Jawaban saya soal ini sederhana, kuulangi lagi: Jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.”
Pada titik di mana "tidak ada yang ditolong dan tidak ada yang menolong" tidak ada yang namanya pribadi lagi. Analogi hanya "diri" yang bisa merealisasi nirvana adalah kesesatan yang muncul dari pikiran tercemar. Karen apada mulanya diri itu tiada, maka tidak ada yang merealisasi nirvana.
Saya rasa, dalam hal ini sebenarnya jelas maksud saya.
Kalau saya menolak analogi makan dan kenyang. Pada dasarnya hanya sebagian yang kutolak. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada bedanya antara makan sendir atau disuap, bagaimana pun orang tersebut akan kenyang. Namun kalau anda menyamakan arti rasa kenyang dengan pengalaman nirvana, dalam pemaknaan bahwa diri yang bisa merasakannya atau merealisasikannya, maka analogimu memasuki bagian yang sesat. Karena dalam nirvana tidak ada diri yang mengalami, sedangkan dalam kenyang terdapat diri yang merasakan. Jika memang hanya dalam "koridor cara pencapaian", maka analogi ini hanya sesuai dengan bagaimana "cara ia makan": makan sendiri atau disuap, bukan "bagaimana dia merasakan kenyang."
Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."
Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.
Saya sudah bilang ada kalanya logika dan akal sehat bisa dijadikan panduan awal, ada kalanya tidak. Dalam hal realisasi nirvana, logika dan akal sehat tidak banyak membantu, malahan lebih sering menghalangi. Justru tekad dan semangat positif Bodhisattva yang dapat membantu seseorang merealisasi nirvana. Simpel dan sederhana maksud saya.
Oya... Jadi dengan memakai apakah sebaiknya kita mengevaluasi usaha kita selama ini?
Kesadaran akan hidup itu tidak memuaskan, ketidakkekalan penderitaan dan kebahagiaan.
Hmmm...
Lalu... kalau panduan awal untuk menerima kesadaran apa...?
Maksud saya tidak ada yang paling benar; atawa tidak ada satu ukuran untuk segala hal
Tidak ada satu ukuran untuk segala hal..?
Berarti benar dong... kalau pada suatu kondisi tertentu, membunuh pun bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasi Nirvana...?
Tidak. Tidak ada yang bisa menghasilkan nirvana, yang bisa hanya menyadarinya.
Konteks pertanyaan saya bukan itu. Saya bukan bertanya apakah Nirvana itu adalah sebuah produk. Yang saya tanyakan, apakah benar Nirvana adalah hasil (akibat) dari menjalani Tekad Bodhisattva?
Anda kan sudah dengar dari sekian banya diskusi yang ada di forum ini. Saya rasa padangan ini dari segi aliran Mahayana sudah banyak jawaban. Saya sendiri berpendirian dari awal diskusi tidak akan membahas tentang hal ini.
Justru saya masih ragu dengan kepastian jawaban dari Aliran Mahayana. Karena itulah saya bertanya kepada Anda. Saya membutuhkan jawaban yang pasti. Dan saya tidak bermaksud menanyakan pandangan pribadi Anda; yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.
Yang penting kedua-duanya mengatakan manusia akhirnya bisa merealisasikan Nirvana bukan
Beda waktunya, bro. Kan yang sedang kita bahas adalah
timingnya, bukan tujuan akhirnya.
It's okay. Saya tidak buru-buru koq.
Ow... Saya kira Anda berniat merealisasikan Nirvana saat ini.
Ya, saya baru tahu dari kemarin, kalau "saat ini" versi Anda adalah kehidupan kali ini, kehidupan berikutnya, kehidupan berikut berikutnya, dan seterusnya...
Saya tidak berprasangka demikian terhadap seluruh umat Theravadin. Di dalam Theravada pun diajarkan tentang meditasi dengan objek Metta yang memancarkan metta pada seluruh makhluk hidup. Di dalamnya ada kata-kata "semoga semua makhluk terlepas dari mara bahaya, bebas dari penderitaan fisik dan mental, dan berbahagia-sejahtera." Kalau kata-kata ini dinalar kan memang tidak mungkin harapan ini akan langsung terlaksana. Tapi toh, di dalam Therava meditasi demikian dilakukan juga. Masalahnya adalah ada sebagian kecil Theravadin yang terlalu logis dan menakar semuanya dengan akal melulu.... Ini dilakukan atas nama beberapa individu belaka, bukan seluruh Theravadin
Tapi sungguh aneh kan prasangka di balas dengan prasangka?
Saya tidak mengatakan Anda. Saya pakai majas
totem pro parte. Jadi kalau maksud saya Umat Mahayanis, tentu maksud saya bukan seluruh umatnya...
Karena belum pasti, makanya saya berprasangka. Makanya saya kemukakan di sini. Agar sekiranya ucapan saya salah, maka ada Umat Mahayanis yang bisa mengklarifikasi. Kalau maksud saya klarifikasi, itu artinya menyanggah ucapan saya dan memberikan pernyataan yang lebih tepat. Jadi bukan hanya dengan menyanggah ucapan saya, dan tanpa memberikan pernyataan yang lebih tepat dari ucapan saya itu.
Alam sekitar (objek) ada karena subjek ada. Subjek ada karena alam sekitar (objek) ada. Jadi alam sekitar adalah "alam" sebagaimana subjek meng-"alam"-i
Ow... rupanya begitu.
Saya juga ingin menciptakan alam surgawi sendiri. Bagaimana caranya...?
Kalau pikiran untung dan rugi ditiadakan, maka kebingungan demikian seharusnya tidak ada.
Maukah Anda menolong semua fakir miskin di dunia ini, agar mereka tidak perlu lagi hidup melarat...?
Ini beda bro, dengan orang yang mengorbankan dirinya untuk orang lain. Mengorbankan "diri" adalah wujud dari pelepasan dari konsep diri dalam bentuk tindakan nyata. Kalau mengorbankan yang lain untuk menolong yang lain, bagaimanapun itu yang dikorbankan adalah orang lain.
Saya ulangi pertanyaan saya...
Apakah Anda tega melukai seorang Buddha (baca : diri sendiri) untuk menolong Buddha yang lain (baca : makhluk lain)...?
Pengorbanan diri adalah bentuk praktik dana paramita, yang berarti seseorang melepaskan keterikatannya dengan ego dan segala hal yang mencerminkan kepentingan ego. Berdana di sini bukan hanya melepaskan harta benda dan kehidupan duniawi untuk menjalani kehidupan suci, tapi juga menyiapkan diri untuk melepaskan semuanya yang berkaiatan dengan ego, termasuk "diri" itu sendiri dan pancaskandha. Seorang calon Boddhisattva dikondisikan untuk rela melepaskan tubuh, pikiran, perasaan dan segala hal yang berkaitan dengan ego sebagai bagian proses pemurnian. Dalam hal ini cita-cita untuk mencapai nirvana dapat juga terancam menjadi tujuan ambisius untuk kepentingan pribadi belaka yang akhirnya justru menghambat realisasi nirvana, jika tidak dimurnikan dengan semangat dan tekad untuk pelepasan (dana paramita) terlebih dahulu. Ikrar seorang Bodhisattva adalah bagian dari komitmen untuk melepaskan tujuan pencapaian nirbana semata-mata untuk tujuan egosentrik, yang berarti dengan ikrar ini seorang calon Bodhisattva justru semakin terbantu dalam merealisasi nirvana. Semakin seorang murn dari ego-diri, ia semakin dekat dengan nirvana. Demikianlah penafsiran saya atas hal ini.
Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.
Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”
Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).