidup saja. Dualisme itu hanya ada pada orang yang pikirannya terilusi demikian (bahasa kasarnya: brainwashed). Bagi orang yang tidak pernah belajar "Mahayana dan Hinayana", dualisme tersebut tidak muncul.
Sedangkan di sisi lain, perbedaan nyata adalah sederhana. Pria yah pria, wanita yah wanita. Entahlah kalau orang "non-dualisme" yang sudah melihat nirvana = samsara, mungkin melihat pria = wanita?
Gini bos Ngak ada yang namanya penyelamatan diri sendiri dan penyelamatan sama orang lain.
Ente semestinya ngerti kalimat Sabbe Satta Bhanvantu Sukhita ngak apa artinye ?
Sembenarnya konsepnya penyelamatan itu bukan dari versi tentangga. u Salah kaprah. Penyelamatan sebenernya tuh kepada semua mahluk. kan seperti saya katakan ngak tera ngak maha sebenar cuman beda beda tipis konsepnya, Sebagaian ajaran besar sama. Cuman bedanya Kalo dimahayana di kembangkan lagi, kalo tera ngak. Jujur aje kayak ente tanya sebenernya juga ada dalam tipitaka.
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Omong omong sutra intan emang banyak lagi pis kalo orang tera bilang pegang Hinaya, kalo kita Vinaya, beda beda tipis, tapi ujung akarnya sama aja lagi
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Omong omong sutra intan emang banyak lagi pis kalo orang tera bilang pegang Hinaya, kalo kita Vinaya, beda beda tipis, tapi ujung akarnya sama aja lagi
Bro, berkali2 anda menuliskan HINAYA, artinya apa sih?
makin bingung, maha punya Hinaya sendiri? apa sih Hinaya?^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Omong omong sutra intan emang banyak lagi pis kalo orang tera bilang pegang Hinaya, kalo kita Vinaya, beda beda tipis, tapi ujung akarnya sama aja lagi
Bro, berkali2 anda menuliskan HINAYA, artinya apa sih?
Ngak ada artinya. Bro. cuman jelasin aja Sebenarnya maha juga punya Hinaya sendiri, bukan aja tera :)
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
Ada board ULASAN BUKU untuk postingan promosi semacam ini...
makin bingung, maha punya Hinaya sendiri? apa sih Hinaya?^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Omong omong sutra intan emang banyak lagi pis kalo orang tera bilang pegang Hinaya, kalo kita Vinaya, beda beda tipis, tapi ujung akarnya sama aja lagi
Bro, berkali2 anda menuliskan HINAYA, artinya apa sih?
Ngak ada artinya. Bro. cuman jelasin aja Sebenarnya maha juga punya Hinaya sendiri, bukan aja tera :)
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
Ada board ULASAN BUKU untuk postingan promosi semacam ini...
Cuman kasi kisi - kisi sedikit Bro. Lagian saya kan dari kemarin agar untuk membaca untuk jangan mengambil kesimpulan sendiri. Inilah sikap kadang kita ngambil kesimpulan sendiri ahhasil jadinya Ego.
Lagi Pula Refrensi saya berikan memang bagus untuk dibaca, supaya jgn bersikap fanatisme sama aliran sendiri.
Memang Mahayana ada beberapa beda konsep Tera. Bukan berarti Maha itu melenceng ajaran Dhamma, Justru memperkaya Dhamma, jadi saya mempromosikan buku ini, supaya buka jalan pikiran jgn berpandangan sempit kalo itu tidak lah yakin. Nantinya hasilnya Ngawur.
makin bingung, maha punya Hinaya sendiri? apa sih Hinaya?^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Omong omong sutra intan emang banyak lagi pis kalo orang tera bilang pegang Hinaya, kalo kita Vinaya, beda beda tipis, tapi ujung akarnya sama aja lagi
Bro, berkali2 anda menuliskan HINAYA, artinya apa sih?
Ngak ada artinya. Bro. cuman jelasin aja Sebenarnya maha juga punya Hinaya sendiri, bukan aja tera :)
Ampir sm lah dengan tera. Cuman bedanya ada maha lebih berkembang
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???
Kagak lah pak emangnya g Buddha :))
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???
Kagak lah pak emangnya g Buddha :))
jd apa donk???
apa mungkin hinaya itu istilah ciptaan pak pur???
Kagak lah pak emangnya g Buddha :))
jd apa donk???
gini Bro, Karena Aye ada kerjaan lagi diluar, aye jawab singkat aja. Saya tidak punya kemampuan untuk membuat hinaya nanti saya jadi ngawur dong. Hinaya terbentuk di maha itu atas dasar dari para sanggha yang memiliki Prajna minimal setinggkat Arahat. Hinaya yang dikembangkan di mahayana dibentuk atas dasar musyawarah para sangha, Juga yang memiliki Dhamma jauh lebih dari saya lah. saya mah belum bisa bikin hinaya Atuh.
^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
saya Pikir tidak perlu, Bro.^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.
BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?
saya Pikir tidak perlu, Bro.^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.
BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.
_/\_
TS=Thread Starter, poster pertama dalam suatu thread
saya Pikir tidak perlu, Bro.
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.
_/\_
Analogi yang lain lagi: bila si A berlatih sepeda maka ketrampilan menaiki sepeda adalah menjadi milik A, tak mungkin terjadi si A berlatih, kemudian ketrampilannya pindah kepada si B tanpa si B berlatih.Ini perumpamaan yang tepat, tapi tetap bisa dibalas begini:
Si B bisa juga menguasai ketrampilan bersepeda yang sama berdasarkan petunjuk dari si A. Tetapi yang harus berlatih adalah si B sendiri.
Demikian juga mengenai kesucian, kesucian kita sendiri yang harus mencapainya tak ada orang lain yang bisa membantu kita, orang lain hanya bisa mengajarkan jalan.
Sah-sah saja seorang memiliki penafsirannya sendiri, begitu juga saya memiliki penafsiran berbeda.
Dua baris pertama jelas-jelas mengatakan bahwa pada dasarnya "diri itu tidak ada", meskipun penderitaan dan perbuatan "ada", yang berarti pada dasarnya memang diri itu tidak ada. Oleh karen itu, ketika seseorang dikatakan mencapai nirvana, bukan berarti diri itu musnah atau berubah dari ada menjadi tiada, karena diri itu pada dasarnya memang pada dasarnya tiada pada permulaannya.
Dikatakan ada yang merealisasi nirvana, namun pada dasarnya memang tidak ada yang merealisasi. Dikatakan ada yang menempuh jalan, tapi pada dasarnya tidak ada yang menemupuh. Dengan demikian, jika memang sejak awal tidak ada yang menderita dan tidak ada pelaku, maka sebenarnya ketika merealisasi nirvana seseorang tidak kehilangan apapun atau mencapai apapun. Sebab, akhirnya "ia" hanya menyadari hakikat yang sejati bahwa diri itu tiada.
Pernyataan ini juga sekaligus menggambarkan bagaimana pada dasarnya samsara dan nirvana tidaklah berbeda, yang berbeda hanya kesadaran akan hakikat diri yang tak berwujud atau kosong.
(yang berikut ini ada konklusi tambahan dari penafsiran saya)
Jadi mencapai nirvana bukan berarti seseorang mengalami eksklusi selamanya dari dunia samsara, karena jika demikian maka pencapaian nirvana berarti terjadi perubahan dari yang ada menjadi tiada. Sebaliknya realisasi nirvana justru menggambarkan suatu proses yang alami, kembali ke hakikat yang sejati yaitu bahwa diri itu anatta atau sunyata. Dengan pemahaman demikianlah maka realisasi nirvana tidak terikat dengan kehidupan dan kematian, "ia" tidak pasif terikat oleh suatu keadaan, sebaliknya "ia" mengatasi semua kondisi yang ada.
Analoginya membingungkan bro. Kalau tidak makan apa bisa membuat seseorang menjadi kenyang? Saya sebagai pemula, mohon tuntunannya.
Seseorang tidak akan termotivasi oleh suatu kata-kata apabila ia tidak meyakini kebenaran kata-kata tersebut. Logis kan? :)
Saya kan bilang “kalau”. Sebaliknya saya justru berpandangan bahwa logika lah yang terlalu sempit untuk memahami segala sesuatu. Jika kita menggunakan semata-mata logika dan akal sehat sebagai ukuran segala sesuatu, maka kita terjebak membenarkan pikiran ego belaka. Logika dan akal sehat pada dasarnya adalah keyakinan akan suatu standar kebenaran yang digunakan untukmengevaluasi segala sesuatu. Sebagai sebuah “standar” ia harus diyakini dulu sebagai kebenaran.
Oleh karena itu, logika tidak lain hanya klaim akan kebenaran yang disahkan atas pengakuan atas keunggulan rasio dan meremehkan aspek-aspek lain dalam manuisia seperti emosi dan tubuh. Bahkan dalam dunia filsafat barat saja, sudah sangat sering logika dan akal sehat dikritisi keabsahannya sebagai suatu standar kebenaran.
Okey, kita kemudian merasa ada, “hey tunggu, kalau logika salah, ada saringan lapis kedua yaitu empirisme atau pembuktian.” Pandangan ini tentu saja terkesan memasang sikap berhati-hati dan seolah-olah menerapkan sikap kritis pada logika itu sendiri. Namun di sisi lain, akibat penggunaan logika dan akal sehat sebagai saringan tingkat pertama telah menyebabkan “kebenaran” kemungkinan-kemungkinan di luar logika dipersempit. Dalam hal ini sifat logika dan akal sehat adalah membatasi mana yang benar dan mana yang salah, akibat batas ini adalah kemungkinan hanya dibatasi sejauh logika membenarkannya. Dengan demikian akhirnya seseorang akhirnya diperbudak oleh logikanya sendiri.
Ada kesalahpahaman seolah ketika seseorang menyebut tentang tempat, ia semata-mata hanya merujuk pada makna tempat secara harafiah. Padahal makna “tempat” secara harafiah sebenarnya hanya dalam kamus bahasa belaka yang seolah waktu dan tempat adalah makna yang berdiri sendiri-sendiri. Pada pengalaman eksistensial empirik sehari-hari, tempat dan waktu tidak terpisah. Mengapa? Misalnya ketika kita menyebut suatu tempat, misalnya “Jakarta." Pada pengalaman empiriknya Jakarta yang disebut adalah Jakarta yang hanya bermakna suatu titik atau tempat di peta ataupun konsep tentang jakarta sebagai sebuah kota yang terletak di wilayah lebih luas tidak benar-benar eksis, tapi yang benar-benar dialami adalah Jakarta saat ini sebagaimana di alami oleh saya pada waktu dan ruang yang spesifik “di sini”. Sehingga walaupun ada orang lain yang juga berada di Jakarta apa yang dialaminya sebagai “di sini” berbeda dengan yang saya alami. Jadi “Jakarta” sebagai pengalaman empirik tidaklah mungkin adalah suatu esensi yang terpisah antara tempat dan waktu, karena dalam pengalaman “di sini”, tempat dan waktu itu menyatu. Jakarta sebagai hanya tempat hanya ada dalah konsep di pikiran, hanya jakarta yang riil dialami sebagai ruang dan waktu merupakan Jakarta yang "nyata" dialami.
Nah, setelah kita memahami bawa pengalaman “di sini” tidak mungkin dipahami sebagai ruang dan waktu dalam makna abstrak yang eksklusif satu sama lain sebagaimana dalam kamus bahasa, kia memasuki pemahaman lebih jauh yaitu: bahwa pengalaman empirik akan ruang dan waktu selalu melibatkan kesadaran subjek akan kehadirannya. Ketika kita menyebut “di sini”, kita selalu mengandaikan di mana subjek berada, atau lebih spesifiknya di mana tubuhnya berada dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Atau lebih tepatnya keberadaan ruang dan waktu yang sebagaimana dialami subjek hanya mungkin dapat dirasakan oleh subjek dan di mana tubuhnya hadir. Begitu juga kehadiran subjek hanya mungkin hadir jika ada ruang dan tempat yang dirasakan terpisah olehnya. Singkatnya objek ada karena subjek, dan subjek ada karena objek.
Dari sini, saya coba kembali ke kata saya: “Nirvana ada di sini.” Maka kata ini tidak hanya menunjuk pada “tempat” belaka. Sebagaimana penjelasan panjang lebar saya di atas, “di sini” berarti juga melibatkan ruang dan waktu serta bagaimana subjek mengalaminya, dan bagaimana subjek dan objek adalah esensi yang saling mengadakansatu sama lain. Oleh karena itu, realisasi nirvana bisa terbantu jika kita menggali bagaimana relasi antara subjek dan objek dengan membangun kesadaran yang menembus realitas subjek fan objek. Singkatnya “sunyata” ada di dalam pengalaman akan subjek dan objek.
Maksudnya?
Dengan standar apa? standar siapa?
saya Pikir tidak perlu, Bro.^
^
^
di mahayana ada lakanvantara sutra (sutra biru)
sutra untuk menghilang kan dualisme (bro dilbert pasti tau, itu kan sutra patokan buat zen)
mungkin bro2 mo mencicipi sedikit... hehehe...
Boleh. Minta link-nya kalau ada. Thanx.
BTW, TS-nya udah ga lanjut, apa ga sebaiknya lanjut ke thread baru supaya ga "ngambang"?
TS dalam kapasitasnya sebagai Mod, hanya memfasilitasi diskusi ini, selanjutnya diserahkan kepada member, jadi sebaiknya tetap dilanjutkan di sini saja.
_/\_
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
apa tuh buddha wacana ?
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
apa tuh buddha wacana ?
secara grammar buddha wacana = BACAANNYA SANG BUDDHA
Sebelum Pulang kantor , Akhir diskusi saya hari ini, Makanya Baca buku. Saya tawarin buku Gratis dekh, tidak perlu sepeserpun keluar uang, Cari buku judul Jalan tunggal karangan Bhante Piyasilo, Ngak perlu pesen tinggal ngambil doang, Cuman ongkos kesana buat ambil, sebelum diskusi, baru paham sebenernya kayak apa sih Teravada dan mahayana sebenarnya.
Karena buku ini lebih jelas pembahasannya. Karena buku ini bukan karangan tapi MAKALAH, Sekali lagi MAKALAH. Jadi ini sudah di risetkan , dan sudah terbukti, tulisan beliau refrensi paling bisa dibenarkan. =)) siapa yang membenarkan ??
lebih baik baca buku Riwayat Agung Para Buddha, karya dari Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Burma), anda tahu Tipitakadhara ?
Tipitakadhara adalah gelar bagi individu yang bisa menghapal Tipitaka luar kepala gitu lo... jadi referensi-nya bukan hanya banyak, tetapi keseluruhan TIPITAKA bro...
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di Buddha wacana
apa tuh buddha wacana ?
secara grammar buddha wacana = BACAANNYA SANG BUDDHA
Ngak efek cuy, tetap aje tuh refrensi loe tuh ada di bacaannya BUDDHA ?... kalimat ini artinya apa ?
Buddhavacana / Buddhawacana secara harafiah artinya adalah perkataan Sang Buddha.
Dalam Mahayana (dan juga Theravada), walaupun bukan perkataan Sang Buddha tetap dimasukkan jadi Buddhawacana, misalnya Vimalakirtinirdesa Sutra.
Tanggapan Terpadu Tentang Mahayana
Ivan Taniputera (17 April 2009)
Melalui pengamatan saya, diskusi kali ini sudah menjurus pada perdebatan. Meskipun pihak yang menanyakan mengenai Mahayana berdalih bahwa mereka ingin mengenal Mahayana lebih jauh, tetapi pada kenyataannya malah berakhir pada perdebatan yang tidak berujung pangkal. Saya tidak berharap setiap orang menerima paham Mahayana. Setiap orang bebas menentukan apa yang mereka yakini. Menerima berbeda dengan memahami. Apa yang dimaksud memahami adalah mengerti sesuatu sebagaimana adanya, tanpa perlu memperdebatkannya. Perdebatan tanpa praktik Dharma nyata tak akan membawa kita ke mana-mana.
Oleh karena itu, tulisan saya kali ini lebih ditujukan bagi mereka yang ingin mengerti Mahayana. Semoga artikel ini bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami Mahayana dan menghindarkan salah tafsir terhadapnya. Sebelumnya, saya ingin menyatakan bahwa dalam artikel kali ini tidak ada maksud untuk mengkontraskan Mahayana dengan aliran apapun. Oleh karena itu, saya menyebutkan pandangan dalam Buddhisme yang bukan khas Mahayana sebagai "pandangan non Mahayanis." Ini tidak mengacu pada mazhab atau sekte apapun. Semoga saling pengertian antar sesama umat Buddha dapat semakin meningkat.
1.Nirvana dalam Mahayana
Nirvana dalam Mahayana bukanlah sesuatu yang statis dan seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karunanya bahkan setelah Beliau memasuki nirvana. Dalam diskusi sebelumnya ada yang mengkritik bahwa tanpa adanya pancaskandha, seperti pada "nirvana tanpa sisa," tidak mungkin ada pemancaran maitri karuna, sebagaimana halnya "nirvana bersisa." Permasalahan dalam pandangan ini adalah:
a.Seolah-olah terjadi perbedaan dan dualisme antara "nirvana bersisa" dan nirvana tanpa sisa" Padahal nirvana itu tak terpisah-pisahkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang absolut itu dapat dipisah-pisahkan?
b.Pancaskandha seolah-olah dapat memberikan pengaruh pada nirvana. Ini nampak jelas jika kita mengamati alur logika di bawah ini:
"Nirvana tanpa sisa" tak lagi memancarkan maitri karuna "karena" tak ada lagi pancaskandha.
"Nirvana bersisa" masih dapat memancarkan maitri karuna "karena" ada pancaskandha.
Dengan demikian, nampaknya nirvana dikondisikan oleh pancaskandha. Padahal nirvana itu adalah sesuatu yang tak berkondisi. Mahayana lebih konsisten dalam hal ini dengan menyatakan bahwa pemancaran maitri karuna itu "tidak bergantung" pada pancaskhandha. Karenanya, tak ada perbedaan kondisi baik pada "nirvana bersisa" atau "nirvana tanpa sisa."
2.Maitri karuna dan seluruh kualitas positif adalah sifat alami seorang Buddha
Mahayana mengajarkan suatu praktik spiritual guna menghilangkan segenap kekotoran batin, baik itu lobha, dosa, moha, kesombongan, dan lain sebagainya. Segenap varana atau kekotoran batin (baik kleshavarana atau jneyavarana) akan ditransformasi menjadi kemurnian pikiran. Kualitas cinta dan belas kasih seorang Buddha akan menjadi murni tanpa kekotoran batin. Makhluk yang belum tercerahi tidak akan dapat merealisasi maitri karuna sejati karena batinnya masih tertutupi oleh kekotoran batin. Maitri karuna sejati ini tidak akan berakhir. Akan sungguh ironis bila seorang Buddha menapaki jalan Bodhisattva, tetapi setelah berhasil mentransformasi segenap kekotoran batinnya dan merealisasi maitri karuna sejati, namun meninggalkan begitu saja semuanya setelah memasuki mahaparinirvana.
Maitri karuna akan menjadi kualitas alami seorang Buddha tanpa Beliau menginginkannya. Dengan demikian, tidak tepat apabila seseorang mengkritik paham Mahayana ini dengan menyatakan bahwa seorang Buddha yang tak memiliki "keinginan" lagi seharusnya mustahil memancarkan maitri karuna. Keinginan bukan penyebab bagi maitri karuna. Setelah pencerahan direalisasi, semua kualitas bajik secara otomatis akan menjadi sifat alaminya. Sebagai analogi, sifat alami air adalah cair. Apakah air menginginkan agar dirinya menjadi cair? Apa yang disebut dengan sendirinya adalah cair.
Orang yang belum merealisasi nirvana harus punya "keinginan" untuk mempraktikkan dana, sila, virya, kshanti, samadhi, dan prajna demi melatih dirinya. Tetapi setelah ini menjadi sifat alami kita, tidak perlu ada lagi "dorongan" atau "keinginan" untuk mempraktikkannya. Semuanya akan berjalan secara otomatis atau alami.
3.Tiga Tubuh Buddha
Mahayana mengajarkan bahwa Buddha memiliki tiga tubuh, yakni dharmakaya, samboghakaya, dan nirmanakaya. Dharmakaya sendiri merupakan sesuatu yang absolut dan tidak dilahirkan atau menjelma. Namun karena maitri karuna adalah sifat sejati seorang Buddha, terdapat nirmanakaya yang "menjelma" (ingat kata ini saya tulis dalam anda kutip) dirinya demi mengajarkan dan membantu membebaskan para makhluk dari pandangan salahnya. Ajaran ini lebih mendalam, karena sanggup menyesuaikan diri dengan dua hal; yakni keabsolutan nirvana (dalam hal ini dharmakaya) dan hakikat maitri karuna seorang Buddha (dalam wujud emanasi nirmanakaya). Kedua konsep ini dapat dicakup sekaligus oleh Mahayana, sehingga nirvana menurut Mahayana tidaklah abu-abu; melainkan sangat jelas, konsisten, dan mendalam. Mungkin ada sebagian pihak akan mengkritik bahwa tiga tubuh Buddha itu seolah-olah mengajarkan adanya tiga "pribadi" Buddha yang terpisah. Kritikan ini akan dijawab dengan fakta bahwa dalam rujukan-rujukan Pali juga terdapat mengenai nimmita Buddha (Buddha jelmaan). Pertanyaannya, di antara Buddha-Buddha jelmaan itu manakah yang benar-benar Buddha? Apakah satu Buddha dapat menjadi banyak Buddha yang terpisah? Mungkin pihak non Mahayanis akan menjawab bahwa nimitta Buddha itu berbeda dengan nirmanakaya. Tetapi jawaban ini tidak berarti apa-apa, karena tak menjawab inti pertanyaannya: "Siapakah di antara nimitta-nimitta Buddha itu yang benar-benar Buddha?" Kedua, Mahayana juga menerima absolutisme nirvana, jadi pertanyaan atau kritikan mengenai tiga "pribadi" terpisah itu tidak valid dalam hal ini, sehingga tak perlu dijawab lebih jauh. Sesuatu mungkin nampak terpisah dari sudut pandang orang yang belum tercerahi.
Lebih jauh lagi, "penjelmaan" (kita gunakan saja istilah ini agar lebih mudah dalam menjelaskannya) nirmanakaya itu berbeda dengan penjelmaan suatu makhluk yang masih diliputi avidya. Pihak non Mahayanis beranggapan bahwa tanpa adanya avidya (sebagai salah satu mata rantai (pratyasamutpada), seseorang tak perlu bertumimbal lahir lagi dalam samsara. Pandangan ini juga diterima oleh Mahayana. Tetapi bedanya, pihak non Mahayanis menganggap bahwa nirvana itu seolah-olah adalah suatu "batasan" atau "sekat" yang membatasi seorang Buddha dari samsara. Pandangan inilah yang ditolak oleh Mahayana. Dalam hal ini Mahayana konsisten dengan konsep keabsolutan nirvana. Justru karena absolut itu maka tiada lagi sekat yang dikenakan padanya. Nirvana bukanlah penjara.
Kemunculan nirmanakaya di samsara bukan disebabkan oleh keinginan (Sanskrit: trsna, Pali: tanha), melainkan ini sudah merupakan sifat alami seorang Buddha. Kita memandangnya sebagai sesuatu yang menjelma, karena masih berdiri pada perahu dualisme. Bagi Buddha tidak ada lagi yang menjelma, mati, datang, atau pergi.
4. Samsara dan Nirvana
Dari sudut pandang yang telah tercerahi (paramartha satya) tidak ada dualisme lagi. Oleh karena itu, bagi seorang Buddha nirvana tentunya identik dengan samsara. Nirvana bukanlah lawan dari samsara. Sesuatu yang absolut tak memerlukan lawan lagi bukan? Pemahaman seperti ini harus dilihat dari konteksnya yang benar. Orang yang tak memahami Mahayana akan mengajukan kritikan: "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." Ini jelas merupakan pandangan salah dan logika yang dipaksakan. Permasalahannya begini. Pribadi yang mengajukan pernyataan itu, masih menganggap bahwa nirvana dan samsara adalah dua hal yang terpisah. Jadi apa yang diungkapkannya itu tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ia tak berhak menyatakan bahwa dirinya telah merealisasi nirvana, selama masih menganggapnya sebagai sesuatu yang terpisah. Kritikan di atas mengandung kelemahan fatal. Ibaratnya seseorang mengatakan: "Kalau setiap orang boleh membeli makanan, tentunya aku yang tak memiliki uang sepeserpun juga boleh membeli makanan di sana." Orang itu lupa bahwa prasyarat untuk membeli adalah memiliki uang. Kedua, bila seseorang telah merealisasi keidentikan samsara dan nirvana, ia secara otomatis tak akan memiliki lobha, dosa, dan moha lagi. Tentu saja orang yang hanya paham bahwa nirvana identik dengan samsara secara intelektual juga tak dapat dianggap merealisasi pencerahan.
5.Juru Selamat dalam Mahayana
Banyak orang salah paham bahwa di Mahayana mengenal konsep juru selamat. Membantu atau menolong makhluk lain tidak berarti bahwa kita yang mencerahkan mereka. Pencerahan tetap harus diusahakan sendiri. Namun kita dapat membantu orang lain dengan membawakan materi-materi Dharma. Oleh karena itu, saya sangat menganjurkan sesorang berdana Dharma, yakni berupa mencetak Sutra atau buku. Bila Mahayana mengenal konsep juru selamat seperti pada agama lain, untuk apa diajarkan berbagai jenis meditasi? Bukankah cukup berpangku tangan saja. Bahkan berbagai ritual dalam tradisi Mahayana sesungguhnya adalah bentuk meditasi. Tradisi Chan (Dhyana) yang menjadi bagian Mahayana mengenal apa yang disbut meditasi Chan. Sementara itu, tradisi Tantra mengenal meditasi pada suara-suara mantra. Aliran Sukhavati bermeditasi dengan mengulang nama Buddha Amitabha. Dengan demikian, pandangan adanya juru selamat dalam Mahayana yang siap menyeberangkan kita ke nirvana merupakan sesuatu yang mengada-ada.
Tidak ditemukan diri, karena tidak ada penggerak utama dalam satu fenomena yang disebut "makhluk". Tiada substansi inti ini berarti tiada diri, alias anatta. Sampai di sini kita sudah sepakat.
Jika Anda mengatakan samsara identik dengan Nirvana, artinya Anda tidak bisa menyampingkan 2 realitas lainnya; yaitu dukkha dan anitya. Apakah hakikat sejati Nirvana juga termasuk dukkha dan anitya?
Maksud saya; kalau kita ingin merealisasi kenyang, maka kita sendiri yang harus makan. Tidak mungkin ada orang yang bisa membantu kita untuk merealisasi kenyang.
Tidak juga. :) Yesus pernah berkata, "jika seseorang menampar pipi kirimu, berikanlah pipi kananmu."
Kalimat ini juga kalimat bijak, inspiratif dan memotivasi saya. Tapi saya tidak menelannya bulat-bulat. Dan setelah saya saring dengan akal sehat, saya melihat kepincangannya sehingga saya tidak menggenggamnya sebagai pedoman hidup. Meski demikian, saya rasa kalimat itu tidak kalah bijaknya dari kalimat yang diucapkan oleh bodhisattva itu.
Saya rasa logika tidak menjadi tuan saya. Saya memakai logika dan akal sehat pun sewajarnya, hanya sebatas panduan awal. Tentunya keabsahan mereka bergantung dari tingkat intelektual, cara pandang dan pengalaman saya sebagai pribadi. Dan selama ini, logika dan akal sehat selalu memberikan jaminan yang lebih tinggi daripada perasaan dan harapan. Akal sehat dan logika mengarahkan saya untuk melihat suatu hal lebih realistis - tidak dibuai oleh imajinasi, dan tidak perlu yakin pada suatu hal dengan cara menghibur diri sendiri.
Kalau memang Anda memilah suatu hal dengan menggunakan filter yang berbeda dari saya, saya menghormati Anda. Karena saya sangat menghormati kehendak bebas orang lain.
Maka, jika memang pada saat ini Nirvana ada di sini (samsara), artinya Nirvana pun berada di dalam samsara. Sama seperti contoh kalimat pertama tadi : "Saya sudah ada di sini". Kalimat itu menyatakan bahwa saya ada di dalam area / lokasi ini.
Berangkat dari pemahaman ini, menurut saya adalah tidak tepat untuk memakai kalimat bahwa "Nirvana ada di sini". Karena sudah jelas akan membuat orang memandang bahwa Nirvana identik dengan ruang (samsara) dan saat ini kita sudah mencapai "Nirvana". Lihat saja buktinya, dari dulu banyak teman-teman yang selama ini menangkap Nirvana sebagai suatu domisili baru dalam rancah Buddhisme Mahayana.
Standarnya adalah memberi kebaikan bagi makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri. Standarnya adalah tidak merugikan makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri.
Sebatas itulah bedanya awam dengan yang tercerahkan seperti dalam jerat/jaring pada brahmajala sutta, sebesar apapun usaha (perbuatan) awam.
Siapakah manusia duniawi yang (sudah) dapat mencapai Nibanna oh guru Buddha?
Memiliki pengetahuan jalan (umum) pembebasan yang engkau ajarkan oh guru Buddha,
tetapi terlekat kepada apa yang engkau ajarkan harus dilepaskan/ditanggalkan 'tuk masuk dalam realisasi Nibanna
Sunyata (diri) dapat dilihat saat anda menanggalkan segala/semua konsep (di) diri.
Melalui pengetahuan pengalaman itu anda dapat masuk dalam pengalaman pengetahuan Nibanna.
Tetapi siapakah makhluk yang masih tercekat dapat menanggalkan jerat kebentukan duniawi keakuan ilusi diri.
(sebab) semua yang duniawi hanya bersifat spekulasi, karena kesementaraannya (anicca anatta),
bukan kenyataan keberadaan kebenaran yang sesungguhnya/yang sejati
Kekacauan dan kebingungan awam karena ikatan/cekatan diri yang palsu (atta anicca anatta).
yang di bumi (belum pernah ke bulan) menceritakan bulan, tetap saja yang diperkatakannya itu tentang bulan meskipun membilang gambaran bulan tak berkondisi bumi, adalah kondisi bumi. Tetapi yang telah menjejakan di bulan, membilang kondisi bulan memang menceritakan kenyataan keberadaan, keadaan bulan.
Apa yang dijelaskan oleh guru Buddha itu merujuk kepada personal god menurut ukuran awam. Oleh karena kebijaksanaan guru Buddha melihat kecenderungan awam kepada melekatnya awam kepada yang diukur menurut ukuran duniawi/materi/jasmani (khayal (diri) dan atau takhayul (bergantung kepada benda/makhluk duniawi (diluar diri)) karena kemelekatan/ikatan/cekatan pada atta palsu makanya diberi petunjuk hanya sebatas pada Udanna VIII.3. Meskipun demikian itupun kenyataan prakteknya (umat/awam) sekarang adalah mengarah seperti itu.
Bagaimana jika “saya sendiri”, “makhluk lain” dan “alam” sekitar pada hakikatnya adalah satu?makna yg bermanfaat ;D
Ngomong-ngomong tulisan saya ada yang bisa terima gak yah...?
ayo buat yang bisa atau mo menyelidiki/terima beri saya semangat,
klo gak... buat apa saya tulis, bikin ribut/hanya debat saja yah dan buang waktu tulis (saya) atau waktu teman-teman untuk baca dan debat tulisan saya.
saya minta komentar yah teman...!
klo gak berguna saya ga terusin deh, mo keluar, mungkin gak searus/arusnya beda. _/\_
Ngomong-ngomong tulisan saya ada yang bisa terima gak yah...?
ayo buat yang bisa atau mo menyelidiki/terima beri saya semangat,
klo gak... buat apa saya tulis, bikin ribut/hanya debat saja yah dan buang waktu tulis (saya) atau waktu teman-teman untuk baca dan debat tulisan saya.
saya minta komentar yah teman...!
klo gak berguna saya ga terusin deh, mo keluar, mungkin gak searus/arusnya beda. _/\_
Jelaskan lebih jauh pertanyaanmu sobat...
Kalau menurut saya analogi ini kurang sesuai untuk realisasi nirvana.. Kenapa? Kekenyangan hanya bisa dirasakan secara subjektf oleh suatu ego-diri yang merasa hanya dirinya yang bisa merasakan lapar. Sedangkan nirvana adalah fenomena di luar batas diri subjektif. Nirvana bukan hanya pengalaman batin ataupun fisik belaka, karena untuk merealisasinya seseorang harus melampaui batin maupun fisiknya sendiri. Jika Nirvana dirasakan hanya sama dengan rasa lapar yang berupa pengalaman subjektif, dan fisik maka merealisasinya tidak akan banyak berarti...
Sedangkan dalam hal makan,sebenarnya tidak peduli apakah ia disuap atau makan sendiri, jika makanan sudah dicerna dengan baik dan cukup jumlahnya maka ia otomatis kenyang.
Kalau gitu jelaskan, akal sehat Anda menjadi ukuran kebenaran bagi Anda… Minimal anda menafsirkannya dengan suatu cara tertentu dan makna yang Anda yakini sebagai kebenaran yang akhirnya memotivasi Anda… walaupun wujudnya sudah jauh berbeda dengan kalimat aslinya..
Coba perhatikan kata anda sendiri, “saya rasa logika tidak menjadi tuan saya.” Kata yang anda gunakan adalah “saya rasa”, dalam hal ini yang bekerja di balik “saya rasa” itu sendiri tidak lain hanya keyakinan.
Ini bukan soal filter yang berbeda belaka… Jika logika dijadikan panduan awal, maka bersiap-siaplah ia akan menjadi penuntun Anda, atau dengan kata lain siapa yang memandu ia yang akan menjadi pemipin, dan pemimpin itulah tuan bagi yang dipimpin dan yang dituntun. Daripada anda menjadikan logika dan akal sehat sebagai penuntun, bukanlkah lebih baik kita dituntun oleh Buddha Dharma, sebelum akhirnya dituntun oleh Nirvana .
Saya sudah mencoba menjelaskannya, tapi memang akal sehat sulit menerimanya… Setiap ruang dan waktu selalu ada jika dialami batin, oleh karena itu tidak ada ruang dan waktu yang berdiri sendiri… Alam yang murni hanya bisa dicapai oleh pikiran yang murni pula, “Jika pikiran murni maka alampun murni.” Dalam hal ini Nirvana adalah wilayah yang bebas dari pensekatan kaku antara dunia batin internal dan dunia alam eksternal…. Tidak mungkin Nirvana hanya merupakan suatu tempat belaka… Kalau anda masih juga belum paham soal ini ya saya tidak punya argumen lain lagi.
Bagaimana jika “saya sendiri”, “makhluk lain” dan “alam” sekitar pada hakikatnya adalah satu?
Quote from: sobat-dharmaJelaskan lebih jauh pertanyaanmu sobat...
Anda menyatakan bahwa samsara dan Nirvana adalah identik. Maka, saya yang pemahamannya masih dangkal ini bertanya kepada Anda...
Apakah hakikat Nirvana itu adalah anitya, dukkha dan anatta...?
Tidak. Jelas-jelas Nirvana tidak bisa dianalogikan dengan kekenyangan...
Sobat... Analogi yang saya berikan itu tidak perlu dibandingkan tiap seginya dengan Nirvana. Bagaimanapun juga tidak akan ada analogi yang sebanding dengan Nirvana. Analogi saya itu cukup dilihat dalam term "mencapai kenyang". Jadi maksudnya... meski saya disuapi oleh orang lain atau makan sendiri, tetap saja yang bisa membuat saya kenyang adalah dengan makan. Makan ini adalah usaha sendiri.
Sampai di sini, apakah kita sepakat dengan paradigma ini...?
maksudnya?
Saya rasa, tidak perlu saya menguraikan lebih lanjut mengenai statement dari agama lain di sini...
Bagi saya, suatu hal harus teruji oleh banyak pembuktian agar dapat saya terima. Setidaknya untuk saat ini... Anda tidak perlu mencari tahu bagaimana pola gelombang pikiran saya bekerja. Yang sedang kita bahas adalah statement yang harus dapat dipertanggungjawabkan di sepanjang zaman.
Terimakasih :)
Hehehe... Anda ini orangnya lucu juga. :)
Pertimbangan apa? Cerita dong....
Saya pakai kata "rasa", itu pun karena formalitas dalam tata berbahasa. Lagipula kata "rasa" di kalimat itu sebenarnya menunjukkan bahwa saya melewati proses menimbang, hingga akhirnya saya menyatakan statement itu.
Wah itu sih dikotomi yang dibuat oleh Theolog... logika vs iman. Ternyata di balik anda punya jiwa gembala juga :))
Hmmm... Jadi kita tidak perlu memakai akal sehat dan logika sebagai panduan awal? Lalu kita sebaiknya memakai apa? Iman...?
Anda menggunakannya sebagai panduan awal, bukan semata-mata menggunakannya... Itulah bedanya.
Lalu darimana Anda bisa berpendapat bahwa bila kita menggunakan akal sehat dan logika sebagai panduan awal, maka seterusnya kita akan menjadi budaknya...? Saya harap Anda mengeluarkan pernyataan ini dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika... :)
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Sekarang saya tambah tidak mengerti dengan konsep Nirvana...Maksud saya sebagai penuntun untuk membedakan antara praktik yang membebaskan dan tidak membebaskan. Nirvana harus menjadi tolak ukur dari semua praktik, karena bagaimanapun tujuan dari mempraktikkan Dharma adalah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian.
Saya baru tahu kalau Nirvana itu adalah penuntun. Saya baru tahu kalau Nirvana itu bukanlah the Ultimate. Saya baru tahu, hmmm... jika sekiranya kita dituntun Nirvana, lalu kita akan diarahkan ke mana lagi...?
Ya, saya tahu bagaimana sulitnya mendeskripsikan Pembebasan dengan kata-kata. Tapi saya mencium adanya aroma perbedaan konsep Pembebasan antara Aliran Mahayana dengan Aliran Theravada. Jadi saya hanya ingin menggali pemahaman yang lebih lanjut mengenai konsep ini di Mahayana...Selamat berjuang :)
Saya tidak akan berspekulasi sejauh itu. Kalimat singkat itu cukup menjadi satu kalimat kontroversial. Karenanya, saya tidak akan mengeluarkan statement seperti itu. Statement yang lebih tepat adalah, "Nirvana dapat direalisasi di kehidupan ini". Statement ini lugas, tidak spekulatif, maknanya tidak akan melebar, koridornya jelas, dan value dari Nirvana itu sendiri tetap terjaga. Seumpanya Anda mengeluarkan statement ini dari kemarin, saya tidak akan memperpanjang pembicaraan.Kenapa tidak, kalau paramita dari kehidupan lampau sudah mencukupi. Kenapa tidak? Setiap masa kehidupan adalah “kehidupan ini”, bukankah gitu? Kalaupun tidak di kehidupan ini lalu memangnya bermasalah?
Apa maksudnya bahwa "saya sendiri", "makhluk lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu?Yang membeda-bedakan adalah pikiran ego-diri , sedangkan hakikatnya mereka semuanya adalah tidak bisa dibedakan.
Dengan menyadari dan melihat anitya, dukkha dan samsara sebagaimana adanya seseorang merealisasi nirvana.
Tidak. Jelas-jelas Nirvana tidak bisa dianalogikan dengan kekenyangan...
maksudnya?
Pertimbangan apa? Cerita dong....
Wah itu sih dikotomi yang dibuat oleh Theolog... logika vs iman. Ternyata di balik anda punya jiwa gembala juga :))
Anda menggunakannya sebagai panduan awal, bukan semata-mata menggunakannya... Itulah bedanya.
Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya: Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.
Maksud saya sebagai penuntun untuk membedakan antara praktik yang membebaskan dan tidak membebaskan. Nirvana harus menjadi tolak ukur dari semua praktik, karena bagaimanapun tujuan dari mempraktikkan Dharma adalah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian.
Kenapa tidak, kalau paramita dari kehidupan lampau sudah mencukupi. Kenapa tidak? Setiap masa kehidupan adalah “kehidupan ini”, bukankah gitu? Kalaupun tidak di kehidupan ini lalu memangnya bermasalah?
Yang membeda-bedakan adalah pikiran ego-diri , sedangkan hakikatnya mereka semuanya adalah tidak bisa dibedakan.
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya: Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.
Quote from: sobat-dharmaDengan menyadari dan melihat anitya, dukkha dan samsara sebagaimana adanya seseorang merealisasi nirvana.
Lalu bagaimana dengan anatta...?
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya: Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.
Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya: Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.
Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?
Sang Jalan berada di luar logika dan akal sehat. Jika masih terikat padanya ataupun lawan darinya, berarti semakin menyimpang.
^Berkorban demi orang lain itu hal yang wajar diterima akal sehat.
^
^
klu membunuh orang lain
gimana kalau contoh nya dibalik, mengorbankan diri untuk membahagiakan orang lain?
bagaimana pendapat anda?
satu pertanyaan lagi, mengapa agama buddha begitu kelam? :whistle:
Tanggapan terpadu Tentang Mahayana
Ivan Taniputera (17 April 2009)
Melalui pengamatan saya, diskusi kali ini sudah menjurus pada perdebatan. Meskipun pihak yang menanyakan mengenai Mahayana berdalih bahwa mereka ingin mengenal Mahayana lebih jauh, tetapi pada kenyataannya malah berakhir pada perdebatan yang tidak berujung pangkal. Saya tidak berharap setiap orang menerima paham Mahayana. Setiap orang bebas menentukan apa yang mereka yakini. Menerima berbeda dengan memahami. Apa yang dimaksud memahami adalah mengerti sesuatu sebagaimana adanya, tanpa perlu memperdebatkannya. Perdebatan tanpa praktik Dharma nyata tak akan membawa kita ke mana-mana.
Oleh karena itu, tulisan saya kali ini lebih ditujukan bagi mereka yang ingin mengerti Mahayana. Semoga artikel ini bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami Mahayana dan menghindarkan salah tafsir terhadapnya. Sebelumnya, saya ingin menyatakan bahwa dalam artikel kali ini tidak ada maksud untuk mengkontraskan Mahayana dengan aliran apapun. Oleh karena itu, saya menyebutkan pandangan dalam Buddhisme yang bukan khas Mahayana sebagai "pandangan non Mahayanis." Ini tidak mengacu pada mazhab atau sekte apapun. Semoga saling pengertian antar sesama umat Buddha dapat semakin meningkat.
1.Nirvana dalam Mahayana
Nirvana dalam Mahayana bukanlah sesuatu yang statis dan seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karunanya bahkan setelah Beliau memasuki nirvana. Dalam diskusi sebelumnya ada yang mengkritik bahwa tanpa adanya pancaskandha, seperti pada "nirvana tanpa sisa," tidak mungkin ada pemancaran maitri karuna, sebagaimana halnya "nirvana bersisa." Permasalahan dalam pandangan ini adalah:
a.Seolah-olah terjadi perbedaan dan dualisme antara "nirvana bersisa" dan nirvana tanpa sisa" Padahal nirvana itu tak terpisah-pisahkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang absolut itu dapat dipisah-pisahkan?
b.Pancaskandha seolah-olah dapat memberikan pengaruh pada nirvana. Ini nampak jelas jika kita mengamati alur logika di bawah ini:
"Nirvana tanpa sisa" tak lagi memancarkan maitri karuna "karena" tak ada lagi pancaskandha.
"Nirvana bersisa" masih dapat memancarkan maitri karuna "karena" ada pancaskandha.
Dengan demikian, nampaknya nirvana dikondisikan oleh pancaskandha. Padahal nirvana itu adalah sesuatu yang tak berkondisi. Mahayana lebih konsisten dalam hal ini dengan menyatakan bahwa pemancaran maitri karuna itu "tidak bergantung" pada pancaskhandha. Karenanya, tak ada perbedaan kondisi baik pada "nirvana bersisa" atau "nirvana tanpa sisa."
2.Maitri karuna dan seluruh kualitas positif adalah sifat alami seorang Buddha
Mahayana mengajarkan suatu praktik spiritual guna menghilangkan segenap kekotoran batin, baik itu lobha, dosa, moha, kesombongan, dan lain sebagainya. Segenap varana atau kekotoran batin (baik kleshavarana atau jneyavarana) akan ditransformasi menjadi kemurnian pikiran. Kualitas cinta dan belas kasih seorang Buddha akan menjadi murni tanpa kekotoran batin. Makhluk yang belum tercerahi tidak akan dapat merealisasi maitri karuna sejati karena batinnya masih tertutupi oleh kekotoran batin. Maitri karuna sejati ini tidak akan berakhir. Akan sungguh ironis bila seorang Buddha menapaki jalan Bodhisattva, tetapi setelah berhasil mentransformasi segenap kekotoran batinnya dan merealisasi maitri karuna sejati, namun meninggalkan begitu saja semuanya setelah memasuki mahaparinirvana.
Maitri karuna akan menjadi kualitas alami seorang Buddha tanpa Beliau menginginkannya. Dengan demikian, tidak tepat apabila seseorang mengkritik paham Mahayana ini dengan menyatakan bahwa seorang Buddha yang tak memiliki "keinginan" lagi seharusnya mustahil memancarkan maitri karuna. Keinginan bukan penyebab bagi maitri karuna. Setelah pencerahan direalisasi, semua kualitas bajik secara otomatis akan menjadi sifat alaminya. Sebagai analogi, sifat alami air adalah cair. Apakah air menginginkan agar dirinya menjadi cair? Apa yang disebut dengan sendirinya adalah cair.
Orang yang belum merealisasi nirvana harus punya "keinginan" untuk mempraktikkan dana, sila, virya, kshanti, samadhi, dan prajna demi melatih dirinya. Tetapi setelah ini menjadi sifat alami kita, tidak perlu ada lagi "dorongan" atau "keinginan" untuk mempraktikkannya. Semuanya akan berjalan secara otomatis atau alami.
3.Tiga Tubuh Buddha
Mahayana mengajarkan bahwa Buddha memiliki tiga tubuh, yakni dharmakaya, samboghakaya, dan nirmanakaya. Dharmakaya sendiri merupakan sesuatu yang absolut dan tidak dilahirkan atau menjelma. Namun karena maitri karuna adalah sifat sejati seorang Buddha, terdapat nirmanakaya yang "menjelma" (ingat kata ini saya tulis dalam anda kutip) dirinya demi mengajarkan dan membantu membebaskan para makhluk dari pandangan salahnya. Ajaran ini lebih mendalam, karena sanggup menyesuaikan diri dengan dua hal; yakni keabsolutan nirvana (dalam hal ini dharmakaya) dan hakikat maitri karuna seorang Buddha (dalam wujud emanasi nirmanakaya). Kedua konsep ini dapat dicakup sekaligus oleh Mahayana, sehingga nirvana menurut Mahayana tidaklah abu-abu; melainkan sangat jelas, konsisten, dan mendalam. Mungkin ada sebagian pihak akan mengkritik bahwa tiga tubuh Buddha itu seolah-olah mengajarkan adanya tiga "pribadi" Buddha yang terpisah. Kritikan ini akan dijawab dengan fakta bahwa dalam rujukan-rujukan Pali juga terdapat mengenai nimmita Buddha (Buddha jelmaan). Pertanyaannya, di antara Buddha-Buddha jelmaan itu manakah yang benar-benar Buddha? Apakah satu Buddha dapat menjadi banyak Buddha yang terpisah? Mungkin pihak non Mahayanis akan menjawab bahwa nimitta Buddha itu berbeda dengan nirmanakaya. Tetapi jawaban ini tidak berarti apa-apa, karena tak menjawab inti pertanyaannya: "Siapakah di antara nimitta-nimitta Buddha itu yang benar-benar Buddha?" Kedua, Mahayana juga menerima absolutisme nirvana, jadi pertanyaan atau kritikan mengenai tiga "pribadi" terpisah itu tidak valid dalam hal ini, sehingga tak perlu dijawab lebih jauh. Sesuatu mungkin nampak terpisah dari sudut pandang orang yang belum tercerahi.
Lebih jauh lagi, "penjelmaan" (kita gunakan saja istilah ini agar lebih mudah dalam menjelaskannya) nirmanakaya itu berbeda dengan penjelmaan suatu makhluk yang masih diliputi avidya. Pihak non Mahayanis beranggapan bahwa tanpa adanya avidya (sebagai salah satu mata rantai (pratyasamutpada), seseorang tak perlu bertumimbal lahir lagi dalam samsara. Pandangan ini juga diterima oleh Mahayana. Tetapi bedanya, pihak non Mahayanis menganggap bahwa nirvana itu seolah-olah adalah suatu "batasan" atau "sekat" yang membatasi seorang Buddha dari samsara. Pandangan inilah yang ditolak oleh Mahayana. Dalam hal ini Mahayana konsisten dengan konsep keabsolutan nirvana. Justru karena absolut itu maka tiada lagi sekat yang dikenakan padanya. Nirvana bukanlah penjara.
Kemunculan nirmanakaya di samsara bukan disebabkan oleh keinginan (Sanskrit: trsna, Pali: tanha), melainkan ini sudah merupakan sifat alami seorang Buddha. Kita memandangnya sebagai sesuatu yang menjelma, karena masih berdiri pada perahu dualisme. Bagi Buddha tidak ada lagi yang menjelma, mati, datang, atau pergi.
4. Samsara dan Nirvana
Dari sudut pandang yang telah tercerahi (paramartha satya) tidak ada dualisme lagi. Oleh karena itu, bagi seorang Buddha nirvana tentunya identik dengan samsara. Nirvana bukanlah lawan dari samsara. Sesuatu yang absolut tak memerlukan lawan lagi bukan? Pemahaman seperti ini harus dilihat dari konteksnya yang benar. Orang yang tak memahami Mahayana akan mengajukan kritikan: "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." Ini jelas merupakan pandangan salah dan logika yang dipaksakan. Permasalahannya begini. Pribadi yang mengajukan pernyataan itu, masih menganggap bahwa nirvana dan samsara adalah dua hal yang terpisah. Jadi apa yang diungkapkannya itu tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ia tak berhak menyatakan bahwa dirinya telah merealisasi nirvana, selama masih menganggapnya sebagai sesuatu yang terpisah. Kritikan di atas mengandung kelemahan fatal. Ibaratnya seseorang mengatakan: "Kalau setiap orang boleh membeli makanan, tentunya aku yang tak memiliki uang sepeserpun juga boleh membeli makanan di sana." Orang itu lupa bahwa prasyarat untuk membeli adalah memiliki uang. Kedua, bila seseorang telah merealisasi keidentikan samsara dan nirvana, ia secara otomatis tak akan memiliki lobha, dosa, dan moha lagi. Tentu saja orang yang hanya paham bahwa nirvana identik dengan samsara secara intelektual juga tak dapat dianggap merealisasi pencerahan.
5.Juru Selamat dalam Mahayana
Banyak orang salah paham bahwa di Mahayana mengenal konsep juru selamat. Membantu atau menolong makhluk lain tidak berarti bahwa kita yang mencerahkan mereka. Pencerahan tetap harus diusahakan sendiri. Namun kita dapat membantu orang lain dengan membawakan materi-materi Dharma. Oleh karena itu, saya sangat menganjurkan sesorang berdana Dharma, yakni berupa mencetak Sutra atau buku. Bila Mahayana mengenal konsep juru selamat seperti pada agama lain, untuk apa diajarkan berbagai jenis meditasi? Bukankah cukup berpangku tangan saja. Bahkan berbagai ritual dalam tradisi Mahayana sesungguhnya adalah bentuk meditasi. Tradisi Chan (Dhyana) yang menjadi bagian Mahayana mengenal apa yang disbut meditasi Chan. Sementara itu, tradisi Tantra mengenal meditasi pada suara-suara mantra. Aliran Sukhavati bermeditasi dengan mengulang nama Buddha Amitabha. Dengan demikian, pandangan adanya juru selamat dalam Mahayana yang siap menyeberangkan kita ke nirvana merupakan sesuatu yang mengada-ada.
6.Konsep penjelmaan Buddha mirip dengan dewa-dewa yang turun ke dunia
"Penjelmaan" Buddha dalam bentuk nirmanakaya telah kita ulas di atas. Sehingga seharusnya telah menjadi jelas perbedaannya dengan para dewa dan Brahma yang turun ke dunia. Tetapi kritikan di atas dapat pula ditanggapi dengan fakta bahwa seorang Buddha yang "terpisah" dari samsara itu sebenarnya justru sangat mirip dengan konsep tirthankara dalam agama Jain. Tirthankara adalah serangkaian sosok-sosok yang telah merealisasi pencerahan menurut Jainisme dan mereka memasuki suatu kondisi yang mirip nirvana dalam Buddhisme; dimana mereka benar-benar "terpisah" dari samsara. Tidakkah konsep non Mahayanis ini juga mirip dengan konsep tirthankara dalam Jainisme? Padahal pendiri Jain, yakni Nirgrantha Nataputra (Mahavira) dianggap dianggap salah satu di antara enam guru menyimpang dalam kurun waktu kehidupan Buddha.
7.Menunda "nirvana tanpa sisa"
Dalam Mahaparinibanna Sutta disebutkan bahwa bila Ananda memohon pada Buddha, Beliau dapat hidup selama satu kalpa lagi. Buddha seolah-olah dapat hidup abadi, karena kehadiran peradaban manusia di muka bumi ini "baru" sekitar 6.000 tahun, yang belum apa-apa bila dibandingkan satu kalpa. Konsep Buddha yang dapat hidup selama satu kalpa itu juga tidak bertentangan dengan ajaran mengenai Buddha Amitabha yang mengajar di Sukhavati. Bila pihak non-Mahayanis mengkritik eksistensi Buddha Amitabha yang seolah-olah hidup abadi itu, ia juga harus mempertanyakan kesahihan konsep Buddha yang dapat hidup selama satu kalpa sebagaimana yang termaktub dalam Mahaparinibanna Sutta
8.Bodhisattva
Setiap bodhisattva berikrar untuk menjadi yang terakhir dalam memasuki nirvana. Para kritikus non-Mahayana kerap menjadikan hal ini sebagai bahan kritikan dan gurauan dengan mengatakan bahwa kelak para bodhisattva akan saling dorong-mendorong rekannya yang lain memasuki nirvana. Dengan demikian, ia dapat menjadi yang terakhir dalam memasuki nirvana. Sepintas pandangan di atas terdengar masuk akal. Tetapi setelah direnungkan dengan sesama, terdapat kesalahan fatal dalam pertanyaan itu. Pertama, suatu ikrar hendaknya tidak diambil maknanya secara harafiah. Ketika seorang pemuda mengatakan pada kekasihnya, "Hingga bumi kiamat aku tetap mencintaimu." Tentu saja ungkapan cinta pemuda itu pada kekasihnya hendaknya tidak diartikan secara harafiah. Kita tidak dapat mempertanyakan, "Bukankah sebelum bumi kiamat pemuda itu pasti sudah meninggal - ikrarnya tidak masuk akal." Pertanyaan seperti itu sungguh merupakan kebodohan, karena orang yang menanyakan tidak mengetahui apa makna suatu ikrar. Perasaan atau batin seseorang tidak dapat dihitung secara matematis. Kita tidak dapat mengukur berapa meter atau sentimeter dalamnya suatu cinta. Tak pula kita dapat menimbang berapa kilogram massa suatu cinta. Kedua, orang yang mengajukan kritikan semacam itu tidak mengetahui bagaimana konsep mengenai bodhisattva menurut Mahayana. Mustahil ada peristiwa "dorong mendorong" seperti yang diungkapkan di atas, karena pemenuhan suatu ikrar akan berjalan alami. Mustahil ada peristiwa "dorong mendorong" seperti yang dikritikan sebelumnya. Karenanya, pertanyaan atau kritikan itu dengan sendirinya menjadi tidak valid.
9.Mengapa masih banyak penderitaan di dunia ini?
Apabila para Buddha dan bodhisattva masih terus berkarya menebarkan maitri karuna, mengapa di dunia ini masih banyak penderitaan? Karena itu, tidak mungkin para Buddha dan bodhisattva masih memancarkan belas kasihnya. Pertanyaan ini memang terkesan logis, tetapi sungguh tidak tepat. Kritikan ini dapat kita balikkan dengan pertanyaan pula. Kaum non Mahayanis, tentu menerima bahwa Dharma adalah obat bagi penyakit batin umat manusia. Namun mengapa masih banyak umat Buddha yang batinnya sakit?
Kedua, Buddha dan bodhisattva hingga saat ini masih memancarkan kasihnya, hanya kita tidak menyadari atau pura-pura tak mengetahuinya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang bodhisattva dapat bermanifestasi dalam wujud apa saja (lihat Sutra Saddharmapundarika dan Karandavyuha mengenai perwujudan-perwujudan Bodhisattva Avalokitesvara demi menolong para makhluk). Florence Nightigale dengan tidak kenal lelah menolong para prajurit yang terluka di medan laga. Henry Dunant mendirikan organisasi Palang Merah demi meringankan penderitaan orang lain. Oscar Schindler pernah menyelamatkan ribuan jiwa orang Yahudi dari pembantaian oleh Nazi. Pastor Damien merelakan dirinya berkarya di tengah para penderita kusta. Pastor Maximilianus Kolbe mengorbankan dirinya demi menyelamatkan seorang Polandia yang masih mempunyai tanggungan keluarga saat hendak dibunuh oleh Nazi. Daftar para bodhisattva ini masih sangat panjang dan mustahil semuanya dituliskan di sini. Bahkan pada saat sekarang para bodhisattva masih berkarya demi misi-misi kemanusiaan, baik besar maupun kecil. Beberapa bodhisattva sanggup melakukan kebajikan besar yang masih dikenang hingga berabad-abad. Sementara itu banyak bodhisattva lainnya yang melakukan kebajikan-kebajikan kecil dan tidak dikenal orang. Namun, baik skala besar ataupun kecil semuanya adalah bodhisattva yang terus menerus berkarya hingga detik ini.
Masih banyaknya penderitaan di muka bumi ini, bukanlah kesalahan para Buddha dan bodhisattva. Malahan Anda perlu menanyakan diri Anda sendiri, apakah kontribusi Anda selaku umat Buddha untuk meringankan penderitaan Anda. Para makhluk memang keras hati dan susah dibawa menuju jalan kebenaran. Jadi banyaknya penderitaan bukanlah bukti bahwa para Buddha dan bodhisattva tidak memancarkan maitri karunanya. Bencana kelaparan masih terjadi bukan berarti FAO tidak ada gunanya. Peperangan masih terjadi bukan berarti bahwa PBB tinggal diam. Buddha dan bodhisattva bukanlah sosok yang maha kuasa. Mahayana juga mengajarkan hal ini. Kitalah yang hendaknya merubah dunia ini menjadi Sukhavati.
10. Kesimpulan
Setelah mengikuti berbagai perdebatan, diskusi, dan kritikan mengenai Mahayana yang ada di berbagai forum serta buku, justru keyakinan saya terhadap Mahayana semakin kuat dan diteguhkan. Tidak ada kritikan yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi Mahayana sebagaimana yang saya pahami. Malah sebagian besar kritikan makin memperkokoh sendi-sendi tersebut.Saya menyarankan agar para praktisi Mahayana lebih banyak memusatkan perhatian dalam mengkaji Dharma Mahayana. Para praktisi hendaknya tidak hanya memusatkan perhatian pada ritualistik atau aspek lahiriah Mahayana saja. Banyak praktisi yang beranggapan, asalkan saya sudah nianjing atau nianfo setiap hari sudahlah cukup menjadikan saya Mahayanis. Nianjing atau nianfo tanpa dipahami maknanya tidak akan menimbulkan transformasi batin.
Amiduofo,
Tan
Hmmm...
Maksud saya kalau kita ingin kenyang, maka kita yang harus makan. Kalau kita ingin bisa mengendarai sepeda, maka kita yang harus belajar bersepeda. Kalau kita ingin merealisasi Nirvana, maka kita yang harus berusaha untuk merealisasinya.
Saya ajak Anda melihat dari sisi cara mencapainya, tapi Anda selalu menolak. Sudah saya katakan, analogi itu bukan menjadi contoh sebanding dengan sendi-sendi Nirvana.
Pernahkah Anda berpikir dahulu sebelum mengambil suatu keputusan...? Nah, seperti itulah pertimbangan...Maksudku isi pertimbangannya... Bukan pertimbangan itu sendiri.
:)) Tidak ada hubungannya dengan itu, sobat...Hanya saja nada anda bertanya tentang Iman mengingatkan saya pada para gembala... Biasanya hanya para teolog yang melawankan akal sehat dengan iman :) Sori kalo membuat diskusi menjadi agak keluar dari topik
Saya minta pendapat dari Anda, sebaiknya kita menggunakan apa sebagai panduan awal...?
Jadi yang benar seperti apa...? Cerita dong...Nggak ada yang bener bro... Itulah kehidupan, nggak ada yang bisa pake satu ukuran.
Mungkin Anda salah menerapkannya...Mungkin saja... Setiap orang bisa salah
Akal sehat dan logika bukanlah yang paling vital. Tapi setidaknya kita bisa mengevaluasi banyak hal dengan menggunakannya.
Jadi maksudnya Nirvana itu adalah hasil yang seharusnya didapat dengan melaksanakan praktik Dharma...?Kalau tidak merealisasi nirvana untuk apa?
*Apakah seorang Arhat (Sravaka Buddha) sudah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian?Mana aku tahu... Aku bukan Arahat, Boddhisattva, apalagi Buddha yang Sempurna.... :) Kedengarannya nggak asing ya bro :)) Dalam diskusi soal seperti jawabanku sudah paten bro
Anda salah menangkap maksud saya...Ya...iya dong bro. Kalau saat ini tumpukan paramita dari kehidupan masa lampau sudah mencukupi, ya bisa saya merealisasi pembebasan. Tapi siapa yang tahu apakah saya saat ini saya sudah layak atau belum... jadi ya saya berusaha sekeras semangat saja.. Lalu apa bedanya?
Kehidupan ini yaitu kehidupan saat ini. Kehidupan saat kita sedang mendiskusikan Dharma ini. Kehidupan ini adalah kehidupan yang potensial bagi kita untuk merealisasi Pembebasan.
Tapi saya tahu kemungkinan kecil terlintas statement itu di benak Anda. Karena sebagai seorang Mahayanis, pikiran Anda terpola untuk perencanaan jauh di masa depan. Bukan prioritas masa kini yang bermanfaat di masa depan.Wah... prasangka ini namanya bro :))
Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah pernyataan di atas merupakan wejangan Aliran Mahayana atau paradigma pribadi Anda sendiri...?
Saya melihat ada kesamaan antara pernyataan itu dengan konsep di Hinduisme, yang menyatakan bahwa; "Atman dan Brahman dikenal sebagai dua esensi, namun pada hakikatnya adalah satu".
Kita sedang membahas tentang berbuat kebaikan untuk kesejahteraan semua pihak... Apakah bila seseorang menjadikan dirinya sebagai 'tumbal', maka orang itu telah berbuat kebaikan nan arif?Itukan perspektif anda bro...(sekali lagi koq agak mirip perspektif sang gembala ya?) Tidak ada yang jadi tumbal ataupun yang mengorbankan di sini, karena dikotomi “aku dan orang” sebagai sesuatu yang berbeda hanyalah muncul dalam pikiran yang masih tercemar. Oleh karena itu hal demikian tidak berlaku untuk Jalan Bodhisattva.
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya: Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.
Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?
Sang Jalan berada di luar logika dan akal sehat. Jika masih terikat padanya ataupun lawan darinya, berarti semakin menyimpang.
Saya setuju bahwa "kebijaksanaan sang jalan" tidak terjangkau logika dan tidak bisa dijelaskan dengan akal intelektualitas. Tetapi kalau dibilang "tidak bersesuaian", saya jadi bingung.
Sekarang andaikan ada seseorang membunuh orang lain (yang tidak salah apa-apa) dengan alasan membahagiakan orang lain, lalu tentu saja tidak bisa diterima dengan logika dan akal sehat. Lalu orang itu dengan entengnya mengatakan, "Saya melakukannya karena mengikut Sang Jalan, dan Sang Jalan memang ada di luar logika, kalian tidak akan mengerti."
Bagaimana pendapat anda?
PERUMPAMAAN TENTANG TIGA PEDATI DAN RUMAH YANG TERBAKAR (P.61, L.2 - P.63, L.21)
Dahulu kala, seorang yang kaya tinggal di sebuah desa. Kekayaannya tidak terukur. Ia memiliki banyak ladang padi, rumah, dan pelayan. Rumahnya begitu besar, akan tetapi hanya memiliki satu pintu keluar. Dalam rumah itu tinggal ratusan orang. Gedungnya telah rusak, pagar dan dindingnya telah rapuh, dasar dari tiang rumahnya telah lapuk, dan balok dan kuda-kuda atapnya bengkok dan goyah.
Tiba-tiba saja, timbul kebakaran dan segera menyebar ke seluruh penjuru rumah. Dalam rumah ini juga tinggal banyak anak dari orang kaya tersebut. Ia amat takut akan kebakaran besar ini dan berpikir, “Aku mampu keluar dari rumah yang terbakar ini dengan aman, tapi anak-anakku masih di dalam. Pikiran mereka tenggelam dalam permaianan. Mereka tidak mengetahui kalau api sedang menuju ke arah mereka. Mereka tidak takut atau khawatir. Mereka tidak mengetahui apa itu kebakaran.” “Rumah ini hanya memiliki satu pintu gerbang. Lebih parah lagi, gerbangnya kecil dan sempit. Anak-anakku terlalu kecil untuk mengetahui hal ini. Mereka terikat kepada tempat dimana mereka sedang bermain. Mereka bisa terbakar. Aku sebaiknya memberitahu mereka akan bahaya ini. Mereka harus keluar secepatnya, agar tidak mati terbakar.” “Cepatlah keluar!”, ia memperingatkan mereka dengan kata-kata yang penuh kasih, akan tetapi mereka telalu larut dalam bermain hingga tidak mendengar kata-kata ayahnya. Mereka tidak ingin keluar. Mereka berlarian dengan gembiranya. Mereka hanya melirik kepada ayahnya sesekali. “Jika mereka dan saku tidak segera keluar, kita akan terbakar. Aku harus menyelamatkan mereka dari bahaya ini dengan suatu cara upaya.”Ia berkata kepada mereka, “Mainan yang kalian inginkan ada di luar pintu pagar. Ada pedati domba, pedati rusa, dan pedati kerbau. Kalian bisa bermain-main dengannya. Cepatlah keluar dari rumah yang terbakar ini segera!”Anak-anak itu berlarian keluar segera dari rumah yang terbakar, saling dorong-mendorong satu sama lainnya karena masing-masing ingin menjadi yang pertama. Orang kaya yang melihat mereka semua telah keluar dengan selamat, menjadi lega dan menari penuh kegembiraan. Mereka berkata kepada ayahnya, “Ayah! Berikan kepada kami maianan itu! Berikan kami pedati domba, rusa, dan kerbau yang kau janjikan kepada kam!”Kemudian orang kaya tersebut memberi mereka masing-masing sebuah PEDATI SAPI PUTIH BESAR yang sama ukurannya. Pedati tersebut tinggi, lebar dan besar, dihiasi dengan berbagai harta karun, dan memiliki lonceng yang tergantung di keempat sisinya. Orang hebat ini memberikan setiap pedati tersebut kepada masing-masing anak-anaknya karena kekayaannya begitu tak terukur hingga semua toko-tokonya dipenuhi segala jenis harta karun.
Anak-anak tersebut naik ke atas pedati besar, bergembira karena mereka belum pernah naik pedati seperti ini, dan tidak pernah mengira akan menerima hadiah yang sedemikian mewahnya.
PENJELASAN:
1.Rumah yang terbakar: melambangkan bahwa dunia ini dipenuhi dengan berbagai penderitaan.
2.Anak-anak: melambangkan orang-orang yang masa bodoh yang tidak menyadari bahwa kematian mendatangi setiap orang.
3.Kebakaran: melambangkan bahwa kematian datang sama rata kepada baik kepada orang kaya, miskin, bijak, maupun bodoh.
4.Satu-satunya pintu gerbang yang sempit: melambangkan bahwa keselamatan bukanlah hal yang mudah dicapai.
5.Anak-anak yang berlarian keluar: Anda harus melakukannya sendiri. Agama adalah sebuah alam yang hanya bisa dialami sendiri.
6. Pedati domba: melambangkan kendaraan kaum shomon
Pedati rusa: melambangkan kendaraan kaum engaku
Pedati kerbau: melambangkan kendaraan kaum Bodhisattva
7. Pedati sapi besar: melambangkan kendaaran Buddha Tunggal, Saddharma Pundarika Sutra
8. Orang yang kaya: melambangkan Buddha Sâkyamuni
Perumpamaan ini menjelaskan bahwa Buddhisme adalah ajaran yang diperuntukkan bagi kita yang bisa membuat kita menghapus ketidak bahagiaan dan menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah bersuka cita membantu orang lain dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Ini adalah pelaksanaan dari Kendaraan Buddha Tunggal.
perumpamaan rumah yang terbakar dalam saddharma pundarika sutra.
dengan mengerti ini, maka anda akan mengerti Mahayana...
Logika adalah pikiran yang membatas-batasi dan memilah-milah segala sesuatu dengan aturan dan standar kebenaran tertentu.OK, ini saya setuju.
Akal sehat adalah pikiran yang sesuai dengan pendapat umum atau orang banyak
Pada dasarnya tidak semua akal sehat adalah logis, dan tidak semua akal sehat adalah logis. Tidak semua yang diterima umum adalah benar secara logis, dan tidak semua yang benar secara logis akan diterima oleh umum. Keduanya adalah hal yang berbeda.
Pertama-tama kedua hal ini harus dibedakan dulu.
Pikiran tercerahkan tidak akan mudah dipahami oleh logika, karena standar-sandar kebenaran logika tentang kebenaran hanyalah hukum baku yang hanya berdasarkan nalar pikiran sebagai uji kebenaran. Pikiran yang tercerahkan berada di luar nalar tersebut, oleh karena itu seringkali di mata logika, pikiran yang tercerahkan tampak "tidak sesuai" dengan standar-standar yang digunakan.Lagi-lagi saya setuju.
Sedangkan akal sehat yang hanya berdasarkan pendapat umum belaka, jelas-jelas hanya mencerminkan keyakinan yang dianut secara kolektif akan suatu kebenaran atau standar normalisasi. Pikiran yang tercerahkan jelas berada di luar pikiran umum tentang apa yang baik dan tidak baik. Bagi umum, hidup yang baik adalah untuk mencapai sesuatu prestasi, tapi dalam praktik Dharma kita malah diminta melepaskan segala sesuatu. Dengan demikian, bagi akal sehat pikiran tercerahkan tampak "tidak sesuai" baginya.OK, berarti bagi yang tercerahkan, membunuh dan tidak membunuh = sama saja?
Oleh karena itu dikatakan keduanya "tidak berkesesuaian" dengan praktik Dharma karena dalam kacamata keduanya, Pikiran Yang Tercerahkan tampak sangat bertentangan. Meskipun demikian, bagi yang tercerahkan keduanya hanyalah mimpi yang tak berarti
;D saya tdk berpihak pada aliran T maupun M ... xixixi... hanya dari pemikiranku saja, bro.
Tapi masih sulit sy terima kalau di katakan , bisa membenarkan membunuh seorang pembunuh untuk menghindari jatuhnya korban lain. Kita bisa menangkap dan menyerahkan kepada hukum yang berlaku di negara tersebut. Sudah ada beberapa contoh, pembunuh yang bertobat... siapa tahu dengan di hukumnya dia, maka dia bisa bertobat ? who knows...
setiap manusia mempunyai hati nurani, namun terkadang kejamnya dunia menutupi hati nurani manusia.
10. KesimpulanJustru Saya beberapa tahun nianfo dan nianjing tanpa mengerti maknanya sehingga saya lepas mahayana nih (baru tahu tahun kemaren bahwa Saya ini mahayanis :)) ) :D
Setelah mengikuti berbagai perdebatan, diskusi, dan kritikan mengenai Mahayana yang ada di berbagai forum serta buku, justru keyakinan saya terhadap Mahayana semakin kuat dan diteguhkan. Tidak ada kritikan yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi Mahayana sebagaimana yang saya pahami. Malah sebagian besar kritikan makin memperkokoh sendi-sendi tersebut.Saya menyarankan agar para praktisi Mahayana lebih banyak memusatkan perhatian dalam mengkaji Dharma Mahayana. Para praktisi hendaknya tidak hanya memusatkan perhatian pada ritualistik atau aspek lahiriah Mahayana saja. Banyak praktisi yang beranggapan, asalkan saya sudah nianjing atau nianfo setiap hari sudahlah cukup menjadikan saya Mahayanis. Nianjing atau nianfo tanpa dipahami maknanya tidak akan menimbulkan transformasi batin.
Amiduofo,
Tan
Iya jadi hampir sama konsepnya dengan Juru slamat, asal mengikuti kata2 dan percaya apa yang dikatankan juru slamat maka akan selamat :DPERUMPAMAAN TENTANG TIGA PEDATI DAN RUMAH YANG TERBAKAR (P.61, L.2 - P.63, L.21)
Dahulu kala, seorang yang kaya tinggal di sebuah desa. Kekayaannya tidak terukur. Ia memiliki banyak ladang padi, rumah, dan pelayan. Rumahnya begitu besar, akan tetapi hanya memiliki satu pintu keluar. Dalam rumah itu tinggal ratusan orang. Gedungnya telah rusak, pagar dan dindingnya telah rapuh, dasar dari tiang rumahnya telah lapuk, dan balok dan kuda-kuda atapnya bengkok dan goyah.
Tiba-tiba saja, timbul kebakaran dan segera menyebar ke seluruh penjuru rumah. Dalam rumah ini juga tinggal banyak anak dari orang kaya tersebut. Ia amat takut akan kebakaran besar ini dan berpikir, “Aku mampu keluar dari rumah yang terbakar ini dengan aman, tapi anak-anakku masih di dalam. Pikiran mereka tenggelam dalam permaianan. Mereka tidak mengetahui kalau api sedang menuju ke arah mereka. Mereka tidak takut atau khawatir. Mereka tidak mengetahui apa itu kebakaran.” “Rumah ini hanya memiliki satu pintu gerbang. Lebih parah lagi, gerbangnya kecil dan sempit. Anak-anakku terlalu kecil untuk mengetahui hal ini. Mereka terikat kepada tempat dimana mereka sedang bermain. Mereka bisa terbakar. Aku sebaiknya memberitahu mereka akan bahaya ini. Mereka harus keluar secepatnya, agar tidak mati terbakar.” “Cepatlah keluar!”, ia memperingatkan mereka dengan kata-kata yang penuh kasih, akan tetapi mereka telalu larut dalam bermain hingga tidak mendengar kata-kata ayahnya. Mereka tidak ingin keluar. Mereka berlarian dengan gembiranya. Mereka hanya melirik kepada ayahnya sesekali. “Jika mereka dan saku tidak segera keluar, kita akan terbakar. Aku harus menyelamatkan mereka dari bahaya ini dengan suatu cara upaya.”Ia berkata kepada mereka, “Mainan yang kalian inginkan ada di luar pintu pagar. Ada pedati domba, pedati rusa, dan pedati kerbau. Kalian bisa bermain-main dengannya. Cepatlah keluar dari rumah yang terbakar ini segera!”Anak-anak itu berlarian keluar segera dari rumah yang terbakar, saling dorong-mendorong satu sama lainnya karena masing-masing ingin menjadi yang pertama. Orang kaya yang melihat mereka semua telah keluar dengan selamat, menjadi lega dan menari penuh kegembiraan. Mereka berkata kepada ayahnya, “Ayah! Berikan kepada kami maianan itu! Berikan kami pedati domba, rusa, dan kerbau yang kau janjikan kepada kam!”Kemudian orang kaya tersebut memberi mereka masing-masing sebuah PEDATI SAPI PUTIH BESAR yang sama ukurannya. Pedati tersebut tinggi, lebar dan besar, dihiasi dengan berbagai harta karun, dan memiliki lonceng yang tergantung di keempat sisinya. Orang hebat ini memberikan setiap pedati tersebut kepada masing-masing anak-anaknya karena kekayaannya begitu tak terukur hingga semua toko-tokonya dipenuhi segala jenis harta karun.
Anak-anak tersebut naik ke atas pedati besar, bergembira karena mereka belum pernah naik pedati seperti ini, dan tidak pernah mengira akan menerima hadiah yang sedemikian mewahnya.
PENJELASAN:
1.Rumah yang terbakar: melambangkan bahwa dunia ini dipenuhi dengan berbagai penderitaan.
2.Anak-anak: melambangkan orang-orang yang masa bodoh yang tidak menyadari bahwa kematian mendatangi setiap orang.
3.Kebakaran: melambangkan bahwa kematian datang sama rata kepada baik kepada orang kaya, miskin, bijak, maupun bodoh.
4.Satu-satunya pintu gerbang yang sempit: melambangkan bahwa keselamatan bukanlah hal yang mudah dicapai.
5.Anak-anak yang berlarian keluar: Anda harus melakukannya sendiri. Agama adalah sebuah alam yang hanya bisa dialami sendiri.
6. Pedati domba: melambangkan kendaraan kaum shomon
Pedati rusa: melambangkan kendaraan kaum engaku
Pedati kerbau: melambangkan kendaraan kaum Bodhisattva
7. Pedati sapi besar: melambangkan kendaaran Buddha Tunggal, Saddharma Pundarika Sutra
8. Orang yang kaya: melambangkan Buddha Sâkyamuni
Perumpamaan ini menjelaskan bahwa Buddhisme adalah ajaran yang diperuntukkan bagi kita yang bisa membuat kita menghapus ketidak bahagiaan dan menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah bersuka cita membantu orang lain dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Ini adalah pelaksanaan dari Kendaraan Buddha Tunggal.
perumpamaan rumah yang terbakar dalam saddharma pundarika sutra.
dengan mengerti ini, maka anda akan mengerti Mahayana...
Kalau pencapaian nirvana diumpamakan seperti di atas, berarti anak itu bisa mencapai nirvana TANPA PENGERTIAN, alias dikibulin. Riskan sekali. Jadi hanya mengikuti suatu tata cara yang tidak dimengerti, lalu bisa selamat.
Apa benar seperti itu?
Quote10. KesimpulanJustru Saya beberapa tahun nianfo dan nianjing tanpa mengerti maknanya sehingga saya lepas mahayana nih (baru tahu tahun kemaren bahwa Saya ini mahayanis :)) ) :D
Setelah mengikuti berbagai perdebatan, diskusi, dan kritikan mengenai Mahayana yang ada di berbagai forum serta buku, justru keyakinan saya terhadap Mahayana semakin kuat dan diteguhkan. Tidak ada kritikan yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi Mahayana sebagaimana yang saya pahami. Malah sebagian besar kritikan makin memperkokoh sendi-sendi tersebut.Saya menyarankan agar para praktisi Mahayana lebih banyak memusatkan perhatian dalam mengkaji Dharma Mahayana. Para praktisi hendaknya tidak hanya memusatkan perhatian pada ritualistik atau aspek lahiriah Mahayana saja. Banyak praktisi yang beranggapan, asalkan saya sudah nianjing atau nianfo setiap hari sudahlah cukup menjadikan saya Mahayanis. Nianjing atau nianfo tanpa dipahami maknanya tidak akan menimbulkan transformasi batin.
Amiduofo,
Tan
PERUMPAMAAN TENTANG TIGA PEDATI DAN RUMAH YANG TERBAKAR (P.61, L.2 - P.63, L.21)
Dahulu kala, seorang yang kaya tinggal di sebuah desa. Kekayaannya tidak terukur. Ia memiliki banyak ladang padi, rumah, dan pelayan. Rumahnya begitu besar, akan tetapi hanya memiliki satu pintu keluar. Dalam rumah itu tinggal ratusan orang. Gedungnya telah rusak, pagar dan dindingnya telah rapuh, dasar dari tiang rumahnya telah lapuk, dan balok dan kuda-kuda atapnya bengkok dan goyah.
Tiba-tiba saja, timbul kebakaran dan segera menyebar ke seluruh penjuru rumah. Dalam rumah ini juga tinggal banyak anak dari orang kaya tersebut. Ia amat takut akan kebakaran besar ini dan berpikir, “Aku mampu keluar dari rumah yang terbakar ini dengan aman, tapi anak-anakku masih di dalam. Pikiran mereka tenggelam dalam permaianan. Mereka tidak mengetahui kalau api sedang menuju ke arah mereka. Mereka tidak takut atau khawatir. Mereka tidak mengetahui apa itu kebakaran.” “Rumah ini hanya memiliki satu pintu gerbang. Lebih parah lagi, gerbangnya kecil dan sempit. Anak-anakku terlalu kecil untuk mengetahui hal ini. Mereka terikat kepada tempat dimana mereka sedang bermain. Mereka bisa terbakar. Aku sebaiknya memberitahu mereka akan bahaya ini. Mereka harus keluar secepatnya, agar tidak mati terbakar.” “Cepatlah keluar!”, ia memperingatkan mereka dengan kata-kata yang penuh kasih, akan tetapi mereka telalu larut dalam bermain hingga tidak mendengar kata-kata ayahnya. Mereka tidak ingin keluar. Mereka berlarian dengan gembiranya. Mereka hanya melirik kepada ayahnya sesekali. “Jika mereka dan saku tidak segera keluar, kita akan terbakar. Aku harus menyelamatkan mereka dari bahaya ini dengan suatu cara upaya.”Ia berkata kepada mereka, “Mainan yang kalian inginkan ada di luar pintu pagar. Ada pedati domba, pedati rusa, dan pedati kerbau. Kalian bisa bermain-main dengannya. Cepatlah keluar dari rumah yang terbakar ini segera!”Anak-anak itu berlarian keluar segera dari rumah yang terbakar, saling dorong-mendorong satu sama lainnya karena masing-masing ingin menjadi yang pertama. Orang kaya yang melihat mereka semua telah keluar dengan selamat, menjadi lega dan menari penuh kegembiraan. Mereka berkata kepada ayahnya, “Ayah! Berikan kepada kami maianan itu! Berikan kami pedati domba, rusa, dan kerbau yang kau janjikan kepada kam!”Kemudian orang kaya tersebut memberi mereka masing-masing sebuah PEDATI SAPI PUTIH BESAR yang sama ukurannya. Pedati tersebut tinggi, lebar dan besar, dihiasi dengan berbagai harta karun, dan memiliki lonceng yang tergantung di keempat sisinya. Orang hebat ini memberikan setiap pedati tersebut kepada masing-masing anak-anaknya karena kekayaannya begitu tak terukur hingga semua toko-tokonya dipenuhi segala jenis harta karun.
Anak-anak tersebut naik ke atas pedati besar, bergembira karena mereka belum pernah naik pedati seperti ini, dan tidak pernah mengira akan menerima hadiah yang sedemikian mewahnya.
PENJELASAN:
1.Rumah yang terbakar: melambangkan bahwa dunia ini dipenuhi dengan berbagai penderitaan.
2.Anak-anak: melambangkan orang-orang yang masa bodoh yang tidak menyadari bahwa kematian mendatangi setiap orang.
3.Kebakaran: melambangkan bahwa kematian datang sama rata kepada baik kepada orang kaya, miskin, bijak, maupun bodoh.
4.Satu-satunya pintu gerbang yang sempit: melambangkan bahwa keselamatan bukanlah hal yang mudah dicapai.
5.Anak-anak yang berlarian keluar: Anda harus melakukannya sendiri. Agama adalah sebuah alam yang hanya bisa dialami sendiri.
6. Pedati domba: melambangkan kendaraan kaum shomon
Pedati rusa: melambangkan kendaraan kaum engaku
Pedati kerbau: melambangkan kendaraan kaum Bodhisattva
7. Pedati sapi besar: melambangkan kendaaran Buddha Tunggal, Saddharma Pundarika Sutra
8. Orang yang kaya: melambangkan Buddha Sâkyamuni
Perumpamaan ini menjelaskan bahwa Buddhisme adalah ajaran yang diperuntukkan bagi kita yang bisa membuat kita menghapus ketidak bahagiaan dan menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah bersuka cita membantu orang lain dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Ini adalah pelaksanaan dari Kendaraan Buddha Tunggal.
perumpamaan rumah yang terbakar dalam saddharma pundarika sutra.
dengan mengerti ini, maka anda akan mengerti Mahayana...
Kalau pencapaian nirvana diumpamakan seperti di atas, berarti anak itu bisa mencapai nirvana TANPA PENGERTIAN, alias dikibulin. Riskan sekali. Jadi hanya mengikuti suatu tata cara yang tidak dimengerti, lalu bisa selamat.
Apa benar seperti itu?
Quote10. KesimpulanJustru Saya beberapa tahun nianfo dan nianjing tanpa mengerti maknanya sehingga saya lepas mahayana nih (baru tahu tahun kemaren bahwa Saya ini mahayanis :)) ) :D
Setelah mengikuti berbagai perdebatan, diskusi, dan kritikan mengenai Mahayana yang ada di berbagai forum serta buku, justru keyakinan saya terhadap Mahayana semakin kuat dan diteguhkan. Tidak ada kritikan yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi Mahayana sebagaimana yang saya pahami. Malah sebagian besar kritikan makin memperkokoh sendi-sendi tersebut.Saya menyarankan agar para praktisi Mahayana lebih banyak memusatkan perhatian dalam mengkaji Dharma Mahayana. Para praktisi hendaknya tidak hanya memusatkan perhatian pada ritualistik atau aspek lahiriah Mahayana saja. Banyak praktisi yang beranggapan, asalkan saya sudah nianjing atau nianfo setiap hari sudahlah cukup menjadikan saya Mahayanis. Nianjing atau nianfo tanpa dipahami maknanya tidak akan menimbulkan transformasi batin.
Amiduofo,
Tan
koq seperti aku melihat
orang yang beralih agama
dari buddha ke kri****
trus menjelek-jelek an agama asal-nya
^Apa ada nada kebencian dalam post saya?
^
^
semoga tidak menimbulkan kebencian setelah pindah aliran
trus menjelek-jelekan aliran sebelum-nya
berarti kalau gitu, sudah mencapai kemajuan yang cukup berarti :P
Dari awal saya juga sudah mengatakan bahwa jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.” Tapi anda tidak paham juga... jadinya saya berkata bahwa diri itu pada hakikatnya adalah pancakandha, maka mengandalkannya tidak akan membantu seseorang merealisasi nirvana.
Lantas anda mengatakan kalau saya menyelewengkan maksud yang kamu katakan dengan bersikeras dengan analogi makan dan kenyang ini. Saya lalu menolak bahwa analogi tersebut tidak tepat untuk Nirvana. Penolakan saya jelas maksudnya, karena bagaimanapun yang saya maksudkan dari awal adalah bahwa nirvana adalah pelepasan dan penyadaran akan diri sebagai sesuatu yang kekal. Sedangkan kenyang berkaitan dengan sensai subjektif aku. So..?
Maksudku isi pertimbangannya... Bukan pertimbangan itu sendiri.
Hanya saja nada anda bertanya tentang Iman mengingatkan saya pada para gembala... Biasanya hanya para teolog yang melawankan akal sehat dengan iman Sori kalo membuat diskusi menjadi agak keluar dari topik
Kalau panduan awal bukan kah sudah kujawab, kalau untuk urusan realisasi nirvana tentunya Buddha Dharma panduannya. Kalau berdagang, tentu panduannya untung dan rugi, kalau berdebat tentu panduannya retorika, kalau berteman tentu panduannya perasaan dan kasih sayang, kalau sedang melukis panduannya estetika dll. Nggak ada panduan yang seragam bro. Apalagi satu panduang untuk segalanya... Jika ada yang meyakini adanya satu panduan untuk segalanya, wah serem bro...
Nggak ada yang bener bro... Itulah kehidupan, nggak ada yang bisa pake satu ukuran.
Kalau tidak merealisasi nirvana untuk apa?
Mana aku tahu... Aku bukan Arahat, Boddhisattva, apalagi Buddha yang Sempurna.... :) Kedengarannya nggak asing ya bro :)) Dalam diskusi soal seperti jawabanku sudah paten bro
Ya...iya dong bro. Kalau saat ini tumpukan paramita dari kehidupan masa lampau sudah mencukupi, ya bisa saya merealisasi pembebasan. Tapi siapa yang tahu apakah saya saat ini saya sudah layak atau belum... jadi ya saya berusaha sekeras semangat saja.. Lalu apa bedanya?
Wah... prasangka ini namanya bro :))
Wah bro saya nggak ingat lagi, yang mana asli yang mana tidak.... Tapi kelanjutannya adalah hakikat semua makhluk hidup adalah Buddha di dalam dirinya. Terserah deh, kalau mau disebut sebagai pengaruh Hindu atau apapun itu... Saat ini saya sedang tidak berminat mendiskusikan hal seperti itu.
Itukan perspektif anda bro...(sekali lagi koq agak mirip perspektif sang gembala ya?) Tidak ada yang jadi tumbal ataupun yang mengorbankan di sini, karena dikotomi “aku dan orang” sebagai sesuatu yang berbeda hanyalah muncul dalam pikiran yang masih tercemar. Oleh karena itu hal demikian tidak berlaku untuk Jalan Bodhisattva.
tidak, tapi berusaha menyadarkan mereka.
jika kita membiarkan orang itu, tanpa berusaha untuk menyadarkan mereka
maka mereka akan mati terbakar.
saya bisa saja langsung lari keluar menuju pintu yang sempit itu (jelas tahu, kan, siapa yang bisa berbuat demikian :P)
Meski Anda membawa arah pembicaraan sampai mengenai sifat kebuddhaan di setiap makhluk, tetap saja Anda belum bisa mengingkari pernyataan saya dahulu; "bahwa merugikan diri sendiri, meski untuk menolong orang lain, adalah kurang bijaksana".
Apakah Anda tega melukai seorang Buddha untuk menolong Buddha yang lain...? ;D
Iya jadi hampir sama konsepnya dengan Juru slamat, asal mengikuti kata2 dan percaya apa yang dikatankan juru slamat maka akan selamat :DYa, seperti anak kecil ujian matematika, dapat SMS ajaib dari "luar", ga pakai jalan, langsung isi hasil akhir yang betul semua lalu naik kelas.
^Kalo ama Pedangnya Muramasa, lebih tajam mana? ;D
^
makin tajam saja... setajam silet...
Lalu ada yang bikin penasaran dalam perumpamaan ini. Dikatakan bahwa konsep Mahayana berbeda dengan Hinayana di mana Mahayana tidak akan mencapai nirvana sebelum semua mahluk selamat. Dalam perumpamaan itu, kok sudah ada yang di luar rumah? Apakah yang pertama kali keluar memberi petunjuk itu seorang Hinayana?
Apakah yang pertama kali keluar memberi petunjuk itu seorang Hinayana? << yang pertama keluar itu emang seorang hinayana, tapi apakah seorang hinayana yang setelah keluar dari pintu tersebut akan masuk kembali untuk mengingatkan anak2 yang sedang asik ato lengah dengan kesenangan dunia?Nah, semakin menarik. Jadi antara Samsara dan Nirvana, bisa keluar masuk dengan bebas.
saya rasa tidak,...
seorang hinayana, akan melihat rumah itu terbakar dengan anak2 didalam-nya...
kalau untuk menyadarkan anak2 yang sedang asik ato lengah, kita mengalihkan perhatian anak itu dengan cara yang modern, tidak kaku ato kuno...Kalau memang begitu hebatnya (bisa bolak-balik Nirvana-Samsara) dan begitu "tajam"-nya metta-karuna Mahayana, sekarang ini kok ga ada Buddha di "rumah terbakar" yah? Atau bolak-balik Sang Mahayana ini anter jemput orang-orang dari Samsara-Nirvana perlu waktu (seperti mikrolet gitu, tunggu 1 rit, baru ada lagi) atau gimana?
bukan nya menyadarkan anak2 yg sedang asik dengan kotbah yang aneh2, seperti bla bla bla, orang itu tidak akan mengerti.
seorang hinayana, lebih mengarah ke sepritual, tapi melupakan ada tugas sosial.
apakah metta dan karuna seorang hinayana sudah tumpul kah?
Lalu ada yang bikin penasaran dalam perumpamaan ini. Dikatakan bahwa konsep Mahayana berbeda dengan Hinayana di mana Mahayana tidak akan mencapai nirvana sebelum semua mahluk selamat. Dalam perumpamaan itu, kok sudah ada yang di luar rumah? Apakah yang pertama kali keluar memberi petunjuk itu seorang Hinayana?
Apakah yang pertama kali keluar memberi petunjuk itu seorang Hinayana? << yang pertama keluar itu emang seorang hinayana, tapi apakah seorang hinayana yang setelah keluar dari pintu tersebut akan masuk kembali untuk mengingatkan anak2 yang sedang asik ato lengah dengan kesenangan dunia?
saya rasa tidak,...
seorang hinayana, akan melihat rumah itu terbakar dengan anak2 didalam-nya...
kalau untuk menyadarkan anak2 yang sedang asik ato lengah, kita mengalihkan perhatian anak itu dengan cara yang modern, tidak kaku ato kuno...
bukan nya menyadarkan anak2 yg sedang asik dengan kotbah yang aneh2, seperti bla bla bla, orang itu tidak akan mengerti.
seorang hinayana, lebih mengarah ke sepritual, tapi melupakan ada tugas sosial.
apakah metta dan karuna seorang hinayana sudah tumpul kah?
^
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
Jadi teringat contoh kecil: pada saat naik pesawat, pramugari selalu memberikan petunjuk yang rutin di lakukan untuk penyelamatan. Nah apakah yang biasa naik pesawat, ingat pada saat pramugari memberikan pengarahan tali oksigen yang jika pesawat terjadi kekurangan oksigen maka tali oksigen akan turun secara otomatis, tarik talinya dan bernafaslah secara normal, kemudian Kepada orang tua yang membawa anak, harap memakai dahulu tali oksigen tsb. kemudian memakaikan kepada anaknya.
Namanya bukan tali oksigen yah, lupa namanya. Tp yah gt maksudne :P
Jadi teringat contoh kecil: pada saat naik pesawat, pramugari selalu memberikan petunjuk yang rutin di lakukan untuk penyelamatan. Nah apakah yang biasa naik pesawat, ingat pada saat pramugari memberikan pengarahan tali oksigen yang jika pesawat terjadi kekurangan oksigen maka tali oksigen akan turun secara otomatis, tarik talinya dan bernafaslah secara normal, kemudian Kepada orang tua yang membawa anak, harap memakai dahulu tali oksigen tsb. kemudian memakaikan kepada anaknya.
Namanya bukan tali oksigen yah, lupa namanya. Tp yah gt maksudne :P
Yang bikin petunjuk itu pasti "terkontaminasi" Hinayana. ;D
hanya bingung saja, koq jadi in-konsisten?Bukan ga "bole" lho, tapi ga "bisa".
sebentar bilang ga bole tolong, sebentar bilang mo tolong
koq jadi setengah-tengah?
kalau sudah terkontaminasi hinayana, yg tuir2 pasti akan pasang selang oksigen trus lari keluar secepat mungkin.
trus yang masi kecil, anak2 dibiarkan begitu saja.... :P
kalau hinayana, mo menolong orang, syaratnya kan di harus mencapai nirvana dulu
eh, kalau sudah capai nirvana, emang masi boleh menolong orang lain, tidak bole kale...
^
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
^baca di sini :
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
- Bukankah misi Buddha Sakyamuni untuk menyelamatkan mahluk hidup telah gagal?
Metta,
^
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
OK. :) Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
Mengenai analogi itu, sudah berkali-kali saya katakan bahwa contoh itu hanya berjalan di koridor "cara pencapaian". Jadi Anda tidak perlu mencari-cari ketidakselarasan analogi itu dengan hakikat Nirvana. Kalau Anda menganggap analogi saya itu sungguh amat sangat tidak tepat sekali, silakan Anda kemukakan analogi yang paling tepat untuk mendekripsikan perealisasian Nirvana.
Saya menganalisa sesuatu dengan tingkat intelejensial, pengalaman dan cara pandang saya. Setelah itu, saya akan mencoba membuktikannya. Jadi saya tidak akan menelan doktrin bulat-bulat, untuk kelak kemudian baru saya buktikan. Saya percaya pada apa yang sudah terbukti kebenarannya, dan berusaha untuk mencari fakta dari sesuatu yang belum terbukti kebenarannya.
Menurut Anda sendiri, akal sehat dan logika tidak perlu menjadi panduan awal bukan?
Kalau begitu apakah Anda mau minum Baygon, untuk membuktikan bahwa Baygon itu bisa membunuh kita atau tidak?
Kalau panduan awal untuk menerima Buddha-Dharma apa...? Imin...? ;D
Hmmm... Begitu yah, bro. Buddha-Dharma juga tidak benar dong...?
Anda mengatakan bahwa akal sehat dan logika tidak bisa dipercaya sebagai panduang awal. Pun Anda mengatakan bahwa dalam mengkaji sesuatu, kita harus memakai berbagai variasi ukuran sebagai bahan perhitungan. Jadi ketika bertemu suatu hal yang kompleks, untuk menganalisanya kita harus mencampur-adukkan ukuran-ukuran itu yah...?
Jadi menurut Anda, Nirvana adalah hasil...?
:) Kedengarannya klise, bro...
Tapi yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.
Bedanya...
- Konsep di Aliran Theravada, seseorang bisa merealisasi Nibbana (Pembebasan Mutlak) di kehidupan kali ini juga - meskipun 'hanya' sebagai Savaka Buddha.
- Konsep di Aliran Mahayana, seseorang baru bisa merealisasi Nirvana (Pembebasan Mutlak) di kehidupan ini - yakni ketika menjadi Samyaksambuddha.
Berhubung Buddha Sasana masih eksis sampai detik ini, saya punya kabar buruk bagi Anda...
"Anda belum bisa merealisasi Nirvana, karena Anda tidak mungkin menjadi Samyaksambuddha di kehidupan ini."
Saya berprasangka demikian pun karena saya menanggapi prasangka dari Umat Mahayanis kepada Umat Theravadin...
Umat Mahayanis berprasangka bahwa :
- Umat Mahayanis mengutamakan semua makhluk
- Umat Theravadin lebih mengutamakan diri sendiri
Saya rasa Anda tahu bagaimana wujud aplikasi Umat Mahayanis yang dikatakan mengutamakan semua makhluk itu. Yaitu dengan bertekad untuk menolong semua makhluk terlepas dari penderitaan, baru kemudian turut memasuki Mahaparinirvana. Berangkat dari prasangka inilah maka saya berprasangka bahwa konsep Aliran Mahayana adalah membentuk pola pikir untuk perencanaan di masa depan. Masa kini hanya dijadikan batu loncatan semata, bukan prioritas awal.
Di postingan sebelumnya Anda mengatakan bahwa "diri sendiri", "orang lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu. Pada postingan di atas, Anda menyatakan bahwa hakikat semua makhluk hidup adalah Buddha di dalam dirinya. Lalu di mana "alam sekitar" gerangan...?
Meski Anda membawa arah pembicaraan sampai mengenai sifat kebuddhaan di setiap makhluk, tetap saja Anda belum bisa mengingkari pernyataan saya dahulu; "bahwa merugikan diri sendiri, meski untuk menolong orang lain, adalah kurang bijaksana".Kalau pikiran untung dan rugi ditiadakan, maka kebingungan demikian seharusnya tidak ada.
Apakah Anda tega melukai seorang Buddha untuk menolong Buddha yang lain...? ;D
Saya paham mengenai konsep Mahayana yang memegang doktrin anatta. Maksud saya, yang disebut sebagai "aku" (diri sendiri) adalah Bodhisattva yang bersangkutan. Dan yang disebut sebagai "dia" / "mereka" (orang lain) adalah makhluk lain yang ditolong oleh Bodhisattva. Bukankah seorang Bodhisattva rela mengorbankan nyawanya sendiri (baca : tumbal) untuk menolong semua makhluk...?
[at] hinayana
katanya bisa menolong orang setelah nibbana?
bukan nya setelah nibbana tidak bole bergesekan lagi dengan dunia luar?
gimana setelah nibbana menolong mahluk hidup yang lain ya?
apa di alam nibbana tar dia pancarkan signalnya (bip bip bip, satelit kale ya?)
ato bisa jadi signalnya terlalu jauh, sehingga tidak bisa diterima oleh makhluk dibumi
ato jangan signal yang dipancarkan di angkasa luar itu yang selama ini kita kira-in mahluk ET ato mahluk planet lain,
jangan2 itu signal dari alam nibbana lagi?
hehehe....
jangan dijelasin pake bahasa planet ya, aye tidak mengerti bahasa planet, aye hanya mengerti bahasa manusia
karena aye masi diselubungi ama LBM...
jelasin pake kata2 yang mudah dicerna ya, biar B.A.B. nya lancar.... :P
I am a free thinker with a compassion heart... ^-^
^
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
savaka hinayana (kalau boleh dikatakan hinayana) menolong dalam artian memang hanya menunjukkan jalan (memberikan ajaran ataupun penjelasan ataupun instruksi) tetapi tetap yang menjalankan adalah individu itu sendiri. Jika individu itu sendiri tidak mau mempraktekkan sendiri ajaran/instruksi/penjelasan, maka mustahil akan mengalami pembebasan. Tetapi para savaka sendiri juga hanya bisa menjalankan "tugas"-nya itu sepanjang masih ada "sisa" alias masih hidup. Mengapa ? Karena begitu sudah parinibbana (merealisasikan nibbana tanpa sisa), maka tiada lagi kelahiran buat para savaka tersebut.
Dari awal saja, seorang sammasambuddha dalam tradisi T (hinayana dimasukkan juga boleh), juga hanya sebagai penunjuk jalan, guru manusia dan para dewa. Tidak ada yang bisa men-suci-kan diri kecuali diri sendiri. dan ini benar benar KONSISTEN. Buddha Gotama (sammasambuddha) setelah mencapai annutara sammasambuddha, membabarkan ajaran pembebasan yang sudah ditempuhi, supaya para makhluk dapat mengambil jalan yang sama untuk merealisasikan pembebasan masing-masing. JALAN SUDAH DITUNJUKKAN, MASING-MASING MAKHLUK-LAH YANG KEMUDIAN MENJALANI-NYA MASING-MASING.
---
Nih kasih cerita koan Zen...
Seorang umat bertanya kepada guru zen.
Umat : Bisakah anda membantu saya memahami arti Zen ?
Guru : Aku sangat ingin membantu, tapi sekarang aku harus buang air kecil dulu.
Guru beranjak dari tempat duduknya dan mendekati umat tersebut kemudian berkata dengan suara lirih.
Guru : Coba pikirkan, bahkan untuk hal sepele seperti ini aku harus melakukannya sendiri. Boleh tanya, bisakah kamu melakukannya untukku
Catatan
Untuk memahami masalah hidup dan mati, seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri. Orang lain tidak bisa melakukannya untukmu. Hanya Mengandalkan penjelasan dari orang lain adalah seperti burung kakak tua belajar bicara. Ia mengatakan apa yang diajarkan tapi tidak tahu arti dari kata kata tersebut.
OK. :) Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
Mengenai analogi itu, sudah berkali-kali saya katakan bahwa contoh itu hanya berjalan di koridor "cara pencapaian". Jadi Anda tidak perlu mencari-cari ketidakselarasan analogi itu dengan hakikat Nirvana. Kalau Anda menganggap analogi saya itu sungguh amat sangat tidak tepat sekali, silakan Anda kemukakan analogi yang paling tepat untuk mendekripsikan perealisasian Nirvana.
Jawaban saya soal ini sederhana, kuulangi lagi: Jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.”
Pada titik di mana "tidak ada yang ditolong dan tidak ada yang menolong" tidak ada yang namanya pribadi lagi. Analogi hanya "diri" yang bisa merealisasi nirvana adalah kesesatan yang muncul dari pikiran tercemar. Karen apada mulanya diri itu tiada, maka tidak ada yang merealisasi nirvana.
Saya rasa, dalam hal ini sebenarnya jelas maksud saya.
Kalau saya menolak analogi makan dan kenyang. Pada dasarnya hanya sebagian yang kutolak. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada bedanya antara makan sendir atau disuap, bagaimana pun orang tersebut akan kenyang. Namun kalau anda menyamakan arti rasa kenyang dengan pengalaman nirvana, dalam pemaknaan bahwa diri yang bisa merasakannya atau merealisasikannya, maka analogimu memasuki bagian yang sesat. Karena dalam nirvana tidak ada diri yang mengalami, sedangkan dalam kenyang terdapat diri yang merasakan. Jika memang hanya dalam "koridor cara pencapaian", maka analogi ini hanya sesuai dengan bagaimana "cara ia makan": makan sendiri atau disuap, bukan "bagaimana dia merasakan kenyang."
^
^
^
savaka hinayana bisa menolong
koq perasaan, hinayana jadi setengah mahayana ya?
or it's just my feeling?
dengan cara apa ditolong dengan cara kontek2 dengan nya handy talkie ato bisikan dalam mimpi? koq jd mirip2 boddhisattva ya :-?
jgn2 campur2 nech, ga bole dicampur2
loe kira nasi campur... hehehe...
savaka hinayana (kalau boleh dikatakan hinayana) menolong dalam artian memang hanya menunjukkan jalan (memberikan ajaran ataupun penjelasan ataupun instruksi) tetapi tetap yang menjalankan adalah individu itu sendiri. Jika individu itu sendiri tidak mau mempraktekkan sendiri ajaran/instruksi/penjelasan, maka mustahil akan mengalami pembebasan. Tetapi para savaka sendiri juga hanya bisa menjalankan "tugas"-nya itu sepanjang masih ada "sisa" alias masih hidup. Mengapa ? Karena begitu sudah parinibbana (merealisasikan nibbana tanpa sisa), maka tiada lagi kelahiran buat para savaka tersebut.
Dari awal saja, seorang sammasambuddha dalam tradisi T (hinayana dimasukkan juga boleh), juga hanya sebagai penunjuk jalan, guru manusia dan para dewa. Tidak ada yang bisa men-suci-kan diri kecuali diri sendiri. dan ini benar benar KONSISTEN. Buddha Gotama (sammasambuddha) setelah mencapai annutara sammasambuddha, membabarkan ajaran pembebasan yang sudah ditempuhi, supaya para makhluk dapat mengambil jalan yang sama untuk merealisasikan pembebasan masing-masing. JALAN SUDAH DITUNJUKKAN, MASING-MASING MAKHLUK-LAH YANG KEMUDIAN MENJALANI-NYA MASING-MASING.
---
Nih kasih cerita koan Zen...
Seorang umat bertanya kepada guru zen.
Umat : Bisakah anda membantu saya memahami arti Zen ?
Guru : Aku sangat ingin membantu, tapi sekarang aku harus buang air kecil dulu.
Guru beranjak dari tempat duduknya dan mendekati umat tersebut kemudian berkata dengan suara lirih.
Guru : Coba pikirkan, bahkan untuk hal sepele seperti ini aku harus melakukannya sendiri. Boleh tanya, bisakah kamu melakukannya untukku
Catatan
Untuk memahami masalah hidup dan mati, seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri. Orang lain tidak bisa melakukannya untukmu. Hanya Mengandalkan penjelasan dari orang lain adalah seperti burung kakak tua belajar bicara. Ia mengatakan apa yang diajarkan tapi tidak tahu arti dari kata kata tersebut.
zen itu bukan nya masih dalam ruang lingkup mahayana?
ato jgn2 hinayana sudah mengakui zen???
savaka hinayana (kalau boleh dikatakan hinayana) menolong dalam artian memang hanya menunjukkan jalan (memberikan ajaran ataupun penjelasan ataupun instruksi) tetapi tetap yang menjalankan adalah individu itu sendiri. Jika individu itu sendiri tidak mau mempraktekkan sendiri ajaran/instruksi/penjelasan, maka mustahil akan mengalami pembebasan. Tetapi para savaka sendiri juga hanya bisa menjalankan "tugas"-nya itu sepanjang masih ada "sisa" alias masih hidup. Mengapa ? Karena begitu sudah parinibbana (merealisasikan nibbana tanpa sisa), maka tiada lagi kelahiran buat para savaka tersebut.
^
^
^
koq belum saya liat tuh, emang dari aliran hinayana belum ada yang capai nibbana ya?
ato memang sudah ada capai nibbana, tapi diem2 saja??? ^-^
hehehe...
koq jd mirip2 samma sambuddha ya?
klu kayak gitu, banyak donk buddha2 bermunculan? buddha maitreya bukan buddha selanjutnya donk
buddha entah hitungan keberapa gitu?
maafkan aku yang banyak bertanya ini... hehehe...
semakin aku banyak bertanya
semakin aku banyak tidak tahu
jadi lebih baik, jangan banyak tanya kale ye,,, hehehe...
jd pusink kan loe, sama aye juga pusink...
bek to work dulu
Jawaban saya soal ini sederhana, kuulangi lagi: Jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.”
Pada titik di mana "tidak ada yang ditolong dan tidak ada yang menolong" tidak ada yang namanya pribadi lagi. Analogi hanya "diri" yang bisa merealisasi nirvana adalah kesesatan yang muncul dari pikiran tercemar. Karen apada mulanya diri itu tiada, maka tidak ada yang merealisasi nirvana.
Saya rasa, dalam hal ini sebenarnya jelas maksud saya.
Kalau saya menolak analogi makan dan kenyang. Pada dasarnya hanya sebagian yang kutolak. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada bedanya antara makan sendir atau disuap, bagaimana pun orang tersebut akan kenyang. Namun kalau anda menyamakan arti rasa kenyang dengan pengalaman nirvana, dalam pemaknaan bahwa diri yang bisa merasakannya atau merealisasikannya, maka analogimu memasuki bagian yang sesat. Karena dalam nirvana tidak ada diri yang mengalami, sedangkan dalam kenyang terdapat diri yang merasakan. Jika memang hanya dalam "koridor cara pencapaian", maka analogi ini hanya sesuai dengan bagaimana "cara ia makan": makan sendiri atau disuap, bukan "bagaimana dia merasakan kenyang."
Saya sudah bilang ada kalanya logika dan akal sehat bisa dijadikan panduan awal, ada kalanya tidak. Dalam hal realisasi nirvana, logika dan akal sehat tidak banyak membantu, malahan lebih sering menghalangi. Justru tekad dan semangat positif Bodhisattva yang dapat membantu seseorang merealisasi nirvana. Simpel dan sederhana maksud saya.
Kesadaran akan hidup itu tidak memuaskan, ketidakkekalan penderitaan dan kebahagiaan.
Maksud saya tidak ada yang paling benar; atawa tidak ada satu ukuran untuk segala hal
Tidak. Tidak ada yang bisa menghasilkan nirvana, yang bisa hanya menyadarinya.
Anda kan sudah dengar dari sekian banya diskusi yang ada di forum ini. Saya rasa padangan ini dari segi aliran Mahayana sudah banyak jawaban. Saya sendiri berpendirian dari awal diskusi tidak akan membahas tentang hal ini.
Yang penting kedua-duanya mengatakan manusia akhirnya bisa merealisasikan Nirvana bukan
It's okay. Saya tidak buru-buru koq.
Saya tidak berprasangka demikian terhadap seluruh umat Theravadin. Di dalam Theravada pun diajarkan tentang meditasi dengan objek Metta yang memancarkan metta pada seluruh makhluk hidup. Di dalamnya ada kata-kata "semoga semua makhluk terlepas dari mara bahaya, bebas dari penderitaan fisik dan mental, dan berbahagia-sejahtera." Kalau kata-kata ini dinalar kan memang tidak mungkin harapan ini akan langsung terlaksana. Tapi toh, di dalam Therava meditasi demikian dilakukan juga. Masalahnya adalah ada sebagian kecil Theravadin yang terlalu logis dan menakar semuanya dengan akal melulu.... Ini dilakukan atas nama beberapa individu belaka, bukan seluruh Theravadin
Tapi sungguh aneh kan prasangka di balas dengan prasangka?
Alam sekitar (objek) ada karena subjek ada. Subjek ada karena alam sekitar (objek) ada. Jadi alam sekitar adalah "alam" sebagaimana subjek meng-"alam"-i
Kalau pikiran untung dan rugi ditiadakan, maka kebingungan demikian seharusnya tidak ada.
Ini beda bro, dengan orang yang mengorbankan dirinya untuk orang lain. Mengorbankan "diri" adalah wujud dari pelepasan dari konsep diri dalam bentuk tindakan nyata. Kalau mengorbankan yang lain untuk menolong yang lain, bagaimanapun itu yang dikorbankan adalah orang lain.
Pengorbanan diri adalah bentuk praktik dana paramita, yang berarti seseorang melepaskan keterikatannya dengan ego dan segala hal yang mencerminkan kepentingan ego. Berdana di sini bukan hanya melepaskan harta benda dan kehidupan duniawi untuk menjalani kehidupan suci, tapi juga menyiapkan diri untuk melepaskan semuanya yang berkaiatan dengan ego, termasuk "diri" itu sendiri dan pancaskandha. Seorang calon Boddhisattva dikondisikan untuk rela melepaskan tubuh, pikiran, perasaan dan segala hal yang berkaitan dengan ego sebagai bagian proses pemurnian. Dalam hal ini cita-cita untuk mencapai nirvana dapat juga terancam menjadi tujuan ambisius untuk kepentingan pribadi belaka yang akhirnya justru menghambat realisasi nirvana, jika tidak dimurnikan dengan semangat dan tekad untuk pelepasan (dana paramita) terlebih dahulu. Ikrar seorang Bodhisattva adalah bagian dari komitmen untuk melepaskan tujuan pencapaian nirbana semata-mata untuk tujuan egosentrik, yang berarti dengan ikrar ini seorang calon Bodhisattva justru semakin terbantu dalam merealisasi nirvana. Semakin seorang murn dari ego-diri, ia semakin dekat dengan nirvana. Demikianlah penafsiran saya atas hal ini.
oh ya, satu lagiOk deh, mungkin gak cocok obatnya sama aye yak :D
bro ryu, anda mengatakan nienfo tidak bermanfaat???
mgkn tidak bermanfaat buat anda, tapi ini tidak berarti tidak bermanfaat bagi yang lain loh.
tlg jgn digeneralisasikan begitu,,,....
y ud, back to work dulu,....
mission accompolish....
^
^
^
yup, banyak jalan lain menuju roma
hehehe...
84.000 pintu dharma di mahayana, terserah anda mo memilih pintu yang mana....
oh ya, kemarin klu tidak salah bro dilbert pernah menanyakan dari mana asal kata 84.000 pintu dharma
cerita nya, dulu sang buddha pernah meramalkan sebelum dia parinirvana
dia pesan kepada biksu sapa, lupa namanya
dia pesan, kelak akan lahir seorang raja, (raja penyebar agama buddha) raja ASOKA
serahkan relik buddha yg berjumlah 84.000 untuk di bangun candi sejumlah 84.000 buah
ini untuk melambangkan 84.000 pintu dharma menuju pencerahan....
Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."
Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.
Oya... Jadi dengan memakai apakah sebaiknya kita mengevaluasi usaha kita selama ini?
Hmmm... ;D
Lalu... kalau panduan awal untuk menerima kesadaran apa...?
Tidak ada satu ukuran untuk segala hal..?Tolong dijelaskan lebih lengkap maksudmu:)
Berarti benar dong... kalau pada suatu kondisi tertentu, membunuh pun bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasi Nirvana...?
Konteks pertanyaan saya bukan itu. Saya bukan bertanya apakah Nirvana itu adalah sebuah produk. Yang saya tanyakan, apakah benar Nirvana adalah hasil (akibat) dari menjalani Tekad Bodhisattva?Tekad Bodhisattva adalah awal, selanjutnya adalah mempraktikkan paramita
Justru saya masih ragu dengan kepastian jawaban dari Aliran Mahayana. Karena itulah saya bertanya kepada Anda. Saya membutuhkan jawaban yang pasti. Dan saya tidak bermaksud menanyakan pandangan pribadi Anda; yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.Saya tidak berniat membahas hal yang demikian
Beda waktunya, bro. Kan yang sedang kita bahas adalah timingnya, bukan tujuan akhirnya.Lama dan sebentar bukan persoalan kalau kita mengembangkan kesabaran
Ow... Saya kira Anda berniat merealisasikan Nirvana saat ini.Nirvana ada di “saat ini”, tapi apakah saya bisa merealisasikan nirvana “saat ini” atau tidak, ini adalah persoalan yang berbeda.
Ya, saya baru tahu dari kemarin, kalau "saat ini" versi Anda adalah kehidupan kali ini, kehidupan berikutnya, kehidupan berikut berikutnya, dan seterusnya... :)
Saya tidak mengatakan Anda. Saya pakai majas totem pro parte. Jadi kalau maksud saya Umat Mahayanis, tentu maksud saya bukan seluruh umatnya...
Karena belum pasti, makanya saya berprasangka. Makanya saya kemukakan di sini. Agar sekiranya ucapan saya salah, maka ada Umat Mahayanis yang bisa mengklarifikasi. Kalau maksud saya klarifikasi, itu artinya menyanggah ucapan saya dan memberikan pernyataan yang lebih tepat. Jadi bukan hanya dengan menyanggah ucapan saya, dan tanpa memberikan pernyataan yang lebih tepat dari ucapan saya itu.
Ow... rupanya begitu.
Saya juga ingin menciptakan alam surgawi sendiri. Bagaimana caranya...?
Maukah Anda menolong semua fakir miskin di dunia ini, agar mereka tidak perlu lagi hidup melarat...?Koq jadi masalah mau atau tidak mau? Saya jadi bingung…
Saya ulangi pertanyaan saya...
Apakah Anda tega melukai seorang Buddha (baca : diri sendiri) untuk menolong Buddha yang lain (baca : makhluk lain)...?
Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.
Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”
Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).
Sebenarnya alasan yang dicari-cari untuk membeda-bedakan antara Mahayana dengan Theravada semata-mata dengan mengatakan yang satu mengandalkan usaha sendiri dengan yang lain mengandalkan bantuan makhluk lain. Hal itulah sebenarnya yang kukritik dari awal.
Jelas apa yang dimaksud oleh Theravadin sebagai usaha sendiri minimal juga membutuhkan bimbingan dari orang lain, sedang apa yang yang dimaksud oleh Mahayanis sebagai dengan bantuan Para Bodhisattva sebenarnya juga pasti melibatkan “diri” terlibat dalam praktik; karena dalam melakukan apapun pasti toh subjek yang bertindak, termasuk tindakan yang paling sederhana pun. Bahkan untuk memohon bantuan makhluk lain pun, subjek minimal harus bertindak asertif memohon bantuan. Lantas kalau demikian, kenapa harus disinggung-singgung tentang usaha diri? Bukankah sudah jelas, selama kita belum tercerahkan ke mana-mana pun diri ego selalu kita bawa ke mana-mana. Bahkan kita hampir-hampir merasa mustahil untuk meninggalkannya. Dengan demikian memperkuat asumsi ini bukankah hanya membuatnya menjadi janggal. Bukankah lebih baik terus mengingatkan bahwa “diri” itu yang harus dilepaskan bukan untuk terus diperkuat eksistensinya.
Kesalahan justru terletak pada cara pembedaan yang “sendiri” dan “tidak sendiri”; Kenyataannya orang yang memperkuat pandangan bahwa hanya dengan usaha sendiri realisasi nirvana bisa dicapai justru memperkuat rasa ego-diri dan tidak mendapatkan manfaat dari pandangan ini. Sebaliknya orang yang terlalu menggantungkan diri pada “bantuan dari yang lain”, lupa bahwa pada dasarnya “tidak ada yang dibantu dan tidak ada yang membantu. Kedua-duanya adalah kekeliruan akibat pikiran sesat, namun jika tidak menggunakan adakah cara lain? Bukan sebelum kita tercerahkan seluruh yang dipikirkan oleh kita berpontesi menjadi “sesat”? Mungkinkah realisasi nirvana terjadi lansgung tanpa sama sekali bergumul dengan samsara terlebih dahulu? Sesat atau tidak, ini lah dua piliham jalan yang ada… Tidak perlu melecehkan yang lain sebagai “irasional” atau “ego-sentrik”, karena pada dasarnya bukan itulah yang membantu seseorang merealisasi nirvana.
Tidak perlu menggiring saya dengan pertanyaan-pertanyaan :)) (Lagi-lagi bukankah ini cara gembala kepada domba-dombanya?) Mari kita diskusi dengan sehat… Sejak awal telah kukatakan, adakalanya akal memang kita gunakan. Misalnya ketika berbicara dengan anda, toh saya menggunakan bahasa yang bisa anda pahami. Kalau anda memahami apa yang kukatakan (tidak berlaku untuk kondisi bahasa yang berbeda), berarti di dalamnya ada struktur pengertian yang logis, karena itu ada kesesuaian pemahaman antara saya dan anda. Masalahnya adalah, akal sehat dan logika memang tidak sesuai untuk realisasi nirvana. Nah, untuk memahami ini saya memang tidak bisa menggunakan argumen logik apapun, karena memang semua argument logik hanya akan mementahkan maksud sebenarnya. :)
Tolong dijelaskan lebih lengkap maksudmu:)
Tekad Bodhisattva adalah awal, selanjutnya adalah mempraktikkan paramita
Saya tidak berniat membahas hal yang demikian
Lama dan sebentar bukan persoalan kalau kita mengembangkan kesabaran
Nirvana ada di “saat ini”, tapi apakah saya bisa merealisasikan nirvana “saat ini” atau tidak, ini adalah persoalan yang berbeda.
Wah, saya nggak paham bro. Penjelasan plizzzz
Membingungkan bro
Koq jadi masalah mau atau tidak mau? Saya jadi bingung…
Kalau saya bro… pencapaian saya masih rendah, belum mampu mengatasi ego-diri :) Jalanku masih jauh bro. Buktinya: masih suka berdiskusi rame-rame beginian :))
Antara isi hati dan isi kepala ternyata berbeda, wah saya benar2 nggak paham
:)) no komen :))
Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."
Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.
Sebenarnya alasan yang dicari-cari untuk membeda-bedakan antara Mahayana dengan Theravada semata-mata dengan mengatakan yang satu mengandalkan usaha sendiri dengan yang lain mengandalkan bantuan makhluk lain. Hal itulah sebenarnya yang kukritik dari awal.
Jelas apa yang dimaksud oleh Theravadin sebagai usaha sendiri minimal juga membutuhkan bimbingan dari orang lain, sedang apa yang yang dimaksud oleh Mahayanis sebagai dengan bantuan Para Bodhisattva sebenarnya juga pasti melibatkan “diri” terlibat dalam praktik; karena dalam melakukan apapun pasti toh subjek yang bertindak, termasuk tindakan yang paling sederhana pun. Bahkan untuk memohon bantuan makhluk lain pun, subjek minimal harus bertindak asertif memohon bantuan. Lantas kalau demikian, kenapa harus disinggung-singgung tentang usaha diri? Bukankah sudah jelas, selama kita belum tercerahkan ke mana-mana pun diri ego selalu kita bawa ke mana-mana. Bahkan kita hampir-hampir merasa mustahil untuk meninggalkannya. Dengan demikian memperkuat asumsi ini bukankah hanya membuatnya menjadi janggal. Bukankah lebih baik terus mengingatkan bahwa “diri” itu yang harus dilepaskan bukan untuk terus diperkuat eksistensinya.
Kesalahan justru terletak pada cara pembedaan yang “sendiri” dan “tidak sendiri”; Kenyataannya orang yang memperkuat pandangan bahwa hanya dengan usaha sendiri realisasi nirvana bisa dicapai justru memperkuat rasa ego-diri dan tidak mendapatkan manfaat dari pandangan ini. Sebaliknya orang yang terlalu menggantungkan diri pada “bantuan dari yang lain”, lupa bahwa pada dasarnya “tidak ada yang dibantu dan tidak ada yang membantu. Kedua-duanya adalah kekeliruan akibat pikiran sesat, namun jika tidak menggunakan adakah cara lain? Bukan sebelum kita tercerahkan seluruh yang dipikirkan oleh kita berpontesi menjadi “sesat”? Mungkinkah realisasi nirvana terjadi lansgung tanpa sama sekali bergumul dengan samsara terlebih dahulu? Sesat atau tidak, ini lah dua piliham jalan yang ada… Tidak perlu melecehkan yang lain sebagai “irasional” atau “ego-sentrik”, karena pada dasarnya bukan itulah yang membantu seseorang merealisasi nirvana.
^
^
^
yup, banyak jalan lain menuju roma
hehehe...
84.000 pintu dharma di mahayana, terserah anda mo memilih pintu yang mana....
oh ya, kemarin klu tidak salah bro dilbert pernah menanyakan dari mana asal kata 84.000 pintu dharma
cerita nya, dulu sang buddha pernah meramalkan sebelum dia parinirvana
dia pesan kepada biksu sapa, lupa namanya
dia pesan, kelak akan lahir seorang raja, (raja penyebar agama buddha) raja ASOKA
serahkan relik buddha yg berjumlah 84.000 untuk di bangun candi sejumlah 84.000 buah
ini untuk melambangkan 84.000 pintu dharma menuju pencerahan....
cerita tadi valid atau cuma cerita saja ? ada referensi-nya kagak ?
---
salah satu referensi yang saya temukan paling menghubungkan antara angka 84.000 dengan istilah pintu dharma adalah...
Dalam Theragatha, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka terdapatlah pernyataan Y.A Ânanda dalam bentuk syair:
â€DVASÃŽTI BUDDHATO GANHAM DYE SAHASSÂNI BHIKKHUTO
CATURÂSITISAHASSÂNI YE ME DHAMMA PAVATINNOâ€
â€Dari semua Dhamma yang Saya hafalkan, 82.000 Dhammakhandha Saya pelajari langsung dari Sang Buddha sendiri; sedangkan 2.000 Dhammakhandha dari para bhikkhu, sehinga seluruhnya berjumlah 84.000 Dhammakhandha. â€
- Bukankah misi Buddha Sakyamuni untuk menyelamatkan mahluk hidup telah gagal?
Metta,
saya jawab yg ini j ya, mo lanjut kerja cuy
- Bukankah misi Buddha Sakyamuni untuk menyelamatkan mahluk hidup telah gagal? << mo dibilang gagal sepenuh nya, tidak juga, mo dibilang berhasil sepenuhnya juga tidak, bukti nya ente ama aye, masi disini bos, masi didunia penuh penderitaan ini bos....
klu dia sudah berhasil sepenuhnya, buat apa ada buddha maitreya lagi?
buddha maitreya yang bakal berhasil sepenuhnya melaksanakan tugas,
dan dhyani buddha yang bertugas, klu ga salah amoghapasa buddha ya (yg dalam arti sankrit, berhasil melaksanakan tugas dengan sempurna)
n satu lagi, buddha maitreya, menaklukkan orang dengan cinta kasih (METTA) ato maitri karuna nya...
CMIIW,
navis
Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.kalau diri kita sendiri kita tidak cinta, lalu berusaha menolong orang..itu tidaklah masalah....
Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”
Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).
Saya rasa diskusi ini tidak akan maju sebelum pihak yang membuat ide "Mahayana" ini mendeskripsikan batasan apa saja seorang bisa disebut "Hinayana". Kalau hanya mengorbankan diri (demi agama), itu sih bukan hanya kalangan Mahayana-Hinayana, tapi agama lain juga banyak. Yang mengorbankan diri demi orang lain, juga bukan hanya Mahayana-Hinayana, agama lain juga banyak, siapa pun bisa, walaupun orang itu tidak punya agama.
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan umat lain tentang "kasih" yang diklaim sebagai eksklusif milik umatnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menunjukkan satu pun contoh pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh umat agamanya DAN tidak bisa dilakukan oleh umat lain. Karena memang tidak ada.
Jadi kalau tidak ada batasan definisi "Mahayana" dan "Hinayana", saya rasa ide itu adalah tidak berarti, dan sebagian (bukan semua, tentu saja) pihak Mahayana yang menuding Hinayana sebagai egois seharusnya malu.
Saya rasa diskusi ini tidak akan maju sebelum pihak yang membuat ide "Mahayana" ini mendeskripsikan batasan apa saja seorang bisa disebut "Hinayana". Kalau hanya mengorbankan diri (demi agama), itu sih bukan hanya kalangan Mahayana-Hinayana, tapi agama lain juga banyak. Yang mengorbankan diri demi orang lain, juga bukan hanya Mahayana-Hinayana, agama lain juga banyak, siapa pun bisa, walaupun orang itu tidak punya agama.
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan umat lain tentang "kasih" yang diklaim sebagai eksklusif milik umatnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menunjukkan satu pun contoh pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh umat agamanya DAN tidak bisa dilakukan oleh umat lain. Karena memang tidak ada.
Jadi kalau tidak ada batasan definisi "Mahayana" dan "Hinayana", saya rasa ide itu adalah tidak berarti, dan sebagian (bukan semua, tentu saja) pihak Mahayana yang menuding Hinayana sebagai egois seharusnya malu.
Btw...
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?
OK. :) Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
Makanya saya tanya, sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
[at] bro upasaka, dilbert, kainyn kuthoSelamat makan juga :)
met hav lunch
hehehe.....
modusnya mirip mirip dengan kasus aliran aliran baru di agama lain, misalnya ahmadiyah yang mengatakan bahwa nabi terakhir bukan MUHAMMAD SAW... buat beda gitu loo...;D
^Sudah "Tatiyampi" yah? ;D Ya, sudahlah. Mungkin memang tidak bisa lanjut.
^
Sudah saya tanyakan 3 kali, tapi belum ada jawaban dari pihak Mahayanis...Btw...
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?OK. :) Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?Makanya saya tanya, sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
Hehehe... Saya tidak mengerti kenapa Anda belum bisa mengerti...
Kata Anda, tidak ada ukuran yang berlaku untuk segala hal. Jadi apakah membunuh dapat dilihat sebagai karma baik pada suatu keadaan tertentu?
...dan hasilnya adalah Nirvana?
Pantas di postingan sebelumnya Anda mengatakan kepada saya; "selamat berjuang :)". Kenapa Anda tidak mau menolong saya, padahal saya butuh jawaban itu... Tapi, ya sudah terserah Anda. Saya menghargai kehendak bebas orang lain...
Kita sedang membahas perealisasian di kehidupan kali ini, bukan masalah sabar atau tidak sabar.
Lah, bukannya Anda mengatakan "saat ini" adalah kehidupan ini? Dan karena kita masih terseret dalam proses penerusan kehidupan, artinya semua kehidupan adalah saat ini. Jadi kapanpun juga, Anda memang mampu merealisasikan Nirvana saat ini. :)
Hmmm... Saya juga bingung dengan penjelasan Anda sebelumnya.
Omong-omong dalam konsep Mahayana, bisakah kita menciptakan alam dengan pikiran kita sendiri...?
Kalau tidak ada pikiran untung-rugi, seharusnya Anda memang mau menolong mereka semua... :)Kalau bilang mau, tentunya mau. Kalau kemampuan masih dipertanyakan :)
Jadi Anda tidak pernah mengalami pertentangan di dalam batin...?
^:)^ salutt...
Mohon pencerahan untuk kasus ini...
Justru di sinilah letak perbedaan sebagian pandangan kaum Mahayanis bahwa kedudukan seorang BODHISATVA itu sedemikian tinggi-nya sehingga melampaui seorang SAVAKA BUDDHA dalam hal pencapaian kesucian. Jika memang sdr.sobat_dhamma setuju bahwa pada dasarnya "keterlibatan" diri sendiri dalam menempuh jalan kesucian/pembebasan itu sangat krusial/penting sekali,Sebaliknya saya justru mengatakan penekanan akan "keterlibatan diri" adalah hal yang berlebihan.
maka pada dasarnya ketika seorang BODHISATVA tetap berkutat pada ikrar untuk MEMBEBASKAN MAKHLUK HIDUP (tidak hanya sekedar menolong dalam artian menanam karma baik), maka seorang BODHISATVA itu tidak akan merealisasikan ke-BUDDHA-an...
Itu saja... Jelas sekali kok bagaimana seharusnya BODHISATVA bertindak ketika "ingin" mencapai ke-BUDDHA-an (lihat kembali SUTRA INTAN)...
[at] bro upasaka, dilbert, kainyn kutho
met hav lunch
hehehe.....
saya baru bisa mengerti kenapa aliran T tidak mau disebut egois
karena pada dasar-nya, aliran T itu tidak mengenal ada-nya AKU?
DIRI? bahkan diri sendiri/ aku ini tidak ada, maka bagaimana bisa disebut egois ya?
hehehe... betul tak?
egois itu kan mementingkan diri sendiri? begitu kan?
prinsip aliran T, bahwa air itu mengalir tetap kebawah, jadi tidak mungkin melawan arus, jadi jalan-in saja lah
tidak mgkn kita bisa mengunakan kekuatan, untuk membalik-kan air mengalir menjadi keatas... hehehe...
betul tak ye?
:)
Sebaliknya saya justru mengatakan penekanan akan "keterlibatan diri" adalah hal yang berlebihan.
Justru itu, seorang Bodhisattva rela untuk menunda realisasi Ke-Buddha-an. Tapi tentu saja seorang Bodhisattva sambil menolong sekaligus ia tetap mempraktikkan keenam paramita. Setiap menolong ia selalu ingat untukmerenungkan bahwa "tidak ada yang menolong dan tidak ada yang ditolong, oleh karena itu juga tidak ada perbuatan menolong." Demikianlah seorang Bodhisattva terus menyempurnakan praktik prajna paramita melalui perbuatan menolong.
Itu saja... Jelas sekali kok bagaimana seharusnya BODHISATVA bertindak ketika "ingin" mencapai ke-BUDDHA-an (lihat kembali SUTRA INTAN)...
Supaya lebih jelas bagaimana kalau bagian tersebut dikutip juga.
Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"Wah, ini sutra yang bagus dan dalam. Minta link-nya donk, Bro dilbert ;D
Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.
^Ooo... Sutra Pemotong Intan yah... OK deh.
^
^
sutra intan bro
sutra mahayana yang paling tinggggiiiii.....
vajracheddika prajna paramita sutra (kakak kandung nya prajna paramita sutra, ato sutra hati)
masih ada hubungan saudara :P
pantas namanya intan :-?
panjang gak sutranya? minta juga ah.. :P
nechhhh tangkeppppp
http://www.geocities.com/sutra_online/sutra_intan.htm (http://www.geocities.com/sutra_online/sutra_intan.htm)
tuh kan so tewu dech....pantas namanya intan :-?
panjang gak sutranya? minta juga ah.. :P
panjang, ada 84.000 kata.^^
metta regards
Dikatakan pula bagi mereka yang dapat menguraikan “Gatha Empat Bait” ini kepada orang lain, ia mendapatkan pahala yang lebih besar dan lebih mulia dari pada
memberikan persembahan dan bedana sapta ratna kepada para Dewa di empat penjuru baik yang di atas maupun yang di bawah. Bahkan dikatakan pula, bahwa pahala
itu lebih besar daripada pahala yang terkumpul oleh mereka yang selama berpuluh-ribu kalpa memberikan persembahan dengan seluruh jiwa raga mereka…
“Gatha Empat Bait” itu berbunyi:
Datang padaku dalam bentuk rupa
Memohon padaku dengan bunyi suara
Itulah perbuatan manusia yang tersesat
Takkan pernah sang Tathagata ditemukan
ada dech...
ga usa hitungan2 dech, tar pahala bisa dihitung ama yg diatas...aye terima perezzz j, hehehe...
sutra intan, kalau bisa mengerti sutra ini, bisa mencapai pencerahan loh :P
jd coba dech icip dulu sutra intan ini dengan kebijaksanaan yang kalian punya... ^-^
:o <<< my post is already => 999 triple nine.... berhenti post dulu ah..... :-[
besok baru break 1000 ye...
ada dech...
ga usa hitungan2 dech, tar pahala bisa dihitung ama yg diatas...aye terima perezzz j, hehehe...
sutra intan, kalau bisa mengerti sutra ini, bisa mencapai pencerahan loh :P
jd coba dech icip dulu sutra intan ini dengan kebijaksanaan yang kalian punya... ^-^
:o <<< my post is already => 999 triple nine.... berhenti post dulu ah..... :-[
besok baru break 1000 ye...
Amiiiinnnn semoga mas naviscope mendapatkan berkah limpahan kasihNYA yang diatas, semoga mas naviscope mendapatkan pahala yang berlimpah dari yang diatas, enak ya ngerti sutra satu bait mencapai pencerahan, nanti kalau mas Navis mencapai pencerahan ajarin ilmunya ke kita-kita ya?
metta,
ada dech...
ga usa hitungan2 dech, tar pahala bisa dihitung ama yg diatas...aye terima perezzz j, hehehe...
sutra intan, kalau bisa mengerti sutra ini, bisa mencapai pencerahan loh :P
jd coba dech icip dulu sutra intan ini dengan kebijaksanaan yang kalian punya... ^-^
:o <<< my post is already => 999 triple nine.... berhenti post dulu ah..... :-[
besok baru break 1000 ye...
Amiiiinnnn semoga mas naviscope mendapatkan berkah limpahan kasihNYA yang diatas, semoga mas naviscope mendapatkan pahala yang berlimpah dari yang diatas, enak ya ngerti sutra satu bait mencapai pencerahan, nanti kalau mas Navis mencapai pencerahan ajarin ilmunya ke kita-kita ya?
metta,
Kalau mengenai banyaknya bait, menurut pendapat saya memang tidak selalu mesti panjang-panjang baru bisa dapat pencerahan sih. Kalau memang "nyambung", satu-dua bait juga cukup. Tapi sekali lagi itu tergantung orangnya juga, bukan hanya baitnya. Bukan semua orang bisa begitu.
kalau banyak apakah kemungkinan nyambungnya lebih besar mas Kainyn?Kalau menurut saya pribadi, yang menentukan adalah potensi orang itu sendiri.
Kalau begitu 84.000 kemungkinan nyambungnya lebih besar ya?
Metta,
Anda salah paham. Dalam praktik Buddhadharma, ukuran yang digunakan tetap mengutamakan sila. Tetapi kalau anda adalah seorang tentara di medan perang bisakah anda tetap bertahan untuk tidak membunuh?
Tentu. Memangnya bertanya yang demikian?
Sabar dan tidak sabar dalam konteks bahwa kita harus bersabar kapanpun nirvana terealisasi. Pandangan Mahayana bahwa bodhisattva siap menunda realisasi nirvana demi makhluk lain mencerminkan sikap sabar tersebut. Sikap sabar adalah bagian dari praktik enam paramita yang justru membantu seseorang merealisasi nirvana, bukan menghambatnya.
Tetapi saya juga mengatakan setiap kehidupan adalah kehidupan ini. Jadi nirvana ada di dalam setiap kehidupan manapun dan kapanpun. Namun realisasinya tergantung pada kesempurnaan praktik paramita dan bagaimana akhirnya berhasil menyingkirkan dua rintangan: klesavarana (rintangan kekotoran batin) dan jneyavarana (rintangan pengetahuan).
Bisa. Tapi dalam hal seperti ini rasanya lebih tepat jika kamu tanyakan pada penganut Tantra dan Tanah Murni. Saya kurang kompeten menjelaskan hal demikian.
Kalau bilang mau, tentunya mau. Kalau kemampuan masih dipertanyakan :)
Tentu saja pernah. Tapi hebatnya anda pertentangan pikiran dan hati yang demikian dibawa terus dan dengan sengaja dipelihara… Itu yang membuat saya heran :)
Nah, justru karena ketika seorang BODHISATVA, tetap berkutat pada janji/ikrar/sumpahnya untuk menyelamatkan makhluk, tidak bisa merealisasikan ke-BUDDHA-an, TIDAK BISA... BUKAN BISA TAPI DITUNDA... Ini adalah sesuatu yang berbeda konteks-nya... Justru harus melepas keinginan tersebut (bahkan keinginan luhur/chanda) sekalipun...
Ingat makna tersirat dalam proses penyiksaan diri Pangeran Siddharta sebelum mencapai pencerahan sempurna, bagaimana Siddharta yang akhirnya sadar bahwa untuk meninggalkan kehidupan penyiksaan diri (yang ternyata tidak dapat membawa pada pembebasan) selama 6 tahun. Bahwa pada dasarnya KETIKA TIDAK ADA YANG DIKEJAR, MAKA ITULAH HASIL MAKSIMAL YANG BISA DIDAPATKAN.
Ingat juga cerita bagaimana Y.A. Ananda mencapai kesucian Arahat dalam postur setengah miring (ketika akan tidur), yaitu sewaktu Ananda melepaskan KEINGINAN KUAT UNTUK MENCAPAI ARAHAT karena waktu pelaksanaan konsili sangha pada keesokan hari-nya yang begitu mendesak Ananda...
Itu-lah maknanya... Secara alamiah, ajaran BUDDHA mengajarkan kepada umat-nya untuk bersandar pada diri sendiri, karena tidak ada yang bisa menolong kita, kecuali kita sendiri mau ditolong dan bertindak sendiri untuk menolong diri kita sendiri. ITU ESENSI-nya.
Omong-omong...
Pahala itu artinya upah untuk perbuatan baik, bukan?
Berarti ada yang memberi upah... ^-^
yang tidak berlebihan yang bagaimana bro.sobat ?
Nah, justru karena ketika seorang BODHISATVA, tetap berkutat pada janji/ikrar/sumpahnya untuk menyelamatkan makhluk, tidak bisa merealisasikan ke-BUDDHA-an, TIDAK BISA... BUKAN BISA TAPI DITUNDA... Ini adalah sesuatu yang berbeda konteks-nya... Justru harus melepas keinginan tersebut (bahkan keinginan luhur/chanda) sekalipun...
Ingat makna tersirat dalam proses penyiksaan diri Pangeran Siddharta sebelum mencapai pencerahan sempurna, bagaimana Siddharta yang akhirnya sadar bahwa untuk meninggalkan kehidupan penyiksaan diri (yang ternyata tidak dapat membawa pada pembebasan) selama 6 tahun. Bahwa pada dasarnya KETIKA TIDAK ADA YANG DIKEJAR, MAKA ITULAH HASIL MAKSIMAL YANG BISA DIDAPATKAN.
Ingat juga cerita bagaimana Y.A. Ananda mencapai kesucian Arahat dalam postur setengah miring (ketika akan tidur), yaitu sewaktu Ananda melepaskan KEINGINAN KUAT UNTUK MENCAPAI ARAHAT karena waktu pelaksanaan konsili sangha pada keesokan hari-nya yang begitu mendesak Ananda...Sebaliknya, makna cerita itu tidak mengatakan tentang bersandar pada diri sendiri. Justru ketika ia melepaskan usaha dan mengatakan pada tidak ada yang dikejar, maka bersamaan dengan itu ia melepaskan “diri yang mengejar” atau ego-diri. Ketika seseorang merasa ia masih berusaha mencapai sesuatu, maka di sana ego-diri lah yang “berusaha”, sebaliknya ketika pikiran “berusaha” ditinggalkan ego-diri juga berlahan-lahan ditinggalkan.
Itu-lah maknanya... Secara alamiah, ajaran BUDDHA mengajarkan kepada umat-nya untuk bersandar pada diri sendiri, karena tidak ada yang bisa menolong kita, kecuali kita sendiri mau ditolong dan bertindak sendiri untuk menolong diri kita sendiri. ITU ESENSI-nya.
Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"
Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.
Quote from: sobat-dharmaAnda salah paham. Dalam praktik Buddhadharma, ukuran yang digunakan tetap mengutamakan sila. Tetapi kalau anda adalah seorang tentara di medan perang bisakah anda tetap bertahan untuk tidak membunuh?
Ok. Kalau begitu kita sependapat.Quote from: sobat-dharmaTentu. Memangnya bertanya yang demikian?
O... Nirvana merupakan hasil.
Jadi Nirvana adalah akibat dari suatu sebab. :-?Quote from: sobat-dharmaSabar dan tidak sabar dalam konteks bahwa kita harus bersabar kapanpun nirvana terealisasi. Pandangan Mahayana bahwa bodhisattva siap menunda realisasi nirvana demi makhluk lain mencerminkan sikap sabar tersebut. Sikap sabar adalah bagian dari praktik enam paramita yang justru membantu seseorang merealisasi nirvana, bukan menghambatnya.
Saya jadi ingin bertanya...
Misalnya : Di kehidupan ini, seorang Bodhisatva menunda perealisasian Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Kemudian di kehidupan berikutnya, Bodhisattva itu (setelah bertumimbal lahir maksudnya) kembali menunda perealisasin Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Dan di kehidupan-kehidupan selanjutnya juga demikian... Jadi sampai kapan Bodhisattva itu menunda penundaannya?Quote from: sobat-dharmaTetapi saya juga mengatakan setiap kehidupan adalah kehidupan ini. Jadi nirvana ada di dalam setiap kehidupan manapun dan kapanpun. Namun realisasinya tergantung pada kesempurnaan praktik paramita dan bagaimana akhirnya berhasil menyingkirkan dua rintangan: klesavarana (rintangan kekotoran batin) dan jneyavarana (rintangan pengetahuan).
Yup. Anda mengiyakan komentar saya. :)Quote from: sobat-dharmaBisa. Tapi dalam hal seperti ini rasanya lebih tepat jika kamu tanyakan pada penganut Tantra dan Tanah Murni. Saya kurang kompeten menjelaskan hal demikian.
OK. :)Quote from: sobat-dharmaKalau bilang mau, tentunya mau. Kalau kemampuan masih dipertanyakan :)
Jadi memang tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat menolong semua makhluk, ya...?Quote from: sobat-dharmaTentu saja pernah. Tapi hebatnya anda pertentangan pikiran dan hati yang demikian dibawa terus dan dengan sengaja dipelihara… Itu yang membuat saya heran :)
Makanya saya minta pencerahan dari Anda untuk kasus itu...
_/\_
klo boleh tau ya...sejak kapan Mahayana kita kenal dan siapa pelakonnya...
#-o
#-o
salam metta
Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?
Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?
Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?
Lalu permainan kata itu masih diulang kembali. Jadi kalau boleh, saya mau tanya: Anitya itu mencakup apa saja? Termasuk Dharma juga? Kalau benar demikian, berarti memang nyambung juga dengan Aliran Maitreya. "Sabbe Dharma Anitya". Dulu zaman Pancaran (warna) X, sekarang (warna) X udah expired, ganti zaman Pancaran (warna) Y.
[at] atas n atas n atas-nya lagi
Mr. Tan,
bravo, hebat, jawaban anda sangat sangat memuaskan, dan membuka wawasan, hehehe...
"Sadhu2…! Semoga praktisi Theravada juga makin rajin berjihad demi keyakinannya. Nibanna menantimu Bang! Berjihadlah dengan rajin. Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet."
amitofo,
navis
Melihat arah diskusi kita terakhir ini, saya menilai mulai menjadi kontra-produktif. Oleh karena itu, saya pikir perlu untuk mengkerecutkan isu yang didiskusikan.
Pertama-tama, saya menilai kalau keberatan bro. Upasaka berkaitan dengan ikrar Bodhisattva yang dinilai tidak sesuai dengan logika dan akal sehatnya. Dalam hal ini, saya menilai bro. Upasaka terlalu mengandalkan logika dan akal sehat. Kritik saya kemudian sekitar penggunaan logika dan akal sehat sebagai standar kebenaran, yang kemudian oleh sdr. Upasaka jawab dengan pentingnya segala sesuatu dinilai dengan akal sehat dan logika sebelum diterima.
Pada bagian penjelasan ini, saya tetap keberatan dengan penggunaan logika dan akal sehat sebagai ukuran semata dalam menilai ikrar bodhisattva, mengapa?
Pada sudut pandang tertentu ikrar Bodhisattva tidak terlalu berbeda dengan meditasi objek metta dalam Theravada. Dalam meditasi dengan objek metta, misalnya seseorang diminta untuk mengharapkan kebahagiaan semua makhluk. Bukankah dengan mengharapkan kebaikan semua makhluk hidup, bukan berarti secara otomatis semua makhluk akan langsung mengalami kebahagiaan seperti yang diharapkan? (Jika dipandang dengan akal sehat serupa) Namun, ternyata meditasi metta toh ternyata dapat bermanfaat untuk seorang meditator. Hal yang sama berlaku untuk ikrar Bodhisattva untuk membantu semua makhluk hidup merealisasi nirvana.
Dalam hal ini Santideva dalam Bodhicaryavatara menulis:
“Bila sekedar berpikir hendak menyembuhkan
Makhluk lain dari sakit kepala saja
Adalah suatu kehendak baik
Yang dipenuhi kebajikan tak terbatas.
Lantas bagaimana menjelaskan
Tentang kehendak untuk menghapuskan penderitaan
Mereka yang tiada terhitung
Yang menginginkan agar masing-masing dari mereka
Mencapai kebajikan tidak terbatas?
[...]
Kehendak membawa kebajikan bagi semua makhluk yang
Demikian
Yang tak tumbuh pada mereka yang tak menginginkan
Kebajikan bagi diri sendiri
Adalah permata pikiran yang tiada banding
Dan kelahirannya belum pernah terjadi sebelumnya dalam
Pengembaraan samsara
[...]
Namun bila pikiran baik yang muncul (dalam
Memandangnya)
Buahnya akan berlipat ganda jauh melampaui
Penyebabnya
Saat Bodhisattva mengalami penderitaan berat ia tidak
Bersikap buruk
Oleh sebab itu kebajikannya terus berkembang dengan sendirinya”
Pada kata-kata di atas, jelas ikrar Bodhisattva dinilai sebagai cara membangkitkan pikiran yang positif, tidak dinilai dari segi nyata atau tidaknya. Bahkan ketika kita membangun pikiran yang positif akan seseorang saja, maka hasilnya akan memberikan dampak yang positif untuk kita. Bagaimana kita membangun pikiran yang positif akan kebaikan semua makhluk hidup tanpa memilah-milah? Bukankah akan semakin kuat dampak positifnya?
Dengan ikrarlah, seorang Bodhisattva mulai membangun kebajikan yang tanpa batas:
“Sejak saat itu
Meskipun tidur ataupun tak sadar
Kekuatan kebajikannya seluas angkasa
Akan tiada habisnya mengalir.”
Kebajikan tanpa batas ini yang disebut sebagai Bodhicitta:
“Segala kebajikan yang lain bagaikan pohon yang ditanam
Setelah berbuah ia punah begitu saja
Sebaliknya pohon abadi Bodhicitta
Tak akan berhenti berbuah, bahkan terus berkembang
Bodhicitta atau dalam pengertian ini adalah ikrar Bodhisattva merupakan landasan bagi seorang calon Bodhisattva untuk membangun pikiran dan tekad tak terbatas untuk mempraktekkan Buddha Dharma hingga mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna. Ia adalah bahan bakar tak habis-habisnya yang mendukung tekad tersebut.
Oleh karena itu tidak tepatlah hal demikian ditakar dengan logika dan akal sehat. Karena tekad Bodhisattva bukanlah suatu pernyataan afirmasi akan suatu kebenaran objektif. Sebaliknya ia adalah suatu pernyataan sederhana yang sifatnya subjektif, namun lebih mencerminkan suatu tekad dan semangat.
Meskipun saya melihat sebenarnya selama ini bro. Upasaka menggunakan pengertiannya yang luas dan longgar untuk kedua konsep tersebut. Jika ia, “bertanya mungkinkah hal demikian terjadi?” yang dipermasalahkan oleh dia bukanlah logis atau tidaknya isi ikrar Bodhisattva tersebut, melainkan nyata atau tidak nyatanya isi Ikrar tersebut. Dalam arti ia mempertanyakan apakah isi ikrar tersebut mempertimbangkan aspek realitas atau tidak. Bro Upasaka lebih bertindak selaku seorang penganut realisme yang sedang mempertanyakan suatu idealisme yang dinilainya tidak sesuai dengan “akal sehat”-nya sebagai realis, ketimbang seorang yang menggunakan kaidah-kaidah dalam ilmu logika untuk mengevaluasi isi pernyataan ikrar. Jika ia menggunakan kaidah-kaidah dalam logika, seharusnya ia sadar hukum dalam ilmu logika: “Semua logis belum tentu nyata.” Karena logika adalah sistem kebenaran simbolik yang terisolasi dengan kenyataan empirik. Sedangkan yang dipertanyakan Bro. Upasaka apakah hal yang demikian “mungkin terjadi.”
Dalam realisme yang dianut oleh Bro. Upasaka sebenarnya yang bekerja adalah “akal sehat” yang didasarkan pada keyakinan umum akan mungkin atau tidaknya suatu hal terjadi. Akal sehat demikian hanyalah cerminan apa yang berlaku pada pandangan masyarakat umum, ketimbang suatu kebenaran yang pasti. Misalnya, jika masyarakat Abad 18 ditanyakan apakah mungkin seseorang menangkap listrik di dalam bola kaca atau sebuah benda berat terbang di udara dan turun lagi dengan selamat, maka mereka akan menertawakan sebagai tidak masuk akal. Namun, jika masyarakat saat ini ditanyakan hal yang sama, maka jawabanya akan bertentangan dengan masyarakat Abad 18. Mengapa demikian? Karena akal sehat demikian hanya dibentuk oleh keterbatasan pengetahuan dan apa yang berlaku sebagai keyakinan umum apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Nah, sekarang mari kita bertanya apakah mungkin seseorang menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara? Tentu dengan akal sehat dan batas pengetahuan saat ini kita cenderung akan menjawab tidak mungkin. Tetapi ingat, dalam posisi ini kita tidak berbeda dengan masyarakat Abad 18 ketika ditanyakan tentang pesawat dan bola lampu. Jawaban kita atas pertanyaan ini dibatasi oleh pengetahuan dan keyakinan umum yang dianut oleh kita semua. Meskipun demikian, saya tidak bermaksud untuk menjawab dengan yakin dan pasti bahwa seseorang bisa menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara, namun saya juga tidak akan mengatakan dengan pasti juga bahwa tidak mungkin ini terjadi. Pada dasarnya semua kemungkinan bisa terjadi jika hal tersebut berkaitan dengan realitas. Bahkan untuk pengetahuan-pengetahuan tentang dunia material saja kita masih akan menemukan banyak surprise di kemudian hari, bagaimana dengan Jalan Kebodhisattvaan yang melampaui dunia material?
Sebagai sumber kekuatan kebajikan, Bodhicitta justru harus melawan semua akal sehat yang dianut oleh realisme yang dibentuk berdasarkan cara pikir umum belaka. Dalam meditasi metta, hal yang sama juga berlaku. Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk hidup bukan berarti bisa terjadi tiba-tiba semua makhluk hidup bebas dari kebahagiaan. Ukuran-ukuran keyakinan umum seperti kuantitas, waktu dan ruang sebagaimana dalam pengertian objektivisme justru menghambat niat dalam memancarkan metta. Dalam hal ini, kita harus memancarkan metta pada makhluk ke segala penjuru tanpa mempertimbangan objektivitas ruang dan waktu. Bahkan konon, dalam Theravada pun percaya bahwa ketika kita memancarkan metta dengan konsentrasi yang kuat seseorang akan lambat laun merasakan kebahagiaan yang kita pancarkan padanya. Dalam ikrar Bodhisattva hal yang sama berlaku. Ukuran objektif tidak lagi berlaku. Dengan mengabaikan ini, dan menguatkan tekad sepenuhnya maka semua potensi yang ada di dalam dicurahkan untuk mempraktikkan Buddha Dharma. Jika tekad yang harapan positif tersebut dipancarkan terus menerus dengan kuat bukankah tidak tertutup kemungkinan pancaran enerji positifnya benar-benar akan membantu makhluk lain bebas dari samsara?
Tekad yang muncul dari kesadaran akan tiadanya batas ukuran objektif demikian justru adalah sumber yang luar biasa untuk menjalani Buddha Dharma. Pada beberapa kasus nyata, seringkali seseorang yang didesak oleh keinginan untuk menyelamatkan orang lain dan keinginan mengorbankan diri menjadi mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan olehnya pada saat biasa. Seorang Ibu yang melihat suami dan anak terjepit dibawa mobil dan berada dalam bahaya, mampu mengangkat mobil yang beratnya tak akan mampu diangkatnya pada saat “normal.” Dorongan altruisme yang demikianlah yang akan memacu seorang Bodhisattva untuk terus mempraktikkan Buddha Dharma.
“Setelah dengan jelas melihat bodhicitta dengan cara ini
Seorang Jinaputra harus tak gentar
Terus mendorong dirinya sendiri
Untuk tidak berpaling dari prakteknya.”
Lantas akan dengan demikian semuanya akan saling menunggu dan akhirnya tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna seperti yang dikira bro. Upasaka? Sekali lagi ini hanya dugaan yang dilandaskan pengetahuan dan keyakinan umum terbatas belaka. Para Bodhisattva terdahulu tak terhitung banyaknya yang akhirnya mencapai Buddha Sempurna, bahkan Buddha Sakyamuni sendiri dahulu adalah Bodhisattva. Jika memang kekhawatiran bahwa ikrar Bodhisattva menyebabkan semuanya akan saling menunggu hingga tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna adalah benar, maka seharusnya tidak ada Buddha Yang Sempurna di dunia ini. Oleh karena itu kekhawatiran ini berlebihan. Kenyataannya, isi ikrar tidak selalu harus terwujud saat seorang Bodhisattva akan mencapai Buddha Sempurna. Ketika praktiknya sudah matang, maka Bodhisattva akan tetap mencapai Buddha Sempurna terlepas dari ikrar yang disampaikannya terwujud ataupun tidak.
Untuk lebih memahami ikrar Bodhisattva, perhatikan kutipan dari Mahavaipulya Paripurnabuddhis Nitarthasutra ini:
“Kebijaksanaan yang dimiliki Bodhisattva luar biasa. Mereka tidak akan terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi, namun demikian mereka juga tidak terburu-buru melepaskan segala penderitaannya. Mereka tidak takut mati dan lahir kembali, juga tidak ingin mencapai Nirvana sedini mungkin. Mereka tidak menjunjung tinggi (memuji) para umat yang melakukan Sila dengan tekun, sebaliknya mereka tidak membenci umat yang melanggar sila. Mereka tidak memuliakan tokoh Dharma, tapi mereka juga tidak menyepelekan dan memandang umat yang baru belajar Dharma. Mengapa para Bodhisattva bersikap demikian? Tiada lain kesadaran mereka telah mencapai tingkat sempurna! Hakikat ini bisa diumpamakan sebagai fungsi terang yang berada di dalam mata. Bila mata telah dibuka, segala sesuatu dapat kita lihat dengan jelas, tanpa membedakan mana yang disukai atau mana yang dibenci oleh penglihatannya. Ini berarti fungsi terang dari mata telah melimpahi segala sesuatu di alam semesta secara sama rata (merata) tanpa benci dan suka!”
Melalui kutipan ini, jelas dalam Mahayana tekad seorang Bodhisattva untuk tidak merealisasi nirvana secara cepat mencerminkan keseimbangan akan sikap tidak takut mati dan lahir kembali, yang mencerminkan sikap tidak terikat dengan duniawi sekaligus tidak segera melepaskan penderitaannya. Sikap ini justru mencerminkan keseimbangan dan kebijaksanaan (prajna) yang merupakan bagian dari kesadaran sempurna.
Dari kutipan ini kita juga lihat, ikrar calon Bodhisattva untuk menunda realisasi nirvana demi semua makhluk yang pada awalnya adalah perwujudan tekad dan semangat bodhicitta, pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi suatu kesadaran yang merata tanpa diskriminasi terhadap segala sesuatu pada Bodhisattva tingkat atas. Dengan demikian, sikap untuk menunda realisasi nirvana jika bukan karena kemelekatan pada duniawi adalah justru mencerminkan kesadaran tersebut.
Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet.
aye praktisi Mahayana lho =))
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
Sekarang aliran MARA =))Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet.
aye praktisi Mahayana lho =))
begitu tah? :P
bukan nya sudah berubah haluan...
mo kenderaan apa yang penting sampai tujuan toh.... :P
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."Tanpa jadi mahayana atau theravada pun seseorang bisa saja melakukannya berdasarkan hati nuraninya
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contohjawabannya sama dengan di atas
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?orang tidak mengenal ajaran Buddha pun bisa melakukannya kenapa pikiran anda theravada tidak akan melakukannya? apa karena ada doktrin tertentu?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???Orang yang menggapai-gapai (menyelamatkan diri) dalam rawa untuk menyelamatkan orang lain yang mengapai-gapai dalam rawa adalah tidak mungkin; orang yang tidak berada dalam rawa dapat menyelamatkan orang yang menggapai-gapai dalam rawa adalah mungkin. Orang tidak terlatih, tidak disiplin dan tidak mencapai nibbana akan melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah tidak mungkin; orang yang terlatih, disiplin dan telah mencapai nibbana bila melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah mungkin.
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,sama no offense :)
navis
Quote from: naviscope<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
Kenapa tidak...? Praktisi Theravada bukanlah robot yang sudah diprogram untuk menyepelekan kejadian di luar.Quote from: naviscopebantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
Kenapa tidak? Banyak bhikkhu di STI yang sekarang juga fokus menjadi bhikkhu pengkhotbah. Itu kan termasuk menolong makhluk lain.
Jangan mengambil pemikiran sempit dengan menganggap praktisi Theravada adalah orang yang memakai kaca mata kuda, tidak peduli kanan-kiri.
No offense juga,
:)
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,
navis
Quote from: naviscope<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
Kenapa tidak...? Praktisi Theravada bukanlah robot yang sudah diprogram untuk menyepelekan kejadian di luar.Quote from: naviscopebantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
Kenapa tidak? Banyak bhikkhu di STI yang sekarang juga fokus menjadi bhikkhu pengkhotbah. Itu kan termasuk menolong makhluk lain.
Jangan mengambil pemikiran sempit dengan menganggap praktisi Theravada adalah orang yang memakai kaca mata kuda, tidak peduli kanan-kiri.
No offense juga,
:)
Kalau begitu saya menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Ikrar Bodhisattva tidak masuk akal bukan? :) Toh, kalau benar anda berpandangan demikian, berarti menunda realisasi nibbana bukanlah hal yang buruk bukan?
Tapi kalau tidak salah anda mengatakan bahwa tindakan demikian "belum cukup matang" batinnya. Sedangkan tindakan segera merealisasi nibbana adalah tindakan yang "matang ".
Apakah dengan demikian bhikkhu2 yang menjadi penceramah tersebut "belum matang" batinnya? Seorang yang mengorbankan ginjalnya demi ibunya "belum matang" batinnya?
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,
navis
membantu orang tidak dalam konteks membantu orang mencapai pembebasan... yang sdr.navis katakan adalah menolong dalam harfiah seorang awam (puthujana), menolong secara fisik... SIAPA SAJA DAPAT MELAKUKAN-NYA... tidak hanya mahayana atau theravada.... siapa saja bisa...
kata siapa ikrar seorang bodhisatva tidak masuk akal ?? Kan hanya dikatakan bahwa jika seorang bodhisatva masih berkutat / masih memikirkan keinginan untuk menyelamatkan makhluk (membebaskan makhluk untuk mencapai pembebasan) itu... maka tidak akan merealisasikan ke-BUDDHA-an... itu saja...
NB : untuk kesekalian kali-nya, LIHAT SUTRA INTAN... Posisi Bodhisatva menurut pandangan Mahayana itu seperti apa, jelas diterangkan di dalam SUTRA INTAN...
Kalau begitu saya menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Ikrar Bodhisattva tidak masuk akal bukan? :) Toh, kalau benar anda berpandangan demikian, berarti menunda realisasi nibbana bukanlah hal yang buruk bukan?
Tapi kalau tidak salah anda mengatakan bahwa tindakan demikian "belum cukup matang" batinnya. Sedangkan tindakan segera merealisasi nibbana adalah tindakan yang "matang ".
Apakah dengan demikian bhikkhu2 yang menjadi penceramah tersebut "belum matang" batinnya? Seorang yang mengorbankan ginjalnya demi ibunya "belum matang" batinnya?
sdr.kainyn... saya setuju dengan anda. dan saya rasa dari awal, kita kita tidak pernah bermain kata-kata (seperti yang dituduhkan)... yang kita tanyakan adalah berdasarkan logis berpikir berdasarkan konsep konsep. Dan saya tetap konsisten dengan pernyataan saya bahwa dalam sutra-sutra Mahayana sendiri terjadi in-konsistensi ajaran. Tidak nyambung. misalnya Sutra Hati dan Sutra Intan di satu pihak dengan sutra Saddharmapundarika dan sutra lainnya di pihak lain.
Selama masih bisa menolong kenapa tidak? apa point di sini anggapan anda hinayana "tidak bisa menolong" atau "tidak mau menolong" ?Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,
navis
membantu orang tidak dalam konteks membantu orang mencapai pembebasan... yang sdr.navis katakan adalah menolong dalam harfiah seorang awam (puthujana), menolong secara fisik... SIAPA SAJA DAPAT MELAKUKAN-NYA... tidak hanya mahayana atau theravada.... siapa saja bisa...
^
^
yup siapa saja bisa, tapi itu bukan kah merupakan penundaan pencapaian nibbana
kalau hitung2an pake kalkulator, bukan-nya yg hinayana
akan lebih perhitungan?
"
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan."
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana? ^-^
yang saya ambil contoh ini bodhisattva avalokitesvara loh,
kalau begitu, toh aliran hinayana, pada saatnya toh berubah haluan donk, menapaki jalan bodhisattva???
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,
navis
membantu orang tidak dalam konteks membantu orang mencapai pembebasan... yang sdr.navis katakan adalah menolong dalam harfiah seorang awam (puthujana), menolong secara fisik... SIAPA SAJA DAPAT MELAKUKAN-NYA... tidak hanya mahayana atau theravada.... siapa saja bisa...
^
^
yup siapa saja bisa, tapi itu bukan kah merupakan penundaan pencapaian nibbana
kalau hitung2an pake kalkulator, bukan-nya yg hinayana
akan lebih perhitungan?
"
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan."
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana? ^-^
yang saya ambil contoh ini bodhisattva avalokitesvara loh,
kalau begitu, toh aliran hinayana, pada saatnya toh berubah haluan donk, menapaki jalan bodhisattva???
Tambahan, Arahat berbuat baik pun juga bukan untuk menambah karma Baiknya juga :)Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
<<< bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?
apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?
bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?
no offense,
navis
membantu orang tidak dalam konteks membantu orang mencapai pembebasan... yang sdr.navis katakan adalah menolong dalam harfiah seorang awam (puthujana), menolong secara fisik... SIAPA SAJA DAPAT MELAKUKAN-NYA... tidak hanya mahayana atau theravada.... siapa saja bisa...
^
^
yup siapa saja bisa, tapi itu bukan kah merupakan penundaan pencapaian nibbana
kalau hitung2an pake kalkulator, bukan-nya yg hinayana
akan lebih perhitungan?
"
saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan."
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana? ^-^
yang saya ambil contoh ini bodhisattva avalokitesvara loh,
kalau begitu, toh aliran hinayana, pada saatnya toh berubah haluan donk, menapaki jalan bodhisattva???
Tidak ada yang namanya menunda nibbana tuh bro navis... yang ada realisasi nibbana, terealisasi atau tidak realiasasi ? Seseorang arahat yang masih hidup tentunya masih bisa memberikan bantuan/pertolongan... tetapi tentunya pertolongan bukan dalam artian membebaskan/mensucikan makhluk hidup.
TANGGAPAN UNTUK SDR. TRUTH LOVER
Mohon maaf baru sempat menanggapi sekarang.
TL:
Nampaknya mas Tan salah paham, seperti yang sudah saya katakan bahwa saya bertanya dengan kritis, bukankah untuk lebih memahami sesuatu maka kita harus bisa menghilangkan keragu-raguan? dan cara terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan adalah dengan bertanya?
TAN:
Bertanya berbeda dengan berdebat. Kalau orang bertanya itu jelas sekali harus menempatkan diri sebagai orang yang “Tidak tahu.” Lalu si penjawab akan memberikan jawaban. Si penanya akan menerima jawaban itu sebagaimana adanya. Jika bertanya terus menyanggah jawabannya dengan seolah-olah mengajukan “pertanyaan” lagi, maka itu sama saja dengan berdebat. Anda bertanya tentang Mahayana, saya sudah memberikan jawaban saya.
TL:
Yang manakah yang sungguh-sungguh praktek? Yang manakah yang menurut mas Tan dianggap praktek?
TAN:
Segala sesuatu yang dapat mengubah hati, pikiran, dan perbuatan kita ke arah yang lebih baik dan bermanfaat adalah praktik Dharma. Bermeditasi, membaca buku-buku Dharma, atau berdiskusi Dharma kalau akhirnya hanya untuk melecehkan aliran lain bukanlah praktik Dharma. Memberikan bantuan atau sekedar senyuman pada orang lain dengan tulus iklas, walaupun tidak ada kata “Dharma” sama sekali, adalah praktik Dharma.
TL:
Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?
TAN:
Tidak memancarkan maitri karuna itu suatu kondisi atau bukan?
TL:
Lagi-lagi saya merasa ada ketidak konsistenan disini, belas kasih atau maitri karuna tidak akan berakhir? Tolong dijawab darimanakah maitri karuna ini dipancarkan? Dari panca skandha atau bukan?
Untuk ketiga kalinya saya bertanya kepada Mas Tan: APAKAH KESADARAN ITU ANITYA ATAU NITYA...??
TAN:
Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?
TL:
tetapi pertanyaannya adalah bagaimana caranya seorang Buddha memancarkan maitri karuna terus menerus bahkan setelah Parinirvana.
TAN:
Wah saya tidak tahu karena belum mencapai Kebuddhaan. Saya sudah cukup puas mengetahui dari ajaran Mahayana bahwa maitri karuna tak akan berakhir. Di luar itu terus terang saya tidak tahu, karena saya belum mencapai Kebuddhaan.
TL:
terlepas dari fakta bahwa ini kesekian kalinya mas Tan membandingkan antara M dengan T padahal mengatakan tidak bermaksud demikian
TAN:
Apakah Sdr. TL mengetahui bahwa Sutta2 Pali itu 99% juga ada di kumpulan Agama (Ahanjing) milik Mahayana? Sutta2 Pali dimasukkan dalam bagian tersendiri yang bernama Agama Sutra. Saya sah-sah saja memakai argument itu karena ajaran seperti itu juga ada di kanon Mahayana. Jadi tidak tepat bahwa saya dikatakan membandingkan antara M dengan T
TL:
Yang mengatakan bahwa Nirvana adalah sekat yang membatasi seorang Buddha dari samsara menurut saya adalah mas Tan sendiri. Setahu saya Non-Mahayanis beranggapan bahwa Samsara muncul oleh karena ada sebab, Nirvana telah terbebas dari sebab-sebab itu, oleh karena itu dikatakan batinnya telah terbebas (bukan terbebas dari sekat, tetapi terbebas dari sebab-sebab). Jadi perhatikan perbedaan cara berpikir mahayanis dan non Mahayanis
TAN:
Terbebas dari sebab-sebab berarti tak ada sekali lagi, bukan?
TL:
Pemikiran bahwa seorang Buddha selalu memancarkan maitri karuna walaupun telah Parinirvana adalah merupakan Pemikiran yang lagi lagi telah terkontaminasi Hindu.
TAN:
Wah, apa jeleknya Hindu?
TL:
Mengenai pernyataan bahwa "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." mas katakan bahwa salah dan logika dipaksakan karena masih menganggap kedua hal itu terpisah. Ini juga pernyataan aneh. Faktanya:
"Nirvana identik dengan Samsara, yang mengatakan bukan orang itu tetapi mas Tan sendiri kan?" logika bila Nirvana yang bebas dari lobha, dosa, moha adalah = samsara yang diliputi lobha,dosa, moha. Maka dari sini kita bisa tarik logika berikut: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya memiliki lobha, dosa atau moha.
logika kedua: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya tidak memiliki lobha, dosa atau moha (kedua-duanya Nirvana).
Ini baru sesuai dengan arti identik. Silahkan buka kamus.
TAN:
Kesalahan argument itu, karena memaksakan pandangan orang yang belum tercerahi pada yang telah tercerahi. Ibaratnya memaksa mencangkokkan kepala kambing pada gajah. Ya bagaimana bisa ketemu? Saya kira saya sudah jelaskan dengan cukup gamblang. Kalau seseorang masih berpaksa berpandangan seperti itu, ya berarti diskusi sudah Death End alias memasuki jalan buntu. Tidak bisa diteruskan lagi karena sudah mentok.
TL:
Nah ini menarik mas Tan... Apabila benar seperti yang mas Tan katakan, tolong kutipkan dan sebutkan sumbernya. Dan satu hal lagi apakah mas Tan yakin bahwa kebebasan dari samsara (Nirvana) yang dianut oleh aliran Jaina sama dengan Nirvana yang dianut oleh aliran non Mahayanis?
bagian yang saya bold: nampak jelas sekali bahwa sesungguhnya mas Tan sendiri yang beranggapan bahwa ada sekat yang memisahkan Nirvana dan Samsara. sedangkan non mahayanis yang saya ketahui mengatakan bahwa "segala sesuatu muncul dari sebab dan akan berhenti bila sebabnya berhenti". Tak ada pernyataan yang mengatakan mengenai sekat.
Tolong dikutipkan yang dari Jaina ya? sangat menarik mas.
TAN:
LIhat saja buku “Filsafat India” yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.
TL:
Saya hanya bingung dengan pernyataan mas Tan yang berikut:Florence Nightingale, Henry Dunant dan Oscar Schindler dll adalah Bodhisattva? Saya banyak menolong nyamuk, semut, belut, lele dll. mereka juga adalah mahluk hidup kan? Bila demikian jadi saya adalah Bodhisattva juga kan?
TAN:
O iya kalau memang Anda tulus dalam menolong makhluk2 itu, Anda adalah bodhisattva. Namaste untuk Anda.
TL:
Ini saya setuju sekali, seringkali si A menuduh si B melekat pada pandangan tetapi si A lupa bahwa ia juga sebenarnya melekat pada pandangannya sendiri.
TAN:
Sama-sama melekat khan. Ingat sesame bis kota jangan saling mendahului
TL:
Semoga mimpi mas Tan agar dunia ini menjadi Sukhavati, terkabul.
TAN:
Sadhu..sadhu.
TL:
Amiiiinnnn.. semoga praktisi Mahayana imannya tambah kuat, semoga mas Tan juga "imannya" tambah kuat, semoga mas Tan dibukakan jalan olehNya. Semoga mas Tan mendapatkan berkah dan limpahan "KasihNya".
TAN:
Sadhu2…! Semoga praktisi Theravada juga makin rajin berjihad demi keyakinannya. Nibanna menantimu Bang! Berjihadlah dengan rajin. Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet.
Amiduofo,
Tan
Bukankah dalam aliran Theravada memang ada pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan?QuoteTL:
Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?
TAN:
Tidak memancarkan maitri karuna itu suatu kondisi atau bukan?
Hahaha.. mas Tan memang pintar... tetapi sepantasnya mas Tan menjawab lebih dahulu pertanyaan saya baru bertanya balik, bukankah demikian sepantasnya mas Tan?
saya sudah lama absen disini dan berharap ada yang bisa menjawab pertanyaan saya....Bukankah dalam aliran Theravada memang ada pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan?QuoteTL:
Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?
TAN:
Tidak memancarkan maitri karuna itu suatu kondisi atau bukan?
Hahaha.. mas Tan memang pintar... tetapi sepantasnya mas Tan menjawab lebih dahulu pertanyaan saya baru bertanya balik, bukankah demikian sepantasnya mas Tan?
Dalam hal ini, Tan memang "menjawab" dengan tepat bahwa jika adanya Maitri-Karuna adalah suatu kondisi, maka tidak adanya Maitri-Karuna juga merupakan suatu kondisi. Kalau anda "masuk" dalam lingkaran pertanyaan seperti ini, maka akan sampai pada: "Lobha-Dosa-Moha (samsara) itu kondisi, begitu juga tanpa Lobha-Dosa-Moha (nirvana) juga kondisi". Bukankah akhirnya akan terbawa pada "Nirvana = Samsara"?
saudara kainyn yang bijak,
apakah brahmavihara ( metta, mudita, karuna , uppekha ) termasuk dalam suatu kondisi?
saudara kainyn yang bijak,
apakah brahmavihara ( metta, mudita, karuna , uppekha ) termasuk dalam suatu kondisi?
Bro marcedes yang baik,
Kalau ditanya apakah Brahmavihara merupakan kondisi, maka saya akan jawab "ya dan tidak".
Tetapi kalau ditanya apakah Brahmavihara berkondisi, maka saya akan jawab, "Ya, berkondisi."
saudara kainyn yg bijak,
apakah seseorang yg mempratekkan brahmavihara yang anda katakan kondisi....selalu berubah?
kan tidak ada yang kekal..^^ semua bisa berubah apa begitu pandangan anda?
ex, dari metta jadi benci, dan benci jadi metta....
misalkan seorang bhante dari metta jadi benci dan benci jadi metta.
Bukankah dalam aliran Theravada memang ada pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan?QuoteTL:
Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?
TAN:
Tidak memancarkan maitri karuna itu suatu kondisi atau bukan?
Hahaha.. mas Tan memang pintar... tetapi sepantasnya mas Tan menjawab lebih dahulu pertanyaan saya baru bertanya balik, bukankah demikian sepantasnya mas Tan?
Dalam hal ini, Tan memang "menjawab" dengan tepat bahwa jika adanya Maitri-Karuna adalah suatu kondisi, maka tidak adanya Maitri-Karuna juga merupakan suatu kondisi. Kalau anda "masuk" dalam lingkaran pertanyaan seperti ini, maka akan sampai pada: "Lobha-Dosa-Moha (samsara) itu kondisi, begitu juga tanpa Lobha-Dosa-Moha (nirvana) juga kondisi". Bukankah akhirnya akan terbawa pada "Nirvana = Samsara"?
yang tidak kekal adalah asal-nya dan tidak memiliki sebuah "diri" disitu....brahmavihara adalah brahmavihara.........metta adalah metta, benci adalah benci....saudara kainyn yg bijak,
apakah seseorang yg mempratekkan brahmavihara yang anda katakan kondisi....selalu berubah?
kan tidak ada yang kekal..^^ semua bisa berubah apa begitu pandangan anda?
ex, dari metta jadi benci, dan benci jadi metta....
misalkan seorang bhante dari metta jadi benci dan benci jadi metta.
Saya perjelas lagi, yang saya katakan adalah "Brahmavihara adalah berkondisi."
Ya, tentu saja demikian. Saya tidak ingin bicara rumit tentang dualitas dosa/adosa(metta), tetapi secara sederhana, jika Brahmavihara adalah tidak berkondisi, maka para Brahma yang mengembangkannya pasti kekal dan abadi.
Masuk diakal bagi siapa? Dapat dipahami bagi siapa? Masing-masing orang punya pemahamannya sendiri-sendiri. Masing-masing orang punya pandangan tentang apa yang dianggap masuk akal dan tak masuk akal. Apa yang saya anggap masuk akal mungkin bagi Anda tidak masuk akal. Apa yang saya anggap tidak masuk akal, bagi Anda adalah masuk akal. Pada akhirnya, tidak akan ada kesatuan pandangan. Kita hanya bisa menoleransi pandangan pihak lainnya. Akhirnya semua akan berpulang pada “belief” masing-masing, apapun agama dan keyakinannya.
Kaynin:saudara Tan yang bijak,
Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?
TAN:
Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.
Tan
Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.
Kaynin:saudara Tan yang bijak,
Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?
TAN:
Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.
Tan
kalau ada sesuatu pasti ada sebab-nya.........
api ada maka ada panas api, asap ada pasti ada sumber-nya, demikian metta ada karena ada pikiran yang memancarkan....
tanpa pikiran dari mana metta?
sama halnya , bisakah cinta kasih dipancarkan dari sebuah kursi?
pelajaran dari mana anda berpendapat bahwa maitri karuna muncul tanpa sebab dan asal?
selama saya belajar meditasi, tidak pernah ada sebuah pikiran tanpa objek...pasti ada objek baru ada kesadaran mental.
objek adalah penyebab dan kesadaran adalah akibat.
tidak percaya? pratek saja sekarang.. ^^
nanti anda akan tahu pendapat bahwa
metta bisa dipancarkan,tanpa pikiran...itu salah besar dan hanya merupakan teori tanpa kenyataan.
salam metta.
kalau begitu, buktikan donk ^^............kalau pakai teori tanpa kenyataan semua juga bisa.
yang tidak kekal adalah asal-nya dan tidak memiliki sebuah "diri" disitu....brahmavihara adalah brahmavihara.........metta adalah metta, benci adalah benci....
se-rumit itu kah?
salam metta. ^^
Kaynin:
Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?
TAN:
Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.
Tan
TL:
Mas Tan masih tidak nyambung, coba perhatikan yang warna biru. Bedakan bertanya biasa dengan bertanya dengan kritis.
TAN:
Ya sama saja. Bertanya dengan kritis pada akhirnya akan terjadi sanggah menyanggah juga.
TL:
Apakah bertanya, menyanggah, membandingkan dianggap sama dengan melecehkan? bila memang benar praktik Dharma adalah sesuai kriteria mas Tan maka saya kira saya berpraktek Dharma dengan baik, demikian juga bandit dan kriminal yang tak mengenal Dharma yang tak pernah membantah, menyanggah atau membandingkan dharma, tetapi murah senyum dan kadang-kadang menolong orang lain juga.
TAN:
Murah senyum dan menolong orang lain, siapapun juga yang melakukannya (penjahat atau bukan penjahat) adalah praktik Dharma. Tindakan kriminalitas siapapun yang melakukannya (orang yang mengenal Dharma atau bukan) adalah tetap bukan praktik Dharma. Apakah sikap kritis baik atau buruk? Semua ada baik ada buruknya. Sikap kritis juga ada batasnya. Tujuan saya mengikuti diskusi ini adalah untuk menjelaskan mengenai Mahayana dan sebenarnya saya malas berdebat.
Saya jadi timbul pertanyaan: Untuk apa Anda menyanggah dan membandingkan? Apakah Anda masih ragu dengan aliran Anda sendiri? Bila Anda sudah yakin untuk apa menyanggah dan membanding2kan dengan aliran lain? Ada baiknya Anda jalankan sendiri apa yang sudah Anda yakini. Saya sebenarnya hanya ingin memberikan info pada mereka yang dengan tulus ingin mengenal Mahayana.Setiap orang sejak dilahirkan sudah memiliki persepsi, dalam perjalanannya mencari kebenaran tentu kebenaran yang dipelajarinya dibandingkan dengan peersepsi dan pengalamannya sendiri ini wjar kan?
TL:
Hahaha.. mas Tan memang pintar... tetapi sepantasnya mas Tan menjawab lebih dahulu pertanyaan saya baru bertanya balik, bukankah demikian sepantasnya mas Tan?
TAN:
Pertanyaan dapat pula dijawab dengan pertanyaan. Justru pada pertanyaan saya itu sudah terkandung jawaban atau pertanyaan Anda. Kalau Anda masih belum get the point, ya saya menyerah deh. Berarti diskusi sudah berada di jalan buntu (death end). Berarti sampai di sini saja pembicaraan kita mengenai topik ini.
TL:
Oh ya? maitri karuna tidak dipancarkan panca skandha? tetapi sifat alami seorang Buddha?. Jadi yang memancarkan apa? Apakah seorang Buddha memiliki sesuatu lain diluar pancaskandha? tolong disebutkan mas namanya apa? termasuk kelompok jasmani apa kelompok batin? atau suatu kelompok tersendiri?
Mas Tan bertanya Anitya sendiri nitya atau anitya, mas Tan yang harus menjawab, karena bila saya menjawab dengan konsep aliran yang berbeda nanti dianggap melecehkan.
Jawaban terhadap karma anitya atau tidak anitya: Tentu saja karma individu bersifat anitya suatu ketika bila mencapai pencerahan karma tak lagi berproduksi, berhenti, stop. Saya harap cukup jelas.
UNTUK KEEMPAT KALINYA SAYA BERTANYA : APAKAH KESADARAN ANITYA ATAU NITYA MAS TAN?
TAN:
Tidak ada yang memancarkan, karena itu disebut sifat alami seorang Buddha. Saya kira ini cukup jelas. Apakah seorang Buddha memiliki sesuatu yang lain di luar pancaskandha? Ini pertanyaan menarik. Mari kita ulas. Sesudah Buddha parinirvana, jika tidak ada sesuatu di luar pancaskandha, itu artinya Buddha akan jadi NIHIL. Apakah bedanya dengan paham nihilisme?
Mahayana mengajarkan bahwa Buddha tidak musnah begitu saja. Tetapi kondisinya berada di luar jangkauan pemikiran manusia. Itulah arti sesungguhnya: “Buddha berada di luar “ada” dan “tiada.” Mahayana mengajarkan bahwa Buddha tidak “musnah,” namun pada saat yang sama tidak terjerumus pada pandangan eternalisme. Jadi saya melihat Mahayana sungguh berada di Jalan Tengah.
Menjawab dengan konsep aliran berbeda sah-sah saja. Yang perlu diingat adalah masing-masing aliran punya konsep yang beda-beda. Kita tidak dapat memaksakan setiap orang memegang konsep yang sama. Tapi sudah wajar bahwa setiap orang akan memandang benar apa yang telah dipegangnya dan memandang salah aliran atau kepercayaan lain.Berbeda belum tentu salah, sama belum tentu benar.
Anda menjawab dengan karma individu, tetapi saya untuk kesekian kalinya menanyakan: “HUKUM KARMA itu nitya atau anitya?” Ingat saya tidak menanyakan “karma individu.”
Untuk keempat kalinya pula saya bertanya: “Anitya itu sendiri nitya atau anitya”? Silakan Anda simpulkan sendiri
TL:
Aah rupanya ada sesuatu yang terus-terusan memancarkan maitri karuna, tetapi tidak tahu kok bisa begitu ya? sama ya? saya juga sama nggak tahu mas Tan.
TAN:
Kita belum mencapai Kebuddhaan mana bisa tahu? Tetapi saya mengetahui demikian adanya berdasarkan ajaran Mahayana. Bagi saya sudah cukup sampai di situ saja. Nanti saya akan tahu sendiri kalau sudah merealisasi Kebuddhaan.
TL:
Saya mohon maaf mas Tan, terpaksa harus membantah. Memang di Mahayana ada Abhidharmakosa, tetapi isinya sangat berbeda dengan Abhidhamma. di Mahayana memang ada Dirghagama, Majjhimagama dsbnya tetapi isinya hanya beberapa yang sama dengan Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, selebihnya berbeda.
maaf ngomong-ngomong mas Tan pernah melihat buku Abhidharmakosa atau Dirghagama belum? kok segitu yakinnya 99% sama?
TAN:
Tentu pernah donk. Baca saja buku karya Bhikshu Thich Minh Chau: “The Chinese Madhyama agama and the Pali Majjhima nikaya: a comparative study (Buddhist Tradition Series) (Hardcover)
Hardcover: 388 pages
Publisher: Motilal Banarsidass,; 1st Indian ed edition (January 1, 1991)
Language: English
ISBN-10: 8120807944
ISBN-13: 978-8120807945
Saya juga punya Tripitaka kanon Taisho dalam bahasa Mandarin. Tipitaka Pali saya juga punya, baik yang terbitan Wisdom Publication atau PTS (Pali Translation Society). Yang bahasa Indonesia juga ada. Tapi kita kembali ke topiknya agar tidak OOT. Anda tidak dapat menuduh saya mengkontraskan antara dua aliran, karena sumber yang saya ungkapkan itu juga ada di kanon Mahayana. Apakah Mahayana tidak boleh memakai apa yang ada di kanonnya sendiri?
TL:
Nah mas Tan bingung sendiri kan? hehehe apakah kambing identik dengan gajah? apakah yang sudah tercerahi sama dengan yang belum tercerahi? coba lihat link berikut:( http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1884.60.html )reply no 66. kok berbeda dengan pernyataan mas Gandalf, mas Tan? Mana yang benar nih.
TAN:
Sebenarnya tidak berbeda. Masing-masing mencermati dari wawasan yang berlainan. Mengenai topik ini saya kira sudah jelas. Silakan Anda cermati 10 poin jawaban saya terdahulu. Saya kira tidak perlu saya tanggapi lagi.
TL:
Tolong kutipan yang jelas dong mas, biar lebih ilmiah.
TAN:
Silakan Anda cari sendiri bukunya kalau memang merasa perlu. Saya kira judul dan penerbitnya sudah cukup jelas.
TL:
Hehehe terima kasih GRP untuk mas Tan. Saya memang tulus menolong mahluk-nahluk, tapi saya tidak menganggap saya Bodhisattva, karena penipu, pencuri, pemeras dlsbnya juga bisa melakukan hal yang sama apakah mereka bodhisattva?
TAN:
Pada MOMEN mereka melakukan itu dengan tulus, mereka adalah bodhisattva. Saat seorang yang bahkan rajin membabarkan Dharma sekalipun melakukan kejahatan pada makhluk lain, mereka adalah penjahat. Bodhisattva dan tidak letaknya adalah di pikiran.
TL:
Sebaiknya kita jangan melekat dan jangan menuduh orang lain melekat, bener nggak mas?
TAN:
Ooo jangan melekat ya? Yup bagus sekali. Setuju. Hahahahaha
TL:
Semoga bila orang lain mengemukakan sanggahan, bantahan atau perbandingan tidak saya anggap sebagai pintar berdebat, atau lidah setajam silet, tetapi berusaha mencerna, apakah yang dikatakannya bermanfaat, masuk diakal dan dan dapat dipahami.
TAN:
Masuk diakal bagi siapa? Dapat dipahami bagi siapa? Masing-masing orang punya pemahamannya sendiri-sendiri. Masing-masing orang punya pandangan tentang apa yang dianggap masuk akal dan tak masuk akal. Apa yang saya anggap masuk akal mungkin bagi Anda tidak masuk akal. Apa yang saya anggap tidak masuk akal, bagi Anda adalah masuk akal. Pada akhirnya, tidak akan ada kesatuan pandangan. Kita hanya bisa menoleransi pandangan pihak lainnya. Akhirnya semua akan berpulang pada “belief” masing-masing, apapun agama dan keyakinannya.
Amiduofo,
Tan
Mercedes:Ko Tan :
saudara Tan yang bijak,
kalau ada sesuatu pasti ada sebab-nya.........
api ada maka ada panas api, asap ada pasti ada sumber-nya, demikian metta ada karena ada pikiran yang memancarkan....
tanpa pikiran dari mana metta?
sama halnya , bisakah cinta kasih dipancarkan dari sebuah kursi?
pelajaran dari mana anda berpendapat bahwa maitri karuna muncul tanpa sebab dan asal?
selama saya belajar meditasi, tidak pernah ada sebuah pikiran tanpa objek...pasti ada objek baru ada kesadaran mental.
objek adalah penyebab dan kesadaran adalah akibat.
tidak percaya? pratek saja sekarang.. ^^
nanti anda akan tahu pendapat bahwa
metta bisa dipancarkan,tanpa pikiran...itu salah besar dan hanya merupakan teori tanpa kenyataan.
TAN:
Oke. Kalau dipaksa memberikan sebuah nama, maka sebut saja sumbernya adalah Pikiran Termurnikan Seorang Buddha. Mungkin sebagian ada yang menuduh ini adalah eternalisme, mirip Brahmanisme lah, atau what ever deh, tetapi bagi saya ini jauh sekali dari eternalisme. Sifat alami pikiran yang termurnikan adalah metta karuna. Oleh karena itu, tidak mustahil ada pemancaran metta karuna oleh seorang Buddha. Saya kira cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Oke. Kalau dipaksa memberikan sebuah nama, maka sebut saja sumbernya adalah Pikiran Termurnikan Seorang Buddha. Mungkin sebagian ada yang menuduh ini adalah eternalisme, mirip Brahmanisme lah, atau what ever deh, tetapi bagi saya ini jauh sekali dari eternalisme. Sifat alami pikiran yang termurnikan adalah metta karuna. Oleh karena itu, tidak mustahil ada pemancaran metta karuna oleh seorang Buddha. Saya kira cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Bung Upasaka, sejujurnya saya katakan TIDAK TAHU karena saya belum menjadi Buddha. Kalau saya berikan jawaban yang definitif (ya atau tidak) berarti itu hanya sebatas spekulasi atau mengutip dari kitab. Tetapi pendapat pribadi saya, kalaupun Buddha masih ada "pikiran" maka itu sangat berbeda sekali dengan "pikiran" para makhluk awam. Nah karena itu, saya tidak tahu apakah "pikiran" seorang Buddha itu masih dapat disebut "pikiran" atau tidak.
Amiduofo,
Tan
TAN:saudara Tan,
Saya akan beri analogi sebagai berikut. Ada sekelompok orang yang belum pernah pergi ke Paris. Suatu kali masing-masing dari mereka mendengar penuturan rekan atau kerabatnya masing-masing yang pernah pergi ke Paris. Ada di antara mereka yang mengagumi menara Eifel, sehingga dalam ceriteranya mereka banyak menceritakan tentang menara tersebut, umpamanya konstruksi bajanya yang luar biasa, keindahan kota Paris dilihat dari puncaknya dan lain sebagainya. Ada yang memusatkan ceritanya pada Istana Louvre dengan tamannya yang indah. Ada lagi yang bercerita tentang Gereja Notre Dame dan lain sebagainya. Ada lagi orang yang belum pernah ke Paris, tetapi membaca tentang Paris dari buku perjalanan.
Nah, suatu kali orang-orang yang belum pernah ke Paris ini berkumpul menjadi satu dan berdialog ramai tentang Paris, bahkan mereka membuat forum atau milis di internet untuk mendiskusikan Paris. Ada yang bilang dan bersikeras bahwa Eifel adalah bangunan terindah di Paris. Yang lain tidak mau kalah dan mengatakan Louvre adalah yang terindah. Yang lagi berteriak bahwa Notre Dame yang terindah. Bahkan yang lebih ekstrem ada yang mengatakan bahwa satu2nya bangunan terkenal di Paris adalah Eifel, Louvre, atau Notre Dame. Ingat! Tak seorangpun dari mereka pernah ke Paris. Tapi dengan lihainya mereka bercerita dan berteori tentang Paris, bahkan melebihi orang yang pernah ke Paris sendiri.
Analogi tadi mungkin tepat...mungkin juga tidak. Tetapi intinya adalah pertanyaan: Adakah di antara kita yang sudah jadi Buddha? Apakah teori kita hanya dari buku, penuturan guru-guru agama, atau dengar dari orang lain?
Semua yang diperdebatkan di sini hanya dari KITAB...hanya dari BUKU....!
Mana yang benar? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Hanya saja saya merasa selama teori itu bermanfaat bagi saya, saya merasa berhak memegangnya.
"jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?kasihan sekali pemahaman anda saudara Tan ^^....
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama...."
What is "kenyataan" and what is "illusion"? Semua orang hanya "melihat apa yang mereka ingin lihat" (mengutip dari film Knowing). Anda ingin melihat "ilusi" menjadi "kenyataan" maka saat itu jadilah "kenyataan" itu. Anda ingin melihat "kenyataan" menjadi "ilusi" maka saat itu pula jadilah "ilusi" itu. Semua makhluk dalam samsara masih ditutupi oleh debu kebodohan tak dapat membedakan antara "ilusi" dan "kenyataan." Tak ada yang tahu siapa benar siapa salah. Karena itu jangan harap ada teori yang "sama." Teori yang "sama" hanya ada di kalangan orang yang berpendapat sama. Tapi dalam tataran majemuk jangan harap ada teori yang "sama."
Ryu:saudara Tan yang bijak,
Ko Tan :
Berarti kalau Buddha itu skarang masih ada atau tidak?
Yang bertumibal lahir itu apa kalau dalam Mahayana?
Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?
TAN:
Bung Ryu,
Pertanyaan Anda ini agak sulit dijawab karena dalam ditinjau dari sudut pandang kebenaran relatif dan absolut akan menghasilkan jawaban yang beda. Apakah Buddha "ada" atau "tidak"? Saya akan coba berikan jawaban terbaik berdasarkan pengetahuan saya yang masih sangat dangkal ini. Buddha dalam wujud Manussabuddha seperti Sakyamuni jelas sekarang tidak "ada" lagi. Tetapi setelah parinirvana Buddha tidak hilang ke dalam nihilisme. Jadi Buddha itu tetap "ada" hanya saja melampaui segenap pemikiran kita. Inilah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar "ada" dan "tiada." Itulah makna sebenarnya bagi "di luar ada dan tiada."
Bagi orang yang masih berada dalam lingkungan kelahiran dan kematian, maka Mahayana dan Theravada tidak berbeda dalam hal ini. Citta adalah yang terlahir kembali. Ini dijelaskan secara jelas dalam Bhavasankranti Sutra milik mazhab Mahayana.
"Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?"
Tiada yang berpindah. Tidak ada pula yang datang dan pergi. Itulah sebabnya Buddha dalam bahasa Mandarin diberi gelar Rulai atau Tathagata.
Demikian semoga bermanfaat,
Amiduofo,
Tan
TL:
Kan mas Tan tidak perlu menyanggah saya?
TAN:
Ooo saya tidak menyanggah, hanya memberikan penjelasan mengenai Mahayana sejauh yang saya ketahui. hahahaha
TL:
Kalau ada sesuatu diluar pancaskandha apa? sebutin dong mas.
TAN:
Nama itu hanya sebutan yang diberikan oleh manusia. Apalah arti sebuah nama? Apa namanya tidak penting. Saya bisa beri sebutan apa saja dan sekaligus tidak bisa beri sebutan apa saja. Yang pasti itu “ada”sesuatu. Kalau tidak berarti sama saja dengan nihilisme donk? Anda mau disebut kaum nihilis? Seperti yang telah saya katakan berkali-kali Mahayana lebih konsisten dan masuk akal dengan hal ini. Mari saya terangkan dengan alur logika.
Kalau bagi Anda, hanya ada lima skandha penyusun makhluk hidup DAN tak ada yang lainnya lagi, maka begitu seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, dimana panca skandha musnah; artinya semuanya ikut MUSNAH. Bila begitu apa bedanya dengan nihilisme? Bisakah Anda menjelaskan hal ini? Untuk kesekian kalinya saya mengungkapkan hal ini.
Di sini letak bedanya dengan ajaran Mahayana. Mahayana bukan eternalisme karena menganggap bahwa sesuatu yang kekal itu dipandang dari konsepsi adanya “aku” atau tidak. Bila “aku” telah padam, maka tidak ada lagi bias-bias kesalahan. Tidak ada lagi keinginan untuk melanggengkan sang “aku.” Itulah sebabnya meskipun mengajarkan bahwa seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karuna hal itu tidak dapat disamakan etenalisme ataupun disamakan dengan pandangan Brahmanisme. Saya kira sudah cukup jelas ya. Terserah mau diterima atau tidak.
TL:
Jadi karma apa selain karma individu mahluk? karma kursi, karma pohon, mungkin batu jadi Sun go Kong akibat karma ?
TAN:
Hukum karma alias karma niyama. Itu nitya atau anitya? Apakah hukum karma masih merupakan obyek perubahan?
TL:
Anitya adalah sifat dari kondisi-kondisi. dengan berhentinya kondisi-kondisi maka lenyaplah anitya, sekarang saya ulangi pertanyaan saya kelima kalinya dan jangan menghindar mas Tan:
APAKAH KESADARAN ITU BERSIFAT ANITYA ATAU NITYA?
TAN:
Saya ulangi pula pertanyaan SEKALIGUS JAWABAN saya untuk kelima kalinya:
APAKAH ANITYA ITU BERSIFAT NITYA ATAU ANITYA?
Coba direnungkan. Apakah cukup jelas? Nah itulah jawaban saya. Saya sudah menjawab untuk kali ke-5. Andalah yang menghindar dari jawaban saya. Hahahahahahaahaha.......
TL:
Jawab yang jujur mas 99% sama atau tidak?
TAN:
Sama. Silakan ehipassiko saja sendiri.
TL:
Baik sekali mas, semoga mas Tan sering-sering nien fo agar imannya selalu bertambah kuat.
TAN:
Baik sekali, semoga Bung TL sering-sering baca paritta Pali saja biar tambah pinter berdebat.
Amiduofo,
Tan
Mercedes:
saudara Tan yg bijak,
jika semua teori tanpa kenyataan, semua ajaran bisa mengatakan mereka-lah paling benar.
ketika teori tidak sesuai kenyataan yang manakah yang salah? kenyataan atau teori?
kenyataan tidaklah mungkin salah, dan yang salah pasti adalah teori-nya.
ketika berkata semua itu kembali ke masing-masing, sungguh itu bukanlah pemikiran buddhis.
karena buddhis tidak mengajarkan samuthi saja.
4 kesunyataan mulia yang dibabarkan sang buddha, bukanlah teori tanpa kebenaran...melainkan kenyataan sesungguh-nya.... ( seperti habis makan banyak pasti kenyang ^^ )
baik ajaran percaya atau tidak percaya tetap saja akan terkena imbas dari 4 kenyataan ini...
jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama....
kalau membahas teori tanpa kenyataan, maka muncul 1001 macam teori atau 84.000 teori.
TAN:
Saya akan beri analogi sebagai berikut. Ada sekelompok orang yang belum pernah pergi ke Paris. Suatu kali masing-masing dari mereka mendengar penuturan rekan atau kerabatnya masing-masing yang pernah pergi ke Paris. Ada di antara mereka yang mengagumi menara Eifel, sehingga dalam ceriteranya mereka banyak menceritakan tentang menara tersebut, umpamanya konstruksi bajanya yang luar biasa, keindahan kota Paris dilihat dari puncaknya dan lain sebagainya. Ada yang memusatkan ceritanya pada Istana Louvre dengan tamannya yang indah. Ada lagi yang bercerita tentang Gereja Notre Dame dan lain sebagainya. Ada lagi orang yang belum pernah ke Paris, tetapi membaca tentang Paris dari buku perjalanan.
Nah, suatu kali orang-orang yang belum pernah ke Paris ini berkumpul menjadi satu dan berdialog ramai tentang Paris, bahkan mereka membuat forum atau milis di internet untuk mendiskusikan Paris. Ada yang bilang dan bersikeras bahwa Eifel adalah bangunan terindah di Paris. Yang lain tidak mau kalah dan mengatakan Louvre adalah yang terindah. Yang lagi berteriak bahwa Notre Dame yang terindah. Bahkan yang lebih ekstrem ada yang mengatakan bahwa satu2nya bangunan terkenal di Paris adalah Eifel, Louvre, atau Notre Dame. Ingat! Tak seorangpun dari mereka pernah ke Paris. Tapi dengan lihainya mereka bercerita dan berteori tentang Paris, bahkan melebihi orang yang pernah ke Paris sendiri.
Analogi tadi mungkin tepat...mungkin juga tidak. Tetapi intinya adalah pertanyaan: Adakah di antara kita yang sudah jadi Buddha? Apakah teori kita hanya dari buku, penuturan guru-guru agama, atau dengar dari orang lain?
Semua yang diperdebatkan di sini hanya dari KITAB...hanya dari BUKU....!
Mana yang benar? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Hanya saja saya merasa selama teori itu bermanfaat bagi saya, saya merasa berhak memegangnya.
"jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama...."
What is "kenyataan" and what is "illusion"? Semua orang hanya "melihat apa yang mereka ingin lihat" (mengutip dari film Knowing). Anda ingin melihat "ilusi" menjadi "kenyataan" maka saat itu jadilah "kenyataan" itu. Anda ingin melihat "kenyataan" menjadi "ilusi" maka saat itu pula jadilah "ilusi" itu. Semua makhluk dalam samsara masih ditutupi oleh debu kebodohan tak dapat membedakan antara "ilusi" dan "kenyataan." Tak ada yang tahu siapa benar siapa salah. Karena itu jangan harap ada teori yang "sama." Teori yang "sama" hanya ada di kalangan orang yang berpendapat sama. Tapi dalam tataran majemuk jangan harap ada teori yang "sama."
Amiduofo,
Tan
Melihat bahwa pembahasan mengenai mahzab Mahayana selalu OOT, karena banyaknya member2 mempertanyakan sesuai dengan aliran laen, sehingga pembahasan mengenai topik itu sendiri menjadi kacau dan ujung2nya selalu membahas antara T vs M...
Gw coba memfasilitasi dengan membuat thread khusus bagi member2 yg ingin bertanya...
Selanjutnya, jika ada pertanyaan2 OOT yg ujung2nya T vs M, akan dilempar k thread ini...
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..
_/\_
Anda tidak paham maksud saya dan mengartikan posting saya terlalu harafiah. Apa yang saya sampaikan itu berbeda sekali dengan apa yang Anda ungkapkan di sini.saudara tan yang bijak,
Ungkapan Anda: “apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?” Pertanyaan saya:
1.Kebijaksanaan macam apa dulu? Kebijaksanaan tertinggi (prajna) jelas hanya seorang Buddha yang sanggup merealisasinya. Ingat banyak orang merasa dirinya bijaksana. Tetapi sekali lagi kebijaksanaan macam apa yang Anda maksud? Kalau kebijaksanaan Buddha jelas hanya seorang samyaksambuddha yang sanggup merealisasinya.
2. Ungkapan Anda mengenai 1+1 dan keharusan menjadi samasambuddha adalah sesuatu yang aneh dan tidak nyambung. Saya giliran bertanya pada Anda: “Apakah pengetahuan bahwa 1+1 = 2 itu adalah Kebijaksanaan Buddha?” Kalau bukan jangan gunakan sebagai analogi di sini.
Kebijaksanaan Buddha ya Kebijaksanaan Buddha.
Analogi Anda tentang garam dan anak SD tidak tepat. Yang benar adalah: Anda tidak akan pernah tahu apakah garam itu asin sebelum mengecap keasinan tersebut. Lagipula “asin” adalah sekedar istilah. Orang Inggris mengatakannya “salty.” Orang Jerman menyebutnya “saelzig.” Bagi orang Inggris garam jelas tidak asin tapi “salty.” Tetapi istilah “salty” sendiri apakah dapat menggambarkan rasa “garam.”
Mengenai metta dan pikiran. Tentu saja bagi makhluk yang belum tercerahi metta timbul dari pikiran. Saya tidak pernah mengatakan bahwa “metta” tidak berasal dari “ketiadaan” sama sekali. Buddha tidak masuk ke dalam nihilisme. Buddha itu tetap “ada.” Kalian boleh menyebutnya “Pikiran Tertinggi” atau apa saja. Saya tidak mempermasalahkan sebutan. Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai “keberadaan.” Itulah sebabnya Kebuddhaan merupakan “sesuatu yang tak terkatakan.” Dengan demikian, Mahayana menurut saya bukanlah eternalisme, meskipun aliran non Mahayana menuduhnya demikian. Saya tidak peduli tuduhan apapun terhadap Mahayana. Pandangan saya tak akan berubah sama sekali.
Amiduofo,
Anda salah mengerti. Asin dan manis hanyalah nama. Sebagai contoh kita mengacungkan jempol artinya “bagus.” Tetapi orang India mengacungkan jempol artinya “kotor.” Mana yang benar mana yang salah? Karena itu jangan biarkan kata-kata menipu kita. Orang yang sudah mengecap rasa garam, dia sudah tahu “kedemikianan” (tathata) garam itu. Mau disebut “asin,” “manis,” “salty,” atau “saelzig” ya sami mawon.yang salah mengerti itu saya atau anda?
Kenyataan tidak bisa diubah oleh teori, demikian kata Anda. Kalo gitu mari kita kembali ke topik kita tentang masalah Kebuddhaan. Kita anggap Buddha sebagai suatu “kenyataan.” Nah masalahnya, apakah kita semua sudah menjadi Buddha? Kalau belum. Janganlah kalian bilang TAHU kenyataan itu. Sudahkah kalian memasuki parinirvana? Kalau belum jangan bilang itu sebagai “kenyataan.” Kita semua ini cuma “kutu-kutu buku” atau “kutu-kutu teori.”
Amiduofo,
Sebelumnya saya minta izin OOT dulu. Perkataan Anda sungguh lucu dan membuat saya geli. Tapi cukup menghibur juga. Anda mengatakan “Saudara Tan yang bijak…. Adalah pemahaman yang BODOH dan KELIRU.” Lucu sekali, Anda mengatakan saya bijak.. tapi bilang pandangan saya bodoh dan keliru. Hahahahahaaha…. :pwell bagus lah untuk tawa anda, tawa itu ibadah. ^^ semoga anda berbahagia.
Oke kembali ke laptop. Anda salah. Saya tidak takut mengatakan “ada.” Saya tidak takut dikatakan “eternalis.” Memang apakah untungnya bagi saya dikatakan “eternalis” atau “tidak eternalis”? Uang saya tidak tambah sama sekali hahahahaha ) (becanda).
Jadi baiklah untuk menyingkat waktu. Saya katakan Buddha itu tetap “ada.” Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan konsep “keberadaan” yang ada di benak kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar ada dan tiada. Saya kira ini cukup jelas.
Ungkapan Anda: “oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?”
Hahahaaha Anda salah besar!!! Rulai itu bahasa Mandarin bagi Tathagata. Dalam Sutra Saddharmapundarika ada disebutkan Duobao Rulai yang dalam bahasa Sansekerta disebut Prabutaratna Tathatagata. Rulai itu salah satu gelar Buddha. Ungkapan bahwa Rulai mengacu pada Maitreya saja jelas ngawur. Sutra lain ada menyebutkan Miaoshi shen Rulai (Buddha Tubuh Elok). Nah sekarang Anda simpulkan sendiri apakah Rulai = Maitreya.
Kilas Balik.1. loh darimana anda tarik kesimpulan bahwa nihilisme?....
Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.
1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p
2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.
3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?
Sementara itu dulu. Semoga kaum non Mahayanis bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Semoga!
Amiduofo,
Tan
Kilas Balik.
Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.
1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p
2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.
3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?
Sementara itu dulu. Semoga kaum non Mahayanis bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Semoga!
Amiduofo,
Tan
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..saya sependapat dengan saudara Tan. ^^
TAN:
Saya pribadi sih sebenarnya tidak masalah apabila direndahkan atau dihina. Semuanya dapat dijadikan inputan yang berharga.
Amiduofo,
Tan
Kaynin:saudara Tan yang bijak,
Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?
TAN:
Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.
Tan
kalau ada sesuatu pasti ada sebab-nya.........
api ada maka ada panas api, asap ada pasti ada sumber-nya, demikian metta ada karena ada pikiran yang memancarkan....
tanpa pikiran dari mana metta?
sama halnya , bisakah cinta kasih dipancarkan dari sebuah kursi?
pelajaran dari mana anda berpendapat bahwa maitri karuna muncul tanpa sebab dan asal?
selama saya belajar meditasi, tidak pernah ada sebuah pikiran tanpa objek...pasti ada objek baru ada kesadaran mental.
objek adalah penyebab dan kesadaran adalah akibat.
tidak percaya? pratek saja sekarang.. ^^
nanti anda akan tahu pendapat bahwa
metta bisa dipancarkan,tanpa pikiran...itu salah besar dan hanya merupakan teori tanpa kenyataan.
salam metta.
quote dari meditasi ala mahayana :kalau begitu, buktikan donk ^^............kalau pakai teori tanpa kenyataan semua juga bisa.
Bagi teman-teman pemeraktek jalan umum,
saya mo beri inspirasi, tapi harap direnungkan baik-baik secara mendalam jangan langsung serang balik.
dorongan-dorongan sifat-sifat keTuhanan/brahma vihara (metta karuna upekha mudita) sebenarnya dilakukan (dimunculkan) oleh pikiran atau bukan?
TOPIK: Lenyapnya Pancaskandha
Saya akan berikan tanggapan terpadu. Pertama-tama mengapa disebut nihilisme? Misalkan ada sesuatu yang sebut saja bernama Ucok. Ucok ini terdiri dari A, B, C, D, dan E. Sehingga secara matematis boleh dituliskan:
Ucok = A + B + C + D + E.
Nah, jika A = 0, B = 0, C = 0, D = 0, dan E = 0. Maka berapakah nilai Ucok?
Ucok = 0 + 0 + 0 + 0 + 0
Ucok = 0 (nihil)
Bila seluruh pancaskandha padam, maka seorang Buddha tentunya akan menjadi 0. Dengan demikian, pandangan apakah bukan nihilisme?
Marilah kita cermati satu persatu berbagai jawaban:
Kalau begitu mengapa Anda berkomentar bahwa sesudah seorang Buddha parinirvana tak dapat lagi memancarkan cinta kasih?begini saudara Tan yang bijak,
APAKAH MAHAYANA MENGAJARKAN ETERNALISME?
Ini merupakan rangkuman bagi penjelasan-penjelasan saya sebelumnya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang Buddha tidak lenyap sama sekali, seperti pandangan kaum nihilis (sesudah mati tidak ada apa-apa lagi). Tetapi apakah ini merupakan pandangan eternalisme? Mari kita cermati. Seorang Buddha sudah tidak memiliki lagi “aku” atau “atman.” Apa yang disebut atman ini berupaya mengekalkan atau melanggengkan dirinya. Saat atman ini tidak ada lagi, maka tak ada lagi yang dapat disebut eternalis. Menurut Mahayana seorang Buddha berada dalam suatu kondisi “keberadaan.” Tetapi “keberadaan” ini berbeda dengan “keberadaan” para makhluk samsara. Jadi kita tak dapat menyebutnya sebagai “keberadaan” karena memang kondisinya beda. Mahayana menyebutnya dengan Trikaya (Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Samboghakaya). Boleh juga kita menyebutnya sebagai Pikiran Buddha yang Tercerahi dan lain sebagainya. Bila demikian, tentu ada yang menyanggah dan menanyakan, “Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan. Oleh karena itu, ajaran Mahayana sekali lagi konsisten di sini, dengan tak terjebak pada pandangan nihilisme maupun eternalisme.
Agar jelasnya saya akan ungkapkan apa yang disebut eternalisme itu? Umpamanya ada seorang dewa bernama X. Ia mencintai orang yang menyembahnya dan menghukum orang yang menghujatnya. Ia ingin mengekalkan dirinya. Nah inilah baru yang disebut eternalisme. Adanya suatu “aku” yang ingin terus melanggengkan dirinya. Apakah Buddha dalam Mahayana seperti itu? Tentu saja sangat jauh dari itu.
Amiduofo,
Tan
Anda nampaknya salah paham. Saya akan perjelas lagi. Bagi makhluk yang belum tercerahi, metta timbul dari pikirannya. Namun apakah metta suatu makhluk samsara dapat maksimal? Jawabanya tidak, karena kita masih memiliki semangat keakuan.saudara Tan, yang salah paham itu anda. ^^
Metta yang dipancarkanNya tidak lagi terkondisi oleh pancaskandhaoh,saudara Tan...
Kata siapa Buddha punya KEINGINAN untuk lahir? Itu adalah pelintiran Anda terhadap Ajaran Mahayana.kata saya,
Amiduofo,
Tan
Tambahan lagi:apakah ketika seseorang mencapai buddha, sudah tidak terkena sakit? sudah tidak terkena tua?
Kalau metta karuna seorang Buddha masih terkondisi oleh pancaskandha, itu artinya metta Beliau tak sempurna. Sekali lagi Mahayana konsisten dengan mengajarkan bahwa maitri karuna yang dipancarkanNya tak terkondisi oleh pancaskandha.
Amiduofo,
Tan
MERCEDES:kelahiran yang saya maksudkan Bhava dan dapat menimbulkan "JARA-MARANAM"
apakah kelahiran merupakan penderitaan...
TAN:
Kalau begitu jelaskan dahulu apakah yang Anda maksud dengan "kelahiran" dan "penderitaan." Apakah bagi Anda kelahiran = keluarnya bayi dari rahim ibunya setelah 9 bulan 10 hari? Apakah penderitaan itu sama dengan seseorang yang sudah jauh-jauh mengejar bis, ternyata bisnya baru berangkat? Tanpa penjelasan yang lengkap, pertanyaan Anda tentu saja tak akan dapat dijawab. Karena konsep kelahiran dan penderitaan masing-masing orang itu beda, maka jawaban dari pertanyaan Anda itu tentunya hanya Anda sendiri yang tahu.
Amiduofo,
Tan
“Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?saudara Tan,
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan.
Anda masih belum menuntaskan masalah mengenai nihilisme. Saya masih tetap memandang bahwa ajaran non Mahayana itu adalah nihilisme. Kalau begitu sekarang apakah para makhluk yang berwujud sebagai pancaskandha itu ada atau tidak? Kita di sini tidak meninjau adanya "diri" atau tidak. Apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu ada atau tidak?
MERCEDES:tentu saja anda adalah seorang buddha tetapi dalam jangkauan 1+1 = 2. ^^
saudara tan yang bijak,
jawabannya adalah ya, 1+1 = 2 adalah kebijaksanaan seorang buddha.
TAN:
Kalau begitu apakah saya paham bahwa 1 + 1 = 2 adalah juga seorang Buddha? Seorang yang memiliki Kebijaksanaan Buddha seharusnya adalah seorang Buddha. Hmmm.. kalau begitu berdasarkan ungkapan Anda itu, saya adalah seorang Buddha donk? Benar begitu?
Amiduofo,
Tan
Apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu ada atau tidak?
Nihilisme itu artinya adalah keyakinan bahwa sesudah kematian atau parinirvana tidak ada apa-apa lagi.
[at] Marcedes, memang kenapa? Di Theravada juga ada nama accinteya, yang memang tidak terjangkau pikiran biasa.oh ya? ^^
KAYNIN KUTHO:saudara Tan yang dimaksudkan saudara kainyin adalah ini :
Sebelum melebar dan panjang, saya mau tanya satu hal.
Ketika Buddha Sakyamuni belum parinirvana, apanya yang disebut dengan Buddha? Apakah tubuhnya, pikirannya, ingatannya, perasaannya, atau kesadarannya?
Jika bukan salah satu dari kelima skandha itu, apakah ada sesuatu yang lain yang sifatnya tidak berubah, yang bisa dirujuk sebagai Buddha Sakyamuni?
TAN:
Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?
Amiduofo,
Tan
1. "Bagaimana Yang Mulia disebut dan siapakah nama Anda?inilah yang dimaksudkan tidak ada "makhluk" hanya ada unsur-unsur yang padam setelah parinibbana.
"Baginda, saya disebut Nagasena tetapi itu hanyalah rujukan
dalam penggunaan
sehari-hari, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang
dapat
ditemukan."
Kemudian Milinda memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para
bhikkhu untuk
menjadi saksi: "Nagasena ini berkata
bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat dalam namanya.
Apakah
mungkin hal seperti itu diterima?" Kemudian ia berbalik kepada
Nagasena dan
berkata, "Jika, Yang Mulia Nagasena, hal tersebut benar, lalu
siapakah yang
memberi Anda jubah, makan dan tempat tinggal? Siapa yang
menjalani kehidupan
dengan benar ini? Atau juga, siapa yang membunuh
makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan?
Jika apa yang
Anda katakan itu benar maka tidak akan ada perbuatan yang baik
atau
perbuatan yang tercela, tidak akan ada pelaku kejahatan atau
pelaku
kebaikan, dan tidak ada hasil kamma. Jika, Yang Mulia,
seseorang membunuh
Anda maka tidak akan ada pembunuh, dan itu juga berarti bahwa
tidak ada
mahaguru atau guru dalam Sangha Anda. Anda berkata bahwa Anda
disebut Nagasena; sekarang, apakah Nagasena itu? Apakah
rambutnya?"
"Saya tidak mengatakan demikian, Raja yang Agung."
"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian
tubuhnya yang lain?"
"Tentu saja tidak"
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya,
atau
bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya? Ataukah semua tadi
digabungkan?
Ataukah sesuatu di luar semua itu tadi yang disebut Nagasena?"
Dan masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu"
"Kalau begitu Nagasena, kalau boleh saya berkata, saya tidak
dapat menemukan
Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Tetapi siapakah
yang kami
lihat di depan mata ini? Kebohonganlah yang telah dikatakan
Yang Mulia."
"Baginda, tuan telah dibesarkan dalam kemewahan sejak
dilahirkan. Bagaimanakah tadi Baginda datang kemari, berjalan
kaki atau naik
kereta?"
"Naik kereta, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tolong jelaskan, apakah kereta itu. Apakah
porosnya? Apakah
rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang
disebut kereta?
Atau gabungan semuanya itu, atau sesuatu di luar semua itu?"
"Bukan semua itu, Yang Mulia."
"Kalau begitu, Baginda, kereta ini hanyalah omong kosong.
Baginda berkata
dusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah
raja yang
besar di India. Siapa yang Baginda takuti sehingga Baginda
berdusta?"
Dan Nagasena kemudian memanggil orang-orang Yunani Bactria
dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah
berkata bahwa
beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya 'Apakah
kereta itu?'
beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?
Kemudian secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu
bersama-sama
berteriak kepada raja, "Jawablah bila Baginda bisa!"
"Yang Mulia, saya telah berkata dengan benar. Karena mempunyai
semua bagian
itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya sudah dapat menangkap artinya
dengan benar. Demikian juga karena ke-32 jenis zat organ materi
dalam tubuh
manusia dan 5 unsur makhluklah saya disebut Nagasena. Seperti
yang telah
dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang
Agung, 'Seperti
halnya ada berbagai bagian itu maka kata "kereta" digunakan,
demikian juga
bila ada unsur-unsur makhluk maka kata "makhluk"
digunakan.'
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa menggagumkannya
penyelesaian teka-teki ini olehmu, meskipun sulit. Seandainya
Sang Buddha
berada di sinipun Beliau pasti akan menyetujui jawabanmu."
Lho kalau begitu buddha itu banyak ya? Anda menggunakan buddha dalam huruf kecil dan besar. Apakah Buddha ada tingkatan-tingkatannya? Manakah yang benar-benar "Buddha", yakni Buddha (dengan huruf besar) atau buddha (dengan huruf kecil)? Saya baru tahu sekarang kalau ada buddha (dengan huruf kecil) dan Buddha (dengan huruf besar).pentingkah membahas huruf besar huruf kecil?, masih fokus kah pembahasan kita ini....
Amiduofo,
Tan
MERCEDES mengutip:saudara Tan membaca Sutta itu bukan sepotong-sepotong, dan pahami makna-nya....
‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathàgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur.78 Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathàgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungkannya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat MELIHATNYA. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’
TAN:
Perhatikan kata "MELIHATNYA" yang saya tulis dengan huruf besar semua. Kutipan di atas jelas sekali mendukung ajaran Mahayana, karena yang dipermasalahkan adalah "melihat" dan "tidak melihat." Sesuatu yang "tak terlihat" oleh para dewa dan manusia, bukannya tidak ada lho. Gelombang elektromagnetik tidak terlihat oleh manusia, tetapi pada kenyataannya ada atau tidak? Sekali lagi kutipan di atas tidak mendukung pandangan nihilis kaum non Mahayanis.
Lagipula yang dibicarakan adalah "jasmani" Sang Buddha. Mahayana sendiri tidak memandang dharmakaya dalam artian fisik kok.
Jelas sekali kutipan di atas malah mendukung ajaran Mahayana atau setidaknya sama sekali tak bertentangan dengannya.
Amiduofo,
Tan
TAN:sungguh anda tidak mengerti maksud saudara Kainyn...
Ingat. "Tidak ada yang benar2 makhluk" bukan berarti makhluk itu "tak ada." Dua hal itu tidak identik. Selama suatu makhluk masih terikat pada samsara, tidak bijaksana mengatakan bahwa "makhluk" itu tak ada. Saya kasih analogi yang menggelikan. Ada seorang penjual pisang goreng yang terlalu ekstrem terikat pada pandangan bahwa "sesuatu itu tidak ada karena merupakan paduan unsur." Waktu ditanya, "Ada pisang, Bang?" Dia menjawab, "Tidak ada! Tidak apa-apa." Karena pisang itu menurutnya paduan unsur, maka ia menjawab demikian. Akhirnya tak ada yang membeli pisang gorengnya. hahahahahaha!
Selama suatu "makhluk" masih terikat oleh samsara, maka segala sesuatu itu harus dianggap "ada."
Mahayana sangat jelas dengan hal ini. Sementara itu, kaum non Mahayanis terkadang masih mengacaukan antara "tidak ada sesuatu yang benar-benar eksis karena semuanya merupakan paduan unsur" dengan "tidak ada apa-apa sama sekali." Akhirnya dipukul rata bahwa semuanya "benar-benar tidak ada."
Amiduofo,
Tan
Kontradiktif! Anda mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah nibanna, tetapi Anda berani mengklaim tahu pasti bahwa penderitaan akan berakhir kalau pikiran ini padam. Menurut non Mahayanis bukannya "padamnya pikiran" = nibanna. Kalau padamnya pikiran Anda tolak identik dengan nibanna. Berarti artinya Anda mendukung pandangan bahwa saat seseorang parinirvana masih ada pikiran bukan? Pernyataan Anda sungguh kontradiktif. Di saat mengklaim bahwa Anda tidak tahu masalah nibanna, tetapi pada sisi lain tahu pasti masalah nibanna. Apakah "tidak tahu" = "tahu"?saudara Tan,
Kedua, pikiran Anda sendiri belum padam, tetapi bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu adalah akhir penderitaan? Dari buku kah? Dari kitab kah?
Oke..oke... Buddha yang telah parinirvana menurut Anda tidak dapat memancarkan metta karena tak mempunyai pikiran. Kursi juga tak dapat memancarkan metta. Jadi menurut Anda, Buddha = kursi?kok anda tanya saya.......teori anda bukankah berbunyi
Sudah saya jawab berulang kali. Menurut Mahayana Buddha jelas tidak bisa "padam" (istilah "padam" dalam pengertian makhluk samsara). Padam artinya sama dengan nihilisme. Karena itu saya selalu menyatakan berulang-ulang bahwa non Mahayanis itu = nihilisme.oke lah sekarang seperti nya ada kesalahpahaman arti dari kata "nihilisme"
justru yang jadi pertanyaan, bila BEliau PADAM. Apa bedanya dengan nihilisme? Kalau hanya masalah lupa pada pencapaiannya, itu jawaban gampang. Dalam Mahayana ada ajaran Upakaya Kausalya. Jadi Buddha tidak dapat dikatakan merosot batinnya. Nah, sekarang terserah Anda mau terima jawaban Upaya Kausalya atau tidak.
[at] mercedes...
Jawabannya mungkin adalah, karena upaya kausalya seorang bodhisatva untuk menyelamatkan makhluk hidup, termasuk terlahir kembali dan sampai pada skenario lupa akan pencerahan dan bathin merosot...
Terhadap jawaban ini (UPAYA KAUSALYA) saya angkat tangan deh... Memang jawaban pamungkas...
Ulasan Anda di atas, yakni bahwa 0 mempunyai arti atau peran itu berada di luar konteks pembahasan kita. Baik saya akan kembalikan lagi ke laptop. Kita sedang membahas mengenai padamnya pancaskandha. Jadi 0 ini dalam konteks pembicaraan kita berarti sesuatu yang benar-benar tidak ada. Untuk jelasnya adalah kelinci yang punya sayap. "Avaibility" kelinci yang punya sayap di muka bumi ini adalah 0. Artinya Anda tak akan menemukan kelinci semacam itu, sekalipun Anda mengublek-ublek seluruh penjuru bumi ini. Demikian yang saya maksudkan dengan 0.
Bila Anda menganggap 0 dalam konsep seperti yang Anda ungkapkan itu, maka secara tidak langsung Anda mendukung konsep Mahayana. Buddha berada dalam suatu kondisi yang "ada," tetapi "keberadaannya" berbeda dengan "keberadaan" para makhluk. Jadi kita tidak menganggapnya sebagai eternalisme. Begitu pula Buddhisme tidak pula terjatuh dalam pandangan nihilis, seperti sebagian kaum non-Mahayanis memahami Buddha. Inilah konsistensi Mahayana.
Ya seperti konsep 0 itulah. Walaupun tentu saja Buddha tidak dapat disamakan dengan 0. Dari 0 memancarlah bilangan 10, 100, 1000, 1000, 10.000 hingga tak terhingga. Begitu pula seorang Buddha setelah parinirvana dapat memancarkan maitri karuna.
Terima kasih banyak untuk Bung Kelana telah memberikan ide bagi hal ini. Konsep 0 yang Anda ungkapkan di atas justru sangat dekat dengan Buddhologi Mahayana.
Amiduofo,
Tan
Kilas Balik.
Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.
1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p
2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.
3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?
TL:
Nggak nyambung lagi. Hukum karma atau karma Niyama terjadi pada apa mas? terjadi pada mahluk hidup atau benda mati juga berlaku karma niyama?
TAN:
Karma niyama ya karma niyama. Jangan coba mengkaitkan dengan makhluk hidup atau makhluk mati. Saya tanya sebagai suatu niyama. Nitya atau anitya? Mohon jawabannya.
TL:
Coba jawab mas Tan :
Mahluk hidup punya kesadaran atau tidak ? ? ?
Kesadaran itu anitya atau nitya ?
TAN:
Sudah saya jawab pada posting2 sebelumnya. Saya tentu tidak mau mengulang-ulang terus. Seratus kali Anda menanyakan pertanyaan ini. Seratus kali pula Anda akan mendapatkan jawaban yang sama dari saya: “Apakah anitya itu sendiri nitya atau anitya?”
TL:
99% sama ya mas Tan?
TAN:
Wah kok pakai wikipedia? Anda cek sendiri dari sumbernya donk. Saya tidak akan menanggapi kalau Anda pakai sumber wikipedia. Jawabannya saya tetap 99 % sama. Ingat 99 % bukan berarti bahwa “semuanya sama lho.” Pasti ada bedanya. Saya ga pernah bilang Abhidarma Sarvatisvara = Abhidhamma. Itu Anda sendiri yang bilang. Tetapi yang pasti dalam kanon Mahayana. Abhidhamma Pali juga ada.
TL:
Oh ya bagaimana dengan kutipan kitab suci Hindu tersebut, mirip atau tidak?
Terima kasih mas Tan, semoga mas Tan selalu berbahagia.
TAN:
Ohya bagaimana dengan konsep Tirthankara dalam agama Jain. Mirip atau tidak?
Terima kasih kembali. Semoga Anda selalu berbahagia. Amiduofo,
Tan
1) Metta Bhavana bertujuan untuk mengakhiri kebencian yang ada di diri sendiri. Mengharapkan agar semua makhluk berbahagia itu artinya mengharapkan agar semua makhluk berbahagia saat ini dan kelak. Meskipun, tidak mungkin semua makhluk saat ini berbahagia. Perbedaannya adalah :Menurut saya bro upasaka, baik Metta bhavana maupun Ikrar Bodhisattva kedua-duanya dimulai dari pikiran. Kutipan-kutipan yang saya cantumkan dalam posting sebelumnya jelas-jelas mengatakan bahwa Ikrar bodhisattva adalah cara membangkitkan pikiran Bodhicitta.
- Metta bhavana dilakukan dengan pikiran, identik dengan kata "semoga".
- Ikrar Bodhisattva dijalankan dengan perbuatan.
Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk dengan menolong semua makhluk adalah 2 kalimat dengan konteks yang berbeda. Dan konteks kalimat di Ikrar Bodhisattva ini tidak (atau belum) dapat dipertanggungjawabkan dalam bukti nyata.
2) Tanpa menerapkan Ikrar Bodhisattva, sebenarnya setiap orang juga bisa menjalani penghidupan suci 'sambil' menolong makhluk lain. Justru penghidupan suci tidak akan membawa seseorang mencapai Nirvana jika orang itu tidak mengembangkan kebajikan. Sang Buddha mengajarkan sila, samadhi dan prajna, sebagai satu paket yang harus diaplikasikan untuk mencapai Pembebasan. Jadi Ikrar Bodhisattva hanyalah trademark semata. Namun pada hakikatnya, tekad itu bersifat universal; dan sebenarnya juga ada di Theravada.Saya tidak setuju jika ikrar Bodhisattva disamakan dengan merk dagang (trademark/trade=dagang mark=tanda, atau merk), sebab di dalamnya tidak ada masalah untung dan rugi. Semoga anda menyadari bahwa kata-kata ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap ikrar Bodhisattva.
3) "...pohon abadi Bodhicitta..."Ah, namanya saja syair Bro, selalu banyak menggunakan metafora. Jangan terlalu dilihat dari kacamata realis melulu.
Ini salah satu contoh syair yang kurang saya terima. Entah apakah memang syair Mahayana lebih sering memakai gaya bahasa konotasi atau tidak, tapi saya melihat contoh kalimat di atas adalah kurang tepat. Mengapa disebut "abadi", padahal "pohon" yang dimaksud adalah "semangat / tekad". Bukankah "semangat / tekad" itu muncul karena ada faktor-faktor pendukung? Kalau begitu, sangat jelas bahwa "pohon" itu pun sebenarnya tidak abadi.
4) Ya, saya memakai landasan realisme. ;DBukankah hukum Pratitya Samutpada adalah hukum yang dirumuskan untuk dipecahkan rangkaian jika seseorang ingin merealisasi nirvana. Anda keliru sama sekali ketika mengandaikan Pratitya Samutpada adalah suatu hukum objektif yang berdiri sendiri dan harus tetap ada meski subjek tidak ada. Sebaliknya, Pratitya Samutpada adalah ‘lingkaran setan’ yang muncul terus menerus antara faktor subjektif dan objektif yang terkait satu sama lain yang akhirnya menyebabkan seseorang terus terlempar dalam samsara. Oleh karena itu, hukum Pratitya Samutpada itu sendiri adalah cerminan dari samsara itu sendiri. Jika samsara adalah ilusi debu duniawi, maka Pratitya Samutpada tetap berputar juga disebabkan oleh ilusi debu duniawi. Jadi dengan hilangnya ilusi debu duniawi, maka patah pula rangkaian Pratitya Samutpada. Patahnya rangkaian tersebut yang menyebabkan seseorang menyadari hakikat sejati Pratitya Samutpada yang ilusif. Jadi jika semua makhluk lepas dari samsara, lalu apa gunanya hukum Pratitya Samutpada?
Contoh pandangan orang di abad 18 dan pandangan masyarakat saat ini di atas kurang mengena. Mari kita pakai analogi dalam akar Buddhisme...
Anda berkata ada kemungkinan bahwa semua makhluk akan ditolong dan mencapai Pembebasan. Jika kesimpulan ini benar, maka secara langsung Hukum Pratitya Samutpada akan gugur. Kita tahu bahwa isi dunia ini berada dalam kondisi yang saling bergantungan. Ketika Anda menyatakan bahwa semua makhluk mampu merealisasi Nirvana sehingga samsara akan kosong, artinya ada satu fase di mana makhluk-makhluk tertentu tidak bergantung dengan yang lainnya. Maksudnya : Kalau samsara bisa kosong dari makhluk, berarti ada suatu masa dimana semua makhluk berada dalam keadaan yang kondusif untuk merealisasi Nirvana. Artinya semua makhluk saat itu akan menjadi Buddha, tidak ada lagi makhluk di alam menderita, tidak ada lagi kutu di tubuh seekor kucing, tidak ada lagi cacing dalam isi perut manusia, tidak ada lagi ganggang yang menjaga ekosistem perairan, dsb.
Bukankah ini adalah skenario jauh di masa depan dari Ikrar Bodhisattva, yakni terbebasnya semua makhluk sehingga samsara jadi kosong? Kalau benar, berarti sekali lagi Hukum Pratitya Samutpada gugur. Samsara bergantung pada makhluk, dan makhluk juga bergantung pada samsara. Oleh karena itu, awal dan akhir samsara adalah tidak relevan untuk disimpulkan. Apalagi jika hal ini adalah sebagian dari visi-misi seorang Bodhisattva. Inilah yang belum bisa saya terima dengan akal sehat.
5) Bantuan seh bantuan. Tapi saya belum tahu jelas makna bantuan dari seorang Bodhisattva, karena selama ini belum ada yang mau menjelaskan lebih lanjut.Masalahnya bukan pada perbedaan ‘bantuan’ yang diberikan, namun lebih pada bagaimana CARA bantuan itu diberikan. Bodhisattva memberikan bantuan dengan tetap mempertahankan kebijaksaan Prajna Paramita bahwa pada dasarnya “tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu, oleh karena itu tidak ada bantuan.” Jika seorang Theravadin juga mempertahankan pandangan demikian, maka baru dikatakan benar-benar tidak ada bedanya.
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
Apakah benar...? Kalau benar, lantas apa bedanya dengan bantuan yang dapat diberikan oleh Kaum Theravadin?
6) Dalam Theravada juga tidak ada unsur buru-buru atau tergesa-gesa. Semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan. Ada yang ingin segera merealisasi Nibbana karena kematangan batinnya dalam melihat penghidupan ini. Atau ada juga yang belum ingin segera merealisasinya, karena batinnya belum cukup matang.
Jadi di Theravada tidak ada pola wajib tak tertulis yang mengharuskan praktisi untuk menunda pencapaian Nibbana.
TAN:
Tanggapan di atas tidak masuk akal dan tidak membebaskan kaum non Mahayanis dari dari pandangan nihilisme. Dikatakan “Buddha tidak lagi memiliki pancakkhandha.” Padahal unsur penyusun makhluk hidup adalah “pancakkhandha.” Secara matematis tidak memiliki pancaskandha berarti identik dengan 0 + 0 + 0 + 0 + 0 = 0 (Ingat saya tulis dengan huruf besar NOL). Apakah ini sekali lagi tidak identik dengan nihilisme? Selanjutnya dikatakan “apakah lenyap/ nihilisme? Jawabannya adalah tidak.” Ini tidak masuk akal karena seolah-olah hendak mengatakan bahwa 0 = 1. Selanjutnya diberikan analogi tentang api. Sepintas memang masuk akal. Tetapi sekarang pertanyaannya apakah “api” benar hilang-hilang bila unsur-unsur pendukungnya tidak ada lagi? Jawabannya adalah TIDAK. Api tidak hilang melainkan bertransformasi menjadi bentuk energi lainnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa “tidak tercipta maka tidak akan lenyap.” Bila dicermati secara seksama pandangan ini tetap menimbulkan permasalahan. Kita tidak mempermasalahkan “tercipta” atau “tidak tercipta.” Untuk mudahnya begini, saya akan mempertanyakan apakah panca skandha itu “ada” atau “tidak ada”? Apakah “ada” Buddha Sakyamuni yang sebelumnya terdiri dari pancaskandha? Kemana perginya pancaskandha itu setelah Beliau parinirvana?
Mengemukakan konsep bahwa yang tak tercipta tak akan lenyap jelas tidak tepat di sini, karena pada kenyataannya pancaskandha itu “ada.” Jika pancaskandha itu tidak ada karena tak pernah tercipta, siapakah yang menulis artikel ini?
Jawaban di atas tetap tidak dapat menuntaskan masalah nihilisme yang saya kemukakan.
Apakah maksud Anda, setelah mencapai Pembebasan Mutlak semuanya menjadi nitya alias kekal? Benarkah demikian?
Anda tidak menjawab pertanyaan saya, apakah konsep anitya itu merupakan nitya atau anitya. Ingat kita bicara anitya sebagai suatu KONSEP lho. Saya tekan lagi KONSEP. Saya tidak menanyakan mengenai anitya/ nitya ditinjau dari sebelum dan sesudah pembebasan. Yang Anda jawab hanyalah memberikan pembedaan mengenai nitya dan anitya ditinjau dari orang yang sudah bebas dan belum. Padahal yang saya tanyakan bukan itu.
Kedua, dengan jawaban Anda, seolah-olah hendak mengatakan bahwa anitya itu tidak kekal. Bagaimana logikanya?
Orang yang belum tercerahi masih berlaku anitya, tetapi yang sudah tercerahi tidak lagi berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut Anda anitya itu TIDAK KEKAL. Benarkah demikian?
Menurut saya bro upasaka, baik Metta bhavana maupun Ikrar Bodhisattva kedua-duanya dimulai dari pikiran. Kutipan-kutipan yang saya cantumkan dalam posting sebelumnya jelas-jelas mengatakan bahwa Ikrar bodhisattva adalah cara membangkitkan pikiran Bodhicitta.
Keduanya juga bro upasaka, dari pikiran yang terbangkit akan menuntun pada suatu tindakan. Metta Bhavana yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidaklah mungkin hanya kata “semoga” yang hanya merupakan harapan semu belaka. Karena dalam membangkitkan Metta juga dibutuhkan tekad yang sungguh-sungguh dan tulus, sebagaimana dalam mengucapkan Ikrar Bodhisattva.
Sebagai tekad yang sungguh-sungguh, metta bhava tidak pernah berhenti hanya pada kata-kata “semoga” saja melainkan juga akan tercermin dalam tindakan seorang meditator yang tidak ingin menyakiti makhluk lain dan benar-benar bertindakan untuk kebaikan semua makhluk hidup. Sama halnya dengan itu, sebagai tekad yang sungguh-sungguh, ikrar Bodhisattva akan tercermin juga dalam tindakan keseharian seorang calon Bodhisattva yang benar-benar mengharapkan semua makhluk terbebas dari samsara. Bahkan ikrar Bodhisattva itu sendiri adalah pancaran metta karuna.
Tidaklah tepat bro Upasaka, memisahkan antara pikiran yang dibangkitkan dengan tindakan yang dilakukan kelak. Setiap pikiran positif yang berhasil dibangkitkan dengan sungguh-sungguh semuanya akan menghasilkan tindakan positif yang sama.
Saya tidak setuju jika ikrar Bodhisattva disamakan dengan merk dagang (trademark/trade=dagang mark=tanda, atau merk), sebab di dalamnya tidak ada masalah untung dan rugi. Semoga anda menyadari bahwa kata-kata ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap ikrar Bodhisattva.
Di luar semua ini, saya setuju jika tekad ini universal. Namun saya melihat hanya di Mahayana yang mengajak seseorang yang ingin mencapai Anuttara Samyak Sambodhi untuk terlebih dahulu melepaskan cita-cita dirinya untuk merealisasi nirvana, dengan cara mengutamakan makhluk lain. Dengan cara demikian, secara otomatis seseorang semakin dekat dengan realisasi nirvana, bukan menjauhinya. Dalam Theravada, tekad demikian bisa saja muncul, meski sangat tergantung pada individu masing-masing. Oleh karena itu, Mahayana adalah jalan yang lebih terbuka dan menuntn semua orang tanpa peduli kapasitas dan kemampuannya. Setiap manusia dengan kemampuan dan keterbatasan apapun selalu dituntun dengan Ikrar Bodhisattva yang membantunya untuk merealisasi nirvana. Sedangkan dalam Theravada, kemampuan individual menjadi penting, karena semuanya tergantung pada kemauan dan kemampuan masing-masing.
Ah, namanya saja syair Bro, selalu banyak menggunakan metafora. Jangan terlalu dilihat dari kacamata realis melulu.
Bukankah hukum Pratitya Samutpada adalah hukum yang dirumuskan untuk dipecahkan rangkaian jika seseorang ingin merealisasi nirvana. Anda keliru sama sekali ketika mengandaikan Pratitya Samutpada adalah suatu hukum objektif yang berdiri sendiri dan harus tetap ada meski subjek tidak ada. Sebaliknya, Pratitya Samutpada adalah ‘lingkaran setan’ yang muncul terus menerus antara faktor subjektif dan objektif yang terkait satu sama lain yang akhirnya menyebabkan seseorang terus terlempar dalam samsara. Oleh karena itu, hukum Pratitya Samutpada itu sendiri adalah cerminan dari samsara itu sendiri. Jika samsara adalah ilusi debu duniawi, maka Pratitya Samutpada tetap berputar juga disebabkan oleh ilusi debu duniawi. Jadi dengan hilangnya ilusi debu duniawi, maka patah pula rangkaian Pratitya Samutpada. Patahnya rangkaian tersebut yang menyebabkan seseorang menyadari hakikat sejati Pratitya Samutpada yang ilusif. Jadi jika semua makhluk lepas dari samsara, lalu apa gunanya hukum Pratitya Samutpada?
Di sinilah saya menilai anda menganut suatu realisme yang kebacut. Realisme dogmatis yang telah mendewa-dewakan paham tentang subjek dan objek yang terpisah secara absolut. Cara anda memahami Pratitya Samutpada di atas mencerminkan hal ini. Anda memahami Pratitya Samutpada adalah sesuatu yang nyata, bahkan HARUS tetap ada meski nirvana telah terealisasi. Hal ini mengandaikan seolah-olah Pratitya Samutpada adalah kenyataan mandiri yang terpisah sepenuhnya dari Nirvana. Jika memang demikian adanya, maka Nirvana yang anda pahami tidak lain dari suatu kondisi baru di luar kondisi-kondisi yang telah kita kenal. Padahal cara pandang demikian benar-benar keliru.
Masalahnya bukan pada perbedaan ‘bantuan’ yang diberikan, namun lebih pada bagaimana CARA bantuan itu diberikan. Bodhisattva memberikan bantuan dengan tetap mempertahankan kebijaksaan Prajna Paramita bahwa pada dasarnya “tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu, oleh karena itu tidak ada bantuan.” Jika seorang Theravadin juga mempertahankan pandangan demikian, maka baru dikatakan benar-benar tidak ada bedanya.
Pandangan “semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan” demikian mencerminkan bagaimana para Theravadin kemudian dinilai terlalu hanya memperhatikan pencapaian individual belaka. Dalam Mahayana, pencapaian individual diabaikan dan sebagai gantinya adalah pencapaian universal semua makhluk. Oleh karena itu, Kereta Mahayana selalu siap menunggu membantu dan semua makhluk untuk merealisasi nirvana tanpa pandan bulu. Adanya pembedaan antara yang matang batinnya dan tidak matang bantinnya adalah cermin dari pikiran yang masih diskriminatif. Dalam Mahayana, pembedaan demikian juga adalah tanda pikiran yang masih diselimuti debu.
Secara nihilisme (ucchedavada) adalah paham yang ditolak oleh Theravada. Demikian juga dengan eternalisme (sassatavada) juga merupakan paham ekstrim yang ditolak Theravada.
TAN:
Benar, tetapi kenyataannya banyak umat non Mahayanis yang mempunyai pandangan sangat mirip dengan nihilisme.
TAN:
Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?
MERCEDES:
saya mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah Nibbana,
tetapi saya "tahu" pasti bahwa penderitaan akan berakhir ketika pikiran ini padam.
TAN:
Kontradiktif! Anda mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah nibanna, tetapi Anda berani mengklaim tahu pasti bahwa penderitaan akan berakhir kalau pikiran ini padam. Menurut non Mahayanis bukannya "padamnya pikiran" = nibanna. Kalau padamnya pikiran Anda tolak identik dengan nibanna. Berarti artinya Anda mendukung pandangan bahwa saat seseorang parinirvana masih ada pikiran bukan? Pernyataan Anda sungguh kontradiktif. Di saat mengklaim bahwa Anda tidak tahu masalah nibanna, tetapi pada sisi lain tahu pasti masalah nibanna. Apakah "tidak tahu" = "tahu"?
Kedua, pikiran Anda sendiri belum padam, tetapi bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu adalah akhir penderitaan? Dari buku kah? Dari kitab kah?
TAN:
Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?
Kumpulan panca skandha yang selalu berubah (dan pada akhirnya hancur) pada mahluk yang kita kenal sebagai Buddha Sakyamuni, menurut saya adalah ada. Namun "inti diri" yang kekal dari Buddha Sakyamuni adalah tidak ada, apakah itu relik jasmaninya (sekarang mungkin ada, tetapi suatu saat tetap akan hancur), apakah kesadarannya, apakah pencerapannya, apakah perasaannya, termasuk bentuk pikirannya yang berupa Maitri-Karuna.
Contoh sederhana dan singkatnya, orangnya ada, berarti tubuhnya ada (menurut sejarah), namun tidak kekal dan sudah hancur, bukan? Mengenai 4 skandha (bathin) lainnya, pembicaraannya hanya menghasilkan spekulasi yang oleh Buddha sendiri (menurut kitab Pali) tidak ditanggapi (karena tidak bermanfaat). Oleh karena itu, saya memilih kita kembali saja pada kenyataan sekarang dan bercermin di diri sendiri, apakah ada bagian dari "diri" ini yang kekal? Tetapi kemungkinan Bro Tan juga akan menjawab "Ada", jadi saya tidak lanjut lagi deh. Bagaimana pun juga, terima kasih jawabannya.
Saya juga tidak akan menentang kok kalau ada yang katakan Buddha Sakyamuni disebut "tokoh dongeng". Karena pada kenyataannya, memang menentang atau tidak, tetap tidak akan mampu membuktikan.
Benar mas Kay, walaupun kita menjawab ada reliknya, ada tempat mencapai penerangan dlsbnya, tetap akan menjadi debat kusir: pertanyaannya akan menjadi apakah anda pernah bertemu langsung?
Bahkan walau kita pernah bertemu langsung sekalipun, tetap bisa didebat oleh mas Tan: darimana anda tahu yang anda temui itu Buddha Sakyamuni atau bukan?
Metta
TAN:sudah dibilang, ini sudah ke-2 kalinya, bacalah sutta dan pratekkan...memangnya bahasa pali menerjemahkan sama persis...
Di Sutta ada disebutkan: Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’
Tetapi tidak disebutkan para dewa atau manusia dari kalpa mana. Jadi dengan demikian, tidak menutup kemungkinan di kalpa lain para dewa dan manusia masih dapat melihatnya. Teks Sutta tidak menambahkan frasa "di kalpa manapun." Selain itu, Sutta di atas ditujukan pada para dewa dan manusia di kalpa SEKARANG. Jadi saya sah-sah saja menganggap bahwa Buddha masih dapat "dilihat" di kalpa lainnya, kecuali teks Sutta menyebutkan "Di kalpa atau dunia manapun." Selama tidak ada kalimat itu adalah sah saya menafsirkan bahwa Buddha masih dapat dilihat di kalpa lainnya. Bukan begitu?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Anda belum memadamkan pikiran, jadi bagaimana Anda tahu bahwa pikiran padam merupakan akhir penderitaan. Jadi pengetahuan ini hanya berdasarkan buku atau kitab. Ingat logika manusia belum tentu benar. Baik kita ambil contoh Anda tentang makan dan kenyang. Memang benar bahwa makan bisa menimbulkan kenyang. Tetapi perasaan kenyang dan lapar tidak hanya timbul dari makanan. Anda pernah dengar percobaan psikologis dengan tikus tidak? Bagian-bagian otak seekor tikus dirusak dan dirangsang, maka ia akan terus menerus merasa lapar. Apabila bagian tertentu dimanipulasi ia akan merasa kenyang. Jadi ungkapan “kenyang tidak akan terjadi apabila tidak makan” adalah salah.
Pikiran padam mengakhiri penderitaan? Apakah Buddha sebelum mencapai anaupadisesa nirvana pikirannya sudah padam belum? Karena pikiran adalah bagian pancaskandha maka jawabannya BELUM. Anda bilang kalau pikiran padam penderitaan padam. Jadi kalau pikiran belum padam, penderitaan masih ada. Kesimpulannya Buddha Sakyamuni masih menderita donk?
Kesimpulannya: Anda seorang nihilis.syukurlah saya seorang nihilisme.^^
At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?inilah permasalahan-nya, bukan meneliti apakah pandangan saya salah atau tidak ataukah sesuai dengan pengalaman langsung, melainkan mencari cara pembenaran diri tanpa pengalaman langsung dan mengeluarkan pola pikir asal-asalan......
Karena pada kenyataannya, memang menentang atau tidak, tetap tidak akan mampu membuktikan.kalau kita membahas apakah Sangbuddha tokoh dongeng yah tentu hal ini sia-sia..karena siapa yg bisa buktikan?
Saya tidak menjawab karena pertanyaan apakah anitya itu nitya atau tidak, karena akan menyebabkan debat liar penuh spekulasi mirip seperti pertanyaan : ada durian asam atau tidak?
bila saya menjawab tidak, maka akan dijawab balik: bagaimana dengan durian busuk? bila saya menjawab durian busuk tidak termasuk hanya durian segar yang dimaksud, akan ada pertanyaan lagi bagaimana bila ada mutasi gen? Bagaimana bila ilmuwan berhasil merekayasa genetika? bagaimana bila ada penjual nakal menyuntikkan cairan asam? dsbnya... Padahal jawabannya sederhana sekali tidak ada durian asam.
model diskusi orang tercerahkan ^.^
memang ada tersirat pemaksaan satu konsep???
Mohon kawan - kawan diskusi yang baik, jangan melakukan diskusi penyerangan bersifat pribadi.
Penggalan kalimat ini
sudah dibilang, ini sudah ke-2 kalinya, bacalah sutta dan pratekkan...memangnya bahasa pali menerjemahkan sama persis...
ketika seseorang meramal^^, orang biasa berkata "saya melihat ini itu ada kejadian begini dan begitu"
apakah peramal tersebut betul-betul "melihat" dengan memakai indra mata?
tidak kan....hehehe ^^ ==> seperti kalimat ini.
makanya dari awal, sudah tercium gelagat model diskusi "tanpa pikir dan pratek" saya jadi malas diskusi.
========================
Kalo sudah malas diskusi jangan menulis di thread ini lagi lah.
Satu hal lagi pembahasan jangan berdasarkan pemaksaan 1 konsep . Disini diskusi perbedaan pandangan Mahayana dengan Teravada, jadi kadang saya lihat masih adanya pemaksaan satu konsep, sama saja diskusi mau menang sendiri, gimana saling mau belajar, yang posting masih ada sikap egoistisme.
Makasih
Judulnya thread ini :
Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
Kritis sih boleh Bro, tapi ada konteksnya, ada kala yang masih melanggar etika diskusi. seperti kalimat - kalimat menghina orang lain dan sebagainya, Siapa yang ngak boleh kritis, Kritis nya membangun tidak apa, kristis untuk mengtahui banyak tidak apa, Kristis untuk mengatahui lebih dalam lagi ngak apa, kadang kristisnya berubah jadi acara hina menghina, yang ini mestinya digaris bawahi.
Judulnya thread ini :
Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
Kritis sih boleh Bro, tapi ada konteksnya, ada kala yang masih melanggar etika diskusi. seperti kalimat - kalimat menghina orang lain dan sebagainya, Siapa yang ngak boleh kritis, Kritis nya membangun tidak apa, kristis untuk mengtahui banyak tidak apa, Kristis untuk mengatahui lebih dalam lagi ngak apa, kadang kristisnya berubah jadi acara hina menghina, yang ini mestinya digaris bawahi.
Judulnya thread ini :Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana, tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.
Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
Kritis sih boleh Bro, tapi ada konteksnya, ada kala yang masih melanggar etika diskusi. seperti kalimat - kalimat menghina orang lain dan sebagainya, Siapa yang ngak boleh kritis, Kritis nya membangun tidak apa, kristis untuk mengtahui banyak tidak apa, Kristis untuk mengatahui lebih dalam lagi ngak apa, kadang kristisnya berubah jadi acara hina menghina, yang ini mestinya digaris bawahi.
Judulnya thread ini :Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana, tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.
Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
Kritis sih boleh Bro, tapi ada konteksnya, ada kala yang masih melanggar etika diskusi. seperti kalimat - kalimat menghina orang lain dan sebagainya, Siapa yang ngak boleh kritis, Kritis nya membangun tidak apa, kristis untuk mengtahui banyak tidak apa, Kristis untuk mengatahui lebih dalam lagi ngak apa, kadang kristisnya berubah jadi acara hina menghina, yang ini mestinya digaris bawahi.
Tak ada yang lebih baik bagi seorang 'brahmana' selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahatnya, maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.
DHAMMAPADA XXVI, 7-8
;D
^
^
masi melekat dengan "aku dan dharma"
^
^
masi melekat dengan "aku dan dharma"
Penting dan perlukah bagi ajaran Mahayana untuk menunjuk orang lain melekat?
Setuju atau tidak, kalau saya minta semua orang Mahayana menghapus istilah Hinayana, karena saya merasa terhina? (Saya bukan Theravadin, tetapi lebih dekat pada definisi Hinayana.)
==
Dimana kalimat saya menghina hinaya anda?
Saya hanya membuat pernyataan ada perbedaan hinaya teravada dgn Mahayana, tidak berarti menghina anda,
ooo apa tulisan sebelumnya menyebut bagi kaum hinaya fanatik ?.
Saya tanya anda kembali anda merasa bagian fanatik tersebut tidak, kalau tidak anda tidak akan merasa diri anda terhina. Lagi pula pengalan kalimat itu terdapat dalam buku Jalan tunggal bukan dari pandangan saya saja. kalo anda mau protes. protes saja sama Dian Dharma sama Karaniya mereka tokh yang mencetaknya.
^
^
masi melekat dengan "aku dan dharma"
Penting dan perlukah bagi ajaran Mahayana untuk menunjuk orang lain melekat?
Apakah kelahiran merupakan penderitaan?IMO, selama terlahir kembali itu sudah merupakan penderitaan, apabila ada yang mengatakan trlahir kembali merupakan kebahagiaan pastinya itu adalah kebahagiaan semu, dan akhir dari penderitaan sudah jelas adalah Nibbana ;D
Jawaban saya simpel saja:
Selama Anda masih menganggap sesuatu sebagai penderitaan, maka itu adalah penderitaan. Selama Anda menganggap sesuatu sebagai bukan penderitaan, maka itu adalah bukan penderitaan.
Amiduofo,
TAn
bukan pernyataan ajaran mahayana ya,Sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa bukan masalah label.
ga da urusan ama mahayana
bukan kah bro mo mencapai pencerahan? mo mencapai arahat?
kenapa masi melekat pada "aku dan dharma"?
bukan terhina om, melainkan termaha. =))
Intermezzo dikit yak, mudah-mudahan diskusi dilanjutkan dengan kepala dingin.
_/\_ makasih dekh di katakan tidak konsisten, sorry yah saya bukan fanatik. Dan tidak merasa bagian dari fanatik. Karma kan terus berjalan Bro, Semua ada karmanya tergantung dari diri anda sendiri.
Kritis sih boleh Bro, tapi ada konteksnya, ada kala yang masih melanggar etika diskusi. seperti kalimat - kalimat menghina orang lain dan sebagainya, Siapa yang ngak boleh kritis, Kritis nya membangun tidak apa, kristis untuk mengtahui banyak tidak apa, Kristis untuk mengatahui lebih dalam lagi ngak apa, kadang kristisnya berubah jadi acara hina menghina, yang ini mestinya digaris bawahi.
Saya tanya anda kembali anda merasa bagian fanatik tersebut tidak, kalau tidak anda tidak akan merasa diri anda terhina.
semua menyatakan memiliki kebijaksanaan bahkan dengan mengutip sutra/sutta-sutta bahkan sampai dapat menyelami proses batin, bahkan sampai dapat melihat ciri-ciri batin (benar gak yah klo dibandingkan dengan proses kenyataan tindakan/perbuatan sungguh sudah tercerahkan kebenaran yang diakui?).
tetapi bila sudah memiliki kebijaksanaan bagaimana kasusnya dengan saya yang menjadikannya seperti tahanan rumah, dengan memblokir dan memindahkan semua tulisan/pandangan/wawasan/pengetahuan pada semua thread-thread lain hanya kesatu tempat thread saja sehingga bahkan isi thread itupun teracak-acak? bijaksanakah sikap seperti itu? atau ada sikap kesempit/kepicikan pandangan karena kemapanan cangkang diri?
semua menyatakan memiliki kebijaksanaan bahkan dengan mengutip sutra/sutta-sutta bahkan sampai dapat menyelami proses batin, bahkan sampai dapat melihat ciri-ciri batin (benar gak yah klo dibandingkan dengan proses kenyataan tindakan/perbuatan sungguh sudah tercerahkan kebenaran yang diakui?).<===== lihat status aye, apa aye merasa memiliki kebijaksanaan?, aye bahkan merasa masihhhhhhhhhhhh jauhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, tapi berusaha lebih baik walau masih jauh. Dan post anda itu yang tercerahkan malah membuat aye merasa jauhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh tersesat deh :P
tetapi bila sudah memiliki kebijaksanaan bagaimana kasusnya dengan saya yang menjadikannya seperti tahanan rumah, dengan memblokir dan memindahkan semua tulisan/pandangan/wawasan/pengetahuan pada semua thread-thread lain hanya kesatu tempat thread saja sehingga bahkan isi thread itupun teracak-acak? bijaksanakah sikap seperti itu? atau ada sikap kesempit/kepicikan pandangan karena kemapanan cangkang diri?
Jadi maksudnya jangan meneruskan thread ini?
wahhh om2 ini seperti maling teriak maling...
yang satu bilang tidak terhina tapi merasa terhina...
yang satunya terhina tapi merasa tidak terhina ;D
contoh arya nichh... buta tapi bisa melihat, masak uda pada tua bangka kayak anak kecil berebut mainan... yang anak kecil jadi sok tua bangka... ;D
wahhh om2 ini seperti maling teriak maling...
yang satu bilang tidak terhina tapi merasa terhina...
yang satunya terhina tapi merasa tidak terhina ;D
contoh arya nichh... buta tapi bisa melihat, masak uda pada tua bangka kayak anak kecil berebut mainan... yang anak kecil jadi sok tua bangka... ;D
Lagi-lagi pintar menunjuk ;D
wahhh om2 ini seperti maling teriak maling...
yang satu bilang tidak terhina tapi merasa terhina...
yang satunya terhina tapi merasa tidak terhina ;D
contoh arya nichh... buta tapi bisa melihat, masak uda pada tua bangka kayak anak kecil berebut mainan... yang anak kecil jadi sok tua bangka... ;D
Lagi-lagi pintar menunjuk ;D
trus tindakan yang dilakukan oleh siapapun juga membatasi hanya pada satu thread saja untuk tujuan apa, sedangkan topik pada thread-thread lain berbeda-beda? aye gak menuduh nama yeh...
Merasa ditunjuk dan melihat orang menunjuk orang lain adalah berbeda. Tidak ada hubungannya dengan rasa-merasa dan GR.wahhh om2 ini seperti maling teriak maling...
yang satu bilang tidak terhina tapi merasa terhina...
yang satunya terhina tapi merasa tidak terhina ;D
contoh arya nichh... buta tapi bisa melihat, masak uda pada tua bangka kayak anak kecil berebut mainan... yang anak kecil jadi sok tua bangka... ;D
Lagi-lagi pintar menunjuk ;D
yang satu bilang sudah tidak ada ego,
tapi ternyata masih ada ego?
tunjuk tidak tunjuk
yang merasa ditunjuk sapa sech?
ato jgn2 ada yg ke GR-an
maklum lah, masi tersesat....
karena ada kebingungan, kekacauan, keraguan, ketakutan dari tercerabut (=tercabut) dari cangkang diri alias kemapanan cangkang diri (ego atau keakuan/atta diri dan pengetahuannya).
ketika seseorang meramal^^, orang biasa berkata "saya melihat ini itu ada kejadian begini dan begitu"saudara purnama yg bijak.
apakah peramal tersebut betul-betul "melihat" dengan memakai indra mata?
tidak kan....hehehe ^^ ==> seperti kalimat ini.
Kalo sudah malas diskusi jangan menulis di thread ini lagi lah.konsep yang kita pakai adalah "kenyataan"
Satu hal lagi pembahasan jangan berdasarkan pemaksaan 1 konsep . Disini diskusi perbedaan pandangan Mahayana dengan Teravada, jadi kadang saya lihat masih adanya pemaksaan satu konsep, sama saja diskusi mau menang sendiri, gimana saling mau belajar, yang posting masih ada sikap egoistisme.
Makasih
Lah anda buat pernyataan malas diskusi kok masih diskusi dimana konsistensi anda dalam diskuso?.saya memang sudah malas diskusi apabila dengan Saudara Tan....karena memakai konsep "pikirannya" bukan "kenyataan"
Jadi maksudnya jangan meneruskan thread ini?
Sementara di Lock dulu biar tenang Grin
Nanti kalau mau di aktifin lagi sama Edward aja ya karena beliau TSnya Smileyayolah jangan menutup-nya, buka baju donk...^^
UPASAKA:Nirvana bukannya Tujuan akhir umat Buddhis?
Apa yang tidak tunduk di bawah anitya?
Jawab: (seharusnya) Nirvana
TAN:
Kalau begitu nirvana itu kekal bukan?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Kalau begitu nirvana itu kekal bukan?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Baik. Kalau anitya itu bersifat anitya, berarti suatu saat ada kesempatan anitya ini akan berubah menjadi nitya. Gampangnya begini, sesuatu yang tidak kekal itu juga bersifat tidak kekal; artinya ada kesempatan bahwa yang tidak kekal itu tadi musnah bukan? Bila "yang tidak kekal" sudah musnah bukankah berarti semuanya akan menjadi "kekal." Bukankah demikian? Artinya konsep atman yang kekal menjadi tidak mustahil bukan? Ini semuanya konsekuensi dari pandangan Anda bahwa anitya itu anitya.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Bagus sekali! Itulah sebabnya dalam Mahayana mengatakan bahwa Buddha bukanlah "melenyapkan" diri; namun berada dalam suatu "keberadaan" yang berada di luar kita pikiran umat manusia. Pikiran yang tak tercerahi jelas tidak dapat memahami bagaimana "kondisi" Buddha sebenarnya. Sebagai contoh, saya beri analogi. Orang primitif tak dapat membayangkan dan tak punya kosa kata untuk "pesawat terbang." Mereka mungkin akan menyebutnya sebagai "burung besi." Tetapi ingat "pesawat terbang" itu jelas bukan "burung." Begitu pula pikiran manusia yang tak akan dapat memahami bagaimana kondisi Buddha setelah pencerahan. Seluruh kata-kata dan istilah yang dipergunakan manusia tak ada yang dapat dengan tepat menggambarkannya. Dengan kata lain, kita tak punya kosa kata untuk itu.
Sebagian non Mahayanis menganggap Buddha sebagai benar-benar sudah musnah dan tidak ada apa-apa lagi. Itulah sebabnya saya sebut mereka nihilis. Bagi saya justru ajaran Mahayanis ini yang lebih masuk akal. Sekali lagi BAGI SAYA. Kalau bagi Anda tidak masuk akal ya tidak masalah. Semua keyakinan tak boleh dipaksakan. Tiap orang boleh memilih mana yang benar.
TAN:
O Jelas tidak! Mahayana juga tidak pernah mengatakan bahwa Buddha "menjelma" lagi. Dalam Sutra2 Mahayana seolah2 dikatakan bahwa Buddha "menjelma" lagi. Tetapi ini bukanlah "penjelmaan" seperti pada makhluk samsara pada umumnya. Ingat bahwa kosa kata kita terbatas. Kita menggunakan gambaran "menjelma" karena pikiran kita yang terbatas ini tak sanggup menemukan istilah yang tepat baginya. Jadi jelas dalam paham Mahayana, Buddha tidak "menjelma" lagi. Istilah atau gambaran tentang "penjelmaan" itu hanya laksana kata "burung besi" yang dipergunakan manusia primitif bagi pesawat terbang. Jangan biarkan kata-kata menipu kita.
TAN:
Saya kira kalau disepadankan dengan transformasi energi tidaklah tepat. Nirvana adalah absolutisme, sehingga tak mungkin ada transformasi lagi.
Amiduofo,
Tan
Jawaban bahwa dukkha adalah dukkha bila Anda memandangnya demikian dan dukkha adalah bukan dukkha jika Anda memandangnya demikian adalah lebih masuk akal dan realistis! Selain itu, ini juga sejalan dengan Agama Buddha. Bila Anda menyangkalnya berarti Buddha waktu masih berada dalam nirvana bersisa juga masih mengalami dukkha. Penerangan di bawah pohon Bodhi konsekuensinya menjadi meragukan.sekedar informasi saudara Tan,
Buddha yang mereliasasi “nirvana dengan sisa” juga merasakan penderitaan karena sakit dan mati? Kalau Buddha masih merasakan “penderitaan” (dukkha) waktu Beliau menderita sakit, hingga harus dirawat oleh Tabib Jivaka, maka apakah artinya Penerangan di bawah Pohon Bodhi? Semoga Saudara Mercedes memahami hal itu.
Buddha yang mereliasasi “nirvana dengan sisa” juga merasakan penderitaan karena sakit dan mati? Kalau Buddha masih merasakan “penderitaan” (dukkha) waktu Beliau menderita sakit, hingga harus dirawat oleh Tabib Jivaka, maka apakah artinya Penerangan di bawah Pohon Bodhi?
QuoteJawaban bahwa dukkha adalah dukkha bila Anda memandangnya demikian dan dukkha adalah bukan dukkha jika Anda memandangnya demikian adalah lebih masuk akal dan realistis! Selain itu, ini juga sejalan dengan Agama Buddha. Bila Anda menyangkalnya berarti Buddha waktu masih berada dalam nirvana bersisa juga masih mengalami dukkha. Penerangan di bawah pohon Bodhi konsekuensinya menjadi meragukan.sekedar informasi saudara Tan,
sekali lagi saya ulangi, seseorang yg belum meninggal baik itu seorang arahat, tetap akan mengalami P E N D E R I T A A N
karena, sesuai konsekuesni pasal 4 kesunyataan mulia.
begitu lahir anda tidak akan bisa lolos dari P E N D E R I T A A N.
kecuali tidak lahir barulah sepenuh nya bebas dari penderitaan....
dan penderitaan yang di alami adalah P E N D E R I T A A N F I S I K....
bukan penderitaan batin..
semoga anda bisa memahami penderitaaan fisik dan penderitaan batin itu berbeda...QuoteBuddha yang mereliasasi “nirvana dengan sisa” juga merasakan penderitaan karena sakit dan mati? Kalau Buddha masih merasakan “penderitaan” (dukkha) waktu Beliau menderita sakit, hingga harus dirawat oleh Tabib Jivaka, maka apakah artinya Penerangan di bawah Pohon Bodhi? Semoga Saudara Mercedes memahami hal itu.
astaga, saudara Tan,
anda kira ketika seseorang mencapai pencerahan dapat melawan hukum alam?
jadi menurut anda ketika seseorang mencapai ke-buddha-an sudah menjadi makhluk superpower like god? bahkan tidak butuh obat dan makanan?
anda kira buddha itu sudah seperti Tuha* ?
pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"
pantas saja anda bilang kalau buddha bisa memancarkan metta tanpa pikiran.
karena buddha sudah out of human logic sampai anda menyatakan hal ouf of human logic juga.....
ternyata anda menganut paham seperti itu...ya ampun...
-----------------------------------
ketika buddha mencapai pencerahan, beliau itu menjadi MENGERTI hukum alam, bahwa apapun yang lahir, pastilah mengalami kelapukan,sakit dan mati
( apapun itu yang artinya biar Tuha* sekalipun ketika lahir pasti mengalami kelapukan, contoh nya YESU* yg dianggap Tuha* nasran* juga bisa Tua)
sakit/tua
ketika sesuatu itu "berkondisi ( sankhara) itu muncul maka suatu saat pasti akan berubah dan lenyap.
oleh itu umat buddha yang mengerti ketika mengalami sakit keras/tua, bukannya malah mental jatuh atau stress karena kondisi fisik nya berubah dari ganteng jadi jelek....melainkan telah mengerti ini adalah sebuah PROSES ALAMIAH dari HUKUM ALAM
segala apa yang di-inginkan tidak mungkin terpenuhi.
Buddha menyadari apapun ke-inginan beliau tidak mungkin terpenuhi sepenuh-nya
berbeda dengan umat awam yang menghayal se-tinggi langit, jadi buddha yang tercerahkan bukan tukang ber-angan-angan tinggi.
buddha menyadari inilah PROSES ALAMIAH dari HUKUM ALAM...
dan bukan berarti menjadi buddha/mencapai pencerahan
"APAPUN yang di-inginkan pasti terkabulkan" >>> ini adalah anggapan salah.
hidup dengan lingkungan yang tidak diharapkan....
apakah anda mengira ketika orang yang tercerahkan bisa "se-mau enak-enaknya" ?
justru orang yang tercerahkan mengerti "keinginan" adalah sumber penderitaan...
bukan menjadi bebas berkeinginan........ >>>> ini adalah anggapan salah
salam metta.
QuoteJawaban bahwa dukkha adalah dukkha bila Anda memandangnya demikian dan dukkha adalah bukan dukkha jika Anda memandangnya demikian adalah lebih masuk akal dan realistis! Selain itu, ini juga sejalan dengan Agama Buddha. Bila Anda menyangkalnya berarti Buddha waktu masih berada dalam nirvana bersisa juga masih mengalami dukkha. Penerangan di bawah pohon Bodhi konsekuensinya menjadi meragukan.sekedar informasi saudara Tan,
sekali lagi saya ulangi, seseorang yg belum meninggal baik itu seorang arahat, tetap akan mengalami P E N D E R I T A A N
karena, sesuai konsekuesni pasal 4 kesunyataan mulia.
begitu lahir anda tidak akan bisa lolos dari P E N D E R I T A A N.
kecuali tidak lahir barulah sepenuh nya bebas dari penderitaan....
dan penderitaan yang di alami adalah P E N D E R I T A A N F I S I K....
bukan penderitaan batin..
semoga anda bisa memahami penderitaaan fisik dan penderitaan batin itu berbeda...
saudara Kainyn yg bijak,Pernyataan ini, apakah berdasarkan teks Pali, atau memang dari teks Sanskrit?QuoteJawaban bahwa dukkha adalah dukkha bila Anda memandangnya demikian dan dukkha adalah bukan dukkha jika Anda memandangnya demikian adalah lebih masuk akal dan realistis! Selain itu, ini juga sejalan dengan Agama Buddha. Bila Anda menyangkalnya berarti Buddha waktu masih berada dalam nirvana bersisa juga masih mengalami dukkha. Penerangan di bawah pohon Bodhi konsekuensinya menjadi meragukan.sekedar informasi saudara Tan,
sekali lagi saya ulangi, seseorang yg belum meninggal baik itu seorang arahat, tetap akan mengalami P E N D E R I T A A N
karena, sesuai konsekuesni pasal 4 kesunyataan mulia.
begitu lahir anda tidak akan bisa lolos dari P E N D E R I T A A N.
kecuali tidak lahir barulah sepenuh nya bebas dari penderitaan....
dan penderitaan yang di alami adalah P E N D E R I T A A N F I S I K....
bukan penderitaan batin..
semoga anda bisa memahami penderitaaan fisik dan penderitaan batin itu berbeda...
saudara Kainyn yg bijak,
saya tidak tahu pasti ada kesamaan dari teks pali atau sangkrit,
tetapi yang saya tulis adalah pengalaman langsung yg saya telaah sendiri....
dari apa yang saya pernah alami penderitaan fisik dan batin sampai pernah bergelutat dengan kematian.
dan pernah saya membaca beberapa buku karya AjahnBrahm, dimana Ajahn Chah mengangkat tangan dikepala dan berkata
"saya berbahagia karena saya mengerti tidak ada yang membahagiakan di kehidupan ini"
salam metta.
TAN:
Oke. Sekarang masalahnya kenapa jawaban itu tidak dapat diterapkan pada Trikaya menurut ajaran Mahayana? Anda tinggal ganti saja kata "nirvana" pada jawaban Anda tersebut dengan "Trikaya." Masalah terselesaikan bukan? Tidak perlu lagi ada debat antara Mahayanis dan non-Mahayanis.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Oke Bro. Kalau begitu saya pungkasin saja ya biar tidak terlalu berpanjang lebar. Bila jawaban Anda seperti itu, saya juga berhak mengatakan: demikian pula halnya Dharma Mahayana. Segenap kritikan dan pertanyaan tentang Dharma Mahayana adalah tidak valid. Apakah Anda menerima argumen saya itu?
Amiduofo,
Tan
Sudah saya katakan berulang kali. Mahayana tidak dapat dikatakan semi eternalisme. Mengapa? SEperti yang sudah saya katakan sebelumnya, istilah-istilah seperti "keberadaann," "penjelmaan", dan lain sebagainya adalah istilah yang dipergunakan karena keterbatasan kapasitas kita. Jangan disamakan dengan "keberadaan," atau "penjelmaan" makhluk2 awam. Tidak ada lagi transformasi energi. Jadi Mahayana bukan eternalisme atau semi eternalisme. Saya telah menggunakan perumpamaan tentang orang primitif dan pesawat terbang. Mereka sah-sah saja menyebut pesawat terbang sebagai "burung besi," karena tak punya kosa kata untuk itu. Namun bukan berarti bahwa pesawat terbang = burung. Sudah saya ulas di posting sebelumnya. Harapan saya Bro Upasaka dapat memahami hal itu.
TAN:
Sebelum menjawab pertanyaan ini. Saya ingin agar Sdr. Upasaka jangan memahami istilah "penjelmaan" seperti penjelmaan makhluk samsara. Karena kalau masing-masing masih punya bahasa yang berbeda, tidak ada gunanya komunikasi di lanjutkan. Sebelum mengulas sesuatu kita harus "satu" bahasa. Demikian mohon makluk adanya, bukannya saya tidak mau menanggapi pertanyaan di atas.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Iya apa masalahnya? Saya merasa argumen saya sudah konsisten dilihat dari konteks2nya.
Amiduofo,
Tan
^
^
mencoba menjawab ya,
api itu padam, bukan berarti api itu hilang
api itu kalau dipanggil lagi, api itu bisa ada loh
pertanyaan-nya kemana kah api itu selama padam?
ketika dia sudah padam, bukan nya seharusnya tidak bisa dipanggil lagi?
IMO, itu lah konsep nibbana menurut saya, I THINK
CMIIW,
navis
^saudara naviscope yg bijak
^
begitu tah?
trus kemana kah sang api tersebut
kenapa kalau kita mo pake api bisa, muncul lagi tuh api
padahal kan tuh api sudah mati?
berarti parinibbana tidak beda dengan RIP donk (alias Rest In Peace)???
HENDRA SUSANTO:
ini menarik... seorang buddha itu sama dengan kita manusia biasa yang bisa sakit, perbedaannya dengan kita... waktu kita sakit, kita akan sangat menderita seperti meraung2, menangis kesakitan, sedangkan sang buddha hanya merasa sakit tetapi tidak membuat pikirannya menjadi terpengaruh oleh sakit tersebut.
sang buddha mempunyai kemampuan kesadaran yang tinggi, sehingga beliau sakit tetapi dapat menyadari kesakitannya dan tidak terpengaruh oleh sakit itu, singkatnya sakit itu ada dan tiada.
klo kita sakit itu ada dan ada...
TAN:
Benar. Dengan kata lain, Buddha tidak "menderita." Penyakit dan usia tua itu sendiri bukanlah "penderitaan"nya, tetapi bagaimana sikap seseorang menanggapinya. Dalam doktrin Mahayana penyakit, kematian, dan usia tua itu sendiri bersifat netral. Tidak baik ataupun buruk.
Amiduofo,
Tan
MERCEDES:saudara Tan yang bija,
pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"
TAN:
Anda bisa melogika Buddha? Hebat sekali kalau begitu.
Amiduofo,
Tan
Hmm... Anda menyatakan "nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias tubuh" bukanlah adalah suatu "kondisi" pula?semakin menarik diskusi dengan anda..^^
Mahayana boleh dicap eternalisme atau semi eternalis asalkan penganut pandangan "ada" sama seperti makhluk samsarik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.tapi kenyataannya demikian....
Anda telah terjebak di sini. Oke anggap saja anitya tidak berlaku lagi bagi seseorang yang telah merealisasi nirvana. Tetapi ini tidak berarti anitya tidak ada lagi. Anitya tetap berlaku bagi para makhluk yang telah mencapai pencerahan, meskipun ada yang telah merealisasi nirvana. Sebagai contoh, saya beri kasus sebagai berikut. Seseorang berada dalam rumah yang tertutup rapat, sehingga ia tidak lagi melihat matahari. Namun apakah matahari itu hilang seiring dengan hal itu? Jawabannya tidak! Orang yang berada di luar rumah masih dapat melihat matahari. Nah, apakah kini anitya atau nitya itu kekal?saudara Tan bijak,
Kalau pertanyaan ini dianggap tidak valid atau ditolak menjawabnya dengan alasan apapun, maka saya juga boleh menyatakan bahwa segenap pertanyaan dan kritikan terhadap Mahayana juga tidak patut, layak, ataupun valid.
Benar. Dengan kata lain, Buddha tidak "menderita." Penyakit dan usia tua itu sendiri bukanlah "penderitaan"nya, tetapi bagaimana sikap seseorang menanggapinya. Dalam doktrin Mahayana penyakit, kematian, dan usia tua itu sendiri bersifat netral. Tidak baik ataupun buruk.
Nah! Anda juga mengerti khan bahwa kalau orang memahami semuanya sebagai proses yang alamiah, ia tak menganggapnya sebagai penderitaan bukan? Semoga Anda jangan memutar balik lagi apa yang saya ungkapkan.
Buddha yang mereliasasi “nirvana dengan sisa” juga merasakan penderitaan karena sakit dan mati? Kalau Buddha masih merasakan “penderitaan” (dukkha) waktu Beliau menderita sakit, hingga harus dirawat oleh Tabib Jivaka, maka apakah artinya Penerangan di bawah Pohon Bodhi? Semoga Saudara Mercedes memahami hal itu.
Saya sependapat dengan Anda, tapi tidak semuanya.Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva. Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi jelas.
Metta bhavana bisa diaplikasikan dalam tindakan. Tidak menyakiti makhluk lain dan penuh cinta pada semua makhluk. Misalnya : ketika saya dicopet, jika saya mengembangkan metta, seharusnya saya memakai landasan cinta universal ketika melihat pencopet itu. Bagaimanapun juga, semua makhluk pada dasarnya ingin berbahagia. Jadi pencopet itu sebenarnya ingin berbahagia. Dia ingin berbahagia dengan mencopet. Karena dengan memiliki barang itu, dia menjadi bahagia (secara duniawi). Dengan pengertian inilah saya seharusnya tidak marah pada pencopet. Saya seharusnya menanamkan cinta universal, dan melihat pencopet itu sebagai makhluk yang berhak untuk berbahagia. Sehingga saya tidak perlu geram. Di sini juga dipengaruhi oleh sifat keakuan diri untuk membendung hasrat marah pada pencopet itu. Berangkat dari sini, karuna (belas kasih) pun muncul. Saya seharusnya kasihan kepada pencopet itu. Saya kasihan karena dia meraih kebahagiaan dengan cara yang salah. Caranya akan membuat dia menderita. Karena atas dasar belas kasih, saya pun berusaha menjelaskan perbuatan salahnya... Di sini akan muncul lagi mudita (simpati). Ketika pencopet itu bahagia setelah mencopet; atau pencopet itu mengakui kesalahannya, saya seharusnya turut berbahagia padanya. Inilah wujud sikap turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Dan ketiganya ini juga harus bediri atas fondasi upekkha (keseimbangan batin). Karena jika tidak, maka metta-karuna-mudita saya hanyalah merupakan sensasi gabungan beberapa jenis emosi. Alias masih melekat pada duniawi; seperti ekspresi menangis, pilu di hati, nafsu-keinginan untuk berkorban demi pencopet itu, dsb.
Semangat Bodhicitta itu 90% dituntut dalam perbuatan. OK, mungkin persentase itu hanyalah statistik ngawur, karena saya bukan ahli sensus. Tapi setidaknya, semangat Bodhicitta itu adalah "untuk menolong semua makhluk". Apakah Anda ingin menyatakan bahwa kalimat itu maknanya konotatif? Jadi supaya terkesan elegan, Sang Bodhisattva berikrar untuk menolong semua makhluk, meski kenyataannya impossible...?
Perhatikan bedanya! Metta bhavana bisa dijalankan secara universal. Memancarkan metta dan mengaplikasikannya ke semua makhluk itu bisa dilakukan, sangat logis. Anda bisa kok mencintai semua makhluk. Sedangkan semangat Bodhicitta itu tidak bisa dijalankan secara universal. Menolong semua makhluk itu tidak bisa digenapi, tidak mungkin ada orang yang bisa menolong semua makhluk. Kalau Anda mengatakan bahwa hal itu bisa dilakukan, itu namanya Anda memakai iman. Tanyakan saja pada anak kecil...
- Apakah mengharapkan semua orang selamat itu bisa dilakukan?
- Apakah menyelamatkan semua orang itu bisa dilakukan?
Anak kecil akan memberikan jawaban yang jujur pada Anda.
Lagi-lagi Anda menyinggung masalah untung-rugi. Saya tidak membahas perihal ekonomi luar negeri, bro.:) sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi :) saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.
Saya mau nanya neh.Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Misalkan kita semua bercita-cita menjadi Samyaksambuddha. Di suatu masa, tibalah saatnya saya yang menjadi Samyaksambuddha. Saat itu saya membabarkan Dharma sampai saya akhirnya memasuki Parinirvana. Nah, meski saya membabarkan Dharma, tidak ada satu makhluk pun yang mengikuti langkah saya untuk memasuki Parinirvana. Karena semua orang bercita-cita untuk menjadi Samyaksambuddha... Lalu setelah melalui masa yang panjang, akhirnya Anda pun menjadi Samyaksambuddha. Anda membabarkan Dharma sampai Anda pun memasuki Parinirvana. Tapi tidak ada lagi yang mengikuti langkah Anda, karena semua bercita-cita ingin menjadi Samyaksambuddha. Jadi setelah menjadi Samyaksambuddha, sumbangsih seperti apa yang bisa diberikan untuk semua makhluk? Toh pada akhirnya Samyaksambuddha pun egois, karena memasuki Parinirvana sendirian. Nah loh...
Memangnya menurut Anda yang bisa membuat seseorang sukses itu apa?Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut. Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.
- Karena orang itu memiliki kualitas untuk mencapai kesuksesan?
- Karena orang itu bekerja serabutan dan percaya bahwa rajin pada akhirnya akan sukses?
Kalau menurut saya, Anda akan memilih poin ke-2.
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama."Saya mencintai kamu selama 10.000 tahun".Itu adalah contoh kalimat gombal dari seorang pria pengemis cinta wanita.
Ada tingkat kemiripan yang cukup banyak dengan syair di Mahayana. Ini yang sering menghantarkan paradigma berpikir "ah puitis sekali, sungguh mulia..."Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.
Tidak usah berkelit. Jawab saja dengan jujur... :)Saya tidak sedang berkelit :)
Menurut Anda mungkinkah di suatu masa, hiduplah semua Buddha di dunia ini, dunia ini berjaya dengan Dharma yang indah di awal, tengah dan akhir. Semua makhluk mencapai Pembebasan. Tidak lagi ada gajah-gajah yang perkasa, tidak lagi ada cacing di usus manusia, tidak lagi ada belatung yang memakan bangkai; karena semuanya sudah menjadi Buddha.Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?
Kalau jawaban Anda adalah mungkin (atau bahkan "pasti ada"), well...Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur. :) Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?
Saya tidak habis pikir bagaimana kondisi dunia saat itu... di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis. Oya... Mungkinkah ini salah satu jenis alam kehidupan hasil karya pikiran yang pernah Anda katakan tempo hari yang lalu? Alam kehidupan yang tidak memiliki hukum keseimbangan alam...?Anda terlalu banyak berpikir bro :)
Dalam Konsep Aliran Theravada, menyelami realita anatta; tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu, adalah salah satu wujud orang yang bersangkutan sudah merealisasi Kesucian Tingkat Tertinggi / Arahat. Di titik itu, orang yang bersangkutan tidak lagi memiliki keakuan - dia tidak akan lagi membandingkan dirinya dengan orang lain.No komen deh soal ini :)
Kalau ada orang yang bisa memberikan bantuan dengan pemahaman benar bahwa "tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu", maka saya akan dengan tegas menyatakan orang itu adalah orang Yang Tercerahkan / Buddha.
Kesimpulannya :
- Kalau benar dia Buddha, dia tidak akan lagi mengalami kelahiran berikutnya.
- Kalau benar bisa melakukan hal itu dengan sempurna, tidak mungkin ia hanya bergelar Bodhisattva. Memangnya Bodhisattva sudah tidak memiliki keakuan? Lucu sekali kalau begitu, kenapa sampai ada kisah Bodhisattva yang menangis pilu. Bukankah itu tandanya Beliau belum Tercerahkan. Lantas kalau belum Tercerahkan, statement "tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu" itu belum direalisasi. Sejujurnya masih ada modus keakuan yang halus sekali di sana. Dan ini yang disebut dalam Theravada sebagai vipallasa (halusinasi - persepsi, pikiran dan pandangan).
Ada orang yang sudah dewasa, dan ada yang belum. Apakah jika saya mengatakan anak berusia 12 tahun itu masih kanak-kanak lantas Anda menganggap perkataan saya sebaga diskriminasi??Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)
Kematangan spiritual tiap orang tidak sama. Ada yang mudah mengerti, namun ada juga yang sulit mengerti. Itu adalah kualitas intelektual batin, bro. Apakah lantas orang yang sudah matang harus menunggu semua makhluk sampai matang juga? Hati-hati, bro. Ingat Hukum Anitya, kalau kelamaan nganggur bisa expired. :)):) Itu asumsi anda :))
Kalau Anda bilang menolong makhluk lain, apakah Anda bisa membuat seseorang mencapai Nirvana?Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.
Lantas pertolongan apa yang sebenarnya Anda praktikkan?
Yaitu pertolongan atas azas moralitas. Menolong pengemis, menolong kucing yang terluka, menolong ibu yang sekarat. Itu semua pertolongan yang awam.
Apakah Theravadin egois dan tidak mau berbuat hal itu? Tidak juga.Saya tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)
Atas azas apa Anda menyatakan bahwa dalam konsep Theravada tidak dikenal memberi pertolongan pada makhluk lain?
[at] cogan ryu...
walaupun reputasi anda sudah tinggi, tapi musti saya kudu kasih GRP sent lagi buat pernyataan di atas...
GRP Sent
Menarik sekali, apa kita sebagai Buddhist lebih Mempercayai Buddha sebagai Manusia atau sosok yang diluar Logika?
IMO Menariknya ajaran Buddha itu bukan hal2 yang gaib atau diluar logika, tapi seperti menuntun orang menjadi lebih baik+ suatu pencapaian Nibbana yang merupakan jalan untuk lepas dari penderitaan :)
melampaui logika pemahaman manusia biasa yang bagaimana ya?
Menarik sekali, apa kita sebagai Buddhist lebih Mempercayai Buddha sebagai Manusia atau sosok yang diluar Logika?
IMO Menariknya ajaran Buddha itu bukan hal2 yang gaib atau diluar logika, tapi seperti menuntun orang menjadi lebih baik+ suatu pencapaian Nibbana yang merupakan jalan untuk lepas dari penderitaan :)
Tentu saja Sakyamuni adalah manusia, tapi Buddha adalah sosok yang melampaui logika pemahaman manusia biasa.
Adalah salah jika anda menyamakan apa yang di luar logika sedarajat dengan kegaiban, justru konsep "gaib" muncul semata-mata karena adanya hal yang tidak bisa dipahami oleh logika. Kegaiban adalah bias yang muncul dari kacamata logika yang memang terbatas. Dalam hal ini, logika bahkan adalah salah satu sumber penderitaan yang harus dilepas jika ingin merealisasi nibbana.
Banyak hal yang dulu dipahami sebagai "gaib" oleh logika, namun setelah akhirnya logika bisa menerimanya maka kegaiban tidak lagi berarti. Dengan demikian, permasalah gaib atau tidaknya sesuatu semat-mata tergantung pada kemampuan logika untuk menjelaskannya. Jika tidak mampu menjelaskannya oleh kacamata logika yang naif itu lantas disebut sebagai "misterius", "gaib", dll. Jika ternyata sudah dijangkau oleh logika maka ia akan menyebutnya sebagai "masuk akal". Dengan demikian logika semata-mata bekerja dengan kaidah-kaidah yang akrab dan dikenalnya belaka. Kaidah-kaidah dalam logika adalah sejumlah aturan-aturan yang disepakati bersama sebagai kebenaran dan harus diterima.
saya perlu menulis ini, karena saya menangkap adanya kesalahpahaman bahwa segala sesuatu yang berada di luar logika adalah gaib.
melampaui logika pemahaman manusia biasa yang bagaimana ya?
melampaui logika pemahaman manusia biasa yang bagaimana ya?
Contoh paling sederhana, bagaimana kamu bisa memahami sesuatu sebagai indah. Mengapa kamu memahami serangkaian nada sebagai lagu yang "menemtramkan" atau "enak" didengarkan sedangkan rangkaian lagu yang lain sangat "mengganggu" dan "sumbang"? Mengapa kita tertarik dengan pemandangan tertentu yang kita sebut "indah," namun pemandangan lain sama sekali tidak menggugah? Mengapa kita bertepuk tangan untuk menyatakan sesuatu penghargaan atau kesetujuaan, padahal tepuk tangan hanyalah membunyikan telapak tangan dengan memukulnya dengan telapak tangan lain? Mengapa senyum dianggap menyenangkan untuk orang lain padahal itu hanya menekukkan otot-otot tertentu wajah kita dengan cara tertentu? Mengapa mengucapkan kata "selamat pagi" atau "selamat-selamat lainnya" pada orang lain di saat bertemu dikatakan sopan padahal jelas-jelas itu hanya kata-kata kosong?
Contoh di atas menunjukkan pengalaman-pengalaman sederhana yang sulit kita jabarkan dengan logika atau kalau kita paksakan untuk kita pahami dengan logika jadinya konyol. Jika dalam kejadian sehari-hari seperti ini saja logika tidak selalu mampu memahaminya, bagaimana dengan nirvana yang jelas-jelas dikatakan di luar pemahaman logika?
Objek adalah netral, AKU lah yang melabeli semuanya, sama seperti Buddha Mungkin dilabeli sebagai manusia yang diluar logika dengan di tambahi supaya terlihat lebih super bukan begitu?melampaui logika pemahaman manusia biasa yang bagaimana ya?
Contoh paling sederhana, bagaimana kamu bisa memahami sesuatu sebagai indah. Mengapa kamu memahami serangkaian nada sebagai lagu yang "menemtramkan" atau "enak" didengarkan sedangkan rangkaian lagu yang lain sangat "mengganggu" dan "sumbang"? Mengapa kita tertarik dengan pemandangan tertentu yang kita sebut "indah," namun pemandangan lain sama sekali tidak menggugah? Mengapa kita bertepuk tangan untuk menyatakan sesuatu penghargaan atau kesetujuaan, padahal tepuk tangan hanyalah membunyikan telapak tangan dengan memukulnya dengan telapak tangan lain? Mengapa senyum dianggap menyenangkan untuk orang lain padahal itu hanya menekukkan otot-otot tertentu wajah kita dengan cara tertentu? Mengapa mengucapkan kata "selamat pagi" atau "selamat-selamat lainnya" pada orang lain di saat bertemu dikatakan sopan padahal jelas-jelas itu hanya kata-kata kosong?
Contoh di atas menunjukkan pengalaman-pengalaman sederhana yang sulit kita jabarkan dengan logika atau kalau kita paksakan untuk kita pahami dengan logika jadinya konyol. Jika dalam kejadian sehari-hari seperti ini saja logika tidak selalu mampu memahaminya, bagaimana dengan nirvana yang jelas-jelas dikatakan di luar pemahaman logika?
Saya kira kesalahan Anda adalah membandingkan antara pola pikir orang yang belum tercerahi dengan seorang Buddha. Mungkin bagi orang yang belum tercerahi dapat dianggap sebagai menggampangkan masalah. Tetapi sekali lagi hal ini tak dapat dibandingkan dengan seorang Buddha. Apakah Buddha kebal menderita? Yang jelas adalah Buddha tidak lagi menderita meski mengalami tua, sakit, dan mati. Kalau Anda menyanggahnya berarti nibanna bukan jalan keluar dari penderitaan. Selain itu, apakah penderitaan itu hanya tua, sakit, dan mati? Orang yang kalah judi apakah tidak menderita? Menderita kalau ia melekat pada kekalahannya itu. Tidak menderita kalau ia sanggup melepas.saudara Tan, diskusi seperti nya memang sudah jalan buntu ^^
Tetap bagaimanapun penderitaan itu erat dengan bagaimana seorang menyikapinya. Pandangan ini lebih universal. Kalau Anda tetap berpendapat demikian, saya kira diskusi ini sudah mencapai jalan buntu dan tidak ada gunanya diteruskan.
Objek adalah netral, AKU lah yang melabeli semuanya, sama seperti Buddha Mungkin dilabeli sebagai manusia yang diluar logika dengan di tambahi supaya terlihat lebih super bukan begitu?
Padahal ajaran Buddha sederhana tidak usah muluk2 dan masuk logika yaitu Jalan Tengah :)
nirvana dikatakan di luar pemahaman logika ? menurut saya logis tuh... kali ada yang buat jadi aneh-aneh sehingga jadi di luar logika...
Justru Logikalah yang muluk-muluk dan berlebihan
Objek adalah netral, AKU lah yang melabeli semuanya, sama seperti Buddha Mungkin dilabeli sebagai manusia yang diluar logika dengan di tambahi supaya terlihat lebih super bukan begitu?
Padahal ajaran Buddha sederhana tidak usah muluk2 dan masuk logika yaitu Jalan Tengah :)
nirvana dikatakan di luar pemahaman logika ? menurut saya logis tuh... kali ada yang buat jadi aneh-aneh sehingga jadi di luar logika...Coba jelaskan dengan formula logika yang ada....
formula untuk nibbana itu adalah arahatta magga (jalan pembebasan), terurai secara jelas di dalam dhammacakkapavatana sutta (sutta pemutaran roda pertama) yang membahas tentang Cattari arya saccani (Empat kesunyataan Mulia).
Semua yang diuraikan oleh Guru agung Buddha adalah logik (nyata), mulai dari apa itu dukkha, berbagai jenis dukkha, adanya jalan menuju lenyapnya dukkha dan diberikan jalannya.
baru kali ini saya dengar kalau logic itu lebih muluk muluk dan berlebihan dibandingkan dengan out of logic...
Coba sdr.sobat dhamma katakan manakah yang tidak logic di dalam Arahatta Magga ini ??
baru kali ini saya dengar kalau logic itu lebih muluk muluk dan berlebihan dibandingkan dengan out of logic...
Logikalah yang suka berputar-putar mencari penjelasan, membangun argumentasi dan sistem, menjadikan hal yang sederhana tampak kompleks. Dengan melihat sesuatu "apa adanya" maka tidak peelu logika, bukankah demikian?
Koq jadi soal logis tidak logis :) hehehehehe itukan cara pandang logika menilai sesuatu? Kalau mau tanya apakah Buddhadharma logis atau tidak tanyakan pada ahli logika, bukan saya yang jelas-jelas tidak mempercayai logika.
Dimana-mana Logika itu adalah penyederhanaan dari hal yang kelihatannya kompleks... tidak ada logika yang membuat sesuatu yang sederhana menjadi kompleks.... Justru dengan Logika kita bisa membedah segala hal...
Berarti mempercayai yang tidak logika... DITERIMA...Logika justru perlu dipercayai dulu, sebelum diterima atau tidak. Apa bedanya logika dengan iman?
Dimana-mana Logika itu adalah penyederhanaan dari hal yang kelihatannya kompleks... tidak ada logika yang membuat sesuatu yang sederhana menjadi kompleks.... Justru dengan Logika kita bisa membedah segala hal...
:) Lebih sederhana mana dengan praktik; cukup lakukan saja tidak perlu banyak berteori :) bagaimana?
Contoh lain:
saya bisa melihat dan mendegar, tanpa perlu repot-repot menjelaskan bagaimana proses mendengar dan melihat terjadi. Lebih sederhana mana cukup melihat dan mendengar dengan berusaha menjelaskan proses melihat dan mendengar menggunakan logika?
Logika justru perlu dipercayai dulu, sebelum diterima atau tidak. Apa bedanya logika dengan iman?
ilmuwan itu melihat burung bisa terbang, baru kemudian dicari cara, dicari tahu bagaimana bisa terbang. Bahkan sebuah pesawat yang begitu berat pun bisa terbang... Dengan cara-cara itu pula maka kamera bisa tercipta, hp bisa tercipta... Ketika manusia tidak berkembang, maka tidak ada peradaban ini. Semakin berkembang ilmu pengetahuan. kita mendapati bahwa ajaran buddha tidak bertentangan langsung dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Itu namanya hipotesa (dugaan)... ada hipotesa awal... terus ada penelitian, trus ada penarikan kesimpulan apakah hipotesa itu bisa diterima atau tidak... EHI PHASSIKO namanya kalau dalam buddhis. Beda donk logika dengan iman... gimana sih...
Guru SD mengajarkan kepada anak SD tentunya mengatakan bahwa air itu ya air seperti itu saja,
naik kelas ke SMP mulai diajarkan air itu H2O... tetapi belum diajarkan kimia-nya...
di SMA mulai diajarkan apa itu Hidrogen, apa itu Oksigen, bagaimana ikatan molekulnya dsbnya...
naik terus sampai ke perguruan tinggi (jika ngambil jurusan kimia) akan diperdalam lagi...
Nah, BUDDHA GOTAMA sebagaimana adalah seorang sammasambuddha memiliki KEMAHATAHUAN akan semua prinsip yang perlu diketahui, mengetahui secara persis bagaimana kondisi bathin itu bergerak dan dijabarkan dengan sangat baik di dalam abhidhamma. Apakah itu rumit, tergantung kepada tingkat pemahaman kita... saya sendiri karena belum menemukan "kunci" dalam mempelajari abhidhamma, menganggap abhidhamma itu sulit sekali. Tetapi saya yakin, ketika semua hal itu jelas, maka semuanya akan terasa mudah.
Guru SD mengajarkan kepada anak SD tentunya mengatakan bahwa air itu ya air seperti itu saja,
naik kelas ke SMP mulai diajarkan air itu H2O... tetapi belum diajarkan kimia-nya...
di SMA mulai diajarkan apa itu Hidrogen, apa itu Oksigen, bagaimana ikatan molekulnya dsbnya...
naik terus sampai ke perguruan tinggi (jika ngambil jurusan kimia) akan diperdalam lagi...
Nah, BUDDHA GOTAMA sebagaimana adalah seorang sammasambuddha memiliki KEMAHATAHUAN akan semua prinsip yang perlu diketahui, mengetahui secara persis bagaimana kondisi bathin itu bergerak dan dijabarkan dengan sangat baik di dalam abhidhamma. Apakah itu rumit, tergantung kepada tingkat pemahaman kita... saya sendiri karena belum menemukan "kunci" dalam mempelajari abhidhamma, menganggap abhidhamma itu sulit sekali. Tetapi saya yakin, ketika semua hal itu jelas, maka semuanya akan terasa mudah.
Bukankah bro dilbert, Abhidhamma yang paling sederhana adalah langsung melihat ke dalam diri sendiri?
Jika anda menggunakan contoh dengan menggunakan jenjang pendidikan maka sangat wajar peningkatan jenjang berarti bertambah rumitnya materi yang dipelajari. Hal ini dikarenakan dalam pendidikan semata-mata yang dilatih sebagian besar adalah kemampuan kognisi atau bernalar. Memang benar, nalar itu sifatnya semakin lama semakin rumit dan kompleks. Namun saya jadi kurang paham bagaimana perumpamaan ini dikaitkan dengan Budhadharma.
Sedangkan tentang Kemahatahuan Sang Buddha, menurut saya arti Mahatahu di sini tidak bisa diartikan semata-mata dalam pengertian kognitif atau pengetahuan logis belaka. Apa yang dicapai Sang Buddha adalah "Pengetahuan Agung" yang melampaui "pikiran biasa." Untuk menjelaskan soal ini ijinkan saya mengutip bagian dari Brahmajàla Sutta di bawah ini:
'Ada lagi, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
Dari kutipan ini bukankah Buddha sendiri juga mengatakan bahwa Buddhadharma "melampaui sekadar pikiran", dalam hal ini logika bukanlah adalah pikiran, sehingga dengan demikian bukankah tepat dikatakan bahwa Budhadharma "melampaui sekadar logika"? Sedangkan "Pengetahuan-agung" Sang Buddha bukanlah sekadar "pengetahuan" dalam arti umum; karena jelas di sini dikatakan "pengetahuan agung melampaui sekadar pikiran."
Brahmajala sutra yang mana yang dikutip ? brahmajula sutra versi mahayana ya ?
Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.saudara Sobat-dharma,
TL:
Nampaknya mas Tan kurang mengerti mengenai teori nihilisme, karena jawabannya panjang dan tadinya saya malas menulis terlalu panjang, itu alasan pertama.
Alasan kedua adalah karena saya menghindar untuk membandingkan antara Mahayana dengan ajaran lain. Dan hanya membandingkan ajaran Mahayana dengan ajaran Mahayana sendiri atau ajaran non Buddhis seperti Hindu. Tetapi karena mas Tan sendiri yang mengklaim bahwa Tipitaka ada di Mahayana (walaupun saya tidak beranggapan demikian). Jadi saya rasa saya tidak perlu sungkan-sungkan membandingkan Tipitaka dengan buku-buku Mahayana yang lain, karena bukankah Tipitaka Pali juga 99% sama dengan Tripitaka Mahayana? jadi hanya 1 diantara 100 yang berbeda. Jadi Saya tidak membandingkan T dengan M, karena T juga termasuk M menurut pemahaman mas Tan iya kan?
TAN:
Anda salah. Saya tidak pernah mengatakan bahwa Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Saya hanya bilang bahwa sebagian besar sutra di kumpulan Agama ada di Nikaya Pali. Ingat Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari kanon Pali. Selain itu, masih banyak pula Sutra yang hanya ada di Mahayana. Anda salah paham kalau mengatakan bahwa saya bilang Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Salah besar! Saya punya kumpulan kanon Pali dan Tripitaka Mahayana, jadi tidak mungkin saya sebodoh itu mengatakan demikian.
Ajaran Mahayana tidak identik dengan ajaran Theravada. Meskipun Mahayana mengakui Agama Sutra, tetapi juga menggunakan Sutra-sutra Mahayana. Jadi penafsiran pada Agama Sutra diterangi dengan cahaya Sutra-Sutra Mahayana. Oleh karena itu, kami kaum Mahayanis tidak menganggap keduanya bertentangan.
TL:
terlepas dari fakta bahwa ini kesekian kalinya mas Tan membandingkan antara M dengan T padahal mengatakan tidak bermaksud demikian
TAN:
Apakah Sdr. TL mengetahui bahwa Sutta2 Pali itu 99% juga ada di kumpulan Agama (Ahanjing) milik Mahayana? Sutta2 Pali dimasukkan dalam bagian tersendiri yang bernama Agama Sutra. Saya sah-sah saja memakai argument itu karena ajaran seperti itu juga ada di kanon Mahayana. Jadi tidak tepat bahwa saya dikatakan membandingkan antara M dengan T.
The Saṃyukta Āgama ("Connected Discourses", Zá Ahánjīng 雜阿含經 Taishō 99)[7] (corresponding to Saṃyutta Nikāya). A Chinese translation of the complete Saṃyukta Āgama of the Sarvāstivāda (說一切有部) school was done by Guṇabhadra (求那跋陀羅) in the Song state (宋) [435-443CE]4 (although two folios are missing). Portions of the Sarvāstivāda Saṃyukta Āgama also survive in Tibetan translation. There is also an incomplete Chinese translation of the Saṃyukta Āgama (別譯雜阿含經 Taishō 100) of the Kāśyapīya (飲光部) school by an unknown translator [circa the Three Qin (三秦) period, 352-431CE][8]. A comparison of the Sarvāstivādin, Kāśyapīya, and Theravadin texts reveals a considerable consistency of content, although each recension contains texts not found in the others.
The Madhyama Āgama ("Middle-length Discourses," Zhōng Ahánjīng 中阿含經, Taishō 26)[9] (corresponding to Majjhima Nikāya). A complete translation of the Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school was done by Saṃghadeva (僧伽提婆) in the Eastern Jin dynasty (東晉) [397-398CE]. The Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school contains 222 sūtras, in contrast to the 152 suttas in the Pāli Majjhima Nikāya. Portions of the Sarvāstivāda Madhyama Āgama also survive in Tibetan translation.
The Dīrgha Āgama ("Long Discourses," Cháng Ahánjīng 長阿含經 Taishō 1)[10] (corresponding to Dīgha Nikāya). A complete version of the Dīrgha Āgama of the Dharmagupta (法藏部) school was done Buddhayaśas (佛陀耶舍) and Zhu Fonian (竺佛念) in the Late Qin dynasty (後秦) [413CE]. It contains 30 sūtras in contrast to the 34 suttas of the Theravadin Dīgha Nikāya. A "very substantial" portion of the Sarvāstivādin Dīrgha Āgama survives in Sanskrit,[11] and portions survive in Tibetan translation.
The Ekottara Āgama ("Increased by One Discourses," Zēngyī Ahánjīng, 增壹阿含經 Taishō 125)[12] (corresponding to Anguttara Nikāya). A complete version, translated by Dharmanandi (曇摩難提) of the Fu Qin state (苻秦) [397CE] and altered by Saṃghadeva in the Eastern Jin (東晉), is thought to be from either the Mahāsaṃghika (大眾部) or Sarvāstivādin canons. It contains some mahāyāna philosophy. According to Keown, "there is considerable disparity between the Pāli and the Sarvāstivādin versions, with more than two-thirds of the sūtras found in one but not the other compilation, which suggests that much of this portion of the Sūtra Pitaka was not formed until a fairly late date."13]
In addition, there is a substantial quantity of Agama-style texts outside of the main collections. These are found in various sources:
TL:
Ini Sebenarnya adalah pandangan plin-plan. Perhatikan cara penyampaiannya disini, jelas nampak seolah-olah Sang buddha adalah mahluk mendua yang kadang mengajarkan A, kadang mengajarkan B, tidak konsekuen.
Hal lain yang jelas juga disini adalah: bahwa Nagarjuna (saya katakan bahwa ini pandangan Nagarjuna) berpandangan secara tidak langsung atman (atta) ada. Sebenarnya PANDANGAN NAGARJUNA ADALAH TERMASUK PANDANGAN SEMI ETERNALIS (Brahmajala Sutta ada membahas 62 pandangan salah dan pandangan Nagarjuna adalah salah satu diantaranya).
MEMPERSOALKAN ADA ATAU TIDAK ADA ADALAH SATU KOIN DUA SISI. adalah merupakan pandangan salah.
TAN:
Anda memandang bahwa Buddha dengan cara mengajar seperti itu adalah plin plan. Tetapi mari kita cermati. Saya ambil contoh, seorang dokter yang memeriksa seorang anak yang kekurangan vitamin pada sayuran. Ia lalu menyuruh anak itu banyak makan sayuran. Kemudian ada pasien lain yang menderita sakit asam urat. Ia disarankan jangan banyak makan sayuran. Menurut Anda dokter itu plin plan?
Ada lagi seorang pasien yang berobat dan diberi suatu jenis obat. Setelah pasien sembuh, dokter berkata obatnya boleh dihentikan atau tak boleh diminum lagi. Apakah dokter itu plin plan?
MERCEDES:
Sisi yang lain yaitu:
YAITU : PRATITYA SRAMUTPADA.
Mohon jangan dibantah, bukankah kitab suci Tipitaka sama dengan kitab suci Tripitaka Mahayana?
untuk lebih jelasnya, baca kembali syair Sang Buddha ketika di Bodhgaya waktu baru mencapai penerangan sempurna, yaitu:
"Semua faktor-faktor pendukung dumadi (tumimbal lahir)telah dihancurkan, maka tak akan ada lagi kelahiran."
TAN:
Ya tentu saja saya setuju pratyasamupatda. Hanya saja kaum Mahayana tidak menganggap penjelmaan Buddha sebagai "kelahiran." Kalaupun dianggap "kelahiran" maka itu adalah nampaknya begitu di mata makhluk samsara. Tetapi yang pasti tetap tidak ada "kelahiran." Nah, pertanyaan apakah ajaran Mahayana bertentangan dengan pratyasamutpada? Jawabannya, tidak! Karena itu bukanlah "kelahiran
TL:
Mas Tan mari kita ke basic.. tolong jelaskan hukum karma menurut mas Tan apakah melingkupi mahluk hidup saja dan apakah melingkupi benda mati?
PERTANYAAN INI SANGAT SEDERHANA (TAK PERLU ADA SPEKULASI) TETAPI MAS TAN TAK BISA MENJAWAB, (ATAU TAK BERANI MENJAWAB.....? ? ? ? ?) ANAK SD SAJA BISA MENJAWAB PERTANYAAN INI HEHEHE....
TAN:
Kalau Anda tidak suka spekulasi dan berbelit-belit. Jawab saja: Apakah hukum kamma itu anitya atau nitya? Gitu aja kok repot. gak usah repot2 lah.. saya ini tak suka merepotkan orang lain. Hehehehehe.....
TL:
Sudah saya jawab diatas: hukum karma hanya berlaku dan valid hanya pada mahluk hidup, sewaktu mereka masih memiliki kelima kelompok kemelekatan (panca skandha). Bila kemelekatan terhadap panca skandha telah lenyap seluruhnya, maka karma niyama tak berlaku.
TAN:
Buddha sebelum parinirvana masih menerima balasan kammanya, dan mengalami penyakit. Apakah Buddha masih punya kemelekatan pada panca skandha?
TL:
99% berarti hanya satu yang berbeda diantara seratus, apakah saya salah secara matematis?
Mengenai tanggapan terhadap Wikipedia, saya serahkan pada pembaca, mau percaya tulisan mas Tan atau percaya Wikipedia
TAN:
Meskipun semua pembaca tidak percaya tulisan saya, sama sekali saya tidak peduli. Saya punya pandangan sendiri berdasarkan literatur2 yang saya punya. Saya tidak perlu penilaian atau pendapat orang lain.
Jadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.
Kedua, kebenaran tidak bergantung dari banyak orang yang percaya atau tidak. Dulu yang percaya bumi bulat hanya GALILEO GALILEI. Nah, nyatanya bumi datar atau bulat?
MERCEDES:
Mas Tan mengerti atau tidak pandangan causal effect/ sebab akibat/ pratitya sramutpada
ini kutipan ajaran jainism ( http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism#Doctrines ):
Jains believe that every human is responsible for his/her actions and all living beings have an eternal soul, jīva.
Jains beranggapan bahwa semua manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan semua mahluk hidup memiliki roh yang kekal, jiva.Apa mirip ?
Jains view God as the unchanging traits of the pure soul of each living being, described as Infinite Knowledge, Perception, Consciousness, and Happiness (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). Jains do not believe in an omnipotent supreme being, creator or manager (kartā), but rather in an eternal universe governed by natural laws
Jains beranggapan Tuhan/dewa sebagai sifat tak berubah dari jiwa yang murni setiap mahluk hidup, diterangkan sebagai pengetahuan tak terbatas, persepsi, kesadaran dan kebahagiaan (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). jain tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur, tetapi percaya alam semesta yang abadi yang diatur oleh hukum alam.
Mirip T atau mirip M
History suggests that various strains of Hinduism became vegetarian due to strong Jain influences
Berbagai aliran Hinduisme menjadi vegetarian karena pengruh kuat jainism. Mirip mana ?
tolong diperhatikan kita tidak mempersoalkan vegetarian benar atau salah, baik atau buruk.
TAN:
Ah, bukannya umat Buddha juga percaya ajaran bahwa "tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur"?
Adalah wajar bahwa di antara berbagai ajaran agama ada kemiripan dan ketidak-miripannya. Tidak perlu dibingungkan. Bagaimana dengan kemiripan ajaran non-Mahayanis dengan konsep tirthankara yang juga tak dapat memancarkan maitri karuna setelah ia memasuki nirvana?
Amiduofo,
Tan
Wah ternyata belum di lock juga, ya.
Luar biasa. Belum sampai sehari dah maju 2-3 halaman. Betul2 diskusi yang bersemangat.
Saya belum bisa mereply semua pertanyaan. Tetapi saya sudah baca sekilas. Saya angkat topik ini dulu.
HUKUM KAMMA ITU NITYA ATAU ANITYA?
Pertanyaan ini nampaknya tidak bersedia dijawab dengan gamblang, karena akan menimbulkan problematika bagi sebagian orang. Oleh karena itu, alih-alih memberikan jawaban langsung, ada rekan peserta diskusi yang mencoba mengaitkannya dengan karma masing-masing individu. Intinya dijawab bahwa:
1.Bagi yang belum tercerahi, karma masih ada.
2.Bagi yang sudah tercerahi, hukum karma sudah tak berlaku lagi.
Jawaban ini tak memecahkan masalahnya. Pertanyaannya, meskipun bagi sebagian orang yang telah tercerahi hukum karma tak berlaku lagi, tetapi hal ini tetap berarti bahwa hukum karma tetap ada; karena bagi sebagian orang lain yang belum tercerahi, hukum ini masih berlaku. Oleh karena itu, hukum kamma MASIH TETAP BERLAKU, ENTAH ADA YANG SUDAH TERCERAHI ATAU BELUM. Apakah dengan demikian hukum karma bersifat kekal? Jadi pertanyaan saya apakah hukum karma bersifat kekal atau tidak kekal masih belum terjawab hingga saat ini. Mohon maaf, tanpa bermaksud merendahkan pihak manapun, saya terus mengatakan bahwa saya belum menerima jawaban yang definitif dan memuaskan mengenai hal ini. Masing-masing masih mencoba berkelit ke sana kemari.
Amiduofo,
Tan
TL:
Kitab-kitab suci Mahayana seperti Saddharma Pundarika Sutra, Avatamsaka Sutra dll tak pernah dimasukkan dalam agama sutra padahal kitab-suci ini juga dimulai dengan: Demikianlah yang kudengar.
Disebabkan ketidak sepakatan diantara golongan Mahayana sendiri mengenai keabsahan kedua kitab tersebut.
TAN:
Terus masalahnya apa kalau tidak dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Justru itulah yang membedakan Tripitaka Mahayana dengan Tipitaka Pali. Apakah Anda hendak memaksakan bahwa semuanya harus dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Ataukah semua sutra2 Mahayana harus dibuang, sehingga tinggal Agama Sutra saja? [Kok jadi ingat agama XXX yang pernah menyarankan pembakaran kitab-kitab ;)]
Kedua, kata siapa pernah ada ketidak-sepakatan di antara golongan Mahayana tentang keabsahan kedua kitab tersebut? Jawabnya tidak ada. Yang ada adalah aliran-aliran Mahayana menjadikan kitab2 tertentu sebagai pedomannya. Ya ini wajarlah. Sutra2 Mahayana itu jumlahnya bejibun. Akhirnya suatu aliran hanya pakai sutra2 tertentu saja, tetapi tidak memandang rendah Sutra2 Mahayana lainnya. Sebagai contoh:
Aliran Huayan (Avatamsaka) menjadikan Sutra Avatamsaka sebagai pedomannya.
Airan Tiantai (Panggung Surgawi) menjadikan Sutra Saddharmapundarika sebagai pedomannya.
Aliran Mizong (Tantra) menjadikan Sutra Mahavairocana dan Vajrasekhara sebagai pedomannya.
Mungkin dahulu dalam proses penyusunan kanonisasi Taisho Tripitaka Mahayana pernah terjadi perdebatan mengenai berbagai kitab yang hendak dimasukkan. Ini wajar saja, karena di tiap2 agama juga begitu. Bukannya menyinggung Theravada, tetapi kenyataan sejarah juga memperlihatkan bahwa Abhidhamma Pali sempat menjadi kontroversi.
Di sini Anda sekali lagi mengungkapkan ketidak benaran. Yang sebelumnya menuduh saya mengatakan Tipitaka Pali = Tripitaka Mahayana. Sekarang mengatakan ada perselisihan mengenai keabsahan Sadharmapundarika dan Avatamsaka Sutra dalam Mahayana. Padahal keduanya sudah 1000 tahun lebih masuk dalam kanon Mahayana.
TL:
At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?
TAN:
O maaf! Saya tidak lagi mencari kebenaran sejati. Bagi saya kebenaran adalah ajaran Mahayana. Saya tidak mencari-cari lagi. Anda ingin merubah saya mengikuti aliran Anda? Kalau itu tujuan Anda, Anda pasti akan kecewa, Bung. Sebaiknya urungkan saja niat Anda. Saya sudah yakin 100 %, Mahayana itu logis dan realistis. Tetapi saya tidak memaksa Anda mengikuti Mahayana. Di sini Mahayana dikritik, jadi saya merasa berhak memberikan jawaban. Anda sendiri masihkan mencari kebenaran sejati?
TL:
Seperti Alaya Vinnana yang kekal abadi, mas Tan nampak sekali menghindar untuk membahas mengenai Alaya Vinnana, itulah sebabnya bila saya tanyakan apakah kesadaran itu anitya atau tidak mas Tan selalu menghindar dengan mengajukan pertanyaan balasan: apakah anitya itu nitya atau anitya? (dalam usaha defensif).
TAN:
Justru Anda tidak mau menjawab hal itu, karena jawaban apakah anitya itu nitya atau anitya akan merupakan tantangan bagi apa yang Anda yakini dan sekaligus jawaban apakah kesadaran itu anitya atau nitya. Apakah Anda tidak bersedia menjawab apakah anitya itu nitya atau anitya sebagai usaha defensif pula? Coba tanyalah pada diri Anda sendiri.
Selebihnya posting Anda di bawah ini tidak akan saya tanggapi, karena menurut saya tidak berguna ditanggapi. Saya sudah banyak jelaskan panjang lebar sebelumnya. Kalau Anda tidak mengerti-ngerti juga ya sudah.
Semoga pencerahan tidak hanya di intelektual, tetapi juga pada tindakan, perkataan, dan tindakan.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Hmm... Anda menyatakan "nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias tubuh" bukanlah adalah suatu "kondisi" pula? Dengan kata lain, Anda seolah-olah hendak menyatakan bahwa nirvana itu berkondisi. Kedua, saya perlu mengulangi lagi bahwa yang dimaksud dengan "tubuh" di sini tidak sama dengan tubuh dalam pengertian makhluk yang belum tercerahi. Saya sebenarnya tidak menolak ungkapan bahwa "nirvana tidak memiliki elemen apapun" asalkan yang Anda maksud "elemen" di sini adalah "elemen" dalam pengertian makhluk samsara. Nirvana memang tidak dapat diungkapkan dengan kosa kata umat awam.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Anda telah terjebak di sini. Oke anggap saja anitya tidak berlaku lagi bagi seseorang yang telah merealisasi nirvana. Tetapi ini tidak berarti anitya tidak ada lagi. Anitya tetap berlaku bagi para makhluk yang telah mencapai pencerahan, meskipun ada yang telah merealisasi nirvana. Sebagai contoh, saya beri kasus sebagai berikut. Seseorang berada dalam rumah yang tertutup rapat, sehingga ia tidak lagi melihat matahari. Namun apakah matahari itu hilang seiring dengan hal itu? Jawabannya tidak! Orang yang berada di luar rumah masih dapat melihat matahari. Nah, apakah kini anitya atau nitya itu kekal?
Kalau pertanyaan ini dianggap tidak valid atau ditolak menjawabnya dengan alasan apapun, maka saya juga boleh menyatakan bahwa segenap pertanyaan dan kritikan terhadap Mahayana juga tidak patut, layak, ataupun valid.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Hmmm.. kalau saya jawab "ada" juga tidak tepat. Karena Anda masih menggunakan definisi "ada" berdasarkan pandangan seseorang yang masih belum tercerahi. Apa yang disebut "keberadaan" di sini hendaknya tidak didasari oleh pandangan kita yang masih ada dalam samsara ini. Iya Buddha "ada" tetapi berada dalam kondisi yang di luar "keberadaan" makhluk samsarik. Inilah bedanya dengan eternalisme ataupun semi eternalisme. Apakah Anda melihat bedanya?
Mahayana boleh dicap eternalisme atau semi eternalis asalkan penganut pandangan "ada" sama seperti makhluk samsarik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.
Amiduofo,
Tan
Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva. Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi jelas.
Saya sudah mengatakan pada anda bahwa, pembangkitan pikiran “bodhicitta” adalah yang terpenting dalam Ikrar Bodhisattva bukan logika tentang mungkin atau tidaknya ikrar tersebut diwujudkan, seperti halnya dalam Metta Bhavana pembangkitan Metta itu paling penting dibandingkan apakah akhirnya semua makhluk hidup bebahagia seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini, yang penting adalah kedua-duanya membangkitkan tekad dan semangat yang kurang lebih sama. Kalau anda kemudian mempertanyakan Ikrar Bodhisattva semata-mata agar terkesan elegan, maka anda seharusnya mempertanyakan hal yang sama pula pada Metta Bhavana. Di sini saya kembali bertanya pada anda, buat apa mengharapkan semua makhluk berbahagia padahal tidak ada kemungkinan hal ini terjadi?
:) sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi :) saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.
Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Bro Upasaka, logika demikian hanya menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermanfaat, kenapa harus terus dipertahankan? Coba kalau anda bertanya terus dengan logika anda apa bukti logis bahwa Sakyamuni benar-benar mencapai Kebuddhaan dan terus meragukan hal tersebut atau apakah realisasi nirvana itu mungkin terjadi atau tidak, saya rasa pertanyaan demikian tidak ada gunanya. Dalam Dharma, tidak semua pertanyaan perlu dijawab saat ini juga.
Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut. Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama.
Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.
Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?
Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur. :) Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?
Anda terlalu banyak berpikir bro :)
Kalau Buddha bisa terbang, menembus tembok, menggandakan diri dan melakukan banyak keajaiban, mengapa kita bicara tentang hukum fisika lagi?
Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)
:) Itu asumsi anda :))
Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.
Saya tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)
QuoteMengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.saudara Sobat-dharma,
btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?
QuoteMengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.saudara Sobat-dharma,
btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?
According to Sammana-Phala Sutta (berhubung saya bicara dengan Theravadin):
Melalui praktik yang antara lain:
1. Mempraktikkan sila yang mulia
2. Mengendalikan indera-indera
3. Membangun sati dan sampajnana
4. Kepuasaan seperti "burung terbang bebas hanya dengan sayapnya"
Dengan demikian dapat mengatasi lima rintangan:
1. Kerinduan pada duniawi
2. Niat jahat
3. Kemalasan dan kelambanan
4. Kegelisahan dan kekhawatiran
5. Keragu-raguan
Dengan demikian seorang praktisi dapat bekonsentrasi menembus jhana 1, 2, 3, 4 (samadhi). Setelah itu dengan konsentrasi yang murni dan terpusat akhirnya merenungkan empat kebenaran mulia dan lain sehingga mencapai nibbana (panna)
Dari langkah-langkah yang disajikan di atas, tidak ada yang secara langsung dikatakan "akal pikiran" atau "logika" dapat membantu seseorang merealisasi nibbana. Justru yang dibutuhkan adalah "pandangan terang" yang akhirnya menyebabkan seseorang "mengetahui" dan "melihat" langsung apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Bagaimana dengan akal? Tentu saja bukan berarti akal sama sekali tidak dibutuhkan. Minimal dibutuhkan ketika membaca Ajaran Sang Buddha dari teks dan mendiskusikannya seperti yang kita lakukan di forum ini. Tapi itu berada di tahap awal belaka. Pada praktik selanjutnya, baik Theravadin ataupun Mahayanis, rasio-logis kadang-kadang malah bisa mengganggu. Kenapa demikian?
1. Terlalu banyak berpikir kritis membuat orang mudah ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan akan jalan (rintangan ke lima)
2. Terbiasa banyak berpikir menyebabkan pikiran terus bergerak dan sulit mencapai keheningan yang biasa menyebabkan kerinduan pada duniawi (rintangan 1) dan kegelisahan (rintangan 4)
Demikian pendapat saya tentang dampak terlalu banyak pikiran terhadap praktik Buddhadharma.
itu-lah logika-nya arahatta magga (jalan pembebasan), jadi tidak blash blush blesh... langsung jadi...
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_
”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”
1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_
”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”
Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.
buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.
Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."
Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.
Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.
Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?
Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8 pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
- (1) Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
(2) Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
(3) Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
(4) Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
(5) Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
(6) Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
(7) Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
(8 ) Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.
Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.
Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.
Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.
Bagaimana menurut teman-teman?
1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.
Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?
1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.
Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?
Tidak ada keterangan bro.
1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_
”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”
Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.
buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.
Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."
Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.
Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.
Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?
Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8 pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
- (1) Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
(2) Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
(3) Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
(4) Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
(5) Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
(6) Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
(7) Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
(8 ) Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.
Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.
Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.
Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.
Bagaimana menurut teman-teman?
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.
Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?
Saya tanya sekali lagi, apa anda sudah tercerahkan atau masih spekulasi? atau hanya omdo? atau anda sudah mencicipi Nibbana seperti Bapak Hudoyo?wah, saya telat masuk di thread ini,Nibbana adalah hilanganya Dosa,lobha dan Moha (kebencian, keserakahan dan kebodohan batin), punca penderitaan kita adalah dikarenakan oleh kemelekatan(attachment), jadi hanya dengan menghilangkan kemelekatan maka kita akan mencapai ketenangan sejati yg dipanggil Nibbana.
masih bisa nanya nggak?
kalau saya liat ada beberapa postingan dari teman2di forum berbicara soal
kebenaran sejati dan nibbana,
bisa dijelaskan dalam agama budha?
tks.
Kemelekatan terlahir dari Dosa, lobha dan Moha..
CMIIW
salam,
Christ
saat menyadari dan terbebasnya dari kesalahan pandangan dan memelekatan kepada kewujudan ciri diri yang palsu (yang memiliki sifat yang disebut tilakhana, sifat duniawi), seseorang dapat mengetahui dan menyelami pengetahuan dan mencapai realisasi Nibanna.
Saat seseorang mencapai realisasi Nibanna, saat itu seseorang menyadari/mengetahui kebenaran sejati, kedemikianan, kewajaran, kemurnian True self (sumber) kehidupannya yang sejati.
ada yang mencapai pengetahuan kebijaksanaan tetapi belum mencapai realisasi Nibanna, itu yang dibilang guru Buddha sifatnya masih berspekulasi.
tapi ada yang memiliki banyak pengetahuan tetapi belum mengalaminya, itu yang disebut hanya sebatas teori (omdo).
kan... ai sudah bilang hanya berbagi informasi. (seperti yang anda tulis urutannya the real truth, masih spekulasi dan juga termasuk omdo.)
Omong-omong kata 'mencicipi Nibanna', pengalaman realisasi Nibanna bukan seperti orang makan icip-icip setelah itu dibilang gak lagi makan (tindakannya). Tetapi seperti orang makan dilihat dari pengalaman rasanya. Sekali merasakan, seterusnya melekat pengetahuan itu.
Klo dibilang icip-icip, lalu hilang atau katanya seperti ini atau itu, tetapi seperti orang lupa tidak dapat meraih lagi alias dibilang pernah menyicipi tapi tidak dapat mencapainya lagi alias tidak berada dalam kebijaksanaan pencapaian itu lagi, itu sih namanya (masih) spekulasi sendiri.
Lihat kutipan saya yang saya huruf birui dan tebalkan. Mereka sudah mengetahui yang asli/sifat kesejatian (Udanna VIII.3, sunya), dapat melihat dan membedakan yang palsu (yang berkondisi, bersifat tilakhana) dengan yang sejati (Udanna VIII.3), meskipun mereka hidup didalam kesemetaraan tubuh dan dunia fana (yang berkondisi, bersifat tilakhana).
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Kata "di sini dan saat ini" sama sekali tidak secara gamblang menjelaskan bahwa pembebasan demikian hanya dalam Saupadisesa. Penjelasan hanya berdasarkan kata ini sangat spekulatif. Bagaimanapun kondisi Anupadisesa sendiri masih adalah misteri. Sang Buddha sendiri hanya menjawabnya dengan diam ketika ditanya tentang bagaimana keadaan setelah Tathagata mencapai Parinibbana. Nah, kalau kita berdiskusi tentang keadaan setelah sang Buddha telah parinibbana, maka mencontoh sikap Sang Buddha saya hanya akan bersikap diam :)
Meskipun demikian, di bawah ini saya akan menyampaikan beberapa pertimbangan saya.
Seingat saya beda antara nibbana tanpa sisa dan nibbana yang dicapai ketika masih hidup yang pasti hanya pada ada tidaknya Pancaskandha. Jika asumsinya seseorang yang telah merealisasi Nirvana berarti ia telah mematahkan lingkaran kehidupan dan kematian, berartikan ada atau tidaknya pancaskandha bukan lagi rintangan? Apalagi di sini dikatakan bahwa pembebasan sejati berarti seseorang bebas untuk masuk dan keluar dari kondisi nirvana dan samsara, sehingga jika seseorang dikatakan bebas keluar dan masuk berartikan keberadaan pancaskandha sama sekali tidak ada kaitannya? Bahkan jika dikatakan nirvana adalah kondisi yang melampaui dualitas ada dan tiada, maka seharusnya ada dan tiadanya pancaskandha bukanlah sesuatu yang harus terlalu diperhitungkan bukan?
Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.
Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.
Kalau seandainya cerita ini benar, berartikan ini menggambarkan kondisi Parinibbana yang melampaui keadaan ada atau tiadak? Logika si pertapa tentang ada dan tiada tidak mampu menjangkau nibbana/parinibbana
Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?
sobat dharmaQuoteMengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.saudara Sobat-dharma,
btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?
According to Sammana-Phala Sutta (berhubung saya bicara dengan Theravadin):
Melalui praktik yang antara lain:
1. Mempraktikkan sila yang mulia
2. Mengendalikan indera-indera
3. Membangun sati dan sampajnana
4. Kepuasaan seperti "burung terbang bebas hanya dengan sayapnya"
Dengan demikian dapat mengatasi lima rintangan:
1. Kerinduan pada duniawi
2. Niat jahat
3. Kemalasan dan kelambanan
4. Kegelisahan dan kekhawatiran
5. Keragu-raguan
Dengan demikian seorang praktisi dapat bekonsentrasi menembus jhana 1, 2, 3, 4 (samadhi). Setelah itu dengan konsentrasi yang murni dan terpusat akhirnya merenungkan empat kebenaran mulia dan lain sehingga mencapai nibbana (panna)
Dari langkah-langkah yang disajikan di atas, tidak ada yang secara langsung dikatakan "akal pikiran" atau "logika" dapat membantu seseorang merealisasi nibbana. Justru yang dibutuhkan adalah "pandangan terang" yang akhirnya menyebabkan seseorang "mengetahui" dan "melihat" langsung apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Bagaimana dengan akal? Tentu saja bukan berarti akal sama sekali tidak dibutuhkan. Minimal dibutuhkan ketika membaca Ajaran Sang Buddha dari teks dan mendiskusikannya seperti yang kita lakukan di forum ini. Tapi itu berada di tahap awal belaka. Pada praktik selanjutnya, baik Theravadin ataupun Mahayanis, rasio-logis kadang-kadang malah bisa mengganggu. Kenapa demikian?
1. Terlalu banyak berpikir kritis membuat orang mudah ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan akan jalan (rintangan ke lima)
2. Terbiasa banyak berpikir menyebabkan pikiran terus bergerak dan sulit mencapai keheningan yang biasa menyebabkan kerinduan pada duniawi (rintangan 1) dan kegelisahan (rintangan 4)
Demikian pendapat saya tentang dampak terlalu banyak pikiran terhadap praktik Buddhadharma.
by Tan
Ada aliran di luar M, yang getol bilang Sabbe Sattha Bhavantu Sukithatta. Malah getol bikin stiker gede2 pake tulisan itu. Nah, pertanyaannya apakah itu berarti bahwa aliran tersebut berspekulasi agar semua makhluk berbahagia? Lagian secara logika, apakah mungkin semua makhluk berbahagia, padahal masing2 punya kepentingan beda. Apakah kita berharap agar seorang maling berhasil dalam merampok, sehingga ia bahagia? Nah, sekarang giliran saya tanya: Sabbe Sattha Bhavantu Sukhittata itu masuk akal ga? Hahahahahaa.
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?
Bukankah sutta yang kukutip juga berkata demikian, pembebasan sejati justru terjadi ketika seseorang dapat berpindah dari kondis satu ke kondisi lainnya
Saya terpaksa bicara agak keras di sini. Kritikan terhadap Mahayana itu menurut hemat saya sudah “kurang ajar.”
Demikian mohon maklum.
Amiduofo,
Tan
(yang tidak bisa bahasa Indonesia dengan baik)
Pertanyaan "kurang ajar"
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan "pertanyaan kurang ajar." Semoga ini bisa meluruskannya. Yang saya maksud adalah seseorang "menanyakan" sesuatu tapi sesungguhnya dia sudah punya jawaban bagi pertanyaannya itu. Jika orang menjawab pertanyaannya dan ternyata tidak sesuai dengan pemikiran si penanya, maka ia akan "mencacatnya" habis-habisan. Nah, kalau sudah begitu apa gunanya bertanya. Dengan kata lain, si penanya mengharapkan jawaban yang sesuai dengan pemikirannya.
Kalau sudah begini, lebih baik penanya semacam itu, kirim saja sms pertanyaan ke dirinya sendiri, lalu balas juga ke nomor sendiri, jawabannya. Pasti ia akan puas! Dijamin deh.
Amiduofo,
Tan
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_
”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”
Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.
buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.
Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."
Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.
Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.
Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?
Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8 pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.
- 1) Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
(2) Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
(3) Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
(4) Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
(5) Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
(6) Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
(7) Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
(8 ) Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.
Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,” dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.
Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.
Bagaimana menurut teman-teman?
Tanggapan terhadap Bond dan Adi Lim
BOND:
Sabbe satta Bhavantu Sukhittata itu sangat masuk akal. coba kita lihat terjemahannya"Semoga semua makhluk berbahagia". Jadi baru "semoga" atau mudah2an, karena yg memulai kata itu tau bahwa mudah-mudahan( good wishes yg rasional sesuai dengan anitya) bisa terbebaskan semua dan mengerti adanya anicca/anitya. Kalau bisa ya syukur kalo ngak , ya ngak apa2, seperti om Tan bilang masing2(makhluk) punya kepentingan. Kecuali kalimatnya "semua makhluk pasti berbahagia" atau semua makhluk harus bebas dari alam samsara baru saya jadi Buddha. Nah ini yg tidak mungkin atau spekulasi
Jadi kata "semoga" sudah sesuai karena ada hubunganya dengan anicca/anitya tadi.
TAN:
Nah! Ini dia... kena juga pancingan saya hehehehehee....
Tanggapan saya adalah sebagai berikut:
1.Kalau begitu, umat non Mahayana hendaknya jangan mengkritik Mahayana yang berkenaan dengan ikrar Bodhisattva. Anda bisa menulis tanggapan seperti di atas, seharusnya memahami bahwa ikrar Bodhisattva juga mengandung makna yang sama. Itu juga dapat dianggap sebagai good wishes. Tidak ada bedanya sama sekali.
2.Sekarang saya balik bertanya. Itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan bukan (dalam istilah Anda “terbebaskan dan mengerti aniccha”). Entah pakai kata “semoga” atau apapun juga, itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan (nirvana). Lalu apa bedanya dengan ikrar bodhisattva? Orang mengucapkan kata “semoga” tentunya dengan harapan bahwa “harapan”nya itu dapat terkabul (kalau ia tidak mengharapkan demikian, tentunya orang itu hanya “gombal” atau “munafik” - istilah Jawanya “abang2 lambe” atau dalam bahasa Indonesia “bibir manis”). Tentunya orang non Mahayanis tidak hanya bermanis bibir bukan? Selanjutnya, orang yang mengucapkan Sabbe Sattha Bhavantu Sukkhitata tentunya juga punya asumsi bahwa hal itu tidak mustahil terjadi bukan? Kalau umat non Mahayanis merasa itu mustahil terjadi (semua makhluk mencapai pencerahan), maka itu artinya umat non Mahayanis harus mengakui bahwa mereka berkhayal terlalu tinggi, bukan? Ibaratnya kita bilang, semoga batu di kebunku berubah menjadi emas semua. Orang yang punya keinginan semacam itu akan Anda anggap “pengkhayal” atau “gila”, bukan?
3.Tidak cukup mengucapkan kata “semoga” bukan? Hanya mengucapkan kata “semoga” tidak menyelesaikan masalah atau ada gunanya. Ada teman saya yang hanya bilang “semoga aku kaya,” “semoga ujianku lulus,” “semoga...” “semoga...” Nah, tanpa usaha yang nyata, apakah itu ada gunanya? Oleh karena itu, seorang Bodhisattva Mahayana akan melakukan tindakan nyata dan tidak hanya berkata “semoga” saja. Bodhisattva Mahayana memilih untuk bertindak secara aktif. Itulah gunanya ikrar Bodhisattva.
Menimbang poin2 di atas, ikrar Bodhisattva jelas bukan spekulatif atau tidak masuk akal. Jika pihak non Mahayanis terus menerus mengkritik ikrar Bodhisattva, maka slogan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA yang mereka dengungkan hanya pepesan kosong yang tidak ada artinya.
ADILIM:
kayaknya ilmu BAHASA Sdr. Tan perlu di perdalam atau memang ndak mengerti arti kata SEMOGA !
jadi tidak bisa mengartikan arti kata SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA ! secara tepat kemudian memvonis suatu aliran yang tidak benar bila menggunakan slogan itu.
jadi sdr Tan perlu memahami dulu arti yang lebih mendalam, sebelum mengkritik sesuatu.
jadi saya tidak menjelaskan lagi, karena sudah di jelaskan sdr. Bond secara terperinci.
SENT GRP ke Sdr. Bond
TAN:
Saran yang sangat baik Sdr. Adi Lim. Anda telah berbuat karma yang sungguh sangat bajik dengan menyarankan saya memperdalam bahasa Indonesia. Memang saya orang yang sangat bodoh dan tidak paham bahasa Indonesia dengan baik. Semoga sdr. Adi Lim bersedia mengajari saya bahasa Indonesia. Budi baik Anda sungguh tak terlupakan.
Saya hanya dapat membalasnya dengan sebuah saran pula. Saya juga menyarankan umat non Mahayana untuk lebih memperdalam pula bahasa Indonesia. BUKAN karena bahasa Indonesia mereka kurang baik (seperti saya). Bahasa Indonesia mereka sudah sangat teramat baik, tetapi tidak apa-apa khan kalau bisa lebih baik lagi? Bahkan siapa tahu bisa jadi lebih baik. Dengan demikian, umat non Mahayanis dapat mengerti lebih baik ikrar Bodhisattva dan tidak terus menerus mengkritik atau mendiskreditkan Mahayana.
Saya terpaksa bicara agak keras di sini. Kritikan terhadap Mahayana itu menurut hemat saya sudah “kurang ajar.”
Demikian mohon maklum.
Amiduofo,
Tan
(yang tidak bisa bahasa Indonesia dengan baik)
Khudaka nikaya
BAB IV
KELOMPOK DELAPAN
5. PARAMATTHAKA SUTTA
Kesempurnaan
1. Manusia yang menggenggam pandangan dogmatis tertentu dan menganggapnya sebagai yang tertinggi, akan menyatakan: 'Inilah yang paling hebat.' Pandangan lain -- yang berbeda-- dianggapnya lebih rendah. Sebagai akibatnya, dia tidak akan terbebas dari perselisihan. (796)
2. Ketika dia melihat adanya keuntungan-keuntungan pribadi dari hal-hal yang telah dilihat, didengar atau dikognisinya, atau dari peraturan atau ritual, dengan penuh nafsu dia melekati hal itu, dan apa pun yang lain dianggapnya lebih rendah. (797)
3. Para ahli mengatakan bahwa bergantung pada apa yang diasosiasikan dengan diri seseorang dan menganggap lainnya lebih rendah, merupakan suatu ikatan. Oleh karenanya, manusia yang berdisiplin tidak seharusnya mempercayai hal-hal yang dilihat, didengar atau dirasakan, atau yang ada di dalam peraturan serta ritual. (798)
4. Manusia yang berdisiplin tidak akan menimbulkan pandangan-pandangan dogmatis di dunia ini, baik lewat pengetahuan, peraturan atau pun ritual. Oleh karena itu, dia tidak menganggap dirinya 'lebih tinggi', 'lebih rendah', atau 'setara'. (799)
5. Manusia bijaksana itu telah meninggalkan pandangan tentang diri atau ego, dan terbebas dari kemelekatan. Dia tidak bergantung bahkan pada pengetahuan; dia tidak memihak di tengah perselisihan; dia tidak memiliki pandangan-pandangan dogmatis. (800)
6. Baginya tidak ada nafsu untuk meraih ini atau itu, di dunia ini atau pun di dunia yang akan datang. Tak lagi dia berhubungan dengan dogma karena dia tidak lagi membutuhkan penghiburan yang ditawarkan oleh dogma-dogma itu. (801)
7. Bagi manusia bijaksana itu, tidak ada sama sekali pandangan prasangka mengenai apa yang dilihat, didengar atau dirasakan. Bagaimanakah manusia di dunia ini --lewat pikiran-- dapat mencirikan manusia murni seperti ini, yang tidak melekati pandangan dogmatis apa pun? (802)
8. Mereka tidak membentuk dogma apa pun, serta tidak lebih menyukai apa pun. Pandangan-pandangan dogmatis tidak dipandang tinggi olehnya. Brahmana itu tidak dikuasai oleh peraturan maupun ritual. Manusia yang sudah mantap itu telah pergi ke pantai seberang, dan tidak akan pernah kembali lagi. (803)
untuk bahan perenungan aja ;DKhudaka nikaya
BAB IV
KELOMPOK DELAPAN
5. PARAMATTHAKA SUTTA
Kesempurnaan
1. Manusia yang menggenggam pandangan dogmatis tertentu dan menganggapnya sebagai yang tertinggi, akan menyatakan: 'Inilah yang paling hebat.' Pandangan lain -- yang berbeda-- dianggapnya lebih rendah. Sebagai akibatnya, dia tidak akan terbebas dari perselisihan. (796)
2. Ketika dia melihat adanya keuntungan-keuntungan pribadi dari hal-hal yang telah dilihat, didengar atau dikognisinya, atau dari peraturan atau ritual, dengan penuh nafsu dia melekati hal itu, dan apa pun yang lain dianggapnya lebih rendah. (797)
3. Para ahli mengatakan bahwa bergantung pada apa yang diasosiasikan dengan diri seseorang dan menganggap lainnya lebih rendah, merupakan suatu ikatan. Oleh karenanya, manusia yang berdisiplin tidak seharusnya mempercayai hal-hal yang dilihat, didengar atau dirasakan, atau yang ada di dalam peraturan serta ritual. (798)
4. Manusia yang berdisiplin tidak akan menimbulkan pandangan-pandangan dogmatis di dunia ini, baik lewat pengetahuan, peraturan atau pun ritual. Oleh karena itu, dia tidak menganggap dirinya 'lebih tinggi', 'lebih rendah', atau 'setara'. (799)
5. Manusia bijaksana itu telah meninggalkan pandangan tentang diri atau ego, dan terbebas dari kemelekatan. Dia tidak bergantung bahkan pada pengetahuan; dia tidak memihak di tengah perselisihan; dia tidak memiliki pandangan-pandangan dogmatis. (800)
6. Baginya tidak ada nafsu untuk meraih ini atau itu, di dunia ini atau pun di dunia yang akan datang. Tak lagi dia berhubungan dengan dogma karena dia tidak lagi membutuhkan penghiburan yang ditawarkan oleh dogma-dogma itu. (801)
7. Bagi manusia bijaksana itu, tidak ada sama sekali pandangan prasangka mengenai apa yang dilihat, didengar atau dirasakan. Bagaimanakah manusia di dunia ini --lewat pikiran-- dapat mencirikan manusia murni seperti ini, yang tidak melekati pandangan dogmatis apa pun? (802)
8. Mereka tidak membentuk dogma apa pun, serta tidak lebih menyukai apa pun. Pandangan-pandangan dogmatis tidak dipandang tinggi olehnya. Brahmana itu tidak dikuasai oleh peraturan maupun ritual. Manusia yang sudah mantap itu telah pergi ke pantai seberang, dan tidak akan pernah kembali lagi. (803)
kesempurnaan untuk apa bos?
aye gak lihat ada yg sempurna disini
Pertanyaan "kurang ajar"
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan "pertanyaan kurang ajar." Semoga ini bisa meluruskannya. Yang saya maksud adalah seseorang "menanyakan" sesuatu tapi sesungguhnya dia sudah punya jawaban bagi pertanyaannya itu. Jika orang menjawab pertanyaannya dan ternyata tidak sesuai dengan pemikiran si penanya, maka ia akan "mencacatnya" habis-habisan. Nah, kalau sudah begitu apa gunanya bertanya. Dengan kata lain, si penanya mengharapkan jawaban yang sesuai dengan pemikirannya.
Kalau sudah begini, lebih baik penanya semacam itu, kirim saja sms pertanyaan ke dirinya sendiri, lalu balas juga ke nomor sendiri, jawabannya. Pasti ia akan puas! Dijamin deh.
Amiduofo,
Tan
sobat dharma
semua itu menggunakan apa? kalau bukan dari pikiran sumber nya?
memang nya melatih dari 1-4 tidak lewat pikiran?....
lewat pikiran kan, dan pikiran adalah sumber-nya...bagaimana itu?
metta
Sabbe satta Bhavantu Sukhittata itu sangat masuk akal. coba kita lihat terjemahannya"Semoga semua makhluk berbahagia". Jadi baru "semoga" atau mudah2an, karena yg memulai kata itu tau bahwa mudah-mudahan( good wishes yg rasional sesuai dengan anitya) bisa terbebaskan semua dan mengerti adanya anicca/anitya. Kalau bisa ya syukur kalo ngak , ya ngak apa2, seperti om Tan bilang masing2(makhluk) punya kepentingan. Kecuali kalimatnya "semua makhluk pasti berbahagia" atau semua makhluk harus bebas dari alam samsara baru saya jadi Buddha. Nah ini yg tidak mungkin atau spekulasi
Jadi kata "semoga" sudah sesuai karena ada hubunganya dengan anicca/anitya tadi. _/\_
Di sini saya melihat ada suatu keanehan. Tiap rekan non Mahayanis dihadapkan dengan suatu kenyataan yang "mirip" atau "nyerempet2" Mahayana dalam Sutta-nya, pasti jawabannya adalah "itu khan waktu Buddha masih hidup (alias nirvana dengan sisa)." Jawaban semacam itu kebanyakan yang dilontarkan. Nah pertanyaan saya: Manakah yang lebih tinggi nirvana sisa dan tanpa sisa?
Amiduofo,
Tan
Di sini saya melihat ada suatu keanehan. Tiap rekan non Mahayanis dihadapkan dengan suatu kenyataan yang "mirip" atau "nyerempet2" Mahayana dalam Sutta-nya, pasti jawabannya adalah "itu khan waktu Buddha masih hidup (alias nirvana dengan sisa)." Jawaban semacam itu kebanyakan yang dilontarkan. Nah pertanyaan saya: Manakah yang lebih tinggi nirvana sisa dan tanpa sisa?
Amiduofo,
Tan
Demikianlah Bro Tan,
saya menilai ada semacam kecemasan dalam diri para rekan-rekan non-Mahayanis untuk disamakan pandangannya dengan Mahayana. Ada usaha untuk terus menerus mencari perbedaan antara Theravada dan Mahayana. Ada kecenderungan membuat gambaran perbedaan antara Theravada dan Mahayana yang seolah-olah saling beroposisi satu sama lain dan bersifat dikotomis. Seolah-olah keduanya berbeda bak langit dan bumi, padahal nyatanya tidak demikian.
Komentar bagus bro :) GRP sent
Komentar bagus bro :) GRP sent
Kirim ke Aye aja ;DKomentar bagus bro :) GRP sent
GRP unsent; harus tunggu setelah 720 jam lagi :'(
Mengenai kemungkinan adanya kesamaan antara Nienfo dengan metode Buddho berikut ini saya kutipkan pendapat dari Ajahn Sumedho yang pernah menjadi murid dari Ajahn Chah
"Banyak bhikkhu hutan di Timur-laut Thailand menggunakan kata 'Buddho' sebagai objek meditasi mereka. Mereka menggunakannya sebagai sejenis koan. Pertama-tama, mereka membikin tenang pikiran dengan mengikuti keluar masuknya napas seiring suku kata BUD DHO, dan kemudian mulai melakukan kontemplasi, 'Apakah Buddho -Dia yang mengetahui- itu?' 'Apa artinya mengetahui?'
Ketika saya berkeliling di daerah timur-laut Thailand dan singgah di tudong, saya mengunjungi vihara tempat Ajahn Fun dan tinggal beberapa lama di sana.
[...]
Beliau mengajarkan untuk tidak hanya mengulang-ulang kata 'Buddho', tapi merenungkan dan mengamatinya, membawa pikiran menembus dan benar-benar melihat ke dalam 'Buddho', 'Dia yang mengetahui' -mengamati muncul dan lenyapnya, tinggi dan rendahnya, sebegitu hingga seluruh perhatian kita tumplek padanya.
Dengan melakukan hal itu 'Buddho' menjadi sesuatu yang bergema dalam pikiran. Kita mesti mengamati, menonton, dan memeriksanya sebelum ia muncul dan setelah ia muncul, lalu mendengarkan gema suara itu dan yang ada di baliknya -hingga akhirnya kita hanya mendengar keheningan."
Sumber: Ajah Sumedho, "Hidup Saat Ini." Pustaka Karaniya, 1991
Nah, jika kita melihat kutipan kesaksian Ajahn Sumedho ini tentang meditasi Buddho, kita akan menemukan banyak sekali kesamaanya dengan nienfo.
Bagaimana menurut teman-teman?
IMO,yang no 4 nya mana cuy ;D
Tujuan membaca nien fo ....
untuk meditasi? >> yoa
untuk mendapatkan karma baik? >> pastinya dech...
untuk terlahir ke surga? >> tapi gw ga mo disurga sukhavati, mo nya disurga lazuardi
Untuk teman-teman yang masih dibingunkan oleh diskusi tentang konsep buddha antara Theravada dan Mahayana saya ajak untuk ikut membaca posting dari Bro Gandalf yang sangat bermanfaat ini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5087.msg178392/topicseen.html#msg178392
IMO,
Tujuan membaca nien fo ....
untuk meditasi? >> yoa << idem
untuk mendapatkan karma baik? >> pastinya dech...<< idem
untuk terlahir ke surga? >> tapi gw ga mo disurga sukhavati, mo nya disurga lazuardi
<< yahhh ... gak ketemuan donk bro :D
untuk mendapat suatu manfaat?
Inti ajaran Buddha : perbanyak kebajikan , kurangi kejahatan , sucikan hati & pikiran .
nah untuk mensucikannya g memilih metode nienfo tuk mewujudkannya :)
Inti ajaran Buddha : perbanyak kebajikan , kurangi kejahatan , sucikan hati & pikiran .
^
^
please dech ah, jgn lebay....
Inti ajaran Buddha : perbanyak kebajikan , kurangi kejahatan , sucikan hati & pikiran .
Ada yang salah. Ini terjemahan jadul, sudah tidak berlaku lagi, . ;D
Dhammapada 183.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.
Jadi bukannya mengurangi, tapi tidak melakukan. Kalau mengurangi berarti jika sekarang melakukan 10 kejahatan besok 8, 5 kejahatan maka dianggap cincai, tidak apa-apa, toh berkurang. ;D
GRP buat om Kelana ;D
Inti ajaran Buddha : perbanyak kebajikan , kurangi kejahatan , sucikan hati & pikiran .
Ada yang salah. Ini terjemahan jadul, sudah tidak berlaku lagi, . ;D
Dhammapada 183.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.
Jadi bukannya mengurangi, tapi tidak melakukan. Kalau mengurangi berarti jika sekarang melakukan 10 kejahatan besok 8, 5 kejahatan maka dianggap cincai, tidak apa-apa, toh berkurang. ;D
^
^
please dech ah, jgn lebay....
^-^ kenapa Sdr. Naviscope?? Anda tidak bisa menerima masukan / kritikan ya :))
Padahal judul topiknya Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda... ^-^
ngak lebay kok.... ^-^
GRP buat om Kelana ;D
Inti ajaran Buddha : perbanyak kebajikan , kurangi kejahatan , sucikan hati & pikiran .
Ada yang salah. Ini terjemahan jadul, sudah tidak berlaku lagi, . ;D
Dhammapada 183.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.
Jadi bukannya mengurangi, tapi tidak melakukan. Kalau mengurangi berarti jika sekarang melakukan 10 kejahatan besok 8, 5 kejahatan maka dianggap cincai, tidak apa-apa, toh berkurang. ;D
bukan, kalau emang tertulis seperti itu, kenapa tidak dipublikasi keluar
kenapa di simplycity?
why, berarti sudah kebohongan publik?
ato mengikuti perkembangan jaman, tuntutan jaman?
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan << emang bisa, loe yakin, selagi loe masi kerja, masi berdagang, masi bercinta, emang bisa?
sori ya, sapa yang tersinggung, emang nya gw pikirin
situ kale yang tersinggung...
gitu j koq freeport, ;D
Kirim ke Aye aja ;D
yang no 4 nya mana cuy ;D
^
^
weleh2, jd pusink
pdhal kalau mo dibilang jadul sech terjemahan Dhammapada 183 (karena sebelum masehi)
nah terjemahan yang kita dapat yang kita sudah tau secara umum itu
sudah melalui proses simplicity, ato proses mengikuti perkembangan jaman.
toh intinya hampir sama,
jangan lah berbuat jahat, perbanyak lah berbuat baik, sucikan hati dan pikiran
saya rasa, statement diatas lebih umum, tidak dibuat buat, tidak sok suci, lebih bisa diterima oleh orang awam,that's all
tidak semua makhluk sesuci bro kelana and sebijaksana bro kelana loh.... ^-^ CMIIW
that's why i say jangan lebay...
trus mendapat tanggapan bahwa aku tidak bisa menerima kritikan, toh yg dikritik bukan saya
toh klu emang dikritik, klu masuk akal, why not,
gitu j koq freeport... ;D
selanjutnya no comment juga ah..... :P
TL:
Jadi setuju menurut mas Tan 99% Tipitaka Pali ada di Agama sutra?
TAN:
Absolutely Yes. Anda tanyakan 1000 kali juga jawabannya akan sama.
TL:
Perumpamaannya kok nggak tepat ya?
Perumpamaan yang benar adalah: menghadapi pasien lever dokternya bilang pada ibunya si A sakit lever, pada ayahnya dia mengatakan si A tidak sakit apa-apa.
Pada ayahnya ia bilang sakit lever tidak bisa sembuh, pada ibunya ia mengatakan sakit lever bisa sembuh. Itu namanya plin plan atau tidak ?
TAN:
Ah, itu khan Cuma kata Anda tidak tepat. Ya biasalah dalam debat itu saling menyalahkan pendapat orang lain sangat wajar. Kalau tidak saling menyalahkan bukan debat namanya. Hahahahaahaah ) Bagi saya sih tepat ya. Tapi terserah kata Anda. Baiklah, kalau si ayah sakit jantung atau sedang dalam tekanan batin kronis, lebih baik ia tidak perlu kenyataan sebenarnya. Ini ada dalam psikologi. Dalam hal ini sang dokter tidak plin plan. Menyampaikan sesuatu harus diperhatikan juga kondisi pendengarnya. Itu baru bijaksana.
TL:
Tidak dilahirkan? apa Beliau muncul begitu saja? Seperti dewa?
Atau bersandiwara pura-pura lahir?
TAN:
Ya itu, bersandiwara khan cuma kata Anda. Sudah dijelaskan berulang-ulang. Kalau tidak paham-paham ya sudah. Saya kasih penjelasan terakhir ya. “Kelahiran” di sini bukan dalam pengertian “kelahiran” makhluk samsara. Kita tidak punya kosa kata untuk mendefinisikannya, sementara itu Anda dengan semena-mena menerapkan keterbatasan kosa kata manusia yang belum tercerahi untuk membahas mengenai Buddha. Ini jelas mustahil, bagaikan orang primitif yang hendak menjelaskan mengenai pesawat ataupun sistim computer. Jelas diskusi ini tidak akan nyambung walau sampai kapanpun. . Beda dengan ajaran Mahayana yang dengan rendah hati mengakui keterbatasan manusia. Oke. Untuk selanjutnya saya tidak akan membahas lagi masalah ini.
TL:
Kasihan mas Tan tinggal satu-satunya cara menjawab karena tidak tahu jawabannya
Anitya bersifat nitya atau Anitya?
Tolong diresapi dan dimengerti jawaban saya berikut ini:
Ada sanskhata Dharma dan asanskhata Dharma (Dharma yang berkondisi dan Dharma yang tidak berkondisi), suatu hal yang berkondisi atau suatu hal yang muncul maka akan lenyap kembali. Inilah yang disebut anitya.
Berbagai hal bisa muncul di alam sengsara disebabkan oleh hukum sebab dan akibat dan akan lenyap kembali (bersifat anitya) selama akarnya tidak dilenyapkan maka kondisi-kondisi akan muncul kembali. Sesuai dengan hukum pratitya sramupatda. (dari Avidya timbullah sankshara, dari sankshara timbullah vinyana, dari vinyana timbullah nama-rupa, dari nama-rupa timbullah salayatana, dstnya)
Akar dari sebab musabab tersebut adalah avidya bila avidya lenyap mungkinkah timbul vinyana/alaya vinyana? Bila tak ada vinyana mungkinkah terjadi pemancaran metta? Bila mungkin dengan apa pemancaran maitri karuna dilakukan bila vinyana tidak timbul?
Pratitya sramupatda yang merupakan lingkaran tumimbal lahir mahluk hidup, saling bergantungan yaitu: bila ini muncul maka muncullah itu. Bila ini lenyap maka lenyaplah itu. Selama ada pemunculan maka akan timbul kondisi-kondisi, bila kondisi-kondisi itu lenyap maka pemunculan juga akan lenyap. Dengan lenyapnya pemunculan maka muncul dan lenyapnya segala sesuatu juga ikut berhenti. Dengan kata lain bila tak ada pemunculan (kelahiran) maka penghentian (kematian) juga tak akan terjadi. jadi bila tak ada pemunculan maka tak ada anitya. Karena anitya adalah konsekuensi logis yang merupakan penghentian dari suatu pemunculan atau dengan kata lain suatu yang muncul akan lenyap kembali.
PERTANYAAN ANEH DARI MAS TAN: APAKAH PENGHENTIAN ITU AKAN BERHENTI JUGA ATAU TIDAK BERHENTI? Ini adalah pertanyaan gaya mas Tan yang tentu saja tidak valid.
Demikian juga dengan nirvana,
Nirvana adalah termasuk asanskhata Dharma, sedangkan sanskhata Dharma masih masuk dalam alam samsara jika kondisi-kondisi Dharma (sanskhata Dharma) berhenti, maka asanskhata Dharma yang akan menggantikan.
Karena pada Nirvana bersifat asanskhata maka Nirvana tak berkondisi, dan karena tak berkondisi maka tak ada muncul dan lenyap kembali dengan kata lain pada Nirvana tak ada anitya.
Mungkin mas Tan masih akan bertanya lagi apakah anitya itu nitya atau anitya? Jawabnya Nirvana telah terlepas dari dualisme anitya maupun nitya karena Nirvana tak berkondisi.
Theravada tak akan menjawab Nirvana anitya karena akan muncul pandangan nihilisme, dan juga tidak nitya, karena pandangan nitya akan memunculkan eternalisme.
NIRVANA TAK BERKONDISI JADI BUKAN ANITYA MAUPUN NITYA...
Sesuai dengan kitab Udana: Ajhatam, abhutam dan asankhatam, tidak dikatakan Nirvana bersifat nitya maupun anitya. Jadi Nirvana adalah berhentinya anitya itu sendiri. Paham mas?
TAN:
Kasihan sekali Anda memberikan jawaban yang berbelit2 dan tidak pernah menjawab permasalahannya dengan jelas. Selama itu pula perdebatan ini tidak akan selesai. Kalau nibanna adalah penghentian anitya, maka bila nibanna nitya (kekal), penghentian anitya itu juga nitya. Bila nibanna itu anitya, maka penghentian anitya itu juga tidak kekal. Jadi kuncinya pada nibanna. Nah mempertanyakan semacam itu, Anda katakan tidak valid. Kalau Anda mengatakan pertanyaan itu tidak valid, saya juga boleh mengatakan bahwa segenap pertanyaan Anda tentang Mahayana juga tidak valid dan bahkan “kurang ajar.” Jadi sama-sama khan? Meskipun ada orang yang telah merealisasi nibanna dan tidak lagi terikat pada hukum anitya, tetapi makhluk lain yang belum, tetap terikat pada anitya bukan? Nah, berarti anitya masih ada bukan? Untuk jelasnya begini, meskipun Anda berada dalam sebuah ruangan dan tidak melihat adanya matahari, tetapi bukan berarti matahari lenyap khan? Sekarang anitya itu nitya atau anitya? Tolong beri jawaban yang jelas dan tidak berbelit-belit.
Sebagai tambahan, saya mengakui bahwa memang bagi sebagian orang ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak valid, terutama kalau sudah menyangkut masalah keyakinan. Untuk itulah kita perlu saling menghormati dan toleransi.
QuoteJadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.Kalau ada yang mau bayar tulisan saya setengah atau sepersepuluhnya saja dari 500.000 USD tolong kasih tahu saya ya mas Tan? nanti saya bagi separoh, makasih sebelumnya lho mas.
TL:
Loh? di Theravada jelas tidak, emangnya di Mahayana percaya?
TAN:
O jelas tidak. Mahayana juga tidak percaya kok. Tetapi ada suatu aliran non Mahayana yang percaya nihilisme lho. Ehm..ehm.. aliran apa ya? Tauk ah gelapppp…..!
TL:
Manakah yang lebih mungkin memancarkan maitri karuna:
jiwa roh yang kekal abadi seperti paham alaya vinyana abadi yang terus-terusan kerja memancarkan maitri-karuna setelah memasuki Nirvana atau
keadaan yang tak berkondisi?
metta
TAN:
Walah..walah…! Pertanyaan ini lagi. Muter-muter ae. Mana yang paling mungkin? Bila nirvana disebut tak berkondisi, maka “kemustahilan untuk memancarkan maitri karuna” adalah juga kondisi. Akibatnya nirvana jadi berkondisi donk. Bagaimana dengan Mahayana? Apakah nirvana Mahayaan jadi berkondisi dengan pemancaran maitri karuna? Oo jelas tidak donk. Mengapa? Karena “pemancaran maitri karuna di sini beda dengan pemancaran maitri karuna makhluk yang belum dicerahi!” Mengapa digunakan istilah “pemancaran maitri karuna”? Karena keterbatasan kosa kata dan pemahaman kita yang belum tercerahi, dipergunakan istilah “pemancaran maitri karuna.” Nah, karena “pemancaran maitri karuna” itu hendaknya tidak dipahami dalam pengertian awam, nirvana menurut Mahayana jadi tak berkondisi. Karena yang dimaksud “kondisi” sebenarnya hanyalah jargon-jargon yang diterapkan oleh umat awam yang belum tercerahi. Semoga ini cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
TL:
Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....
TAN:
Orang K juga menganggap agamanya sebagai kebenaran sejati. God is truth... etc...etc... Hm lalu mana yang benar-benar "truth" ya. Hahahaahahah
The highest truth is NO TRUTH.
Amiduofo,
Tan
Sobat dharma:
Bukankah sutta yang kukutip juga berkata demikian, pembebasan sejati justru terjadi ketika seseorang dapat berpindah dari kondis satu ke kondisi lainnya
TAN:
Very good! Jawaban yang sangat mantap. Salut untuk Anda.
Amiduofo,
Tan
AKU TERTAWA
Membaca pesan Waisak kemarin bahwa agama Buddha adalah agama yang membawa pesan damai, toleransi, dan saling menghormati, saya jadi ingin tertawa. Rasanya kalau mencermati diskusi yang ada di milis2 Buddhis, terutama masalah sekte, rasanya kok agama Buddha jauh dari itu ya? Apakah kita tidak maul mengklaim sebagai agama yang pesan damai, toleransi, dan saling menghormati?
Amiduofo,
Tan
kalau yg dicari merupakan pembenaran bukan kebenaran semua nya menjadi sulit.....
belum lagi berjumpa dengan kata-kata tidak berdasar....
dhamma tidak memiliki inti, atau tidak berkondisi adalah sesuatu yang berkondisi atau sebaliknya...
paling baik belajar bahasa kata (sankhara) terlebih dahulu ^^
analogi nya..
C timbul, karena ada nya A+B...maka C disebut berkondisi.
karena di kondisikan oleh A dan B
apabila A+B tidak ada, maka C tidak ada....
jadi kalau teori nya disebut sesuatu yang tidak-berkondisi adalah berkondisi...itu bagaimana ya?
saya bingung...ada yang bisa jelaskan pada sy... ^^
maklum bahasa indo saya cuma dapat 6 saja di rapor
salam metta.
Bagaimana juga anda menjelaskan dengan logika
a adalah kondisi bagi b
b adalah kondisi bagi a
Dalam Mahanidana sutta dikatakan:
nama-rupa adalah kondisi bagi kesadaran,
kesadaran adalah kondisi bagi nama-rupa
PERTANYAANsaudara Tan yang bijak,
Bila aliran non Mahayanis mengatakan bahwa sesudah seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, maka seluruh panca skandha sudah padam, sehingga tidak ada apa-apa lagi tentunya. Jika demikian halnya, mengapa dalam naskah-naskah non Mahayanis Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA sesudah anupadisesa nibanna? Jika para makhluk hanya terbentuk dari pancaskandha, tentunya dengan padamnya pancaskandha maka tentunya benar-benar tidak ada apa-apa lagi bukan? Anehnya Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA setelah parinibanna. Padahal kalau Buddha dengan tegas mengatakan TIDAK ADA, maka tidak perbantahan lagi mengenai hal ini. Ungkapan Buddha itu akan menjadi kontradiktif. Mohon tanggapannya yang masuk akal. Sebelum dan sesudahnya terima kasih.
Amiduofo,
Tan
PERTANYAANbukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
Bila aliran non Mahayanis mengatakan bahwa sesudah seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, maka seluruh panca skandha sudah padam, sehingga tidak ada apa-apa lagi tentunya. Jika demikian halnya, mengapa dalam naskah-naskah non Mahayanis Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA sesudah anupadisesa nibanna? Jika para makhluk hanya terbentuk dari pancaskandha, tentunya dengan padamnya pancaskandha maka tentunya benar-benar tidak ada apa-apa lagi bukan? Anehnya Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA setelah parinibanna. Padahal kalau Buddha dengan tegas mengatakan TIDAK ADA, maka tidak perbantahan lagi mengenai hal ini. Ungkapan Buddha itu akan menjadi kontradiktif. Mohon tanggapannya yang masuk akal. Sebelum dan sesudahnya terima kasih.
Amiduofo,
Tan
bukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
padamnya unsur2 yang mendukung kelahiran kembali.
ada dalam PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang membina Samadhi Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang (nirvana). Dalam pengamatan bathinNya, Beliau melihat dengan jelas, bahwa lima kelompok kegemaran (Panca-Skhanda) itu sebenarnya adalah kosong (Sunyata). Dengan pencapaian meditasiNya ini, maka Sang Avalokitesvara telah terbebas dari segala sumber sengsara dan derita.
[...]
Sariputra, kekosongan dari semua benda tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang.
Bukannya itu mengarah ke :
bukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
padamnya unsur2 yang mendukung kelahiran kembali.
ada dalam PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang membina Samadhi Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang (nirvana). Dalam pengamatan bathinNya, Beliau melihat dengan jelas, bahwa lima kelompok kegemaran (Panca-Skhanda) itu sebenarnya adalah kosong (Sunyata). Dengan pencapaian meditasiNya ini, maka Sang Avalokitesvara telah terbebas dari segala sumber sengsara dan derita.
[...]
Sariputra, kekosongan dari semua benda tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang.
Bro,
Sunyata walaupun sering diartikan sebagai "kekosongan", namun sebenarnya bukan kekosongan sebagaimana kota pahami. Dalam Sutra Hati, Sunyata digambarkan sebagai: "tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang." Jadi bukan konsep sebagaimana kita pahami "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada". Sebab, jika sunyata semata-mata dianggap sebagai "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada" sebagaimana kita pahami, maka sunyata tidaklah bebas dari dualitas. Tidak ada dan ada terbentuk karena pikiran yang diskriminatif (membeda-bedakan), oleh karena itu ada dan tiada sebenarnya adalah kondisi. Irulah sebabnya dikatakan bahwa "Tanpa-kondisi" adalah kondisi, sebab persepsi tentang ada dan tiadanya kondisi itu sendiri adalah suatu kondisi dualitas.
:) Demikianlah pendapat saya tentang sunyata; kalau terdengar tidak logis maafkan saya, bagaimanapun saya tidak memiliki bahasa yang logis untuk menjelsakan sesuatu yang melampaui logika. Mohon dimaklumi kelemahan saya yang satu ini.
Bukannya itu mengarah ke :
.....Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.
Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis :)
iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))Bukannya itu mengarah ke :
.....Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.
Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis :)
:)) :)) :)) Ternyata kembali pada pemberian label. "Nihilis" ataupun "Eternalis" hanyalah label :)) Label demikian tidak akan membantu anda memahami permasalahan tapi hanya menciptakan pertentangan posisi yang tidak bakal habis-habisnya.
iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))
=)) sayangnya aye masih tersesat, tidak punya iman =))iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))
kelihatannya yang demikian yang kamu inginkan ya? :) okey aku turuti deh. Ternyata bro ryu orangnya beriman juga ya =))
MARCEDES:Saudara Tan, seorang yang mencapai nibbana tidak akan berspekulasi, apakah dirinya akan ada dimasa depan, atau tidak ada dimasa depan....tetapi menembus akan dua hal itu....tidak terjebak pada pilihan yang dibuat pikirannya sendiri...
saudara Tan yang bijak,
dalam teks pali mesti kita teliti kata-kata tersebut....maaf dalam hal ini sy juga bukan ahli.
tetapi dalam kasus percakapan buddha dengan vecchagota, buddha jelas menolak kata "tidak ada setelah parinibbana" apabila tidak ada unsur yg padam...
TAN:
Tapi pada kenyataannya, ada khan unsur yang padam? Yaitu pancakkhanda. Kalau para makhluk hanya tersusun dari lima kandha dan itu padam saat mencapai nibanna tanpa sisa, lalu apa lagi yang tersisa? Mengapa tidak dikatakan saja tidak ada? Maka semuanya akan menjadi logis.
MARCEDES:
dan buddha juga menolak dikatakan "ADA" karena kasus nya tidak tepat....
dalam hal tumimbal lahir.
TAN:
Tunggu. Yang Anda maksud dalam kasus ini adalah tumimbal lahir atau seorang Buddha yang merealisasi anupadisesa nibanna? Ini yang perlu kita bedakan karena kasusnya berbeda.
Amiduofo,
Tan
TAN:Pertama-tama, aliran Hinayana mengajarkan mahluk untuk berbahagia, bukan untuk menjadi tukang debat paling mahir, atau pun mampu menjawab semua pertanyaan, walaupun itu pertanyaan ga nyambung.
Itulah dia. Aliran non Mahayanis menggunakan siasat DIAM MEMBISU agar tidak dikatakan nihilis atau eternalis (menolak berkomentar "ya" "tidak" "ya dan tidak" ataupun "bukan ya ataupun tidak."
Memang sekilas siasat ini nampak jitu. Tetapi kalau kita renungkan sungguh-sungguh baru kelihatan kelemahan taktiknya itu. Namun di zaman sekarang berdiam diri seperti itu nampaknya sudah ketinggalan zaman. Tetap saja pertanyaan saya tidak terjawab. Bila dalam ajaran non Mahayanis dikatakan bahwa pancakkandha adalah dasar bagi segala sesuatu, dimana ke-5 kanddha ini padam saat seseorang mencapai parinibanna; dengan kata lain tidak ada apa-apa lagi, mengapa Buddha tidak dengan mudah mengatakan TIDAK ADA saja? Bila Buddha mengatakan demikian, tentu tidak akan terjadi perselisihan antar sekte. Umat non Mahayanis akan berkelit dan menolak menanggapinya. Mereka mengatakan bahwa pertanyaan ini tidak valid. Baik, kita akan mengulas implikasi bagi tanggapan non Mahayanis ini:Saya rasa jawaban bahwa "pertanyaan itu ditanyakan dengan tidak tepat" memang hanya pantas dikatakan oleh seorang yang sudah mencapai kesucian saja, karena ia memang tahu bahwa pertanyaan itu tidak tepat.
1.Jawaban bahwa pertanyaan itu tidak valid, dapat menimbulkan kesan bahwa yang ditanya tidak tahu lagi harus menjawab apa, sehingga melontarkan jawaban seperti itu.
2.Jika mereka mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak valid, maka umat Mahayana juga berhak melontarkan pendapat bahwa segenap kritikan dan pertanyaan kaum non Mahayanis terhadap Mahayanis adalah juga tidak valid.Ini sekali lagi saya setuju, dalam hal "spekulasi setelah parinibbana".
Sekarang kita akan menjawab apakah Mahayana mengarah pada eternalis. Jawabannya adalah tidak. Eternalis adalah pandangan akan "ada"nya suatu esensi yang kekal dan berubah. Ini disebut atman dalam bahasa Sansekerta. Tentu saja pengertian "ada" di sini adalah dalam pengertian makhluk awam. Mahayana ternyata tidak mengakui adanya atman semacam ini. Marilah kita tengok pada Sutra Lankavatara. Sang Buddha dengan tegas menyatakan: "Mahamati, Tathagatagarbha yang Kuajarkan bukanlah atman illahi." Karena itu, bertolak dari kutipan sutra di atas, Mahayana sama sekali tidak mengajarkan adanya atman yang kekal.Ya, saya sudah melihat perbedaannya. Hinayana berusaha menghindari spekulasi dalam bentuk apa pun juga sehingga ketika ditanya mengenai spekulasi "setelah parinibbana" memilih diam. Di lain pihak, Mahayana mencoba menteorikan spekulasi tersebut ke dalam konsep tertentu. Bagi saya memang keduanya sama, adalah untuk menjaga pikiran orang awam agar spekulasinya tidak berkembang terlalu jauh ke mana-mana. Jadi hanya tergantung preference masing-masing saja.
Kedua, Mahayana memang menganggap bahwa Sang Buddha tidak musnah (nihilis), melainkan berada dalam suatu "keberadaan." Tetapi "keberadaan" di sini tidak sama dengan pengertian "keberadaan" menurut orang yang belum tercerahi. Jadi definisi eternalis tidak tepat dikenakan pada Mahayana. Oleh karena itu, kelebihan Mahayana adalah sanggup mengatasi nihilisme dan eternalisme sekaligus.
Hal ini tentu saja berbeda dengan non Mahayanis, yang mengajarkan bahwa setelah pancaskandha padam tidak ada apa-apa lagi. Namun anehnya yang tidak dapat dimengerti, mengapa mereka tidak mau mengatakan bahwa Buddha SUDAH TIDAK ADA LAGI? Ini terkesan kontradiktif dengan ajaran mereka.
Demikian, semoga posting ini jadi bahan pertimbangan.
KAINYN KUTHO:Ya, sebetulnya kita ini anak-anak yang belum tahu. Sebetulnya dibilang "ada" yah salah, dibilang "tidak ada", juga keliru. Tapi namanya anak-anak perlu bimbingan dalam berkembang, jadi tergantung kecocokan masing-masing terhadap satu konsep. Kalau yang saya percaya, setelah kita sendiri "dewasa", tidak ada lagi pertanyaan "ada/tidak ada" tersebut.
Saya beri perumpamaan. Misalkan Bro Tan punya anak yang sangat gemar dengan superhero tertentu. Suatu ketika dalam kisahnya, superhero tersebut mengalami kemalangan, dan menghilang. Namun tidak diceritakan kelanjutannya. Kemudian anak Bro Tan itu bertanya-tanya dan memaksa meminta jawaban dan penjelasan kepada anda apakah superhero masih ada atau mati. Karena superhero itu bagi anak Bro Tan terlebih dahulu diasumsikan "ADA", maka kemudian ia memaksa bertanya apakah kemudian ia tetap ada atau binasa.
Nah, kepada para anak-anak tersebut, hanya ada dua pilihan bagi kita untuk menjawab, "Superhero tetap ada (eternalis)" dan "Superhero sudah binasa (nihilis)". Setelah ia dewasa, maka ia punya pola pikir yang berbeda dari sekadar "ada" dan "tidak ada".
TAN:
Benar. Perumpamaan yang baik. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa superhero itu memang "ada," dalam artian sebagai berikut:
1. Dapat mempengaruhi mentalitas seseorang, khususnya anak2.
2. Jika tokoh superhero atau pujaan kita mati, maka kita akan merasa sedih. Ada kasus seorang anak yang menangis waktu Superman ditonjok oleh musuhnya yang membawa batu kryptonite. Konon dengan adanya batu itu tenaga Superman akan menjadi lemah.
3. Orang dewasa juga kadang sedih dan menangis waktu tokoh idolanya mati atau menderita. Contoh: ibu-ibu yang menonton sinetron.
Nah, jika superhero itu "tidak ada" mengapa ada orang yang menangis dan susah waktu "tokoh" kesayangan disakiti atau mati. Jadi seorang superhero itu "ada" namun mempunyai konsep "keberadaan" yang berbeda dengan kita.
Tetapi jika superhero dikatakan "ada," pada kenyataannya ia tidak mempunyai darah dan daging atau wujud seperti kita. Jadi superhero itu memang "tidak ada," tetapi tidak mempunyai konsep "ketidak-adaan" seperti kita.
Dari sinilah pandangan kita mengenai "ada" dan "tidak ada" itu perlu kita perluas seiring dengan hidup kita, yang akan mencapai puncaknya saat kita merealisasi Kesempurnaan.
KAINYN KUTHO:Ya, memang sebetulnya agama, aliran atau sekte semuanya tidak berarti dan tidak nyata. Yang nyata hanyalah kehidupan dengan semua penderitaannya. :)
Namun saya heran mengapa Bro Tan di sini malah terbawa arus menjadi "orang suci" juga dengan membalas "menghakimi" Non-Mahayana.
TAN:
Saya tidak menghakimi non Mahayana. Jujurnya dalam praktik keseharian saya sendiri tidak menganut pandangan dikotomis Mahayana - non Mahayana. Saya menjalankan meditasi konsentrasi pernafasan (satthipatana), nianfo, dan juga membaca mantra. Bagi saya, kalau sudah masuk ke tataran praktik spiritual, label tidak lagi penting. Hanya untuk menjelaskan di sini (dalam artian forum ini) saya perlu mengambil sisi Mahayana. Lebih jauh lagi, dalam menjelaskan sesuatu, kita terkadang perlu mengambil sisi ekstrem lawan dari hal itu. Oleh karena itu, saya seolah-olah terkesan "menghakimi." Padahal bukan itu maksud saya.
Amiduofo,
Tan
MERCEDES:saudara Tan yg bijak,
jadi ketika anda bertanya, apakah Buddha itu tidak ada setelah parinibbana...tidaklah mungkin buddha berkata "saya tidak ada", tetapi sebenarnya memang tidak ada....
TAN:
Berarti benar ya, memang "tidak ada apa-apa" lagi khan?
Amiduofo,
Tan
TL:
Hayo pada reply sebelumnya nggak ngaku... jadi benar kan Theravada 99% sama dengan Mahayana?
Tapi sorry... kayaknya Theravada nggak ngerasa sama lho mas...
TAN:
Anda salah besar. Di sini kita membahas sesuatu yang beda. Mari kita lihat apa yang sedang kita bicarakan. Yang kita bicarakan adalah perbandingan Agama Sutra dan Nikaya Pali. Ingat bahwa Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari Kanon Mahayana. Kalau isi Agama Sutra kurang lebih 99 % sama dengan Nikaya Pali. Tetapi karena Mahayana juga memiliki suatu kumpulan yang disebut Sutra-sutra Mahayana (Nama Mahayana Sutra), maka jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana. Ini adalah sesuatu yang beda. Yang satu bicara kitab suci sedangkan yang satu bicara mazhab. Suatu agama yang kitab sucinya benar-benar sama saja bias terpecah menjadi berbagai mazhab, apalagi yang kita sucinya tidak identik. Sutra-sutra Mahayana itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Agama Sutra. Inilah yang Anda tidak mengerti-ngerti jadi diskusinya tidak maju-maju.
Memang Theravada tidak sama dengan Mahayana, tetapi dalam diskusi ini kita memperbandingkan mana yang lebih masuk akal. Selama diskusi selama beberapa minggu ini belum pernah saya mendapatkan jawaban yang membuktikan bahwa Mahayana “tidak masuk akal.” Malah saya merasa sudah membuktikan bahwa ada beberapa ajaran mazhab non Mahayanis yang tidak masuk akal, seperti mengajarkan nihilisme, dan lain sebagainya.
Justru saya berdiskusi untuk “menguji” mazhab saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satupun tanggapan rekan-rekan non Mahayanis yang sanggup menggoyangkan sendi-sendi Mahayana.
Mahayana juga nggak merasa sama dengan Theravada kok hehehehee…. Malahan Mahayana tidak mau dikatakan nihilisme.
TL:
Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)"
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?
TAN:
Hm bagaimana ya? Karena kita beda pandangan di sini. Bagi saya tindakan semacam itu bukan berbohong. Kita kadang harus bijaksana dalam menjawab sesuatu. Supaya orang seperti Anda bisa mengerti, saya kasih satu contoh dah. Umpamanya Anda punya anak atau keponakan yang masih kecil dan ingusan, terus dia bertanya: “Darimana datangnya adik bayi?” Pertanyaannya apakah Anda akan memberikan jawaban: “O iya adik bayi itu datangnya dari hubungan [tiiiittttt sensor], caranya alat [tiittttt..sensor] dimasukkan ke [tiittttt…sensor]…..” Begitu ya? Jawaban yang bijak adalah mengatakan: “Adik bayi itu datang dibawa burung bangau.” Nah, apakah jawaban itu adalah kebohongan? Tidak. Karena itu adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan. Anda mungkin akan berkilah dengan mengatakan, “Ah, tunggu kamu besar, nanti khan tahu sendiri.” Tetapi ingat ini bukan jawaban. Efek negatifnya akan lebih besar. Sang anak jadi penasaran dan kemungkinan mencari dari sumber-sumber lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, kasus yang saya ungkapkan dalam posting sebelumnya juga belum Anda jawab. Apakah bijaksana memberitahu kondisi yang sebenarnya pada sang ayah yang sakit jantung atau depresi? Sebaiknya Anda jawab pertanyaan ini.
Apakah sah-sah saja seorang Buddha di Mahayana berbohong? Pertanyaan ini tidak valid, karena Mahayana tidak menganggapnya sebagai kebohongan.
TL:
Katanya punya keterbatasan pengetahuan kok tahu Buddha mondar-mandir Nirvana-Samsara?
TAN:
Anda salah. Buddha tidak mondar mandir nirvana-samsara. Anda mengatakannya demikian karena memandangnya dari sudut pandang dualisme. Sah-sah saja Anda mengatakan demikian, tetapi dari sudut pandang Mahayana hal ini tidak benar. Istilah “mondar mandir” nirvana dan samsara itu tidak valid karena:
1.Bagi seorang Buddha tidak ada lagi dualisme nirvana dan samsara. Karena nirvana tidak lagi beda dan samsara, adakah lagi masuk dan keluar?
2.Saat seorang Buddha “memasuki” (ini istilah yang terpaksa digunakan) samsara, ia tidak meninggalkan “keberadaan”nya (istilah ini juga terpaksa dipergunakan karena kerterbatasan kosa kata kita) di nirvana. Dharmakaya seorang Buddha tetap omnipresence dan tidak “berpindah” ke mana-mana.
Jadi jelas istilah “mondar-mandir nirvana-samsara” itu tidak valid. Ya memang kita mempunyai keterbatasan pengetahuan, karena itu kita harus tahu batasnya.
TL:
Bingung? Wajar karena sudah saya katakan tolong diresapi dan dimengerti, karena saya rasa memang terlalu dalam untuk mas Tan. Penjelasan seperti ini merupakan pelajaran anak SMP dikalangan T lho mas.
Masa iya mas Tan nggak mengerti bahwa bila sebuah rumah, tiang-tiang penopangnya telah hancur, gentingnya telah berserakan, tiang kuda-kudanya telah patah berkeping-keping apakah masih dapat menjadi tempat naungan bagi orang-orang?
TAN:
Bisa. Kalau rumahnya dibangun kembali. Meskipun fungsi sebuah sudah berakhir, tetapi unsur penyusun2nya masih ada khan. Genting, kuda-kuda, tiang penopang, atau bata-batanya masih ada khan? Ataukah menurut Anda lantas semuanya lenyap sama sekali? Semoga tidak ada yang terobsesi dengan David Copperfield di sini yang bisa menihilismekan suatu benda.
TL
Berbicara mengenai pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti?
TAN:
Rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti dengan dua cara:
1.Tidak ada orang lagi yang tinggal di sana. Kalau tidak yang berlindung di dalamnya, apakah dapat disebut tempat berlindung?
2.Rumahnya rusak dan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung.
Jadi rumah tidak harus hancur. Rumah memang anitya, tetapi ingat anitya tidak sama dengan nihilisme. Rumah mungkin hancur menjadi unsur2 penyusunnya. Tetapi ingat unsur2 penyusun ini tetap ada. Karena itu analogi itu tidak dapat mendukung pendapat Anda
TL:
Nih saya kasih tahu lagi, simak yang baik pelajaran SMP ini ya? Berhentinya fungsi rumah tersebut karena bahan-bahan pendukungnya telah tak berfungsi, oleh karena itu fungsi rumah tersebut juga berhenti.
TAN:
Semua anak SD, juga tahu bahwa rumah itu bisa dibangun kembali dan reruntuhannya tidak mungkin lenyap begitu saja.
TL:
Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi, apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.
Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.
Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)
TAN:
Jadi menurut Anda: anupadisesa nibanna tak berkondisi, sedangkan saupadisesa nibanna masih berkondisi? Jadi ada dua jenis nibanna yang berbeda kalau begitu? Apakah menurut Anda dengan demikian anupadisesa nibanna lebih tinggi dari saupadisesa nibanna? Jika anupadisesa nibanna “lebih tinggi” dari saupadisesa nibanna bukankan itu adalah suatu “kondisi” (dalam artian lebih tinggi dan rendah)? Anda mengatakan saupadisesa nibanna masih berkondisi. Artinya “nibanna” masih bisa berkondisi dan tidak bukan? Bisa “berkondisi dan tidak” bukankah itu adalah suatu kondisi. Ingat ini Anda sendiri yang menyatakan lho.
TL:
Oleh sebab itu dikatakan dalam Dhammanussati: Sanditthiko, akaliko, opanayiko paccatam veditabbo vinnuhiti...
Dhamma berada sangat dekat, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh orang bijaksana dalam batin masing-masing.
Perhatikan terjemahan kata diselami, yang tepat adalah dialami. Dhamma adalah jalan hingga tercapainya Nibbana itu sendiri (baca: Dhammacakkapavattana sutta)
Dhamma disini bukan berarti teori spekulasi macam-macam. Dhamma berarti pembersihan batin dari macam-macam noda, dengan kata lain mencapai Magga/Phala yaitu: mencapai dan mengalami Nibbana sewaktu kita masih hidup, bukan sudah meninggal.
Bagaimanakah caranya agar kita terbebas dari kondisi-kondisi tersebut? Dengan melatih Dhamma dan menembus Dhamma atau mencapai kesucian/ mengalami Nibbana seseorang pada akhirnya akan mampu melepaskan kemelekatan pada pancakhandha. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi, "wahai pembuat rumah.... dstnya" baca sendiri deh di RAPB.
Mengenai mahluk lain masih diliputi oleh anicca, oleh karena mereka belum terbebas dari kondisi-kondisi.
Mengenai Anitya itu nitya atau tidak anitya maksudnya apa? MAS TAN SENDIRI BISA MENJAWAB ATAU TIDAK?
Saya telah menjawab dengan jelas!!! Dan sekarang MAS TAN, TERUS MEMAKAI JURUS BERKELIT KARENA MAS TAN SENDIRI TAK BISA MENJAWAB KAN? jawaban saya tak memuaskan mas Tan, itu jelas karena memaksakan pendapat bahwa T nihilis padahal sudah dikatakan bahwa Sang Buddha menolak bila dikatakan Beliau ada setelah Parinibbana, Beliau juga tidak setuju bila dikatakan Beliau tak ada setelah Parinibbana, maupun pandangan Buddha ada dan tidak ada, Buddha bukan tidak ada dan bukan ada, karena semua hal itu merupakan spekulasi.
Hayo ngaku, mas Tan bingung terhadap pertanyaan mas Tan sendiri kan? Makanya dikasih tahu bagaimanapun juga tetap nggak mudeng.
makanya kalo kagak ngerti mengenai Nirvana jangan berspekulasi.
TAN:
Wah. Anda masih belum bisa menjawab juga. Masih menuduh orang lain berkelit. Tapi tidak mengapa. Saya tidak peduli dituduh apapun. Anda tidak berspekulasi? Kalau begitu bagaimana bisa tahu kalau nibanna itu tak berkondisi? Dari buku khan? Nah, sesama pencontek buku tidak perlu saling menyalahkan. Sama-sama spekulan tida boleh saling mendahului. Heheheehehe. Sebagai informasi, saya tidak bingung dengan pertanyaan saya sendiri. Saya berterima kasih, karena Anda telah memproklamasikan kebingungan saya.
TL:
Sudah dapat belum yang mau membeli tulisan saya mas?
TAN:
Ah, mana ada yang mau. Dikasih gratis saja belum tentu ada yang mau. Wakakakaka )
QuoteJadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.Kalau ada yang mau bayar tulisan saya setengah atau sepersepuluhnya saja dari 500.000 USD tolong kasih tahu saya ya mas Tan? nanti saya bagi separoh, makasih sebelumnya lho mas.
TL:
yang mana ya? saya juga gelap tuh! siapa yang menjadi nihil ya? tolong kasih tahu dimana mahluk yang menjadi nihil tersebut, oh ya tolong kasih tahu mas Tan, bagaimana caranya mahluk tersebut menjadi nihil.
ngomong-ngomong ada yang mengajarkan eternalisme lho mas, hayo ngaku siapa
Mau lapor kepada moderator nih, mas Tan menghina dan merendahkan ajaran lain yang tidak sesuai dengan pandangannya dengan mengatakan bahwa ajaran tersebut nihilis... hayo buktikan mas Tan, dimana di Tipitaka maupun komentarnya yang mengatakan bahwa SANG BUDDHA MENGAJARKAN UNTUK MENGHANCURKAN DIRI SENDIRI (NIHILISME?)
TAN:
Sudah saya ungkapkan pada posting-posting terdahulu. Malas ngulang-ulang terus. Ajaran yang mengatakan bahwa sesudah pancaskandha hancur terus tidak ada apa-apa lagi, apakah bukan nihilisme?
Hayo masih tidak mau ngaku ada yang mengajarkan nihilisme? Siapa ya?
TL:
sesuatu memancarkan sesuatu, yang kita tidak tahu apa sesuatu itu karena berbeda dengan apa yang kita tahu, kita punya keterbatasan, tetapi kita tahu akan sesuatu yang kita tidak tahu.
Ada sesuatu tak berkondisi, dari yang tak berkondisi ini ada suatu kondisi yang timbul, tak tahu apa itu, tetapi itu jangan disebut kondisi, oleh karena kita umat awam tak mengerti, oleh karena itu, sesuatu itu tak berkondisi
semoga cukup jelas
Mana yang berbelit-belit ya?
TAN:
Berbelit-belit bagi yang tidak mau tahu atau mengerti. Tidak berbelit-belit bagi yang tahu dan mengerti.
Amiduofo,
Tan
TL:
Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....
TAN:
Orang K juga menganggap agamanya sebagai kebenaran sejati. God is truth... etc...etc... Hm lalu mana yang benar-benar "truth" ya. Hahahaahahah
The highest truth is NO TRUTH.
Amiduofo,
Tan
TL:
Maksud keluar masuk adalah keluar masuk Nibbana dalam kehidupan seorang Ariya puggala selama ia masih hidup.
TAN:
Nirvana tanpa sisa dan dengan sisa mana yang lebih tinggi?
TL:
Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).
TAN:
Mana ada di ajaran Hindu kalau nirvana dan samsara itu identik?
TAMBAHAN:
Maksud maju dan mundur adalah dari poin satu , kedua dstnya hingga ke delapan dan sebaliknya dari poin delapan, ketujuh, dstnya hingga ke satu kembali.
Maksud keluar masuk adalah keluar masuk Nibbana dalam kehidupan seorang Ariya puggala selama ia masih hidup.
Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).
TAN:
Di sini saya melihat ada suatu keanehan. Tiap rekan non Mahayanis dihadapkan dengan suatu kenyataan yang "mirip" atau "nyerempet2" Mahayana dalam Sutta-nya, pasti jawabannya adalah "itu khan waktu Buddha masih hidup (alias nirvana dengan sisa)." Jawaban semacam itu kebanyakan yang dilontarkan. Nah pertanyaan saya: Manakah yang lebih tinggi nirvana sisa dan tanpa sisa?
Amiduofo,
Tan
Kalau saya bisa membuktikan bahwa itu memang ada di kitab suci Hindu beranikah mas Tan mengakui bahwa ajaran itu memang berasal dari Hindu?
metta,
TL:
Agama Sutra 99% sama dengan Nikaya Pali. Bila Agama Sutra sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain, berarti isi Nikaya Pali 99% sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain.
dulu disekolah matematika dapat berapa mas?
TAN:
Wah dulu bahasa Indonesia Anda dapat berapa? Tulisan sudah jelas begitu masa ga ngerti2.
TAN:
Anda salah besar. Di sini kita membahas sesuatu yang beda. Mari kita lihat apa yang sedang kita bicarakan. Yang kita bicarakan adalah perbandingan Agama Sutra dan Nikaya Pali. Ingat bahwa Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari Kanon Mahayana. Kalau isi Agama Sutra kurang lebih 99 % sama dengan Nikaya Pali. Tetapi karena Mahayana juga memiliki suatu kumpulan yang disebut Sutra-sutra Mahayana (Nama Mahayana Sutra), maka jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana. Ini adalah sesuatu yang beda. Yang satu bicara kitab suci sedangkan yang satu bicara mazhab. Suatu agama yang kitab sucinya benar-benar sama saja bias terpecah menjadi berbagai mazhab, apalagi yang kita sucinya tidak identik. Sutra-sutra Mahayana itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Agama Sutra. Inilah yang Anda tidak mengerti-ngerti jadi diskusinya tidak maju-maju.
Memang Theravada tidak sama dengan Mahayana, tetapi dalam diskusi ini kita memperbandingkan mana yang lebih masuk akal. Selama diskusi selama beberapa minggu ini belum pernah saya mendapatkan jawaban yang membuktikan bahwa Mahayana “tidak masuk akal.” Malah saya merasa sudah membuktikan bahwa ada beberapa ajaran mazhab non Mahayanis yang tidak masuk akal, seperti mengajarkan nihilisme, dan lain sebagainya.
Justru saya berdiskusi untuk “menguji” mazhab saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satupun tanggapan rekan-rekan non Mahayanis yang sanggup menggoyangkan sendi-sendi Mahayana.
Mahayana juga nggak merasa sama dengan Theravada kok hehehehee…. Malahan Mahayana tidak mau dikatakan nihilisme.
TL:
Jadi berbohong bisa dibenarkan ya? asal bijaksana
membunuh bisa dibenarkan, asal bijaksana
mencuri bisa dibenarkan asal bijaksana
asusila bisa dibenarkan asal bijaksana ;D
Tidak bisa membedakan antara berbohong dengan diam ya mas? Apakah kalau diam termasuk berbohong?
TAN:
Kalau diam itu adalah tindakan yang bijaksana ya why not? Kalau berjihad membela nihilisme itu dianggap tindakan bijaksana ya silakan saja. Siapa yang mau melarang.
TL:
Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)"
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?
TAN:
Hm bagaimana ya? Karena kita beda pandangan di sini. Bagi saya tindakan semacam itu bukan berbohong. Kita kadang harus bijaksana dalam menjawab sesuatu. Supaya orang seperti Anda bisa mengerti, saya kasih satu contoh dah. Umpamanya Anda punya anak atau keponakan yang masih kecil dan ingusan, terus dia bertanya: “Darimana datangnya adik bayi?” Pertanyaannya apakah Anda akan memberikan jawaban: “O iya adik bayi itu datangnya dari hubungan [tiiiittttt sensor], caranya alat [tiittttt..sensor] dimasukkan ke [tiittttt…sensor]…..” Begitu ya? Jawaban yang bijak adalah mengatakan: “Adik bayi itu datang dibawa burung bangau.” Nah, apakah jawaban itu adalah kebohongan? Tidak. Karena itu adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan. Anda mungkin akan berkilah dengan mengatakan, “Ah, tunggu kamu besar, nanti khan tahu sendiri.” Tetapi ingat ini bukan jawaban. Efek negatifnya akan lebih besar. Sang anak jadi penasaran dan kemungkinan mencari dari sumber-sumber lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, kasus yang saya ungkapkan dalam posting sebelumnya juga belum Anda jawab. Apakah bijaksana memberitahu kondisi yang sebenarnya pada sang ayah yang sakit jantung atau depresi? Sebaiknya Anda jawab pertanyaan ini.
Apakah sah-sah saja seorang Buddha di Mahayana berbohong? Pertanyaan ini tidak valid, karena Mahayana tidak menganggapnya sebagai kebohongan
TL:
Apakah mas Tan membaca menurut prajna paramita sutra dikatakan MEREKA YANG MENGIKUTI JALAN PRATYEKA BUDDHA DAN SRAVAKA BUDDHA DIANGGAP TELAH BERADA DIBAWAH PENGARUH MARA?
Pada bagian lain di SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA DIKATAKAN BAHWA ARAHAT HANYA PENGHENTIAN SEMENTARA, yang diumpamakan kafilah yang berjalan jauh lalu menemukan sebuah kota, lalu rombongan kafilah DIBOHONGI oleh pemimpin kafilah yang mengatakan bahwa mereka telah sampai tujuan. Apa iya Seorang Buddha suka berbohong?
Renungkan sendiri kedua pernyataan dari kitab suci Prajna Paramita sutra dan Saddharma Pundarika sutra ini, kontradiktif atau tidak?
Pertanyaan: bila jalan Sravaka Buddha itu dibawah pengaruh Mara mengapa dikatakan di Saddharma Pundarika bahwa itu hanya penghentian sementara? Apakah Buddha bersekutu dengan Mara di dalam doktrin Mahayana?
TAN:
Apakah maksudnya di bawah “pengaruh Mara”? Anda perlu membaca Sutra itu secara lengkap untuk memahami maksudnya. Maksudnya adalah seseorang yang merasa bahwa diri mereka sudah sempurna dan tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Orang yang merasa sudah “sempurna” justru belum “sempurna.” Mengapa? Karena “sempurna” hanya ada bila dikontraskan dengan “tidak sempurna.” Nah, dengan demikian, bila dualisme telah dilampaui, masih adakah “sempurna” dan “tidak sempurna”? Oleh karena itu, orang yang telah “sempurna” justru tidak akan merasa “sempurna” lagi. Tetapi mereka juga tak akan merasa “tidak sempurna.” Mereka telah menyelami kedemikianan segala sesuatu (tathata) dan terbebas dari segenap label.
Sutra Sadharmapundarika menyebutkan pula sebagai contoh, 500 orang bhikshu yang meninggalkan pasamuan, ketika Buddha memaparkan mengenai sutra ini. Mereka merasa diri telah “sempurna” dan tak perlu belajar lagi. Inilah yang disebut “kesombongan spiritual.” Merasa malu atau enggan mempelajari sesuatu yang mereka anggap rendah. Inilah sebabnya Sutra menyebabkan berada “di bawah pengaruh Mara.” Tentu ini adalah suatu metafora atau perumpamaan bagi hal tersebut.
Kedua, mengapa disebut “penghentian sementara”? Ini untuk menghapuskan pandangan salah bahwa perealisasian sravaka atau pratykebuddha itu adalah suatu “kemandekan.” Selain itu, yang patut diingat goal bagi Mahayana adalah Samyaksambuddha. Oleh karena itu, dalam konteks ini hendaknya istilah “penghentian sementara” itu dipahami.
Apakah Buddha berbohong dan bersekutu dengan Mara? Jawabannya tentu saja tidak. Kesimpulan yang keliru. Oleh karena itu, kedua Sutra itu tidak bertolak belakang. Keduanya mengkaji dari sudut pandang yang berbeda. Semua praktisi Mahayana yang mendalami Mahayana akan tahu betul tentang hal ini.
TL:
Nuduh ya? Kapan dan dimana dikatakan sesudah panca skandha hancur tak ada apa-apa lagi? sumbernya mana?
TAN:
Lho.. kalau ga mau dituduh "tidak ada apa-apa lagi" berarti masih ada apa-apa donk. Hayoooo jangan mungkir lagi ya. Mau tetap jadi nihilis ya? hehehehehee
TL:
mau tahu dan mau mengerti juga kagak bisa, yang tahu dan mengerti cuma yang nulis
TAN:
Betul sekali.
Amiduofo,
Tan
Quotelain yang yang ditanyakan lain yang dijawab. perhatikan kalimat berikut:QuoteTL
Berbicara mengenai pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti?
TAN:
Rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti dengan dua cara:
1.Tidak ada orang lagi yang tinggal di sana. Kalau tidak yang berlindung di dalamnya, apakah dapat disebut tempat berlindung?
2.Rumahnya rusak dan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung.
Jadi rumah tidak harus hancur. Rumah memang anitya, tetapi ingat anitya tidak sama dengan nihilisme. Rumah mungkin hancur menjadi unsur2 penyusunnya. Tetapi ingat unsur2 penyusun ini tetap ada. Karena itu analogi itu tidak dapat mendukung pendapat Anda
ada fungsi rumah sebagai tempat perlindungan yang telah berhenti, simak baik-baik pertanyaannya: apakah penghentian fungsinya akan berhenti atau tidak berhenti?
Quotekalau tidak mengerti jangan membantah mas, seorang Arahat telah mengalami Nibbana dalam kehidupan ini juga, bukan sesudah wafat. Jangankan Arahat, seorang Sotapanna juga merasakan Nibbana sewaktu masih hidup bukan sesudah meninggal.QuoteTL:
Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi, apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.
Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.
Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)
TAN:
Jadi menurut Anda: anupadisesa nibanna tak berkondisi, sedangkan saupadisesa nibanna masih berkondisi? Jadi ada dua jenis nibanna yang berbeda kalau begitu? Apakah menurut Anda dengan demikian anupadisesa nibanna lebih tinggi dari saupadisesa nibanna? Jika anupadisesa nibanna “lebih tinggi” dari saupadisesa nibanna bukankan itu adalah suatu “kondisi” (dalam artian lebih tinggi dan rendah)? Anda mengatakan saupadisesa nibanna masih berkondisi. Artinya “nibanna” masih bisa berkondisi dan tidak bukan? Bisa “berkondisi dan tidak” bukankah itu adalah suatu kondisi. Ingat ini Anda sendiri yang menyatakan lho.
Membandingkan Nirvana tinggi atau rendah adalah pertanyaan penuh konsep dari orang yang tak mengerti, Nirvana tak ada lebih tinggi atau lebih rendah kalau seorang Ariya mencapai Nirvana sewaktu duduk bermeditasi tentu saja ada kondisi yaitu tubuhnya sendiri, yang masih utuh.
Sekarang saya Tanya apakah Seorang Bodhisatva dalam Mahayana sudah merasakan Nirvana atau belum?
TL:
Kalau saya bisa membuktikan bahwa itu memang ada di kitab suci Hindu beranikah mas Tan mengakui bahwa ajaran itu memang berasal dari Hindu?
TAN:
Boleh saja, asal diakui bahwa ajaran non Mahayanis itu juga berasal dari Jain alias pengikut Nigantha Nataputta. Ya kita barter lah. Heheheeheheheheh
Amiduofo,
Tan
TL:
Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....
TAN:
Orang K juga menganggap agamanya sebagai kebenaran sejati. God is truth... etc...etc... Hm lalu mana yang benar-benar "truth" ya. Hahahaahahah
The highest truth is NO TRUTH.
Amiduofo,
Tan
Kutip lagi aaahh THE HIGHEST TRUTH IS NO TRUTH
terjemahannya: Kebenaran / Dharma tertinggi adalah no truth (A-DHARMA) ^-^
1. Apakah Agama Sutra bagian dari kitab suci Mahayana atau bukan?
2. Apakah Agama Sutra bertentangan atau tidak dengan sutra-sutra yang lain? misalnya Prajna Paramita, Avatamsaka dll?
3. Bila agama sutra tidak bertentangan dengan sutra-sutra Mahayana yang lain, bukankah seharusnya ajaran Theravada sejalan dengan Mahayana?
Quote1. Apakah Agama Sutra bagian dari kitab suci Mahayana atau bukan?
2. Apakah Agama Sutra bertentangan atau tidak dengan sutra-sutra yang lain? misalnya Prajna Paramita, Avatamsaka dll?
3. Bila agama sutra tidak bertentangan dengan sutra-sutra Mahayana yang lain, bukankah seharusnya ajaran Theravada sejalan dengan Mahayana?
Saya heran kok dari dulu poin kaya gini ini yang didebatin ya?
Agama sutra di Tripitaka Mahayana (Dazang Jing) itu sebenarnya kitab-kitab aliran Mahasanghika dan Sarvastivada juga Kasyapiya.
Ke-18 sekte awal agama Buddha semuanya mempunyai 5 kitab pegangan yaitu:
1. Digha (Dirgha)
2. Majjhima (Madhya)
3. Samyutta (Samyukta)
4. Anguttara (Ekottara)
5. Kuhuddaka (Ksudraka)
Isi agama sutra antar sekte banyak yang mirip, namun juga ada bedanya dikit-dikit.
Isinya adalah ajaran Shravakayana. Isinya tentu tidak bertentangan dengan Mahayana.
Karena seorang Bodhisattva juga harus mempelajari ajaran Shravaka dan Pratyekabuddha, maka sutra-sutra Hinayana juga termasuk dalam pembelajaran mereka.
Agama-agama Sutra adalah fondasi agama Buddha, Sutra-sutra Mahayana adalah perkembangannya / lanjutannya.
Sebuah perkembangan tentu tidak akan sama persis seperti asalnya bukan? Ini adalah kenyataan yang bahkan semua orang pun bisa paham. Maka dari itu bro. Tan mengatakan bahwa jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana.
namun berbeda bukan berarti bertentangan.
Bagi Shravakayana, pencapaian arhat sudah finish. Bagi Mahayana belum. Bagi Shravakayana ajaran tentang tingkatan Bodhisattva dalam Mahayana tidak dapat diterima, maka dari itu bagi Shravakayana, keduanya tidak sejalan.
Namun bagi Mahayana, keduanya sejalan karena Mahayana juga mengakui bahwa Sang Buddha pernah juga mengajarkan bahwa pencapaian Arhat sudah finish. Ini adalah tindakan terampil sang Buddha untuk menyesuaikan dengan batin para makhluk pada saat itu. Pembahasan tentang ini sudah dibahas sejak dulu di forum ini.
_/\_
The Siddha Wanderer
Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan.
Quote from: Tan on Yesterday at 11:17:41 PM
Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan.
QuoteQuote from: Tan on Yesterday at 11:17:41 PM
Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan.
wahhh... klo di DN mah banyak Sang Buddha menyatakan beliau telah mencapai penerangan sempurna...
ntah dari mana nich bung tan dapat 'pengetahuan' ini
Sang Bhagavà berkata. 'Potthapàda, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41-62). Itu baginya adalah moralitas.'
disitu SangBuddha menyatakan-nya.
Sang Bhagavà berkata. 'Potthapàda, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41-62). Itu baginya adalah moralitas.'
disitu SangBuddha menyatakan-nya.
sharusnya mungkn dlm sutta itu sang buddha brkata 'aku' telah mencapai. . .yang tiada tandingan. . .
Tpi dalam sutta itu sng buddha koq berkata pakai kata 'beliau' dan 'nya', bukankah ini kalimat langsung/direct dari sang buddha? cmiiw.
Tambahan.....
Ingat..ingat... dalam Zen ada disebutkan bahwa sebuah koan (Mandarin: gongan) tidak boleh ditiru. Seorang Samyaksambuddha mungkin boleh memproklamirkan bahwa dirinya telah mencapai pencerahan. Tetapi apakah itu berarti bahwa orang yang bukan Samyaksambuddha juga boleh menggembar-gemborkan bahwa ia telah mencapai penerangan sempurna? Meniru atau mengkopi segenap tindak tanduk orang bijaksana bukanlah tindakan yang bijaksana, malahan dapat menjadikan diri kita laksana badut atau lebih parah lagi menjerumuskan ke neraka Avichi.
Semoga ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita.
Amiduofo,
Tan
Meniru atau mengkopi segenap tindak tanduk orang bijaksana bukanlah tindakan yang bijaksana, malahan dapat menjadikan diri kita laksana badut atau lebih parah lagi menjerumuskan ke neraka Avichi.
Tambahan untuk Xuvie:
Di dalam mazhab non Mahayanis ada juga ancaman. Bila tidak percaya silakan baca Ambattha Sutta. Kisah mengenai pemuda Ambattha yang pada mulanya tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha sebanyak dua kali. Buddha berkata bahwa jika seseorang tidak bersedia menjawab pertanyaan seorang Buddha hingga kali ketiga, maka kepala orang itu akan dipecahkan oleh yakkha Vajirapani yang saat itu sudah siap dengan senjata gadanya. Nah, menurut Anda apakah itu ancaman?
Selanjutnya, menurut ajaran Buddha kejahatan-kejahatan besar: melukai Buddha, membunuh ayah, membunuh ibu, dll dapat menjerumuskan seseorang ke neraka Avichi. Nah, apakah itu bukan ancaman?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Oooo.. Anda mau rujukan ya? Oke2.. saya beri. Rujukannya adalah Sutra Hati atau Sutra Prajna Paramita Hrdaya. Silakan simak baik-baik:
"Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang melaksanakan Samadhi kebijaksanaan Sempurna untuk mencapai pantai sana (nirvana). Dalam pengamatan bathin dalam samadhinya,Beliatu telah menyaksikan dengan jelas sekali,bahwa lima kelompok kegemaran (Panca Skhanda) itu sebenarnnya kosong/tanpa inti. Dengan menyadari hal itu, maka Sang Avalokitesvara telah dapat terbebas dari sengsara dan derita.
O, Sariputra, wujud (rupa) tiada bedannya dengan kosong (sunya). Dan kosong (Sunya) juga tiada bedannya dengan wujud (rupa), jadi wujud pada hakekatnya sama dengan kosong dan kosong sama dengan wujud. Demikianlah pula halnya dengan perasaan, pikiran, tindak kemauan, dan kesadaran itu.
Sariputra, kekosongan dari semua bendainitidak dilahirkan,tidak termusnakan, tidak kotor, tidak bersih, tidak bertambah pun tidak berkurang.
Oleh karenanya,dengan kekosongan itu tiada berwujud,tiada perasaan, pikiran,tindak kemauan, dan kesadaran; tiada mata, telinga, hidup, lidah,tubuh danakal; tiada wujud, suara, bau rasa, sentuhan dan ide gagasan ; tiada alam penglihatan sampailah tiada alam kemampuan pikiran dan kesadaran (delapan belas alam pengenal)
Tiada ada kebodohan (avijja) pun tiada ada akhir kebodohan, sampai pun usia dan kematian, juga tiada ada akhir usia tua dan kematian. Tiada ada derita (Dukha), timbunan derita (samudaya), penghapusan derita(Nirodha) dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada ada kebijaksanaan pun tiada ada yang DICAPAI (DIREALISASI).
Karena tiadayang DICAPAI (DIREALISASI), maka Bodhisattva mengandalkan kebijaksanaan sempurna untuk mencapai pantai sana; oleh karena itu sanubarinya terbebaskan dari segala kemelekatan dan rintangan.
Karena tiada kemelekatan dan rintangan, maka tiada takut dan khwatir, dan mereka dapat bebas dari lamuna dan ketidaklaziman, dengan begitu mencapa Parinirvana.
Para Buddha dari jaman dahulu, sekarang dan yang akan datang mengandalkan pada kebijaksanaan sempurna memperoleh kesadaran tertinggi.
Maka kita tahu bahwa Maha Prajna Paramita adalah Mantra suci yang Agung, Mantra yang terunggul dan Mantra yang tiada taranya; yang benar dan pasti dapa menghapuskan semua derita.
Karena beliau mengucapkan Mantra Prajna Paramita yang berbunyi :
Gate Gate Paragate Parasamgate Boddhi Svaha !
Prajna Paramita Hrdaya Sutra"
Silakan perhatikan kata "DIREALISASI" yang saya tulis dengan huruf besar. Kata itu mengacu pada Penerangan Sempurna.
Sebelumnya, saya selaku umat Mahayana dengan tegas menyatakan bahwa Sutra-sutra Mahayana adalah juga berasal dari Hyang Buddha Sakyamuni. Sama seperti Anda, saya juga mengikuti guru-guru saya berpegang pada Sutra-sutra Mahayana, sampai terbukti bahwa sutra2 tersebut salah.
Jadi berdasarkan Sutra Hati di atas jelas sekali Buddha menyatakan bahwa setelah seorang merealisasi Penerangan Sempurna maka justru tiada lagi Penerangan Sempurna. Konsep ini bagi saya sudah cukup jelas, tetapi entah bagi Anda.
Kedua, konsep ini sudah jelas sekali bagi umat yang paham filosofi Mahayana dan bagi umat Mahayana tidak akan timbul pertanyaan2 semacam ini. Nah kutipan Sutra di atas sudah dengan jelas membuktikan bahwa Buddha tidak "merasa" dirinya tercerahkan. Saya kira sudah cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
UPASAKA:
Jadi maksudnya Bodhisattva Avalokitesvara sudah merealisasi Pencerahan ya?
Kok bisa sudah mencapai Nirvana (baca : menjadi Buddha) tapi masih bergelar Boddhisattva (baca : masih menderita)...?
TAN:
Ini pertanyaan OOT. Kita tidak sedang membahas Bodhisattva Avalokitesvara. Mohon maaf. Saya tidak mau terpancing membahas masalah ini, karena pembicaraan akan melebar. Silakan buka thread lain tentang Avalokitesvara, saya akan menanggapinya kalau ada waktu.
Amiduofo,
Tan
Tambahan untuk Xuvie:
Di dalam mazhab non Mahayanis ada juga ancaman. Bila tidak percaya silakan baca Ambattha Sutta. Kisah mengenai pemuda Ambattha yang pada mulanya tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha sebanyak dua kali. Buddha berkata bahwa jika seseorang tidak bersedia menjawab pertanyaan seorang Buddha hingga kali ketiga, maka kepala orang itu akan dipecahkan oleh yakkha Vajirapani yang saat itu sudah siap dengan senjata gadanya. Nah, menurut Anda apakah itu ancaman?
Selanjutnya, menurut ajaran Buddha kejahatan-kejahatan besar: melukai Buddha, membunuh ayah, membunuh ibu, dll dapat menjerumuskan seseorang ke neraka Avichi. Nah, apakah itu bukan ancaman?
Amiduofo,
Tan
Meniru atau mengkopi segenap tindak tanduk orang bijaksana bukanlah tindakan yang bijaksana, malahan dapat menjadikan diri kita laksana badut atau lebih parah lagi menjerumuskan ke neraka Avichi.
TAN:
Kalau begitu saya mohon maaf. Saya pada kesempatan kali ini tidak bersedia menjawab pertanyaan Anda. Pada suatu milis, peserta diskusi juga punya hak untuk tidak menjawab atau menanggapi suatu pertanyaan. Anda mungkin mengira saya bodoh atau tidak mampu menjawab pertanyaan Anda. Tetapi saya tidak keberatan sama sekali dianggap bodoh atau dungu. Mungkin di lain kesempatan saya akan menjawabnya bila saya rasa waktunya tepat. Saya ingin menuntaskan dulu masalah-masalah dari rekan non Mahayanis di posting2 sebelumnya. Terima kasih.
Amiduofo,
Tan
UPASAKA:
Anda terlalu cerdas bagi saya untuk dikatakan sebagai orang bodoh.
Karena Anda tidak ingin menjawabnya sekarang, maka saya tidak memaksa Anda.
Tapi saya ingin mengetahui jelas apa penyebab Anda tidak ingin menjawab pertanyaan saya itu.
TAN:
Lho? Bukankan alasannya sudah saya ungkapkan pada posting sebelumnya? Baiklah saya ulangi lagi: Saya ingin menuntaskan dulu masalah-masalah dari rekan non Mahayanis di posting2 sebelumnya.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Statemen itu diambil dari buku karya salah seorang Mahaguru Zen yang judulnya saya lupa.
Lalu kita akan bahas apakah itu ancaman? Apakah itu sama dengan 10 Tulah? Kalau Anda menyamakan dengan 10 Tulan. Bagaimana dengan kisah pemuda Ambattha yang ada di Ambattha Sutta? Juga ajaran tentang garuka kamma, yang membawa seseorang ke neraka Avichi? Apakah bedanya dengan ajaran 10 Tulah?
Saya harap Anda bisa adil dalam membahas hal ini.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Saya perjelas jawaban saya ya:
Karena yang namanya suatu masalah ya harus dituntaskan.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Ya saya harus cari dulu satu persatu. Sekedar informasi buku2 saya ada kurang lebih 5.000 buah, terdiri dari Buddhisme, sejarah, filsafat, sains, ensiklopedia, dll. Buku Buddhis sendiri ada kurang lebih 1.000 buah. Nah bagaimana mencarinya dengan cepat? Saya kira apa yang diulas di sana sudah cukup jelas; jadi bagi saya tidak perlu memposting atau menuliskan kembali referensinya di sini.
Lagian saya sedang sibuk menulis buku Sejarah Kerajaan Nusantara Pasca Keruntuhan Majapahit, yang saya jadwalkan bisa selesai dalam tahun ini. Jadi saya tidak ada waktu mencarinya.
Nah, kalau Anda bilang bahwa itu hanya "nasehat" atau "penjelasan yang menunjukkan sebab akibat," begitu pula saya bilang statemen itu juga hanya "nasehat" atau "penjelasan yang menunjukkan sebab akibat." Nah apa bedanya? Anggap saja sekalian bahwa 10 Tullah itu hanya "nasehat" atau "penjelasan yang menunjukkan sebab akibat." Beres bukan?
Oya sedikit pertanyaan lagi terhadap pertanyaan Anda. Mengapa Buddha yang berbelas kasih tidak berusaha menghalangi yakkha Vajirapani dalam memecah kepala Ambattha, kalau sekiranya pemuda itu tidak menjawab pertanyaan Buddha hingga kali ketiga?
Kemungkinannya:
1.Buddha tidak mampu mencegahnya. Jadi bila Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, sudah merupakan hukum alam atau proses otomatis bahwa "Dieng!!!" gada Vajirapani akan menghantam kepala Ambattha hingga pecah menjadi tujuh seperti biji arjaka.
2.Buddha mampu mencegahnya. Jika Buddha mampu mencegah Vajirapani agar tidak mengayunkan gadanya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan Beliau. Apakah itu bukan ancaman?
Mana menurut Anda yang benar?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Saya perjelas kembali jawaban saya:
Saya punya hak memilih mana yang perlu dituntaskan dan tidak. Mana yang lebih perlu dan tidak, karena keterbatasan ruang dan waktu.
Amiduofo,
Tan
Sdr. Upasaka,
saya mencoba untuk menengahi, dalam hal ini Sdr. Tan benar, Sdr. Tan memang berhak untuk mengabaikan anda, mohon Sdr. Upasaka menghormati hak2 member lain
Tambahan lagi untuk sdr. Upasaka:
Penjelasan tentang Bodhisattva Avalokitesvara itu sangat panjang dan akan membutuhkan thread yang sangat panjang. Saya harus bongkar beberapa Sutra dan risalah. Lagian juga percuma. Saya merasa rekan2 non Mahayanis sulit menerimanya dan akan menimbulkan perdebatan tanpa akhir. Tetapi saya hanya dapat menjanjikan bila kita dan rekan-rekan lain bisa bertatap muka, maka kita dapat mengulas masalah ini dengan lebih santai. Saya dalam bulan Juli ini memang ada rencana ke Jakarta, sekalian ingin belanja buku bekas di Pasar Senen untuk bahan buku saya. Semoga kita ada kesempatan untuk bertemu, sekalian untuk membina persahabatan yang lebih erat. Bagaimanapun juga berdiskusi langsung lebih enak daripada lewat tulisan.
Amiduofo,
Tan
Tepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?
Jadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."
Sama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.
Amiduofo,
Tan
Tambahan:
Mungkin memang ada bhikshu yang memukuli atau menyakiti muridnya dengan kebencian, tetapi ini adalah oknum dan tidak mencerminkan ajaran Mahayana itu sendiri. Ini juga umum dalam agama atau aliran lainnya. Saya ingat kata-kata dalam film Angel and Demon: "Agama itu ada kekurangannya, tetapi itu dikarenakan kelemahan manusia."
Om Mani Padme Hum,
Tan
TAN:
Hahahaha... ya..ya saya mengerti maksud Anda. Sebenarnya saya sangat setuju dengan apa yang Anda maksudkan itu. Memang semua agama itu tidak sama. Itu saya setuju sekali. Tetapi apa yang diungkapkan dalam film Angel and Demon itu sedikit banyak juga ada benarnya. Namun kalau mau mengulas ini mungkin harus dimasukkan "Buddhisme dan Kepercayaan Lain" (CMIWW).
Amiduofo,
Tan
Jadi maksudnya Bodhisattva Avalokitesvara sudah merealisasi Pencerahan ya?
Kok bisa sudah mencapai Nirvana (baca : menjadi Buddha) tapi masih bergelar Boddhisattva (baca : masih menderita)...?
UPASAKA:
Itu statement yang berasal darimana? Apakah dari Sutra Mahayana, Sutta Theravada, atau dari isi buku-buku karya Ivan Taniputera?
Itu yang dipertanyakan oleh Bro Xuvie. Karena selintas jika dibaca, gaya bahasa statement itu mirip dengan gaya bahasa 10 Tulah.
TAN:
Statemen itu diambil dari buku karya salah seorang Mahaguru Zen yang judulnya saya lupa.
Lalu kita akan bahas apakah itu ancaman? Apakah itu sama dengan 10 Tulah? Kalau Anda menyamakan dengan 10 Tulan. Bagaimana dengan kisah pemuda Ambattha yang ada di Ambattha Sutta? Juga ajaran tentang garuka kamma, yang membawa seseorang ke neraka Avichi? Apakah bedanya dengan ajaran 10 Tulah?
Saya harap Anda bisa adil dalam membahas hal ini.
Amiduofo,
Tan
"Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang melaksanakan Samadhi kebijaksanaan Sempurna untuk mencapai pantai sana (nirvana). Dalam pengamatan bathin dalam samadhinya,Beliatu telah menyaksikan dengan jelas sekali,bahwa lima kelompok kegemaran (Panca Skhanda) itu sebenarnnya kosong/tanpa inti. Dengan menyadari hal itu, maka Sang Avalokitesvara telah dapat terbebas dari sengsara dan derita.
O, Sariputra, wujud (rupa) tiada bedannya dengan kosong (sunya). Dan kosong (Sunya) juga tiada bedannya dengan wujud (rupa), jadi wujud pada hakekatnya sama dengan kosong dan kosong sama dengan wujud. Demikianlah pula halnya dengan perasaan, pikiran, tindak kemauan, dan kesadaran itu.
Sariputra, kekosongan dari semua bendainitidak dilahirkan,tidak termusnakan, tidak kotor, tidak bersih, tidak bertambah pun tidak berkurang.
Oleh karenanya,dengan kekosongan itu tiada berwujud,tiada perasaan, pikiran,tindak kemauan, dan kesadaran; tiada mata, telinga, hidup, lidah,tubuh danakal; tiada wujud, suara, bau rasa, sentuhan dan ide gagasan ; tiada alam penglihatan sampailah tiada alam kemampuan pikiran dan kesadaran (delapan belas alam pengenal)
Tiada ada kebodohan (avijja) pun tiada ada akhir kebodohan, sampai pun usia dan kematian, juga tiada ada akhir usia tua dan kematian. Tiada ada derita (Dukha), timbunan derita (samudaya), penghapusan derita(Nirodha) dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada ada kebijaksanaan pun tiada ada yang DICAPAI (DIREALISASI).
Karena tiadayang DICAPAI (DIREALISASI), maka Bodhisattva mengandalkan kebijaksanaan sempurna untuk mencapai pantai sana; oleh karena itu sanubarinya terbebaskan dari segala kemelekatan dan rintangan.
at Bond:
Ya benar sekali. Itulah yang saya maksudkan. Buddha mengatakan bahwa dirinya tercerahi bukan karena ia "merasa" tercerahi; melainkan karena "Manusia ketika masih ada kilesa maka diperlukan konsep agar menjadi jelas. Bagaimana mungkin org yg terkungkung dengan kilesa lalu ditunjukan tanpa konsep...Yang ada adalah kebingungan kecuali ia memiliki kebijaksanaan yg cukup." (seperti yang Anda katakan). Jadi, karena itu tidak ada suatu "atta" yang "merasa" tercerahi.
Amiduofo,
Tan
at Bond:
Ya benar sekali. Itulah yang saya maksudkan. Buddha mengatakan bahwa dirinya tercerahi bukan karena ia "merasa" tercerahi; melainkan karena "Manusia ketika masih ada kilesa maka diperlukan konsep agar menjadi jelas. Bagaimana mungkin org yg terkungkung dengan kilesa lalu ditunjukan tanpa konsep...Yang ada adalah kebingungan kecuali ia memiliki kebijaksanaan yg cukup." (seperti yang Anda katakan). Jadi, karena itu tidak ada suatu "atta" yang "merasa" tercerahi.
Amiduofo,
Tan
Luar biasa, Sdr. Tan bahkan mengetahui apa yg dipikirkan Sang Buddha ketika mengatakan sesuatu. Komentar serupa ini sernig saya temui dalam kitab2 yg bersifat komentar, dan para komentator itu telah atau diyakini telah Arahat. mungkinkah Sdr. Tan juga? ini mungkin pertanyaan yg OOT, tapi kalau benar, maka celakalah, Sdr. Marcedes, Truth Lover, Upasaka, dan saya juga.
_/\_
MARCEDES:saudara Tan, ketika berbicara bahwa setelah parinibbana panca-kandha padam itu ada dalam rujukan sutta.
saudara Tan yg bijak,
anda mengatakan bahwa, ketika seseorang yang tercerahkan begini dan begitu....
apakah anda sudah tercerahkan? jadi tahu persis....
kalau anda merasa belum tercerahkan, saya ingin tahu dasar apa anda mengatakan statment berikut?
"Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan."
saya setuju dengan pandangan saudara indra, terkait benar tidaknya...adakah rujukan tentang itu?
karena,Luanta Mahaboowa juga mengeluarkan statment mengenai pencapaian arahat-nya.
apakah beliau itu belum tercerahkan?mohon petunjuknya saudara Tan.
TAN:
Apa yang saya ungkapkan itu dari penelaahan Sutra-sutra beserta doktrin Mahayana. Sumber sutranya sudah saya kutipkan di atas yaitu Sutra Hati. Saya kira sudah cukup jelas. Hmmm jadi Anda setuju ungkapan saya bahwa "anda mengatakan bahwa, ketika seseorang yang tercerahkan begini dan begitu...." Lalu bagaimana dengan posting2 rekan-rekan non Mahayanis yang dengan yakin menyatakan bahwa:
1)Tidak ada apa2 setelah parinirvana, karena pancaskandha sudah padam - ini nihilisme
2)Buddha merasa yakin bahwa dirinya telah mencapai pencerahan
Apakah mereka juga sudah tercerahi?
Mengenai pencerahan Luanta Mahaboowa saya tidak mau komentar apa2.
Dia adalah guru dari aliran non Mahayana dan selain itu saya tidak kenal Beliau. Bukan kapasitas saya untuk mengomentarinya.
Om Mani Padme Hum,
Tan
Tambahan lagi untuk sdr. Upasaka:dana tulisan disini saja saudara Tan, bisa di lihat semua member...^^
Penjelasan tentang Bodhisattva Avalokitesvara itu sangat panjang dan akan membutuhkan thread yang sangat panjang. Saya harus bongkar beberapa Sutra dan risalah. Lagian juga percuma. Saya merasa rekan2 non Mahayanis sulit menerimanya dan akan menimbulkan perdebatan tanpa akhir. Tetapi saya hanya dapat menjanjikan bila kita dan rekan-rekan lain bisa bertatap muka, maka kita dapat mengulas masalah ini dengan lebih santai. Saya dalam bulan Juli ini memang ada rencana ke Jakarta, sekalian ingin belanja buku bekas di Pasar Senen untuk bahan buku saya. Semoga kita ada kesempatan untuk bertemu, sekalian untuk membina persahabatan yang lebih erat. Bagaimanapun juga berdiskusi langsung lebih enak daripada lewat tulisan.
Amiduofo,
Tan
HENDRA SUSANTO:
beuuuu... terlalu 'sakti' nich orang...
TAN:
Iya dong! Umat Mahayana harus sakti. Supaya tidak dipecundangi terus menerus oleh umat non Mahayana. Justru saya semakin yakin kebenaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
HENDRA SUSANTO:
om... yang nanya soal keyakinan siapa om
TAN:
Hahaha yang jawab Anda juga siapa? Bagi saya posting di milis tidak ada kaitannya dengan pribadi yang bersangkutan dan mau mereply atau menjawab apa saja juga adalah hak saya asalkan masih dalam koridor2 yang benar.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Iya dong! Umat Mahayana harus sakti. Supaya tidak dipecundangi terus menerus oleh umat non Mahayana. Justru saya semakin yakin kebenaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
ada nanti, aliran Ryu Chan ;DTAN:
Iya dong! Umat Mahayana harus sakti. Supaya tidak dipecundangi terus menerus oleh umat non Mahayana. Justru saya semakin yakin kebenaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
Masalah "pecundang-memencundangi" sebetulnya tergantung dari sudut pandang saja. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, saya lebih banyak ketemu umat Mahayana yang "sakti"2 yang memecundangi Non-Mahayana ketimbang sebaliknya. Memang ada aliran dengan kecenderungan suka "memecundangi" orang lain. Ada lagi aliran yang membalas "pecundangan" dengan "pecundangan" yang lebih parah.
Kalau menurut "dongeng"-nya, Buddha sih mengajarkan untuk tidak membalas satu perbuatan tidak baik dengan perbuatan tidak baik lainnya. Tapi entah masih ada atau tidak aliran yang masih menerapkan ajaran ini.
ada nanti, aliran Ryu Chan ;D
hahaha-yana is much more better......
ehemmm.... ehemmm....Emang berani timpuk bata? gw bilangin yak kakakakakak
hello everybody, tujuan Thread ini kan untuk mencoba menjawab secara sudut pandang mahayana
toh klu tidak ketemu, bukan berarti harus memaksakan sudut pandang aliran lain toh
klu misalnya, terjadi kesalahan pahaman, karena masing2 harus menahan diri.
ayo mari rame2, kita timpuk bata TS-nya wakakakaka.....
krn sudah buat thread yang hot ini, thread global warming gitu loh :P
_/\_
navis
Lalu bagaimana dengan posting2 rekan-rekan non Mahayanis yang dengan yakin menyatakan bahwa:Tidak ada apa2 stlh parinirvana, memang nihilisme. Dan bagi mereka yg mengatakan ada pun, atau antara ada dan tiada misalnya dari Dharmakaya bisa mengada kembali ke wujud Nirmanakaya, sudah pola pikir yg salah pula.
1)Tidak ada apa2 setelah parinirvana, karena pancaskandha sudah padam - ini nihilisme
Apakah mereka juga sudah tercerahi?
Jika benar bahwa Sang Buddha "merasa" telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ini akan kontradiksi dengan pernyataan rekan-rekan non Mahayanis di milis ini bahwa bila pancaskandha sebagai pendukung adanya atta telah padam, maka tidak ada lagi atta. Jika tidak ada lagi atta, bagaimana mungkin ada perasaan ada suatu "atta" yang telah mencapai pencerahan (dalam hal ini "diri" Sang Buddha sendiri). Justru kaum non Mahayanis yang harus menjawab pertanyaan ini. Bila Sang Buddha memang "merasa" telah mencapai Pencerahan, maka tentunya ia akan merasa bahwa ada "sesuatu" yang telah mencapai pencerahan. Nah, sekali lagi ini kontradiksi dengan pandangan rekan non Mahayanis pada posting2 sebelumnya.Tidak berkontradiksi, kenyataannya nibbana yg dicapai adalah nibbana yg mengandung sisa kehidupan, krn itu tentu saja masih ada Panca-khandha, dlm hal ini ada kesadaran (vinnana) yg mengenali telah tercapainya pencerahan (arahat), putusnya akar LDM dan kelahiran kembali.
Statemen itu diambil dari buku karya salah seorang Mahaguru Zen yang judulnya saya lupa.Makasih utk menjawab sumbernya. Saya harap lain kali jika Pak Ivan ingat dpt memposting cerita tsb atau memberi info ttg buku tsb.
Lalu kita akan bahas apakah itu ancaman? Apakah itu sama dengan 10 Tulah? Kalau Anda menyamakan dengan 10 Tulan. Bagaimana dengan kisah pemuda Ambattha yang ada di Ambattha Sutta? Juga ajaran tentang garuka kamma, yang membawa seseorang ke neraka Avichi? Apakah bedanya dengan ajaran 10 Tulah?
Saya harap Anda bisa adil dalam membahas hal ini.
1.Buddha tidak mampu mencegahnya. Jadi bila Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, sudah merupakan hukum alam atau proses otomatis bahwa "Dieng!!!" gada Vajirapani akan menghantam kepala Ambattha hingga pecah menjadi tujuh seperti biji arjaka.Menurut saya, bukan ke-2nya. Bukan mampu atau tidak mampu, tetapi seperti dalam kebanyakan kasus, Sang Buddha telah meninjau terlebih dahulu apakah pantas atau tidak utk mencegah hal tsb terjadi. Krn bila tidak pantas, tetapi Sang Buddha ttp mencegah, berarti dia telah 'berkeinginan', sesuatu yg tidak lagi ada pada seorang Samma Sambuddha. Krn itulah beliau menyebut diriNya dng 'Tathagata' (tathata &gata/agata), kedemikianan itulah penggambaran Samma Sambuddha.
2.Buddha mampu mencegahnya. Jika Buddha mampu mencegah Vajirapani agar tidak mengayunkan gadanya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan Beliau. Apakah itu bukan ancaman?
Mana menurut Anda yang benar?
Berhati2 (appamada) jg dengan ajaran Guru2 dan para sesepuh. Sang Buddha tlh mengajarkan ttg Dhamma dan Vinaya sbg pegangan kita sepeninggal beliau nanti. Bahwa Sang Buddha pun telah mengingatkan bahwa ajaran asli beliau tidak akan bertahan lebih dari 500 tahun. Bahkan dlm 16 ramalan mimpi Raja Pasenadi Sang Buddha tlh meramalkan di masa depan ada kecenderungan orang2 utk mendengar dan mengikuti ajaran para anggota Sangha yg terdengar lucu, menarik meski berlawanan dg ajaran Buddha yg sesungguhnya. Seorang guru yg terkenal dan memiliki banyak pengikut belum tentu telah terlepas dr pandangan salah. Apalagi pujangga, yg terkadang demi kata2 bernada indah terpaksa membelokkan sedikit hal yg akan disampaikan.
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Ya pernah membaca Sutta ttg Bhikkhu Sati, tp tidak menangkap adanya kesan 'hardik'. Mungkin sumbernya berbeda ya.
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Pertanyaannya sangat mudah dibalik. Bagaimana mungkin Anda yakin bahwa Buddha "merasa" tercerahi? Mungkin dijawab dari Sutta2. Tetapi pada kenyataannya Sutta2 hanyalah sebuah tulisan. Bagaimana Anda yakin bahwa Buddha "benar2" merasa tercerahi? Apakah Anda telah mencapai kearahatan juga.Di sini kaum non-mahayanis bisa merujuk ke Sampasadaniya Sutta atau Mahaparinibbana Sutta, mengikuti cara Bhante Sariputta dlm menganalisis pencerahan yg telah di capai Sang Buddha. Dan kita tidak perlu takut utk jatuh ke neraka Avici karenanya. :)
Saya jelaskan lagi ya. Bagi kaum Mahayanis kedua hal itu tidak bertentangan. Ketika Dharmakaya mengemanasikan dirinya sebagai Nirmanakaya (dalam hal ini Buddha Sakyamuni - Pangeran Siddharta), maka tentu saja itu adalah "kelahiran" terakhir sebagai Pangeran Siddharta. Untuk selanjutnya tidak ada lagi "kelahiran" sebagai Pangeran Siddharta. Jadi pandangan dalam Sutta Pali juga "benar" dan Mahayana juga "benar."Krn Dharmakaya itu bisa beremanasi maka berarti eksis. Sedangkan Nibbana adlh diluar konsep, salah satunya, Nibbana bukan ada/eksis. Jadi entah Dharmakaya itu bukan Nibbana atau Dharmakaya adlh konsep yg salah. Dikembalikan pd penganut 'Dharmakaya'.
Mahayana juga mengajarkan upaya kausalya, jadi tatkala Bodhisattva Siddharta terlahir dan berjalan tujuh langkah serta mengeluarkan raungan singa (Simhanada); ungkapan "Inilah kelahiranKu yang terakhir" adalah ajaran bagi umat manusia untuk menapaki jalan Dharma demi menghentikan samsara. Tetapi proses emanasi sendiri berada di luar ruang dan waktu; sehingga bagi umat awam dikatakan "tak berakhir."
Kedua, Anda selalu berpikir bahwa dua statemen yang saling bertentangan tidak mungkin kedua-duanya benar. Ini adalah salah; kalau Anda belajar filsafat Dewey, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak selamanya demikian. Saya akan berikan suatu analogi yang mungkin tidak tepat benar (sekali lagi saya bilang ini adalah analogi, semoga Anda dapat memahami apa maksudnya "analogi"):
1.Lampu lalu lintas tidak menyala merah
2.Lampu lalu lintas menyala merah
Mana di antara kedua statemen yang nampak bertentangan itu yang benar? Jawabnya keduanya bisa benar tergantung kondisinya, karena lampu lalu lintas terkadang menyala merah dan terkadang tidak (kuning serta hijau). Tidak ada yang salah di antara kedua statemen di atas.
....
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya. Sebagaimana umat Buddha (khususnya Mahayana, entah kalau non Mahayana) yang baik kita hendaknya sedikit demi sedikit meluaskan wawasan kita dan tidak terjebak terus menerus dalam dikotomi sempit (kalau bukan kawan, maka ia adalah lawan).
XUVIE:Bukannya cerita itu hanyalah karangan? untuk menguatkan dan simbol?
Analogi lampu lalin dapat diterima, tapi tetap saja tidak menjelaskan pertanyaan Ko Indra & Mercedes, yg saya sendiri pun memiliki pertanyaan demikian. Seperti seorang ketika ditanya pohon mangga menjelaskan pohon sukun dan sebaliknya.
Bayi Bodhisattva Siddhartha ketika berjalan 7 langkah dan mengatakan 'ini kelahiranku yg terakhir' tidak mengajarkan pd siapa2 di Taman Lumbini ketika itu.
TAN:
Sama juga lah. Rekan-rekan non Mahayanis juga suka ditanya buah sukun yang dijawab malah buah mangga. Suka lari dengan menyatakan "wah pertanyaannya tidak valid" de el el... de el el.
Sang Buddha tidak mengajar siapa-siapa waktu berjalan dan mengucapkan Raungan Singa di Taman Lumbini? Menarik sekali! Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu ceritera itu? Siapa yang menceritakan dan siapa yang diceritakan dan siapa saksinya?
Amiduofo,
Tan
RYU:Memang cerita lah, masa film =)) =)) =))
Bukannya cerita itu hanyalah karangan? untuk menguatkan dan simbol?
TAN:
Walah. Jadi cuma cerita ya? Jangan-jangan seluruh riwayat kehidupan Buddha cuma cerita juga ya?
Amiduofo,
Tan
XUVIE:
Ya pernah membaca Sutta ttg Bhikkhu Sati, tp tidak menangkap adanya kesan 'hardik'. Mungkin sumbernya berbeda ya.
Ttg metode memang berbeda, bagi non-mahayanis, dlm hal ini Theravadin, seorang arahat tidak akan lagi melakukan pembunuhan, penganiayaan atau kekerasan dlm bentuk apapun sekalipun demi kebaikan.
Sedangkan Mahayanis berangkat dr pijakan yg berbeda, bahkan Vairocana digambarkan memegang pedang. Dan ada Guru Zen yg membunuh kucing utk mendamaikan 2 pihak. Sedangkan Sang Buddha tidak membunuh apapun dan kutu sekalipun, demi mendamaikan 2 kubu saat terjadi perpecahan Sangha di Kosambi.
Jd memang tidak ada titik temunya di sini. Tidak perlu dipaksakan.
TAN:
Sumbernya ya sama. Yang pasti Bhikkhu Sati sampai menunduk malu. Entah itu disebut "hardik" atau tidak, saya tidak tahu. Apakah bijaksana misalnya bila Anda berbuat salah, lalu boss Anda memarahi Anda di hadapan karyawan lainnya?
Amiduofo,
Tan
RYU:Kalau berdasarkan Cerita, katanya penerangan sempurna itu ada caranya, dan bisa di coba oleh yang mau mencoba. tapi katanya juga jangan percaya oleh sesuatu yang di katakan oleh kitab suci. nah makanya jangan percaya dongggg ;D
Memang cerita lah, masa film
TAN:
Kalau memang semuanya hanya cerita, apakah Penerangan Sempurna itu juga bisa dipercaya? Jangan-jangan itu hanya cerita juga. Kalau memang benar cerita sia-sialah kita berpraktik selama ini, yaitu hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak ada.
Amiduofo,
Tan
^ tambah...Logikanya logika sendiri atau bersama? bagi anda masuk akal belum tentu bagi saya masuk akal ;D
kecuali sesuai logika anda dan dibuktikan sendiri.. ;D
Ya tidak bisa begitu donk. Kalau dikejar lantas bilang "diluar konsep." Apa bedanya dengan umat agama lain yang kalau diajak debat lantas bilang "T****N itu di luar konsep manusia." Ini tidak adil, rekan2 non Mahayana selalu mengejar rekan2 Mahayana dan meminta jawaban yang definitif. Tetapi waktu ditanya dengan pertanyaan di atas lantas dengan mudahnya menjawab "di luar konsep," "pertanyaan tidak valid," dan bla...bla...bla.. Mana letak keadilannya. Supaya adil saya juga mau bilang ah: "Dharmakaya berada di luar konsep, sehingga "ada" dan "tiada" juga tidak valid." Habis perkara bukan? Pelajaran yang bisa diambil adalah: Kita semua adalah tukang bajak atau contek dari buku yang disebut Sutta, Sutra, tulisan para guru sesepuh, buku Dhamma, buku Dharma, dan entah apa lagi. Kita semua cuma debatin buku, sehingga pada akhirnya tidak akan ada ujung pangkalnya. Dengan demikian "pertanyaan kritis terhadap Mahayana juga tidak valid."
Sebagai tambahan, apa yang diungkapkan pada Aggi Vacchagota Sutta itu hanya dapat diselami oleh orang yang sudah bebas dualisme, tetapi kita semua di sini belum; jadi jangan mencoba "melarikan diri" dengan jawaban semacam itu. Tetapi kalau masih memaksa "lari" dengan jawaban semacam itu, rekan2 Mahayana juga berhak "lari" dengan cara yang sama.
Menarik sekali. Jadi nibanna dengan sisa itu tidak memadamkan pancakkhandha bukan? Jadi yang memadamkan pancakkhanda adalah nibanna tanpa sisa yang dicapai melalui proses kematian. Oleh karena itu, nibanna tanpa sisa jadi dikondisikan oleh kematian donk? Atau seseorang mungkin mengalami nibanna tanpa sisa tanpa harus mengalami kematian? Kalau "padam" tidak berarti "tidak ada," maka begitu pula umat Mahayana berhak mengatakan suatu "penjelmaan" Dharmakaya dalam wujud Nirmakaya hendaknya tidak diartikan sebagai "ada." Hayoo yang adil ya......Karena sesuai pengertian Saupadisesa Nibbana dan Anupadisesa Nibbana, jadi ya, harus setelah penghancuran pancakkhandha barulah tercapai Anupadisesa Nibbana, yg tdk mengandung sisa unsur kehidupan. Krn sesuai dg yg telah diajarkan Sang Buddha ttg Sankhata: Apapun yg terbentuk, akan hancur. Kongruen pula dg doktrin Anicca dan Anatta.
Kesadaran yang mengenali pencapaian pencerahan kayaknya menarik. Sekarang pertanyaannya APA yang dikenali oleh vijnana tersebut sebagai telah mencapai pencerahan? Secara logika, bila Anda mengenali sesuatu, maka harus ada SESUATU yang dikenali bukan? Nah apakah yang dikenali itu? Atta atau bukan? Kalau bukan atta lantas apa?
Kalau bukan mampu atau tidak mampu terus apa? Sekali lagi ini jawaban yang ngambang dan tidak menjawab pertanyaannya. Kalau rekan Mahayana yang memberikan jawaban macam begitu, pasti deh rekan-rekan non Mahayana dengan "buas" akan mengejarnya habis-habisan. Sekarang saya tanya balik berdasarkan jawaban Anda. Jika Sang Buddha tidak ingin pertanyaannya dijawab oleh Ambattha, lalu mengapa ia menanyakannya sampai berulang2? Apalagi menurut saya pertanyaan itu adalah masalah sepele, yakni tinggi dan rendahnya derajat (Ambattha merasa keturunan Brahmana dan merasa lebih tinggi dari keturunan Khattiya). Apakah mendorong Buddha untuk menanyakan hal itu hingga berulang-ulang? Apakah Buddha menginginkan jawaban?Bukan ngambang, tp memang pertanyaan 'mampu-tak mampu' itu sendiri tidak 'apply' pd masalah tsb. Spt pd kasus genosida suku Sakya o/ Pangeran Virudhaka, stlh Sang Buddha mencoba mencegah bbrp kali, tetapi tetap dilakukan oleh pangeran tsb. Apakah itu berarti Sang Buddha tidak mampu menghentikan genosida tsb? Atau krn Sang Buddha egois dan tidak peduli? Kenyataannya Sang Buddha tlh melihat terlebih dahulu bahwa buah kamma orang2 sakya telah matang.
Anda bilang: "Tidak krn berbelas kasih lantas harus menghentikan apa yg harus terjadi, seorang arahat tidak lagi memiliki 'tanha' toh? Berhati2 dg cara pandang dan pola pikir yg naif, idealistis, krn Buddhism adlh ajaran yg realistis."
Pertanyaan saya: "Jadi menurut Anda membiarkan atau tidak mencegah kepala seseorang hancur dihajar gada hanya karena tidak menjawab suatu pertanyaan adalah tindakan yang sangat realistis ya?"
Sumbernya ya sama. Yang pasti Bhikkhu Sati sampai menunduk malu. Entah itu disebut "hardik" atau tidak, saya tidak tahu. Apakah bijaksana misalnya bila Anda berbuat salah, lalu boss Anda memarahi Anda di hadapan karyawan lainnya?Jika Boss saya memarahi di hadapan karyawan lain dg tujuan agar yg lain tidak mengulangi kesalahan yg seperti saya lakukan di lain waktu. Menurut Anda itu bijaksana atau tidak?
Sama juga lah. Rekan-rekan non Mahayanis juga suka ditanya buah sukun yang dijawab malah buah mangga. Suka lari dengan menyatakan "wah pertanyaannya tidak valid" de el el... de el el.Berasumsi bahwa tidak ada perubahan spt penambahan bumbu dlm kanon Buddhis, maka Sang Buddha tentunya yg mengulangi cerita tsb.
Sang Buddha tidak mengajar siapa-siapa waktu berjalan dan mengucapkan Raungan Singa di Taman Lumbini? Menarik sekali! Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu ceritera itu? Siapa yang menceritakan dan siapa yang diceritakan dan siapa saksinya?
Kalau memang semuanya hanya cerita, apakah Penerangan Sempurna itu juga bisa dipercaya? Jangan-jangan itu hanya cerita juga. Kalau memang benar cerita sia-sialah kita berpraktik selama ini, yaitu hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak ada.
Amiduofo,
Tan
“Ya, Kalama, tidaklah salah bila ragu-ragu, mempertanyakan apa yang diragukan dan apa yang tak jelas. Dalam persoalan yang meragukan, kebingungan timbul."
“Janganlah percaya begitu saja pada, suatu tadisi, desas desus atau logika ataupun kesimpulan semata-mata, atau sesudah merenungkan dan cocok dengan beberapa teori, atau karena rasa hormat kepada seorang petapa. Akan tetapi Kalama, kalau setelah kalian selidiki sendiri, kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan, patut dicela, dikecam oleh orang-orang bijaksana; hal-hal tersebut, bila, dilakukan dan dikerjakan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka Kalama tentu saja kalian harus menolaknya."
“Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah hal-hal ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?"
"Kerugian, Yang Mulia."
"Lalu, Kalama, bukankah orang ini karena telah dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, melakukan kejahatan, menyesatkan orang lain sehingga mengalami kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
'Ya, Yang Mulia."
"Karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal itu menguntungkan atau tidak menguntungkan?"
"Tidak menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak?"
"Tercela, Yang Mulia."
Apakah hal-hal ini dikecam oleh orang bijaksana atau tidak ?”
'Dikecam, Yang Mulia."
"Jika dilakukan atau dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kerugian dan penderitaan atau tidak?"
"Menimbulkan kerugian dan penderitam, Yang Mulia."
"Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang Kukatakan kepada kalian tadi: Janganlah percaya begitu saja melainkan setelah kalian selidiki sendiri kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan dan menimbulkan kerugian dan penderitam ... kalian harus menolaknya, inilah alasan-Ku membicarakannya."
"Kalama, janganlah ... percaya begitu saja. Tetapi bila kau ketahui bagi dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan, tidak tercela, dipuji oleh orang bijaksana; hal-hal ini bila dilakukan dan dikerjakan menimbulkan keuntungan dan kebahagiaan - maka, Kalama, setelah mengerjakan hal-hal ini, tinggallah di dalamnya."
"Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika kebebasan dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Apakah orang ini, yang tidak dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan dan membawa orang lain ke dalam kebahagiaan?"
'Ya, Yang Mulia."
"Oleh karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal ini menguntungkan atau tidak menguntungkan?'
"Menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal ini tercela atau tidak?"
"Tidak tercela, Yang Mulia."
Apakah hal-hal im dikecam atau dipuji oleh orang bijaksana?”
"Dipuji, Yang Mulia."
"Jika dilakukan dan dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kebahagiaan atau tidak?"
"Menimbulkan kebahagiaan, Yang Mulia!”
"Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang telah Kukatakan kepada kalian tadi: 'Janganlah percaya begitu saja ...tetapi ketahuilah oleh dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan ... dan menimbulkan kebahagiaan…lakukanlah hal-hal ini dan tinggallah di dalanmya,' inilah alasan-Ku membicarakannya.
karena cuma tau yg kisah Zen itu.... :P
mo coment aja.....
Guru Zen itu belum mencapai tingkat kesucian arahat.... karena masih mempunyai keinginan/cetana yg tidak termasuk Kiriya..
kalau menurut cerita dia membunuh kucing hanya untuk menghilangkan apa yg direbutkan bukan merupakan tindakan yg bijaksana.... ibarat seorang ayah yg merobek baju baru yg direbut oleh dua putrinya...
lagipula memang tidak dikatakan dia mencapai kesucian kan? hanya seorang guru...
mengenai Bhikkhu Sati kurang tau ceritanya kek gmana ;D
TAN:
Sama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.
Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.
Amiduofo,
Tan
HENDRAKO:
Jangan khawatir bro...
Arahatnya bisa merosot.......
TAN:
Sekarang saya kira bukan saatnya bercanda ya. Coba jawab dengan serius apakah seorang arahat bisa merosot?
Amiduofo,
Tan
Quote from: TanTepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?
Maksud saya, mungkin yakkha di kisah itu hanyalah gambaran karakter dari si penulis Sutta. Dalam banyak kisah Sutta Theravada, gaya cerita analogi ini sering ditemukan. Salah satunya adalah gaya cerita tentang Mara, yang maksudnya adalah gejolak batin sendiri.
NB: Mara memang makhluk. Tapi ada beberapa kisah yang memakai Mara sebagai wujud kotoran batin.Quote from: TanJadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."
Sang Buddha sudah tahu kalau Ambattha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya setelah ditegur. Makanya Sang Buddha tidak 'khawatir' dan berusaha mencegah yakkha memukul kepala Ambatha.Quote from: TanSama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.
Banyak bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Tapi mereka berusaha bertindak-tanduk dalam kebenaran (Dhamma). Dan mereka semua berusaha meneladani tindak-tanduk Sang Buddha. Apakah itu adalah kesalahan? Jadi mereka semua masuk Neraka Avici ya?
Oooo... begitu toh.
Rupanya ada pembunuhan dengan kasus tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kebaikan?
Rupanya masih mungkin bagi orang Yang Tercerahkan untuk dapat membunuh?
Berarti tanpa meniru pun, para teroris nun jauh di sana punya bekal-bekal Pencerahan seperti ini.Quote from: TanMengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Tidak ada maksud begitu. Saya hanya ingin mengetahui apakah maksudnya Sang Buddha lupa menyisipkan uraian mengenai perihal itu dalam penjelasan mengenai garuka kamma. Rupanya sudah jelas sekarang...
Kanon Mahayana itu seringkali mengandung wejangan-wejangan dari para Bhiksu sesepuh. Pantas saja banyak isi ajaran Buddhisme yang bertolak-belakang jika dibandingkan antar-sektenya.Quote from: TanPernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.
Amiduofo,
Tan
Apakah Sang Buddha menghardik dengan ucapan dan atau perlakuan yang bersifat kekerasan?
Mungkin 'kekerasan' di Ajaran Zen tidak terlalu parah.
Tapi kenapa Sang Buddha tidak memberi pengajaran dengan bumbu 'kekerasan' seperti itu?
Apakah maksudnya 'kekerasan' itu adalah metode mutakhir untuk mengajarkan Dharma?
Atau metode Sang Buddha itu kuno, jadi perlu direvisi?
Jadi maksudnya Bodhisattva Avalokitesvara sudah merealisasi Pencerahan ya?
Kok bisa sudah mencapai Nirvana (baca : menjadi Buddha) tapi masih bergelar Boddhisattva (baca : masih menderita)...?
Lihat ini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5314.0.html
Akan menjawab kira2 75 %....
_/\_
The Siddha Wanderer
TAN:
Saya jelaskan lagi ya. Bagi kaum Mahayanis kedua hal itu tidak bertentangan. Ketika Dharmakaya mengemanasikan dirinya sebagai Nirmanakaya (dalam hal ini Buddha Sakyamuni - Pangeran Siddharta), maka tentu saja itu adalah "kelahiran" terakhir sebagai Pangeran Siddharta. Untuk selanjutnya tidak ada lagi "kelahiran" sebagai Pangeran Siddharta. Jadi pandangan dalam Sutta Pali juga "benar" dan Mahayana juga "benar."
Mahayana juga mengajarkan upaya kausalya, jadi tatkala Bodhisattva Siddharta terlahir dan berjalan tujuh langkah serta mengeluarkan raungan singa (Simhanada); ungkapan "Inilah kelahiranKu yang terakhir" adalah ajaran bagi umat manusia untuk menapaki jalan Dharma demi menghentikan samsara. Tetapi proses emanasi sendiri berada di luar ruang dan waktu; sehingga bagi umat awam dikatakan "tak berakhir."
Kedua, Anda selalu berpikir bahwa dua statemen yang saling bertentangan tidak mungkin kedua-duanya benar. Ini adalah salah; kalau Anda belajar filsafat Dewey, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak selamanya demikian. Saya akan berikan suatu analogi yang mungkin tidak tepat benar (sekali lagi saya bilang ini adalah analogi, semoga Anda dapat memahami apa maksudnya "analogi"):
1.Lampu lalu lintas tidak menyala merah
2.Lampu lalu lintas menyala merah
Mana di antara kedua statemen yang nampak bertentangan itu yang benar? Jawabnya keduanya bisa benar tergantung kondisinya, karena lampu lalu lintas terkadang menyala merah dan terkadang tidak (kuning serta hijau). Tidak ada yang salah di antara kedua statemen di atas.
Jangan lupa pula bahwa kedua statemen yang saling bertetangan bisa juga keduanya salah. Contoh:
Air berwarna putih
Air berwarna hitam
Mana yang benar? Keduanya salah. Mengapa? Air itu TIDAK berwarna.
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya. Sebagaimana umat Buddha (khususnya Mahayana, entah kalau non Mahayana) yang baik kita hendaknya sedikit demi sedikit meluaskan wawasan kita dan tidak terjebak terus menerus dalam dikotomi sempit (kalau bukan kawan, maka ia adalah lawan).
Semoga tulisan saya cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Iya dong! Umat Mahayana harus sakti. Supaya tidak dipecundangi terus menerus oleh umat non Mahayana. Justru saya semakin yakin kebenaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Ya tidak bisa begitu donk. Kalau dikejar lantas bilang "diluar konsep." Apa bedanya dengan umat agama lain yang kalau diajak debat lantas bilang "T****N itu di luar konsep manusia." Ini tidak adil, rekan2 non Mahayana selalu mengejar rekan2 Mahayana dan meminta jawaban yang definitif. Tetapi waktu ditanya dengan pertanyaan di atas lantas dengan mudahnya menjawab "di luar konsep," "pertanyaan tidak valid," dan bla...bla...bla.. Mana letak keadilannya. Supaya adil saya juga mau bilang ah: "Dharmakaya berada di luar konsep, sehingga "ada" dan "tiada" juga tidak valid." Habis perkara bukan? Pelajaran yang bisa diambil adalah: Kita semua adalah tukang bajak atau contek dari buku yang disebut Sutta, Sutra, tulisan para guru sesepuh, buku Dhamma, buku Dharma, dan entah apa lagi. Kita semua cuma debatin buku, sehingga pada akhirnya tidak akan ada ujung pangkalnya. Dengan demikian "pertanyaan kritis terhadap Mahayana juga tidak valid."
Sebagai tambahan, apa yang diungkapkan pada Aggi Vacchagota Sutta itu hanya dapat diselami oleh orang yang sudah bebas dualisme, tetapi kita semua di sini belum; jadi jangan mencoba "melarikan diri" dengan jawaban semacam itu. Tetapi kalau masih memaksa "lari" dengan jawaban semacam itu, rekan2 Mahayana juga berhak "lari" dengan cara yang sama.
TAN:
Menarik sekali. Jadi nibanna dengan sisa itu tidak memadamkan pancakkhandha bukan? Jadi yang memadamkan pancakkhanda adalah nibanna tanpa sisa yang dicapai melalui proses kematian. Oleh karena itu, nibanna tanpa sisa jadi dikondisikan oleh kematian donk? Atau seseorang mungkin mengalami nibanna tanpa sisa tanpa harus mengalami kematian? Kalau "padam" tidak berarti "tidak ada," maka begitu pula umat Mahayana berhak mengatakan suatu "penjelmaan" Dharmakaya dalam wujud Nirmakaya hendaknya tidak diartikan sebagai "ada." Hayoo yang adil ya......
Kesadaran yang mengenali pencapaian pencerahan kayaknya menarik. Sekarang pertanyaannya APA yang dikenali oleh vijnana tersebut sebagai telah mencapai pencerahan? Secara logika, bila Anda mengenali sesuatu, maka harus ada SESUATU yang dikenali bukan? Nah apakah yang dikenali itu? Atta atau bukan? Kalau bukan atta lantas apa?
Kalau bukan mampu atau tidak mampu terus apa? Sekali lagi ini jawaban yang ngambang dan tidak menjawab pertanyaannya. Kalau rekan Mahayana yang memberikan jawaban macam begitu, pasti deh rekan-rekan non Mahayana dengan "buas" akan mengejarnya habis-habisan. Sekarang saya tanya balik berdasarkan jawaban Anda. Jika Sang Buddha tidak ingin pertanyaannya dijawab oleh Ambattha, lalu mengapa ia menanyakannya sampai berulang2? Apalagi menurut saya pertanyaan itu adalah masalah sepele, yakni tinggi dan rendahnya derajat (Ambattha merasa keturunan Brahmana dan merasa lebih tinggi dari keturunan Khattiya). Apakah mendorong Buddha untuk menanyakan hal itu hingga berulang-ulang? Apakah Buddha menginginkan jawaban?
Anda bilang: "Tidak krn berbelas kasih lantas harus menghentikan apa yg harus terjadi, seorang arahat tidak lagi memiliki 'tanha' toh? Berhati2 dg cara pandang dan pola pikir yg naif, idealistis, krn Buddhism adlh ajaran yg realistis."
Pertanyaan saya: "Jadi menurut Anda membiarkan atau tidak mencegah kepala seseorang hancur dihajar gada hanya karena tidak menjawab suatu pertanyaan adalah tindakan yang sangat realistis ya?"
TAN:
Sumbernya ya sama. Yang pasti Bhikkhu Sati sampai menunduk malu. Entah itu disebut "hardik" atau tidak, saya tidak tahu. Apakah bijaksana misalnya bila Anda berbuat salah, lalu boss Anda memarahi Anda di hadapan karyawan lainnya?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Sama juga lah. Rekan-rekan non Mahayanis juga suka ditanya buah sukun yang dijawab malah buah mangga. Suka lari dengan menyatakan "wah pertanyaannya tidak valid" de el el... de el el.
Sang Buddha tidak mengajar siapa-siapa waktu berjalan dan mengucapkan Raungan Singa di Taman Lumbini? Menarik sekali! Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu ceritera itu? Siapa yang menceritakan dan siapa yang diceritakan dan siapa saksinya?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Jangan lupa pula, Sang Buddha ditemani oleh yakkha Vajirapani yang membawa2 gada. Gadanya sangat ampuh lho. Sekali hantam kepala orang bisa pecah jadi tujuh seperti biji arjaka. Dashyat sekali!
Yang sama juga jangan dibeda-bedakan. Hehehehe
Amiduofo,
Tan
Tetapi kenyataannya Anda juga sudah berusaha menjelaskan bahwa nibanna, kendati Anda mengatakan bahwa "nibanna berada di luar konsep." Jadi penjelasan Anda juga kontradiktif. Anda menuduh seseorang melakukan kesalahan, tetapi pada kenyataannya Anda melakukan kesalahan yang sama. Pernyataan Anda (Xuvie): "Kenyataannya memang Nibbana dlm aspek transendental adlh di luar konsep." adalah juga sebuah KONSEP. Jadi pendek atau panjang Anda sudah berkonsep. Pelajaran dari hal ini adalah, kita hendaknya bijaksana dalam menuduh pihak lawan. Jangan-jangan Anda juga melakukan kesalahan sama yang mungkin lebih fatal.
Saya perlu tanyakan kembali berulang kali. Kalau begitu nibanna tanpa sisa itu lebih tinggi dari nibanna bersisa donk. Karena dalam nibanna tanpa sisa semua skandha sudah dipadamkan, maka tentu lebih tinggi donk?
Kedua, nibanna tanpa sisa hanya dapat dicapai setelah kematian. Pertanyaan saya berarti nibanna tanpa sisa hanya terkondisi oleh kematian donk? Nibanna masih terkondisi kalau begitu? Anda belum menjawab pertanyaan saya: "Apakah seseorang dapat mencapai nibanna tanpa sisa tanpa melalui proses kematian?" Dapat atau tidak? Mohon dijawab yang jelas.
Saya tidak tanya definisi menurut kamus. Jika Anda tidak setuju bahwa setelah "padam" tidak ada apa-apa. Maka Anda seharusnya setuju bahwa setelah padam masih mungkin "ada apa-apa," bukan? Mohon dijawab juga yang jelas.
Oh ya. Jawabannya masih seperti ini juga. Kalau begitu semua kritikan terhadap Mahayana juga tidak "apply." Anehnya, Anda menyatakan bahwa Sang Buddha masih bisa "menuntut." Apakah seorang Buddha masih bisa "menuntut" seseorang? Keluar dari apakah tuntutan itu? Kata Anda sebelumnya sudah tidak punya keinginan lalu atas dasar apa Beliau menuntut? Penjelasan Anda kontradiktif dengan sebelumnya. Sang Buddha masih ingin agar Ambattha terhindar dari konsekuensi penghancuran kepala oleh Vajirapani, jadi Beliau menuntut jawaban dari Ambattha. Jadi Sang Buddha masih punya keinginan atau harapan donk? Bagaimana ini? Mana keterangan Anda yang benar?
Kalau begitu semoga boss Anda yang bijaksana itu memarahi Anda di hadapan orang banyak agar Anda tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama di kemudian hari (kalau ada).
Berarti tulisan saya juga benar donk, kalau Buddha mengucapkan hal itu untuk mengajar, karena toh Beliau mengulanginya di kemudian hari di hadapan siswa2Nya.Itu mujizat, memang. Makanya perhatikan dong saya tulis 'penuh' sebelumnya. Di Theravada ada, tetapi tidak terlalu berlebihan dan dilebih2kan, gampangnya, "tidak penuh" hanya sekadarnya.
Di Mahayana banyak mukjizat? Hmm di non Mahayana tidak ada mukjizat ya? Lalu berikut ini apa?
1.Buddha memancarkan api dan air secara bersamaan.
2.Buddha menciptakan tangga keemasan saat turun dari surga setelah membabarkan Abhidhamma
3.Buddha melindungi Suriya ketika hendak dimangsa oleh Rahu, seperti yang tercantum dalam Samyutta Nikaya.
4.Nimmita Buddha yang berasal dari Buddha Sakyamuni
5.Batu hancur berkeping2 waktu Devadatta hendak membunuh Buddha.
dll.
Itu bukan mukjizatkah? Hmmmmm......
Selanjutnya, pernyataan saya bahwa itu adalah “kelahiran terakhir” bagi sosok Siddharta juga tetap valid, karena pada kenyataannya pada masa berikutnya memang tidak ada sosok Pangeran Siddharta lagi; terlepas dari apakah Sang Bodhisatta pada kehidupan lampaunya pernah mengucapkan proklamasi semacam itu ada tidak.
Memang spekulatif, tetapi Anda tidak bisa membuktikan secara PASTI bahwa pernyataan saya salah. Selama Anda tidak bisa melakukan TIME TRAVEL dan mengunjungi masing-masing kehidupan Bodhisatta itu di masa lampau, maka apa yang saya ungkapkan masih mungkin memiliki derajat kebenaran; sehingga Anda tidak punya hak untuk mengklaimnya sebagai kesalahan.Memang benar, tetapi berhub sebagaimana kaum non-Mahayanis meyakini kanon Pali, dan Anda sbg kaum Mahayana pun mengakui kebenaran Agama Sutra, maka bisa kembali lagi ke 4 kewibawaan utk mengecek ke Dhamma-Vinaya yg telah diajarkan Sang Gotama.
nibanna sebagai pembebasan dukkha adalah omong kosong dan salah. Parinibbanalah yang menjadi pembebasan dari semua sebab-sebab dukkha. Lalu pertanyaan saya apakah gunanya nibanna apakah gunanya parinibanna? Apakah parinibanna dan nibanna itu adalah dua entitas yang terpisah?Anda boleh membantah, silakan diperiksa kembali. Yakinkah Anda bahwa Saupadisesa nibbana dan Anupadisesa Nibbana tidak termuat dlm pembahasan Mahayana? Bukankah Mahayana mengklaim kalau ajaran Mahayana pun telah mencakup ajaran Theravada? Berarti itu bukan kelitan non-Mahayanis, melainkan Mahayanis sendiri.
Pertanyaan saya :”Apakah nibanna tanpa sisa dapat dicapai tanpa kematian?” tidak pernah dijawab. Justru ini membuktikan ketidak-konsisten pandangan non Buddhis tentang nibanna.Entah apakah terlewat dan tidak membaca atau kebanyakan debu di mata?
Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin.Sudah dijelaskan pula bahwa pertanyaan tsb sendiri berkontradiksi, bagaimana mungkin disebut nibbana tanpa sisa bila tanpa kematian? Twisted!!
SEkarang meminjam dari postingan rekan non Mahayana di sini, bahwa kalau ada dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin dua-duanya benar. Mari kita cermati dua statemen Anda:Tidak jelas. Postingan rekan non Mahayana yg manakah yg dimaksud di sini? Tolong kutipkan agar kita bisa melihat jelas, sertakan sumber dg jelas, tdk perlu 'rekan non-Mahayana' krn itu bisa berarti banyak orang.
1.Buddha bukan lenyap
2.Buddha bukan kekal
Mana dia antara dua pernyataan yang saling bertentangan itu yang benar?
Mari kita cermati pernyataan ini: “karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana.” Pertanyaan saya: “Sebelum parinibanna masih ada diri tidak?”
Ada rekan non Mahayanis yang menyatakan bahwa nibanna itu di luar konsep, tetapi sekarang Anda menyatakan bukan di luar konsep. Nah lagi-lagi mana yang benar nih?
Jawabannya masih yang itu-itu juga. Anda bilang: “karena INGIN membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri” Berarti Sang Buddha punya keinginan donk? Ini sekali kontradiktif dengan pernyataan2 sebelumnya, bahwa seorang Buddha tidak punya keinginan lagi. Ternyata menurut Anda Buddha masih punya keinginan lho.Anda terlalu detil & perhatian pd kata2 dr lawan bicara. Sehingga sedikit kesalahan spt 'menuntut' dan 'ingin' yg di atas langsung digembar-gemborkan. Tentunya Anda bisa memaklumi sedikit kesalahan sebagaimana yg Bro Upasaka tulis, kan? Dan bukankah ada dikatakan dlm sutra sesepuh Anda bahwa 'jangan melihat jari, tetapi lihatlah bulan'
Pertanyaan saya: Jika Sang Buddha tahu bahwa Ambattha tidak akan menjawab pertanyaannya, apakah BEliau akan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya?
-Bagi saya seorang Sammasambuddha TIDAK bisa mengeluarkan kata-kata sepele. Jadi kemungkinannya Sutta itu yang bermasalah, jadi bukan Sammasambuddhanya. Nah, biasanya rekan non Mahayanis mengkritik Sutra Mahayana, kini giliran saya mengkritik Sutta non Mahayanis.
-Semua kitab termasuk yang bermasalah sekalipun tetap ada amanatnya. yaitu: “Jangan menuduh dan merendahkan orang sembarangan. Jangan-jangan orang yang merendahkan atau menuduh itu justru punya kesalahan yang lebih besar.”
Begitu pula, seorang Bhikshu Zen memukul dengan tongkat atau membunuh seekor kucing karena para siswanya telah melakukan kesalahan. Dengan “memukul” atau memberikan tindakan semacam itu – yang beliau lakukan seolah sebagai kebenaran, tujuan sang Bhikshu adalah membenarkan kesalahan murid-muridnya. Sekaligus memberikan petikan amanah yang juga bermanfaat bagi para siswa lainnya.
Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.
Wah ga bisa begitu donk. Ga adil! Apakah rekan-rekan non Mahayanis boleh mengkritik Mahayanis sedangkan rekan2 Mahayanis tidak boleh mengkritik non Mahayanis? Kritikan itu adalah bagian dari jawaban yang tak dapat dipisahkan. Saya bisa buka thread sendiri, tetapi tidak akan efektif karena semuanya berkaitan. Akan membuang2 waktu kalau saya harus membalas di dua thread padahal keduanya saling berkaitan.
Jika rekan2 non Mahayanis tidak bersedia dikritik, maka dengan senang hati saya akan mundur. Untuk apa saya berdiskusi dengan orang yang tidak bersedia balik dikritik?
Quote from: TanTepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?
Maksud saya, mungkin yakkha di kisah itu hanyalah gambaran karakter dari si penulis Sutta. Dalam banyak kisah Sutta Theravada, gaya cerita analogi ini sering ditemukan. Salah satunya adalah gaya cerita tentang Mara, yang maksudnya adalah gejolak batin sendiri.
NB: Mara memang makhluk. Tapi ada beberapa kisah yang memakai Mara sebagai wujud kotoran batin.Quote from: TanJadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."
Sang Buddha sudah tahu kalau Ambattha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya setelah ditegur. Makanya Sang Buddha tidak 'khawatir' dan berusaha mencegah yakkha memukul kepala Ambatha.Quote from: TanSama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.
Banyak bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Tapi mereka berusaha bertindak-tanduk dalam kebenaran (Dhamma). Dan mereka semua berusaha meneladani tindak-tanduk Sang Buddha. Apakah itu adalah kesalahan? Jadi mereka semua masuk Neraka Avici ya?
Oooo... begitu toh.
Rupanya ada pembunuhan dengan kasus tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kebaikan?
Rupanya masih mungkin bagi orang Yang Tercerahkan untuk dapat membunuh?
Berarti tanpa meniru pun, para teroris nun jauh di sana punya bekal-bekal Pencerahan seperti ini.Quote from: TanMengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Tidak ada maksud begitu. Saya hanya ingin mengetahui apakah maksudnya Sang Buddha lupa menyisipkan uraian mengenai perihal itu dalam penjelasan mengenai garuka kamma. Rupanya sudah jelas sekarang...
Kanon Mahayana itu seringkali mengandung wejangan-wejangan dari para Bhiksu sesepuh. Pantas saja banyak isi ajaran Buddhisme yang bertolak-belakang jika dibandingkan antar-sektenya.Quote from: TanPernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.
Amiduofo,
Tan
Apakah Sang Buddha menghardik dengan ucapan dan atau perlakuan yang bersifat kekerasan?
Mungkin 'kekerasan' di Ajaran Zen tidak terlalu parah.
Tapi kenapa Sang Buddha tidak memberi pengajaran dengan bumbu 'kekerasan' seperti itu?
Apakah maksudnya 'kekerasan' itu adalah metode mutakhir untuk mengajarkan Dharma?
Atau metode Sang Buddha itu kuno, jadi perlu direvisi?
Saudara Tan...
Pertanyaan-pertanyaan saya di atas juga Anda tunda ya?
TAN:
Well! Saya berhak menyatakan pula alur logika sebagai berikut: Pemuda Sumedha yang menerima Vekkarana dari Buddha Dipankara tidak merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Seekor anak ayam jantan tidak merealisasi Penerangan Sempurn pada kurun waktu kehidupannya. Itulah sebabnya, mereka tidak menyatakan “Inilah Kelahiranku yang terakhir.” Beda kasusnya dengan Pangeran Sidharta yang merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Karena itu, ia menyatakan bahwa itulah kelahirannya yang terakhir.
Konsep Mahayana sudah jelas bahwa nirmanakaya merupakan emanasi dari Dharmakaya, yang tujuannya adalah membimbing para makhluk menuju Jalan Dharma. Itulah sebabnya, Beliau mengucapkan mengenai “Kelahiran Terakhir” yang mengacu pada pembebasan dari samsara.
Jadi, ungkapan semacam itu memang sudah sesuai dengan “hakikat” nirmanakaya pada saat itu; yakni “memperagakan” suatu “drama” Penerangan Sempurna. Demikianlah pandangan Mahayana. Karena itu, pertanyaan bahwa “seseorang yang sudah merealisasi Penerangan Sempurna di masa lampau” kini “mencapai Penerangan Sempurna lagi tidaklah valid. Mengapa? Karena Penerangan Sempurna itu hanya suatu “drama agung” demi mengajar umat manusia.
Selanjutnya, pernyataan saya bahwa itu adalah “kelahiran terakhir” bagi sosok Siddharta juga tetap valid, karena pada kenyataannya pada masa berikutnya memang tidak ada sosok Pangeran Siddharta lagi; terlepas dari apakah Sang Bodhisatta pada kehidupan lampaunya pernah mengucapkan proklamasi semacam itu ada tidak.
Kalau mau pakai bahasa ngotot-ngototan saya juga bisa berkelit dengan menyatakan bahwa mungkin saja Bodhisatta Sumedha di masa lalu mengucapkan hal semacam itu, hanya saja tidak dicatat dalam Tipitaka. Toh di Tipitaka juga tidak mencatat semua hal. Anda mungkin membantah: “Bagaimana bisa!” sambil memelototkan mata. Saya bilang bisa saja! Toh Tipitaka juga tidak mencatat warna celana yang dipakai Sumedha. Jadi Tipitaka tidak mencatat segalanya. Mungkin Anda membantah lagi dengan menyatakan: “Ah, pernyataan spekulatif!” Memang spekulatif, tetapi Anda tidak bisa membuktikan secara PASTI bahwa pernyataan saya salah. Selama Anda tidak bisa melakukan TIME TRAVEL dan mengunjungi masing-masing kehidupan Bodhisatta itu di masa lampau, maka apa yang saya ungkapkan masih mungkin memiliki derajat kebenaran; sehingga Anda tidak punya hak untuk mengklaimnya sebagai kesalahan.
TAN:
Ah ya benar sekali! Tapi tambahkan pula pernyataan bahwa kedua statemen di atas harus mengacu pada satu lampu, pada tempat, dan waktu yang sama. Tanpa tambahan keterangan itu, mungkin saja masing-masing statemen mengacu pada dua lampu bohlam yang berbeda atau satu lampu pada saat yang berbeda.
Anggap saja semua kondisi sudah dipenuhi. Tetapi seperti kelitan yang biasa dilontarkan rekan non Mahayanis, saya juga akan menjawab bahwa analogi atau dua statemen Anda di atas tidak valid bila dikenakan pada kasus Mahayana (dan memang menurut saya adalah demikian adanya).
Amiduofo,
Tan
TAN:
Tetapi bagaimanapun juga penjelasan non Mahayanis selalu memancing dikotomi antara nibanna dan parinibbana. Ini yang justru membuat segalanya menjadi rumit dan terkesan kontradiktif. Jika parinibanna adalah terhentinya semua sebab-sebab dukkha, maka ketika seorang Buddha “baru” mencapai nibanna (belum parinibanna) maka sebab-sebab dukkha itu masih ada. Demikiankah maksud Anda? Karena itu, berdasarkan konsep di atas, nibanna sebagai pembebasan dukkha adalah omong kosong dan salah. Parinibbanalah yang menjadi pembebasan dari semua sebab-sebab dukkha. Lalu pertanyaan saya apakah gunanya nibanna apakah gunanya parinibanna? Apakah parinibanna dan nibanna itu adalah dua entitas yang terpisah?
TAN:
Tidak juga. Justru tidak konsisten. Contohnya seperti dikotomi antara nibanna dan parinibanna; antara nibanna dengan sisa dan tanpa sisa. Kalau benar nibanna tanpa sisa itu tak terkondisi, mengapa hanya dapat dicapai setelah kematian? Pertanyaan saya :”Apakah nibanna tanpa sisa dapat dicapai tanpa kematian?” tidak pernah dijawab. Justru ini membuktikan ketidak-konsisten pandangan non Buddhis tentang nibanna.
Hahaha. SEkarang meminjam dari postingan rekan non Mahayana di sini, bahwa kalau ada dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin dua-duanya benar. Mari kita cermati dua statemen Anda:
1.Buddha bukan lenyap
2.Buddha bukan kekal
Mana dia antara dua pernyataan yang saling bertentangan itu yang benar?
Mari kita cermati pernyataan ini: “karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana.” Pertanyaan saya: “Sebelum parinibanna masih ada diri tidak?”
TAN:
Ada rekan non Mahayanis yang menyatakan bahwa nibanna itu di luar konsep, tetapi sekarang Anda menyatakan bukan di luar konsep. Nah lagi-lagi mana yang benar nih?
Amiduofo,
Tan
TAN:
Jawabannya masih yang itu-itu juga. Anda bilang: “karena INGIN membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri” Berarti Sang Buddha punya keinginan donk? Ini sekali kontradiktif dengan pernyataan2 sebelumnya, bahwa seorang Buddha tidak punya keinginan lagi. Ternyata menurut Anda Buddha masih punya keinginan lho.
Pertanyaan saya: Jika Sang Buddha tahu bahwa Ambattha tidak akan menjawab pertanyaannya, apakah BEliau akan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya?
TAN:
Ada yang ingin saya jawab:
-Menurut saya YA. Mengapa? Karena yang diributkan adalah masalah status atau kedudukan. Tentunya bagi seorang Samyaksambuddha suatu status adalah “tidak penting lagi” bukan? Atau menurut Anda status atau kasta (Brahmana vs. Khattiya) masih penting bagi seorang Sammasambuddha? Jika bagi Anda pertanyaan itu bukan sepele, maka kesimpulannya seorang Sammasambuddha masih mementingkan status.
-Bagi saya seorang Sammasambuddha TIDAK bisa mengeluarkan kata-kata sepele. Jadi kemungkinannya Sutta itu yang bermasalah, jadi bukan Sammasambuddhanya. Nah, biasanya rekan non Mahayanis mengkritik Sutra Mahayana, kini giliran saya mengkritik Sutta non Mahayanis.
-Menurut saya, banyak rekan non Mahayanis yang sudah cukup cerdas untuk memetik amanah dari ajaran Mahayana. Tapi kenapa mereka terus mengungkit ajaran Mahayana? Apakah mereka ingin mempertobatkan semua umat Mahayana menjadi non Mahayana?
-Semua kitab termasuk yang bermasalah sekalipun tetap ada amanatnya. yaitu: “Jangan menuduh dan merendahkan orang sembarangan. Jangan-jangan orang yang merendahkan atau menuduh itu justru punya kesalahan yang lebih besar.” Waktu Ambattha memaki suku Sakya sebagai keturunan rendah, justru Ambattha sendiri yang keturunan wanita pelayan. Nah ini pelajaran berharga yang bisa dipetik. Jangan merendahkan kalau tidak mau direndahkan.
Amiduofo,
Tan
TAN:
Dengan alasan yang sama. Apakah seorang Bhikshu Zen yang memukul dengan tongkat merugikan muridnya? Jawabannya tentu tidak, justru “pukulan” tongkat itu membuat siswa tersadarkan dan kembali bermeditasi dengan benar. Dengan kata lain, “pukulan” tongkat itu memberi keuntungan bagi sang siswa.
TAN:
Begitu pula, seorang Bhikshu Zen memukul dengan tongkat atau membunuh seekor kucing karena para siswanya telah melakukan kesalahan. Dengan “memukul” atau memberikan tindakan semacam itu – yang beliau lakukan seolah sebagai kebenaran, tujuan sang Bhikshu adalah membenarkan kesalahan murid-muridnya. Sekaligus memberikan petikan amanah yang juga bermanfaat bagi para siswa lainnya.
TAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,
Tan
Quote from: TanTAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,
Tan
- Kucing itu berjasa? Kucing itu akan terlahir ke alam yang lebih baik? Everybody’s happy? Bagaimana mungkin?? Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor… Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. Dan siapa tahu timbunan karma burukya masih banyak… Dan saya ini penggemar kucing loh. Bagaimana pun, saya tetap akan sedih melihat kucing dibunuh. Jadi setidaknya tindakan itu tidak bias membuat semua orang happy.
Quote from: TanTAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,
Tan
- Kucing itu berjasa? Kucing itu akan terlahir ke alam yang lebih baik? Everybody’s happy? Bagaimana mungkin?? Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor… Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. Dan siapa tahu timbunan karma burukya masih banyak… Dan saya ini penggemar kucing loh. Bagaimana pun, saya tetap akan sedih melihat kucing dibunuh. Jadi setidaknya tindakan itu tidak bias membuat semua orang happy.
- Wow… Sungguh Boss teladan. Kalau begitu, Office Boy itu pasti senang sekali punya Boss seperti itu. Kelak jika Boss itu menumpahkan kopi di lantai, maka Boss itu juga yang akan membersihkannya sendiri. Hahaha…
- Anda mau berjasa bagi banyak makhluk bukan? Pergilah ke pedalaman suku-suku primitif, dan berikanlah diri Anda sebagai tumbal persembahan bagi dewa-dewa mereka. Mungkin saja mereka akan mendapat pencerahan dari perbuatan itu. No offense loh… ;D
Coba renungkan kembali, Bro!
To Hendrako:
Mari perhatikan ungkapan Anda berikut ini:
Jangan khawatir bro...
Arahatnya bisa merosot.......
Bandingkan dengan yang ini:
Menurut pengertian saya sejauh ini, seorang Arahat tidak akan merosot.
Saya serius loh.
Kesimpulannya:
Anda orang yang plin plan dan kontradiktif.
Amiduofo,
Tan
Saya jelaskan lagi ya. Bagi kaum Mahayanis kedua hal itu tidak bertentangan. Ketika Dharmakaya mengemanasikan dirinya sebagai Nirmanakaya (dalam hal ini Buddha Sakyamuni - Pangeran Siddharta), maka tentu saja itu adalah "kelahiran" terakhir sebagai Pangeran Siddharta. Untuk selanjutnya tidak ada lagi "kelahiran" sebagai Pangeran Siddharta. Jadi pandangan dalam Sutta Pali juga "benar" dan Mahayana juga "benar."saudara tan,
Mahayana juga mengajarkan upaya kausalya, jadi tatkala Bodhisattva Siddharta terlahir dan berjalan tujuh langkah serta mengeluarkan raungan singa (Simhanada); ungkapan "Inilah kelahiranKu yang terakhir" adalah ajaran bagi umat manusia untuk menapaki jalan Dharma demi menghentikan samsara. Tetapi proses emanasi sendiri berada di luar ruang dan waktu; sehingga bagi umat awam dikatakan "tak berakhir."
Kedua, Anda selalu berpikir bahwa dua statemen yang saling bertentangan tidak mungkin kedua-duanya benar. Ini adalah salah; kalau Anda belajar filsafat Dewey, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak selamanya demikian. Saya akan berikan suatu analogi yang mungkin tidak tepat benar (sekali lagi saya bilang ini adalah analogi, semoga Anda dapat memahami apa maksudnya "analogi"):
1.Lampu lalu lintas tidak menyala merah
2.Lampu lalu lintas menyala merah
Mana di antara kedua statemen yang nampak bertentangan itu yang benar? Jawabnya keduanya bisa benar tergantung kondisinya, karena lampu lalu lintas terkadang menyala merah dan terkadang tidak (kuning serta hijau). Tidak ada yang salah di antara kedua statemen di atas.
Jangan lupa pula bahwa kedua statemen yang saling bertetangan bisa juga keduanya salah. Contoh:
Air berwarna putih
Air berwarna hitam
Mana yang benar? Keduanya salah. Mengapa? Air itu TIDAK berwarna.
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya. Sebagaimana umat Buddha (khususnya Mahayana, entah kalau non Mahayana) yang baik kita hendaknya sedikit demi sedikit meluaskan wawasan kita dan tidak terjebak terus menerus dalam dikotomi sempit (kalau bukan kawan, maka ia adalah lawan).
Semoga tulisan saya cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
MARCEDES:
daripada membahas A,B,C lalu Z.. pada akhirnya hanya NOL besar yg didapat.
apa tidak cape?....cape d.
TAN:
Kalau rekan2 non Mahayana berhenti membahas A, B, C, lalu Z maka saya juga berhenti. Prinsipnya "Anda jual kami beli." Meskipun hasilnya NOL besar saya juga akan tetap meladeninya.
“Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."
Amiduofo,
Tan
seinget i :-? bhiksu yg ngebelek kucing itu gak diterangkan sudah mencapai pencerahan atau belum deh :DIngat cerita Chandra Mukti? Gurunya perokok tapi melarang muridnya untuk tidak merokok?
Ko Tan
[Lagi-lagi sangat subyektif. Tanggapannya tidak terlalu bermutu untuk terlalu banyak saya tanggapi. Saya cuma mau bilang “rasional” dan “tidak rasional” itu sangat subyektif. Karena sesuai dengan selera Anda, maka Anda bilang “rasional” kalau tidak ya Anda bilang “tidak rasional.” Sekali lagi celotehan seperti di atas tidak ada artinya bagi saya. Lagian apakah dalam hidup Anda, Anda tidak pernah mendapatkan pertolongan orang lain? Nah orang yang menolong Anda itu boleh dikatakan sebagai “bodhisattva.” bagi anda sendiri Setidaknya demikian menurut Mahayana. Jadi kita disarankan untuk saling menjadi “bodhisattva” bagi sesama kita. Dengan demikian dunia jadi indah. Rasional ga filsafat Mahayana yang ini?]
seinget i :-? bhiksu yg ngebelek kucing itu gak diterangkan sudah mencapai pencerahan atau belum deh :DIngat cerita Chandra Mukti? Gurunya perokok tapi melarang muridnya untuk tidak merokok?
Ingat cerita gurunya yang pemarah dan suka bilang kasar dan melarang muridnya untuk mengikuti tingkah lakunya?
Apakah kualitas Guru seperti itu yang harus kita ikuti?
Ko Tan
[Lagi-lagi sangat subyektif. Tanggapannya tidak terlalu bermutu untuk terlalu banyak saya tanggapi. Saya cuma mau bilang “rasional” dan “tidak rasional” itu sangat subyektif. Karena sesuai dengan selera Anda, maka Anda bilang “rasional” kalau tidak ya Anda bilang “tidak rasional.” Sekali lagi celotehan seperti di atas tidak ada artinya bagi saya. Lagian apakah dalam hidup Anda, Anda tidak pernah mendapatkan pertolongan orang lain? Nah orang yang menolong Anda itu boleh dikatakan sebagai “bodhisattva.” Setidaknya demikian menurut Mahayana. Jadi kita disarankan untuk saling menjadi “bodhisattva” bagi sesama kita. Dengan demikian dunia jadi indah. Rasional ga filsafat Mahayana yang ini?]
RYU
Berarti Pencuri yang baik hati seperti kisah Robin Hood adalah Budhisatva, hmmmm baru tau aye nih ;D
MARCEDES:
daripada membahas A,B,C lalu Z.. pada akhirnya hanya NOL besar yg didapat.
apa tidak cape?....cape d.
TAN:
Kalau rekan2 non Mahayana berhenti membahas A, B, C, lalu Z maka saya juga berhenti. Prinsipnya "Anda jual kami beli." Meskipun hasilnya NOL besar saya juga akan tetap meladeninya.
“Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."
Amiduofo,
Tan
Jadi ingat ayat ini :seinget i :-? bhiksu yg ngebelek kucing itu gak diterangkan sudah mencapai pencerahan atau belum deh :DIngat cerita Chandra Mukti? Gurunya perokok tapi melarang muridnya untuk tidak merokok?
Ingat cerita gurunya yang pemarah dan suka bilang kasar dan melarang muridnya untuk mengikuti tingkah lakunya?
Apakah kualitas Guru seperti itu yang harus kita ikuti?
jawabannya mungkin terdapat dalam pameo terkenal ini ;D
"Logika anak SD dan Kuliah berbeda, jadi ngajarin pelajaran Kuliah ke anak SD gak bakal nyampe"
RYU:sekali lagi, yang di Bold itu persis sama yang di katakan Chandramukti.
RYU
Jadi Membunuh itu dibenarkan ya dalam kasus tertentu? Boleh tau di Sutra mana Buddha bilang boleh membunuh? Kalau benar ada ajakan atau pembenaran dalam membunuh dalam ajaran Buddha, tenyata Buddha itu sama saja dengan agama lain.
TAN:
Salah juga. Buddha tidak pernah melarang membunuh atau membolehkan membunuh. Justru ini bedanya dengan agama lain. Kalau agama lain itu semuanya berupa "perintah" atau "pengharusan" : jangan lakukan... engkau harus melakukan...
Tetapi Buddhadharma yang saya pahami tidak demikian. Buddha hanya mengajarkan konsekuensinya berupa karma. Anda diberi tahu kalau berbuat ini, maka karmanya begini.. berbuat itu... karmanya begitu.
Nah, mau dilakukan? Semua berpulang pada pribadi masing-masing.
Kembali ke kisah bhikshu Zen membelah kucing agar diskusi tidak berkepanjangan.
Baik, anggap saja kita tidak tahu apakah ia sudah pencerahan atau belum. Yang pasti dalam melakukan sesuatu Sang Guru sudah punya pertimbangan sendiri. Sebagai seorang guru Buddhis kita asumsikan bahwa ia tahun tentang hukum karma. Kalaupun menuai karmanya maka itu adalah urusannya.
Tetapi mari kita kilas balik. Sebenarnya tema pembicaraan waktu saya memberikan contoh tersebut adalah "kita hendaknya tidak mencontoh orang lain yang dianggap telah mencapai pencerahan." Namun temanya telah menjadi melebar.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah jangan meniru-niru guru Zen tersebut bila Anda tidak siap konsekuensinya.
Jadi jangan karena menganggap bahwa seseorang telah mencapai pencerahan kita mengikuti tindak tanduknya secara membuta. Itu saja pesannya.
Amiduofo,
Tan
RYU:Chandra pernah berkata, apakah Buddha pernah berkata dengan membunuh tidak bisa mencapai nibbana?
Ya, berarti menurut Chandra itu benar adanya, membunuh itu bisa menuntun ke Nibbana
Jadi malu aye kalah sama Chandra
TAN:
Saran saya dalam berdiskusi berikan tanggapan yang serius. Kalau Anda menulis seperti di atas, berarti saya menganggap Anda setuju dengan pendapat Chandra Mukti bahwa membunuh dapat membawa ke nibanna. Dengan demikian, saya anggap bahwa Anda sudah siap melakukan banyak pembunuhan. Mohon tanggapi berdasarkan topik yang terkait. Bila tidak, pada lain kesempatan saya tidak akan menganggap serius semua posting Anda.
Om Mani Padme Hum,
Tan
RYU:
sekali lagi, yang di Bold itu persis sama yang di katakan Chandramukti.
TAN:
Lihat keterangan di bawahnya dan jangan lihat sepotong2. Kalau Anda masih ngotot saya nyerah. Berarti agama Buddha ternyata ada larangan2 juga seperti agama lain ya.
Amiduofo,
Tan
RYU:memang ada, Vinaya Pitaka berisi larangan, memang ini hanya ditujukan untuk bhikkhu, tapi statement Sdr. Tan menyiratkan bahwa tidak ada larangan sama sekali, padahal ada
sekali lagi, yang di Bold itu persis sama yang di katakan Chandramukti.
TAN:
Lihat keterangan di bawahnya dan jangan lihat sepotong2. Kalau Anda masih ngotot saya nyerah. Berarti agama Buddha ternyata ada larangan2 juga seperti agama lain ya.
Amiduofo,
Tan
HATRED:
yg biru i tambahan dari i....
Komen : dalam diskusi yg kritis ini, menurut i om Tan jangan mnurunkan arti makna kosa kata deh
TAN:
Ga juga. Dalam Mahayana kita diajarkan untuk menjadi bodhisattva2 bagi semua makhluk. Prinsip ini sudah sesuai dengan ajaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
HATRED:
kalau bagi semua makhluk, maka saat kita berbuat baik pada papa mama, belum dapat dikatakan sebagai bodhisatva karena belum semua makhluk kita perlihatkan sikap bodhisatva.
biar lebih jelas.. coba bagaimana dengan contoh kasus berikut ini. menurut pendapat om Tan bagaimana jawaban dari sisi Mahayana?
Saya berbuat baik sama pacar saya, namun saya suka membunuh dengan dasar kebencian kepada manusia lain selain pacar saya. nah.. saya disebut bodhisatva gak? kenapa iya dan kenapa tidak?
TAN:
Menurut Anda? Kalau sudah tahu tidak perlu bertanya. Pertanyaan ini bisa dijawab sendiri. Jadi saya tidak akan menanggapinya lagi.
Amiduofo,
Tan
UPASAKA:
Hanya dengan kesabaran?
Jadi tidak perlu pakai usaha ya?
TAN:
Eitsss... Protes ke Sdr. Edward donk. Khan saya copy dan paste itu dari dia. Salah alamat Bung.
Kedua, siapa bilang ga pake usaha. Saya sudah menanggapi berkalimat2 terhadap kritikan rekan2 non Mahayana. Apakah itu bukan usaha?
Amiduofo,
Tan
Saya berbuat baik sama pacar saya
[at] Non-Mahayanis
Sebetulnya, apa sih yang kalian cari di sini?
biar lebih jelas.. coba bagaimana dengan contoh kasus berikut ini.
kalo saya nyari tau ;D
Saya baru aja dapat.Setelah "dapat", kira-kira perlu dilanjutin ga, bro?
Saya baru aja dapat.Setelah "dapat", kira-kira perlu dilanjutin ga, bro?
Bagi saya seh perlu. Tapi suasana sedang kurang kondusif...
Dan saat ini saya sedang tidak ingin melanjutkannya lagi.
Bagi saya seh perlu. Tapi suasana sedang kurang kondusif...
Dan saat ini saya sedang tidak ingin melanjutkannya lagi.
[at] Non-Mahayanis
Sebetulnya, apa sih yang kalian cari di sini?
[at] Non-Mahayanisaye mahayanis, mencari penjelasan tentang mahayanis ;D
Sebetulnya, apa sih yang kalian cari di sini?
RYU:kalau dari baca sutranya?
^^^ sumpe lah, aye khan kebaktian di vihara yang nyatu ama kelenteng
TAN:
Vihara yang menyatu dengan kelenteng bukanlah kriteria bahwa itu adalah vihara Mahayana. Saya pernah ke Vihara Mahavira Graha, tetapi kok sama sekali tidak menyatu dengan kelenteng ya? Sebaliknya malah ada suatu vihara yang menyatu dengan kelenteng, tetapi yang memimpin kebaktian di sana setiap minggunya adalah bhikkhu non Mahayanis.
Amiduofo,
Tan
^
kalau yg di atas benar, maka saya mau mengusulkan untuk membatalkan status BANNED dari member Chandra_Mukti19
RYU:
^^^ sumpe lah, aye khan kebaktian di vihara yang nyatu ama kelenteng
TAN:
Vihara yang menyatu dengan kelenteng bukanlah kriteria bahwa itu adalah vihara Mahayana. Saya pernah ke Vihara Mahavira Graha, tetapi kok sama sekali tidak menyatu dengan kelenteng ya? Sebaliknya malah ada suatu vihara yang menyatu dengan kelenteng, tetapi yang memimpin kebaktian di sana setiap minggunya adalah bhikkhu non Mahayanis.
Amiduofo,
Tan
RYU:
^^^ sumpe lah, aye khan kebaktian di vihara yang nyatu ama kelenteng
TAN:
Vihara yang menyatu dengan kelenteng bukanlah kriteria bahwa itu adalah vihara Mahayana. Saya pernah ke Vihara Mahavira Graha, tetapi kok sama sekali tidak menyatu dengan kelenteng ya? Sebaliknya malah ada suatu vihara yang menyatu dengan kelenteng, tetapi yang memimpin kebaktian di sana setiap minggunya adalah bhikkhu non Mahayanis.
Amiduofo,
Tan
Setuju Sama Ko Tan. Contoh paling Realistis Klenteng dengan Aliran Budhis non mahayanis ada.
Contohnya Klenteng Toa She Bio. Disitu klenteng juga ada. Kebaktian Non mahayanis pun terjadi malahan Sering kali Sangha non mahayanis ngadain kebaktian disana.
[at] atas n atas lg
wout? r u kidding me?
chandra mukti ama karuna mukti orang ya sama tah?
^justru aye merasa aneh makanya keluar :))
^
trus apakah ko ryu merasa ada yang salah dengan kebaktian tersebut? ^-^
so far, asik2 j kan... hehehe...
ada vihara yang menyatu dengan klenteng, malah melakukan tradisi non mahayanis
itu kan melanggar aturan, hehehe...
yang bisa terima klenteng itu kan cuma mahayanis? CMIIW
_/\_
[at] atas n atas lg
wout? r u kidding me?
chandra mukti ama karuna mukti orang ya sama tah?
[at] atas n atas lg
wout? r u kidding me?
chandra mukti ama karuna mukti orang ya sama tah?
beda, CM itu si pitung, kalau karuna mukti itu suhu fa hai alias gachapin
[at] atas n atas lg
wout? r u kidding me?
chandra mukti ama karuna mukti orang ya sama tah?
beda, CM itu si pitung, kalau karuna mukti itu suhu fa hai alias gachapin
2.Sikap membuang2 waktu, karena walau bagaimanapun saya tidak akan beralih keyakinan pada Non-Mahayana. Semakin saya tanggapi semoga mereka akan semakin sadar bahwa percuma berusaha mengubah keyakinan saya dari Mahayana ke non Mahayana.
lima hari ke Bandung dan tidak pake internet, ternyata topik ini sudah berkembang begitu pesat. Jadi tertinggal nih. Sementara ini mengamati dulu deh :)
oleh2 nya mana nech? ^-^
kebandung ada mampir ke t4 cogan ryu tak ye? hehehe...
TL:
Pemikiran Theravada adalah berdasarkan Nikaya Pali. Nikaya Pali 99% klaim mas Tan sama dengan agama sutra. Mahayana selain Agama Sutra adalagi kanon-kanon yang lain. klaim mas Tan ajaran Mahayana tidak bertentangan satu sama lain (berararti Agama Sutra tidak bertentangan dengan Prajna Paramita dll?) Jadi pertanyaannya:
1. Apakah Agama Sutra bagian dari kitab suci Mahayana atau bukan?
2. Apakah Agama Sutra bertentangan atau tidak dengan sutra-sutra yang lain? misalnya Prajna Paramita, Avatamsaka dll?
3. Bila agama sutra tidak bertentangan dengan sutra-sutra Mahayana yang lain, bukankah seharusnya ajaran Theravada sejalan dengan Mahayana?
Gitu aja kok kagak ngatri
TAN:
Anda sudah dikasih tahu berulang-ulang tetapi tidak mau mengerti. [Ada apa ya gerangan?] Saya ulangi lagi. Selain Agama Sutra, Mahayana juga mempunyai sutra-sutra Mahayana. Apakah ajarannya bertentangan? Tergantung sudut pandang Anda. Bagi saya tidak bertentangan. Kalaupun dalam sutra-sutra Mahayana ada yang seolah-olah mencela pratyekabuddha dan sravaka, maka itu bukanlah celaan kepada suatu aliran tertentu. Anda perlu melihat konteksnya, mengapa Buddha dalam Sutra Mahayana tersebut mengatakan demikian.
Sebagai contoh dalam Saddharmapundarika Sutra, Buddha mengatakan ke 500 arahat yang meninggalkan persamuan sebagai "dikuasai." Coba liat alasannya. Para arahat itu "merasa" dirinya telah mencapai pencerahan sempurna, sehingga mengira bahwa mereka tidak perlu lagi belajar. Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan. Nah, apakah seorang arahat dalam aliran non Mahayanis dapat merasa dirinya telah mencapai pencerahan? Bila tidak, maka pengertian shravaka dan pratyekabuddha dalam Mahayana tidaklah sama dengan savaka dan paccekabuddha dalam non Mahayana. Inilah yang perlu kita tempatkan dalam proporsinya masing2. Tidak bisa semuanya dihantam sama. Jadi selama ini apa yang Anda tuduhkan sangat tidak valid.
Ajaran keduanya mungkin memang berbeda, tetapi yang berbeda belum tentu bertentangan; kecuali ada pihak-pihak yang memaksakannya sebagai pertentangan. Sejauh kita memahami konteksnya tidak ada yang perlu dianggap bertentangan.
TL:
Jelas kan? siapa menjelekkan siapa? Saya tantang mas Tan untuk mencari sutta-sutta dalam Tipitaka pali yang isinya menjelek-jelekkan, merendahkan, dan menuduh tanpa dasar aliran Buddhis yang lain.
Menuduh tanpa dasar adalah pitenah.
TAN:
Hahaha! Sangat lucu. Ingat shravaka dan pratyekabuddha TIDAK mengacu pada suatu aliran tertentu. Bagaimana bisa dikatakan bahwa kutipan sutra di atas menjelek-jelekkan suatu aliran tertentu? Mungkin ada baiknya ada melatih logika atau kemampuan berbahasa Anda, sehingga dapat memahami suatu kutipan dengan baik. Sekarang saya balik bertanya. Oke mungkin memang benar Tipitaka Pali tidak pernah menjelek2an aliran lain, tetapi masalahnya apakah penganut Tipitaka Pali juga tidak pernah mendiskreditkan aliran lain?
TL:
Inilah yang dibilang diskusi pada tataran warung kopi, menuduh tanpa dasar, tanpa referensi
TAN:
Hahahaha. Pintar sekali Anda mengelak. Sungguh jurus mengelak Anda setajam silet. Tetapi saya kembalikan lagi ke pokok persoalannya, ya. Bila Anda tidak mau dituduh bahwa setelah nirvana "tidak ada apa-apa lagi," maka tentunya berarti Anda setuju bahwa setelah nirvana "masih ada apa-apa" bukan? Jika Anda mengatakan bahwa setelah nirvana "tidak ada apa-apa" lagi berarti "tuduhan" saya benar adanya. Hayooo jangan mengelak lagi.
TL:
Lantas apakah pernyataan seseorang, bahwa Parinibbana itu begini, begitu, bisa dianggap sebagai pernyataan valid atau hanya sekedar spekulasi?
TAN:
Lantas apakah pernyataan seseorang, bahwa Parinirvana itu TIDAK BISA begini, TIDAK BISA begitu, bisa dianggap sebagai pernyataan valid atau hanya sekedar spekulasi?
TL:
baca yang warna biru, jadi tidak berbohong demi bijaksana ya mas?
TAN:
Susah juga. Anda masih ngeyel bahwa itu adalah "berbohong." Bagi saya itu tidak berbohong, jadi ungkapan Anda di atas tidak valid dan bukan keharusan bagi saya untuk menjawabnya.
TL:
Boleh. Poinnya apa? kalau saya mengatakan bahwa pemikiran Nirvana dan Samsara identik merupakan jiplakan dari kitab suci Hindu.
poin apa yang sudah siap mas Tan buktikan dengan referensi bahwa ajaran non mahayanis berasal dari Nigantha Nataputta?
TAN:
Buku Filsafat India terbitan Pustaka Pelajar.
TL:
Kutip lagi aaahh THE HIGHEST TRUTH IS NO TRUTH
terjemahannya: Kebenaran / Dharma tertinggi adalah no truth (A-DHARMA) chuckle
Benar nggak mas?
TAN:
Salah besar dong. Bahasa Inggris Anda dapat berapa? Terus pernah belajar bahasa Sansekerta tidak? No-truth kok bisa disamakan dengan A-Dharma? Adharma itu terjemahannya yang tepat "sesuatu yang bertentangan dengan Dharma." Awalan A itu menunjukkan suatu negasi atau ingkaran. A Dharma itu lebih tepatnya NON TRUTH. No Truth artinya kebijaksanaan keshunyataan. Itu baru highest truth dan bukan diterjemahkan seenak perut sendiri sebagai A-Dharma. Lama-lama makin menggelikan juga.
TL:
Sang Buddha yang pengetahuanNya dan kebijaksanaanNya sangat dalam tak terukur, tak mungkin terjebak dalam spekulasi mengenai pengalaman yang belum Beliau alami sendiri.
TAN:
Sang Buddha memang dengan pengetahuanNya dan kebijaksanaanNya yang sangat dalam tak terukur memang tak mungkin terjebak dalam spekulasi..... tetapi bagaimana dengan Anda?
TL:
Sekarang saya Tanya apakah Seorang Bodhisatva dalam Mahayana sudah merasakan Nirvana atau belum?
Kayaknya pertanyaan saya belum dijawab
TAN:
Saya memang tidak mau menjawabnya. Bereskan dulu topik-topik yang belum selesai.
Amiduofo,
Tan
TL:
Kalau saya bisa membuktikan bahwa itu memang ada di kitab suci Hindu beranikah mas Tan mengakui bahwa ajaran itu memang berasal dari Hindu?
TAN:
Boleh saja, asal diakui bahwa ajaran non Mahayanis itu juga berasal dari Jain alias pengikut Nigantha Nataputta. Ya kita barter lah. Heheheeheheheheh
Amiduofo,
Tan
Boleh. Poinnya apa? kalau saya mengatakan bahwa pemikiran Nirvana dan Samsara identik merupakan jiplakan dari kitab suci Hindu.
poin apa yang sudah siap mas Tan buktikan dengan referensi bahwa ajaran non mahayanis berasal dari Nigantha Nataputta?
metta
INDRA:
Setuju, tapi OOT, kan ini cuma mau mengklarifikasi statement Sdr. Tan sebelumnya bahwa "seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan" namun faktanya, banyak sekali rujukan dalam Sutta bahwa Sang Buddha Gotama "yakin sekali" bukan sekedar "merasa" bahwa Beliau telah mencapai pencerahan
TAN:
Benar. Tapi dari mana Anda tahu bahwa Sang Buddha "yakin sekali" bahwa Beliau telah mencapai pencerahan? Mungkin Anda menjawab berdasarkan "kata-kata dari Sutta." Tetapi itu hanya kata-kata. Tak ada seorangpun yang akan pernah tahu apa yang sesungguhnya "diyakini" atau "dirasakan" Buddha. Sebagai tambahan lagi, Sutta2 atau Sutra2 itu tidak ditulis sendiri oleh Buddha. Semuanya diyakini berasal dari Ananda. Tetapi apakah benar dari Ananda? Secara tradisi ya. Tetapi apakah benar demikian? Kita tidak tahu. Tidak ada bukti sejarah yang menyatakan demikian. Semuanya hanya berdasarkan "belief." Oleh karena itu, bagi saya tidak seorangpun sanggup mengetahui dengan pasti atau yakin 100 % mengenai apa yang "dirasakan" atau "diyakini" Buddha.
Kedua, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kalau memang bahwa apa yang ada dalam Sutta itu dikatakan oleh Sang Buddha, maka itu adalah semata-mata upaya Beliau untuk mengajar para makhluk. Jadi mereka mengenal bahwa ada yang disebut "Penerangan Sempurna" tersebut. Ini adalah "jalan keluar" dari samsara. Tetapi menurut pandangan Mahayana (rujukan: Sutra Hati/ Prajna Paramita Hrdaya Sutra) begitu pencerahan dicapai maka tidak ada lagi "pencerahan," alasan:
1.Tidak ada lagi dualisme antara "pencerahan" dan "bukan pencerahan."
2.Menurut Mahayana nirvana dan samsara adalah "identik" atau tanpa dualisme di antaranya.
Bila demikian, masih adakah suatu "atman" yang "merasa" tercerahi? Saya kira ini akan dapat Anda jawab dengan mudah.
Jika dikatakan bahwa Sang Buddha "yakin sekali" dan bukan sekedar "merasa" bahwa Beliau telah mencapai pencerahan, maka ini akan kontradiksi dengan penjelasan rekan-rekan non Mahayanis lainnya, bahwa setelah seseorang mencapai nirvana, segenap pancaskandha yang membentuk suatu "aku" telah padam. Jika sang "aku" telah padam, apakah mungkin ada "aku" yang merasa tercerahi?
Saya kira penjelasan saya tidak OOT. Semoga penjelasan singkat ini cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
Tambahan untuk Xuvie:
Di dalam mazhab non Mahayanis ada juga ancaman. Bila tidak percaya silakan baca Ambattha Sutta. Kisah mengenai pemuda Ambattha yang pada mulanya tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha sebanyak dua kali. Buddha berkata bahwa jika seseorang tidak bersedia menjawab pertanyaan seorang Buddha hingga kali ketiga, maka kepala orang itu akan dipecahkan oleh yakkha Vajirapani yang saat itu sudah siap dengan senjata gadanya. Nah, menurut Anda apakah itu ancaman?
Selanjutnya, menurut ajaran Buddha kejahatan-kejahatan besar: melukai Buddha, membunuh ayah, membunuh ibu, dll dapat menjerumuskan seseorang ke neraka Avichi. Nah, apakah itu bukan ancaman?
Amiduofo,
Tan
INDRA:
Begini Sdr. Tan, saya tidak bisa membuktikan kebenaran/ketidak-benaran Tipitaka, jadi saya memilih untuk mengikuti para guru saya untuk mempercayai Tipitaka sampai terbukti salah, dan saya kira anda pun tidak memiliki kualifikasi untuk membantah kebenaran Tipitaka (maaf kalau dugaan saya salah). jadi untuk diskusi kita sebaiknya kita kesampingkan dulu pembahasan benar/salahnya isi Tipitaka.
nah bahwa terdapat banyak rujukan dalam Sutta yang mengatakan bahwa Sang Buddha menyatakan dirinya telah mencapai Pencerahan yang berarti mengkronfontasi statement anda berikut ini:
"Padahal seseorang yang telah mencapai pencerahan tidak akan merasa bahwa dirinya telah mencapai pencerahan."
saya kira akan lebih bijaksana anda mengemukakan rujukan yg sah untuk membantah ini. tidak cukup hanya dengan diplomasi. maksud saya, tolong tunjukkan sutta/sutra di mana Sang Buddha tidak menganggap dirinya tercerahkan.
TAN:
Oooo.. Anda mau rujukan ya? Oke2.. saya beri. Rujukannya adalah Sutra Hati atau Sutra Prajna Paramita Hrdaya. Silakan simak baik-baik:
"Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang melaksanakan Samadhi kebijaksanaan Sempurna untuk mencapai pantai sana (nirvana). Dalam pengamatan bathin dalam samadhinya,Beliatu telah menyaksikan dengan jelas sekali,bahwa lima kelompok kegemaran (Panca Skhanda) itu sebenarnnya kosong/tanpa inti. Dengan menyadari hal itu, maka Sang Avalokitesvara telah dapat terbebas dari sengsara dan derita.
O, Sariputra, wujud (rupa) tiada bedannya dengan kosong (sunya). Dan kosong (Sunya) juga tiada bedannya dengan wujud (rupa), jadi wujud pada hakekatnya sama dengan kosong dan kosong sama dengan wujud. Demikianlah pula halnya dengan perasaan, pikiran, tindak kemauan, dan kesadaran itu.
Sariputra, kekosongan dari semua bendainitidak dilahirkan,tidak termusnakan, tidak kotor, tidak bersih, tidak bertambah pun tidak berkurang.
Oleh karenanya,dengan kekosongan itu tiada berwujud,tiada perasaan, pikiran,tindak kemauan, dan kesadaran; tiada mata, telinga, hidup, lidah,tubuh danakal; tiada wujud, suara, bau rasa, sentuhan dan ide gagasan ; tiada alam penglihatan sampailah tiada alam kemampuan pikiran dan kesadaran (delapan belas alam pengenal)
Tiada ada kebodohan (avijja) pun tiada ada akhir kebodohan, sampai pun usia dan kematian, juga tiada ada akhir usia tua dan kematian. Tiada ada derita (Dukha), timbunan derita (samudaya), penghapusan derita(Nirodha) dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada ada kebijaksanaan pun tiada ada yang DICAPAI (DIREALISASI).
Karena tiadayang DICAPAI (DIREALISASI), maka Bodhisattva mengandalkan kebijaksanaan sempurna untuk mencapai pantai sana; oleh karena itu sanubarinya terbebaskan dari segala kemelekatan dan rintangan.
Karena tiada kemelekatan dan rintangan, maka tiada takut dan khwatir, dan mereka dapat bebas dari lamuna dan ketidaklaziman, dengan begitu mencapa Parinirvana.
Para Buddha dari jaman dahulu, sekarang dan yang akan datang mengandalkan pada kebijaksanaan sempurna memperoleh kesadaran tertinggi.
Maka kita tahu bahwa Maha Prajna Paramita adalah Mantra suci yang Agung, Mantra yang terunggul dan Mantra yang tiada taranya; yang benar dan pasti dapa menghapuskan semua derita.
Karena beliau mengucapkan Mantra Prajna Paramita yang berbunyi :
Gate Gate Paragate Parasamgate Boddhi Svaha !
Prajna Paramita Hrdaya Sutra"
Silakan perhatikan kata "DIREALISASI" yang saya tulis dengan huruf besar. Kata itu mengacu pada Penerangan Sempurna.
Sebelumnya, saya selaku umat Mahayana dengan tegas menyatakan bahwa Sutra-sutra Mahayana adalah juga berasal dari Hyang Buddha Sakyamuni. Sama seperti Anda, saya juga mengikuti guru-guru saya berpegang pada Sutra-sutra Mahayana, sampai terbukti bahwa sutra2 tersebut salah.
Jadi berdasarkan Sutra Hati di atas jelas sekali Buddha menyatakan bahwa setelah seorang merealisasi Penerangan Sempurna maka justru tiada lagi Penerangan Sempurna. Konsep ini bagi saya sudah cukup jelas, tetapi entah bagi Anda.
Kedua, konsep ini sudah jelas sekali bagi umat yang paham filosofi Mahayana dan bagi umat Mahayana tidak akan timbul pertanyaan2 semacam ini. Nah kutipan Sutra di atas sudah dengan jelas membuktikan bahwa Buddha tidak "merasa" dirinya tercerahkan. Saya kira sudah cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
Tambahan:
Mungkin memang ada bhikshu yang memukuli atau menyakiti muridnya dengan kebencian, tetapi ini adalah oknum dan tidak mencerminkan ajaran Mahayana itu sendiri. Ini juga umum dalam agama atau aliran lainnya. Saya ingat kata-kata dalam film Angel and Demon: "Agama itu ada kekurangannya, tetapi itu dikarenakan kelemahan manusia."
Om Mani Padme Hum,
Tan
Br. truth lover, harap diskusi dengan baik.
Ini bukan tempat tantang menantang. Percuma diskusi Dharma tapi dengan pikiran menantang lawan.
_/\_
The Siddha Wanderer
lima hari ke Bandung dan tidak pake internet, ternyata topik ini sudah berkembang begitu pesat. Jadi tertinggal nih. Sementara ini mengamati dulu deh :)Kenapa gak lapor nih :))
Saya harap mas Gandalf mengerti, saya memiliki hak menjawab kepada orang yang saya inginkan.
Dan pertanyaan ini bukan ditujukan kepada mas Gandalf. Jadi tak perlu penasaran bila tidak saya jawab.
Metta,
RYU:bukankah itu nanti akan berkembang ke pandangan salah?
Sutta diatas bagaimana menurut mahayanis? soalnya mahayanis dewanya banyak khan
TAN:
Di non Mahayanis apa tidak ada dewa2? Kalau begitu untuk apa baca Atananiya Sutta. Untuk apa baca Araddhanang devata?
Kalau dari segi berlindung atau tidak. Maka Mahayana juga sama2 mengajarkan kita untuk tidak berlindung pada para dewa.
Mahayana juga mengajarkan berbagai bentuk meditasi. Jika benar Mahayana hanya semata2 mengajarkan berlindung atau minta tolong pada dewa2. Untuk apa susah2 diajarkan meditasi?
Kedua, minta tolong pada dewa atau memberikan persembahan itu tidak bergantung apakah dia Mahayanis atau non Mahayanis. Penganut kedua aliran itu sama2 melakukannya.
Saya bisa tunjukkan orang non Mahayanis yang masih sembahyang dewa2.
Biasanya orang sembahyang pada dewa saat kepepet dan sudah bingung ga tahu mau minta tolong ke siapa. Sebagai umat Buddha yang baik kita hendaknya toleran dan dapat memahami serta memaklumi kondisi batin tiap insan
Saya sendiri tak akan mempermasalahkan apakah seseorang mau bersembahyang pada dewa, pohon, guci, hewan, relik, atau apapun juga.
Amiduofo,
Tan
RYU:Kenapa tidak lari ke Sutta? IMO inilah kelemahan Buddhis, karena pemahaman sutta tidak di berikan sedari kecil sehingga pemahaman yang benar dari ajaran Buddha pun dikaburkan oleh Tradisi dll
bukankah itu nanti akan berkembang ke pandangan salah?
Apakah tidak apa2?
Kenapa di biarkan?
Apakah karena ada toleransi maka hal2 seperti ini di bolehkan dan patut di lestarikan?
TAN:
Pertanyaan yang sangat menarik. Menurut Anda bagaimana caranya mencegah agar tidak berkembang ke pandangan salah? Apakah kita harus meniru cara-cara K dengan menghardik, menghancurkan, atau membakar patung, guci, relik, pohon keramat, dan semua "berhala" lainnya? Mohon pencerahannya.
Amiduofo,
Tan
RYU:saya tidak melihat Buddha mengajarkan garis keras, dan apakah Buddha tidak mengajarkan cara membabarkan dhamma dengan benar?
Oh iya, jangan selalu berkata Non Mahayana juga melakukan hal yang sama, karena itu pembenaran dan itu merupakan lari dari pertanyaan karena saya ini mahayana
Kenapa tidak lari ke Sutta? IMO inilah kelemahan Buddhis, karena pemahaman sutta tidak di berikan sedari kecil sehingga pemahaman yang benar dari ajaran Buddha pun dikaburkan oleh Tradisi dll
TAN:
Kalo Mahayana jangan pakai istilah Sutta tapi Sutra donk huehuehue :))
Bagaimana dengan yang sudah telanjur "menyembah berhala"? Kita khotbahin dan datengin rumahnya dengan membawa Sutta? Hmm jadi inget ama cara-cara agama ...... ya?
Bagaimana kalau kita buat organisasi Buddhis Garis Keras? Btw saya saja sudah meninggalkan "garis keras." hehehehehe
Amiduofo,
Tan
Tambahan untuk Ryu:Ya kalau tidak mau ambil pusing ya udah deh, berarti memang cara melestarikan ajaran Buddha yaitu dengan memberikan pandangan salah pada umat, OK deh :(
Kalau you mau pakai cara2 seperti itu ya jalankan saja. Kalau Anda anggap cara2 itu Buddhistik ya silakan saja. Saya tidak ambil pusing kok.
Amiduofo,
Tan
RYU:Berarti begitu ya, sayangnya saya belum punya potensi kearah situ, saya masih tersesat, dalam kebaktian di vihara pun hanya membaca mantra bertahun2 tanpa mengerti makna karena tidak ada sama sekali ceramah2, bahkan saya mengetahui saya mahayanis pun ketika tau baca mantra2 itu dari mahayana.
saya tidak melihat Buddha mengajarkan garis keras, dan apakah Buddha tidak mengajarkan cara membabarkan dhamma dengan benar?
Oh kalau Sutra inget nya ke kamasutra sih
TAN:
Ouw. kalau gitu silakan saja babarkan Dhamma dengan cara yang benar menurut Buddha. Semoga bukan cuma digembar gemborkan di milis. Berjuanglah Nak! Nibanna menantimu hehehehehe.
Kalo Sutta saya juga cuma ingetnya Kamasutta sih wakakakakaka
Tan
RYU:Berarti menurut Ko Tan Pandangan salah dalam ajaran Buddha tidak valid?
Ya kalau tidak mau ambil pusing ya udah deh, berarti memang cara melestarikan ajaran Buddha yaitu dengan memberikan pandangan salah pada umat, OK deh
TAN:
Apa itu benar.. apa itu salah? Benar salah itu sangat subyektif. Salah seorang teman saya dari agama lain mengatakan bahwa kitab sucinya paling benar. Nah, siapa sekarang yang paling benar?
Amiduofo,
Tan
Tambahan untuk Ryu:saya tidak mau umat Buddhis seperti saya Ko, makanya saya nanya kenapa ko mahayana seperti itu (ada dewa2) =))
Kalau Anda peduli dengan orang lain yang berpandangan salah. Apakah Anda sendiri sudah menghapuskan pandangan salah dalam diri Anda?
Tan
BAB V
TENTANG JALAN MENUJU
PANTAI SEBERANG
3. PERTANYAAN PUNNAKA
Siswa brahmana Punnaka adalah penanya berikutnya:
1. 'Saya datang,' katanya, 'untuk mengajukan pertanyaan mengenai orang yang tanpa nafsu, orang yang, memiliki penglihatan yang berakar dalam. Yang Mulia, saya mohon penjelasan, mengapa para bijaksana di dunia, para brahmana, para penguasa dan lain-lain, selalu memberikan persembahan kepada para dewa?'
2. 'Orang-orang itu,' kata Sang Buddha, 'selalu memberikan persembahan kepada para dewa, karena sementara bertambah tua mereka ingin mempertahankan kehidupan mereka seperti dahulu.'
3. 'Tetapi, Yang Mulia,' kata Punnaka, 'dengan melakukan semua persembahan yang khidmat ini, apakah mereka akan pernah melampaui usia tua dan kelahiran?'
4. 'Doa-doa mereka,' kata Sang Buddha, 'puji-pujian, persembahan dan aspirasi mereka semuanya dibuat atas dasar ingin memiliki, ingin ganjaran: Mereka merindukan kenikmatan sensual. Orang-orang, para ahli dalam persembahan ini, bersuka ria di dalam nafsu untuk dumadi (menjadi). Orang-orang ini tidak dapat melampaui usia tua dan kelahiran.'
5. 'Engkau harus menjelaskan hal ini, Yang Mulia,' kata Punnaka. Jika semua persembahan yang diberikan para ahli itu tidak dapat membawa mereka menyeberangi usia tua dan kelahiran, siapakah di antara manusia, di antara para dewa yang telah pernah berhasil melampauinya?'
6. 'Ketika seseorang telah memeriksa dunia dari atas sampai bawah,' jawab Sang Buddha, jika tidak ada apa pun di dunia ini yang menimbulkan percikan gejolak, maka dia telah menjadi manusia yang bebas dari asap, getaran dan kelaparan nafsu. Dia telah menjadi tenang. Dia telah melampaui usia tua; dia telah melampaui kelahiran.'
Sutta diatas bagaimana menurut mahayanis? soalnya mahayanis dewanya banyak khan ;D
Penghormatan kepada dewa dalam Mahayana tetap dalam koridor sekedar penghormatan, bukan objek perlindungan. Mahayana juga mengajarkan jalan utk menyeberangi usia tua dan kelahiran.
JIka kuatir mengalami pandangan salah, ya tentu harus memberi wejangan2 dan penjelasan. Memangnya dalam praktik Mahayana tidak melakukan itu?
Lagipula jika menilik kembali pada Sutta, Sang Buddha saja tidak mengajar jalan utk menyeberangi usia tua dan kelahiran kepada Brahmana Sigalovada, malahan hanya mengajarkan bagaimana memberi persembahan ke 6 arah.
"Ibu dan ayah adalah arah timur,
Dan guru-guru adalah arah selatan
Istri den anak-anak adalah arah barat,
Dan sahabat-sahabat serta sanak keluarga adalah arah utara;
Para pelayan dan karyawan adalah arah bawah
Dan arah atas adalah para pertapa dan brahmana
Semua arah ini harus disembah oleh orang yang
Pantas menjabat sebagai kepala keluarga dalam warganya."
Pada kenyataannya sekarang tidak sedikit juga yg berpegang pada Sigalovada sutta dan alhasil sibuk melakukan karma baik yang bukan mengarah pada berakhirnya usia tua dan kelahiran, melainkan berharap sukur2 terlahir di alam dewa saja. Kalo dihitung2, itu gak jauh beda mengajar orang utk tetap berada dalam lingkup samsara. Dengan kata lain Sigalovada Sutta berseberangan toh dengan pertanyaan Punnaka dalam Khuddaka Nikaya ini, yakni tidak membawa orang utk melampaui usia tua dan kelahiran.
:)
RYU:Penyataan Ko Tan ini kembali lari ke arah yang lain, Yang ingin saya tanyakan adalah dalam ajaran Buddha yang otomatis ini untuk orang yang menjalankan ajarannya, urusan ajaran lain biarkan ajaran lain yang punya penjelasannya sendiri, dalam ajaran Buddha diperbolehkan untuk berpikir kritis (atau dalam mahayana tidak boleh kritis? harus tunduk aturan atau tradisi? yang salah biarin salah gitu? kalau gitu mah apa bedanya dong ajaran Buddha sama ajaran Lain? )
Berarti menurut Ko Tan Pandangan salah dalam ajaran Buddha tidak valid?
TAN:
Pertanyaan yang bagus. Valid bagi kita umat Buddha. Tetapi belum tentu valid bagi orang/ agama lain. Soto memang enak, tetapi bukan berarti semua orang suka soto atau harus makan soto. Sekarang posisinya saya balik.
Umpamanya saya ini penganut agama yang bernama Vestorisme (sekedar umpama). Tuhannya bernama Lord Vestor. Kitab Sucinya bernama Kyrmovestor, yang disabdakan sendiri pada utusannya yang bernama Lykomanus. Dalam kitab Kyrmovestor bab 9 ayat 7 dikatakan: "Orang-orang yang tidak percaya pada Lord Vestor selalu pencipta alam semesta adalah berpandangan salah dan mereka harus dipertobatkan. Umat-umatKu (Lord Vestor) harus berjuang menghapuskan pandangan salah umat manusia. Itu sebagai bukti cinta kasih kalian terhadapKu. Hapuskanlah pandangan salah itu."
Nah, saya selaku pengabar agama Vestorisme datang pada Anda dengan sejilid Kitab Kebenaran Kyrmovestor dan mengatakan, "Bung Ryu! Terimalah kebenaran Kyrmovestor! Hapuskan pandangan salah Anda yang tidak percaya pada Lord Vestor. Anda tersesat. Marilah tapaki jalan yang bahagia ini dengan beriman pada Lord Vestor."
Nah bagaimana tanggapan Anda kalau ada orang yang datang dengan mengatakan seperti itu pada Anda?
Kebenaran adalah valid bagi mereka yang menerimanya. Kebenaran adalah tidak valid bagi mereka yang tidak menerimanya.
Amiduofo,
Tan
Terima kasih bro chingik sudah hadir dan menjawab, apakah menurut bro sigalovada sutta merupakan pandangan salah?BAB V
TENTANG JALAN MENUJU
PANTAI SEBERANG
3. PERTANYAAN PUNNAKA
Siswa brahmana Punnaka adalah penanya berikutnya:
1. 'Saya datang,' katanya, 'untuk mengajukan pertanyaan mengenai orang yang tanpa nafsu, orang yang, memiliki penglihatan yang berakar dalam. Yang Mulia, saya mohon penjelasan, mengapa para bijaksana di dunia, para brahmana, para penguasa dan lain-lain, selalu memberikan persembahan kepada para dewa?'
2. 'Orang-orang itu,' kata Sang Buddha, 'selalu memberikan persembahan kepada para dewa, karena sementara bertambah tua mereka ingin mempertahankan kehidupan mereka seperti dahulu.'
3. 'Tetapi, Yang Mulia,' kata Punnaka, 'dengan melakukan semua persembahan yang khidmat ini, apakah mereka akan pernah melampaui usia tua dan kelahiran?'
4. 'Doa-doa mereka,' kata Sang Buddha, 'puji-pujian, persembahan dan aspirasi mereka semuanya dibuat atas dasar ingin memiliki, ingin ganjaran: Mereka merindukan kenikmatan sensual. Orang-orang, para ahli dalam persembahan ini, bersuka ria di dalam nafsu untuk dumadi (menjadi). Orang-orang ini tidak dapat melampaui usia tua dan kelahiran.'
5. 'Engkau harus menjelaskan hal ini, Yang Mulia,' kata Punnaka. Jika semua persembahan yang diberikan para ahli itu tidak dapat membawa mereka menyeberangi usia tua dan kelahiran, siapakah di antara manusia, di antara para dewa yang telah pernah berhasil melampauinya?'
6. 'Ketika seseorang telah memeriksa dunia dari atas sampai bawah,' jawab Sang Buddha, jika tidak ada apa pun di dunia ini yang menimbulkan percikan gejolak, maka dia telah menjadi manusia yang bebas dari asap, getaran dan kelaparan nafsu. Dia telah menjadi tenang. Dia telah melampaui usia tua; dia telah melampaui kelahiran.'
Sutta diatas bagaimana menurut mahayanis? soalnya mahayanis dewanya banyak khan ;D
Penghormatan kepada dewa dalam Mahayana tetap dalam koridor sekedar penghormatan, bukan objek perlindungan. Mahayana juga mengajarkan jalan utk menyeberangi usia tua dan kelahiran.
JIka kuatir mengalami pandangan salah, ya tentu harus memberi wejangan2 dan penjelasan. Memangnya dalam praktik Mahayana tidak melakukan itu?
Lagipula jika menilik kembali pada Sutta, Sang Buddha saja tidak mengajar jalan utk menyeberangi usia tua dan kelahiran kepada Brahmana Sigalovada, malahan hanya mengajarkan bagaimana memberi persembahan ke 6 arah.
"Ibu dan ayah adalah arah timur,
Dan guru-guru adalah arah selatan
Istri den anak-anak adalah arah barat,
Dan sahabat-sahabat serta sanak keluarga adalah arah utara;
Para pelayan dan karyawan adalah arah bawah
Dan arah atas adalah para pertapa dan brahmana
Semua arah ini harus disembah oleh orang yang
Pantas menjabat sebagai kepala keluarga dalam warganya."
Pada kenyataannya sekarang tidak sedikit juga yg berpegang pada Sigalovada sutta dan alhasil sibuk melakukan karma baik yang bukan mengarah pada berakhirnya usia tua dan kelahiran, melainkan berharap sukur2 terlahir di alam dewa saja. Kalo dihitung2, itu gak jauh beda mengajar orang utk tetap berada dalam lingkup samsara. Dengan kata lain Sigalovada Sutta berseberangan toh dengan pertanyaan Punnaka dalam Khuddaka Nikaya ini, yakni tidak membawa orang utk melampaui usia tua dan kelahiran.
:)
Benar apa yang anda katakan tentang cara penghormatan yang benar, begitu juga poin tentang arah, ya memang bukan arah yg dipentingkan. Tapi acuan saya mengambil contoh sutta ini bukan mempermasalahkan cara (seperti arah), manfaat atau tidak bermanfaat.
Menurut saya ini misinterpretasi, Sigalaka Sutta dibabarkan Sang Buddha ketika melihat pemuda Sigalaka sedang memberi hormat mengikuti tradisi yang adalah suatu ritual yg tiadk bermanfaat, dan Sang Buddha kemudian memberikan alternatif penghormatan yg lebih bermanfaat.
Dalam sutta ini dijelaskan bagaimana cara menghormati orang tua, guru, karyawan, dll, dan bukan arahnya yg dipentingkan, arah itu hanya sebagai pengantar dalam pengajaran itu sebagai pembanding bagi pemuda Sigalaka yg secara rutin menyembah sepuluh penjuru.
dan Sang Buddha selalu mengajarkan sesuai dengan watak dan kecenderungan pendengarnya. dalam hal ini MUNGKIN Sang Buddha melihat bahwa potensi pemuda Sigalaka hanya sampai di sana. tetapi apakah hal ini membenarkan kita untuk mengabaikan sutta2 lainnya?
Vihara Buddha Prabha di Jogja tempatnya Bhante Uttamo saat masih jadi umat awam belajar Dharma, itu juga kelenteng Taois/Khonghucu benernya. Kondisinya udah rusak, untung diselametin oleh pihak Buddhayana. Tapi sayangnya usaha positif ini kurang begitu terlihat maksimal karena nama dewa2 Taoisnya dikasih nama Sansekerta semua.....
-------------
Salah persepsi karena tidak semua Dewa Asal Tiongkok tuh Tao, ada yang katagori Dewa Purba macam Shen nong , Nu wa, Katagori Apa hayoo, tao bukan, KHC Bukan, Buddhis Bukan ?.
Klaim dewa dewa tao itu cuman buat memajukan tao saja, ngak semua bisa semua dewa tao itu dikasih nama sansekerta.
Ya saya memahami, tapi yang ingin saya tanyakan mahayana kenapa seperti "terlihat" membelokan tujuan Nibbana menjadi ke arah lain (contoh surga sukhavati)Benar apa yang anda katakan tentang cara penghormatan yang benar, begitu juga poin tentang arah, ya memang bukan arah yg dipentingkan. Tapi acuan saya mengambil contoh sutta ini bukan mempermasalahkan cara (seperti arah), manfaat atau tidak bermanfaat.
Menurut saya ini misinterpretasi, Sigalaka Sutta dibabarkan Sang Buddha ketika melihat pemuda Sigalaka sedang memberi hormat mengikuti tradisi yang adalah suatu ritual yg tiadk bermanfaat, dan Sang Buddha kemudian memberikan alternatif penghormatan yg lebih bermanfaat.
Dalam sutta ini dijelaskan bagaimana cara menghormati orang tua, guru, karyawan, dll, dan bukan arahnya yg dipentingkan, arah itu hanya sebagai pengantar dalam pengajaran itu sebagai pembanding bagi pemuda Sigalaka yg secara rutin menyembah sepuluh penjuru.
dan Sang Buddha selalu mengajarkan sesuai dengan watak dan kecenderungan pendengarnya. dalam hal ini MUNGKIN Sang Buddha melihat bahwa potensi pemuda Sigalaka hanya sampai di sana. tetapi apakah hal ini membenarkan kita untuk mengabaikan sutta2 lainnya?
Lebih jelasnya kita perlu memperhatikan kembali inti pertanyaan bro Ryu tentang mahayanis yg melakukan persembahan kepada para dewa sementara membandingkan dengan pertanyaan Punnaka yg menyatakan bahwa persembahan kepada dewa tidak memberi jalan menujuk akhir usia tau dan kelahiran. Nah, utk menanggapi pertanyaan ini, Sigalovada sutta adalah contoh yang cukup gamblang bahwa persembahan/penghormatan kepada orangtua, dll juga sama tidak memberi jalan langsung pd akhir usia tua dan kelahiran, tetapi Sang Buddha toh juga mengajarkannya. Jika mengkuatirkan orang akan mengalami pandangan salah, maka Sutta ini juga sama berpotensinya membuat orang bisa mengalami pandangan salah karena tidak mengajarkan langsung utk menyeberangi usia tua dan kelahiran. Tetapi betul bro Indra mengatakan Sang Buddha selalu mengajarkan sesuai dengan watak dan kecenderungan pendengarnya. Intinya terletak di sini. Ketika Mahayana memperlihatkan ritual2 kepada para dewa, intisarinya ya memang utk mereka yg memiliki watak dan kecenderungan pada level ini. Sedangkan jalan-jalan menuju pada tahapan yg lebih mulia seperti ke arah berakhirnya usia tua dan kelahiran juga tetap diajarkan, dan memang memiliki acuan pada sutra2 lainnnya juga. Jadi saya tidak mengatakan bahwa sutta2 lain diabaikan lho ya. :)
Mudah2an bro Ryu juga memahaminya. ;)
Terima kasih bro chingik sudah hadir dan menjawab, apakah menurut bro sigalovada sutta merupakan pandangan salah?
saya melihat dalam penyembahan dewa dll (atau mengucapkan kata Buddha berulang2) bukankah dalam mahayana itu supaya terlahir kembali di (contoh) surga sukhavati dll?
dan sigalovada sutta khan itu merupakan aturan2 saja dan ketika di jalankan apakah ada iming2 ke surga sukhavati juga?
demikian juga dengan agama lain, katanya dengan iman, tekad & praktek dia bisa ke surga lho, berarti tidak ada bedanya dong ajarang buddha dengan agama lain :)QuoteTerima kasih bro chingik sudah hadir dan menjawab, apakah menurut bro sigalovada sutta merupakan pandangan salah?
saya melihat dalam penyembahan dewa dll (atau mengucapkan kata Buddha berulang2) bukankah dalam mahayana itu supaya terlahir kembali di (contoh) surga sukhavati dll?
dan sigalovada sutta khan itu merupakan aturan2 saja dan ketika di jalankan apakah ada iming2 ke surga sukhavati juga?
Sigalovada Sutta tentu bukan ajaran yg mengarah pada pandangan salah. Tetapi yang jelas Sigalavoda sutta tidak mengajarkan jalan menuju akhir usia tua secara langsung. Bila orang memberi interpretasi secara harfiah, maka Sutta ini hanya mengarahkan orang terlahir di alam dewa saja. Itulah mengapa bro Indra mengatakan bhw ini dikarenakan Buddha mengajarkan orang berdasarkan watak dan kecenderungannya. Dari segi ini semestinya perlu dipahami juga bahwa ritual persembahan pada dewa dalam lingkup mahayanis juga demikian, yakni disesuaikan
dengan watak dari orang mempraktikkannya.
Ini ada persoalan lain yg perlu dijernihkan: Hanya memberi persembahan kepada dewa tidak membuat orang terlahir di Sukhavati. Sukhavati hanya dapat terealisasi bila memenuhi syarat keyakinan, tekad dan praktik. Mengucapkan nama Buddha berulang2 juga tidak harus terlahir di Sukhavati , semua tergantung dari tekad praktisinya. Misalnya Praktisi Zen juga mempraktikkan nienfo, tetapi tidak semua praktisi Zen mau terlahir di Sukhavati. Yang terlahir di Sukhavati adalah orang yg memiliki tekad dan kemauan terlahir di Sukhavati.
Jika bicara soal iming2, bila diselidiki secara mendalam, semuanya adalah iming2. Sigalovada sutta hanya mengajarkan tentang tata cara, tetapi tetap saja disebutkan bahwa bila mempraktikkannya kita akan memperoleh kehormatan. Bagi orang yg tertarik dgn kehormatan maka bisa saja kita mengatakan dia telah diming2i utk memproleh kehormatan demi praktik ini, tetapi sebenarnya tidak demikian kan?. Begitu jg ketika mahayana mengajarkan tentang Sukhavati, ya bila orang yg tertarik dgn kebahagiaan surga akan terkesan diiming2i, tetapi sebenarnya tidk demikian juga. Tentu semuanya perlu dipelajari secara seksama.
Ya saya memahami, tapi yang ingin saya tanyakan mahayana kenapa seperti "terlihat" membelokan tujuan Nibbana menjadi ke arah lain (contoh surga sukhavati)haha..bro Ryu lupa lagi ya. Sigalovada sutta juga tidak bertujuan langsung ke nibbana. Berarti Buddha membelokkan tujuan juga ? Malahan Sigalovada sutta lebih berpotensi membuat orang terhempas dalam samsara, karena bila mempraktikkannya mungkin hanya terlahir di alam surga. Dan di alam surga banyak kenikmatan surgawi , apakah tidak takut orang terbuai hingga lupa akan dhamma? hehe...kesannya bisa menjadi begitu kan? Tapi saya tau tidak slalu demikian.
saya mau kutip kata2 di sutta :
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
demikian juga dengan agama lain, katanya dengan iman, tekad & praktek dia bisa ke surga lho, berarti tidak ada bedanya dong ajarang buddha dengan agama lain :)QuoteTerima kasih bro chingik sudah hadir dan menjawab, apakah menurut bro sigalovada sutta merupakan pandangan salah?
saya melihat dalam penyembahan dewa dll (atau mengucapkan kata Buddha berulang2) bukankah dalam mahayana itu supaya terlahir kembali di (contoh) surga sukhavati dll?
dan sigalovada sutta khan itu merupakan aturan2 saja dan ketika di jalankan apakah ada iming2 ke surga sukhavati juga?
Sigalovada Sutta tentu bukan ajaran yg mengarah pada pandangan salah. Tetapi yang jelas Sigalavoda sutta tidak mengajarkan jalan menuju akhir usia tua secara langsung. Bila orang memberi interpretasi secara harfiah, maka Sutta ini hanya mengarahkan orang terlahir di alam dewa saja. Itulah mengapa bro Indra mengatakan bhw ini dikarenakan Buddha mengajarkan orang berdasarkan watak dan kecenderungannya. Dari segi ini semestinya perlu dipahami juga bahwa ritual persembahan pada dewa dalam lingkup mahayanis juga demikian, yakni disesuaikan
dengan watak dari orang mempraktikkannya.
Ini ada persoalan lain yg perlu dijernihkan: Hanya memberi persembahan kepada dewa tidak membuat orang terlahir di Sukhavati. Sukhavati hanya dapat terealisasi bila memenuhi syarat keyakinan, tekad dan praktik. Mengucapkan nama Buddha berulang2 juga tidak harus terlahir di Sukhavati , semua tergantung dari tekad praktisinya. Misalnya Praktisi Zen juga mempraktikkan nienfo, tetapi tidak semua praktisi Zen mau terlahir di Sukhavati. Yang terlahir di Sukhavati adalah orang yg memiliki tekad dan kemauan terlahir di Sukhavati.
Jika bicara soal iming2, bila diselidiki secara mendalam, semuanya adalah iming2. Sigalovada sutta hanya mengajarkan tentang tata cara, tetapi tetap saja disebutkan bahwa bila mempraktikkannya kita akan memperoleh kehormatan. Bagi orang yg tertarik dgn kehormatan maka bisa saja kita mengatakan dia telah diming2i utk memproleh kehormatan demi praktik ini, tetapi sebenarnya tidak demikian kan?. Begitu jg ketika mahayana mengajarkan tentang Sukhavati, ya bila orang yg tertarik dgn kebahagiaan surga akan terkesan diiming2i, tetapi sebenarnya tidk demikian juga. Tentu semuanya perlu dipelajari secara seksama.
Begini, Ko Tan selalu membandingkan dengan ajaran non Mahayana dan juga agama lain, mari kita lihat ajaran lain.....QuoteYa saya memahami, tapi yang ingin saya tanyakan mahayana kenapa seperti "terlihat" membelokan tujuan Nibbana menjadi ke arah lain (contoh surga sukhavati)haha..bro Ryu lupa lagi ya. Sigalovada sutta juga tidak bertujuan langsung ke nibbana. Berarti Buddha membelokkan tujuan juga ? Malahan Sigalovada sutta lebih berpotensi membuat orang terhempas dalam samsara, karena bila mempraktikkannya mungkin hanya terlahir di alam surga. Dan di alam surga banyak kenikmatan surgawi , apakah tidak takut orang terbuai hingga lupa akan dhamma? hehe...kesannya bisa menjadi begitu kan? Tapi saya tau tidak slalu demikian.
saya mau kutip kata2 di sutta :
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
Beda dengan Sukhavati, mungkin tidak langsung mengajar orang langsung merealiasasi nibbana, tetapi ajaran langsung itu juga ada dalam sutra lain , bukan di sutra2 tentang Sukhavati. Cukup fair toh mau pilih yg mana. TApi sebenarnya ditelusuir lebih dalam lagi, Sukhavati bisa jg dikatakan mengajar ke arah nibbana, mengapa? karena setelah terlahir di sana, kita akan diarahkan lagi utk praktik dhamma, dan tujuan akhir di Sukhavati adalah merealisasi nibbana dan mencapai Kebuddhaan. Setidaknya tidak seresiko belajar Sigaloavada sutta lah..hehe.
Ada yg bilang, mengapa harus belajar dhamma di Sukhavati kalo di sini sudah ada. Ya, silakan kalo memang sanggup realiasasi langsung di sini. Mahayana juga menganjurkan. TEtapi tetap ada kebebasan utk menentukan sendiri. Tidak semua Mahayanis mempraktikkan Sukhavati lho. Lihat saja master Xuanzhuang, Xuyun, Taixu, Yinshun, mereka memilih surga Tusita utk belajar pd bodhistava Maitreya.
Jadi jangan terpaku pada "kenapa seperti "terlihat" .." , ya semua akan terlihat seperti begini2 dan begitu2..kalo tidak dipelajari secara seksama. Umat agama lain saat melihat agama buddha juga akan bilang kenapa seperti "terlihat" ....
Begini, Ko Tan selalu membandingkan dengan ajaran non Mahayana dan juga agama lain, mari kita lihat ajaran lain.....pembenaran seprti dalam hal apa ? contoh konkrit nya apa ya, tolong lebih jelas dulu ..:)
Bagi ajaran lain ada yang di sebut pandangan salah contohnya adalah menyembah Patung atau Ilah lain, nah apakah pemuka agama, yang mengajar, dan doktrin2 nya melakukan hal itu dan memperbolehkan umatnya atau menghindarinya?
Mari kita lihat Buddhis, mereka melakukan pembenaran2 bahwa toleransi lah, tidak masalah lah dll hal2 pandangan salah yang apa Buddha katakan, bisa lihat bedanya?
bisa dilihat dari upacara2 yang sering di adakan dalam "mahayana mungkin ya" seperti pemujaan dewa? ;DQuoteBegini, Ko Tan selalu membandingkan dengan ajaran non Mahayana dan juga agama lain, mari kita lihat ajaran lain.....pembenaran seprti dalam hal apa ? contoh konkrit nya apa ya, tolong lebih jelas dulu ..:)
Bagi ajaran lain ada yang di sebut pandangan salah contohnya adalah menyembah Patung atau Ilah lain, nah apakah pemuka agama, yang mengajar, dan doktrin2 nya melakukan hal itu dan memperbolehkan umatnya atau menghindarinya?
Mari kita lihat Buddhis, mereka melakukan pembenaran2 bahwa toleransi lah, tidak masalah lah dll hal2 pandangan salah yang apa Buddha katakan, bisa lihat bedanya?
QuoteYa saya memahami, tapi yang ingin saya tanyakan mahayana kenapa seperti "terlihat" membelokan tujuan Nibbana menjadi ke arah lain (contoh surga sukhavati)haha..bro Ryu lupa lagi ya. Sigalovada sutta juga tidak bertujuan langsung ke nibbana. Berarti Buddha membelokkan tujuan juga ? Malahan Sigalovada sutta lebih berpotensi membuat orang terhempas dalam samsara, karena bila mempraktikkannya mungkin hanya terlahir di alam surga. Dan di alam surga banyak kenikmatan surgawi , apakah tidak takut orang terbuai hingga lupa akan dhamma? hehe...kesannya bisa menjadi begitu kan? Tapi saya tau tidak slalu demikian.
saya mau kutip kata2 di sutta :
"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."
Beda dengan Sukhavati, mungkin tidak langsung mengajar orang langsung merealiasasi nibbana, tetapi ajaran langsung itu juga ada dalam sutra lain , bukan di sutra2 tentang Sukhavati. Cukup fair toh mau pilih yg mana. TApi sebenarnya ditelusuir lebih dalam lagi, Sukhavati bisa jg dikatakan mengajar ke arah nibbana, mengapa? karena setelah terlahir di sana, kita akan diarahkan lagi utk praktik dhamma, dan tujuan akhir di Sukhavati adalah merealisasi nibbana dan mencapai Kebuddhaan. Setidaknya tidak seresiko belajar Sigaloavada sutta lah..hehe.
Ada yg bilang, mengapa harus belajar dhamma di Sukhavati kalo di sini sudah ada. Ya, silakan kalo memang sanggup realiasasi langsung di sini. Mahayana juga menganjurkan. TEtapi tetap ada kebebasan utk menentukan sendiri. Tidak semua Mahayanis mempraktikkan Sukhavati lho. Lihat saja master Xuanzhuang, Xuyun, Taixu, Yinshun, mereka memilih surga Tusita utk belajar pd bodhistava Maitreya.
Jadi jangan terpaku pada "kenapa seperti "terlihat" .." , ya semua akan terlihat seperti begini2 dan begitu2..kalo tidak dipelajari secara seksama. Umat agama lain saat melihat agama buddha juga akan bilang kenapa seperti "terlihat" ....
RYU:
demikian juga dengan agama lain, katanya dengan iman, tekad & praktek dia bisa ke surga lho, berarti tidak ada bedanya dong ajarang buddha dengan agama lain
TAN:
Baik, kita batasi topiknya pada "persamaan dan perbedaan dengan agama lain" agar tidak melebar ke "lima benua" dan "tujuh samudera."
Semua agama di dunia ini masing-masing mempunyai persamaan dan perbedaannya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan agama Buddha. Tentu saja ada persamaan dan perbedaannya dengan agama lain.
Agama Buddha mengajarkan bahwa dengan perbuatan (melaksanakan Pancasila Buddhis) dia bisa terlahir di alam surga. Ini juga ada di agama lain. Ajaran Sukhavati mengajarkan seseorang dapat dilahirkan di surga Sukhavati melalui praktik nianfo dan perenungan pada Buddha Amitabha (baca Sutra Amitayur Dhyana). Apakah ini sama dengan agama lain? Ya. mungkin ada persamaannya. Tetapi tidak sepenuhnya sama. Setidaknya, nama tokohnya saja sudah berlainan. Setahu saya tidak ada agama lain, yang juga mengajarkan tentang Amitabha; kecuali Anda dapat membuktikan yang sebaliknya. Kedua, metoda konsentrasi dan pelafalan sebagaimana yang ada di Sukhavati Vyuha dan Amitayur Dhyana, apakah juga ada diajarkan di agama lain?
Anda menyebutkan iman di sini. Apakah yang disebut "iman" pada masing-masing agama itu sama? Selanjutnya, Buddha Amitabha itu transendens dan juga imanen. Apakah agama lain juga mengajarkan hal yang sama, terutama sehubungan dengan mahadewa-nya? Setahu saya, mahadewa itu transendens dan bukan imanen. Kecuali Anda bisa membuktikan yang sebaliknya.
Nah, segala sesuatu mungkin ada persamaan dan perbedaannya; tetapi memukul rata bahwa semua adalah SEPENUHNYA SAMA dengan menilik hanya dari segelintir persamaan adalah tindakan yang tidak bijaksana. Saya akan berikan sedikit ilustrasi.
Monyet mempunyai mata dua. Manusia memiliki mata dua
Monyet mempunyai dua telinga. Manusia memliki dua telinga
Monyet mempunyai satu hidung. Manusia mempunyai satu hidung
Monyet mempunyai satu mulut. Manusia mempunyai satu mulut
Monyet butuh makan supaya tidak mati. Manusia butuh makan supaya tidak mati.
Monyet butuh minum supaya tidak mati. Manusia butuh minum supaya tidak mati.
dan seterusnya.
Apakah manusia lalu SAMA dengan monyet?
Demikianlah, selanjutnya agar supaya berhati-hati dalam menyimpulkan persamaan dan perbedaan.
Amiduofo,
Tan
dutiyampi saya mencoba meluruskan, bahwa ADA LARANGAN dalam Buddhism dan ada sanksi jika larangan itu dilakukan, baca Vinaya Pitaka
RYU:Ok, back to pertanyaan untuk Mahayana, jangan ke ajaran lain, Ajaran Buddha paling Utama apa? untuk lepas dari Dukkha? Untuk terlahir kembali di surga...?
demikian juga dengan agama lain, katanya dengan iman, tekad & praktek dia bisa ke surga lho, berarti tidak ada bedanya dong ajarang buddha dengan agama lain
TAN:
Baik, kita batasi topiknya pada "persamaan dan perbedaan dengan agama lain" agar tidak melebar ke "lima benua" dan "tujuh samudera."
Semua agama di dunia ini masing-masing mempunyai persamaan dan perbedaannya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan agama Buddha. Tentu saja ada persamaan dan perbedaannya dengan agama lain.
Agama Buddha mengajarkan bahwa dengan perbuatan (melaksanakan Pancasila Buddhis) dia bisa terlahir di alam surga. Ini juga ada di agama lain. Ajaran Sukhavati mengajarkan seseorang dapat dilahirkan di surga Sukhavati melalui praktik nianfo dan perenungan pada Buddha Amitabha (baca Sutra Amitayur Dhyana). Apakah ini sama dengan agama lain? Ya. mungkin ada persamaannya. Tetapi tidak sepenuhnya sama. Setidaknya, nama tokohnya saja sudah berlainan. Setahu saya tidak ada agama lain, yang juga mengajarkan tentang Amitabha; kecuali Anda dapat membuktikan yang sebaliknya. Kedua, metoda konsentrasi dan pelafalan sebagaimana yang ada di Sukhavati Vyuha dan Amitayur Dhyana, apakah juga ada diajarkan di agama lain?
Anda menyebutkan iman di sini. Apakah yang disebut "iman" pada masing-masing agama itu sama? Selanjutnya, Buddha Amitabha itu transendens dan juga imanen. Apakah agama lain juga mengajarkan hal yang sama, terutama sehubungan dengan mahadewa-nya? Setahu saya, mahadewa itu transendens dan bukan imanen. Kecuali Anda bisa membuktikan yang sebaliknya.
Nah, segala sesuatu mungkin ada persamaan dan perbedaannya; tetapi memukul rata bahwa semua adalah SEPENUHNYA SAMA dengan menilik hanya dari segelintir persamaan adalah tindakan yang tidak bijaksana. Saya akan berikan sedikit ilustrasi.
Monyet mempunyai mata dua. Manusia memiliki mata dua
Monyet mempunyai dua telinga. Manusia memliki dua telinga
Monyet mempunyai satu hidung. Manusia mempunyai satu hidung
Monyet mempunyai satu mulut. Manusia mempunyai satu mulut
Monyet butuh makan supaya tidak mati. Manusia butuh makan supaya tidak mati.
Monyet butuh minum supaya tidak mati. Manusia butuh minum supaya tidak mati.
dan seterusnya.
Apakah manusia lalu SAMA dengan monyet?
Demikianlah, selanjutnya agar supaya berhati-hati dalam menyimpulkan persamaan dan perbedaan.
Amiduofo,
Tan
RYU:Ok Ko :)
Ajaran Buddha menerangkan ini adalah pandangan benar, ini adalah pandangan salah, apabila ada pandangan salah berarti diperbolehkan dalam ajaran Buddha? apakah cukup di jawab ahhhh inikan karma kamu sehingga punya pandangan salah titik gitu ?
TAN:
Jangan ngomong "boleh" dan "tidak boleh." Karena "boleh" dan "tidak boleh" adalah suatu "larangan." Sekali lagi saya tidak setuju dengan kata "larangan." Yang lebih tepat bagi saya adalah "anjuran." Ini beda dengan "larangan." Larangan berlaku bila pihak yang memberlakukan larangan, yang menjatuhkan sanksi atau hukuman. Dalam agama Buddha, bila seseorang melakukan kejahatan (akusala karma), maka Buddha tidak pernah menjatuhkan hukuman. Karena itu, sekali lagi saya lebih suka menggunakan kata "anjuran." Jadi istilah "boleh" dan "tidak boleh" adalah tidak valid. Kalau "larangan" sifatnya memaksa dan "anjuran" sifatnya tidak memaksa.
Kembali ke topik. Kita perlu jelaskan dahulu berbagai peristilahan.
"Pandangan salah" yang kita bicarakan di sini, tentunya adalah "pandangan salah menurut agama Buddha" dan bukan agama lainnya. Bagaimana sikap umat Buddha yang baik terhadap pandangan salah? Umat Buddha tentunya dianjurkan untuk tidak menganut "pandangan salah menurut agama Buddha." Logikanya kalau dia masih "menganut pandangan salah menurut agama Buddha" tentunya sebaiknya dia tidak menjadi penganut agama Buddha. Lebih baik dia mendirikan keyakinan sendiri yang didasari oleh "pandangan salah menurut agama Buddha"-nya itu. Nah, barulah dengan demikian "pandangan salah menurut agama Buddha"-nya itu akan menjadi "pandangan benar menurut agama yang didirikannya." Atau dia mencari agama lain yang menganggap "pandangan salah menurut agama Buddha" itu sebagai "pandangan benar menurut agama lain tersebut." Nah, kasus ini akan terselesaikan dengan mudah.
Kita boleh saja memberikan anjuran pada sesama umat Buddha mengenai pandangan salah dan benar itu. Tetapi sifatnya tidak memaksa. Buddha sendiri tidak pernah memaksa. Ingat Upali Sutta, yang mengajarkan toleransi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Amiduofo,
Tan
INDRA:
dutiyampi saya mencoba meluruskan, bahwa ADA LARANGAN dalam Buddhism dan ada sanksi jika larangan itu dilakukan, baca Vinaya Pitaka
TAN:
Anda sudah ngomong itu berulang kali. Saya tentu tahu, karena sebagai informasi saya yang menerjemahkan buku Vinaya Mukha jilid 1 (bahasa Indonesianya dibagi jadi 1A dan 1B). Jilid 2-nya baru jadi separuh. Masih belum ada waktu nerusin. Vinaya itu berlaku bagi Sangha. Ingat Sangha di sini sebagai suatu organisasi. Ini kasusnya beda. Kita ngomong agama Buddha secara global dan bukan sebagai kasus khusus (organisatoris). Tentu saja sebagai suatu organisasi, Sangha punya serangkaian aturannya sendiri (baca: Vinaya).
Semoga ini dapat dibedakan.
Kedua, kalau umat awam (baca: Upasaka/ Upasika) berbuat "salah" misalnya membunuh nyamuk. Bagi seorang bhikkhu itu merupakan pelanggaran dukkhata. Nah apakah umat awam juga dianggap melakukan pelanggaran dukkhata? Bhikkhu tidak boleh punya rambut panjang (melebihi kalau tidak salah 2 jari). Nah apakah umat awam juga berlaku hal yang sama?
Kalau umat Buddha membunuh, apakah sanggha yang menjatuhkan "hukuman." Jawabnya TIDAK. Pemerintah yang menjatuhkan hukuman.
Jadi jelas sekali kasusnya beda. Apa yang beda jangan disama2kan, dan apa yang sama jangan dibeda2kan.
Umat Buddha hanya "dianjurkan" untuk tidak membunuh. Kalau dia bandel dan tetap membunuh risikonya ditanggung penumpang. Kalau dia sudah keluar dari penjara dan selanjutnya tetap mengikuti peribadatan Buddha, siapakah yang melarang?
Semoga penjelasan saya ini cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
Memberi persembahan pada dewa bukan hal yg salah lho dalam pandangan agama Buddha.bisa dilihat dari upacara2 yang sering di adakan dalam "mahayana mungkin ya" seperti pemujaan dewa? ;DQuoteBegini, Ko Tan selalu membandingkan dengan ajaran non Mahayana dan juga agama lain, mari kita lihat ajaran lain.....pembenaran seprti dalam hal apa ? contoh konkrit nya apa ya, tolong lebih jelas dulu ..:)
Bagi ajaran lain ada yang di sebut pandangan salah contohnya adalah menyembah Patung atau Ilah lain, nah apakah pemuka agama, yang mengajar, dan doktrin2 nya melakukan hal itu dan memperbolehkan umatnya atau menghindarinya?
Mari kita lihat Buddhis, mereka melakukan pembenaran2 bahwa toleransi lah, tidak masalah lah dll hal2 pandangan salah yang apa Buddha katakan, bisa lihat bedanya?
RYU:Jadi kalau tidak mengerti makna memuja dewa bagaimana? bisa terjerumus ke pandangan salah khan ;D
bisa dilihat dari upacara2 yang sering di adakan dalam "mahayana mungkin ya" seperti pemujaan dewa?
TAN:
Perlu Sdr. Ryu cari tahu, apakah benar "upacara pemujaan dewa2" dalam Mahayana itu sama dengan "pemujaan dewa2 dari agama lain." Soalnya selama saya ikut Mahayana kok ga ada ya upacara seperti itu. Lagipula selama ini saya ikut Mahayana ga pernah ikut acara "puja dewa2." Saya juga ga gitu suka upacara2 ritual. Apakah kalo gitu saya bukan Mahayana ya? But btw saya menghormati dewa2 dan orang yang melakukan ritual semacam itu; asalkan dia mengetahui makna apa yang dilakukannya dan bukan cuma ikut2an.
Btw. Anda pernah baca literatur Mahayana seperti Cheng Wei Shi Lun atau Mo He Chi Kuan (Jepang: Mahashikan). Ada ga di situ tentang puja dewa2? Kalau ada saya dikasih tahu ya. Nanti saya juga adain puja dewa gede2an. Ma kasih.
Amiduofo,
Tan
RYU:Ok nah kenapa ajaran Buddha tidak bisa masuk ke orang tersebut? apa mungkin karena ada alternatif lain contohnya bisa ke alam surga lain?
Ok, back to pertanyaan untuk Mahayana, jangan ke ajaran lain, Ajaran Buddha paling Utama apa? untuk lepas dari Dukkha? Untuk terlahir kembali di surga...?
TAN:
Lepas dari dukkha tentunya. But. Tidak semua orang bisa begitu. Saya punya teman, Buddhis juga. Tetapi pikirannya hanya bisnis, bisnis, dan bisnis. Sudah saya beri buku2 Dhamma, tetapi ga dibaca. Bagi dia tujuan hidupnya adalah menjadi orang sukses dalam bisnis. Tujuan orang tidak sama. Itulah masalahnya. Ada yang berpraktik agar lepas dari dukkha. Ada yang bertujuan mencapai kehidupan yang lebih baik. Ada yang ingin masuk surga saja sudah cukup.
Tetapi kalau kita yakin Dhamma itu baik, tidak ada salahnya memberikan saran atau masukan dengan cara damai, misalnya memberikan/ meminjamkan buku2 Dharma. Masalah dibaca atau tidak, itu di luar hak kita. Kalau Dhamma itu baik, mengapa kita tidak bagikan kepada orang lain. Selanjutnya Dhamma, itu tidak harus dilabeli "Buddha."
Saya sering memberikan saran pada orang lain yang didasari Dhamma, tetapi saya tidak pernah bilang itu ajaran "Buddha." Dan ternyata mereka bisa menerimanya.
Amiduofo,
Tan
RYU:Apakah yang telah dilakukan oleh Mahayana untuk menghindari dari pandangan salah tersebut, apakah pandangan salah tersebut di biarkan dan dikembangkan ke arah yang lain, atau melarang umatnya untuk tidak melakukannya, atau membiarkan umatnya melakukan pandangan salah tersebut.
Jadi kalau tidak mengerti makna memuja dewa bagaimana? bisa terjerumus ke pandangan salah khan
TAN:
Anda benar! Bukan hanya memuja dewa saja. Dalam setiap aspek kehidupan bila orang tidak mengetahui maknanya bisa saja terjerumus ke pandangan salah. Sebagai contoh dalam bermain saham, valas, atau forex. Bila tidak tahu maknanya bisa saja dia akan terjerumus pada kerugian besar. Sekedar sharing. Saya sudah sering memberikan masukan pada orang2 yang melakukan pemujaan yang membuta. Sering saya adakan dialog dengan teman yang beragama Buddha. Ini adalah salah satu contohnya yang saya ingat.
Tan: Wah hari ini sembahyang apa Oom (O)? Kok sibuk. Wah enak tuh makanannya.
O: Oooo ini sembahyang biasa ceit - capgo
Tan: [pura-pura ga tahu] Wah apaan tuh Oom ceit-capgo?
O: Kamu anak muda sekarang banyak yang ga tahu tradisi ya? Itu sembahyang supaya pheng an (selamat) banyak hokkie (rejeki) ama sehat.
Tan: Ooo gitu ya Oom. Maaf Oom jadi pengen nanya nih. Semoga Oom ga keberatan. Jadi phengan, hokkie, ama sehat itu bisa didapet dengan sembahyang ya?
O : .............. ya...ya setidak2nya kita memohon pada para dewa.
Tan: Lho tapi kok pake segala macam makanan ini, Oom? Wah itu ada babi kecap segala. Nanti kalau sudah selesai sembahyang bungkusin buwat saya ya (becanda).
O: Lho iya supaya dewanya seneng. Kalau mereka seneng makan khan nanti jadi baek sama kita.
Tan: Sori Oom boleh tanya lagi. Kalau dewanya memang bisa kasih kita phengan, hokkie, sehat, dll. Kok masih perlu kita kasih makan. Jangan2 nanti malah kita yang kasih mereka phengan (dapet makanan), sehat (sesudah makan), hokkie (karena kita kasih makan) ke mereka?
Si Oom mungkin agak kesal, terbaca dari raut wajahnya. Jadi saya alihkan ke topik lain. Jadi dalam menjelaskan sesuatu kita mesti liat sikonnya dulu. Prinsipnya adalah jangan menggurui dan tidak memaksa. Kedua, karena dia (si Oom) mengaku beragama Buddha, maka saya merasa tidak masalah bila saya mengadakan dialog di atas. Kalau dia beragama Vestorisme, tentu saya tidak akan memulai dialog di atas.
Amiduofo,
Tan
RYU:Ya saya setuju hal tersebut, tapi bukankah lebih baik orang itu berlabel buddhis dan hidup sesuai dhamma, dari pada orang itu berlabel buddhis tapi menyimpangkan ajaran Buddha.
Ok nah kenapa ajaran Buddha tidak bisa masuk ke orang tersebut? apa mungkin karena ada alternatif lain contohnya bisa ke alam surga lain?
TAN:
Saya tidak tahu. Karena memang saya tidak ingin mengubahnya jadi umat "Buddha." Saya lebih suka kalau orang jadi hidup sesuai Dhamma, ketimbang jadi umat "Buddha." Dhamma itu tidak perlu label bukan? Ibaratnya seperti mata air yang tiap orang boleh minum dari sana.
Amiduofo,
Tan
CHINGIK:Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?
Memberi persembahan pada dewa bukan hal yg salah lho dalam pandangan agama Buddha.
Kecuali dilakukan dengan sikap batin yg salah , itu lain cerita lagi dong..
Kenyataannya tidak sedikit yg bahkan memberi persembahan pada Buddha dengan sikap batin yg tidak benar juga. Tidak melulu dalam lingkup mahayana.
Tapi ada satu hal yg harus diakui bahwa kekentalan ritual pemujaan dewa dalam mahayana tidak terlepas dari pengaruh Taoisme. Namun tetap harus dibedakan, karena mahayana memang telah menjadi satu aliran yg telah diadopsi ke dalam tradisi /budaya Tiongkok. Ini fakta sejarah yg tidak bisa ditampik. Tapi perlu ditekankan, bahwa dalam tingkat skolar Mahayana, hal2 pemujaan tetaplah dianggap sekedar pemujaan, sedangkan pemahaman benar tetap disajikan dengan proporsional.
TAN:
Ya tepat sekali. Saya sangat setuju dengan Bro Chingik. Memang semuanya berpulang pada sikap batin. Setuju sekali! Sangat mengena.
Amiduofo,
Tan
RYU:Dalam hal ajaran ko, dan pemberitahuan terhadap umat dengan melihat banyaknya sutra2 yang terus muncul dan di tambah2kan oleh oknum2 (mungkin) apakah ajaran Buddha akan semakin Bias ;D
Apakah yang telah dilakukan oleh Mahayana untuk menghindari dari pandangan salah tersebut, apakah pandangan salah tersebut di biarkan dan dikembangkan ke arah yang lain, atau melarang umatnya untuk tidak melakukannya, atau membiarkan umatnya melakukan pandangan salah tersebut.
TAN:
Pertanyaan menarik. Anda perlu membedakan Mahayana sebagai individu atau organisatoris? Kalau sebagai individu (setidaknya saya), saya telah berupaya memberikan penjelasan yang baik. Kalau sebagai organisatoris itu di luar hak dan wewenang saya. Lha wong saya ini tidak bergabung dengan organisasi apapun. Ke vihara iya. Tapi tidak ikut organisasi apapun.
Amiduofo,
Tan
RYU:itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak
Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?
Buddha mengajarkan untuk tidak melekat dan melepas, dalam hal pemujaan dewa "saya rasa" malah menambah kemelekatan lho
TAN:
Ai! Pertanyaan yang bagus. Manusia memang tidak serta merta dapat melepaskan kemelekatannya. Posting di dhammacitta ini juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda bekerja juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda pacaran juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda mengumpulkan duit juga sumber kemelekatan lho (nah supaya tidak melekat transfer aja semua duit Anda ke rekening saya. Biar kemelekatan saya yang tambah gede, tapi Anda terbebas dari kemelekatan. Hehehe). Sebenarnya banyak kegiatan yang menjadi sumber kemelekatan. Bukankah dengan demikian para umat awam Buddha, seharusnya segera meninggalkan pekerjaan, rumah, isteri/ suami, dan lainnya. Bagaimana kalau dhammacitta juga ditutup biar tidak timbul kemelekatan? Jadi bukan hanya puja dewa saja yang kita akhiri. Bagaimana menurut Anda?
Amiduofo,
Tan
RYU:saya pernah membaca Sutra Bakti seorang anak terjemaahan Bahasa indo, dan saya merasa itu seperti di buat2 :)
Dalam hal ajaran ko, dan pemberitahuan terhadap umat dengan melihat banyaknya sutra2 yang terus muncul dan di tambah2kan oleh oknum2 (mungkin) apakah ajaran Buddha akan semakin Bias
TAN:
Bisa kasih tahu Sutra2 apa yang menurut Anda ditambahkan?
Amiduofo,
Tan
RYU:
itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak
Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa
TAN:
Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik. Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.
Amiduofo,
Tan
Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik.Kalau saya bisa pastinya saya akan lakukan ko ;D
Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?siapakah RYU ini yang masih tersesat gitu lho :P
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.Yakin Ko? SETIAP Orang?
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).kalau pandangan ko begini berarti mustahil belajar ajaranBuddha itu?
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.
Amiduofo,
Tan
RYU:Kenapa alkitab tidak dimasukan dalam kanon mahayana? sesuai dengan dhama juga lho ;D khan Yesus pun bisa disebut boddhisatva ;D
saya pernah membaca Sutra Bakti seorang anak terjemaahan Bahasa indo, dan saya merasa itu seperti di buat2
TAN:
Nah, Anda tahu ga makna Sutra Bakti Seorang Anak (Fu Mu En Jing)? Kita tidak bisa menilai dari wujud fisik suatu benda/ buku. Apakah isinya buruk dan mengajak kita melakukan kejahatan? Semua buku yang memotivasi agar seseorang bisa hidup lebih baik adalah Dharma.
Anda tahu ga kalau dalam Mahayana itu juga dikategorikan sebagai sutra "aspal"? Kalau orang yang belajar kanon Mahayana pasti tahu itu adalah Sutra "aspal" dan dikarang di Tiongkok. Namun karena isinya baik maka tidak dilarang. Sutra2 aspal lain yang isinya bertentangan dengan Dharma sudah lama dikeluarkan dari kanon Mahayana.
Sampai di sini jelas di antara Mahayana dan non Mahayana sudah ada perbedaan paham mengenai kanon. Nah, perbedaan ini tidak akan bisa kita selesaikan.
Bagi non Mahayana, kanon itu hanya sebatas Pali text saja yang konon dibabarkan oleh Buddha sendiri. Tetapi bagi Mahayana kanon itu dinamis. Buktinya Sutra Altar karya Huineng juga dimasukkan dalam kanon.
Nah, bagi kaum non Mahayana ini adalah penambahan, tetapi bagi Mahayana ini adalah suatu proses dinamis, asalkan tidak bertentang Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan.
Semoga perbedaan ini tidak menjadi ajang perpecahan. Marilah saling menghargai perbedaan.
Amiduofo,
Tan
RYU:
itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak
Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa
TAN:
Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik. Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.
Amiduofo,
Tan
RYU:Bukan setiap orang ko itu mah, sebagian orang ;D
Yakin Ko? SETIAP Orang?
Saya hanya ingin bertanya ko bukan untuk teriak2 lho dan saya pernah baca hal itu :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=192
TAN:
Setiap orang, kecuali yang sudah jadi arahat, pratyekabuddha, dan Samyaksambuddha. Hehehehehee
Amiduofo,
Tan
RYU:
Yakin Ko? SETIAP Orang?
Saya hanya ingin bertanya ko bukan untuk teriak2 lho dan saya pernah baca hal itu :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=192
TAN:
Setiap orang, kecuali yang sudah jadi arahat, pratyekabuddha, dan Samyaksambuddha. Hehehehehee
Amiduofo,
Tan
RYU:TAN:
Kenapa alkitab tidak dimasukan dalam kanon mahayana? sesuai dengan dhama juga lho khan Yesus pun bisa disebut boddhisatva
TAN:
Anda tentunya bisa jawab sendiri. Pertanyaannya: apakah Alkitab secara keseluruhan sesuai dengan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Mulia? Kalau menurut Anda sesuai ya silakan saja masukkan ke Kanon.
Amiduofo,
Tan
RYU:
Apakah sutra bakti sesuai dengan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Mulia?
TAN:
Begini. Anda silakan tunjukkan bagian mana yang tidak sesuai dengan 4 KM dan JMB8? Nanti coba kita kupas sama2.
Amiduofo,
Tan
woii... bukannya pada kerja...ohhh iyaaaa lupaaaa, siap bosss ;D
No offense, menilik dari tulisan diatas, saya tidak tahu apakah itu salah penerjemahan jika memang benar penerjemahannya demikian saya sangat meragukan keaslian tulisan itu.
Kalau membayangkan itu artinya memang terperangkap dalam delusi. Arahat dalam mencapai kerahatannya bukanlah dengan membayangkan tetapi dengan see insight/insight investigation-->melihat realita bahkan melihat delusi dan mencabut kilesa yg paling halus sekalipun. Arahat adalah juga Buddha yaitu Savaka-Buddha. mengenai kekosongan , jangan2 terperangkap di jhana 7 yg dianggap nirvana. Hati2 lho. Hal seperti ini adalah hal yg sangat halus dan harus dilihat langsung. Sepertinya Penulisan ini oleh penulis aslinya memiliki tendensi tertentu. Dan bukanlah Bodhidharma langsung yg mengatakannya. Jika ya dipastikan dia bukan Bodhisatva(versi mahayana). Jika tetap diartikan sebagai bodhisatva maka jelas bodhisatva disini masih ada kilesa. Tapi saya tetap berpikir positif bahwa uraian diatas bukanlah Boddhidharma yg mengatakan. Jujur saja tulisan diatas bertentangan dengan kenyataan praktek ataupun secara sutta. _/\_
QuoteNirvana adalah pikiran yang kosong
hati2 juga ini bisa jadi perangkap jhana 7.
Siapa yang mengetahui bahwa pikiran adalah palsu dan sama sekali tanpa sesuatu yang nyata mengetahui bahwa pikirannya sendiri bukan ada juga bukan tiada. Para fana terus menerus menciptakan pikiran, mengakuinya sebagai yang ada. Dan Para Arahat terus-menerus meniadakan pikiran, mengakunya sebagai sesuatu yang tiada. Namun Para Bodhisattva dan Buddha tidak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah apa yang dimaksud dengan pikiran itu bukan ada juga bukan tiada. Pikiran yang bukan ada juga bukan tiada itu disebut sebagai Jalan Tengah.
Sutta mana yg mengatakan demikian khusus yg di bold, dan arahat mana yg mengatakan demikian? :)
Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktikal? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama_/\_
JIka anggapannya seperti itu, maka sama saja pemujaan pada Buddha juga menambah kemelekatan. Memberi persembahan bunga pd Buddha juga bisa menambah kemelekatan.CHINGIK:Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?
Memberi persembahan pada dewa bukan hal yg salah lho dalam pandangan agama Buddha.
Kecuali dilakukan dengan sikap batin yg salah , itu lain cerita lagi dong..
Kenyataannya tidak sedikit yg bahkan memberi persembahan pada Buddha dengan sikap batin yg tidak benar juga. Tidak melulu dalam lingkup mahayana.
Tapi ada satu hal yg harus diakui bahwa kekentalan ritual pemujaan dewa dalam mahayana tidak terlepas dari pengaruh Taoisme. Namun tetap harus dibedakan, karena mahayana memang telah menjadi satu aliran yg telah diadopsi ke dalam tradisi /budaya Tiongkok. Ini fakta sejarah yg tidak bisa ditampik. Tapi perlu ditekankan, bahwa dalam tingkat skolar Mahayana, hal2 pemujaan tetaplah dianggap sekedar pemujaan, sedangkan pemahaman benar tetap disajikan dengan proporsional.
TAN:
Ya tepat sekali. Saya sangat setuju dengan Bro Chingik. Memang semuanya berpulang pada sikap batin. Setuju sekali! Sangat mengena.
Amiduofo,
Tan
Buddha mengajarkan untuk tidak melekat dan melepas, dalam hal pemujaan dewa "saya rasa" malah menambah kemelekatan lho ;D
Betul sekali!!, nah Goal dalam ajaran Buddha kenapa tidak lebih di budayakan? kenapa yang berkembang malah hal2 di luar ajaran Buddha? apakah karena harus mengikuti perkembangan zaman? kenapa "menurut saya" Surga sukhavati atau surga yang lain lebih ngetrend dari Nibbana dalam mahayana?JIka anggapannya seperti itu, maka sama saja pemujaan pada Buddha juga menambah kemelekatan. Memberi persembahan bunga pd Buddha juga bisa menambah kemelekatan.CHINGIK:Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?
Memberi persembahan pada dewa bukan hal yg salah lho dalam pandangan agama Buddha.
Kecuali dilakukan dengan sikap batin yg salah , itu lain cerita lagi dong..
Kenyataannya tidak sedikit yg bahkan memberi persembahan pada Buddha dengan sikap batin yg tidak benar juga. Tidak melulu dalam lingkup mahayana.
Tapi ada satu hal yg harus diakui bahwa kekentalan ritual pemujaan dewa dalam mahayana tidak terlepas dari pengaruh Taoisme. Namun tetap harus dibedakan, karena mahayana memang telah menjadi satu aliran yg telah diadopsi ke dalam tradisi /budaya Tiongkok. Ini fakta sejarah yg tidak bisa ditampik. Tapi perlu ditekankan, bahwa dalam tingkat skolar Mahayana, hal2 pemujaan tetaplah dianggap sekedar pemujaan, sedangkan pemahaman benar tetap disajikan dengan proporsional.
TAN:
Ya tepat sekali. Saya sangat setuju dengan Bro Chingik. Memang semuanya berpulang pada sikap batin. Setuju sekali! Sangat mengena.
Amiduofo,
Tan
Buddha mengajarkan untuk tidak melekat dan melepas, dalam hal pemujaan dewa "saya rasa" malah menambah kemelekatan lho ;D
Masyarakat Thailand yg mayoritas Theravada , mereka memuja Buddha tapi kemelekatan umatnya tetap sama saja sperti kita smua ini (secara umum).
Buddha memang mengajar melepas dari kemelekatan. Tetapi Buddha juga ada mengajarkan utk kesejahteraan yg bersifat duniawi. Sekali lagi, liat di Sigalovada.:)
Sikap batin yang benar saat memuja dewa tentu seperti dalam Devanussati sambil merenungkan sifat kebajikan para dewa. Lebih jauh lagi mahayana tentu tidak mendorong orang utk hanya sekedar mencari kebahagiaan yg bersifat lokiya. Semua kembali lagi pada watak dan kecenderungan masing2. Dan scr fakta kondisi manusia skrang lebih banyak yg mengejar kebahagiaan duniawi, maka fenomena yg terlihat adalah orang lebih banyak memuja dewa demi manfaat kehidupan duniawi saja. Tentu goalnya bukan itu yg diharapkan.
Betul sekali!!, nah Goal dalam ajaran Buddha kenapa tidak lebih di budayakan? kenapa yang berkembang malah hal2 di luar ajaran Buddha? apakah karena harus mengikuti perkembangan zaman? kenapa "menurut saya" Surga sukhavati atau surga yang lain lebih ngetrend dari Nibbana dalam mahayana?Renungkan saja dulu mengapa Buddhisme bisa lenyap di tanah asalnya. Memangnya saat itu tidak membudayakan ajaran Buddha? bahkan saat itu disebut kerajaan buddhis. Tapi tergerus jaman juga. Semua ini berkaitan dengan fenomena perkembangan cara berpikir manusia. TApi Buddha sendiri sudah memprediksinya. Ya usaha tetap pada masing2 individu.
Selanjutnya, Buddha Amitabha itu transendens dan juga imanen. Apakah agama lain juga mengajarkan hal yang sama, terutama sehubungan dengan mahadewa-nya? Setahu saya, mahadewa itu transendens dan bukan imanen. Kecuali Anda bisa membuktikan yang sebaliknya.Sedikit info, Mahadewa dlm agama samawi juga immanen, sbg contohnya, dlm agama kr****n, Allah Bapa adl aspek transenden sedangkan roh kudus adl aspek immanen.
Mahayana memiliki berapa suta "resmi" ?
apakah diamond suta juga "milik" Mahayana?
apakah TaMo yg membawa agama Buddha ke Tiongkok
yg kemudian disebut Mahayana?
apa arti sebenarnya Mahayana ?
thanks sebelumnya...
semoga pertanyaan diatas cukup kritis utk dibahas. :)
TAN:Benar, meskipun ada kesamaan bukan berarti identik.
Kebetulan saya adalah mantan agama K, jadi bisa menjawab hal ini. Roh Kudus (RK) dalam agama K adalah transenden. Karena kita masih perlu memohon kehadirannya.
Meskipun mungkin benar ada ajaran yang menganggapnya immanen, tetapi ajaran itu tidak pernah jadi ajaran mainstream (arus utama) dan kerap dikutuk sebagai bid'ah.
Kembali lagi, meskipun ada kesamaannya, bukan berarti sesuatu itu IDENTIK.
Selanjutnya, saya tidak tahu apakah topik ini cocok dibahas di sini oleh moderator, karena mungkin lebih cocok di "Buddhisme dan Kepercayaan Lain."
Cuma terus terang saya sedang kurang berminat membahas topik semacam itu. Mungkin 12 tahun yang lalu saya masih minat. Tetapi saya kurang berminat sekarang.
Amiduofo,
Tan
RYU:Menurut chingik Umat mahayana berlatih utk terlahir di Sukhavati dan belajar di bawah bimbingan Buddha Amitabha bukan menolak Buddha Gotama. apakah ini base on faith atau apa? :)
Betul sekali!!, nah Goal dalam ajaran Buddha kenapa tidak lebih di budayakan? kenapa yang berkembang malah hal2 di luar ajaran Buddha? apakah karena harus mengikuti perkembangan zaman? kenapa "menurut saya" Surga sukhavati atau surga yang lain lebih ngetrend dari Nibbana dalam mahayana?
TAN:
Terus Bung Ryu pernah tahu ga orang "terlahir" di Sukhavati untuk apa? Untuk bersenang-senang dan bercanda ria bersama Buddha Amitabha kah? Mohon pencerahannya.
Amiduofo,
Tan
TANGGAPAN TERPADU UNTUK TL
Wah TL muncul lagi nih hehehehee........
TL:
jangan ngambang jawabnya mas Tan, berbeda atau tidak? Tidak bertentangan adalah pendapat pribadi mas Tan.
perhatikan pernyataan Large Sutra on Perfect Wisdom berikut:
hal 172: A Bodisattva should avoid disciple thought and Pratyekabuddha thought because it is not the path to enlightenment. Bodhisattva harus menghindarkan pemikiran sravaka (Sotapana hingga Arahat) dan Pratyekabuddha, karena bukan jalan ke arah pencerahan.
Menurut Saddharma Pundarika Sutra dikatakan bahwa Arahat adalah merupakan penghentian sementara, dalam perumpamaan kota peristirahatan sementara bagi kafilah. (berarti sudah menapaki jalan tetapi belum sampai)
Tidak berbeda?
TAN:
Dalam menjawab suatu diskusi seseorang berhak mengemukakan apa yang merupakan pendapat pribadinya. Tidak ada larangan dalam mengemukakan pendapat pribadinya. Saya harap Anda cukup mengerti demokrasi dan sanggup menghargai pandangan pribadi orang lain. Dan pendapat pribadi saya adalah “tidak bertentangan.” Apa yang berbeda belum tentu bertentangan.
Mari kita cermati Sutra Astasahasrika Prajnaparamita (The Large Sutra of Perfect Wisdom), terjemahan Edward Conze, tentu saya juga punya bukunya. Anda sayangnya hanya memotong sebagian saja dan tidak melihat bagian atasnya:
Coba lihat bagian VI halam 172:
The Bodhisattva should fulfil the six perfections. (Because having stood in these six perfections, the Buddhas and Lords, and the Disciples and Pratyekabuddhas, have gone, do go and will go to the other shore of the flood of the fivefold cognizable.....
Nah jelas sekali menurut kutipan di atas para Shravaka dan Pratyeka buddha juga akan menuju ke Pantai Seberang (other shore) asalkan mereka menjalankan enam paramita (six perfections).
Anda lalu mengutip potongan di bawah ini:
A Bodhisattva should avoid disciple THOUGHT and Pratyekabuddha THOUGHT.
Perhatikan di belakangnya ada kata thought yang artinya “pemikiran.” Jadi Anda harus bedakan bahwa “pemikiran seorang shravaka” tidaklah identik dengan “shravaka” itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan “pemikiran shravaka” adalah perasaan bahwa semuanya sudah selesai. Padahal belum. Ibaratnya Anda merasa sudah mengerjakan semua soal, tetapi ternyata di balik kertas ujian Anda masih ada soal-soal lain yang belum dikerjakan. Nah, kurang lebih analoginya begitu. Tentunya kalau dipahami seperti itu, tidak ada pertentangan dengan Sutra Saddharmapundarikan yang menyatakan bahwa itu adalah penghentian sementara.
Sampai di sini kontradiksinya sudah terpecahkan.
TL:
kutip lagi aaahhhh....
hal 172: A Bodisattva should avoid disciple thought and Pratyekabuddha thought because it is not the path to enlightenment.
Bodhisattva harus menghindarkan pemikiran sravaka (Sotapana hingga Arahat) dan Pratyekabuddha, karena bukan jalan ke arah pencerahan.
Hayo yang suka menjelek-jelekan aliran lain siapa?
hal 244: Because those whose thought has been set free on the level of Disciples and Pratyekabuddhas do not understand any Dharma.Karena mereka yang pikirannya telah terbebaskan pada tingkat Saravaka dan Pratyekabuddha tidak mengerti Dharma sama sekali.
Hayo yang suka merendah-rendahkan aliran lain siapa?
hal 334: Some persons belonging to The Great Vehicle will spurn this deep Perfection of Wisdom which is the root of all the Buddha Dharmas, and decide instead to study sutra associated with the vehicles of Disciple and Pratyekabuddhas, sutras which are like branches, leaves and foliage. This also willl be Mara's deed to them.
Beberapa orang yang termasuk dalam aliran Mahayana menolak Prajna Paramita yang dalam ini, yang merupakan akar semua Buddha dharma, dan memutuskan untuk belajar Sutra yang berkenaan dengan Sravakayana dan Pratyekabuddha, sutra yang bagaikan cabang, rating dan tunas. Ini juga merupakan (hasil) pekerjaan Mara pada mereka.
Baca lagi dengan seksama dan renungkan baik-baik. Jangan asal cuap...
TAN:
Andalah yang seharusnya jangan asal cuap-cuap. Pada kenyataannya ada ga aliran Shravaka dan Pratyekabuddha? Apakah aliran Theravada itu identik dengan aliran Shravaka dan Pratyekabuddha? Saya kira tidak demikian, karena dalam Theravada juga ada ajaran tentang Bodhisatta (Jataka) dll. Selain itu, dalam Theravada juga diajarkan Dasa Parami, yang mirip dengan Sad Paramita Mahayana. Oleh karena itu, adalah gegabah menyatakan bahwa Shravaka dan Pratyekabuddha itu identik dengan satu aliran tertentu.
Kalau Anda merasa bahwa ungkapan di atas mendiskreditkan aliran tertentu, maka itu adalah pendapat pribadi Anda sendiri.
Anda harus membuktikan bahwa dalam sejarah memang ada aliran Shravaka dan Pratyekabuddha (dalam artian hanya mengajarkan untuk menjadi shravaka dan pratyekabuddha).
TL:
Biasa debat di warung kopi tanpa referensi dan "asal nyamber" ya mas? Kalau kitab suci sudah membantah: thats it. Itulah pandangan aliran agama tersebut.
TAN:
Inikah cara mengelak dari menjawab pertanyaan ya? Anda biasa gaya debat tukang ojek ya yang asal lari begitu saja. (omong2 ke Senayan ongkosnya berapa Mas TL? huehuehue).
Sudah kembali ke topik. Pertanyaannya kembali lagi. Kalau Anda menolak bahwa sesudah nirvana “tidak ada apa-apa lagi,” maka tentunya sesudah nirvana ada “apa-apa lagi” bukan? Hayo kali ini jangan mungkir.
TL:
Dimana dikatakan begitu? jangan asal nyebut !!!
TAN :
Mari kita kilas balik.
Bukankah Anda (TL) yang mulai dulu dengan mengatakan:
“Lantas apakah pernyataan seseorang, bahwa Parinibbana itu begini, begitu, bisa dianggap sebagai pernyataan valid atau hanya sekedar spekulasi?
Kemudian saya tanggapi:
Lantas apakah pernyataan seseorang, bahwa Parinirvana itu TIDAK BISA begini, TIDAK BISA begitu, bisa dianggap sebagai pernyataan valid atau hanya sekedar spekulasi?
Ternyata Anda menanggapi lagi dengan: “Dimana dikatakan begitu? jangan asal nyebut !!!”
Terpaksa saya tanggapi lagi dengan pernyataan yang sama: “Dimana dikatakan begitu? Jangan asal nyebut !!!”
TL:
Perlu saya ulangi lagi: bila mengatakan kepada orang lain bahwa kita sudah sampai di kota tujuan, padahal kita belum sampai apakah berbohong atau tidak?
TAN:
OOT. Tidak akan saya jawab.
TL:
Inikah kutipan yang dianggap lebih berbobot? Terangkan karangan siapa dan apa credential si pengarang.
TAN:
Hari ini saya akan jawab tantangan Anda. Silakan baca buku GEM IN THE LOTUS: THE SEEDING OF INDIAN CIVILIZATION, karya Abraham Eraly, halaman 192:
“The worship of Tirthankaras was especially incongruous, for they, having attained nirvana, had nothing more to do with the affairs of the world, and could not in any way help the worshipper.”
Nah cukup jelas terjemahannya, ya. Bandingan dengan ajaran non Mahayanis yang menyatakan bahwa setelah Buddha parinibanna tidak mungkin memancarkan maitri karuna lagi. Saya melihat kemiripan yang sangat nyata.
TL:
Saya jelas tidak pernah mengatakan Sang Buddha akan begini atau begitu setelah Parinibbana, Bagaimana dengan anda mas Tan ?
TAN:
Bohong! Kalau begitu Anda setuju bahwa setelah parinirvana Buddha tidak dapat lagi memancarkan maitri karuna. Itu artinya Anda sudah mengatakan bahwa Buddha akan “begini” atau “begitu” setelah parinirvana. Kalau Anda benar-benar tidak mengatakan apa-apa, maka seharusnya Anda diam saja. Nah baru begitu benar bahwa Anda tidak mengatakan hal semacam itu.
TL:
Topik mana yang belum selesai? Yang belum menyelesaikan topik-topik itu saya atau mas Tan? pertanyaan sederhana seperti : APAKAH KESADARAN ITU ANITYA ATAU NITYA TIDAK PERNAH BISA DIJAWAB SAMPAI SEKARANG
TAN:
Kalau begitu anitya itu kekal atau tidak kekal? Pertanyaan ini juga TIDAK PERNAH BISA DIJAWAB SAMPAI SEKARANG
TL:
Bagaimana dengan tantangan ini mas Tan?
TAN:
Tantangannya sudah saya jawab di atas. Ternyata benar bukan bahwa non Mahayanis merupakan pengikut Nirgrantha Nattaputra?
TL:
warna biru:
Ngaco ya? belajar dimana dikatakan aku yang padam? dimana ada dikatakan panca skandha yang membentuk aku? di sutta mana? Anatta (tanpa aku/tanpa roh /tanpa jiwa) kalau tidak tahu jangan asal cuap mas
TAN:
Benar nih tidak ada “aku”? Lalu pertanyaannya siapakah "TL" yang dengan rajin mengkritik ajaran Mahayana ini? Berarti bagi TL tidak ada “aku” ya? Lalu siapa yang dengan “garang” eh “kritis” mengkritiki aliran Mahayana? Ada cerita banyolan berikut ini antara seorang ahli filsafat dan temannya.
Ahli filsafat (AF): Aku bisa membuktikan aku sedang tidak berada di manapun juga.
Teman (T): Ah masa. Coba buktikan!
AF: Baik. Apakah aku sekarang berada di Mesir?
T: Tidak
AF: Apakah aku sekarang berada di Jepang?
T: Tidak
AF: Apakah aku sekarang berada di Rusia?
T: Tidak
AF: Apakah aku sekarang berada di ........?
T: Tidak.
(dst)
AF: Nah, bila aku tidak berada di Mesir, Jepang, Rusia,... maka tentunya aku tidak berada di manapun juga. Karena tidak berada di manapun juga, maka aku juga tidak berada di sini.
T: (bingung)
Lalu temannya memukul si ahli filsafat. “Plak!”
AF: Lho kenapa kamu memukulku?
T: Lho siapa yang memukulmu? Bukankan kamu sedang tidak berada di sini. Lalu apakah yang kupukul?
Hahahaha. Semoga Anda tidak menjadi seperti ahli filsafat itu.
Kalau memang benar bukan pancaskandha yang membentuk aku, jawab dengan jelas siapakah TL yang paling “garang” eh “kritis” dalam mengkritiki Mahayana? Terbentuk dari apakah TL yang mengetik posting di dhammacitta ini?
TL:
Pintar sekali memutar balikkan fakta. Sang Buddha justru menunjukkan dengan kemampuan batin beliau agar pemuda Ambattha bisa melihat bahaya yang mengancam dirinya, sehingga ia bisa terhindar dari bahaya tersebut.
Malah dibilang mengancam busyeeetttt.
sebagai tambahan memang demikianlah Dhammatanya (hukum Dhammanya). Pangeran Siddharta waktu masih di kandungan dijaga empat dewa pelindung dengan pedang terhunus, Bodhisattva Siddhattha ketika lahir mencegah ketika beliau hendak dibuat agar bernamaskara kepada pertapa Asita, karena mencegah agar pertapa Asita kepalanya tidak pecah menjadi tujuh. (baca RAPB)
TAN:
Hukum Dhammata itu siapa yang menciptakan dan mengapa harus begitu. Anda bilang bahwa itu sudah menjadi hukum Dhammatanya. Tertulis di sutta apakah? Sekarang giliran saya minta referensi Suttanya huehuehue.
Pertanyaan lagi, ketika yakkha Vajirapani menghantamkan gadanya, sehingga kepala Ambattha pecah menjadi tujuh apakah yakkha Vajirapani juga terkena kamma buruk?
Sebenarnya secara logika Buddha tidak perlu menunjukkan dengan kemampuan batinnya agar pemuda Ambattha terlepas dari bahaya tersebut.
Aturan mainnya adalah bila ditanya sampai kali ketiga oleh Sammasambuddha, seseorang tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh. Nah, kalau Anda beralasan hanya demi pemuda Ambattha terhindar dari bahaya, Buddha juga bisa MENGHENTIKAN PERTANYAANNYA SAMPAI KALI KEDUA SAJA. Habis perkara. Tidak perlu ada pertanyaan yang ketiga.
Lalu Pangeran Siddharta waktu masih di dalam kandungan dijaga oleh empat dewa pelindung dengan pedang terhunus. Apakah gunanya dewa pelindung itu? Apakah seorang bodhisatta yang kelak menjadi Sammasambuddha masih dapat mengalami bahaya, misalnya ibunya dicelakai orang. Nah bila tidak, apakah gunanya empat dewa pelindung itu?
Katanya, agama Buddha non kekerasan. Tetapi mengapa masih ada yakkha pembawa gada dan dewa pelindung dengan pedang terhunus? Hahahaha...jawabnya dhammatta, dhammatta, dan dhammatta, ya? huehuehuehue.
TL:
Ada perbedaan sikap pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru.
Pada Zen tindakan itu dibenarkan dan pada Non Mahayana tindakan itu tidak dibenarkan.
TAN:
Tetapi yakkha yang membawa gada nan dashyat penghantam atau peremuk kepala itu kok dibenarkan ya?
Amiduofo,
Tan
Sangha Mahayana Indonesia merupakan pemegang Dharma Niyoga tertinggi yang
berdasarkan Ajaran Agama Buddha Mahayana yang bersumber pada kitab suci Maha
Tripitaka Mahayana dengan 12 bagian sastra-sastra
fiuuhhh........... #:-S
....cape juga.... (:$
....cabut aaah (dari thread ini) ........
....selamat berdiskusi teman2.... :>-
Kabarnya,
ada petinggi suhu mahayana yang jago ilmu hongsui dan kabarnya lagi, suhu tersebut memasang tarif selangit...
Bolehkah sebenarnya hal ini dalam vinaya mahayana? Kalau ga boleh, kok nggak ada yang ingetin ya??
Thanks
Kabarnya,
ada petinggi suhu mahayana yang jago ilmu hongsui dan kabarnya lagi, suhu tersebut memasang tarif selangit...
Bolehkah sebenarnya hal ini dalam vinaya mahayana? Kalau ga boleh, kok nggak ada yang ingetin ya??
Thanks
Bro. truth lover,
Tidak usah menyindir dengan bahasa yang "sopan". Apabila anda posting dengan niat seperti ini terus, maka terpaksa akan saya karantina postingan anda baik yang di topik ini atau topik lainnya.
Apa anda pikir Mahayana tidak menghormati Sakyamuni sebagai Guru Utama? Lalu "Namo Penshi Shijia Moni Fo" itu apa?
Amitabha Buddha dalam paham Mahayana adalah Sambhogakaya dari Buddha ke-4 di masa Bhadrakalpa ini yaitu Sakyamuni Buddha. Lima Panca Dhyani Buddha bermanasi menjadi Lima Samyasakmbuddha pada masa Bhadrakalpa ini.
Jadi Amitabha = ya Shakyamuni Buddha.
_/\_
The Siddha Wanderer
fiuuhhh........... #:-S
....cape juga.... (:$
....cabut aaah (dari thread ini) ........
....selamat berdiskusi teman2.... :>-
Iya aye juga, bentar lagi cabut juga nih, pantesan supplemen laris ;D
Diskusi ini ada lanjutan dari Topik "Ajaran Zen Bodhidharma":No offense, menilik dari tulisan diatas, saya tidak tahu apakah itu salah penerjemahan jika memang benar penerjemahannya demikian saya sangat meragukan keaslian tulisan itu.
Mungkin saja terjemahannya salah. Tapi kalau seandainya memang demikian mengapa harus diragukan keasliannya?Kalau membayangkan itu artinya memang terperangkap dalam delusi. Arahat dalam mencapai kerahatannya bukanlah dengan membayangkan tetapi dengan see insight/insight investigation-->melihat realita bahkan melihat delusi dan mencabut kilesa yg paling halus sekalipun. Arahat adalah juga Buddha yaitu Savaka-Buddha. mengenai kekosongan , jangan2 terperangkap di jhana 7 yg dianggap nirvana. Hati2 lho. Hal seperti ini adalah hal yg sangat halus dan harus dilihat langsung. Sepertinya Penulisan ini oleh penulis aslinya memiliki tendensi tertentu. Dan bukanlah Bodhidharma langsung yg mengatakannya. Jika ya dipastikan dia bukan Bodhisatva(versi mahayana). Jika tetap diartikan sebagai bodhisatva maka jelas bodhisatva disini masih ada kilesa. Tapi saya tetap berpikir positif bahwa uraian diatas bukanlah Boddhidharma yg mengatakan. Jujur saja tulisan diatas bertentangan dengan kenyataan praktek ataupun secara sutta. _/\_
Kilesa yang mana? Dari mana melihat kilesanya?
Saya katakan masih ada kilesa jika dianggap bodhisatva dari sisi non mahayanis jika ada yg menganggap sebagai Bodhisatva. Karena setahu saya Bodhisatva menurut Mahayanis Bodhisatva tidak ada lagi kilesa CMIIW.Nyatanya dari pandangan diatas masih terjebak pandangan yg keliru mengenai definisi pencapaian arahat. Mencapai arahat(sudah dijelaskan diatas-membayangkan....). Dengan belum melihat jelas keseluruhan tilakhana secara lengkap hingga padamnya LDM itu lah masih ada tersisa kilesa.Karena dalam latihan2 nyata untuk merealisasikan nibana tidak ada namanya membayangkan, membayangkan adalah delusi juga. Saya rasa anda tau Vipasanna(pandangan terang- yg melihat langsung dan membayangkan saja.
[/b]QuoteNirvana adalah pikiran yang kosong
hati2 juga ini bisa jadi perangkap jhana 7.
:| No comment
Bahkan dijhana 8 dikatakan persepsi dan non persepsi ini juga perangkap yg lebih halus seakan-akan beyond konsep total dan berpikir kilesa sudah hilang . Untuk benar-benar mengetahui harus ditembus melalui vipasanna. Makanya kata2 tersebut diatas harus dibandingkan dengan sutta yg bersifat praktikal yg langsung menuntun kita pada latihan merealisasikan nibbana. Coba Anda baca tentang Sunlun Sayadaw, Paauk Sayadaw dan Mahasi Sayadaw tentang latihannya apakah membayangkan atau tidak dan apa saja jebakan batmannya, perhatikan pula teknik latihannya dan bandingkan dengan sutta2 yg ada. Kalau ada contoh dari Zen ttg latihan vipasannanya atau prakteknya Boddhidharma serta referensi pendukungnya maka akan lebih bagus. Agar kita tidak berkutat pada teori saja yg mana kata2nya dapat dibolak balik sehingga jalannya diskusi benar2 untuk melihat fakta dan mendukung latihan kita dalam praktek Dhamma._/\_Siapa yang mengetahui bahwa pikiran adalah palsu dan sama sekali tanpa sesuatu yang nyata mengetahui bahwa pikirannya sendiri bukan ada juga bukan tiada. Para fana terus menerus menciptakan pikiran, mengakuinya sebagai yang ada. Dan Para Arahat terus-menerus meniadakan pikiran, mengakunya sebagai sesuatu yang tiada. Namun Para Bodhisattva dan Buddha tidak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah apa yang dimaksud dengan pikiran itu bukan ada juga bukan tiada. Pikiran yang bukan ada juga bukan tiada itu disebut sebagai Jalan Tengah.
Sutta mana yg mengatakan demikian khusus yg di bold, dan arahat mana yg mengatakan demikian? :)
Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktikal? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama_/\_
Dalam pandangan Mahayana Para Arahat Sravaka masih terjebak dalam empat corak/ciri.
Ini Arahat sravaka artinya dibawah arahat seperti sravaka Buddha dibawah Sammasambuddha? istilahnya ngak jelas ;D Dan menurut mahayana emang ada berapa jenis arahat? Karena sepengetahuan saya cara mereka berlatih dan pandangan mereka ttg nibbana pun sejalan dengan Sang Buddha. Dan ini jelas dalam Tipitaka Pali bagaimana Sang Buddha menjelaskan ttg perealisasian nibbana oleh para arahat. Contoh Bahiya , Sariputta dll. Nah permasalahannya jika Mahayana mengakui Tipitaka Pali juga tetapi terjadi pendefinisian bahwa arahat masih ada kilesa maka kontradiktif bukan? Kembali pertanyaan saya yg awal juga "Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktek? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama?" Kalau di satipathana sutta, bahiya sutta dan kitab komentar visuddhi magga sangat jelas rincian latihan/praktek untuk menghilangkan kilesa. Itu maksud pertanyaan saya agar lebih jelas lagi.
Takut terlewatkan nih pertanyaan aye ;DRYU:
Apakah sutra bakti sesuai dengan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Mulia?
TAN:
Begini. Anda silakan tunjukkan bagian mana yang tidak sesuai dengan 4 KM dan JMB8? Nanti coba kita kupas sama2.
Amiduofo,
Tan
Ketika itu, setelah mendengar penjelasan Buddha tentang kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu menangis dan merasakan kepedihan dalam hatinya. Mereka merenungkannya dan segera merasa malu dan berkata kepada Sang Bhagava, "Oh, Sang Bhagava, bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami?" Hyang Buddha menjawab, "Wahai siswa siswaku, jika kalian ingin membalas jasa kebajikan budi baik dari kedua orang tua..."
"Demi mereka tulis dan perbanyaklah Sutra ini, sebarluaskan demi kebajikan semua mahluk serta kumandangkanlah Sutra ini. Segeralah bertobat atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan. Atas nama orang tua kalian, berikanlah persembahan kepada Buddha, Dharma, Sangha." Demi orang tua, patuhlah kepada perintah dan hanya memakan makanan suci dan bersih. Tumbuh kembangkan kebajikan dari praktek berdana. Inilah kekuatan yang diperoleh, semua Buddha akan selalu melindungi orang yang demikian itu dan dapat dengan segera menyebabkan orang-orang tua mereka lahir kembali di surga, untuk menikmati segala kebahagiaan dan meninggalkan penderitaan-penderitaan neraka.
Selain ini mau tanya juga, berarti berbohong demi kebenaran boleh ya? membuat sutra palsu dan di sebarkan sehingga mungkin saja orang yang membacanya malah semakin tersesat dan jauh dari Dhamma Buddha yang sebenarnya :(
Saya katakan masih ada kilesa jika dianggap bodhisatva dari sisi non mahayanis jika ada yg menganggap sebagai Bodhisatva. Karena setahu saya Bodhisatva menurut Mahayanis Bodhisatva tidak ada lagi kilesa CMIIW.Nyatanya dari pandangan diatas masih terjebak pandangan yg keliru mengenai definisi pencapaian arahat. Mencapai arahat(sudah dijelaskan diatas-membayangkan....). Dengan belum melihat jelas keseluruhan tilakhana secara lengkap hingga padamnya LDM itu lah masih ada tersisa kilesa.Karena dalam latihan2 nyata untuk merealisasikan nibana tidak ada namanya membayangkan, membayangkan adalah delusi juga. Saya rasa anda tau Vipasanna(pandangan terang- yg melihat langsung dan membayangkan saja
Bahkan dijhana 8 dikatakan persepsi dan non persepsi ini juga perangkap yg lebih halus seakan-akan beyond konsep total dan berpikir kilesa sudah hilang . Untuk benar-benar mengetahui harus ditembus melalui vipasanna. Makanya kata2 tersebut diatas harus dibandingkan dengan sutta yg bersifat praktikal yg langsung menuntun kita pada latihan merealisasikan nibbana. Coba Anda baca tentang Sunlun Sayadaw, Paauk Sayadaw dan Mahasi Sayadaw tentang latihannya apakah membayangkan atau tidak dan apa saja jebakan batmannya, perhatikan pula teknik latihannya dan bandingkan dengan sutta2 yg ada. Kalau ada contoh dari Zen ttg latihan vipasannanya atau prakteknya Boddhidharma serta referensi pendukungnya maka akan lebih bagus. Agar kita tidak berkutat pada teori saja yg mana kata2nya dapat dibolak balik sehingga jalannya diskusi benar2 untuk melihat fakta dan mendukung latihan kita dalam praktek Dhamma._/\_
Ini Arahat sravaka artinya dibawah arahat seperti sravaka Buddha dibawah Sammasambuddha? istilahnya ngak jelas ;D Dan menurut mahayana emang ada berapa jenis arahat? Karena sepengetahuan saya cara mereka berlatih dan pandangan mereka ttg nibbana pun sejalan dengan Sang Buddha. Dan ini jelas dalam Tipitaka Pali bagaimana Sang Buddha menjelaskan ttg perealisasian nibbana oleh para arahat. Contoh Bahiya , Sariputta dll. Nah permasalahannya jika Mahayana mengakui Tipitaka Pali juga tetapi terjadi pendefinisian bahwa arahat masih ada kilesa maka kontradiktif bukan? Kembali pertanyaan saya yg awal juga "Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktek? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama?" Kalau di satipathana sutta, bahiya sutta dan kitab komentar visuddhi magga sangat jelas rincian latihan/praktek untuk menghilangkan kilesa. Itu maksud pertanyaan saya agar lebih jelas lagi.
2.Sikap membuang2 waktu, karena walau bagaimanapun saya tidak akan beralih keyakinan pada Non-Mahayana. Semakin saya tanggapi semoga mereka akan semakin sadar bahwa percuma berusaha mengubah keyakinan saya dari Mahayana ke non Mahayana.
ini agak menggelikan, statement serupa ini sudah sering kali dilontarkan oleh Sdr. Tan, saya sih menilai bahwa member yg berdiskusi di sini hanya ingin berdiskusi dengan anda, walaupun dengan gaya yg agak sedikit frontal, tapi kenapa anda beranggapan bahwa para member di sini sedang berusaha untuk mengalihkan keyakinan anda? silahkan baca pengantar thread ini oleh TS.
Apa yang diajarkan oleh Bodhidharma adalah pencerahan seketika yang tidak mengikuti penembusan melalui Jhana 1, 2, 3 dan seterusnya, namun langsung menembus Landasan kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi guna mendekati kondisi yang paling dekat dengan Nirvana.
Masalahnya adalah ada perbedaan konsep pencapaian nirvana antara Theravada dan Mahayana yang memang menyebabkan perdebatan dalam topik ini. Terutama pandangan Mahayana bahwa Bodhisattva mampu menunda realisasi Nirvana Absolut dan tetap mempertahankan kondisi "nirvana mikro" (Bodhicitta) dalam setiap tindakannya. Sedangkan bagi Theravada, tidak ada bedanya antara Nirvana yang direalisasi oleh Sang Buddha dengan yang dicapai oleh siswa-siswanya. Perbedaan ini, tampaknya berkaitan dengan persoalan yang pelik dan sulit dibuktikan oleh kedua belah pihak, karena menyangkut tentang Nirvana yang hanya memang bisa dipahami oleh yang menembusnya.
Dalam hal ini, Mahayana menganggap bahwa terjadinya kesalahpahaman para Sravaka bahwa "nirvana mikro" adalah Nirvana Mutlak.Dalam hal ini, Bodhidharma sebagai Mahayanis, dan sesuai dengan pencapaiannya, membenarkan bahwa Para Sravaka belum mencapai "pantai seberang." Sedangkan Para Arahat (Pacceka Buddha) mencapai "pantai seberang," namun Para Bodhisattva melampaui "pantai ini" ataupun "pantai seberang." Tentu saja ini hanyalah gambaran kasar, bukan mencerminkan pencapaian sesungguhnya ataupun identitas seperti apapun yang diberikan padanya. Seorang Guru yang dinamai sebagai "Arahat" jika ia memiliki kualitas seperti halnya seorang Bodhisattva maka ia adalah "yang melampaui pantai ini ataupun pantai seberang". Seorang Guru yang meski dijuluki siswa Mahayana sebagai "Bodhisattva" namun jika kualitasnya adalah Sravaka, ia tetap adalah "yang belum mencapai pantai seberang." Dalam hal ini, mohon kita tidak terlalu terikat dengan label-label seperti "Sravaka", "Arahat", "Bodhisattva," dsb-nya. Bukankah bagi Bodhidharma kata-kata dan wujud justru adalah cerminan dari delusi?
Oleh karena itu, saya sepakat dengan anda bahwa dalam membahas hal seperti ini diskusi yang berbelit-belit hanya akan memperumit keadaan, karena selama ini saya selalu menolak membahas hal ini. Sebaliknya saya kurang setuju dengan pandangan bahwa cukup dengan penjabaran teknik-teknik meditasi dan dukungan referensi sutta ataupun sutra dapat menjernihkan persoalan ini. Sekali lagi, cara penjabaran demikian dengan menyusun deskripsi pencapaiannya secara detil tahap demi tahap yang kemudian dikait-kaitan dengan referensi sutta tidak membuktikan suatu pendekatan lebih baik daripada lainnya, sebab bagaimanapun yang tejadi hanyalah usaha memberikan pembenaran terhadap suatu metode tertentu.
Dikatakan dalam Mahayana, Arahat terlepas dari Kilesavarana (Rintangan Kekotoran Batin), namun Bodhisattva terlepas dari Kilesavarana (Rintangan kekotoran batin) dan Jneyavarana (Rintangan Paham). Maka dalam Mahayanapun diakui bahwa Arahat lepas dari kekotorna batin. Meskipun demikian untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi, ia harus bebas dari Jneyavarana. Menurut saya pribadi, Jneyavara berkaitan dengan keempat corak yang disebut dalam Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna, yang terdiri dari ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’.
Dalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya. Sedangkan Arahat dan Sravaka diyakini masih memiliki keempat Corak ini.
Demikianlah yang kuketahui. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap yang menyebabkan ketidaksenangan.
ARYA BODHI:Sudah saya katakan, base saya mahayana, hanya saya memang belum memahami mahayana sama sekali, hanya kebaktian doang + lirik cewe kakakakakak
xixiiiixiix... bearti om Tan ke GR-an nichhh...
TAN:
Wah syukurlah kalau ternyata memang saya yang ke-ge-er-an. Memang harapan saya juga seperti itu. Tetapi apakah Anda BENAR-BENAR tahu pemikiran dan motivasi orang lain (khususnya yang terlibat dalam thread ini)?
Amiduofo,
Tan
INDRA:
Sdr. Tan, mohon jawab saya, apakah anda merasa ada usaha untuk mengalih-yakinkan anda? saya melihat thread ini sudah lumayan panjang tapi diskusi sptnya tidak ada kemajuan, dan jika ditambah lagi adanya usaha untuk menconvert seseorang, maka saya akan membekukan thread ini.
sbg info, pada setiap postingan tersedia button "report to moderator" yang bisa anda gunakan jika ada postingan yang tidak selayaknya menurut anda
TAN:
Benar. Saya merasa seolah-olah begitu. Mohon maaf, kalau perasaan saya ini salah. Mengapa saya berperasaan demikian? Karena pada diskusi di milis ini (atau setidaknya pada thread ini) saya melihat rekan-rekan non Mahayana berupaya membuktikan bahwa Mahayana itu "salah" (umpamanya mereka menunjukkan "kejanggalan" tentang Sukhavati dan doktrin-doktrin Mahayana lainnya). Nah, kalau sudah mau membuktikan bahwa Mahayana itu "salah." Apa lagi kalau bukan upaya "pengalihan keyakinan" walau dengan cara halus?
Itu sama saja dengan agama lain yang berupaya "mengalihkan-keyakinan" orang Buddhis dengan membuktikan bahwa agama Buddha itu "salah" dan keyakinan mereka yang benar.
Bagi saya kalau ingin berdiskusi lintas sekte, cukup sebatas saling memahami. Bahwa Mahayana dan non Mahayana itu memang beda. Tidak perlu dicari mana yang lebih "benar" atau lebih "salah." Cukup mengerti saja: "O Mahayana ini begitu.. Non Mahayana ini begitu." Seperti yang ada di buku David. J. Kalupahana dan Hans Wolfgang Schumann. Semuanya dapat memberikan pandangan mengenai Mahayana dan non Mahayana dari sudut pandang yang netral.
Nah, semoga saja perasaan saya akan adanya usaha "pengalihan-keyakinan" itu salah.
Amiduofo,
Tan
Pada saat itu Sang Buddha menyapa Para Bodhisattva, mahluk-mahluk Kasurgan dan Keempat Kelompok itu dengan bersabda:"Melalui banyak kalpa yang tak terhitung yang telah lewat, Aku telah mencari Hukum Kesunyataan Sutta Bunga Teratai itu dengan tiada henti-hentinya. Selama banyak kalpa lamanya, Aku menjadi Seorang Raja dan berPrasetya untuk mencari Penerangan Agung dengan hati yang tiada pernah ragu. Karena ingin untuk mewujudkan Keenam Paramita, maka sungguh-sungguh Aku berdana dengan setulus hati; Gajah-Gajah, Kuda, Istri-Istri, Anak-Anak, Budak Laki-Laki dan Perempuan, Pelayan-Pelayan dan Pengikut, Kepala, Mata, Sumsum, Otak, Daging Tubuh-Ku, Kaki dan Tangan serta seluruh Jiwa Raga Aku danakan. Pada waktu itu masa hidup manusia adalah tanpa batas. Demi untuk Hukum Kesunyataan Sutta Bunga Teratai ini, Aku tinggalkan Tahta Negeri-Ku dan Aku serahkan Pemerintahan-Ku kepada Pangeran Agung. Dengan tetabuhan genderang dan pemakluman yang menyeluruh, Aku mencari Kebenaran dimanapun jua dengan menjanjikan :"Siapakah gerangan yang dapat mengajarkan sebuah Kendaraan Agung Kepada-Ku, maka kepada-Nya Aku akan mempersembahkan seluruh Hidup-ku dan menjadi Pelayan-Nya." Ketika itu Seorang Pertapa datang Kepada-Ku, Sang Raja
dan berkata:"Hamba mempunyai Satu Kendaraan Agung yang disebut Hukum Kesunyataan Sutta Bunga Teratai Yang Menakjubkan. Jika Paduka mematuhi Hamba, maka Hamba akan mengajarkan-Nya kepada Paduka." Aku, Sang Raja, demi mendengar apa yang telah diucapkan oleh Sang Pertapa itu, menjadi berdebar karena Kegembiraan yang meluap-luap dan segera Aku mengikuti-Nya, melayani segala kebutuhan-Nya, mengumpulkan bebuahan, mengangsu air, mengumpulkan bahan bakar, mempersiapkan daharnya dan bahkan menjadikan Tubuh-Ku sebagai tempat duduk dan tempat tidur-Nya, tetapi meskipun demikian Jiwa dan Raga-Ku tidak pernah merasa letih. Pada saat Aku melayani demikian itu, seribu tahun telah berlalu dan karena demi Hukum itu, Aku melayani-Nya dengan bersemangat sehingga Ia tidak kekurangan apapun jua."
...........
kemudian
Sang Buddha bersabda kepada seluruh Bhiksu:"Raja dimasa dahulu itu adalah Aku Sendiri dan Orang Bijak pada masa itu adalah Sang Devadatta Sendiri. Melalui Persahabatan yang baik dari Sang Devadatta, Aku dapat menjadi sempurna didalam Keenam Paramita, didalam hal Keluhuran, Welas asih, Kebahagiaan dan Pikiran Bebas, didalam hal Ke 32 Tanda, 80 jenis Keistimewaan, Kulit yang berlapis Emas, 10 macam Kekuatan, ke 4 macam Keberanian, ke 4 Angger-Angger Kemasyarakatan, ke 18 ciri-ciri yang khusus, Kekuatan-Kekuatan Ghaib di Jalanan Agung, Pencapaian Penerangan Agung, dan Penyelamatan umat yang menyeluruh, yang semuanya ini semata-mata berkat Persahabatan yang baik dari Sang Devadatta.
Aku nyatakan kepada Kalian Keempat Kelompok: Sang Devadatta nanti, sesudah kemangkatan-Nya dan sesudah sekian kalpa yang tak terhitung berlalu, akan menjadi Seorang Buddha yang bergelar Devaraja, Yang Telah Datang, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, Yang Telah Mencapai Kebebasan Yang Sempurna, Sempurna Pikiran dan Perbuatan, Yang Terbahagia, Maha Tahu Tentang Dunia, Sang Pemimpin Tiada Tandingan, Guru Dewa dan Manusia, Yang Telah Sadar, Yang Dihormati Dunia, dan yang Dunia-Nya akan disebut Devasopanna. Pada saat itu Sang Devaraja akan tinggal di dunia selama 20 kalpa sedang Beliau akan mengkhotbahkan Hukum Kesunyataan Yang Menakjubkan secara luas kepada seluruh umat, dan para mahluk hidup yang banyaknya seperti pasir-pasir dari Sungai Gangga yang akan mencapai KeArhatan; Para Umat yang tanpa terhitung jumlah-Nya seperti pasir-pasir dari Sungai Gangga, mencurahkan Diri Pada Jalan Agung, akan mencapai Kepastian untuk tidak terlahir kembali dan Mereka akan mencapai Tingkatan yang tiada akan jatuh kembali pada kehidupan yang tidak kekal.
kemudian,,,
Sang Buddha bersabda kepada Para Bhiksu: "Seandainya di dalam dunia yang mendatang terdapat Putera ataupun Puteri yang baik, yang mendengarkan Hikmah Sang Devadatta tentang Hukum Kesunyataan Sutta Bunga Teratai Yang Menakjubkan ini dengan Hati Yang Bersih dan Penghormatan karena Keyakinan serta tiada rasa bimbang sedikitpun, maka Orang seperti ini tidak akan terjatuh ke dalam neraka atau menjadi seorang yang berjiwa tanha maupun menjadi seekor hewan, tetapi Ia akan terlahir dihadapan Para Buddha dari alam semesta. Dimanapun juga Ia terlahir, Ia akan selalu mendengar Sutta ini. Dan jika Ia terlahir diantara Para Dewa dan Manusia, maka Ia akan menikmati Kebahagiaan yang tiada taranya. Bagi Sang Buddha yang menyaksikan Kelahiran-Nya haruslah melalui permunculan dari sebuah Bunga Teratai."
saya sungguh tidak mengerti...
sang pertapa(devadatta) mendengarkan sutra ini dari buddha yang lampau, lalu kemudian melafalkan-nya...terus knp devadatta bisa masuk neraka avici?
Orang seperti ini tidak akan terjatuh ke dalam neraka atau menjadi seorang yang berjiwa tanha maupun menjadi seekor hewan, tetapi Ia akan terlahir dihadapan Para Buddha dari alam semesta.
terus..
apabila pertapa(devadatta) mengajarkan hukum ini pada raja(gotama), mengapa sekarang pertapa-nya jadi merosot batin-nya?..
dan jika kita lihat dari kejadian.
dikatakan jauh sebelum kelahiran Gotama,beliau telah mencapai pencerahan sempurna....
tetapi pada waktu menjadi seorang Raja(disini berarti belum sempurna) kok masih butuh pengajaran dari Devadatta, disini berarti Devadatta lebih dulu mempelajari sutra ini jauh sebelum Gotama.
apa mau di jawab upayaklausa lagi?
dari Buddha berpura-pura bertapa menjadi kurus kering selama 6 tahun(hampir mati pula), butuh bimbingan dari guru-guru meditasi....
bahkan dengan nafsu nya memperebutkan gadis pada waktu pernikahan dengan mempertunjukkan kemampuan memanah...
apa ini ciri-ciri dari seorang tercerahkan?
dan aneh-nya mengapa setelah berakting mencapai pencerahan...buddha sangat tidak setuju dengan perbuatan (maaf hubungan intim)
lalu mengapa di satu sisi melakukan hubungan intim?
upaya lagi jawabnya?
saya rasa ini jadi mirip dengan agama tetangga, yang katanya menikah demi melindungi wanita dari perbudakan tau-tau malah melakukan hubungan intim dengan semua istri nya dalam 1 malam. !!!
bahkan dengan gadis dibawah umur....
dan setahu saya devadatta hanya akan menjadi seorang Paccekabuddha...bukan Sammasambuddha..
Sang Devadatta nanti, sesudah kemangkatan-Nya dan sesudah sekian kalpa yang tak terhitung berlalu, akan menjadi Seorang Buddha yang bergelar Devaraja, Yang Telah Datang, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, Yang Telah Mencapai Kebebasan Yang Sempurna, Sempurna Pikiran dan Perbuatan, Yang Terbahagia, Maha Tahu Tentang Dunia, Sang Pemimpin Tiada Tandingan, Guru Dewa dan Manusia, Yang Telah Sadar, Yang Dihormati Dunia, dan yang Dunia-Nya akan disebut Devasopanna.
bukankah kata-kata ini setahu saya selalu di tujukan pada seorang Sammsambuddha.
mohon info,
salam metta.
agar lebih mantap lebih baik kalau tertulis, "saya dengan ikhlas menelusuri thread ini dari page 1." ;D _/\_INDRA:
Sdr. Tan, mohon jawab saya, apakah anda merasa ada usaha untuk mengalih-yakinkan anda? saya melihat thread ini sudah lumayan panjang tapi diskusi sptnya tidak ada kemajuan, dan jika ditambah lagi adanya usaha untuk menconvert seseorang, maka saya akan membekukan thread ini.
sbg info, pada setiap postingan tersedia button "report to moderator" yang bisa anda gunakan jika ada postingan yang tidak selayaknya menurut anda
TAN:
Benar. Saya merasa seolah-olah begitu. Mohon maaf, kalau perasaan saya ini salah. Mengapa saya berperasaan demikian? Karena pada diskusi di milis ini (atau setidaknya pada thread ini) saya melihat rekan-rekan non Mahayana berupaya membuktikan bahwa Mahayana itu "salah" (umpamanya mereka menunjukkan "kejanggalan" tentang Sukhavati dan doktrin-doktrin Mahayana lainnya). Nah, kalau sudah mau membuktikan bahwa Mahayana itu "salah." Apa lagi kalau bukan upaya "pengalihan keyakinan" walau dengan cara halus?
Itu sama saja dengan agama lain yang berupaya "mengalihkan-keyakinan" orang Buddhis dengan membuktikan bahwa agama Buddha itu "salah" dan keyakinan mereka yang benar.
Bagi saya kalau ingin berdiskusi lintas sekte, cukup sebatas saling memahami. Bahwa Mahayana dan non Mahayana itu memang beda. Tidak perlu dicari mana yang lebih "benar" atau lebih "salah." Cukup mengerti saja: "O Mahayana ini begitu.. Non Mahayana ini begitu." Seperti yang ada di buku David. J. Kalupahana dan Hans Wolfgang Schumann. Semuanya dapat memberikan pandangan mengenai Mahayana dan non Mahayana dari sudut pandang yang netral.
Nah, semoga saja perasaan saya akan adanya usaha "pengalihan-keyakinan" itu salah.
Amiduofo,
Tan
Saya terpaksa menelusuri kembali thread ini dari page 1, dan saya tidak menemukan indikasi sehubungan tuduhan anda. anda bergabung dalam thread ini setelah diskusi berjalan hingga page 26, apakah ada member yg mempengaruhi/mengajak anda untuk masuk ke thread ini? kalau anda masuk secara sukarela, anda tentu mengerti bahwa itu bukanlah usah mengconvert anda.
Forum ini tidak mengijinkan adanya usaha2 pengkonversian keyakinan siapapun. beberapa usaha untuk melakukan hal ini oleh orang2 non-buddhist telah kami tindak tegas.
Meskipun anda sudah minta maaf, tapi kerusakan telah terjadi, jadi saya terpaksa memberikan peringatan (SP1) terhadap anda sehubungan dengan tuduhan tidak berdasar ini, agar di masa mendatang anda bisa lebih berhati2.
_/\_
Makanya supaya tidak berbelit saya tanya prakteknya jika tidak lalu untuk apa kita berlatih ?. Misalnya penjelasannya prakteknya gini lho dan ini ada dalam sutra ini. Cirinya mencapai ini adalah itu. paling tidak yg dasar2. Atau Ada penjelasan gamblang ini lho yg dilatih Bodhidharma. Artinya jangan sampai langsung tertulis dia mencapai pencerahan tapi apa landasan latihannya/prakteknya?. Misal telah ditulis meditasi ala mahayana ada a,b,c dan d. Hanya itu saja. Bagaimana dan gimana tidak jelas. Lalu bagaimana kita bisa maju. Karena kemajuan dalam Praktek harus tau cara mengolahnya.Jadi disini sebenarnya bukan untuk membenarkan metode tertentu. Smoga dipahami pointnya, dan saya tidak ada maksud berdebat tanpa dasar. Karena minimnya pengetahuan saya ttg mahayana khususnya maka saya banyak bertanya hal yg lebih konkrit .lebih tepat nya seperti visudhimagga yang menjelaskan cukup terperinci mengenai jalan menuju nibbana,
Contoh begini : Ada seorang bhikkhu melatih untuk menghilangkan kilesa.....lalu mencapai nibbana. Dan tiba2 ada orang lain bilang "membayangkan" padahal yg dilatih benar2 melihat langsung nah tentunya saya tanya koq bisa begitu? atau bisa juga si bhikhu itu bertanya koq kamu tau ?
Contoh lain : sharing saja ya. Misal Anda berlatih pada seorang guru contoh Paauk Sayadaw, lalu kita katakan sudah sampai sini ternyata belum. Lalu diberikan instruksinya yg benar dan dijelaskan mengapa demikian. Dan akhirnya mencapai tahap itu. Dan ini bisa dijelaskan. Nah makanya saya tanya...mungkin selain bro bisa juga praktisi mahayanis lainnya menjelaskan maksud Bodhidharma membayangkan dasarnya apa? Apa ada dalam sutra, apa alasannya ? dan bagaimana cara berlatih menurut sutra? dan apakah cara menurut sutra itu sesuai yg diajarkan Sang Buddha. Kalau Sutta kan jelas ada, jadi disini saya tidak memperbandingkan sutta dan sutra.
Ini Arahat sravaka artinya dibawah arahat seperti sravaka Buddha dibawah Sammasambuddha? istilahnya ngak jelas ;D Dan menurut mahayana emang ada berapa jenis arahat? Karena sepengetahuan saya cara mereka berlatih dan pandangan mereka ttg nibbana pun sejalan dengan Sang Buddha. Dan ini jelas dalam Tipitaka Pali bagaimana Sang Buddha menjelaskan ttg perealisasian nibbana oleh para arahat. Contoh Bahiya , Sariputta dll. Nah permasalahannya jika Mahayana mengakui Tipitaka Pali juga tetapi terjadi pendefinisian bahwa arahat masih ada kilesa maka kontradiktif bukan? Kembali pertanyaan saya yg awal juga "Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktek? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama?" Kalau di satipathana sutta, bahiya sutta dan kitab komentar visuddhi magga sangat jelas rincian latihan/praktek untuk menghilangkan kilesa. Itu maksud pertanyaan saya agar lebih jelas lagi.
Dikatakan dalam Mahayana, Arahat terlepas dari Kilesavarana (Rintangan Kekotoran Batin), namun Bodhisattva terlepas dari Kilesavarana (Rintangan kekotoran batin) dan Jneyavarana (Rintangan Paham). Maka dalam Mahayanapun diakui bahwa Arahat lepas dari kekotorna batin. Meskipun demikian untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi, ia harus bebas dari Jneyavarana. Menurut saya pribadi, Jneyavara berkaitan dengan keempat corak yang disebut dalam Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna, yang terdiri dari ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’.
‘Corak aku’ muncul ketika seseorang berusaha membuktikan dirinya merealisasi nirvana yang tenang dan suci. Ia meyakini bahwa nirvana dalah kondisi batin. Keyakinan ini membuktikan bahwa dirinya masih diliputi oleh sebuah kesadaran subjektif yang mencerminkan keakuan. Pandangan ini muncul karena adanya keyakinan dari semula bahwa hanya “aku” yang bisa mencapai nirvana, sehingga ia memisahkan antara “pengalaman internal” dengan “pengalaman eksternal”. Jika seseorang merasa mencapai Nirvana dengan pemikiran demikian maka ia sebenarnya ia belum merealisasi Nirvana yang sebenarnya.
‘Corak manusia’ adalah kecenderungan di mana ketika seseorang merasa dirinya telah merealisasi nirvana dan ia kemudian menganggap bahwa ia mencapai nirvana, maka ia terjebak pada anggapan yang sebenarnya masih mencerminkan bahwa ia masih memiliki kedirian.
‘Corak makhluk’ adalah rintangan yang muncul ketika ia berhasil menyadari bahwa ‘corak aku’ dan ‘corak manusia’ pada dasarnya adalah kosong tanpa inti, namun ia kemudian menganggap dirinya telah lepas dari corak aku dan corak manusia, sehingga ia merasa menjadi suci. Karena ia masih belum terlepas dari kesan ‘menganggap dirinya’, maka pikiran tersebut adalah ‘Corak makhluk’.
Singkatnya: membuktikan dirinya telah mencapai pencerahan adalah Corak Aku, menganggap dirinya telah sadar adalah Corak Manusia, pemahaman bahwa ia tidak memiliki corak apapun adan Corak Makhluk.
Selanjutnya, karena memiliki ‘daya paham’ akan corak-corak tersebut maka ia dikatakan memiliki Corak kehidupan. Karena bagaimanapun ‘daya paham’ mencerminkan adanya ‘pemahaman’ itu sendiri, yang berarti seseorang masih berjebak dalam diri. Bahkan kesadaran dan daya pengertian yang akan ketiga corak itu sendiri pun pada dasarnya adalah debu, oleh karena itu ‘daya pemahaman’ dan ‘daya sadar’ demikian juga dilepas.
Dalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya. Sedangkan Arahat dan Sravaka diyakini masih memiliki keempat Corak ini.
Demikianlah yang kuketahui. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap yang menyebabkan ketidaksenangan.
lebih tepat nya seperti visudhimagga yang menjelaskan cukup terperinci mengenai jalan menuju nibbana,
sedangkan mahayana, hanya mempratekkan ini, tiba-tiba langsung "Zap" telah mencapai pencerahan..
sedangkan penjelasan-nya tidak ada.^^
MARCEDES:
lebih tepat nya seperti visudhimagga yang menjelaskan cukup terperinci mengenai jalan menuju nibbana,
sedangkan mahayana, hanya mempratekkan ini, tiba-tiba langsung "Zap" telah mencapai pencerahan..
sedangkan penjelasan-nya tidak ada.^^
TAN:
Pandangan yang salah dan jelas sekali memperlihatkan bahwa Anda tidak paham mengenai Mahayana. Di dalam Mahayana sendiri banyak risalah-risalah (sastra) mengenai bagaimana seseorang berpraktik, sehigga tidak langsung "zap" seperti kata Anda. Apakah Anda pernah dengar Yogacarabhumisastra, Cheng Wei Shi Lun, Mo ho Chi Kuan, karya2 Master Zhiyi, gongan2 guru Zen, dll. Apakah semua itu bukan penjelasan tentang metoda berpraktik guna merealisasi pencerahan?
Amiduofo,
Tan
saudara Tan,Quotelebih tepat nya seperti visudhimagga yang menjelaskan cukup terperinci mengenai jalan menuju nibbana,
sedangkan mahayana, hanya mempratekkan ini, tiba-tiba langsung "Zap" telah mencapai pencerahan..
sedangkan penjelasan-nya tidak ada.^^
Di Tibet, Guru Tantrik yang menekankan pembelajaran pada Sutra-sutra Mahayana bahkan menulis Bodhipathapradipa, yang menjadi cikal bakal teks2 Tahapan Jalan (Lamrim) di Tibet.
Lamrim menjelaskan secara terperinci mengenai jalan menuju Nirvana. Di antaranya Lamrim Chenmo [Tahapan Agung Menuju Pencerahan) karya Tsongkhapa, Pembebasan Di Tangan Kita karya Phabongkha Rinpoche, Ornamen Permata Kebebasan karya Gampopa, Ucapan Guruku Yang Sempurna karya Patrul Rinpoche.
Bahkan kalangan Mahayana / Vajrayana Tibetan sangat menentang pandangan pencerahan langsung "Zap".
Semuanya ada TAHAPANNYA.
Lama Jey Tsongkhapa bahkan juga menulis sebuah teks yang menjelaskan secara terperinci tingkatan2 pencapaian menuju Hinayana Arhat dan tingkatan2 menuju Mahayana Arhat (Samyaksambuddha).
Sungguh lucu kalau ada statement seperti yang anda sebutkan.
Ngomong2 apakah anda sudah baca Visuddhi Magga?
Saya sih sudah dikit2. Dan kelengkapan isinya juga nggak jauh beda dengan karya2 Mahayana seperti Abhidharmasamuccayya dan Abhisamayalamkara.
_/\_
The Siddha Wanderer
Jadi begini saya sebenarnya agak enggan menjelaskan kalau hanya untuk debat saja.
^
^
^
Perbedaan pada kualitas parami lebih bisa diterima daripada mengatakan masih ada kilesa pada arahat vs bodhisatva yg merupakan kontradiktif tiada akhir(ini diakibatkan tidak adanya kejelasan praktek dhamma yg bisa dipertanggung jawabkan kecuali ada yg bisa memberikannya secara sutra mengenai praktek langsung-minimal) .Nirvana adalah nirvana, Dhamma adalah dhamma apalagi yg harus dikatakan selain Yatthabhutam nyanadassanam.
GRP sent :jempol:
^
^
^
Perbedaan pada kualitas parami lebih bisa diterima daripada mengatakan masih ada kilesa pada arahat vs bodhisatva yg merupakan kontradiktif tiada akhir(ini diakibatkan tidak adanya kejelasan praktek dhamma yg bisa dipertanggung jawabkan kecuali ada yg bisa memberikannya secara sutra mengenai praktek langsung-minimal) .Nirvana adalah nirvana, Dhamma adalah dhamma apalagi yg harus dikatakan selain Yatthabhutam nyanadassanam.
GRP sent :jempol:
Saya malah merasa perbedaan kualitas ya adalah juga kata lain dari perbedaan tingkatan tertentu, bisa karena masih ada kilesa atau apa sajalah, memungkinkan bukan? karena beda kualitas toh? :)
Bro. truth lover,
Tidak usah menyindir dengan bahasa yang "sopan". Apabila anda posting dengan niat seperti ini terus, maka terpaksa akan saya karantina postingan anda baik yang di topik ini atau topik lainnya.
Apa anda pikir Mahayana tidak menghormati Sakyamuni sebagai Guru Utama? Lalu "Namo Penshi Shijia Moni Fo" itu apa?
Amitabha Buddha dalam paham Mahayana adalah Sambhogakaya dari Buddha ke-4 di masa Bhadrakalpa ini yaitu Sakyamuni Buddha. Lima Panca Dhyani Buddha bermanasi menjadi Lima Samyasakmbuddha pada masa Bhadrakalpa ini.
Jadi Amitabha = ya Shakyamuni Buddha.
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote
Apa yang diajarkan oleh Bodhidharma adalah pencerahan seketika yang tidak mengikuti penembusan melalui Jhana 1, 2, 3 dan seterusnya, namun langsung menembus Landasan kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi guna mendekati kondisi yang paling dekat dengan Nirvana.
Maaf ini agak rancu, untuk mencapai jhana ini tidak bisa langsung lompat. Kelihatanya lompat karena kemahiranya padahal ia melewati pintu demi pintu dengan cepat. Jadi bila dikatakan langsung ini tidak sesuai dengan praktek/hal yg sebenarnya dan teori jhana. Perlu diingat kalau tidak salah Bodhidharma bertapa 13 tahun di goa menghadap dinding. Dan memiliki kesaktian (yg biasanya didasarkan jhana 4). Yg dimungkinkan bila ia melatih direct vipasana. Bukan jhana lompat. _/\_QuoteMasalahnya adalah ada perbedaan konsep pencapaian nirvana antara Theravada dan Mahayana yang memang menyebabkan perdebatan dalam topik ini. Terutama pandangan Mahayana bahwa Bodhisattva mampu menunda realisasi Nirvana Absolut dan tetap mempertahankan kondisi "nirvana mikro" (Bodhicitta) dalam setiap tindakannya. Sedangkan bagi Theravada, tidak ada bedanya antara Nirvana yang direalisasi oleh Sang Buddha dengan yang dicapai oleh siswa-siswanya. Perbedaan ini, tampaknya berkaitan dengan persoalan yang pelik dan sulit dibuktikan oleh kedua belah pihak, karena menyangkut tentang Nirvana yang hanya memang bisa dipahami oleh yang menembusnya.
Bodhisatva menunda karena ingin menjadi SammasamBuddha bukan? Jika saat itu juga dia realisasikan tentu jadi arahat tapi karena tekad untuk menjadi Buddha maka tertunda, disini artinya masih ada Bhava tanha(keinginan utk menjadi) inilah yg disebut kilesa. Saya memahami masalah nirwana pelik, tetapi mengapa Sang Buddha mengatakan siswa2 arahat telah bersih dari kilesa/nibbana?QuoteDalam hal ini, Mahayana menganggap bahwa terjadinya kesalahpahaman para Sravaka bahwa "nirvana mikro" adalah Nirvana Mutlak.Dalam hal ini, Bodhidharma sebagai Mahayanis, dan sesuai dengan pencapaiannya, membenarkan bahwa Para Sravaka belum mencapai "pantai seberang." Sedangkan Para Arahat (Pacceka Buddha) mencapai "pantai seberang," namun Para Bodhisattva melampaui "pantai ini" ataupun "pantai seberang." Tentu saja ini hanyalah gambaran kasar, bukan mencerminkan pencapaian sesungguhnya ataupun identitas seperti apapun yang diberikan padanya. Seorang Guru yang dinamai sebagai "Arahat" jika ia memiliki kualitas seperti halnya seorang Bodhisattva maka ia adalah "yang melampaui pantai ini ataupun pantai seberang". Seorang Guru yang meski dijuluki siswa Mahayana sebagai "Bodhisattva" namun jika kualitasnya adalah Sravaka, ia tetap adalah "yang belum mencapai pantai seberang." Dalam hal ini, mohon kita tidak terlalu terikat dengan label-label seperti "Sravaka", "Arahat", "Bodhisattva," dsb-nya. Bukankah bagi Bodhidharma kata-kata dan wujud justru adalah cerminan dari delusi?
Apa sih nirvana menurut mahayana? apa juga arti nirvana mikro dan absolut? Kalau bicara Arahat bukan hanya Pacekka Buddha. Savaka Buddha, pacceka Buddha dan Sammasambuddha adalah arahat. Kalau Sravaka Arahat baru dengar juga sih ;D. Kalo sravaka/savaka arahat masih ada kilesa masih bisa diterima.QuoteOleh karena itu, saya sepakat dengan anda bahwa dalam membahas hal seperti ini diskusi yang berbelit-belit hanya akan memperumit keadaan, karena selama ini saya selalu menolak membahas hal ini. Sebaliknya saya kurang setuju dengan pandangan bahwa cukup dengan penjabaran teknik-teknik meditasi dan dukungan referensi sutta ataupun sutra dapat menjernihkan persoalan ini. Sekali lagi, cara penjabaran demikian dengan menyusun deskripsi pencapaiannya secara detil tahap demi tahap yang kemudian dikait-kaitan dengan referensi sutta tidak membuktikan suatu pendekatan lebih baik daripada lainnya, sebab bagaimanapun yang tejadi hanyalah usaha memberikan pembenaran terhadap suatu metode tertentu.
Makanya supaya tidak berbelit saya tanya prakteknya jika tidak lalu untuk apa kita berlatih ?. Misalnya penjelasannya prakteknya gini lho dan ini ada dalam sutra ini. Cirinya mencapai ini adalah itu. paling tidak yg dasar2. Atau Ada penjelasan gamblang ini lho yg dilatih Bodhidharma. Artinya jangan sampai langsung tertulis dia mencapai pencerahan tapi apa landasan latihannya/prakteknya?. Misal telah ditulis meditasi ala mahayana ada a,b,c dan d. Hanya itu saja. Bagaimana dan gimana tidak jelas. Lalu bagaimana kita bisa maju. Karena kemajuan dalam Praktek harus tau cara mengolahnya.Jadi disini sebenarnya bukan untuk membenarkan metode tertentu. Smoga dipahami pointnya, dan saya tidak ada maksud berdebat tanpa dasar. Karena minimnya pengetahuan saya ttg mahayana khususnya maka saya banyak bertanya hal yg lebih konkrit .
Contoh begini : Ada seorang bhikkhu melatih untuk menghilangkan kilesa.....lalu mencapai nibbana. Dan tiba2 ada orang lain bilang "membayangkan" padahal yg dilatih benar2 melihat langsung nah tentunya saya tanya koq bisa begitu? atau bisa juga si bhikhu itu bertanya koq kamu tau ?
Contoh lain : sharing saja ya. Misal Anda berlatih pada seorang guru contoh Paauk Sayadaw, lalu kita katakan sudah sampai sini ternyata belum. Lalu diberikan instruksinya yg benar dan dijelaskan mengapa demikian. Dan akhirnya mencapai tahap itu. Dan ini bisa dijelaskan. Nah makanya saya tanya...mungkin selain bro bisa juga praktisi mahayanis lainnya menjelaskan maksud Bodhidharma membayangkan dasarnya apa? Apa ada dalam sutra, apa alasannya ? dan bagaimana cara berlatih menurut sutra? dan apakah cara menurut sutra itu sesuai yg diajarkan Sang Buddha. Kalau Sutta kan jelas ada, jadi disini saya tidak memperbandingkan sutta dan sutra.QuoteDikatakan dalam Mahayana, Arahat terlepas dari Kilesavarana (Rintangan Kekotoran Batin), namun Bodhisattva terlepas dari Kilesavarana (Rintangan kekotoran batin) dan Jneyavarana (Rintangan Paham). Maka dalam Mahayanapun diakui bahwa Arahat lepas dari kekotorna batin. Meskipun demikian untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi, ia harus bebas dari Jneyavarana. Menurut saya pribadi, Jneyavara berkaitan dengan keempat corak yang disebut dalam Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna, yang terdiri dari ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’.
Apa arti jneyavarana menurut sutra Mahayana sendiri selain pandangan bro pribadi.?
Apakah Jneyavarana adalah juga kilesa?
4 corak itu adalah tentang micchaditthi yg telah tidak ada lagi pada diri arahat dan prakteknya juga demikian. Jangan2 yg dimaksud non mahayanis arahat sebenarnya bodhisatva di mahayanis lagi, karena masalah konsep, nah lho ;D (spekulatif deh...)QuoteDalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya. Sedangkan Arahat dan Sravaka diyakini masih memiliki keempat Corak ini.
Berarti ini karena diyakini? bukan fakta lapangan dong ;DQuoteDemikianlah yang kuketahui. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap yang menyebabkan ketidaksenangan.
Demikian juga saya ;D _/\_
Quotelebih tepat nya seperti visudhimagga yang menjelaskan cukup terperinci mengenai jalan menuju nibbana,
sedangkan mahayana, hanya mempratekkan ini, tiba-tiba langsung "Zap" telah mencapai pencerahan..
sedangkan penjelasan-nya tidak ada.^^
Di Tibet, Guru Tantrik yang menekankan pembelajaran pada Sutra-sutra Mahayana (Atisha) bahkan menulis Bodhipathapradipa, yang menjadi cikal bakal teks2 Tahapan Jalan (Lamrim) di Tibet.
Lamrim menjelaskan secara terperinci mengenai jalan menuju Nirvana. Di antaranya Lamrim Chenmo [Tahapan Agung Menuju Pencerahan) karya Tsongkhapa, Pembebasan Di Tangan Kita karya Phabongkha Rinpoche, Ornamen Permata Kebebasan karya Gampopa, Ucapan Guruku Yang Sempurna karya Patrul Rinpoche.
Bahkan kalangan Mahayana / Vajrayana Tibetan sangat menentang pandangan pencerahan langsung "Zap".
Semuanya ada TAHAPANNYA.
Lama Jey Tsongkhapa bahkan juga menulis sebuah teks yang menjelaskan secara terperinci tingkatan2 pencapaian menuju Hinayana Arhat dan tingkatan2 menuju Mahayana Arhat (Samyaksambuddha).
Sungguh lucu kalau ada statement seperti yang anda sebutkan.
Ngomong2 apakah anda sudah baca Visuddhi Magga?
Saya sih sudah dikit2. Dan kelengkapan isinya juga nggak jauh beda dengan karya2 Mahayana seperti Abhidharmasamuccayya dan Abhisamayalamkara.
_/\_
The Siddha Wanderer
INDRA:
Sdr. Tan, mohon jawab saya, apakah anda merasa ada usaha untuk mengalih-yakinkan anda? saya melihat thread ini sudah lumayan panjang tapi diskusi sptnya tidak ada kemajuan, dan jika ditambah lagi adanya usaha untuk menconvert seseorang, maka saya akan membekukan thread ini.
sbg info, pada setiap postingan tersedia button "report to moderator" yang bisa anda gunakan jika ada postingan yang tidak selayaknya menurut anda
TAN:
Benar. Saya merasa seolah-olah begitu. Mohon maaf, kalau perasaan saya ini salah. Mengapa saya berperasaan demikian? Karena pada diskusi di milis ini (atau setidaknya pada thread ini) saya melihat rekan-rekan non Mahayana berupaya membuktikan bahwa Mahayana itu "salah" (umpamanya mereka menunjukkan "kejanggalan" tentang Sukhavati dan doktrin-doktrin Mahayana lainnya). Nah, kalau sudah mau membuktikan bahwa Mahayana itu "salah." Apa lagi kalau bukan upaya "pengalihan keyakinan" walau dengan cara halus?
Itu sama saja dengan agama lain yang berupaya "mengalihkan-keyakinan" orang Buddhis dengan membuktikan bahwa agama Buddha itu "salah" dan keyakinan mereka yang benar.
Bagi saya kalau ingin berdiskusi lintas sekte, cukup sebatas saling memahami. Bahwa Mahayana dan non Mahayana itu memang beda. Tidak perlu dicari mana yang lebih "benar" atau lebih "salah." Cukup mengerti saja: "O Mahayana ini begitu.. Non Mahayana ini begitu." Seperti yang ada di buku David. J. Kalupahana dan Hans Wolfgang Schumann. Semuanya dapat memberikan pandangan mengenai Mahayana dan non Mahayana dari sudut pandang yang netral.
Nah, semoga saja perasaan saya akan adanya usaha "pengalihan-keyakinan" itu salah.
Amiduofo,
Tan
Saya terpaksa menelusuri kembali thread ini dari page 1, dan saya tidak menemukan indikasi sehubungan tuduhan anda. anda bergabung dalam thread ini setelah diskusi berjalan hingga page 26, apakah ada member yg mempengaruhi/mengajak anda untuk masuk ke thread ini? kalau anda masuk secara sukarela, anda tentu mengerti bahwa itu bukanlah usah mengconvert anda.
Forum ini tidak mengijinkan adanya usaha2 pengkonversian keyakinan siapapun. beberapa usaha untuk melakukan hal ini oleh orang2 non-buddhist telah kami tindak tegas.
Meskipun anda sudah minta maaf, tapi kerusakan telah terjadi, jadi saya terpaksa memberikan peringatan (SP1) terhadap anda sehubungan dengan tuduhan tidak berdasar ini, agar di masa mendatang anda bisa lebih berhati2.
_/\_
Dalam Sutra YeBaoChaBieJing (Sutra tentang berbagai jenis karma) menyebutkan bahwa terdapat sepuluh manfaat dari melafal nama Buddha dengan suara lantang:
1. Mengatasi rasa kantuk
2. Membuat takut Mara.
3. Suara berdentang ke sepuluh penjuru
4. Penderitaan di 3 alam buruk menjadi jeda
5. Suara lain tidak dapat masuk (menjadi tidak terganggu)
6. Pikiran menjadi tidak berkeliaran
7. Semangat dan tekun
8. Para Buddha "bergembira"
9. Mencapai kedaan Samadhi
10. Terlahir di Tanah murni.
saya sekalian mau tanya yang nomor 8 itu..
apa benar? jadi buddha yang parinibbana masih memiliki indra pendengar?
-------------
kalau begitu minta om Tan saja...
INDRA:
Sdr. Tan, mohon jawab saya, apakah anda merasa ada usaha untuk mengalih-yakinkan anda? saya melihat thread ini sudah lumayan panjang tapi diskusi sptnya tidak ada kemajuan, dan jika ditambah lagi adanya usaha untuk menconvert seseorang, maka saya akan membekukan thread ini.
sbg info, pada setiap postingan tersedia button "report to moderator" yang bisa anda gunakan jika ada postingan yang tidak selayaknya menurut anda
TAN:
Benar. Saya merasa seolah-olah begitu. Mohon maaf, kalau perasaan saya ini salah. Mengapa saya berperasaan demikian? Karena pada diskusi di milis ini (atau setidaknya pada thread ini) saya melihat rekan-rekan non Mahayana berupaya membuktikan bahwa Mahayana itu "salah" (umpamanya mereka menunjukkan "kejanggalan" tentang Sukhavati dan doktrin-doktrin Mahayana lainnya). Nah, kalau sudah mau membuktikan bahwa Mahayana itu "salah." Apa lagi kalau bukan upaya "pengalihan keyakinan" walau dengan cara halus?
Itu sama saja dengan agama lain yang berupaya "mengalihkan-keyakinan" orang Buddhis dengan membuktikan bahwa agama Buddha itu "salah" dan keyakinan mereka yang benar.
Bagi saya kalau ingin berdiskusi lintas sekte, cukup sebatas saling memahami. Bahwa Mahayana dan non Mahayana itu memang beda. Tidak perlu dicari mana yang lebih "benar" atau lebih "salah." Cukup mengerti saja: "O Mahayana ini begitu.. Non Mahayana ini begitu." Seperti yang ada di buku David. J. Kalupahana dan Hans Wolfgang Schumann. Semuanya dapat memberikan pandangan mengenai Mahayana dan non Mahayana dari sudut pandang yang netral.
Nah, semoga saja perasaan saya akan adanya usaha "pengalihan-keyakinan" itu salah.
Amiduofo,
Tan
Saya terpaksa menelusuri kembali thread ini dari page 1, dan saya tidak menemukan indikasi sehubungan tuduhan anda. anda bergabung dalam thread ini setelah diskusi berjalan hingga page 26, apakah ada member yg mempengaruhi/mengajak anda untuk masuk ke thread ini? kalau anda masuk secara sukarela, anda tentu mengerti bahwa itu bukanlah usah mengconvert anda.
Forum ini tidak mengijinkan adanya usaha2 pengkonversian keyakinan siapapun. beberapa usaha untuk melakukan hal ini oleh orang2 non-buddhist telah kami tindak tegas.
Meskipun anda sudah minta maaf, tapi kerusakan telah terjadi, jadi saya terpaksa memberikan peringatan (SP1) terhadap anda sehubungan dengan tuduhan tidak berdasar ini, agar di masa mendatang anda bisa lebih berhati2.
_/\_
Saya rasa Kaum Theravadin tidak berkepentingan untuk mengkonversi rekan-rekan Mahayanis di sini.
Yang menjadi dasar mengapa thread ini dibuat, karena thread ini bisa dijadikan sebagai ajang kritisasi studi banding Mahayana dan Theravada. Jika Bro Tan hanya ingin menjelaskan konsep, lalu mengharapkan Kaum Theravadin di sini mengucapkan "oh begitu, ya sudah", itu tidak lebih dari sebuah tanya-jawab formal. Kalau ingin berdiskusi dalam metode seperti itu, lebih baik adakan saja tanya-jawab di thread Tanya - Jawab untuk Pemula. Dan itu adalah hal yang sangat klise.
Komentar, pertanyaan maupun pernyataan dari Kaum Theravadin di sini sebaiknya jangan ditanggapi sebagai serangan fundamentalis pada doktrin-doktrin Mahayana. Anggap saja jika ini sebagai sesi pembuktian seberapa valid-kah konsep di Mahayana. Hal ini wajar saja, karena kami Umat Theravadin pun melakukan hal yang sama dalam mengktitisasi konsep di Theravada. Namun bedanya, kami mengkritisinya sendiri; sedangkan kritisasi terhadap Mahayana dilakukan dalam diskusi terbuka.
Namun satu hal yang saya harapkan, diskusi ini sebaiknya bukan berdasarkan atas pembenaran konsep. Seringkali saya lihat bahwa ada usaha untuk membenarkan suatu konsep ketika terpojok. Nah, hal seperti inilah yang seharusnya tidak dipegang dalam berdiskusi.
Diskusi ini kondusif, apabila semua pihak tidak bersikap deffensive.
Jadi maksudnya ada revisi baru Buddhisme yang mewacanakan tahapan Pencerahan dari Para Lama?
Nampaknya semakin kontradiksi dengan versi Sang Buddha.
Begitu bukan? Atau bukankah begitu?
Yang menjadi dasar mengapa thread ini dibuat, karena thread ini bisa dijadikan sebagai ajang kritisasi studi banding Mahayana dan Theravada. Jika Bro Tan hanya ingin menjelaskan konsep, lalu mengharapkan Kaum Theravadin di sini mengucapkan "oh begitu, ya sudah", itu tidak lebih dari sebuah tanya-jawab formal. Kalau ingin berdiskusi dalam metode seperti itu, lebih baik adakan saja tanya-jawab di thread Tanya - Jawab untuk Pemula. Dan itu adalah hal yang sangat klise.
Komentar, pertanyaan maupun pernyataan dari Kaum Theravadin di sini sebaiknya jangan ditanggapi sebagai serangan fundamentalis pada doktrin-doktrin Mahayana. Anggap saja jika ini sebagai sesi pembuktian seberapa valid-kah konsep di Mahayana. Hal ini wajar saja, karena kami Umat Theravadin pun melakukan hal yang sama dalam mengktitisasi konsep di Theravada. Namun bedanya, kami mengkritisinya sendiri; sedangkan kritisasi terhadap Mahayana dilakukan dalam diskusi terbuka.
Namun satu hal yang saya harapkan, diskusi ini sebaiknya bukan berdasarkan atas pembenaran konsep. Seringkali saya lihat bahwa ada usaha untuk membenarkan suatu konsep ketika terpojok. Nah, hal seperti inilah yang seharusnya tidak dipegang dalam berdiskusi.
Saudara Tan yg bijak,Dalam Sutra YeBaoChaBieJing (Sutra tentang berbagai jenis karma) menyebutkan bahwa terdapat sepuluh manfaat dari melafal nama Buddha dengan suara lantang:
1. Mengatasi rasa kantuk
2. Membuat takut Mara.
3. Suara berdentang ke sepuluh penjuru
4. Penderitaan di 3 alam buruk menjadi jeda
5. Suara lain tidak dapat masuk (menjadi tidak terganggu)
6. Pikiran menjadi tidak berkeliaran
7. Semangat dan tekun
8. Para Buddha "bergembira"
9. Mencapai kedaan Samadhi
10. Terlahir di Tanah murni.
saya sekalian mau tanya yang nomor 8 itu..
apa benar? jadi buddha yang parinibbana masih memiliki indra pendengar?
-------------
kalau begitu minta om Tan saja...
Mendengar itu merupakan aktifitas. Mendengar itu adalah wujud dari maitri-karuna.
Jadi memang setelah Parinirvana, Para Buddha masih bisa mendengar.
Oleh karena itu Para Buddha bisa mendengarkan nianfo dari pengikut-Nya.
Oleh karena itu pula kebahagiaan Para Buddha di Nirvana akan semakin bertambah setelah mendengarkan nianfo (melafal Buddha) dari para pengikut-Nya.
Apakah Sdr. Marcedes setuju?!
Begitu bukan? Atau bukankah begitu?
Saya rasa Kaum Theravadin tidak berkepentingan untuk mengkonversi rekan-rekan Mahayanis di sini.
Yang menjadi dasar mengapa thread ini dibuat, karena thread ini bisa dijadikan sebagai ajang kritisasi studi banding Mahayana dan Theravada. Jika Bro Tan hanya ingin menjelaskan konsep, lalu mengharapkan Kaum Theravadin di sini mengucapkan "oh begitu, ya sudah", itu tidak lebih dari sebuah tanya-jawab formal. Kalau ingin berdiskusi dalam metode seperti itu, lebih baik adakan saja tanya-jawab di thread Tanya - Jawab untuk Pemula. Dan itu adalah hal yang sangat klise.
Komentar, pertanyaan maupun pernyataan dari Kaum Theravadin di sini sebaiknya jangan ditanggapi sebagai serangan fundamentalis pada doktrin-doktrin Mahayana. Anggap saja jika ini sebagai sesi pembuktian seberapa valid-kah konsep di Mahayana. Hal ini wajar saja, karena kami Umat Theravadin pun melakukan hal yang sama dalam mengktitisasi konsep di Theravada. Namun bedanya, kami mengkritisinya sendiri; sedangkan kritisasi terhadap Mahayana dilakukan dalam diskusi terbuka.
Namun satu hal yang saya harapkan, diskusi ini sebaiknya bukan berdasarkan atas pembenaran konsep. Seringkali saya lihat bahwa ada usaha untuk membenarkan suatu konsep ketika terpojok. Nah, hal seperti inilah yang seharusnya tidak dipegang dalam berdiskusi.
Diskusi ini kondusif, apabila semua pihak tidak bersikap deffensive.
bro upasaka,Jempol deh...setuju-setuju
Bila memang terwujud seperti yang anda ucapkan, maka tentu hal itu adalah sangat baik.
Namun bila anda melihat postingan di sini, justru ada beberapa pertanyaan yang diulang2 terus padahal dulu sudah dijawab [dan nggak ada respon dari si pihak Theravadin!). Belakangan malah topik yang sama diungkit2 lagi. Cape dee... udah susah2 dijelasin malah dilupakan!
Kalau memang ada niat belajar / membandingkan Dharma dengan benar, tentu tidak dengan segitu mudahnya dilupakan.
Pun juga ada berbagai postingan sindiran yang tidak pantas.
Walaupun mungkin bro Tan melakukan kekeliruan, maka itupun juga wajar karena kalau anda melihat beberapa pihak Theravadin (tidak semua lo!) yang ikut berdebat pun sering mengeluarkan kata2 yang provokatif, sindiran2.
Dan saya lihat tidak semua rekan2 Theravada di sini dapat berdiskusi dengan baik dan objektif. Kritikan dari seseorang yang benar2 mengkritisi dan dari orang yang menyindir Mahayana akan sangat jelas terlihat bedanya.
Pembenaran suatu konsep pun juga ada di kalangan Theravadin yang berdebat di sini. Jadi tidak semua kekeliruan ada pada pihak Mahayanis. Bahkan kalau boleh saya katakan, banyak juga yang sudah "terikat" dengan aliran tertentu, jadi dalam berdiskusi, sadar atau tidak sadar, membenarkan konsepnya.
Masalah konversi keyakinan saya kurang setuju terhadap bro. Tan. Saya rasa rekan2 di sini tidak sampe segitunya. Namun jujur saya merasakan adanya usaha untuk menyangkal ajaran Mahayana dan menentangnya sebagai ajaran asli Sang Buddha! Tapi ini cuma "roso" lo... haha.... Boleh anda terima boleh tidak.
Namaste
The Siddha Wanderer
sy tunggu saja...tq
[at] bro Marcedes,
Tentang kisah devadatta di sutra teratai, kapan2 dilanjut deh...pdhal udah jelasin bla..bla..tau2 klik..eh ilang semua wkwkwkw
:-t :-t #:-S #:-S ~X( ~X( ~X( ~X( [-o< [-o< [-o< [-o<
ternyata ajaran Buddha itu begitu rumit melihat diskusi ini membuat aye pusing kakakakakak
chingik :
udeh, yg basa basi diabaikan aja, diskusi yg elegan dan atas dasar berbagi wawasan aja.
awalnya memang males kalo diskusinya sperti putar2, tapi gw demen deh kalo pertanyaan yg objektif, tidak pake atribut emosi, sindiran, dll.,. yg kayak gitu bikin batin suka melenceng ke arah kusala citta. cape soalnya butuh usaha utk balik ke sikap netral lagi..hehe
Maaf ini agak rancu, untuk mencapai jhana ini tidak bisa langsung lompat. Kelihatanya lompat karena kemahiranya padahal ia melewati pintu demi pintu dengan cepat. Jadi bila dikatakan langsung ini tidak sesuai dengan praktek/hal yg sebenarnya dan teori jhana. Perlu diingat kalau tidak salah Bodhidharma bertapa 13 tahun di goa menghadap dinding. Dan memiliki kesaktian (yg biasanya didasarkan jhana 4). Yg dimungkinkan bila ia melatih direct vipasana. Bukan jhana lompat. _/\_
Bodhisatva menunda karena ingin menjadi SammasamBuddha bukan? Jika saat itu juga dia realisasikan tentu jadi arahat tapi karena tekad untuk menjadi Buddha maka tertunda, disini artinya masih ada Bhava tanha(keinginan utk menjadi) inilah yg disebut kilesa. Saya memahami masalah nirwana pelik, tetapi mengapa Sang Buddha mengatakan siswa2 arahat telah bersih dari kilesa/nibbana?
Apa sih nirvana menurut mahayana? apa juga arti nirvana mikro dan absolut? Kalau bicara Arahat bukan hanya Pacekka Buddha. Savaka Buddha, pacceka Buddha dan Sammasambuddha adalah arahat. Kalau Sravaka Arahat baru dengar juga sih ;D. Kalo sravaka/savaka arahat masih ada kilesa masih bisa diterima.
Makanya supaya tidak berbelit saya tanya prakteknya jika tidak lalu untuk apa kita berlatih ?. Misalnya penjelasannya prakteknya gini lho dan ini ada dalam sutra ini. Cirinya mencapai ini adalah itu. paling tidak yg dasar2. Atau Ada penjelasan gamblang ini lho yg dilatih Bodhidharma. Artinya jangan sampai langsung tertulis dia mencapai pencerahan tapi apa landasan latihannya/prakteknya?. Misal telah ditulis meditasi ala mahayana ada a,b,c dan d. Hanya itu saja. Bagaimana dan gimana tidak jelas. Lalu bagaimana kita bisa maju. Karena kemajuan dalam Praktek harus tau cara mengolahnya.Jadi disini sebenarnya bukan untuk membenarkan metode tertentu. Smoga dipahami pointnya, dan saya tidak ada maksud berdebat tanpa dasar. Karena minimnya pengetahuan saya ttg mahayana khususnya maka saya banyak bertanya hal yg lebih konkrit.
Contoh begini : Ada seorang bhikkhu melatih untuk menghilangkan kilesa.....lalu mencapai nibbana. Dan tiba2 ada orang lain bilang "membayangkan" padahal yg dilatih benar2 melihat langsung nah tentunya saya tanya koq bisa begitu? atau bisa juga si bhikhu itu bertanya koq kamu tau ?
Contoh lain : sharing saja ya. Misal Anda berlatih pada seorang guru contoh Paauk Sayadaw, lalu kita katakan sudah sampai sini ternyata belum. Lalu diberikan instruksinya yg benar dan dijelaskan mengapa demikian. Dan akhirnya mencapai tahap itu. Dan ini bisa dijelaskan. Nah makanya saya tanya...mungkin selain bro bisa juga praktisi mahayanis lainnya menjelaskan maksud Bodhidharma membayangkan dasarnya apa? Apa ada dalam sutra, apa alasannya ? dan bagaimana cara berlatih menurut sutra? dan apakah cara menurut sutra itu sesuai yg diajarkan Sang Buddha. Kalau Sutta kan jelas ada, jadi disini saya tidak memperbandingkan sutta dan sutra.
Apa arti jneyavarana menurut sutra Mahayana sendiri selain pandangan bro pribadi.?
Apakah Jneyavarana adalah juga kilesa?
4 corak itu adalah tentang micchaditthi yg telah tidak ada lagi pada diri arahat dan prakteknya juga demikian. Jangan2 yg dimaksud non mahayanis arahat sebenarnya bodhisatva di mahayanis lagi, karena masalah konsep, nah lho ;D (spekulatif deh...)
Berarti ini karena diyakini? bukan fakta lapangan dong ;D
Lagipula kedua guru Bodhisatta Gotama,Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang mengajarkansaudara Sobat-dharma,
:-t :-t #:-S #:-S ~X( ~X( ~X( ~X( [-o< [-o< [-o< [-o<
ternyata ajaran Buddha itu begitu rumit melihat diskusi ini membuat aye pusing kakakakakakQuotechingik :
udeh, yg basa basi diabaikan aja, diskusi yg elegan dan atas dasar berbagi wawasan aja.
awalnya memang males kalo diskusinya sperti putar2, tapi gw demen deh kalo pertanyaan yg objektif, tidak pake atribut emosi, sindiran, dll.,. yg kayak gitu bikin batin suka melenceng ke arah kusala citta. cape soalnya butuh usaha utk balik ke sikap netral lagi..hehe
Saya ingat sepupuh ke 3 HIU NENG itu BUTA HURUF...gak sekolah.. tapi bisa mencapai pencerahan...
sewaktu belajar sama HONG REN... dia malah disuruh tumbuk beras aja.. (bukan diajarin berdebat)...
Dia cukup mendengarkan sebait kalimat dari Diamond sutta, udah bisa tersadarkan...
Kenapa disini kita berdebat sampai begitu SENGIT.... panjang2
gw belum tercerahkan... mohon bimbingan dari petinggi Mahayana....
tentang cara Hui Neng mencapai pencerahan supaya bisa diterapkan pada saya...
terima kasih sebelumnya..
saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?
salam metta.
Maaf ini agak rancu, untuk mencapai jhana ini tidak bisa langsung lompat. Kelihatanya lompat karena kemahiranya padahal ia melewati pintu demi pintu dengan cepat. Jadi bila dikatakan langsung ini tidak sesuai dengan praktek/hal yg sebenarnya dan teori jhana. Perlu diingat kalau tidak salah Bodhidharma bertapa 13 tahun di goa menghadap dinding. Dan memiliki kesaktian (yg biasanya didasarkan jhana 4). Yg dimungkinkan bila ia melatih direct vipasana. Bukan jhana lompat. _/\_
Munkin terdengar rancu buat yang menganut paham pencerahan secara bertingkat. Paham bahwa seseorang harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst hingga mencapai Nirvana memang tidak keliru. Demikian yang dtulis dalam Sammanaphala Sutta dan pola demikian terus diulang-ulang dalam sutta pali lainnya. Namun, urutan demikian dibabarkan semata-mata berdasarkan pengalaman pribadi Sang Buddha Gotama. Buddha Gotama sendiri pernah bercerita tentang Buddha Vipassi yang tidak melalui urutan demikian dalam mencapai pencerahan sempurna (kalau nggak salah dalam Mahapadana Sutta). Lagipula kedua guru Bodhisatta Gotama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang mengajarkan Landasan Kekosongan dan Landasan tanpa-persepsi dan bukan tanpa-persepsi pada Beliau, tidak dikatakan melalui tahap-tahap secara urut seperti yang diajarkan Buddha Gotama. Bahkan Sang Bodhisatta Gotama mempelajari kedua landasan dari dua guru yang berbeda. Dengan demikian, anggapan harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst. sebenarnya hanyalah suatu prosedur alternatif, bukan keharusan.
Bahkan dalam Theravada sendiri, ada Mahasi Sayadaw yang berpendapat bahwa Jhana tidak harus dicapai dahulu untuk mempraktikkan Vipassana. Namun ada sebagian guru dalam Theravada seperti Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm yang mengatakan bahwa Jhana adalah pintu masuk ke semua pencapaian (saya pribadi menyebut pandangan ini sebagai Pan-Jhanaisme).
Pengalaman Bodhidharma justru menggambarkan bagaimana Jhana 1-4 bisa dicapai dengan mudah melalui pintu masuk lain, yaitu langsung melihat ke Bodhicitta atau Pikiran Kebuddhaan. Kalau anda bertanya bagaimana metode pastinya. Saya akan menjawab bahwa pada dasarnya Zen adalah Metode tanpa-metode. Zen adalah metode yang tidak terikat pada suatu cara atau wujud tertentu. Bentuk praktiknya bisa seperti apapun, namun yang penting adalah praktisi Zen terus mengamati pikirannya (citta). Maka dalam Zen tidak peduli apakah yang seseorang praktikkan adalah meditasi samatha bhavana, metta bavana, vipassana bhavana, nienfo, kong-an, dll, jika ia tidak mengawasi pikirannya maka ia akan menyimpang. Dalam Zen, Jhana (sebagaimana yang dimaksud dalam Jhana 1, 2, 3 dan 4 ) hanyalah efek samping dari seseorang yang menjadi sadar akan Bodhicittanya.
by sobat dharma
Munkin terdengar rancu buat yang menganut paham pencerahan secara bertingkat. Paham bahwa seseorang harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst hingga mencapai Nirvana memang tidak keliru. Demikian yang dtulis dalam Sammanaphala Sutta dan pola demikian terus diulang-ulang dalam sutta pali lainnya. Namun, urutan demikian dibabarkan semata-mata berdasarkan pengalaman pribadi Sang Buddha Gotama. Buddha Gotama sendiri pernah bercerita tentang Buddha Vipassi yang tidak melalui urutan demikian dalam mencapai pencerahan sempurna (kalau nggak salah dalam Mahapadana Sutta). Lagipula kedua guru Bodhisatta Gotama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang mengajarkan Landasan Kekosongan dan Landasan tanpa-persepsi dan bukan tanpa-persepsi pada Beliau, tidak dikatakan melalui tahap-tahap secara urut seperti yang diajarkan Buddha Gotama. Bahkan Sang Bodhisatta Gotama mempelajari kedua landasan dari dua guru yang berbeda. Dengan demikian, anggapan harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst. sebenarnya hanyalah suatu prosedur alternatif, bukan keharusan.
by sobat dharma
Bahkan dalam Theravada sendiri, ada Mahasi Sayadaw yang berpendapat bahwa Jhana tidak harus dicapai dahulu untuk mempraktikkan Vipassana. Namun ada sebagian guru dalam Theravada seperti Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm yang mengatakan bahwa Jhana adalah pintu masuk ke semua pencapaian (saya pribadi menyebut pandangan ini sebagai Pan-Jhanaisme).
Pengalaman Bodhidharma justru menggambarkan bagaimana Jhana 1-4 bisa dicapai dengan mudah melalui pintu masuk lain, yaitu langsung melihat ke Bodhicitta atau Pikiran Kebuddhaan. Kalau anda bertanya bagaimana metode pastinya. Saya akan menjawab bahwa pada dasarnya Zen adalah Metode tanpa-metode. Zen adalah metode yang tidak terikat pada suatu cara atau wujud tertentu. Bentuk praktiknya bisa seperti apapun, namun yang penting adalah praktisi Zen terus mengamati pikirannya (citta). Maka dalam Zen tidak peduli apakah yang seseorang praktikkan adalah meditasi samatha bhavana, metta bavana, vipassana bhavana, nienfo, kong-an, dll, jika ia tidak mengawasi pikirannya maka ia akan menyimpang. Dalam Zen, Jhana (sebagaimana yang dimaksud dalam Jhana 1, 2, 3 dan 4 ) hanyalah efek samping dari seseorang yang menjadi sadar akan Bodhicittanya.
Bukan, Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat.
Nirvana dalam Mahayana sebagaimana yang saya pahami: tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan logika, hanya yang telah merealisasinya yang dapat memahaminya secara sepenuhnya. Setiap usaha menjelaskannya dalam bahasa hanya menghasilkan kerancuan baru. Sedangkan nirvana mikro adalah sebutan untuk pencapaian Para Bodhisattva yang tetap mempertahankan "nirvana" dalam pikirannya namun tetap bertahan dalam samsara. Nirvana mikro atau Bodhicitta hanya dapat disadari ketika seorang Boddhisattva tidak terperangkap dalam "kekosongan" stagnan yang terpisah dari "keberadaan" yang sebagaimana dimiliki oleh awam. Nirvana mikro adalah suatu penembusan yang melampaui itu, sehingga memungkinkan seorang Bodhhisattva tetap dalam dunia yang penuh kilesa namun tetap mempertahankan pencapaiannya.
Saya rasa apa yang dilakukan Paauk Sayadaw, dalam hal ini penjabarannya berdasarkan tuntunan praktik dalam Visuddhimagga sangat bermanfaat kala seseorang membutuhkan petunjuk yang jelas dan terperinci. Master Ch'an seperti Hanshan dalam otobiografinya juga pernah menyinggung persoalan ini. Masalah dalam zen memang tiadanya tuntunan terperinci untuk mengklarifikasi pencapaian seseorang, sehigga banyak praktisi zen yang tersesat di tengah-tengah praktiknya. Bahkan banyak sekali guru zen di masanya yang akhirnya enggan mengajarkan siswa-siswanya mempraktikkan zen semata-mata khawatir jika beliau meninggal tidak ada orang yang menuntun muridnya guna mencapai pencerahan di kala-kala praktiknya sedang membutuhkan tuntunan.
Namun, tuntunan yang demikian (sebagaimana dalam Visuddhimagga) bukannya tidak membuahkan masalah. Banyak praktisi yang jika terlalu berpegang pada tuntunan tertulis yang baku bisa jadi putus asa karena terlalu terikat dengan deskripsi yang digambarkan dalam tuntunan tersebut. Setiap kali ia memiliki pengalaman dalam meditasinya ia bertanya-tanya terus apakah ia telah mencapai sesuai yang dicantumkan dalam tuntunan atau tidak. Kondisi ini, hanya menimbulkan kegelisahan dan kecemasan baru sehingga mengganggu praktik seseorang. Belum lagi dalam diri praktisi muncul pertanyaan-pertanyaan seperti "kapan saya bisa mencapai tahap seperti yang tertulis dalam tuntunan?" atau "apa yang saya capai koq tidak ada dalam tuntunan ya?" Dalam hal ini, peran seorang guru yang seperti Paauk Sayadaw, Ajahn Brahma, dll. yang terus menginngatkan siswa-siswanya tentang praktik sebagaimana mestinya sangat penting. Bukan tulisan atau teks yang bisa membantu, namun kehadiran guru itu sendiri dengan pengalaman dan pengetahuannya yang bisa membantu
Selain itu perlu diingat, Visuddimagga yang diacu oleh Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm bukanlah satu-satunya tuntunan demikian. Saya pernah mendengar tentang Vimutthimagga (jalan Pembebasan) yang ditulis oleh Arahant Upatissa. Saya sendiri belum sempat membacanya. Nanti kalau sudah membacanya akan kita diskusikan di forum ini.
Di luar semua ini, Bodhidharma sendiri tidak mementingkan tuntunan semacam ini. Beliau justru menganjurkan seseorang untuk tidak menceritakan pencapaiannya pada orang lain. Dalam hal ini tuntunan rinci tidaklah diperlukan. Ajarannya sederhana, cukup mengamati/mengawasi pikiran.Transmisi dilakukan oleh guru ke murid dari pikiran ke pikiran. Bagi Bodhidharma, selagi seseorang masih terus waspada dan mengawasi pikirannya ia tidak mungkin tersesat. Mungkin anda tidak sepaham dengannya. Jika demikian, maka terus mengikuti tuntunan dalam Visuddhimagga juga tidak ada salahnya jika memang membuahkan hasil bagi anda. Dalam hal ini, setiap seseorang terus waspada akan pikirannya itulah zen.
Selama saya masih belum mencapai yang disebutkan, semuanya hanya keyakinan belaka. Bahkan umat Buddha yang belum merealisasi nirvana, nirvana hanyalah keyakinan belaka bukan fakta. Bahkan banyak hal dalam Buddhisme seperti tumimbal lahir, karma, pratitya samutpada, anatta dll semuanya hanya berdasarkan keyakinan belaka jika seseorang belum berhasil menembus pencapaian seperti yang diajarkan laugh Bahkan saya meragukan, jika pencerahan telah dicapai "fakta" sebagaimana yang kita pahami saat ini masih sama Smiley -kala subjek dan objek tidak lagi eksis berdiri sendiri-sendiri apakah fakta masih relevan...
saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?
salam metta.
Hal ini tercantum di dalam sutta pitaka majjhima nikaya. Jika anda meminta pastinya di mana, nanti saya kutipkan setelah saya menemukannya. Saya perlu cari ke rak buku saya dulu, saat ini saya nggak ada di rumah :)
yang ini bukan ?saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?
salam metta.
Hal ini tercantum di dalam sutta pitaka majjhima nikaya. Jika anda meminta pastinya di mana, nanti saya kutipkan setelah saya menemukannya. Saya perlu cari ke rak buku saya dulu, saat ini saya nggak ada di rumah :)
Ya kalau tidak merepotkan, tolong rujukan sutta-nya. thanks
Bro. Bond,Pertama saya tidak menyatakan bukan asli tapi ragu itu asli. Jadi masih bisa asli masih juga tidak ;D Karena saya menghormati Bodhidharma sebagai bodhisatva(versi mahayana) yg tidak ada kilesa. Maka acuannya adalah pandangan dari tulisan itu. Tapi kalau memang ada yg bisa menjelaskan ooo. dia itu bodhisatva tingkat masih ada kilesa saya bisa maklum. Tetapi kenyataanya setiap pernyataan bodhistva yg rancu2 selalu dijadikan patokan seakan2 mereka perfect lalu menilai arahat seperti ini dan itu tentu saja hal tsb perlu dipertanyakan mengenai kebenaran pandangan itu sebagai bahan pertimbangan bukan mengambil mentah2 sebagai doktrin ooo memang beda ya sudah, kalau sudah begitu ya sudah ;D Padahal Jelas saya melihat bukan dari sutta dan sutra (tapi ngak nongol pas ditanya )saja tapi dari prkatek mereka untuk mencapai kearahatan. Bukan teori saja. Smoga jelas kalau belum jelas apa mau dikata lagi ;D Kalau Anda ragu dengan praktek mereka yg beralatih untuk mencapai kearahatan, silakan Anda buktikan dengan coba dulu baru beli. Makanya saya mau tau juga ttg bodhistava dan di test drive kalo cocok baru beli tapi barangnya kosong melulu. ;D
Saya menilai persoalan utama yang kita bahas berakar dari ketidaksetujuan anda pada pernyataan Bodhidharma bahwa Arahat hanya "membayangkan" dirinya mencapai nirvana. Kemudian akhirnya berujung pada mempertanyakan keabsahan metode Bodhidharma.Untuk itu saya merasa tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan anda secara rinci satu persatu. Cukup saya ajukan di sini beberapa keberatan saya tentang argumen bro.
Pertama, saya jadi tidak paham, bagaimana bro. bisa mengatakan bahwa tulisan itu bukan berdasarkan kata-kata Bodhidharma yang aseli. Apakah hanya tidak sesuai dengan pandangan Theravada, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai palsu. Bagaimanapun Bodhidharma adalah seorang Mahayanis dan khobahnya ditujukan pada kalangan Mahayanis. Argumen-argumen yang digunakan adalah lazim dalam sutra-sutra Mahayana. Saya tidak melihat adanya ketidaksesuaian antara kata-kata Bodhidharma dengan sutra-sutra Mahayana.Bagi rekan-rekan Mahayanis pun tidak ada yang merasa perlu mempertanyakan keaslian teks tersebut semat-mata dari pendapatnya mengenai Arahat. Sedangkan anda menilainya dari kacamata Theravada, sehingga tidak heran buat anda pernyataan Beliau terkesan aneh dan janggal, karena memang kaca matanya tidak sesuai.
Sejak pertama kali saya menterjemahkan teks ini dan akan menyebarkannya lewat forum, saya sudah mempertimbangkan kemungkinan kesalahpahaman yang akan terjadi di antara kalangan Theravadin jika membacanya. Namun, bagaimanapun saya mengingat kalangan praktisi zen yang minim bahasa inggrisnya memang membutuhkan teks ini untuk meningkatkan pemahamannya sebagaimana yang saya sendiri peroleh setelah membacanya. Demi inilah, saya memutuskan memposting teks ini meski berisiko menuai krontraversi dari kalangan Theravadin.
Dalam hal ini, saya tidak merasa bahwa kalangan Theravadin yang sulit menerima tulisan ini harus menerimanya. Saya juga tidak merasa perlu terus-menerus membela tulisan tersebut dengan argumen-argumen. Dalam hal ini saya menyerahkan sepenuhnya pada kekritisan pembaca.
Kedua, soal dukungan saya kepada metode pencerahan seketika. Kalau anda meminta saya mengutip sumber-sumber dari Tipitaka yang kugunakan akan kupenuhi. Namun saya harus mengintip ke buku-buku yang berarti saya harus pulang ke rumah. Saat ini saya belum ada di rumah, sehingga membutuhkan waktu. Mohon kesabarannya :) Namun sebelumnya, saya bertanya apa yang anda maksud sebagai "kondisi pendukung" adalah jhana 1-4?
Ketiga, kalau anda memandang Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat
karena bhava tanha, terserah anda deh :) Kalau anda masih menggunakan kacamata Theravada dalam melihat hal ini, saya rasa tidak ada gunanya berdiskusi tentang ini. Sudah sedemikian panjangnya penjelasan dari teman-teman Mahayana soal ini, namun semuanya berlalu masuk dari telinga kana keluar dari telinga kiri. Saya tidak akan memperpanjang soal ini.
Keempat, soal nirvana saya rasa juga cukup penjelasan dari saya. Kalau bro. sulit memahami atau di akal sehat bro. tidak masuk ada yang namanya "nirvana mikro" ya nggak masalah juga. Ada kata-kata yang mengatakan bahwa untuk membahas sesuatu yang berada di luar konteks bahasa, maka diam adalah cara yang terbaik.
Kelima, dalam zen guru yang menunjuk, murid yang mengalaminya. Kalau anda menilai cocok dengan tutunan yang mendetil silahkan diikuti saja. Saya berharap dengan sungguh-sungguh, semoga anda mencapai pencerahan dengan cara demikian. :)
Keenam, tentang vimuttimagga saya hanya pernah mendengarnya. Saya menyebutnya hanya semata-mata ingin menunjukkan kemungkinan adanya tuntunan versi lain selain Vissudhimagga. Itu saja. Mengenai sesuai atau tidak, saya perlu membacanya langsung dan memutuskannya sendiri :)
Ketujuh, antara "melihat" dan "membayangkan" bisa jadi suatu jebakan. Ada yang merasa dirinya melihat namun sebenarnya membayangkan. Ada merasa dirinya membayangkan namun sebenarnya melihat. Bahkan ada yang membayangkan sedang melihat dan melihat dengan membayangkan ;D Kapan seseorang yakin ia melihat semata-mata hanya melihat, dan membayangkan semata-mata ia membayangkan? Dan bagaimana seseorang yakin apa yang dikatakan seseorang adalah ada yang ia lihat atau yang ia bayangkan? Jika seseorang bisa melihat dengan bola mata saja maka seharusnya tanpa kesadaranpun mata bisa melihat. Namun jika kesadaran yang "melihat" bersama dengan bola mata, maka pikiranpun ikut melihat.Jika ada kesadaran dan pikiran dalam melihat, maka pada hakikatnya melihat juga adalah membayangkan. Ada yang melihat dengan mata terpejam namun ada yang melihat dengan mata terbuka.
Jika dikatakan seseorang "melihat dan mengetahui" sendiri bahwa ia merealisasi nirvana, sebenarnya dengan apakah ia "melihat" dan "mengetahui"? Apakah ia melihat seperti bola mata dengan kesadaran dan pikirannya melihat ke layar komputer seperti saat ini? Jika ya, maka tepatlah dikatakan "melihat" dan "megetahui" nirvana adalah sama dengan fakta yang kita pahami semata-mata saat ini. Namun jika "melihat" dan "mengetahui" realisasi nirvana tidak sama dengan "melihat" dan "mengetahui" indera, kesadaran dan pikiran saat ini maka tidak benar menyamakannya dengan fakta yang kita kenal saat ini. Dalam hal ini saya tidak setuju bahwa "melihat" dan "mengetahui" dalam realisasi nirvana sama dengan fakta objektif yang kita kenal sehari-hari. Karena dalam nirvanatidak ada subjek dan objek. Jika tidak ada subjek (anatta) maka sebenarnya kata "melihat" dan "mengetahui" semata-mata hanya kiasan saja karena tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mengetahui. Demikian juga jika tidak ada objek, maka sebenarnya tidak ada yang dilihat dan tidak ada yang diketahui :) Bagaimana mungkin "melihat" dan "mengetahui" dalam proses realisasi disamakan dengan fakta dalam pengertian umum?
Sorry jadi ngelantur :))
Maaf, tantangan anda tentang apakah saya sudah melihatnya lsg metode pencerahan seketika benar-benar seolah-olah menjadikan ehipassiko sama dengan empirisme dalam sains yang berarti "melihat" sebagai "subjek melihat objek." Dalam hal ini saya menilai pertanyaan anda sama sekali melenceng dari pengertian "melihat" dan "mengetahui" dalam ehipassiko.
Kalau anda minta referensi sutra-sutranya, saya sebenarnya skeptis bahwa meskipun saya menunjukkan sutranya pada anda, belum tentu anda meyakini. Jangan-jangan anda hanya akan bertanya, apakah sutranya otentik atau tidak. Perilaku demikian selalu konsisten muncul dari sebagian teman-teman Theravadin yang berdiskusi di forum ini.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung hati.
Metode2 Mahayana biasanya menggabungkan praktik samatha dan vipashyana (vipassana) sekaligus.saudara Gandalf,
Mahabhiksu Tan Luan, Patriark Tanah Suci di Tiongkok, ketika memberikan komentarnya terhadap Sukhavativyuha-Upadesha (Penjelasan Tanah Suci) karya Vasubandhu, pernah menulis:
"Jika seorang pria atau wanita berbudi menjalankan Praktek Lima Kesadaran dan mampu mencapainya, ia tentu akan terlahir di Tanah Suci Sukhavati dan melihat Amitabha Buddha. Apakah Lima Gerbang Praktek berkesadaran itu? Di antaranya: menyembah, memuja, beraspirasi, kontemplasi dan pelimpahan jasa.
.....
Bagaimanakah seseorang beraspirasi pada Tanah Suci? Seseorang dengan teguh bertekad, menempatkan pikirannya pada kelahiran di alam Tanah Suci Sukhavati, seseorang berharap untuk mempraktekkan samatha dengan benar.
Bagaimanakah seseorang berkontemplasi? Seseorang berkontemplasi dengan kebijaksanaan. yaitu mengkontemplasikan Tanah Suci dengan penuh kesadaran, berharap untuk mempraktekkan vipashyana sesuai dengan Dharma."
........
Gerbang keempat pada fase "masuk" adalah sepenuhnya mengkontemplasi.... dan mempraktekkan vipashyana, dengan cara inilah seseorang mencapai Tanah Suci [Sukhavati] itu.
Selain itu dalam salah satu sutra Tanah Suci, yaitu Amitayur Dhyana Sutra disebutkan berbagai macam metode Vipashyana Tanah Suci.
_/\_
The Siddha Wanderer
Vipassana adalah meditasi dimana tidak mengikuti keinginan,dan membiarkan sebagaimana adanya, bahkan tekankan untuk memperhatikan semua gejolak batin yang timbul dengan jangan menekan ataupun tidak menekan...semua itu dibiarkan saja yang penting disadari
ini artinya pikiran dari "si pengetahu" saja yang dipakai...bukan "si pelaku"
sedangkan anda menulis disitu malah "berharap"
bisa dijelaskan vipassana seperti apa dalam mahayana?
di Theravada ada guru seperti MahassiSayadawi yang menjelaskan vipassana secara detail,
karena dalam Sutta Theravada "jika melakukan vipassana dan samantha secara benar dan sesuai Dhamma dan juga 8JB lainnya, nibbana adalah buahnya"...bukan "alam sukhavati"
dalam metode MahassiSayadaw juga dikatakan akan ada beberapa Nana(pengetahuan) yang timbul ketika mempratekkan vipassana.
jadi terus terang, yg anda jabarkan adalah hal yang tidak pernah saya dengar dan ketahui...
mohon penjelasan.
salam metta.
Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih seorang Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran.kalau anda mengutip sutta ini, maka coba lihat kata buddha disitu....apa bisa dikatakan pada saat itu Siddharta telah mencapai Ke-buddha-an?
Saya (berpikir) demikian: 'Mengapa, dengan diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, Saya mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian dan kekotoran? Seandainya, diriku yang masih mengalami dhamma seperti itu, mengetahui bahaya dalam dhamma seperti itu, Saya mencari yang tidak mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mengatasi ikatan yang kuat, yaitu Nibbana?'
Kemudian, ketika Saya masih anak-anak, seorang pemuda berambut hitam yang masih remaja, dalam masa hidupku yang pertama, aku mencukur habis rambut dan jenggotku meskipun ibu dan ayahku berkeinginan sebaliknya dan berduka dengan wajah berurai air mata. Saya mengenakan jubah kuning dan pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju kehidupan tak berumah-tangga (pabbaja).
Sesudah berkelana mencari apa yang bermanfaat, mencari kedamaian tertinggi yang suci, Saya pergi menemui Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Kawan Kalama, Saya ingin menjalani hidup suci dalam Dhamma dan Vinaya.'
MN 26
Ariyapariyesana Sutta
Sumber:
Majjhima Nikaya: Kitab Suci Agama Buddha, Jilid 2
Diterjemahkan dan diedit dari Bahasa Pali oleh:
Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi
diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh:
Dra, Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Vihara Bodhivamasa, 2005
Hal. 525-526
"Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, untuk mencari apa yang bajik, mencari keadaan tertinggi dari kedamaian tertinggi, aku pergi ke Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Sahabat Kalama, saya ingin menjalani kehidupan suci di dalam Dhamma dan Vinaya ini.' Alara Kalama menjawab: 'Yang mulia boleh tinggal di sini. Dhamma ini memang sedemikian rupa sehingga orang bijak dapat segera masuk dan berdiam di dalamnya, karena merealisasikan untuk dirinya sendiri doktrin gurunya sendiri melalui pengetahuan langsung.' Dengan cepat aku mempelajari Dhamma itu. Sejauh pengulangan-bibir saja dan pengulangan ajarannya, aku berbicara dengan pengetahuan dan keyakinan, dan aku menyatakan, 'aku tahu dan melihat' -dan ada juga orang-orang lain juga melakukan yang demikian pula.
Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Alara Kalama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Alara Kalama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'
"Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya lewat keyakinan saja Rama menyatakan: "Dengan merealisasikan untuk diriku sendiri melalui pengetahuan langsung, aku masuk dan berdiam di dalam Dhamma ini." Tentunya Rama berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.' Kemudian aku pergi kepada Uddaka Ramaputta dan bertanya kepadanya: 'Sahabat, dengan cara apakah Rama menyatakan bahwa dengan merealisasikan untuk dirimu sendiri melalui pengetahuan langsung maka engkau akan berdiam di dalam Dhamma ini?' Sebagai jawabannya, dia menyatakan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.
Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Rama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Rama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'
Mengenai pencapaian Buddha Vipassi yang tanpa melalui Jhana 1-4, namun langsung melalui perenungan terhadap paticca samupadda, silahkan baca kutipan ini.
kalau anda mengutip sutta ini, maka coba lihat kata buddha disitu....apa bisa dikatakan pada saat itu Siddharta telah mencapai Ke-buddha-an?
ini jelas kalau beliau belum mencapai pencerahan, tetapi dalam sutra mahayana mengatakan Siddharta jauh sebelum dari kalpa tak terhitung telah mencapai pencerahan....
dengan asumsi jika mahayana mengatakan kitab nya isi-nya sama dengan Theravada pada bagian ini.
jelaskan donk...^^
salam metta.
Saya hanya tidak paham bahwa anda merasa bisa melihat kilesa hanya dari beberapa patah kata dalam khotbah Bodhidharma. Ini yang saya tidak habis pikir. Misalnya, tentang Pa Auk Sayadaw, tentu saya pernah bertemu dengan beliau. Namun, saya tidak berani mengambil kesimpulan bahwa beliau masih memiliki kilesa atau tidak hanya sepintas menyaksikan beberapa tindak tanduk dan perkataannya.Demikian juga tentang Ajahn Brahm, saya tidak berani mengambil kesimpulan tentang beliau masih memiliki kilesa atau tidak. Meskipun jujur saja, saya sempat bertanya-tanya, namun saya selalu insyaf bahwa pencapaian saya mungkin yang masih kurang.
Bahkan Ajahn Mahaboowa pun pernah dipertanyakan tentang pencapaiannya ketika ia menangis. Lantas orang-orang ramai bertanya apakah arahat bisa menangis? Bukankah menangis berarti masih memiliki kilesa? dsb, dsb, nya. Dalam hal ini Ajahn Mahaboowa memiliki jawabannya sendiri yang bisa dibaca dalam buku berjudul "Arahattamagga" (kalau nggak salah judulnya demikian).
Inilah yang saya tidak paham, mengapa anda mampu untuk menyimpulkan kata-kata demikian masih memiliki kilesa, kata-kata demikian tidak. Atas dasar pertimbangan seperti apa anda menyimpulkan hal ini? Mohon penjelasannya.
saudara Gandalf,
Vipassana adalah meditasi dimana tidak mengikuti keinginan,dan membiarkan sebagaimana adanya, bahkan tekankan untuk memperhatikan semua gejolak batin yang timbul dengan jangan menekan ataupun tidak menekan...semua itu dibiarkan saja yang penting disadari
ini artinya pikiran dari "si pengetahu" saja yang dipakai...bukan "si pelaku"
sedangkan anda menulis disitu malah "berharap"
bisa dijelaskan vipassana seperti apa dalam mahayana?
di Theravada ada guru seperti MahassiSayadawi yang menjelaskan vipassana secara detail,
karena dalam Sutta Theravada "jika melakukan vipassana dan samantha secara benar dan sesuai Dhamma dan juga 8JB lainnya, nibbana adalah buahnya"...bukan "alam sukhavati"
dalam metode MahassiSayadaw juga dikatakan akan ada beberapa Nana(pengetahuan) yang timbul ketika mempratekkan vipassana.
jadi terus terang, yg anda jabarkan adalah hal yang tidak pernah saya dengar dan ketahui...
mohon penjelasan.
salam metta.
kalau anda mengutip sutta ini, maka coba lihat kata buddha disitu....apa bisa dikatakan pada saat itu Siddharta telah mencapai Ke-buddha-an?
ini jelas kalau beliau belum mencapai pencerahan, tetapi dalam sutra mahayana mengatakan Siddharta jauh sebelum dari kalpa tak terhitung telah mencapai pencerahan....
dengan asumsi jika mahayana mengatakan kitab nya isi-nya sama dengan Theravada pada bagian ini.
jelaskan donk...^^
salam metta.
Seorang bodhisatta/bodhisattva meskipun dikatakan hidup dalam samsara, namun ia tidak tercemar olehnya. Dengan demikian walaupun mengalami tumimbal lahir, bodhisatta tidak terikat sebagaimana yang dialami makhluk awam lain.
Dalam sutta pali pun dikatakan Bodhisatta dilahirkan dalam kondisi yang berbeda. Merujuk pada beberapa sutta dikatakan ada beberapa cara-cara kelahiran, yang antara lain saya kutip di bawah ini:
Sampasadinya Sutta, hal. 433
‘Juga, Sang Bhagavà tidak tertandingi dalam hal mengajarkan Dhamma sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali dalam empat cara, yaitu: seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara pertama. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke dua. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke tiga. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar. Ini adalah ajaran yang tanpa tandingan sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali
Sangiti Sutta, hal. 522-523
Empat cara masuk ke dalam rahim: (a) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (b) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (c) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (d) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar.
Seorang Bodhisatta dikatakan "masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar." Oleh karena itu meskipun baru lahir, Pangeran Siddhata sudah dapat berjalan tujuh langkah dan berkata bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir.
saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?
salam metta.
Hal ini tercantum di dalam sutta pitaka majjhima nikaya. Jika anda meminta pastinya di mana, nanti saya kutipkan setelah saya menemukannya. Saya perlu cari ke rak buku saya dulu, saat ini saya nggak ada di rumah :)
Ya kalau tidak merepotkan, tolong rujukan sutta-nya. thanks
:-t :-t #:-S #:-S ~X( ~X( ~X( ~X( [-o< [-o< [-o< [-o<
ternyata ajaran Buddha itu begitu rumit melihat diskusi ini membuat aye pusing kakakakakakQuotechingik :
udeh, yg basa basi diabaikan aja, diskusi yg elegan dan atas dasar berbagi wawasan aja.
awalnya memang males kalo diskusinya sperti putar2, tapi gw demen deh kalo pertanyaan yg objektif, tidak pake atribut emosi, sindiran, dll.,. yg kayak gitu bikin batin suka melenceng ke arah kusala citta. cape soalnya butuh usaha utk balik ke sikap netral lagi..hehe
Saya ingat sepupuh ke 3 HIU NENG itu BUTA HURUF...gak sekolah.. tapi bisa mencapai pencerahan...
sewaktu belajar sama HONG REN... dia malah disuruh tumbuk beras aja.. (bukan diajarin berdebat)...
Dia cukup mendengarkan sebait kalimat dari Diamond sutta, udah bisa tersadarkan...
Kenapa disini kita berdebat sampai begitu SENGIT.... panjang2
gw belum tercerahkan... mohon bimbingan dari petinggi Mahayana....
tentang cara Hui Neng mencapai pencerahan supaya bisa diterapkan pada saya...
terima kasih sebelumnya..
DAri Platform Sutra (Sutra Dasar) karya dari murid-murid Hui Neng, dikatakan bahwa :
1. Hui Neng membangkitkan keingin-tahuan (mungkin bisa disebut dengan bodhicitta) ketika mendengar lantunan sutra intan (diamond sutra) di desa kelahirannya.
2. Hui Neng membalas tulisan Gatha Pencerahan dari murid kepala Hong Ren (Shen Xiu). Dalam tahapan ini, apakah Hui Neng mencapai pencerahan (pencerahan kecil) atau tidak belum dipastikan.
3. Hui Neng mendapat kepastian pencerahan sepenuhnya dari Master Hong Ren, ketika pada tengah malam mendapat ulasan dan penjelasan Sutra Intan (Diamond Sutra) selengkapnya.
Kecepatan pencerahan (nibbana) dari Hui Neng, sebenarnya masih kalah dari Arahat Bahiya, yang mencapai kesucian Arahat, ketika BUDDHA selesai memberikan khotbah kepada BAHIYA sebagaimana yang disebutkan di dalam BAHIYA SUTTA. Sehingga BUDDHA memberikan gelar ETTAGATTA sebagai YANG TERBAIK (ETTAGATTA) di DALAM KECEPATAN PENCAPAIAN KESUCIAN ARAHAT.
Dalam kitab komentar, dijelaskan bahwa BAHIYA telah memiliki benih-benih yang sangat mendukung untuk cepat mencapai tingkat kesucian ARAHAT, karena sejak Buddha Kassapa sampai Buddha Sakyamuni, BAHIYA terus menerus menyempurnakan parami-nya dan terus menerus terlahir dan menjadi bhikkhu/petapa.
Di dalam Abhidhamma, Puthujana dapat dibagi atas :
1. Dugati ahetuka puggala
dugati ahetuka puggala merefer pada makhluk yang terlahir di empat alam menyedihkan.
2. Sugati ahetuka puggala.
Sugati ahetuka puggala merefer pada makhluk yang terlahir dalam kondisi cacat mental, buta atau tuli baik terlahir sebagai manusia maupun dewa alam rendah.
3. Dvihetuka puggala
Dvihetuka puggala merefer pada manusia atau dewa yang terlahir dengan nana-vipayuttam maha vipaka citta yang kurang kebijaksanaannya, sehingga makhluk dvihetuka puggala ini tidak akan bisa mencapai jhana dan magga di dalam kehidupan sekarang ini bagaimanapun kerasnya mereka berusaha. Tetapi Dvihetuka puggala bisa terlahir kembali menjadi Ti-hetuka puggala pada kehidupan mendatang sebagai hasil dari meditasi dan usahanya.
4. Tihetuka puggala.
Tihetuka puggala merefer pada manusia dan dewa yang terlahir dengan nana sampayutam maha vipaka citta yang berasosiasi dengan kebijaksanaan. Tihetuka puggala ini dapat mencapai jhana dan magga jika melaksanakan samatha bhavana atau vipasanna bhavana.
Quotesaudara Gandalf,
Vipassana adalah meditasi dimana tidak mengikuti keinginan,dan membiarkan sebagaimana adanya, bahkan tekankan untuk memperhatikan semua gejolak batin yang timbul dengan jangan menekan ataupun tidak menekan...semua itu dibiarkan saja yang penting disadari
ini artinya pikiran dari "si pengetahu" saja yang dipakai...bukan "si pelaku"
sedangkan anda menulis disitu malah "berharap"
bisa dijelaskan vipassana seperti apa dalam mahayana?
di Theravada ada guru seperti MahassiSayadawi yang menjelaskan vipassana secara detail,
karena dalam Sutta Theravada "jika melakukan vipassana dan samantha secara benar dan sesuai Dhamma dan juga 8JB lainnya, nibbana adalah buahnya"...bukan "alam sukhavati"
dalam metode MahassiSayadaw juga dikatakan akan ada beberapa Nana(pengetahuan) yang timbul ketika mempratekkan vipassana.
jadi terus terang, yg anda jabarkan adalah hal yang tidak pernah saya dengar dan ketahui...
mohon penjelasan.
salam metta.
Sebenarnya ada salah tangkep makna di sini.
Yang dimaksud bukanlah dalam meditasi Vipashyana kita memunculkan keinginan. Namun yang saya maksud adalah ingin melakukan Vipassana.
Maknanya sama seperti ketika anda ditanya "anda ke vihara ngapain?" "O Saya ingin bermeditasi Vipassana".... Gitu lohh...
Vipashyana menurut tradisi Amitabha adalah Kontemplasi. Ini salah satu dari 5 "Gerbang Kesadaran" (Mindfulness) - Wu Nien Men - menuju Tanah Suci. Metode ini disebutkan dalam Amitayur Dhyana Sutra, Sukavativyuhopadesa karya Vasubandhu dan komentarnya karya Tan Luan.
Vipashyana dalam aliran Sukhavati adalah kontemplasi / visualisasi terhadap aspek2 agung dan mulia dari Amitabha Buddha dan Tanah Suci Sukhavati dengan penuh kesadaran. [mindful]
Selain itu dalam paham Mahayana tiongkok, meditasi yang dianjurkan adalah "chih-kuan" yaitu "samatha-vipashyana".
Zen Master Chu Hung pernah berkata:
"Sekarang ini engkau hanya harus melafalkan nama Buddha dengan kemurnian dan pandangan terang. Kemurnian berarti melafalkan nama Buddha tanpa ada pikiran lain. Pandangan terang berarti meninjau kembali ketika engkau melafalkan nama Buddha. kemurnian adalah Samatha, "berhenti" dan pandangan terang adalah Vipashyana "meninjau [disadari]". Satukanlah kesadaranmu (mindfulness) akan Buddha melalui pelafalan nama Buddha, dan berhenti (Samatha) maupun meninjau (Vipashyana) bersama-sama."
Sedangkan Master Yin Guang, Patriark Tanah Suci ke-13 pernah berkata:
Do not concern yourself with whether or not you will become enlightened.
Do not concern yourself with existence and non-existence, with inside and outside and in-between.
Do not concern yourself with "stopping" [shammata/samatha]and "observing" [vipashyana/vipasyana].
Do not concern yourself with whether [this method of reciting the buddha-name] is the same or not the same as other Buddhist methods.
If the feeling of doubt does not arise, do not concern yourself with who it is or who it is not [who is reciting the buddha-name]. Simply go on reciting the buddha-name with unified mind and unified intent without a break, pure and unmixed.
Ya metode Sukhavati merupakan penggabungan metode samatha dan vipashyana. Jadi tidak pada Vipashyana saja ataupun Samatha saja.
_/\_
The Siddha Wanderer
yg bikin masuk jhananya adalah anapanasatinya bukan buddhonya. Bagaimana dengan nienfo, bisa dijelaskan om gandalf?
Mirip tapi tak sama ;D
Nah... jangan lupa pelafalan nama Buddha pun juga dibarengi dengan vipashyana [kontemplasi]
Mirip dengan Buddho juga dibarengi dengan kontemplasi Anapanasati menuju Vipassana.
QuoteNah... jangan lupa pelafalan nama Buddha pun juga dibarengi dengan vipashyana [kontemplasi]
Mirip dengan Buddho juga dibarengi dengan kontemplasi Anapanasati menuju Vipassana.
bener berbarengan? yakin? ;)
bisa dijelaskan prosesnya?
QuoteNah... jangan lupa pelafalan nama Buddha pun juga dibarengi dengan vipashyana [kontemplasi]
Mirip dengan Buddho juga dibarengi dengan kontemplasi Anapanasati menuju Vipassana.
bener berbarengan? yakin? ;)
bisa dijelaskan prosesnya?
Haha... saya sih belum bisa meditasi sampai ke sana.... jadi prosesnya benar2 gimana ya saya nggak tahu.... haha....
Berbarengan / konjungsi ya katanya gitu... praktek nya ya gw kaga tau haha....
_/\_
The Siddha Wanderer
Ok.
Kalau gitu sama dengan yang saya kutip dong:
During sitting meditation, the mind is calmed with traditional practices such as mindfulness of breathing (anapanasati). The mental intoning of the mantra "Buddho" is used in order to maintain attention on the breath (in-breath is "Bud", out-breath is "dho") or the contemplation of the 32 body parts. The meditator goes through three levels of samadhi (concentration). In khanika-samadhi the mind is only calmed for a short time. In upacara-samadhi, approach concentration lasts longer. And in appana-samadhi, jhana is attained. When sufficient concentration has been established, the three characteristics (impermanence, suffering and non-self) are contemplated, insight arises and ignorance is extinguished. No distinction is made between samatha meditation and insight (vipassana) meditation; the two are used in conjunction.
QuoteOk.
Kalau gitu sama dengan yang saya kutip dong:
During sitting meditation, the mind is calmed with traditional practices such as mindfulness of breathing (anapanasati). The mental intoning of the mantra "Buddho" is used in order to maintain attention on the breath (in-breath is "Bud", out-breath is "dho") or the contemplation of the 32 body parts. The meditator goes through three levels of samadhi (concentration). In khanika-samadhi the mind is only calmed for a short time. In upacara-samadhi, approach concentration lasts longer. And in appana-samadhi, jhana is attained. When sufficient concentration has been established, the three characteristics (impermanence, suffering and non-self) are contemplated, insight arises and ignorance is extinguished. No distinction is made between samatha meditation and insight (vipassana) meditation; the two are used in conjunction.
ya untuk pernyataan om Gandalf yg kedua :) tapi kalau nienfo dibarengi vipasanna tidak bisa bersamaan. Kalau nienfo/buddho..buddho dulu sampai upacara samadhi baru masuk ke vipasanna baru bisa.
Hmmm... mungkin saja... tapi bisa saja metode Sukhavati punya teknik tersendiri...
Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih seorang Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran.sobat-dharma tolong dijelaskan. ^^
Saya (berpikir) demikian: 'Mengapa, dengan diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, Saya mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian dan kekotoran? Seandainya, diriku yang masih mengalami dhamma seperti itu, mengetahui bahaya dalam dhamma seperti itu, Saya mencari yang tidak mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mengatasi ikatan yang kuat, yaitu Nibbana?'
Kemudian, ketika Saya masih anak-anak, seorang pemuda berambut hitam yang masih remaja, dalam masa hidupku yang pertama, aku mencukur habis rambut dan jenggotku meskipun ibu dan ayahku berkeinginan sebaliknya dan berduka dengan wajah berurai air mata. Saya mengenakan jubah kuning dan pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju kehidupan tak berumah-tangga (pabbaja).
Sesudah berkelana mencari apa yang bermanfaat, mencari kedamaian tertinggi yang suci, Saya pergi menemui Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Kawan Kalama, Saya ingin menjalani hidup suci dalam Dhamma dan Vinaya.'
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?yah,tolong jelaskan bagian ini, "mengapa" pertapa Jotipala(Gotama) sampai harus menghina, bahkan "di tarik rambut nya" oleh seseorang guna bertemu buddha....
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
Sebenarnya ada salah tangkep makna di sini.aduh, saudara Gandalf bagaimana bisa meditasi dengan pengertian "sebagaimana-adanya" malah disuruh visualisasi.
Yang dimaksud bukanlah dalam meditasi Vipashyana kita memunculkan keinginan. Namun yang saya maksud adalah ingin melakukan Vipassana.
Maknanya sama seperti ketika anda ditanya "anda ke vihara ngapain?" "O Saya ingin bermeditasi Vipassana".... Gitu lohh...
Vipashyana menurut tradisi Amitabha adalah Kontemplasi. Ini salah satu dari 5 "Gerbang Kesadaran" (Mindfulness) - Wu Nien Men - menuju Tanah Suci. Metode ini disebutkan dalam Amitayur Dhyana Sutra, Sukavativyuhopadesa karya Vasubandhu dan komentarnya karya Tan Luan.
Vipashyana dalam aliran Sukhavati adalah kontemplasi / visualisasi terhadap aspek2 agung dan mulia dari Amitabha Buddha dan Tanah Suci Sukhavati dengan penuh kesadaran. [mindful]
Selain itu dalam paham Mahayana tiongkok, meditasi yang dianjurkan adalah "chih-kuan" yaitu "samatha-vipashyana".
Zen Master Chu Hung pernah berkata:
"Sekarang ini engkau hanya harus melafalkan nama Buddha dengan kemurnian dan pandangan terang. Kemurnian berarti melafalkan nama Buddha tanpa ada pikiran lain. Pandangan terang berarti meninjau kembali ketika engkau melafalkan nama Buddha. kemurnian adalah Samatha, "berhenti" dan pandangan terang adalah Vipashyana "meninjau [disadari]". Satukanlah kesadaranmu (mindfulness) akan Buddha melalui pelafalan nama Buddha, dan berhenti (Samatha) maupun meninjau (Vipashyana) bersama-sama."
Sedangkan Master Yin Guang, Patriark Tanah Suci ke-13 pernah berkata:
Do not concern yourself with whether or not you will become enlightened.
Do not concern yourself with existence and non-existence, with inside and outside and in-between.
Do not concern yourself with "stopping" [shammata/samatha]and "observing" [vipashyana/vipasyana].
Do not concern yourself with whether [this method of reciting the buddha-name] is the same or not the same as other Buddhist methods.
If the feeling of doubt does not arise, do not concern yourself with who it is or who it is not [who is reciting the buddha-name]. Simply go on reciting the buddha-name with unified mind and unified intent without a break, pure and unmixed.
Ya metode Sukhavati merupakan penggabungan metode samatha dan vipashyana. Jadi tidak pada Vipashyana saja ataupun Samatha saja.
Namaste
The Siddha Wanderer
26. “Sungguh membawa keberuntungan sihir yang mengubah keyakinan itu, Yang Mulia, sungguh baik sihir yang mengubah keyakinan itu!(590) Yang Mulia, seandainya saja kaumku dan sanak saudaraku yang terkasih harus diubah keyakinannya oleh pengubahan ini, maka hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kaumku dan sanak saudaraku yang terkasih untuk waktu yang lama. Seandainya saja semua para mulia harus diubah keyakinannya oleh pengubahan ini, maka hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi para mulia itu untuk waktu yang lama.[384] Seandainya saja semua brahmana…semua pedagang…semua pekerja harus diubah keyakinannya oleh pengubahan ini, maka hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi para pekerja itu untuk waktu yang lama. Seandainya saja dunia dengan para dewanya, para Maranya, dan para Brahmanya, generasi ini dengan para petapa dan brahmananya, pangerannya dan rakyatnya, harus diubah keyakinannya oleh pengubahan ini, maka hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi dunia ini untuk waktu yang lama. Mengenai hal ini, Yang Mulia, saya akan memberikan suatu perumpamaan; karena beberapa orang bijaksana di sini memahami arti suatu pernyataan melalui perumpamaan.
27. “Yang Mulia, pada suatu ketika ada seorang brahmana yang sudah tua, sudah berumur, dan dibebani usia. Dia mempunyai istri seorang gadis brahmana muda yang hamil dan sudah mendekati persalinan. Maka istrinya ini memberitahu dia: ‘Pergilah, brahmana, belilah seekor kera muda di pasar dan bawalah kembali kepadaku sebagai teman bermain bagi anakku.' Brahmana itu menjawab: ‘Tunggu, nyonya, sampai engkau telah melahirkan anak itu. Jika engkau melahirkan seorang anak lelaki, maka aku akan membeli seekor kera jantan muda di pasar dan membawanya kembali kepadamu sebagai teman bermain bagi anak lelakimu; tetapi jika engkau melahirkan seorang anak perempuan, maka aku akan membeli seekor kera betina muda di pasar dan membawanya kembali kepadamu sebagai teman bermain bagi anak perempuanmu.' Untuk kedua kalinya istrinya itu mengucapkan permohonan yang sama dan menerima jawaban yang sama pula. Untuk ketiga kalinya istrinya itu mengucapkan permohonan yang sama. Kemudian, karena pikirannya amat mencintai istrinya, brahmana itu lalu pergi ke pasar, membeli seekor kera jantan muda, membawanya kembali dan memberitahu istrinya:' Aku telah membeli seekor kera jantan muda ini di pasar [385] dan membawanya kembali kepadamu sebagai teman bermain bagi anak lelakimu.' Kemudian istrinya berkata: Pergilah, brahmana, bawalah kera jantan muda ini ke Rattapani, putra tukang celup, dan katakan kepadanya: “Rattapani yang baik, saya ingin agar kera jantan muda ini diberi warna yang disebut kuning-salep, kemudian dipukul dan dipukul lagi, dan diratakan di dua sisinya.”' Maka, karena pikirannya amat mencintai istrinya, brahmana itu membawa kera jantan muda itu ke Rattapani, putra tukang celup, dan berkata kepadanya: ‘Rattapani yang baik, saya ingin agar kera jantan muda ini diberi warna yang disebut kuning-salep, kemudian diketok dan diketok lagi, dan dilicinkan di dua sisinya.' Rattapani, putra tukang celup itu berkata kepadanya: ‘Yang Mulia, kera jantan muda ini akan tahan menerima warna itu tetapi tidak akan menerima ketokan dan pelicinan.' Demikian pula, Yang Mulia, doktrin Nigantha yang tolol itu akan menyenangkan orang-orang tolol tetapi bukan orang-orang yang bijaksana, dan doktrin itu tidak akan tahan bila diuji atau dilicinkan.
“Kemudian, Yang Mulia, pada saat yang lain brahmana itu membawa seperangkat pakaian baru ke Rattapani, putra tukang celup dan berkata kepadanya: ‘Rattapani yang baik, saya ingin agar seperangkat pakaian baru ini diberi warna yang disebut kuning-salep, kemudian dipukul dan dipukul lagi, dan diratakan di dua sisinya.' Rattapani, putra tukang celup itu berkata kepadanya: ‘Yang Mulia, seperangkat pakaian baru ini akan tahan menerima warna dan pukulan dan pelicinan.'
Demikian pula, Yang Mulia, doktrin Yang Terberkahi itu, yang telah mantap dan sepenuhnya tercerahkan, akan menyenangkan orang-orang yang bijaksana tetapi bukan orang-orang tolol, dan doktrin itu akan tahan bila diuji atau dilicinkan.”
La ke Tanah Suci untuk apa? Nirvana dong... haha...
Lagipula Tanah Suci itu pada hakekatnya adalah Pikiran Murni yang berrati Pikiran yang Telah Mencapai Nirvana. ;D
_/\_
The Siddha Wanderer
aduh, saudara Gandalf bagaimana bisa meditasi dengan pengertian "sebagaimana-adanya" malah disuruh visualisasi.
pernahkah tahu tentang "si-pelaku" dan "si-pengetahu" coba baca buku AjahnBrahm, saya sendiri sudah bisa membedakan "si-pengetahu" dan "si-pelaku"
pikiran kita ada 2.. dimana "yang bergerak"(si-pelaku) dan "yang menyadari"(si-pengetahu)
kalau anda menyuruh pikiran ini "ber-visualisasi" maka pikiran bagian "yang-bergerak(si-pengetahu) yang main.....
dan ini bukan sesuai ajaran Theravada tentang Vipassana.....
makanya kalau anda mengatakan Vipassana versi Theravada. dan mau di samakan dengan Vipassana versi Mahayana, tidak bakalan nyambung.
oleh sebab itu saya disini meminta anda menjelaskan tentang Vipassana Mahayana secara detail...
alangkah bagusnya jika sama dengan perincian sebagaimana pada Visudhimagga.
dan lagi Vipassana pada versi Theravada jika dilakukan maka buah yang pasti adalah "NIBBANA" dan tidak ada pilihan lain...mutlak.
sedangkan pada Vipassana versi Mahayana menyatakan bisa "nirvana" terus bisa "alam sukhavati" kemudian bisa mencapai Bodhisatva.
tolong dijelaskan secara jelas-jelas...
kemudian pertanyaan 3 saya sebelum nya. thx
salam metta.
doktrin itu tidak akan tahan bila diuji atau dilicinkan
hahaha, mudah-mudahan ini sebagai motivasi dan pembuktian bahwa ajaran mahayana itu memang lulus ISO9001/3 ^^Quotedoktrin itu tidak akan tahan bila diuji atau dilicinkan
Saya heran motivasi apa yang mendasari postingan kutipan sutta seperti ini.... hahaha.... ;D... ternyata... masih saja.....
_/\_
The Siddha Wanderer
hahaha, mudah-mudahan ini sebagai motivasi dan pembuktian bahwa ajaran mahayana itu memang lulus ISO9001/3 ^^
soalnya kalau dalam ajaran agama lain, ini begitu itu begitu...ketika di tanya mengapa begini mengapa begitu..
maka jawabannya tidak akan jelas....
demikian jika memang tahan uji maka bisa saja saya beralih keyakinan, bahkan dengan enteng berkata "di Thera,vipassana cuma bisa menghasilan 1 buah"
sedangkan di Mahayana bahkan bisa memilih 3 buah"
saya jujur saja, ketika seseorang mengatakan hanya 1 buah, kemudian orang lain mengatakan 3 buah,
maka ketika 3 buah itu benar...harus dengan jujur dan lapang dada, kalau pengetahuan orang yang menyatakan hanya 1 buah, adalah orang yang tidak sebijaksana mengatakan 3 buah.
oleh sebab itu saya sangat penasaran ingin tahu, sebab-sebab orang tersebut mengatakan 3.
yah, dengan penjelasan seperti visudhi-magga,maka hal itu pasti diketahui.
saya sangat berharap anda punya waktu luang menulis proses demi proses, dari pencapaian yang dikatakan dalam mahayanis.
bukankah kita disini ingin mencari akhir diskusi yang berbelit-belit ini. ^^
dan sy kira hanya akan ada 2 jawaban.
Numpang tanya Bro Gandalf,
konon katanya setelah terlahir kembali di alam sukhavati maka makhluk2 akan mencapai Nirvana dari alam tersebut. dan anda mengatakan bahwa sukhavati adalah telah mencapai nirvana. mohon penjelasannya
cara pembuktian alam sukhavati ini apakah bisa dilakukan pada saat ini atau hanya mengimani saja?
Bagaimana caranya dan bagaiman kita tahu itu hal yang benar bukan ilusi, dan adakah bukti2 nya ;D
Berarti dalam mahayana harus mengimani ya, ok deh :)cara pembuktian alam sukhavati ini apakah bisa dilakukan pada saat ini atau hanya mengimani saja?
Bagaimana caranya dan bagaiman kita tahu itu hal yang benar bukan ilusi, dan adakah bukti2 nya ;D
Pikiran Yang Murni adalah Tanah Suci, itulah yang disebutkan dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra. Untuk mencapainya dibutuhkan keyakinan dan "5 Gerbang Kesadaran".
Hidup saat ini bisa dibuktikan, sama dengan Nirvana.
Agar tidak percaya membuta pada tokoh yang tidak ada di sejarah, kita harus memahami bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi bila anda mencari Amitabha sebagai tokoh historis, Sakyamuni Buddhalah jawabannya.
Aliran Tanah Suci mengatakan bahwa Sakyamuni adalah perwujudan dari Amitabha Buddha.
Sedangkan bhiksu Nichiren yang kontroversial, yang sangat menekankan pada kembali ke Buddha Sakyamuni, menyebutkan bahwa Buddha Amitabha adalah "penjelmaan" dari Buddha Sakyamuni juga.
Kalau bukti2nya saya ya gak tahu dan gak punya... sama seperti kita tidak bisa membuktikan apakah Nirvana itu benar2 ada atau tidak.... la wong kita2 sama2 belum sampai ke sono....
_/\_
The Siddha Wanderer
Berarti dalam mahayana harus mengimani ya, ok deh :)cara pembuktian alam sukhavati ini apakah bisa dilakukan pada saat ini atau hanya mengimani saja?
Bagaimana caranya dan bagaiman kita tahu itu hal yang benar bukan ilusi, dan adakah bukti2 nya ;D
Pikiran Yang Murni adalah Tanah Suci, itulah yang disebutkan dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra. Untuk mencapainya dibutuhkan keyakinan dan "5 Gerbang Kesadaran".
Hidup saat ini bisa dibuktikan, sama dengan Nirvana.
Agar tidak percaya membuta pada tokoh yang tidak ada di sejarah, kita harus memahami bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi bila anda mencari Amitabha sebagai tokoh historis, Sakyamuni Buddhalah jawabannya.
Aliran Tanah Suci mengatakan bahwa Sakyamuni adalah perwujudan dari Amitabha Buddha.
Sedangkan bhiksu Nichiren yang kontroversial, yang sangat menekankan pada kembali ke Buddha Sakyamuni, menyebutkan bahwa Buddha Amitabha adalah "penjelmaan" dari Buddha Sakyamuni juga.
Kalau bukti2nya saya ya gak tahu dan gak punya... sama seperti kita tidak bisa membuktikan apakah Nirvana itu benar2 ada atau tidak.... la wong kita2 sama2 belum sampai ke sono....
_/\_
The Siddha Wanderer
cara pembuktian alam sukhavati ini apakah bisa dilakukan pada saat ini atau hanya mengimani saja?
Bagaimana caranya dan bagaiman kita tahu itu hal yang benar bukan ilusi, dan adakah bukti2 nya ;D
Pikiran Yang Murni adalah Tanah Suci, itulah yang disebutkan dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra. Untuk mencapainya dibutuhkan keyakinan dan "5 Gerbang Kesadaran".
Hidup saat ini bisa dibuktikan, sama dengan Nirvana.
Agar tidak percaya membuta pada tokoh yang tidak ada di sejarah, kita harus memahami bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi bila anda mencari Amitabha sebagai tokoh historis, Sakyamuni Buddhalah jawabannya.
Aliran Tanah Suci mengatakan bahwa Sakyamuni adalah perwujudan dari Amitabha Buddha.
Sedangkan bhiksu Nichiren yang kontroversial, yang sangat menekankan pada kembali ke Buddha Sakyamuni, menyebutkan bahwa Buddha Amitabha adalah "penjelmaan" dari Buddha Sakyamuni juga.
Kalau bukti2nya saya ya gak tahu dan gak punya... sama seperti kita tidak bisa membuktikan apakah Nirvana itu benar2 ada atau tidak.... la wong kita2 sama2 belum sampai ke sono....
_/\_
The Siddha Wanderer
[at] ructor, pendapat anda cukup menarik,
tapi mohon gunakan bahasa yang lebih bisa dimengerti. misalnya dalam satu suku kata harus ada minimal 1 vokal
Pikiran Yang Murni adalah Tanah Suci, itulah yang disebutkan dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra. Untuk mencapainya dibutuhkan keyakinan dan "5 Gerbang Kesadaran".
Hidup saat ini bisa dibuktikan, sama dengan Nirvana.
Agar tidak percaya membuta pada tokoh yang tidak ada di sejarah, kita harus memahami bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi bila anda mencari Amitabha sebagai tokoh historis, Sakyamuni Buddhalah jawabannya.
Aliran Tanah Suci mengatakan bahwa Sakyamuni adalah perwujudan dari Amitabha Buddha.
Sedangkan bhiksu Nichiren yang kontroversial, yang sangat menekankan pada kembali ke Buddha Sakyamuni, menyebutkan bahwa Buddha Amitabha adalah "penjelmaan" dari Buddha Sakyamuni juga.
Kalau bukti2nya saya ya gak tahu dan gak punya... sama seperti kita tidak bisa membuktikan apakah Nirvana itu benar2 ada atau tidak.... la wong kita2 sama2 belum sampai ke sono....
ini mirip konsep Trinitas.
dimana pada waktu mr Y ingin di tangkap di taman getsemani, disitu berdoa pada siapa?
kalau menurut konsep Tuha*n = mr.Y = roh kudus....
jadi berdoa dan memohon pada diri sendiri...>>> seperti ada penyakit jiwa yang suka berbicara pada diri sendiri entah apa namanya.
ketika Buddha Gotama mengatakan jauh disebelah barat ada Buddha amitabha, disini Buddha kena penyakit jiwa kah?
mohon di konfirmasikan penjelasan
diskusi ini semakin menarik karena sudah hampir sampai di ujung....
maka seperti saudara Ryu katakan,saya pun sependapat hanya ada 2 kemungkinan
1.T dan M adalah saudara yang membuat pembodohan bagi semua makhluk.
2.T/M salah satunya yang benar, satunya lagi adalah ajaran untuk penghuni rumah sakit jiwa. ;D
visudhi-magga mungkin adalah salah satu akhir dari ini semua....
salam metta _/\_
yah, apakah kalau Gotama melakukan Seks juga pengertiannya tidak akan sempit?ini mirip konsep Trinitas.
dimana pada waktu mr Y ingin di tangkap di taman getsemani, disitu berdoa pada siapa?
kalau menurut konsep Tuha*n = mr.Y = roh kudus....
jadi berdoa dan memohon pada diri sendiri...>>> seperti ada penyakit jiwa yang suka berbicara pada diri sendiri entah apa namanya.
ketika Buddha Gotama mengatakan jauh disebelah barat ada Buddha amitabha, disini Buddha kena penyakit jiwa kah?
mohon di konfirmasikan penjelasan
diskusi ini semakin menarik karena sudah hampir sampai di ujung....
maka seperti saudara Ryu katakan,saya pun sependapat hanya ada 2 kemungkinan
1.T dan M adalah saudara yang membuat pembodohan bagi semua makhluk.
2.T/M salah satunya yang benar, satunya lagi adalah ajaran untuk penghuni rumah sakit jiwa. ;D
visudhi-magga mungkin adalah salah satu akhir dari ini semua....
salam metta _/\_
Buddha Gotama=Buddha Amitabha, ah itu kan maksudnya sama dalam hakikat dharmakayanya. Kalo orang biasa yg ngomong gitu, ya itu gila namanya. Kalo Buddha yg ngomong gitu, tentu pengertiannya tidak akan sesempit perkiraan anda. Gitu aja tidak bisa bedakan, gimana sih..hehe
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Cerita lengkapnya?
Hahaha..... selama ini Nirvana toh juga diimani.....
Apa anda yakin Nirvana benar2 ada? Buktiin dong! ;D ;D Saya juga mau lihat :)) :))
Apa anda tahu kalau alam Sukhavati itu juga sebenarnya adalah manifestasi dari Tanah Suci Sakyamuni Buddha sendiri yang notabene adalah Dunia Saha?? 8) 8)
Maka dari itu kalau Pikiran Anda Murni, maka walaupun anda berada di dunia Saha, Dunia Saha ini adalah Sukhavati.... Pikiran Murni itu adalah Tanah Suci Yang Sesungguhnya [True Pure Land]. Jadi bukan alam Sukhavati di luar alam semesta sono, yang hanya merupakan Sukhavati relatif/tentatif saja.
Dan ini bukan ngayalll, karena dunia Saha ini adalah tempat kita hidup.
Oya bro ructor, kalau anda beranggapan bahwa Buddha adalah manifestasi Siwa... silahkan pindah agama Hindu.... kakaka..... tuh semua umat Hindu ngeklaim Buddha sebagai avatar Tuhan.... hehe.....
Setuju dengan bro. chingik. Sang Buddha Sakyamuni dan Amitabha sama dalam hal Dharmakaya, namun bukan hanya Dharmakaya, Sambhogakaya dari Sakyamuni adalah Amitabha Buddha. Tapi kalau Nirmanakaya ya jelas beda lah.....
Oya bro mercedes, apa anda sudah melakukan semua yang diajarkan dalam Visuddhimagga? atau hanya menerima karena anda merasa logis tuh tulisan? Atau memuaskan intelektual anda? Hahaha......... Sekedar penasaran saja...... 8) 8)
Saya sih punya bukunya.... dan saya pikir buku tersebut memang dapat memuaskan dahaga orang2 yang ingin mencari tahu tentang tahap2 pencerahan dan meditasi.... tapi ya itu..... apa sudah dipahami benar2 nggak? Selama anda belum menjalaninya 100 % dan mengalaminya sendiri semuanya, maka saya anggap anda masih memahaminya sedikit polll haha... krn hanya intelektual saja yang main di situ....
_/\_
The Siddha Wanderer
Tentang Meditasi Buddho,saya tidak tahu anda pernah langsung mempratekkan meditasi, tetapi sampai saat ini yg jelas perkataan Buddho, atau menghitung 1-1 2-2.....
coba perhatikan pendapat Phra Ajaan Thate Desaransi dalam bukunya yang berjudul "Buddho" ini:
If you go to a teacher experienced in meditating on the rising and
falling of the abdomen, he will have you meditate on rising and
falling, and focus your mind on the different motions of the body. For
instance, when you raise your foot, you think //raising//. When you
place your foot, you think //placing//, and so on; or else he will have
you focus continually on being preoccupied with the phenomenon of
arising and passing away in every motion or position of the body.
If you go to a teacher experienced in psychic powers, he will have you
repeat //na ma ba dha, na ma ba dha//, and focus the mind on a single
object until it takes you to see heaven and hell, deities and brahmas
of all sorts, to the point where you get carried away with your
visions.
If you go to a teacher experienced in breath meditation, he will have
you focus on your in-and-out breath, and have you keep your mind firmly
preoccupied with nothing but the in-and-out breath.
If you go to a teacher experienced in meditating on //buddho//, he will
have you repeat //buddho, buddho, buddho//, and have you keep the mind
firmly in that meditation word until you are fully skilled at it. Then
he will have you contemplate //buddho// and what it is that is saying
//buddho//. Once you see that they are two separate things, focus on
what is saying //buddho//. As for the word //buddho//, it will
disappear, leaving only what it is that was saying //buddho//. You
then focus on what it is that was saying //buddho// as your object.
====
Jika anda perhatikan kata-kata ini, jelas sekali Ajaan Thate menyebutkan adanya empat metode meditasi. Meditasi Buddho dibedakan dengan konsentrasi memperhatikan napas (Anapanasati) atau konsentrasi memperhatikan tenggelam dan berkembangnya perut serta pergerakan tubuh (Vipasaana). Bahkan selain "Buddho", dikenal meditasi dengan mantra lain yaitu: "na ma ba dha." Jelas sekali dikatakan di sini bahwa mantra "na ma ba dha" digunakan untuk membantu praktisi melihat alam surga atau neraka. Sedangkan dalam meditasi Buddho, Ajahn Thate jelas-jelas mengatakan konsentrasinya hanya pada dua hal, yaitu kata "buddho" dan "apa yang mengucapkan buddho." Sama sekali tidak disinggung bahwa Buddho hanya digunakan untuk membantu anapasati. Anapasati jelas dibedakan dengan metode buddho". Jadi apa bedanya "Buddho" dan "na ma ba dha" dengan nien fo?
by Gandalf
Hahaha..... selama ini Nirvana toh juga diimani.....
Apa anda yakin Nirvana benar2 ada? Buktiin dong! Grin Grin Saya juga mau lihat laugh laugh
Hahaha..... selama ini Nirvana toh juga diimani.....
Apa anda yakin Nirvana benar2 ada? Buktiin dong! ;D ;D Saya juga mau lihat :)) :))
saya tidak tahu anda pernah langsung mempratekkan meditasi, tetapi sampai saat ini yg jelas perkataan Buddho, atau menghitung 1-1 2-2.....
kemudian pakai mantra "sangha" atau "Dhammo" semua itu bisa saja...
kadang ketika meditasi, secara tidak sadar pikiran kita telah terbawa objek lain, guna dari Buddho atau menghitung 1-1 2-2 kemudian mantra apapun...semua itu agar pikiran kita kembali pada keadaan "yang mengetahui dan objek awal"
karena kalau meditasi, ketika pikiran telah lari.....baru disadari eh...
salam metta.
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Cerita lengkapnya?
Majjhima Nikaya 81, Raja Vagga, Ghatikara Sutta.
Kisahnya Bodhisatta hidup sebagai pemuda bernama Jotipala dan diajak oleh temannya Ghatikara untuk mendengarkan khotbah Buddha Kassapa. Jotipala menolak dan mengatakan ajaran "petapa gundul" tidak ada manfaatnya.
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Cerita lengkapnya?
Majjhima Nikaya 81, Raja Vagga, Ghatikara Sutta.
Kisahnya Bodhisatta hidup sebagai pemuda bernama Jotipala dan diajak oleh temannya Ghatikara untuk mendengarkan khotbah Buddha Kassapa. Jotipala menolak dan mengatakan ajaran "petapa gundul" tidak ada manfaatnya.
berkat ucapan yang meremehkan itu (so everybody beware of wout u said)
Jotipala harus menjalani petapa an selama 6 tahun
buddha sebelum nya, cuma 1 minggu, ada yang 3 minggu, ada yang 1 bulan ada yang paling lama cuma 3 bulan.
jd teman2 jgn sembarang berucap ya, tar kena hukuman loh, kayak Jotipala
CMIIW,
navis
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Cerita lengkapnya?
Majjhima Nikaya 81, Raja Vagga, Ghatikara Sutta.
Kisahnya Bodhisatta hidup sebagai pemuda bernama Jotipala dan diajak oleh temannya Ghatikara untuk mendengarkan khotbah Buddha Kassapa. Jotipala menolak dan mengatakan ajaran "petapa gundul" tidak ada manfaatnya.
berkat ucapan yang meremehkan itu (so everybody beware of wout u said)
Jotipala harus menjalani petapa an selama 6 tahun
buddha sebelum nya, cuma 1 minggu, ada yang 3 minggu, ada yang 1 bulan ada yang paling lama cuma 3 bulan.
jd teman2 jgn sembarang berucap ya, tar kena hukuman loh, kayak Jotipala
CMIIW,
navis
tapi katanya upaya kausalya... bukan karena hukum kamma....
Jadi "Buddho" juga adalah metode untuk memasuki keheningna, dari keheningan seseorang akan memasuki Jhana.
Kedua fakta ini: kata-kata Ajahn Thate dan kesaksian Ajahn Sumedho tentang Ajahn Fun, menggambarkan dengan jelas bahwa pada praktik melafalkan "Buddho" di antara bhikkhu2 hutan di Timur Laut Thailand adalah metode yang mandiri di luar anapanasati dan vipassana klasik.
Hahahaha, untungnya saya percaya pada satu, dan dia menjamin masuk surga lho, dan hukum karama tidak berlaku :P
Bro Sobat, proses kelahiran di atas sepertinya hanya berlaku pada kelahiran terakhir seorang Bodhisattta, yaitu kelahiran dimana ia akan mencapai Sammasambuddha.
mengenai bagian Tidak tercemar, ini maksudnya apa?
bagaimana dengan kasus dimana Bodhisatta Gotama yang karena kesombongannya menghina Buddha Kassapa dalam kelahirannya sbg Brahmana Jotipala? apakah ini termasuk tercemar atau tidak?
_/\_
Cerita lengkapnya?
Majjhima Nikaya 81, Raja Vagga, Ghatikara Sutta.
Kisahnya Bodhisatta hidup sebagai pemuda bernama Jotipala dan diajak oleh temannya Ghatikara untuk mendengarkan khotbah Buddha Kassapa. Jotipala menolak dan mengatakan ajaran "petapa gundul" tidak ada manfaatnya.
berkat ucapan yang meremehkan itu (so everybody beware of wout u said)
Jotipala harus menjalani petapa an selama 6 tahun
buddha sebelum nya, cuma 1 minggu, ada yang 3 minggu, ada yang 1 bulan ada yang paling lama cuma 3 bulan.
jd teman2 jgn sembarang berucap ya, tar kena hukuman loh, kayak Jotipala
CMIIW,
navis
tapi katanya upaya kausalya... bukan karena hukum kamma....
justru dia kena hukum karma bro, makanya harus menjalani petapa-an selama 6 tahun
makanya jgn pake upaya kausalya sembarang, silap2 kualat loe... hehehe...
apalagi meremehkan sutra-sutra, ga berani gw....
cuma saran loh, hehehe... I did warn u guys (tar dibilang gw ga bilang-bilang..., so tar klu kena, jangan salahin gw ya, resiko tanggung masing2... hehehe...) ^-^
_/\_
^
^
oh gitu yach
aye ga tau tuch bro, aye kan monotheis freelance bro
thera oke, maha juga oke, tantra juga ayo...
emang iya, dulu sang buddha sudah mencapai pencerahan sempurna, baru tau aku,
bisa dikutip dikit dibab berapa, ayat berapa, junto berapa? ;D
trus dia capai pencerahan sempurna, untuk ke dua kali-nya, OD donk, alias Over Dosis....
Tentang Meditasi Buddho,
coba perhatikan pendapat Phra Ajaan Thate Desaransi dalam bukunya yang berjudul "Buddho" ini:
If you go to a teacher experienced in meditating on the rising and
falling of the abdomen, he will have you meditate on rising and
falling, and focus your mind on the different motions of the body. For
instance, when you raise your foot, you think //raising//. When you
place your foot, you think //placing//, and so on; or else he will have
you focus continually on being preoccupied with the phenomenon of
arising and passing away in every motion or position of the body.
If you go to a teacher experienced in psychic powers, he will have you
repeat //na ma ba dha, na ma ba dha//, and focus the mind on a single
object until it takes you to see heaven and hell, deities and brahmas
of all sorts, to the point where you get carried away with your
visions.
If you go to a teacher experienced in breath meditation, he will have
you focus on your in-and-out breath, and have you keep your mind firmly
preoccupied with nothing but the in-and-out breath.
If you go to a teacher experienced in meditating on //buddho//, he will
have you repeat //buddho, buddho, buddho//, and have you keep the mind
firmly in that meditation word until you are fully skilled at it. Then
he will have you contemplate //buddho// and what it is that is saying
//buddho//. Once you see that they are two separate things, focus on
what is saying //buddho//. As for the word //buddho//, it will
disappear, leaving only what it is that was saying //buddho//. You
then focus on what it is that was saying //buddho// as your object.
====
Jika anda perhatikan kata-kata ini, jelas sekali Ajaan Thate menyebutkan adanya empat metode meditasi. Meditasi Buddho dibedakan dengan konsentrasi memperhatikan napas (Anapanasati) atau konsentrasi memperhatikan tenggelam dan berkembangnya perut serta pergerakan tubuh (Vipasaana). Bahkan selain "Buddho", dikenal meditasi dengan mantra lain yaitu: "na ma ba dha." Jelas sekali dikatakan di sini bahwa mantra "na ma ba dha" digunakan untuk membantu praktisi melihat alam surga atau neraka. Sedangkan dalam meditasi Buddho, Ajahn Thate jelas-jelas mengatakan konsentrasinya hanya pada dua hal, yaitu kata "buddho" dan "apa yang mengucapkan buddho." Sama sekali tidak disinggung bahwa Buddho hanya digunakan untuk membantu anapasati. Anapasati jelas dibedakan dengan metode buddho". Jadi apa bedanya "Buddho" dan "na ma ba dha" dengan nien fo?
Sorry, kutipan kata-kata Ajahn Thate di atas ada yang masih tertinggal:
Only after you have inspired confidence in your heart as already mentioned should you go to the teacher experienced in that form of meditation. If he is experienced in repeating samma araham, he will teach you to repeat samma araham, samma araham, samma araham. Then he'll have you visualize a bright, clear jewel two inches above your navel, and tell you to focus your mind right there as you continue your repetition, without letting your mind slip away from the jewel. In other words, you take the jewel as the focal point of your mind.
Selain "Buddho" dan "na ma ba dha", masih ada lagi satu mantra, yaitu "samma araham" yang diulang-ulang sambil membayangkan berlian terang dua inci di atas pusar (Tan t'ein). Ternyata dalam Theravada juga ada metode visualisasi berlian :)
Untuk pastinya mengenai sumber yang kukutip silahkan baca langsung ke:
http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/thate/buddho.html
saudara Xuvie,Sorry, kutipan kata-kata Ajahn Thate di atas ada yang masih tertinggal:
Only after you have inspired confidence in your heart as already mentioned should you go to the teacher experienced in that form of meditation. If he is experienced in repeating samma araham, he will teach you to repeat samma araham, samma araham, samma araham. Then he'll have you visualize a bright, clear jewel two inches above your navel, and tell you to focus your mind right there as you continue your repetition, without letting your mind slip away from the jewel. In other words, you take the jewel as the focal point of your mind.
Selain "Buddho" dan "na ma ba dha", masih ada lagi satu mantra, yaitu "samma araham" yang diulang-ulang sambil membayangkan berlian terang dua inci di atas pusar (Tan t'ein). Ternyata dalam Theravada juga ada metode visualisasi berlian :)
Untuk pastinya mengenai sumber yang kukutip silahkan baca langsung ke:
http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/thate/buddho.html
Urun pendapat dikit, sejarah buddhism yg berakar ribuan tahun, dlm prakteknya pasti ada yang mencoba utk mengasimilasikan atau mengintegrasikan cara 'ini' dari T dgn cara 'itu' dr M, dsb. Entah itu dari Ajahn Thate, Ajahn ini, Ajahn itu, singkatnya, guru2 tertentu yg memiliki caranya sendiri. Tapi bukan mewakili keseluruhan aliran.
Dan pendapat saya, kata2 itu memang tidak masalah, jika dipraktekkan dg penuh keyakinan, tdk mustahil utk mencapai ketenangan meski yg dijapa bukan 'Buddho' melainkan 'a-b-c'.
yup.. tapi hanya utk ketenangan aja sih kenapa tdk bs dng modal keyakinan aja?yah, karena dari pratek kesadaran maka ada pengalaman/pengetahuan hingga menimbulkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
kalau dng kesadaran sih dah pasti dpt ketenangan dan lebih dr sekadar itu.
Sebagaimana dlm Anguttara Nikaya dikatakan Sang Buddha:
"Monks, I know of no other single thing of such power to cause the arising of wholesome states; if not yet arisen, or to cause the waning of unwholesome states; if already arisen, as appamada."
OOT: Kemarin minggu g sempat ngobrol sama sama kawan kawan mahayanis. Kita perlu adanya penerjemah, penulis teori mahayana. Selama ini penulis mahayana di dunia maya tuh masih sedikit, ngak banyak yang menguasai teori mahayana masih dihitung sama jari. So jadi kemarin g sempat mengungkap ide dan kemungkinan akan berlanjut. Bagaimana perlunya penerjermah sutra mahayana, abidharma mahayana, Dharani dan tata cara sembayang aliran mahayana . Selama ini penulis mahayana tuh single figter kali kita coba bareng bareng ngerjainnya. Semofa rapat kecil ini saya bisa menjadi besar lama kelamaan dengan simpatisan.Mulai dari yang ambil sutra asal2an di perbaiki, yang bajakan coba di berikan pengertian kepada umat ;D
Bukan menyingung Teravada, pada dasarnya teori Teravada sudah banyak penulis. Sementara Mahayana masih tidak sebanyak Tera. karena itu perlu adanya konlidasinya. Semoga kedepannya itu berhasil. Mohon dukungan dari kawan kawan mahayana saling membantu. Projek kita kecil. Kemarin masih rapat kecil saja
^
^
oh gitu yach
aye ga tau tuch bro, aye kan monotheis freelance bro
thera oke, maha juga oke, tantra juga ayo...
emang iya, dulu sang buddha sudah mencapai pencerahan sempurna, baru tau aku,
bisa dikutip dikit dibab berapa, ayat berapa, junto berapa? ;D
trus dia capai pencerahan sempurna, untuk ke dua kali-nya, OD donk, alias Over Dosis....
saya gak ahlinya bro... musti tanya ahlinya...
"Segera" memasuki bukan berarti "zap" atau "ting" tiba2 di masuk ke jhana 7 tersebut. Kata "segera" artinya bukan langsung masih ada proses...cepat atau tidaknya tergantung parami dan kemahiran juga, makanya dikatakan "sehingga...orang bijak...." dalam kasus kecepatan masuk jhana Mogallana lah yg paling unggul. Tapi ini bukan bearti tidak ada proses dari jhana2 sebelumnya.
Untuk contoh pintu demi pintu yg yg saling terhubung atau "connecting door" satu ruangan dengan yg lainnya perumpamaan masuk jhana demi jhana dan kecepatannya silakan baca di "supermindfulness" karangan Ajahn Brahm. Mungkin bisa jelas.Saya sudah pernah membaca buku ini. Pada dasarnya, saya memandang apa yang ditawarkan oleh Ajahn Brahm adalah baik dan bermanfaat. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya “jalan lain” menuju nibbana.
Dan hal yg penting diperhatikan adalah bagaimana saat2 awal alara kalama dan ramaputta melatih jhana2, referensi itu tidak disebutkan. Yg dijelaskan hanya kondisi saat dia sudah mahir sehingga sesuai keinginannya ia dapat berada dalam jhana yg diinginkan tapi bukan berarti tidak melewati tiap "connecting door demi connecting door"
perhatikan yg dibold " bahwa dia telah masuk" artinya sebelumnya dimana, ?, dalam hal ini masuk jhana 7...jika Anda katakan bukan jhana lalu apa?(coba liat prosesnya makanya coba dipraktekan ;D) Nah alara kalama berpikir bahwa jhana 7 ini adalah akhir dari segalanya/nibbana.
Tahukah Anda bagaimana melihat paticasamupadda?
Banyak yg hal kontroversi mengatakan tidak perlu jhana dsb untuk melihat ini, hanya dengan perenungan biasa. Mari kita kaji lebih lanjut
Paticasamupada terdiri dari 12 nidana disana dijelaskan rangkaian avijja(sebagai kilesa) sebagai sebab tumimbal lahir dan tumimbal lahir ini menyangkut nama dan rupa. Dan kilesa itu "ada" pada batin, dan tubuh adalah salah satu wujud efeknya dikatakan sebagai manusia dia terlahir. Nah apakah melihat rangkaian dalam jasmani khususnya organ dalam bisa dengan mata kasar? kecuali di operasi lalu dipelajari ^-^
Kedua melihat kilesa yg laten tadi yg bernama avija tadi yg "berada" pada batin bisa dicabut dengan perenungan biasa? tentu tidak sobat karena untuk mendapatkan pengetahuan menghancurkan kilesa ini seseorang harus bisa melihat proses daripada Nama tadi artinya anda harus bisa melihat mana citta, cetasika,vedana, sanna dan sankhara dsb..Ini juga ada kaitannya juga dengan proses tummbal lahir yg akan memunculkan nyana2 sehingga muncul pengertian dan kejenuhan terhadap kehidupan.dst
Bagaimana dengan direct vipasanna. Seperti yg pernah dikatakan Mahasi Sayadaw dalam point tertentu konsentrasi khanika samadhi bisa setara dengan kekuatan jhana hanya dipergunakan pada objek yg berbeda. Dan patut diingat dalam jhana orang tidak bisa bervipasana.
Kenapa dikatakan jhana 7 dan 8 kilesanya dikit, sebenarnya tidak demikian adanya. Tetapi lebih karena kekuatan konsentrasi yg dipakai nantinya untuk vipasana. Sehingga kalau jhana 4 memakai kaca pembesar, maka jhana 7 dan 8 memakai teleskop.
Smoga bermanfaat penejelasan ini _/\_
Saya ingin bertanya ketika seseorang mengatakan lobha adalah bukan kilesa tetapi faktanya itu adalah kilesa. Sama halnya jika mengatakan bahwa si A memukul orang itu kenyataanya orang itu tidak memukul tetapi berjabat tangan apakah hal itu dapat dibedakan pengertiannya?
Bisa Anda tunjukan tulisan saya bahwa bodhidharma ada kilesa?, saya hanya membuat perumpamaan bahkan ada kata "jika itu benar bodhdharma tanpa kilesa (versi mahayana)....."(lalu siapa yg menanggap benar? ^-^) oleh karena itu saya ragu itu adalah khotbah bodhidharma artinya masih 50-50 . Tetapi dari tulisan itu jelas cerminan yg masih ada kilesa tetapi Anda sendiri yg menanggap itu khotbah Boddhidarma dikatakan bodhidharma Sehingga Anda berpikir saya mengatakan dia pasti ada kilesa yg tercermin dalam khotbahnya, padahal itu pikiran Anda yg bergerak toh... Saya telah jelaskan sebelumnya saya menghormati Boddhidharma. Anda tahu mengkritisi pandangan? karena saya ragu maka saya tidak tau benar pandangan siapa entah bodhidharma atau orang lainnya. Jadi ini adalah asumsi Anda sendiri bukan? :) Coba baca lagi tulisan saya dari awal, terus terang saya malas copas ulang tulisan saya.
Nah Luangta Mahaboowa ada penjelasannya kan kenapa dan mengapa, Anda sendiri telah menunjukannya.. apakah tulisan mengenai khotbah Bodhidharma ada penjelasan mengenai arahat membayangkan?, paling tidak praktisinya langsung toh... ;D
Telah saya jelaskan berulang2 perbandingannya dan pertimbangannya beserta contohnya. Kalau belum mengerti smoga suatu saat Anda mengerti, mungkin karena keterbatasan saya dalam menjelaskan ke Anda. Mungkin teman2 yg mengerti maksud saya dan mahir dalam menjelaskan dapat membantu menjelaskan maksud saya tadi. cluenya pernyataan dan fakta beda...itu saja.
Salam metta _/\_
salam persaudaraan Mahayana dan Theravada SmileySalam persaudaraan :)
Jadi "Buddho" juga adalah metode untuk memasuki keheningna, dari keheningan seseorang akan memasuki Jhana.
Cermati kalimat ini apakah ada peralihan subjek meditasi disana sebelum masuk jhana?
Bisa dijelaskan bro sobat mengenai teknik diluar vipasanna klasik? setau saya dari penjelasan mereka sama saja.Kata ini hanya kugunakan sekadar untuk mengatakan bahwa teknik "Buddho" bisa dipraktikkan secara tersendiri sebagai samatha atau mungkin juga vipassana, berbeda dengan yang ada di sutta. Apa yang saya sebut sebagai "klasik" adalah metode yang diajarkan sendiri oleh Sang Buddha. Jadi di luar "klasik" berarti ada modifikasi seperti dalam melafalkan Buddho ini.
Urun pendapat dikit, sejarah buddhism yg berakar ribuan tahun, dlm prakteknya pasti ada yang mencoba utk mengasimilasikan atau mengintegrasikan cara 'ini' dari T dgn cara 'itu' dr M, dsb. Entah itu dari Ajahn Thate, Ajahn ini, Ajahn itu, singkatnya, guru2 tertentu yg memiliki caranya sendiri. Tapi bukan mewakili keseluruhan aliran.
Dan pendapat saya, kata2 itu memang tidak masalah, jika dipraktekkan dg penuh keyakinan, tdk mustahil utk mencapai ketenangan meski yg dijapa bukan 'Buddho' melainkan 'a-b-c'.
OOT: Kemarin minggu g sempat ngobrol sama sama kawan kawan mahayanis. Kita perlu adanya penerjemah, penulis teori mahayana. Selama ini penulis mahayana di dunia maya tuh masih sedikit, ngak banyak yang menguasai teori mahayana masih dihitung sama jari. So jadi kemarin g sempat mengungkap ide dan kemungkinan akan berlanjut. Bagaimana perlunya penerjermah sutra mahayana, abidharma mahayana, Dharani dan tata cara sembayang aliran mahayana . Selama ini penulis mahayana tuh single figter kali kita coba bareng bareng ngerjainnya. Semofa rapat kecil ini saya bisa menjadi besar lama kelamaan dengan simpatisan.
Bukan menyingung Teravada, pada dasarnya teori Teravada sudah banyak penulis. Sementara Mahayana masih tidak sebanyak Tera. karena itu perlu adanya konlidasinya. Semoga kedepannya itu berhasil. Mohon dukungan dari kawan kawan mahayana saling membantu. Projek kita kecil. Kemarin masih rapat kecil saja
Mulai dari yang ambil sutra asal2an di perbaiki, yang bajakan coba di berikan pengertian kepada umat ;D
Saya kurang paham dengan yang anda maksud dengan “zap” atau “ting”. Persoalannya, adalah apakah memang Jhana 1-4 adalah satu-satunya jalan yang wajib dilalui atau tidak.
Saya sudah pernah membaca buku ini. Pada dasarnya, saya memandang apa yang ditawarkan oleh Ajahn Brahm adalah baik dan bermanfaat. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya “jalan lain” menuju nibbana.
Yang jelas, dalam sutta tersebut sama sekali tidak dikatakan tentang Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta mencapai jhana atau tidak.
Bahkan ketika merenungkan siapa orang yang pertama kali akan diajarkan Buddhadharma, Sang Buddha teringat pada Alara Kalama terlebih dahulu ketimbang Uddaka Ramaputta. Asumsinya, jika Alara Kalama yang diingat terlebih dahulu, seharusnya Landasan Kekosongan-nya Alara Kalama dianggap lebih mendekati Nirvana sempurna dibandingkan Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi-nya Uddaka Ramaputta. Dengan demikian jika berusaha mengurutkan tingkat pencapaiannya (dengan asumsi konsep jhana 5-8 itu diterima), seharusnya yang disebut sebagai jhana 7 adalah Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, sedangkan jhana 8 adalah Landasan kekosongan. Namun Sang Buddha dalam khotbah-Nya yang lain selalu menyebutkan Landasan kekosongan terlebih dahulu, baru menyebutkan Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Hal ini menyebabkan saya menyimpulkan bahwa cara Sang Buddha mengurutan pencapaian-pencapaian sebagaimana dalam Sammana Phala Sutta (Jhana 1-4 kemudian 4 landasan) didasarkan semata-mata oleh perjalanan pengalaman pribadinya, bukan didasarkan pada suatu keharusan baku.
Lagipula apa jaminannya, dari perilaku tampak, kilesa seseorang bisa langsung terlihat? Apakah dengan demikian orang yang anda amati dalam jangka waktu tertentu dan di tempat tertentu ketika belum ada sifat kilesa yang tampak anda bisa menyimpulkan orang tersebut bebas dari kilesa? Apa jaminannya ia hanya pandai berakting di depan umum hingga tidak terlihat adanya kilesa sesuai dengan kriteria perilaku yang ada? Mungkin hanya pengamatan 24 jam dalam 7 hari tanpa henti sepanjang masa hidup orang tersebut yang akhirnya bisa membuat orang yakin bahwa seseorang tidak lagi memiliki kilesa laugh Dan itupun tidak menunjukkan apa-apa, karena perilaku tampak bukanlah jaminan bahwa seseorang memang bebas dari kilesa.
Kasus Ajahn Mahaboowa justru menunjukkan bahwa jangan menunjuk seseorang masih memiliki kilesa atau tidak hanya berdasarkan kata-kata atau perbuatan tampak belaka Smiley Perbuatan bisa sama, tapi kondisi batinnya bisa berbeda. Yang tercerahkan tidak melekat, yang awam masih melekat. Itulah inti perbedaannya, bukan penampilan luar belaka.
Benter...
Metode Buddho = Vipasanna ?
Metode Buddho = Samatha ?
Saya kira metode buddho tidak ada hubungannya dengan vipasanna maupun samatha.
Namun, mungkin juga gw yg salah...
Berhubung gw udah terlalu lama absen dari meditasi,
Ada yg bisa bantu ingetin apa yang ada dalam pikiran ketika Vipasanna ?
dan apa yang ada dalam pikiran ketika Samatha ?
OOT: Kemarin minggu g sempat ngobrol sama sama kawan kawan mahayanis. Kita perlu adanya penerjemah, penulis teori mahayana. Selama ini penulis mahayana di dunia maya tuh masih sedikit, ngak banyak yang menguasai teori mahayana masih dihitung sama jari. So jadi kemarin g sempat mengungkap ide dan kemungkinan akan berlanjut. Bagaimana perlunya penerjermah sutra mahayana, abidharma mahayana, Dharani dan tata cara sembayang aliran mahayana . Selama ini penulis mahayana tuh single figter kali kita coba bareng bareng ngerjainnya. Semofa rapat kecil ini saya bisa menjadi besar lama kelamaan dengan simpatisan.Mulai dari yang ambil sutra asal2an di perbaiki, yang bajakan coba di berikan pengertian kepada umat ;D
Bukan menyingung Teravada, pada dasarnya teori Teravada sudah banyak penulis. Sementara Mahayana masih tidak sebanyak Tera. karena itu perlu adanya konlidasinya. Semoga kedepannya itu berhasil. Mohon dukungan dari kawan kawan mahayana saling membantu. Projek kita kecil. Kemarin masih rapat kecil saja
termasuk pastinya. tp perkataan saya jg tidak mewakili aliran manapun.Dan pendapat saya, kata2 itu memang tidak masalah, jika dipraktekkan dg penuh keyakinan, tdk mustahil utk mencapai ketenangan meski yg dijapa bukan 'Buddho' melainkan 'a-b-c'.
Demikian juga jika yang dilafalkan adalah "namoamituofo" atau "na mo a mi ta bha". Yang ini termasuk nggak? ^-^
Urun pendapat dikit, sejarah buddhism yg berakar ribuan tahun, dlm prakteknya pasti ada yang mencoba utk mengasimilasikan atau mengintegrasikan cara 'ini' dari T dgn cara 'itu' dr M, dsb. Entah itu dari Ajahn Thate, Ajahn ini, Ajahn itu, singkatnya, guru2 tertentu yg memiliki caranya sendiri. Tapi bukan mewakili keseluruhan aliran.
Lantas siapa yang berhak mewakili seluruh aliran atau tradisi? Soal yang demikian bisa jadi ribut deh :)
Kita mengenal adanya Buddha Maitreya berdasarkan Sabda Sang Buddha Sakyamuni di dalam Sutra Maha Ratna Kuta (Ta Pao Ci Cing) Bab88 (Pertemuan Maha Kasyapa):apakah benar disutta mahayana berisi sama persis dgn yg sy qoute diatas??
Suatu ketika Junjungan Dunia menjulurkan tangan-Nya yang membiaskan cahaya kemilauan, hasil paduan kesucian laksa asamkheya kalpa. Dengan jari dan telapak tangan-Nya yang bersinar bagaikan bunga teratai, Beliau mengusap ubun-ubun Bodhisatva Ajita(nama Maitreya pada masa itu) sambil bersabda," Wahai Maitreya! Demikianlah kupesankan kepadamu nanti masa lima ratus tahun kelima, saat lenyapnya Dharma Sejati, engkau harus datang melindungi Tri Mustika. Jangan sampai lenyap dan terputus". Seketika itu juga Trisahasra Maha Sahasra lokya dhatu(alam semesta) dipenuhi cahaya terang dan diikuti enam bentuk suara gemuruh yang dahsyat.Semua makhluk suci dan deva serentak menghormati Bodhisatva Maitreya dengan sikap anjali sambil berkata, "Sang Tathagata telah berpesan kepadamu yang mulia dengan pengharapan seluruh umat manusia dan deva mendapatkan berkah kebahagiaan, terimalah pesan itu Yang Mulia!" Saat itu Bodhisatva Maitreya segera berdiri sambil menampakkan bahu kanannya, dan berlutut menghormati Sang Buddha dengan sikap anjali: "Junjungan Dunia, demi keselamatan semua makhluk aku telah menerima penderitaan laksaan kalpa yang tak terhitung, apalagi kini Tathagata telah menyampaikan pesan Dharma sejati,bagaimana mungkin tidak diterima? Wahai Junjungan Dunia!Kini aku berjanji pada masa yang akan datang akan kubabarkan Dharma Anuttara Samma Sambodhi yang telah Tathagata capai dalam perjuangan berlaksa-laksa asam-kheya kalpa yang tak terhitung!"
Kemudian dalam Sutra tentang Bodhisatva Maitreya Mencapai Surga Tusita (Mi Lek Sang Seng Cin) Sang Buddha bersabda :"Setelah aku mencapai maha pari-nirwana bila ada bhikhu-bhikhu, upasaka-upasaka,deva,naga,yaksa dan sebagainya hingga kelompok rahulata, yang begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus timbul rasa gembira maka setelah akhir hidupnya dalam waktu yang seketika akan mencapai surga tusita dan berkesempatan mendengarkan Maha Dharma Bodhisatva Maitreya!" Sang Buddha melanjutkan :"Bila ada bhikhu-bhikhu,upasaka-upasaka,deva,naga bahkan kelompok rahulata bila begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus bersikap anjali dan memberi hormat yang tulus, maka terbebaslah orang atau makhluk ini dari dosa karma samsara 500 kalpa.Dan kepada mereka yang dapat melaksanakan bhakti-puja menghormati Buddha Maitreya maka orang itu akan segera terbebas dari ikatan dosa karma samsara puluhan milyar kalpa, sekalipun tidak berhasil mencapai Surga Tusita, namun pasti dapat berjumpa dengan Buddha Maitreya pada masa yang akan datang, mendengar Maha Dharma tak terhingga dan mencapai Kesempurnaan!"
Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, serta merta massa yang tak terhitung, dengan perasaan yang senang dan puas memberikan hormat pada Bodhisatva Ajita yang terus berdiri dari semula dalam mendengarkan khotbah Sang Buddha. Bodhisatva Ajita inilah Buddha Maitreya akan datang!
tak tahu mau nanya ke mana, semoga di sini tidak terlalu nyasar..
ceritanya gini, kemarin saya lihat brosur. di brosur itu disebutkan seorang suhu anggota sangha dari luar negeri, pendiri vihara di luar negeri akan mengadakan kegiatan di indo. nah, yang saya bingung anggota sangha tersebut memiliiki rambut dan di brosur pertama beliau mengenakan pakaian putih, lalu di brosur yang lain beliau mengenakan pakaian pemuka agama sebelah lengkap dengan atributnya. hmmm, apakah ada aliran baru yang anggota sanghanya boleh berganti2 jubah dan berambut atau apa ya? thanks...
bagus tuh, ga melekat terhadap jubah :))cuma baju kok dipermasalahkan....^^
Namanya bhiksuni koq...(lupa nama panjangnya). Pendiri vihara Guan Yin di Kao Shiung, Taiwan. Kadang pakai jubah putih kadang pakai jubah suster ka****k..
Makanya bingung apa ada aliran baru di mahayana? Sptnya 'bhiksuni' ini akan datang ke jakarta bulan depan.
tak tahu mau nanya ke mana, semoga di sini tidak terlalu nyasar..
ceritanya gini, kemarin saya lihat brosur. di brosur itu disebutkan seorang suhu anggota sangha dari luar negeri, pendiri vihara di luar negeri akan mengadakan kegiatan di indo. nah, yang saya bingung anggota sangha tersebut memiliiki rambut dan di brosur pertama beliau mengenakan pakaian putih, lalu di brosur yang lain beliau mengenakan pakaian pemuka agama sebelah lengkap dengan atributnya. hmmm, apakah ada aliran baru yang anggota sanghanya boleh berganti2 jubah dan berambut atau apa ya? thanks...
denger2 itu memang dah pindah agama jadi K. gara2 melihat gereja, padahal sebelumnya dia rajin berdana ke vihara kwan im, katanya mau ke indo mau kesaksian yak? liat lagi brosur nya
salah ding keknya yang ini nih ;DQuotedenger2 itu memang dah pindah agama jadi K. gara2 melihat gereja, padahal sebelumnya dia rajin berdana ke vihara kwan im, katanya mau ke indo mau kesaksian yak? liat lagi brosur nya
Jadi K gara2 lihat gereja?.... Gedubrakk.....
Paling2 bukan bhiksuni yang benar2 mengerti Dharma, tapi yang "cung cung cep".....
_/\_
The Siddha Wanderer
BAB I
PURWAKA
Demikianlah yang telah kami dengar,
Pada suatu ketika Sang Buddha bersemayam di Rajagraha di Gunung Gridhrakuta, dihadap oleh 12.000 Bhiksu yang semuanya telah mencapai kesucian Arahat, yang tiada tercela, yang telah bebas dari ikatan keduniawian, yang telah mengatasi segala belenggu dan yang telah dapat mengendalikan pikiran dan nafsu keinginannya.
Mereka semua adalah para Arahat yang namanya telah terkenal antara lain adalah Arahat :
Ajnata Kaundinya - Maha Kasyapa - Uruvilva Kasyapa - Gaya Kasyapa - Nadi Kasyapa - Sariputra - Maha Maudgalyayana - Katyayana - Aniruddha - Kapphina - Gavampati - Revata - Pilindavasta - Vakkula - Maha Kaushthila - Nanda - Sundara Nanda - Purna - Maitrayaniputra- Subhuti - Ananda - dan Rahula.
Buat Rekan Xuvie : Menurut Saddharma Pundarika Sutra ada Ananda murid Sang Buddha yang telah Arahat dan ada Ananda murid Sang Buddha yang baru mencapai KeArahatan setelah Sang Buddha Parinirvana. Kalo anda punya pandangan yang berbeda silahkan cantumkan referensinya.Sejauh yg saya tau, bahkan dalam RAPB tdk ada disebutkan 2 Ananda. Ini sudah jelas dr berbagai sumber yg membentuk pengetahuan saya ttg buddhisme awal, pada zamannya Sang Buddha. Tdk pernah dijelaskan Ananda, putra si fulan. Ananda dari daerah lain dan lainnya. Karena itu lah saya bertanya pd Anda. Alih alih menjawab, Anda malah meminta saya mencantumkan referensi tentang Ananda 1 orang. Yang nanya siapa??
Bila anda membaca kisah Y.A Kumarajiva ini anda akan tahu betapa susahnya membawa Kitab Suci dari India ke Tiongkok pada saat itu bahkan dengan taruhan nyawa tetapi berkat perlindungan para Buddha,Bodhisattva dan Dharmapala Y.A Kumarajiva mampu melewati semua itu jadi saya yakin terjemahan Y.A Kumarajiva adalah tepat dan benar.Emang apa hubungannya perjalanan yg berat dengan ketepatan dan kebenaran terjemahan? Kalau perjalanan ngga berat berarti ketepatan dan kebenaran penerjemahan diragukan, begitu?
Mengenai nama Ananda, perlu Bro Gandalf ketahui dalam khazanah susastra Sanskrit adalah lazim apabila nama seseorang itu lebih dari satu. Jadi sebelum anda mengetahui dengan pasti bahwa nama kesemua Arahat tersebut, merujuk kepada kedua terjemahan tersebut saya meyakini bahwa ada 2 Ananda seperti yang tertulis dalam Sutra Saddharma Pundarika Sutra .Lagi-lagi, fallacy bermain di sini. Apa Bro Gandalf harus tahu terlebih dulu dengan PASTI semua nama Arhat di masa Sang Buddha baru Anda akan menerima opininya? ga nyambung oi.. Apakah dokter umum harus mampu menangani segala jenis penyakit baru boleh berpraktek?
_/\_
Translated into Chinese during the Yil, Tson Dynasty by KumarajivaRekan Triyana, jelas bahwa text ini mengalami beberapa kali terjemahan dari sumber aslinya, bagaimana anad bisa memastikan tidak ada kesalahan terjemahan? kalau yg anda maksudkan terjemahan english-indoensia->100% akurat, bagaimana dengan chinese-english atau sanskrit-english?
Translated into English by the Buddhist Text Translation Society
Namo Buddhaya,
Buat Rekan Indra :
Translated into Chinese during the Yil, Tson Dynasty by Kumarajiva
Translated into English by the Buddhist Text Translation Society
Rekan Indra tidak percaya 2 penterjemah diatas ?
Bagaimana dengan Sutta apakah anda dapat membaca langsung versi Pali ?
atau anda menggunakan terjemahan Rhys Davids dan Bhikkhu Bodhi ? :)
_/\_
Apa yang melawan arus ( patisotagami ) adalah tidak kentara ,dalam ,sulit dilihat dan sulit dimengerti .
Seorang bhikku yang hatinya terbebas tidak memihak siapa pun tidak berselisih dengan siapa pun ,
berpikir tanpa salah pengertian ,
dan ucapannya mengalir didunia .
[at] ^takutnya malah ditambah teka-teki lain ;D
Kayanya jangan 'ada' tapi langsung aja ke penulis kata2 tsb utk menjelaskan. Drpd tafsir menafsir mending yg terang benderang toh? ;)
Buddha berkata , "O Bhikku , Kamu harus menjauhkan diri dari bertengkar mulut , karena itu akan membuatmu terlalu banyak bicara .
Ketika kamu bicara banyak , pikiranmu akan jauh dari meditasi .
Ketika kamu jauh dari meditasi maka pannya atau kebijaksanaan tidak akan ada padamu ."
Ini adalah ucapan yang menarik karena hampir semua orang senang ber aduh argumentasi demi ' kemenangan " . Ketika seseorang tidak dapat menerima pendapat orang lain yang berbeda , orang cenderung untuk berargumentasi dengan gigih.
Tetapi kita semua harus ingat bahwa pertikaian tidak akan menyelesaikan masalah .
Semua pihak , ingin pihak lain menerima pendapatnya .
Perang mulut tidak berguna.
Itu hanya membawa lebih banyak permasalahan .
Kadang kadang malahan merusak suatu kelompok
Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Melihat bahwa pembahasan mengenai mahzab Mahayana selalu OOT, karena banyaknya member2 mempertanyakan sesuai dengan aliran laen, sehingga pembahasan mengenai topik itu sendiri menjadi kacau dan ujung2nya selalu membahas antara T vs M....
Gw coba memfasilitasi dengan membuat thread khusus bagi member2 yg ingin bertanya...
Selanjutnya, jika ada pertanyaan2 OOT yg ujung2nya T vs M, akan dilempar k thread ini...
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..
_/\_
Melihat bahwa pembahasan mengenai mahzab Mahayana selalu OOT, karena banyaknya member2 mempertanyakan sesuai dengan aliran laen, sehingga pembahasan mengenai topik itu sendiri menjadi kacau dan ujung2nya selalu membahas antara T vs M....
Gw coba memfasilitasi dengan membuat thread khusus bagi member2 yg ingin bertanya...
Selanjutnya, jika ada pertanyaan2 OOT yg ujung2nya T vs M, akan dilempar k thread ini...
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..
_/\_
sebenarnya aye dah tau itu, cuma aye diemin dulu ternyata Sobat Dharma yang telah memeriksa dengan baik ;Dok ok, tapi
karena didiemin dulu ama Ryu jadi clickednya didiemin dulu hingga 720 hrs. :))sebenarnya aye dah tau itu, cuma aye diemin dulu ternyata Sobat Dharma yang telah memeriksa dengan baik ;Dok ok, tapi
Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours.
= Seharusnya saudara tidak gegabah mengatakan ada ketidakkonsistenan dalam Saddharma Pundarika Sutra karena setiap Sutra yang ada sudah diteliti dan dicermati dan terbukti tepat dan benar. Disini anda menjawab bahwa sebenarnya perlu dikaji lebih jauh pada naskah-naskah terjemahan lebih awal, ketimbang hanya pada terjemahan bahasa inggrisnya, perlu saudara ketahui bahwa hal tersebut sudah dilakukan oleh para cendekiawan Buddhis.
Seharusnya saudara dalam menjawab pertanyaan tidak spekulatif tetapi berdasarkan fakta agar tidak menimbulkan fitnah. Hal ini juga untuk menjaga kredibilitas saudara sendiri.
= Perlu saudara ketahui bahwa terjemahan yang digunakan berasal dari kanon Tiongkok (Taisho Tripitaka 0262) yang telah diakui tepat dan benar.Ini kabar gembira. Akan lebih positif lagi jika Anda juga menyertakan refrensinya, agar saya juga bisa menikmati kegembiraan yang sama :)
Seperti yang telah saya jelaskan diawal bahwa dimungkinkan ada 2 terjemahan dalam satu Sutra yang sama dikarenakan perbedaan kanon.Anda sudah jelaskan soal ini. Namun, saya belum menemukan dengan pasti apakah terjemahan N. Kern dan BTTS yang Anda kutip berasal dari sumber yang sama atau tidak. Misalnya, jika sumber terjemahan keduanya berasal dari sumber yang sama, Sutra Teratai terjemahan Kumarajiva ke dalam bahasa Mandarin, maka sungguh aneh jika sumber terjemahannya sama namun isinya berbeda. Seandainya jika demikian, mungkin salah satunya dari terjemahan tersebut kurang akurat atau dua-duanya memang hanya akurat pada sebagian. Dalam hal ini saya tidak mempermasalahkan terjemahan Kumarajiva, namun terjemahan bahasa Inggris dari terjemahan Kumarajiva Sansekerta-Mandarin tersebut. Mohon Anda tidak mempertukarkan antara terjemahan versi bahasa Inggrisnya dengan terjemahan yang dibuat Kumarajiva langsung dari Sansekerta ke bahasa Mandarin. Namun jika sendainya ternyata sumber untuk terjemahan antara keduanya berbeda, misalkan sumber N. Kern berasal dari terjemahan versi lain (Bahasa Jepang misalnya) sedangkan BTTS dari bahasa Mandarin terjemahan Kumarajiva, maka mungkin potensi kesalahannya lebih besar ada pada terjemahannya N. Kern. Maksud saya sebenarnya hanya itu, menunjukkan suatu alur penyelidikan keabsahan suatu teks terjemahan dan kemungkinan-kemungkinannya, bukan benar-benar mengatakan ada kesalahan dalam terjemahan.
Tetapi tidak pernah, saya tegaskan kembali tidak pernah ada kekeliruan dalam Sutra-Sutra tersebut apalagi kekeliruan tentang ke Arahat an Ananda.
Jadi saudara harus lebih berhati-hati dalam berkomentar. :)Karena berhati-hati itulah saya selalu mengatakan di depan bahwa kata-kata adalah "spekulasi" belaka, dan pada setiap bagian tulisan saya selalu menambahkan kata "mungkin" atau "seandainya" di sela-selanya. Tidak cukup berhati-hatikah itu menurut Anda?
Daripada mulai beralih ke debat kusir yang defensif, mari kita kembali ke persoalan yang sebenarnya. Pertanyaannya yang diajukan oleh bro Indra adalah, apakah benar dalam Sutra Teratai, Ananda dikatakan telah mencapai Kearahatan pada saa Buddha masih hidu? Pertanyaan ini didasarkan pada temuannya pada Bab Satu sutra ini yang memasukkan Ananda dalam list para Arahat. Tentu saja hal ini sebenarnya adalah pertanyaan yang mengusik dan penting. Saya salut dengan ketelitian bro Indra. Menurut saya para Mahayanis (termasuk saya dalam hal ini) tidak perlu menjadi defensif dalam soal demikian, biarlah hitam dikatakan hitam, putih dikatakan putih :)
Daripada mulai beralih ke debat kusir yang defensif, mari kita kembali ke persoalan yang sebenarnya. Pertanyaannya yang diajukan oleh bro Indra adalah, apakah benar dalam Sutra Teratai, Ananda dikatakan telah mencapai Kearahatan pada saa Buddha masih hidu? Pertanyaan ini didasarkan pada temuannya pada Bab Satu sutra ini yang memasukkan Ananda dalam list para Arahat. Tentu saja hal ini sebenarnya adalah pertanyaan yang mengusik dan penting. Saya salut dengan ketelitian bro Indra. Menurut saya para Mahayanis (termasuk saya dalam hal ini) tidak perlu menjadi defensif dalam soal demikian, biarlah hitam dikatakan hitam, putih dikatakan putih :)
kalau dalam tradisi mahayana china, arahat tidaklah selalu berarti arahat sempurna. arahat juga diberi embel-embel arahat tingkat pertama, tingkat kedua, ketiga dan keempat. artinya, kata arahat disamakan dengan kata sravaka (ariya sangha). lihatlah dalam literatur china, jarang sekali ada kata srotapanna dll. ada kemungkinan dalam proses penerjemahan sutra teratai, kata yang dimaksud di sana adalah kata sravaka atau ariya sangha. biasanya mengenai arahat yang disebutkan adalah arahat penuh atau bukan dijelaskan dalam kitab-kitab komentarnya (sastra).
jadi, menurut hemat saya, hal semacam ini tidak perlu diperdebatkan lebih jauh. Ananda di sini sudah jelas seorang sravaka - srotapanna yang merupakan sepupu pangeran Siddharta dan pelayan terdekat Buddha. hal yang lebih penting di sini adalah makna atau dharma yang terkandung dalam sutra itu sendiri. _/\_
peace.. salam damai dalam kasih dharma
Mulai ada titik terang ;D _/\_
Mulai ada titik terang ;D _/\_
sungguh berbeda memang dengan konsep theravada mengenai apa itu kesucian dan pencerahan...
apabila seorang sotapana dikatakan lahir tidak lebih 7x...
kemudian dalam kehidupan berikutnya mencapai arahat.....
kemudian merosot lagi....kembali jadi sotapana,
naik jadi sakadami kemudian kembali lagi sotapana, terus jadi sammasambuddha, kemudian merosot lagi....demikian terus menerus
apakah arti pencapaian kebahagiaan? apakah arti "akhir-Dukkha" ?
apa yang buddha perjuangkan? nol besar.
yang saya tahu dalam theravada, tidak ada sutta yang mengatakan arahat itu bisa merosot...Mulai ada titik terang ;D _/\_
sungguh berbeda memang dengan konsep theravada mengenai apa itu kesucian dan pencerahan...
apabila seorang sotapana dikatakan lahir tidak lebih 7x...
kemudian dalam kehidupan berikutnya mencapai arahat.....
kemudian merosot lagi....kembali jadi sotapana,
naik jadi sakadami kemudian kembali lagi sotapana, terus jadi sammasambuddha, kemudian merosot lagi....demikian terus menerus
apakah arti pencapaian kebahagiaan? apakah arti "akhir-Dukkha" ?
apa yang buddha perjuangkan? nol besar.
Ada dunkzz.......... pencapaian kebahagiaan menurut Sarvastivada dan Sautrantika= Arhat Akopyadharma........
Bahkan kadang orang yang tampaknya berhasil, bahagia, sukses, bijaksana, tenang batinnya, bisa saja jatuh ketika pikirannya lemah. Ini bisa disamakan dengan Parihanadharma Arhat. Dan justru pada saat inilah saya melihat perjuangan kita dites, apakah kita memang sudah dapat mencapai kebahagiaan sejati yaitu menjadi seorang Arhat Akopyadharma yang tidak akan merosot lagi.
Seorang Parihanadharma Arhat dsb tentu dianjurkan untuk berjuang dengan usaha dan penuh semangat untuk menjadi Arhat Akopyadharma (pencapaian kebahagiaan anda bilang!) dengan memperkuat pikirannya. Dan kalau tidak salah di dalam Abhidharmakosa Sarvastivada sendiri dijelaskan. bahwa Arhat Akopyadharma sama dengan pencapaian Samyaksambuddha.
Sarvastivada dan Theravada (lebih tepatnya Mahaviharavasin) sama2 merupakan aliran dalam Shravakayana yang meyakini bahwa pencapaian pencerahan Arhat setara dengan Samyaksambuddha.
Seorang Srotapanna yang menjadi Sakrdagamin lalu menjadi Anagamin, bisa saja langsung menjadi Arhat Akopyadharma, tanpa harus menjadi Arhat Parihanadharma dulu.
Lantas kenapa menurut Sarvastivada, mereka kok bisa merosot?
Klo menurut aliran Sautrantika, tidak ada Arhat yang merosot lagi jd Srotapanna, yang ada adalah perbedaan tingkat "kebahagiaan" (bliss) ketika menjadi Arhat. Dan perlu ditekankan bahwa aliran Sautrantika juga mengajarkan agar seseorang mencapai tingkat Arhat dengan "kebahagiaan sejati" (Akopyadharma), bukan yang "kebahagiaan rendah" (Parihanadharma) semata.
Namun segala macam kemerosotan (baik yang hanya merupakan kebahagiaan / konsentrasi meditatif atau yang berupa buah-buah pencapaian) tersebut dikarenakan oleh sebab2 yang disetujui oleh baik Sarvastivada maupun Sautantrika yaitu:
1. Uang dan nama
2. Pikiran yang lemah (spt Godhika Thera yang berkali2 merosot dari buah2 pencapaian, lalu jijik, namun mampu mencapai Arahat Akopyadharma sebelum bunuh diri)
Kalau di Mahayana = jadi Mahayana Arhat = Samyaksambuddha yang kagak bakalan merosot lagi jadi Srotapanna atau Bodhisattva tingkat 1.... Kalau sudah jadi Samyaksambuddha ya tetep Samyaksambuddha, dan inilah apa yang disebut sebagai pencapaian kebahagiaan yang sejati-jatinya menurut Mahayana.
Dan perlu diketahui juga bahwa Jey Tsongkhapa, pemuka agama Buddha Mahayana [Vajrayana] dan pendiri aliran Gelug, mengatakan bahwa mustahil Shravakayana Arhat bisa merosot menjadi Srotapanna, Sakrdagamin atau Anagamin. Yang masih bisa merosot hanyalah Sakrdagamin dan Anagamin. Menurut Tsongkhapa, beberapa jenis Arhat seperti Parihanadharma hanya bisa merosot dalam "konsetrasi meditatifnya", namun pencapaian Arhat-nya ya masih tetap eksis.
Haisss..... begitu saja koq repot sampe mikirin arti kebahagiaan dll?? 8) 8) Jadi tidak usah berlebihan sampai mengatakan "nol besar" saya rasa dan apalagi sampai terburu2 mengatakan Sammasambuddha akan merosot lagi (la ini saya heran dari mana muncul suatu konsep seperti ini?, krn nggak ada yang ngomong kaya gitu)
Dan patut diingat juga kalau kita di sini sedang membahas apakah Ananda Arhat atau tidak dalam Saddharmapundarika Sutra..... dan agaknya menarik juga mengingat menurut pakar Mahayana seperti Tsongkhapa, menolak kemerosotan seorang Arhat. Lantas apakah memang Ananda disebutkan sebagai Arhat dalam Saddharmapundarika Sutra? Saya di sini lebih setuju terhadap opini bro. sobat_dharma.
_/\_
The Siddha Wanderer
Kalau di Mahayana = jadi Mahayana Arhat = Samyaksambuddha yang kagak bakalan merosot lagi jadi Srotapanna atau Bodhisattva tingkat 1.... Kalau sudah jadi Samyaksambuddha ya tetep Samyaksambuddha, dan inilah apa yang disebut sebagai pencapaian kebahagiaan yang sejati-jatinya menurut Mahayana.lalu mana jawaban yang dulu, dimana buddha mengatakan , sewaktu saya masih perumah tangga, masih "kotor"
Haisss..... begitu saja koq repot sampe mikirin arti kebahagiaan dll?? Jadi tidak usah berlebihan sampai mengatakan "nol besar" saya rasa dan apalagi sampai terburu2 mengatakan Sammasambuddha akan merosot lagi (la ini saya heran dari mana muncul suatu konsep seperti ini?, krn nggak ada yang ngomong kaya gitu)saya rasa tidak berlebihan kok, memang tidak ada yg ngomong, tapi prilaku yang terlihat demikian.
dalam beberapa sutta, dikatakan 5 khandha ini harus di pandang sebagai jijik, dan serangkaian kebusukan di dalamnya, tetapi aneh nya dalam sutra justru menyenangi sebuah bhava/penjelmaan.
btw, penjelasan nya dari topik yang dulu mana om gandalf? mengenai visudhi...
Yang menganggap Arhat bisa merosot hanya aliran Sarvastivada.oke lah....
Ya to anda ini ngalor ngidul sampe ngomongin topik2 yang lalu!! Wkwkwk..... ya sudah aye jawabinsaya hanya ingat topik lalu memang tidak ada jawaban sama sekali.....jadi buat apa membahas A,B,C kalau dari awal saja sudah ada ngandat....selesaikan dulu bukan.^^
Apa anda tahu yang dimaksud dalam "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu sebenarnya adalah kata-kata "kiasan" yang menunjuk pada Dharmakaya?
Jadi ya tidak perlu dipahami secara harafiah bahwa Sang Bodhisattva dari dulu telah tercerahkan. Dan ini ada dalam komentar2 para guru agung Buddhis terhadap Sutra Saddharmapundarika, di mana ditunjukkan bahwa ungkapan "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu adalah Dharmakaya yang dimaksud.
di mana ditunjukkan bahwa ungkapan "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu adalah Dharmakaya yang dimaksud.jadi apa gunanya buddha menahan lapar dan hampir mati? buat ceritain pengorbanan nya biar murid terharu?
Ini sama dengan ungkapan bahwa "kita sedari dulu adalah Buddha". Ini juga sepatutnya tidak diartikan mentah2 tanpa adanya suatu penjelasan yang tepat. Maksud dari ungkapan ini adalah ke-Buddhaan adalah hakekat sejati dalam diri kita, jadi BUKAN berarti kita dulu Buddha lalu terperosok jadi makhluk samsara. Lah ini memang jadi konyol apabila tidak dipahami dengan tepat.saya harap anda bisa bedakan kata "esensi bertolak belakang" dengan "se-arah"
Apabila kata2 tersebut diartikan mentah2 tentu arti yang dimaksud tidak dapat dimengerti.
Lantas apabila seorang Bodhisattva pada tingkat tertentu memang secara upaya kausalya menjelma menjadi makhluk biasa, apakah kita mengatakan pencerahannya merosot? Ya tentu tidak.
Yah ini memang problema umat Buddhis di mana tidak dapat mengakui bahwa dalam tubuh keyakinannya sendiri diperlukan sesuatu yang bersifat "belief", dan tidak selalu dapat mengandalkan logika. "Belief" memang sudah menjadi suatu ciri khas dari agama.entah lah kalau anda,
yah, tetapi buddha disitu mengatakanQuotedalam beberapa sutta, dikatakan 5 khandha ini harus di pandang sebagai jijik, dan serangkaian kebusukan di dalamnya, tetapi aneh nya dalam sutra justru menyenangi sebuah bhava/penjelmaan.
Semua aliran Buddhis menganggap 5 skhanda sebagai sesuatu yang menjijikkan. Tapi bukan berarti kita meremehkannya.
Tanpa ada lima skhanda, emang anda bisa bertemu ajaran Buddha, bisa mencerna ajaran Buddha dan bisa hidup?
_/\_
The Siddha Wanderer
jadi apa gunanya buddha menahan lapar dan hampir mati? buat ceritain pengorbanan nya biar murid terharu?
berarti secara tidak langsung "anda sama saja menyatakan bahwa BUDDHA MEMANG BERSANDIWARA"
bukti lain, juga tercatat pada sutra teratai entah nomor berapa, dikatakan seorang Raja mencari dharma, kemudian bertemu seorang pertapa, pertapa ini mengajarkan dharma pada Raja. raja pun mencapai Sammasambuddha....dan dikatakan siapapun yang mendengarkan dharma ini tidak akan masuk neraka dan akan terlahir di tanah buddha...
pertapa ini adalah devadatta, dan raja ini adalah Gotama....
yah, tetapi buddha disitu mengatakan
"kelahiran adalah DUKKHA" dan kenyataan nya buddha terus dan terus lahir.....
lalu sekarang.
sekarang anda ingat visudhi? mohon di jawab kalau begitu...
Meski Bro Gandalf ini banyak penafsirannya dan kadang berbelit, jujur ngga semua penjelasan bisa saya terima. Tapi dalam menjawab Bro Gandalf banyak jujur, berusaha menjelaskan dan tidak menyembunyikan hal2 yg ditafsirkan dalam pandangan berbeda mungkin akan disalah artikan. Salut utk sikapnya deh! Claps
ertama-tama, Sang Bodhisattva ketika melakukan upaya kausalya ya tentu tidak enak-enakan mengumbar lobha, dvesa, moha. Sang Bodhisattva tampak seolah2 melakukan tindakan yang melanggar sila, namun ini semua adalah tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menyadarkan para makhluk.berarti sang Bodhisatva ini bisa diartikan "demi menyelamatkan makhluk hidup, malah melanggar SILA"
Jadi tindakan Bodhisattva itu bukan tindakan yang disengaja untuk memuaskan sang atman (atta) atau aku. Semuanya ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk dan akibat yang ditimbulkan oleh upaya kausalya Bodhisattva selalu positif.
Pencerahan para Bodhisattva tingkat 8 - 10 tentu lebih tinggi daripada pencerahan Shravakayana Arhat, demikian menurut Mahayana. Jadi Nirvana yang dicapai oleh para Bodhisattva tersebut adalah Nirvana Non- Dual (Apratishtita Nirvana), berbeda dengan Nirvana para Shravakayana Arhat (Anupadisesa Nirvana).
Pencerahan para Bodhisattva tingkat 8 - 10 tentu lebih tinggi daripada pencerahan Shravakayana Arhat, demikian menurut Mahayana. Jadi Nirvana yang dicapai oleh para Bodhisattva tersebut adalah Nirvana Non- Dual (Apratishtita Nirvana), berbeda dengan Nirvana para Shravakayana Arhat (Anupadisesa Nirvana).
Nirvana Non-Dual memungkinkan para Bodhisattva untuk melakukan tindakan upaya kausalya, yang mungkin tampak seolah2 melanggar sila, namun sebenarnya merupakan tindakan pencerahan. Inilah mengapa dikatakan hanya Bodhisattva tingkat tinggi yang mampu melakukan upaya kausalya dengan tepat 100%. Seorang prthagjana mustahil dapat melakukan upaya kausalya 100%, sehingga para prthagjana jangan coba2 melakukannya, kalau bukan malah terjerumus ke alam-alam rendah.
Contoh dari upaya kausalya adalah ketika Sang Bodhisattva terlahir menjadi Pangeran Mahasattva yang membunuh orang jahat yang berencana membunuh 500 pedagang di atas kapal. Dengan motivasi welas asih, Sang Pangeran membunuh orang jahat itu untuk menyelamatkan hidup kelima ratus pedagang dan menyelamatkan si orang jahat dari kelahiran di alam-alam rendah.
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.
Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
Karena Mahayana menganut Nirvana Non Dual yaitu Akhir Dukha pun bukan akhir Dukha, karena pada hakekatnya segala fenomena baik akhir Dukha maupun bukan akhir Dukha adalah kosong (shunya).
Karena Non Dual, kita juga tidak bisa semata2 mencap bahwa Nirvana Mahayana itu berakhir dengan "tanpa akhir dukha". Kita harus ingat bahwa posisi Mahayana adalah Non-Dual.
Anda tampaknya nggak paham dengan apa yang saya katakan. Dharmakaya adalah hakekat ke-Buddhaan yang ada daalm diri kita. "Sandiwara" itupun hanya kiasan dalam Saddharmapundarika Sutra dan tidak patut diartikan sebagai "pura2". Baik Mahayana dan Vajrayana ya mengakui pengorbanan Beliau yang kata anda membuat kita terharu itu. "Sandiwara" di sini dimaksudkan bahwa sebenarnya kita makhluk samsara ini pada hakekatnya memiliki Tathagatagarbha. Karena pada hakekatnya diri kita sebenarnya adalah Buddha [sifat ke-Buddhaan / Buddha Nature], maka perjuangan kita mencapai Nirvana ini seolah-olah tampak sebagai sebuah sandiwara, namun yang namanya "seolah-olah" ya tentu tidak berarti yang sebenar-benarnya bukan?ini sangat rancu.....
Jadi sangat jelas di sini sandiwara di sini dimaksudkan untuk menjelaskan hakekat ke-Buddhaan dalam diri, bukan Buddha main sandiwara jadi Siddharta. La kalau Buddha bersandiwara seperti itu, ya saya juga tidak percaya.
Waduh gini deh...... sebut saja si Joko dan si Bodhi.kalau ini sy bisa mengerti, anda baik sekali dalam memberi perumpamaan.... _/\_
Si Joko belajar agama Buddha selama 1 tahun dan percaya bahwa Sutra teratai dapat membawa pada Ke-Buddhaan. Ia mempelajarinya namun tidak mampu mencapai pencapaian apa2 karena halangan karmanya.
Ketika ia bertemu Bodhi, ia mengulang ajaran Sutra Teratai pada Bodhi. Tampaknya karma bajik Bodhi mendukung sehingga ia dapat memahaminya atas USAHANYA SENDIRI dan menjadi Buddha.
Nah sayangnya si Joko masih belum dapat mencapai akhir Dukha, akhirnya terjerumus kembali dalam roda samsara dan ia terjebak dalam lobha, dvesa, moha.
Ini sama ketika mislanya si A memberikan kopian Sutra Teratai yang didapatnya dari vihara pada si B. Nah si B mampu mencapai Buddha, tapi si A malah tidka mampu mencapainya. Ini adalah kejadian yang wajar, meskipun kita mungkin akan heran "loh kok si A yang ngasih malah nggak mampu mencapai apa2?", tapi ini sangat mungkin, karena batinnya sendiri belum teguh, si A hanya merasa takjub, hafal dan yakin akan isi Sutra namun gagal mempraktekkannya dengan benar.
Ini sama dengan Devadatta dan Sakyamuni.
Pertanyaan: Apakah kelahiran kembali di Tanah Suci bertentangan dengan kebenaran “Tanpa Kelahiran”?maaf, rancu...
Jawaban:
Yang Arya Zhiyi mengatakan:
“Yang bijak, yang dengan tulus berjuang untuk terlahir kembali di Tanah Suci, juga mengerti bahwa hakekat kelahiran kembali adalah kosong. Ini adalah Tanpa-Kelahiran yang tepat dan merupakan arti dari ‘ ketika Pikiran Murni maka tanah-tanah Buddha akan murni.’
Yang tumpul dan bodoh, di lain sisi, terjebak dalam konsep kelahiran. Mendengar istilah “Lahir”, mereka mendefinisikannya sebagai kelahiran yang nyata, mendengar ‘Tanpa-Kelahiran', mereka melekat pada arti harafiahnya dan berpikir bahwa tidak ada kelahiran kembali di mana-mana. Sedikit yang sadar bahwa “Kelahiran tentunya adalah Tanpa-Kelahiran dan Tanpa-Kelahiran tidak menghalangi Kelahiran.”
Juga telah dikatakan oleh seorang guru Zen:
“Jika kita memahami Kelahiran sebagai kelahiran kembali yang sebenar-benarnya, kita menyimpang menuju arah Eternalisme, jika kita memahami Tanpa Kelahiran yang berarti bahwa tidak ada kelahiran yang sebenar-benarnya, kita melakukan kesalahan Nihilisme. Kelahiran namun Tanpa Kelahiran, Tanpa kelahiran namun Kelahiran, pastinya adalah ‘makna yang ultimit.’”
Guru Zen yang lain mengatakan: “Kelahiran tentunya adalah kelahiran, namun kembali ke Tanah Suci adalah tidak kembali lagi (non-returning).”
…. Berbagai tanda Kelahiran dan Kematian secara salah muncul, seperti dalam mimpi, dari Pikiran Sejati…. Ketika kita memahami kebenaran ini, kelahiran kembali di Tanah Suci adalah kelahiran kembali dalam keadaan Hanya-Pikiran; di antara Kelahiran dan Tanpa Kelahiran, tidak ada kontradiksi arti yang eksis!
Bisa dilihat bahwa penjelasan di atas merujuk Pada Tanah Suci. Ini juga dapat diterapkan dalam Dunia Saha kita yang merupakan Tanah Suci Sakyamuni Buddha. Seseorang yang mencapai Nirvana Non-Dual, menyadari secara penuh bahwa tidak ada kontradiksi antara “Adanya Kelahiran” dengan “Akhir Kelahiran”, sehingga Beliau secara bebas melakukan berbagai tindakan pencerahan di dunia samsara.
Namun karena seorang Bodhisattva tingkat tinggi telah mencapai Nirvana Non-Dual, maka Beliau akan dapat mencapai "Kelahiran" di Tanah Suci Sakyamuni Buddha yaitu Dunia Saha kita, namun Beliau sekaligus juga mencapai "Tanpa-Kelahiran" / "Akhir Kelahiran" di Dunia Saha yang juga adalah samsara ini. Kelahiran kembali seorang Bodhisattva yang seprti itu adalah bebas dari lobha, dvesa dan moha, dan tidak terbayangkan oleh pikiran kita yang terbatas, yang belum merealisasi Non-Dualisme.
Guru Zen yang lain mengatakan: “Kelahiran tentunya adalah kelahiran, namun kembali ke Tanah Suci adalah tidak kembali lagi (non-returning).”sungguh rancu....
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca penjelasan Tiantai Master Zhiyi:ini jelas, sekali master Zhiyi ini secara tidak langsung mengatakan AjahnChah dan guru-guru Theravada di Thailand belum purify own mind.
All phenomena are by nature empty, always unborn (Non-Birth), equal and still. Are we not going against this truth when we abandon this world, seeking rebirth in the Land of Ultimate Bliss? The (Vimalakirti) Sutra teaches that “to be reborn in the Pure Land, you should first purify your own Mind; only when the Mind is pure, will the Buddha lands be pure.” Are not Pure Land followers going against this truth?
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.saya rasa ini sudah gila...
Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
QuoteKyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.saya rasa ini sudah gila...
Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
jadi saya bunuh saja peternak ikan, peternak udang, peternak ayam , peternak sapi, kuda, bebek....
bunuh pendeta, bunuh uskup, bunuh ustadz, bunuh pencuri, bunuh pembunuh...
dengan mengatakan motivasi saya "menyelamatkan makhluk hidup?"
korban saya cuma 10 orang lah...tapi saya bisa menyelamatkan jutaan nyawa.... SANGAT POSITIF !!!!
termasuk bunuh presiden Israel, karena saya bisa menyelamatkan nyawa anak PALESTINA ribuan.. !!!
ini sudah gila !!!
saya juga bisa mengatakan ini upayakausalya.....
metta.
jadi anda mau bilang kalau seorang Bodhisatva itu bisa membunuh tanpa kebencian?QuoteKyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.saya rasa ini sudah gila...
Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
jadi saya bunuh saja peternak ikan, peternak udang, peternak ayam , peternak sapi, kuda, bebek....
bunuh pendeta, bunuh uskup, bunuh ustadz, bunuh pencuri, bunuh pembunuh...
dengan mengatakan motivasi saya "menyelamatkan makhluk hidup?"
korban saya cuma 10 orang lah...tapi saya bisa menyelamatkan jutaan nyawa.... SANGAT POSITIF !!!!
termasuk bunuh presiden Israel, karena saya bisa menyelamatkan nyawa anak PALESTINA ribuan.. !!!
ini sudah gila !!!
saya juga bisa mengatakan ini upayakausalya.....
metta.
Masalahnya, akibat dari tindakan anda apa? Yakin Positif? Kalau nantinya jadi tambah buruk (misal: balas dendam semua keluarganya, atau malah semua jatuh ke alam-alam rendah) ya itu tanggung jawab anda dan hal tersebut bukan upaya kausalya. Maka dari itu motivasi welas asih yang benar selalu disertai kebijaksanaan.
Kebijaksanaan di sini menentukan apakah kita dapat yakin bahwa akibat dari tindakan kita menjadi sesuatu yang positif. Maka dari itulah kebijaksanaan melakukan ini hanyalah dapat dimiliki dan dilakukan oleh Bodhisattva tingkat tinggi, bukan prthagjana seperti kita. Demikian juga tindakan Pangeran Mahasattva itu seharusnya dipahami sebagai bentuk upaya kausalya Bodhisattva tingkat tinggi, bukan oleh prthagjana seperti kita. Karena mustahil kita sebagai prthagjana mampu membunuh dengan motivasi welas asih 100% pada semua makhluk, karena tentu dalam tindakan membunuh tidak terlepas dari dvesa (kebencian).
Ya kalau kita secara sembarangan meniru tindakan Pangeran Mahasattva... maka buah kelahiran di alam nerakalah yang kita dapat........
_/\_
The Siddha Wanderer
Saudara Gandalf,
berarti sang Bodhisatva ini bisa diartikan "demi menyelamatkan makhluk hidup, malah melanggar SILA"
ini apa bedanya dengan ngomong A prilaku B... sama kan.
setahu saya dalam praktik SILA, Bahkan ketika bikkhu ini pun mau dibunuh atau dipancung tetap berpegang teguh pada SILA....bukan semata-mata menyelamatkan diri malah melanggar SILA..
ini namanya pembenaran diri, bukan kebenaran.
jadi bisa bikkhu ketika mau dibunuh, malah balik hajar?
coba lihat bikkhu di Shaolin yang mengusai Kungfu, dan bikkhu myanmar yang disikat junta....sejarah membuktikan beda kan...
yang 1 melawan yang 1 terima nasib.
pernah bhante Aggadipo bermasalah dengan preman, ketika ditanya kalau preman itu bertindak?
bhante jawabnya " kabur "
sama dengan bikkhu Thai, saya pernah bertanya dulu, ketika kita di serang apa yang kita harus lakukan?
dikatakan "kabur dulu" baru dari kejauhan coba pancarkan pikiran metta.
apa kalau bikkhu mahayana langsung ambil senjata balik hajar? dengan alasan pembelaan diri?..
jelas sekali disitu ada 2 pikiran.
1. mau menolong.
2. melanggar SILA....
ketika menolong tapi harus melanggar SILA....pasti bertabrakan dengan kondisi batin sekalipun menolong nyawa orang......[ apalagi batin seorang tercerahkan itu sudah pasti 100% SATI SAMPAJANA ]
disini lebih jelas siapa yang menelan mentah-mentah kata "demi menolong makhluk hidup"
contoh kasus seperti ini,
apabila seorang bikkhu, ketika melihat matahari di atas, dalam dirinya timbul keragu-raguan dan ada 2 pikiran.
1. apakah belum lewat tengah hari?
2. apakah sudah lewat tengah hari?
tetapi ketika bikkhu tersebut dengan beralasan bahwa saya lapar, dan ini belum lewat tengah hari [ karena saya belum melihat JAM ] ini sama saja SALAH...
coba lihat kondisi batin pada saat itu...mengapa dikatakan salah...
1.kondisi batin ini sudah penuh keraguan.
2.terjadi pembenaran diri [ dengan memastikan bahwa ini belum lewat tengah hari ]
3.parahnya mengambil keputusan pada saat itu...
orang yang memiliki SATI tidak mungkin mengambil keputusan disaat seperti itu..
saya rasa topik yg mirip ini pernah dibawakan AjahnChah dan dipost saudara Ryu.
jadi alasan bahwa Boddhisatva atau Gotama [ telah mencapai pencerahan sempurna ]
pasti memiliki SATI 100% tapi bisa berbuat seperti melanggar sila demi menolong?
apa bedanya alasan bahwa demi menolong IBU saya kelaparan, maka saya MENCURI.
demi semata-mata welas asih kepada IBU.
saya tidak terlalu mengerti non-dual...tapi yang saya mau tanya...Buddha Gotama termasuk nibbana yg mana?
oke anda ambil perumpamaan kisah JATAKA...
coba lihat disitu...disana Gotama masih seorang BODHISATVA[ masih kotor/belum tercerahkan sempurna ] > saya tidak tahu kisah jataka ini dari sutta/sutra...tapi saya ambil pandangan sutta.
Gotama menolong 500 pedagang, akan tetapi tetap sewaktu membunuh bodhisatva membuat kamma buruk.....jadi
1.membuat kamma baik.....melalui pikiran [ ingin menyelamatkan makhluk ]
2.membuat kamma buruk melalui pikiran dan tindakan [ sekaligus melanggar sila ke-1 ]
jangan beralasan bahwa dengan pikiran penuh metta/cinta kasih, tetapi tangan malah menusuk pisau..
sekali lagi bodhisatva itu belum 100% sati...dan lagi masih ada kekotoran.
lagian kalau diambil dari sudut pandang sutra, dimana bodhisatva [telah tercerahkan penuh dan dengan abhinna luar biasa ]
masa pembunuh biasa saja tidak bisa dihentikan dengan abhinna?
Angulimala saja cape berlari ga sampai-sampai.....tetapi Sangbuddha dengan kekuatan BATIN malah membuat nya tercerahkan...
jika pada saat itu pangeran mahastava [telah mencapai penerangan sempurna] malah menghentikan pembunuh dengan membunuh....justu ini lah kerancuan dari sutra.
tetapi pernahkah anda lihat dalam sutta [ dimana telah mencapai pencerahan sempurna ]
SangBuddha berbuat hal nekad seperti itu?
makanya saya katakan malam jadi batman[pahlawan] siang jadi joker[penjahat]
jadi bukan contoh upayakausalya yang saya lihat...maaf _/\_
melainkan kebodohan yang saya lihat...dan saya melihat nya dari berbagai pandangan kok...perbedaan dimana ketika sang Buddha telah tercerahkan versi kehidupan setelah bermeditasi di bawah pohon 6 tahun..dan SEBELUM meditasi dibawah pohon 6 tahun.
ini sungguh terlalu ,apabila itu benar dikatakan oleh Guru aliran Tantra diatas.....
jadi apabila IBU saya kelaparan, tetapi saya tidak punya uang, kemudian saya termotivasi menolong nya
dengan mencuri......
" perbuatan saya sangat positif " ? :o
memang betul, niat yang menentukan..tetapi coba lihat baik-baik ada 2 pikiran disitu..
1. menolong..
2. mencuri..
jadi 1 sisi anda berbuat baik 1 sisi anda berbuat jahat.... apa nya yang sangat positif?
ini sangat rancu.....
coba lihat tujuan sang buddha "bersandiwara" kemudian
tujuan buddha[setelah tercerahkan] membabarkan dhamma 45 tahun?
nyambung tidak? anda pikir-pikir sendiri...
justru sangat tidak nyambung dhamma yang dibawakan nya [setelah tercerahkan] dengan sandiwara yang di lakoni nya selama 35 tahun. ini pun jika ditambahkan kehidupan lampau,,sudah berapa lama?
sungguh rancu....
anda mengatakan bahwa disana mencapai nibbana/not-return...tetapi kenyataannya...buddha gotama saja masih bisa memunculkan dharmakaya-nya? berarti pikiran[khandha/nama] buddha masih eksis [ ada ] sampai sekarang
jadi anda berkata A disini [ ZEN ] tetapi di satu sisi [ sutra ] terjadi B....benar mana?
ini namanya esensi bertolak belakang.
ini jelas, sekali master Zhiyi ini secara tidak langsung mengatakan AjahnChah dan guru-guru Theravada di Thailand belum purify own mind.
menurut master ini, siapa pun yang purify mind pasti mencapai pure land...kita balik rumus nya saja...
yang belum mencapai pure land belum purify mind. >> fakta loh bukan provokasi.
jadi anda mau bilang kalau seorang Bodhisatva itu bisa membunuh tanpa kebencian?
hebat yah.....
mungkin bodhisatva bisa melakukan hubungan intim tanpa nafsu,
atau bisa meminum alkohol tanpa melanggar SILA....
mungkin juga bisa mencuri tanpa melanggar SILA...atau mungkin bisa berbohong tanpa kamma buruk...
luar biasa sekali tingkat bodhisattva itu...
saya no coment lagi. saya rasa sampai disini diskusi kita.. oke. ^^
Menurut Mahayana-samgraha, sila-sila boleh dilanggar apabila niat kita adalah untuk membantu makhluk lain, asal tidak menyebabkan kemelekatan, kebodohan dan kebencian muncul dalam diri sendiri ataupun diri makhluk lain.kalau menurut Mahayana demikian, sama saja dengan slogan para tetangga....
Dari kisah di atas, dapat diringkas bahwa:
1. Pembunuhan adalah tindakan yang tercela
2. Pembunuhan seperti di atas melenyapkan penderitaan banyak makhluk (500 pedagang), mempurifikasi halangan karma sang perampok dan hanya membawa penderitaan bagi diriku sendiri (sang Bodhisattva)
3. Motivasi dan niatku adalah cinta kasih agung dan murni
4. Maka dari itu, lebih baik saya (Bodhisattva) menderita di neraka daripada sang perampok jatuh ke neraka ataupun kelimaratus pedagang menderita oleh perbuatan sang perampok
5. Aku mengambil hidup orang lain dengan kondisi yang sangat terpaksa untuk kesejahteraan semua makhluk, di mana sudah tidak ada jalan/ pilihan lain lagi.[mana abhinna nya? kan sudah pencerahan sempurna....]
dengan Abhinna-yang tak dapat dipikirkan manusia masa lemah begitu?
"daripada penjahat membunuh arahat, lebih baik arahat membunuh penjahat dengan niat menyelamatkan dari Neraka Avici...dan Arahat pun bisa LOLOS DARI karma...."
Ini sama ketika orang2 Buddhis mengatakan, oh... kalau mencapai Nirvana itu bebas dari kemelekatan, kebencian, bebas dari nafsu seks, bahkan kalau sudah jadi Arhat bisa meninggal kalau 7 hari nggak jadi bhikkhu! Maaf ya, bagi orang yang benar2 menggunakan RASIONAL-nya 100% hal tersebut nggak masuk akal.memang apa hubungannya? dengan topik....
Bagi saya, ya saya memang tahunya dari Sutra2 kalau seorang Bodhisattva bisa membunuh dengan niat welas asih 100%. Tapi saya hanya bisa "BELIEF" dengan rasional 50%, karena saya memang belum mencapai Bodhisattva tingkat 8. Dan bagi saya itu logis2 aja, karena saya TIDAK MAMPU MENILAI BATIN ORANG YANG TERCERAHKAN. Saya nggak tahu batin2 yang mencapai Nirvana itu bagaimana, saya tahunya cuma dari Sutta2.gula, garam , lemon tidak ada yang rasa yg diketahui? apa gunanya latihan?....
Saya tidak bilang para pahlawan masuk surga lo...... tapi yang saya tekankan adalah bagaimana sebenarnya ANDA DAPAT HIDUP ENAK DI ATAS FONDASI PEPERANGAN. Coba kalau dulu para pahlawan nggak perjuangin kemerdekaan kita, mana mungkin sekarang kita dapat menikmati majunya agama Buddha dan mengetahui banyak ajaran-ajaran Sang Buddha? Paling kita terus susah karena terjajah.kalau begitu mari dukung Palestina dan Israel biar terus saling sikat....
Loh emang anda yakin kalau Ajahn Chah = Arhat? Woww..... tampaknya anda sudah bisa menilai batin seorang Ajahn Chah...... hebattt yaaaa.....ya nggak heran kalau anda sudah berani menilai batin Bodhisattva tingkat tinggi itu tidak mungkin seperti ini dan itu.saya tidak yakin 100%, akan tetapi pratek dan kebijaksanaan beliau sudah TERTULIS dan banyak SAKSI..
Sepemahaman saya, anda selama ini selalu menyamaratakan seenaknya bahwa "wah kalau Bodhisattva upaya kausalya, maka kalau ada orang jahat ya pasti dibunuh deh untuk menyelamatkan orang itu". Ini adalah GENERALISASI yang berlebihan. Sudah saya katakan bahwa seorang Bodhisattva PASTI AKAN SELALU MENCARI JALAN YANG TANPA MELANGGAR SILA APAPUN, beliau akan berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan penjahat tersebut tanpa harus membunuhnya tentu!!disini sudah 2 point kesalahan fatal...
Nah ada yang absurd juga dengan pendapat anda, la kalau semua bhikkhu hanya menasihati, terus premannya nggak mau tahu gimana? Dan kalau hanya menunggu orang lain bantu sambil mengharap2 moga2 ada orang lain nolong karena karma baiknya berbuah, la ini yang namanya BUDDHISME PASIF yang bagi saya sangat ABSURD dan KONYOL apabila diterapkan dalam segala dan semua kondisi, karena tentu tidak selalu pasti ada orang ketiga yang datang menolong, seperti Ibu Hartati itu dan ini REALITA di dunia ini!begini saja, anda tanya sj ke vihara Theravada disitu, terutama bikkhu sudah bermassa vassa lebih 5 tahun....dari pada saya ngomong terus....
La metta bhavana untuk kita sebagai prthagjana, dan maitri bhavana untuk para Bodhisattva ya buedaaa!! Prajna-nya aja udah seperti langit dan bumi apabila dibandingan dengan kita2.
berarti Metta-bhavana metode AjahnChah itu Tidak ada apa-apanya dari Bodhisatva....
memang Bodhisatva itu HUEBAT SUEKALE....
Om Gandalf, dalam metta-bhavana objek yang di pancarkan metta itu juga tentu harus diri sendiri juga......Quoteberarti Metta-bhavana metode AjahnChah itu Tidak ada apa-apanya dari Bodhisatva....
memang Bodhisatva itu HUEBAT SUEKALE....
Nah ini anda selalu memandang tulisan seseorang dari sisi negatifnyaaa tokkk.... sehinga timbul sindiran2 useless semacam ini.
Memang kalau berbeda tingkat prajna itu berarti "TIDAK ADA APA-APANYA"?? Siapa yang pernah mengatakan metode Ajahn Chah itu TIDAK ADA APA-APANYA?
Semua jenis metode dalam agama Buddha itu tentu sangat baik, jadi tidak ada yang "TIDAK ADA APA-APANYA".
_/\_
The Siddha Wanderer
La metta bhavana untuk kita sebagai prthagjana, dan maitri bhavana untuk para Bodhisattva ya buedaaa!!
Semua jenis metode dalam agama Buddha itu tentu sangat baik, jadi tidak ada yang "TIDAK ADA APA-APANYA".1+1 = X adalah jawaban tunggal yakni hanya 1 jawaban benar...sama seperti kasus ini.
Seorang Bodhisatva sama seperti saya dan anda manusia, mereka memiliki 5khandha yang sama....memangnya mereka puunya 10 khandha? sehingga tidak bisa dipahami sama sekali...
memang saya tidak tahu apa itu nirvana secara realita....akan tetapi saya bisa TAHU SECARA PASTI mana MEMBUNUH dan mana WELAS ASIH....sudah saya bilan di post kemarin.
misalkan seorang Bikkhu dapat mengetahui rasa gula itu manis dan rasa garam itu asin, kemudian mengetahui rasa lemon = asam.
saya sudah yakin 100% rasa gula itu = manis, tetapi belum mengetahui rasa garam dan rasa lemon.
sedangkan anda katakan rasa gula,rasa garam serta rasa lemon semua nya gelap atau anda tidak ketahui....
untuk apa latihan meditasi, latihan 8 jalan, kalau selalu menggangap bodhisatva itu serba bisa dan kita manusia tidak tahu apa-apa?
memang apa hubungannya? dengan topik....
kalau mau text book atau tidak....semua isi sutta/sutra juga bisa dikatakan NOL BESAR...
SangBuddha melakukan abhinna, hah paling acara The master....
kalau buat alasan sesuai topik jadi biar nyambung.......
gula, garam , lemon tidak ada yang rasa yg diketahui? apa gunanya latihan?....
kalau pakai pikiran anda,
Nurdi* juga seorang Bodhisatva bagi ALLA# karena berusaha menyelamatkan makhluk hidup dari Neraka.
bahkan calon pengantin rela mengorbankan nyawa.....
kalau begitu mari dukung Palestina dan Israel biar terus saling sikat....
dari pendapat anda, anda seperti bisa membaca masa depan...
kalau kasus bikkhu di bali, mungkin anda sudah menghajar preman......tetapi jika kamma baik berbuah pasti ada sesuatu hal yg terjadi yang dapat merubah..
saya tidak yakin 100%, akan tetapi pratek dan kebijaksanaan beliau sudah TERTULIS dan banyak SAKSI..
berbeda dengan hanya TERTULIS tapi kelakuan diluar hajar kiri hajar kanan.
pernah lihat film bikkhu T main kungfu? secara tidak langsng itu sudah terlihat
tapi coba lihat Biksu Shaoli* ? filmnya beredar dimana, mana bak pembela kebenaran....
ya semua biksu itu calon bodhisatva dan melakukan meditasi objek injak kaki di tanah hingga tanah cekung, objek yang jauh dari jangkauan sang Guru.
disini sudah 2 point kesalahan fatal...
1. mana ABHINNA nya? pernakah anda melihat Buddha terdesak?
2.lagi-lagi kalau terdesak yah membunuh dengan welas asih....mencuri dengan terpaksa?
semua pencuri kalau di tangkap polisi tahu alasannya?
pak saya terpaksa, karena masalah perut alias lapar, dan dari pada anak dan istri sy mati kelaparan jadi lebih baik saya mencuri....
pencuri saja NGAKU SALAH walau mencuri karena WELAS ASIH, dari pada BODHISATVA tidak ngaku SALAH kalau membunuh........[ dan lagi ngaku nya tidak melekat pada LDM ]
sungguh keliru......
begini saja, anda tanya sj ke vihara Theravada disitu, terutama bikkhu sudah bermassa vassa lebih 5 tahun....dari pada saya ngomong terus....
bhante Agadippo saja dan murid Bhante Win sudah ngomong sama....
bukan menunggu...bikkhu bisa menolong tapi dengan ruang gerak TERBATAS....
seperti ANANDA THERA...cuma pasang BODY untuk melindungi GURU-NYA....
bukan ambil tombak,pedang buat bunuh gajah NALAGIRI....
memang beda dengan Bodhisatva, semua nya BISA!!! upayakausalya gitu loh....beres...
coba anda solusikan cerita AjahnBrahm mengenai 7 bikkhu di GOA tersebut...dengan metode Bodhisatva...
hasilnya pasti seperti film pahlawan hidup semua, penjahat mampus...happy ending..
dari situ sudah kelihatan mana orang ber-metta mana orang jagoan metta tapi tangannya nusuk kiri nusuk kanan.
ini persis seperti buku AjahnBrahm dimana orang inggris tersebut.
mengatakan saya melakukan Sex dengan istri saya tapi saya tidak melekat.
lalu apa kata Ajahn?
coba anda cari tahu sendiri....
Om Gandalf, dalam metta-bhavana objek yang di pancarkan metta itu juga tentu harus diri sendiri juga......
dan dari kebahagiaan batin yang kita rasakan baru di pancarkan keluar....
kalau diri sendiri menderita, kebahagiaan apa yg mau di pancarkan?
dari sini jelas metode ini berbanding terbalik dengan yg anda tulis...
misalkan bagi para guru Theravadin, tidak ada namanya "Buddha Amitabha,apalagi Alam Sukhavati"
dengan kata lain buddha Amitabha itu omong kosong menurut Theravada. sedangkan bagi Mahayana ini mutlak memang ada...
inilah esensi bertolak belakang....
di satu sisi anda mengatakan
Quote
La metta bhavana untuk kita sebagai prthagjana, dan maitri bhavana untuk para Bodhisattva ya buedaaa!!
tetapi disatu sisi anda mengatakan
Quote
Semua jenis metode dalam agama Buddha itu tentu sangat baik, jadi tidak ada yang "TIDAK ADA APA-APANYA".
1+1 = X adalah jawaban tunggal yakni hanya 1 jawaban benar...sama seperti kasus ini.
sudah saya katakan berkali-kali jauh sebelum...hanya ada 2.
T dan M salah satu benar.
T dan M tidak ada yang benar.
mustahil T dan M benar sama-sama.
-------------
kalau anda mengatakan saya nyindir anda, dan kata sy tidak berkenaan di hati anda, saya minta maaf....
metta.
Pokoknya ya jangan kebacut metta berlebihan pada diri sendiri sampai2 wanita hanyut gak mau ditolong!....haaaaa................yang bilang tidak di tolong siapa?...
Namun bagi pengikut Shravakayana, tidak ada lanjutan yang namanya Mahayana itu sehingga nggak heran baginya kalau mencap omong kosong saja Mahayana itu.berarti guru-guru spritual di Thai semua itu bodoh ya......dan bodhisatva itu hebat....
La siapa bilang juga Bodhisattva tidak memancarkan maitri pada dirinya sendiri. justru karena beliau maitri pada dirinya sendiri, beliau membawa dirinya untuk melakukan upaya kauslaya menyelamatkan banyak makhluk. Pikiran sang Bodhisattva adalah bagaikan Intan, meskipun harus menanggung akibat buruk dari upaya kausalya yang melanggar sila, namun tetap saja batin beliau tidak tergoyahkan, yang terlihat goyah hanya luarnya saja / fisik!sudah saya katakan, mana Abhinna-nya? Angulimala,Nalagiri,Naga perkasa,Kassapa.....dengan enteng buddha melakukan kesaktian menalukkan, tetapi kejadian terpaksa membunuh di kapal?
Mereka punya 5 skandha, tapi realisasi dan pengendalian mereka terhadap 5 skhanda sangat jauh berbeda dengan kita2 sebagai prthagjana.pantasan om,jadi selama ini anda latihan apa memahami/merealisasikan buddhism dan dari mana anda meyakini buddhism? apa karena baca Tripitaka langsung perasaan cocok jadi langsung yakin...
Justru saya bangga jadi manusia tidak tahu apa-apa, dibanding harus menjadi MANUSIA SOK TAHU.
Anda bilang anda cuma tahu rasa gula...... ya sama aja dong berarti anda ya memang belum tahu rasa garam (upaya kausalya Bodhisattva)...... makanya jangan bicara aneh2.anda tidak mengerti apa yg saya maksudkan....
Kalau anda baca Sila Bodhisattva, maka juga disebutkan jangan membunuh. Para Bodhisattva ya juga tahu bahwa seseorang seharusnyalah tidak membunuh karena seseorang harus mengembangkan welas asih atau Bodhicitta. Jadi ya para Bodhisattva tentu TAHU RASA gula.
Namun ada saat2 di mana tentu ada pengecualian untuk semua, dan ini hanya bisa dilakukan Bodhisattva tingkat tinggi - yaitu garam yang anda belum ketahui rasanya.
Berdasarkan pada apa yang saya ketahui, kisah Pangeran Mahasatva tidaklah sesederhana kata 'membunuh'. Saat itu Mahasatva memimpin rombongan 500 orang pedagang yang sedang menaiki satu kapal. Kebetulan dalam kapal itu ada seorang penjahat besar yang berencana menghabisi mereka semua, merebut kapal beserta segala kekayaan yang dibawa. Mahasatva memiliki kekuatan batin sehingga bisa mengetahui rencana jahat ini. Mahasatva juga mengetahui bahwa ke-500 pedangan itu sebenarnya adalah para Bohisattva yang memiliki kebajikan luar biasa. Melalui mata batinnya, Mahasatva melihat bahwa jika si penjahat membunuh 500 Bodhisatva ini, maka ia akan langsung jatuh ke neraka avici untuk waktu yang sangat lama dan sekaligus menutup jodoh dengan Buddhadharma (karma yang menghalangi seseorang untuk memahami Dharma/ mencapai kesucian). Maka muncullah rasa welas asih yang agung dalam diri Bodhisatva terhadap si penjahat. Bodhisatva terus merenung dengan mata batinnya dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya cara mencegah si penjahat melakukan kejahatan hanyalah dengan membunuhnya. Lalu Bodhisattva pun membulatkan hatinya berpikir demikian: "Biarlah aku yang masuk neraka (karena membunuh si penjahat) asalkan bisa menolong dia (si penjahat) dan 500 Bodhisattva selamat. Bila ia kubiarkan membunuh dan masuk neraka avici, ia tidak akan sanggup menahan penderitaan itu dan ia kehilangan kesempatan mencapai kesucian. Sedangkan aku, seorang pahlawan, tak akan tergoyahkan api neraka sekalipun." Di akhir cerita, Buddha berpesan bahwa kisah ini jangan sampai didengar oleh orang yang tidak mampu memahaminya (salah paham bahwa Buddha memperbolehkan pembunuhan).mana Abhinna - nya? masa orang tercerahkan sempurna kepepet akal....
Dari sini kita harusnya paham dengan jelas maksud Buddha. Kisah ini haruslah diresapi secara keseluruhan. Memang Bodhisattva akhirnya membunuh orang itu, akan tetapi beliau pun dengan jelas mengatakan bahwa akibat perbuatan membunuh itu adalah neraka dan beliau sanggup menerima konsekuensi itu. Di sini harusnya kita melihat pengorbanan beliau, bukan pembunuhannya. Jadi, bagi yang ingin meniru silakan saja, asalkan mau menerima konsekuensi karma buruknya.
Bebas dari nafsu seks itupun juga text book Tripitaka, bagi orang-orang ATHEIS ataupun MURNI SCIENTIST atau yang tidak beragama, ataupun yang agama K dsb, bagi mereka Nirvana itu juga TIDAK RASIONAL karena mana mungkin nafsu seks bisa ilang - itu kan kondisi alamiah manusia!!, sama seperti ketika anda menggangap upaya kausalya Bodhisattva itu tidak rasional, dengan menganggap mustahil bisa membunuh dengan welas asih 100%.wah, anda melenceng terlalu jauh......mengapa kita tidak membahas mr.Y atau Muhamma* saja disini?
Kan tetep bukan anda...... Yang anda tahu cuma Text Book dan denger omongan orang..... la kalau anda nggak yakin 100% kok berani ngomong Ajahn Chah itu Arhat tanpa embel2 kata "MUNGKIN". Benar2 tidak konsisten.kasihan sekali,
Saya yang tidak nyambung atau anda???.......wakakakawah Tertawa... tapi baguslah biar awet muda... ;D
cerita itu sungguh rancu dimana AjahnChah menyuruh "bunuh saja serangga/hama, biar saya yang tanggung karma nya,dari pada menghambat latihan murid-murid saya"cerita ini saya dengar langsung dari seorang ajahn yg pernah berdiam di bodhinyana monastery...
Seorang Arahat pasti sudah tahu, hukum Karma tidak bisa di pindah-pindahkan....
tidak mungkin bapak makan nasi lantas anak yang kenyang
apalagi Arahat sudah tahu tentang hukum karma...
apakah mungkin Arahat seperti AjahnChah masih ngomong hal tolol seperti itu?
mau tanggung karma orang?
makanya saya ragu kebenarannya....
apa extermintator itu maksud nya yg mengeksekusi?cerita itu sungguh rancu dimana AjahnChah menyuruh "bunuh saja serangga/hama, biar saya yang tanggung karma nya,dari pada menghambat latihan murid-murid saya"cerita ini saya dengar langsung dari seorang ajahn yg pernah berdiam di bodhinyana monastery...
Seorang Arahat pasti sudah tahu, hukum Karma tidak bisa di pindah-pindahkan....
tidak mungkin bapak makan nasi lantas anak yang kenyang
apalagi Arahat sudah tahu tentang hukum karma...
apakah mungkin Arahat seperti AjahnChah masih ngomong hal tolol seperti itu?
mau tanggung karma orang?
makanya saya ragu kebenarannya....
biasakan mengutip dengan akurat. yg saya dengar, ajahn chah bersedia menerima karma buruknya demi latihan murid2nya, bukan menanggung karma orang lain. ajahn chah bukan atau suma ching hai... dia juga gak bilang bunuh aja serangga2 itu. dia panggil exterminator...
mana Abhinna - nya? masa orang tercerahkan sempurna kepepet akal....
Angulimala saja dengan santai nya Buddha taklukkan....
bahkan seorang "Tercerahkan sempurna" memiliki kemampuan batin untuk membuat 500 orang tersebut tidak terlihat oleh penjahat...dimana pernah Buddha melakukan kesaktian ini[cuma saya lupa kisah lengkap-nya]
Tercerahkan sempurna memiliki lagi kemampuan batin luar biasa dapat berpindah tempat dalam sekejab, bahkan dengan kemampuan itu bisa menyentuh Matahari dan Bulan dengan tangan sendiri...
Abhinna nya, apa macet pada saat itu?
cerita ini memang sekilas mengharukan melihat tekad mulia bodhisatva tetapi sayangnya jiika diteliti lebih lanjut justru terlihat seperti kebodohan pengarang.... [Quote/]
OK... Menurut Vinaya, bagaimanapun juga, Bhikkhu dilarang keras membunuh.
Dalam kasus ini, saat itu Bodhisattva bukan seorang Bhikkhu melainkan seorang kasta Ksatria. Di sutra ini, juga Buddha mengatakan ini bukan berarti anjuran untuk membunuh, dan tidak membenarkan pembunuhan.
Saat itu Bodhisattva belum menjadi Buddha bro... tentu saja kemampuannya belumlah sempurna. Dan ini bukan tentang kepepet akal, melainkan situasi kepepet. Bisakah bro bayangkan penjahat ganas di depan mata kita dengan senjata berbahaya? Ini situasi yang sudah di luar kendali kita. Pikiran si penjahat sudah terlalu liar, hanyut dalam keserakahan akan kekayaan besar.
OK lah, Buddha menaklukkan Angulimala. Tapi bagaimana dengan kehancuran suku Sakya? Bukankah Buddha pun tidak bisa mencegah penyerangan itu, sekalipun sudah menasehati pada sang Raja? Lalu bukankah ada pula kisah di mana penduduk suatu kota hanya menghormati Mahamonggalana dan tidak menghiraukan Buddha? Jadi ada saat2 tertentu, kita terpaksa adu keras atau kabur. Sedangkan saat itu, kapal Bodhisattva sedang di tengah2 lautan. Tidak mungkin mereka bisa kabur dari situasi ini.
Bila kita yang dihadapkan pada situasi yang sama dengan dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Manakah yang kita pilih? Bila membunuh maka kita berbuat karma buruk. Bila membiarkan dibunuh, si penjahat berbuat karma buruk. Dan bila kita menerima dibunuh tanpa menyimpan dendam, kita melakukan Khanti parami. Dalam hal ini apabila memang tidak ada jalan keluar lain, maka memilih Khanti parami adalah pilihan yang baik.
Nah, sekarang coba kita sesuaikan dengan kisah di atas. Apakah bijak membiarkan 1 bunuh 500?Quotesama seperti Sutra kisah Bakti orang tua, buddha ber-anjali pada tumpukan Tulang...
wong Bapak nya saja Raja yang masih hidup Buddha tidak melakukan hal itu.....bahkan ketika Gotama masih kecil Petapa Asita justru yang menghormati beliau, karena jika sebaliknya yang di hormati Tathagatha,maka kepala petapa Asita kaladewata akan pecah 7. [Quote/]
]
Tentu saja bila Tathagata bernamaskara pada manusia, kepala orang itu akan dipecahkan menjadi 7 oleh Vajrapani Bodhisattva (dalam kanon Pali disebut sebagai Raja Yakkha Vajirapani). Namun, hal ini tidaklah mungkin terjadi. Seorang Buddha tidak akan melakukan tindakan demikian.
Namun dalam sutra bakti Buddha menyatakan perlunya menghormati orang tua, di mana tulang belulang itu adalah orang tua Bodhisattva di masa lampau. Buddha beranjali, bukan namaskara!
Buddhadharma begitu indah, Pengetahuan Kebijaksanaan Tathagata lebih dalam dan lebih luas dari lautan, sungguh tak mudah dipahami, sungguh sulit dipahami...
Saya tidak mengatakan semua tulisan saya ini benar, juga tidak melihat ini salah. Apa yang saya pahami adalah pemahaman saya. Apa yang anda pahami adalah pemahaman anda. Saya tidak bisa membuat pemahaman saya menjadi pemahaman anda, begitu juga sebaliknya. Saya belum paham benar 100% akan sutra2 itu, tapi saya tahu bahwa sutra2 itu benar hanya saja saya yang belum memahami. Dan hal ini bukanlah masalah. Apa yang saya pahami dari sutra ini saya ambil, apa yang belum saya pahami saya biarkan demikian sampai saatnya tiba saya memahaminya.
Bila ada sutta Pali yang sulit dimengerti apakah itu berarti sutta palsu? Tidak, sutra itu harus diklarifikasikan dengan benar, yaitu oleh seorang Arya. Saya sendiri tidak merasa berhak mengecap suatu karya palsu atau asli.
Quotemana Abhinna - nya? masa orang tercerahkan sempurna kepepet akal....
Angulimala saja dengan santai nya Buddha taklukkan....
bahkan seorang "Tercerahkan sempurna" memiliki kemampuan batin untuk membuat 500 orang tersebut tidak terlihat oleh penjahat...dimana pernah Buddha melakukan kesaktian ini[cuma saya lupa kisah lengkap-nya]
Tercerahkan sempurna memiliki lagi kemampuan batin luar biasa dapat berpindah tempat dalam sekejab, bahkan dengan kemampuan itu bisa menyentuh Matahari dan Bulan dengan tangan sendiri...
Abhinna nya, apa macet pada saat itu?
cerita ini memang sekilas mengharukan melihat tekad mulia bodhisatva tetapi sayangnya jiika diteliti lebih lanjut justru terlihat seperti kebodohan pengarang.... [Quote/]
OK... Menurut Vinaya, bagaimanapun juga, Bhikkhu dilarang keras membunuh.
Dalam kasus ini, saat itu Bodhisattva bukan seorang Bhikkhu melainkan seorang kasta Ksatria. Di sutra ini, juga Buddha mengatakan ini bukan berarti anjuran untuk membunuh, dan tidak membenarkan pembunuhan.
Saat itu Bodhisattva belum menjadi Buddha bro... tentu saja kemampuannya belumlah sempurna. Dan ini bukan tentang kepepet akal, melainkan situasi kepepet. Bisakah bro bayangkan penjahat ganas di depan mata kita dengan senjata berbahaya? Ini situasi yang sudah di luar kendali kita. Pikiran si penjahat sudah terlalu liar, hanyut dalam keserakahan akan kekayaan besar.
OK lah, Buddha menaklukkan Angulimala. Tapi bagaimana dengan kehancuran suku Sakya? Bukankah Buddha pun tidak bisa mencegah penyerangan itu, sekalipun sudah menasehati pada sang Raja? Lalu bukankah ada pula kisah di mana penduduk suatu kota hanya menghormati Mahamonggalana dan tidak menghiraukan Buddha? Jadi ada saat2 tertentu, kita terpaksa adu keras atau kabur. Sedangkan saat itu, kapal Bodhisattva sedang di tengah2 lautan. Tidak mungkin mereka bisa kabur dari situasi ini.
Bila kita yang dihadapkan pada situasi yang sama dengan dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Manakah yang kita pilih? Bila membunuh maka kita berbuat karma buruk. Bila membiarkan dibunuh, si penjahat berbuat karma buruk. Dan bila kita menerima dibunuh tanpa menyimpan dendam, kita melakukan Khanti parami. Dalam hal ini apabila memang tidak ada jalan keluar lain, maka memilih Khanti parami adalah pilihan yang baik.
Nah, sekarang coba kita sesuaikan dengan kisah di atas. Apakah bijak membiarkan 1 bunuh 500?Quotesama seperti Sutra kisah Bakti orang tua, buddha ber-anjali pada tumpukan Tulang...Sutra bakti yang beredar sekarang sudah di pastikan palsu
wong Bapak nya saja Raja yang masih hidup Buddha tidak melakukan hal itu.....bahkan ketika Gotama masih kecil Petapa Asita justru yang menghormati beliau, karena jika sebaliknya yang di hormati Tathagatha,maka kepala petapa Asita kaladewata akan pecah 7. [Quote/]
]
Tentu saja bila Tathagata bernamaskara pada manusia, kepala orang itu akan dipecahkan menjadi 7 oleh Vajrapani Bodhisattva (dalam kanon Pali disebut sebagai Raja Yakkha Vajirapani). Namun, hal ini tidaklah mungkin terjadi. Seorang Buddha tidak akan melakukan tindakan demikian.
Namun dalam sutra bakti Buddha menyatakan perlunya menghormati orang tua, di mana tulang belulang itu adalah orang tua Bodhisattva di masa lampau. Buddha beranjali, bukan namaskara!
Buddhadharma begitu indah, Pengetahuan Kebijaksanaan Tathagata lebih dalam dan lebih luas dari lautan, sungguh tak mudah dipahami, sungguh sulit dipahami...
Saya tidak mengatakan semua tulisan saya ini benar, juga tidak melihat ini salah. Apa yang saya pahami adalah pemahaman saya. Apa yang anda pahami adalah pemahaman anda. Saya tidak bisa membuat pemahaman saya menjadi pemahaman anda, begitu juga sebaliknya. Saya belum paham benar 100% akan sutra2 itu, tapi saya tahu bahwa sutra2 itu benar hanya saja saya yang belum memahami. Dan hal ini bukanlah masalah. Apa yang saya pahami dari sutra ini saya ambil, apa yang belum saya pahami saya biarkan demikian sampai saatnya tiba saya memahaminya.
Bila ada sutta Pali yang sulit dimengerti apakah itu berarti sutta palsu? Tidak, sutra itu harus diklarifikasikan dengan benar, yaitu oleh seorang Arya. Saya sendiri tidak merasa berhak mengecap suatu karya palsu atau asli.
Dalam kasus ini, saat itu Bodhisattva bukan seorang Bhikkhu melainkan seorang kasta Ksatria. Di sutra ini, juga Buddha mengatakan ini bukan berarti anjuran untuk membunuh, dan tidak membenarkan pembunuhan.mohon saudara membaca dari halaman 1.
Saat itu Bodhisattva belum menjadi Buddha bro... tentu saja kemampuannya belumlah sempurna. Dan ini bukan tentang kepepet akal, melainkan situasi kepepet. Bisakah bro bayangkan penjahat ganas di depan mata kita dengan senjata berbahaya? Ini situasi yang sudah di luar kendali kita. Pikiran si penjahat sudah terlalu liar, hanyut dalam keserakahan akan kekayaan besar.
OK lah, Buddha menaklukkan Angulimala. Tapi bagaimana dengan kehancuran suku Sakya? Bukankah Buddha pun tidak bisa mencegah penyerangan itu, sekalipun sudah menasehati pada sang Raja?
OK... Menurut Vinaya, bagaimanapun juga, Bhikkhu dilarang keras membunuh.mohon anda baca dari page 1.
Dalam kasus ini, saat itu Bodhisattva bukan seorang Bhikkhu melainkan seorang kasta Ksatria
Dalam hal ini apabila memang tidak ada jalan keluar lain, maka memilih Khanti parami adalah pilihan yang baik.saya anjurkan anda membaca 7 pertapa dalam goa yang di serang penjahat dalam buku "Membuka pintu hati" AjahnBrahm...
Nah, sekarang coba kita sesuaikan dengan kisah di atas. Apakah bijak membiarkan 1 bunuh 500?
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)
Bro Dharmamitra, kalau mau tahu dari mana Bro asal, BISA DIKETAHUI yaitu bro Dharmamitra harus banyak membaca, memahami Sutta, Abhidhamma (Kanon Pali), sering diskusi Dhamma, jadi bukan suruh menghapal, tapi menghayati dan memahami.
kemudian Bro Dharmamitra juga harus berlatih Meditasi (baik Samatha & Vipassana) dengan serius, walaupun bisa memakan waktu bertahun2, tetapi dengan keseriusan yang baik pasti berhasil mengetahui asal usul Bro Dharmamitra sendiri, BISA DIBUKTIKAN & FAKTA, Silahkan Dicoba, bukan Janji Muluk2 atau Mukzizat.
Jadi tidak hanya dengan teori atau meminta orang lain melihat asal usul kita sendiri, haruslah dari diri sendiri dulu.
Selamat Mencoba Bro Dharmamitra
_/\_
- kita adalah Buddha (meskipun "kita" saat ini belumlah menjadi Sammasambuddha atau Savaka Buddha sekalipun)
- kita adalah Buddha (meskipun "kita" saat ini belumlah menjadi Sammasambuddha atau Savaka Buddha sekalipun)
Tapi kita di masa lalu sudah pernah menjadi Buddha dan sekarang jatuh lagi? jadi kapan bisa terbebas dari samsara?
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)
Namun, seorang Master Mahayana mengatakan bahwa agama Buddha sekarang ini telah terinfeksi oleh virus-virus yang melenceng. Nah, sialnya, kita tidak tahu yang mana yang melenceng. Kadang hal yang tampak melenceng itu karena digosipkan 'melenceng'; dan yang tampaknya lurus itu karena sudah dipromosikan sebagai 'lurus'.makanya itulah gunanya latihan....ketika kita berlatih dan ternyata fakta lapangan tidak sesuai dalam KITAB SUCI, tentu yang patut dipertanyakan adalah salah satunya...
Di sinilah pentingnya letak tradisi Oral Buddhisme. Baik Mahayana maupun Theravada yang 'patent' itu selalu diwariskan melalui tradisi oral langsung Guru-Murid. Hal-hal yang demikian ini hanya bisa didapatkan dalam tradisi oral ini. Apa yang kita ketahui sebagai Dharma yang umum dan beredar bebas ini sangat berbeda dengan ajaran tradisi oral. Mungkin materinya sama tapi maknanya jauh mendalam.
Kadang kita merasa bahwa pemahaman kita sudah benar, tapi suatu saat kita akan mengalami berbagai fenomena yang tak terpahamkan. Yang dapat memutarbalikkan segala pemahaman kita sebelumnya. Pada saat-saat demikian itulah kemunduran (kehancuran sradha) atau kemajuan (benih Jnana) terjadi.saudara Dhammita, kalau ini namanya pemahaman yang didapat dari hasil melihat dan menebak....
Pintu gerbang menuju Pengetahuan Sejati adalah dengan mengetahui ketidaktahuan, menyadari bahwa pengetahuan kita sekarang ini bukan yang sejati.
Buddhadharma itu ibarat sebuah kota dengan banyak gerbang. Ada gerbang Theravada, ada gerbang Mahayana, ada gerbang Vajrayana. Dari masing-masing gerbang tentu punya pemandangan dan jalan yang berbeda. Kita ini ibarat manusia yang masih berada di luar pintu gerbang dan mengatakan bahwa pintu gerbang lain akan menuju jalan lain. Kita tidak akan pernah tahu kebenarannya selama kita belum masuk ke dalam kota Nirvana. Setelah kita masuk kota itu, kita pun masih harus berkeliling kota mengobservasi setiap sudut dan pintu gerbang. Barulah kita akan mengetahui mana pintu gerbang Nirvana yang sesungguhnya. Pintu mana saja yang pasti berakhir di Kota Nirvana.pada dasarnya saya setuju dengan kata anda, tetapi sayangnya itu pemikiran saya dahulu sebelum meneliti sutta dan sutra.
Bila kita meragukan suatu pintu gerbang, tinggalkan saja. Carilah pintu gerbang kita sendiri.
Berbeda lagi kasus dalam hal Bodhisattva, karena Bodhisattva harus memahami semua jalur menuju Nirvana. Maka dari itulah, Bodhisattva berdiam lama dalam samsara, demi memahami semua jalan. Akhirnya setelah memahami semua jalan, Kebuddhaan dicapai. Bukankah Buddha adalah 'Pengenal Segenap Jalan'?
Intinya, tidak ada gunanya memperdebatkan jalan mana yang paling benar. Mari berjalan di jalan masing-masing dan buktikan kebenarnannya, bukan untuk memenangi perdebatan tapi demi Pembebasan.
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)Bro Dharmamitra, kalau mau tahu dari mana Bro asal, BISA DIKETAHUI yaitu bro Dharmamitra harus banyak membaca, memahami Sutta, Abhidhamma (Kanon Pali), sering diskusi Dhamma, jadi bukan suruh menghapal, tapi menghayati dan memahami.
kemudian Bro Dharmamitra juga harus berlatih Meditasi (baik Samatha & Vipassana) dengan serius, walaupun bisa memakan waktu bertahun2, tetapi dengan keseriusan yang baik pasti berhasil mengetahui asal usul Bro Dharmamitra sendiri, BISA DIBUKTIKAN & FAKTA, Silahkan Dicoba, bukan Janji Muluk2 atau Mukzizat.
Jadi tidak hanya dengan teori atau meminta orang lain melihat asal usul kita sendiri, haruslah dari diri sendiri dulu.
Selamat Mencoba Bro Dharmamitra
_/\_
Dalam Samyutta Nikaya 15.1 Sang Buddha mengatakan: "Para bhikkhu, samsara ini adalah tanpa awal yang dapat diketahui ..."
sia-sialah mencari tahu asal-usul kita dalam samsara, karena tidak dapat diketahui. dan lagi, seandainya anda bisa mengetahui pun pengetahuan itu tidak berguna dalam merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi.
The Blessed One said, "And which is the burden? 'The five clinging-aggregates,' it should be said. Which five? Form as a clinging-aggregate, feeling as a clinging-aggregate, perception as a clinging-aggregate, fabrications as a clinging-aggregate, consciousness as a clinging-aggregate. This, monks, is called the burden.
SUTTA diatas (sutta loh, bukan abhidhamma) dengan jelas dan gamblang menyatakan bhw mahluk hidup itu terdiri dari panca khandha yaitu :
1. Rupa Khandha - form
2. Viññana Khandha - consciousness
3. Sañña Khandha - perception
4. Sankhära Khandha - fabrication
5. Vedanä Khandha - feeling
dan kelima khandha itulah yg disebut Dukkha (burden)
penjelasan yang saya kutip dari saudara MArkos....
bagi ajaran Buddha yang namanya Khandha tentu sifat nya tidak kekal dan tanpa milik dan itu adalah dukkha..
bagaimana mungkin kalau sudah merealisasikan nirvana dalam konsep mahayana khandha nya berubah menjadi bukan dukkha?
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)Bro Dharmamitra, kalau mau tahu dari mana Bro asal, BISA DIKETAHUI yaitu bro Dharmamitra harus banyak membaca, memahami Sutta, Abhidhamma (Kanon Pali), sering diskusi Dhamma, jadi bukan suruh menghapal, tapi menghayati dan memahami.
kemudian Bro Dharmamitra juga harus berlatih Meditasi (baik Samatha & Vipassana) dengan serius, walaupun bisa memakan waktu bertahun2, tetapi dengan keseriusan yang baik pasti berhasil mengetahui asal usul Bro Dharmamitra sendiri, BISA DIBUKTIKAN & FAKTA, Silahkan Dicoba, bukan Janji Muluk2 atau Mukzizat.
Jadi tidak hanya dengan teori atau meminta orang lain melihat asal usul kita sendiri, haruslah dari diri sendiri dulu.
Selamat Mencoba Bro Dharmamitra
_/\_
Dalam Samyutta Nikaya 15.1 Sang Buddha mengatakan: "Para bhikkhu, samsara ini adalah tanpa awal yang dapat diketahui ..."
sia-sialah mencari tahu asal-usul kita dalam samsara, karena tidak dapat diketahui. dan lagi, seandainya anda bisa mengetahui pun pengetahuan itu tidak berguna dalam merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi.
lho, bukankah ada 12 nidana paticcasamudpada?
[at] bro marcedes,
semua yang bro nyatakan adalah benar, bahwa semua itu salah. Karena yang bro cerap sebagai 'salah' itu memang merupakan suatu 'kesalahan'. Namun, apa yang disampaikan Om Gandaf itu adalah hal yang lain lagi. Dengan kata lain, nga nyambung... Mahayana mengatakan Sakyamuni telah mencapai Buddha sejak dulu kala. Bila hal ini salah, dapatkah bro menjelaskan dari mana asal usul Sakyamuni muncul pertama kali di jagad raya ini?
Dalam hal ini maka saya juga menyatakan bahwa bro pun asalnya satu dengan Buddha, bro aslinya adalah seorang Buddha juga. Lalu, bisakah bro beri tahu saya dari mana asal mula bro? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin bro mengatakan awal mulanya seseorang itu Buddha atau bukan?
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bila saya tahu, maka tentulah saya sudah merealisasikan Anuttara Samyaksambodhi. :)
maaf....bisa baca Brahmajala sutta[DN]... kemudian dilanjutkan dengan Pottapada sutta[DN]...
bisa baca terbitan Dhammacitta...sudah tersedia pula link untuk Download.
nanti anda akan tahu,sungguh suatu yang bertolak belakang dengan kata anda...
pencarian akan pertanyaan anda, sangat bertolak belakang dengan jalan menuju Akhir-dukkha....
refrensi sutta nya sudah saya berikan, silahkan dibaca.QuoteNamun, seorang Master Mahayana mengatakan bahwa agama Buddha sekarang ini telah terinfeksi oleh virus-virus yang melenceng. Nah, sialnya, kita tidak tahu yang mana yang melenceng. Kadang hal yang tampak melenceng itu karena digosipkan 'melenceng'; dan yang tampaknya lurus itu karena sudah dipromosikan sebagai 'lurus'.makanya itulah gunanya latihan....ketika kita berlatih dan ternyata fakta lapangan tidak sesuai dalam KITAB SUCI, tentu yang patut dipertanyakan adalah salah satunya...
Di sinilah pentingnya letak tradisi Oral Buddhisme. Baik Mahayana maupun Theravada yang 'patent' itu selalu diwariskan melalui tradisi oral langsung Guru-Murid. Hal-hal yang demikian ini hanya bisa didapatkan dalam tradisi oral ini. Apa yang kita ketahui sebagai Dharma yang umum dan beredar bebas ini sangat berbeda dengan ajaran tradisi oral. Mungkin materinya sama tapi maknanya jauh mendalam.
justru setelah meneliti dengan lanjut batin ini,
mana ada ketika kita dalam keadaan SATI[penuh perhatian] malah membunuh demi welas asih...
silahkan di coba sendiri
justru saya kaget ketika membaca bodhisatva[telah tercerahkan] membunuh demi welas asih....sungguh suatu yang bertolak belakang antara fakta lapangan hasil latihan dengan teori...
saya tidak tahu master huineng itu sudah tercerahkan atau belum, tetapi pernah dibahas mengenai cara latihan Bodhidharma yang aneh disitu seperti yang di katakan Saudara Bond..
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg186898.html#msg186898QuoteKadang kita merasa bahwa pemahaman kita sudah benar, tapi suatu saat kita akan mengalami berbagai fenomena yang tak terpahamkan. Yang dapat memutarbalikkan segala pemahaman kita sebelumnya. Pada saat-saat demikian itulah kemunduran (kehancuran sradha) atau kemajuan (benih Jnana) terjadi.saudara Dhammita, kalau ini namanya pemahaman yang didapat dari hasil melihat dan menebak....
Pintu gerbang menuju Pengetahuan Sejati adalah dengan mengetahui ketidaktahuan, menyadari bahwa pengetahuan kita sekarang ini bukan yang sejati.
jadi "Nana/pengetahuan yang timbul" ketika melaksanakan meditasi Vipassana yang tertulis dalam visudhimagga itu bisa berubah?
rasa garam tidak akan pernah berubah menjadi manis...ingat itu baik-baik ^^
hanya orang yang tidak pernah memakan garam, maka mereka mengatakan rasa garam bisa berubah.QuoteBuddhadharma itu ibarat sebuah kota dengan banyak gerbang. Ada gerbang Theravada, ada gerbang Mahayana, ada gerbang Vajrayana. Dari masing-masing gerbang tentu punya pemandangan dan jalan yang berbeda. Kita ini ibarat manusia yang masih berada di luar pintu gerbang dan mengatakan bahwa pintu gerbang lain akan menuju jalan lain. Kita tidak akan pernah tahu kebenarannya selama kita belum masuk ke dalam kota Nirvana. Setelah kita masuk kota itu, kita pun masih harus berkeliling kota mengobservasi setiap sudut dan pintu gerbang. Barulah kita akan mengetahui mana pintu gerbang Nirvana yang sesungguhnya. Pintu mana saja yang pasti berakhir di Kota Nirvana.pada dasarnya saya setuju dengan kata anda, tetapi sayangnya itu pemikiran saya dahulu sebelum meneliti sutta dan sutra.
Bila kita meragukan suatu pintu gerbang, tinggalkan saja. Carilah pintu gerbang kita sendiri.
Berbeda lagi kasus dalam hal Bodhisattva, karena Bodhisattva harus memahami semua jalur menuju Nirvana. Maka dari itulah, Bodhisattva berdiam lama dalam samsara, demi memahami semua jalan. Akhirnya setelah memahami semua jalan, Kebuddhaan dicapai. Bukankah Buddha adalah 'Pengenal Segenap Jalan'?
Intinya, tidak ada gunanya memperdebatkan jalan mana yang paling benar. Mari berjalan di jalan masing-masing dan buktikan kebenarnannya, bukan untuk memenangi perdebatan tapi demi Pembebasan.
ketika saya meniatkan diri membaca berbagai sutra, saya mendapatkan hal yang berbeda jauh dengan ajaran Theravada....dan tentu bertolak belakang....
lebih rancu lagi dikatakan lagi dalam aliran Vajranyana ada yang dapat mencapai Sammasambuddha dikehidupan sekarang ini.....parahnya siapa yang telah merealisasikan sammasambuddha di kehidupan sekarang setelah Buddha Gotama?
tentu hasil dari latihan Vajrayana ini dianggap hanya omongkosong[karena tidak ada yang pernah mencapai]
ibarat menulis ada latihan yang bisa mengubah anda menjadi Superman dikehidupan sekarang ini, tetapi tidak ada Superman yang pernah muncul, sungguh sebuah Teori tanpa dasar[bukti]
kemudian anda katakan masalah pintu nirvana....jadi para guru-guru di Thailand yang berlatih sedemikian lama,belum lagi para Bikkhu Hutan, mereka semua belum pernah merealisasikan atau berkata pada bahwa "ternyata Buddha Amitabha itu ada, atau alam Sukhavati itu ada"
jadi menurut anda,merekap[guru thai] semua itu belum mencapai nirvana/nibbana?
bahkan pengertian nirvana[mahayana] dan Nibbana[Theravada] itu sudah berbeda...!!!
saya bukan juga sengaja mencari pertengakaran diforum ini, tetapi saya menemukan kejanggalan dan bertanya....
yang saya heran kadang ketika kita bertanya cukup kritis malah dianggap cari masalah....padahal judul Thread nya begitu..
lagian penjelasan yang diberikan tidak mungkin saya telaah/ iyakan langsung begitu saja.....kalau di iyakan langsung yah bukan diskusi nama-nya...
tetapi tentu ada standard rasional dan standard dari hasil latihan di cocokkan.
oh ya, sudahkah anda membaca cerita mengenai 7 pertapa dalam goa yang diserang oleh penjahat ?
cara aneh Bodhidharma? wah, tentunya tidak demikian. Chan tidak sesederhana penjelasan dalam post itu. Jhana2 dalam Chan juga sama seperti Jhana2 dalam Theravada. Chan yang saya ketahui tidak seperti itu. Ini hanyalah kekeliruan pemahaman saja. Master Huineng tentu saja 100% tercerahkan. Tapi bukan masalah juga bila bro tidak percaya. Toh, banyak manusia di Dunia ini tidak percaya Buddha Gotama sendiri.begini bro,saya tidak tahu master Huineng itu tercerahkan atau tidak, tetapi.....
Nana yang saya maksud bukan berubah-ubah demikian.. Nana adalah Nana. dhamma adalah dhamma (fenomena). Bukankah Buddha mengajarkan: Sabbe sangkhara anicca...waduh,
segala sesuatu itu selalu berubah.. maka tidak ada satu dhamma pun yang tetap. Pemahaman Nana pun selalu berubah mengikuti objeknya (dhamma). Inilah maksud saya. Sebagaimana Buddha mengajarkan Dhamma dengan cara dan bahasa yang beragam, sesuai dengan keadaan.
Intinya, Nana itu bukan sesuatu yang bersifat kaku, tp fleksibel dan menyesuaikan dengan fenomena.
Mengetahui adanya Amitabha dan merealisasi Nirvana adalah dua hal yang berbeda bro. Misalnya seorang Arahat bisa saja tidak punya abhinna apapun, jadi ia tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati.
Karena bro belum merasakan hasil dari Jalan Vajra, tentu ini adalah omong kosong. Namun, sama seperti bro yang meyakini Jalan Arahat biarpun belum mencapai Arahat. Saya meyakini Vajrayana sekalipun saya belum merealisasi Kebuddhaan.
kisah 7 petapa yg mana bro? 7 Bhikkhu siswa Buddha Kassapa kah?
lho, bukankah ada 12 nidana paticcasamudpada?maaf bukan maksud menggurui anda, tetapi seperti nya anda salah paham mengenai hukum paticasamupadda ini..
tulisan yg anda bold merah banyak terdapat dalam SUTTA....
arahat telah mencapai apa yg harusnya dicapai, dan tidak ada lagi yang lebih tinggi dari pada ini.
Quotecara aneh Bodhidharma? wah, tentunya tidak demikian. Chan tidak sesederhana penjelasan dalam post itu. Jhana2 dalam Chan juga sama seperti Jhana2 dalam Theravada. Chan yang saya ketahui tidak seperti itu. Ini hanyalah kekeliruan pemahaman saja. Master Huineng tentu saja 100% tercerahkan. Tapi bukan masalah juga bila bro tidak percaya. Toh, banyak manusia di Dunia ini tidak percaya Buddha Gotama sendiri.begini bro,saya tidak tahu master Huineng itu tercerahkan atau tidak, tetapi.....
bisa di lihat dari METODE LATIHAN beliau...
kan tidak mungkin seseorang mau jagoan badminton malah latihan senam balet...
SangBuddha memberikan banyak metode latihan, tetapi semua itu tidak bertentangan dengan isi Tipitaka maupun Metode yang diajarkan seperti MahassiSayadaw...
lagian kebanyakan metode Vipassana merujuk pada isi MahaSatipattana-Sutta....tentang landasan perhatian.QuoteNana yang saya maksud bukan berubah-ubah demikian.. Nana adalah Nana. dhamma adalah dhamma (fenomena). Bukankah Buddha mengajarkan: Sabbe sangkhara anicca...waduh,
segala sesuatu itu selalu berubah.. maka tidak ada satu dhamma pun yang tetap. Pemahaman Nana pun selalu berubah mengikuti objeknya (dhamma). Inilah maksud saya. Sebagaimana Buddha mengajarkan Dhamma dengan cara dan bahasa yang beragam, sesuai dengan keadaan.
Intinya, Nana itu bukan sesuatu yang bersifat kaku, tp fleksibel dan menyesuaikan dengan fenomena.
Mengetahui adanya Amitabha dan merealisasi Nirvana adalah dua hal yang berbeda bro. Misalnya seorang Arahat bisa saja tidak punya abhinna apapun, jadi ia tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati.
Karena bro belum merasakan hasil dari Jalan Vajra, tentu ini adalah omong kosong. Namun, sama seperti bro yang meyakini Jalan Arahat biarpun belum mencapai Arahat. Saya meyakini Vajrayana sekalipun saya belum merealisasi Kebuddhaan.
bagaimana bisa berubah bro...bisa dijelaskan pada saya yang awam ini.
jadi pencapaian Sammasambuddha itu bisa berubah jadi Perumahtangga?
kan sesuai slogan, tidak ada yang KEKAL dan semua bisa berubah..
begini saja, kalau Arahat kan sudah biasa dilihat Di Thailand, bahkan di Myanmar hal ini bisa dilihat dari Relik yang mengkristal mereka....
saya pun sudah pernah memegang relik-relik Arahat seperti Sariputta,dan lainnya...
yang unik relik Ananda yang selalu berbentuk hati...
kemudian uniknya pula relik ini memiliki pancaran energi, silahkan dicoba sendiri dan rasakan...kadang tangan seperti kesetrum listrik kecil....bahkan relik ini bergetar ditangan...
tetapi selama saya melihat relik-relik, tidak ada satupun relik Arahat[savaka buddha] yang menyamai relik [Sammasambuddha] berbeda...
ke-indah-an dan kejernian relik tersebut berbeda....dan ke-aneka-ragaman warna pun sangat berbeda...
disini kelihatan jelas...banyak murid Sammasambuddha mencapai tingkat Savaka-Buddha..
tetapi tidak ada yang menyamai SAMMASAMBUDDHA...
jadi jelas saja saya katakan "siapa yang merealisasikan Sammasambuddha?"Quotekisah 7 petapa yg mana bro? 7 Bhikkhu siswa Buddha Kassapa kah?
MEMBUKA PINTU HATI
Beberapa abad yang silam, tujuh org bhikkhu tinggal di sebuah gua di sebuah rimba di suatu tempat di Asia, melakukan meditasi cinta kasih tanpa syarat. Ada seorang bhikkhu kepala, saudara laki-lakinya, dan sahabat karibnya. Yang keempat adalah musuh bhikkhu kepala; mereka tidak pernah akur. Bhikkhu kelima adalah seorang bhikkhu yang sangat tua, begitu rentanya sampai-sampai sewaktu-waktu bisa meninggal dunia. Yang keenam sakit berat—juga bisa meninggal kapan saja. Yang terakhir, ketujuh adalah bhikkhu yang tidak berguna. Dia mendengkur saat dia seharusnya bermeditasi, tidak bisa mengingat parrita, dan kalau pun kebetulan ingat, dia mengucapkannya dengan nada sumbang. Dia juga tidak bisa mengenakan jubahnya dengan pantas. Namun Bhikkhu yang lain membiarkannya saja dan berterima kasih kepadanya karena telah mengajarkannya mereka untuk bersabar.
Suatu hari, gerombolan bandit menemukan gua tersebut. Gua itu sangat terpencil, sangat tersembunyi, sehingga mereka ingin mengambil alih gua itu untuk dijadikan markas. Jadi mereka berniat untuk membunuh semua bhikkhu tersebut. Akan tetapi, untunglah. Bhikkhu kepala sangat lihai berbicara untuk membujuk orang. Dia berhasil—jangan tanya saya—membujuk gerombolan bandit itu untuk membiarkan bhikkhu-bhikkhu itu pergi, kecuali satu orang, yang akan dibunuh sebagai peringatan kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain untuk tidak mengatakan lokasi gua itu kepada siapa pun. Hanya itulah yang terbaik yang bisa dilakukan sang bhikkhu kepala.
Bhikkhu kepala dibiarkan sendirian selama beberapa saat untuk membuat keputusan yang menyedihkan mengenai siapa yang akan dikorbankan, sehingga yang lainnya bisa pergi bebas.
Tatkala saya menceritakan kisah ini di depan publik, saya berenti sebentar untuk bertanya kepada hadirin, “Baiklah, menurut Anda, siapakah yang akan dipilih oleh bhikkhu kepala?” Pertanyaan ini biasanya bisa menyegarkan hadirin yang terkantuk-kantuk dalam ceramah saya dan membangunkan mereka yang sudah tertidur. Saya mengingatkan mereka bahwa ada bhikkhu kepala, saudara laki-lakinya sahabatnya, musuhnya, bhikkhu tua dan bhikkhu yang sakit (dua-duanya sudah mau mati), serta bhikkhu yang tak berguna. Menurut Anda, siapa yang akan dipilihnya?
Sebagian menyarankan si musuh saja, “Bukan,” kata saya. “Saudaranya?” “Salah.”
Bhikkhu yang tidak berguna selalu saja disebutkan—tega nian kita! Setelah cukup menikmati jawaban-jawaban itu, saya beberkan jawabnya: bhikkhu kepala tidak mampu memilih.
Cinta kasihnya kepada saudaranya persis sebesar, tidak lebih dan tidak kurang, cinta kasihnya kepada sahabatnya, dan juga persis dengan cinta kasihnya kepada musuhnya, kepada bhikkhu tua, bhikkhu yang sakit, bahkan kepada bhikkhu yang tidak berguna itu. Dia telah menyempurnakan arti kata-kata itu: pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan, siapa pun kamu.
Pintu hati bhikkhu kepala terbuka lebar untuk semua, tanpa syarat, tanpa pandang bulu, cinta kasih yang mengalir bebas. Dan yang paling penting, cinta kasihnya kepada orang lain sama besarnya dengan cinta kasihnya kepada dirinya sendiri dan yang lain-lain.
Saya mengingatkan org Yahudi-Kristiani diantara hadirin saya bahwa kitab mereka mengajarkan untuk “cintai tetanggamu seperti dirimu sendiri”. Tidak lebih dari dirimu sendiri dan tidak kurang dari dirimu sendiri, namun setara dengan dirimu sendiri. Itu berarti memperlakukan orang lain seperti halnya kita memperlakukan diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri seperti halnya kita memperlakukan orang lain.
Mengapa kebanyakan hadirin berpikir bahwa bhikkhu kepala akan mengorbankan dirinya untuk dibunuh? Mengapa, dalam budaya kita, kita selalu mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan menganggap hal ini sebagai kebaikan? Mengapa kita lebih menuntut, lebih kritis, dan menghukum diri sendiri lebih dari siapa pun? Alasannya cuma satu: kita belum belajar bagaimana mencintai diri sendiri. Jika Anda merasa sulit untuk berkata kepada orang lain: “pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kau lakukan,” akan jauh lebih sulit untuk mengatakannya kepada diri sendiri, “Aku. Orang yang begitu dekat, kalau nggak salah ingat. Diriku. Pintu hatiku juga akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Aku ini, tak peduli apa pun yang telah dilakukan. Ayo masuk.”
Itulah yang saya maksudkan dengan mencintai diri kita sendiri: ini dinamakan pemaafan. Melangkah keluar dari penjara rasa bersalah; berdamai dengan diri sendiri. Dan jika Anda punya nyali untuk mengatakan kata-kata itu kepada diri Anda sendiri, dengan sejujurnya, dari relung hati yang terdalam, maka Anda akan menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur. Suatu hari, kita semua harus mengatakan kata-kata itu, atau yang semacamnya, kepada diri kita sendiri, dengan sejujurnya, bukan hanya main-main. Saat kita melakukannya, itu seakan-akan seperti memanggil pulang bagian dari diri kita yang telah lama diusir, hidup membeku di luar sana. Kita merasa tersatukan, utuh, dan lepas untuk berbahagia. Hanya ketika kita bisa mencintai diri sendiri dengan cara begitu, barulah kita benar-benar mengerti bagaimana mencintai orang lain, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan harap diingat, Anda tidak perlu menjadi sempurna terlebih dahulu, tanpa kesalahan, untuk memberikan cinta Anda kepada diri sendiri. Jika Anda harus menunggu kesempurnaan, itu tidak akan tiba. Kita harus membuka pintu hati kita kepada diri kita sendiri, apa pun yang telah kita lakukan. Begitu kita berada di dalamnya, sempurnalah kita.
Orang sering bertanya kepada saya, apa yang terjadi dengan ketujuh bhikkhu tersebut sewaktu bhikkhu kepala mengatakan kepada para bandit bahwa dia tidak mampu memilih.
Kisah ini, seperti yang saya dengar beberapa tahun silam, tidak mengisahkan kelanjutannya: ceritanya berhenti sampai di situ. Namun, saya tahu apa yang terjadi kemudian; saya mereka-reka apa yang harusnya terjadi. Ketika bhikkhu kepala bhikkhu menjelaskan kepada para bandit, kenapa dia tidak mampu memilih antara dirinya sendiri dan yang lain, dan menjelaskan arti cinta kasih dan pemaafan seperti yang saya jelaskan kepada Anda tadi, maka semua bandit menjadi sangat terkesan dan terinspirasi sehingga tidak hanya mereka melepaskan semua bhikkhu itu, namun mereka juga bertobat dan menjadi bhikkhu!
Sumber: Ajahn Brahm, buku ”Membuka Pintu Hati” terjemahan dari buku “Opening the Door of Your Heart”
------------------
jadi masih beranggapan boleh membunuh dengan welas asih?...yang namanya Welas asih dan METTA itu seperti yang lakukan kepala Bikkhu ini, Welas asih nya sama rata walau keadaan terdesak pun, tidak memilih-milih TUMBAL...
semoga anda bisa tercerahkan membaca cerita unik ini.Quotelho, bukankah ada 12 nidana paticcasamudpada?maaf bukan maksud menggurui anda, tetapi seperti nya anda salah paham mengenai hukum paticasamupadda ini..
hukum ini menjelaskan mengenai bahwa dari AVIJA[kebodohan/kegelapan batin] maka timbullah penderitaan [jati-marana/usia tua dan mati]
bukan penjelasan dari awal manusia terbentuk seperti cerita Adam dan Hawa di kitab agama tetangga.
nah ketika seseorang melakukan vipassana-bhavana dari semula misalnya seseorang beranggapan bahwa ROH itu ada, dari sini pengetahuan nya tentang melihat kesinambungan mental dan objek saling mengikat kemudian dengan pandangan mendalam
melihat tentang manusia tidak lebih dari unsur-unsur pembentuk karena adanya pengetahuan maka ketidaktahuan nya pun tentang hal ini lenyap...dari sinilah pemahaman tentang ROH itu ada tidaklah benar bagi pemeditasi buddhism... dan inilah disebut "nana"
nana dalam vipasana pun banyak..bukan cuma 1
jadi anggapan bahwa "nana" bisa berubah seperti kata anda......saya bingung maksud nya itu apa..
Bro Dharma say,
Mengetahui adanya Amitabha dan merealisasi Nirvana adalah dua hal yang berbeda bro.
PASTI BEDA !
Bang Dharmamitra, karena Amitabha Buddha itu tidak ada dalam Tipitaka, jadi ada di alam mana ?, atau Buddha masa lampaukah ? tidak jelas !, Buddha Gotama hanya membedakan ada Manusia Buddha, Pacceka Buddha, Savaka Buddha (Arahat)
Merealisasi Nibbana ada
Bro Dharmamitra say,
Misalnya seorang Arahat bisa saja tidak punya abhinna apapun, jadi ia tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati.
Seorang Arahat belum tentu punya Jhana/Abhinna, Alasan ini bisa diterima.
Arahat tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati ( maksudnya diluar 31 alam kehidupan) karena tidak punya Abhinna !
Apakah Bang Dharmamitra yakin bahwa Bhikkhu Thailand & Myanmar dalam 500 tahun yang lalu dihitung dari sekarang, yang menjadi Arahat semuanya tidak punya Abhinna ? dan ternyata sampai sekarang para Bhikkhu Thai & Myanmar yang mencapai Arahat dengan mempunyai Abhinna, dan tidak ada satupun Beliau2 membabarkan Dhamma bahwa ternyata ada bumi Sukhavati ( maksudnya diluar 31 alam kehidupan).
Jadi pernyataan ini TIDAK BISA diterima jika ada Bumi Sukhavati diluar 31 alam kehidupan .
Bro Dharmamitra say,
Karena bro belum merasakan hasil dari Jalan Vajra, tentu ini adalah omong kosong. Namun, sama seperti bro yang meyakini Jalan Arahat biarpun belum mencapai Arahat. Saya meyakini Vajrayana sekalipun saya belum merealisasi Kebuddhaan.
Boleh tahu apa itu hasil Jalan Vajra ?
Amitabha Buddha mencapai Kebuddhaan di sistem dunia(tata surya) Sukhavati 10 mahakalpa yang lampau. Dalam Tipitaka Pali memang tidak ada, tapi ada dalam Tripitaka Mahayana.
Sukhavati itu berjarak sangat jauh dari bumi ini. Dalam sutra dikatakan bahwa jaraknya adalah miliran tanah Buddha (planet bumi). Jadi, jangan dulu bicarakan melihat Sukhavati bila Bumi (planet yang ada manusia) terdekat saja belum terlihat.
Di jelaskan bahwa Abhinna Arahat memang memiliki jangkauan terbatas. Hanya sedikit Arahat yang punya abhinna sehebat Arya Moggalana dkk.
Lagi pula Sukhavati itu bukan tingkatan alam seperti dalam 31 alam, tapi galaksi lain.
Tentu saja realisasi berbagai tingkat Bodhisattva Bhumi - sampai akhirnya Kebuddhaan.
"Where there was neither sameness nor difference, suddenly difference appears. What differs from that difference, becomes sameness. Once sameness and difference mutually arise, and due to them, what is neither the same nor different is created. This turmoil eventually brings about weariness. Prolonged weariness produces defilement. The combination of these in a murky turbidity creates afflictions with respect to wearisome defilements. The world comes about through this arising; the lack of any arising becomes emptiness. Emptiness is sameness; the world, difference. Those that have neither difference nor sameness become conditioned dharmas." ~ Shurangama Sutra ~
"Suatu ketika, tiada kesamaan pun tiada perbedaan, lalu tiba-tiba perbedaan muncul. Apa yang berbeda dari 'perbedaan' menjadi 'kesamaan'. Begitu kesamaan dan perbedaan muncul saling berkaitan, berdasarkan keduanya, apa yang bukan kesamaan maupun perbedaan tercipta. Keadaan kacau ini menimbulkan keresahan. Keresahan yang berkepanjangan menghasilkan kekotoran. Percampuran kesemuanya ini dalam satu adukan keruh melahirkan derita batin oleh kekotoran batin (berupa) keresahan. Dunia ini terbentuk dari kemunculan ini; yang bukan kemunculan menjadi kekosongan. Kekosongan adalah kesamaan; dunia adalah perbedaan. Apa yang bukan kesamaan maupun perbedaan menjadi dharma-dharma yang berkondisi (sankhara-dharma)." ~ Shurangama Sutra..
Chan=Latihan senam balet? apa maksudnya bro? bisa dijabarkan lebih jelas lagi? kalau bisa dengan contoh kasus yang bro pahami/pengalaman bro.. jadi ada argumen yang mendukung pernyataan bro..maksud saya, seseorang berhasil tidak nya mencapai pencerahan bisa diketahui dari metode latihan...
Di jelaskan bahwa Abhinna Arahat memang memiliki jangkauan terbatas. Hanya sedikit Arahat yang punya abhinna sehebat Arya Moggalana dkk.setahu saya Arahat yang merealisasikan 6 abhnna tertinggi tidak sedikit...
Lagi pula Sukhavati itu bukan tingkatan alam seperti dalam 31 alam, tapi galaksi lain.
Kenapa kalimat ”Where there …” diterjemahkan dengan “Suatu ketika,…”, Sdr. Dharmamitra???
Setahu saya “Where there” berarti “Dimana ada”
Sabbe sangkhara anicca artinya segala yang berkondisi selalu berubah/tidak kekal.loh, dalam konsep Theravada memang nibbana itu tidak termasuk bentukan Sankhara...
Kebuddhaan itu apa termasuk Sangkhara? tidak toh..
Lagi pula ada 4 sifat Nirvana: Kekal Abadi, Kebahagiaan Sejati, Murni, Sunyata
apakah pencapaian Buddha bisa berubah menjadi upasaka? hehehe... kira-kira apa jawaban Buddha...
Subhuti bertanya, “Mengapa kamu keluar darinya setelah kamu memasukinya?”
Manjusri menjawab, “Yang Mulia, anda harus mengetahui bahwa ini adalah perwujudan dari kebijaksanaan dan kearifan seorang Bodhisattva. Ia sesungguhnya memasuki realisasi Kearahatan dan terbebas dari samsara; kemudian, sebagai cara untuk menyelamatkan makhluk-makhluk, ia keluar dari realisasi itu. Subhuti, misalkan seorang pemanah yang ahli merencanakan untuk melukai musuh bebuyutannya, tetapi, karena salah menyangka putra kesayangannya di dalam hutan sebagai musuh, ia menembakkan panah padanya. Putranya berkata, ‘Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Mengapa ayah ingin melukaiku?’ Seketika itu juga, sang pemanah, yang berlari dengan cepat, mendorong putranya dan menangkap panah itu sebelum ia melukai seseorang. Seorang Bodhisattva adalah seperti ini: untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
Bro Dharma say,
Mengetahui adanya Amitabha dan merealisasi Nirvana adalah dua hal yang berbeda bro.
PASTI BEDA !
Dharmamitra never say: sesudah menjadi Buddha kemudian menjadi manusia.
Itukan pertanyaan dari bro marce..
Untuk apa Buddha cerita Sukhavati? Jawabannya ada di 48 ikrar Buddha Amitabha dalam Sukhavativyuha sutra.
Dalam kitab2 komentar Tipitaka Pali sendiri tertulis bahwa para Arahat memiliki level abhinna yang berbeda-beda. Contohnya, hanya ada 4 orang Arahat siswa Buddha Gotama yang mampu mengingat kehidupan lampau lebih jauh dari 1 Asankkheyya 100 ribu kappa. Begitu juga dengan abhinna mata dewa pun hanya sedikit yang kemampuannya sampai menjanggkau galaksi-galaksi yang amat jauh.
Buddha sendiri menyatakan bahwa ada manusia di galaksi lain. Kenapa tidak ada Arahat dalam 500 tahun terakhir yang mempertegas hal ini atau menjelaskan lebih jauh?
Maksud saya adalah tidak ada Arahat yang berkeliling memberi tahu bahwa beliau punya Abhinna yang sedemikian hebat. Bila ada seorang Arahat yang berpromosi tentang hal-hal yang terlihat dengan mata batinnya, ini sama saja dengan memamerkan Abhinna. Namun, berbeda ketika Sang Arahat mengajarkan secara pribadi kepada murid dekatnya; ini terhitung mewariskan Dharma. Apakah Anda berani jamin, seumur hidup para Arahat itu tidak pernah menyebutkan Sukhavati (sekalipun dengan sebutan lain)?
Oya, maaf bro sekalian. Saya lupa referensinya, karena sudah lama. Coba saja cari di sastra2 dari aliran Sukhavati.
Bang Dharmamitra, karena Amitabha Buddha itu tidak ada dalam Tipitaka, jadi ada di alam mana ?, atau Buddha masa lampaukah ? tidak jelas !, Buddha Gotama hanya membedakan ada Manusia Buddha, Pacceka Buddha, Savaka Buddha (Arahat)
Merealisasi Nibbana ada
Bro Dharmamitra say,
Misalnya seorang Arahat bisa saja tidak punya abhinna apapun, jadi ia tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati.
Seorang Arahat belum tentu punya Jhana/Abhinna, Alasan ini bisa diterima.
Arahat tidak bisa melihat jauh ke bumi Sukhavati ( maksudnya diluar 31 alam kehidupan) karena tidak punya Abhinna !
Apakah Bang Dharmamitra yakin bahwa Bhikkhu Thailand & Myanmar dalam 500 tahun yang lalu dihitung dari sekarang, yang menjadi Arahat semuanya tidak punya Abhinna ? dan ternyata sampai sekarang para Bhikkhu Thai & Myanmar yang mencapai Arahat dengan mempunyai Abhinna, dan tidak ada satupun Beliau2 membabarkan Dhamma bahwa ternyata ada bumi Sukhavati ( maksudnya diluar 31 alam kehidupan).
Jadi pernyataan ini TIDAK BISA diterima jika ada Bumi Sukhavati diluar 31 alam kehidupan .
Bro Dharmamitra say,
Karena bro belum merasakan hasil dari Jalan Vajra, tentu ini adalah omong kosong. Namun, sama seperti bro yang meyakini Jalan Arahat biarpun belum mencapai Arahat. Saya meyakini Vajrayana sekalipun saya belum merealisasi Kebuddhaan.
Boleh tahu apa itu hasil Jalan Vajra ?
Kata NYA, didalam Mahayana ada mengenal konsep, Sebagai berikut,
Asal mula kita (manusia dan semua makhluk) pada dasarnya berasal dari Mahatman / Adhi Buddha / Nirvana. Jadi secara eksplisit, Aliran Mahayana menyatakan ada sebab utama yang menjadi detonator terbentuknya samsara ini. Oleh karena itu, banyak semboyan dari Aliran Mahayana seperti:
- semua makhluk adalah satu
- semoga samsara berubah menjadi Nirvana
- kita adalah Buddha (meskipun "kita" saat ini belumlah menjadi Sammasambuddha atau Savaka Buddha sekalipun)
- dsb.
Dharmamitra say
Sabbe sangkhara anicca artinya segala yang berkondisi selalu berubah/tidak kekal.
Kebuddhaan itu apa termasuk Sangkhara? tidak toh..
Lagi pula ada 4 sifat Nirvana: Kekal Abadi, Kebahagiaan Sejati, Murni, Sunyata
apakah pencapaian Buddha bisa berubah menjadi upasaka? hehehe... kira-kira apa jawaban Buddha...
Apakah konsep Mahayana berlawanan dengan yang kata yang di Bold, seperti ungkapan Bro Dharmamitra !!!
Karena saya liat penulisan Bro Dharmamitra banyak mengambil referensi Sutra mahayana, boleh dijelaskan mengapa berlawanan dengan pernyataan Bro Dharmamitra
karena sesudah dari Buddha kemudian menjadi manusia(upasaka),
kemudian yang pasti dari manusia ingin menjadi Buddha !
Dharmamitra say
Amitabha Buddha mencapai Kebuddhaan di sistem dunia(tata surya) Sukhavati 10 mahakalpa yang lampau. Dalam Tipitaka Pali memang tidak ada, tapi ada dalam Tripitaka Mahayana.
Sukhavati itu berjarak sangat jauh dari bumi ini. Dalam sutra dikatakan bahwa jaraknya adalah miliaran tanah Buddha (planet bumi). Jadi, jangan dulu bicarakan melihat Sukhavati bila Bumi (planet yang ada manusia) terdekat saja belum terlihat.
Kalau begitu cerita tentang adanya Alam Sukhavati itu buat apa ya ? atau hanya menarik supaya ajaran ini lebih MENARIK, KEREN !
Dharmamitra say
Di jelaskan bahwa Abhinna Arahat memang memiliki jangkauan terbatas. Hanya sedikit Arahat yang punya abhinna sehebat Arya Moggalana dkk.
Dari pernyataan Bro Dharmamitra yang dibold diatas, berarti tidak ada lagi Arahat yang mempunyai kemampuan Abhinna seperti itu, sehingga tidak bisa menceritakan isi tentang 'ALAM SUKHAVATI' !!! :)
Bro Dharmamitra hebat donk !, bisa tahu kemampuan sekian banyak Arahat selama 500 tahun dihitung mulai dari sekarang, sehingga para Arahat tidak bisa menceritakan konon adanya ‘Alam Sukhavati’ !
Dharmamitra say
Lagi pula Sukhavati itu bukan tingkatan alam seperti dalam 31 alam, tapi galaksi lain.
Tentu saja realisasi berbagai tingkat Bodhisattva Bhumi - sampai akhirnya Kebuddhaan.
Boleh minta referensi Bro, kedua kalinya sesudah Bro Indra yang pertama
_/\_
QuoteChan=Latihan senam balet? apa maksudnya bro? bisa dijabarkan lebih jelas lagi? kalau bisa dengan contoh kasus yang bro pahami/pengalaman bro.. jadi ada argumen yang mendukung pernyataan bro..maksud saya, seseorang berhasil tidak nya mencapai pencerahan bisa diketahui dari metode latihan...
sama seperti ATLET BULU TANGKIS TERNAMA....kalau metode latihannya kita lihat seperti
-sprint , sit up, kemudian latihan smash latihan backhand....jogging atau apa...
tentu masuk akal kalau ATLET INI BISA JUARA..
tapi kalau mau JUARA BULUTANGKIS tapi metode latihannya main BALET bisa ga?
dalam Konsep Mahayana seseorang mengikuti latihan katanya bisa jadi bodhisatva, bisa juga lahir di Sukhavati ,kemudian bisa jadi Arahat [ yang notabane nya cuma bodhisatva tingkat 7 kalau tidak salah ] dengan kata lain belum sempurna..
bagaimana dengan visudhimagga ternyata karya besar Buddhagosa ini hanya tertulis jelas 1 tujuan dalam latihan sila samadhi dan panna...yakni NIBBANA.....
sudah beda bukan?
-------------------QuoteDi jelaskan bahwa Abhinna Arahat memang memiliki jangkauan terbatas. Hanya sedikit Arahat yang punya abhinna sehebat Arya Moggalana dkk.setahu saya Arahat yang merealisasikan 6 abhnna tertinggi tidak sedikit...
Lagi pula Sukhavati itu bukan tingkatan alam seperti dalam 31 alam, tapi galaksi lain.
memang Monggalana dikatakan bisa 7 abhinna? ga kan?
jadi kenapa Monggalana dikatakan terunggul dibidang kesaktian?
jawaban yg diberikan saya oleh seorang bikkhu,
karena Monggalana mampu memiliki kemampuan memasuki jhana sangat cepat dan menganti objek sangat cepat....
ibarat memory RAM arahat lain cuma 512, Monggalana punya 5gb. ^^
kalau Sammasambuddha itu mah processor XXX ditambah memory XXX
------------------------------------------------------
kalau bahasa inggris saya kurang jelas...tapi penjelasan saudara Kelana cukup membuktikan...QuoteKenapa kalimat ”Where there …” diterjemahkan dengan “Suatu ketika,…”, Sdr. Dharmamitra???
Setahu saya “Where there” berarti “Dimana ada”
jadi bukan menuju pada awal tercipta nya samsara, melainkan awal bagaimana pandangan salah yang masuk bisa membuat terjerumus terus dalam samsara..
-------------------------------QuoteSabbe sangkhara anicca artinya segala yang berkondisi selalu berubah/tidak kekal.loh, dalam konsep Theravada memang nibbana itu tidak termasuk bentukan Sankhara...
Kebuddhaan itu apa termasuk Sangkhara? tidak toh..
Lagi pula ada 4 sifat Nirvana: Kekal Abadi, Kebahagiaan Sejati, Murni, Sunyata
apakah pencapaian Buddha bisa berubah menjadi upasaka? hehehe... kira-kira apa jawaban Buddha...
sekarang yang kita bicarakan konsep mahayana...anda katakan nirvana itu kekal dan abadi?
lalu mengapa Gotama masih harus terlahir jadi pangeran, kemudian cari Istri, terus butuh guru Alara Kalama dan Ramaputta untuk menembus Arupa-jhana...dan lagi Dibantu para Dewa untuk mendengar alunan kecapi..??????
mengapa bro? bukankah Gotama telah tercerahkan sempurna jauh sebelum kehidupannya ini....seperti yang dikatakan dalam sutra...
berarti yang Membuat Sammasambuddha bisa berubah jadi Manusia biasa itu konsep mahayana sendiri...
sekali lagi saya ingatkan
mahayana dalam sutra nya mengatakan bahwa
"buddha gotama telah mencapai penerangan sempurna jauh sebelum kelahirannya yg sekarang"
dan inilah kejanggalan fatal yg saya lihat..
metta
QuoteSubhuti bertanya, “Mengapa kamu keluar darinya setelah kamu memasukinya?”
Manjusri menjawab, “Yang Mulia, anda harus mengetahui bahwa ini adalah perwujudan dari kebijaksanaan dan kearifan seorang Bodhisattva. Ia sesungguhnya memasuki realisasi Kearahatan dan terbebas dari samsara; kemudian, sebagai cara untuk menyelamatkan makhluk-makhluk, ia keluar dari realisasi itu. Subhuti, misalkan seorang pemanah yang ahli merencanakan untuk melukai musuh bebuyutannya, tetapi, karena salah menyangka putra kesayangannya di dalam hutan sebagai musuh, ia menembakkan panah padanya. Putranya berkata, ‘Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Mengapa ayah ingin melukaiku?’ Seketika itu juga, sang pemanah, yang berlari dengan cepat, mendorong putranya dan menangkap panah itu sebelum ia melukai seseorang. Seorang Bodhisattva adalah seperti ini: untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
walah, sesungguh nya nirvana itu apa sih.....mau masuk dan kemudian keluar seperti rumah sendiri...
dan lagi apa yg mau dibimbing dari savaka dan paccekabuddha?bukankah
Arhats, stainless, free from depravity, self-controlled, thoroughly emancipated in thought and knowledge, of noble breed, (like unto) great elephants, having done their task, done their duty, acquitted their charge, reached the goal; in whom the ties which bound them to existence were wholly destroyed, whose minds were thoroughly emancipated by perfect knowledge, who had reached the utmost perfection in subduing all their thoughts; who were possessed of the transcendent faculties;
“Saya adalah Buddha yang tercerahkan, saya akan mengajarkan jalan menuju Nirvana. Ayo, siapa yang mau terbebaskan datanglah...Lihatlah, saya bisa ini, bisa itu... saya tahu ini, saya tahu itu...” Apakah orang seperti ini dapat dipercaya atau tidak? Bahkan para politisi yang hebat sekalipun butuh kampanye memperkenalkan diri dan latar belakang, sebelum maju ‘bertempur’. Bila Buddha tidak melalui proses panjang sebagaimana kisah Pangeran Siddharta, maka jangankan para Dewa, manusia pun tidak bisa ditaklukkan.nah coba bayangkan AJARAN setelah Gotama duduk 6 tahun dengan prilaku nya sebelum duduk,
untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana;kalau dibaca lebih teltiti nirvana tidak lebih dari tempat seperti sekolah...dan bodhisatva seperti guru yang keluar masuk sekolah....
pengetahuan lengkap sempurna sebagaimana seorang Sammasambuddha.yah karena terlalu bebas nya itu, maka bisa mencari istri, mencari guru, dan kemudian dikatakan MAHA-SUCI....
Bila tidak bebas datang dan pergi, apakah bisa dikatakan ‘Bebas’?
“Tathagata sudah merealisasikan Bodhi sejak waktu lampau yang tak terhitung, namun sampai sekarang dan seterusnya, Tathagatha masih belum menyelesaikan(/meninggalkan) Jalan Bodhisattva.”jadi pada waktu kisah 500 orang itu mana abhinna nya?
Ya, “Di antara kesamaan .....” bisa dipakai dan sangat cocok (great idea...!), tapi “Di mana kesamaan...” tidak sesuai dengan prinsip yang dijelaskan. Suatu bahasa yang menjelaskan suatu prinsip, tidak bisa begitu saja diterjemahkan mentah-mentah secara literal. Kata ‘where there was’ di sini tidak menunjukkan suatu ‘tempat’ atau ‘ di mana ada’. Kata ini lebih cocok dengan ‘di antara’ karena ‘di antara’ juga berfungsi menjelaskan ‘suatu keadaan’. Saya memilih ‘suatu ketika...’ karena keadaan yang dijelaskan di sini adalah keadaan di mana ruang dan waktu belum muncul. Suatu ketika ini sekaligus bermakna ‘where’ dan ‘when’. Karena hal ini juga saya menyertakan bahasa Inggrisnya. Memang saya bertujuan mengajak bro sekalian menganalisa kenapa saya memakai ‘suatu ketika’ untuk frasa ‘where there was’.
Bila saya memakai ‘di mana’, tentu ini menunjukkan tempat. Lalu di manakah tempat tanpa kesamaan maupun perbedaan? Di mana tiada kesamaan maupun perbedaan, tidak ada ruang ataupun waktu yang dapat ditunjukkan. Karena alasan itu saya memakai ‘suatu ketika’ untuk menyangkal ‘where’ sebagai tempat.
Bila saya memakai ‘di mana’, tentu ini menunjukkan tempat. Lalu di manakah tempat tanpa kesamaan maupun perbedaan? Di mana tiada kesamaan maupun perbedaan, tidak ada ruang ataupun waktu yang dapat ditunjukkan. Karena alasan itu saya memakai ‘suatu ketika’ untuk menyangkal ‘where’ sebagai tempat.
Benar sekali, tidak ada penjelasan tentang ‘awal dari penyebab munculnya dunia’ (avidya) yang dalam cuplikan ini dijelaskan sebagai ‘tiba-tiba perbedaan muncul’. Namun proses munculnya Dunia dari ‘tiada dunia’ masih bisa dijelaskan. Yang dimaksud Buddha dengan ‘tiada awal yang dapat diketahui’ itu saya mengerti sebagai berikut: sebelum dunia muncul, tiada suatu apapun yang disebutkan sebagai ‘tiada kesamaan maupun perbedaan’. Nah, bila diusut lebih jauh lagi, ‘tiada kesamaan maupun perbedaan’ ini tidak dapat diketahui awal mulanya.
Bila dunia(alam semesta beserta para mahkluk hidup) tidak dapat diketahui asal muasalnya, maka Paticcasamudpada itu bohong besar. Tentu saja Paticcasamudpada menjelaskan akan asal muasal Jaramarana. Karena jelas sekali disebutkan bahwa penyebabnya adalah Avidya. Tanpa memulai dari Awal, kita tidak bisa mencapai Akhir. Tanpa Sebab tiada Akibat. Ada sebab maka ada akibat.
Ingatlah bahwa Semua yang memiliki Akhir memiliki Awal. Buddha sendiri menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak. Bila tiada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak ini; maka tidak mungkin ada pembebasan.
Bila, dunia ini tidak memiliki asal muasal, berarti ia kekal dan kita tidak akan pernah bisa terbebas darinya. Namun karena ia memiliki asal muasal, kita dapat terbebas darinya.
juga “Tathagata hanya mengajarkan Dunia, awal dari Dunia, akhir dari Dunia, dan sebab menuju akhir dari Dunia.”
Yah, Arhat telah terbebas dari samsara, namun belum mencapai pengetahuan lengkap sempurna sebagaimana seorang Sammasambuddha.
untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
Cuplikan anda berasal dari Udana 8.3 adalah mengenai Nibbana. Jadi menurut anda Nibbana merupakan asal muasal dari dunia??? Jika ya maka bertolak belakang dengan hukum sebab akibat. Jika ada sebab maka ada akibat. Tapi karena eksistensi Nibbana adalah tanpa penyebab maka ia pun tidak akan menimbulkan akibat. Jadi Nibbana bukanlah penyebab dari dunia ini, bukan pula penyebab pembebasan kita.
Sepemahaman saya, apa yang disampaikan dalam Nibbana Sutta itu bukan mengenai Nibbana sebagai SEBAB terbentuknya dunia atau pembebasan. Tetapi yang disampaikan adalah eksistensi berdampingan antara Nibbana dan Pembebasan itu.
Analoginya (mudah-mudahan tepat): api dan cahaya api, dimana ada api maka ada pula cahaya api, dimana ada cahaya api ada pula apinya, tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa mengatakan cahaya api diakibatkan oleh api, karena keduanya ada berdampingan.
Berbeda dengan istilah ada api ada asap, karena keduanya bisa dipisahkan, karena ada api yang tidak megeluarkan asap.
“Tathagata sudah merealisasikan Bodhi sejak waktu lampau yang tak terhitung, namun sampai sekarang dan seterusnya, Tathagatha masih belum menyelesaikan(/meninggalkan) Jalan Bodhisattva.” Bodhisattva berikrar untuk terus berdiam dalam samsara sampai samsara kosong.begini bro..coba lihat Anathapindika...
Coba bro bayangkan, ada seseorang yang tiba-tiba muncul entah dari mana dan menyatakan, “Saya adalah Buddha yang tercerahkan, saya akan mengajarkan jalan menuju Nirvana. Ayo, siapa yang mau terbebaskan datanglah...Lihatlah, saya bisa ini, bisa itu... saya tahu ini, saya tahu itu...” Apakah orang seperti ini dapat dipercaya atau tidak? Bahkan para politisi yang hebat sekalipun butuh kampanye memperkenalkan diri dan latar belakang, sebelum maju ‘bertempur’. Bila Buddha tidak melalui proses panjang sebagaimana kisah Pangeran Siddharta, maka jangankan para Dewa, manusia pun tidak bisa ditaklukkan.
Dharmamitra say:
sesudah menjadi Buddha kemudian menjadi manusia.
Itukan pertanyaan dari bro marce..
Untuk apa Buddha cerita Sukhavati? Jawabannya ada di 48 ikrar Buddha Amitabha dalam Sukhavativyuha sutra.
Dalam kitab2 komentar Tipitaka Pali sendiri tertulis bahwa para Arahat memiliki level abhinna yang berbeda-beda. Contohnya, hanya ada 4 orang Arahat siswa Buddha Gotama yang mampu mengingat kehidupan lampau lebih jauh dari 1 Asankkheyya 100 ribu kappa. Begitu juga dengan abhinna mata dewa pun hanya sedikit yang kemampuannya sampai menjangkau galaksi-galaksi yang amat jauh.
Buddha sendiri menyatakan bahwa ada manusia di galaksi lain. Kenapa tidak ada Arahat dalam 500 tahun terakhir yang mempertegas hal ini atau menjelaskan lebih jauh?
Maksud saya adalah tidak ada Arahat yang berkeliling memberi tahu bahwa beliau punya Abhinna yang sedemikian hebat. Bila ada seorang Arahat yang berpromosi tentang hal-hal yang terlihat dengan mata batinnya, ini sama saja dengan memamerkan Abhinna. Namun, berbeda ketika Sang Arahat mengajarkan secara pribadi kepada murid dekatnya; ini terhitung mewariskan Dharma. Apakah Anda berani jamin, seumur hidup para Arahat itu tidak pernah menyebutkan Sukhavati (sekalipun dengan sebutan lain)?
Berani Jamin Bro Dharmamitra, bahwa belum ada Arahat yang pernah menyebutkan Alam Sukhavati, walaupun sebutan nama lain, Apakah Bro Dharmamitra pernah dengar ?
karena memang belum pernah dengar, makanya kami minta petunjuk para murid2 aliran Mahayana untuk meyakinkan kami adanya alam Sukhavati, kalau hanya berdasarkan kitab suci Tripitaka Mahayana tidak bisa dibuktikan, dan pula di Tipitaka Pali tidak pernah sebutkan adanya alam Sukhavati.
kalau pernah dengar ada Arahat mengatakan adanya alam Sukhavati, kami juga akan bantu meluruskan adanya alam Sukhavati kepada umat lainnya.
Bro Dharmmitra say
[at] bro Chandra and bro Indra,
Oya, maaf bro sekalian. Saya lupa referensinya, karena sudah lama. Coba saja cari di sastra2 dari aliran Sukhavati
Bro Dharmamitra menyatakan sesuatu harus ada referensi, tidak boleh demikian, kalau hanya asal membabarkan tidak sesuai Buddha Dhamma, itu bahaya sekali, bisa menyebabkan pandangan salah kepada pembaca lainnya.
Kalau disuruh cari di sendiri sastra aliran Sukhavati, terus terang kami enggan, karena kitab tersebut tidak jelas, jadi sia2 bagi kita membacanya.
Kalau disuruh cari referensi di kitab Tipitaka kanon Pali, banyak pembaca/pemirsa di Dhammacitta pasti punya semangat tinggi untuk mencari.
_/\_
Kenapa calon Buddha Pangeran Siddattha (dan juga para calon Buddha lainnya) menikah? Bisakah Ia tidak menikah? Tentu bisa saja, tapi untuk menghindari gosip-gosip kotor, beliau menikah dan memiliki anak. Gosip ini semacam: Bodhisatta bukan laki-laki sejati (banci atau mandul?), alasannya ia tidak menikah dan tidak punya anak.oh gitu, jadi buat apa diajarkan bahwa setiap kehidupan ada pujian ada celaan, bukti nya sekarang juga di cela toh...karena berusaha menghindari gosip malah membawa celaan lain..
Mengapa? Sudah sifat seorang calon Buddha untuk selalu muncul sebagai sosok manusia yang sempurna, fisik dan mental, bahkan kekayaan dan kekuasaan. Bahkan hal ini tidak terhindarkan oleh karena kumpulan kebajikan parami yang luar biasa.
Banyak orang yang mencari-cari celah dari Buddha namun tak pernah menemukannya, dan akhirnya mereka pun menjadi yakin pada Kebuddhaan Sakyamuni Tathagata; walaupun ada yang mencela Buddha, celaan itu adalah hal yang dibuat-buat/fitnah.sekarng bukti nya gw cela bukan...memang nya cela-an gw dibuat-buat tanpa dasar?
Yah, Arhat telah terbebas dari samsara, namun belum mencapai pengetahuan lengkap sempurna sebagaimana seorang Sammasambuddha.
Jawaban anda, Sdr. Dharmamitra, bertentangan dengan Saddharmapudarika Sutra yang mengatakan:
....Arhats, stainless, free from depravity, self-controlled, thoroughly emancipated in thought and knowledge, of noble breed, (like unto) great elephants, having done their task, done their duty, acquitted their charge, reached the goal; in whom the ties which bound them to existence were wholly destroyed, whose minds were thoroughly emancipated by perfect knowledge, who had reached the utmost perfection in subduing all their thoughts; who were possessed of the transcendent faculties; eminent disciples,---
QuoteKenapa calon Buddha Pangeran Siddattha (dan juga para calon Buddha lainnya) menikah? Bisakah Ia tidak menikah? Tentu bisa saja, tapi untuk menghindari gosip-gosip kotor, beliau menikah dan memiliki anak. Gosip ini semacam: Bodhisatta bukan laki-laki sejati (banci atau mandul?), alasannya ia tidak menikah dan tidak punya anak.oh gitu, jadi buat apa diajarkan bahwa setiap kehidupan ada pujian ada celaan, bukti nya sekarang juga di cela toh...karena berusaha menghindari gosip malah membawa celaan lain..
Mengapa? Sudah sifat seorang calon Buddha untuk selalu muncul sebagai sosok manusia yang sempurna, fisik dan mental, bahkan kekayaan dan kekuasaan. Bahkan hal ini tidak terhindarkan oleh karena kumpulan kebajikan parami yang luar biasa.
alasan anda ini benar-benar tidak masuk akal bro...QuoteBanyak orang yang mencari-cari celah dari Buddha namun tak pernah menemukannya, dan akhirnya mereka pun menjadi yakin pada Kebuddhaan Sakyamuni Tathagata; walaupun ada yang mencela Buddha, celaan itu adalah hal yang dibuat-buat/fitnah.sekarng bukti nya gw cela bukan...memang nya cela-an gw dibuat-buat tanpa dasar?
Menurut Mahayana, ada dua tipe Prayetkabuddha:Quoteuntuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
Pratyekabuddha ini apakah berbeda dengan Paccekabuddha versi Theravada?
menurut Palikanon, Paccekabuddha mencapai pencerahan dengan usahanya sendiri, tanpa bimbingan siapapun.
Benar, dalam menerjemahkan sesuatu kita perlu melihat konteksnya. Tapi dalam cuplikan Shurangama Sutra tersebut tidak ada konteks yang menjelaskan bahwa itu adalah permulaan waktu dan ruang. Darimana anda bisa menyimpulkan itu adalah permulaan ruang dan waktu? Ini karena mungkin pikiran anda terpengaruh pada kalimat: “suddenly difference appears”, padahal dalam terjemahan lain tidak ada. Jadi penggunaan ‘suatu ketika...’ tidak bisa digunakan.
Kedua. Saya telah memberikan 2 alternatif terjemahan dan anda memilih kata “Di antara kesamaan .....”Nah, ini berarti sudah adanya 2 hal yang sudah muncul yang tidak ada penjelasan dalam sutra kapan munculnya. Jadi tidak mungkin kita mengatakan ini adalah TITIK AWAL.
Itu hanyalah asumsi anda semata karena mungkin anda masih terpengaruh pada terjemahan “suddenly difference appears”. Sehingga menganggap sebagai sutra ini membahas tentang TITIK AWAL terbentuknya dunia dan anda menggunakan istilah”suatu KETIKA”, “SEBELUM dunia muncul”.
Proses pembentukkan dunia memang bisa dijelaskan, tapi kapan TITIK AWAL waktunya proses itu terjadi tidak bisa ditentukan TITIK awalnya. Sutra tidak menjelaskan hal itu.
Apa yang dikatakan dalam sutra, adalah BAGAIMANA terbentuknya dunia bukan KAPAN dunia terbentuk. Dalam sutra, Purna bertanya tentang BAGAIMANA dunia terbentuk bukan KAPAN dunia terbentuk. Sekali lagi ini bukan membahas WAKTU apalagi TITIK AWAL.QuoteBila dunia(alam semesta beserta para mahkluk hidup) tidak dapat diketahui asal muasalnya, maka Paticcasamudpada itu bohong besar. Tentu saja Paticcasamudpada menjelaskan akan asal muasal Jaramarana. Karena jelas sekali disebutkan bahwa penyebabnya adalah Avidya. Tanpa memulai dari Awal, kita tidak bisa mencapai Akhir. Tanpa Sebab tiada Akibat. Ada sebab maka ada akibat.
Pertama, Sdr. Dharmamitra. Saya harap kita tidak terjebak antara asal muasal dalam arti BAGAIMANA proses terbentuk dengan asal muasal dalam arti PERMULAAN WAKTU (titik awal). Ini perlu diperjelas.
Hukum Paticcasamudpada berarti sebab musabab yang saling bergantungan, dimana ke 12 nidana saling bergantungan, ada ini maka ada itu. Hukum Paticcasamudpada menjelaskan BAGAIMANA PROSES batin dan kehidupan itu terbentuk BUKAN menjelaskan tentang KAPAN, WAKTU dari proses batin dan kehidupan itu dimulai. Singkatnya tidak didisampaikan KAPAN AWAL EKSISTENSI kehidupan itu ada. Ini perlu kita catat.
Anda mengatakan adanya asal muasal, lalu darimana asal muasal Avidya? Apa penyebab Avidya?? Zippp!!! muncul begitu saja?? Jelas karena adanya batin. Lalu apa penyebab munculnya batin? demikian seterusnya. Sampai disini, mana yang bisa kita sebut dengan asal mula, titik awal, sebab pertama ??
Sang Buddha menjelaskan Paticcasamudpada BUKAN untuk menjelaskan asal mula (titik awal) eksistensi kehidupan di semesta ini. Avidya adalah penyebab UTAMA bukan penyebab PERTAMA. Bisa anda membedakannya?? Penyebab UTAMA berarti penyebab yang PENTING sedangkan penyebab PERTAMA adalah penyebab awal dari penyebab lainnya.
Karena proses ini berputar-putar terus, tidaklah mungkin menjelaskannya tanpa memutus rangkaian itu. Dan karena melihat Advidya adalah factor TERPENTING maka di putus pada mata rantai Advidya dan ditaruh pada urutan pertama dalam penjelasan Paticcasamudpada
Jadi penggunaan Paticcasamudpada oleh anda sebagai alasan adanya asal muasal (titik awal) tidaklah tepat.QuoteIngatlah bahwa Semua yang memiliki Akhir memiliki Awal. Buddha sendiri menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak. Bila tiada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak ini; maka tidak mungkin ada pembebasan.
Bila, dunia ini tidak memiliki asal muasal, berarti ia kekal dan kita tidak akan pernah bisa terbebas darinya. Namun karena ia memiliki asal muasal, kita dapat terbebas darinya.
Cuplikan anda berasal dari Udana 8.3 adalah mengenai Nibbana. Jadi menurut anda Nibbana merupakan asal muasal dari dunia??? Jika ya maka bertolak belakang dengan hukum sebab akibat. Jika ada sebab maka ada akibat. Tapi karena eksistensi Nibbana adalah tanpa penyebab maka ia pun tidak akan menimbulkan akibat. Jadi Nibbana bukanlah penyebab dari dunia ini, bukan pula penyebab pembebasan kita.
Sepemahaman saya, apa yang disampaikan dalam Nibbana Sutta itu bukan mengenai Nibbana sebagai SEBAB terbentuknya dunia atau pembebasan. Tetapi yang disampaikan adalah eksistensi berdampingan antara Nibbana dan Pembebasan itu.
Analoginya (mudah-mudahan tepat): api dan cahaya api, dimana ada api maka ada pula cahaya api, dimana ada cahaya api ada pula apinya, tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa mengatakan cahaya api diakibatkan oleh api, karena keduanya ada berdampingan.
Berbeda dengan istilah ada api ada asap, karena keduanya bisa dipisahkan, karena ada api yang tidak megeluarkan asap.
Quotejuga “Tathagata hanya mengajarkan Dunia, awal dari Dunia, akhir dari Dunia, dan sebab menuju akhir dari Dunia.”
Dalam sutta/ sutra mana jika saya boleh tahu?? Saya baru tahu. Setahu saya adalah Sang Buddha mengajarkan Dukkha, Sebab Dukkha, Akhir Dukkha dan Jalan menuju Akhir Dukkha. Bukan awal Dunia.
_/\_
Ya, “Di antara kesamaan .....” bisa dipakai dan sangat cocok (great idea...!), tapi “Di mana kesamaan...” tidak sesuai dengan prinsip yang dijelaskan. Suatu bahasa yang menjelaskan suatu prinsip, tidak bisa begitu saja diterjemahkan mentah-mentah secara literal. Kata ‘where there was’ di sini tidak menunjukkan suatu ‘tempat’ atau ‘ di mana ada’. Kata ini lebih cocok dengan ‘di antara’ karena ‘di antara’ juga berfungsi menjelaskan ‘suatu keadaan’. Saya memilih ‘suatu ketika...’ karena keadaan yang dijelaskan di sini adalah keadaan di mana ruang dan waktu belum muncul. Suatu ketika ini sekaligus bermakna ‘where’ dan ‘when’. Karena hal ini juga saya menyertakan bahasa Inggrisnya. Memang saya bertujuan mengajak bro sekalian menganalisa kenapa saya memakai ‘suatu ketika’ untuk frasa ‘where there was’.
Bila saya memakai ‘di mana’, tentu ini menunjukkan tempat. Lalu di manakah tempat tanpa kesamaan maupun perbedaan? Di mana tiada kesamaan maupun perbedaan, tidak ada ruang ataupun waktu yang dapat ditunjukkan. Karena alasan itu saya memakai ‘suatu ketika’ untuk menyangkal ‘where’ sebagai tempat.
Benar, dalam menerjemahkan sesuatu kita perlu melihat konteksnya. Tapi dalam cuplikan Shurangama Sutra tersebut tidak ada konteks yang menjelaskan bahwa itu adalah permulaan waktu dan ruang. Darimana anda bisa menyimpulkan itu adalah permulaan ruang dan waktu? Ini karena mungkin pikiran anda terpengaruh pada kalimat: “suddenly difference appears”, padahal dalam terjemahan lain tidak ada. Jadi penggunaan ‘suatu ketika...’ tidak bisa digunakan.
Kedua. Saya telah memberikan 2 alternatif terjemahan dan anda memilih kata “Di antara kesamaan .....”Nah, ini berarti sudah adanya 2 hal yang sudah muncul yang tidak ada penjelasan dalam sutra kapan munculnya. Jadi tidak mungkin kita mengatakan ini adalah TITIK AWAL.QuoteBila saya memakai ‘di mana’, tentu ini menunjukkan tempat. Lalu di manakah tempat tanpa kesamaan maupun perbedaan? Di mana tiada kesamaan maupun perbedaan, tidak ada ruang ataupun waktu yang dapat ditunjukkan. Karena alasan itu saya memakai ‘suatu ketika’ untuk menyangkal ‘where’ sebagai tempat.
Benar sekali, tidak ada penjelasan tentang ‘awal dari penyebab munculnya dunia’ (avidya) yang dalam cuplikan ini dijelaskan sebagai ‘tiba-tiba perbedaan muncul’. Namun proses munculnya Dunia dari ‘tiada dunia’ masih bisa dijelaskan. Yang dimaksud Buddha dengan ‘tiada awal yang dapat diketahui’ itu saya mengerti sebagai berikut: sebelum dunia muncul, tiada suatu apapun yang disebutkan sebagai ‘tiada kesamaan maupun perbedaan’. Nah, bila diusut lebih jauh lagi, ‘tiada kesamaan maupun perbedaan’ ini tidak dapat diketahui awal mulanya.
Itu hanyalah asumsi anda semata karena mungkin anda masih terpengaruh pada terjemahan “suddenly difference appears”. Sehingga menganggap sebagai sutra ini membahas tentang TITIK AWAL terbentuknya dunia dan anda menggunakan istilah”suatu KETIKA”, “SEBELUM dunia muncul”.
Proses pembentukkan dunia memang bisa dijelaskan, tapi kapan TITIK AWAL waktunya proses itu terjadi tidak bisa ditentukan TITIK awalnya. Sutra tidak menjelaskan hal itu.
Apa yang dikatakan dalam sutra, adalah BAGAIMANA terbentuknya dunia bukan KAPAN dunia terbentuk. Dalam sutra, Purna bertanya tentang BAGAIMANA dunia terbentuk bukan KAPAN dunia terbentuk. Sekali lagi ini bukan membahas WAKTU apalagi TITIK AWAL.QuoteBila dunia(alam semesta beserta para mahkluk hidup) tidak dapat diketahui asal muasalnya, maka Paticcasamudpada itu bohong besar. Tentu saja Paticcasamudpada menjelaskan akan asal muasal Jaramarana. Karena jelas sekali disebutkan bahwa penyebabnya adalah Avidya. Tanpa memulai dari Awal, kita tidak bisa mencapai Akhir. Tanpa Sebab tiada Akibat. Ada sebab maka ada akibat.
Pertama, Sdr. Dharmamitra. Saya harap kita tidak terjebak antara asal muasal dalam arti BAGAIMANA proses terbentuk dengan asal muasal dalam arti PERMULAAN WAKTU (titik awal). Ini perlu diperjelas.
Hukum Paticcasamudpada berarti sebab musabab yang saling bergantungan, dimana ke 12 nidana saling bergantungan, ada ini maka ada itu. Hukum Paticcasamudpada menjelaskan BAGAIMANA PROSES batin dan kehidupan itu terbentuk BUKAN menjelaskan tentang KAPAN, WAKTU dari proses batin dan kehidupan itu dimulai. Singkatnya tidak didisampaikan KAPAN AWAL EKSISTENSI kehidupan itu ada. Ini perlu kita catat.
Anda mengatakan adanya asal muasal, lalu darimana asal muasal Avidya? Apa penyebab Avidya?? Zippp!!! muncul begitu saja?? Jelas karena adanya batin. Lalu apa penyebab munculnya batin? demikian seterusnya. Sampai disini, mana yang bisa kita sebut dengan asal mula, titik awal, sebab pertama ??
Sang Buddha menjelaskan Paticcasamudpada BUKAN untuk menjelaskan asal mula (titik awal) eksistensi kehidupan di semesta ini. Avidya adalah penyebab UTAMA bukan penyebab PERTAMA. Bisa anda membedakannya?? Penyebab UTAMA berarti penyebab yang PENTING sedangkan penyebab PERTAMA adalah penyebab awal dari penyebab lainnya.
Karena proses ini berputar-putar terus, tidaklah mungkin menjelaskannya tanpa memutus rangkaian itu. Dan karena melihat Advidya adalah factor TERPENTING maka di putus pada mata rantai Advidya dan ditaruh pada urutan pertama dalam penjelasan Paticcasamudpada
Jadi penggunaan Paticcasamudpada oleh anda sebagai alasan adanya asal muasal (titik awal) tidaklah tepat.QuoteIngatlah bahwa Semua yang memiliki Akhir memiliki Awal. Buddha sendiri menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak. Bila tiada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak tercipta, ada dengan sendirinya, yang mutlak ini; maka tidak mungkin ada pembebasan.
Bila, dunia ini tidak memiliki asal muasal, berarti ia kekal dan kita tidak akan pernah bisa terbebas darinya. Namun karena ia memiliki asal muasal, kita dapat terbebas darinya.
Cuplikan anda berasal dari Udana 8.3 adalah mengenai Nibbana. Jadi menurut anda Nibbana merupakan asal muasal dari dunia??? Jika ya maka bertolak belakang dengan hukum sebab akibat. Jika ada sebab maka ada akibat. Tapi karena eksistensi Nibbana adalah tanpa penyebab maka ia pun tidak akan menimbulkan akibat. Jadi Nibbana bukanlah penyebab dari dunia ini, bukan pula penyebab pembebasan kita.
Sepemahaman saya, apa yang disampaikan dalam Nibbana Sutta itu bukan mengenai Nibbana sebagai SEBAB terbentuknya dunia atau pembebasan. Tetapi yang disampaikan adalah eksistensi berdampingan antara Nibbana dan Pembebasan itu.
Analoginya (mudah-mudahan tepat): api dan cahaya api, dimana ada api maka ada pula cahaya api, dimana ada cahaya api ada pula apinya, tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa mengatakan cahaya api diakibatkan oleh api, karena keduanya ada berdampingan.
Berbeda dengan istilah ada api ada asap, karena keduanya bisa dipisahkan, karena ada api yang tidak megeluarkan asap.
Quotejuga “Tathagata hanya mengajarkan Dunia, awal dari Dunia, akhir dari Dunia, dan sebab menuju akhir dari Dunia.”
Dalam sutta/ sutra mana jika saya boleh tahu?? Saya baru tahu. Setahu saya adalah Sang Buddha mengajarkan Dukkha, Sebab Dukkha, Akhir Dukkha dan Jalan menuju Akhir Dukkha. Bukan awal Dunia.
_/\_
Menurut Mahayana, ada dua tipe Prayetkabuddha:Quoteuntuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
Pratyekabuddha ini apakah berbeda dengan Paccekabuddha versi Theravada?
menurut Palikanon, Paccekabuddha mencapai pencerahan dengan usahanya sendiri, tanpa bimbingan siapapun.
1. Yang tercerahkan dengan usaha sendiri tapi tidak bisa mengajar.
2. Yang tercerahkan akan Paticcasamudpada.
Sedangkan Arahat adalah yang tercerahkan akan 4 Kesunyatan Mulia.
Arahat tidak memiliki Sabbanuttanana atau Kemahatahuan Buddha bro...Buddha menyelamatkan apa dari makhluk hidup?
Arahat memiliki pengetahuan sempurna dalam hal 4 kesunyataan mulia...
Kenapa? Karena mencela seorang Buddha merupakan karma buruk yang berat. Dalam Milanda Panha, Arya Nagasena mengatakan bahwa Bodhisatta menyiksa diri selama 6 tahun sebagai akibat karma buruk menghina Buddha Kassapa sebagai Bhikkhu gundul!loh, ini namanya memutar balik fakta dan kata...
Buddha menghindari faktor-faktor yang memancing orang menciptakan karma buruk.
Ini sama seperti wanita pintar yang memakai pakaian sopan tertutup ketika pergi ke tempat ramai yang sudah pasti ada orang-orang berhati kotor.
apa yang tidak masuk akal?
Menurut Mahayana, ada dua tipe Prayetkabuddha:paccekaBuddha hanya ada ketika Sammasambuddha tidak ada....
1. Yang tercerahkan dengan usaha sendiri tapi tidak bisa mengajar.
2. Yang tercerahkan akan Paticcasamudpada.
Sedangkan Arahat adalah yang tercerahkan akan 4 Kesunyatan Mulia.
Sebenarnya titik awal itu memang tidak ada (kebenaran mutlak), ini berlaku bagi yang tercerahkan. Namun bagi kita yang belum tercerahkan, titik itu ada (kebenaran relatif).mana nyambung bung penjelasan nya...
Karena kita melihat semua ini dalam kebenaran relatif, maka titik itu ada. Ini sama seperti halnya nafsu. Bagi yang terbebaskan, tiada nafsu; tapi bagi kita, masih ada nafsu.
Bila kita mengatakan tiada (titik) awal, maka juga berarti tiada titik akhir (nibbana).
Dalam ajaran Mahayana, seluruh keberadaan kita ini adalah kosong dan bersifat khayal; artinya keberadaan ini tidak benar-benar ada. Apa yang kita sebut titik awal dan akhir itu tidak benar-benar eksis. Satu-satunya kebenaran adalah Sunyata sejati, Nirvana para Buddha.
Saya ini ibarat menyontek dari ajaran para Master sejati.bisa tahu contekan anda dari master mana?
Kenapa kita tidak menyadari pikiran sejati ini? Avidya menyelimutinya, menyebabkan kita memunculkan berbagai pandangan salah. Pikiran sejati yang tercemari oleh Avidya ini menjadi Alaya Vijnana, atau Kesadaran ke-8. Kemudian kita salah mengenali kesadaran ini sebagai suatu Diri (Atta).masa? maaf
Menurut pandangan para Master, Acharya dan Pandit dari zaman kuno sampai sekarang. Mahayana tidaklah bertentangan dengan Theravada.jadi anda menuding siapa dibalik pecah nya mazhab ini? kebetulan bhante Kasappa[kalau tdk salah] adalah pimpinan dari konsili ke-3, yang mana hanya sekte Sarstravida [ susah nulis nya ] alias Theradava yang berkembang sekarang ini.
Bila sejak dari awal mula kita berpikir dengan dasar image negatif: 'Mahayana bertentangan dengan Theravada'; maka tidak perduli bagaimanapun penjelasan seseorang, tidak akan banyak berguna untuk membuat kita memahami ajaran Mahayana.
Seharusnya kita berpikir bahwa 'ini semua adalah ajaran Buddha, saya akan berusaha memahaminya, menghayatinya dan mempraktikkannya secara keseluruhan.'
Bila kita memulai dengan image negatif, tentu saja berdasarkan hukum psikologi, kita kemungkinan besar hanya akan menemukan sisi negatifna saja tanpa bisa melihat sisi positifnya.
Sutra Mahayana hanya dapat dipahami dengan menggunakan pikiran non-diskriminasi yaitu pikiran langsung yang terbuka tanpa membeda-bedakan. Dan pemahaman yang diperoleh bersifat intuitif dan pengalaman langsung.saya tidak memiliki pikiran seperti itu, karena jelas berbeda masa mau tutup mata bilang tidak berbeda...
Yah, Arhat telah terbebas dari samsara, namun belum mencapai pengetahuan lengkap sempurna sebagaimana seorang Sammasambuddha.
Jawaban anda, Sdr. Dharmamitra, bertentangan dengan Saddharmapudarika Sutra yang mengatakan:
....Arhats, stainless, free from depravity, self-controlled, thoroughly emancipated in thought and knowledge, of noble breed, (like unto) great elephants, having done their task, done their duty, acquitted their charge, reached the goal; in whom the ties which bound them to existence were wholly destroyed, whose minds were thoroughly emancipated by perfect knowledge, who had reached the utmost perfection in subduing all their thoughts; who were possessed of the transcendent faculties; eminent disciples,---
Arahat tidak memiliki Sabbanuttanana atau Kemahatahuan Buddha bro...
Arahat memiliki pengetahuan sempurna dalam hal 4 kesunyataan mulia...
Menurut pandangan para Master, Acharya dan Pandit dari zaman kuno sampai sekarang. Mahayana tidaklah bertentangan dengan Theravada. Yang bertentangan itu adalah manusianya.
Bila sejak dari awal mula kita berpikir dengan dasar image negatif: 'Mahayana bertentangan dengan Theravada'; maka tidak perduli bagaimanapun penjelasan seseorang, tidak akan banyak berguna untuk membuat kita memahami ajaran Mahayana.
Seharusnya kita berpikir bahwa 'ini semua adalah ajaran Buddha, saya akan berusaha memahaminya, menghayatinya dan mempraktikkannya secara keseluruhan.'
Bila kita memulai dengan image negatif, tentu saja berdasarkan hukum psikologi, kita kemungkinan besar hanya akan menemukan sisi negatifna saja tanpa bisa melihat sisi positifnya.
Sutra Mahayana hanya dapat dipahami dengan menggunakan pikiran non-diskriminasi yaitu pikiran langsung yang terbuka tanpa membeda-bedakan. Dan pemahaman yang diperoleh bersifat intuitif dan pengalaman langsung.
Nanti lihatlah maxim Master Ch'an Han Shan, bagaimana beliau yang telah tercerahkan pun butuh waktu 8 bulan untuk menangkap makna umum dari Shurangama sutra. Yah, itu pun kalau percaya beliau tercerahkan... :D
Bila kita melihat ada yang janggal dan tidak sesuai kanon Pali, mungkin memang sutra itu salah terjemahan atau kita yang belum paham. Pada saat seperti ini seharusnya kita minta petunjuk pada Guru spiritual kita. Atau sebagai alternatif, berdoa kepada Triratna minta petunjuk. Entah ada Bodhisattva atau Dewa pelindung Dharma yang mendengar doa kita akan datang membantu.
Aum Mani Padme Hum! _/\_
Rasanya sudah mulai menyimpang nih....kalau begitu tolong minta sumber sutra mahayana yang bisa di percaya....kebetulan anda mungkin lebih tahu dari pada saya.
Menyatakan bahwa sutra mahayana lebih meragukan daripada sutra theravada rasanya tidak relevan. Karena kedua sutra/sutta memiliki jejak sejarah yang sama tua, dan didukung oleh bukti-bukti para praktisi terdahulu yang "dikatakan" sudah mencapai kesucian tertentu...
PERLU DIPERJELAS :
1.YA, jika dikatakan sutra mahayana di INDONESIA banyak yang menyimpang.Tapi menyimpang dalam artian TIDAK SESUAI DENGAN ASLI-ny. Hal ini bisa dikarenakan salah terjemahan dan modifikasi isi yg sebenarnya. BUKAN keseluruhan sutra tersebut menyimpang.
2.YA, jika di Indonesia SAAT INI, lebih umum digunakan KANON PALI sebagai pedoman Buddhisme.Hal ini dikarenakan sistem pendidikan di sekolah hanya menggunakann KANON PALI, dan lebih banyak BEREDAR SECARA UMUM kanon pali.
Tapi, jika kita melihat secara lebih luas, di negara-negara dimana Buddhisme berkembang, penggunaan TRIPITAKA / TIPITAKA adalah SAMA BANYAK.
Jadi, jgn berpikiran sempit, belum apa2 sudah enggan membaca Sutra Mahayana..
Rasanya sudah mulai menyimpang nih....kalau begitu tolong minta sumber sutra mahayana yang bisa di percaya....kebetulan anda mungkin lebih tahu dari pada saya.
Menyatakan bahwa sutra mahayana lebih meragukan daripada sutra theravada rasanya tidak relevan. Karena kedua sutra/sutta memiliki jejak sejarah yang sama tua, dan didukung oleh bukti-bukti para praktisi terdahulu yang "dikatakan" sudah mencapai kesucian tertentu...
PERLU DIPERJELAS :
1.YA, jika dikatakan sutra mahayana di INDONESIA banyak yang menyimpang.Tapi menyimpang dalam artian TIDAK SESUAI DENGAN ASLI-ny. Hal ini bisa dikarenakan salah terjemahan dan modifikasi isi yg sebenarnya. BUKAN keseluruhan sutra tersebut menyimpang.
2.YA, jika di Indonesia SAAT INI, lebih umum digunakan KANON PALI sebagai pedoman Buddhisme.Hal ini dikarenakan sistem pendidikan di sekolah hanya menggunakann KANON PALI, dan lebih banyak BEREDAR SECARA UMUM kanon pali.
Tapi, jika kita melihat secara lebih luas, di negara-negara dimana Buddhisme berkembang, penggunaan TRIPITAKA / TIPITAKA adalah SAMA BANYAK.
Jadi, jgn berpikiran sempit, belum apa2 sudah enggan membaca Sutra Mahayana..
Rasanya sudah mulai menyimpang nih....Setuju... baik sekali pernyataan bro Edward...
Menyatakan bahwa sutra mahayana lebih meragukan daripada sutra theravada rasanya tidak relevan. Karena kedua sutra/sutta memiliki jejak sejarah yang sama tua, dan didukung oleh bukti-bukti para praktisi terdahulu yang "dikatakan" sudah mencapai kesucian tertentu...
PERLU DIPERJELAS :
1.YA, jika dikatakan sutra mahayana di INDONESIA banyak yang menyimpang.Tapi menyimpang dalam artian TIDAK SESUAI DENGAN ASLI-ny. Hal ini bisa dikarenakan salah terjemahan dan modifikasi isi yg sebenarnya. BUKAN keseluruhan sutra tersebut menyimpang.
2.YA, jika di Indonesia SAAT INI, lebih umum digunakan KANON PALI sebagai pedoman Buddhisme.Hal ini dikarenakan sistem pendidikan di sekolah hanya menggunakann KANON PALI, dan lebih banyak BEREDAR SECARA UMUM kanon pali.
Tapi, jika kita melihat secara lebih luas, di negara-negara dimana Buddhisme berkembang, penggunaan TRIPITAKA / TIPITAKA adalah SAMA BANYAK.
Jadi, jgn berpikiran sempit, belum apa2 sudah enggan membaca Sutra Mahayana..
Saya juga merasakan bahwa penerjemahan sutra Mahayana ke dalam bahasa Indonesia banyak sekali kekurangsempurnaannya sehingga yang membaca tak akan pernah memahaminya. Jangankan keakuratan terjemahan, bahkan saya sering menemukan tata bahasa Indonesia yang kacau. Karena itu, umumnya saya memakai terjemahan Inggris dari sumber tertentu yang saya percaya keakuratannya dan dapat dipahami.minta sumber nya donk..
Rasanya sudah mulai menyimpang nih....
Menyatakan bahwa sutra mahayana lebih meragukan daripada sutra theravada rasanya tidak relevan. Karena kedua sutra/sutta memiliki jejak sejarah yang sama tua, dan didukung oleh bukti-bukti para praktisi terdahulu yang "dikatakan" sudah mencapai kesucian tertentu...
PERLU DIPERJELAS :
1.YA, jika dikatakan sutra mahayana di INDONESIA banyak yang menyimpang.Tapi menyimpang dalam artian TIDAK SESUAI DENGAN ASLI-ny. Hal ini bisa dikarenakan salah terjemahan dan modifikasi isi yg sebenarnya. BUKAN keseluruhan sutra tersebut menyimpang.
2.YA, jika di Indonesia SAAT INI, lebih umum digunakan KANON PALI sebagai pedoman Buddhisme.Hal ini dikarenakan sistem pendidikan di sekolah hanya menggunakann KANON PALI, dan lebih banyak BEREDAR SECARA UMUM kanon pali.
Tapi, jika kita melihat secara lebih luas, di negara-negara dimana Buddhisme berkembang, penggunaan TRIPITAKA / TIPITAKA adalah SAMA BANYAK.
Jadi, jgn berpikiran sempit, belum apa2 sudah enggan membaca Sutra Mahayana..
loh,kok minta kriteria dari saya..owh..mo cari referensi sutra mahayana yang asli?
toh anda mengatakan terjemahan sutra ini kadang tidak sesuai asli nya bahkan mungkin melenceng..
jadi sy minta anda beri sumber yang bisa dipercaya sebagai VALID bahwa memang demikian sutra mahayana
baru saya bahas, toh sia-sia saya membahas roh,dll kalau ternyata penerjemah nya salah...
jadi sy minta sumber yang anda anggap telah memang lulus....QuoteSaya juga merasakan bahwa penerjemahan sutra Mahayana ke dalam bahasa Indonesia banyak sekali kekurangsempurnaannya sehingga yang membaca tak akan pernah memahaminya. Jangankan keakuratan terjemahan, bahkan saya sering menemukan tata bahasa Indonesia yang kacau. Karena itu, umumnya saya memakai terjemahan Inggris dari sumber tertentu yang saya percaya keakuratannya dan dapat dipahami.minta sumber nya donk..
apakah sutra mahayana asli itu berasal dari china?loh,kok minta kriteria dari saya..owh..mo cari referensi sutra mahayana yang asli?
toh anda mengatakan terjemahan sutra ini kadang tidak sesuai asli nya bahkan mungkin melenceng..
jadi sy minta anda beri sumber yang bisa dipercaya sebagai VALID bahwa memang demikian sutra mahayana
baru saya bahas, toh sia-sia saya membahas roh,dll kalau ternyata penerjemah nya salah...
jadi sy minta sumber yang anda anggap telah memang lulus....QuoteSaya juga merasakan bahwa penerjemahan sutra Mahayana ke dalam bahasa Indonesia banyak sekali kekurangsempurnaannya sehingga yang membaca tak akan pernah memahaminya. Jangankan keakuratan terjemahan, bahkan saya sering menemukan tata bahasa Indonesia yang kacau. Karena itu, umumnya saya memakai terjemahan Inggris dari sumber tertentu yang saya percaya keakuratannya dan dapat dipahami.minta sumber nya donk..
Baca Taisho aja, di Indonesia hanya ada beberapa eksemplar...
Bisa minta copy-ny k Bro Tan ato Bro Nyana...
Ow iya, harus bisa mandarin yahh...Soalnya full Mandarin..
gpp karena saya hanya mau melihat beberapa kalimat, kemudian sy harap bro dharmamitra mau memberikan sumber nya.loh,kok minta kriteria dari saya..owh..mo cari referensi sutra mahayana yang asli?
toh anda mengatakan terjemahan sutra ini kadang tidak sesuai asli nya bahkan mungkin melenceng..
jadi sy minta anda beri sumber yang bisa dipercaya sebagai VALID bahwa memang demikian sutra mahayana
baru saya bahas, toh sia-sia saya membahas roh,dll kalau ternyata penerjemah nya salah...
jadi sy minta sumber yang anda anggap telah memang lulus....QuoteSaya juga merasakan bahwa penerjemahan sutra Mahayana ke dalam bahasa Indonesia banyak sekali kekurangsempurnaannya sehingga yang membaca tak akan pernah memahaminya. Jangankan keakuratan terjemahan, bahkan saya sering menemukan tata bahasa Indonesia yang kacau. Karena itu, umumnya saya memakai terjemahan Inggris dari sumber tertentu yang saya percaya keakuratannya dan dapat dipahami.minta sumber nya donk..
Baca Taisho aja, di Indonesia hanya ada beberapa eksemplar...
Bisa minta copy-ny k Bro Tan ato Bro Nyana...
Ow iya, harus bisa mandarin yahh...Soalnya full Mandarin..
Ada baiknya tidak perlu mempermasalahkan terlalu jauh utk mencari titik temu. krn dlm perkembangannya ke-2nya memiliki bbrp pijakan yg berbeda, meski dikatakan masih sama-sama aliran buddhisme.
karena itu kembali lagi ke pengertian diskusi dlm board ini: yg non-mahayanist bertanya, maka mahayanist menjawab. terlepas dr puas atau tidak thdp jawaban yg diberikan, terima sajalah..
kita tidak bisa memaksakan agar jawaban yg terlontar selalu sesuai pemikiran dan pandangan kita toh? apalagi jika ingin memaksakan pendapat kita agar jawaban yg keluar sama dg pemikiran kita atau bahkan ingin agar pihak yg berbeda menerima pemikiran kita, itu sudah melenceng dan bakal jadi diskusi yg berputar-putar.
Semoga dimengerti.. :)
_/\_
Memang, saya sendiri mengakui akan lebih baik bila hal-hal berjalan sesuai keinginan kita. Sayangnya lebih mudah untuk merubah diri sendiri daripada merubah orang lain. Kita tidak mungkin dapat membicarakan kebenaran, yang dapat kita lakukan hanya membicarakan konsep, penilaian dan pandangan kita tentang kebenaran. Hakikatnya kebenaran adalah dialami, bukan dibicarakan. Terlebih lagi bila dasar pijakannya sudah berbeda. Dari diskusi yang sudah-sudah sih saya lihat akhirnya berpulang kembali ke masing-masing. Apakah pihak penanya mau menerima jawaban dari penjawab atau tidak. Secara di sini tidak adanya otoritas sebagaimana dlm agama lain, jika kita menunjukkan KESALAHAN orang lain menurut standar KEBENARAN kita, apakah orang lain akan menerimanya? Alih-alih menerima, malah akan berbalik menunjukkan KESALAHAN kita menurut standar KEBENARAN dia. Klop dah syarat dan prasyarat diskusi muter-muter atau dalam bahasa inggris gaulnya: debat kusir.
Karenanya, YA! Kita tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari diskusi. Tapi bukan berarti diskusi tidak perlu, diskusi yg baik ibarat katalisator dalam mengondisikan kita utk merealisasi kebenaran. Dan pemahaman akan kebenaran bukan berasal dari orang lain melainkan terpenuhinya kondisi2 untuk itu dalam diri orang tsb.
Jelasnya mengenai fungsi dari diskusi mengutip pesan Sang Guru dalam Kathavatthu Sutta:
"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui mendekati atau tidak mendekati. Seseorang yang mendengarkan [akan] mendekati; seseorang yang tidak mendengarkan tidak [akan] mendekati. Dengan mendekati, dia mengetahui dengan jelas kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya. Dengan jelas mengetahui kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya, dia menyentuh pelepasan benar. Untuk itulah guna dari diskusi, itulah guna dari mendengarkan nasehat, itulah guna dari mendekat, itulah guna dari mendengarkan: yaitu, pembebasan batin melalui tanpa kemelekatan."
diambil dari perpus DC (http://dhammacitta.org/tipitaka/an/an03/an03.067.than.html) (Makasih Suhu utk terjemahannya) _/\_
Semoga kita yang ada di sini dapat terus berdiskusi dng baik.. :)
se tahu saya dalam kitab itu juga tertulis...Memang, saya sendiri mengakui akan lebih baik bila hal-hal berjalan sesuai keinginan kita. Sayangnya lebih mudah untuk merubah diri sendiri daripada merubah orang lain. Kita tidak mungkin dapat membicarakan kebenaran, yang dapat kita lakukan hanya membicarakan konsep, penilaian dan pandangan kita tentang kebenaran. Hakikatnya kebenaran adalah dialami, bukan dibicarakan. Terlebih lagi bila dasar pijakannya sudah berbeda. Dari diskusi yang sudah-sudah sih saya lihat akhirnya berpulang kembali ke masing-masing. Apakah pihak penanya mau menerima jawaban dari penjawab atau tidak. Secara di sini tidak adanya otoritas sebagaimana dlm agama lain, jika kita menunjukkan KESALAHAN orang lain menurut standar KEBENARAN kita, apakah orang lain akan menerimanya? Alih-alih menerima, malah akan berbalik menunjukkan KESALAHAN kita menurut standar KEBENARAN dia. Klop dah syarat dan prasyarat diskusi muter-muter atau dalam bahasa inggris gaulnya: debat kusir.
Karenanya, YA! Kita tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari diskusi. Tapi bukan berarti diskusi tidak perlu, diskusi yg baik ibarat katalisator dalam mengondisikan kita utk merealisasi kebenaran. Dan pemahaman akan kebenaran bukan berasal dari orang lain melainkan terpenuhinya kondisi2 untuk itu dalam diri orang tsb.
Jelasnya mengenai fungsi dari diskusi mengutip pesan Sang Guru dalam Kathavatthu Sutta:
"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui mendekati atau tidak mendekati. Seseorang yang mendengarkan [akan] mendekati; seseorang yang tidak mendengarkan tidak [akan] mendekati. Dengan mendekati, dia mengetahui dengan jelas kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya. Dengan jelas mengetahui kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya, dia menyentuh pelepasan benar. Untuk itulah guna dari diskusi, itulah guna dari mendengarkan nasehat, itulah guna dari mendekat, itulah guna dari mendengarkan: yaitu, pembebasan batin melalui tanpa kemelekatan."
diambil dari perpus DC (http://dhammacitta.org/tipitaka/an/an03/an03.067.than.html) (Makasih Suhu utk terjemahannya) _/\_
Semoga kita yang ada di sini dapat terus berdiskusi dng baik.. :)
diskusi yang baik adalah diskusi dengan dasar/dalih yang dapat dipertanggungjawabkan dan TIDAK MENYERANG PRIBADI. itu saja... sepanjang masih dalam koridor itu, saya rasa semua diskusi/debat itu bermanfaat.
Jika bro membaca paragraf lainnya tentu akan jelas bahwa Buddha sedang menjelaskan bagaimana alam dan mahkluk hidup terbentuk. Lagi pula "suddenly difference appears" ini menunjukkan bahwa Avidya itu pertama kali muncul tiba-tiba.
Mohon dibaca ulang post saya sebelumnya bro tentang: 'Where there was' tidak menunjukkan suatu tempat ataupun waktu. Bahwa saya memakai 'suatu ketika' untuk menyangkal 'where' sebagai tempat...
Mohon jangan anggap terjemahan saya yang jauh dari sempurna sebagai standard. Baiknya yang dijadikan standard itu bahasa Inggrisnya saja. harap maklum bro...
Liam keng (nian jing) => melafalkan puja kepada Buddha dan atau Bodhisattva
Tambahin sedikit,
Liam keng tidak sebatas melafalkan puja kepada Buddha/bodhisatva, liamkeng = membaca keseluruhan isi Sutra (khotbah Buddha).
Supaya sesuai dengan koridor boardnya, maka saya ingin bertanya di sini...Liam keng (nian jing) => melafalkan puja kepada Buddha dan atau Bodhisattva
Tambahin sedikit,
Liam keng tidak sebatas melafalkan puja kepada Buddha/bodhisatva, liamkeng = membaca keseluruhan isi Sutra (khotbah Buddha).
Bro Chingik mengatakan bahwa membaca keseluruhan isi Sutra, maka itu disebut sebagai liam keng (nian jing). Apakah jika saya membaca Mahaparinirvana Sutra di dalam hati, itu termasuk liam keng (nian jing)?
Supaya sesuai dengan koridor boardnya, maka saya ingin bertanya di sini...Liam keng (nian jing) => melafalkan puja kepada Buddha dan atau Bodhisattva
Tambahin sedikit,
Liam keng tidak sebatas melafalkan puja kepada Buddha/bodhisatva, liamkeng = membaca keseluruhan isi Sutra (khotbah Buddha).
Bro Chingik mengatakan bahwa membaca keseluruhan isi Sutra, maka itu disebut sebagai liam keng (nian jing). Apakah jika saya membaca Mahaparinirvana Sutra di dalam hati, itu termasuk liam keng (nian jing)?
Betul. :)
Supaya sesuai dengan koridor boardnya, maka saya ingin bertanya di sini...Liam keng (nian jing) => melafalkan puja kepada Buddha dan atau Bodhisattva
Tambahin sedikit,
Liam keng tidak sebatas melafalkan puja kepada Buddha/bodhisatva, liamkeng = membaca keseluruhan isi Sutra (khotbah Buddha).
Bro Chingik mengatakan bahwa membaca keseluruhan isi Sutra, maka itu disebut sebagai liam keng (nian jing). Apakah jika saya membaca Mahaparinirvana Sutra di dalam hati, itu termasuk liam keng (nian jing)?
Betul. :)
Jadi liam keng (nian jing) itu artinya membaca Sutra yah?
Apakah tidak ada perbedaan spesifikasi dengan membaca buku lainnya?
^ At tambahan dari bro chingik
Terkadang umat ada pemahamannya masih kurang bro, masih mengangap degnan membaca sutra bisa dapat memenuhi semua permintaannya, sebenarnya membaca sutra itu berguna untuk mengingat, sama seperti membaca sutta pali, kenapa harus berkali kali, agar terus di ingat dalam pikiran kita, supaya bertindak atas sutra tersebut, ataupun baca sutta berkali kali berguna untuk mengingat setiap perbuatan kita, sisanya karma baiklah yang menentukan.
[at] Chingik
Oke. Kalau begitu saya bisa menyimpulkan bahwa liam keng (nian jing) itu sebenarnya hanya membaca teks. Tapi perbedaannya dengan "membaca awam" adalah objek bacaannya. Karena liam keng (nian jing) adalah membaca Sutra.
^^ kalo boleh di kalkulasi, berapa persen umat Buddha yang mengerti isi liam keng yang di bacanya
kakakakak pengen tau aje sih sejauh mana pemahaman umat Buddhis mahayana mengerti ajarannya atau ikut2an doang ;D^^ kalo boleh di kalkulasi, berapa persen umat Buddha yang mengerti isi liam keng yang di bacanya
hehe, kayak biro pusat statistik, selalu itung-itungan.. ;D
^^ nah kenapa hal itu bisa terjadi?, ketika dhamma class berapa banyak yang ikut?
maaf pendapat pribadi
dilihat dari debat yg ga abis2 ini saya yakin tidak ada satupun sotapanna di sini karena masih memandang aliran yg dianut sebagai milikku dan bukan mengembangkan batinnya sendiri malah saling menyudutkan pihak masing2.
seperti tong kosong semua nyaring bunyinya
kalau kalian meyakini buddhadharma kalian tidak akan mudah terhasut hal2 tentang aliran yg kalian anut masing2......
intinya yg satu sreg di mana ikuti aja jgn gontok2an oce
semoga semua makhluk berbahagia
Damai itu indah
maklumlah darah muda suka sok jagoan.
Boleh2 saja kritik, boleh saja bebas, boleh saja mengkoreksi, boleh2 saja bilang mahayanis menjelekan theravadin...boleh2 saja mengatakan kritis, tetapi apa benar demikian....? Coba lihat hati masing2. Kalau masih berpikir kekritisan kita benar dan kita berharap orang tidak tersesat, bagaimana dengan diri kita apakah masih tersesat?
Apakah kalau mahayanis menjelakan theravada lalu kita melakukan hal yang sama?
Saya hanya memberikan masukan, mau diterima silakan dan tidak diterima silakan tapi fakta akan terlihat nantinya....
Paling2 sebentar lagi kebakaran ... :)). Sudah terlihat..responya cepat...kena juga akhirnya :))
Kalo aye sih sudah jelas, hampir mencapai penggelapan sempurna ;Djadi Dewa Mara.
Boleh2 saja kritik, boleh saja bebas, boleh saja mengkoreksi, boleh2 saja bilang mahayanis menjelekan theravadin...boleh2 saja mengatakan kritis, tetapi apa benar demikian....? Coba lihat hati masing2. Kalau masih berpikir kekritisan kita benar dan kita berharap orang tidak tersesat, bagaimana dengan diri kita apakah masih tersesat?
Apakah kalau mahayanis menjelakan theravada lalu kita melakukan hal yang sama?
Saya hanya memberikan masukan, mau diterima silakan dan tidak diterima silakan tapi fakta akan terlihat nantinya....
Paling2 sebentar lagi kebakaran ... :)). Sudah terlihat..responya cepat...kena juga akhirnya :))
Saya sependapat dengan Bro Bond. Tapi itu di dunia nyata.
Sedangkan di dunia maya, saya tidak sungkan-sungkan kalau ada ajakan untuk berdiskusi.
Thread ini memang sengaja difasilitasi untuk berdiskusi. :)
Memang benar difasilitasi untuk berdiskusi....tidak salah kalau ada ajakan...tidak ada yang mengatakan bro salah.....
Tetapi secara content ada penyudutan dimana melampaui batas2 norma yang ada...dalam hal ini saya tidak menilai anda lho dan tidak ditujukan kepada Anda....saya hanya memberi masukan secara umum. Tapi kalau ada yang ter-skak...ini adalah persepsi masing2 dan fakta yang ada. Kalau ada yg mau sadar bagus, tidak juga tidak mengapa....kebebasan kadang melampaui norma kebuddhisan. Saya pun tidak luput dari kelemahan tetapi tetap harus bergerak maju dan tidak mati disatu titik...Mo didunia nyata atau didunia maya seharusnya selaras dengan kepribadian kita. ini saja cluenya. Daripada munafik.
May u be happy
Memang benar difasilitasi untuk berdiskusi....tidak salah kalau ada ajakan...tidak ada yang mengatakan bro salah.....
Tetapi secara content ada penyudutan dimana melampaui batas2 norma yang ada...dalam hal ini saya tidak menilai anda lho dan tidak ditujukan kepada Anda....saya hanya memberi masukan secara umum. Tapi kalau ada yang ter-skak...ini adalah persepsi masing2 dan fakta yang ada. Kalau ada yg mau sadar bagus, tidak juga tidak mengapa....kebebasan kadang melampaui norma kebuddhisan. Saya pun tidak luput dari kelemahan tetapi tetap harus bergerak maju dan tidak mati disatu titik...Mo didunia nyata atau didunia maya seharusnya selaras dengan kepribadian kita. ini saja cluenya. Daripada munafik.
May u be happy
Saya tidak merasa ditujukan ke arah saya.
Saya hanya mengutip kata-kata Bro Bond, sekalian untuk menunjukkan contoh pendapat yang saya setujui. Di samping saya juga mengutarakan pendapat lanjutan dari saya.
:)
So? Back to topic ;D
Theravada kritik theravada??Bhikkhu pun dikitik2?? Yg bgmaina itu? Perasaan baru dengar.
mungkin kitiknya masalah teknis saja,Hahaha.Theravada kritik theravada??Bhikkhu pun dikitik2?? Yg bgmaina itu? Perasaan baru dengar.
kamu lihat saja, Luangta dikritik, ajahn brahm dikirtik, ajahn chah dkritik memangnya mereka bukan theravada
trus yang kritik itu emang dari mahayana doank??? ^-^
Kamsudnya tanah suci Amitabha?
Justru pernah bc sutra Amitabha usianya tidak terbatas,bukan terbatas.
mungkin kitiknya masalah teknis saja,Hahaha.Theravada kritik theravada??Bhikkhu pun dikitik2?? Yg bgmaina itu? Perasaan baru dengar.
kamu lihat saja, Luangta dikritik, ajahn brahm dikirtik, ajahn chah dkritik memangnya mereka bukan theravada
trus yang kritik itu emang dari mahayana doank??? ^-^
betul. Kritikan masalah teknis saja.Haha.Haha.mungkin kitiknya masalah teknis saja,Hahaha.Theravada kritik theravada??Bhikkhu pun dikitik2?? Yg bgmaina itu? Perasaan baru dengar.
kamu lihat saja, Luangta dikritik, ajahn brahm dikirtik, ajahn chah dkritik memangnya mereka bukan theravada
trus yang kritik itu emang dari mahayana doank??? ^-^
jadi semua kritikan hanya masalah teknis... ;D
termasuk kritikan ngak bener
juga masalah teknis :D
^mana ada seh hitungannya.... :D
usia amitabha buddha
tidak tak terbatas = tidak kekal bro
ada hitung2an nya, gw lupa hitungan nya
tar amitabha buddha bakal parinibbana, trus digantikan oleh avalokitesvara menjadi penerus nya
setelah avalokitesvara baru mahasamprapta menjadi buddha
Mengapa harus dicela? Astaganaga.setubuh, eh se7....
Buddha Amitabha emanasi tidak mengurangi harta benda kita, knapa harus merasa rugi?
Justru sbaliknya, Bila memang ada Buddha Amitabha , justru menguntungkan semua makhluk.
Satuju, memang terkadang diskusi terlewat batas...
Tapi, jika teman-teman mau meluangkan waktu membaca alur dari diskusi kita selama ini, menurut saya ada proses pendewasaan pikiran dan pemberlajaran bersama dalam diskusi ini.
Efeknya pun terasa, banyak perubahan dalam gaya berdiskusi dalam forum ini, dan perubahan yg lebih baik tentunya...
Soo...Mari kita kembali menghangatkan thread ini ;D
Ow iya, bosen neih kalau yg dibahas mengenai Amitabha dan Amitayus doank..Lagipula pembahasannya juga sudah banyak banget..
Mahayana tidak hanya seputar Pureland doang... :D
Satuju, memang terkadang diskusi terlewat batas...
Tapi, jika teman-teman mau meluangkan waktu membaca alur dari diskusi kita selama ini, menurut saya ada proses pendewasaan pikiran dan pemberlajaran bersama dalam diskusi ini.
Efeknya pun terasa, banyak perubahan dalam gaya berdiskusi dalam forum ini, dan perubahan yg lebih baik tentunya...
Soo...Mari kita kembali menghangatkan thread ini ;D
Ow iya, bosen neih kalau yg dibahas mengenai Amitabha dan Amitayus doank..Lagipula pembahasannya juga sudah banyak banget..
Mahayana tidak hanya seputar Pureland doang... :D
Iya... memang benar mas Edward, Mahayana kan ada juga Zen (Chan) dllnya, Kayaknya cuma aliran Sukhavati/Amitabha (Tientai) yang paling mendekati Karisten, atau mungkin memang sudah dipengaruhi barat, jaman kekuasaan keturunan raja Alexander di India? Entahlah. :whistle:
Mengapa harus dicela? Astaganaga.
Buddha Amitabha emanasi tidak mengurangi harta benda kita, knapa harus merasa rugi?
Justru sbaliknya, Bila memang ada Buddha Amitabha , justru menguntungkan semua makhluk.
alasan tidk brmanfaat?Mengapa harus dicela? Astaganaga.
Buddha Amitabha emanasi tidak mengurangi harta benda kita, knapa harus merasa rugi?
Justru sbaliknya, Bila memang ada Buddha Amitabha , justru menguntungkan semua makhluk.
Memang kalau benar ada AMitaba Buddha, BAguslah dan Berbahagialah wahai para umat manusia yang sudah mempraktekan Dhamma yang sudah dibabarkan Beliau dan pasti akan diterima di surga Sukhavati !
tapi kalau Buddha Amitaba tidak benar adanya dan berupa khayalan ! gimana ?
bukankah sama saja dengan melakukan Akusala Kamma/perbuatan yang tidak bermamfaat, walaupun itu Kamma buruk yang diterima pelaku dengan mengarang adanya Amitaba Buddha.
Para pengikut/umat yang sudah kecantol ama cerita pelaku pengarang, gimana ? kasihan deh!
Metode Sukhavati dan Amitabha dibabarkan Buddha Sakyamuni sendiri. Seorang Buddha tidaklah mungkin berbohong, Apalagi sampai ngomong tentang khayalan sudah barang tentu tidak masuk akal.
Bahkan kalau dipikir secara logika, bisa saja memang ada Amitabha Buddha.
Saya balik sekarang. Bagaimana kalau ternyata Nibbana itu juga bohong? Khayalan? Imajinasi? Karangan? Toh masih blm ada buktinya Nibbana itu gimana, ada atau nggak, dari segi science juga belum terbukti. Nah lho...sama saja dengan Sukhavati.
Shinran, patriark Tanah Suci pernah berkata, Amitabha mewujudkan diri di Gaya sebagai Sakyamuni Buddha. Ini juga ada kaitannya dengan masalah apakah Amitabha Buddha itu fiksi atau historikal!...hehe...
Andaikan trdapat nenek2 yg sering memanjatkan kebktian Namo Amitabha namo Amitabha, nenek2 ini yakin dngan pikiran kuat bhwa akan dijemput oleh Para bodhisatva ke tanah kebhagiaan, stlah ia meninggal.
Tapi datang anak2 muda, mengatakan kpd nenek2, amitabha hanya mitos,karangan, tidak ada,boongan, lalu si nenek2 itu jadi ragu2, dan pikiran menjelang meninggal nenek2 itu menjadi tidak yakin ada amitabha? Bgaimana? Apakah anak muda itu melakukan karma baik dngan mengatakan pd nenek2 itu,bhwa amitabha itu boongan,kayalan,mitos,karangan orang?Ataukh anak muda itu melakukan akusalakamma?
Sedang kita tau, pikiran menjelang wafatnya seseorang berpengaruh pada kelahiran mendatang, betul nggak?
CMIIW.
mencurigakan TL=JA?
Kalo kelenteng, i no comment.
Hebat sekali,orang2 yg tak punya abbhina tapi sudah berani bilang Amitabha adalah mitos &karangan.apakah dengan Abbhina seseorang bisa membuktikan Amitabha adalah nyata? siapakah yang mempunyai abbhina itu?
memang vihara apa?Waduh lupa nama Viharanya mas, kalau tidak salah ada di jembatan lima, Jakarta. Apakah dijaman sekarang di Indonesia ada kelenteng?
Klo sungokong, sy sndiri tdk tahu, apakah mitos atau bnaran,,
tpi klo buddha Amitabha itu trdpt ref sutra2 dan kitab2 suci yg diakui oleh Mahayana dan Tantrayana.Jadi sy tidk akan serta merta mgtakan Budha Amitayus adalah mitos.
Patriah suci, bhksu tibet dari dulu sampai kini.
tidak perlu diceritakan, sebab terpampang jelas nama Amitabha tidak ditolak oleh bhiksu2 tibet yg punya abhinna dan patriak2 suci dari dulu sampai sekarang.Patriah suci, bhksu tibet dari dulu sampai kini.
Weleh tolong diceritain dong mas pengalaman bhiksu Tibet sama Patriah sucinya, apa mirip kisah perjalanan ke barat? judul bukunya apa?
Kalau mas truelover bikin buku baru boleh saja,tapi sudah bukan bgian dri Tripitaka,melainkan made in true lover untk kepercyaan baru.
hahaha, anda suka ngawur.Kalau mas truelover bikin buku baru boleh saja,tapi sudah bukan bgian dri Tripitaka,melainkan made in true lover untk kepercyaan baru.
Masuk Mahayana dong mas, kan juga menyinggung mengenai Buddha dan Tang Hsuan Tsang? Gimana nanti Sun Go Kong kita jadikan Buddha atau Bodhisattva? Biar lebih adem ayem yang membacanya. Doakan supaya bukunya nanti bisa masuk kitab suci Tripitaka ya?
Mau sih mas, tapi ora duwe duwite, mas Juice bisa sponsorin?Weleh ceritanya beneran nggak nih?tidak perlu diceritakan, sebab terpampang jelas nama Amitabha tidak ditolak oleh bhiksu2 tibet yg punya abhinna dan patriak2 suci dari dulu sampai sekarang.Patriah suci, bhksu tibet dari dulu sampai kini.
Weleh tolong diceritain dong mas pengalaman bhiksu Tibet sama Patriah sucinya, apa mirip kisah perjalanan ke barat? judul bukunya apa?QuoteKlo mau lebih pasti, silahkan pergi ke daerah tibet dan himalaya. ;D _/\_
yah,jangan pergi sendiri, ramai2 saja ikut tour lebih murah. Gmana rombongan DC sekalian rame2 ke kusinara,budhagaya,tibet,himalaya,kakaka.QuoteMau sih mas, tapi ora duwe duwite, mas Juice bisa sponsorin?Weleh ceritanya beneran nggak nih?tidak perlu diceritakan, sebab terpampang jelas nama Amitabha tidak ditolak oleh bhiksu2 tibet yg punya abhinna dan patriak2 suci dari dulu sampai sekarang.Patriah suci, bhksu tibet dari dulu sampai kini.
Weleh tolong diceritain dong mas pengalaman bhiksu Tibet sama Patriah sucinya, apa mirip kisah perjalanan ke barat? judul bukunya apa?QuoteKlo mau lebih pasti, silahkan pergi ke daerah tibet dan himalaya. ;D _/\_
QuoteMau sih mas, tapi ora duwe duwite, mas Juice bisa sponsorin?Weleh ceritanya beneran nggak nih?tidak perlu diceritakan, sebab terpampang jelas nama Amitabha tidak ditolak oleh bhiksu2 tibet yg punya abhinna dan patriak2 suci dari dulu sampai sekarang.Patriah suci, bhksu tibet dari dulu sampai kini.
Weleh tolong diceritain dong mas pengalaman bhiksu Tibet sama Patriah sucinya, apa mirip kisah perjalanan ke barat? judul bukunya apa?QuoteKlo mau lebih pasti, silahkan pergi ke daerah tibet dan himalaya. ;D _/\_
Seorang Buddha tidaklah mungkin berbohong, saya meyakini hal ini juga. Tapi pernahkah kita mempertimbangkan bahwa kita mendapat informasi ini dari pihak ketiga? Pernahkah kita mempertimbangkan bahwa error, penambahan, kebohongan, adopsi alkulturasi, dll pada masa/ oleh pihak ketiga? Selain itu tidak ada literatur dalam aliran lain.
Yang terakhir ini mungkin dibantah dengan alasan bahwa literatur aliran lain tidak lengkap. Tapi sebaliknya pernahkan dipertimbangkan bahwa adanya penambahan literatur pada aliran Mahayana, yang tadinya tidak ada menjadi ada. Apalagi mengingat Mahayana lebih bersifat liberal (bisa dikatakan sangat liberal) dibanding dengan aliran lain. Kita bisa lihat literatur-literatur yang jelas bukan dari Buddha sejarah dicap sebagai Sutra, contoh Sutra Altar.
Jika kita berpola pikir demikian, maka pendapat bahwa“Metode Sukhavati dan Amitabha dibabarkan Buddha Sakyamuni sendiri”, masih dapat digoyahkan dan belum dapat dikatakan masuk akal.
Jika Nibbana itu bohong baik dibuktikan secara science atau tidak, maka runtuhlah semua aliran Buddhisme, menimbang literatur semua aliran membahas mengenai Nibbana/Nirvana. Tapi ketika metode Sukhavati itu bohong maka hanya sebagian aliran yang runtuh, menimbang hanya Mahayana yang menjunjung ajaran ini. Jadi berbeda kualitas (secara literatur) antara Nirvana dan Sukhavati, sehingga tidak bisa diperbandingkan.
Secara logika, Patriark Tanah Suci jelas ia adalah Mahayanis, tentu saja akan “memenangkan” konsep Mahayana (terlepas ia suciwan atau bukan). Alasan ini tidaklah kuat. Jika ada non Mahayanis yang setaraf Patriark Tanah Suci mengatakan hal sama dengan yang dikatakan Patriark Tanah Suci, maka bukankah kemungkinannya akan menjadi jauh lebih besar. Smiley
Ini hanya pertimbangan saja, selanjutnya terserah diri masing-masing. Wink
Amitabha Buddha dan Surga Sukhavati
oleh: Tim Rohani Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia
(KMBUI)
XV
Amitabha (Amitofo) merupakan kata yang sudah tidak asing kita dengar. Sebenarnya, apakah teman-teman tau makna daripada kata itu? Kita mungkin sering menyebutkan kata tersebut ketika bertemu dengan teman sedharma atau ketika kita melakukan puja. Kata Amitabha atau Amitayus, disampaikan oleh Buddha Gautama dalam Sutra Amitabha. Berikut ini adalah kitipan dari Sutra Amitabha yang menjelaskan tentang makna dari nama Amitayus:
"Dari panjangnya usia Hyang Bhagava Amitabha, Hyang Tathagata. Oh Ananda, tidaklah terukur, sehingga sulit untuk diketahui lainnya, agar dapat dikatakan (bahwa itu meliputi) begitu banyak ratusan kalpa, begitu banyak ribuan kalpa, begitu banyak ratusan ribu kalpa, begitu banyak berkoti-koti kalpa, begitu banyak ratusan koti kalpa, begitu banyak ribuan koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu niyuta koti kalpa. Karenanya, Hyang Tathagata itu disebut Amitayus."
Jadi dapat disimpulkan, Buddha Amitabha (Amitayus) adalah Buddha Cahaya Tanpa Batas yang usianya tidak terbatas oleh waktu. Negeri tempat beliau tinggal disebut Sukhavati yang kunon dikatakan berada nun jauh di sebelah barat bumi kita. Amitabha Buddha memiliki empat puluh delapan ikrar, yang isinya terutama untuk mendirikaan tanah suci atau surga, yang penghuninya dapat menghayati kehidupan berkebahagiaan tingkat tertinggi. Makhluk hidup yang memanggil nama Beliau, untuk memohon pertolongan, akan Beliau bawa mengarungi samudera kehidupan, hingga tiba di Tanah Suci yang Beliau ciptakan itu. Di antara ke-48 Ikrar-Nya, ada tiga yang merupakan Ikrar yang paling utama, yaitu:
1. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mempercayai ajaran Buddha, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci ini. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
2. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk yang telah berusaha dengan segenap kemampuan jiwanya untuk mencapai tingkat Ke-Bodhi-an, dan yang telah melatih diri untuk memiliki, memelihara, dan meningkatkan jasa-jasa kebaikan dan kebajikannya, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci Saya itu. Pada saat-saat menjelang kematiaannya, maka makhluk tersebut akan dikelilingi oleh Para Penolong Gaib (yang akan info
Harap mengulang inquirymengantarkan orang-orang yang telah meninggal dunia itu, ke Tanah Suci atau Surga ciptaan Saya itu). Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
3. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mendengar nama Saya, yang telah memikirkan mengenai Tanah Suci yang Saya ciptakan, dan telah merencanakan akan berbuat kebajikan-kebajikan, Saya usahakan agar mereka itu dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar dapat terlahir di Tanah Suci ini?
"Karena tekad lampau (purva-pranidhana) Ku, maka makhluk-makhluk yang dengan cara apapun pernah mendengar nama-Ku, selamanya akan pergi ke negeri-Ku (tanah suci Sukhavati). Tekad-Ku, yang mulia ini telah tercapai dan setelah makhluk-makhluk dari berbagai alam datang kemari ke hadapan-Ku, mereka tak akan pernah berlalu dari sini, meskipun hanya untuk satu kelahiran." (Mahasukhavativyuha Sutra 50:17)
Selain itu, di dalam Amitayurdhyana Sutra, dijelaskan beberapa hal yang dapat menyebabkan kita terlahir di Sukhavati.
"Jenis kelahiran mulia (dalam alam Sukhavati) tingkat tinggi dapat dicapai oleh mereka yang di dalam pencarian mereka untuk terlahir di sana, telah mengembangkan tiga macam pikiran. Engkau mungkin akan bertanya apakah ketiga macam pikiran itu:
1. Pikiran yang tulus,
2. Pikiran yang penuh keyakinan,
3. Pikiran yang terpusat pada tekad untuk terlahir di alam Sukhavati dengan mempersembahkan segenap kumpulan kebajikan yang mengakibatkan kelahiran kembali di sana.
Mereka yang telah menyempurnakan ketiga macam pikiran ini pasti akan terlahir di alam Sukhavati.
Jadi, apa yang teman-teman tunggu? Marilah kita melakukan praktek yang menjadi sebab kelahiran kita di Surga Sukhavati. Amitofo!
Dedikasi:
"Semoga lenyaplah tiga kumpulan karma buruk yang menjengkelkan"
"Semoga memperoleh kebijaksanaan dan kesadaran yang nyata"
"Semoga semua hambatan dan karma buruk lenyap"
"Semoga senantiasa hidup melaksanakan Jalan Bodhisattva".
Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia
Masuk Mahayana dong mas, kan juga menyinggung mengenai Buddha dan Tang Hsuan Tsang? Gimana nanti Sun Go Kong kita jadikan Buddha atau Bodhisattva? Biar lebih adem ayem yang membacanya. Doakan supaya bukunya nanti bisa masuk kitab suci Tripitaka ya?
Nah tuh tadi mas Juice bilang ke Sukhavati pakai Abhinna, tapi KMBUI bilang musti mati dulu, mana yang benar nih mas? saya bingung lho mas Shocked
oh,ai br tahu,trnyta tanah suci sudah ada saat hdup ktika pkiran sudah murni atau suci.QuoteNah tuh tadi mas Juice bilang ke Sukhavati pakai Abhinna, tapi KMBUI bilang musti mati dulu, mana yang benar nih mas? saya bingung lho mas Shocked
Wahhh... bingung bagus untuk Ahipasyika (Ehipassiko loh!!)
Dalam aliran Sukhavati, seperti yang para Patriark Tanah Suci bilang dan dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra, Tanah Suci itu ada ketika Pikiran juga Murni / Suci. Jadi seperti yg juga YM Zhixu Ouyi bilang... gak usah nunggu meninggal baru masuk Tanah Suci, hiduppun juga bisa. Ini diakui oleh semua patriark Tanah Suci dan Vimalakirti di zaman Sang Buddha. Silahkan search dan aihipasyika lebih lanjut.... 8) 8) 8)
_/\_
The Siddha Wanderer
Sebenarnya masalah amitabha dan Buddha yang lain itu sudah menjurus ke Faith, hampir sama dengan ajaran lain, sama2 tidak bisa membuktikan, tinggal Faith nya itu bagaimana untuk menyikapinya, apakah untuk memberikan suatu jalan lain selain Nirvana? atau untuk tujuan lain Buddha Amitabha, Ksitigarbha, Avalokitesvara harus di munculkan dalam ajaran Buddha?
oh,ai br tahu,trnyta tanah suci sudah ada saat hdup ktika pkiran sudah murni atau suci.
Mirip sotapanna,anagami,sakadagami,arahat.
jadi sosok Amitabha itu = Nirvana?QuoteSebenarnya masalah amitabha dan Buddha yang lain itu sudah menjurus ke Faith, hampir sama dengan ajaran lain, sama2 tidak bisa membuktikan, tinggal Faith nya itu bagaimana untuk menyikapinya, apakah untuk memberikan suatu jalan lain selain Nirvana? atau untuk tujuan lain Buddha Amitabha, Ksitigarbha, Avalokitesvara harus di munculkan dalam ajaran Buddha?
Tahukah anda...... dalam ajaran Sukhavati...... Buddha Amitabha itu = True Mind (Pikiran Sejati) = Nirvana???
Dan tahukah anda bagaimana metode Sukhavati dalam Chan? Di sana anda bisa lebih sadar apa sih sebenarnya Amitabha itu...ha2.....
_/\_
The Siddha Wanderer
Anggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Amitofo,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Amitofo tidak bekerja untk umat ini?Quoteoh,ai br tahu,trnyta tanah suci sudah ada saat hdup ktika pkiran sudah murni atau suci.
Mirip sotapanna,anagami,sakadagami,arahat.
Yap. Tepat sekali. Tanah Suci yang paling Sejati adalah Nirvana itu sendiri.
Agama Buddha adalah agama "saat ini". Kalau saat ini aja gak di Pure Land, gimana meninggal bisa ke Pure Land?? ...hehe....
_/\_
The Siddha Wanderer
jadi sosok Amitabha itu = Nirvana?
Orang baca2 sutra Amitabha berarti baca Nirvana?
Begitu maksudnya?
Anggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Amitofo,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Amitofo tidak bekerja untk umat ini?
Ih mas Gandalf, mana yang benar nih? KMBUI bilang lain lagiQuoteAnggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Amitofo,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Amitofo tidak bekerja untk umat ini?
Tentu saja bekerja, bahkan meskipun mungkin tidak terlahir di Pure Land, dia sudah ada jodoh karma dengan Amitabha dan dengan jodoh karma ini Amitabha dapat "menuntunnya". Seorang Samyaksambuddha dapat secara utuh membantu para makhluk hidup yang memiliki jodoh karma dengan Beliau.
_/\_
The Siddha Wanderer
Sekarang, yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar dapat terlahir di Tanah Suci ini?
"Karena tekad lampau (purva-pranidhana) Ku, maka makhluk-makhluk yang dengan cara apapun pernah mendengar nama-Ku, selamanya akan pergi ke negeri-Ku (tanah suci Sukhavati). Tekad-Ku, yang mulia ini telah tercapai dan setelah makhluk-makhluk dari berbagai alam datang kemari ke hadapan-Ku, mereka tak akan pernah berlalu dari sini, meskipun hanya untuk satu kelahiran." (Mahasukhavativyuha Sutra 50:17)
- Jadi Nirvana itu wujudnya personal?
- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
- Katanya Tanah Suci itu di sebelah barat? Apakah pikiran suci ada di sebelah barat?
- Katanya kalau dijembut Buddha Amitabha ke Sukhavati, baru dibimbing sampai mencapai Nirvana. Berarti orang yang dijemput dan dibimbing itu belum mencapai Nirvana atau pikiran suci kan?
Quote- Jadi Nirvana itu wujudnya personal?
Hakekat sejati Amitabha adalah Nirvana.
Tiap Buddha punya 3 tubuh (Nirmanakaya, Sambhogakaya dan Dharmakaya).
Hakekat Sejati Amitabha adalah Dharmakaya-nya.
Dan kita tahu dalam Mahayana bahwa Dharmakaya = Nirvana.
Dharmakaya dan Nirvana tidaklah terdeskripsikan, tidak bisa dilabeli personal maupun impersonal, beyond any description bahkan.Quote- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
Pikiran adalah pelopor segalanya. Samsara adalah "proyeksi" dari pikiran kita sendiri.Quote- Katanya Tanah Suci itu di sebelah barat? Apakah pikiran suci ada di sebelah barat?
Tidak. Itu hanya kiasan. Karena ketika kita berada di Tanah Suci Akshobya, apa berarti kita di sebelah timur? Tanah Buddha ada di semua arah mata angin, bahkan center, zenith, dsb..... maka Pikiran Suci itu ada di mana?....hehe....Quote- Katanya kalau dijembut Buddha Amitabha ke Sukhavati, baru dibimbing sampai mencapai Nirvana. Berarti orang yang dijemput dan dibimbing itu belum mencapai Nirvana atau pikiran suci kan?
Belum tentu, Tidak semua praktisi Sukhavati begitu. Mereka yang usahanya masih belum full ya masih harus berlatih lagi. Mereka yang dengan menggunakan metode Nianfo sampai semua avarana terhapuskan juga ada. Apa lagi yang mau dibimbing di sistem dunia lain?....hehe.... Maka dari itu dikatakan bahwa seseorang paling baik pergi ke "Sukhavati sejati" yaitu pencerahan itu sendiri (Dharmakaya Buddha Amitabha)... dalam hidup ini dan saat ini.
_/\_
The Siddha Wanderer
QuoteIh mas Gandalf, mana yang benar nih? KMBUI bilang lain lagi
Satu bilang mungkin tidak terlahir di tanah suci, yang lain bilang selamanya terlahir di tanah suci, mana yang benar?
Anggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Amitofo,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Amitofo tidak bekerja untk umat ini?Quoteoh,ai br tahu,trnyta tanah suci sudah ada saat hdup ktika pkiran sudah murni atau suci.
Mirip sotapanna,anagami,sakadagami,arahat.
Yap. Tepat sekali. Tanah Suci yang paling Sejati adalah Nirvana itu sendiri.
Agama Buddha adalah agama "saat ini". Kalau saat ini aja gak di Pure Land, gimana meninggal bisa ke Pure Land?? ...hehe....
_/\_
The Siddha Wanderer
Anggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Sun Go Kong,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Sun Go Kong tidak bekerja untk umat ini?
QuoteAnggaplah umat awam yg masih blum suci, tapi sdah buat kebajikan, dan percya pada Sun Go Kong,bgaimana kira2 tuh saat ia wafat,apakah daya tekad ikrar dri Sun Go Kong tidak bekerja untk umat ini?
Sun Go Kong gak duwe tekad ikrar mas!!...huehuehue...
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote- Katanya Tanah Suci itu di sebelah barat? Apakah pikiran suci ada di sebelah barat?
Tidak. Itu hanya kiasan. Karena ketika kita berada di Tanah Suci Akshobya, apa berarti kita di sebelah timur? Tanah Buddha ada di semua arah mata angin, bahkan center, zenith, dsb..... maka Pikiran Suci itu ada di mana?....hehe....
_/\_
The Siddha Wanderer
Kalau pikiran BUDDHA ada di mana-mana, berarti di tanah suci SAKYAMUNI (kalau boleh di katakan dunia yang kita tempati ini adalah tanah suci SAKYAMUNI). Mengapa tidak berusaha mencapai pembebasan dengan ajaran SAKYAMUNI ? Apakah ajaran SAKYAMUNI dan AMITABHA atau SAMMASAMBUDDHA lainnya itu berbeda ?
Pada hakekatnya, Tanah Suci Sakyamuni dan Amitabha itu ya nggak ada bedanya toh..... hehe....
Lagipula ajaran Amitabha itu dibabarkan siapa lagi kalau bukan Buddha Sakyamuni?
Makanya di aliran Sukhavati, Shakyamuni dan Amitabha dianggap sebagai "bapak dan ibu" kita.
_/\_
The Siddha Wanderer
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
Waduh, panjang sekali thread ini, saya baru baca sampai halaman 24, tapi ingin bertanya beberapa pertanyaan:
1. sadhana sex itu apa?
2. 84000 jalan itu apa saja? ada dijelaskan satu persatu di sutra mana?
4. en btw nanya apakah ada sutra yg mengajarkan untuk vegetarian?
thanks untuk jawabannya
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
padpad
numpang lewat
1. alam lain ?
dharmakaya tathagata memenuhi alam semesta
memang merekka dari alam mana ?
tentu setiap buddha bodhisattva tidak dapat diidentikkan denagn suatu alam
nirmakaya buddha berjumlah sangat banyak tak terhitung
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
padpad
numpang lewat
1. alam lain ?
dharmakaya tathagata memenuhi alam semesta
memang merekka dari alam mana ?
tentu setiap buddha bodhisattva tidak dapat diidentikkan denagn suatu alam
nirmakaya buddha berjumlah sangat banyak tak terhitung
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
saya orgnya ga mudah nerima begitu saja...btw penjelasan pad2 td gw gak ngerti..mksdnya gmn? bisa jelasin lbh rinci? di theravada jg ada dibahas mengenai buddha2 masa lampau
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
padpad
numpang lewat
1. alam lain ?
dharmakaya tathagata memenuhi alam semesta
memang merekka dari alam mana ?
tentu setiap buddha bodhisattva tidak dapat diidentikkan denagn suatu alam
nirmakaya buddha berjumlah sangat banyak tak terhitung
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
saya orgnya ga mudah nerima begitu saja...btw penjelasan pad2 td gw gak ngerti..mksdnya gmn? bisa jelasin lbh rinci? di theravada jg ada dibahas mengenai buddha2 masa lampau
memang ada
tapi tidak sebanyak mahayana
ini bisa dilihat dari rupang2 dalam vihara 2
theravada: paling banter rupang 3 buddha
secara umum sakyamuni dan 2 arahat
mahayana : banyak buddha , boddisattva, dharmapala
anda sudah pernah baca / ngerti trikaya belom ?
kalo sudah pasti no1 terjawab
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
padpad
numpang lewat
1. alam lain ?
dharmakaya tathagata memenuhi alam semesta
memang merekka dari alam mana ?
tentu setiap buddha bodhisattva tidak dapat diidentikkan denagn suatu alam
nirmakaya buddha berjumlah sangat banyak tak terhitung
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
saya orgnya ga mudah nerima begitu saja...btw penjelasan pad2 td gw gak ngerti..mksdnya gmn? bisa jelasin lbh rinci? di theravada jg ada dibahas mengenai buddha2 masa lampau
memang ada
tapi tidak sebanyak mahayana
ini bisa dilihat dari rupang2 dalam vihara 2
theravada: paling banter rupang 3 buddha
secara umum sakyamuni dan 2 arahat
mahayana : banyak buddha , boddisattva, dharmapala
anda sudah pernah baca / ngerti trikaya belom ?
kalo sudah pasti no1 terjawab
mangnya bodhisatta ada trikaya?
wah..makin ga jelas nih..kok malah saya tambah bingung..
bukannya lebih baik jd buddha ya spy bisa menyelamatkan byk makhluk? bagaimana cara bodhisatta menyelamatkan makhluk ?
Waduh, panjang sekali thread ini, saya baru baca sampai halaman 24, tapi ingin bertanya beberapa pertanyaan:
1. sadhana sex itu apa?
2. 84000 jalan itu apa saja? ada dijelaskan satu persatu di sutra mana?
4. en btw nanya apakah ada sutra yg mengajarkan untuk vegetarian?
thanks untuk jawabannya
1. salah satu sadhana dalam tantra
tidak cocok ditekuni manusia jaman sekarang
gampang menyimpang ke jalur sesat bila ditekuni sembarang
2. dalam beberapa sutra sering terdapat 84000
sebenarnya 84000 berarti banyak sekali
3..............
Salam,
Wah luar biasa, ternyata topik ini masih berlanjut juga. Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan Sdr. Upasaka yang ini:
- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
Ya sebenarnya tempat itu khan juga dikondisikan pikiran. Sukhavati adalah tempat ataupun kondisi pikiran keduanya tidak bertentangan. Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena. Demikian pula dengan neraka. Saat pikiran Anda merasakan penderitaan mendalam, maka saat itu Anda berada di neraka, meskipun sedang berada di sebuah rumah mewah yang berAC. Seorang boss yang banyak hutang meskipun berada di kasur empuk import dan di kamar super mewah, apakah benar-benar bisa merasakan kebahagiaan? Pikiran adalah penentu dan pelopor.
Ajaran Sukhavati selaras dengan Buddhadharma. Demikian sedikit tambahan dari saya.
Amitabha,
Om Amideva Hrih
Tan
oh..saya mau nanya nih ttg bodhisatva di mahayana..karena saya tidak terlalu mendalami mahayana, mohon ada yang bisa bantu menjawab..
1. kenapa semua bodhisatva mahayana dari alam lain yak? contohnya yang terkenal: Manjushri, Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha
2. saya dl sering membaca literatur ttg mahayana seputar bodhisatva (yang saya sebutkan di atas) dan timbul sejumlah kebingungan sampai saat ini. Dari segi historis, apakah ada bukti otentik kalau mereka itu ada?
untuk saat ini itu aja dl, masih byk pertanyaan lain sebenarnya..cuman agak susah nyusun kalimat yang baik..thx..
padpad
numpang lewat
1. alam lain ?
dharmakaya tathagata memenuhi alam semesta
memang merekka dari alam mana ?
tentu setiap buddha bodhisattva tidak dapat diidentikkan denagn suatu alam
nirmakaya buddha berjumlah sangat banyak tak terhitung
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
saya orgnya ga mudah nerima begitu saja...btw penjelasan pad2 td gw gak ngerti..mksdnya gmn? bisa jelasin lbh rinci? di theravada jg ada dibahas mengenai buddha2 masa lampau
memang ada
tapi tidak sebanyak mahayana
ini bisa dilihat dari rupang2 dalam vihara 2
theravada: paling banter rupang 3 buddha
secara umum sakyamuni dan 2 arahat
mahayana : banyak buddha , boddisattva, dharmapala
anda sudah pernah baca / ngerti trikaya belom ?
kalo sudah pasti no1 terjawab
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
Hal ini sama seperti kisah perumpamaan berikut:
Seorang anak berkata kepada temannya,” Mendingan kamu percaya saja deh bahwa Naruto itu ada. Tidak ada ruginya. Kamu sih koleksi manga-nya tidak sebanyak aku jadi ada keraguan bahwa Naruto ada.”
Anak tersebut percaya bahwa Naruto itu ada karena koleksi manga-nya lebih banyak dari temannya dan di antara manga-nya ada judul Naruto dari Vol.1 sampai Naruto Shippuden. Padahal percaya dan ragu pada tokoh Naruto tidak ada hubungannya dengan berapa banyak koleksi manga Naruto.
Demikian juga rasa percaya dan ragu kepada Buddha masa lampau tidak ditentukan oleh adanya banyaknya literatur yang berisi urutan nama Buddha masa lampau. :)
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
namo buddhaya,Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
Salam,
Wah luar biasa, ternyata topik ini masih berlanjut juga. Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan Sdr. Upasaka yang ini:
- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
Ya sebenarnya tempat itu khan juga dikondisikan pikiran. Sukhavati adalah tempat ataupun kondisi pikiran keduanya tidak bertentangan. Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena. Demikian pula dengan neraka. Saat pikiran Anda merasakan penderitaan mendalam, maka saat itu Anda berada di neraka, meskipun sedang berada di sebuah rumah mewah yang berAC. Seorang boss yang banyak hutang meskipun berada di kasur empuk import dan di kamar super mewah, apakah benar-benar bisa merasakan kebahagiaan? Pikiran adalah penentu dan pelopor.
Ajaran Sukhavati selaras dengan Buddhadharma. Demikian sedikit tambahan dari saya.
Amitabha,
Om Amideva Hrih
Tan
Bro Tan yang baik, saya jadi bingung dengan pernyataan bro Tan nih:
- Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena -
Apakah Sukhavati bukan alam? Apakah menurut bro Tan Sukhavati adalah hasil ciptaan pikiran? Bagaimana dengan Buddha Amitabha yang berdiam di Sukhavati, apakah merupakan ciptaan pikiran juga?
_/\_
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
Hal ini sama seperti kisah perumpamaan berikut:
Seorang anak berkata kepada temannya,” Mendingan kamu percaya saja deh bahwa Naruto itu ada. Tidak ada ruginya. Kamu sih koleksi manga-nya tidak sebanyak aku jadi ada keraguan bahwa Naruto ada.”
Anak tersebut percaya bahwa Naruto itu ada karena koleksi manga-nya lebih banyak dari temannya dan di antara manga-nya ada judul Naruto dari Vol.1 sampai Naruto Shippuden. Padahal percaya dan ragu pada tokoh Naruto tidak ada hubungannya dengan berapa banyak koleksi manga Naruto.
Demikian juga rasa percaya dan ragu kepada Buddha masa lampau tidak ditentukan oleh adanya banyaknya literatur yang berisi urutan nama Buddha masa lampau. :)
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
Salam,
Wah luar biasa, ternyata topik ini masih berlanjut juga. Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan Sdr. Upasaka yang ini:
- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
Ya sebenarnya tempat itu khan juga dikondisikan pikiran. Sukhavati adalah tempat ataupun kondisi pikiran keduanya tidak bertentangan. Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena. Demikian pula dengan neraka. Saat pikiran Anda merasakan penderitaan mendalam, maka saat itu Anda berada di neraka, meskipun sedang berada di sebuah rumah mewah yang berAC. Seorang boss yang banyak hutang meskipun berada di kasur empuk import dan di kamar super mewah, apakah benar-benar bisa merasakan kebahagiaan? Pikiran adalah penentu dan pelopor.
Ajaran Sukhavati selaras dengan Buddhadharma. Demikian sedikit tambahan dari saya.
Amitabha,
Om Amideva Hrih
Tan
Bro Tan yang baik, saya jadi bingung dengan pernyataan bro Tan nih:
- Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena -
Apakah Sukhavati bukan alam? Apakah menurut bro Tan Sukhavati adalah hasil ciptaan pikiran? Bagaimana dengan Buddha Amitabha yang berdiam di Sukhavati, apakah merupakan ciptaan pikiran juga?
_/\_
menurut owe
pikiran terkonsentrasi pada sukhavati
tidak mungkin tidak terlahir disana
maksudnya bila kita dengan tulus memohon terlahir di sukhavati dan dengan pikiran konsentrasi
maka pada saatnya pun pasti akan kesana
sukhavati tentu saja alam
bila menyimak sutra amitabha
disana sudah disebutkan
Salam,
Wah luar biasa, ternyata topik ini masih berlanjut juga. Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan Sdr. Upasaka yang ini:
- Jadi Tanah Suci itu tempat atau kondisi pikiran?
Ya sebenarnya tempat itu khan juga dikondisikan pikiran. Sukhavati adalah tempat ataupun kondisi pikiran keduanya tidak bertentangan. Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena. Demikian pula dengan neraka. Saat pikiran Anda merasakan penderitaan mendalam, maka saat itu Anda berada di neraka, meskipun sedang berada di sebuah rumah mewah yang berAC. Seorang boss yang banyak hutang meskipun berada di kasur empuk import dan di kamar super mewah, apakah benar-benar bisa merasakan kebahagiaan? Pikiran adalah penentu dan pelopor.
Ajaran Sukhavati selaras dengan Buddhadharma. Demikian sedikit tambahan dari saya.
Amitabha,
Om Amideva Hrih
Tan
Bro Tan yang baik, saya jadi bingung dengan pernyataan bro Tan nih:
- Kondisi pikiran itu sendiri dapat menjadi Sukhavati. Dalam Buddhisme pikiran menciptakan fenomena -
Apakah Sukhavati bukan alam? Apakah menurut bro Tan Sukhavati adalah hasil ciptaan pikiran? Bagaimana dengan Buddha Amitabha yang berdiam di Sukhavati, apakah merupakan ciptaan pikiran juga?
_/\_
menurut owe
pikiran terkonsentrasi pada sukhavati
tidak mungkin tidak terlahir disana
maksudnya bila kita dengan tulus memohon terlahir di sukhavati dan dengan pikiran konsentrasi
maka pada saatnya pun pasti akan kesana
sukhavati tentu saja alam
bila menyimak sutra amitabha
disana sudah disebutkan
maksudnya memohon?
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
1. apakah sayamuni mungkin berbohong ?
2. apakah anda percaya sutra mahayana disabdakan sakyamuni sendiri ?
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
Hal ini sama seperti kisah perumpamaan berikut:
Seorang anak berkata kepada temannya,” Mendingan kamu percaya saja deh bahwa Naruto itu ada. Tidak ada ruginya. Kamu sih koleksi manga-nya tidak sebanyak aku jadi ada keraguan bahwa Naruto ada.”
Anak tersebut percaya bahwa Naruto itu ada karena koleksi manga-nya lebih banyak dari temannya dan di antara manga-nya ada judul Naruto dari Vol.1 sampai Naruto Shippuden. Padahal percaya dan ragu pada tokoh Naruto tidak ada hubungannya dengan berapa banyak koleksi manga Naruto.
Demikian juga rasa percaya dan ragu kepada Buddha masa lampau tidak ditentukan oleh adanya banyaknya literatur yang berisi urutan nama Buddha masa lampau. :)
saya pikir menentukan
bukti nyatanya
yg sering mempertanyakan eksistensi buddha masa lampau tsb justru umat theravada
dosen saya di kuliah yg umat theravada bilang bahwa buddha amitbha adl buddha legendaris
seakan2 amitabha buddha dikesampingkan dan lebih baik blajar ajaran sakyamuni saja
bahkan guru agama saya jelas2 meragukan keberadaan surga sukhavati (dia theravada)
menurut dia tidak ada alam diluar 31 alam
bagi para umat theravada yg belum mengkaji sutra2 mahayana
wajar2 saja timbul keraguan
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
1. apakah sayamuni mungkin berbohong ?
2. apakah anda percaya sutra mahayana disabdakan sakyamuni sendiri ?
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
1. apakah sayamuni mungkin berbohong ?
2. apakah anda percaya sutra mahayana disabdakan sakyamuni sendiri ?
Bro Padmakumara yang baik, Buddha Sakyamuni tak mungkin berbohong, tapi bukunya bisa saja bukan merupakan kata-kata Buddha Sakyamuni.
Umat aliran Theravada tidak harus mempercayai, bahkan terhadap Tipitaka sendiri, karena memang demikianlah cara berpikir kritis umat Theravada sesuai yang diajarkan oleh Sakyamuni Buddha dalam Kalama Sutta. Apakah harus mempercayai kitab Mahayana?
_/\_
2. kalo percaya sabda sakyamuni dalam sutra mahayana
mending percaya aja de
kayaknya gk ada ruginya
sutta aliran theravada jarang disinggung buddha boddhisattva masa lampau
berbeda dengan mahayana
karna itu sering timbul keraguan
Hal ini sama seperti kisah perumpamaan berikut:
Seorang anak berkata kepada temannya,” Mendingan kamu percaya saja deh bahwa Naruto itu ada. Tidak ada ruginya. Kamu sih koleksi manga-nya tidak sebanyak aku jadi ada keraguan bahwa Naruto ada.”
Anak tersebut percaya bahwa Naruto itu ada karena koleksi manga-nya lebih banyak dari temannya dan di antara manga-nya ada judul Naruto dari Vol.1 sampai Naruto Shippuden. Padahal percaya dan ragu pada tokoh Naruto tidak ada hubungannya dengan berapa banyak koleksi manga Naruto.
Demikian juga rasa percaya dan ragu kepada Buddha masa lampau tidak ditentukan oleh adanya banyaknya literatur yang berisi urutan nama Buddha masa lampau. :)
saya pikir menentukan
bukti nyatanya
yg sering mempertanyakan eksistensi buddha masa lampau tsb justru umat theravada
dosen saya di kuliah yg umat theravada bilang bahwa buddha amitbha adl buddha legendaris
seakan2 amitabha buddha dikesampingkan dan lebih baik blajar ajaran sakyamuni saja
bahkan guru agama saya jelas2 meragukan keberadaan surga sukhavati (dia theravada)
menurut dia tidak ada alam diluar 31 alam
bagi para umat theravada yg belum mengkaji sutra2 mahayana
wajar2 saja timbul keraguan
saya menghormati semua Buddha..tapi untuk Amitabha sendiri, maaf sekali blm bisa percaya...jujur saya memeluk buddhisme karena ajaran ttg kemanusiaannya dan tentu saja tidak lepas dr teknik-tekniknya untuk mengembangakn diri ke arah positif. untuk masalah percaya originalitas sutra2, saya jujur masih blm percaya..tapi ada pelajaran yang saya petik dr cerita2 di sutra2 tersebut terlepas dia itu asli atau palsu..
Utk pertanyaan ttg para Bodhisattva dlm Mahayana,setahu saya, mrk tdk memiliki biografi historis krn mrk adl Dhyani Bodhisattva yg mrpk perwujudan Sambhogakaya (tubuh cahaya). Dikatakan dlm sutra2 Mahayana bhw ketika Sang Buddha berkotbah,para Buddha lain & para Bodhisattva dtg dr tanah Buddha mrk masing2 utk mendengarkan kotbah tsb. Kehadiran para Buddha & Bodhisattva ini terjadi melalui perwujudan Sambhogakaya. Misalnya Avalokitesvara sesungguhnya berdiam di tanah Sukhavati,tetapi mewujudkan Nirmalakaya (tubuh perubahan) & Sambhogakaya di dunia Saha utk menolong para makhluk. Hanya perwujudan Nirmalakaya dpt kita ketahui sejarah biografisnya,misalnya Putri Miaoshan yg adl perwujudan Nirmalakaya Avalokitesvara. Utk melihat/mengetahui perwujudan Sambhogakaya,seseorang hrs mencapai tingkat tertentu dlm meditasi.
Selain itu para Bodhisattva Mahayana jg mrpk perwujudan dr sifat2 Sang Buddha sendiri,misalnya Manjusri mrpk perwujudan kebijaksanaan (prajna), Avalokitesvara mrpk perwujudan belas kasih (karuna),dst.
nah gini2...kok bisa tau ada bodhisatta A, B, C, dsb? kan mereka di alam lain bukan? apalgi cerita2 di suttanya pada saat jaman sang Buddha blm parinibbana bukan? kalo gt, knp kok di aliran thera sendiri tidak terdapat satupun nama2 bodhisatta di atas? apakah terjadi penambahan oleh mahayanis sendiri atau pengurangan oleh theravadin sendiri?
selidik punya selidik...tokoh2 terkenal yang di tipitaka theravadin memiliki asal usulnya dan juga dibuktikan dengan penemuan2 relik oleh peneliti..bagaimana dgn tokoh2 yang ditipitaka mahayanis, apakah ada bukti2 yang bisa mendukung keberadaan tokoh2 terkenalnya seperti avalokitesvara, samantabhadra, dsb?
saya jujur masih kritis thdp mahayana walaupun diakui sebagai mainstream buddhisme karena tidak menawarkan bukti2 yang cukup konkret..
ada yng bisa bantu jawab pertanyaan saya di atas?
1. apakah sayamuni mungkin berbohong ?
2. apakah anda percaya sutra mahayana disabdakan sakyamuni sendiri ?
1. apakah pertanyaan saya ada hubungan langsung dgn ucapan Buddha Gotama?
2. saya tidak tahu..tetapi kalo menurut analisis saya, tidak semua sutta berasal dr ucapan Buddha Sakyamuni..kenapa? rasanya ada yang janggal saja dgn beberapa sutta tersebut..
oya...untuk masalah berbagai macam bodhisatta sampe segala janji2nya serta mantra2nya..maaf saya jg ga percaya..menurut pemikiran saya, bagaimana seseorang dapat melakukan ritual2 terhdap sesosok yang blm diketahui jelas asal usulnya apalagi meminta2 kepadanya?
source : ........
Tanya: Apakah baik melakukan ibadah Theravada?
Jawab: Yang menuntut mencapai keBudhaan adalah Mahayana, sedangkan yang
menuntut mencapai Arahat dan Pratyeka Budha adalah Theravada. Jalan apa yang
ditempuh umat manusia itu adalah soal hetu pratyaya (jodoh-jodohan), meski-pun
terdapat fenomena yang berbeda, namun semuanya untuk mencapai kesadaran
kesunyataan dan nirvana. Yang menja-lan-kan ibadah Mahayana jangan mengeritik
Theravada, dan yang menjalankan ibadah Theravada jangan mencela Mahayana.
Tanya: Mahayana dan Theravada bagaimana saling mengeritiknya?
Jawab: Mahayana mengeritik Theravada sebagai egoistis dan berakar kebaikan yang
dangkal. Sedangkan Theravada mengeritik Mahayana sebagai takhyul, seperti bunga
sunyata, bulan dalam air, indah namun tidak praktis. Ini merupakan kritikan yang umum.
source : ........
Tanya: Apakah baik melakukan ibadah Theravada?
Jawab: Yang menuntut mencapai keBudhaan adalah Mahayana, sedangkan yang
menuntut mencapai Arahat dan Pratyeka Budha adalah Theravada. Jalan apa yang
ditempuh umat manusia itu adalah soal hetu pratyaya (jodoh-jodohan), meski-pun
terdapat fenomena yang berbeda, namun semuanya untuk mencapai kesadaran
kesunyataan dan nirvana. Yang menja-lan-kan ibadah Mahayana jangan mengeritik
Theravada, dan yang menjalankan ibadah Theravada jangan mencela Mahayana.
Tanya: Mahayana dan Theravada bagaimana saling mengeritiknya?
Jawab: Mahayana mengeritik Theravada sebagai egoistis dan berakar kebaikan yang
dangkal. Sedangkan Theravada mengeritik Mahayana sebagai takhyul, seperti bunga
sunyata, bulan dalam air, indah namun tidak praktis. Ini merupakan kritikan yang umum.
Pendapat di atas ini jelas keliru. Theravada mengajarkan jalan mencapai Pencerahan.; boleh menjadi Savaka Buddha, boleh menjadi Pacceka Buddha, boleh juga menjadi Sammasambuddha. Di dalam Theravada, jalan utama untuk menjadi Sammasambuddha ini sama dengan jalan utama untuk menjadi Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. Sedangkan jalan utama untuk menjadi Sammasambuddha di Theravada ini berbeda dengan jalan utama untuk menjadi Samyaksambuddha di Mahayana maupun Tantrayana.
mohon dimaklumi Bro, quote dari Bro Padmakumara berasal dari Kitab ZZZ karya BADUT yg tidak memahami Buddhism tapi ngaku2 Buddha
saya pikir menentukanIni terjadi karena anda tidak bisa membedakan antara meraguan eksistensi Buddha masa lampau dengan meragukan keberadaan pribadi-pribadi Buddha yang ada di Mahayana.
bukti nyatanya
yg sering mempertanyakan eksistensi buddha masa lampau tsb justru umat theravada
dosen saya di kuliah yg umat theravada bilang bahwa buddha amitbha adl buddha legendaries seakan2 amitabha buddha dikesampingkan dan lebih baik blajar ajaran sakyamuni saja
bahkan guru agama saya jelas2 meragukan keberadaan surga sukhavati (dia theravada)
menurut dia tidak ada alam diluar 31 alam
bagi para umat theravada yg belum mengkaji sutra2 mahayana
wajar2 saja timbul keraguan
[at] Kelana
Satu tambahan lagi yang juga perlu diragukan adalah... "Bagaimana proses dan tahap-tahap dimana Amitabha akhirnya mencapai Pencerahan atau menjadi Buddha?"
Mungkin referensi-nya masih ketinggalan di "ALAM NAGA"...
saya setuju sekali dengan pernyataan bro kelana dan upasaka..terdapat ajaran Buddha Gotama di dunia ini disertai dengan bukti sejarah mengenai riwayatnya (melalui sejumlah penelitian)..kok malah jauh2 mikir ke alam lain yang notabene masih blm jelas ada atau nggak? trus kenapa kok tau nama2 bodhisatta samapi tau si bodhisatta ini punya ikrar ini..bodhisatta itu punya ikrar itu...Buddha ini punya ikrar A samapi Z..darimana taunya?
gw cuman pensran aja..tolong bagi yang berkompoten di mahayana menjawab pertanyaan saya...spy rasa penasaran saya terobati.. thx
saya setuju sekali dengan pernyataan bro kelana dan upasaka..terdapat ajaran Buddha Gotama di dunia ini disertai dengan bukti sejarah mengenai riwayatnya (melalui sejumlah penelitian)..kok malah jauh2 mikir ke alam lain yang notabene masih blm jelas ada atau nggak? trus kenapa kok tau nama2 bodhisatta samapi tau si bodhisatta ini punya ikrar ini..bodhisatta itu punya ikrar itu...Buddha ini punya ikrar A samapi Z..darimana taunya?
gw cuman pensran aja..tolong bagi yang berkompoten di mahayana menjawab pertanyaan saya...spy rasa penasaran saya terobati.. thx
Yang lebih gak "LOGIS", katanya BUDDHA SAKYAMUNI sudah mencapai ke-BUDDHA-an sejak berkalpa kalpa yang lalu... Jadi "episode" pencapaian BUDDHA SAKYAMUNI di bawah pohon bodhi itu jadi kayak semacam sinetron untuk dipertontonkan...
saya setuju sekali dengan pernyataan bro kelana dan upasaka..terdapat ajaran Buddha Gotama di dunia ini disertai dengan bukti sejarah mengenai riwayatnya (melalui sejumlah penelitian)..kok malah jauh2 mikir ke alam lain yang notabene masih blm jelas ada atau nggak? trus kenapa kok tau nama2 bodhisatta samapi tau si bodhisatta ini punya ikrar ini..bodhisatta itu punya ikrar itu...Buddha ini punya ikrar A samapi Z..darimana taunya?
gw cuman pensran aja..tolong bagi yang berkompoten di mahayana menjawab pertanyaan saya...spy rasa penasaran saya terobati.. thx
Yang lebih gak "LOGIS", katanya BUDDHA SAKYAMUNI sudah mencapai ke-BUDDHA-an sejak berkalpa kalpa yang lalu... Jadi "episode" pencapaian BUDDHA SAKYAMUNI di bawah pohon bodhi itu jadi kayak semacam sinetron untuk dipertontonkan...
ini pernyataan bro dilbert sepihak? sy baca dr berbagai literatur, kok tidak ditemukan hal2 demikian...
ini pernyataan bro dilbert sepihak? sy baca dr berbagai literatur, kok tidak ditemukan hal2 demikian...
ini pernyataan bro dilbert sepihak? sy baca dr berbagai literatur, kok tidak ditemukan hal2 demikian...
Menurut pandangan Mahayana dan Tantrayana, Siddharta Gautama sudah menjadi Samyaksambuddha dari beberapa kehidupan-Nya yang lampau. Beliau lahir menjadi seorang Pangeran Sakya, kemudian menikah dan punya anak, kemudian pergi bertapa, kemudian menyiksa diri selama 6 tahun, dan akhirnya menyatakan dirinya sudah mencapai Pencerahan setelah melepaskan cara penyiksaan diri. Yang dilakukan Buddha Sakyamuni adalah berpura-pura belum menjadi Buddha, kemudian menunjukkan bahwa jalan untuk menjadi Buddha itu cukup terjal. Ini semua dikatakan sebagai upaya kausalya.
Secara singkat, menurut pandangan Mahayana dan Tantrayana: Buddha Sakyamuni adalah makhluk adiduniawi yang merupakan emanasi dari Amitabha Buddha, kemudian terlahir sebagai seorang Sakya, dan berpura-pura menjadi orang biasa hingga akhirnya menyatakan diri-Nya sudah menjadi Samyaksambuddha.
ini pernyataan bro dilbert sepihak? sy baca dr berbagai literatur, kok tidak ditemukan hal2 demikian...
Menurut pandangan Mahayana dan Tantrayana, Siddharta Gautama sudah menjadi Samyaksambuddha dari beberapa kehidupan-Nya yang lampau. Beliau lahir menjadi seorang Pangeran Sakya, kemudian menikah dan punya anak, kemudian pergi bertapa, kemudian menyiksa diri selama 6 tahun, dan akhirnya menyatakan dirinya sudah mencapai Pencerahan setelah melepaskan cara penyiksaan diri. Yang dilakukan Buddha Sakyamuni adalah berpura-pura belum menjadi Buddha, kemudian menunjukkan bahwa jalan untuk menjadi Buddha itu cukup terjal. Ini semua dikatakan sebagai upaya kausalya.
Secara singkat, menurut pandangan Mahayana dan Tantrayana: Buddha Sakyamuni adalah makhluk adiduniawi yang merupakan emanasi dari Amitabha Buddha, kemudian terlahir sebagai seorang Sakya, dan berpura-pura menjadi orang biasa hingga akhirnya menyatakan diri-Nya sudah menjadi Samyaksambuddha.
hmmm...thx bro upasaka
hmmm...thx bro upasaka
You are welcome... Sepertinya referensi ini memang ada di Saddharmapundarika Sutra (*lirik Bro dilbert). Saya kurang hafal di bagian mana atau bab berapa informasi ini tercantum. Sebab Saddharmapundarika Sutra isinya sangat panjang.
Bukan ngarang deh.. Udah pernah dibahas di forum yang sama ini berkali-kali dulu. Coba di cek. Mungkin ada di thread ini juga, coba baca kembali dari hal. 1. :)saya setuju sekali dengan pernyataan bro kelana dan upasaka..terdapat ajaran Buddha Gotama di dunia ini disertai dengan bukti sejarah mengenai riwayatnya (melalui sejumlah penelitian)..kok malah jauh2 mikir ke alam lain yang notabene masih blm jelas ada atau nggak? trus kenapa kok tau nama2 bodhisatta samapi tau si bodhisatta ini punya ikrar ini..bodhisatta itu punya ikrar itu...Buddha ini punya ikrar A samapi Z..darimana taunya?
gw cuman pensran aja..tolong bagi yang berkompoten di mahayana menjawab pertanyaan saya...spy rasa penasaran saya terobati.. thx
Yang lebih gak "LOGIS", katanya BUDDHA SAKYAMUNI sudah mencapai ke-BUDDHA-an sejak berkalpa kalpa yang lalu... Jadi "episode" pencapaian BUDDHA SAKYAMUNI di bawah pohon bodhi itu jadi kayak semacam sinetron untuk dipertontonkan...
ini pernyataan bro dilbert sepihak? sy baca dr berbagai literatur, kok tidak ditemukan hal2 demikian...
saya pikir menentukan
bukti nyatanya
yg sering mempertanyakan eksistensi buddha masa lampau tsb justru umat theravada
dosen saya di kuliah yg umat theravada bilang bahwa buddha amitbha adl buddha legendaries seakan2 amitabha buddha dikesampingkan dan lebih baik blajar ajaran sakyamuni saja
bahkan guru agama saya jelas2 meragukan keberadaan surga sukhavati (dia theravada)
menurut dia tidak ada alam diluar 31 alam
bagi para umat theravada yg belum mengkaji sutra2 mahayana
wajar2 saja timbul keraguan
1. Ini terjadi karena anda tidak bisa membedakan antara meraguan eksistensi Buddha masa lampau dengan meragukan keberadaan pribadi-pribadi Buddha yang ada di Mahayana.
2. Theravadin tidak meragukan keberadaan eksistensi Buddha masa lampau yang tak terhingga karena jelas dinyatakan dalam Sutta bahwa adanya Buddha masa lampau. Yang diragukan adalah nama-nama pribadi Buddha masa lampau yang ada dalam Mahayana berserta pernak-perniknya. Mengapa? Karena tidak ada catatan lengkap mengenai riwayat hidupnya. Contoh, Amitabha, di mana lahirnya, siapa ayah-ibunya, dimana ia mencapai pencerahan, masih hidupkah ia sekarang, apa ajarannya sama dengan Sakyamuni? Pertanyaan-pertanyaan personal dan konseptual ini yang tidak dapat dijawab secara menyeluruh yang membuat keraguan, bukan masalah ada atau tidak adanya Buddha masa lampau.
3. Jika kita sepakat bahwa Buddhisme baik Mahayana maupun Theravada sependapat bahwa ajaran semua Buddha (masa lampau, sekarang dan yang akan datang) adalah sama, maka untuk apa kita melihat ke belakang dan ke depan jika sekarang Buddha Sakyamuni hadir dengan ajaran yang sama dengan Buddha-Buddha yang lain?
4. Masalah pengkajian terhadap sutra-sutra Mahayana, beberapa Theravadin sudah melakukannya, anda bisa melihatnya beberapa di forum ini, di awal topik ini. Dan perlu saya pertanyakan sistem pengkajian yang anda maksud. Jika yang anda maksud dengan pengkajian sutra Mahayana hanya berupa baca-baca kemudian diperbandingkan dengan sutra Mahayana lainnya yang sejenis dalam bahasa yang sama pula, jelas ini bukan sebuah pengkajian namanya. Yang benar-benar pengkajian minimal adalah membandingkan literatur yang tidak sejenis namun berkaitan dan secara lintas bahasa.
Semoga anda memahaminya
saya setuju sekali dengan pernyataan bro kelana dan upasaka..terdapat ajaran Buddha Gotama di dunia ini disertai dengan bukti sejarah mengenai riwayatnya (melalui sejumlah penelitian)..kok malah jauh2 mikir ke alam lain yang notabene masih blm jelas ada atau nggak? trus kenapa kok tau nama2 bodhisatta samapi tau si bodhisatta ini punya ikrar ini..bodhisatta itu punya ikrar itu...Buddha ini punya ikrar A samapi Z..darimana taunya?
gw cuman pensran aja..tolong bagi yang berkompoten di mahayana menjawab pertanyaan saya...spy rasa penasaran saya terobati.. thx
Yang lebih gak "LOGIS", katanya BUDDHA SAKYAMUNI sudah mencapai ke-BUDDHA-an sejak berkalpa kalpa yang lalu... Jadi "episode" pencapaian BUDDHA SAKYAMUNI di bawah pohon bodhi itu jadi kayak semacam sinetron untuk dipertontonkan...
source : ........
Tanya: Apakah baik melakukan ibadah Theravada?
Jawab: Yang menuntut mencapai keBudhaan adalah Mahayana, sedangkan yang
menuntut mencapai Arahat dan Pratyeka Budha adalah Theravada. Jalan apa yang
ditempuh umat manusia itu adalah soal hetu pratyaya (jodoh-jodohan), meski-pun
terdapat fenomena yang berbeda, namun semuanya untuk mencapai kesadaran
kesunyataan dan nirvana. Yang menja-lan-kan ibadah Mahayana jangan mengeritik
Theravada, dan yang menjalankan ibadah Theravada jangan mencela Mahayana.
Tanya: Mahayana dan Theravada bagaimana saling mengeritiknya?
Jawab: Mahayana mengeritik Theravada sebagai egoistis dan berakar kebaikan yang
dangkal. Sedangkan Theravada mengeritik Mahayana sebagai takhyul, seperti bunga
sunyata, bulan dalam air, indah namun tidak praktis. Ini merupakan kritikan yang umum.
Pendapat di atas ini jelas keliru. Theravada mengajarkan jalan mencapai Pencerahan.; boleh menjadi Savaka Buddha, boleh menjadi Pacceka Buddha, boleh juga menjadi Sammasambuddha. Di dalam Theravada, jalan utama untuk menjadi Sammasambuddha ini sama dengan jalan utama untuk menjadi Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. Sedangkan jalan utama untuk menjadi Sammasambuddha di Theravada ini berbeda dengan jalan utama untuk menjadi Samyaksambuddha di Mahayana maupun Tantrayana.
ajran theravada adl catur ariya sacca, kamma, tilakkhana, dlll
yg merupakan ajaran samma sambuddha
tentunya anda tau perngertian arahat
seorang yg berhasil karena melaksanakan ajaran samma sambuddha
kalau mau jadi boddhisattva ya harus jalanin 6 paramita
ajran theravada adl catur ariya sacca, kamma, tilakkhana, dlll
yg merupakan ajaran samma sambuddha
tentunya anda tau perngertian arahat
seorang yg berhasil karena melaksanakan ajaran samma sambuddha
kalau mau jadi boddhisattva ya harus jalanin 6 paramita
Di dalam Theravada, bila seseorang ingin menjadi Sammasambuddha; maka ia harus mengembangkan 10 Parami. 10 Parami tentunya lebih banyak daripada 6 Paramita, bukan?
Setelah mengembangkan 10 Parami, pada kehidupan terakhirnya... ia tetap harus mengembangkan Jalan Mulia Berunsur 8; ia harus mengembangkan Empat Landasan Perhatian; ia harus mengembangkan 7 Faktor Pencerahan. Dengan cara seperti inilah seorang Sammasambuddha akan muncul di dunia ini.
Bagaimana proses dan tahap-tahap munculnya Samyaksambuddha menurut Anda? Apakah dengan mengembangkan 6 Paramita lalu tiba-tiba "JREEENNGGGG"... *berubah* menjadi Samyaksambuddha?
haahaha
coba tunjukin suttanya
kan therajana apa2 bawa2 sutta
kalo omongan pribadi sih gk laku disini
saya sih ikut permainan aja => apa2 sutta => permainan anak sd
saya terpaksa turyn kasta dari sma
untuk melayani bocah2
Di dalam Theravada, bila seseorang ingin menjadi Sammasambuddha; maka ia harus mengembangkan 10 Parami. 10 Parami tentunya lebih banyak daripada 6 Paramita, bukan?
Setelah mengembangkan 10 Parami, pada kehidupan terakhirnya... ia tetap harus mengembangkan Jalan Mulia Berunsur 8; ia harus mengembangkan Empat Landasan Perhatian; ia harus mengembangkan 7 Faktor Pencerahan. Dengan cara seperti inilah seorang Sammasambuddha akan muncul di dunia ini.
anda agak berputar
coba tegaskan suttanya apa untuk menjelaskan hal diatas
saya bukan minta riwayat buddha dalam kehidupan terakhirnya
Di dalam Theravada, bila seseorang ingin menjadi Sammasambuddha; maka ia harus mengembangkan 10 Parami. 10 Parami tentunya lebih banyak daripada 6 Paramita, bukan?
Setelah mengembangkan 10 Parami, pada kehidupan terakhirnya... ia tetap harus mengembangkan Jalan Mulia Berunsur 8; ia harus mengembangkan Empat Landasan Perhatian; ia harus mengembangkan 7 Faktor Pencerahan. Dengan cara seperti inilah seorang Sammasambuddha akan muncul di dunia ini.
anda agak berputar
coba tegaskan suttanya apa untuk menjelaskan hal diatas
saya bukan minta riwayat buddha dalam kehidupan terakhirnya
Tidak ada Sutta yang menjelaskan hal di atas.
berarti pendapat sendiri yg tidak dapat dibuktikan ?
bila begitu kata theravada di postingan anda mungkin harus diralat
baiklah bagaimana anda mempertangungjawabkan pernyataan anda diatas tanpa sutta ?
karena theravada hanya bersumber dari tripitaka
tolong beritahu saya bagian mana yg menerangkan .....
jalan untuk menjadi boddhisattva, sebelum samma sambuddha
mengenai pranidhana, paramita apa saja,
hmmm...thx bro upasaka
You are welcome... Sepertinya referensi ini memang ada di Saddharmapundarika Sutra (*lirik Bro dilbert). Saya kurang hafal di bagian mana atau bab berapa informasi ini tercantum. Sebab Saddharmapundarika Sutra isinya sangat panjang.
Blunder terbesar Mahayana kelihatannya memang ada di Saddharmapundarika Sutra.
1. gk usa ngeles
intinya kan meragukan keaslian sutra2 mahayana
2. berarti semua buddha di masa lampau harus mempunyai riwayat yg lengkap
kalau tidak semuanya pantas diragukan kebenarannya ?
3. karena sumpah amitabha buddha dapat membebaskan makhluk ke tanah sucinya
avalokitesvara menyelamatkan semua makhluk
ksitigarbha dengan sumpahh agungnya
memang ajaran sama
tapi sumpahnya tak sama
4 pendapat pribadi
gk berlaku bagi saya
Dalam Pali ada juga Upaya Kosalla - skillful means. Tetapi tidak sama dengan upaya kausalya yang dalam Saddharmapundarika Sutra.hmmm...thx bro upasaka
You are welcome... Sepertinya referensi ini memang ada di Saddharmapundarika Sutra (*lirik Bro dilbert). Saya kurang hafal di bagian mana atau bab berapa informasi ini tercantum. Sebab Saddharmapundarika Sutra isinya sangat panjang.
Blunder terbesar Mahayana kelihatannya memang ada di Saddharmapundarika Sutra.
Benar, saya sependapat. Apapun yang kita bahas mengenai Mahayana maka ujung-ujungnya adalah Saddharmapundarika Sutra, sutra dimana istilah hinayana muncul pertama kali, dimana isyilah upaya kausalya muncul. Nampaknya kita perlu dibicarakan khusus mengenai sutra ini.
Dalam Pali ada juga Upaya Kosalla - skillful means. Tetapi tidak sama dengan upaya kausalya yang dalam Saddharmapundarika Sutra.hmmm...thx bro upasaka
You are welcome... Sepertinya referensi ini memang ada di Saddharmapundarika Sutra (*lirik Bro dilbert). Saya kurang hafal di bagian mana atau bab berapa informasi ini tercantum. Sebab Saddharmapundarika Sutra isinya sangat panjang.
Blunder terbesar Mahayana kelihatannya memang ada di Saddharmapundarika Sutra.
Benar, saya sependapat. Apapun yang kita bahas mengenai Mahayana maka ujung-ujungnya adalah Saddharmapundarika Sutra, sutra dimana istilah hinayana muncul pertama kali, dimana isyilah upaya kausalya muncul. Nampaknya kita perlu dibicarakan khusus mengenai sutra ini.
[at] Padmakumara
Saya sangat ragu apakah Anda benar dahulunya sudah lama belajar Aliran Theravada di sekolah maupun vihara...
Benar, Sdr. Jerry, oleh karena itu saya tidak katakan istilah ini pertama kali muncul, hanya menyebutkan "upaya kausalya muncul" (dalam bahasa Sanskerta tentunya, karena saya masih ragu apakah Upaya Kosalla [Pali] adalah sama dengan upaya kausalya)Bro Kelana,
1. gk usa ngeles
intinya kan meragukan keaslian sutra2 mahayana
Argumen anda ini adalah sebuah tekhnik untuk menghindar dari persoalan karena tidak bisa menjawab. Sorrry saya tidak terpengaruh.
Isu utama kita adalah percaya atau tidak Buddha masa lalu bukan percaya atau tidak percaya sutra Mahayana. Saya rasa anda yang menghindar dari persoalan yang ada utarakan sendiri.
Quote2. berarti semua buddha di masa lampau harus mempunyai riwayat yg lengkap
kalau tidak semuanya pantas diragukan kebenarannya ?
Kenapa tidak?
Dan kenapa kita harus percaya kalau memang meragukan?
( ini 2 petanyaan loh)Quote3. karena sumpah amitabha buddha dapat membebaskan makhluk ke tanah sucinya
avalokitesvara menyelamatkan semua makhluk
ksitigarbha dengan sumpahh agungnya
memang ajaran sama
tapi sumpahnya tak sama
Ini berarti anda sependapat bahwa semua Buddha memiliki ajaran yang sama. Berarti ketika Buddha Sakyamuni mengajarkan bahwa: “Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan”, --- maka semua Buddha masa lampau dan yang akan datang akan mengajarkan hal ini. Dan ini berarti tidak ada hal lain yang dapat melindungi diri sendiri, termasuk sumpah seorang Buddha atau Bodhisatva.
Ketika Buddha Sakyamuni mengajarkan bahwa Nirvana yang tertinggi, maka semua Buddha mengajarkan yang sama, maka semua tanah Buddha bukanlah tujuan yang tertinggi.Quote4 pendapat pribadi
gk berlaku bagi saya
Saya anggap anda tidak bisa menanggapi argumen saya dengan baik mengenai pengkajian, mungkin karena anda miskin akan pengetahuan mengenai pengkajian, mungkin.
Semoga ada lebih elegan dalam berdiskusi dan telepas dari "theravada phobia"
Benar, Sdr. Jerry, oleh karena itu saya tidak katakan istilah ini pertama kali muncul, hanya menyebutkan "upaya kausalya muncul" (dalam bahasa Sanskerta tentunya, karena saya masih ragu apakah Upaya Kosalla [Pali] adalah sama dengan upaya kausalya)Bro Kelana,
Seharusnya memang artinya sama yaitu skillful means. Tetapi saya tidak melihat di bagian mana skillful-nya di yang belakangan. ;D
Kalau boleh jujur, menurut saya iya. Ada perbedaan antara pengertian upaya kosalla dalam Nikaya Pali dengan upaya kausalya.Benar, Sdr. Jerry, oleh karena itu saya tidak katakan istilah ini pertama kali muncul, hanya menyebutkan "upaya kausalya muncul" (dalam bahasa Sanskerta tentunya, karena saya masih ragu apakah Upaya Kosalla [Pali] adalah sama dengan upaya kausalya)Bro Kelana,
Seharusnya memang artinya sama yaitu skillful means. Tetapi saya tidak melihat di bagian mana skillful-nya di yang belakangan. ;D
;D artinya saya rasa sama, tapi maksud saya maknanya sebenarnya sama atau tidak, kalau tidak sama, kok bisa tidak sama, begitu. Saya pribadi belum sempat baca literatur yang membahas hal ini. Saya sempat geregetan melihat sedikit-sedikit upaya kausalya, sedikit-sedikit upaya kausalya, bunuh = upaya kausalya, Aapkah anda merasa ada distorsi makna di sini?
1. jadi anda gk brani ngaku ya
yauda de . saya gk biasa menghadapi penge*** yg gk gentle
2 . kalau semua orang sepertri anda
maka mahayna adl ajran yg agak tahyul ?
karna meragukan ?
3 terlalu berbelit2
jangan terobsesi dalam diskusi
santai saja dengan bahasa ringan dan padat
4 baguslah anda ngaku itu argumen pribadiMaaf, ini pendapat pribadi anda, saya tidak menerima pendapat pribadi.
gk berdasar
kadang orang merasa benar di jalan kecongkakan
Silakan dibaca 5 bagian Upaya Kausalya Sutra ini, terpaksa saya potong pendek-pendek saking panjangnya Sutra ini dengan perbandingan terbalik terhadap muatan dhamma yang terkandung di dalamnya.
Gimana pun para scholar atau meditator dari Mahayanis atau Tantrayanis mendefinisikan Upaya Kausalya pasti merujuk berdasarkan Upaya Kausalya Sutra di atas bukan? Jika YA, ya ini acuan langsungnya. ;D
Silakan dibaca 5 bagian Upaya Kausalya Sutra ini, terpaksa saya potong pendek-pendek saking panjangnya Sutra ini dengan perbandingan terbalik terhadap muatan dhamma yang terkandung di dalamnya.
Saya coba untuk menganalisanya. Thanks Sdr. Jerry.
Tapi ada tidak literatur yang bukan sutra, kamus misalnya atau para ahli yang membicarakan mengenai Upaya Kausalya?
Di dalam Theravada, bila seseorang ingin menjadi Sammasambuddha; maka ia harus mengembangkan 10 Parami. 10 Parami tentunya lebih banyak daripada 6 Paramita, bukan?
saya lebih tegaskan lagi
jadi apakah bisa dibilang omong kosong kalo bicara berdasar pendapat sendiri ?
karna tak ada sutta
yg saya tekankan kata theravadanay
menurut saya pencerahan ada banyak jalan
[at] PadmakumaraJantan? Itu lambang gendernya aja female.. ^-^
Untuk keempat kalinya: "Lalu bagaimana proses dan tahap-tahap Pencerahan menurut Anda?"
*Saya rasa Anda cukup jantan sebagai seorang pria. Kalau Anda tidak tahu, katakan tidak tahu. Tidak perlu sengaja melewatkan pertanyaan saya ini.
Jantan? Itu lambang gendernya aja female.. ^-^
Trus kenapa Mahaguru cuman tertarik ama female? Koq ga tertarik ama male juga sekalian? >:DJantan? Itu lambang gendernya aja female.. ^-^
Menurut ajaran Mahaguru-nya Padmakumara; female adalah male, male adalah female.
Trus kenapa Mahaguru cuman tertarik ama female? Koq ga tertarik ama male juga sekalian? >:D
Gimana pun para scholar atau meditator dari Mahayanis atau Tantrayanis mendefinisikan Upaya Kausalya pasti merujuk berdasarkan Upaya Kausalya Sutra di atas bukan? Jika YA, ya ini acuan langsungnya. ;D
Silakan dibaca 5 bagian Upaya Kausalya Sutra ini, terpaksa saya potong pendek-pendek saking panjangnya Sutra ini dengan perbandingan terbalik terhadap muatan dhamma yang terkandung di dalamnya.
Saya coba untuk menganalisanya. Thanks Sdr. Jerry.
Tapi ada tidak literatur yang bukan sutra, kamus misalnya atau para ahli yang membicarakan mengenai Upaya Kausalya?
My pleasure Om Kelana.
_/\_
This is well illustrated by another sutra entirely devoted to skill-in-means, with the shortened title of Upayakausalya Sutra. This sutra contains a series of questions and answers concerning legendary events in the life of Siddhartha, explaining that they were not what they appeared to be, but served the higher purpose of the Buddha’s teaching. For example, why did the Buddha, free of karmic hindrances and omniscient, once return empty-handed from his begging round? This was, it seems, out of his compassion for monks in the future who similarly will return occasionally empty-handed. Sometimes the person who composed the sutra seems to have been at a loss, or had to use some ingenuity, to explain a feature of the Buddha’s conduct. Why did the Buddha, when still a Bodhisattva just after his birth, walk seven steps?
"If it had been more beneficial to sentient beings to walk six steps than to walk seven steps, the Bodhisattva would have walked six steps. If it had been more beneficial to sentient beings to walk eight steps than to walk seven steps, the Bodhisattva would have walked eight steps. Since it was most beneficial to sentient beings to walk seven steps, he walked seven steps, not six or eight, with no one supporting him."(Chang 1983: 445)
The teaching of skill-in-means is of some importance when considering Mahayana ethics, since there is a tendency to subordinate all to the overriding concern of a truly compassionate motivation accompanied by wisdom. Thus it can be skill-in-means for a Bodhisattva to act in a way contrary to the ‘narrower’ moral or monastic code of others. The Upayakausalya Sutra recounts how the Buddha in a previous life as a celibate religious student had sexual intercourse in order to save a poor girl who threatened to die for love of him (ibid.: 433). A story well known in Mahayana circles tells similarly how in a previous life, while still a Bodhisattva, the Buddha killed a man. This was the only way to prevent that man from killing 500 others and consequently falling to the lowest hell for a very long time. The Bodhisattva’s act was motivated by pure compassion; he realized he was acting against the moral code but he was realistically prepared to suffer in hell himself out of his concern for others. As a result, the sutra assures us, not only did the Bodhisattva progress spiritually and avoid hell, but the potential murderer was also reborn in a heavenly realm (ibid.: 456–7).
Sumber: Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundation
Dear all,
Upaya Kausalya Sutra yang dimaksud bukan hanya bab Upaya Kausalya dalam Saddharmapundarika Sutra seperti yang dikutip oleh sdr. Jerry, melainkan ada juga sutra khusus yang membicarakan/mempertanyakan tindak tanduk Bodhisattva Sakyamuni selama pengembaraannya dalam samsara:QuoteThis is well illustrated by another sutra entirely devoted to skill-in-means, with the shortened title of Upayakausalya Sutra. This sutra contains a series of questions and answers concerning legendary events in the life of Siddhartha, explaining that they were not what they appeared to be, but served the higher purpose of the Buddha’s teaching. For example, why did the Buddha, free of karmic hindrances and omniscient, once return empty-handed from his begging round? This was, it seems, out of his compassion for monks in the future who similarly will return occasionally empty-handed. Sometimes the person who composed the sutra seems to have been at a loss, or had to use some ingenuity, to explain a feature of the Buddha’s conduct. Why did the Buddha, when still a Bodhisattva just after his birth, walk seven steps?
"If it had been more beneficial to sentient beings to walk six steps than to walk seven steps, the Bodhisattva would have walked six steps. If it had been more beneficial to sentient beings to walk eight steps than to walk seven steps, the Bodhisattva would have walked eight steps. Since it was most beneficial to sentient beings to walk seven steps, he walked seven steps, not six or eight, with no one supporting him."(Chang 1983: 445)
The teaching of skill-in-means is of some importance when considering Mahayana ethics, since there is a tendency to subordinate all to the overriding concern of a truly compassionate motivation accompanied by wisdom. Thus it can be skill-in-means for a Bodhisattva to act in a way contrary to the ‘narrower’ moral or monastic code of others. The Upayakausalya Sutra recounts how the Buddha in a previous life as a celibate religious student had sexual intercourse in order to save a poor girl who threatened to die for love of him (ibid.: 433). A story well known in Mahayana circles tells similarly how in a previous life, while still a Bodhisattva, the Buddha killed a man. This was the only way to prevent that man from killing 500 others and consequently falling to the lowest hell for a very long time. The Bodhisattva’s act was motivated by pure compassion; he realized he was acting against the moral code but he was realistically prepared to suffer in hell himself out of his concern for others. As a result, the sutra assures us, not only did the Bodhisattva progress spiritually and avoid hell, but the potential murderer was also reborn in a heavenly realm (ibid.: 456–7).
Sumber: Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundation
Jadi upaya kausalya yang bersifat melanggar aturan moralitas (sila) hanya dilakukan Bodhisattva berlandaskan kebijaksanaan (prajna) dan cinta kasih (karuna). Saya rasa orang biasa seperti kita tidak bisa mengklaim bahwa perbuatan buruk kita untuk menyelamatkan orang lain dilandasi dengan prajna dan karuna yang demikian; oleh sebab itu bukan upaya kausalya.
1. jadi anda gk brani ngaku ya
yauda de . saya gk biasa menghadapi penge*** yg gk gentle
Maaf, saya tidak akan terseret pada teknik pengalihan anda ini. Untuk kedua kalinya anda mengalihkan isu utama. Dan ini adalah pendapat pribadi anda, maaf saya tidak merima pendapat pribadi. Isu utamanya adalah percaya atau tidak Buddha masa lampau bukan percaya atau tidak sutra Mahayana.Quote2 . kalau semua orang sepertri anda
maka mahayna adl ajran yg agak tahyul ?
karna meragukan ?
Maaf, saya tidak menerima pendapat pribadi.
Anda tidak menyangkal argumen saya, berarti ada 2 kemungkinan : anda tidak tahu dan anda sependapat. Untuk ketiga kalinya anda menghindar.
Kembali ke pertanyaan
Kenapa tidak?
Dan kenapa kita harus percaya kalau memang meragukan?
( ini 2 petanyaan loh)Quote3 terlalu berbelit2
jangan terobsesi dalam diskusi
santai saja dengan bahasa ringan dan padat
Maaf, mengecewakan anda, saya adalah orang yang serius dalam berdiskusi. Anda bisa bermain-main dan mengalihkan isu di topik lain dengan rekan-rekan yang lain, tapi tidak dengan saya.
Tidak ada tanggapan penolakan dari anda mengenai ajaran semua Buddha adalah sama dan anda sudah mengatakan ya sama, berarti perkataan saya benar.Quote4 baguslah anda ngaku itu argumen pribadiMaaf, ini pendapat pribadi anda, saya tidak menerima pendapat pribadi.
gk berdasar
kadang orang merasa benar di jalan kecongkakan
Tidak ada pengakuan dari saya. Semua tahu itu.
Tidak ada argumen anda mengenai cara pengkajian sutra, berarti mengisyaratkan anda tidak memiliki pengetahuan akan hal tersebut. Maaf, ternyata saya salah berbicara kepada orang yang tidak tepat mengenai pengkajian sutra.
Saya rasa cukup bagi saya untuk menanggapi anda (saya sudah memberikan anda kesempatan 3 kali), Sdr. Padmakumara, selain anda tidak serius dalam berdiskusi, mengalihkan isu, berargumen tanpa dasar, saya rasa anda bukan narasumber yang baik dan tepat untuk menjawab ajaran Mahayana. OMG! Saya lupa anda dari ZFZ bukan dari Mahayana bahkan bukan Buddhisme, pantas anda tidak bisa menjawab dengan baik mengenai Mahayana. Karena bukan narasumber yang baik dan tepat, maka semua ucapan anda saya pandang angin lalu. Silahkan anda berargumen sendiri, entah mau berargumen apapun silahkan, menjelek-jelekkan saya silahkan, toh tetap anda tidak bisa menjawab pertanyaan saya. ^-^
Demikian, selanjutnya no comment untuk anda.
Di dalam Theravada, bila seseorang ingin menjadi Sammasambuddha; maka ia harus mengembangkan 10 Parami. 10 Parami tentunya lebih banyak daripada 6 Paramita, bukan?
saya lebih tegaskan lagi
jadi apakah bisa dibilang omong kosong kalo bicara berdasar pendapat sendiri ?
karna tak ada sutta
yg saya tekankan kata theravadanay
menurut saya pencerahan ada banyak jalan
Anda tahu arti Sutta tidak? Sutta adalah khotbah Sang Buddha. Inti khotbah Sang Buddha adalah mengenai "dukkha dan terhentinya dukkha". Untuk mencapai terhentinya dukkha, seseorang bisa memilih untuk menjadi Savaka Buddha, Pacceka Buddha, maupun Sammasambuddha.
Dan perlu diingat, apa yang tertulis di Tipitaka (Kanon Pali - Theravada) itu tidak hanya Sutta. Theravadin menggunakan referensi tidak sebatas Sutta, namun juga menggunakan Vinaya Pitaka, Abhidhamma Pitaka, Atthakatha, dan juga Tika. Jadi selama referensi yang saya gunakan berasal dari sumber-sumber ini; itu namanya valid.
Kalau pun Anda memang benar sudah lama mempelajari Theravada di sekolah dan di vihara, menurut saya dulu Anda pasti kurang belajar.
[at] Padmakumara
Untuk keempat kalinya: "Lalu bagaimana proses dan tahap-tahap Pencerahan menurut Anda?"
*Saya rasa Anda cukup jantan sebagai seorang pria. Kalau Anda tidak tahu, katakan tidak tahu. Tidak perlu sengaja melewatkan pertanyaan saya ini.
[at] Padmakumara
Untuk keempat kalinya: "Lalu bagaimana proses dan tahap-tahap Pencerahan menurut Anda?"
*Saya rasa Anda cukup jantan sebagai seorang pria. Kalau Anda tidak tahu, katakan tidak tahu. Tidak perlu sengaja melewatkan pertanyaan saya ini.
anda betul betul buta
sudah dijawab dibilang belum
pantas saja jawaban anda selama ini gk nyambung
pertanggung jawabkan perkataan anda yg dibold
ayo mana sumbernya ?
jangan ngeles lagi de
kayak kelana
kelana itu emang persis kaya namanya
pikirannnya berkelana trus gk jelas'
omongannnya ngawur
kalo terjebak langsung kabur
anda juga mau begitu ?
akhir kata anak sd sampai kapanpun merasa dirinya benar ngomongin hal anak smp
akhirnya saya ngerti perumpamaan itu
mahayana ngerti theravada, tidak sebaliknya
tantrayana ngerti mahayana dan theravada, tapi tidak sebaliknya
[at] Padmakumara
Untuk keempat kalinya: "Lalu bagaimana proses dan tahap-tahap Pencerahan menurut Anda?"
*Saya rasa Anda cukup jantan sebagai seorang pria. Kalau Anda tidak tahu, katakan tidak tahu. Tidak perlu sengaja melewatkan pertanyaan saya ini.
anda betul betul buta
sudah dijawab dibilang belum
pantas saja jawaban anda selama ini gk nyambung
Anda hanya menjawab "ada banyak jalan menuju Pencerahan". Sedangkan yang saya tanyakan adalah: "Bagaimana proses dan tahap-tahap seseorang akhirnya mencapai Pencerahan?"
Mengerti maksud pertanyaan saya? Maksudnya adalah "apa saja yang terjadi pada fisik atau batin seseorang pada saat mencapai Pencerahan (menjadi Buddha)? Sebagai referensi, kalau di Theravada, dikatakan bahwa Siddhattha Gotama mencapai Pencerahan melalui tahapan:
- mencabut 5 rintangan batin
- memasuki jhana-jhana
- mengarahkan pikiran ke pandangan terang
- mengarahkan pikiran ke bentuk-bentuk iddhi
- mengarahkan pikiran ke kemampuan dibbasota
- mengarahkan pikiran ke kemampuan ceto-pariyanana
- mengarahkan pikiran ke kemampuan pubbenivasanussatinana
- mengarahkan pikiran ke pengetahuan tentang penghancuran asavakkhayanana
- mengetahui sebagaimana "inilah Jalan yang menuju lenyapnya penderitaan"
--------------------------------------------------
Untuk kelima kalinya: "Lalu bagaimana proses dan tahap-tahap Pencerahan menurut Anda?"
pertanggung jawabkan perkataan anda yg dibold
ayo mana sumbernya ?
jangan ngeles lagi de
kayak kelana
kelana itu emang persis kaya namanya
pikirannnya berkelana trus gk jelas'
omongannnya ngawur
kalo terjebak langsung kabur
anda juga mau begitu ?
akhir kata anak sd sampai kapanpun merasa dirinya benar ngomongin hal anak smp
akhirnya saya ngerti perumpamaan itu
mahayana ngerti theravada, tidak sebaliknya
tantrayana ngerti mahayana dan theravada, tapi tidak sebaliknya
*padmakumara mode on*
anda betul betul buta
sudah saya jelaskan bahwa sumbernya ada di Buddhavamsa.
pantas saja jawaban anda selama ini gak nyambung
*padmakumara mode off*
enak aka tinggal ngomomng
baru kali ini ketemu member yg cuma kasitau judul tapi gk brani nunjukin
ayo tunjukin. bisa aja anda mau nipu
saya sama sekali tidak tau karena belum merasakannya
menurut saya pencerahan itu tidak dapat dijelaskan
pertanggung jawabkan perkataan anda yg dibold
ayo mana sumbernya ?
jangan ngeles lagi de
kayak kelana
kelana itu emang persis kaya namanya
pikirannnya berkelana trus gk jelas'
omongannnya ngawur
kalo terjebak langsung kabur
anda juga mau begitu ?
akhir kata anak sd sampai kapanpun merasa dirinya benar ngomongin hal anak smp
akhirnya saya ngerti perumpamaan itu
mahayana ngerti theravada, tidak sebaliknya
tantrayana ngerti mahayana dan theravada, tapi tidak sebaliknya
*padmakumara mode on*
anda betul betul buta
sudah saya jelaskan bahwa sumbernya ada di Buddhavamsa.
pantas saja jawaban anda selama ini gak nyambung
*padmakumara mode off*
Info yang menarik, Sdr. Seniya. Thanks
Tapi sepertinya itu berkaitan dengan Bodhisatva bukan Buddha. Seorang Bodhisatva, seperti semua tradisi Buddhisme mengakui bahwa seorang bodhisatva adalah dalam taraf pelatihan, pengembangan paramita, dimana buah dari paramita belum terkumpul, jadi wajar saja ada kondisi yang membuat seorang bodhisatva melakukan hal tersebut karena tidak ada pilihan. Tapi seorang Buddha melakukan amoral??? saya masih ragu. Mungkin Sdr. Seniya atau rekan yang lain memiliki info seorang Buddha melakukan amoral dengan alasan upaya kausalya selain "white lie" dalam Saddharmapundarika Sutra?
In the sutra [Saddharmapundarika Sutra/Lotus Sutra] the Buddha, Sakyamuni Buddha, is at pains to make it quite clear to his audience that he, as a Buddha, is infinitely superior both cognitively and spiritually to those who have attained other religious goals, Buddhist and non-Buddhist:
"The Hero of the World is incalculable.
Among gods, worldlings,
And all varieties of living beings,
None can know the Buddha.
As to the Buddha’s strengths, . . . his sorts of fearlessness, . . .
His deliverances, . . . and his samadhis,
As well as the other dharmas of a Buddha,
None can fathom them."(Hurvitz 1976: 23)
Nevertheless he, the Buddha, has employed his skill-in-means and devices (upaya/upayakausalya) in order to adapt his teaching to the level of his hearers. This teaching of skill-in-means, or skilful means, is a key doctrine of the Mahayana, and one of the key teachings of the Lotus Sutra. It was undoubtedly one of the factors responsible for the success of the Lotus Sutra in East Asia. Among the principal problems which faced Buddhist missionaries during the early transmission of Buddhism to China, and thence, of course, to other countries in East Asia, was on the one hand the quantity of apparently contradictory teachings attributed to the Buddha, and on the other a pressing need to adapt the Buddhist message to suit cultures very different from those in India. Broadly speaking, in the Lotus Sutra the device of skill-in-means – the Buddha’s cleverness in applying appropriate strategems – is used to suggest that out of his infinite compassion the Buddha himself adapted his teaching to the level of his hearers. Where Buddhas are concerned, all is subordinate to their compassionate intentions that entail appropriate behaviour in that particular context. Hence, although the corpus of teachings attributed to the Buddha, if taken as a whole, embodies many contradictions, these contradictions are only apparent. Teachings are appropriate to the context in which they are given and thus their contradictions evaporate. The Buddha’s teachings are to be used like ladders, or, to apply an age-old Buddhist image, like a raft employed to cross a river. There is no point in carrying the raft once the journey has been completed and its function fulfilled. When used, such a teaching transcends itself.
The doctrine of skill-in-means prompted the Chinese Buddhist philosophical schools to produce schemata known as panjiao (p’an-chiao). Each school ranks the Buddha’s teaching in progression leading up to the highest teaching, the ‘most true’ teaching, embodied in the principal sutra of that school. Thus each school explains the purpose for teaching each doctrine, and the reason why only its own sutra embodies the final teaching – inasmuch as the final teaching can be captured directly or indirectly in words.
Moreover the doctrine of skill-in-means was taken to entail an apparently infinite flexibility in adapting the teaching of the Buddha to suit changing circumstances. The Buddha teaches out of his infinite compassion for sentient beings. All teachings are exactly appropriate to the level of those for whom they were intended. Any adaptation whatsoever, provided it is animated by the Buddha’s compassion and wisdom, and is suitable for the recipient, is a part of or relatively acceptable to Buddhism. The Buddha, or indeed in some contexts a Bodhisattva, is quite capable of teaching even non-Buddhist teachings if that is for the benefit of beings. In point of fact, the application of skill-in-means in Mahayana Buddhism comes to extend beyond simply adapting the doctrine to the level of the hearers to refer to any behaviour by the Buddha or Bodhisattvas which is perhaps not what one might expect, but which is done through the motivation of compassion, animated by wisdom, for the benefit of others.
saya sama sekali tidak tau karena belum merasakannya
menurut saya pencerahan itu tidak dapat dijelaskan
Lalu Mahaguru Anda yang katanya sudah mencapai Pencerahan itu pun tidak bisa menjelaskan tahap-tahap menuju Pencerahan?
enak aka tinggal ngomomng
baru kali ini ketemu member yg cuma kasitau judul tapi gk brani nunjukin
ayo tunjukin. bisa aja anda mau nipu
Buddhavamsa saat ini hanya tersedia dalam Bahasa Pali dan Bahasa Inggris. Untuk memudahkan Anda membacanya dalam Bahasa Indonesia, saya sudah memberi Anda link RAPB (http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/) dari kemarin. Sekali lagi, baca RAPB di sini => http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/ (http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/).
Sepertinya Anda tidak tahu RAPB... Sedikit informasi untuk Anda, RAPB (Riwayat Agung Para Buddha) adalah sebuah kompilasi yang mengandung intisari Buddhavamsa plus komentar-komentar, yang merupakan salah satu hasil karya tim DhammaCitta Press; yang menerjemahkannya langsung dari tulisan Mingun Sayadaw. Mingun Sayadaw adalah salah seorang bhikkhu dari Myanmar yang memegang gelar tipitakadhara (orang yang menghapal seluruh isi Tipitaka) dan pernah mendapatkan penghargaan dari Guiness Book Records sebagai manusia dengan ingatan paling kuat.
Saya sudah menjawab dari kemarin. Anda saja yang tidak paham-paham... Umat Buddha hari gini tidak tahu kalau di Theravada ada jalan untuk menjadi Sammasambuddha? Kemana saja Anda, Bro?
enak aka tinggal ngomomng
baru kali ini ketemu member yg cuma kasitau judul tapi gk brani nunjukin
ayo tunjukin. bisa aja anda mau nipu
Buddhavamsa saat ini hanya tersedia dalam Bahasa Pali dan Bahasa Inggris. Untuk memudahkan Anda membacanya dalam Bahasa Indonesia, saya sudah memberi Anda link RAPB (http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/) dari kemarin. Sekali lagi, baca RAPB di sini => http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/ (http://dhammacitta.org/perpustakaan/riwayat-agung-para-buddha/).
Sepertinya Anda tidak tahu RAPB... Sedikit informasi untuk Anda, RAPB (Riwayat Agung Para Buddha) adalah sebuah kompilasi yang mengandung intisari Buddhavamsa plus komentar-komentar, yang merupakan salah satu hasil karya tim DhammaCitta Press; yang menerjemahkannya langsung dari tulisan Mingun Sayadaw. Mingun Sayadaw adalah salah seorang bhikkhu dari Myanmar yang memegang gelar tipitakadhara (orang yang menghapal seluruh isi Tipitaka) dan pernah mendapatkan penghargaan dari Guiness Book Records sebagai manusia dengan ingatan paling kuat.
Saya sudah menjawab dari kemarin. Anda saja yang tidak paham-paham... Umat Buddha hari gini tidak tahu kalau di Theravada ada jalan untuk menjadi Sammasambuddha? Kemana saja Anda, Bro?
saya cuma butuh post kata2 langsung
tidak perlu tipuan seperti itu
mahasi sayadaw yang itu saya pernah dengar
apakah masi hidup dia ?
cuma menghafal, so what
rapb apakah sama dengan buku riwayat agung para buddha yg sudah terbit dalam 3 jilid ?
kalau mau berhasil....
menghormati guru
menghargai dhamma
tekun bersadhana
saya cuma butuh post kata2 langsung
tidak perlu tipuan seperti itu
mahasi sayadaw yang itu saya pernah dengar
apakah masi hidup dia ?
cuma menghafal, so what
rapb apakah sama dengan buku riwayat agung para buddha yg sudah terbit dalam 3 jilid ?
kalau mau berhasil....
menghormati guru
menghargai dhamma
tekun bersadhana
- Upasaka bertanya: Apa itu Pencerahan?
- Padmakumara menjawab: Pencerahan itu tidak bisa dijelaskan.
- Upasaka bertanya: Kalau tidak bisa dijelaskan, bagaimana kita tahu Pencerahan itu seperti apa?
- Padmakumara: Dengan cara menghormati guru, menghargai dharma dan tekun bersadhana; maka akan tahu seperti apa Pencerahan itu.
- Upasaka bertanya: Bagaimana tahap-tahap menuju Pencerahan itu?
- Padmakumara bertanya: Dengan cara menghormati guru, menghargai dharma dan tekun bersadhana; maka akan tahu seperti apa Pencerahan itu.
- Upasaka bertanya: Yang saya tanya, apa saja yang terjadi pada fisik atau batin seseorang saat mencapai Pencerahan? Sebagai referensi, Siddhattha Gotama memasuki tahapan-tahapan meditatif seperti yang sudah saya tulis kemarin...
- Padmakumara menjawab: Pencerahan tidak bisa dijelaskan.
- Upasaka jadi: ................................-----------------------------
Tolong buka mata Anda, Bro. Yang saya tanyakan adalah "bagaimana tahapan atau fase-fase yang terjadi pada seseorang hingga akhirnya tercerahkan?". Jawaban Anda di atas (yang saya cetak huruf tebal biru) lebih condong disebut sebagai metode untuk mencapai Pencerahan. Ada jurang perbedaan besar antara pertanyaan saya dengan jawaban Anda. Kalau intelektual Anda tidak sanggup mencerna kata-kata saya, akan saya berikan ilustrasi sebagai berikut....
Upasaka bertanya: "Bagaimana tahap-tahap yang terjadi pada pikiran seseorang saat mengalami mimpi dalam tidur?"
Padmakumara menjawab: "Kalau mau mengalami mimpi dalam tidur, harus berbaring di ranjang, pejamkan mata, dan tenangkan diri Anda."
Saya harap Anda paham kali ini...
*Untuk kedua kalinya: "Lalu Mahaguru Anda yang katanya sudah mencapai Pencerahan itu pun tidak bisa menjelaskan tahap-tahap menuju Pencerahan?"
saya cuma butuh post kata2 langsung
tidak perlu tipuan seperti itu
mahasi sayadaw yang itu saya pernah dengar
apakah masi hidup dia ?
cuma menghafal, so what
rapb apakah sama dengan buku riwayat agung para buddha yg sudah terbit dalam 3 jilid ?
Baiklah, kalau Anda ingin mempermalukan diri Anda lebih jauh lagi. Kali ini akan saya cantumkan sumber sejelas-jelasnya...---------------------------------
Referensi yang menjelaskan bagaimana seseorang yang bertekad untuk menjadi Sammasambuddha (Bodhisatta) perlu mengembangkan Parami, dapat dibaca di RAPB I - Bab 3, halaman 73. Urutan-urutan Parami dibahas lebih lanjut di RAPB I - Bab 3, halaman 76. Fungsi dan karakteristik dari pentingnya Parami bagi seorang Bodhisatta diuraikan di RAPB I - Bab 3, halaman 85. Kondisi yang diperlukan untuk mengumpulkan Parami dibahas di RAPB I - Bab 3, halaman 94. ... Cara mempraktikkan 10 Parami di RAPB I - Bab 3, halaman 142. ... dan masih banyak lagi metode untuk menjadi Sammasambuddha yang dibahas di sana.---------------------------------
Ini semua bersumber dari Buddhavamsa, salah satu kitab yang terdapat dalam Khuddaka Nikaya di Tipitaka Pali (Theravada). Di dalam Tripitaka Mahayana, justru metode sejelas ini tidak dapat ditemukan. Tripitaka Mahayana juga memiliki 4 Nikaya yang ada di Tipitaka Pali (Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya); namun Tripitaka Mahayana tidak memiliki Khuddaka Nikaya. Jadi ajaran untuk menjadi Sammasambuddha yang paling lengkap justru ada di Theravada, bukan ada di Mahayana, Tantrayana apalagi TBSN! Harap hal ini Anda ketahui secara jelas.
Saya bukan penipu seperti Anda. Jadi saya tidak akan mungkin menyatakan sesuatu yang omong kosong. Sekarang saya sudah menyertakan sumber referensi sejelas-jelasnya. Kalau Anda masih saja mempertanyakan, maka Anda hanya terlihat mencari-cari celah; alias Anda tidak punya itikad diskusi yang baik.
Yang saya sebutkan kemarin adalah Mingun Sayadaw, bukan Mahasi Sayadaw. Anda lagi-lagi mempermalukan diri Anda sendiri. Lihat, Bro Indra saja tertawa terbahak-bahak... :)
RAPB adalah sebuah buku yang tebal. Oleh karena itu, disusunlah dalam 3 jilid. Ya, Tim DhammaCitta Press sudah menerbitkannya. Akhirnya ada juga sedikit hal yang Anda ketahui, rupanya Anda tidak kuper-kuper amat.
okelah kalo gitu
intinya kalau mau berhasil mencapai siddhi cahaya pelangi
tekunilah sadhana sampai berhasil lulus sadhana mahapurna
saya tetap gk akan percaya
sebelum dikutipkan langsung kata2nya
karena anda menggunakan theravada
kita liat saja
harga buku tu brapa tu
hahaahaa
kayaknya mahal
kok gk beli dari penerbit resmi hah ?
saya tetap gk akan percaya
sebelum dikutipkan langsung kata2nya
karena anda menggunakan theravada
kita liat saja
harga buku tu brapa tu
hahaahaa
kayaknya mahal
kok gk beli dari penerbit resmi hah ?
Bagus. Jangan langsung percaya pada ucapan saya, kecuali Anda sudah membuktikannya sendiri. Saya puji sikap kritis Anda yang satu ini. Buku RAPB ini bisa Anda dapatkan gratis tanpa pungutan biaya sepeser pun. Anda bisa me-request Buku RAPB ini di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507).
owe sih uda ada e book nya
kalo liat nama " ketua " yg bagiin
owe kagak bakal dikasih walau minta ampe berbusa
kan sensi2 gitu de
hahaahaaa
saya tetap gk akan percaya
sebelum dikutipkan langsung kata2nya
karena anda menggunakan theravada
kita liat saja
harga buku tu brapa tu
hahaahaa
kayaknya mahal
kok gk beli dari penerbit resmi hah ?
Bagus. Jangan langsung percaya pada ucapan saya, kecuali Anda sudah membuktikannya sendiri. Saya puji sikap kritis Anda yang satu ini. Buku RAPB ini bisa Anda dapatkan gratis tanpa pungutan biaya sepeser pun. Anda bisa me-request Buku RAPB ini di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507).
owe sih uda ada e book nya
kalo liat nama " ketua " yg bagiin
owe kagak bakal dikasih walau minta ampe berbusa
kan sensi2 gitu de
hahaahaaa
Cuplikan Payasi Sutta Digha Nikaya:
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_23_Payasi_Sutta_Walshe
29. ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, beberapa penduduk dari suatu daerah pergi merantau. Dan seseorang berkata kepada temannya: “Ayo, mari kita pergi ke desa itu, kita mungkin menemukan sesuatu yang berharga!” temannya setuju, maka mereka pergi ke daerah itu, dan sampai ke jalan desa. [350] Dan di sana mereka melihat tumpukan rami yang telah dibuang, dan salah seorang berkata: “Ini adalah tumpukan rami. Engkau buat seikat, aku buat seikat, dan kita berdua akan membawanya.” Yang lainnya setuju, dan mereka melakukan hal itu. Kemudian, mereka sampai ke jalan desa yang lain, mereka menemukan tumpukan benang rami, dan salah satu dari mereka berkata: “Tumpukan benang rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami ini. Mari kita buang rami yang kita bawa, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban benang rami ini.” “Aku telah membawa rami ini menempuh perjalanan yang jauh dan rami ini sudah terikat dengan baik. Ini cukup buatku – engkau lakukanlah apa yang engkau suka!” Maka temannya membuang rami itu dan mengambil benang rami.’
‘“Sampai di jalan desa lainnya, mereka menemukan beberapa kain rami, dan salah seorang dari mereka berkata: “Tumpukan kain rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami atau benang rami ini. Engkau buanglah beban rami itu dan aku akan membuang beban benang rami ini, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban kain rami ini.” Tetapi yang lainnya menjawab seperti sebelumnya, maka temannya membuang benang rami itu dan mengambil kain rami. [351] Di desa lainnya, mereka melihat tumpukan batang linen ..., di desa lain, benang linen ..., di desa lain, kain linen ..., di desa lain, kapas ..., di desa lain, benang katun ..., di desa lain, kain katun ..., di desa lain, besi ..., di desa lain, tembaga ..., di desa lain, timah ..., di desa lain, timah hitam ..., di desa lain, perak ..., di desa lain, emas. Kemudian salah seorang berkata: “Tumpukan emas ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami, benang rami, kain rami, batang linen, benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, timah, timah hitam, perak ini. Engkau buanglah beban rami itu dan aku akan membuang beban perak ini, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban emas ini.” “Aku telah membawa rami ini menempuh perjalanan yang jauh dan rami ini sudah terikat dengan baik. Ini cukup buatku – engkau lakukanlah apa yang engkau suka!” Maka temannya membuang beban perak itu dan mengambil emas.’
‘Kemudian mereka pulang ke desa mereka. Dan di sana, ia yang membawa beban rami tidak memberikan kesenangan kepada orang tua, istri dan anak-anaknya, dan ia bahkan tidak mendapatkan kesenangan atau [352] kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Tetapi ia yang pulang membawa emas memberikan kesenangan bagi orang tua, istri dan anak-anaknya, teman dan rekan-rekannya, dan ia mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan untuk dirinya sendiri juga.’
‘Pangeran, engkau berbicara seperti si pembawa rami dalam perumpamaanku. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’
saya tetap gk akan percaya
sebelum dikutipkan langsung kata2nya
karena anda menggunakan theravada
kita liat saja
harga buku tu brapa tu
hahaahaa
kayaknya mahal
kok gk beli dari penerbit resmi hah ?
Bagus. Jangan langsung percaya pada ucapan saya, kecuali Anda sudah membuktikannya sendiri. Saya puji sikap kritis Anda yang satu ini. Buku RAPB ini bisa Anda dapatkan gratis tanpa pungutan biaya sepeser pun. Anda bisa me-request Buku RAPB ini di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9384.msg270507#msg270507).
owe sih uda ada e book nya
kalo liat nama " ketua " yg bagiin
owe kagak bakal dikasih walau minta ampe berbusa
kan sensi2 gitu de
hahaahaaa
Kalau sdr.padpad posisi-nya ada di MEDAN, saya akan antarkan ke sdr.padpad. Kebetulan saya masih ada 12 set RAPB
bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
inget se xiung, ini Dhamma, dengan huruf D besar... beda pemaknaan.bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
1. untungnya sudah
2.gampang tu
3. lebig gampang lagi
4. kalo ini susah
ahahahhaha
inget se xiung, ini Dhamma, dengan huruf D besar... beda pemaknaan.bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
1. untungnya sudah
2.gampang tu
3. lebig gampang lagi
4. kalo ini susah
ahahahhaha
inget se xiung, ini Dhamma, dengan huruf D besar... beda pemaknaan.bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
1. untungnya sudah
2.gampang tu
3. lebig gampang lagi
4. kalo ini susah
ahahahhaha
maaf ! padpad tidak bisa membedakan karena memang sudah demikian yang ada =))
inget se xiung, ini Dhamma, dengan huruf D besar... beda pemaknaan.bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
1. untungnya sudah
2.gampang tu
3. lebig gampang lagi
4. kalo ini susah
ahahahhaha
maaf ! padpad tidak bisa membedakan karena memang sudah demikian yang ada =))
benar sekali
tumben otakmu dipake
inget se xiung, ini Dhamma, dengan huruf D besar... beda pemaknaan.bro Fabian ternyata padpad masih belum mengerti, padpad masih belum mengerti
:'(
_/\_
1. Sungguh sulit terlahir sebagai manusia,
2. Jauh lebih sulit mengenal Dhamma
3. Lebih sulit daripada itu mendapat kesempatan mempraktikkan Dhamma
4. Yang tersulit diantara semuanya adalah me-realisasi Dhamma.
Sampai dimanakah kita...?
_/\_
1. untungnya sudah
2.gampang tu
3. lebig gampang lagi
4. kalo ini susah
ahahahhaha
maaf ! padpad tidak bisa membedakan karena memang sudah demikian yang ada =))
benar sekali
tumben otakmu dipake
ai any time mengunakannya
tapi anda sama sekali tidak memakainya =))=))
_/\_
Sengit sekali pembahasannya. menurut saya, daripada asik memperdebatkan mana yang benar, mengapa tidak melatih diri supaya mencapai pencerahan. kalau sudah mencapai pencerahan, anda kan bisa tahu sendiri mana yang benar ? di dhammapada kan ada ditulis, daripada seratus tahun membaca paritta dan belajar, lebih baik melatih diri...beigutlah intinya kira-kira. daripada berdebat 100 halaman, mengapa tidak melatih diri saja ? kalau berdebat seperti ini, buntut-buntutnya saling menuding, lalu timbul perasaan benci dan lain-lain, ini bukan menambah kamma baik, malah menambah kamma buruk.
untuk gampangnya, pakai aja inti ajaran buddha: kurangi berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. mana ada theravada dan mahayana pada masa sang Buddha hidup...
Sengit sekali pembahasannya. menurut saya, daripada asik memperdebatkan mana yang benar, mengapa tidak melatih diri supaya mencapai pencerahan. kalau sudah mencapai pencerahan, anda kan bisa tahu sendiri mana yang benar ? di dhammapada kan ada ditulis, daripada seratus tahun membaca paritta dan belajar, lebih baik melatih diri...beigutlah intinya kira-kira. daripada berdebat 100 halaman, mengapa tidak melatih diri saja ? kalau berdebat seperti ini, buntut-buntutnya saling menuding, lalu timbul perasaan benci dan lain-lain, ini bukan menambah kamma baik, malah menambah kamma buruk.
untuk gampangnya, pakai aja inti ajaran buddha: kurangi berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. mana ada theravada dan mahayana pada masa sang Buddha hidup...
Sengit sekali pembahasannya. menurut saya, daripada asik memperdebatkan mana yang benar, mengapa tidak melatih diri supaya mencapai pencerahan. kalau sudah mencapai pencerahan, anda kan bisa tahu sendiri mana yang benar ? di dhammapada kan ada ditulis, daripada seratus tahun membaca paritta dan belajar, lebih baik melatih diri...beigutlah intinya kira-kira. daripada berdebat 100 halaman, mengapa tidak melatih diri saja ? kalau berdebat seperti ini, buntut-buntutnya saling menuding, lalu timbul perasaan benci dan lain-lain, ini bukan menambah kamma baik, malah menambah kamma buruk.
untuk gampangnya, pakai aja inti ajaran buddha: kurangi berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. mana ada theravada dan mahayana pada masa sang Buddha hidup...
::)Sengit sekali pembahasannya. menurut saya, daripada asik memperdebatkan mana yang benar, mengapa tidak melatih diri supaya mencapai pencerahan. kalau sudah mencapai pencerahan, anda kan bisa tahu sendiri mana yang benar ? di dhammapada kan ada ditulis, daripada seratus tahun membaca paritta dan belajar, lebih baik melatih diri...beigutlah intinya kira-kira. daripada berdebat 100 halaman, mengapa tidak melatih diri saja ? kalau berdebat seperti ini, buntut-buntutnya saling menuding, lalu timbul perasaan benci dan lain-lain, ini bukan menambah kamma baik, malah menambah kamma buruk.
untuk gampangnya, pakai aja inti ajaran buddha: kurangi berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. mana ada theravada dan mahayana pada masa sang Buddha hidup...
Mungkin pertanyaan yang tepat adalah: "Mana ada Sang Buddha mengajarkan vegetarian, baca mantra, melakukan mudra, mengajarkan sadhana, serta memberikan ajaran rahasia (esoterik) semasa Beliau hidup?"
::)
Sengit sekali pembahasannya. menurut saya, daripada asik memperdebatkan mana yang benar, mengapa tidak melatih diri supaya mencapai pencerahan. kalau sudah mencapai pencerahan, anda kan bisa tahu sendiri mana yang benar ? di dhammapada kan ada ditulis, daripada seratus tahun membaca paritta dan belajar, lebih baik melatih diri...beigutlah intinya kira-kira. daripada berdebat 100 halaman, mengapa tidak melatih diri saja ? kalau berdebat seperti ini, buntut-buntutnya saling menuding, lalu timbul perasaan benci dan lain-lain, ini bukan menambah kamma baik, malah menambah kamma buruk.
untuk gampangnya, pakai aja inti ajaran buddha: kurangi berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. mana ada theravada dan mahayana pada masa sang Buddha hidup...
Mungkin pertanyaan yang tepat adalah: "Mana ada Sang Buddha mengajarkan vegetarian, baca mantra, melakukan mudra, mengajarkan sadhana, serta memberikan ajaran rahasia (esoterik) semasa Beliau hidup?"
Apakah benar Mahayana mengajarkan tentang proses setelah manusia mati? jika dlm khasanah Jawa disebut SANGKAN PARANING DUMADI..terima kasih
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2604.0 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2604.0)
NIHILISME
3. Ajita Kesakambala
Pandangannya adalah uccheda-vada, kemusnahan/annihilation. Lebih lanjut bisa dikategorikan sebagai materialisme, yang menyangkal kehidupan lampau, kehidupan yang akan datang, kelahiran kembali, surga, neraka, buah dari perbuatan, baik ataupun buruk. Ia juga menyangkal semua pengetahuan yang timbul dari pencerahan. Pandangannya bisa juga disebut natthika-vada (nihilisme).
ETERNALISME
4. Pakudha Kaccayana, [….], alirannya bisa digolongkan sebagai akiriya-vada, yaitu menyangkal perbuatan berkehendak. Tetapi aliran tersebut juga bisa digolongkan sassata-vada (kekekalan), karena ia percaya ada suatu atta dalam setiap makhluk.
Karena itu konon Sanjaya Belatthaputta yang jeli melihat ‘titik lemah’ ajaran Buddha ini pernah bercanda (lebih kurang demikian): “Yang merasa pandai silahkan jadi pengikut Buddha, yang merasa kurang pandai silahkan jadi pengikut saya saja.”) [/b]
Saya lebih setuju terjemahan AN-ATTA = NOT SELF daripada NO SELF...
NOT SELF = tidak sendiri (tidak berdiri sendiri, berkondisi)
NO SELF = tidak ada (NO) diri
hmm..anatta kalau menurut saya bukan nihilistik kok....bukan juga eternalis....
yah sama seperti kolong meja.....apakah bisa ada tanpa meja?
saya pilih yang bold hitam :)) :))
_/\_
Haaa...
Definisi ANATTA you mirip definisi SUNYATA nya Mahayana dong! Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Bukan ada juga bukan tiada.
Atau gimana?
Sebenarnya Theravada sendiri pengertian nibbana dan anatta sudah jelas dan banyak disutta. Hanya kebanyakan ketika terjadi perdebatan mereka mencoba mengkonsepkan dan terjebak pada nihilisme(lihat perdebatan dengan bro Tan dan theravadin pada jaman dahulu kala ^-^). Tetapi tidak mau mengakuinya alias bingung sendiri. Kalau di pihak mahayana memang lebih terkesan eternalis tapi lebih baik tidak terburu-buru menyimpulkan karena banyak esensi mahayana yang belum tergali (mungkin) .
Metta.
:outoftopic:
yang di bold
maaf bro Bond, maksudnya siapa ya ? bro Tan atau kaum theravadin !
_/\_
Berdasarkan definisi you, koq rasanya agak janggal.
NOT SELF / BUKAN DIRI maksudnya adalah masih 'ada diri yang lain' yang mungkin lebih 'sejati' dan bukan 'palsu' misalnya Diri Sejati / Aku sejati / Roh Kudus dalam Karesten.
'Tidak berdiri sendiri, berkondisi' lebih cocok istilahnya ' NO SELF / TIDAK ADA DIRI / TIADA DIRI' karena yang disebut diri ini terdiri dari beberapa unsur yang mendukungnya, alias diri ini berkondisi, tergantung pada unsur-unsur penyusunnya, dan kalo unsur-unsur itu berantakan atau terceraiberai atau nggak ada lagi maka tak ada lagi yang disebut diri.
Atau gimana menurut you?
Atau....
Pilih satu, beberapa, atau semua di antara pilihan-pilihan di bawah ini, mana yang you anggap benar
AN-ATTA =
1) Bukan Diri?
2) Tiada Diri?
3) Bukan Ego?
4) Tiada Ego?
5) Bukan Aku?
6) Tiada Aku?
7) Bukan Atman?
8 ) Tiada Atman?
9) Bukan Jiwa?
10 ) Tiada Jiwa?
11) Bukan Roh?
12) Tiada Roh?
13) Bukan keakuan?
14) Tiada keakuan?
15) ada yang mau nambahin definisi lain?
Kadang ada orang (Buddha?) yang bedain Ego dengan Diri
Kadang ada orang (Hindu?) yang bedain Atman dengan Jiwa.
Kadang ada orang (Karesten?) yang bedain Roh dan Jiwa.
Kayaknya rame nih kalau dibikin pooling yak. =))
Moderator: Lha... koq OOT jadi bahas Anatta. Bikin thread baru dong kalau mau pooling! :ngomel:
BACK TO TOPIC!
dikatakan thema, mahayan cenderung menjungjung maitri karuna: kalau semua ini sunyata, buat apa mengasihi makhluk lain? kan diri sendiri ini dan makhluk lain tidak pernah ada sesungguhnya....Bro, konsep sunyata gak disetujui semua Theravadin lho. Btw, sunyata itu bisa berarti ada tapi tiada, tiada tapi ada. Ingat Nagarjuna itu backgroundnya itu keluarga Brahmana yang pake Sanskrit, dia paham semua ajaran Brahmanisme. Lalu kemudian baru pindah ke Buddhisme Mahayana. Dia juga ahli Pali. Jadi akhirnya ya gado-gado T dan M gitu lho. Tapi basicnya M. Jelas?
jadi tidak ada yang perlu diselamatkan kan?
Bro, konsep sunyata gak disetujui semua Theravadin lho. Btw, sunyata itu bisa berarti ada tapi tiada, tiada tapi ada. Ingat Nagarjuna itu backgroundnya itu keluarga Brahmana yang pake Sanskrit, dia paham semua ajaran Brahmanisme. Lalu kemudian baru pindah ke Buddhisme Mahayana. Dia juga ahli Pali. Jadi akhirnya ya gado-gado T dan M gitu lho. Tapi basicnya M. Jelas?
Someone claims ANATTA but actually she/he is ATTA
Someone says ATTA but actually she/he is ANATTA
Well, who is better, Dilbert?
Claiming or not claiming, saying or silent, everything and everyone is ANATTA This is the ABSOLUTE TRUTH.Haaaa.....=))
What is buddha nature? Tathata??Worm in the sh*t
Haaaa.....=))
Saya bertanya (Indonesia mode on, dimarahi netters di sini kalo pake English) kok malah muter-muter jawabnya.
Licin kayak ular..eeeh... belut.
Religious people is a lunatic people
Leave the religions! And you will be normal again.
Meet Buddha? Kill Buddha!
(Zen sayings)
Haaaa.....=))
Saya bertanya (Indonesia mode on, dimarahi netters di sini kalo pake English) kok malah muter-muter jawabnya.
Licin kayak ular..eeeh... belut.
Religious people is a lunatic people
Leave the religions! And you will be normal again.
Meet Buddha? Kill Buddha!
(Zen sayings)
Apakah saya yang muter-muter, atau bro Thema yang tidak mengerti..?
Kaum Theravadin yang pernah terlibat perdebatan dengan bro Tan ^-^
bro Tan = Ivan Taniputra ?saya bantu, betul Ivan Taniputra
saya bantu, betul Ivan Taniputra
Kalau tidak salah saya... Sdr. Ivan Taniputra sekarang sudah "join" ke Zhen Fo Zhong (a.k.a. Grand Master Lu Sheng Yen)...mending tanya langsung ke orangnya, khan masih suka kesini ;D
Anda harus seperti LINJI untuk mengatakan Meet Buddha, Kill Buddha... jika tidak anda seperti BEO...
Nggak,saya modfikasi artinya
Meet Buddha Kill Buddha BISA diartikan pula agar kita waspada terhadap guru/buddha palsu semacam LSY.
Bakal banyak lho yang akan muncul.
Mengapa? Lho khan jelas-jelas kita harus mengandalkan diri kita sendiri sesuai pesan terakhir Buddha.
Oh ya, dilbert, sebenarnya kalau kamu jawab pertanyaan saya maka di situlah saya mau ungkapkan sesuatu.
tapi karena you gak mau jawab terus terang ya udah, batal deh.
Ini postingan saya yang terakhir di thread ini
Bye everybody, kalau kata-kata saya ada yang menyinggung hati, mohon diampuni ya. ^:)^
Let's meditate! _/\_
Nammo Buddhaya
Kalau tidak salah saya... Sdr. Ivan Taniputra sekarang sudah "join" ke Zhen Fo Zhong (a.k.a. Grand Master Lu Sheng Yen)...
Kalau tidak salah saya... Sdr. Ivan Taniputra sekarang sudah "join" ke Zhen Fo Zhong (a.k.a. Grand Master Lu Sheng Yen)...
link
Mengingatkan saya dgn ajaran syekh Siti Jenar dlm lakon tanah Jawa. Pada hakekatnya sama...pencerahan itu hanya diri sendiri yg merasakanya dan setiap manusia pasti berbeda beda prosesi tahap pencapaianya. Mendengarkan ceramah saja tidak bisa memberikan jaminan mendapat pencerahan, harus seperti air yg mengalir.....mengalami sendiri perjalanannya, menghadapi sendiri segala kendala dan resikonya. Salut pada filosofi CHAN
Mendengarkan dhamma, penyelidikan dhamma merupakan salah satu dari 7 faktor pencerahan (Bhojangga)... Masih ada 6 faktor lagi...
Kurang 1 faktor, seharusnya tidak bisa mencapai apa itu pencerahan ? Karena syarat-nya wajib dan mutlak
Mahayana tradisi yang mana ? bila Mahayana tradisi tibetan ada 4 aliran besar, yaitu :
- Nyingma
- Kagyu
- Sakya
- Gelug
bila tradisi China saya tidak bgt tau...terlalu banyak...hehehe ;D
ada satu lagi yang ngaku cabang dari Tantra... ZFZ (Zhen Fo Zhong)... Katanya Pendiri-nya mendapat-kan inisiasi dan pengakuan dari semua sekte yang ada di tibet.hati2 banyak buddhism palsu.... :o
hahahahaha
hati2 banyak buddhism palsu.... :o
^^^
maksudnya kitab Tripitaka Sankrit referensi dari umat Mahayana, begitukah ? ^-^
^^^umat Mahayana yg mana nih? tradisi china, tibetan, atau yg lain ? :o
maksudnya kitab Tripitaka Sankrit referensi dari umat Mahayana, begitukah ? ^-^
umat Mahayana yg mana nih? tradisi china, tibetan, atau yg lain ? :o
Gak baik menjawab pertanyaan dengan pertanyaan kembali...
:)) :)) :))
^:)^
Mahayana menerima semua aliran Buddhis Sravakayana tanpa terkecuali, sehingga Dharmapada yang dipakai pun bisa dari Mahisasaka bisa dari Sarvastivada bisa dari Theravada.
1. Apakah tetap membuat Mahayana sebagai aliran campur aduk karena mencampurkan literatur berbagai tradisi meskipun bertolak belakang dan bukan suatu bentuk tahapan pemikiran? Dan tetap menyontek literatur dari tradisi lain yang dianggapnya sama dan tetap sesumbar mengatakan Mahayana menerima semua aliran Buddhis Sravakayana, meskipun kenyataannya tidak demikian?Mahayana memang menampung semua literatur dari berbagai sekte (seperti sdh dijelaskan di atas) , tetapi tujuannya utk menggali isi ajaran itu dan mempelajarinya, itulah sebabnya mengapa berdiri Universitas Nalanda. Mengatakan menyontek adalah kekonyolon dan kepicikan berpikir, karena seolah2 literatur itu dianggap sebagai kepemilikan. "Milik aku, jadi elu nyontek gw punya", itulah ciri khas dari pemikiran sektarian yg terbukti mengapa sampai muncul 18 sekte pd masa awal, karena pemikiran yg suka gontok2an sambil bilang ini ajaran ku ini bukan ajaran mu.
Mahayana sebagai gerakan baru , antiklimaks dari perpecahan antar sekte
Pada masa awalnya, sebelum Mahayana muncul, kondisi ajaran Buddha sejak kemangkatan Beliau telah terpecah menjadi belasan sekte.
Dari berbagai sekte tersebut, masing-masing telah memiiki kanon sendiri, Sutta, Vinaya, dan Abhidhamma. Meskipun garis besar dari isi kanon tersebut sama,tapi masih terdapat perbedaan minor.
Perpecahan antar sekte lebih banyak diseputar perbedaan doktrin ajaran, yang semuanya bergerak di seputar ajaran2 sravakayana. Saat itu Buddhisme yang sarat dengan sektarian seolah-olah telah melemahkan Buddhisme itu sendiri.
Sedangkan dari sekian banyak perbedaan itu, sepertinya masih belum masuk ke polemik mengenai doktrin Mahayana.
Konon Mahayana mulai populer sejak Nagarjuna. Literatur yg dianggap paling awal adalah prajnaparamita sutra. Meskipun Mahayana mengutamakan doktrin2 Mahayana, tetapi doktrin2 Sravakayana tetap dijadikan sebagai pedoman, tidak peduli dari sekte mana, karena pada saat itu begitu banyak sekte (hinayana) yang sukanya gontok2an, Gerakan Baru Mahayana tidak mau ambil pusing siapa yang benar dan sapa yang salah. Di antara gontok2an sekte2 yg berpegang mati2an pada kanon kendaraan kecil, semuanya di pelajari , didalami.
Jadi sebenarnya bukan karena Mahayana mau campur aduk, tetapi semua itu dianggap utk membuat suatu konsolidasi yang non-diskriminatif pd salah satu sekte pada masa itu. Jadi sebenarnya pd masa awal kemunculan Mahayana , tidak lebih ke arah sebagai aliran, tetapi sebagai gerakan reformasi terhadap perpecahan sekte yg tidak karuan.
Jadi sesungguhnya Mahayana jangan dipandang sebagai aliran. Mahayana menampung semua doktrin dan dipelajari. Itulah letak spiritualisme Mahayana. Mahayana sebagai suatu aliran adalah proses sejarah dan utk masa sekarang mungkin saja boleh anggap sudah jadi sebuah aliran.
Mahayana memang menampung semua literatur dari berbagai sekte (seperti sdh dijelaskan di atas) , tetapi tujuannya utk menggali isi ajaran itu dan mempelajarinya, itulah sebabnya mengapa berdiri Universitas Nalanda. Mengatakan menyontek adalah kekonyolon dan kepicikan berpikir, karena seolah2 literatur itu dianggap sebagai kepemilikan. "Milik aku, jadi elu nyontek gw punya", itulah ciri khas dari pemikiran sektarian yg terbukti mengapa sampai muncul 18 sekte pd masa awal, karena pemikiran yg suka gontok2an sambil bilang ini ajaran ku ini bukan ajaran mu.
Argumen di atas tidak menjawab sama sekali, hanya menukar istilah “menerima semua” dengan kata “konsolidasi”. Problem Arahat yang masih ada adalah bukti tidak adanya konsolidasi. Dan justru sikap tidak ambil pusing inilah membuat campur aduk itu muncul.Faktanya problem arahat sudah jadi polemik antar sekte sejak awal. Saat itu saja belum ada polemik mengenai mahayana kontra hinayana. Walau doktrin Mahayana jg memiliki pandangan sendiri mengenai Arahat. Tapi dari perbedaan2 itu sangat jelas mengindikasikan bahwa memang ada "sesuatu" yg belum clear mengenai seputar sosok Kearahatan. Sehingga seorang pembelajar tidak boleh terpaku pd salah satu pandangan sekte.
Bukan suatu hal gegabah atau kepicikan, atau alasan tanpa dasar. Ini bukan hanya sekedar pengakuan literatur semata tetapi juga penerimaan ajaran yang ada di dalamnya. Jika dikatakan menerima semua aliran dan menggunakan literatur tradisi lain, ini berarti seharusnya menerima juga semua ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika tidak menerima ajarannya tetapi hanya menggunakan literatur tradisi lain sebagai pemecah masalah yang ia buat sendiri , kata apa yang lebih tepat selain menyontek ooohh atau bahasa sekarang copas a.k.a copy paste. Perilaku copas tersebut sering terjadi dikalangan Mahayanis, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada non-Mahayanis, tetapi sekarang ita dalam konteks Mahayana.
Makanya salah satu ikrar bodhisatva (baca:misi mahayana) : "mempelajari pintu ajaran yg tak terhingga jumlahnya".
tapi di lain pihak, ada ikar lain yg membawa misi: mengkonversi penganut sravakayana (aka hinayana) menjadi pemeluk mahayana, yg menyiratkan bahwa hanya ajaran mahayana yg benar.
Mahayana dlm konteks sebagai doktrin, tidak pernah ada pernyataan mengkonversi sravakayana menjadi pemeluk mahayana apalagi dalam bentuk ikrar.
Harap dipahami, dalam mahayana, sravakayana adalah salah satu bagian dari tahapan pelatihan, dan yang dilakukan bukan mengkonversi, tetapi sebagai proses kesinambungan dari tahapan pelatihan. JIka mengkonversi, berarti seorang mahayanis tidak boleh mempelajari doktrin sravakayana. Tanpa memahami ajaran2 sravakayana ,mana mungkin bisa melanjutkan tahapan2 bodhisatva?
Tetapi tidak demikian, jadi ,ada sravakayana yang tidak ingin melanjutkan jalan bodhisatva dan ada yang mau. Itu pilihan masing2.
Mahayana dalam konteks gerakan pembaharuan lebih-lebih sarat dengan pembelajarn terhadap doktrin2 sravakayana. Dari proses pembelajaran, pada akhirnya seorang mahayanis justru tidak boleh terbelenggu oleh pandangan bahwa doktrin yg dia pelajari sebagai kebenaran dan menafikan yang lainnya, sebaliknya ia harus melepaskan kemelekatn pada konsep diri dan dharma.
Dasabhumi merupakan tingkatan-tingkatan yang ditempuh oleh Bodhisatva melalui paramita menuju Samyak Sambodhi.
Kesepuluh tingkat dasabhumi ini adalah:
1. Pramudita (kebahagiaan)
Ketika seorang Bodhisatva menyadari bahwa ia telah melaksanakan dana paramita dan juga telah menyadari kekosongan dari Sang Aku (pudgala nairatmya) dan juga kekosongan dari setiap dharma (dharma nairatmya).
2. Vimala (murni bersih)
Ketika seorang Bodhisatva telah terbebas dari karma-karma buruk dengan melaksanakan sila paramita dan telah mengukuhkan kusala-mula (akar baik). Pikirannya telah terbebas dari segala kemelekatan. Dengan giat melaksanakan dhyana samadhi.
3. Prabhakari (cemerlang)
Seorang Bodhisatva memancarkan cahaya di dalam ksanti paramita karena ia telah tidak memiliki rasa marah dan dendam. Ia juga telah melaksanakan keempat dhyana dan hasilnya serta memperoleh Panca Abhijna. Ia telah terlepas dari raga, dvesa dan moha.
4. Arismati (menyala berkobar-kobar)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan virya paramita akan banyak membantu ia dalam kemajuan batin menuju bodhi (37 bodhipaksiya dharma).
5. Sudurjaya (tak terkalahkan)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan dhyana paramita mengembangkan prajna dan merealisasikan aryasatya dan menembusi hakekat samvrti satya dan paramartha satya.
6. Abhimukti (menuju bodhi)
Seorang Bodhisatva pada tingkat tersebut menyelami arti dari pratitya samutpada. Prajna telah diperoleh berkat pengertian mengenai sunyata.
7. Durangama (berjalan jauh)
Dalam tingkat ini seorang Bodhisatva mengembangkan karuna, pengetahuan tentang panca skanda, menuju bodhi dan memiliki virya paramita. Dari sravakayana menuju Mahayana dengan upaya kausalya (usaha yang mudah dan sesuai) dan akhirnya bodhi.
8. Acala (teguh/kokoh)
Seorang Bodhisatva membuat kemajuan yang pasti dan mengetahui kapan ia menjadi Budha berkat vyakarana (petunjuk).
9. Sadhumati (pikiran baik)
Seorang Bodhisatva melengkapi perbuatannya di dalam bala paramita yaitu dengan dasabala (sepuluh kekuatan) Sang Budha. Sekarang ia memiliki kebijaksanaan sempurna dan siap membimbing setiap makhluk menuju Nirvana.
10. Dharmamegha (mega dharma)
Pada tingkat ini seorang Bodhisatva mencapai dhyana paramita dan pengetahuan sempurna. Ia telah sampai pada tingkat calon Budha. Ia juga telah menerimaabhiseka dari para Budha mengenai Kebuddhaan. Tubuh dharmakayanya sekarang telah sempurna dan ia dapat menunjukkan kemukjizatan. Dengan demikian selesailah karya seorang Bodhisatva dalam dasabhumi.
(Kutipan dari karya Prof. Nalinaksha Dutt "Mahayana Buddhism")
Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual[1] (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana [2]) Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.[3]
Mahayana dlm konteks sebagai doktrin, tidak pernah ada pernyataan mengkonversi sravakayana menjadi pemeluk mahayana apalagi dalam bentuk ikrar.Saya tertarik paham bahwa sravakayana adalah bagian dari Mahayana dan bukan jalan berbeda. Saya kutip dari Bhaisajyaguru Buddha Sutra:
Harap dipahami, dalam mahayana, sravakayana adalah salah satu bagian dari tahapan pelatihan, dan yang dilakukan bukan mengkonversi, tetapi sebagai proses kesinambungan dari tahapan pelatihan. JIka mengkonversi, berarti seorang mahayanis tidak boleh mempelajari doktrin sravakayana. Tanpa memahami ajaran2 sravakayana ,mana mungkin bisa melanjutkan tahapan2 bodhisatva?
Tetapi tidak demikian, jadi ,ada sravakayana yang tidak ingin melanjutkan jalan bodhisatva dan ada yang mau. Itu pilihan masing2.Menurut Mahayana pun, sravaka yang tidak melanjutkan adalah pandangan keliru. Dari Saddharmapundarika Sutra Bab III:
Faktanya problem arahat sudah jadi polemik antar sekte sejak awal. Saat itu saja belum ada polemik mengenai mahayana kontra hinayana. Walau doktrin Mahayana jg memiliki pandangan sendiri mengenai Arahat. Tapi dari perbedaan2 itu sangat jelas mengindikasikan bahwa memang ada "sesuatu" yg belum clear mengenai seputar sosok Kearahatan. Sehingga seorang pembelajar tidak boleh terpaku pd salah satu pandangan sekte.
Tidak ambil pusing di sini dimaksudkan tidak ingin terpengaruh pd salah satu pandangan itu.
Percaya bahwa hanya sekte aku yg paling benar dan yg lain salah adalah yg dihindari gerakan Mahayana. Makanya salah satu ikrar bodhisatva (baca:misi mahayana) : "mempelajari pintu ajaran yg tak terhingga jumlahnya".
Bagi Mahayana, kebenaran universal bukan dimonopoli oleh siapapun, sehingga memetik atau menerima satu kebenaran doktrin tidak perlu ditutupi, apalagi dikatakan copas. Kebelengguan anda bahwa kebenaran hanya milik salah satu tradisi yang anda pegang erat sehinggg terkungkung sendiri padanya. Ini yang menjadi cermin dari sifat gontok2an antar sekte.
Pada dasarnya pembelajara Mahayana tidak selalu harus menerima semua ajaran dalam tradisi berbeda itu ataupun menolak. Dikala merasa salah satu ajaran bisa diterima/ditolak, itu hanya proses/tahapan dari pembelajarannya.
Toh semua doktrin akhirnya harus dilepas juga bagi seorang mahayanis.
anehnya kok ada kata2 ini dalam sutra maha :Dalam doktrin Mahayana, hinayana tidak dipandang sbg sebuah aliran.
Subhuti, To Sum up, the merits resulting from this Sutra are inconceivable, inestimable and without limit. The Tathagata expounds it to those initiated into the Mahayana and the Supreme Yana. If they are able to receive, hold (in mind), read and recite it and expound it widely to others, the Tathagata will know and will see that they will achieve inexpressible and inconceivable merits that are without measure or limit. They will bear (responsibility for) the Tathagata's supreme Enlightenment (Anuttara-samyak-sambodhi) Why? Because, Subhuti, those who take delight in the Hinayana and hold the view of an ego, a personality, a being and a life, cannot listen to, receive, hold (in mind), read and recite this Sutra and explain it to others
jadi intinya maha mempelajari semua dan mengetahui ya kalau hinayana itu payah =))
Saya tertarik paham bahwa sravakayana adalah bagian dari Mahayana dan bukan jalan berbeda. Saya kutip dari Bhaisajyaguru Buddha Sutra:Yang namanya tahapan tentu saja harus keluar dari tahap a baru masuk ke tahap b. Terus camkan dengan kata "berangsur-angsur" di atas, jika sravaka dianggap kekeliruan fatal, sdh tidak seharusnya doktrin Mahayana selalu menjelaskan bahwa beberapa Buddha muncul di dunia mengajar dengan sistem 3 kendaraan, beberapa Buddha dengan sistem 1 kendaraan tunggal (bodhisatvayana. Atau dgn kata lain, lebih baik Buddha tidak mengajar jalan sravaka sejak awal.
"Aku berikrar bahwa bila Aku mencapai Penerangan di masa yang akan datang, jika ada makhluk hidup yang menempuh jalan menyimpang. Aku akan membimbing mereka kembali ke jalan Penerangan.
Jika ada yang menjadi pengikut jalan Sravaka atau Pratyekabuddha, mereka akan berangsur-angsur dibimbing ke Jalan Mahayana."
Jika memang sravaka (dan Pratyeka) itu adalah tahapan, mengapa harus dibimbing untuk keluar dari sana?
Jadi sravaka merupakan keniscayaan yg tidak bisa diabaikan dalam doktrin mahayana, hanya saja mereka akan dibimbing ke tahapan lanjutan bergantung pada bagaimana seorang Buddha melakukannya.
QuoteMenurut Mahayana pun, sravaka yang tidak melanjutkan adalah pandangan keliru. Dari Saddharmapundarika Sutra Bab III:
"Owing to the mighty will of the Bodhisattva thou, Sâriputra, hast no recollection of thy former vow to observe the (religious) course; of the counsel of the Bodhisattva, the decree of the Bodhisattva. Thou thinkest that thou hast reached final rest. I, wishing to revive and renew in thee the knowledge of thy former vow to observe the (religious) course, will reveal to the disciples the Dharmaparyaya called 'the Lotus of the True Law,' ..."
Kisahnya di sini adalah Sariputra dibuat 'hilang ingatan' akan tekad Bodhisatva sehingga ia berpikir perjalanannya telah selesai (karena mencapai sravaka). Tapi di sini Buddha Sakyamuni membangkitkan kembali pengetahuan sejatinya, dan kemudian dikatakan bahwa di masa depan, Sariputra akan menjadi Tathagata bernama Padmaprabha.
Bagaimana menurut bro chingik?
Sravaka yang tidak melanjutkan memang dianggap keliru dalam konteks bahwa ada pengetahuan lanjutan yang terlalu sayang utk diabaikan.
Tetapi harap dicatat juga bahwa kekeliruan itu bukan dalam arti belajar jalan sravaka adalah kekeliruan fatal yg harus dihentikan sebelum memulai.Karena memang Buddha sendiri yang mengajarkannya. Ini merupakan metode dari seorang Buddha dalam membimbing siswanya.
Contohnya orang membangun rumah diawali dari fondasi, jika anda hanya bangun fondasi lalu tidak melanjutkan bangun kerangka hingga bangunan itu selesai, apa tidak dianggap keliru? Tetapi saat anda membangun fondasi , anda tidak pernah dianggap keliru, karena memang itu tahapannya.
Yang namanya tahapan tentu saja harus keluar dari tahap a baru masuk ke tahap b. Terus camkan dengan kata "berangsur-angsur" di atas, jika sravaka dianggap kekeliruan fatal, sdh tidak seharusnya doktrin Mahayana selalu menjelaskan bahwa beberapa Buddha muncul di dunia mengajar dengan sistem 3 kendaraan, beberapa Buddha dengan sistem 1 kendaraan tunggal (bodhisatvayana. Atau dgn kata lain, lebih baik Buddha tidak mengajar jalan sravaka sejak awal.Betul, saya sangat setuju sekali bahwa memang dalam Mahayana, tidak ada tiga kendaraan. Saddharmapundarika Sutra sendiri menyatakannya:
Jadi sravaka merupakan keniscayaan yg tidak bisa diabaikan dalam doktrin mahayana, hanya saja mereka akan dibimbing ke tahapan lanjutan bergantung pada bagaimana seorang Buddha melakukannya.
Sravaka yang tidak melanjutkan memang dianggap keliru dalam konteks bahwa ada pengetahuan lanjutan yang terlalu sayang utk diabaikan.Membangun fondasi adalah keliru jika tidak dilanjutkan ke tahapan lebih lanjut. Bahkan pondasi tersebut tidak bisa disebut sebagai pondasi yang benar.
Tetapi harap dicatat juga bahwa kekeliruan itu bukan dalam arti belajar jalan sravaka adalah kekeliruan fatal yg harus dihentikan sebelum memulai.Karena memang Buddha sendiri yang mengajarkannya. Ini merupakan metode dari seorang Buddha dalam membimbing siswanya.
Contohnya orang membangun rumah diawali dari fondasi, jika anda hanya bangun fondasi lalu tidak melanjutkan bangun kerangka hingga bangunan itu selesai, apa tidak dianggap keliru? Tetapi saat anda membangun fondasi , anda tidak pernah dianggap keliru, karena memang itu tahapannya.
Dari “menerima semua”, “konsolidasi” kemudian kini menjadi “mempelajari”Mahayana sebagai sebuah gerakan, menerima semua aliran Sravakayana sebagai cerminan bahwa mahayana tidak mengabaikan fondasi ajaran. Tetapi Mahayana sendiri memiliki tahapan lanjutan, sehingga tidak mungkin harus menganggap jalan sravaka sebagai final. Seperti yg saya jelaskan ke bro Kainyn, selama membangun fondasi, fondasi itu bukan suatu kekeliruan, tetapi jika hanya berhenti pada fondasi, itu bukan tujuan mahayana.
Sdr. Chingik, jika Mahayana menerima semua aliran Sravakayana, maka berarti menerima Arahat sebagai pencapaian yang tertinggi. Jika tidak, ini berarti Mahayana tidak menerima semua. Opsi ini perlu dipilih.
Masalah Arahat bukan saja masalah mengenai posisinya dalam tingkat spiritual tetapi juga cara-cara pencapaiannya. Jika dikatakan mengenai Arahat ini adalah sesuatu yang belum clear dan masih dipelajari, maka ini sama saja Mahayana belum menerima semua ajaran aliran Sravakayana. Ajaran Sravakayana hanya dijadikan pajangan, koleksi yang kalau dibutuhkan baru dicopy literaturnya untuk memberi jawaban atas masalah yang ditimbulkan dan yang tidak bisa diselesaikan oleh Mahayanis dengan literatur Mahayana-nya.Saya rasa anda salah menangkap maksud "masalah arahat belum clear" di sini. Yg saya maksudkan adalah polemik status kearahatan itu sudah terjadi di dalam tubuh 18 sekte yg notabene adalah sekte jalan sravaka. Seharusnya anda tanyakan atau gali sendiri mengapa bisa terjadi polemik antar sekte itu, tanpa perlu melibatkan mahayana dulu. Terus, berdasarkan apa bro merasa yakin sekte yg bro anut sebagai yg paling benar, pdhal 18 sekte itu memiliki pandngan berbeda-beda. Tidak jauh2 dari masalah kepercayaan belaka juga bukan?.
Selain itu, jika masalah Arahat masih dipelajari, maka ini berarti selama kemunculannya, Mahayana sendiri masih mempertanyakan kebenaran sutranya sendiri, seperti Saddharmapundarika Sutra yang di dalamnya jelas membahas mengenai tingkat spiritual dari Arahat Sariputra yang masih bisa di-upgrade lagi. Ini berarti pernyataan dalam sutra ini masih diragukan. Padahal Saddharmapundarika Sutra konon adalah sutra penting dalam Mahayana sehingga bahkan menjadi pondasi berdirinya salah satu aliran Mahayana, bahkan mungkin Mahayana itu sendiri karena sutra ini yang konon pertama kali menerbitkan istilah Mahayana dan Hinayana.
Sdr. Chingik, kita tidak bisa menepis adanya “campur aduk” pada Mahayana karena faktanya demikian, dan fakta tersebut ada dalam literatur-literatur Mahayana itu sendiri. Semakin kita menepis, semakin kuat mencekik.campur aduk itu kan berdasarkan pemikiran bro yg tidak bisa melihat sistem mahayana secara utuh. Wajar sajalah.
Benar, kebenaran universal bukan dimonopoli oleh siapapun, namun ketika disodorkan, disajikan 2 klaiman kebenaran, maka seseorang perlu menentukannya mana yang benar, contohnya masalah Arahat. Kebenaran itu hanya 1. Kecuali ingin menegaskan lebih kuat bahwa Mahayana itu aliran campur aduk sekaligus linglung karena kedua kebenaran ada padanya dan tidak tahu mana yang benar.Karena anda melihat dari kacamata sektarian, makanya berpikir demikian. 2 klaim kebenaran itu kan dari sudut pandang anda karena terlanjur memposisikan mindset : "pandangan yg saya pegang ini sdh benar dan yg lain pasti salah".
Yang namanya tahapan tentu saja harus keluar dari tahap a baru masuk ke tahap b. Terus camkan dengan kata "berangsur-angsur" di atas, jika sravaka dianggap kekeliruan fatal, sdh tidak seharusnya doktrin Mahayana selalu menjelaskan bahwa beberapa Buddha muncul di dunia mengajar dengan sistem 3 kendaraan, beberapa Buddha dengan sistem 1 kendaraan tunggal (bodhisatvayana. Atau dgn kata lain, lebih baik Buddha tidak mengajar jalan sravaka sejak awal.yang di post kutu :
Jadi sravaka merupakan keniscayaan yg tidak bisa diabaikan dalam doktrin mahayana, hanya saja mereka akan dibimbing ke tahapan lanjutan bergantung pada bagaimana seorang Buddha melakukannya.
Sravaka yang tidak melanjutkan memang dianggap keliru dalam konteks bahwa ada pengetahuan lanjutan yang terlalu sayang utk diabaikan.
Tetapi harap dicatat juga bahwa kekeliruan itu bukan dalam arti belajar jalan sravaka adalah kekeliruan fatal yg harus dihentikan sebelum memulai.Karena memang Buddha sendiri yang mengajarkannya. Ini merupakan metode dari seorang Buddha dalam membimbing siswanya.
Contohnya orang membangun rumah diawali dari fondasi, jika anda hanya bangun fondasi lalu tidak melanjutkan bangun kerangka hingga bangunan itu selesai, apa tidak dianggap keliru? Tetapi saat anda membangun fondasi , anda tidak pernah dianggap keliru, karena memang itu tahapannya.
yang di post kutu :Bisa iya, bisa tidak. Tapi seandainya pun tidak disebut sebagai 'menyimpang', tetap jalan Sravaka & Pratyeka adalah bukan jalan yang ideal, bukan pula sebagai fondasi, namun sebuah jalan yang berbeda dari Mahayana.
"Aku berikrar bahwa bila Aku mencapai Penerangan di masa yang akan datang, jika ada makhluk hidup yang menempuh jalan menyimpang. Aku akan membimbing mereka kembali ke jalan Penerangan.
Jika ada yang menjadi pengikut jalan Sravaka atau Pratyekabuddha, mereka akan berangsur-angsur dibimbing ke Jalan Mahayana."
artinya jalan sravaka jalan menyimpang khan?
mungkin ceritanya mahayana mau menampung semua sehingga sutra2 palsu pun di anggap berharga dan berguna, sehingga ya gado2 lah jadinya. mau tujuan ke ancol, ke nibana, ke surga mana, semua di tampung, akhirnya umat pada bingung :))Jika bilang ada yg palsu, berarti anda mengakui ada sutra Mahayana yg asli bukan?
kalau tidak belajar pondasi, langsung ke mahayana bijimana? apakah bisa tanpa pondasi?
Karena anda melihat dari kacamata sektarian, makanya berpikir demikian. 2 klaim kebenaran itu kan dari sudut pandang anda karena terlanjur memposisikan mindset : "pandangan yg saya pegang ini sdh benar dan yg lain pasti salah".
seperti telah sy jelaskan ke bro Kainyn, membangun fondasi bukanlah kekeliruan (dlm hal ini mempelajari jalan sravaka), tetapi membangun fondasi tanpa melanjutkan tahapan berikut, apakah bisa dianggap benar? (ini bicara dalam konteks bagi seorang siswa mahayana)
yang di post kutu :bukan, itu ditujukan ke semua penganut ajaran sesat . Bukan ke sravaka.
"Aku berikrar bahwa bila Aku mencapai Penerangan di masa yang akan datang, jika ada makhluk hidup yang menempuh jalan menyimpang. Aku akan membimbing mereka kembali ke jalan Penerangan.
Jika ada yang menjadi pengikut jalan Sravaka atau Pratyekabuddha, mereka akan berangsur-angsur dibimbing ke Jalan Mahayana."
artinya jalan sravaka jalan menyimpang khan?
kalau tidak belajar pondasi, langsung ke mahayana bijimana? apakah bisa tanpa pondasi?mungkin mirip seperti ada arahat yg harus melalui jhana ada yg tidak.
Dalam doktrin Mahayana, hinayana tidak dipandang sbg sebuah aliran.
Jadi hinayana menurut Sutra Mahayana itu ditujukan pada siapa? Ada beberapa bhikkhu sebagai siswa sravaka yang hanya merasa pencapaiannya sudah final dan tidak mau melanjutkan nasihat Buddha. Merekalah yang disebut hinayana. Tidaklah aneh bila Buddha mengkritisi mereka, sama seperti ketika Buddha mengkritisi para pertapa yg berbeda pandangan dengan Buddha.
Sariputta , Mahakasyapa, Moggallana sbg siswa sravaka utama tidak dipandang sebagai hinayana, karena akhirnya mereka juga diramalkan akan menjadi Buddha.
Jadi menjadi hinayana atau tidak, itu tergantung pd aspirasi batin. Bukan berarti seseorang melatih ajaran sravaka lalu disebut hinayana.
Sebagai contoh, Master Yinshun adalah bhiksu Mahayana yang sangat menjunjung tinggi kitab Agama Sutra.
Master Zhiyi (pendiri tradisi Tientai di China) juga mengajar teknik samatha vipasyana kepada kakaknya.
Jadi tidak benar bila semua hal yg berhubungan dengan jalan sravaka dianggap sebagai hinayana.
bukan, itu ditujukan ke semua penganut ajaran sesat . Bukan ke sravaka.jadi kalau sravaka dibimbing ke jalan mahayana untuk apa?
mungkin mirip seperti ada arahat yg harus melalui jhana ada yg tidak.sekarang kalau arahat disebutnya dasar atau final?
tapi menurut saya tidak ada, meskipun terlihat ada, itu pasti karena pd masa kehidupan lalu telah pernah belajar fondasi itu
jadi apakah anda membantah bahwa ikrar demikian itu memang ada dalam sutra mahayana? saya hanya memiliki sumber dalam versi cetakan jadi susah untuk copas. mungkin member lain ada yg bisa membantu?
jadi kalau sravaka dibimbing ke jalan mahayana untuk apa?
sekarang kalau arahat disebutnya dasar atau final?
pondasi atau tidak?
harus jadi arahat dulu atau tidak untuk menapaki mahayana?
Jika ada ikrar demikian mengapa dalam Sutra Mahayana , Sariputra , Mahakasyapa dan siswa sravaka agung lainnya tidak lantas berubah status sbg bodhisatva saja setelah diramalkan akan menjadi Buddha? Bahkan dalam Saddharmapundarika, kata pembukanya tetap memuji para siswa sravaka sebagai bukti kedudukan sravaka adalah terhormat dan tdk semata-mata sbg hinayana. Berikut kutipannya: Pada suatu ketika Sang Buddha bersemayam di Rajagraha di Gunung Gridhrakuta, dihadap oleh 12.000 Bhiksu yang semuanya telah mencapai kesucian Arahat, yang tiada tercela, yang telah bebas dari ikatan keduniawian, yang telah mengatasi segala belenggu dan yang telah dapat mengendalikan pikiran dan nafsu keinginannya.
Mereka tetap disebut sbg sravaka agung, jadi pemahaman sbg konversi di sini tidaklah tepat, lebih tepatnya sebagai bimbingan utk memasuki tahapan berlanjut.
Dalam konteks mahayana, arahat dianggap terbebas dari belenggu samsara, tetapi dari aspek pengetahuan tertinggi, belum setara SamyakSambuddha. Dalam transmisi ajaran, idealnya seorang guru akan menurunkan semua pengetahuan kepada sang murid. Maka dalam konteks mahayana, Buddha idealnya menurunkan semua pengetahuanNya agar para siswanya dapat mencapai setara dengan Buddha sendiri. Itulah tujuan sravaka dibimbing menuju jalan mahayana, agar apa yg Buddha capai , sang siswa juga diharapkan mencapainya.
spekulasi saya... kitab kitab mahayana itu di"tulis" oleh beberapa orang yang tidak memiliki kontinuitas dan kesinambungan doktrin... makanya kadang memuji, kadang merendahkan...
lalu kitab nikaya2 yg juga kadang memuji dan kadang merendahkan dianggap terkecuali ?Sebetulnya ini topik tetangga (Pertanyaan kritis mengenai Theravada), tapi saya mau minta bocoran dikit, maksudnya bro chingik, dalam nikaya2, apakah yang kadang direndahkan dan kadang dipuji?
Sebetulnya ini topik tetangga (Pertanyaan kritis mengenai Theravada), tapi saya mau minta bocoran dikit, maksudnya bro chingik, dalam nikaya2, apakah yang kadang direndahkan dan kadang dipuji?
Mungkin pengertian samsara berbeda antara Theravada dan Mahayana... Karena menurut Theravada, seseorang yang masih terkondisi dan terlahir di 31 alam itu masih mengalami samsara, Bagaimana menurut Mahayana ? karena para sravaka masih bisa "lanjut"... tentu-nya harus terlahir untuk "lanjut"Iya, mahayana memandang secara berbeda lagi.
Sravaka yang tidak melanjutkan memang dianggap keliru dalam konteks bahwa ada pengetahuan lanjutan yang terlalu sayang utk diabaikan.
Tetapi harap dicatat juga bahwa kekeliruan itu bukan dalam arti belajar jalan sravaka adalah kekeliruan fatal yg harus dihentikan sebelum memulai.Karena memang Buddha sendiri yang mengajarkannya. Ini merupakan metode dari seorang Buddha dalam membimbing siswanya.
Contohnya orang membangun rumah diawali dari fondasi, jika anda hanya bangun fondasi lalu tidak melanjutkan bangun kerangka hingga bangunan itu selesai, apa tidak dianggap keliru? Tetapi saat anda membangun fondasi , anda tidak pernah dianggap keliru, karena memang itu tahapannya.
kalau tidak belajar pondasi, langsung ke mahayana bijimana? apakah bisa tanpa pondasi?
Jika ada ikrar demikian mengapa dalam Sutra Mahayana , Sariputra , Mahakasyapa dan siswa sravaka agung lainnya tidak lantas berubah status sbg bodhisatva saja setelah diramalkan akan menjadi Buddha? Bahkan dalam Saddharmapundarika, kata pembukanya tetap memuji para siswa sravaka sebagai bukti kedudukan sravaka adalah terhormat dan tdk semata-mata sbg hinayana. Berikut kutipannya: Pada suatu ketika Sang Buddha bersemayam di Rajagraha di Gunung Gridhrakuta, dihadap oleh 12.000 Bhiksu yang semuanya telah mencapai kesucian Arahat, yang tiada tercela, yang telah bebas dari ikatan keduniawian, yang telah mengatasi segala belenggu dan yang telah dapat mengendalikan pikiran dan nafsu keinginannya.
Mereka tetap disebut sbg sravaka agung, jadi pemahaman sbg konversi di sini tidaklah tepat, lebih tepatnya sebagai bimbingan utk memasuki tahapan berlanjut.
Dalam konteks mahayana, arahat dianggap terbebas dari belenggu samsara, tetapi dari aspek pengetahuan tertinggi, belum setara SamyakSambuddha. Dalam transmisi ajaran, idealnya seorang guru akan menurunkan semua pengetahuan kepada sang murid. Maka dalam konteks mahayana, Buddha idealnya menurunkan semua pengetahuanNya agar para siswanya dapat mencapai setara dengan Buddha sendiri. Itulah tujuan sravaka dibimbing menuju jalan mahayana, agar apa yg Buddha capai , sang siswa juga diharapkan mencapainya.jadi kalau seorang arahat memberikan pengetahuannya setengah atau seperempat belum lulus ya?, kalau keburu mati bijimana? harus terlahir lagi ya untuk memberikan "semua" ajaannya?
Memasuki jalan mahayana (jalan bodhisatva) tidak ditentukan dari mana status pencapaian seseorang. Sejauh anda membangkitkan aspirasi utk mencapai sama seperti seorang Samyaksambuddha, anda disebut memasuki jalan mahayana walaupun masih awam. Bisa juga anda membangkitkan belas kasih kepada seluruh makhluk, anda menumbuhkan benih mahayanis dalam diri anda.
itulah maka dikatakan bahwa sutra2 mahayana itu saling kontradiktif satu sama lain, inconsistent
Mengatakan sebagai kontrakdiktif, berarti belum memahami arti dan interaksi hubungan guru dan siswa (dalam kasus ini ada kalanya Buddha mengkritisi siswa sravaka dan pd kesempatan lain memujinya).
Saya balik bertanya, apakah seorang guru hanya boleh terus memuji siswa, walau siswa melakukan kekeliruan?
Atau, ketika Buddha pada satu kesempatan memuji perempuan, pd kesempatan lain merendahkan perempuan, apakah karena kasus ini ada di kitab nikaya , maka dianggap tdk kontradiksi?
mengkritisi murid atas ajaran sravaka yang sudah diajarkan-nya sendiri ?
Mungkin karena dianggap sudah berpuas diri terhadap pencapaian sravaka :-?
murid-murid tamat sekolah, tetapi tidak semua bisa menjadi guru...ketika belum jadi guru maka percuma jadi murid, percuma jadi arahat juga, bahkan kalau ngajar ga ada yang nerima juga percuma, ga mendapatkan hasil, btw yang nilai si arahat udah total memberi ajaran itu siapa ya? kalau belom lulus mengajar berarti khan harus terlahir kembali, khan buda juga belom lulus jadi guru juga buktinya masih banyak yang belom menerima buda sebagai guru selamat :))
murid-murid tamat sekolah, tetapi tidak semua bisa menjadi guru...
Kalau begitu, apakah para praktisi mahayana sudah menamatkan tahapan sravaka-nya hingga melanjutkan kepada tahapan mahayana? ataukah tahapan sravaka ini bersifat optional?
jadi kalau seorang arahat memberikan pengetahuannya setengah atau seperempat belum lulus ya?, kalau keburu mati bijimana? harus terlahir lagi ya untuk memberikan "semua" ajaannya?ga ngerti maksud dan relevansi pertanyaan ini.
semua ajarannya itu seperti bijimana?
promosi lagi ah,
http://dhammacitta.org/dcpedia/Para_Arahant,_Boddhisattva,_dan_Buddha_(Bodhi) (http://dhammacitta.org/dcpedia/Para_Arahant,_Boddhisattva,_dan_Buddha_(Bodhi))
sebelum melanjutkan diskusi, sangat disarankan untuk membaca artikel di atas
Yang namanya tahapan tentu saja harus keluar dari tahap a baru masuk ke tahap b. Terus camkan dengan kata "berangsur-angsur" di atas, jika sravaka dianggap kekeliruan fatal, sdh tidak seharusnya doktrin Mahayana selalu menjelaskan bahwa beberapa Buddha muncul di dunia mengajar dengan sistem 3 kendaraan, beberapa Buddha dengan sistem 1 kendaraan tunggal (bodhisatvayana. Atau dgn kata lain, lebih baik Buddha tidak mengajar jalan sravaka sejak awal.
Jadi sravaka merupakan keniscayaan yg tidak bisa diabaikan dalam doktrin mahayana, hanya saja mereka akan dibimbing ke tahapan lanjutan bergantung pada bagaimana seorang Buddha melakukannya.
Sravaka yang tidak melanjutkan memang dianggap keliru dalam konteks bahwa ada pengetahuan lanjutan yang terlalu sayang utk diabaikan.
Tetapi harap dicatat juga bahwa kekeliruan itu bukan dalam arti belajar jalan sravaka adalah kekeliruan fatal yg harus dihentikan sebelum memulai.Karena memang Buddha sendiri yang mengajarkannya. Ini merupakan metode dari seorang Buddha dalam membimbing siswanya.
Contohnya orang membangun rumah diawali dari fondasi, jika anda hanya bangun fondasi lalu tidak melanjutkan bangun kerangka hingga bangunan itu selesai, apa tidak dianggap keliru? Tetapi saat anda membangun fondasi , anda tidak pernah dianggap keliru, karena memang itu tahapannya.
Mengatakan sebagai kontrakdiktif, berarti belum memahami arti dan interaksi hubungan guru dan siswa (dalam kasus ini ada kalanya Buddha mengkritisi siswa sravaka dan pd kesempatan lain memujinya).
Saya balik bertanya, apakah seorang guru hanya boleh terus memuji siswa, walau siswa melakukan kekeliruan?
Atau, ketika Buddha pada satu kesempatan memuji perempuan, pd kesempatan lain merendahkan perempuan, apakah karena kasus ini ada di kitab nikaya , maka dianggap tdk kontradiksi?
Begini. Anda khan blg kalao si arahat βέĺĺ☺♏ memberikan semua ilmunya berarti βέĺĺ☺♏ lulus, nah gimana kalao arahat ini keburu mati sblm memberikan ajarannya, contohnya seperti bahiya.
Begini. Anda khan blg kalao si arahat βέĺĺ☺♏ memberikan semua ilmunya berarti βέĺĺ☺♏ lulus, nah gimana kalao arahat ini keburu mati sblm memberikan ajarannya, contohnya seperti bahiya.Tidak bisa dilihat hanya dari sisi si arahat. Sisi orang yang belajar dari sang arahat juga menentukan peran bgm proses pembelajaran itu bisa ttp berkesinambungan, yang akhirnya kembali pada karma si pembelajar.
dikatakan kontradiksi jika menilai sesuatu sebagai baik dan pada kesempatan lain sebagai buruk utk kasus yg sama. bukan pada kasus yg berbedaYa, sy juga tidak melihatnya sbg kasus yang berbeda. Apalagi masalah gender ini sdh sering jadi perdebatan, dan sdh cukup mengindikasikan sifat kontradiksinya.
Ya, sy juga tidak melihatnya sbg kasus yang berbeda. Apalagi masalah gender ini sdh sering jadi perdebatan, dan sdh cukup mengindikasikan sifat kontradiksinya.
Hanya saja sy tidak ingin terjebak dlm spekulasi, sama hal nya sy menilai orang yang salah memahami mahayana juga juga krn cara spekulasi mereka saja.
Ayolah, Sdr. Chingik, sudah jelas masalah Arahat adalah hal yang berbeda dan bertolak belakang, dan bukan tahapan. Bagi Sravakayana, Arahat adalah spiritual tertinggi dan itu sudah final. Jika anda mengatakan itu adalah tahapan dan harus ada lanjutan, ini berarti anda mengatakan bahwa itu bukan final dan ini juga berarti menolak ajaran Sravakayana yang menggapnya sudah final. Jika menerima seharusnya juga menerima bahwa Arahat adalah spiritual tertinggi juga sesuatu yang final.Ayolah bro kelana, masalah arahat yang saya katakan masih berlanjut itu kan memang pada dasarnya saya bicara dlm konteks mahayana, dan saya juga tau pandangan theravada berbeda, yang samasekali tidak pernah saya konflikkan.
Singkatnya: jika si A mengatakan sudah final, kemudian si B mengatakan belum dan masih ada lanjutan, ini berarti si B menolak (tidak menerima) apa yang dikatakan si A .
Ayolah Sdr. Chingik ini hanya logika sederhana saja mengenai perbedaan antara menolak dan menerima. Kalau hal sederhana seperti ini saja anda tidak memahaminya, ya, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Saya rasa saya tidak bisa menemukan jawabannya pada argumen-argumen anda. Jadi silahkan anda berargumen lagi, tapi saya tidak akan menanggapinya karena saya yakin argumennya akan sama selama anda belum bisa membedakan antara menerima dengan menolak. Dan pertanyaan rekan-rekan lain juga banya yang menunggu.
maksud saya begini, untuk contih kasus gender, Sang Buddha mengatakan bahwa bhikkhuni dapat memperpendek umur Sasana, adakah di kesempatan lain di mana Sang Buddha mengatakan bahwa bhikkhuni dapat memperpanjang umur Sasana?Tetapi maksud saya juga adalah Sang Buddha mengatakan bahwa bhikkhuni dapat memperpendek umur Sasana, itu berkenaan dengan pernyataan yang menurunkan derajat wanita. Kemudian mengatakan wanita jika berlatih juga berpotensi mencapai kesucian tertinggi, yang mana ini berkenaan dengan mengangkat derajat wanita. Itu yang saya maksudkan kontradiksi.
seperti halnya dalam Mahayana, di satu pihak mengakui bahwa Arahat adalah pencapaian yg mulia/ terpuji/final, tapi dipihak lain juga dikatakan sebaliknya. ini yg saya maksudkan dengan kontradiksi
Tidak bisa dilihat hanya dari sisi si arahat. Sisi orang yang belajar dari sang arahat juga menentukan peran bgm proses pembelajaran itu bisa ttp berkesinambungan, yang akhirnya kembali pada karma si pembelajar.jadi apakah bahiya masih bisa terlahir lagi?
jadi apakah bahiya masih bisa terlahir lagi?
tergantung apakah si bahiya beragama theravada atau mahayana
tergantung apakah si bahiya beragama theravada atau mahayanaEh ga taunya dia beragama hindu
Tetapi maksud saya juga adalah Sang Buddha mengatakan bahwa bhikkhuni dapat memperpendek umur Sasana, itu berkenaan dengan pernyataan yang menurunkan derajat wanita. Kemudian mengatakan wanita jika berlatih juga berpotensi mencapai kesucian tertinggi, yang mana ini berkenaan dengan mengangkat derajat wanita. Itu yang saya maksudkan kontradiksi.
menurut saya tidak berkontradiksiJaah, kalo ngomong gitu saya juga bisa. Kalo tau gitu mending saya tinggal ngomong gitu juga ke Om Indra atas statementnya yang mengatakan kontradiksi dlm mahayana:
yang mengatakan 'kontradiksi' adalah aliran2 tertentu utk 'pembenaran' atau tidak mengerti maksud dari Sang Buddha
Jaah, kalo ngomong gitu saya juga bisa. Kalo tau gitu mending saya tinggal ngomong gitu juga ke Om Indra atas statementnya yang mengatakan kontradiksi dlm mahayana:
"menurut saya tidak berkontradiksi
yang mengatakan 'kontradiksi' adalah aliran2 tertentu utk 'pembenaran' atau tidak mengerti maksud dari Sang Buddha"
Eh ga taunya dia beragama hindujadi apakah akan terlahir lagi?
jadi apakah akan terlahir lagi?Bahiya telah mencapai nirvana, tentu saja tidak terlahir lagi.
apakah mahayana mengenal bahiya?
Bahiya telah mencapai nirvana, tentu saja tidak terlahir lagi.
Apa relevansinya dengan pertanyaan "apakah mahayana mengenal bahiya?"
Dlm Samyuttagama dari Agama-sutra mencatat ttg Bahiya yang isinya paralel dengan Bahiya Sutta.
Bahiya telah mencapai nirvana, tentu saja tidak terlahir lagi.
Apa relevansinya dengan pertanyaan "apakah mahayana mengenal bahiya?"
Dlm Samyuttagama dari Agama-sutra mencatat ttg Bahiya yang isinya paralel dengan Bahiya Sutta.
Iya, mahayana memandang secara berbeda lagi.
Dalam mahayana , siklus kematian dan kelahiran (samsara) bagi seorang arahat,paccekabuddha dan bodhisatva 8 bhumi ke atas telah berakhir. Mereka tidak dilahirkan lagi di triloka. Tetapi mereka masih memliki satu jenis siklus lain , saya hanya bisa terjemahkan bebas dari istilah mandarin "Bian Yi Sheng Si" yg artinya kira2 sbg siklus perubahan. Makhluk suci ini seperti inilah yg dikatakan dapat menjelma di triloka dan melakukan aktifitas menyelamatkan makhluk lain. Batin mereka telah bebas dari belenggu dan merealisasi pemahaman anatta, dengan inilah mereka baru dapat benar2 bekerja secara altruis dlm arti yg sesungguhnya. Dengan inilah mereka baru dapat mewujudkan apa yg menjadi cita2 agung, bekerja tanpa jeda demi kebahagiaan makhluk hidup di semesta.
Dalam Mahayana, mencapai kesucian bagi seseorang merupakan akhir dari belenggu siklus samsara (mengakhiri penderitaan sendiri) , pd saat yg sama juga merupakan langkah awal utk bekerja secara penuh demi menyelamatkan makhluk lain yg tidak dibatasi oleh siklus samsara.
Bahiya telah mencapai nirvana, tentu saja tidak terlahir lagi.apakah kearahatannya sempurna atau setengah2? karena bahiya tidak mengajarkan apa2, atau tidak mempunyai murid.
Apa relevansinya dengan pertanyaan "apakah mahayana mengenal bahiya?"
Dlm Samyuttagama dari Agama-sutra mencatat ttg Bahiya yang isinya paralel dengan Bahiya Sutta.
(kemungkinan dalam paham mahayana).
pencapaian tertingginya adalah bebas masuk(memasuki)-keluar samsara maupun nirvana.
sementara, bahiya memasuki nirvana, telah bebas seutuhnya-tak akan mundur & terlahir lagi, kecuali "dibangunkan" Para Buddha, menurut mahayana, orang mulia seperti bahiya belum mencapai tahapan "bebas masuk(memasuki)-keluar samsara maupun nirvana".
"bebas masuk(memasuki)-keluar samsara maupun nirvana" adalah pencapaian tertinggi seperti yang telah dicapai Sakyamuni, Avalokitesvara, Ksitigarbha, Manjusri,dll.
wow !, ada juga cerita beginian :))sepertinya nirwana bukan sebuah alam, tetapi keadaan tidak terpikirkan,tapi nirwana bukannya tidak ada, nirwana itu ada. D
oh ternyata ada cara juga bisa bebas masuk-keluar samsara maupun nirwana
ketika orang sudah berada di nirwana bisa kembali lagi ke samsara
begitu juga sebaliknya
jadi nirwana dan samsara itu menurut bro kipas angin seperti suatu alam !
apakah mencapai nirvana berarti tidak terlahir kembali?Sudah tau perbedaan konsep antara dua aliran. Jadi ingin mencari pembenaran dari tolak ukur siap lagi? Kalo merasa tertarik dengan topik nirvana, boleh buka thread baru.
bagaimana dengan Buddha?
source pls
apakah kearahatannya sempurna atau setengah2? karena bahiya tidak mengajarkan apa2, atau tidak mempunyai murid.Hanya berkenaan dengan bebas dari belenggu samsara, kearahatan disebut sempurna. Berkenaan dengan pencapaian pengetahuan sempurna, arahat tidak sebanding dengan sammasambuddha, tidak sebanding ini dikatakan ketidaksempurnaan arahat.
apakah bahiya bisa menjelma di triloka?
Arahat yang menjelma bukan dilahirkan kembali.
Mohon dijawab, jika Arahat mati, apakah ada kemungkinan utk berhubungan dengan sesama arahat lain, dan dunia ini lagi?
Sudah tau perbedaan konsep antara dua aliran. Jadi ingin mencari pembenaran dari tolak ukur siap lagi? Kalo merasa tertarik dengan topik nirvana, boleh buka thread baru.
-apakah tidak disebutkan sumber?
Hanya berkenaan dengan bebas dari belenggu samsara, kearahatan disebut sempurna. Berkenaan dengan pencapaian pengetahuan sempurna, arahat tidak sebanding dengan sammasambuddha, tidak sebanding ini dikatakan ketidaksempurnaan arahat.ohh, jadi kalau kek bahiya gitu dia belum mencapai pengetahuan sempurna, tidak sebanding dengan samasambuda, trus kalau gitu pencapaian arahatnya itu buat apa? berguna atau tidak? sia2 atau tidak? apa ada kelanjutan untuk bahiya buat menyempurnakan pengetahuannya agar seimbang dengan samasambuda?
Arahat yang menjelma bukan dilahirkan kembali.lah mana aye tau, menurut mahayana bagaimana?
Mohon dijawab, jika Arahat mati, apakah ada kemungkinan utk berhubungan dengan sesama arahat lain, dan dunia ini lagi?
Arahat yang menjelma bukan dilahirkan kembali.
Mohon dijawab, jika Arahat mati, apakah ada kemungkinan utk berhubungan dengan sesama arahat lain, dan dunia ini lagi?
kalau begitu, pangeran sidhartha gautama yg keluar dari rahim ibunya setelah dikanfung selama 10 bulan itu disebut apa ya?
ohh, jadi kalau kek bahiya gitu dia belum mencapai pengetahuan sempurna, tidak sebanding dengan samasambuda, trus kalau gitu pencapaian arahatnya itu buat apa? berguna atau tidak? sia2 atau tidak? apa ada kelanjutan untuk bahiya buat menyempurnakan pengetahuannya agar seimbang dengan samasambuda?lah mana aye tau, menurut mahayana bagaimana?Saya tidak mengatakan sia2.
Kalau saya mengatakan itu sesungguhnya bukan dilahirkan lagi, apakah anda bisa menerimanya?
Lalu adakah orang biasa yang dilahirkan itu keluar secara ajaib dari sisi tubuh dan langsung melangkahkan kakiknya muncul teratai di tanah?
Apakah hanya itu yg bisa diterima, lalu mengatakan "sesungguhnya bukan dilahirkan" yg sama2 pernyataan tidak konvensional adalah tidak bisa terima ?
bisa menjelma kayak film SunGoKong, kebanyakan nonton film kali :))Bagi anda bisa menjelma lagi itu lucu. Bagi saya itu masih ada memiliki nilai manfaatnya bagi dunia.
bold, kalau sesuai Tipitaka bahasa Pali : TIDAK ...
pertanyaan saya, hal itu disebut apakah? keluar secara ajaib dari sisi kanan ini bisa lebih dijelaskan? apakah bagian pinggang si ibu terkoyak? jadi ingat film "ALIEN"bukannya justru Om yang harus menjelaskannya jika memandang kelahiran bodhisatta adalah disebut dilahirkan. Apakah fenomena seperti itu disebut dilahirkan?
bukannya justru Om yang harus menjelaskannya jika memandang kelahiran bodhisatta adalah disebut dilahirkan. Apakah fenomena seperti itu disebut dilahirkan?di agama yg saya anut, tidak ada adegan spt itu, andalah yg menyinggung fenomena itu, jadi penjelasan itu tetap menjadi kewajiban anda. monggo
kalau begitu, pangeran sidhartha gautama yg keluar dari rahim ibunya setelah dikanfung selama 10 bulan itu disebut apa ya?
Saya tidak mengatakan sia2.iya bagi mahayana bagaimana?
Pertanyaan buat apa, berguna atau tidak, mungkin bisa saya berikan gambaran yang hampir sama pada Anagami. Anagami juga belum sebanding Arahat ,tetapi pencapaian anagami buat apa? berguna atau tidak? Tentu tetap masih berguna. Tetapi mencapai anagami bukan berarti cukup.
Pada kasus arahat, ya memang benar Theravada menganggap telah selesai. Tetapi skrg kita sedang bahas konteks mahayana.
Bagi anda bisa menjelma lagi itu lucu. Bagi saya itu masih ada memiliki nilai manfaatnya bagi dunia.teori 'penjelmaan' timbul persepsi2 sehingga banyak terjadi pandangan salah
Tapi menurut anda Arahat yg sudah mati berarti sudah putus hubungan selama-lamanya secara abadi dengan dunia ini, bagi saya itu tidak memiliki manfaatnya bagi dunia, bahkan bagi Buddhasasana sendiri.
Dari sini, maka Arahat adalah pencapaian yang tidak begitu penting bagi dunia. Tidak perlu heran jika penghormatan kepada Arahat semakin berkurang dari teori seperti ini.(Saya memberi hormat kepada Arahat setinggi2nya, tetapi tidak dengan teori seperti itu).bro chingik, kok membuat kesimpulan pencapaian tidak penting bagi dunia dan penghormatan kepada Arahat bisa berkurang ! ::)
apa sih gunanya pengetahuan sempurna bagi para arahat? ;D
buddha kan udah mengajarkan intinya dan para arahat sudah memahaminya, sudah membuktikan sendiri, sudah merealisasikannya juga, jadi untuk apa lagi mencari pengetahuan lainnya? ;D
apakah pengetahuan lainnya itu begitu pentingnya sehingga harus membanding-bandingkan segala? ;D
ingat, membanding-bandingkan itu kan suatu bentuk kesombongan ;D.
di agama yg saya anut, tidak ada adegan spt itu, andalah yg menyinggung fenomena itu, jadi penjelasan itu tetap menjadi kewajiban anda. monggoKalo tidak ya sudah.
Kalo tidak ya sudah.
Saya cuma tau Theravada bahkan dlm RAPB mencatat bodhisatta bisa langsung berjalan dan berbicara.
Dengan kemampuan seperti itu dalam mahayana tetap menganggap bodhisatva tidak "dilahirkan" , ttapi kekuatan menjelma.
IMOAnggapan inkonsitensi ini hanya ada pd orang yang mindset nya terpaku pd penilaian bhw hanya aliran yang dianutnya pasti benar dan aliran lain salah.
mungkin penasaran dengan inkonsisten nya sutra-sutra yang bolak balik tidak ketemu, mana tahu bro chingik bisa menjelaskan lebih detail atau ada penemuan sutra2 baru. ^-^
Anggapan inkonsitensi ini hanya ada pd orang yang mindset nya terpaku pd penilaian bhw hanya aliran yang dianutnya pasti benar dan aliran lain salah.
Berdiskusilah secara objektif. Inkonsistensi yang anda sebutkan, jika benar demikian adanya, mengapa masalah gender yang saya singgung sblmnya tidak dianggap sama2 inskonsistensi dr ajaran Buddha, mohon jelaskan, jangan sedikit2 hanya mencari pembenaran tanpa argumen yang sehat, kalo hanya bisa mengatakan ajaran gini gitu, maka ajaran agama a sampai z juga bisa seenak2nya meneriakkan tuduhan tak berdasar pd siapa pun.
Kapasitas saya di sini hanya utk menyanggah argumen tak berdasar dari Kelana. Bukan mencari kesalahan pd aliran lain. Tujuan saya hanya ingin mengembalikan pemahaman yang seimbang pd masing2 aliran.
acting... bahasa buddhis-nya UPAYA KAUSALYA...
Bisa jelaskan dulu apa itu Upaya Kausalya dan apa tujuannya?
Pernah baca Anguttara nikaya bagian bagian Ananda vagga? Buddha mendeskripsikan sistem dunia yang maha luas dengan beribu2 tata surya yang mana beribu2 alam manusia, beribu2 alam dewa di dalam nya?
Menurut mu apa mungkin Buddha hanya muncul di jambudipa sini ini dengan umur hanya 80 tahun mengajar Dhamma 45 tahun, sedangkan luas sistem semesta ini begitu luas. Seorang Sammasambuddha menyempurnakan paramita begitu lama, dan setelah mencapai pencerahan, Beliau begitu disanjung dan dihormati para dewa dan brahma, tetapi Buddha hanya mengajar di Jambudipa sini selama 80 tahun yang sekejap mata.
Jika tanpa upaya kausalya dan kekuatan menjelma, maka saya rasa pencapaian seorang Sammaambuddha tidak menunjukkan keistimewaan apapun bagi dunia ini, apalagi dengan adhitananya yang selalu dikumandangkan demi kebahagiaan semua makluk hidup saat diramal oleh Buddha Dipankara.
iya bagi mahayana bagaimana?Benar pencapaian apapun hanya diri sendiri yang tahu bermanfaat atau tidak. Tetapi tidak semua orang berpikiran sama. Ada juga orang yang menimbang bahwa apakah pencapaiannya dpt bermanfaat bagi orang lain. Orang seperti ini disebut memiliki semangat altruis. Maka itu mengapa ada yang hanya ingin menjadi sravaka dan ada yang ingin lebih dari itu dan itu telah ditunjukkan oleh pertapa Sumedha ketika beliau lebih memilih mencapai Sammasambuddha dari pada Arahat dihadapan Buddha Dipankara.
pencapaian apapun soal manfaat itu hanya dirinya yang bisa mengetahui bermanfaat atau tidak, tidak ada hubungan dengan orang lain.
apa dengan seseorang menjadi arahat maka dia bisa membuat orang lain jadi arahat dengan otomatis misalnya dengan mengulang nama si arahat itu berulang2?
soal kecukupan bagi mahayana seperti apa? kenapa pencapaian arahat itu tidak cukup? apakah bahiya itu mencapai arahat itu menjadi mubajir?
jika anda katakan "menjelma", penjelmaan adalah salah satu mata rantai dari 12 mata rantai paticca-samuppada, dengan demikian apakah seorang Buddha masih terperangkap dalam lingkaran paticca-samuppada?Seorang Buddha sdh tidak memiliki avijja, jadi tidak terperngkap dlm paticca-sammupadda. Istilah menjelma yang saya maksudkan bukan proses kemenjadian yang sama dengan Bhava paccaya jati, apalagi proses bhava paccaya jati hanya berlaku utk makhluk puthujjana yang difaktori oleh kammabhava dan uppatibhava.
Seorang Buddha sdh tidak memiliki avijja, jadi tidak terperngkap dlm paticca-sammupadda. Istilah menjelma yang saya maksudkan bukan proses kemenjadian yang sama dengan Bhava paccaya jati, apalagi proses bhava paccaya jati hanya berlaku utk makhluk puthujjana yang difaktori oleh kammabhava dan uppatibhava.
Menjelma sini dapat diselaraskan dengan kekuatan iddhi seperti dalam Mahaparinibbana Sutta saat Buddha berbicara dengan kepada 8 kelompok mahluk sementara para mereka tidak tahu itu merupakan "jelmaan" Buddha.
ini diskusi yg tak berujung.....
Pertanyaan (P) JAWAB(J)
P:mengapa sangbuddha acting sedemikian hebat?
J:upayakausalya
( mau lanjut diskusi apa coba? )
P:mengapa Buddha membuat kerumitan seperti ini? mengetahui pecah nya sangha kemudian muncul lagi sebagai
Padmasambhava ( pro mahayana ) ?
J:Upayakausalya
(mau lanjut diskusi apa lagi? )
P: SangBuddha sungguh keterlaluan...
ketika pertapa , Alara kalama, dan Udraka Ramputra masih hidup, tidak di ajarkan dhamma(masih sembunyi kemampuan)
tunggu mereka berdua mati, baru mencoba memakai kemampuan batin untuk mengajarkan mereka? ga salah nih ? nah lo...www.bingung.com
J: upayakausalya, Buddha nanti bertemu entah di kalpa mana, dan buddha akan mengajarkan dhamma di saat yg tepat...
singkat diskusi....
tidak ada jawaban berbobot.
Benar pencapaian apapun hanya diri sendiri yang tahu bermanfaat atau tidak. Tetapi tidak semua orang berpikiran sama. Ada juga orang yang menimbang bahwa apakah pencapaiannya dpt bermanfaat bagi orang lain. Orang seperti ini disebut memiliki semangat altruis. Maka itu mengapa ada yang hanya ingin menjadi sravaka dan ada yang ingin lebih dari itu dan itu telah ditunjukkan oleh pertapa Sumedha ketika beliau lebih memilih mencapai Sammasambuddha dari pada Arahat dihadapan Buddha Dipankara.hmm, tetapi sungguh aneh kenapa gotama tidak mau bertekad seperti sumeda?
Bermanfaat buat yang lain bukan berarti harus bisa mengubah orang lain secara langsung seperti yang bro pelintirkan bhw harus bisa membuat orang jadi arahat secara otomatis dengan melafal namanya terus. Tidak dapat membuat orang lain menjadi arahat scr otomatis, bukan berarti tidak bermanfaat, tetapi degn kekuatan kebijaksanaan dan kesabaran, seseorang akan dibimbing secara berangsur2, jika tdk pd kehidupan ini, masih ada kesmpatan di kehidupan akan datang, semua bergantung pd karma orang yang diajarkan dan tergantung pd kekuatan adhitana dari orang yang mngajarkan.
Pencapaian bahiya sdh saya jelaskan sebelumnya. Jadi tdk perlu sy ulang lagi.
Bisa jelaskan dulu apa itu Upaya Kausalya dan apa tujuannya?Jadi kalau menurut Mahayana, seharusnya kalau sudah menyempurnakan paramitha sedemikian lama, tidak takluk pada hukum alam? (1) Berapa idealnya umur seorang Buddha? (2) Kenapa tidak sekalian hidup selamanya saja agar bisa mengajar terus menerus, misalnya sampai tahun 2011 ini? (3)
Pernah baca Anguttara nikaya bagian bagian Ananda vagga? Buddha mendeskripsikan sistem dunia yang maha luas dengan beribu2 tata surya yang mana beribu2 alam manusia, beribu2 alam dewa di dalam nya?
Menurut mu apa mungkin Buddha hanya muncul di jambudipa sini ini dengan umur hanya 80 tahun mengajar Dhamma 45 tahun, sedangkan luas sistem semesta ini begitu luas. Seorang Sammasambuddha menyempurnakan paramita begitu lama, dan setelah mencapai pencerahan, Beliau begitu disanjung dan dihormati para dewa dan brahma, tetapi Buddha hanya mengajar di Jambudipa sini selama 80 tahun yang sekejap mata.
Jika tanpa upaya kausalya dan kekuatan menjelma, maka saya rasa pencapaian seorang Sammaambuddha tidak menunjukkan keistimewaan apapun bagi dunia ini, apalagi dengan adhitananya yang selalu dikumandangkan demi kebahagiaan semua makluk hidup saat diramal oleh Buddha Dipankara.
Seorang Buddha sdh tidak memiliki avijja, jadi tidak terperngkap dlm paticca-sammupadda. Istilah menjelma yang saya maksudkan bukan proses kemenjadian yang sama dengan Bhava paccaya jati, apalagi proses bhava paccaya jati hanya berlaku utk makhluk puthujjana yang difaktori oleh kammabhava dan uppatibhava.
Menjelma sini dapat diselaraskan dengan kekuatan iddhi seperti dalam Mahaparinibbana Sutta saat Buddha berbicara dengan kepada 8 kelompok mahluk sementara para mereka tidak tahu itu merupakan "jelmaan" Buddha.
Jadi kalau menurut Mahayana, seharusnya kalau sudah menyempurnakan paramitha sedemikian lama, tidak takluk pada hukum alam? (1) Berapa idealnya umur seorang Buddha? (2) Kenapa tidak sekalian hidup selamanya saja agar bisa mengajar terus menerus, misalnya sampai tahun 2011 ini? (3)
ini diskusi yg tak berujung.....
Pertanyaan (P) JAWAB(J)
P:mengapa sangbuddha acting sedemikian hebat?
J:upayakausalya
( mau lanjut diskusi apa coba? )
P:mengapa Buddha membuat kerumitan seperti ini? mengetahui pecah nya sangha kemudian muncul lagi sebagai
Padmasambhava ( pro mahayana ) ?
J:Upayakausalya
(mau lanjut diskusi apa lagi? )
P: SangBuddha sungguh keterlaluan...
ketika pertapa , Alara kalama, dan Udraka Ramputra masih hidup, tidak di ajarkan dhamma(masih sembunyi kemampuan)
tunggu mereka berdua mati, baru mencoba memakai kemampuan batin untuk mengajarkan mereka? ga salah nih ? nah lo...www.bingung.com
J: upayakausalya, Buddha nanti bertemu entah di kalpa mana, dan buddha akan mengajarkan dhamma di saat yg tepat...
singkat diskusi....
tidak ada jawaban berbobot.
^^
sepertinya jawaban dipastikan tidak akan memuaskan :)
gimana seorang buddha bisa menjelma kembali setelah parinibbana??
sedangkan saat seorang buddha parinibbana saja, panca kandha-nya juga udah tidak berjalan lagi, alias turned off..
kalo seorang buddha berpikir "biarlah aku menjelma kembali untuk kebahagiaan para makhluk", berarti argumen ini secara tidak langsung menyatakan:
1. buddha masih mempunyai keinginan untuk menjelma, yang mana keinginan itu udah di hapus dari dirinya sejak saat mencapai pencerahan..
2. kalopun bukan keinginan, berarti anda menyatakan bahwa seorang buddha setelah parinibbana setidaknya masih mempunyai pikiran (sehingga bisa mikir untuk menjelma), yang notabene adalah salah satu dari panca kandha yang seharusnya sudah tidak ada lagi segera setelah sang buddha parinibbana..
CMIIW
mohon bimbingannya dari para senior sekalian..
_/\_
dalam forum, wajar jika kita berbagi pengetahuan...
saya kira ini adalah pertannyaan yang tidak berguna.
Kita harusnya mempelajari hal-hal yang mengarahkan menuju Kebuddhan, bukan setelah itu.
dalam forum, wajar jika kita berbagi pengetahuan...
lagipula itu kan hanya argumen saya...
terserah pada pembaca, mau setuju atau tidak setuju..
untuk apa bertanya pada sang buddha??Ini boardnya Mahayana, bro, jadi tidak boleh pakai referensi 'sutta'.
sudah beliau babarkan sendiri dalam sutta-suttanya, jadi saya rasa sudah cukup jelas...
Ini boardnya Mahayana, bro, jadi tidak boleh pakai referensi 'sutta'.
Ini boardnya Mahayana, bro, jadi tidak boleh pakai referensi 'sutta'.oh, maaf, salah ucap....
jadi harus pakai SUTRAyang ada JUPE-nya yah???
tapi harus hati2 menggunakan kata Sutra, ada juga barang konsumen merk 'Sutra' :))
gimana seorang buddha bisa menjelma kembali setelah parinibbana??
sedangkan saat seorang buddha parinibbana saja, panca kandha-nya juga udah tidak berjalan lagi, alias turned off..
kalo seorang buddha berpikir "biarlah aku menjelma kembali untuk kebahagiaan para makhluk", berarti argumen ini secara tidak langsung menyatakan:
1. buddha masih mempunyai keinginan untuk menjelma, yang mana keinginan itu udah di hapus dari dirinya sejak saat mencapai pencerahan..
2. kalopun bukan keinginan, berarti anda menyatakan bahwa seorang buddha setelah parinibbana setidaknya masih mempunyai pikiran (sehingga bisa mikir untuk menjelma), yang notabene adalah salah satu dari panca kandha yang seharusnya sudah tidak ada lagi segera setelah sang buddha parinibbana..
CMIIW
mohon bimbingannya dari para senior sekalian..
_/\_
jadi harus pakai SUTRAjaga cetanamu "nak" dari akusala kamma
tapi harus hati2 menggunakan kata Sutra, ada juga barang konsumen merk 'Sutra' :))
saya tanya balik
apakah para buddha "tidak bisa" menjelma kembali setelah parinibbana?
apakah anda "mampu" menilai kualitas seorang Sammasambuddha? => dua-duanya tidak bisa menurut saya
saya tanya, siapa anda yang mengangap diri "pantas" menilai seorang
Sammasambuddha tidak dapat atau dapat menjelma => saya umat buddha, jadi saya merasa pantas menilai tentang seorang samma sambuddha dan tidak pantas menilai nabi muhammad
apakah anda seorang Sammasambuddhja atau lebih tinggi => setidaknya saya tidak berbohong dengan mengatakan iya
(maaf, kebodohan jangan di piara, dan kalau mau nilai, nilai diri sendiri dulu
sebelum kamu menilai orang/mahluk lain)
1-lagi "siapa kamu"yang pantas menilai seorang Sammasambuddha mempunyai
keinginan atau tidak => anatta
bukankah otakmu yang di penuhi oleh sutta juga tahu bahwa objek tentang
Sammasambuddha tidak dapat di bahas oleh mahluk "putthujhanna"? => tahu
sampai kiamat juga kamu tidak akan ngerti kalau membahas tentang Sammasambuddha
termasuk seluruh praktisi Theravada besertha bhikkhu arahatnya
2-lagi anda membuat statemen tentang seorang Sammasambuddha
kok tololnya parah ya? => kalo pinter mungkin saya sekarang udah jadi samma-sambuddha, untung anda pinter..
hampir semua member disini rasanya gampang sekali menilai seorang
Sammasambuddha, seperti tidak ada penghormatan tentang kualitasnya
apakah anda tersingung dengan tulisan saya
coba baca komen rekan-rekan anda di sub forum Mahayana, wajarkan saya bilang
mereka bodoh, karena tidak sadar membahas seorang Sammasambuddha dan
akhirnya akan gila sendiri, ini menurut sutta theravada loh => di thread sebelah katanya semua aliran sama saja..
jaga cetanamu "pak" dari akusala kamma
^:)^ ^:)^ ^:)^
gimana seorang buddha bisa menjelma kembali setelah parinibbana??
sedangkan saat seorang buddha parinibbana saja, panca kandha-nya juga udah tidak berjalan lagi, alias turned off..
kalo seorang buddha berpikir "biarlah aku menjelma kembali untuk kebahagiaan para makhluk", berarti argumen ini secara tidak langsung menyatakan:
1. buddha masih mempunyai keinginan untuk menjelma, yang mana keinginan itu udah di hapus dari dirinya sejak saat mencapai pencerahan..
2. kalopun bukan keinginan, berarti anda menyatakan bahwa seorang buddha setelah parinibbana setidaknya masih mempunyai pikiran (sehingga bisa mikir untuk menjelma), yang notabene adalah salah satu dari panca kandha yang seharusnya sudah tidak ada lagi segera setelah sang buddha parinibbana..
CMIIW
mohon bimbingannya dari para senior sekalian..
_/\_
1. Yang tidak berjalan lagi panca khanda, bukan Kebuddhaan itu sendiri. Dalam agama Buddha dijelaskan bahwa parinibbana itu bukan musnah, juga bukan ada (eksis) seperti keberadaan yang kita rasakan dan jalani sekarang (berbentuk nama dan rupa). Jadi otomatis pertanyaan Anda sudah terjawab, yang berhenti (turned-off) adalah Panca Khanda, bukan Kebuddhaan itu sendiri (dalam Mahayana dikenal aspek Dharmakaya, yaitu perwujudan kebahagiaan dari Buddha itu sendiri, dan tentunya Anda/Buddha masih bisa berpikir dan merasa 'ada', bukan musnah).
Dalam Mahayana, selain mencapai keterbebasan untuk diri sendiri (bebas dari dukkha/samsara), ada juga yang disebut purifikasi sahaloka, atau membebaskan/membahagiakan makhluk-makhluk yang ada dalam jangkauan Kebuddhaan (ksetra) seorang Buddha (Samma Sambuddha). Bila sahaloka tersebut murni (bebas dari makhluk menderita), maka dinamakan ksetra murni atau sukhavati.
-- Yang tidak berjalan lagi panca khanda, bukan Kebuddhaan itu sendiri.
-- tentunya Anda/Buddha masih bisa berpikir dan merasa 'ada', bukan musnah
Pertanyaa : yang berpikir itu apa ? dan menggunakan apa berpikir ?
Mirip ajaran tetangga, kalau surga itu juga tidak ada makhluk menderita, abadi selama-nya...
Apa ada tulisan saya yang menyiratkan demikian?
_/\_
Kmrn2 sy ada cb ikut kebaktian mahayana di satu vihara di jakarta..
yg bikin bingung adalah.. sy tdk ngerti apa2! karena semua berbahasa mandarin
pertanyaannya adalah apakah untuk mengerti mahayana, sy hrs bljr bhs mandarin terlebih dulu?
-- Yang tidak berjalan lagi panca khanda, bukan Kebuddhaan itu sendiri.
-- tentunya Anda/Buddha masih bisa berpikir dan merasa 'ada', bukan musnah
Pertanyaa : yang berpikir itu apa ? dan menggunakan apa berpikir ?
Yang berpikir itu Anda, sebagai Buddha. Menggunakan apa? Aspek Adi Buddha.
Salam. _/\_
Dalam Mahayana, selain mencapai keterbebasan untuk diri sendiri (bebas dari dukkha/samsara), ada juga yang disebut purifikasi sahaloka, atau membebaskan/membahagiakan makhluk-makhluk yang ada dalam jangkauan Kebuddhaan (ksetra) seorang Buddha (Samma Sambuddha). Bila sahaloka tersebut murni (bebas dari makhluk menderita), maka dinamakan ksetra murni atau sukhavati.
Mirip ajaran tetangga, kalau surga itu juga tidak ada makhluk menderita, abadi selama-nya...
Apa ada tulisan saya yang menyiratkan demikian?
_/\_
Kalau saya berpikir karena masih terkondisi oleh panca-khanda... Nah, kalau Buddha (yang sudah parinibbana itu) berpikir menggunakan apa ?
kalau quote anda ini : "Bila sahaloka tersebut murni (bebas dari makhluk menderita)"... dimana ada dunia yang bebas dari makhluk menderita ?
Kalau saya berpikir karena masih terkondisi oleh panca-khanda... Nah, kalau Buddha (yang sudah parinibbana itu) berpikir menggunakan apa ?
Sdr. Dilbert, sepertinya anda perlu menegaskan apa yang anda maksud dengan parinnibana di sini, apakah saupadisesa-nibbana atau anupadisesa-nibbana. Dengan demikian orang yang tadinya tidak tahu adanya 2 aspek nibbana ini bisa paham, dan menjadi tidak rancu antara nibbana sebagai kondisi pikiran/batin dengan parinibbana sebagai realitas tertinggi.
Bang Kelana,
nibbana memang memiliki dua makna spt yg anda sebutkan di atas, tapi parinibbana hanya memiliki satu makna yaitu anupadisesa-nibbana. jadi IMO pertanyaan dari Bang Dilbert itu sudah cukup eksplisit, dan seharusnya dijawab dengan jawaban yg tegas.
Benar, Sdr. Indra saya juga melihatnya cukup eksplisit, untuk itu saya meminta Sdr. Dilbert menegaskan kembali agar lebih jelas, bukan untuk saya tapi untuk yang lain yang mungkin tidak sadar. :)
susah memang menyadarkan yang berlum tersadarkanSeperti yang kita ketahui bersama, Sdr. Adi, bahwa tidak ada orang lain yang bisa menyelamatkan, menyadarkan seseorang kecuali diri sendiri yang bersangkutan. Orang lain hanya sebagai pemicu saja.
Benar, Sdr. Indra saya juga melihatnya cukup eksplisit, untuk itu saya meminta Sdr. Dilbert menegaskan kembali agar lebih jelas, bukan untuk saya tapi untuk yang lain yang mungkin tidak sadar. :)
Silakan dibaca ulang, sudah dijawab: Adi Buddha.
Salam. _/\_
Kalau dalam konsep ajaran yang menggunakan referensi Pali Kanon, maka setelah parinibbana (anupadisesa nibbana), maka tidak ada lagi khanda yang ter-sankhara (mengalami bentukan), jadi yang berpikir itu apa dan siapa ?
Kalau konsep-nya Mahayana, yah balik lagi ke Trikaya... dan seperti-nya memang ada perbedaan cukup prinsipil dan mendasar antara pengajaran berdasarkan Pali Kanon (baca : Theravada) dan Mahayana. Sehingga di dalam Mahayana (baca : Saddharmapundarika sutra), Buddha Sakyamuni di ajaran Mahayana meng-klaim bahwa diri-NYA sudah mencapai ke-buddha-an berkalpa2 yang lampau, sehingga episode pencapaian ke-buddha-an di bawah pohon bodhi adalah pengulangan donk ?
Choa is back
Yang Anda jelaskan benar, dalam aliran tertentu memang didefinisikan sedemikian rupa. Dalam Mahayana, kondisi tercerahkan demikian (maaf tidak saya sebutkan agar tidak ada polemik) sesungguhnya seperti "tidur" (sesuai dengan penjelasan Anda di atas tentang 'terhentinya' khanda). Masih dalam konteks Mahayana, seorang Samma Sambuddha-lah yang kemudian membangunkan "si tidur" ini agar menempuh jalan Bodhisattva-Mahasattva.
Jadi sesungguhnya tidak ada pertentangan antara satu aliran dengan yang lain, karena masing-masing aliran memiliki tujuan berbeda.
Teruntuk Sdr. Dilbert yang berbahagia, coba renungkan sejenak; mengapa ucapan Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitattha lebih umum diucapkan daripada "Semoga semua makhluk menjadi Buddha atau Arahat"? Ucapan kedua itu malah hampir tidak terdengar sama sekali.
Teruntuk Sdr. Dilbert yang berbahagia, coba renungkan sejenak; mengapa ucapan Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitattha lebih umum diucapkan daripada "Semoga semua makhluk menjadi Buddha atau Arahat"? Ucapan kedua itu malah hampir tidak terdengar sama sekali.
Bukan-kah Mahayana yang ikrar-nya akan membawa semua makhluk mencapai ke-buddha-an ?
Bukan-kah Mahayana yang ikrar-nya akan membawa semua makhluk mencapai ke-buddha-an ?
kalau quote anda ini : "Bila sahaloka tersebut murni (bebas dari makhluk menderita)"... dimana ada dunia yang bebas dari makhluk menderita ?
kalau quote anda ini : "Bila sahaloka tersebut murni (bebas dari makhluk menderita)"... dimana ada dunia yang bebas dari makhluk menderita ?
Lagi pula kalau kita berpegang pada prinsip error: "isi=kosong, kosong=isi" maka sukhavati=dukhavati.
Lagi pula kalau kita berpegang pada prinsip error: "isi=kosong, kosong=isi" maka sukhavati=dukhavati.
Jadi tidak ada loka yang benar-benar bebas dari dukkha karena lokanya sendiri sifatnya adalah dukkha.
hihihihi... prinsip error, konsep error... ntar yang belajar juga jadi error.
Dua kalimat di atas kok bertentangan? Di atas disebutkan bahwa prinsip sukhavati=dukhavati adalah error, tapi di bawah Anda melegitimasi kembali bahwa sukhavati (loka) adalah dukkha.
Dan perlu saya luruskan, "isi=kosong, kosong=isi" bukan berarti sukhavati=dukhavati, jahat=baik, dingin=panas, awam=bhikkhu. Itu adalah pemahaman keliru.
Sukhavati juga bukan nirwana, karena nirwana adalah kondisi (bukan alam/loka).
Salam. Semoga berbahagia. _/\_
Seandainya anda sudah mengosongkan pikiran anda (lepas dari pemahaman anda sendiri) maka anda bisa memahami bahwa yang saya sampaikan adalah pengandaian, jika, kalau, ketika mengatakan: "Lagi pula kalau kita berpegangpada prinsip error: "isi=kosong, kosong=isi" maka sukhavati=dukhavati." Saya tidak memegang konsep error tersebut sebagai alasan, mereka yang paham akan tahu ini adalah sebuah kritikan. Dan kalimat terakhir adalah kesimpulan dari penjelasan saya yang di atasnya (bukan konsep error).
sukhavati=dukhavati adalah dampak dari konsep error isi=kosong, kosong=isi. Jika anda renungkan dan runtunkan maka kosep itu akan menghasilkan dampak yang seperti itu. Yang saya ketahui adalah selama ini tidak ada yang mengungkap mengapa isi=kosong, kosong=isi sekali lagi ditekankan isi sama dengan kosong, kosong sama dengan isi. Yang diungkapkan adalah memberikan makna baru yang justru menyiratkan kosong tidak sama dengan isi, begitu sebaliknya. Tidak ada yang mengungkapkan apa saja yang sama antara kosong dan isi sehingga pantas sepenuhnya disebut kosong=isi, isi=kosong atau Nirvana=samsara, samsara=Nirvana. Satu saja perbedaan antara keduanya maka tidak bisa disebut sama (=).
Dan saya tidak pernah mengatakan sukhavati adalah nirvana karena itu saya katakan: Adalah salah jika dikatakan sukhavati adalah nirvana (nirvana dalam konteks realitas tertinggi / anupadisesa-nibbana bukan nirvana sebagai kondisi batin/ saupadisesa-nibbana)
Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan. Selanjutnya saya no comment.
Saya khawatir jika hasil akhir juga error. ;)
sudah mulai kelihatan gejala error ^-^
apakah mungkin ada hal karena tidak mau mengakui kebenaran pandangan lain (sikap egoisme) sehingga membuta-kan kebenaran yang sudah di depan mata ?
Apa itu kebenaran?
_/\_
hanya spekulasi : kira2 begitulah :)
Ada perbedaan antara; orang yang sudah melihat kucing, dengan orang yang baru mendengar desas-desus tentang bentuk kucing.
Buku dan kitab suci itu pedoman (untuk melihat kebenaran tertentu), bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran; dilihat, dialami, dan dibuktikan sendiri, bukan "katanya-katanya" (termasuk kata kitab yang dianggap suci).
Itu pesan dari Buddha sendiri, selayaknya-lah pengikut-Nya menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Semoga bisa direnungkan bersama.
Salam sukses selalu (dalam dharma dan kehidupan). _/\_
Buddha apa yang membahas tentang bentuk kucing ?
tolong referensi !
Betul, kebanyakan hanya spekulasi.jadi kalau ada orang yang merasa melihat tuhan, mengalami mukzizat, membuktikan kebenaran alkitab, itu maka jadi kebenaran?
Dan dengan modal spekulasi itu, orang meminta pihak lainnya menerima kebenarannya, kadang dengan sikap ekstrim.
Katanya, dengan tidak menerima kebenarannya, kita bisa tidak selamat, kita orang yang buta dalam hidup, kita egois, tidak terberkahi, akan masuk neraka dan sebutan-sebutan intimidasi lainnya.
Agama Buddha menekankan ehipassiko (lihat, datang dan buktikan).
Jika hanya dengan modal buku dan teori, kita mau berharap orang percaya kebenaran kita, rasanya terlalu naif. :)
Ada perbedaan antara; orang yang sudah melihat kucing, dengan orang yang baru mendengar desas-desus tentang bentuk kucing.
Buku dan kitab suci itu pedoman (untuk melihat kebenaran tertentu), bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran; dilihat, dialami, dan dibuktikan sendiri, bukan "katanya-katanya" (termasuk kata kitab yang dianggap suci).
Itu pesan dari Buddha sendiri, selayaknya-lah pengikut-Nya menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Semoga bisa direnungkan bersama.
Salam sukses selalu (dalam dharma dan kehidupan). _/\_
Betul, kebanyakan hanya spekulasi.
Dan dengan modal spekulasi itu, orang meminta pihak lainnya menerima kebenarannya, kadang dengan sikap ekstrim.
Katanya, dengan tidak menerima kebenarannya, kita bisa tidak selamat, kita orang yang buta dalam hidup, kita egois, tidak terberkahi, akan masuk neraka dan sebutan-sebutan intimidasi lainnya.
Agama Buddha menekankan ehipassiko (lihat, datang dan buktikan).
Jika hanya dengan modal buku dan teori, kita mau berharap orang percaya kebenaran kita, rasanya terlalu naif. :)
Ada perbedaan antara; orang yang sudah melihat kucing, dengan orang yang baru mendengar desas-desus tentang bentuk kucing.
Buku dan kitab suci itu pedoman (untuk melihat kebenaran tertentu), bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran; dilihat, dialami, dan dibuktikan sendiri, bukan "katanya-katanya" (termasuk kata kitab yang dianggap suci).
Itu pesan dari Buddha sendiri, selayaknya-lah pengikut-Nya menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Semoga bisa direnungkan bersama.
Salam sukses selalu (dalam dharma dan kehidupan). _/\_
jadi kalau ada orang yang merasa melihat tuhan, mengalami mukzizat, membuktikan kebenaran alkitab, itu maka jadi kebenaran?
Bagi dia tentu saja kebenaran. Bagi Anda yang pernah melihat Buddha dan merasakan kebenaran dharma-Nya, bagi Anda juga kebenaran.
Itu jika bicara kebenaran kondisional (samutti-sacca). Jika kita mau menyalahkan (pihak lain atas keyakinannya), atas dasar apa? Jika memang dia melihat tuhan (walau bisa saja cuma halusinasi), bukankah bukan hak kita untuk menyatakan dia salah (kecuali kita melihat persis kejadian yang ia lihat, dan kita punya bukti kuat untuk menyanggah kekeliruan penafsirannya/pemahamannya).
Belajar dharma bukan jadi ekstrimis, tapi lebih toleran terhadap pemahaman makhluk lain. Segala bentuk keyakinan dan iman mereka juga bukan tanpa sebab (karma masa lampau). Anda kira jumlah umat tertentu dibandingkan jumlah umat Buddha adalah sebuah kebetulan?
Tidak, ada sebab-sebabnya. Dan orang yakin juga bukan karena iman buta atau salah lihat (tuhan), tapi ada hubungan karma yang terbangun antar tuhan dan pengikutnya di bumi.
Demikian penjelasan saya. Kurang lebihnya mohon bimbingan dan masukan. Semoga kita semua bisa lebih maju dalam dharma. _/\_
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,4873.0/nowap.html
Bagi saya Lobha Dosa dan Moha itu nyata... jika lobha, dosa dan moha eksis, maka padam-nya lobha, dosa dan moha itu menjadi logis.... bagi anda, sukhavati itu nyata ? pernah mengalami ?
Itu yang saya sering hadapi.
Mau bicara tentang sukhavati, nibbana, LDM, dll... semua mengacu pada buku. Ketika saya bilang kenyataannya tidak demikian, semua seolah tidak senang dan mendebat saya karena "kata-kata buku" tersebut.
Ini yang membuat saya enggan berbagi lagi terkadang.
Tapi ya begitu... katanya memang makhluk di sahaloka ini agak bebal... makanya sulit dimurnikan (dibebaskan mencapai nibbana). Jadi ya, saya sabar saja...
:)
Demikian. Semoga bisa dipahami.
Salam perenungan dan semoga berbahagia. _/\_
Itu yang saya sering hadapi.
Mau bicara tentang sukhavati, nibbana, LDM, dll... semua mengacu pada buku. Ketika saya bilang kenyataannya tidak demikian, semua seolah tidak senang dan mendebat saya karena "kata-kata buku" tersebut.
Ini yang membuat saya enggan berbagi lagi terkadang.
Tapi ya begitu... katanya memang makhluk di sahaloka ini agak bebal... makanya sulit dimurnikan (dibebaskan mencapai nibbana). Jadi ya, saya sabar saja...
:)
Demikian. Semoga bisa dipahami.
Salam perenungan dan semoga berbahagia. _/\_
Jangan berkecil hati Bro, seorang badut penipu (gak boleh sebut nama) pernah mengaku minum kopi bareng Buddha Gotama, walaupun banyak orang gak percaya, tetap saja dia tanpa mengenal lelah terus-menerus mengatakan demikian. saya percaya anda lebih baik dari badut itu.
contoh lain adalah seorang guru para arahat yg pernah mampir ke forum ini, pengakuannya juga tidak dipercaya para member di sini, tapi karena dia hanyalah seorang guru kosong melompong, maka akhirnya dia nyerah. saya percaya anda lebih baik dari guru para arahat itu.
walaupun orang tidak mempercayai anda, setidaknya pembaca bisa terhibur dengan kelucuan anda. jadi tidak ada yg sia-sia.
_/\_
Halo.
Terima kasih jika Anda terhibur dengan kehadiran saya. _/\_
Kalau boleh bertanya, apakah Anda juga terhibur dengan keberadaan Badut dari India (tidak boleh sebut nama)? Karena tampaknya Anda mendewakan sekali sosok tersebut.
Mohon kejujurannya. Terima kasih sebelumnya. Salam. :)
saya tidak mendewakan Badut mana pun, mungkin anda adalah pengecualian, tapi di manakah anda melihat saya mendewakan seorang Badut?
Anda yakin?terjemahan yg mana yg anda maksudkan? saya sudah menerjemahkan banyak buku dari berbagai sumber. lalu apa masalahnya dengan pekerjaan menerjemahkan?
Yang Anda terjemahkan itu apa?
Yang Anda beri hormat itu siapa?
Dan, yang Anda selalu percayai tanpa dibantah sedikit pun, itu apa dan siapa?kalau ini tidak ada.
Definisi Badut itu apa (untuk menyamakan persepsi, karena saya kira Badut itu adalah profesi yang terpuji, sebab menghibur orang)?
Oke, salam Badut dan semoga berbahagia. _/\_
terjemahan yg mana yg anda maksudkan? saya sudah menerjemahkan banyak buku dari berbagai sumber. lalu apa masalahnya dengan pekerjaan menerjemahkan?
banyak, orang tua, guru, teman2, tapi tidak ada badut, mungkin anda adalah pengecualian.
kalau ini tidak ada.
saya akan menjawab tapi sebelumnya tolong anda mendefinisikan badut itu juga seperti yg anda gunakan ketika membalas saya di atas, karena kalau anda sudah memahami spt yg saya pahami, maka saya tidak perlu repot2 lagi menjelaskan pada anda.
maaf saya tidak memberi salam pada badut, dan anda bukan pengecualian di sini.
Bagi dia tentu saja kebenaran. Bagi Anda yang pernah melihat Buddha dan merasakan kebenaran dharma-Nya, bagi Anda juga kebenaran.
Itu jika bicara kebenaran kondisional (samutti-sacca). Jika kita mau menyalahkan (pihak lain atas keyakinannya), atas dasar apa? Jika memang dia melihat tuhan (walau bisa saja cuma halusinasi), bukankah bukan hak kita untuk menyatakan dia salah (kecuali kita melihat persis kejadian yang ia lihat, dan kita punya bukti kuat untuk menyanggah kekeliruan penafsirannya/pemahamannya).
Belajar dharma bukan jadi ekstrimis, tapi lebih toleran terhadap pemahaman makhluk lain. Segala bentuk keyakinan dan iman mereka juga bukan tanpa sebab (karma masa lampau). Anda kira jumlah umat tertentu dibandingkan jumlah umat Buddha adalah sebuah kebetulan?
Tidak, ada sebab-sebabnya. Dan orang yakin juga bukan karena iman buta atau salah lihat (tuhan), tapi ada hubungan karma yang terbangun antar tuhan dan pengikutnya di bumi.
Demikian penjelasan saya. Kurang lebihnya mohon bimbingan dan masukan. Semoga kita semua bisa lebih maju dalam dharma. _/\_
Apa itu kebenaran?
_/\_
Betul, kebanyakan hanya spekulasi.
Dan dengan modal spekulasi itu, orang meminta pihak lainnya menerima kebenarannya, kadang dengan sikap ekstrim.
Katanya, dengan tidak menerima kebenarannya, kita bisa tidak selamat, kita orang yang buta dalam hidup, kita egois, tidak terberkahi, akan masuk neraka dan sebutan-sebutan intimidasi lainnya.
Agama Buddha menekankan ehipassiko (lihat, datang dan buktikan).
Jika hanya dengan modal buku dan teori, kita mau berharap orang percaya kebenaran kita, rasanya terlalu naif. :)
Ada perbedaan antara; orang yang sudah melihat kucing, dengan orang yang baru mendengar desas-desus tentang bentuk kucing.
Buku dan kitab suci itu pedoman (untuk melihat kebenaran tertentu), bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran; dilihat, dialami, dan dibuktikan sendiri, bukan "katanya-katanya" (termasuk kata kitab yang dianggap suci).
Itu pesan dari Buddha sendiri, selayaknya-lah pengikut-Nya menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Semoga bisa direnungkan bersama.
Salam sukses selalu (dalam dharma dan kehidupan). _/\_
??? ??? ???
Anda yakin?
Yang Anda terjemahkan itu apa?
Yang Anda beri hormat itu siapa?
Dan, yang Anda selalu percayai tanpa dibantah sedikit pun, itu apa dan siapa?
Definisi Badut itu apa (untuk menyamakan persepsi, karena saya kira Badut itu adalah profesi yang terpuji, sebab menghibur orang)?
Oke, salam Badut dan semoga berbahagia. _/\_
Suka berputar dulu rupanya. :)
Baik, langsung ke poinnya saja: Siapa Buddha itu, badut atau bukan?
Dari sini kita akan tahu seperti apa definisi badut yang Anda berikan pada makhluk lain.
Sisa pertanyaannya masih sama seperti di atas:
2. Yang Anda terjemahkan, teks Buddhisme itu ilmu badut atau bukan?
3. Rupang yang Anda hormati itu, badut juga atau bukan?
4. Kata-kata Buddha dan Tripitaka yang selalu Anda percayai tanpa dibantah sedikit pun, juga kata-kata badut atau bukan?
Anda yang memunculkan terminologi badut, mari kita kupas tuntas topik badut ini. :)
Salam. _/\_
sepertinya anda yg memulai berputar, tapi baiklah saya selalu berbaik hati untuk melayani semua diskusi, bahkan dengan orang yg jumlah selnya minimal sekalipun.
sejujurnya saya katakan, jika Buddha yg anda maksudkan adalah Buddha Gotama, saya bisa tegaskan bahwa saya tidak kenal secara pribadi dgn Beliau.
mengenai Badut, karena kita menggunakan terminologi yg sama, kenapa anda merasa sangat cemas mengemukakan definisi anda?
2. Teks Buddhisme yg saya terjemahkan itu entah apa saya tidak tahu, saya menerjemahkannya atas permintaan teman2, dan saya tidak memahami ilmu apa yg diajarkan dalam teks tersebut, bagaimana menurut anda?
3. Saya tidak menghormati rupang, apakah anda memiliki mata dewa sehingga melihat saya menghormati rupang, bisakah anda melihat warna apa kolor yg saya pakai hari ini?
4. Saya tidak percaya sedikit pun pada kata-kata Buddha pada Tripitaka, bahkan saya meragukan Tripitaka itu berisi kata2 Buddha. anda sudah berkali2 salah melihat, jadi tidak perlu berlagak jadi orang sakti di sini.
pertama kali saya menyebut BADUT adalah dalam kalimat ini "seorang badut penipu (gak boleh sebut nama) pernah mengaku minum kopi bareng Buddha Gotama", dan jika anda punya mata, pasti punya, tapi apakah bisa melihat, atau jika anda tidak buta huruf, saya sudah mencantumkan T&C dalam tanda kurung. dan pada jawaban anda, anda juga menggunakan kata yg sama, lalu kenapa anda menjawab dengan kata yg sama jika anda tidak memahami apa yg saya maksudkan dengan kata itu?
sepertinya anda yg memulai berputar, tapi baiklah saya selalu berbaik hati untuk melayani semua diskusi, bahkan dengan orang yg jumlah selnya minimal sekalipun.
sejujurnya saya katakan, jika Buddha yg anda maksudkan adalah Buddha Gotama, saya bisa tegaskan bahwa saya tidak kenal secara pribadi dgn Beliau.
mengenai Badut, karena kita menggunakan terminologi yg sama, kenapa anda merasa sangat cemas mengemukakan definisi anda?
2. Teks Buddhisme yg saya terjemahkan itu entah apa saya tidak tahu, saya menerjemahkannya atas permintaan teman2, dan saya tidak memahami ilmu apa yg diajarkan dalam teks tersebut, bagaimana menurut anda?
3. Saya tidak menghormati rupang, apakah anda memiliki mata dewa sehingga melihat saya menghormati rupang, bisakah anda melihat warna apa kolor yg saya pakai hari ini?
4. Saya tidak percaya sedikit pun pada kata-kata Buddha pada Tripitaka, bahkan saya meragukan Tripitaka itu berisi kata2 Buddha. anda sudah berkali2 salah melihat, jadi tidak perlu berlagak jadi orang sakti di sini.
pertama kali saya menyebut BADUT adalah dalam kalimat ini "seorang badut penipu (gak boleh sebut nama) pernah mengaku minum kopi bareng Buddha Gotama", dan jika anda punya mata, pasti punya, tapi apakah bisa melihat, atau jika anda tidak buta huruf, saya sudah mencantumkan T&C dalam tanda kurung. dan pada jawaban anda, anda juga menggunakan kata yg sama, lalu kenapa anda menjawab dengan kata yg sama jika anda tidak memahami apa yg saya maksudkan dengan kata itu?
Menulis panjang, tapi tidak menjawab.no idea
Jadi Buddha itu Badut atau bukan?
Anda juga tidak kenal saya secara pribadi, hanya membaca tulisan saya, toh Anda bisa menilai saya dan juga orang lain.
Jika Anda tidak belajar apapun dari teks terjemahan Anda, lalu apa yang Anda ketahui sehingga bisa menilai sesuatu sebagai badut, dan sesuatu lain sebagai suci? Jika boleh tahu, apa parameter Anda dalam menilai sesuatu?
Terminologi badut siapa yang memulai memperkenalkan? Lalu apa relevansinya sehingga saya yang harus menjelaskan definisinya?saya yg mulai memperkenalkan plus dengan sedikit antisipasi dalam tanda kurung.
Jadi rupang itu bukan Anda hormati, lalu diapakan kalau boleh tahu?
Jika Anda benar tidak percaya Buddha, lalu atas dasar apa semua tulisan Anda disini tentang dharma?
Dan atas alasan apa pula sinisme yang Anda ungkapkan pada pandangan lain yang tidak sesuai dengan pandangan Anda tentang ajaran Buddha?
Saya dengan mudah bisa menemukan ribuan postingan Anda yang mementahkan tulisan Anda di atas, bahwa Anda tidak kenal Buddha, tidak tahu apa yang diterjemahkan, juga tidak menghormat rupang-Nya.
Bukti tertulis tidak bisa menyembunyikan fanatisme, sadari itu dan akui. :)
Tentang definisi badut, Anda sampaikan definisi Anda, saya akan iringi. Bagaimana? Cukup adil 'kan? Anda yang duluan mengetiknya, jadi Anda jelaskan versi Anda terlebih dahulu.
emang begitu? saya juga punya altar di rumah, patungnya saya beli dari langsung diletakkan di atas altar. mata patung itu sudah dlm kondisi setengah terbuka sejak dibeli, dan jika terbuka lebar menurut saya akan menjadi kurang indah, dan saya pasti memilih patung lain yg tersedia.
no idea
spesialisasi saya memang menilai badut, karena sangat mudah.
oops ... tidak boleh tahu. itu informasi rahasia.
saya yg mulai memperkenalkan plus dengan sedikit antisipasi dalam tanda kurung.
kasih tau gak ya? mau tau aja apa mau tau banget?
tulisan yg mana?
atas alasan "suka2 gue situ mau apa?"
loh kalau mudah ya silakan dilakukan, saya toh gak keberatan, tapi jangan lupa klik THANKS jika anda merasa bahwa postingan saya itu bermanfaat.
oh ... saya punya ide lebih baik, bagaimana jika anda sampaikan definisi anda, saya akan iringi?
Rekan Indra yang budiman, kebetulan saya menemukan postingan ini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,22334.msg398025.html#msg398025
Kalau boleh tahu, rupang yang Anda beli itu untuk apa? Berhubung Anda meletakkannya di atas altar (meja bakti puja).
Salam kejujuran. Semoga berbahagia. _/\_
Jadi cuma seperti ini kemampuan Anda?
Salam sejahtera. _/\_
Sejauh ini ternyata minim yang bisa berdiskusi dengan baik, triknya masih sama: Argumentum ad hominem (menyerang karakter daripada menanggapi substansi), penghinaan (abusif) dan sarkasme, serta pengalihan topik (penyesatan relevansi).
Jika hanya seperti ini, tidak heran jika Buddhisme merosot. :(
Orang bijak berani berbuat berani bertanggung jawab.
Orang belajar dharma tercermin dari tutur kata dan perbuatannya.
Berani menghina tapi tak terima dihina, inikah sikap seorang ksatria?
Melekat pada rakit tetap sebuah kemelekatan.
Belum bisa melepas jangan berpura-pura bisa melepas.
Kemunafikan lebih bahaya dari kemelekatan.
Jika memiliki keduanya maka bersiaplah melepaskan.
Melepaskan itu indah...
Seindah tidak memiliki ego.
Bebas leluasa,
... itu inti dari semua keberadaan.
Salam kebebasan. Semoga semuanya mencapai keterbebasan. _/\_
dengan orang bersel minimal saya memang cukup mengerahkan kemampuan minimal saja.
suatu tulisan yg sangat indah, saya sangat terpesona melihat ada orang yg begitu mahir dalam menggambarkan dirinya sendiri, sesungguhnya orang spt anda adalah jarang terdapat di dunia, sebagian besar orang di dunia lebih ahli menilai orang lain daripada diri sendiri.
_/\_
Tidak ada gunanya menggunakan terminologi yang Anda tidak mampu jelaskan. Mau berekspresi saja malu ya? :)saya memang tidak perlu menjelaskan terminologi umum yg sudah sangat dimengerti oleh para pengunjung setia forum ini, melihat jumlah anda memang wajar kalau terminologi itu terasa sulit. kalau anda meminta dengan sopan mungkin saya akan menjelaskan pada anda.
Tidak apa-apa kalau emosi, tidak usah menggunakan terminologi abusif dan sindiran tertentu orang juga sudah paham.loh kan tadi udah dikasih tau alasannya, lupa ya? banyak makan makanan bergizi untuk menambah jumlah.
Marah ya, pujaannya dihina?saya sangat menikmati permainan ini, bagaimana mungkin bisa marah, sudahlah, tidak perlu berlagak suci dan sakti di sini, penonton sudah melihat wujud asli anda, anda tidak bisa membaca pikiran saya, buktinya anda tidak mampu menjawab pertanyaan kolor dari saya tadi.
Sudahlah... jangan mulai sesuatu yang Anda tidak mampu tuntaskan (terima balik).
Belajar dharma saja pelan-pelan, nanti juga sampai. Ini masukan tulus dari saya, bukan menghina atau yang lain-lain.
Senang bisa bertemu dengan Anda (secara maya).
Salam kebahagiaan ya, dari makhluk bersel satu... :)
Tidak ada satu kata pun yang menggambarkan diri saya. Kata pengganti orang pertama (saya, aku) pun tidak ada dalam tulisan.
Sadari: Persepsi.
_/\_
Quote from: Indra on Yesterday at 08:03:57 PM
sepertinya anda yg memulai berputar, tapi baiklah saya selalu berbaik hati untuk melayani semua diskusi, bahkan dengan orang yg jumlah selnya minimal sekalipun.
sejujurnya saya katakan, jika Buddha yg anda maksudkan adalah Buddha Gotama, saya bisa tegaskan bahwa saya tidak kenal secara pribadi dgn Beliau.
mengenai Badut, karena kita menggunakan terminologi yg sama, kenapa anda merasa sangat cemas mengemukakan definisi anda?
2. Teks Buddhisme yg saya terjemahkan itu entah apa saya tidak tahu, saya menerjemahkannya atas permintaan teman2, dan saya tidak memahami ilmu apa yg diajarkan dalam teks tersebut, bagaimana menurut anda?
3. Saya tidak menghormati rupang, apakah anda memiliki mata dewa sehingga melihat saya menghormati rupang, bisakah anda melihat warna apa kolor yg saya pakai hari ini?
4. Saya tidak percaya sedikit pun pada kata-kata Buddha pada Tripitaka, bahkan saya meragukan Tripitaka itu berisi kata2 Buddha. anda sudah berkali2 salah melihat, jadi tidak perlu berlagak jadi orang sakti di sini.
pertama kali saya menyebut BADUT adalah dalam kalimat ini "seorang badut penipu (gak boleh sebut nama) pernah mengaku minum kopi bareng Buddha Gotama", dan jika anda punya mata, pasti punya, tapi apakah bisa melihat, atau jika anda tidak buta huruf, saya sudah mencantumkan T&C dalam tanda kurung. dan pada jawaban anda, anda juga menggunakan kata yg sama, lalu kenapa anda menjawab dengan kata yg sama jika anda tidak memahami apa yg saya maksudkan dengan kata itu?
quote from Sunya :
Menulis panjang, tapi tidak menjawab.
Jadi Buddha itu Badut atau bukan?
Anda juga tidak kenal saya secara pribadi, hanya membaca tulisan saya, toh Anda bisa menilai saya dan juga orang lain.
Jika Anda tidak belajar apapun dari teks terjemahan Anda, lalu apa yang Anda ketahui sehingga bisa menilai sesuatu sebagai badut, dan sesuatu lain sebagai suci? Jika boleh tahu, apa parameter Anda dalam menilai sesuatu?
Terminologi badut siapa yang memulai memperkenalkan? Lalu apa relevansinya sehingga saya yang harus menjelaskan definisinya?
Jadi rupang itu bukan Anda hormati, lalu diapakan kalau boleh tahu?
Jika Anda benar tidak percaya Buddha, lalu atas dasar apa semua tulisan Anda disini tentang dharma?
Dan atas alasan apa pula sinisme yang Anda ungkapkan pada pandangan lain yang tidak sesuai dengan pandangan Anda tentang ajaran Buddha?
Saya dengan mudah bisa menemukan ribuan postingan Anda yang mementahkan tulisan Anda di atas, bahwa Anda tidak kenal Buddha, tidak tahu apa yang diterjemahkan, juga tidak menghormat rupang-Nya.
Bukti tertulis tidak bisa menyembunyikan fanatisme, sadari itu dan akui. :)
Tentang definisi badut, Anda sampaikan definisi Anda, saya akan iringi. Bagaimana? Cukup adil 'kan? Anda yang duluan mengetiknya, jadi Anda jelaskan versi Anda terlebih dahulu.
Thank you from member GandalfTheElf :
Salam. _/\_
Follow members gave a thank to your post:
GandalfTheElder
For this post, 1 member gave a thank you!
Tidak ada gunanya menggunakan terminologi yang Anda tidak mampu jelaskan. Mau berekspresi saja malu ya? :)
Tidak apa-apa kalau emosi, tidak usah menggunakan terminologi abusif dan sindiran tertentu orang juga sudah paham.
Marah ya, pujaannya dihina?
Sudahlah... jangan mulai sesuatu yang Anda tidak mampu tuntaskan (terima balik).
Belajar dharma saja pelan-pelan, nanti juga sampai. Ini masukan tulus dari saya, bukan menghina atau yang lain-lain.
Senang bisa bertemu dengan Anda (secara maya).
Salam kebahagiaan ya, dari makhluk bersel satu... :)
_/\_
Halo, rekan Ryu.menurut anda ajaran buda kebenaran mutlak atau bijimana?
Yang Anda tebalkan itu 'kan konsep agama Buddha. Sedangkan yang Anda tanya di postingan lain adalah konsep agama theistik.
Tentu tidak bijak menggunakan parameter agama Buddha untuk menilai kepercayaan lain, sama seperti halnya menggunakan parameter agama lain untuk mengukur atau menilai dan memvonis agama Buddha.
Demikian.
Selain itu, tentu kita juga tahu, ada kebenaran mutlak dan kebenaran konvensional (terkondisi, bersifat relatif). Jadi bila membicarakan sesuatu, tentu sesuai konteksnya.
Oke, semoga berbahagia. _/\_
menurut anda ajaran buda kebenaran mutlak atau bijimana?
Sekedar info, saya dulunya penganut kepercayaan monotheistik.
_/\_
--------------------------------------
Rupa-nya member GandalfTheElder menyimak thread ini, dan khusus memberikan tanda ThankYou... hihihihihi... ayooo ikutan donk...
Mara saja bisa menyamar menjadi Buddha atau Bodhisattva, kalau bukan percaya pada kebenaran dan kebaikan, serta percaya pada penglihatan diri sendiri, kita mau percaya apa/siapa?
Begitu... Panjang-panjang menulis intinya ehipassiko saja. Saya kira saya masih dalam jalur pelatihan yang tepat, bukan?
Mohon koreksinya.
Terima kasih.
_/\_
Buddha, maksudnya?oh jadi menurut anda ajaran lain selain ajaran buda bukan kebenaran mutlak ya?
Tentu saja kebenaran mutlak, walau tetap mengajarkan kebenaran kondisional (kebenaran yang sesuai dengan kondisi makhluk dan lingkungan).
Saya percaya ajaran Buddha bukan karena diajari (indoktrinasi) sejak kecil, bukan pula menempuh pendidikan akademis (misalnya sarjana Buddhis atau ahli Tripitaka), tapi dari pengalaman saya sendiri. Bukan mau menyombongkan diri, tapi bila ditanya jujur, itulah jawaban saya.ini sebatas kepercayaan anda atau kepercayaan semua umat buda?
Bukan belajar kitab itu salah, tapi kita jangan menganggapnya kebenaran mutlak (bila ada yang bercerita di luar itu maka kita bantah duluan karena tidak ditulis di kitab). Saya kira umat Buddha harus belajar bijak dan arif menyikapi kehidupan khususnya spiritual.jangankan kitab, kepercayaan orang saja saya meragukan kok
Kita lihat di forum-forum keyakinan lain banyak yang berkata, "Jangan kira ahli kitab itu pasti masuk surga", atau "Perkembangan spiritual tidak hanya didapat dari agama belaka".
Saya termasuk yang setuju dengan dua pernyataan itu.
Bukan kita mendewakan logika atau kemampuan diri sendiri, tapi pembuktian dan analisa pribadi memegang peranan penting dalam dunia spiritual.boleh di share menurut cara logika anda di sini?
"Katanya-katanya" sangat tidak tidak bisa dijadikan pegangan terutama jika Anda sudah tembus sampai taraf tertentu (banyak rintangan yang menjebak dan seolah kelihatan benar padahal tidak).jadi penglihatan diri sendiri bisa di percaya ya?
Mara saja bisa menyamar menjadi Buddha atau Bodhisattva, kalau bukan percaya pada kebenaran dan kebaikan, serta percaya pada penglihatan diri sendiri, kita mau percaya apa/siapa?
Begitu... Panjang-panjang menulis intinya ehipassiko saja. Saya kira saya masih dalam jalur pelatihan yang tepat, bukan?entahlah, coba lagi :D
Mohon koreksinya.
Terima kasih.
_/\_
oh jadi menurut anda ajaran lain selain ajaran buda bukan kebenaran mutlak ya?
ini sebatas kepercayaan anda atau kepercayaan semua umat buda?
jangankan kitab, kepercayaan orang saja saya meragukan kokboleh di share menurut cara logika anda di sini?jadi penglihatan diri sendiri bisa di percaya ya?
entahlah, coba lagi :D
Halo. :)Buda khan panutan atau yang sering di sembah/dipuja sama anda ?
Untuk memperjelas, kita samakan persepsi dulu ya.
Saya kurang paham apa itu Buda, mohon dijelaskan maksudnya (sudah kedua kali saya bertanya).
Tentang kepercayaan, saya hanya mewakili diri saya sendiri. Saya percaya Anda dan yang lain pun begitu (masing-masing dengan kepercayaannya, walau bisa saja satu aliran atau satu wadah agama).i see
Kalau dari kata-kata Anda di atas, berarti kepercayaan orang lebih tinggi nilainya dari kata-kata kitab??? kok kesimpulannya gitu?
Logika saya ehipassiko. Kalau Anda?[morpheus]ragu pangkal cerah [/morpheus]
Kalau bukan percaya dengan diri sendiri, kita mau percaya siapa atau apa?ragukan semuanya
Mohon pandangannya.
Terima kasih. _/\_same2
Buda khan panutan atau yang sering di sembah/dipuja sama anda ?
i see
?? kok kesimpulannya gitu?
[morpheus]ragu pangkal cerah [/morpheus]
ragukan semuanya
same2
pantesan kursi saya terasa panas, ternyata ada yang mengutip kata2 dan menyebut nama saya dengan tidak hormat ;Dkhan ada tuh [sumber] namanya wkwkwkwkwk
[at] Sunya:
Maksud saya, dalam sutta2 Pali Sang Buddha hanya menyatakan satu jalan (kendaraan) menuju Pencerahan, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan yang membawa pada Kearahatan spt yg telah Beliau tempuh dan Beliau sarankan kepada para siswa-Nya dengan mengatakan inilah satu2nya jalan yang mulia dan tertinggi, tetapi Beliau tidak mengatakan bahwa jalan lain selain menuju Kearahatan itu rendah/kecil (misalnya jalan menuju Brahma melalui Empat Keadaan Tanpa Batas).
Namun tiba2 dalam sutra2 Mahayana Sang Buddha mengatakan jalan Kebuddhaan/Bodhisattva lebih tinggi dengan menyatakan bahwa jalan Kearahatan yang telah diajarkan sebelumnya lebih rendah/kecil, hanya untuk mereka yang tidak "berkemampuan" atau "egois". Sepertinya Sang Buddha tidak konsisten dengan kata2-Nya sendiri dalam sutra2 Mahayana.
Topik pindahan dari: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23743.msg433009.html#msg433009
Betul, dan dari penjelasan Anda sendiri sudah cukup jelas (saya beri warna biru). Lalu, teks yang saya beri warna merah, saya kira ini kurang valid (Pangeran Siddharta bukan mencapai Arahat, tapi Samma Sambuddha).
Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa
Topik pindahan dari: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23743.msg433009.html#msg433009
Betul, dan dari penjelasan Anda sendiri sudah cukup jelas (saya beri warna biru). Lalu, teks yang saya beri warna merah, saya kira ini kurang valid (Pangeran Siddharta bukan mencapai Arahat, tapi Samma Sambuddha).
Tentang pernyataan "Inilah satu2nya jalan yang mulia dan tertinggi", sebenarnya secara implisit ini sudah menyiratkan bahwa yang lain lebih rendah dari yang tertinggi tersebut. Ini hanya persoalan cara pengungkapan saja. Misalnya saya katakan saya paling pintar di dunia, bukankah secara tidak langsung menyatakan yang lain tidak lebih pintar dari saya? Kira-kira seperti itu logika linguistiknya.
Tentang ketidaksamaan perkataan Buddha dengan sutta sebelumnya, saya kira hanya persoalan segmentasi audiens. Maksudnya, jika kita di sebuah kelas setingkat TK, kita bisa mengatakan, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan tepat warnanya, maka dia murid paling pintar di kelas ini."
Lalu, di kesempatan lain (sepuluh tahun kemudian), masih di komposisi kelas yang sama (murid-muridnya sama, tapi usia sudah lebih dewasa), maka bisa saja kata-kata itu berubah, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan warna kreatif dan tidak sama dengan aslinya, tapi terlihat segar dan menawan, maka ia yang paling pandai dalam kelas seni kreatif ini."
Kalau tentang "tidak berkemampuan" atau "egois", saya kira harus ada rujukan sutra yang dimaksud, dan bisa divalidasi/diverifikasi keabsahannya. Benar, memang dalam sutra-sutra Mahayana rata-rata memusatkan pencapaian pada Samma Sambuddha, tapi jika menghina atau merendahkan tingkat spiritual yang sudah diajarkan sebelumnya, saya kira juga agak mustahil.
Jadi, saya minta sutra valid (sah) yang dimaksud, tentang perendahan makna pencapaian spiritual tertentu, yang saya kira tidak mungkin dilontarkan oleh sosok manifestasi Sakyamuni (bahkan jika bicara perbedaan pandangan, dalam aliran tertentu saja sosok Sakyamuni sudah tidak mungkin bermanifestasi kembali dalam wujud apapun, jadi seharusnya jika tokoh sentralnya saja diragukan masih ada, bagaimana mungkin dan apa relevansinya membicarakan sutra-sutra yang notabene diragukan keabsahan dan keberadaan penulis/pencetusnya?).
Kita berusaha fokus dan tidak melebar. Semoga diskusi bisa membawa manfaat. Salam. _/\_
Topik pindahan dari: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23743.msg433009.html#msg433009
Betul, dan dari penjelasan Anda sendiri sudah cukup jelas (saya beri warna biru). Lalu, teks yang saya beri warna merah, saya kira ini kurang valid (Pangeran Siddharta bukan mencapai Arahat, tapi Samma Sambuddha).
Tentang pernyataan "Inilah satu2nya jalan yang mulia dan tertinggi", sebenarnya secara implisit ini sudah menyiratkan bahwa yang lain lebih rendah dari yang tertinggi tersebut. Ini hanya persoalan cara pengungkapan saja. Misalnya saya katakan saya paling pintar di dunia, bukankah secara tidak langsung menyatakan yang lain tidak lebih pintar dari saya? Kira-kira seperti itu logika linguistiknya.
Tentang ketidaksamaan perkataan Buddha dengan sutta sebelumnya, saya kira hanya persoalan segmentasi audiens. Maksudnya, jika kita di sebuah kelas setingkat TK, kita bisa mengatakan, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan tepat warnanya, maka dia murid paling pintar di kelas ini."
Lalu, di kesempatan lain (sepuluh tahun kemudian), masih di komposisi kelas yang sama (murid-muridnya sama, tapi usia sudah lebih dewasa), maka bisa saja kata-kata itu berubah, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan warna kreatif dan tidak sama dengan aslinya, tapi terlihat segar dan menawan, maka ia yang paling pandai dalam kelas seni kreatif ini."
Kalau tentang "tidak berkemampuan" atau "egois", saya kira harus ada rujukan sutra yang dimaksud, dan bisa divalidasi/diverifikasi keabsahannya. Benar, memang dalam sutra-sutra Mahayana rata-rata memusatkan pencapaian pada Samma Sambuddha, tapi jika menghina atau merendahkan tingkat spiritual yang sudah diajarkan sebelumnya, saya kira juga agak mustahil.
Jadi, saya minta sutra valid (sah) yang dimaksud, tentang perendahan makna pencapaian spiritual tertentu, yang saya kira tidak mungkin dilontarkan oleh sosok manifestasi Sakyamuni (bahkan jika bicara perbedaan pandangan, dalam aliran tertentu saja sosok Sakyamuni sudah tidak mungkin bermanifestasi kembali dalam wujud apapun, jadi seharusnya jika tokoh sentralnya saja diragukan masih ada, bagaimana mungkin dan apa relevansinya membicarakan sutra-sutra yang notabene diragukan keabsahan dan keberadaan penulis/pencetusnya?).
Kita berusaha fokus dan tidak melebar. Semoga diskusi bisa membawa manfaat. Salam. _/\_
harusnya pengarang dadakan itu menambah : namo tassa bhagavato arahato mahasatvaya samma sambuddhassa ^-^
cekidot di Saddharmapundarika sutra soal Sravaka di dalam Hinayana...
http://www.fodian.net/world/Indonesian/0262.htm
‘Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara denganKu
Tidak ada di segala alam
Bersama dengan semua deva, karena Aku tidak memiliki
Siapapun yang dapat menandingiKu.
‘Karena Aku adalah Arahant di dunia ini,
Aku adalah Guru Tertinggi.
Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
Iya, krn gw gak punya bnyk akses k teks2 Mahayana. Taunya yg pali doank. Kalo ad yg bisa bantuin carikan teks2 Mahayana yg lain yg merendahkan Arahat n mengkultuskan Bodhisattva selain Diamond Sutra td.
Kalo Saddharmapundarika Sutra gw pernah baca tp blm habis n blm menemukan yg dimaksud.
NB: Maaf, bukan bermaksud mencari kesalahan/kelemahan dlm sutra2 Mahayana, tp hny sekedar ingin tahu aja. Jika pengertian saya thd sutra2 Mahayana tsb salah, mohon dikoreksi....
Setahu saya dalam Saddharmapundarika Sutra dikatakan Sariputra akan menjadi Buddha bernama Padmaprabha, padahal Sariputra saat itu telah mencapai tingkat Arahat. Secara tidak langsung ini mengatakan bahwa tingkat Arhat masih bisa di upgrade lagi, jadi belum sempurna.pantesan ada pengakuan arahat mengangis, ada pertemuan dengan buddha minum kopi, dll, bukankah begitu om kelana?
Dalam Srimala Devi Simhanada Sutra, http://www.hermeticsource.info/srimalaidevi-simhanada-sutra-lions-roar-of-queen-srimala.html (http://www.hermeticsource.info/srimalaidevi-simhanada-sutra-lions-roar-of-queen-srimala.html)
Ratu Srimala disuruh Sang Buddha untuk menjelaskan/membabarkan ajaran yang telah diberikan oleh Sang Buddha. Dalam pembabarannya salah satunya menyinggung mengenai Arhat dan Pratyekabuddha yang masih memiliki rasa takut dan juga akan dilahirkan kembali.
Setahu saya dalam Saddharmapundarika Sutra dikatakan Sariputra akan menjadi Buddha bernama Padmaprabha, padahal Sariputra saat itu telah mencapai tingkat Arahat. Secara tidak langsung ini mengatakan bahwa tingkat Arhat masih bisa di upgrade lagi, jadi belum sempurna.
Dalam Srimala Devi Simhanada Sutra, http://www.hermeticsource.info/srimalaidevi-simhanada-sutra-lions-roar-of-queen-srimala.html (http://www.hermeticsource.info/srimalaidevi-simhanada-sutra-lions-roar-of-queen-srimala.html)
Ratu Srimala disuruh Sang Buddha untuk menjelaskan/membabarkan ajaran yang telah diberikan oleh Sang Buddha. Dalam pembabarannya salah satunya menyinggung mengenai Arhat dan Pratyekabuddha yang masih memiliki rasa takut dan juga akan dilahirkan kembali.
pantesan ada pengakuan arahat mengangis, ada pertemuan dengan buddha minum kopi, dll, bukankah begitu om kelana?
Wah saya tidak tahu kenapa tidak ditambahkan demikian. Namun setidaknya title Arahat/Arhat juga melekat pada seorang Sammasambuddha/Samyaksambuddha, hal ini banyak tercantum juga di sutra-sutra Mahayana. Contoh:
Namo Bhagavate Bhaisajyaguru vaiduryaprabharajaya Tathagataya Arhate Samyaksambuddhaya tadyatha: Om Bhaisajye Bhaisajye Maha Bhaisajye-samudgate Svaha (Mantra di Bhaisajyaguru Vaiduryaprabharajaya Sutra)
Namo bhagavate Sakyamuniye Arhate Samyaksambuddhaya. (salah satu bagian dari Surangama Mantra)
Jadi jika merujuk sutra maka yang mengatakan bahwa seorang Samyaksambuddha bukan Arahat jelas keliru, mungkin perlu banyak baca lagi sutra-sutra.
Iya, krn gw gak punya bnyk akses k teks2 Mahayana. Taunya yg pali doank. Kalo ad yg bisa bantuin carikan teks2 Mahayana yg lain yg merendahkan Arahat n mengkultuskan Bodhisattva selain Diamond Sutra td.
Kalo Saddharmapundarika Sutra gw pernah baca tp blm habis n blm menemukan yg dimaksud.
NB: Maaf, bukan bermaksud mencari kesalahan/kelemahan dlm sutra2 Mahayana, tp hny sekedar ingin tahu aja. Jika pengertian saya thd sutra2 Mahayana tsb salah, mohon dikoreksi....
Pengarang Sutra-sutra-nya beda-beda, terus tidak dari satu jaman, terus tidak satu ajaran, yah begini-lah, gak konsisten dari awal sampai akhir. maka-nya kenapa Mahayana tidak ada konsili sangha lagi. Sutra-nya cuma di kompilasi saja (dikumpul2in).
[spoiler]
Saya sangat menghargai usaha Anda dalam memberi kutipan bahwa Samma Sambuddha Sakyamuni adalah seorang Arahat (juga). Memang ini benar, seperti seorang guru yang dapat menganalogikan dirinya juga seorang siswa (pembelajar), atau seorang dewasa menganalogikan (berpura-pura) dirinya seorang anak-anak untuk memberi motivasi tertentu pada mereka.
Bukan berupa argumentasi saja, sebab dalam teks lain juga sangat jelas membedakan antara Samma Sambuddha, Pacekka Buddha, dan Savaka Buddha (Arahat). Juga kerap disebutkan, Tathagata (yaitu Sakyamuni sendiri) hanya satu-satunya di gugusan alam semesta tempat Ia memutar roda dharma, sedangkan Arahat tidak terhingga jumlahnya. Dari sisi ini sudah kita simpulkan bahwa diferensiasi maupun similarisasi amat tergantung pada konteks, dan tidak (jangan) ditelan mentah-mentah.
Pejabat menganalogikan dirinya adalah kuli (pelayan) masyarakat, tidak bisa dikatakan salah.
Tapi mengatakan pejabat (gubernur, menteri, presiden) adalah kuli (dan hanya kuli belaka) juga tidaklah benar.
Demikian, semoga kita bisa lebih bijak menginterpretasikan makna sebuah teks (khususnya tulisan yang dianggap kitab suci, pedoman pembinaan, koridor pelatihan, dlsb).
Salam cerdas, bijak dalam dharma. Semoga berbahagia. _/\_
=)) =)) =))
Salam Super ....
=)) =)) =))
Salam Super ....
Bukti-bukti teks dari kedua tradisi besar baik Mahayana dan Theravada menyatakan bahwa Buddha adalah Arahat. Ini berarti Pencapaian Bodhi (Kebodhian), Pencerahan, Nirvana antara Buddha (Samyaksambuddha dan Pratyekabuddha) dan Arahat adalah sama.
Mungkin Sdr. Dilbert berkenan untuk memberi intisari dari sutra tersebut berkaitan dengan Sravaka, mengingat mungkin ada yang malas membacanya atau mungkin ada yang khawatir dirinya akan disebut “sutra minded” setelah membaca sutra tersebut.
Seingat gw dulu di DC ada yg menyatakan dengan acuan sutra Mahayana tertentu bahwa level arahat bahkan masih di bawah bodhisatva, apalagi dibandingkan dengan samyaksambuddha. ::) :-?
Seperti ada score level2nya begitu dulu kalo ga salah baca/ingat di diskusi DC. ???
Dalam Mahavastu [salah satu kitab tradisi Mahasanghika, abad 2 SM], Kasyapa dikisahkan meminta Katyayana untuk menjelaskan 10 tingkatan Bodhisattva:
1. Duraroha.
Pada tahap ini seorang Bodhisattva melatih kualitas dari pembebasan, welas asih, keyakinan, kerendahan hati, belajar semua sastra, kepahlawanan, semangat, meninggalkan keduniawian dan keteguhan.
2. Baddhamana
Para Bodhisattva pada tingkat ini tidak menyukai keberadaan dan mereka memiliki 20 ciri-ciri khusus yaitu baik hati, manis dan lain-lain
3. Pushpamandita.
Bodhisattva pada tingkat ini mengorbankan harta dan diri mereka untuk mendapatkan satu syair Dharma
4. Rucira.
Bodhisattva tidak lagi melakukan pelanggaran yang besar pada tahap in dan terlahir di alam para dewa tingkat tinggi.
5. Citravistara
Bodhisattva memandang semua keberadaan dibakar oleh api nafsu, kebencian dan kebodohan batin
6. Rupavati.
Tidak ada dua Buddha di satu tanah Buddha, namun ada Buddha dengan jumlah yang tidak terbatas di berbagai alam semesta
7. Durjaya.
Pikiran Bodhisattva pada saat ini sepenuhnya terkendali. Lewat welas asih mereka dapat menuju ke tingkatan berikutnya, di mana tiga tingkatan berikutnya berjalan seperti seorang pangeran ketika menjadi Cakravartin.
8. Jammanidesa.
Pada tingkatan ini Bodhisattva dipandang sebagai Buddha. Mereka fasih dalam ajaran dan merupakan guru-guru agung.
9. Yauvarajya.
Disebutkan nama-nama dari para Buddha [Bodhisattva yang dianggap sebagai Buddha]
10. Abhisheka.
Bodhisattva terlahir di Surga Tusita dan menunggu kelahiran di alam manusia sebagai Samyaksambuddha.
Dalam Pancavimsatisahasrika Prajnaparamita Sutra disebutkan tentang 10 tingkatan Bodhisattva yang terbagi dalam 5 kelompok:
1.Manusia Biasa
a) Pengetahuan Murni [suklavidarsana-bhumi] – kebijaksanaan awal tanpa meditasi
b) Keluarga [gotra-bhumi] – poin tolak ukur di mana seseorang mempraktekkan jalan Sravaka, Prateyka atau Bodhisattva.
2. Sravaka
a) Delapan manusia [astamaka bhumi] – kandidat Srotapanna
b) Pengetahuan [darsana-bhumi] – Srotapanna
c) Pelemahan (nafsu) [tanu-bhumi] - Sakrdagamin
d) Pelepasan dari nafsu [vitaraga-bhumi] – Anagamin
e) Penyelesaian [krtavi-bhumi] - Arhat
3. Pratyekabuddha – [Pratyekabuddha-bhumi]
4. Bodhisattva – [Bodhisattva-bhumi]
5. Buddha – [Buddha-bhumi]
Jadi untuk menjadi seorang Bodhisattva seseorang harus mencapai tingkatan yang juga dicapai oleh Arhat dan Pratyekabuddha terlebih dahulu.
Sedangkan yang biasa dikenal orang adalah 10 tingkatan Bodhisattva dalam Dasabhumika Sutra dan Samdhinirmocana Sutra:
1. Pramudita
2. Vimala
3. Prabhakari
4. Arcismati
5. Sudurjaya
6. Abhimukhi
7. Duramgama
8. Acala
9. Sadhumati
10. Dharmamegha
Di tiap tingkatan selalu ada klesha yang harus dilenyapkan.
Arhat dan Pratyeka Buddha setara dengan tingkat ke-6 Bodhisattva (Abhimukhi).
---
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5965.0
Supaya bagi para pemula tidak bingung.
Permasalahan Sang Buddha sebagai Arahat muncul dari permasalahan/pertanyaan penurunan status Arahat dan permasalahan pencapaian kearahatan Petapa Gotama melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini berarti kita berbicara dalam konteks kesucian batin bukan dalam konteks jasmani atau kemampuan duniawi.
Bukti-bukti teks dari kedua tradisi besar baik Mahayana dan Theravada menyatakan bahwa Buddha adalah Arahat. Ini berarti Pencapaian Bodhi (Kebodhian), Pencerahan, Nirvana antara Buddha (Samyaksambuddha dan Pratyekabuddha) dan Arahat adalah sama.
Adalah lucu mempertanyakan kearahatan Sang Buddha dan menganggap Buddha bukan seorang Arahat, padahal konteks pembicaraan sudah jelas yaitu berkaitan dengan kesucian batin, bukan yang lain.
Akan berbeda jika kita berbicara dalam konteks jasmani/fisik atauduniawi (bukan kesucian batin). Untuk menunjukkan keberadaan fisik adanya orang dan membedakannya maka dalam teks-teks menyebutkan secara terpisah.
Oleh karena itu kita diharapkan sering baca sutra dan membandingkan sehingga bisa membedakannya, jangan takut kalau nanti disebut "sutra minded". Dan kita perlu teliti dalam konteks apa yang sedang dibicarakan sehingga nanti tidak disebut "membelut" (kata trend di DC).
Seingat gw dulu di DC ada yg menyatakan dengan acuan sutra Mahayana tertentu bahwa level arahat bahkan masih di bawah bodhisatva, apalagi dibandingkan dengan samyaksambuddha. ::) :-?
Seperti ada score level2nya begitu dulu kalo ga salah baca/ingat di diskusi DC. ???
Pasti para pemula bingung. ;D
_/\_
IMHO, Mahayana dan Theravada sudah terlalu jauh berbeda dalam segi doktrin sehingga bila disama2kan / dicocok2an pun pasti ga akan sejalan. Pencapaian kesucian (arahat) sebagai tujuan akhir juga menjadi salah satu kontradiksi di antara keduanya.
Betul, beberapa sutra memang menyatakan demikian.
Oleh karena itu dikatakan sutra-sutra Mahayana ada yang tidak konsisten. Dalam Amitabha Sutra disebutkan titel Amitabha adalah Tathagata, Arahat, Samyaksambuddha.
Dalam Srimala Devi Simhanada Sutra menyatakan Arahat masih ada takut, tapi sekaligus menyebut title seorang Buddha dengan Tathagata-Arhat-Samyaksambuddha.
“….After 20,000 aeons you will become the Tathagata-Arhat-Samyaksambuddha Samantaprabha….” (Srimala Devi Simhanada Sutra)
Dan tentu saja bagi pemula akan membingungkan. Inilah mengapa beberapa orang mengkritisi sutra Mahayana, bukan karena fanatik terhadap tradisi tertentu tapi karena ada yang tidak beres.
Saya justru mempertanyakan Mahayana yang mana. Mahayana akhir yang kita lihat sekarang memang sepertinya jauh berbeda, tapi saya rasa tidak terlalu beda jauh diawal-awal kemunculannya atau disebut proto-Mahayana.
Supaya bagi para pemula tidak bingung.
Permasalahan Sang Buddha sebagai Arahat muncul dari permasalahan/pertanyaan penurunan status Arahat dan permasalahan pencapaian kearahatan Petapa Gotama melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini berarti kita berbicara dalam konteks kesucian batin bukan dalam konteks jasmani atau kemampuan duniawi.
Bukti-bukti teks dari kedua tradisi besar baik Mahayana dan Theravada menyatakan bahwa Buddha adalah Arahat. Ini berarti Pencapaian Bodhi (Kebodhian), Pencerahan, Nirvana antara Buddha (Samyaksambuddha dan Pratyekabuddha) dan Arahat adalah sama.
Adalah lucu mempertanyakan kearahatan Sang Buddha dan menganggap Buddha bukan seorang Arahat, padahal konteks pembicaraan sudah jelas yaitu berkaitan dengan kesucian batin, bukan yang lain.
Akan berbeda jika kita berbicara dalam konteks jasmani/fisik atauduniawi (bukan kesucian batin). Untuk menunjukkan keberadaan fisik adanya orang dan membedakannya maka dalam teks-teks menyebutkan secara terpisah.
Oleh karena itu kita diharapkan sering baca sutra dan membandingkan sehingga bisa membedakannya, jangan takut kalau nanti disebut "sutra minded". Dan kita perlu teliti dalam konteks apa yang sedang dibicarakan sehingga nanti tidak disebut "membelut" (kata trend di DC).
Betul, beberapa sutra memang menyatakan demikian.
Oleh karena itu dikatakan sutra-sutra Mahayana ada yang tidak konsisten. Dalam Amitabha Sutra disebutkan titel Amitabha adalah Tathagata, Arahat, Samyaksambuddha.
Dalam Srimala Devi Simhanada Sutra menyatakan Arahat masih ada takut, tapi sekaligus menyebut title seorang Buddha dengan Tathagata-Arhat-Samyaksambuddha.
“….After 20,000 aeons you will become the Tathagata-Arhat-Samyaksambuddha Samantaprabha….” (Srimala Devi Simhanada Sutra)
Dan tentu saja bagi pemula akan membingungkan. Inilah mengapa beberapa orang mengkritisi sutra Mahayana, bukan karena fanatik terhadap tradisi tertentu tapi karena ada yang tidak beres.
Kalau satu pihak merasa ada yang tidak beres, terus ada pihak lain tidak merasa-kan ketidakberes-annya. Manakah yang tidak beres ?
Apa kitab-nya yang proto-Mahayana ? sebelum kitab2 yang diambil dari alam naga ?
Apa kitab-nya yang proto-Mahayana ? sebelum kitab2 yang diambil dari alam naga ?
Kalau satu pihak merasa ada yang tidak beres, terus ada pihak lain tidak merasa-kan ketidakberes-annya. Manakah yang tidak beres ?
Apa kitab-nya yang proto-Mahayana ? sebelum kitab2 yang diambil dari alam naga ?
Dalam konsep Mahayana ada yang namanya manifestasi, dan menjadi Arahat adalah satu bentuk manifestasi, selain bentuk-bentuk lainnya yang tidak terhingga. Jika dalam pandangan sempit menilai bahwa Amitabha Buddha adalah Arahat dan di sisi lain menganggap Arahat masih ada kekurang-sempurnaan tertentu, itu karena tidak memahami konsep "Tiada Aku" yang sesungguhnya.
Jika seorang sudah mencapai Bodhisattva taraf tertentu, tentu Ia akan paham bahwa semua titel, gelar, pencapaian hanyalah sebuah identitas tanpa inti, bukanlah diri sejati. Jadi bila Amitabha Buddha dikatakan (rekan Kelana) tidak bisa menyandang 2 sebutan/gelar sekaligus, ini tidaklah benar ditinjau dari sisi manifestasi tanpa batas seorang Buddha.
Seorang Samma Sambuddha (Samyak-Sambodhi) otomatis merupakan Arahat (karena sudah melepaskan belenggu keterikatan, memenangkan arus). Tapi seorang Arahat belum tentu seorang Samma Sambuddha (Samyak-Sambodhi).
Saya kira logika di atas cukup mudah dimengerti, bagi yang open-minded.
Salam. _/\_
Tergantung sejauh mana alasan, argumen yang diberikan dari ketidakberesan atau keberesan dari kedua belah pihak. Yang pasti hanya 1 yang benar.Tidak ada kemungkinan 2 2 nya salah?
Ya, kitab-kitab yang ada sebelum munculnya kitab-kitab yang secara tradisi dikatakan diambil oleh Naga.
Tidak ada kemungkinan 2 2 nya salah?
Jika iya 2-2-nya salah maka ada 2 kemungkinanItulah ;D , apakah ada cara untuk menelusuri hal itu?
1. ada hal yang di luar ketidakberesan dan keberesan. Apakah hal itu? (Setengah beres atau setengah tidak beres masih dalam konteks beres dan tidak beres)
2. apa yang dibicarakan/dipermasalahkan tidak pernah eksis.
Hanya itu yang saya tahu kalau 2-2-nya salah.
Sdr. Sunya, saat anda menanggapi Sdr. Ariyakumara yang menyatakan bahwa: "Jalan Mulia Berunsur Delapan yang membawa pada Kearahatan spt yg telah Beliau tempuh…” anda menepisnya dengan mengatakan:
…..saya kira ini kurang valid (Pangeran Siddharta bukan mencapai Arahat, tapi Samma Sambuddha).
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg433028.html#msg433028 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg433028.html#msg433028)
Saya pribadi menangkap bahwa Kearahatan yang dimaksud Sdr, Ariyakumara adalah sifat-sifat Arahat, bukan dalam konteks arahat sebagai makhluk dengan pencapaiannya dengan cara mendengar. Oleh karena itu saya konsisten mengatakan bahwa Sang Buddha juga adalah Arahat.
Sekarang anda mengatakan: Seorang Samma Sambuddha (Samyak-Sambodhi) otomatis merupakan Arahat.
Adanya titel Tathagatha-Arhat-Samyaksambuddha bukanlah karena Buddha bisa bermanifestasi, atau pernah dilahirkan sebagai arahat tetapi karena memang Sang Buddha adalah Arahat. Jika iya alasannya adalah karena manifestasi atau pernah dilahirkan sebagai arahat maka titel bodhisattva juga perlu dimasukkan ke dalamnya karena dalam Mahayana seorang Buddha juga bisa bermanifestasi menjadi bodhisattva dan konon katanya kedudukannya lebih tinggi dari arahat. Tidaklah terlalu susah menambahkan 1 titel bodhisattva dari banyak titel Sang Buddha. Tapi kenyataannya, tidak ada dalam sutra penyebutan bodhisattva sebagai titel untuk Sang Buddha disejajarkan dengan Tathagatha, Arhat, Samyaksambuddha.
Itu saja yang bisa saya sampaikan.
[at] Sunya:
Maksud saya, dalam sutta2 Pali Sang Buddha hanya menyatakan satu jalan (kendaraan) menuju Pencerahan, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan yang membawa pada Kearahatan spt yg telah Beliau tempuh dan Beliau sarankan kepada para siswa-Nya dengan mengatakan inilah satu2nya jalan yang mulia dan tertinggi, tetapi Beliau tidak mengatakan bahwa jalan lain selain menuju Kearahatan itu rendah/kecil (misalnya jalan menuju Brahma melalui Empat Keadaan Tanpa Batas).
Namun tiba2 dalam sutra2 Mahayana Sang Buddha mengatakan jalan Kebuddhaan/Bodhisattva lebih tinggi dengan menyatakan bahwa jalan Kearahatan yang telah diajarkan sebelumnya lebih rendah/kecil, hanya untuk mereka yang tidak "berkemampuan" atau "egois". Sepertinya Sang Buddha tidak konsisten dengan kata2-Nya sendiri dalam sutra2 Mahayana.
Agar jelas, mari kita kutip secara lengkap:
Betul, walau arahat ini kata sifat (bukan huruf kapital), tetap yang dicapai Siddharta Gautama saat itu adalah Samma Sambuddha 'kan? Sebab, tidak mungkin ada arahat yang bisa mengajar (membabarkan) dharma. Menurut saya masih lebih tepat disebut Samma Sambuddha, walau otomatis arahat juga dicapai.
Logikanya: Anda lulus kuliah S1, jelas disebut sarjana S1, walau Anda juga sudah melewati jenjang D1-D3. Seperti itu juga Kearahatan dan Samma Sambuddha, jika disebut 'hanya' menjadi arahat tentu akan bias (rancu), sebab kapasitas-Nya lebih dari itu.
Oke, yang menjadi poin masalah 'kan apa Arahat dan Samma Sambuddha satu taraf (level) yang sama, bukan begitu? Kalau yang ini saya kira sudah saya pernah jawab sebelumnya.
Tentang titel, saya kebetulan pernah membahasnya dengan rekan yang beraliran 'T'. Kebetulan sebutan bodhisattva di aliran 'T' ini mengacu pada setiap makhluk, karena pada prinsipnya semua makhluk itu calon Buddha, begitu katanya.
Sedangkan (yang saya pahami), dalam Mahayana sebutan Bodhisattva baru diberikan pada yang menempuh jalan ini (menolong/membebaskan makhluk), dan aktivitasnya disebut aktivitas bodhisattva.
Karena itu, untuk menghindari kerancuan istilah antar aliran, saya kira pemberian titel ini lebih condong seperti yang Anda sebutkan di atas.
Ada sebutan lain untuk Buddha di aliran Mahayana dan Tantrayana, yaitu Mahasattva (definisi singkatnya, Bodhisattva yang telah menempuh tingkat kesucian tertentu).
Oke, mohon koreksinya. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.
Salam. _/\_
Itulah ;D , apakah ada cara untuk menelusuri hal itu?
Kalau yang dimaksud adalah menelusuri hal diluar ketidakberesan dan keberesan, saya pikir tidak ada, karena hal yang dimaksud tidak pernah ada (saya tidak berbicara dalam konteks filsafat tinggi ala zen dengan persepsi dan diskriminasi pikiran).Semisal tingkat kesucian, pencapaian kesucian, hal2 itu bisakah ditelusuri dan dibuktikan?
Sdr. Sunya, JIKA kita berbicara dalam konteks jenis makhluk yang mencapai dengan cara usaha sendiri, bisa mengajar, dan sejenisnya, maka kita bisa menyatakan mencapai Sammasambuddha, dan anda bisa dikatakan tepat mengatakannya. Tetapi kita berbicara dalam konteks batin.
Analogi S1 dan D3 hanya berlaku dalam konteks jenis makhluk, bagaimana caranya ia mencapai, bukan apa yang ia “peroleh”.
Analogi yang tepat dari konteks kearahatan yang sedang dibahas adalah kedua mantan pelajar tersebut sama-sama memiliki pengetahuan Desain (misalnya jika S1 Desain dan D3 Desain.) disebut Desainer. Jadi tidak peduli bagaimana ia mencapainya, berapa lama dibutuhkan untuk mencapainya.
Jadi, kita harus tetap pada jalur konteks.
Dalam konsep Mahayana, seperti yang anda ketahui bahwa Buddha bisa bermanifestasi termasuk jadi bodhisattva dan jelas sudah dijalani oleh Siddhartha. Jadi, lagi jika alasannya titel Tathagatha – Arhat - Samyaksambuddha karena alasan bisa manifestasi jadi arahat maka gelar bodhisattva juga harusnya dimasuki karena Ia telah menjalani hidup sebagai bodhisattva, jadi titelnya jadi Tathagata-Bodhisattva-Samyaksambuddha.
Ya saya pernah mendengar istilah Mahasattva, namun mungkin karena pengetahuan saya yang terbatas, dalam teks kepustakaan saya hanya melihat gelar mahasatva disandingkan dengan gelar bodhisattva , cth: Avalokitesvata Bodhisattva Mahasattva, saya belum melihat Sakyamuni Buddha Mahasattva.
Dan saya rasa gelar bodhisattva (dalam tingkatan bodhisattva) yang dimaksud bukan berarti dalam konteks arti calon Buddha tetapi dalam konteks makhluk yang memiliki bodhi.
Itu saja yang bisa saya sampaikan saat ini.
Melepas kemelekatan dalam aliran lain bisa diartikan sebagai meninggalkan keduniawian, menghindari segala benda/materi dan kebiasaan, menempuh suatu jalan pembatasan dalam segala aspek kehidupan, serta menempuh suatu jalan yang (diyakini/dipercayai/diimani) akan menuju pada kesucian.
Beda pada perspektif Mahayana, bahwa melepas kemelekatan bukan berarti tidak bisa memiliki segala sesuatu, tidak boleh beraktivitas seperlunya (sesuai dengan keperluan dan asas manfaat). Dalam Mahayana, menjadi orang kaya dapat lebih bermanfaat bagi makhluk lain daripada tidak memiliki apa-apa.
Beraktivitas secara "duniawi" (dalam asas manfaat) dapat lebih memberi kontribusi bagi kehidupan daripada pengasingan diri.
Lebih ekstrim (dalam), dalam nirvana sesungguhnya ada samsara, dan dalam samsara sebenarnya ada nirvana. Sekarang sesungguhnya adalah nirvana, jika kita telah merealisasinya. Sekarang juga adalah samsara, jika kita tidak bisa melihat makna hakiki dari kehidupan.
Nirvana yang sesungguhnya, adalah melihat semua makhluk berbahagia.
Tiada pencapaian,
tiada yang dicapai,
(apalagi) Yang Mencapai (tidak ada Buddha).
Semua anatta/anatman, sebab merupakan paduan unsur-unsur belaka.
Pada hakikatnya, kita (semua) bebas, LELUASA.
Lihatlah, buktikan sendiri.
_/\_
tambah istilah baru arti Nirvana
ujung2nya kosong adalah isi, isi adalah kosong ^-^
Istilah lama nirvana apa?
Jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu, biarlah semua mengalir seperti air. :)
_/\_
ndak tahu, emang sebelumnya apa ?
nah sekarang istilah anda baru saya baca
apa hubungan menyimpulkan sesuatu dengan mengalirnya aliran air ya ???
Bila yang sebelumnya tidak tahu, bagaimana ada kesimpulan ada istilah baru arti Nirvana?
Mengalir seperti air, bukan mengalirnya aliran air. Semoga bisa dicermati lagi. Salam. _/\_
Bila yang sebelumnya tidak tahu, bagaimana ada kesimpulan ada istilah baru arti Nirvana?
dan apakah bro sunya sudah mengalami nirvana lama dan nirvana baru ?
nirvana, yang arti lama, dari anda apa ?
terus anda sudah mengalami yang nirvana lama atau nirvana baru !
tambah istilah baru arti Nirvana
ujung2nya kosong adalah isi, isi adalah kosong ^-^
Ikutilah Teladan Sang Buddha
Sangatlah bijaksana apabila kita senantiasa mengingat bahwa tidak pernah terdapat 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' di era Sang Buddha Gautama membabarakan Dharma.
Label-label tersebut baru diperkenalkan di era sesudahnya oleh umat Buddha sebagai suatu alasan untuk memudahkan mereka memahami darimana seseorang itu memandang kedalaman dan totalitas dari Sang Buddha dan AjaranNya. Karenanya kita tidak seharusnya bermimpi untuk menyebut Sang Buddha sebagai seorang 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' , bahkan Sang Buddha tidak pernah menyebut diriNya sebagai seorang 'Buddhist'.