//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - sukma

Pages: [1]
1
Tradisi Filsafat telah lama mencari suatu afirmasi tentang subyek otonom dengan bertitik tolak pada Kesadaran diri dan rasionalitas manusia. Kesadaran yang berpusat pada diri dengan dukungan rasionalitas yang kokoh dapat menciptakan peluang bagi pemikiran yang tak terbatas (unlimited thinking) sebagai suatu Kebebasan. Berpikir atas dasar kebebasan adalah proses berpikir yang tidak mengandaikan sesuatu yang lain kecuali pemikiran itu sendiri,atau kita sebut ; "dalam berpikir saya bebas, karena saya tidak menjadi yang lain", Kebebasan seperti ini adalah kebebasan absolut, karena bergantung secara mutlak pada otonom kesadaran diri.

Ketika kebebasan berpikir dan kesadaran diri berjalan bersama dalam suatu gandengan mesra, maka KEBENARAN dapat saja dengan mudah di-kandang-kan dalam suatu ruang pemikiran yang tertutup ; dan sebagai akibat, kemungkinan untuk mengakui  Kebenaran yang lain menjadi terbatas. Filsafat yang tidak memberi ruang untuk Kebenaran yang lain, bahkan mereduksi Kebenaran Yang Lain hanya ke dalam satu Kebenaran tertentu, FILSAFAT seperti ini sepantasnya dituduh sebagai Filsafat Egologi

Manusia, ketika "berpikir" dia mengidentifikasikan batinnya dengan pikirannya, dan keduanya, baik batin maupun pikirannya sama-sama mengafirmasi seluruh eksistensi diri manusia sebagai subyek otonom.inilah yang di sebut Filsafat Totalitas. Totalitas dalam pengertian suatu cara berada yang berpusat pada diri. Cara berada seperti ini bertujuan untuk membentuk Indentifikasi diri. Dalam identifikasi, ada semacam gerakan dari dalam untuk kembali kepada diri. Gerakan yang mengandalkan kekuatan interior, yaitu kekuatan rasio, kesadaran diri, dan keinginan untuk mewujudkan kebutuhan dan kenikmatan yang berpusat pada diri.

Dalam Filsafat Totalitas, diri adalah pusat untuk segala-galanya. Pusat makna untuk memaknai yang lain. Pusat kenikmatan untuk mengobyekkan yang lain. Pusat Kebenaran untuk membenarkan diri. Pusat Nilai untuk menjadi standard bagi yang lain. Ya, Pusat yang menjadi ukuran segala. Ini adalah Totalitas.. Gerak langkah Totalitas adalah gerak langkah mereduksi. Mereduksi Yang Lain kepada yang sama, dalam reduksi ada gerak balik kepada yang sama, kepada diri sendiri, yaitu sang aku sebagai subyek otonom, pusat kebenaran. Kebenaran tidak di Cari di luar diri. Kebenaran berada dalam diri..

Benar bahwa Kebenaran selalu mengimplikasikan suatu pengalam di luar diri, namun setiap pengalaman selalu mempunyai suatu rujukan atau referensi pada subyek ; dan oleh karena itu, setiap pengalaman mesti dibahasakan oleh subyek. Pengalaman tak dapat dipisahkan dari obyek, karena setiap pengalaman adalah pengalaman subyek. Pemikiran Filsafat Totalitas amat sering mengeklusifkan yang transenden, dan mereduksi "Yang Lain" kepada "yang sama", demi cita-cita Filsafat yang Otonom.

Apakah masih mungkin berfilsafat tentang "Yang Lain:.? Sebelum pertanyaan ini dijawab, adalah baik kalau konsep tentang "Yang Lain" mesti di beri batas. Orang Yunani membedakan "Yang Lain" dalam pengertian "heteros" dan "allos". Heteros berarti "Yang Lain" sebagai plural dari antara dua, sedangkan 'allos" berarti "Yang Lain" sebagai "yang satu" di antara banyak "Yang Lain". Dari Heteros muncul kata ; Heteronom dan Heterogen.

Makna tentang "Yang Lain" dapat ditegasi ; "Yang Lain" adalah Yang bukan aku. . Untuk memahami 'Yang Lain" menurut cara dia berada, orang mesti pertama-tama menanggalkan seluruh pemahaman tentang dirinya, tentang dunianya, tentang rasionalitasnya, tentang kesadarn dirinya, tentang kebenarannya, tentang persepsinya, tentang kehendaknya.

Dia yang lain adalah yang bukan aku, untuk memahami "Yang Lain", aku tidak dapat memulai dari diriku, karena memulai dari diri ku berarti memulai dari dunia pemahaman dan persepsiku, Memulai dari Kbenaran yang saya miliki ; Jalan yang Benar untuk memahami "Yang Lain" adalah memulai dari dunianya, yaitu keberlainannya, Dunianya adalah keberlainannya, yang sering saya sebut keluar dari 'Zona Aman" kita.

Yang Lain sebagai yang Heteronom

Aspek heteronom di sini mesti dimengerti dengan merujuk pada makna tenatng "Yang Lain" sebagai Yang Lain secara radikal, radikalnya adalah "keberlainnannya", Filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pemikiran tentang "Yang Lain secara absolut", filsafat seperti ini di namakan Filsafat Heteronom. filsafat Heteronom tidak berbicara tentang aspek 'Yang Lain' seperti obyek eksternal di luar kesadaran manusia. Yang Lain sebagai heteronom dicirikan oleh aspek transendensi. Transendensi di sini dapat dimengerti sebagai suatu keberlainan radikal yang melampaui dari sekadar pemahaman yang ontologis. Keberlainnan seperti ini memiliki dimensi dari atas, yaitu Yang Maha Tinggi.

Yang Lain sebagai Yang Eksterior

Esai tentang Eksterioritas ini mengindikasikan membangun suatu Filsafat tentang "ketakberhinggaan" sebagai alternatif untuk mengatasi Filsafat Totalitas. Kalau dilihat sepintas, arti kata eksterior dapat saja dimengerti sebagai suatu realitas yang manusia jumpai di luar kesadaran manusia. Suatu realitas eksternal seperti ,gunung, batu, pohon, yang manusia persepsi, namun Filsafat ketakberhinggaan ini dalam makna kata eksterior merujuk pada suatu Realitas yang transenden, realitas yang melampaui dunia kesadaran manusia, yaitu suatu realitas yang tidak masuk dalam konteks pemahaman ku di Dhamma. Yang eksterior adalah yang transenden, yang melampaui pengetahuan ku.






2
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / TAKDIR.
« on: 30 December 2008, 04:21:37 PM »
Saya ingin mengambil topik diskusi : TAKDIR.

bagaimana sikap Dhamma terhadap TAKDIR ?
Apakah semua diatur dalam hukum sebab dan akibat? Sesuai Dhamma bisa iya dan bisa juga tidak. ? Kenapa.?
Kalau hanya sebagian, yang mana saja yang diatur mana yang tidak ?

Saya jelas tidak percaya sama takdir.!

3
Takkala kamma itu matang dengan cara apapun juga, prinsip yang sama akan selalu berlaku ; "perbuatan baik menimbulkan akibat baik, perbuatan buruk menimbulkan akibat buruk"

Dan, kita juga pahami bahwa kamma merupakan hukum Universal abadi yang menyebabkan perbuatan tersebut menimbulkan akibat balik, yang di sebut vipaka, "pematangan", atau phala, "buah". Hukum yang menghubungkan perbuatan dengan buahnya bekerja dengan prinsip sederhana bahwa perbuatan buruk akan matang menjadi penderitaan, sedangkan perbuatan baik akan matang menjadi kebahagian.

Kesaksian ;

Sebut saja satu nama sebagai contoh, Roby, selama ini dikenal pada komunitas nya adalah seorang pribadi yang telah banyak memupuk kamma buruk untuk sekian tahun lamanya, singkatnya pada 3 bulan lalu kebiasaan kamma buruk Roby terjadi pada seorang bapak, oleh perbuatan buruk Roby terhadap si Bapak telah mengakibatkan kerugian besar ratusan juta yang harus ditanggung si Bapak. Kerugian ini di sikapi oleh si Bapak dengan bijaksana terhadap keluarga Roby di kala ibunya Roby sakit dan memerlukan dana yang cukup besar untuk menjalani operasi besar. Tanpa mengingat si Roby telah menipunya, si Bapak yang tahu keluarga Roby saat ini perlu dana untuk operasi ibunya, dan sekali lagi duit Rp 75 juta di serahkan ke Roby dan ibunya pun sukses dan selamat dalam operasi ini. Akibat Tindakkan Kasih dari si Bapak pada saat-saat krisis ibunya Roby, telah membuat pola hidup si Roby berubah TOTAL dan kini semua komunitas Roby pada heran karena setiap hari selalu muncul kamma baik Roby yang dilakukan pada lingkungannya, bahkan Roby mendapat suatu kedudukan yang sangat bagus pada sebuah perusahan.

Pertanyaan ;

prinsip sederhana bahwa ; perbuatan buruk akan matang menjadi penderitaan, sedangkan perbuatan baik akan matang menjadi kebahagian.

Bagaimana membahas kamma pada diri Roby,yang di mana kita sudah memahami hukumnya seperti tulisan yang saya bold warna merah di atas.?

4
Meditasi / Semadi Benar (Samma Samadhi)
« on: 23 December 2008, 11:06:12 PM »
Jalan Kebahagian Sejati, oleh Bhikku Bodhi ;

 Jalan Utama Berunsur Delapan yang ke delapan :

Semadi Benar (Samma Samadhi)

Semadi Benar yang dalam bahasa Pali disebut Samma Samadhi. Konsentrasi merupakan penguatan factor mental yang ada dalam setiap kondisi kesadaran. Faktor mental ini, yaitu Keterpusatan Pikiran (citt ekaggata), berfungsi untuk menyatukan factor-faktor mental lainnya untuk melakukan proses kognitif. Faktor mental inilah yang memberikan aspek pembeda terhadap kesadaran, agar setiap citta atau perbuatan pikiran tetap terpusat pada obyeknya. Setiap saat pikiran pasti mengenali sesuatu ; pandangan, suara, bebauan, rasa, sentuhan, atau obyek mental. Keterpusatan pikiran akan menyatukan pikiran beserta factor-faktor mental penyertanya saat mengenali obyek tersebut. Serentak dengan itu, keterpusatan pikiran tersbut juga berfungsi untuk memusatkan semua bagian dari tindak kognitif tersebut pada Obyek itu. Keterpusatan pikiran menjelaskan kenyataan bahwa dalam setiap tindak kesadaran terdapat sbuah titik focus pusat yang ditunjukkan oleh keseluruhan data mengenai obyek tersebut.

Namun, Samadhi hanya merupakan salah satu jenis keterpusatan pikiran, dan tidak sama dengan keterpusatan pikiran secara keseluruhan. Bogarasa yang tengah mencicipi makanan, pembunuh yang hendak membantai korbannya, serdadu di medan laga –mereka semuanya bertindak dengan pikiran terkonsentrasi, nmun konsentrasi tersebut tidak bias dianggap Samadhi. Samadhi merupakan keterpusatan pikiran yang baik. Namun, pemahaman Samadhi lebih sempit daripada ini. Samadhi tidak meliputi semua bentuk konsentrasi yang baik, namun hanya meliputi konsentrasi yang dipertajam melalui usaha khusus untuk menempatkan pikiran pada tataran kesadaran yang lebih tinggi dan lebih murni.

Dalam kitab-kitab komentar, Samadhi di defenisikan sebagai pemusatan pikiran dan factor-faktor mental secara benar dan secara tepat pada satu Obyek. Samadhi, yang merupakan konsentrasi yang baik, akan menyatukan aliran keadaan mental yang biasanya terhambur dan terburai untuk menimbulkan konsentrasi batin. Kedua ciri utama dari pikiran yang terkonsentrasi adalah perhatian yang tak putus terhadap obyeknya serta ketenangan yang muncul dari fungsi-fungsi mental setelah itu. Kedua ciri itulah yang membedakan nya dengan pikiran yang tak terkonsentrasi. Pikiran yang tidak terlatih dalam konsentrasi akan bergerak secara serampangan. Buddha mengibaratkan pikiran ini seperti seekor ikan yang dikeluarkan dari air dan kemudian di lemparkan ke tanah, lalu menggelepar di sana. Pikiran seperti itu tidak dapat diam, nmun bergegas dari gagasan satu ke gagasan berikutnya, dari pikiran yang satu ke pikiran yang berikutnya, tanpa kendali batin. Pikiran yang kacau seperti ini juga merupakan pikiran yang kotor serta dipenuhi dengan kekhawatiran dan kemurungan, serta senantiasa menjadi kotoran  dari kotoran batin. Pikiran seperti ini memandang dunia secara terpotong-potong, dan di  selewengkan oleh riak-riak pemikiran yang tak terarah. Namun, sebaliknya pikiran yang telah terlatih dalam konsentrasi dapat tetap terfokus pada Obyeknya tanpa teralih. Tak teralihnya pikiran itu selanjutnya menimbulkan Kelembutan dan Ketenangan Batin yang bias membuat pikiran sebagai alat penembus yang efektif, Seperti halnya danau yang permukaannya tetap tenang tak terganggu oleh hembusan angina apapun, pikiran yang terkonsentrasi merupakan cermin sejati yang mencerminkan apapun yang ditempatkan di hadapannya persis seperti apa adanya.

Pengembangan konsentrasi ; .......

5
Buddhisme untuk Pemula / Apa yang bukan Kebijaksanaan
« on: 23 December 2008, 10:39:07 PM »
Apa yang bukan Kebijaksanaan


Beberapa tahun yang lalu sejumlah skandal yang melibatkan bhikku-hikku Thai diberitakan oleh berita-berita Internasional. Bhikku terikat oleh peraturannya untuk hidup selibatsecara ketat. Dalam tradisi saya, agar tidak dicurigai macam-macam dalam kaitannya dengan hidup selibat, para bhikku tidak di perbolehkan melakukan segala kontak phisik dengan wanita, begitu pula para biarawati tidak diperbolehkan melakukan kontak phisik dengan pria. Dalam skandal-skandal yang diberitakan itu, beberapa bhikku tidak menaati peraturan tersebut, mereka adalah bhikku-bhiku yang nakal. Media tahu bahwa pembacanya hanya tertarik pada berita tentang bhikku-bhikku yang nakal, bukan tentang bhikku yang membosankan, yang taat pada peraturan.

Di sebuah acara saya berpikir itulah saatnya saya membuat pengakuan saya. Pada suatu jumat petang di Vihara di Perth, di hadapan sekitar 300 hadirin, beberapa diantaranya adalah pendukung setia, saya mengumpulkan keberanian dan menceriterakan sebuah kebenaran kepada mereka. “saya akan membuat sebuah pengakuan” kata saya. “ini tidak mudah, beberapa tahun yang lalu….” Saya meragu. “beberapa tahun yang lalu”, saya berusah meneruskan, “saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya…..” saya terhenti lagi.

“saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya …..dipelukkan isteri seorang pria lain” saya mengatakannya, saya mengakunya. “kami berpelukkan, kami bersentuhan, kami berciuman” saya menyelesaikannya. Lalu saya menunduk dan menatap karpet.

Saya bisa mendengar seruan-seruan keterkejutan tiba-tiba terdengar di mana-mana, tangan-tangan menutupi mulut yang ternganga. Saya mendengar beberapa orang berbisik, “Oh tidak.! Bukan Bhikku Ajahn Brahm” saya melihat banyak pendukung-pendukung lama berjalan menuju pintu , takkan kembali lagi. Bahkan umat Buddha awam tidak berhubungan dengan isteri pria lain, itu perbuatan asusila. Saya mengangkat kepala saya , menatap pengunjung dengan percaya diri, dan tersenyum.

“Wanita itu,” jelas saya, sebelum ada yang sempat keluar dari pintu, “Wanita itu adalah ibu saya, sewaktu saya masih bayi”. Para hadirin meledak dalam tawa dan merasa lega.

“Memang benar kan!” teriak saya melalui mikropon di antara suara riuh mereka. “Dia adalah isteri pria lain, ayah saya. Kami berpelukkan, kami bersentuhan, dan kami berciuman. Itu adalah saat-saat terindah dalam hidup saya”

Ketika para pengunjung telah menyapu air mata mereka dan berhenti tergelak, saya menunjukkan bahwa hampir semuanya telah menghakimi saya, dengan keliru. Walaupun mereka telah mendengar dari mulut saya sendiri, dan artinya tampak begitu jelas, mereka bisa sampai pada kesimpulan yang keliru. Untungnya, atau lebih karena disengaja, saya bisa menunjukkan kekeliruan mereka. “beberapa kali”, saya bertanya kepada mereka “kita tidak begitu beruntung, dan meloncat pada kesimpulan-kesimpulan , pada bukti-bukti yang tampak begitu nyata , namun ternyata KELIRU, SAMA SEKALI KELIRU.?”

Menghakimi mutlak  --ini benar, yang lain salah – sama sekali bukanlah KEBIJAKSANAAN.

Kutipan dari ; MEMBUKA PINTU HATI (Ajahn Brahm)

6
Pojok Seni / Seni Komunikator / Dialog yang Efektif
« on: 17 December 2008, 03:20:51 PM »
Untuk menjadi komunikator yang efektif dalam Dialog kita harus “melangkah keluar dari zona aman” kita. Permasalahannya adalah bahwa kita terpaku di dalam “zona aman” kita.
Jika “zona aman” kita sempit, kita akan terpenjara dalam dunia sempit. Namun demikian, kebanyakan diantara kita lebih memilih tetap tinggal dalam penjara tersebut daripada harus membayar dengan ketidakpastian yang mungkin muncul jika kita melangkah keluar dari ”zona aman” kita. Kita membiarkan diri kita terjebak dalam dunia aman kita yang sempit. Kita tidak akan pernah dapat menyadari batas kemampuan kita, karena kita tidak pernah menggalinya. Kita tidak pernah dapat menikmati seluruh kemampuan kita karena kita tidak pernah mengujinya.

Sebagian besar orang hanya mempergunakan 10% dari seluruh kemampuannya, 90% yang lainnya terkubur dalam-dalam di dalam ketakutan mereka. Kita takut gagal, kita takut menanggung malu atas kegagalan kita. Kita takut menjadi bahan tertawaan orang lain. Kita takut mendapat kritikan orang lain. Oleh karena itu, kita memilih tinggal dalam gua  dan tetap tinggal dalam”zona aman” kita. Akibatnya setiap hari adalah ulangan hari-hari kemarin. Kita mengenakan pakaian yang sama, berbicara / dialog tentang masalah yang sama, berjumpa dengan orang-orang yang sama karena di sanalah kita merasa AMAN. Melangkah keluar dari “zona aman” kita berarti memimpikan impian yang tidak mungkin terwujud, menjangkau sesuatu yang dulu tidak pernah dijangkau, mencoba apa yang dulu tidak pernah di coba, berarti menanggung resiko Gagal, berani berjalan ke tempat yang belum pernah kita tinggali.   

7
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / Manusia
« on: 01 December 2008, 06:42:00 PM »
Minta Izin diskusi Species manusia tanpa zat "roh" sesuai Ajaran Buddhis, dan tidak bersumber dari Agama dan Keyakinan lain, bila thread ini tidak sesuai aturan main Web DC, silahkan dierase.


Manusia terdiri atas Jiwa dan Badan tidak merupakan soal. Meskipun dapat terjadi., bahwa jiwa atau badan dianggap merupakan dan di sebut manusia, namun, betapapun harus dipertahankan, bahwa keduanya-duanya betul-betul berbeda, namun sebenarya badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau badan tidak di jiwai olehnya. Jadi, bagaimana pun juga, kedua-duanya digabungkan menjadi suatu kesatuan, untuk mendirikan manusia dalam arti utuh. Tetapi dengan demikian masih belum jelas, bagaimana kesatuan ini dapat dimengerti.

Kita dapat berkenalan dengan definisi, yang katanya, diberikan oleh orang-orang bijaksana dari dahulu kala, yakni bahwa manusia adalah mahluk yang berakal budi yang dapat mati. Defenisi ini disatu pihak menyatakan,bahwa manusia termasuk yang genius, dan di lain pihak bahwa sebagai berakal budi ia menurut speciesnya berbeda dengan binatang-binatang..

Akan tetapi defenisi ini tidak menentukan bagaimana perbedaan dan hubungan jiwa dengan badan harus dipikirkan. Pada hematnya, "jiwa adalah semacam subtansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudi badan, tetapi itu berarti bahwa badan juga harus dianggap merupakan suati subtansi, dan akhirnya manusia sendiri menjadi suatu subtansi yang ketiga, yang terdiri dari dua subtansi yang lainnya. Hanya, ya tidaklah harus diakui bahwa menjadi sulit memandang subtansi yang terakhir itu sebagai betul-betul satu subtansi,yakni sebagai sesuatu, yang memiliki kesatuan yang perlu, agar subtansi betul-betul menjadi satu subtansi.

Ambillah sebagai contoh pasangan suami isteri. Betapapun mereka dipersatukan dan malahan ditunjukkan dengan memakai satu kata saja (pasutri),mereka tetap dua subtansi dan kesatuan mereka bukan subtansi (tetapi relasi). Atau dapat dikatakan bahwa manusia ialah badan yang siap dipakai atau dihidupkan oleh jiwa, sebagaimana alat yang dapat dihidupkan untuk menerangi kenyataan sekitar yang kita sebut lampu. Ataukah harus dikatakan bahwa manusia adalah jiwa yang memakai badan , sebagaimana kita berbicara tentang abang becak, yang memang abang becak, karena ia memakai becak sebagai alatnya.??

Bisa kah jika manusia kita di definisikan sebagai ; "jiwa berakal budi yang memakai badan yang dapat mati".? Perhatikanlah, bahwa rumus tradisional "mahluk hidup(atau binatang) berakal budi(animal rationale)" diubah menjadi "jiwa berakal budi(animal rationalis)". Jadi, manusia menurut hakikat yang sebenarnya disamakan dengan jiwa. Lalu, rupanya apabila jiwa disebutkan,maka badan pun harus disebutkan, yakni sebagai apa yang dipakai jiwa tersebut. Lantas, dimana kesatuan manuia.?

Ataukah dengan kata lain kita sebut bahwa manusia adalah "jiwa yang mempunyai badan dan tidak membuat dua pribadi tetapi satu orang", namun, pernyataan ini tidak bernada betul-betul meyakinkan. Ada pertanyaan, bagaimana di dalam diri manusia itu adanya dan fungsi badan dapat dimengerti.?

Tidakkah timbul kesan bahwa di dalam kenyataan manusiawi yang kita kenali badan sebenarnya sessuatu yang asing, yang tidak ikut mendefinisikan hakikat kenyataan manusiawi tersebut.?. Tidak sulit kelihatannya bahwa suatu cara menilai badan seperti itu mudah dikembangkan menjadi suatu penilaian negativ, seolah-olah entah apa sebabnya harus disesali, bahwa badan itu ada. Dan sebenrnya sudah ada pelbagai Ajaran Meditasi yang menjurus ke arah itu dan menekankan bahwa jiwa seharusnya mencoba melepaskan diri dari badannya.

8
Salam kenal buat semua pencinta Forum DhammaCitta .! =D> , membaca topic
Debat Perbedaan Theravada dan Mahayana (termasuk Tantra).. ditengah diskusi muncul suatu kata : "Kehendak Bebas" yang di turunkan oleh Petrus ;

Petrus
Perjalanan panjang dari pencarian Siddharta akhirnya dapat dipecahkan dari para filsuf Christian, bahwa kehendak bebas lah yang menyebabkan kejahatan.
Sama seperti pencerahan manusia ketika Galileo menemukan bahwa bumi mengelilingi matahari.
Seandainya Siddharta mengetahui hal ini, maka beliau pasti akan mempercayai konsep akan adanya Supreme Being/The Creator/God

dan ditanggapi oleh Dilbert
sdr.petrus benar sekali menyatakan bahwa Kehendak bebaslah yang menyebabkan kejahatan... Tetapi jangan memandang dari satu sisi saja... kehendak bebaslah juga bisa menyebabkan kebajikan...
Jika setiap individu memiliki KEBEBASAN BERKEHENDAK... Lha apa peran dari yang anda katakan SUPREME BEING/THE CREATOR/GOD itu ?? Tidak perlu dibahas bukan... karena setiap individu memiliki KEBEBASAN BERKEHENDAK... seperti yang diucapkan oleh BUDDHA...

Setiap makhluk mewarisi karma-nya masing-masing seperti roda pedati yang mengikuti pedati kemanapun... Karena setiap makhluk BEBAS BERKEHENDAK, bebas BERBUAT, maka semua PERBUATAN itu memiliki KONSEKUENSI sendiri sendiri yang harus diterima oleh PEMBUAT-nya. TIDAK ADA  yang namanya UJIAN dan HADIAH dari TUHAN... Semuanya adalah HASIL dari PERBUATAN MASING-MASING AKIBAT KEBEBASAN BERKEHENDAK

dan satu lagi ditanggapi oleh
Upasaka
Kehendak bebas itu bisa dijadikan kejahatan kalau ia merusak. harap dibedakan artinya antara 'bebas' dan 'merusak'. Sang Buddha memberikan kehendak bebas pada semua orang namun dengan mengundang penyadaran akan konsekuensinya. Di satu aspek lain, Sang Buddha juga kadang memberi peraturan yg memberi batasan bagi orang2. Antara lain contoh vinaya (peraturan kebhikkhuan). Sang Buddha memberi batasan kehendak pada orang lain untuk menuntun orang lain agar tidak menyerempet dari jalan yg Beliau tentukan

Membaca ungkapan diatas mengenai "KEHENDAK BEBAS" telah membuat saya lebih ingin bertanya ; tentu ada tahapan dari Awal sampai ke suatu Tindakkan bagi manusia dalam memakai "Kehendak bebas" nya
, adakah yang bisa memberi ulasan yang rasional.?

Salam.




Pages: [1]
anything