Topik pindahan dari: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23743.msg433009.html#msg433009
Betul, dan dari penjelasan Anda sendiri sudah cukup jelas (saya beri warna biru). Lalu, teks yang saya beri warna merah, saya kira ini kurang valid (Pangeran Siddharta bukan mencapai Arahat, tapi Samma Sambuddha).
Tentang pernyataan "Inilah satu2nya jalan yang mulia dan tertinggi", sebenarnya secara implisit ini sudah menyiratkan bahwa yang lain lebih rendah dari yang tertinggi tersebut. Ini hanya persoalan cara pengungkapan saja. Misalnya saya katakan saya paling pintar di dunia, bukankah secara tidak langsung menyatakan yang lain tidak lebih pintar dari saya? Kira-kira seperti itu logika linguistiknya.
Tentang ketidaksamaan perkataan Buddha dengan sutta sebelumnya, saya kira hanya persoalan segmentasi audiens. Maksudnya, jika kita di sebuah kelas setingkat TK, kita bisa mengatakan, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan tepat warnanya, maka dia murid paling pintar di kelas ini."
Lalu, di kesempatan lain (sepuluh tahun kemudian), masih di komposisi kelas yang sama (murid-muridnya sama, tapi usia sudah lebih dewasa), maka bisa saja kata-kata itu berubah, "Siapa yang bisa menggambar buah dengan warna kreatif dan tidak sama dengan aslinya, tapi terlihat segar dan menawan, maka ia yang paling pandai dalam kelas seni kreatif ini."
Kalau tentang "tidak berkemampuan" atau "egois", saya kira harus ada rujukan sutra yang dimaksud, dan bisa divalidasi/diverifikasi keabsahannya. Benar, memang dalam sutra-sutra Mahayana rata-rata memusatkan pencapaian pada Samma Sambuddha, tapi jika menghina atau merendahkan tingkat spiritual yang sudah diajarkan sebelumnya, saya kira juga agak mustahil.
Jadi, saya minta sutra valid (sah) yang dimaksud, tentang perendahan makna pencapaian spiritual tertentu, yang saya kira tidak mungkin dilontarkan oleh sosok manifestasi Sakyamuni (bahkan jika bicara perbedaan pandangan, dalam aliran tertentu saja sosok Sakyamuni sudah tidak mungkin bermanifestasi kembali dalam wujud apapun, jadi seharusnya jika tokoh sentralnya saja diragukan masih ada, bagaimana mungkin dan apa relevansinya membicarakan sutra-sutra yang notabene diragukan keabsahan dan keberadaan penulis/pencetusnya?).
Kita berusaha fokus dan tidak melebar. Semoga diskusi bisa membawa manfaat. Salam.
Tak lama setelah Pencerahan-Nya Sang Buddha berkata kepada Upaka yang bertemu dengan Beliau di jalan:
‘Aku adalah seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya,
Tidak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya,
Terbebaskan dalam lenyapnya nafsu. Setelah mengetahui semua ini
Bagi diriKu, siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?
‘Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara denganKu
Tidak ada di segala alam
Bersama dengan semua deva, karena Aku tidak memiliki
Siapapun yang dapat menandingiKu.
‘Karena
Aku adalah Arahant di dunia ini,
Aku adalah Guru Tertinggi.
Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
Yang api-apinya telah padam.
Aku pergi sekarang ke kota Kāsi
Untuk memutar Roda Dhamma.
Dalam dunia yang telah buta
Aku pergi untuk menabuh tambur Keabadian.’
‘Dengan pengakuanMu, teman,
Engkau pasti adalah Pemenang Segalanya.’ [28]
‘Para pemenang adalah mereka yang sepertiKu
Yang telah memenangkan penghancuran noda-noda.
Aku telah menaklukkan segala kondisi jahat,
Oleh karena itu, Upaka, Aku adalah pemenang.’
(MN 26: Ariyapariyesana Sutta,
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21311.msg375040.html#msg375040)
Dalam sutta yang sama, ketika berjumpa dengan lima pertapa yang kemudian menjadi lima bhikkhu pertama, Sang Buddha mengatakan:
“Kemudian Aku memberitahu mereka: ‘Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.”
Sang Tathāgata adalah seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah tercapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’
Ketika memberikan ajaran pertama (Dhammacakkappavattana Sutta) Sang Buddha mengatakan tentang Empat Kebenaran Mulia (yang dlm ajaran Mahayana dianggap landasan bagi Kearahatan) yang ditembus-Nya sehingga mencapai tingkat Kebuddhaan:
“Selama, para bhikkhu, pengetahuanKu dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sempurna dimurnikan dengan cara ini, [35]Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika pengetahuanKu dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah sempurna dimurnikan dengan cara ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir. Tidak akan ada lagi penjelmaan baru.’”
(
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21311.msg375041.html#msg375041)
Tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan, dalam Dhammapada dikatakan sbb:
273.
Di antara semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu (viraga = Nibbana) adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang melihat [Empat Kebenaran Mulia] adalah yang terbaik.
274. Inilah satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).
275. Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan
jalan ini pula yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).Tentang rujukan dari sutra Mahayana tentang keegoisan jalan Kearahatan, salah satunya dikatakan demikian:
'Subhuti, to sum up, the merits resulting from this sutra are inconceivable, inestimable and without limit. The Tathagata expounds it to those initiated into the Mahayana and the Supreme Yana. If they are able to receive, hold (in mind), read and recite it and expound it widely to others, the Tathagata will know and will see that they will achieve inexpressible and inconceivable merits that are without measure or limit. They will bear (responsibility for) the Tathagata's Supreme Enlightenment (Anuttara-samyak-sambodhi.) Why? Because, Subhuti,
those who take delight in the Hinayana and hold the view of an ego, a personality, a being and a life, cannot listen to, receive, hold (in mind), read and recite this sutra and explain it to others.
( Vajracchedika-prajna-paramita Sutra,
http://www.fodian.net/world/diamond2.htm)