Lalu bagaimana dengan posting2 rekan-rekan non Mahayanis yang dengan yakin menyatakan bahwa:
1)Tidak ada apa2 setelah parinirvana, karena pancaskandha sudah padam - ini nihilisme
Apakah mereka juga sudah tercerahi?
Tidak ada apa2 stlh parinirvana, memang nihilisme. Dan bagi mereka yg mengatakan ada pun, atau antara ada dan tiada misalnya dari Dharmakaya bisa mengada kembali ke wujud Nirmanakaya, sudah pola pikir yg salah pula.
Saya sendiri belum tercerahi, tetapi merujuk pd bbrp sutta, salah 1 nya dlm Aggi-Vacchagotta Sutta dikatakan bwh Nirvana adlh diluar konsep. Jadi sudah tidak valid bila mengatakan ada, tidak ada, antara ada dan tiada, bukan ada ataupun tiada.
Jika benar bahwa Sang Buddha "merasa" telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ini akan kontradiksi dengan pernyataan rekan-rekan non Mahayanis di milis ini bahwa bila pancaskandha sebagai pendukung adanya atta telah padam, maka tidak ada lagi atta. Jika tidak ada lagi atta, bagaimana mungkin ada perasaan ada suatu "atta" yang telah mencapai pencerahan (dalam hal ini "diri" Sang Buddha sendiri). Justru kaum non Mahayanis yang harus menjawab pertanyaan ini. Bila Sang Buddha memang "merasa" telah mencapai Pencerahan, maka tentunya ia akan merasa bahwa ada "sesuatu" yang telah mencapai pencerahan. Nah, sekali lagi ini kontradiksi dengan pandangan rekan non Mahayanis pada posting2 sebelumnya.
Tidak berkontradiksi, kenyataannya nibbana yg dicapai adalah nibbana yg mengandung sisa kehidupan, krn itu tentu saja masih ada Panca-khandha, dlm hal ini ada kesadaran (vinnana) yg mengenali telah tercapainya pencerahan (arahat), putusnya akar LDM dan kelahiran kembali.
Sedangkan analogi 'bara api yg padam' yg diberi Sang Buddha kpd pemuda Vacchagotta adl analogi utk nibbana yg tdk lagi mengandung sisa kehidupan. Dan bukan berarti kata 'padam' harus diterjemahkan sbg 'tidak ada'.
Tidak terlihat adanya kontradiksi.
Statemen itu diambil dari buku karya salah seorang Mahaguru Zen yang judulnya saya lupa.
Lalu kita akan bahas apakah itu ancaman? Apakah itu sama dengan 10 Tulah? Kalau Anda menyamakan dengan 10 Tulan. Bagaimana dengan kisah pemuda Ambattha yang ada di Ambattha Sutta? Juga ajaran tentang garuka kamma, yang membawa seseorang ke neraka Avichi? Apakah bedanya dengan ajaran 10 Tulah?
Saya harap Anda bisa adil dalam membahas hal ini.
Makasih utk menjawab sumbernya. Saya harap lain kali jika Pak Ivan ingat dpt memposting cerita tsb atau memberi info ttg buku tsb.
Saya tidak tahu menahu apa itu 10 Tulah. Kalau 10 commandment sih tau..
Ttg Garuka kamma, sangat rasional skali dan bersesuaian dg doktrin Hukum Kamma.
1.Buddha tidak mampu mencegahnya. Jadi bila Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, sudah merupakan hukum alam atau proses otomatis bahwa "Dieng!!!" gada Vajirapani akan menghantam kepala Ambattha hingga pecah menjadi tujuh seperti biji arjaka.
2.Buddha mampu mencegahnya. Jika Buddha mampu mencegah Vajirapani agar tidak mengayunkan gadanya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan Beliau. Apakah itu bukan ancaman?
Mana menurut Anda yang benar?
Menurut saya, bukan ke-2nya. Bukan mampu atau tidak mampu, tetapi seperti dalam kebanyakan kasus, Sang Buddha telah meninjau terlebih dahulu apakah pantas atau tidak utk mencegah hal tsb terjadi. Krn bila tidak pantas, tetapi Sang Buddha ttp mencegah, berarti dia telah 'berkeinginan', sesuatu yg tidak lagi ada pada seorang Samma Sambuddha. Krn itulah beliau menyebut diriNya dng 'Tathagata' (tathata &gata/agata), kedemikianan itulah penggambaran Samma Sambuddha.
Jadi hanya sejauh memberikan nasehat lah, peranan beliau dlm kasus Ambattha.
Tidak krn berbelas kasih lantas harus menghentikan apa yg harus terjadi, seorang arahat tidak lagi memiliki 'tanha' toh? Berhati2 dg cara pandang dan pola pikir yg naif, idealistis, krn Buddhism adlh ajaran yg realistis.
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Berhati2 (appamada) jg dengan ajaran Guru2 dan para sesepuh. Sang Buddha tlh mengajarkan ttg Dhamma dan Vinaya sbg pegangan kita sepeninggal beliau nanti. Bahwa Sang Buddha pun telah mengingatkan bahwa ajaran asli beliau tidak akan bertahan lebih dari 500 tahun. Bahkan dlm 16 ramalan mimpi Raja Pasenadi Sang Buddha tlh meramalkan di masa depan ada kecenderungan orang2 utk mendengar dan mengikuti ajaran para anggota Sangha yg terdengar lucu, menarik meski berlawanan dg ajaran Buddha yg sesungguhnya. Seorang guru yg terkenal dan memiliki banyak pengikut belum tentu telah terlepas dr pandangan salah. Apalagi pujangga, yg terkadang demi kata2 bernada indah terpaksa membelokkan sedikit hal yg akan disampaikan.
Dan berhati2lah thdp ajaran yg bersifat rahasia, krn dlm Mahaparinibbana sutta Sang Buddha mengajarkan bahwa ajaran ini adlh ajaran yg jelas sifatnya, tidak ada rahasia seperti seorang guru yg menggenggam tangannya, seolah-olah menyimpan sesuatu.
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Ya pernah membaca Sutta ttg Bhikkhu Sati, tp tidak menangkap adanya kesan 'hardik'. Mungkin sumbernya berbeda ya.
Ttg metode memang berbeda, bagi non-mahayanis, dlm hal ini Theravadin, seorang arahat tidak akan lagi melakukan pembunuhan, penganiayaan atau kekerasan dlm bentuk apapun sekalipun demi kebaikan.
Sedangkan Mahayanis berangkat dr pijakan yg berbeda, bahkan Vairocana digambarkan memegang pedang. Dan ada Guru Zen yg membunuh kucing utk mendamaikan 2 pihak. Sedangkan Sang Buddha tidak membunuh apapun dan kutu sekalipun, demi mendamaikan 2 kubu saat terjadi perpecahan Sangha di Kosambi.
Jd memang tidak ada titik temunya di sini. Tidak perlu dipaksakan.