Ini Arahat sravaka artinya dibawah arahat seperti sravaka Buddha dibawah Sammasambuddha? istilahnya ngak jelas Dan menurut mahayana emang ada berapa jenis arahat? Karena sepengetahuan saya cara mereka berlatih dan pandangan mereka ttg nibbana pun sejalan dengan Sang Buddha. Dan ini jelas dalam Tipitaka Pali bagaimana Sang Buddha menjelaskan ttg perealisasian nibbana oleh para arahat. Contoh Bahiya , Sariputta dll. Nah permasalahannya jika Mahayana mengakui Tipitaka Pali juga tetapi terjadi pendefinisian bahwa arahat masih ada kilesa maka kontradiktif bukan? Kembali pertanyaan saya yg awal juga "Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktek? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama?" Kalau di satipathana sutta, bahiya sutta dan kitab komentar visuddhi magga sangat jelas rincian latihan/praktek untuk menghilangkan kilesa. Itu maksud pertanyaan saya agar lebih jelas lagi.
Dikatakan dalam Mahayana, Arahat terlepas dari Kilesavarana (Rintangan Kekotoran Batin), namun Bodhisattva terlepas dari Kilesavarana (Rintangan kekotoran batin) dan Jneyavarana (Rintangan Paham). Maka dalam Mahayanapun diakui bahwa Arahat lepas dari kekotorna batin. Meskipun demikian untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi, ia harus bebas dari Jneyavarana. Menurut saya pribadi, Jneyavara berkaitan dengan keempat corak yang disebut dalam Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna, yang terdiri dari ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’.
‘Corak aku’ muncul ketika seseorang berusaha membuktikan dirinya merealisasi nirvana yang tenang dan suci. Ia meyakini bahwa nirvana dalah kondisi batin. Keyakinan ini membuktikan bahwa dirinya masih diliputi oleh sebuah kesadaran subjektif yang mencerminkan keakuan. Pandangan ini muncul karena adanya keyakinan dari semula bahwa hanya “aku” yang bisa mencapai nirvana, sehingga ia memisahkan antara “pengalaman internal” dengan “pengalaman eksternal”. Jika seseorang merasa mencapai Nirvana dengan pemikiran demikian maka ia sebenarnya ia belum merealisasi Nirvana yang sebenarnya.
‘Corak manusia’ adalah kecenderungan di mana ketika seseorang merasa dirinya telah merealisasi nirvana dan ia kemudian menganggap bahwa ia mencapai nirvana, maka ia terjebak pada anggapan yang sebenarnya masih mencerminkan bahwa ia masih memiliki kedirian.
‘Corak makhluk’ adalah rintangan yang muncul ketika ia berhasil menyadari bahwa ‘corak aku’ dan ‘corak manusia’ pada dasarnya adalah kosong tanpa inti, namun ia kemudian menganggap dirinya telah lepas dari corak aku dan corak manusia, sehingga ia merasa menjadi suci. Karena ia masih belum terlepas dari kesan ‘menganggap dirinya’, maka pikiran tersebut adalah ‘Corak makhluk’.
Singkatnya: membuktikan dirinya telah mencapai pencerahan adalah Corak Aku, menganggap dirinya telah sadar adalah Corak Manusia, pemahaman bahwa ia tidak memiliki corak apapun adan Corak Makhluk.
Selanjutnya, karena memiliki ‘daya paham’ akan corak-corak tersebut maka ia dikatakan memiliki Corak kehidupan. Karena bagaimanapun ‘daya paham’ mencerminkan adanya ‘pemahaman’ itu sendiri, yang berarti seseorang masih berjebak dalam diri. Bahkan kesadaran dan daya pengertian yang akan ketiga corak itu sendiri pun pada dasarnya adalah debu, oleh karena itu ‘daya pemahaman’ dan ‘daya sadar’ demikian juga dilepas.
Dalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya. Sedangkan Arahat dan Sravaka diyakini masih memiliki keempat Corak ini.
Demikianlah yang kuketahui. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap yang menyebabkan ketidaksenangan.
AFAIK, dalam konsep dasabhumi (sepuluh tingkat) bodhisatva Mahayana, seorang sravaka hanya digolongkan pada bodhisatva tingkat ke-7 yang hanya melenyapkan kilesavarana, sedangkan bodhisatva tingkat-10 (dianggap sudah mencapai annutara samyaksambuddha) telah melenyapkan kilesavarana dan jneyvarana (rintangan paham).
Sebenarnya dalam hal ini, di dalam konsep Theravada (kalau dapat disebutkan sebagai itu), perbedaan kualitas pencapaian ke-BUDDHA-an (sravaka, pacceka atau sammasambuddha) adalah pada kualitas penyempurnaan paraminya.
1. Seorang sammasambuddha pannadhika (yang unggul di dalam kebijaksanaan) harus menempuh TAMBAHAN kehidupan sebanyak 4 assankheya kappa ditambah seratus ribu kappa untuk menyempurnakan parami-nya.
2. Seorang sammasambuddha saddhadika (yang unggul di dalam keyakinan) harus menempuh TAMBAHAN kehidupan sebanyak 8 assankheya kappa ditambah seratus ribu kappa untuk menyempurnakan parami-nya.
3. Seorang sammasambuddha viriyadhika (yang unggul di dalam usaha) harus menempuh TAMBAHAN kehidupan sebanyak 16 assankheya kappa ditambah seratus ribu kappa untuk menyempurnakan paraminya.
Untuk seorang pacceka buddha, mereka harus memenuhi Kesempurnaannya selama dua asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Mereka tidak dapat menjadi Pacceka-Buddha sebelum melewati masa Pemenuhan Kesempurnaan sebanyak kappa itu
Disebut juga Sàvaka-Bodhisatta adalah (a) bakal Siswa Utama (Agga Sàvaka), sepasang siswa seperti Yang Mulia Sàriputta (Upatissa) dan Yang Mulia Moggallàna (Kolita), (b) bakal Siswa Besar (Mahà Sàvaka), delapan puluh Siswa Besar (seperti Yang Mulia Kondanna sampai dengan Yang Mulia Piïgiya), (c) bakal Siswa Biasa (Pakati Sàvaka), yaitu siswa-siswa lain selain Siswa Utama dan Siswa Besar, yang semuanya telah mencapai Arahanta selain yang telah disebutkan di atas.
Dari tiga kelompok ini (a) bakal Siswa Utama harus memenuhi Kesempurnaannya selama satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa; (b) bakal Siswa Besar selama seratus ribu kappa, (c) bakal Siswa Biasa, tidak disebutkan dalam Tipiñaka berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi Kesempurnaan, namun dalam Komentar dan Subkomentar dari Pubbenivàsakathà (dalam Mahàpadàna Sutta) disebutkan bahwa para Siswa Besar dapat mengingat kehidupan lampaunya sampai seratus ribu kappa yang lalu dan Siswa Biasa kurang dari itu. Karena pemenuhan Kesempurnaan dilakukan dalam setiap kehidupannya, dapat disimpulkan bahwa bakal Siswa Biasa harus memenuhi Kesempurnaan selama tidak lebih dari seratus ribu kappa, namun waktu pastinya tidak ditentukan, dapat selama seratus kappa atau seribu kappa, dan sebagainya.
Bahkan dalam beberapa contoh, hanya satu atau dua kehidupan seperti dalam kisah seekor katak berikut:
Seekor katak terlahir sebagai dewa setelah mendengar suara Buddha yang sedang membabarkan Dhamma. Sebagai dewa ia mengunjungi Buddha dan menjadi seorang yang ‘memasuki arus’ sebagai akibat dari perbuatan mendengarkan Dhamma dari Buddha (lengkapnya terdapat dalam kisah Manduka dalam Vimàna-vatthu).
YANG MENJADI "PERMASALAHAN" adalah di dalam paham mahayana, seorang sravaka (tidak semua) dapat keluar dari "NIBBANA SRAVAKA" yang identik dengan bodhisatva tingkat-7, untuk kemudian melanjutkan lagi pencapaiannya menjadi bodhisatva tingkat-10 (identik dengan sammasambuddha).
Sedangkan di dalam non-mahayana (a.k.a. Theravada), seseorang ketika sudah merealisasikan nibbana (baik itu sravaka, pacceka maupun sammasambuddha) tidak akan terkondisi lagi terlahirkan di alam manapun lagi, sehingga di dalam hal ini, tidak akan ada lagi pencapaian ataupun non pencapaian setelah parinibbana.
Hal ini sejalan dengan kisah adithana petapa SUMEDHA di hadapan buddha dipankara, walaupun secara kualitas petapa SUMEDHA sudah memiliki semua aspek dan kualitas untuk mencapai seorang SAVAKA BUDDHA. Tetapi karena adithana petapa sumedha, dan Buddha Dipankara dengan kekuatan abhinna-nya melihat bahwa petapa sumedha dapat mencapai keinginan mulia-nya (chanda), sehingga Buddha Dipankara meramalkan pencapaian petapa sumedha dimasa mendatang menjadi seorang sammasambuddha. Dengan adithana ini, petapa sumedha HARUS MENJALANI TAMBAHAN 4 assankheya kappa + seratus ribu kappa untuk menyempurnakan paraminya.