Atta itu boleh juga diterjemahkan sebagai "sang aku." Sebelum seseorang mencapai pencerahan hidupnya sebagian besar dipergunakan memuaskan "sang aku" itu. Jadi meskipun atta itu menurut Buddhadharma hakikatnya adalah emptiness (sunya, kong, kosong), namun secara salah dianggap sebagai "ada" oleh sebagian besar insan. Contohnya, saat melecehkan orang lain, ada sesuatu dalam dalam diri manusia yang merasa "puas" dan "gembira." Mereka tidak menyadari bahwa inipun adalah dukkha. Ah sayang sekali!
Teori-teori dalam Buddhadharma sesungguhnya sangat dalam dan indah. Namun sayangnya biasa hanya sebatas teori, jarang dipraktekkan.
Sebagai contoh, melecehkan dan menghina guru-guru lain dengan kata-kata yang kasar itu jelas tidak pernah diajarkan oleh Guru Buddha baik menurut aliran apapun. BAhkan dalam Karaniya Metta Sutta, seseorang diajarkan memikirkan kebahagiaan makhluk lain. Meskipun begitu, kenyataan sungguh beda. Jika kita memantai milis-milis atau forum yang mengakui "Buddhis" bukanlah hal yang langka bila kita menjumpai kata-kata yang kasar dan tidak layak.
Dengan demikian bukanlah kesalahan bila kita mengatakan semua itu hasil karya "atta"2 yang menghendaki ejakulasi spiritual. Ini semua memang demikian, baik di kalangan yang dianggap guru benar maupun sesat. Demikianlah hakekat umat manusia. Mengapa malu mengakui? Faktalah yang bicara.