//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663611 times)

0 Members and 6 Guests are viewing this topic.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1695 on: 13 August 2009, 07:06:57 PM »
mari bahas point demi point...^^

Quote
Yang menganggap Arhat bisa merosot hanya aliran Sarvastivada.
oke lah....

Quote
Ya to anda ini ngalor ngidul sampe ngomongin topik2 yang lalu!! Wkwkwk..... ya sudah aye jawabin  

Apa anda tahu yang dimaksud dalam "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu sebenarnya adalah kata-kata "kiasan" yang menunjuk pada Dharmakaya?

Jadi ya tidak perlu dipahami secara harafiah bahwa Sang Bodhisattva dari dulu telah tercerahkan. Dan ini ada dalam komentar2 para guru agung Buddhis terhadap Sutra Saddharmapundarika, di mana ditunjukkan bahwa ungkapan "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu adalah Dharmakaya yang dimaksud.
saya hanya ingat topik lalu memang tidak ada jawaban sama sekali.....jadi buat apa membahas A,B,C kalau dari awal saja sudah ada ngandat....selesaikan dulu bukan.^^

kemudian mari bahas ke point

----
apakah bisa Seorang tercerahkan sempurna...kemudian dengan abhinna membentuk sebuah tubuh, lalu tubuh itu entah pergi melacur, pergi dugem, pergi berjudi, kemudian dengan gampang nya berkata.
"ini bukan REAL dari saya" !!!... apa begitu ciri-ciri orang tercerahkan?
mengatakan bahwa nafsu duniawi harus di jauhi, tapi membentuk 1 tubuh....lalu dengan tubuh itu pergi menikmati nafsu duniawi?

justru alasan mengatakan itu merujuk pada dharmakaya, sebenarnya justru tambah kelihatan seperti apa sifat-sifat orang tercerahkan dengan sifat orang terbodohi...
inilah jawaban rancu.
apa bedanya malam hari jadi batman tapi siang hari jadi joker????


----------
kemudian masalah tercerahkan...

Quote
di mana ditunjukkan bahwa ungkapan "Buddha dari dulu telah tercerahkan" itu adalah Dharmakaya yang dimaksud.
jadi apa gunanya buddha menahan lapar dan hampir mati? buat ceritain pengorbanan nya biar murid terharu?
berarti secara tidak langsung "anda sama saja menyatakan bahwa BUDDHA MEMANG BERSANDIWARA"

---------------
Quote
Ini sama dengan ungkapan bahwa "kita sedari dulu adalah Buddha". Ini juga sepatutnya tidak diartikan mentah2 tanpa adanya suatu penjelasan yang tepat. Maksud dari ungkapan ini adalah ke-Buddhaan adalah hakekat sejati dalam diri kita, jadi BUKAN berarti kita dulu Buddha lalu terperosok jadi makhluk samsara. Lah ini memang jadi konyol apabila tidak dipahami dengan tepat.

Apabila kata2 tersebut diartikan mentah2 tentu arti yang dimaksud tidak dapat dimengerti.
saya harap anda bisa bedakan kata "esensi bertolak belakang" dengan "se-arah"
bukan mencari pembenaran malah membelokkan.

bukti lain, juga tercatat pada sutra teratai entah nomor berapa, dikatakan seorang Raja mencari dharma, kemudian bertemu seorang pertapa, pertapa ini mengajarkan dharma pada Raja. raja pun mencapai Sammasambuddha....dan dikatakan siapapun yang mendengarkan dharma ini tidak akan masuk neraka dan akan terlahir di tanah buddha...
pertapa ini adalah devadatta, dan raja ini adalah Gotama....

sungguh ironis, pertapa[devadatta] yg pertama kali melihat kebenaran dharma sekarang malah masuk neraka avici,dan kemudian mana yang dikatakan tidak akan masuk neraka..?
fakta nya sekarang masuk avici.
----------------------
Quote
Lantas apabila seorang Bodhisattva pada tingkat tertentu memang secara upaya kausalya menjelma menjadi makhluk biasa, apakah kita mengatakan pencerahannya merosot? Ya tentu tidak.

saya setuju dengan kata anda, tetapi masalah nya "apa yang dilakukanya ketika menjelama itu?"

kalau buddha yang agung kemudian menjelma entah menjadi pertapa biasa, atau menjadi perumah tangga...
ini masih bisa di terima akal...

tapi kalau sudah menjelma jadi perumah tangga, kemudian mengikuti prilaku kehidupan perumah tangga.
itu yang tanda tanya....

dalam Mahaparinibbana-sutta sang buddha menjelaskan mengenai perkumpulan, disitu Sangbuddha mengatakan "bahkan ketika saya berkumpul ditengah-tengah, mereka pun tidak tahu siapa saya"

tetapi sang buddha disitu mengajarkan dhamma, dan berprilaku sesuai apa yang dikatakannya.
ngomong A berprilaku A.


Quote
Yah ini memang problema umat Buddhis di mana tidak dapat mengakui bahwa dalam tubuh keyakinannya sendiri diperlukan sesuatu yang bersifat "belief", dan tidak selalu dapat mengandalkan logika. "Belief" memang sudah menjadi suatu ciri khas dari agama.
entah lah kalau anda,
tapi saya pribadi lebih melihat fakta baru belief daripada dengar tanpa fakta baru belief sama saja "blind belief"
apa bedanya dengan slogan "percayalah tanpa melihat"  _/\_

Quote
dalam beberapa sutta, dikatakan 5 khandha ini harus di pandang sebagai jijik, dan serangkaian kebusukan di dalamnya, tetapi aneh nya dalam sutra justru menyenangi sebuah bhava/penjelmaan.

Semua aliran Buddhis menganggap 5 skhanda sebagai sesuatu yang menjijikkan. Tapi bukan berarti kita meremehkannya.

Tanpa ada lima skhanda, emang anda bisa bertemu ajaran Buddha, bisa mencerna ajaran Buddha dan bisa hidup?

_/\_
The Siddha Wanderer
yah, tetapi buddha disitu mengatakan
"kelahiran adalah DUKKHA" dan kenyataan nya buddha terus dan terus lahir.....
lalu sekarang.

apakah AKHIR-DUKKHA?
apakah bisa berarti TANPA-AKHIR-DUKKHA ?
----
sekarang anda ingat visudhi? mohon di jawab kalau begitu...

 _/\_
metta.
« Last Edit: 13 August 2009, 07:09:27 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1696 on: 13 August 2009, 07:15:23 PM »
Meski Bro Gandalf ini banyak penafsirannya dan kadang berbelit, jujur ngga semua penjelasan bisa saya terima. Tapi dalam menjawab Bro Gandalf banyak jujur, berusaha menjelaskan dan tidak menyembunyikan hal2 yg ditafsirkan dalam pandangan berbeda mungkin akan disalah artikan. Salut utk sikapnya deh! =D>

p.s
ups cant repeat in 720 hrs ;D
appamadena sampadetha

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1697 on: 13 August 2009, 08:37:04 PM »
Wew bro mercedes, dari jawaban anda, toh semuanya bisa dirangkum jadi satu intinya, maka saya jawab langsung saja.

Pertama-tama, Sang Bodhisattva ketika melakukan upaya kausalya ya tentu tidak enak-enakan mengumbar lobha, dvesa, moha. Sang Bodhisattva tampak seolah2 melakukan tindakan yang melanggar sila, namun ini semua adalah tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menyadarkan para makhluk.

Jadi tindakan Bodhisattva itu bukan tindakan yang disengaja untuk memuaskan sang atman (atta) atau aku. Semuanya ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk dan akibat yang ditimbulkan oleh upaya kausalya Bodhisattva selalu positif.

Pencerahan para Bodhisattva tingkat 8 - 10 tentu lebih tinggi daripada pencerahan Shravakayana Arhat, demikian menurut Mahayana. Jadi Nirvana yang dicapai oleh para Bodhisattva tersebut adalah Nirvana Non- Dual (Apratishtita Nirvana), berbeda dengan Nirvana para Shravakayana Arhat (Anupadisesa Nirvana).

Nirvana Non-Dual memungkinkan para Bodhisattva untuk melakukan tindakan upaya kausalya, yang mungkin tampak seolah2 melanggar sila, namun sebenarnya merupakan tindakan pencerahan. Inilah mengapa dikatakan hanya Bodhisattva tingkat tinggi yang mampu melakukan upaya kausalya dengan tepat 100%. Seorang prthagjana mustahil dapat melakukan upaya kausalya 100%, sehingga para prthagjana jangan coba2 melakukannya, kalau bukan malah terjerumus ke alam-alam rendah.

Contoh dari upaya kausalya adalah ketika Sang Bodhisattva terlahir menjadi Pangeran Mahasattva yang membunuh orang jahat yang berencana membunuh 500 pedagang di atas kapal. Dengan motivasi welas asih, Sang Pangeran membunuh orang jahat itu untuk menyelamatkan hidup kelima ratus pedagang dan menyelamatkan si orang jahat dari kelahiran di alam-alam rendah.

Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.

Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.

Karena Mahayana menganut Nirvana Non Dual yaitu Akhir Dukha pun bukan akhir Dukha, karena pada hakekatnya segala fenomena baik akhir Dukha maupun bukan akhir Dukha adalah kosong (shunya).

Karena Non Dual, kita juga tidak bisa semata2 mencap bahwa Nirvana Mahayana itu berakhir dengan "tanpa akhir dukha". Kita harus ingat bahwa posisi Mahayana adalah Non-Dual.

Quote
jadi apa gunanya buddha menahan lapar dan hampir mati? buat ceritain pengorbanan nya biar murid terharu?
berarti secara tidak langsung "anda sama saja menyatakan bahwa BUDDHA MEMANG BERSANDIWARA"

Anda tampaknya nggak paham dengan apa yang saya katakan. Dharmakaya adalah hakekat ke-Buddhaan yang ada daalm diri kita. "Sandiwara" itupun hanya kiasan dalam Saddharmapundarika Sutra dan tidak patut diartikan sebagai "pura2". Baik Mahayana dan Vajrayana ya mengakui pengorbanan Beliau yang kata anda membuat kita terharu itu. "Sandiwara" di sini dimaksudkan bahwa sebenarnya kita makhluk samsara ini pada hakekatnya memiliki Tathagatagarbha. Karena pada hakekatnya diri kita sebenarnya adalah Buddha [sifat ke-Buddhaan / Buddha Nature], maka perjuangan kita mencapai Nirvana ini seolah-olah tampak sebagai sebuah sandiwara, namun yang namanya "seolah-olah" ya tentu tidak berarti yang sebenar-benarnya bukan?

Jadi sangat jelas di sini sandiwara di sini dimaksudkan untuk menjelaskan hakekat ke-Buddhaan dalam diri, bukan Buddha main sandiwara jadi Siddharta. La kalau Buddha bersandiwara seperti itu, ya saya juga tidak percaya.

Quote
bukti lain, juga tercatat pada sutra teratai entah nomor berapa, dikatakan seorang Raja mencari dharma, kemudian bertemu seorang pertapa, pertapa ini mengajarkan dharma pada Raja. raja pun mencapai Sammasambuddha....dan dikatakan siapapun yang mendengarkan dharma ini tidak akan masuk neraka dan akan terlahir di tanah buddha...
pertapa ini adalah devadatta, dan raja ini adalah Gotama....

Waduh gini deh...... sebut saja si Joko dan si Bodhi.

Si Joko belajar agama Buddha selama 1 tahun dan percaya bahwa Sutra teratai dapat membawa pada Ke-Buddhaan. Ia mempelajarinya namun tidak mampu mencapai pencapaian apa2 karena halangan karmanya.

Ketika ia bertemu Bodhi, ia mengulang ajaran Sutra Teratai pada Bodhi. Tampaknya karma bajik Bodhi mendukung sehingga ia dapat memahaminya atas USAHANYA SENDIRI dan menjadi Buddha.

Nah sayangnya si Joko masih belum dapat mencapai akhir Dukha, akhirnya terjerumus kembali dalam roda samsara dan ia terjebak dalam lobha, dvesa, moha.

Ini sama ketika mislanya si A memberikan kopian Sutra Teratai yang didapatnya dari vihara pada si B. Nah si B mampu mencapai Buddha, tapi si A malah tidka mampu mencapainya. Ini adalah kejadian yang wajar, meskipun kita mungkin akan heran "loh kok si A yang ngasih malah nggak mampu mencapai apa2?", tapi ini sangat mungkin, karena batinnya sendiri belum teguh, si A hanya merasa takjub, hafal dan yakin akan isi Sutra namun gagal mempraktekkannya dengan benar.

Ini sama dengan Devadatta dan Sakyamuni.

Quote
yah, tetapi buddha disitu mengatakan
"kelahiran adalah DUKKHA" dan kenyataan nya buddha terus dan terus lahir.....
lalu sekarang.

Saya kutip jawaban Master Zen Tienju:

Pertanyaan: Apakah kelahiran kembali di Tanah Suci bertentangan dengan kebenaran “Tanpa Kelahiran”?

Jawaban:
Yang Arya Zhiyi mengatakan:
“Yang bijak, yang dengan tulus berjuang untuk terlahir kembali di Tanah Suci, juga mengerti bahwa hakekat kelahiran kembali adalah kosong. Ini adalah Tanpa-Kelahiran yang tepat dan merupakan arti dari ‘ ketika Pikiran Murni maka tanah-tanah Buddha akan murni.’
Yang tumpul dan bodoh, di lain sisi, terjebak dalam konsep kelahiran. Mendengar istilah “Lahir”, mereka mendefinisikannya sebagai kelahiran yang nyata, mendengar ‘Tanpa-Kelahiran', mereka melekat pada arti harafiahnya dan berpikir bahwa tidak ada kelahiran kembali di mana-mana. Sedikit yang sadar bahwa “Kelahiran tentunya adalah Tanpa-Kelahiran dan Tanpa-Kelahiran tidak menghalangi Kelahiran.”


Juga telah dikatakan oleh seorang guru Zen:

“Jika kita memahami Kelahiran sebagai kelahiran kembali yang sebenar-benarnya, kita menyimpang menuju arah Eternalisme, jika kita memahami Tanpa Kelahiran yang berarti bahwa tidak ada kelahiran yang sebenar-benarnya, kita melakukan kesalahan Nihilisme. Kelahiran namun Tanpa Kelahiran, Tanpa kelahiran namun Kelahiran, pastinya adalah ‘makna yang ultimit.’”


Guru Zen yang lain mengatakan: “Kelahiran tentunya adalah kelahiran, namun kembali ke Tanah Suci adalah tidak kembali lagi (non-returning).”

…. Berbagai tanda Kelahiran dan Kematian secara salah muncul, seperti dalam mimpi, dari Pikiran Sejati…. Ketika kita memahami kebenaran ini, kelahiran kembali di Tanah Suci adalah kelahiran kembali dalam keadaan Hanya-Pikiran; di antara Kelahiran dan Tanpa Kelahiran, tidak ada kontradiksi arti yang eksis!


Bisa dilihat bahwa penjelasan di atas merujuk Pada Tanah Suci. Ini juga dapat diterapkan dalam Dunia Saha kita yang merupakan Tanah Suci Sakyamuni Buddha. Seseorang yang mencapai Nirvana Non-Dual, menyadari secara penuh bahwa tidak ada kontradiksi antara “Adanya Kelahiran” dengan “Akhir Kelahiran”, sehingga Beliau secara bebas melakukan berbagai tindakan pencerahan di dunia samsara.

Namun karena seorang Bodhisattva tingkat tinggi telah mencapai Nirvana Non-Dual, maka Beliau akan dapat mencapai "Kelahiran" di Tanah Suci Sakyamuni Buddha yaitu Dunia Saha kita, namun Beliau sekaligus juga mencapai "Tanpa-Kelahiran" / "Akhir Kelahiran" di Dunia Saha yang juga adalah samsara ini. Kelahiran kembali seorang Bodhisattva yang seprti itu adalah bebas dari lobha, dvesa dan moha, dan tidak terbayangkan oleh pikiran kita yang terbatas, yang belum merealisasi Non-Dualisme.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca penjelasan Tiantai Master Zhiyi:

All phenomena are by nature empty, always unborn (Non-Birth), equal and still. Are we not going against this truth when we abandon this world, seeking rebirth in the Land of Ultimate Bliss? The (Vimalakirti) Sutra teaches that “to be reborn in the Pure Land, you should first purify your own Mind; only when the Mind is pure, will the Buddha lands be pure.” Are not Pure Land followers going against this truth?

Answer

This question involves two principles and can be answered on two levels.
(A) On the level of generality, if you think that seeking rebirth in the Pure Land means “leaving here and seeking there”, and is therefore incompatible with the Truth of Equal Thusness, are you not committing the same mistake by grasping at this Saha World and not seeking rebirth in the Pure Land, i.e., “leaving there and grasping here”? If, on the other hand, you say, “I am neither seeking rebirth there, nor do I wish to remain here,” you fall into the error of nihilism.

The Diamond Sutra states in this connection:
“Subhuti, ... do not have such a thought. Why? Because one who develops the Supreme Enlightened Mind does not advocate the (total) annihilation (of the marks of the dharmas.)” (Bilingual Buddhist Series, Vol. 1. Taipei: Buddhist Cultural Service, 1962, p. 130.)

(B) On the level of Specifics, since you have brought up the truth of Non-Birth and the Pure Mind, I would like to give the following explanation. Non-Birth is precisely the truth of No-Birth and No-Death. No-Birth means that all dharmas are false aggregates, born of causes and conditions, with no Self-Nature. Therefore,
they have no real “birth nature” or “time of birth”. Upon analysis, they do not really come from anywhere. Therefore, they are said to have No-Birth. No-Death means that, since phenomena have no Self-Nature, when they are extinguished, they cannot be considered dead. Because they have no real place to return to,
they are said to be not extinct (No-Death).
For this reason, the truth of Non-Birth (or No-Birth No-Death) cannot exist outside of ordinary phenomena, which are subject to birth and death. Therefore, Non-Birth does not mean not seeking rebirth in the Pure Land.


The Treatise on the Middle Way states:
“Dharmas (phenomena) are born of causes and conditions. I say they are thus empty. They are also called false and fictitious, and that is also the truth of the Middle Way.”

It also states:
“Dharmas are neither born spontaneously nor do they arise from others. They are born neither together with nor apart from causes and conditions. They are therefore said to have Non-Birth.”

The Vimalakirti Sutra states:
“Although he knows that Buddha Lands / Are void like living beings / He goes on practicing the Pure Land (Dharma) / to teach and convert men.” (Charles Luk, The Vimalakirti Nirdesa Sutra, p. 88.)

It also states:
“We can build mansions at will on empty land, but it is impossible to build in the middle of empty space.” When the Buddhas preach, they usually rely on the Two Truths (ultimate and conventional). They do not destroy the fictitious, provisional identities of phenomena while revealing their true characteristics.
That is why the wise, while earnestly striving for rebirth in the Pure Land, also understand that the nature of rebirth is intrinsically empty. This is true Non-Birth, and also the meaning of “only when the Mind is pure, will the Buddha Lands be pure”. The dull and ignorant, on the other hand, are caught up in the concept of birth. Upon hearing the term “Birth”, they understand it as actual birth; hearing of “Non-Birth”, they (cling to its literal meaning) and think that there is no rebirth anywhere. Little do they realize that “Birth is precisely Non-Birth, and Non-Birth does not hinder Birth.”


Quote
sekarang anda ingat visudhi? mohon di jawab kalau begitu...

Yap saya sudah ingat.... maksudnya Visuddhi magga-nya Mahayana?  Maaf saya belum sempat menulis dan menyusun tulisan yang membahas hal tersebut....krn wkt liburan pun saya banyak kerjaan.

Tapi sebagai dasarnya ya baca dulu tahapan meditasi [Bhavanakrama] karya Kamalashila. Di sana disinggung sedikit tentang Buddhanusmrti (Nien Fo).

Dalam Pratyutpanna Samadhi dan karya-karya Samatha-Vipashyana Zhiyi dijelaskan lebih lanjut mengenai Buddhanusmriti ini, di mana dapat membawa seseorang pada samatha sampai muncul nirmana-nirmana para Buddha, lalu seseorang melanjutkannya dengan vipashyana dengan mengamati bentuk-bentuk pikiran dan nirmana para Buddha sebagai hakekat shunyata (kekosongan).

Seorang pemuka agama Buddha Jodo Shu (Sukhavati) di Jepang mengatakan bahwa Buddhanusmrti memang dapat mengnatar pada samatha dan pencapaian dhyana-dhyana (jhana), dan ini berdasarkan pengalamannya sendiri.

Metode Yixing Sanmei (Ekavyuha Samadhi) mengatakan seseorang harus memahami ajaran bahwa semua adalah kosong, tidak kekal, tanpa inti (Prajnaparamita), baru seseorang melafalkan nama Buddha sampai muncul nirmita2 para Buddha dan seseorang melanjutkannya dengan mengamati bentuk-bentuk pikiran tersebut (vipashyana) dan merealisasikan bahwa pada hakekatnya / esensi Dharmadhatu Sukhavati dan Amitabha adalah shunyata [kosong].

Jadi tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan metode Buddhanusmrti ini membawa pada tingkat2 pencerahan karena metode tersebut berpuncak pada vipashyana.

Vipashyana Sukhavati yang diajukan oleh Tan Luan sedikit berbeda, namun sama-sama melalui proses "mengamati" yang merupakan ciri khas vipashyana, berbeda dengan samatha yang "konsentrasi".

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 14 August 2009, 06:18:58 AM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1698 on: 13 August 2009, 08:42:37 PM »
Quote
Meski Bro Gandalf ini banyak penafsirannya dan kadang berbelit, jujur ngga semua penjelasan bisa saya terima. Tapi dalam menjawab Bro Gandalf banyak jujur, berusaha menjelaskan dan tidak menyembunyikan hal2 yg ditafsirkan dalam pandangan berbeda mungkin akan disalah artikan. Salut utk sikapnya deh! Claps

Anumodana  _/\_

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1699 on: 13 August 2009, 09:37:32 PM »
Ini penjelasan lain mengenai Devadatta:

"Sang raja pada saat itu adalah kehidupan lampau dari diriKu. Sang pertapa pada saat itu adalah kehidupan lampau dari Devadatta. Devadatta adalah guruKu.' (P.197, L.10.):

Senchu Murano menerjemahkan kata, "zen-chishiki" sebagai seorang guru. Namun, kata "zen-chishiki" memiliki makna yang lebih dalam. Secara harafiah zen berarti baik, sedang chishiki berarti kebijaksanaan. Penerjemah lain dari sutra ini menggunakan kata "sahabat" atau "persahabatan" untuk kata chishiki.Hubungan antara Devadatta dan sang Buddha tidak dapat dipisahkan dengan hubungan antara sang raja dan sang pertapa. Karena hubungan tersebut, Devadatta yang jahat itu akan menjadi seorang Buddha. Nichiren Shonin juga berkata bahwa Yoritsuna Hei-no-saemon* adalah zen-chishiki nya yang sesungguhnya.  Yoritsuna mencoba mengeksekusi beliau di Tatsu-no-kuchi, Kamakura. Akibat pengeksekusian tersebut, Nichiren menyadari bahwa ia adalah kelahiran kembali dari Visistacarita Bodhisattva. Pasti ada segelintir orang yang mengkritik Anda dengan tajam. Bisakah Anda menerima kritik tersebut sebagai pelajaran berharga ataukah tidak? Jika Anda bisa menerima sang pengkritik sebagai guru yang baik atau sahabat, Anda akan dapat berkembang secara spiritual ke tingkatan yang lebih tinggi. Maka mereka adalah zen-chishiki bagi Anda.

(Penjelasan oleh Bhiksu Shokai Kanai, bhiksu aliran Nichiren Shu, aliran Nichiren yang mainstream dan masih diterima oleh Japan Buddhist Federation)

*Pada tahun 1271, Hei-no-Saemon-no-jo Yoritsuna, orang yang bertanggungjawab atas tentara pemerintah, memimpin tentara untuk menyerang kediaman Nichiren Shõnin di Matsubagayatsu. Ia menyatakan Nichiren sebagai seorang penjahat. Ia memutuskan untuk menghukum mati Nichiren Shõnin secara diam-diam, dengan mengunakan alasan untuk mengasingkan Nichiren.
« Last Edit: 13 August 2009, 09:40:07 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1700 on: 14 August 2009, 09:55:19 AM »
Saudara Gandalf,

Quote
ertama-tama, Sang Bodhisattva ketika melakukan upaya kausalya ya tentu tidak enak-enakan mengumbar lobha, dvesa, moha. Sang Bodhisattva tampak seolah2 melakukan tindakan yang melanggar sila, namun ini semua adalah tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menyadarkan para makhluk.

Jadi tindakan Bodhisattva itu bukan tindakan yang disengaja untuk memuaskan sang atman (atta) atau aku. Semuanya ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk dan akibat yang ditimbulkan oleh upaya kausalya Bodhisattva selalu positif.

Pencerahan para Bodhisattva tingkat 8 - 10 tentu lebih tinggi daripada pencerahan Shravakayana Arhat, demikian menurut Mahayana. Jadi Nirvana yang dicapai oleh para Bodhisattva tersebut adalah Nirvana Non- Dual (Apratishtita Nirvana), berbeda dengan Nirvana para Shravakayana Arhat (Anupadisesa Nirvana).
berarti sang Bodhisatva ini bisa diartikan "demi menyelamatkan makhluk hidup, malah melanggar SILA"
ini apa bedanya dengan ngomong A prilaku B... sama kan.

setahu saya dalam praktik SILA, Bahkan ketika bikkhu ini pun mau dibunuh atau dipancung tetap berpegang teguh pada SILA....bukan semata-mata menyelamatkan diri malah melanggar SILA..
ini namanya pembenaran diri, bukan kebenaran.
jadi bisa bikkhu ketika mau dibunuh, malah balik hajar?
coba lihat bikkhu di Shaolin yang mengusai Kungfu, dan bikkhu myanmar yang disikat junta....sejarah membuktikan beda kan...
yang 1 melawan yang 1 terima nasib.
pernah bhante Aggadipo bermasalah dengan preman, ketika ditanya kalau preman itu bertindak?
bhante jawabnya  " kabur "
sama dengan bikkhu Thai, saya pernah bertanya dulu, ketika kita di serang apa yang kita harus lakukan?
dikatakan "kabur dulu" baru dari kejauhan coba pancarkan pikiran metta.

apa kalau bikkhu mahayana langsung ambil senjata balik hajar? dengan alasan pembelaan diri?..

jelas sekali disitu ada 2 pikiran.
1. mau menolong.
2. melanggar SILA....
ketika menolong tapi harus melanggar SILA....pasti bertabrakan dengan kondisi batin sekalipun menolong nyawa orang......[ apalagi batin seorang tercerahkan itu sudah pasti 100% SATI SAMPAJANA ]

disini lebih jelas siapa yang menelan mentah-mentah kata "demi menolong makhluk hidup"

contoh kasus seperti ini,
apabila seorang bikkhu, ketika melihat matahari di atas, dalam dirinya timbul keragu-raguan dan ada 2 pikiran.
1. apakah belum lewat tengah hari?
2. apakah sudah lewat tengah hari?

tetapi ketika bikkhu tersebut dengan beralasan bahwa saya lapar, dan ini belum lewat tengah hari [ karena saya belum melihat JAM ] ini sama saja SALAH...
coba lihat kondisi batin pada saat itu...mengapa dikatakan salah...
1.kondisi batin ini sudah penuh keraguan.
2.terjadi pembenaran diri [ dengan memastikan bahwa ini belum lewat tengah hari ]
3.parahnya mengambil keputusan pada saat itu...
orang yang memiliki SATI tidak mungkin mengambil keputusan disaat seperti itu..
saya rasa topik yg mirip ini pernah dibawakan AjahnChah dan dipost saudara Ryu.

jadi alasan bahwa Boddhisatva atau Gotama [ telah mencapai pencerahan sempurna ]
pasti memiliki SATI 100% tapi bisa berbuat seperti melanggar sila demi menolong?

apa bedanya alasan bahwa demi menolong IBU saya kelaparan, maka saya MENCURI.
demi semata-mata welas asih kepada IBU.


---------------------------------------

Quote
Pencerahan para Bodhisattva tingkat 8 - 10 tentu lebih tinggi daripada pencerahan Shravakayana Arhat, demikian menurut Mahayana. Jadi Nirvana yang dicapai oleh para Bodhisattva tersebut adalah Nirvana Non- Dual (Apratishtita Nirvana), berbeda dengan Nirvana para Shravakayana Arhat (Anupadisesa Nirvana).

Nirvana Non-Dual memungkinkan para Bodhisattva untuk melakukan tindakan upaya kausalya, yang mungkin tampak seolah2 melanggar sila, namun sebenarnya merupakan tindakan pencerahan. Inilah mengapa dikatakan hanya Bodhisattva tingkat tinggi yang mampu melakukan upaya kausalya dengan tepat 100%. Seorang prthagjana mustahil dapat melakukan upaya kausalya 100%, sehingga para prthagjana jangan coba2 melakukannya, kalau bukan malah terjerumus ke alam-alam rendah.

Contoh dari upaya kausalya adalah ketika Sang Bodhisattva terlahir menjadi Pangeran Mahasattva yang membunuh orang jahat yang berencana membunuh 500 pedagang di atas kapal. Dengan motivasi welas asih, Sang Pangeran membunuh orang jahat itu untuk menyelamatkan hidup kelima ratus pedagang dan menyelamatkan si orang jahat dari kelahiran di alam-alam rendah.

saya tidak terlalu mengerti non-dual...tapi yang saya mau tanya...Buddha Gotama termasuk nibbana yg mana?

oke anda ambil perumpamaan kisah JATAKA...
coba lihat disitu...disana Gotama masih seorang BODHISATVA[ masih kotor/belum tercerahkan sempurna ] > saya tidak tahu kisah jataka ini dari sutta/sutra...tapi saya ambil pandangan sutta.

Gotama menolong 500 pedagang, akan tetapi tetap sewaktu membunuh bodhisatva membuat kamma buruk.....jadi
1.membuat kamma baik.....melalui pikiran [ ingin menyelamatkan makhluk ]
2.membuat kamma buruk melalui pikiran dan tindakan [ sekaligus melanggar sila ke-1 ]

jangan beralasan bahwa dengan pikiran penuh metta/cinta kasih, tetapi tangan malah menusuk pisau..
sekali lagi bodhisatva itu belum 100% sati...dan lagi masih ada kekotoran.

lagian kalau diambil dari sudut pandang sutra, dimana bodhisatva [telah tercerahkan penuh dan dengan abhinna luar biasa ]

masa pembunuh biasa saja tidak bisa dihentikan dengan abhinna?

Angulimala saja cape berlari ga sampai-sampai.....tetapi Sangbuddha dengan kekuatan BATIN malah membuat nya tercerahkan...

jika pada saat itu pangeran mahastava [telah mencapai penerangan sempurna] malah menghentikan pembunuh dengan membunuh....justu ini lah  kerancuan dari sutra.

tetapi pernahkah anda lihat dalam sutta [ dimana telah mencapai pencerahan sempurna ]
SangBuddha berbuat hal nekad seperti itu?
makanya saya katakan malam jadi batman[pahlawan] siang jadi joker[penjahat]

jadi bukan contoh upayakausalya yang saya lihat...maaf  _/\_
melainkan kebodohan yang saya lihat...dan saya melihat nya dari berbagai pandangan kok...perbedaan dimana ketika sang Buddha telah tercerahkan versi kehidupan setelah bermeditasi di bawah pohon 6 tahun..dan SEBELUM meditasi dibawah pohon 6 tahun.

-------------------------
Quote
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.

Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.

Karena Mahayana menganut Nirvana Non Dual yaitu Akhir Dukha pun bukan akhir Dukha, karena pada hakekatnya segala fenomena baik akhir Dukha maupun bukan akhir Dukha adalah kosong (shunya).

Karena Non Dual, kita juga tidak bisa semata2 mencap bahwa Nirvana Mahayana itu berakhir dengan "tanpa akhir dukha". Kita harus ingat bahwa posisi Mahayana adalah Non-Dual.

ini sungguh terlalu ,apabila itu benar dikatakan oleh Guru aliran Tantra diatas.....
jadi apabila IBU saya kelaparan, tetapi saya tidak punya uang, kemudian saya termotivasi menolong nya
dengan mencuri......
" perbuatan saya sangat positif " ?    :o

memang betul, niat yang menentukan..tetapi coba lihat baik-baik ada 2 pikiran disitu..
1. menolong..
2. mencuri..
jadi 1 sisi anda berbuat baik 1 sisi anda berbuat jahat.... apa nya yang sangat positif?

------------------------------------------
Quote
Anda tampaknya nggak paham dengan apa yang saya katakan. Dharmakaya adalah hakekat ke-Buddhaan yang ada daalm diri kita. "Sandiwara" itupun hanya kiasan dalam Saddharmapundarika Sutra dan tidak patut diartikan sebagai "pura2". Baik Mahayana dan Vajrayana ya mengakui pengorbanan Beliau yang kata anda membuat kita terharu itu. "Sandiwara" di sini dimaksudkan bahwa sebenarnya kita makhluk samsara ini pada hakekatnya memiliki Tathagatagarbha. Karena pada hakekatnya diri kita sebenarnya adalah Buddha [sifat ke-Buddhaan / Buddha Nature], maka perjuangan kita mencapai Nirvana ini seolah-olah tampak sebagai sebuah sandiwara, namun yang namanya "seolah-olah" ya tentu tidak berarti yang sebenar-benarnya bukan?

Jadi sangat jelas di sini sandiwara di sini dimaksudkan untuk menjelaskan hakekat ke-Buddhaan dalam diri, bukan Buddha main sandiwara jadi Siddharta. La kalau Buddha bersandiwara seperti itu, ya saya juga tidak percaya.
ini sangat rancu.....
coba lihat tujuan sang buddha "bersandiwara" kemudian
tujuan buddha[setelah tercerahkan] membabarkan dhamma 45 tahun?
nyambung tidak? anda pikir-pikir sendiri...

justru sangat tidak nyambung dhamma yang dibawakan nya [setelah tercerahkan] dengan sandiwara yang di lakoni nya selama 35 tahun. ini pun jika ditambahkan kehidupan lampau,,sudah berapa lama?

------------------------------
Quote
Waduh gini deh...... sebut saja si Joko dan si Bodhi.

Si Joko belajar agama Buddha selama 1 tahun dan percaya bahwa Sutra teratai dapat membawa pada Ke-Buddhaan. Ia mempelajarinya namun tidak mampu mencapai pencapaian apa2 karena halangan karmanya.

Ketika ia bertemu Bodhi, ia mengulang ajaran Sutra Teratai pada Bodhi. Tampaknya karma bajik Bodhi mendukung sehingga ia dapat memahaminya atas USAHANYA SENDIRI dan menjadi Buddha.

Nah sayangnya si Joko masih belum dapat mencapai akhir Dukha, akhirnya terjerumus kembali dalam roda samsara dan ia terjebak dalam lobha, dvesa, moha.

Ini sama ketika mislanya si A memberikan kopian Sutra Teratai yang didapatnya dari vihara pada si B. Nah si B mampu mencapai Buddha, tapi si A malah tidka mampu mencapainya. Ini adalah kejadian yang wajar, meskipun kita mungkin akan heran "loh kok si A yang ngasih malah nggak mampu mencapai apa2?", tapi ini sangat mungkin, karena batinnya sendiri belum teguh, si A hanya merasa takjub, hafal dan yakin akan isi Sutra namun gagal mempraktekkannya dengan benar.

Ini sama dengan Devadatta dan Sakyamuni.
kalau ini sy bisa mengerti, anda baik sekali dalam memberi perumpamaan....  _/\_

----------------------------------

Quote
Pertanyaan: Apakah kelahiran kembali di Tanah Suci bertentangan dengan kebenaran “Tanpa Kelahiran”?

Jawaban:
Yang Arya Zhiyi mengatakan:
“Yang bijak, yang dengan tulus berjuang untuk terlahir kembali di Tanah Suci, juga mengerti bahwa hakekat kelahiran kembali adalah kosong. Ini adalah Tanpa-Kelahiran yang tepat dan merupakan arti dari ‘ ketika Pikiran Murni maka tanah-tanah Buddha akan murni.’
Yang tumpul dan bodoh, di lain sisi, terjebak dalam konsep kelahiran. Mendengar istilah “Lahir”, mereka mendefinisikannya sebagai kelahiran yang nyata, mendengar ‘Tanpa-Kelahiran', mereka melekat pada arti harafiahnya dan berpikir bahwa tidak ada kelahiran kembali di mana-mana. Sedikit yang sadar bahwa “Kelahiran tentunya adalah Tanpa-Kelahiran dan Tanpa-Kelahiran tidak menghalangi Kelahiran.”

Juga telah dikatakan oleh seorang guru Zen:

“Jika kita memahami Kelahiran sebagai kelahiran kembali yang sebenar-benarnya, kita menyimpang menuju arah Eternalisme, jika kita memahami Tanpa Kelahiran yang berarti bahwa tidak ada kelahiran yang sebenar-benarnya, kita melakukan kesalahan Nihilisme. Kelahiran namun Tanpa Kelahiran, Tanpa kelahiran namun Kelahiran, pastinya adalah ‘makna yang ultimit.’”

Guru Zen yang lain mengatakan: “Kelahiran tentunya adalah kelahiran, namun kembali ke Tanah Suci adalah tidak kembali lagi (non-returning).”

…. Berbagai tanda Kelahiran dan Kematian secara salah muncul, seperti dalam mimpi, dari Pikiran Sejati…. Ketika kita memahami kebenaran ini, kelahiran kembali di Tanah Suci adalah kelahiran kembali dalam keadaan Hanya-Pikiran; di antara Kelahiran dan Tanpa Kelahiran, tidak ada kontradiksi arti yang eksis!

Bisa dilihat bahwa penjelasan di atas merujuk Pada Tanah Suci. Ini juga dapat diterapkan dalam Dunia Saha kita yang merupakan Tanah Suci Sakyamuni Buddha. Seseorang yang mencapai Nirvana Non-Dual, menyadari secara penuh bahwa tidak ada kontradiksi antara “Adanya Kelahiran” dengan “Akhir Kelahiran”, sehingga Beliau secara bebas melakukan berbagai tindakan pencerahan di dunia samsara.

Namun karena seorang Bodhisattva tingkat tinggi telah mencapai Nirvana Non-Dual, maka Beliau akan dapat mencapai "Kelahiran" di Tanah Suci Sakyamuni Buddha yaitu Dunia Saha kita, namun Beliau sekaligus juga mencapai "Tanpa-Kelahiran" / "Akhir Kelahiran" di Dunia Saha yang juga adalah samsara ini. Kelahiran kembali seorang Bodhisattva yang seprti itu adalah bebas dari lobha, dvesa dan moha, dan tidak terbayangkan oleh pikiran kita yang terbatas, yang belum merealisasi Non-Dualisme.
maaf, rancu...
ketika dikatakan di alamsukahvati mengajarkan dhamma. coba lihat baik-baik... " mengajarkan " dengan kata lain "proses belajar mengajar" > ada mendengar, melihat , atau mencerapi bahkan ada kesadaran.
disitu sudah pasti ada namanya khandha saya menyebutnya "bhava/kelahiran" atau pembentukan karena ada khandha...

apa anda mau mengatakan bahwa khandha ini kekal dialam sana? tentu anda melawan anicca.
apa anda mau mengatakan bahwa khandha ini tidak kekal di alam sana? tentu ada dukkha
jadi dari pada sibuk mengartikan kata-kata guru Zen..coba lihat di sisi sebelah....
maka yang anda lihat guru Zen ini memiliki sedikit kebodohan...

Quote
Guru Zen yang lain mengatakan: “Kelahiran tentunya adalah kelahiran, namun kembali ke Tanah Suci adalah tidak kembali lagi (non-returning).”
sungguh rancu....
anda mengatakan bahwa disana mencapai nibbana/not-return...tetapi kenyataannya...buddha gotama saja masih bisa memunculkan dharmakaya-nya? berarti pikiran[khandha/nama] buddha masih eksis [ ada ] sampai sekarang

jadi anda berkata A disini [ ZEN ] tetapi di satu sisi [ sutra ] terjadi B....benar mana?
ini namanya esensi bertolak belakang.

bisa yang bahasa inggris itu di terjemahkan secara full.. saya kutip dikit..
Quote
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca penjelasan Tiantai Master Zhiyi:

All phenomena are by nature empty, always unborn (Non-Birth), equal and still. Are we not going against this truth when we abandon this world, seeking rebirth in the Land of Ultimate Bliss? The (Vimalakirti) Sutra teaches that “to be reborn in the Pure Land, you should first purify your own Mind; only when the Mind is pure, will the Buddha lands be pure.” Are not Pure Land followers going against this truth?
ini jelas, sekali master Zhiyi ini secara tidak langsung mengatakan AjahnChah dan guru-guru Theravada di Thailand belum purify own mind.

menurut master ini, siapa pun yang purify mind pasti mencapai pure land...kita balik rumus nya saja...
yang belum mencapai pure land belum purify mind. >> fakta loh bukan provokasi.

 _/\_
metta
« Last Edit: 14 August 2009, 10:02:49 AM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline indera_9

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 206
  • Reputasi: 24
  • Gender: Male
  • ......
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1701 on: 14 August 2009, 10:20:12 AM »
^
^
^

Good  :jempol:
Hatred doesn't cease through hatred at anytime. Hatred ceases through love. This is the unalterable law

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1702 on: 14 August 2009, 10:37:05 AM »
Quote
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.

Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
saya rasa ini sudah gila...

jadi saya bunuh saja peternak ikan, peternak udang, peternak ayam , peternak sapi, kuda, bebek....
bunuh pendeta, bunuh uskup, bunuh ustadz, bunuh pencuri, bunuh pembunuh...

dengan mengatakan motivasi saya "menyelamatkan makhluk hidup?"
korban saya cuma 10 orang lah...tapi saya bisa menyelamatkan jutaan nyawa.... SANGAT POSITIF !!!!
termasuk bunuh presiden Israel, karena saya bisa menyelamatkan nyawa anak PALESTINA ribuan.. !!!

ini sudah gila !!!
saya juga bisa mengatakan ini upayakausalya.....

metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1703 on: 14 August 2009, 04:29:49 PM »
Quote
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.

Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
saya rasa ini sudah gila...

jadi saya bunuh saja peternak ikan, peternak udang, peternak ayam , peternak sapi, kuda, bebek....
bunuh pendeta, bunuh uskup, bunuh ustadz, bunuh pencuri, bunuh pembunuh...

dengan mengatakan motivasi saya "menyelamatkan makhluk hidup?"
korban saya cuma 10 orang lah...tapi saya bisa menyelamatkan jutaan nyawa.... SANGAT POSITIF !!!!
termasuk bunuh presiden Israel, karena saya bisa menyelamatkan nyawa anak PALESTINA ribuan.. !!!

ini sudah gila !!!
saya juga bisa mengatakan ini upayakausalya.....

metta.

Masalahnya, akibat dari tindakan anda apa? Yakin Positif? Kalau nantinya jadi tambah buruk (misal: balas dendam semua keluarganya, atau malah semua jatuh ke alam-alam rendah) ya itu tanggung jawab anda dan hal tersebut bukan upaya kausalya. Maka dari itu motivasi welas asih yang benar selalu disertai kebijaksanaan.

Kebijaksanaan di sini menentukan apakah kita dapat yakin bahwa akibat dari tindakan kita menjadi sesuatu yang positif. Maka dari itulah kebijaksanaan melakukan ini hanyalah dapat dimiliki dan dilakukan oleh Bodhisattva tingkat tinggi, bukan prthagjana seperti kita. Demikian juga tindakan Pangeran Mahasattva itu seharusnya dipahami sebagai bentuk upaya kausalya Bodhisattva tingkat tinggi, bukan oleh prthagjana seperti kita. Karena mustahil kita sebagai prthagjana mampu membunuh dengan motivasi welas asih 100% pada semua makhluk, karena tentu dalam tindakan membunuh tidak terlepas dari dvesa (kebencian).

Ya kalau kita secara sembarangan meniru tindakan Pangeran Mahasattva... maka buah kelahiran di alam nerakalah yang kita dapat........

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 14 August 2009, 04:31:57 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1704 on: 14 August 2009, 04:55:11 PM »
Quote
Kyabje Pabongkha Rinpoche dari aliran Gelug dan Khenchen Thrangu Rinpoche dari aliran Kagyu memandang tindakan Pangeran Mahasattva adalah sebagai perbuatan yang sangat positif dan mampu menghasilkan banyak kebajikan, meskipun tindakan membunuh itu sendiri tidak akan mungkin menghasilkan akumulasi kebajikan.

Namun dalam contoh di atas, kebajikan dihasilkan dari motivasi welas asih yang kuat. Niat / motivasi menentukan semua faktor seperti apakah tindakan itu bajik atau tidak. (Pembebasan Di Tangan Kita). Selain niat, akibat nyata yang positif dari upaya kausalya seorang Bodhisattva juga turut menjelaskan apakah tindakannya itu bajik atau tidak.
saya rasa ini sudah gila...

jadi saya bunuh saja peternak ikan, peternak udang, peternak ayam , peternak sapi, kuda, bebek....
bunuh pendeta, bunuh uskup, bunuh ustadz, bunuh pencuri, bunuh pembunuh...

dengan mengatakan motivasi saya "menyelamatkan makhluk hidup?"
korban saya cuma 10 orang lah...tapi saya bisa menyelamatkan jutaan nyawa.... SANGAT POSITIF !!!!
termasuk bunuh presiden Israel, karena saya bisa menyelamatkan nyawa anak PALESTINA ribuan.. !!!

ini sudah gila !!!
saya juga bisa mengatakan ini upayakausalya.....

metta.

Masalahnya, akibat dari tindakan anda apa? Yakin Positif? Kalau nantinya jadi tambah buruk (misal: balas dendam semua keluarganya, atau malah semua jatuh ke alam-alam rendah) ya itu tanggung jawab anda dan hal tersebut bukan upaya kausalya. Maka dari itu motivasi welas asih yang benar selalu disertai kebijaksanaan.

Kebijaksanaan di sini menentukan apakah kita dapat yakin bahwa akibat dari tindakan kita menjadi sesuatu yang positif. Maka dari itulah kebijaksanaan melakukan ini hanyalah dapat dimiliki dan dilakukan oleh Bodhisattva tingkat tinggi, bukan prthagjana seperti kita. Demikian juga tindakan Pangeran Mahasattva itu seharusnya dipahami sebagai bentuk upaya kausalya Bodhisattva tingkat tinggi, bukan oleh prthagjana seperti kita. Karena mustahil kita sebagai prthagjana mampu membunuh dengan motivasi welas asih 100% pada semua makhluk, karena tentu dalam tindakan membunuh tidak terlepas dari dvesa (kebencian).

Ya kalau kita secara sembarangan meniru tindakan Pangeran Mahasattva... maka buah kelahiran di alam nerakalah yang kita dapat........

 _/\_
The Siddha Wanderer
jadi anda mau bilang kalau seorang Bodhisatva itu bisa membunuh tanpa kebencian?
hebat yah.....
mungkin bodhisatva bisa melakukan hubungan intim tanpa nafsu,
atau bisa meminum alkohol tanpa melanggar SILA....
mungkin juga bisa mencuri tanpa melanggar SILA...atau mungkin bisa berbohong tanpa kamma buruk...
luar biasa sekali tingkat bodhisattva itu...

saya no coment lagi. saya rasa sampai disini diskusi kita.. oke. ^^

metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1705 on: 14 August 2009, 05:45:37 PM »
Quote
Saudara Gandalf,

berarti sang Bodhisatva ini bisa diartikan "demi menyelamatkan makhluk hidup, malah melanggar SILA"
ini apa bedanya dengan ngomong A prilaku B... sama kan.

setahu saya dalam praktik SILA, Bahkan ketika bikkhu ini pun mau dibunuh atau dipancung tetap berpegang teguh pada SILA....bukan semata-mata menyelamatkan diri malah melanggar SILA..
ini namanya pembenaran diri, bukan kebenaran.
jadi bisa bikkhu ketika mau dibunuh, malah balik hajar?
coba lihat bikkhu di Shaolin yang mengusai Kungfu, dan bikkhu myanmar yang disikat junta....sejarah membuktikan beda kan...
yang 1 melawan yang 1 terima nasib.
pernah bhante Aggadipo bermasalah dengan preman, ketika ditanya kalau preman itu bertindak?
bhante jawabnya  " kabur "
sama dengan bikkhu Thai, saya pernah bertanya dulu, ketika kita di serang apa yang kita harus lakukan?
dikatakan "kabur dulu" baru dari kejauhan coba pancarkan pikiran metta.

apa kalau bikkhu mahayana langsung ambil senjata balik hajar? dengan alasan pembelaan diri?..

jelas sekali disitu ada 2 pikiran.
1. mau menolong.
2. melanggar SILA....
ketika menolong tapi harus melanggar SILA....pasti bertabrakan dengan kondisi batin sekalipun menolong nyawa orang......[ apalagi batin seorang tercerahkan itu sudah pasti 100% SATI SAMPAJANA ]

disini lebih jelas siapa yang menelan mentah-mentah kata "demi menolong makhluk hidup"

contoh kasus seperti ini,
apabila seorang bikkhu, ketika melihat matahari di atas, dalam dirinya timbul keragu-raguan dan ada 2 pikiran.
1. apakah belum lewat tengah hari?
2. apakah sudah lewat tengah hari?

tetapi ketika bikkhu tersebut dengan beralasan bahwa saya lapar, dan ini belum lewat tengah hari [ karena saya belum melihat JAM ] ini sama saja SALAH...
coba lihat kondisi batin pada saat itu...mengapa dikatakan salah...
1.kondisi batin ini sudah penuh keraguan.
2.terjadi pembenaran diri [ dengan memastikan bahwa ini belum lewat tengah hari ]
3.parahnya mengambil keputusan pada saat itu...
orang yang memiliki SATI tidak mungkin mengambil keputusan disaat seperti itu..
saya rasa topik yg mirip ini pernah dibawakan AjahnChah dan dipost saudara Ryu.

jadi alasan bahwa Boddhisatva atau Gotama [ telah mencapai pencerahan sempurna ]
pasti memiliki SATI 100% tapi bisa berbuat seperti melanggar sila demi menolong?

apa bedanya alasan bahwa demi menolong IBU saya kelaparan, maka saya MENCURI.
demi semata-mata welas asih kepada IBU.

Haha... jujur saya pengen tertawa melihat tulisan ini... maaf2.....

Menurut agama Buddha, sila yang paling penting itu apa sih? Sudah jelas jawabnya: Cinta Kasih itulah Sila yang Sejati. Cinta Kasih yang benar adalah cinta kasih yang disertai kebijaksanaan.

Jujur tentang ada perampok / preman gila terus "kabur" adalah benar2 tidak realistis di dunia ini. Mungkin memang tindakan “kabur” dapat secara tepat dilakukan dan hasilnya bisa saja positif dalam kondisi tertentu. Tapi kalau anda lihat realita dunia ini, maka konsep seperti itu adalah KONYOL apabila dilakukan dalam segala kondisi dan dalam segala waktu.

Maaf saya sedikit keras, tapi jujur saya bisa2 pindah agama kalau harus menghadapi bahwa agama Buddha ternyata mempunyai kekonyolan seperti itu.

Bhiksu Shaolin yang paham pun tentu tidak sembarang main hajar. Tentunya mereka yang telah memiliki kebijaksanaan yang cukup, dapat menentukan kapan ia harus menghajar dan kapan ia harus kabur dan tidak menghiraukan.

Jadi mereka telah memahami kapan waktu2 yang tepat untuk sebuah jenis tindakan. Tidak mungkin satu jenis tindakan diaplikasikan dalam semua kondisi. Jujur, kalau semuanya pake metode “kabur” begitu, itu namanya NAIF.

Contoh: Suatu hari tiga orang bhiksu berjalan bersama Ibu dan adik (yang masih bayi)- yang masih umat awam, dari salah satu bhiksu. Namun di tengah jalan sang ibu dan anak digebukin sama preman gila. Nah terusnya bhiksunya kabur semua….gak berusaha melindungi sang ibu dan anak sama sekali………cuma meancarkan pikiran maitri..................... Hohhhhh….. apa benar Sila dan Vinaya itu kaya gini? Kalau benar kaya gini, wah saya salah memilih ajaran Buddha! Karena ternyata para bhiksunya sedingin lemari es!

Di Mahayana, ketika seseorang tidak menyelamatkan makhluk hidup hanya karena terikat Sila-nya, maka itu sudah merupakan pelanggaran Sila Bodhisattva. Jadi menyelamatkan semua makhluk hidup adalah Sila Utama Mahayana. Maka dari itu dikatakan di dalam sutra-sutra, para Bodhisattva bisa saja melanggar sila2 Pratimoksha untuk menyelamatkan semua makhluk. Namun yang patut digarisbawahi adalah tindakan ini hanya dapat dilakukan Bodhisattva tingkat tinggi [tingkat 8 ke atas]. Jadi kalau masih prthagjana, ya jangan coba2 upaya kausalya

Bangsa Indonesia aja bisa merdeka melalui perang – bunuh2an, namun kalau nggak perang apa bisa damai? Apa semua negara bisa mengikuti contoh Mahatma Gandhi? Apakah filosofi Gandhi dapat diterapkan pada semua jenis kondisi dan semua jenis orang? Saya kira tidak. Namun tentu kalau bunuh2an pada saat perang ya tentu masih disertai dvesa.

Quote
saya tidak terlalu mengerti non-dual...tapi yang saya mau tanya...Buddha Gotama termasuk nibbana yg mana?

oke anda ambil perumpamaan kisah JATAKA...
coba lihat disitu...disana Gotama masih seorang BODHISATVA[ masih kotor/belum tercerahkan sempurna ] > saya tidak tahu kisah jataka ini dari sutta/sutra...tapi saya ambil pandangan sutta.

Gotama menolong 500 pedagang, akan tetapi tetap sewaktu membunuh bodhisatva membuat kamma buruk.....jadi
1.membuat kamma baik.....melalui pikiran [ ingin menyelamatkan makhluk ]
2.membuat kamma buruk melalui pikiran dan tindakan [ sekaligus melanggar sila ke-1 ]

jangan beralasan bahwa dengan pikiran penuh metta/cinta kasih, tetapi tangan malah menusuk pisau..
sekali lagi bodhisatva itu belum 100% sati...dan lagi masih ada kekotoran.

lagian kalau diambil dari sudut pandang sutra, dimana bodhisatva [telah tercerahkan penuh dan dengan abhinna luar biasa ]

masa pembunuh biasa saja tidak bisa dihentikan dengan abhinna?

Angulimala saja cape berlari ga sampai-sampai.....tetapi Sangbuddha dengan kekuatan BATIN malah membuat nya tercerahkan...

jika pada saat itu pangeran mahastava [telah mencapai penerangan sempurna] malah menghentikan pembunuh dengan membunuh....justu ini lah  kerancuan dari sutra.

tetapi pernahkah anda lihat dalam sutta [ dimana telah mencapai pencerahan sempurna ]
SangBuddha berbuat hal nekad seperti itu?
makanya saya katakan malam jadi batman[pahlawan] siang jadi joker[penjahat]

jadi bukan contoh upayakausalya yang saya lihat...maaf  _/\_
melainkan kebodohan yang saya lihat...dan saya melihat nya dari berbagai pandangan kok...perbedaan dimana ketika sang Buddha telah tercerahkan versi kehidupan setelah bermeditasi di bawah pohon 6 tahun..dan SEBELUM meditasi dibawah pohon 6 tahun.

Buddha Gautama adalah Samyaksambuddha, maka tentu Nirvana yang dicapainya adalah Apratishtita Nirvana, meskipun menurut sudut pandang Shravakayana Beliau mencapai Anupadisesa Nirvana.

Untuk menjawab pertanyaan anda, maka kita harus memahami dulu hukum karma. Tentu banyak orang yang mendengar ajaran Sang Buddha dan hidup di zaman Beliau, namun tetap tidak dapat mencapai pencerahan. Sebagian hanya sampai ke alam-alam surga, dsb. Karena apa? Tentu ini karena berbagai halangan karma mereka yang membuat pemahaman mereka terbatas. Walaupun ada Guru Junjungan Dunia dengan 84000 metode mencapai pencerahan, tetap saja ada segolongan orang2 yang tidak mampu mencapai tingkat2 pencerahan.
 
Karena halangan karma bisa begitu kuat akibatnya, maka bukan mustahil ada orang yang benar2 psycho dan evil oleh karena sebab2 karma yang ditimbunnya di masa lampau. Diajari bagaimanapun mereka tidak bisa sadar dan terus dengan kegilaannya, membunuh dan merugikan banyak makhluk.

Bila kita lihat Angulimala, maka kita dapat melihat bahwa ia pertama ditipu oleh gurunya yang memanfaatkan kepolosannya, dan kita bisa lihat bahwa ketika masih kecil; sifat Angulimala itu baik adanya. Maka tentu tidak sulit2 amat bagi Sang Buddha untuk menyadarkannya.

Nah kalau sedari kecil seseorang sudah hidup di lingkungan yang kejam, dicuci otak jadi gila kaya orang2 psycho, terus jadi pembunuh berantai. Nah yang kaya gini ini bisa saja sadar, namun bisa juga malah menjadi pembunuh seumur hidupnya karena halangan karmanya. Beda kasus sama Angulimala.

Seorang Bodhisattva melihat dengan kebijaksanaannya bahwa apabila orang seperti ini tidak dapat disadarkan dalam kehidupan ini juga, maka satu2nya cara adalah dengan membunuh orang psycho yang keji itu, dengan tujuan untuk menyelamatkan para makhluk calon korban dan termasuk juga si psycho itu sendiri.

Dengan dibunuh, maka karma buruk si psycho juga turut berbuah dan sebagai akibatnya halangan karmanya terpurifikasikan, menyebabkan dirinya terlahir di alam-alam tinggi. Jadi tindakan positif Sang Bodhisattva ini tidak egois. Beliau tidak hanya melindungi makhluk2 korban, namun beliau juga menyelamatkan makhluk2 pelaku kejahatan dari niat buruk mereka sendiri.

Namun tentu hanya Bodhisattva tingkat tinggi yang mampu menentukan kapan saat yang tepat dan kondisi yang tepat melakukan upaya kausalya. Kalau manusia biasa yang belum mencapai pencerahan yang memadai, ya jangan coba2.

Quote
ini sungguh terlalu ,apabila itu benar dikatakan oleh Guru aliran Tantra diatas.....
jadi apabila IBU saya kelaparan, tetapi saya tidak punya uang, kemudian saya termotivasi menolong nya
dengan mencuri......
" perbuatan saya sangat positif " ?    :o

memang betul, niat yang menentukan..tetapi coba lihat baik-baik ada 2 pikiran disitu..
1. menolong..
2. mencuri..
jadi 1 sisi anda berbuat baik 1 sisi anda berbuat jahat.... apa nya yang sangat positif?

Selama anda masih prthagjana [manusia biasa], maka wajar saja apabila anda menimbun karma buruk walaupun anda membunuh dengan niat menolong banyak orang. Seorang prthagjana seperti kita, mustahil dapat melakukan tindakan membunuh untuk menolong dengan disertai 100% welas asih, pasti dasar dari pikiran kita yang bekerja pada saat membunuh adalah dvesa (kebencian). Jadi antara dvesa dan maitri (cinta kasih) itu 50:50.

Namun seorang Bodhisattva tingkat 8 yang melakukan upaya kausalya telah mengikis habis lobha, dvesa, moha yang memungkinkannya untuk melakukan pelanggaran sila tanpa harus disertai oleh tiga racun, motivasi mereka 100% maitri karuna (welas asih pada semua makhluk).

Namun dalam paham Mahayana, meskipun kita tidak memiliki niat membunuh dan pada saat membunuh tidak disertai tiga racun, tetap saja tindakan membunuh itu merupakan suatu aksi yang negatif. Para Bodhisattva dikatakan siap menghadapi apapun akibat dari perbuatan negatif yang mereka lakukan demi menyelamatkan semua makhluk. Jadi para Bodhisattva benar2 bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Maka dari itulah walaupun Pangeran Mahasattva menimbun bejibun kebajikan yang sama dengan kebajikan selama berkalpa-kalpa lamanya, ia tetap harus menanggung akibat dari perbuatan membunuhnya di alam-alam rendah. Namun batin para Bodhisattva tetap seteguh intan (vajra).

Quote
ini sangat rancu.....
coba lihat tujuan sang buddha "bersandiwara" kemudian
tujuan buddha[setelah tercerahkan] membabarkan dhamma 45 tahun?
nyambung tidak? anda pikir-pikir sendiri...

justru sangat tidak nyambung dhamma yang dibawakan nya [setelah tercerahkan] dengan sandiwara yang di lakoni nya selama 35 tahun. ini pun jika ditambahkan kehidupan lampau,,sudah berapa lama?

Wah... jangan pura2 tidak mengerti! Sudah saya jelaskan bahwa sandiwara itu adalah kiasan atau seolah-olah saja........ eh... tetap tidak paham. Saran saya, baca ulang postingan saya dan pahami maksud saya.

Quote
sungguh rancu....
anda mengatakan bahwa disana mencapai nibbana/not-return...tetapi kenyataannya...buddha gotama saja masih bisa memunculkan dharmakaya-nya? berarti pikiran[khandha/nama] buddha masih eksis [ ada ] sampai sekarang

jadi anda berkata A disini [ ZEN ] tetapi di satu sisi [ sutra ] terjadi B....benar mana?
ini namanya esensi bertolak belakang.

Dalam paham Non-Dualisme, Buddha itu eksis pun juga tidak eksis. Maka dari itu Dharmakaya kekal justru malah diekuivalenkan dengan Shunyata (kekosongan). Ini adalah inti dari Prajnaparamita Hrdaya Sutra yaitu kosong adalah isi, isi adalah kosong (shunyata - rupa, rupa - shunyata). Maka dari itu saya katakan Sang Buddha mencapai Nirvana Apratishtita (Non-Dual).

Quote
ini jelas, sekali master Zhiyi ini secara tidak langsung mengatakan AjahnChah dan guru-guru Theravada di Thailand belum purify own mind.

menurut master ini, siapa pun yang purify mind pasti mencapai pure land...kita balik rumus nya saja...
yang belum mencapai pure land belum purify mind. >> fakta loh bukan provokasi.

Haduhh.... cakupan makna purify mind itu kan luasssss..... maksudnya yang dipurify itu apanyaaaaa kan banyak banget..... jangan terikat dengan kata per kata, atau literal per literal, tapi lihat makna dari setiap kata-kata plus pelajari konsep Mahayana.

Saya tidak mengatyakan Ajahn Chah atau siapapun itu.... tapi yang jelas penganut Shravakayana hanya melenyapkan kleshavarana (halangan kekotoran batin), namun belum melenyapkan jneyaavarana (halangan paham) sama sekali. Seorang Bodhisattva tingkat 8 - 10 mengikis jneyavarana perlahan-lahan, sampai akhirnya ketika menjadi Samyaksambuddha halangan paham tersebut lenyap.

Maka dari itu seseorang dikatakan benar2 purify mind yaitu ketika jneyavarana lenyap yaitu menjadi Samyaksambuddha.

Apabila dipandang dari jneyavarana, maka Shravakayana Arhat belum "purify mind" sepenuhnya.

Namun apabila dipandang dari kleshavarana, maka Shravakayana Arhat dapat disebut telah "purify mind".

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 August 2009, 07:04:02 AM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1706 on: 14 August 2009, 05:59:34 PM »
Quote
jadi anda mau bilang kalau seorang Bodhisatva itu bisa membunuh tanpa kebencian?
hebat yah.....
mungkin bodhisatva bisa melakukan hubungan intim tanpa nafsu,
atau bisa meminum alkohol tanpa melanggar SILA....
mungkin juga bisa mencuri tanpa melanggar SILA...atau mungkin bisa berbohong tanpa kamma buruk...
luar biasa sekali tingkat bodhisattva itu...

saya no coment lagi. saya rasa sampai disini diskusi kita.. oke. ^^

Seorang Bodhisattva dalam fisiknya mungkin tampak melanggar sila, namun dalam batinnya mereka tidak melanggar sila.

Justru tidak menyelamatkan para makhluk hanya karena terikat Sila Pratimoksha adalah pelanggaran Sila Bodhisattva.

Tapi tidak terikat bukan berarti tidak melaksanakan lo. Kalau tidak dalam kondisi sangat terpaksa, tentu Sang Bodhisattva tidak akan pernah melanggar Sila Pratimoksha. Para Bodhisattva tentu tetap menjaga Sila Pratimoksha bagaikan ibu menjaga anaknya yang tunggal.

Bahkan walaupun dalam kondisi sangat terpaksa, Sang Bodhisattva belum tentu "melanggar Sila Pratimoksha", beliau akan mempertimbangkan masak2 apakah tindakan pelanggarannya benar-benar dapat berakibat positif atau malah negatif? Apakah waktu dan kondisinya sudah tepat?

Kalau Bodhisattva tingkat rendah, maka tindakan membunuhnya pastinya masih disertai kebencian. kalau tingkat tinggi, maka segala bentuk tindakannya tidak pernah disertai kebencian, karena kleshavarana telah lenyap.

Dan seperti yang saya tekankan, tanpa niat yang disertai lobha, dvesa, moha pun, tindakan mencuri atau membunuh tetap saja merupakan tindakan yang negatif sifatnya. Para Bodhisattva dengan sukarela siap menerima segala akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, baik itu akibat positif maupun negatif. Seperti kisah pangeran Mahasattva yang rela dirinya terjatuh ke alam-alam neraka oleh karena membunuh orang jahat untuk menyelamatkan kelima ratus pedagang.

Dan tentu tindakan Sang Bodhisattva ini penuh pertimbangan, tidak serampangan.

Jadi kalau asal ada jagal babi dibunuh, ada jagal ayam dibunuh, ini tentu BUKAN tindakan upaya kausalya Bodhisattva, tapi tindakan orgil.

 _/\_
The Siddha wanderer
« Last Edit: 14 August 2009, 07:56:23 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1707 on: 14 August 2009, 06:23:06 PM »
Sebagai tambahan refereni, copas dari wikipedia:

In one of Mahayana Buddhism's most famous declarations, the aggregates (skandha) are referenced:

Form is emptiness, emptiness is form.

What does this mean? To what degree is it a departure from the aforementioned Theravada perspective? Moreover, more generally, how are the aggregates used in the Mahayana literature? These questions are addressed below.

The intrinsic emptiness of all things

The Sanskrit version of the classic "Prajnaparamita Hridaya Sutra" ("Heart Sutra") begins:
The noble Avalokiteshvara Bodhisattva,    Arya avalokiteshvaro bodhisattvo
while practicing the deep practice of Prajnaparamita        gambhiran prajna-paramita caryan caramano
looked upon the Five Skandhas,    vyaavalokayati sma panca skandhas
...seeing they were empty of self-existence....    tansh ... svabhava shunyan pashyati sma....

From its very first lines, this version of the Heart Sutra introduces a practice and worldview alternative to the Theravada perspective of the aggregates:

Prajnaparamita
    Whereas Theravada meditation practices with the aggregates generally use change-penetrating vipassana meditation, here the non-dualistic prajnaparamita practice is invoked.
Svabhava
    In the Theravada canon, when "emptiness of self" is mentioned, the English word "self" is a translation of the Pali word "atta" (Sanskrit, "atman"); in the Sanskrit-version of the Heart Sutra, the English word "self" is a translation of the Sanskrit word "sva-bhava". According to Red Pine, "The 'self' (sva) ... was more generalized in its application than 'ego' (atman) and referred not only to beings but to any inherent substance that could be identified as existing in time or space as a permanent or independent entity."[56] (Italics added.)

In other words, whereas the Sutta Pitaka typically instructs one to apprehend the aggregates without clinging or self-identification, Prajnaparamita leads one to apprehend the aggregates as having no intrinsic reality.

In the Heart Sutra's second verse, after rising from his aggregate meditation, Avalokiteshvara declares:

   Form is emptiness, emptiness is form, form does not differ from emptiness, emptiness does not differ from form. The same is true with feelings, perceptions, mental formations and consciousness.

Thich Nhat Hanh interprets this statement as:

   Form is the wave and emptiness is the water.... [W]ave is water, water is wave.... [T]hese five [aggregates] contain each other. Because one exists, everything exists.

Red Pine comments:

   That form is empty was one of the Buddha's earliest and most frequent pronouncements. But in the light of Prajnaparamita, form is not simply empty, it is so completely empty, it is emptiness itself, which turns out to be the same as form itself.... All separations are delusions. But if each of the skandhas is one with emptiness, and emptiness is one with each of the skandhas, then everything occupies the same indivisible space, which is emptiness.... Everything is empty, and empty is everything.

Tangibility and transcendence

Commenting on the Heart Sutra, D.T. Suzuki notes:

   When the sutra says that the five Skandhas have the character of emptiness ..., the sense is: no limiting qualities are to be attributed to the Absolute; while it is immanent in all concrete and particular objects, it is not in itself definable.

That is, from the Mahayana perspective, the aggregates convey the relative (or conventional) experience of the world by an individual, although Absolute truth is realized through them.

The tathagatagarbha sutras, on occasion, speak of the ineffable skandhas of the Buddha (beyond the nature of worldly skandhas and beyond worldly understanding), and in the Mahayana Mahaparinirvana Sutra the Buddha tells of how the Buddha's skandhas are in fact eternal and unchanging. The Buddha's skandhas are said to be incomprehensible to unawakened vision.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 14 August 2009, 06:24:42 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1708 on: 14 August 2009, 09:10:03 PM »
Mengenai upaya kausalya saya berikan beberapa referensi:

Istilah Upaya kusalya sebenarnya merujuk pada banyak hal, mulai dari konsep Trikaya, sampai pemutaran roda Dharma Shravakayana, Mahayana dan Vajrayana semuanya dinamakan sebagai upaya (tindakan terampil) para Buddha.

Jadi tidak tepat untuk menyebut upaya kausalya sebagai tindakan melanggar sila untuk menyelamatkan semua makhluk. Ini hanya merujuk pada satu pengertiannya saja, namun makna sebenarnya bukan itu.

Mahayana Mahaparinirvana Sutra mengatakan:
"Mereka yang bijak terbebas dari lima skandha dengan cara tindakan terampil (upaya). 'Tindakan terampil' merujuk pada Delapan Ruas Jalan Mulia, Enam Paramita dan Empat Apramana."

Jadi upaya kausalya sendiri sebenarnya merujuk pada segala jenis tindakan para Buddha dan Bodhisattva yang ditujukan untuk menyebrangkan para makhluk.

Ada satu kisah nyata. Suatu hari vihara Ajahn Chah terkena hama semut merah yang sangat menggangu dan berbahaya dan akhirnya ia mengizinkan tentara untuk membasmi semut2 itu. Ketika para pengikutnya bertanya2 mengenai tindkaannya ini, Ajahn Chah menjawab, "Aku akan bertanggung jawab penuh - janganlah engkau khawatir tentang ini!"

Menurut Mahayana-samgraha, sila-sila boleh dilanggar apabila niat kita adalah untuk membantu makhluk lain, asal tidak menyebabkan kemelekatan, kebodohan dan kebencian muncul dalam diri sendiri ataupun diri makhluk lain.

Bodhisattva-pitaka Sutra menyatakan bahwa tidak ada Sila apapun yang boleh dilanggar (atas dasar alasan apapun). Ini memberikan contoh nyata bahwa Bodhisattva juga menjaga dengan teguh Sila-sila Pratimoksha dan Bodhisattva.

Kitab Siksasamuccaya mengatakan bahwa pembunuhan yang didasarkan atas motivasi welas asih bagi semua makhluk hanya dapat dilakukan oleh Bodhisattva tingkat tinggi. Seseorang seharusnya tidak bertindak melampaui kapasitas spiritualnya dan apabila seseorang melanggarnya maka akibatnya tentu akan buruk.

Memahami upaya kausalya memang tidaklah mudah, bahkan Upaya-kausalya Sutra menyebutkan bahkan para Shravaka dan Pratyeka-Buddha tidak dapat memahami sutra ini. Yang dapat memahaminya adalah para Bodhisattva.

Menurut Asanga dalam karyanya Bodhisattva-bhumi Sastra, Bodhisattva bisa saja berbohong untuk menyelamatkan makhluk lain dari bahaya kematian atau mutilasi, tapi Bodhisattva tidak akan pernah berbohong untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Bodhisattva bisa saja menggunakan teguran kata-kata yang keras dan kasar untuk mengubah seseorang yang tidak bajik menjadi seorang yang bajik.

Sedangkan Asanga juga menjelaskan bahwa seorang Bodhisattva awam diizinkan melanggar sila ketiga yaitu memenuhi permintaan berhubungan seks pra-nikah dengan perempuan yang apabila permintaan tersebut ditolak oleh Sang Bodhisattva, maka perempuan tersebut akan menjadi dendam kesumat (bahkan bunuh diri). Maka untuk menjauhkan perempuan tersebut dari bahaya dendam kesumat dan tindakan bodoh seperti bunuh diri, Sang Bodhisattva menyelamatkannya dengan memenuhi permintaan perempuan tersebut, walau harus melanggar sila. Setelah itu Sang Bodhisattva akan membawa perempuan tersebut menuju tindakan yang bajik.

Jadi ya Sang Bodhisattva tidak enak-enakan main seks terus, tapi setelah melakukan upaya kausalya seperti itu, Sang Bodhisattva membimbingnya hingga perempuan tersebut tidak lagi memiliki keinginan berhubungan seks bebas atau dengan kata lain secara teguh menjaga sila ketiga.

Dalam Bodhisattva-bhumi Sastra juga disebutkan bahwa suatu ketika Sang Bodhisattva bertemu dengan perampok yang akan membunuh banyak sekali Sravaka Arhat. Sang Bodhisattva kemudian berpikir;
“’Jika saya mengambil hidup dari makhluk hidup ini. Aku sendiri mungkin akan terlahir menjadi salah satu makhluk neraka. Lebih baik aku terlahir menjadi makhluk neraka daripada makhluk ini, setelah melakukan perbuatan dengan akibat yang segera hadir, akan terperosok ke neraka.’ Dengan sikap seperti itu, sang Bodhisattva memastikan bahwa pikirannya bajik atau tak melekat dan kemudian merasa terpaksa,  dengan hanya pikiran welas asih sebagai konsekuensinya, ia mengambil hidup makhluk hidup itu. Tidak ada pelanggaran, namun menyebarnya banyak kebajikan.”

Mengomentari Bodhisttva-bhumi Sastra, Tsongkhapa dalam karyanya "Jalan Dasar Menuju Pencerahan" menulis bahwa tindakan upaya kausalya "pelanggaran sila pertama" harus memenuhi syarat2 ini:
1. Pada saat membunuh, sang pelaku harus memastikan pikirannnya dalam kondisi bajik dan tidak terikat dengan karma, dan sepenuhnya tidak tercampur oleh kekotoran batin (klesha)
2. Tindakan membunuh ini seharusnya dilakukan oleh karena situasi yang sangat memaksa (terpaksa), dengan kata lain tidak ada jalan / alternatif lain lagi

Di Tibet, dalam praktik Tantra tertinggi, tindakan membunuh diizinkan untuk meniadakan seseorang yang menyebabkan penderitaan banyak makhluk, namun atas dasar syarat yang ketat:
1.   Tidak ada jalan damai yang dapat dilakukan lagi
2.   Tindakan tersebut murni dilakukan dengan siddhi
3.   Tidak ada motivasi lain kecuali welas asih agung
4.   Tindakan pembunuhan tersebut harus berakibat positif
5.   Seseorang harus dapat menempatkan seseorang yang dibunuh itu ke dalam jalan pembebasan

Maka dari itu dapat diketahui dari syarat2 di atas bahwa pelanggaran sila oleh para Bodhisattva, seharusnya dilakukan hanya ketika memenuhi kondisi2 di atas. Di luar kelima syarat di atas, maka tindakan seseorang tidak dapat dihitung sebagai upaya kausalya.

Dan dari lima syarat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa para Bodhisattva hanya dapat “melanggar sila” dalam lima kondisi (kelima faktor di bawah harus ada semua):
1. Sangat terpaksa, tidak ada jalan lain lagi
2. Dilakukan oleh para Bodhisattva tingkat tinggi yang telah memiliki siddhi tertentu
3. Satu-satunya motivasi adalah welas asih agung, 100 %
4. Akibat dari tindakan tersebut harus selalu positif dan tidak menyebabkan ketiga racun muncul dalam diri para makhluk hidup
5. Seseorang harus menyelamatkan pula makhluk / orang yang dibunuh itu, jadi tidak hanya para calon korban saja.

“Bodhisattva dengan upaya kausalya-nya berada bersama-sama di dalam keadaan nirvana dan samsara.” (Arya-satyaka-parivarta)

Upaya Kausalya Sutra menjelaskan lebih lanjut ketika Sang Bodhisattva terlahir sebagai Pangeran Mahasattva (Mahakaruna). Kala itu dalam sutra disebutkan bahwa ada pedagang gadungan di antara kelima ratus pedagang. Pedagang gadungan tersebut sering melakukan kejahatan yang kejam tanpa rasa penyesalan. Ia berniat merampok dan membunuhi kelima ratus pedagang.

Kelima ratus pedagang tersebut sebenarnya adalah para Bodhisattva ynag bertekad mencapai Anuttara Samyaksambodhi. Apabila perampok jahat tersebut membunuhi mereka, tentu karma buruknya akan besar sekali. Oleh karena itu Sang pangeran Mahasattva menyusun rencana untuk mencegah orang jahat itu masuk neraka sekaliogus menolong nyawa kelima ratus Bodhisattva. Ia akhirnya memutuskan untuk membunuh perampok jahat itu sambil berpikir:
“Saya harus membunuhnya sendiri. Biarpun saya akan jatuh ke alam neraka yang sengsara dan menjalani proses penderitaan selama ratusan ribu kalpa karena telah membunuhnya, saya mampu menahan penderitaan ini, namun saya tidak akan membiarkan orang jahat ini membunuh 500 Bodhisattva dan menderita di neraka karena karma buruk tersebut.”

Sebagai akibat dari perbuatan yang didasari atas motivasi welas asihnya, sang pangeran Mahasattva mampu menikmati kenikmatan di alam-alam tinggi selama seratus ribu kalpa dan perampok jahat itu juga terlahir di surga sesudah mati.

Dari kisah di atas, dapat diringkas bahwa:
1. Pembunuhan adalah tindakan yang tercela
2. Pembunuhan seperti di atas melenyapkan penderitaan banyak makhluk (500 pedagang), mempurifikasi halangan karma sang perampok dan hanya membawa penderitaan bagi diriku sendiri (sang Bodhisattva)
3. Motivasi dan niatku adalah cinta kasih agung dan murni
4. Maka dari itu, lebih baik saya (Bodhisattva) menderita di neraka daripada sang perampok jatuh ke neraka ataupun kelimaratus pedagang menderita oleh perbuatan sang perampok
5. Aku mengambil hidup orang lain dengan kondisi yang sangat terpaksa untuk kesejahteraan semua makhluk, di mana sudah tidak ada jalan/ pilihan lain lagi.

Dan sampai sekarang yang pasti adalah seorang Bodhisattva di tingkat berapapun tentu mengusahakan agar JANGAN sampai memakai metode "melanggar sila" untuk menyelamatkan semua makhluk. Para Bodhisattva tentu dengan kebijaksanaan mereka akan mengusahakan untuk tetap menjaga teguh sila2nya baik itu Sila Pratimoksha ataupun Bodhisattva ketika harus menyelamatkan makhluk hidup apapun kondisinya. Para Bodhisattva akan berusaha sebisa mungkin untuk menghindari metode upaya kausalya "yang melanggar sila", kecuali kondisi yang ada sangat sangat memaksa dan tidak ada jalan lain lagi.

_/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 August 2009, 08:44:42 AM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1709 on: 16 August 2009, 12:31:13 AM »
maaf sy sudah tidak tertarik membahas ini dengan anda...sebab-nya.

1. anda membaca sebuah sutta/sutra tidak melihat dengan analisa jika anda disitu...
dengan kata lain anda tidak menganalisa batin, anda hanya bercerita mengenai apa yang tertulis seperti seorang nasran! yang mengatakan Kitab suci nya itu NYATA...

2.anda mengatakan seorang bodhisatva bisa membunuh dengan welas asih, hal itu sungguh gila...
sebuah cerita SangBuddha bercakap dengan pangeran tentang jika melihat bayi yang menelan sebuah biji, maka sang Buddha bercerita bahwa kita harus menggunakan tangan untuk mengeluarkan biji tersebut walaupun harus menyiksa bayi, hal ini sangat logis karena memang hanya demikian cara yang dapat dilakukan oleh seorang perumah tangga. TETAPI TIDAK MEMBUNUH BAYI.

sama halnya seorang dokter yang menggunakan alkohol pada obat untuk melindungi luka dari infeksi, tentu rasa alkohol itu terasa sakit/pedis, tetapi itu menyembuhkan...BUKAN MEMBUNUH....

saya rasa anda tidak bisa membedakan nama-nya membunuh, dengan menolong - tetapi harus tersiksa...


3.anda seperti nya tidak pernah mau menganalisa batin pada saat melakukan act, sebab nya anda selalu mengeluarkan alasan "upayakausalya"
jika diteliti apa bedanya Upayakausalya dengan "TUHA* di luar logika dan akal sehat? "
saya rasa kalau sudah pakai slogan demikian....buddha pun menjadi MAHA-BISA, MAHA-KUASA,
apapun dilakukan oleh BUDDHA....adalah terbaik bagi makhluk hidup...
walau harus membunuh...

demikian lah kita lihat Teroris seperti Nurdi*, mereka menyatakan bahwa mereka berbuat baik bukan?
mereka melakukan hal benar dipandangan mereka......mengapa?
ketika mereka melakukannya mereka tidak menganalisa batin sendiri....
saya memang bukan ahli menganalisa batin, tetapi saya cukup BAIK dalam mengetahui mana MEMBUNUH dan mana MENOLONG.

tidak ada namanya MEMBUNUH dengan WELAS ASIH......

4. kisah cerita AjahnChah itu pernah saya baca, tapi sayang nya saya masih ragu kebenarannya...
alasan nya sederhana, yang membuat buku itu bukan Ajahn sendiri,
paling para penulis yang berusaha mengingat atau mengulang catatan yang pernah di buat nya ketika diskusi dengan Ajahn....

dan lagi dalam Buku AjahnBrahm [ murid AjahnChah ]
sewaktu meditasi, AjahnBrahm mendengar suara brisik, tetapi Ajahn Chah menasehati bahwa "bukan suara itu yang mengganggu mu, tapi kamu yang mengganggu suara itu"

sewaktu meditasi juga diceritakan di waktu lain,
banyak nyamuk dan menggigit dimana mana....AjahnBrahm tidak bisa meditasi, tetapi ketika beliau membuka mata....adakah bikkhu mengeluh?
justru mereka tetap tenang walau badannya digigit nyamuk......

cerita itu sungguh rancu dimana AjahnChah menyuruh "bunuh saja serangga/hama, biar saya yang tanggung karma nya,dari pada menghambat latihan murid-murid saya"

Seorang Arahat pasti sudah tahu, hukum Karma tidak bisa di pindah-pindahkan....
tidak mungkin bapak makan nasi lantas anak yang kenyang
apalagi Arahat sudah tahu tentang hukum karma...
apakah mungkin Arahat seperti AjahnChah masih ngomong hal tolol seperti itu?
mau tanggung karma orang?
makanya saya ragu kebenarannya....

5. pada inti nya...anda tidak mau membuka pikiran rasional, dan selalu berkata apapun yang dilakukan bodhistva baik itu KEJAM atau BAJIK semua itu UPAYAKAUSALYA.
bagi sy bodhisatva juga punya 5 khandha.. sama dengan saya...memiliki Sanna,memiliki Sangkhara,memiliki Vinanna,dsb-nya

tidak mungkin seorang Buddha bisa berpikir seperti intel core 2 duo...alias bersamaan sekaligus,,yang ada pemindahan objek ke objek satu dengan sangat cepat...dari situ dianalisa
jadi membunuh dengan alasan welas asih....? adalah hal mustahil.


jadi pahlawan negara kita sudah masuk surga ya.....membunuh dengan alasan membela rakyat...
kemudian Nurdin juga masuk surga...membunuh dengan alasan perintah ALLA#....
Hamas[palestina] meluncurkan roket ke israel demikian sebalik nya demi alasan mempertahankan negara


6.dari cerita anda melihat seorang preman mengeroyok wanita, lalu anda mau bikkhu tersebut melindungi dengan cara berkelahi?
dan kalau bikkhu tersebut cuma diam, anda bakalan pindah agama buddha?
memang nya bikkhu seorang superman? anda lupa slogan buddhism "jadilah pulau bagi dirimu sendiri"

Ananda saja melakukan apa ketika Gajah Nalagiri dibuat mabuk? cuma pasang badan kan....
bukan ambil tombak atau pedang dengan alasan membunuh demi welas asih, karena apabila Nalagiri melukai Buddha bisa masuk neraka avici...

jadi yg terjadi paling bikkhu tersebut menasehati sambil mencoba menghalangi, andai kata preman tersebut lebih kuat, bikkhu tidak mungkin BERKELAHI......karena itu vinaya mereka...

---------------------------
pernah cerita nyata, seorang bikkhu pergi ke-bali ditugaskan oleh Alm Bhante win, akan tetapi ada seorang penguasa juga di bali, menyuruh bikkhu tersebut keluar dari BALI......
kebetulan bikkhu tersebut tinggal di kediaman ibu hartati...

kemudian si Murid Bhante Win menelpon Bhante Win untuk menerima petunjuk apa yang harus dilakukan..
bhante Win cuma bilang, apapun yang terjadi jangan pergi..tetapi disitu layani umat......
Bhante tersebut di ancam akan di telanjangi apabila tidak angkat kaki dari Bali.... oleh penguasa tersebut
murid tersebut diberi waktu 2 hari untuk angkat kaki

2 hari kemudian datang 2 preman badan BESAR.....bertemu bikkhu[murid] tersebut..
bikkhu tersebut di suruh angkat kaki, lalu bhante cuma bisa diam...

----saya lalu bertanya , jika bhante di telanjangi apa yang di buat?---- masa tidak melawan..
bhante lalu berkata "mana bisa bikkhu berkelahi"

untung kamma baik berbuah, dan ibu Hartati menolong.....akhir nya kesalahpahaman pun berakhir...


Quote
Menurut Mahayana-samgraha, sila-sila boleh dilanggar apabila niat kita adalah untuk membantu makhluk lain, asal tidak menyebabkan kemelekatan, kebodohan dan kebencian muncul dalam diri sendiri ataupun diri makhluk lain.
kalau menurut Mahayana demikian, sama saja dengan slogan para tetangga....

dan lagi kutipan ini sungguh rancu, ini sama saja mau MAKAN BANYAK tapi tidak mau KENYANG...

sorry yah, maaf saja kalau diskusi saya akhiri.......karena sudah beda pemahaman nan jauh...
ingat bikkhu bukan juru-selamat...bikkhu bukan pembela kebenaran seperti batman/spiderman/superman.

mereka seorang manusia yang sama dengan saya dan anda......tetapi mereka fokus untuk membersihkan diri mereka...
saya jadi teringat cerita AjahnBrahm, dimana ada 7 bikkhu yang berdiam dalam GOA...
kemudian 1 bikkhu ketua perkumpulan disuruh memilih "siapa jadi tumbal" dari ke 6 bikkhu tersebut...
tau kan jawabannya?
kalau pakai metode anda...
bisa cerita nya menjadi bikkhu berkelahi membunuh semua penjahat tersebut dengan alasan bahwa
"daripada penjahat membunuh arahat, lebih baik arahat membunuh penjahat dengan niat menyelamatkan dari Neraka Avici...dan Arahat pun bisa LOLOS DARI karma...."
LUAR BIASA BRAVO dah....  

 _/\_
salam metta....

-----------------------------
Quote
Dari kisah di atas, dapat diringkas bahwa:
1. Pembunuhan adalah tindakan yang tercela
2. Pembunuhan seperti di atas melenyapkan penderitaan banyak makhluk (500 pedagang), mempurifikasi halangan karma sang perampok dan hanya membawa penderitaan bagi diriku sendiri (sang Bodhisattva)
3. Motivasi dan niatku adalah cinta kasih agung dan murni
4. Maka dari itu, lebih baik saya (Bodhisattva) menderita di neraka daripada sang perampok jatuh ke neraka ataupun kelimaratus pedagang menderita oleh perbuatan sang perampok
5. Aku mengambil hidup orang lain dengan kondisi yang sangat terpaksa untuk kesejahteraan semua makhluk, di mana sudah tidak ada jalan/ pilihan lain lagi.[mana abhinna nya? kan sudah pencerahan sempurna....]
dengan Abhinna-yang tak dapat dipikirkan manusia masa lemah begitu?

anda tahu bagaimana memancarkan metta dalam meditasi objek metta-bhavana?
seperti nya bodhisatva ini butuh pengajaran khusus dalam meditasi objek metta
bahkan memancarkan metta saja bisa lupa diri sendiri....
persis seperti cerita AjahnBrahm, kalau pakai metode anda
bikkhu ketua ini sudah menghabisi penjahat itu...

 _/\_

« Last Edit: 16 August 2009, 12:38:59 AM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

 

anything