//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)  (Read 3062 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 256 sampai 272

Bhikkhu Anālayo

Abstaksi

Artikel ini menerjemahkan jilid kedua dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 256 sampai 272.<1>

256. [Kotbah Pertama tentang Ketidaktahuan]<2>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.

Kemudian, pada sore hari Yang Mulia [Mahā]koṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Yang Mulia Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada [Yang Mulia] Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”

Sāriputta berkata: “Berdasarkan apa yang akan engkau tanyakan, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”

Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Apakah ketidaktahuan? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”

Sāriputta menjawab: [64c] “Seseorang yang tidak tahu disebut sebagai tidak memahami, seseorang yang tidak memahami adalah orang yang tidak tahu.”

[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang tidak ia pahami?”

[Sāriputta berkata]: “Yaitu, tentang bentuk jasmani, yang tidak kekal, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat muncul dan lenyap, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat muncul dan lenyap.

“Tentang perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Tentang kesadaran, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang kesadaran, yang bersifat muncul dan lenyap, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat muncul dan lenyap.

“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya, tidak memahaminya, tidak tahu, tumpul, dan tanpa pemahaman [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut orang yang tidak tahu.”

[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Sāriputta, sehubungan dengan seseorang yang berpengetahuan: Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”

[Sāriputta berkata]: “Yaitu,<3> tentang bentuk jasmani, yang tidak kekal, ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat muncul dan lenyap, ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat muncul dan lenyap.

“Tentang perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... ia memahami sebagaimana adanya bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Tentang kesadaran, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang kesadaran, yang bersifat muncul dan lenyap, ia memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat muncul dan lenyap.

“[Mahā]koṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungan dengannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”

Kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya, bangkit dari tempat duduk mereka dan kembali ke tempat kediaman mereka masing-masing.

257. [Kotbah Kedua tentang Ketidaktahuan]<4>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.

Kemudian, pada sore hari [Yang Mulia] Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Yang Mulia Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada [Yang Mulia] Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”

Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”

Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Apakah ketidaktahuan? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”

Sāriputta menjawab: “Seseorang yang tidak tahu disebut tidak memahami, seseorang yang tidak memahami adalah orang yang tidak tahu.”

[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang tidak ia pahami?”

[Sāriputta berkata:] “Yaitu, ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani, [65a] dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya bentuk jasmani. Ia tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya kesadaran.

“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya, tidak memahaminya, tidak tahu, tumpul, dan tanpa pemahaman [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut orang yang tidak tahu.”

[Mahākoṭṭhita] bertanya kepada Sāriputta lagi: “Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”

Sāriputta berkata: “Sehubungan dengan seseorang yang berpengetahuan, ia memahami. Seseorang yang memahami adalah [orang yang] berpengetahuan.”

[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Apakah yang ia pahami?”

Sāriputta berkata: “Ia memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya bentuk jasmani. Ia memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya kesadaran.

“[Mahā]koṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”

Kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya, bangkit dari tempat duduk mereka dan kembali ke tempat kediaman mereka masing-masing.

258. [Kotbah Ketiga tentang Ketidaktahuan]<5>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.

Kemudian, pada sore hari Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”

Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”

Kemudian Mahākoṭṭhita berkata kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Bagaimanakah seseorang tidak tahu? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”

Sāriputta berkata: “Tidak memahami adalah ketidaktahuan.”

[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Tidak memahami apakah?”

[Sāriputta berkata]: “Yaitu, ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani... kepuasan dari bentuk jasmani... bahaya dalam bentuk jasmani... dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari bentuk jasmani.<6> Ia tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran... kepuasan dari kesadaran... bahaya dalam kesadaran... dan jalan keluar dari kesadaran.

“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya sebagaimana adanya, tidak memahaminya, tumpul dan tidak tahu [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut orang yang tidak tahu.”

[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “[Sehubungan dengan] seseorang yang berpengetahuan: Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”

Sāriputta berkata: “Seseorang yang memahami adalah [orang yang] berpengetahuan.”

[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang ia pahami?”

Sāriputta berkata: “Ia memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani... kepuasan dari bentuk jasmani... bahaya dalam bentuk jasmani... dan ia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari bentuk jasmani.<7> Ia memahami sebagaimana adanya perasaan<8>... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran [65b]... lenyapnya kesadaran... kepuasan dari kesadaran... bahaya dalam kesadaran... dan ia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kesadaran.

“Mahākoṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya sebagaimana adanya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan.<9> Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”

Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.

259. [Kotbah tentang Pemahaman]<10>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan [Yang Mulia] Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.<11>

Kemudian, pada sore hari Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”

Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”

Kemudian Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Jika seorang bhikkhu, yang belum mencapai pemahaman Dharma,<12> berharap untuk memperoleh pemahaman Dharma, bagaimanakah ia dengan tekun mendapatkannya?<13> Kepada ajaran apakah yang seharusnya ia berikan pengamatan?”

Sāriputta berkata: “Jika seorang bhikkhu, yang belum mencapai pemahaman Dharma, berharap memperoleh pemahaman Dharma, ia seharusnya dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<14> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah pemasuk-arus.”<15>

[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Sāriputta, setelah mencapai realisasi buah pemasuk-arus dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”

Sāriputta berkata: “[Mahā]koṭṭhita, setelah mencapai realisasi pemasuk-arus dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali,<16> ia seharusnya juga dengan bersemangat memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<17> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali.”

Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”<18>

Sāriputta berkata: “[Mahā]koṭṭhita, setelah mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali, ia seharusnya dengan bersemangat lagi memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<19> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali.”<20> [65c]

[Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali dan berharap untuk mencapai realisasi buah kearahantaan, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”

Sāriputta berkata: “Mahākoṭṭhita, setelah mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali] dan berharap untuk mencapai realisasi buah kearahantaan,<21> ia seharusnya dengan bersemangat lagi memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit,<22> sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<23> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah kearahantaan.”

Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah, kepada ajaran apakah ia seharusnya lebih jauh berikan pengamatan?”<24>

Sāriputta berkata: “Mahākoṭṭhita, seorang arahant masih memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan ini sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong dan sebagai bukan diri.<25> Mengapa demikian? [Bukan] demi kepentingan mencapai apa yang belum dicapai,<26> demi kepentingan merealisasikan apa yang belum direalisasikan, [tetapi] demi kepentingan suatu kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.”<27>

Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.

260. [Kotbah tentang Lenyapnya]<28>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta mendekati Yang Mulia Ānanda.<29> Setelah bertukar salam ramah tamah, Yang Mulia Sāriputta mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Teman, apakah engkau memiliki waktu luang untuk memberikanku jawabannya?”<30>

Ānanda berkata: “Teman, engkau dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”

Sāriputta berkata: “Ānanda, sehubungan dengan seseorang yang telah [merealisasikan] lenyapnya: Apakah lenyapnya? Siapakah yang telah [merealisasikan] lenyapnya ini?”<31>

Ānanda berkata: “Sāriputta, lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya.<32> Mereka adalah tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya. Apakah lima hal itu? Yaitu, kelompok bentuk jasmani yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyapnya, ini disebut lenyapnya. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.”<33>

Sāriputta berkata: “Benar, benar, Ānanda, seperti yang engkau katakan: lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Mereka adalah tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya. Apakah lima hal itu? Yaitu, kelompok bentuk jasmani yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyapnya, ini disebut lenyapnya. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.

“Ānanda, jika lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati bukan hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, [66a] dari kehendak-kehendak sebelumnya, bagaimana mungkin mereka lenyap? Ānanda, karena lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumya, mereka tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.”

Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.<34>
« Last Edit: 26 June 2015, 08:28:00 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #1 on: 26 June 2015, 07:23:50 PM »
261. [Kotbah tentang Puṇṇa]<35>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.<36> Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Ketika baru saja ditahbiskan,<37> Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta sering memberikanku ajaran yang mendalam, dengan mengatakan seperti ini:

‘Ānanda, adalah dengan melekat pada keadaan-keadan di mana seseorang membayangkan ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekat pada keadaan-keadaan.<38> Ānanda, dengan melekat pada keadaan-keadaan apakah seseorang membayangkan ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekat padanya? Dengan melekat pada bentuk jasmani seseorang melekat padanya sebagai ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekat padanya. Dengan melekat pada perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seseorang melekat padanya sebagai ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekat padanya.

‘Seperti halnya seseorang memegang sebuah cermin bersih atau air bersih [dalam sebuah mangkuk sebagai sebuah] cermin pada tangannya dan melekat padanya untuk melihat wajahnya sendiri, yang melihat karena melekat pada [cermin itu], bukan tanpa melekat padanya.<39>

‘Oleh karena itu, Ānanda, dengan melekat pada bentuk jasmani seseorang melekat padanya dengan membayangkannya sebagai ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekatnya. Dengan melekat pada perasaan... bentukan... kesadaran seseorang melekat padanya dengan membayangkannya sebagai ‘Aku adalah ini’, bukan tanpa melekat padanya. Mengapa demikian?

‘Ānanda, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?’

“[Aku] menjawab: ‘Tidak kekal.’

“[Puṇṇa] bertanya lagi: ‘Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?’

“[Aku] menjawab: ‘Dukkha.’

“[Puṇṇa] bertanya lagi: ‘Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah seorang siswa mulia di sini lebih jauh membayangkannya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?’

“[Aku] menjawab: ‘Tidak.’

“[Puṇṇa bertanya lagi]: ‘Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah ia kekal atau tidak kekal?’

“[Aku] menjawab: ‘Tidak kekal.’

“[Puṇṇa] bertanya lagi: ‘Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?’

“[Aku] menjawab: ‘Dukkha.’

“[Puṇṇa] bertanya lagi: ‘Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah seorang siswa mulia di sini lebih jauh membayangkannya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?’

“[Aku] menjawab: ‘Tidak.’

“[Puṇṇa berkata]: ‘Ānanda, oleh karena itu, [apa pun] bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun diri] ada [di dalamnya]. Seseorang memahaminya sebagaimana adanya dan menyelidikinya sebagaimana adanya.<40>

‘Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan bentuk jasmani, bebas dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan, [66b] [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Dengan cara yang sama [seorang siswa mulia] membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, bebas dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’

“Para bhikkhu, kalian harus mengetahui bahwa Yang Mulia [Puṇṇa] sangat banyak memberikan manfaat bagiku. Ketika aku telah mendengarkan ajaran dari Yang Mulia itu, aku mencapai mata Dharma yang murni yang sedikit noda [batin]-nya dan bebas dari debu [batin].<41> Sejak saat itu aku sering berkata kepada empat perkumpulan dengan bergantung pada ajaran ini, tanpa menyebutkan apa yang berasal dari para pertapa, brahmana dan [pertapa] pengembara penganut ajaran menyimpang lainnya.”

262. [Kotbah kepada Channa]<42>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika suatu komunitas dari banyak bhikkhu senior sedang berdiam di Benares di Taman Rusa di Isipatana, tidak lama setelah Sang Buddha mencapai Nirvāṇa akhir.<43>

Kemudian, pada pagi hari, Sesepuh Channa mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya memasuki kota Benares untuk mengumpulkan makanan. Setelah makan, ia meletakkan jubah dan mangkuknya. Setelah mencuci kakinya, ia memegang pembuka pintu dan,<44> dengan berjalan dari [satu] hutan ke hutan [lain], dari [satu] tempat kediaman ke tempat kediaman [lain], dari [satu] jalan setapak ke jalan setapak [lain], di mana pun [ketika melihat] para bhikkhu ia mengajukan permintaan ini:<45> “Berikanlah aku suatu pengajaran, ajarkanlah aku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma, sehingga aku akan memahami sesuai dengan Dharma dan merenungkan sesuai dengan Dharma.”

Kemudian para bhikkhu berkata kepada Channa: “Bentuk jasmani adalah tidak kekal... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Semua bentukan adalah tidak kekal, semua hal adalah bukan diri,<46> Nirvāṇa adalah kedamaian dari lenyapnya.”<47>

Channa berkata kepada para bhikkhu: “Aku sudah mengetahui bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal; bahwa semua bentukan adalah tidak kekal, bahwa semua hal adalah bukan aku, dan bahwa Nirvāṇa adalah kedamaian dari lenyapnya.”

Channa lebih lanjut berkata: “Tetapi aku tidak bergembira dalam mendengarkan hal ini: ‘Semua bentukan, yang adalah sepenuhnya kosong, bukan untuk diambil; lenyapnya ketagihan, yang bebas dari keinginan, adalah Nirvāṇa.’ Di sini, bagaimana mungkin bagiku untuk mengatakan [seakan-akan aku telah merealisasikannya]: ‘Dengan mengetahui seperti ini, melihat seperti ini – ini disebut melihat Dharma?’”<48> Ia berkata dengan cara ini dua dan tiga kali.

Channa lebih lanjut berkata: “Di sini siapa lagi yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengajarkanku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma?” Kemudian ia berpikir lebih lanjut: “Yang Mulia Ānanda saat ini sedang berada di Taman Ghosita di negeri Kosambī. Sebelumnya beliau melayani dan menyertai Sang Bhagava.<49> Beliau dipuji oleh Sang Buddha dan merupakan sahabat baik bagi semua temannya dalam kehidupan suci. Beliau pasti dapat mengajarkanku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma.”

Kemudian, ketika malam telah berakhir, pada pagi hari, Channa mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya memasuki kota Benares untuk mengumpulkan makanan. Setelah makan, ia meletakkan selimutnya. Setelah meletakkan selimutnya, ia mengambil jubah dan mangkuknya untuk berangkat menuju negeri Kosambī.<50> Dengan berjalan secara bertahap ia mencapai negeri Kosambī. Setelah meletakkan jubah dan mangkuknya, dan setelah mencuci kakinya, ia mendekati Yang Mulia Ānanda. Setelah bertukar salam ramah tamah, Channa mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Pada suatu ketika para bhikkhu senior sedang berdiam di Benares di Taman Rusa di Isipatana. [66c] Kemudian pada pagi hari aku mengenakan jubahku dan membawa mangkukku memasuki kota Benares untuk mengumpulkan makanan. Setelah makan, aku meletakkan jubah dan mangkukku. Setelah mencuci kakiku, aku memegang pembuka pintu dan, dengan berjalan dari [satu] hutan ke hutan [lain], dari [satu] tempat kediaman ke tempat kediaman [lain], dari [satu] jalan setapak ke jalan setapak [lain], di mana pun ketika melihat para bhikkhu aku mengajukan permintaan ini:

“Berikanlah aku suatu pengajaran, ajarkanlah aku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma.” Kemudian para bhikkhu memberikanku ajaran ini: “Bentuk jasmani adalah tidak kekal... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Semua bentukan adalah tidak kekal, semua hal adalah bukan diri, Nirvāṇa adalah kedamaian dari lenyapnya.”

“Pada waktu itu aku berkata kepada para bhikkhu: ‘Aku sudah mengetahui bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal; bahwa semua bentukan adalah tidak kekal, semua hal adalah bukan aku, dan bahwa Nirvāṇa adalah kedamaian dari lenyapnya. Tetapi aku tidak bergembira dalam mendengarkan hal ini: ‘Semua bentukan, yang adalah sepenuhnya kosong, bukan untuk diambil; lenyapnya ketagihan, yang bebas dari keinginan, adalah Nirvāṇa.’ Di sini, bagaimana mungkin bagiku untuk mengatakan [seakan-akan aku telah merealisasikannya]: ‘Dengan mengetahui seperti ini, melihat seperti ini – ini disebut melihat Dharma?’

“Pada waktu itu aku berpikir: ‘Di sini siapa lagi yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengajarkanku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma?’ Kemudian aku berpikir lebih lanjut: ‘Yang Mulia Ānanda saat ini sedang berada di Taman Ghosita di negeri Kosambī. Sebelumnya beliau melayani dan menyertai Sang Bhagava. Beliau dipuji oleh Sang Buddha dan merupakan sahabat baik bagi semua temannya dalam kehidupan suci. Beliau pasti dapat mengajarkanku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma.’

“Akan baik jika Yang Mulia Ānanda sekarang mengajarkanku Dharma, sehingga aku memahami Dharma dan melihat Dharma.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada [Yang Mulia] Channa: “Bagus, Channa, pikiranku sangat senang. Teman, aku bergembira dalam kemampuanmu untuk datang kemari di antara teman-teman dalam kehidupan suci, tanpa menyembunyikan apa pun, dengan mencabut duri kesombongan dan kebohongan.<51>

“Channa, seseorang duniawi yang bodoh tidak dapat memahami [sepenuhnya] bahwa bentukan jasmani adalah tidak kekal, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal; bahwa semua bentukan adalah tidak kekal, bahwa semua hal adalah bukan aku, dan bahwa Nirvāṇa adalah kedamaian dari lenyapnya.<52> Engkau sekarang dapat menerima ajaran yang mendalam ini. Sekarang dengarkanlah apa yang akan kukatakan padamu.”

Kemudian Channa berpikir: “Aku sekarang bergembira dan telah mencapai keadaan pikiran yang mengagumkan, mencapai keadaan pikiran yang terinspirasi dan berbahagia. Aku sekarang [benar-benar] dapat menerima ajaran yang mendalam ini.”

Pada waktu itu Ānanda berkata kepada Channa: “Sebelumnya aku mendengar ini dari Sang Buddha, suatu pengajaran yang diberikan kepada Mahākaccāna: ‘Orang-orang di dunia ini bingung,<53> dengan bergantung pada dua ekstrem: Keberadaan dan ketiadaan. Orang-orang di dunia ini melekat pada objek-objek dan menerimanya dalam pikiran dengan kemelekatan.<54>

‘Kaccāna, jika seseorang tidak menerima, tidak melekat, tidak berkembang pada dan tidak membayangkan tentang suatu diri, maka ketika dukkha ini muncul, ia [hanya] muncul; ketika ia lenyap, ia [hanya] lenyap. Kaccāna, di sini tanpa keragu-raguan, tanpa menjadi bingung, tanpa perlu bergantung pada orang lain, [67a] seseorang dapat memahami hal ini bagi dirinya sendiri – ini disebut pandangan benar, seperti yang diajarkan Sang Tathāgata. Mengapa demikian?

‘Kaccāna, dengan benar merenungkan munculnya dunia sebagaimana adanya, seseorang tidak akan memunculkan pandangan ketiadaan terhadap dunia. Dengan benar merenungkan lenyapnya dunia sebagaimana adanya, seseorang tidak akan memunculkan pandangan keberadaan terhadap dunia.

‘Kaccāna, dengan menghindari dua ekstrem ini Sang Tathāgata mengajarkan jalan tengah; yaitu, karena ini ada, itu ada; karena munculnya ini, itu muncul [juga]; <55> yaitu, dikondisikan oleh ketidaktahuan, bentukan... sampai dengan... kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul. Yaitu, karena ini tidak ada, itu tidak ada; karena lenyapnya ini, itu lenyap [juga]; yaitu, dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap... sampai dengan... kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan lenyap.’”

Ketika Yang Mulia Ānanda memberikan ajaran ini, bhikkhu Channa mencapai mata Dharma yang murni yang sedikit debu [batin]-nya dan bebas dari noda [batin]. Pada waktu itu bhikkhu Channa melihat Dharma, mencapai Dharma, memahami Dharma, melampaui Dharma, melampaui keragu-raguan dan tanpa perlu bergantung pada orang lain [lagi] ia telah mencapai ketidakgentaran dalam Dharma yang diajarkan Sang Guru Agung.<56> Dengan penuh hormat dengan kedua telapak tangannya disatukan ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Ini seperti yang seharusnya. Dengan cara ini seorang teman yang berpengetahuan dan bijaksana dalam kehidupan suci, seorang sahabat baik yang terampil mengajar, memberikan pengajaran, menasehati, dan mengajarkan Dharma. Sekarang dengan mendengarkan Dharma dengan cara ini dari Yang Mulia Ānanda bahwa: ‘Semua bentukan adalah kosong, mereka semuanya akan ditenangkan, mereka bukan untuk diambil; lenyapnya ketagihan, yang bebas dari keinginan, pelenyapan sepenuhnya, adalah Nirvāṇa’, pikiranku bergembira di dalamnya dan dengan benar berkembang dalam pembebasan, tanpa berbelok kembali lagi, tanpa lebih jauh memiliki pandangan tentang diri, hanya melihat Dharma yang benar.”<57>

Kemudian Ānanda berkata kepada Channa: “Engkau sekarang telah mencapai manfaat besar dalam hal-hal yang bermanfaat dengan mencapai mata kebijaksanaan yang mulia ke dalam Dharma Sang Buddha yang mendalam.”

Kemudian dua orang yang patut dihormati itu, yang saling bergembira, bangkit dari tempat duduk mereka dan kembali ke tempat kediaman mereka masing-masing.
« Last Edit: 26 June 2015, 07:26:35 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #2 on: 26 June 2015, 07:38:04 PM »
263. [Kotbah tentang Apa yang Seharusnya Dikatakan]<58>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kuru, di desa Kammāsadamma.<59>

Pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Aku [katakan] bahwa pelenyapan arus-arus [kekotoran batin] dicapai berdasarkan pengetahuan dan penglihatan, bukan tanpa pengetahuan dan penglihatan.<60> Bagaimanakah bahwa pelenyapan arus-arus [kekotoran batin] dicapai berdasarkan pengetahuan dan penglihatan, bukan tanpa pengetahuan dan penglihatan?<61> Yaitu, [dengan mengetahui dan melihat bahwa]: ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani; inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.”

“Tanpa mengembangkan cara-cara yang membawa keberhasilan, tetapi [seorang bhikkhu] membuat aspirasi batin: ‘Semoga aku melenyapkan arus-arus [kekotoran batin] dan semoga pikiranku mencapai pembebasan’ – seharusnya diketahui bahwa seorang bhikkhu yang demikian pasti tidak dapat mencapai pelenyapan arus-arus [kekotoran batin] dan terbebaskan. Mengapa demikian? Ini karena tidak mengembangkan. Tidak mengembangkan apakah? Yaitu, tidak mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, [67b] landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].”

“Seperti halnya seekor ayam betina yang mengeram menelurkan banyak telur, tetapi tidak dapat memberikan tempat perlindungan dan mengeraminya,<62> mengatur perubahan suhunya pada waktu yang tepat.<63> Tetapi ia berharap: ‘Semoga anak-anak ayam dengan paruh dan cakarnya mematuk telur dan menetas dengan sendirinya, muncul dengan selamat dari kulit telur itu.’ Seharusnya diketahui bahwa anak-anak ayam tidak memiliki kekuatan mereka sendiri yang dapat memungkinkan  mereka untuk muncul dengan selamat dari kulit telur itu dengan paruh dan cakar mereka. Mengapa demikian? Ini karena sang induk ayam tidak dapat memberikan tempat perlindungan dan mengerami mereka, mengatur suhunya pada waktu yang tepat dan [oleh karenanya] merawat anak-anak ayam.

“Dengan cara yang sama, tanpa bersemangat mengembangkan apa yang membawa keberhasilan, tetapi seorang bhikkhu berharap: ‘Semoga aku mencapai pelenyapan arus-arus [kekotoran batin] dan terbebaskan’ – tidak mungkin [baginya untuk mencapai hal itu]. Mengapa demikian? Ini karena tidak mengembangkan. Tidak mengembangkan apakah? Yaitu, tidak mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].

“Jika seorang bhikkhu mengembangkan apa yang membawa keberhasilan, walaupun ia tidak berharap: ‘Semoga aku melenyapkan arus-arus [kekotoran batin] dan terbebaskan’, tetapi seorang bhikkhu yang demikian akan dengan sendirinya melenyapkan arus-arus dan pikirannya akan mencapai pembebasan. Mengapa demikian? Ini karena mengembangkan. Mengembangkan apakah? Yaitu, mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].

“Seperti halnya seekor ayam betina yang mengeram yang dengan benar menyediakan telur-telurnya dengan memberikannya tempat perlindungan dan mengeraminya, dengan benar mengatur suhunya pada waktu yang tepat. Bahkan jika ia tidak mengharapkan agar anak ayam keluar dengan sendirinya dengan cara mematuk kulit telur itu, meskipun demikian anak ayam akan dapat muncul dengan selamat dari kulit telur itu dengan cara mereka sendiri. Mengapa demikian? Ini karena ayam betina itu telah memberikan tempat perlindungan dan mengeraminya, dengan benar mengatur suhunya pada waktu yang tepat.

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu yang dengan benar mengembangkan cara-cara, bahkan jika ia tidak mengharapkan untuk melenyapkan arus-arus [kekotoran batin] dan terbebaskan, tetapi seorang bhikkhu yang demikian akan dengan sendirinya melenyapkan arus-arus [kekotoran batin] dan pikirannya akan mencapai pembebasan. Mengapa demikian? Ini karena mengembangkan. Mengembangkan apakah? Yaitu, mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].

“Seperti halnya seorang ahli yang terampil atau seorang murid dari ahli yang terampil yang [secara teratur] memegang pegangan sebuah kapak kayu dengan tangannya. Dengan memegangnya terus-menerus, jejak-jejak kecil tangan dan jarinya menjadi perlahan-lahan terlihat di [banyak] tempat. Bahkan jika ia tidak menyadari jejak-jejak kecil pada pegangan kapak kayu itu, kesan-kesan itu menjadi terlihat di [banyak] tempat.<64>

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu yang dengan bersemangat mengembangkan apa yang membawa keberhasilan tidak mengetahui dan melihat dengan sendirinya: ‘Hari ini sebanyak ini dari arus-arus [kekotoran batin] telah dilenyapkan, besok sebanyak ini arus-arus [kekotoran batin] akan dilenyapkan.’ Tetapi bhikkhu itu mengetahui bahwa arus-arus [kekotoran batin] sedang dilenyapkan. Mengapa demikian? Ini karena mengembangkan. Mengembangkan apakah? Yaitu, mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].

“Seperti halnya sebuah kapal besar yang [dikaitkan] pada tepi pantai selama musim panas. Selama enam bulan ditiup oleh angin dan terkena matahari, tali-temalinya perlahan-lahan hancur.<65>

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu yang dengan bersemangat mengembangkan apa yang membawa keberhasilan akan perlahan-lahan mencapai pembebasan dari semua belenggu, kecenderungan yang mendasari, kekotoran, dan kekusutan.<66> Mengapa demikian? Ini karena dengan benar mengembangkan. Mengembangkan apakah? Yaitu, mengembangkan penegakan perhatian, usaha benar, landasan untuk kekuatan batin, kemampuan-kemampuan, [67c] kekuatan-kekuatan, [faktor-faktor] pencerahan, dan jalan [mulia berunsur delapan].”

Ketika ajaran ini diberikan, enam puluh bhikkhu, dengan tidak membangkitkan arus-arus [kekotoran batin] dalam pikiran mereka.<67> Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, dengan mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

264. [Kotbah tentang Sebongkah Bola Kecil dari Tanah]<68>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada suatu ketika seorang bhikkhu tertentu, saat sedang bermeditasi dan merenung, memiliki pikiran: “Adakah suatu bentuk jasmani yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang tetap selamanya?<69> Dengan cara yang sama, adakah suatu perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang tetap selamanya?”

Kemudian pada sore hari bhikkhu itu bangkit dari meditasinya dan mendekati Sang Buddha. Ia memberikan penghormatan denagn kepalanya pada kaki [Sang Buddha], mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha:

“Sang Bhagava, saat sedang bermeditasi dan merenung, aku memiliki pikiran: ‘Adakah suatu bentuk jasmani yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang tetap selamanya? Dengan cara yang sama, adakah suatu perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang bertahan selamanya?’ Sekarang aku bertanya kepada Sang Bhagava:<70> ‘Adakah suatu bentuk jasmani yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang tetap selamanya? Dengan cara yang sama, adakah suatu perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran yang kekal, abadi dan tidak berubah, yang bertahan selamanya?’”

Pada waktu itu Sang Bhagava mengambil pada tangan-Nya sebongkah bola kecil dari tanah dan berkata kepada bhikkhu itu:<71> “Apakah engkau melihat bola dari tanah pada tangan-Ku?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku melihatnya, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Bhikkhu, [bahkan] suatu diri sebanyak [bola] kecil dari tanah tidak dapat diperoleh, seandainya seseorang dapat memperoleh suatu diri yang bersifat kekal, abadi dan tidak berubah, yang bertahan selamanya.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Aku mengingat pada kehidupan-kehidupan lampau aku mengembangkan jasa kebajikan selama waktu yang lama, dengan mencapai buah yang unggul, luhur, menyenangkan, dan manis. Selama tujuh tahun aku mengembangkan pikiran cinta kasih (mettā). Selama tujuh masa perkembangan dan penghancuran dunia aku tidak kembali ke dunia ini. Selama tujuh masa penghancuran dunia aku terlahir di Surga Cahaya (ābhassara), selama tujuh masa perkembangan dunia aku bergantian terlahir di sebuah istana kosong di alam Brahmā, menjadi raja Brahmā yang agung, tanpa yang lebih unggul, tanpa [siapa pun] yang lebih tinggi, menguasai seribu sistem dunia. Setelah itu aku menjadi raja surga Sakka tiga puluh enam kali.<72>

“Selama seratus ribu kali aku menjadi seorang raja pemutar-roda yang mulia, penguasa empat benua, yang memerintah dengan Dharma yang benar, diberkahi dengan tujuh harta karun, yaitu, harta karun roda, harta karun gajah, harta karun kuda, harta karun permata, harta karun wanita mulia, harta karun pelayan kepala, dan harta karun jenderal kepala.<73> Aku diberkahi dengan seribu orang putra, yang semuanya pemberani dan kuat. Pada empat samudera dan pada daratan tidak ada semak berduri yang beracun. Tanpa ancaman, tanpa kekerasan, aku memerintah dengan bergantung pada Dharma.

“Sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh empat ribu ekor gajah,<74> semuanya diperindah dengan berbagai permata dan dihiasi, ditutupi dengan jaring dari permata, dengan spanduk berhiaskan permata diletakkan pada mereka; yang terbaik di antara mereka adalah raja-gajah Uposatha.<75> Pada pagi hari dan sore hari,<76> pada dua waktu ini mereka bertemu di depan istana dengan sendirinya. Kemudian aku berpikir: ‘Sekelompok besar gajah ini selalu datang dan pergi, hari demi hari keluar, [68a] membunuh tak terhitung makhluk dengan menginjak mereka. Semoga aku sekarang memiliki [hanya] empat puluh dua ekor gajah yang datang sekali dalam seratus tahun.’ Berdasarkan harapanku, dari delapan puluh empat ekor gajah, [hanya] empat puluh dua ekor gajah yang datang sekali dalam seratus tahun.

“Sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku juga memiliki delapan puluh empat ribu ekor kuda, dengan perlengkapan untuk menunggangi kuda yang terbuat dari emas murni, ditutupi oleh jaring emas; yang terbaik di antara mereka adalah raja-kuda Valāhaka.

“Sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh empat ribu kereta, yaitu, kereta emas, kereta perak, kereta beril, dan kereta kristal, dengan kulit singa, harimau, macan tutul, dan berbagai selimut wol sebagai penutup dan lapisannya; yang terkemuka di antara mereka adalah kereta Vejayanta dengan suara yang indah.<77>

“Sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh ribu kota, yang damai dan berkembang, dengan penduduk yang padat; yang terkemuka di antara mereka adalah ibukota kerajaan Kusāvatī.
“Sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh ribu istana, yaitu, dari emas, perak, beril, kristal, dan permata berharga; yang terkemuka di antara mereka adalah [istana] Vyūha.<78>

“Bhikkhu, sebagaimana halnya bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh ribu jenis tempat tidur berhiaskan permata, yaitu, dari emas, perak, beril, dan kristal, dengan berbagai kasur sutera, permadani wol, seperai wol, dengan kulit menjangan sebagai selimut dan bantal merah yang diletakkan di atasnya.

“Lagi, bhikkhu, sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh empat ribu pakaian, yaitu, pakaian sutera, linen, katun, dan wol.

“Lagi, bhikkhu, sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh empat ribu orang wanita mulia, yaitu, para wanita dari [golongan] ksatria, atau para wanita dari [golongan] yang sama dengan [golongan] ksatria,<79> dan para wanita lainnya.

“Lagi, bhikkhu, sebagaimana halnya kebiasaan bagi seorang raja yang dinobatkan, aku memiliki delapan puluh ribu kapal dengan makanan,<80> yang diberkahi dengan berbagai rasa.

“Bhikkhu, dari delapan puluh empat ribu orang wanita, aku hanya memiliki satu orang yang menantiku; dari delapan puluh empat ribu pakaian yang berhiaskan permata, aku hanya memakai satu pakaian; dari delapan puluh empat ribu tempat tidur yang berhiaskan permata, aku hanya berbaring pada satu tempat tidur; dari delapan puluh empat ribu istana, aku hanya berdiam pada satu istana; dari delapan puluh empat ribu kota, aku hanya tinggal di satu kota, yang bernama Kusāvatī; dari delapan puluh empat ribu kereta, ketika bepergian keluar kota untuk bertamasya, aku hanya mengendarai satu kereta, yang bernama Vejayanta; dari delapan puluh empat ribu ekor kuda, aku hanya menunggangi satu ekor kuda, yang bernama Valāhaka, yang rambut dan ekornya berwarna keungu-unguan; dari delapan puluh empat ribu ekor gajah, ketika bepergian keluar kota untuk bertamasya, aku hanya menunggangi satu ekor gajah, yang bernama Uposatha.

“Bhikkhu, mencapai kekuatan dan kenyamanan yang demikian adalah buah dari perbuatan apakah? Ini adalah buah dari tiga jenis perbuatan. Apakah ketiga hal itu? Yang pertama adalah member, kedua adalah disiplin-diri, dan ketiga adalah mengembangkan sang jalan.<81>

“Bhikkhu, engkau seharusnya mengetahui, [68b] seorang duniawi terkotori oleh pengejaran lima kenikmatan indera, tanpa mendapatkan kecukupan atasnya. Seorang mulia, yang terampil dalam kebijaksanaan, akan selalu merasa puas.<82>

“Bhikkhu, semua bentukan ini berasal dari masa lampau dan telah melenyap, mereka berasal dari masa lampau dan telah berubah.<83> Berbagai berkah alamiah yang dapat diberi nama, semuanya telah lenyap.

“Oleh karena itu, bhikkhu, [biarkanlah] semua bentukan selamanya ditenangkan, jadilah kecewa terhadap mereka, tinggalkanlah keinginan terhadap mereka dan terbebaskanlah dari mereka!

“Bhikkhu, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: ‘Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata kepada] bhikkhu itu: “Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia di sini lebih jauh membayangkannya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Dengan cara yang sama, apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: ‘Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata kepada] bhikkhu itu: “Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia di sini lebih jauh membayangkannya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bentuk jasmani apa pun, apakah apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua bentuk jasmani demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya].

“Bhikkhu, engkau seharusnya membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan bentuk jasmani,<84> terbebaskan dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan darinya. Dengan cara yang sama engkau seharusnya membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, terbebaskan dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan darinya. Terbebaskan darinya engkau akan mengetahui dan melihat: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Kemudian bhikkhu itu, setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi. Terus-menerus penuh perhatian atas ajaran yang telah ia peroleh tentang perumpamaan bola tanah, dengan menyendiri di suatu tempat yang tenang ia dengan bersemangat memberikan pengamatan terhadapnya, menjadi berkembang di dalamnya tanpa kelalaian. Setelah berkembang di dalamnya tanpa kelalaian, [ia menjadi tahu] bahwa demi kepentingan seorang putra kepala keluarga mencukur janggut dan rambutnya, dan demi keyakinan yang benar meninggalkan keduniawian menuju keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam jalan demi kehidupan suci yang tiada bandingnya, karenanya mengetahui di sini dan saat ini dan menyadari secara langsung bahwa ‘kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’

Kemudian yang mulia itu, dengan memahami Dharma sesuai dengan itu, dengan pikirannya mencapai pembebasan, menjadi seorang arahant.<85>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #3 on: 26 June 2015, 07:45:59 PM »
265. [Kotbah tentang Gelembung dan Buih]<86>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Ayojjhā, di tepi sungai Gangga. [68c]

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Seperti halnya kumpulan buih yang terhanyut-hanyut pada gelombang besar yang muncul pada sungai Gangga, dan seorang yang berpenglihatan baik dengan seksama menyelidiki dan menganalisisnya.<87> Pada waktu dengan seksama menyelidiki dan menganalisis, [ia menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang kokoh atau hakiki dalam sekumpulan buih.

“Dengan cara yang sama, dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisis apa pun bentuk jasmani, masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, seorang bhikkhu [menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan; ia bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan duri, bagaikan pembunuh, ia tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri.<88> Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam bentuk jasmani.

“Para bhikkhu, seperti halnya selama banjir besar terdapat gelembung-gelembung pada [permukaan] air,<89> yang muncul dan lenyap satu setelah yang lainnya, dan seorang yang berpenglihatan baik dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya. Pada waktu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, [ia menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, mereka tidak memiliki kepadatan. Mengapa demikian? Karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam gelembung-gelembung air.

“Dengan cara yang sama,seorang bhikkhu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisis apa pun perasaan, masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat. Ketika dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, bhikkhu itu [menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan; ia bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan duri, bagaikan pembunuh, ia tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam perasaan.

“Para bhikkhu, seperti halnya ketika menjelang akhir musim semi atau awal musim panas,<90> pada tengah hari ketika matahari [bersinar] kuat dan tidak ada awan dan tidak hujan, sebuah fatamorgana berkilauan muncul, dan seorang yang berpenglihatan baik dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya. Pada waktu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, [ia menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam sebuah fatamorgana.

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisis apa pun persepsi, masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat. Ketika dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, bhikkhu itu [menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan; ia bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan duri, bagaikan pembunuh, ia tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam persepsi.

“Para bhikkhu, seperti halnya seorang yang berpenglihatan baik yang membutuhkan inti kayu memegang sebuah kapak tajam dan memasuki sebuah hutan [di atas] gunung, di mana ia melihat sebatang pohon pisang raja besar yang tebal, lurus, dan tinggi.<91> Ia memotongnya pada akarnya, membelah puncak pohonnya dan perlahan-lahan melepaskan daun demi daunnya, di mana semuanya tanpa inti yang padat, dan ia dengan seksama memeriksa, memperhatikan, dan menganalisisnya. Pada waktu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, [ia menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, [69a] ia tidak memiliki kepadatan.<92> Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam sebatang pohon pisang raja.

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisis apa pun bentukan, masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat. Ketika dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, bhikkhu itu [menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, mereka tidak memiliki kepadatan; mereka bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan duri, bagaikan pembunuh, mereka tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam bentukan.

“Para bhikkhu, seperti halnya seorang ahli sulap atau murid seorang ahli sulap pada persimpangan jalan menciptakan ilusi sulap dari sekumpulan pasukan gajah, sekumpulan pasukan kuda, sekumpulan pasukan kereta, dan sekumpulan pasukan pejalan kaki,<93> dan seorang yang berpenglihatan baik dengan seksama memeriksa, memperhatikan, dan menganalisisnya. Pada waktu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, [ia menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam sebuah ilusi sulap.<94>

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisis apa pun kesadaran, masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat. Ketika dengan seksama menyelidiki, memperhatikan, dan menganalisisnya, bhikkhu itu [menemukan bahwa] tidak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada yang tetap, tidak ada yang hakiki, ia tidak memiliki kepadatan; ia bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan duri, bagaikan pembunuh, ia tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada yang padat atau hakiki dalam kesadaran.”<95>

Pada waktu itu Sang Bhagava, yang bermaksud menekankan makna dari apa yang telah Beliau katakan, mengucapkan bait-bait syair berikut ini:<96>

“Renungkanlah bentuk jasmani seperti sekumpulan buih,
perasaan seperti gelembung-gelembung pada air,
persepsi seperti cahaya yang berkilauan pada musim semi,
bentukan seperti [sebatang pohon] pisang raja,
dan sifat kesadaran apa pun seperti sebuah ilusi sulap,
seperti yang dijelaskan Kerabat Matahari.<97>

“Dengan hati-hati memperhatikannya dari semua sisi,
dengan perhatian benar menyelidikinya dengan baik,
ia [ditemukan sebagai] tidak hakiki dan tanpa kepadatan,
tidak ada diri atau apa yang menjadi milik diri
dalam kumpulan fisik ini, yang adalah dukkha.<98>

“Yang Maha Bijaksana telah menganalisis dan menjelaskan bahwa,
kehilangan tiga hal,
tubuh akan menjadi hal yang ditinggalkan:
Vitalitas, panas dan kesadaran apa pun,
kehilangan hal-hal ini, tubuh yang tersisa ini berserakan
dan selamanya terbuang di kuburan atau pemakaman,
bagaikan sebatang kayu, tanpa persepsi kesadaran.<99>

“Tubuh ini selalu seperti ini
bersifat ilusi dan tidak nyata,<100> yang memikat orang-orang bodoh.
Ia bagaikan seorang pembunuh, bagaikan duri beracun,<110>
tanpa kepadatan apa pun.

“Bagi seorang bhikkhu yang dengan bersemangat mengembangkan
perenungan terhadap kelompok unsur kehidupan bentuk jasmani ini, <102> [69b]
siang dan malam terus-menerus terlibat di dalamnya
dengan pemahaman benar dan perhatian tenang yang berkembang,
bentukan-bentukan berkondisi akan ditenangkan
dan ia selamanya mencapai tempat yang damai.”<103>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

266. [Kotbah Pertama tentang Tidak Mengetahui]<104>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Saṃsāra adalah tanpa sebuah awal, perputaran selama waktu yang lama dari mereka yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tanpa memahami awal mula dukkha ini.<105>

“Terdapat suatu masa ketika tidak hujan selama waktu yang lama dan ratusan tanaman padi-padian dan tumbuhan yang tumbuh di bumi semuanya mengering sepenuhnya.<106> Para bhikkhu, namun bagi makhluk-makhluk hidup yang berputar-putar dalam saṃsāra, yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tidak ada akhir dari belenggu ketagihan [dengan itu], tidak ada pelenyapan dukkha dan membuat akhir darinya [dengan itu].

“Para bhikkhu, terdapat suatu masa ketika tidak hujan selama waktu yang lama dan air pada samudera raya menjadi habis sama sekali. Para bhikkhu, [namun] bagi makhluk-makhluk hidup yang berputar-putar dalam saṃsāra, yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tidak ada akhir dari belenggu ketagihan [dengan itu], tidak ada pelenyapan dukkha dan membuat akhir darinya [dengan itu].

“Para bhikkhu, terdapat suatu masa ketika, setelah waktu yang lama, Sineru, raja para gunung, sepenuhnya runtuh.<107> [Namun] bagi makhluk-makhluk hidup yang berputar-putar dalam saṃsāra, yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tidak ada akhir dari belenggu ketagihan [dengan itu], tidak ada pelenyapan dukkha dan membuat akhir darinya [dengan itu].

“Para bhikkhu, terdapat suatu masa ketika, setelah waktu yang lama, bumi yang besar ini sepenuhnya hancur. Tetapi, bagi makhluk-makhluk hidup yang berputar-putar dalam saṃsāra, yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tidak ada akhir dari belenggu ketagihan [dengan itu], tidak ada pelenyapan dukkha dan membuat akhir darinya [dengan itu].

“Para bhikkhu, seperti halnya seekor anjing diikat pada sebatang tonggak.<108> [Karena] belenggu itu tidak berat,<109> selama waktu yang lama [anjing itu] berputar-putar di sekitar tonggak itu, mengelilingi dan berputar-putar di sekitarnya.

“Dengan cara yang sama, para bhikkhu, makhluk-makhluk hidup yang bodoh yang tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani, selama waktu yang lama mengelilingi dan berputar-putar di sekitar bentuk jasmani.<110>

Dengan cara yang sama tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran, selama waktu yang lama [makhluk-makhluk hidup yang bodoh] mengelilingi dan berputar-putar di sekitar kesadaran.

“Para bhikkhu, [makhluk-makhluk hidup yang bodoh] mengikuti dan berputar-putar di sekitar bentuk jasmani, mengikuti dan berputar-putar di sekitar perasaan, mengikuti dan berputar-putar di sekitar persepsi, mengikuti dan berputar-putar di sekitar bentukan, mengikuti dan berputar-putar di sekitar kesadaran. Karena mengikuti dan berputar-putar di sekitar bentuk jasmani, mereka tidak dapat terbebaskan dari bentuk jasmani. Karena mengikuti dan berputar-putar di sekitar perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, mereka tidak terbebaskan dari kesadaran. Karena tidak terbebaskan darinya, mereka tidak terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Ia memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Oleh sebab itu ia tidak mengikuti dan berputar-putar di sekitar [bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan...] kesadaran.

“Karena tidak mengikuti dan berputar-putar di sekitar dan berputar-putar di sekitarnya, ia terbebaskan dari bentuk jasmani, terbebaskan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan, ia terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan.”

Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, [69c] para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

267. [Kotbah Kedua tentang Tidak Mengetahui]<111>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Saṃsāra adalah tanpa sebuah awal, perputaran selama waktu yang lama dari makhluk-makhluk hidup, yang dirintangi oleh ketidaktahuan dan terikat oleh belenggu ketagihan, tanpa memahami awal mula dukkha ini.<112>

“Para bhikkhu, seperti halnya seekor anjing yang diikat pada sebatang tonggak dengan seutas tali. Karena belenggu itu tidak berat,<113> [anjing itu] berputar-putar di sekitar tonggak itu; apakah berdiri atau berbaring, ia tidak terpisahkan dari tonggak itu.<114>

“Dengan cara yang sama makhluk hidup yang bodoh yang sehubungan dengan bentuk jasmani tidak terpisahkan dari nafsu keinginan terhadapnya, tidak terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, tidak terpisahkan dari merindukannya, tidak terpisahkan dari kehausan terhadapnya, berputar-putar di sekitar bentuk jasmani.<115> Dengan mengikuti dan berputar-putar di sekitar bentuk jasmani, apakah berdiri atau berbaring, ia tidak terpisahkan dari bentuk jasmani. Dengan cara yang sama [ia berputar-putar di sekitar] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah berdiri atau berbaring, ia tidak terpisahkan dari kesadaran.

“Para bhikkhu, kalian seharusnya dengan baik memberikan pengamatan pada dan menyelidiki pikiran. Mengapa demikian? Ini karena selama waktu yang lama pikiran telah terkotori oleh nafsu keinginan,<116> oleh kebencian, dan oleh delusi.<117> Para bhikkhu, karena pikiran dirudung [penderitaan], makhluk-makhluk hidup dirudung [penderitaan]; karena pikiran dimurnikan, makhluk-makhluk hidup dimurnikan.

“Para bhikhu, Aku tidak melihat satu bentuk pun yang beranekaragam seperti warna yang berbintik-bintik pada seekor burung. Pikiran bahkan lebih [beranekaragam]. Mengapa demikian? Karena keanekaragaman pikiran mereka, hewan-hewan memiliki beranekaragam warna.<118>

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian seharusnya dengan baik memberikan pengamatan pada dan menyelidiki pikiran. Para bhikkhu, selama waktu yang lama pikiran telah terkotori oleh nafsu keinginan, oleh kebencian, dan oleh delusi. Para bhikkhu, kalian seharusnya mengetahui bahwa karena pikiran dirudung [penderitaan], makhluk-makhluk hidup dirudung [penderitaan]; karena pikiran dimurnikan, makhluk-makhluk hidup dimurnikan.

“Apakah kalian pernah melihat warna-warna yang beranekaragam dan berbeda-beda dari seekor burung caraṇa?<119>

[Para bhikkhu] menjawab: “Kami pernah melihatnya sebelumnya, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Bagaikan warna-warna yang beranekaragam dan berbeda-beda dari seekor burung caraṇa, Aku katakan pikiran juga beranekaragam dan berbeda-beda seperti itu. Mengapa demikian? Karena keanekaragaman dari pikirannya, sehingga burung caraṇa memiliki beranekaragam warna.<120>

“Oleh karena itu, kalian seharusnya dengan baik menyelidiki dan memberikan pengamatan pada pikiran, yang selama waktu yang lama pikiran telah terkotori oleh beranekaragam nafsu keinginan, oleh kebencian, dan oleh delusi.<121> Karena pikiran dirudung [penderitaan], makhluk-makhluk hidup dirudung [penderitaan]; karena pikiran dimurnikan, makhluk-makhluk hidup dimurnikan.

“Seperti halnya seorang pelukis yang ahli atau murid dari seorang pelukis yang ahli, setelah dengan baik mempersiapkan latar belakang yang belum diberi warna dan dilengkapi dengan berbagai warna, menurut keinginannya melukis beranekaragam jenis gambar.<122>

“Para bhikkhu, dengan cara yang sama makhluk hidup yang bodoh tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, ia menyenangi dan melekat pada bentuk jasmani. Karena menyenangi dan melekat pada bentuk jasmani, ia lebih lanjut membangkitkan [terjadinya] bentuk jasmani masa depan.

Dengan cara yang sama seseorang yang bodoh tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi dan melekat pada kesadaran. Karena menyenangi dan melekat pada kesadaran, [70a] ia lebih lanjut membangkitkan [terjadinya] kesadaran masa depan.<123>

“Jika ia membangkitkan [terjadinya] bentuk... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran masa depan, [maka] ia tidak akan terbebaskan dari bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, Aku katakan ia tidak akan terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi dan tidak melekat pada bentuk jasmani. Karena tidak menyenangi dan tidak melekat padanya, ia tidak membangkitkan [terjadinya] bentuk jasmani masa depan.

“Ia memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi dan tidak melekat pada kesadaran.<124> Karena tidak menyenangi dan tidak melekat padanya, ia tidak membangkitkan [terjadinya] kesadaran masa depan.

“Karena tidak menyenangi dan tidak melekat pada bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, ia mencapai pembebasan dari bentuk jasmani, mencapai pembebasan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, Aku katakan ia sama terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan.”

Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #4 on: 26 June 2015, 07:51:47 PM »
268. [Kotbah tentang Sungai yang Mengalir]<125>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Seperti halnya dari sebuah jurang gunung, air sebuah sungai memancar keluar, yang airnya dalam dan cepat, dengan arus yang kuat dan banyak yang mengapung di atasnya. Pada kedua tepi sungai berbagai tumbuhan tumbuh, di mana arus deras membengkokkannya sehingga ia berada di sepanjang batas air.<126> Orang-orang yang menyeberangi air itu sering dibuat terapung oleh air itu dan terbawa arus, hanyut dan tenggelam.<127> Terbawa oleh gelombang dekat dengan tepi sungai, dengan tangan mereka memegang tumbuhan itu, tetapi tumbuhan itu patah dan mereka lagi-lagi terbawa oleh air, terapung-apung di sepanjangnya.

Dengan cara yang sama, para bhikkhu, misalkan seseorang yang bodoh tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani.<128> Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi dan melekat pada bentuk jasmani, dengan menyatakan bentuk jasmani sebagai diri, [walaupun] bahwa bentuk jasmani setelah itu hancur. Dengan cara yang sama ia tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi dan melekat pada kesadaran, dengan menyatakan kesadaran sebagai diri, [walaupun] kesadaran pada gilirannya akan hancur.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami bentuk jasmani sebagaimana adanya, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi dan tidak melekat pada bentuk jasmani.<129>

“Dengan cara yang sama ia memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dalam kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi dan tidak melekat pada kesadaran.

“Karena tidak menyenangi dan tidak melekat, dengan cara ini ia mencapai Nirvāṇa dan oleh karenanya mengetahui: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat. [70b]

269. [Kotbah tentang Hutan Jeta]<130>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Fenomena yang bukan milik kalian seharusnya ditinggalkan sepenuhnya.<131> Setelah meninggalkannya fenomena itu, selama waktu yang lama kalian akan memiliki kedamaian dan kebahagiaan. Para bhikkhu, apakah fenomena yang bukan milik kalian, yang seharusnya kalian tinggalkan secepatnya? Dengan cara ini, bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan milik kalian, kalian seharusnya meninggalkannya sepenuhnya. Setelah melepaskan fenomena ini, selama waktu yang lama kalian akan memiliki kedamaian dan kebahagiaan.

“Seperti halnya jika seseorang membelah dan memotong cabang-cabang dan ranting dari pepohonan di Hutan Jeta, mengambilnya dan membawanya pergi.<132> Kalian tidak akan terganggu atau bersedih. Mengapa demikian? Ini karena [bagi kalian] pepohonan itu bukan “aku” dan “bukan milikku”.<133>

“Dengan cara ini, para bhikkhu, apa yang bukan milik kalian seharusnya ditinggalkan sepenuhnya. Setelah meninggalkannya, selama waktu yang lama kalian akan memiliki kedamaian dan kebahagiaan. Apakah itu, yang bukan milik kalian dan yang seharusnya kalian [tinggalkan]? Bentuk jasmani bukan milik kalian, kalian seharusnya meninggalkannya sepenuhnya. Setelah meninggalkannya, selama waktu yang lama kalian akan memiliki kedamaian dan kebahagiaan. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan milik kalian, kalian seharusnya meninggalkannya secepatnya. Setelah meninggalkannya, selama waktu yang lama kalian akan memiliki kedamaian dan kebahagiaan.<134>

“Para bhikkhu, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apakah yang tidak kekal, apakah itu dukkha?”

[Para bhikkhu] menjawab: “Dukkha, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini melihatnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

[Para bhikkhu] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Dengan cara yang sama, apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?”

[Para bhikkhu] menjawab: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkatak kepada] para bhikkhu: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

[Para bhikkhu] menjawab: “Dukkha, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini melihatnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

[Para bhikkhu] berkata: “Tidak, Sang Bhagava.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya].

“Seorang siswa mulia merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri atau [bukan] milikku. Ketika merenungkan dengan cara ini, ia tidak menggenggam apa pun di seluruh dunia dengan kemelekatan. Seseorang yang tidak menggenggam apa pun dengan kemelekatan karenanya mencapai Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: “Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, [70c] yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

270. [Kotbah tentang Pohon]<135>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, banyak dilatih, memungkinkan seseorang meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya seorang petani pada akhir musim panas, pada musim gugur, pertama-tama membajak tanah dengan dalam untuk menyingkap akar-akaran dan membersihkan rumput. Dengan cara yang sama, para bhikkhu, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Para bhikkhu, seperti halnya jika seseorang yang memotong rumput memegangnya pada salah satu ujungnya dengan tangan, mencabutnya dan mengguncangkannya, untuk membersihkan dari semua bagian yang kering dan layu, dan [kemudian] mengambilnya [seluruhnya] untuk kepala rumah tangga.<136> Dengan cara yang sama, para bhikkhu, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya ketika angin kencang mengguncang cabang-cabang sebatang pohon dengan buah-buah mangga dan semua buahnya jatuh.<137> Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya sebuah rumah dengan atap runcing yang [tiang] tengahnya padat dan kokoh. Dengan bergantung pada berbagai kasau, ia menahan mereka sehingga mereka tidak lepas. Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.<138>

“Seperti halnya di antara jejak kaki semua makhluk hidup, jejak kaki seekor gajah adalah yang terbesar, karena ia dapat memuat mereka [semua].<139> Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya semua sungai di Jambudīpa mengalir menuju samudera raya dan samudera raya adalah yang terbesar dan yang pertama, karena ia dapat menampung mereka semua.<140> Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya ketika matahari terbit, ia dapat menghalau semua kegelapan di dunia.<141> Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Seperti halnya seorang raja pemutar roda yang mulia, yang tertinggi di antara semua raja yang lebih kecil, yang paling terkemuka. Dengan cara yang sama, persepsi ketidakkekalan, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan seseorang untuk meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan.

“Para bhikkhu, melatih dengan cara apakah persepsi ketidakkekal, yang dilatih, yang banyak dilatih, memungkinkan meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan?

“Sekiranya seorang bhikkhu pada sebuah tanah lapang yang terbuka atau di antara pepohonan memberikan pengamatan dengan baik pada dan merenungkan bentuk jasmani sebagai tidak kekal... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai tidak kekal.

“Dengan memberikan pengamatan dengan cara ini ia akan meninggalkan semua ketagihan terhadap kenikmatan indera, ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap tanpa bentuk, kegelisahan, kesombongan, dan ketidaktahuan. [71a] Mengapa demikian? Seseorang yang memiliki persepsi kematian dapat mengembangkan persepsi bukan diri. Seorang siswa mulia yang telah mengembangkan persepsi bukan diri akan memisahkan pikiran dari kesombongan “aku” dan meneruskan untuk mencapai Nirvāṇa.”

Ketika Sang Buddha mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #5 on: 26 June 2015, 07:59:33 PM »
271. [Kotbah tentang Menasehati Tissa]<142>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu bernama Tissa, yang bersama-sama dengan sekumpulan banyak bhikkhu yang telah berkumpul di aula makan.<143> Ia berkata kepada para bhikkhu: “Para Yang Mulia, aku tidak melihat ajaran dengan jelas, aku tidak menikmati mengembangkan kehidupan suci, aku lebih menikmati tidur dan aku memiliki keragu-raguan tentang ajaran.”<144>

Pada waktu itu seorang bhikkhu yang berada di antara komunitas itu mendekati Sang Buddha,<145> memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bhikkhu Tissa, yang bersama-sama dengan sekumpulan banyak bhikkhu yang telah berkumpul di aula makan,<146> mengatakan seperti ini, secara terbuka menyatakan hal ini: ‘Aku tidak dapat melihat ajaran dengan jelas, aku tidak menikmati mengembangkan kehidupan suci, aku lebih menikmati tidur, dan aku memiliki keragu-raguan tentang ajaran.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bhikkhu Tissa adalah orang bodoh, ia tidak menjaga pintu-pintu inderanya, tidak mengetahui batasnya dengan minuman dan makanan, dalam waktu jaga pertama dari malam hari dan waktu jaga terakhir dari malam hari pikirannya tidak sadar, ia malas dan lamban, tidak bersemangat, tidak dengan benar menyelidiki dan memberikan pengamatan pada ajaran-ajaran yang baik. Bahwa ia seharusnya melihat ajaran dengan jelas, bahwa pikirannya seharusnya menikmati mengembangkan kehidupan suci, bahwa ia seharusnya bebas dari rasa kantuk dan bahwa dalam ajaran-ajaran yang benar ia seharusnya bebas dari keragu-raguan – itu tidak mungkin.<147>

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang menjaga pintu-pintu inderanya, yang mengetahui batasnya dengan minuman dan makanan, yang dalam waktu jaga pertama dari malam hari dan waktu jaga terakhir dari malam hari sadar dan bersemangat, menyelidiki ajaran-ajaran yang baik. Bahwa ia seharusnya bergembira dan melihat ajaran dengan jelas, menikmati mengembangkan kehidupan suci, bebas dari rasa kantuk dan tidak memiliki keragu-raguan tentang ajaran dalam pikirannya – itu mungkin.”

Pada waktu itu, Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu: “Engkau dekatilah bhikkhu Tissa dan katakan kepadanya: ‘Sang Guru Agung memanggil anda.’”<148>

Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Ya, baik, aku telah menerima perintah” dan maju ke depan ia memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha. Ia mendekati Tissa dan berkata: “Sesepuh Tissa, Sang Bhagava memanggil anda.” Setelah mendengarkan perintah, Tissa mendekati Sang Bhagava, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu Tissa: “Tissa, apakah benar bahwa ketika sekumpulan banyak bhikkhu telah berkumpul di aula makan, engkau dengan terbuka mengatakan ini: ‘Para sesepuh, saya tidak dapat melihat ajaran dengan jelas, saya tidak menikmati mengembangkan kehidupan suci,<149> aku lebih menikmati tidur, dan aku memiliki keragu-raguan tentang ajaran’?”

Tissa berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha bertanya kepada Tissa: “Aku sekarang akan bertanya kepadamu, jawablah seperti yang engkau pikirkan. Apakah yang engkau pikirkan? Jika seseorang tidak terpisahkan dari nafsu terhadap bentuk jasmani, tidak terpisahkan dari keinginan terhadapnya, tidak terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, tidak terpisahkan dari merindukannya, tidak terpisahkan dari kehausan terhadapnya, [71b] dan bahwa bentuk jasmani berubah dan menjadi sebaliknya, apakah yang engkau pikirkan, akankah kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”

Tissa berkata kepada Sang Buddha: “Sesungguhnya, Sang Bhagava, jika seseorang tidak terpisahkan dari nafsu terhadap bentuk jasmani, tidak terpisahkan dari keinginan terhadapnya, tidak terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, tidak terpisahkan dari merindukannya, tidak terpisahkan dari kehausan terhadapnya, dan bahwa bentuk jasmani itu berubah dan menjadi sebaliknya, maka kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan benar-benar muncul. Sang Bhagava, ini benar dan bukan sebaliknya.”<150>

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Bagus, bagus, Tissa, ini sebenarnya bagaimana seseorang harus menjelaskan ajaran tentang tidak terpisahkan dari nafsu keinginan [terhadap bentuk jasmani].

“Tissa, jika seseorang tidak terpisahkan dari nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, tidak terpisahkan dari keinginan terhadapnya, tidak terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, tidak terpisahkan dari merindukannya, tidak terpisahkan dari kehausan terhadapnya, dan bahwa kesadaran berubah dan menjadi sebaliknya, apakah yang engkau pikirkan, akankah kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”

Tissa berkata kepada Sang Buddha: “Sesungguhnya, Sang Bhagava, jika seseorang tidak terpisahkan dari nafsu terhadap [perasaan... persepsi... bentukan...] kesadaran, tidak terpisahkan dari keinginan terhadapnya, tidak terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, tidak terpisahkan dari merindukannya, tidak terpisahkan dari kehausan terhadapnya, dan bahwa kesadaran berubah dan menjadi sebaliknya, maka kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan akan benar-benar muncul. Sang Bhagava, ini adalah benar dan bukan sebaliknya.”

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Bagus, bagus, Tissa, ini sesungguhnya bagaimana seseorang harus menjelaskan ajaran tentang tidak terpisahkan dari nafsu keinginan terhadap kesadaran.”

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Apakah yang engkau pikirkan? Jika seseorang terpisahkan dari nafsu terhadap bentuk jasmani, terpisahkan dari keinginan terhadapnya, terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, terpisahkan dari merindukannya, terpisahkan dari kehausan terhadapnya, ketika bentuk jasmani berubah dan menjadi sebaliknya, akankah kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”

Tissa berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Apakah yang engkau pikirkan, apakah dengan cara ini, bukan sebaliknya? Jika seseorang terpisahkan dari nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, terpisahkan dari keinginan terhadapnya, terpisahkan dari ketagihan terhadapnya, terpisahkan dari merindukannya, terpisahkan dari kehausan terhadapnya, jika kesadaran itu berubah dan menjadi sebaliknya, akankah kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”

Tissa berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava. Ini adalah dengan cara ini dan bukan sebaliknya.”

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Bagus, bagus, Tissa.<151> Sekarang Aku akan mengatakan kepadamu suatu perumpamaan, seorang yang bijaksana memperoleh pemahaman dengan bantuan suatu perumpamaan.<152>

“Seperti halnya dua orang berjalan pada suatu jalan bersama-sama,<153> satu orang mengetahui jalan itu dengan baik dan yang lain tidak mengetahui jalan itu. Orang yang tidak mengetahui jalan itu berkata kepada orang yang tidak mengetahui jalan itu dengan cara ini:

‘Saya ingin mendekati suatu kota tertentu, suatu desa tertentu, suatu tempat kediaman tertentu, tunjukkan saya jalannya.’<154> Kemudian orang yang mengetahui jalan itu menunjukkan kepada yang lain jalan itu, dengan mengatakan: ‘Tuan, anda mengikuti jalan ini, selanjutnya anda [akan] melihat dua jalan, tinggalkan jalan yang berada di kiri dan teruskanlah ke yang kanan. Kemudian terdapat sebuah jurang dengan sebuah sungai kecil. Anda tinggalkanlah yang kiri dan ikuti yang kanan. Kemudian terdapat sebuah hutan, anda tinggalkanlah yang kiri dan ikuti yang kanan.<155> Dengan melanjutkan [perjalanan] secara bertahap dengan cara ini, anda akan mencapai suatu kota tertentu.’”<156>

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Perumpamaan itu adalah seperti ini: Orang yang tidak mengetahui jalan itu menunjuk pada seorang duniawi yang bodoh, orang yang mengetahui jalan itu menunjuk pada Sang Tathāgata, yang adalah seorang arahant, yang telah tercerahkan sempurna. [71c] Dua jalan di depan adalah keragu-raguan dari para makhluk hidup. Jalan kiri adalah tiga keadaan yang tidak bermanfaat: pikiran dengan nafsu, kebencian, dan kedengkian. Jalan kanan adalah tiga keadaan yang bermanfaat: pikiran pelepasan duniawi dan tanpa nafsu, pikiran tanpa kebencian, dan pikiran yang tidak menyakiti.

“Meneruskan pada jalan kiri adalah pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. Meneruskan pada jalan kanan adalah pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Jurang dengan sebuah sungai kecil adalah kemarahan, rintangan, kekhawatiran, dan kesedihan. Hutan adalah lima utas kenikmatan indera. Kota adalah Nirvāṇa.”<157>

Sang Buddha berkata kepada Tissa: “Sang Buddha, yang adalah sang guru agung, telah melakukan apa yang harus dilakukan bagi para siswanya. Apa yang sekarang harus dilakukan demi pikiran belas kasih dan empati, demi kepentingan kedamaian dan kebahagiaan mereka, semua itu telah Beliau lakukan. Sekarang engkau seharusnya melakukan apa yang perlu dilakukan. Pada akar-akar pohon, pada tanah lapang yang terbuka, atau di dalam sebuah gua di gunung, dengan mengumpulkan beberapa rerumputan engkau seharusnya duduk, dengan baik memberikan pengamatan dengan penuh perhatian, melatihnya tanpa kelalaian. Jangan kelak kemudian hari menyesal, inilah ajaran-Ku kepadamu.”<158>

Kemudian Tissa, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

272. [Kotbah tentang Persepsi]<159>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.<160>

Pada waktu itu di antara komunitas [Sangha] terdapat suatu perselisihan tentang suatu hal yang sepele dan karenanya Sang Bhagava telah menasehati para bhikkhu.<161> Pada pagi hari Beliau mengenakan jubah-Nya dan membawa mangkuk-Nya untuk memasuki kota guna mengumpulkan makanan. Setelah makan dan keluar [dari kota], Beliau meletakkan jubah dan mangkuk-Nya, mencuci kaki-Nya, dan memasuki Hutan Orang-Orang Buta untuk duduk pada akar sebuah pohon.<162> Dengan menyendiri dan di tempat yang tenang, Beliau merenungkan dan berpikir:

“Di antara komunitas [Sangha] terdapat suatu perselisihan tentang suatu hal yang sepele dan Aku telah menasehati para bhikkhu. Tetapi, di antara komunitas [Sangha] terdapat banyak bhikkhu muda, yang baru saja meninggalkan keduniawian. Tidak melihat sang guru agung, penyesalan dapat muncul dalam pikiran mereka, kekhawatiran, dan ketidakpuasan.<163> Selama waktu yang lama Aku telah memunculkan pikiran berbelas kasih dan empati bagi semua bhikkhu. Biarkanlah Aku kembali dan mengumpulkan komunitas [Sangha], demi belas kasih dan empati.

Kemudian raja Brahmā yang agung, yang mengetahui pikiran Sang Buddha, bagaikan seorang kuat yang dapat melenturkan sebuah lengan, lenyap dari Surga Brahmā dan berdiri di hadapan Sang Buddha, dengan berkata kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava, demikianlah, Sang Tathagata. Anda telah menasehati para bhikkhu karena suatu perselisihan tentang suatu hal yang sepele. Di antara komunitas [Sangha] terdapat banyak bhikkhu muda yang baru saja meninggalkan keduniawian. Tidak melihat sang guru agung, penyesalan dapat muncul dalam pikiran mereka, kekhawatiran, dan ketidakpuasan. Selama waktu yang lama Sang Bhagava telah dengan pikiran berbelas kasih dan empati mengumpulkan dan menerima komunitas [Sangha]. Akan lebih baik jika Sang Bhagava sekarang kembali dan mengumpulkan para bhikkhu.”

Pada waktu itu, karena bersimpati kepada Brahmā,<164> Sang Bhagava menerimanya dengan tetap berdiam diri. Kemudian Brahmā yang agung, yang mengetahui bahwa Sang Buddha, Sang Bhagava, telah menerimanya dengan tetap berdiam diri, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, [72a] mengelilingi Beliau ke kanan tiga kali dan lenyap pada tempat itu.

Pada waktu itu Sang Bhagava, segera setelah raja surga agung Brahmā pergi, kembali ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, membentangkan kain duduk-Nya dan duduk tenang dan dengan tubuh yang tegak, menunjukkan ciri-ciri halus-Nya, sehingga para bhikkhu mau datang dan bertemu dengan Beliau.<165> Kemudian para bhikkhu mendekati Sang Buddha dengan wajah malu. Mereka datang untuk memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan kemudian mengundurkan diri pada satu sisi.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Seseorang yang telah meninggalkan keduniawian memiliki kehidupan yang rendah, setelah mencukur rambut dan membawa mangkuk untuk mengumpulkan dana dari rumah ke rumah, seakan-akan ia berada di bawah kutukan.<166> Alasan untuk hal ini adalah bahwa ia mencari manfaat yang tertinggi, untuk menyeberangi kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan; adalah demi kepentingan melenyapkan dukkha sepenuhnya.<167>

“Para anggota keluarga, kalian tidak meninggalkan keduniawian karena para raja atau para penjahat memaksa kalian, berhutang kepada seseorang, takut, atau tidak memiliki penghidupan, tetapi sepatutnya untuk terbebas dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan – bukankah kalian meninggalkan keduniawian karena hal ini?”<168>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, kalian telah meninggalkan keduniawian dengan cara ini demi manfaat tertinggi. Bagaimana mungkin bahwa di antara kalian masih terdapat seorang duniawi yang bodoh yang memunculkan nafsu keinginan, memunculkan kemelekatan yang sangat mengotori, menjadi marah dan keras, malas dan jahat, dengan perhatian yang hilang dan tanpa konsentrasi, semua inderanya kacau?”

“Seperti halnya jika seseorang berjalan dari kegelapan ke kegelapan, dari ketidakjelasan ke ketidakjelasan, keluar dari sebuah lubang kotoran ia jatuh lagi ke dalam lubang kotoran, ia menggunakan darah untuk membersihkan darah, melepaskan kejahatan ia lagi-lagi menuruti kejahatan.<169> Seorang bhikkhu yang bodoh adalah seperti perumpamaan yang Ku-ucapkan ini.

“Atau sebaliknya ia bagaikan kayu yang terbakar dari suatu api kremasi. Ditinggalkan di sebuah pemakaman, ia tidak dapat diambil dan digunakan sebagai kayu bakar.<170> Seorang duniawi yang bodoh, seorang bhikkhu yang memunculkan nafsu keinginan, memunculkan kemelekatan yang sangat mengotori, menjadi marah dan keras, malas dan jahat, dengan perhatian yang hilang dan tanpa konsentrasi, semua inderanya kacau, adalah seperti perumpamaan yang telah Ku-ucapkan.

“Para bhikkhu, terdapat tiga kondisi pikiran yang tidak bermanfaat. Apakah tiga hal itu? Mereka adalah pikiran dengan nafsu, pikiran dengan kebencian, dan pikiran menyakiti. Tiga pikiran ini muncul dari persepsi.<171> Persepsi apakah? Persepsi terhadap beranekaragam jenis: persepsi nafsu, persepsi kebencian, dan persepsi menyakiti – semua pikiran yang tidak bermanfaat muncul dari hal ini.

“Para bhikkhu, persepsi nafsu, persepsi kebencian, persepsi menyakiti, pikiran dengan nafsu, pikiran dengan kebencian, dan pikiran menyakiti – inilah beranekaragam jenis dari apa yang tidak bermanfaat.

“Apakah lenyapnya mereka sepenuhnya? [Jika] pikiran dengan baik berdiam dalam empat penegakan perhatian atau berkembang dalam konsentrasi terhadap yang tanpa tanda. Dengan melatihnya, banyak melatihnya, keadaan-keadaan yang buruk dan tidak bermanfaat akan lenyap dengan cara itu, selamanya dihancurkan tanpa sisa, dengan sepatutnya dengan cara praktek ini.<172>

“Seorang anggota keluarga pria atau wanita yang demi keyakinan menikmati meninggalkan keduniawian dan melatih konsentrasi terhadap yang tanpa tanda, yang telah melatihnya, banyak melatihnya, berdiri pada pintu keabadian dan maju menuju keabadian tertinggi dari Nirvāṇa.<173> [72b]

“Aku tidak mengatakan keabadian dari Nirvāṇa ini bagi seseorang yang bergantung pada tiga pandangan. Apakah tiga hal itu? Satu jenis pandangan seperti ini, dengan menyatakan seperti ini: ‘Jiwa adalah sama dengan tubuh.’ Kemudian terdapat pandangan seperti ini: ‘Jiwa dan tubuh adalah berbeda.’ Dan terdapat pandangan seperti ini: ‘Bentuk jasmani adalah diriku, ia unik, bukan sebaliknya, dan selamanya tanpa perubahan.’”<174>

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memberikan pengamatan terhadap hal ini: ‘Adakah di dunia satu hal yang dapat kulekati tanpa mengalami kecacatan?’ Setelah memberikan pengamatan, ia tidak melihat satu hal pun yang dapat ia lekati tanpa mengalami kecacatan: ‘Jika aku melekat pada bentuk jasmani, aku akan mengalami kecacatan; jika aku melekat pada perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, aku akan mengalami kecacatan.’

Setelah memahami hal ini, ia tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia.<175> Seseorang yang tidak melekat karena itu merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: “Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha mengatakan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
« Last Edit: 27 June 2015, 07:38:36 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #6 on: 26 June 2015, 08:07:19 PM »
Catatan Kaki:

<1> Bagian yang diterjemahkan mengandung jilid kesepuluh dari Saṃyukta-āgama edisi Taishō, T II 64b22 to 72b11, yang berhubungan dengan bagian kedua dari bagian tentang kelompok unsur kehidupan berdasarkan urutan yang direkonstruksi dari kumpulan ini. Identifikasi saya dari versi Pāli yang paralel berdasarkan Akanuma 1929/1990 dan Yìnshùn 1983, dalam hal penggalan Sanskrit yang paralel dalam ringkasan Śamathadeva tentang kutipan-kutipan kotbah dari Abhidharmakośabhāṣya telah diidentifikasi oleh Honjō 1984 dan diterjemahkan oleh Dhammadinnā 2013, yang dalam catatan kakinya mencakup variasi-variasi yang ditemukan dalam versi Tibetan yang paralel. Di sini dan tempat lain, saya mengadopsi istilah Pāli untuk nama-nama diri dan istilah doktrinal untuk memfasilitasi perbandingan dengan versi Pāli yang paralel, kecuali untuk istilah-istilah seperti Dharma dan Nirvāṇa, tanpa dengan cara itu bermaksud mengambil posisi terhadap bahasa asli naskah Saṃyukta-āgama yang digunakan dalam terjemahan. Dalam hal mereproduksi teks-teks Sanskrit dari edisi-edisi yang diromanisasi, saya mengikuti kebiasaan dari para penyunting masing-masing (kecuali untuk kapitalisasi).

<2> Paralel: pertukaran [pendapat] yang dapat dibandingkan antara Sāriputta dan Mahākoṭṭhita tentang sifat ketidaktahuan dan pengetahuan dapat ditemukan pada SN 22.127-130 dan SN 22.133 dalam SN III 172ff, yang tidak ada darinya cocok sepenuhnya dengan kotbah yang saat ini. Semua kotbah ini berlokasi di Benares di Isipatana, tanpa suatu referensi tentang keberadaan Sang Buddha. Dalam SN 22.127-130 Mahākoṭṭhita adalah sang penanya; dalam SN 22.133 Sāriputta adalah sang penanya. SN 22.127 menjelaskan ketidaktahuan sehubungan dengan orang duniawi yang tidak mengetahui sebagaimana adanya bahwa lima kelompok unsur kehidupan bersifat muncul, lenyap, dan muncul dan lenyap; SN 22.128 memiliki penjelasan yang berhubungan tentang pengetahuan, yaitu, siswa mulia mengetahui bahwa lima kelompok unsur kehidupan bersifat muncul, lenyap, dan muncul dan lenyap; SN 22.129 dan SN 22.130 mengikuti kumpulan pola dari SN 22.127 dan SN 22.128, dengan perbedaan bahwa mereka mengambil mengetahui sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan keluar sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan. SN 22.133 menggabungkan SN 22.129 dan SN 22.130 ke dalam satu kotbah, dengan perbedaan bahwa Sāriputta dan Mahākoṭṭhita berganti peran. Untuk kotbah 256 sampai 262 rekonstruksi saya atas judul masing-masing didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 262. Dalam hal judul yang sama diterapkan pada lebih dari satu kotbah, saya menambahkan “pertama”, “kedua”, dst., yang tidak didukung dalam uddāna masing-masing.

<3> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 48 catatan no.3 untuk menghapus suatu referensi tambahan pada mengetahui yang ditemukan pada permulaan frase yang saat ini dan berikutnya.

<4> Paralel: SN 22.135 dalam SN III 176,14, yang berbeda sejauh sampai Sāriputta bertanya kepada Mahākoṭṭhita dan lokasinya berada di Benares di Isipatana, tanpa referensi pada keberadaan Sang Buddha.

<5> Paralel: SN 22.134 dalam SN III 175,25, yang berbeda sejauh sampai Sāriputta menanyai Mahākoṭṭhita dan lokasinya berada di Benares di Isipatana, tanpa referensi pada keberadaan Sang Buddha. SN 22.131 dalam SN III 174,9 berhubungan dengan bagian pertama dari SĀ 258 sebanyak di sini Mahākoṭṭhita bertanya tentang ketidaktahuan dan mendapatkan jawaban sama dengan apa yang ditemukan di atas; pertukaran [pendapat] yang berhubungan tentang pengetahuan kemudian ditemukan pada SN 22.132 dalam SN III 174,20. Paralel sebagian pada SĀ 258 adalah SHT IV 30e V1-3, Sander dan Waldschmidt 1980: 85, dan mungkin Schøyen penggalan 2381/22.

<6> SHT IV 30e V1, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: ca yathābhūtaṃ na prajānāti iti.

<7> SHT IV 30e V2, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: ṇaṃ ca yathābhūtaṃ prajānāti vedanā.

<8> Mengadopsi sebuah varian tanpa 如是, sesuai dengan rumusan dalam bacaan yang mendahului tentang ketidaktahuan; cf. juga Yìnshùn 1983: 48 catatan no.4.

<9> SHT IV 30e V3, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: ya [t]eṣu paṃcasūpādānaskandhe[ṣu].

<10> Paralel: SN 22.122 dalam SN III 167,16 dan SHT IV 30e V4-R6, Sander dan Waldschmidt 1980: 85.

<11> Lokasi pada SN 22.122 dalam SN III 167,17 adalah Isipatana di Benares, tanpa referensi pada keberadaan Sang Buddha.

<12> SĀ 259 dalam T II 65b12: 無間等法, di mana 無間等 menerjemahkan abhisamaya; cf Anālayo 2012b: 41 catatan no.116.

<13> 13 SHT IV 30e V4, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: ta dharmena āyuṣmaṃ śāriputra bhikṣuṇā dharmān-abhi[sa](mayati). Pada SN 22.122 dalam SN III 167,21 pertanyaannya adalah tentang ajaran yang harus diperhatikan oleh seorang bhikkhu yang baik, tanpa referensi pada memperoleh pemahaman, dst.

<14> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 50 catatan no.2 untuk memperbaiki 為 menjadi 如. SHT IV 30e V5, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (i)me paṃ[c]o[p] (ā)dānaskandhā abhīkṣṇaṃ. Menurut SN 22.122 dalam SN III 167,24, lima kelompok unsur kehidupan seharusnya diperhatikan sebagai tidak kekal, dukkha, penyakit, tumor, anak panah, kesengsaraan, kemalangan, orang asing, melapuk, kosong, dan bukan diri.

<15> SHT IV 30e V6, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: yad-asau bhikṣur-imāndharmān-abhīkṣṇam [manasīkurvva](n).

<16> SHT IV 30e V7, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: srotā[pa]nen-āpy-āyuṣmaṃ mahākoṣ[ṭhila] bhikṣuṇā sakṛdā[g].

<17> SHT IV 30e V8, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (ani)tyataḥ duḥkhataḥ śunyataḥ anāt[m]ato manasikarttavyāḥ tat-kasm[ā](d-dhetoḥ).

<18> SHT IV 30e V9, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (ā)yuṣmaṃ śāriputtra bhikṣu[ṇā] a[n](a)[gām]i[phala]ṃ [ s](ā)[kṣīka]rtta[vy](a)[m].

<19> SHT IV 30e V10, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: eta eva paṃcopādāna[skandhā] (a)[bhīkṣṇaṃ] ro[gat]o mana[sika]r[ttav]yāḥ.

<20> SHT IV 30e R1, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: yad-as[au] bhikṣur-imāndharmān-abh[īkṣṇaṃ manasikurvvann]-anāgā[miphal](aṃ) [ s](ā)kṣ[īka].

<21> SHT IV 30e R2, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: [ka]rttavyāḥ anāgāmin-āpyāyuṣman-mahākoṣṭhila bhikṣuṇā aggra[ha].

<22> SN 22.122 dalam SN III 168,31 dengan sama menggunakan ungkapan “lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati” bahkan ketika menjelaskan seorang arahant. Sejauh yang dapat saya lihat ini tidak perlu dipahami untuk menyatakan bahwa seorang arahant masih memiliki kelompok unsur kehidupan “yang dilekati”, karena, seperti yang saya diskusikan di tempat lain sehubungan dengan bacaan Pāli (Anālayo 2008: 406), “pengajaran itu mengatakan seluruh ‘lima kelompok unsur kehidupan yang dilekat’, ime pañc'upādānakkhandhā, tanpa menyediakan suatu hubungan tata bahasa langsung pada jenis orang mulia yang berbeda-beda yang disebutkan... ini akan... mungkin untuk menafsirkan bacaan ini ditujukan pada pañc'upādānakkhandhā dari bhikkhu di mana kotbah itu diberikan, yang tampaknya telah datang untuk pengajaran tentang bagaimana kemajuan dalam sang jalan.

<23> SHT IV 30e R3, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (a)[gha]taḥ anityato duḥkhataḥ śunyataḥ anātmato manasikartavyā.

<24> SHT IV 30e R4, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (arha)tā nv-āyuṣmaṃ śāriputtra bhikṣuṇā katame dharmā [abhī]kṣṇaṃ ma[na].

<25> SHT IV 30e R5, Sander and Waldschmidt 1980: 85: śalyataḥ aghataḥ anityataḥ duḥ[khataḥ śu](nyataḥ).

<26> Penambahan saya atas negasi pada permulaan dipandu oleh konteks, karena dengan pencapaian pembebasan sempurna tidak ada lagi yang harus dicapai atau direalisasikan; cf. juga paralel SN 22.122 dalam SN III 168,35: n'atthi ... arahato uttari (Ce: uttariṃ) karaṇīyaṃ, komentar pada bacaan saat ini dalam Vastusaṃgrahaṇī, T 1579 dalam T XXX 779b22: 若已證得阿羅漢果, 更無未得為得乃至未證為證故, 正勤修習但為現法樂住, dan pembahasan dalam Wēn dan Sū 2011: 68f. Kehilangan negasi kenyataannya bukanlah kejadian yang tidak umum dalam transmisi teks-teks berbahasa India dan dengan demikian semua semakin diharapkan dalam penerjemahan yang didasarkan teks berbahasa India.

<27> SHT IV 30e R6, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: yāvad-eva dṛṣṭadharmasukhavihā[ra]. SN 22.122 dalam SN III 168,35 menjelaskan bahwa bagi seorang arahant di sana tidak ada lagi yang harus dilakukan, ataupun apa pun yang harus ditambahkan pada apa yang telah dilakukan, tetapi pelatihan dan membuat banyak dari ajaran-ajaran ini membawa pada kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini dan pada perhatian dengan pemahaman jernih.

<28> Paralel: SN 22.21 dalam SN III 24,14, SHT IV 30e R7-10, Sander dan Waldschmidt 1980: 85f, dan BL Or. 8212/103A+B Stein Kha.ii.1.c & 8.a & 9.a, Chung 2009: 28. Satu bagian dari SĀ 260 telah diterjemahkan oleh Choong 2000: 70.

<29> SHT IV 30e R7, Sander dan Waldschmidt 1980: 85: (pa)jagāma upety-āyuṣmatānandena[ s]ā. BL Or. 8212/103A+B r5, Chung 2009: 28: (athā)[y]u[ṣm]ān ānaṃdo ye(na). Dengan demikian walaupun penggalan SHT sama dengan SĀ 260, penggalan Stein bersesuaian dengan SN 22.21 dalam SN III 24,15 dalam melaporkan bahwa adalah Ānanda yang mendekati Sang Buddha untuk bertanya tentang lenyapnya.

<30> SHT IV 30e R8, Sander dan Waldschmidt 1980: 86: (ā)[y]uṣmann-ānanda kaṃ[ci] d-eva [pra]deśaṃ [sa](cet)(avakāśaṃ kuryāḥ praśnasya vyākaraṇāya).

<31> BL Or. 8212/103A+B r6, Chung 2009: 28: bhadata ucyate, katamo [bh](adanta).

<32> SHT IV 30e R9, Sander dan Waldschmidt 1980: 86: [ i]ty-ucyate, paṃc-eme āyuṣmaṃ śāri(puttra), dan SHT IV 30e R10: śāriputtra upādānaskandhaḥ pūrvvamabhi. Choong 2000: 70 alih-alih menerjemahkan bacaan saat ini dalam SĀ 260 sebagai “lima kelompok unsur kehidupan dengan kemelekatan berlandaskan pada bentukan dan berlandaskan pada pemikiran keluar”.

<33> BL Or. 8212/103A+B r7, Chung 2009: 28: (vayadha)rmi virāgadharmi nirodhadharmi tasya nirodhān nirodha ity ucyate, vedanā saṃjñā saṃskāra, dan BL Or. 8212/103A+B r8: (i)me ānaṃda paṃcopādānaskandhā anityāḥ saṃskṛ(t)āḥ cetitā pratītyasa[ṃ](utpannāḥ). SN 22.21 dalam SN III 24,22 dengan sama menyatakan bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, bersifat dapat hancur, bersifat melenyap, bersifat memudar, dan bersifat melapuk. Setelah Sang Buddha menguraikan sebanyak ini sehubungan dengan semua lima kelompok unsur kehidupan, SN 22.21 selesai; dengan demikian tidak ada padanan pada konfirmasi yang diberikan dalam SĀ 260 oleh Sāriputta atas penjelasan yang disampaikan oleh Ānanda.

<34> BL Or. 8212/103A+B r9, Chung 2009: 28: (āyu)ṣmān ānaṃdo bhagavato bhāṣitaṃ abhyanandat.

<35> Paralel: SN 22.83 dalam SN III 105,1.

<36> SN 22.83 dalam SN III 105,2 memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya.

<37> Pada SN 22.68 dalam SN III 105,8 referensi pada baru saja ditahbiskan dirumuskan oleh Ānanda dalam bentuk orang pertama jamak.

<38> SĀ 261 dalam T II 66a8 memiliki 生法 sebagai padanan pada upādāya dalam SN 22.83 pada SN III 105,10. Terjemahan saja mengikuti indikasi dalam Hirakawa 1997: 832 s.v. 生 bahwa karakter ini dapat, selain maknanya yang lebih umum utpāda, juga menerjemahkan upāda. Mungkin suatu kebingungan antara utpāda dan upāda telah hadir dalam teks berbahasa India yang digunakan untuk menerjemahkan SĀ 261. Saya telah memutuskan berlawanan dengan penerjemahan harfiah dari teks Mandarin seperti yang sekarang, karena ini tidak benar-benar bekerja untuk konteksnya. Keadaan-keadaan masih “muncul” dalam kasus seorang arahant, walaupun seorang arahant tidak lagi membayangkan mereka sehubungan dengan “aku adalah ini”, dst., yang persisnya karena seorang arahant tanpa “kemelekatan” pada keadaan apa pun. Yaitu, membayangkan sehubungan dengan “aku adalah ini” tidak disebabkan hanya oleh kenyataan bahwa keadaan-keadaan itu telah “muncul”, tetapi agaknya terjadi karena seseorang “melekat” pada keadaan-keadaan itu.

<39> SN 22.83 dalam SN III 105,15 menyatakan bahwa orang yang memegang cermin atau mangkuk air bisa seorang pemuda atau pemudi, yang menyukai hiasan.

<40> Mengikuti Yìnshùn 1983: 53 catatan no.2, yang menyarankan menghapus karakter 不 yang ditemukan pada akhir kalimat, yang akan mengubah pernyataan itu menjadi pertanyaan.

<41> Pada SN 22.83 dalam SN III 106,3 Ānanda menjelaskan bahwa ia membuat penembusan dalam Dharma setelah mendengarkan ajaran ini, di mana kotbah itu berakhir. Dengan demikian SN 22.83 tidak memiliki padanan pada referensi dalam SĀ 261 tentang para pertapa ajaran menyimpang, dst.

<42> Paralel: SN 22.90 dalam SN III 132,13 dan sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 27,21, yang diidentifikasi sebagai suatu kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 26 (§31). SĀ 262 telah diterjemahkan oleh Choong 2004: 16-28.

<43> SN 22.90 dalam SN III 132,13 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Sang Buddha telah mencapai Nirvāṇa akhir.

<44> Seperti yang dijelaskan von Hinüber 1992: 14-18, pembuka pintu demikian berfungsi untuk membuka suatu jenis kunci sederhana yang ditemukan pada vihara-vihara India kuno di dalam sebuah pintu, yang grendelnya dapat ditutup dari luar dengan bantuan seutas tali yang dihubungkan pada grendel ini dan kemudian diletakkan melalui lubang kecil pada pintu agar dapat diakses dari luar. Namun tali yang sama tidak cukup dengan sendirinya untuk membuka pintu dari luar, di mana sebuah pembuka pintu dibutuhkan. Dengan bantuan pembuka pintu demikian pintu apa pun dengan jenis kunci ini dalam sebuah vihara dapat dibuka untuk masuk dan menyampaikan beberapa pesan kepada bhikkhu yang tinggal di dalamnya.

<45> Pada SN 22.90 dalam SN III 132,15 ia meminta pengajaran pada sore hari, setelah bangkit dari pengasingan diri.

<46> Cf. Pradhan 1967: 27,21: sarvadharmā anātmāna iti.

<47> Pengajaran pada SN 22.90 dalam SN III 132,22 adalah bahwa masing-masing kelompok unsur kehidupan adalah tidak kekal dan bukan diri.

<48> Menurut SN 22.90 dalam SN III 133,6, pikirannya gelisah dan kemelekatan muncul dalam pemikiran “apakah diriku?”, yang tidak akan terjadi jika ia telah melihat Dharma.

<49> Bahwa Ānanda sebelumnya melayani Sang Buddha tidak disebutkan secara eksplisit dalam SN 22.90.

<50> SN 22.90 dalam SN III 133,17 tidak menjelaskan bahwa ia telah pergi mengumpulkan dana, dst., tetapi hanya melaporkan bahwa ia meninggalkan tempat kediamannya secara berurutan, membawa mangkuk dan jubah, dan mendekati Kosambī.

<51> Menurut SN 22.90 dalam SN III 134,22, Ānanda mencatat bahwa Channa telah membuka dirinya dan mematahkan ketumpulannya sendiri. Gagasan ketumpulan batin mendapatkan penguraian yang lebih terperinci dalam MN 16 dan paralelnya; cf. Anālayo 2011a: 128f.

<52> Pernyataan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.90, yang secara langsung melanjutkan dari Channa mematahkan ketumpulannya ke pernyataan Ānanda bahwa Channa sekarang mampu memahami Dharma.

<53> SN 22.90 tidak memasukkan mereka yang bergantung pada dua ekstrem sebagai kebingungan (viparīta).

<54> Pernyataan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.90. Perbedaan lainnya adalah bahwa SN 22.90 pertama-tama menyebutkan melihat munculnya dan lenyapnya dunia, sebelum beralih pada kondisi yang melekat dari orang-orang di dunia dan menyatakan bahwa hanya dukkha yang muncul dan lenyap.

<55> SN 22.90 dalam SN III 135,15 melanjutkan secara langsung pada dua belas mata rantai penyajian kemunculan bergantungan, tanpa didahului dengan sebuah pernyataan tentang kondisional spesifik.

<56> SN 22.90 tidak secara eksplisit melaporkan [pencapaian] pemasuk-arus Channa, tetapi hanya pernyataannya berikutnya yang memberitahukan Ānanda tentang realisasinya.

<57> Menurut SN 22.90 dalam SN III 135,23, Channa menyatakan bahwa ketika mendengarkan ajaran ini ia membuat penembusan dalam Dharma, di mana setelah itu SN 22.90 berakhir.

<58> Paralel: SN 22.101 dalam SN III 152,24 (sebagian besar SĀ 263, kecuali untuk bagian pendahuluan tentang mengetahui dan melihat dan tentang perenungan lima kelompok unsur kehidupan, juga memiliki sebuah paralel pada AN 7.67 dalam AN IV 125,10), sebuah paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 195ff, dan sebuah kutipan kotbah dalam Bhaiṣajyavastu dari Mūlasarvāstivāda Vinaya, T 1448 dalam T XXIV 31b22 (padanan Tibetan diringkas dan hanya memiliki awal kotbah), SĀ 263 telah diterjemahkan oleh Glass 2007: 222f; untuk terjemahan sebagian cf. juga Choong 2000: 34. Untuk kotbah 263 sampai 272 rekonstruksi saya atas judulnya masing-masing  didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 272.

<59> SN 22.101 dalam SN III 152,24 dan paralel penggalan Gāndhārī memiliki Sāvatthī sebagai lokasinya; Bhaiṣajyavastu, T 1448 dalam T XXIV 31b22, alih-alih bersesuaian dengan SĀ 263 dalam hal lokasi.

<60> Penambahan saya atas “[katakan]” didasarkan pada SN 22.101 dalam SN III 152,25 dan paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 196, di mana suatu pernyataan yang dapat dibandingkan disertai dengan ungkapan “aku katakan”, vadāmi atau vaḏemi. Hal yang sama untuk kasus dalam versi Bhaiṣajyavastu, T 1448 dalam T XXIV 31b24: 我知一切諸漏說皆滅盡; cf. juga paralel Tibetan, D 1 kha 61b4 atau Q 1030 ge 57a6: ngas zag pa zad pa shes shing mthong nas gsungs te.

<61> Dalam paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 198, pada titik ini seorang bhikkhu mengintervensi dan bertanya mengapa pikiran beberapa bhikkhu tidak terbebaskan. Ini kemudian memberikan kesempatan bagi jawaban Sang Buddha tentang perlunya pelatihan.

<62> SN 22.101 dalam SN III 154,10 dan paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 207, menyebutkan bahwa ayam betina memiliki delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur; Bhaiṣajyavastu, T 1448 dalam T XXIV 31c4, mengatakan tentang lima, enam, atau dua belas butir telur.

<63> Pemahaman saya tentang bacaan yang saat ini memanfaatkan dari Glass 2007: 222 catatan 14, yang memberikan solusi berdasarkan suatu saran yang dibuat oleh Paul Harrison.

<64> Pada SN 22.101 dalam SN III 154,31 poin perumpamaan adalah tukang kayu tidak mengetahui berapa banyak pegangan itu telah usang hari ini, berapa banyak hari sebelumnya. Tetapi, sekali ia telah usang, ia akan mengetahui bahwa ini telah terjadi.

<65> Menurut SN 22.101 dalam SN III 155,6, tali-temalinya telah rusak ketika kapal itu berada di air selama enam bulan dan sekarang lebih jauh dirusak oleh matahari dan angin, ketika kapal ditarik ke daratan kering selama musim dingin. Ia kemudian hancur ketika hujan turun. Bhaiṣajyavastu, T 1448 dalam T XXIV 32a11, juga menggambarkan kapal yang pertama-tama berada di air selama enam bulan dan kemudian ditarik ke tepi pantai (walaupun dalam catatannya ini terjadi selama musim panas), di mana ia kemudian dirusak oleh angin dan matahari. Ketika belakangan hujan deras turun, ia secara alamiah hancur.

<66> SN 22.101 dalam SN III 155,11 hanya menyebutkan hancurnya belenggu-belenggu, saṃyojana; Bhaiṣajyavastu, T 1448 dalam T XXIV 32a13, memberikan daftar keadaan-keadaan yang merusak yang teratasi, sama seperti SĀ 623.

<67> SN 22.101 tidak melaporkan hasil dari pengajaran itu atau reaksi gembira dari para bhikkhu; Bhaiṣajyavastu, T 1448 at T XXIV 32a16, juga melaporkan bahwa enam puluh orang bhikkhu mencapai pembebasan sempurna.

<68> Paralel: SN 22.96 dalam SN III 143,12, MĀ 61 dalam T I 496a15 dan EĀ 24.4 dalam T II 617b7. Bagian yang menjelaskan hasil karma dari tujuh tahun praktek mettā Sang Buddha memiliki paralel pada AN 7.58 dalam AN IV 89,1 dan It 22 dalam It 15,2.

<69> Menurut MĀ 61 dalam T I 496a20, ia juga membayangkan apakah suatu bentuk jasmani yang kekal dan tidak berubah demikian sepenuhnya menyenangkan, 一向樂.

<70> Mengadopsi varian 白 alih-alih 日.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #7 on: 26 June 2015, 08:14:06 PM »
<71> Pada SN 22.96 dalam SN III 144,3, MĀ 61 dalam T I 496a26 dan EĀ 24.4 dalam T II 617b12, Sang Buddha pertama-tama menolak bahwa bentuk jasmani demikian, dst., dapat eksis, dan kemudian menyampaikan perumpamaan. Perbedaan lainnya adalah bahwa menurut SN 22.96 dalam SN III 144,10 dan MĀ 61 dalam T I 496a28 apa yang beliau ambil untuk memberikan gambaran adalah kotoran sapi, gomayapiṇḍa/牛糞, sedangkan EĀ 24.4 dalam T II 617b21 mengatakan tentang tanah, 土. Vastusaṃgrahaṇī, T 1579 dalam T XXX 781b14 menyebutkan sebuah bola dari lumpur atau bola dari kotoran sapi, 泥團或牛糞團.

<72> Praktek mettā Sang Buddha dan akibat kelahiran kembalinya di alam surga tidak disebutkan dalam SN 22.96 (walaupun kisah yang sama dapat ditemukan pada AN 7.58 dalam IV 89,1 dan It 22 dalam 15,2). MĀ 61 dalam T I 496b5 melanjutkan sama seperti SĀ 264, seperti juga EĀ 24.4 dalam T II 617b27, walaupun tanpa menyebutkan praktek mettā.

<73> SN 22.96 dalam SN III 144,21 dan MĀ 61 dalam T I 496b10 hanya melaporkan suatu kehidupan lampau Sang Buddha sebagai raja ksatria yang dinobatkan, tanpa menyatakan bahwa ia seorang cakkavattin. EĀ 24.4 dalam T II 617c1 mengkualifikasinya sebagai seorang raja pemutar-roda, 轉輪聖王, yang didahului dengan memberikan daftar tujuh permata di mana menurut tradisi seorang raja yang demikian dianugerahi [dengan itu]. Dengan demikian penerapan tema cakkavattin mungkin suatu perkembangan yang belakangan dalam SĀ 264; untuk studi tentang kasus lain yang menunjukkan suatu penerapan yang bertahap dari tema ini cf. Anālayo 2011b.

<74> Urutan daftar berbagai anugerah, yang selalu berjumlah 84.000, dan jenis-jenis anugerah, berbeda-beda dalam versi-versi paralel.

<75> Rekonstruksi saya atas nama-nama diri dari gajah, kuda, kereta, dan kota mengikuti Akanuma 1930/1994: 714, 732, 751, dan 332. Dalam kasus tiga yang pertama, transkripsi menggunakan hubungan suara yang saat ini, SĀ 264 dalam T II 67c28ff, berbeda dari yang ditemukan kemudian dalam T II 68a24ff. Dengan demikian gajah ditunjukkan sebagai 布薩 dan 布薩陀, kuda sebagai 婆羅 dan 婆羅訶, dan kereta sebagai 毗闍耶難提 dan 毘闍耶難提.

<76> Kisah tentang para gajah yang bertemu dengan sendirinya adalah tanpa padanan dalam versi-versi paralel.

<77> SĀ 264 dalam T II 68a7 mendahului nama kereta dengan 跋求, sebuah pasangan karakter yang muncul pada SĀ 809 dalam T II 207b21 sebagai bagian dari terjemahan terhadap sungai Vaggumudā, 跋求摩河, oleh sebab itu saya mengasumsikan bahwa dalam konteks saat ini pasangan kata itu mungkin menerjemahkan suatu kata asli India yang berhubungan dengan vaggu, “indah”.

<78> Rekonstruksi saya atas nama istana mengikuti saran yang dibuat dalam edisi Fóguāng halaman 71 catatan no.3. SN 22.96 dalam SN III 144,26 memberikan namanya sebagai dhammapāsāda, “Istana Dharma”; MĀ 61 dalam T I 496b21 memiliki nama yang sama “Aula Dharma Sejati”, 正法殿; dan EĀ 24.4 dalam T II 617c5 juga mengatakan tentang “Aula Dharma”, 法講堂.

<79> Menilai dari penjelasan dalam Spk II 325,29 tentang ungkapan yang berhubungan dalam SN 22.96, titik fokusnya adalah para wanita yang berasal dari orang tua ksatria dan brahmana.

<80> Mengadopsi varian 釜 alih-alih 飲.

<81> Sementara bacaan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.96, suatu penjelasan yang sama dapat ditemukan pada MĀ 61 dalam T I 496c28, di mana menurutnya tiga perbuatan itu adalah memberi, disiplin-diri, dan pengendalian, dan pada EĀ 24.4 dalam T II 617c28, yang memberikan daftar memberi, berbuat baik, dan pengendalian diri.

<82> Perbedaan antara orang duniawi dan siswa mulia tidak ditemukan dalam dua paralel.

<83> SN 22.96 dalam SN III 147,1 melanjutkan, setelah pernyataan bahwa semua saṅkhāra itu dari masa lampau telah berubah dan lenyap, dengan menganjurkan kekecewaan, lenyapnya nafsu, dan pembebasan dari semua saṅkhāra, yang setelah itu ia berakhir. MĀ 61 dalam T I 496c29 hanya menyatakan bahwa semua itu telah lenyap dan hilang, yang setelah itu secara langsung melanjutkan pada tanya-jawab tentang lima kelompok unsur kehidupan. EĀ 24.4 dalam T II 618a1 mencatat bahwa semua bentukan itu telah selamanya lenyap tanpa sisa, memperlawankan lenyapnya kepuasan yang berasal dari kenikmatan indera dengan kepuasan yang diperoleh dari disiplin mulia, yang setelah itu juga berlanjut pada tanya-jawab tentang lima kelompok unsur kehidupan.

<84> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 65 catatan no.3 untuk menghilangkan salah satu dari dua kemunculan 厭離, yang mungkin hasil dari duplikasi yang tidak disengaja.

<85> MĀ 61 dalam T I 497a28 juga melaporkan bahwa, setelah berlatih dalam pengasingan, bhikkhu itu menjadi arahant.

<86> Paralel: SN 22.95 dalam SN III 140,21, T 105 dalam T I 501a4, T 106 dalam T I 501c8, sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 73,19, dengan sebuah kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 ju 239a2 atau Q 5595 tu 273a3, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013; dan kutipan dalam Bodhisattvayogācāracatuḥśatakaṭīkā, Suzuki 1994: 294,13, dan dalam Prasannapadā, La Vallée Poussin1903/1970: 41,9 (lagi dalam 549,2); cf. juga Viniścayasaṃgrahaṇī dari Yogācārabhūmi, Kramer 2005: 99,1 (8.2.5).

<87> Sementara dalam SN 22.95 tema buih juga mengambil bentuk suatu perumpamaan, pada T 105 dalam T II 501a7 dan T 106 dalam T II 501c12 tema yang sama adalah bagian dari penjelasan dari apa yang benar-benar terjadi, bahwa Sang Buddha melihat beberapa buih terbawa oleh sungai Gangga dan kemudian menarik perhatian para bhikkhu pada hal ini. Ini tampaknya suatu contoh dari pola yang dapat diamati di tempat lain, di mana sesuatu yang mulanya hanyalah suatu perumpamaan akhirnya diambil secara harfiah sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi; untuk contoh yang lebih lanjut cf. Anālayo 2010: 59ff dan Anālayo 2012a.

<88> Sementara SN 22.95 dan T 106 tidak memiliki perbandingan pada penyakit, dst., dan juga tidak menyebutkan ketidakkekalan dan dukkha, topik-topik demikian diambil dalam T 105 pada T II 501a13.

<89> SN 22.95 dalam SN III 141,5 menambahkan bahwa ini terjadi selama musim gugur.

<90> Pada SN 22.95 dalam SN III 141,18 periode waktunya adalah bulan terakhir dari musim panas. T 106 dalam T II 501c29 dengan sama menyatakan bahwa ini terjadi selama hari terakhir dari musim panas; T 105 dalam T II 501a22 hanya mengatakan tentang musim panas secara umum.

<91> T 106 dalam T II 502a9 menambahkan bahwa ketika melihat pohon pisang raja orang itu sangat gembira.

<92> Suatu bagian komentar atas bacaan yang saat ini telah diterbitkan oleh Matsuda 1994: 96f: katha(ṃ) sa(ṃ)skārāḥ kadalīnibhāḥ? tat yathā cakṣuṣmāṃ puruṣa ity āryaśrāvakaḥ, tīkṣṇā kuṭhārī prajñāśastraṃ, vanapraveśaḥ paṃcagatyāttajanaṃ, vividhātmabhāvād duḥkhād vṛkṣasādharmyeṇa kadalīstaṃbho, navo ṛjur iti kārakabhojakātmadarśanaṃ, sa taṃ mūlataś chindya(d ātmada)(r)(rśana)prahāṇaṃ, [patrapa]ṭṭaṃ vinibhujeta anekacetanāsaṃskāravipākamātrapravicayāt, sa tatra phalgum api nāsādayet iti teṣāṃ kālāntarānavasthānāt, kutaḥ punaḥ sāram iti kutaḥ punar atyānimittaṃ dhruvaṃ ātmānaṃ kārakaṃ bhojakaṃ vā drakṣyati.

<93> SN 22.95 dan T 106 tidak merincikan jenis ilusi sulap apa yang diciptakan; T 105 dalam T II 501b10 melanjutkan sama dengan SĀ 265.

<94> Suzuki 1994: 294,13: tadyathā bhikṣavo māyākāro vā māyākārāntevāsī caturma[hāpa]the vivi[dh]aṃ māyākarma vidarśayet, tadyathā hastikāyaṃ rathakāyaṃ pattikāyaṃ taṃ cakṣuṣmān puruṣaḥ paśyen nidhyāyed yoniśaś copaparīkṣeta, tasya taṃ paśyato nidhyāyato yoniśaś copaparīkṣamāṇasyāsato 'py asya khyāyād riktato 'pi tucchato 'py asārato 'pi. tat kasya hetoḥ? kim asmin māyākṛte sāram astīti. Suatu bagian komentar pada bacaan yang saat ini telah diterbitkan oleh Matsuda 1994: 97: kathaṃ māyopamaṃ vijñānaṃ, māyākāraka iti puṇyāpuṇyāniṃjyopagamyavijñā[nā](dhi)(r)vacanaṃ, caturmahāpathe sthi[tve] ti catasṛṣu vijñānasthitiṣu pratiṣṭhāya, caturvidhaṃ māyākarmeti yathā tatra hastikāyādayo dṛśyaṃte, na ca teṣāṃ hastyādikāyānāṃ pariniṣpattir evaṃ tad vijñānaṃ puṇyāpuṇyāniṃjyopagaṃ caturvijñānasthitipratiṣṭhitaṃ narakādikam ātmabhāvam upadarśayati, na ca tenaiva tasyātmabhāvasya pariniṣpattiḥ.

<95> Suzuki 1994: 294,19: evam eva yat kiṃcid vijñānam atītānāgatapratyutpannam ādhyātmikaṃ vā bāhyaṃ vaudārikaṃ vā sūkṣmaṃ vā hīnaṃ vā praṇītaṃ vā yad vā dūre yad vāntike tad bhikṣuḥ paśyen nidhyāyed yoniśaś copaparīkṣeta, tasya tat paśyato nidhyāyato yoniśaś copaparīkṣamāṇasyāsato 'py asya khyāyād riktato 'pi tucchato 'py asārato 'pi rogato 'pi gaṇḍato 'pi śalyato 'py aghato 'py anityato 'pi duḥkhato 'pi śūnyato 'py anātmato 'py asya khyāyāt. tat kasya hetoḥ? kim asmin vijñānaskandhe sāram astīti.

<96> Sebelum beralih pada bait syair, SN 22.95 dalam SN III 142,22 menggambarkan kekecewaan dari seorang siswa mulia sehubungan dengan masing-masing kelompok kehidupan yang kemudian menghasilkan pembebasan.

<97> Cf. La Vallée Poussin 1903/1970: 41,9: phenapiṇḍopamaṃ rūpaṃ, vedanā budbudopamā, marīcisadṛśī saṃjñā, saṃskārāḥ kadalīnibhāḥ, māyopamaṃ ca vijñānamuktamādityabandhunā. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Vetter 2000: 243 catatan no.115, referensi pada Sang Buddha sebagai kerabat matahari, yang ditemukan dengan sama pada SN 22.95 dalam SN III 142,31, memberikan kesan bahwa bait syair ini mulanya tidak disusun oleh Sang Buddha sendiri. Masalah ini tidak muncul pada T 105 dalam T II 501b20, karena di sini bait syair mengatakan tentang ajaran “semua Buddha” seperti ini, 諸佛.

<98> Referensi pada dukkha tidak ditemukan dalam bait syair yang berhubungan dalam SN 22.95, T 105, dan T 106.

<99> SN 22.95 dalam SN III 143,5 tidak menyebutkan suatu perkuburan atau pemakaman dan menganggap tubuh sebagai telah menjadi makanan untuk makhluk lain dan tanpa kehendak; kemunculan lain dari tema ini dalam kotbah-kotbah Pāli mengatakan tentang tubuh yang bagaikan sebatang kayu yang tidak sadar, cf. MN 43 dalam MN 296,8 dan Dhp 41. Ini juga gambaran yang ditemukan dalam Abhidharmakośabhāṣya, cf. Pradhan 1967: 73,19 (= Wogihara 1971: 668,16): āyur ūṣmā 'tha vijñānaṃ, yadā kāyaṃ jahaty amī, apaviddhas tadā śete, yathā kāṣṭham acetana iti. Versi dari perumpamaan pada T 105 dalam T II 501b26 menggambarkan rumput atau jerami yang tidak mengetahui apa-apa, 猶草無所知.

<100> Mengadopsi varian 偽 alih-alih 為.

<101> SN 22.95 tidak menyebutkan duri beracun, bait syair yang berhubungan dalam T 105 tidak memiliki duri beracun ataupun perbandingan dengan pembunuh (T 106 tidak memiliki bait syair ini dan bait syair berikutnya sama sekali).

<103> Bait syair yang berhubungan pada SN 22.95 dalam SN III 143,10, lebih panjang, dengan menganjurkan agar bhikkhu itu membuang semua belenggu, membuat perlindungan bagi dirinya sendiri, berdiam [seakan-akan] kepalanya terbakar, merindukan keadaaan yang tak tergoyahkan; setelah itu SN 22.95 berakhir. La Vallée Poussin 1903/1970: 42,1: evaṃ dharmān vīkṣamāṇo, bhikṣur ārabdhavīryavān, divā vā yadi vā rātrau, saṃprajñānan pratismṛtaḥ, pratividhyet padaṃ śāntaṃ, saṃskāropaśamaṃ śivaṃ.

<104> Paralel: SN 22.99 dalam SN III 149,22, SHT IX 2013 12V3-4, Wille an Bechert 2004: 18, dan kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 471,23, dalam Divyāvadāna, Cowell dan Neil 1886: 197,15, dan dalam Prasannapadā, La Vallée Poussin 1903/1970: 218,4.

<105> Bacaan saat ini memiliki beberapa paralel dalam kutipan: SHT IX 2013 12V3-4, Wille dan Bechert 2004: 18: tṛṣṇāgardūlabandhānāṃ satvānāṃ saṃdhāva ... s(a)ratā[ṃ] pūrvā koṭī na [p]pr(a)[jñā]y(a)te; Pradhan 1967: 471,23: avidyānivaraṇānāṃ sattvānāṃ ... saṃdhāvatāṃ saṃsaratām iti; Cowell dan Neil 1886: 197,15: anavarāgro bhikṣavaḥ saṃsāro 'vidyānivaraṇānāṃ sattvānāṃ tṛṣṇāsaṃyojanānāṃ tṛṣṇārgalabaddhānāṃ dīrgham adhvānaṃ saṃdhāvatāṃ saṃsaratāṃ pūrvā koṭir na prajñāyate duḥkhasya; dan La Vallée Poussin 1903/1970: 218,4: anavarāgro hi bhikṣavo jātijarāmaraṇasaṃsāra iti, avidyānivaraṇānāṃ sattvānāṃ tṛṣṇāsaṃyojanānāṃ tṛṣṇāgāṇḍurabaddhānāṃ (de Jong 1978: 52: °gardūla°, Wille dan Bechert 2004: 30 catatan no. 25: °gaṇḍura°) saṃsaratāṃ saṃdhāvatāṃ pūrvā koṭir na prajñāyata iti (bagian pertama dari kutipan muncul dalam La Vallée Poussin 1903/1970: 328,6 and 535,6).

<106> SN 22.99 tidak memiliki penggambaran ini, karena ia mulai segera setelah dengan mengeringnya samudera.

<107> SN 22.99 dalam SN III 149,31 menyatakan bahwa gunung itu runtuh karena terbakar. Hal yang sama muncul sehubungan dengan penggambaran berikutnya, di mana SN 22.99 dalam SN III 150,3 lagi-lagi menyatakan bahwa bumi lenyap karena terbakar.

<108> SN 22.99 dalam SN III 150,7 dengan sama menunjuk pada seekor anjing, gaddula, yang menyediakan judul untuk SN 22.99 dan, dengan mempertimbangkan dari SHT IX 2013 12V4, Wille dan Bechert 2004: 18: gardūlasūtrasy-otpattiḥ, juga untuk sebuah versi Sanskrit yang paralel.

<109> SN 22.99 tidak menyebutkan kenyataan bahwa belenggu itu tidak berat.

<110> SN 22.99 dalam SN III 150,11 melanjutkan dengan berbeda, karena ia menggambarkan bagaimana orang duniawi membayangkan suatu diri sehubungan dengan masing-masing kelompok unsur kehidupan.

<111> Paralel: SN 22.100 dalam SN III 151,1 dan, selain kutipan kotbah yang sudah disebutkan sehubungan dengan SĀ 266, sebuah kutipan pendek dalam Abhidharmasamuccaya, Pradhan 1950: 47,10.

<112> Untuk kutipan kotbah dari pernyataan ini cf. di atas catatan no.105.

<113> SN 22.100 tidak menyebutkan kenyataan bahwa belenggu itu tidak terpotong.

<114> SN 22.100 dalam SN III 151,6 menggambarkan anjing itu mengambil semua empat posisi tidur, yaitu berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring, dan kemudian menunjuk pada empat posisi tubuh yang sama ketika menggambarkan perilaku orang duniawi.

<115> Dalam SN 22.100 pada SN III 151,12 orang duniawi membayangkan masing-masing kelompok unsur kehidupan sehubungan dengan “ini milikku, ini aku, ini diriku”.

<116> Di sini dan di bawah, mengadopsi varian 所 alih-alih 使.

<117> Pradhan 1950: 47,10: dīrgharātraṃ vo rāgadveśamohā upakliśyanti vikṣipanti citraṃ saṃkliśyanti.

<118> Padanan pada bacaan ini muncul pada poin yang belakangan dalam SN 22.100 pada SN III 152,1, sebagai ilustrasi kedua tentang keanekaragaman, di mana berdasarkannya perbedaan yang ditemukan di antara para hewan adalah hasil [karma] dari pikiran, yang bahkan lebih beranekaragam.

<119> SĀ 267 dalam T II 69c18: 嗟蘭那鳥. Rekonstruksi hipotesis saya dari nama itu berdasarkan pada asumsi bahwa kata aslinya pasti memiliki referensi pada caraṇa, sama seperti caraṇaṃ nāma cittaṃ (dengan mengikuti Be dan Ce; Ee alih-alih membaca caranaṃ, Se membaca caraṇan) dalam bagian yang berhubungan dalam SN 22.100 pada SN III 151,25, yang kemudian dengan beberapa cara disalahpahami menunjuk pada seekor burung. Bodhi 2000: 1088 catatan no.206 menjelaskan bahwa dalam ungkapan Pāli “citta di sini sejajar dengan Skt citra, gambaran. Makna persis dari judul gambaran adalah samar-samar. Spk menjelaskan vicaraṇacitta, ‘gambaran yang berkelana’ [Spk-pṭ: karena mereka mengambilnya dan berkelana di sekitarnya], tetapi caraṇa di sini mungkin berarti perilaku, seperti dalam konteks lainnya.” Spk II 327,18 menjelaskan bahwa para brahmana tertentu memiliki gambaran tentang karma dan buahnya yang dilukis pada sebuah kanvas dan berkelana ke sekeliling menunjukkannya kepada orang-orang, sankhyā nāma brāhmaṇapāsaṇḍikā honti. te paṭakoṭṭhakaṃ katvā tattha nānappakārā sugatiduggativasena sampattivipattiyo lekhāpetvā, 'idaṃ kammaṃ katvā, idaṃ paṭilabhati; idaṃ katvā, idan 'ti dassentā taṃ cittaṃ gahetvā vicaranti.

<120> Menurut SN 22.100 dalam SN III 151,25, gambaran (citta) yang disebut caraṇa telah dirancang (Be dan Ce: cittita, Ee dan Se: cintita) oleh pikiran (citta). Bodhi 2000: 1089 catatan no.207 menjelaskan itu dalam kalimat “terdapat beberapa permainan kata di sini yang tidak dapat dipahami dengan baik dalam terjemahan (ataupun bahkan dalam Skt untuk hal itu). Citta adalah baik pikiran (seperti dalam Skt) dan gambaran (= Skt citra). Cittita (Ee: cintita) adalah “pemikiran keluar” (berhubungan dengan citta, pikiran) dan “berbeda-beda” (berhubungan dengan citra, gambaran).”

<121> Mengikuti Yìnshùn 1983: 73 catatan no.4, yang memperbaiki kemunculan kedua 種種 menjadi 所染.

<122> SN 22.100 dalam SN III 152,11 menjelaskan berbagai warna yang digunakan untuk melukis bentuk wanita atau pria pada sebuah papan, dinding, atau kanvas.

<123> SN 22.100 dalam SN III 152,18 alih-alih melanjutkan dengan tanya-jawab standar tentang lima kelompok unsur kehidupan yang tidak kekal, dukkha, dan bukan diri.

<124> Mengikuti Yìnshùn 1983: 73 catatan no.5, yang memperbaiki 染 menjadi 樂, sesuai dengan bacaan yang tersisa.

<125> Paralel: SN 22.93 dalam SN III 137,14.

<126> SN 22.93 dalam SN III 137,16 menjelaskan berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh menjalar di tepi sungai.

<127> SN 22.93 tidak menyatakan bahwa orang itu terbawa oleh [arus] sungai karena upaya untuk menyeberanginya.

<128> SN 22.93 dalam SN III 138,3 alih-alih menggambarkan bagaimana orang duniawi membayangkan suatu diri sehubungan dengan masing-masing kelompok unsur kehidupan, sama seperti SN 22.99, cf. catatan no. 110 di atas.

<129> SN 22.93 tidak mengambil kasus siswa mulia dan alih-alih memiliki tanya-jawab standar tentang lima kelompok unsur kehidupan yang tidak kekal, dukkha, dan bukan diri, seperti SN 22.100 yang disebutkan di atas dalam catatan no.123. Vetter 2000: 240 menunjukkan bahwa penjelasan tentang siswa mulia dalam SĀ 268 tidak sesuai dengan konteks demikian baik, karena “ini sulit untuk digabungkan dengan perumpamaan (karena orang pada sebuah sungai tidak berpegangan pada rerumputan, dst., mungkin segera menemui kehancuran).”

<130> Paralel: SN 22.33 dalam SN III 33,18 (dan SN 22.34 dalam SN III 34,18, yang identik dengan SN 22.33 kecuali untuk kenyataan bahwa ia tidak memiliki perumpamaan), sebuah paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 177ff, dan penggalan Sanskrit Kha ii 1c4, La Vallée Poussin 1913: 570. SĀ 269 telah diterjemahkan oleh Glass 2007: 219f.

<131> Cf. Kha ii 1c4, La Vallée Poussin 1913: 570: yad bhikṣavo na yuṣmākam tat praj.

<132> SN 22.33 dalam SN III 35,5 dan paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 180, memberikan daftar rumput, batang, cabang, dan daun yang dibawa pergi atau dibakar, tanpa menggambarkan bahwa ini sebelumnya dipotong dari pohonnya.

<133> Pada SN 22.33 dalam SN III 34,8 dan dalam paralel penggalan Gāndhārī, Glass 2007: 180, pertanyaan adalah apakah, ketika melihat ranting, dst., dibawa pergi, para bhikkhu akan berpikir bahwa mereka sendiri dibawa pergi. Para bhikkhu kemudian menjawab bahwa mereka tidak akan memiliki pikiran demikian. Variasi-variasi juga dapat ditemukan dalam hal contoh lain tentang perumpamaan Hutan Jeta: dalam MN 22 pada MN I 141,8 pertanyaannya juga apakah para bhikkhu berpikir mereka sendiri dibawa pergi, sedangkan dalam paralelnya MĀ 200 dalam T I 766a29 rumput dan ranting berpikir mereka dibawa pergi; cf. Anālayo 2011a: 157.

<134> SN 22.33 tidak memiliki tanya-jawab tentang lima kelompok unsur kehidupan yang tidak kekal, dukkha, dan bukan diri.

<135> Paralel: SN 22.102 dalam SN III 155,13.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
« Reply #8 on: 26 June 2015, 08:22:53 PM »
<136> SN 22.102 dalam SN III 155,25 tidak menjelaskan alasan untuk mengguncang apa yang dalam penggambarannya adalah rumput.

<137> SN 22.102 dalam SN III 155,28 alih-alih menggambarkan pemotongan tangkai sekumpulan buah mangga.

<138> Tiga perumpamaan berikutnya dalam SĀ 270 tidak memiliki paralel dalam SN 22.102, yang alih-alih melanjutkan dengan menggambarkan pentingnya persepsi ketidakkekalan dengan contoh yang terbaik di antara akar-akar wangi, kayu wangi dan bunga wangi, yang setelah itu SN 22.102 juga beralih pada raja pemutar-roda.

<139> Perumpamaan ini juga muncul pada MN 28 dalam MN I 184,26 dan MĀ 30 dalam T I 464b23; cf. Anālayo 2011a: 193f.

<140> Perumpamaan yang dapat dibandingkan dapat ditemukan dalam MN 119 pada MN III 94,24 dan paralelnya MĀ 81 dalam T I 556c11; cf. Anālayo 2011a: 676.

<141> SN 22.102 dalam SN III 158,25 memiliki perumpamaan tentang matahari seperti yang terakhirnya, yang lebih jauh dijelaskan muncul pada langit yang tidak berawan pada musim gugur. Ini didahului oleh perumpamaan lain yang menyajikan cahaya bulan sebagai yang terutama di antara bintang-bintang.

<142> Paralel: SN 22.84 dalam SN III 106,5 dan sebuah paralel penggalan Gāndhārī, yang secara singkat digambarkan oleh Allon dalam Glass 2007: 13; saya berhutang pada Mark Allon karena membagikan saya informasi tentang penggalan yang masih belum diterbitkan.

<143> SN 22.84 dalam SN III 106,6 tidak menjelaskan di mana para bhikkhu telah berkumpul dan memperkenalkan Tissa sebagai sepupu Sang Buddha dari pihak ayah.

<144> Menurut SN 22.84 dalam SN III 106,8, tubuhnya telah menjadi seakan-akan teracuni, arah mata angin tidak jelas baginya, ajaran-ajaran tidak jelas, pikirannya diliputi oleh kemalasan dan kelambanan, ia berlatih kehidupan suci dengan ketidakpuasan, dan ia memiliki keragu-raguan tentang ajaran.

<145> Dalam SN 22.84 pada SN III 106,13 beberapa bhikkhu mendekati Sang Buddha untuk melaporkan kepada Beliau tentang apa yang telah terjadi.

<146> Mengikuti Yìnshùn 1983: 82 catatan no.2, yang menyarankan memperbaiki 以 menjadi 與, sesuai dengan bacaan sebelumnya.

<147> Penjelasan tentang mengapa Tissa berada dalam kondisi demikian ini adalah tanpa paralel dalam SN 22.84.

<148> Dalam SN 22.84 pada SN III 106,25 Sang Buddha hanya menunjuk pada diri-Nya sendiri sebagai “guru”, tanpa kualitifikasi “agung”.

<149> Mengadopsi varian yang menambahkan 修.

<150> Dalam SN 22.84 pada SN III 107,10 Tissa hanya menyetujui, tanpa mengulangi apa yang dikatakan Sang Buddha.

<151> Sebelum masuk ke perumpamaan, yang tidak secara eksplisit diperkenalkan sebagai suatu cara bagi orang bijaksana untuk memahami, SN 22.84 dalam SN III 108,7 memiliki tanya-jawab standar tentang lima kelompok unsur kehidupan yang tidak kekal, dukkha, dan bukan diri. Paralel penggalan Gāndhārī tidak memiliki tanya-jawab standar ini.

<152> Mengadopsi varian 夫 alih-alih 大.

<153> SN 22.84 tidak menyebutkan bahwa mereka berjalan bersama.

<154> SN 22.84 tidak menjelaskan apa tempat yang ingin dituju sang penanya. Daftar dalam SĀ 271 kenyataannya tidak bersesuaian sepenuhnya dengan sisa perumpamaan dan penjelasannya, yang hanya menyebutkan suatu kota, bukan suatu desa atau sebuah tempat kediaman.

<155> SN 22.84 dalam SN III 108,22 memiliki hutan lebih dahulu, setelah melewati jalan yang bercabang dua, sedangkan setelah hutan terdapat rawa dan kemudian tebing.

<156> Alih-alih suatu kota tertentu, dalam SN 22.84 pada SN III 108,27 tujuan akhirnya adalah sebuah tempat datar yang menyenangkan.

<157> Menurut SN 22.84 dalam SN III 109,6, hutan menunjuk pada ketidaktahuan, rawa menunjuk pada kenikmatan indera, tebing menunjuk pada kemarahan dan keputusasaan, dan tanah datar yang menyenangkan menunjuk pada Nirvāṇa.

<158> Alih-alih menyatakan bahwa Sang Buddha telah melakukan apa yang harus dilakukan, dst., menurut SN 22.84 dalam SN III 109,11 Sang Buddha mengakhiri nasehatnya dengan membuat Tissa gembira, dengan mengatakannya untuk bergembira, karena Sang Buddha di sana untuk memberinya pengajaran. Paralel penggalan Gāndhārī tampaknya berakhir dengan Tissa menjadi arahant.

<159> Paralel: SN 22.80 dalam SN III 91,3 dan sebuah penggalan Sanskrit, SHT IX 2052, Wille dan Bechert 2004: 70; bagian yang belakangan dari SĀ 272, yang melaporkan Sang Buddha memasukkan meminta dana sebagai penghidupan rendah, dst., memiliki paralel tambahan dalam MĀ 140 dalam T I 647a16, It 91 dalam It 89,10, dan T 765 dalam T XVII 682a20.

<160> SN 22.80 dalam SN III 91,3 memberikan lokasinya sebagai Taman Nigrodha di Kapilavatthu.

<161> SN 22.80 dalam SN III 91,5 menyatakan bahwa Sang Buddha telah membubarkan para bhikkhu.

<162> Dalam SN 22.80 pada SN III 91,10 Sang Buddha mendekati Mahāvana.

<163> SN 22.80 dalam SN III 91,17 melukiskan situasi itu dengan dua perumpamaan yang menggambarkan seekor anak sapi yang memerlukan induknya dan bibit yang memerlukan air. Kedua perumpamaan muncul kembali dalam MN 67 pada MN I 457,34 dan paralelnya EĀ 45.2 dalam T II 771a8; cf. Anālayo 2011a: 367f.

<164> SN 22.80 tidak menyebutkan mengapa Sang Buddha menerima dengan tetap berdiam diri.

<165> Dalam SN 22.80 pada SN III 92,29 Sang Buddha mempertunjukkan kekuatan batin, sehingga para bhikkhu datang kepada-Nya secara sendirian atau berpasangan.

<166> Mengadopsi varian 禁 alih-alih 噤.

<167> SN 22.80 dalam SN III 93,6 tidak memberikan penjelasan terperinci demikian tentang manfaat yang diharapkan dari mengambil penghidupan seorang bhikkhu yang meminta-minta.

<168> Dalam SN 22.80 pada SN III 93,8 Sang Buddha hanya membuat pernyataan yang berhubungan, tanpa meminta konfirmasi para bhikkhu.

<169> Penggambaran ini tidak ditemukan dalam SN 22.80.

<170> Menurut penjelasan dalam SN 22.80 pada SN III 93,17, kayu dari api kremasi terbakar pada kedua ujungnya dan terkotori di tengahnya oleh kotoran.

<171> Pernyataan ini dan penguraian selanjutnya tentang pikiran-pikiran tidak bermanfaat yang berasal dari persepsi tidak ditemukan dalam SN 22.80. Namun suatu penguraian yang dapat dibandingkan muncul dalam MN 78 pada MN II 27,27 dan dalam paralelnya MĀ 179 pada T I 721a22, yang diterjemahkan dalam Anālayo 2012c: 127; cf. juga Anālayo 2011a: 428.

<172> SN 22.80 dalam SN III 93,26 alih-alih hanya menyatakan bahwa ini cukup untuk mengembangkan konsentrasi tanpa tanda, yang pelatihannya bermanfaat banyak.

<173> Kalimat ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.80.

<174> Alih-alih tiga pandangan ini, SN 22.80 dalam SN III 93,29 mengambil dua pandangan, pandangan keberadaan dan pandangan pemusnahan.

<175> SN 22.80 dalam SN III 94,8 melanjutkan dari kemelekatan melalui kemenjadian menuju sisa mata rantai dari dua belas mata rantai kemunculan bergantungan, yang diikuti dengan tanya-jawab standar tentang lima kelompok unsur kehidupan yang tidak kekal, dukkha, dan bukan diri.

Singkatan

ANAṅguttara-nikāya
BeBurmese edition
CeCeylonese edition
DDerge edition
DhpDhammapada
EePTS edition
Ekottarika-āgama (T 125)
Fóguāng佛光電子大藏經 , 阿含藏, 雜阿含
ItItivuttaka
Madhyama-āgama (T 26)
MNMajjhima-nikāya
QPeking edition
SeSiamese edition
Saṃyukta-āgama (T 99)
SHTSanskrithandschriften aus den Turfanfunden
SNSaṃyutta-nikāya
SpkSāratthappakāsinī
Spk-pṭSāratthappakāsinī-purāṇaṭīkā
TTaishō edition, CBETA
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa