//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663466 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1110 on: 16 May 2009, 03:24:27 PM »
iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))

kelihatannya yang demikian yang kamu inginkan ya? :) okey aku turuti deh. Ternyata bro ryu orangnya beriman juga ya =))
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1111 on: 16 May 2009, 05:05:31 PM »
iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))

kelihatannya yang demikian yang kamu inginkan ya? :) okey aku turuti deh. Ternyata bro ryu orangnya beriman juga ya =))
=)) sayangnya aye masih tersesat, tidak punya iman =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1112 on: 16 May 2009, 05:44:33 PM »
RYU:

Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis

TAN:

Itulah dia. Aliran non Mahayanis menggunakan siasat DIAM MEMBISU agar tidak dikatakan nihilis atau eternalis (menolak berkomentar "ya" "tidak" "ya dan tidak" ataupun "bukan ya ataupun tidak." Memang sekilas siasat ini nampak jitu. Tetapi kalau kita renungkan sungguh-sungguh baru kelihatan kelemahan taktiknya itu. Namun di zaman sekarang berdiam diri seperti itu nampaknya sudah ketinggalan zaman. Tetap saja pertanyaan saya tidak terjawab. Bila dalam ajaran non Mahayanis dikatakan bahwa pancakkandha adalah dasar bagi segala sesuatu, dimana ke-5 kanddha ini padam saat seseorang mencapai parinibanna; dengan kata lain tidak ada apa-apa lagi, mengapa Buddha tidak dengan mudah mengatakan TIDAK ADA saja? Bila Buddha mengatakan demikian, tentu tidak akan terjadi perselisihan antar sekte. Umat non Mahayanis akan berkelit dan menolak menanggapinya. Mereka mengatakan bahwa pertanyaan ini tidak valid. Baik, kita akan mengulas implikasi bagi tanggapan non Mahayanis ini:

1.Jawaban bahwa pertanyaan itu tidak valid, dapat menimbulkan kesan bahwa yang ditanya tidak tahu lagi harus menjawab apa, sehingga melontarkan jawaban seperti itu.

2.Jika mereka mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak valid, maka umat Mahayana juga berhak melontarkan pendapat bahwa segenap kritikan dan pertanyaan kaum non Mahayanis terhadap Mahayanis adalah juga tidak valid.

Sekarang kita akan menjawab apakah Mahayana mengarah pada eternalis. Jawabannya adalah tidak. Eternalis adalah pandangan akan "ada"nya suatu esensi yang kekal dan berubah. Ini disebut atman dalam bahasa Sansekerta. Tentu saja pengertian "ada" di sini adalah dalam pengertian makhluk awam. Mahayana ternyata tidak mengakui adanya atman semacam ini. Marilah kita tengok pada Sutra Lankavatara. Sang Buddha dengan tegas menyatakan: "Mahamati, Tathagatagarbha yang Kuajarkan bukanlah atman illahi." Karena itu, bertolak dari kutipan sutra di atas, Mahayana sama sekali tidak mengajarkan adanya atman yang kekal.
Kedua, Mahayana memang menganggap bahwa Sang Buddha tidak musnah (nihilis), melainkan berada dalam suatu "keberadaan." Tetapi "keberadaan" di sini tidak sama dengan pengertian "keberadaan" menurut orang yang belum tercerahi. Jadi definisi eternalis tidak tepat dikenakan pada Mahayana. Oleh karena itu, kelebihan Mahayana adalah sanggup mengatasi nihilisme dan eternalisme sekaligus.
Hal ini tentu saja berbeda dengan non Mahayanis, yang mengajarkan bahwa setelah pancaskandha padam tidak ada apa-apa lagi. Namun anehnya yang tidak dapat dimengerti, mengapa mereka tidak mau mengatakan bahwa Buddha SUDAH TIDAK ADA LAGI? Ini terkesan kontradiktif dengan ajaran mereka.
Demikian, semoga posting ini jadi bahan pertimbangan.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1113 on: 16 May 2009, 05:50:59 PM »
MARCEDES:

saudara Tan yang bijak,
dalam teks pali mesti kita teliti kata-kata tersebut....maaf dalam hal ini sy juga bukan ahli.

tetapi dalam kasus percakapan buddha dengan vecchagota, buddha jelas menolak kata "tidak ada setelah parinibbana" apabila tidak ada unsur yg padam...

TAN:

Tapi pada kenyataannya, ada khan unsur yang padam? Yaitu pancakkhanda. Kalau para makhluk hanya tersusun dari lima kandha dan itu padam saat mencapai nibanna tanpa sisa, lalu apa lagi yang tersisa? Mengapa tidak dikatakan saja tidak ada? Maka semuanya akan menjadi logis.

MARCEDES:

dan buddha juga menolak dikatakan "ADA" karena kasus nya tidak tepat....
dalam hal tumimbal lahir.

TAN:

Tunggu. Yang Anda maksud dalam kasus ini adalah tumimbal lahir atau seorang Buddha yang merealisasi anupadisesa nibanna? Ini yang perlu kita bedakan karena kasusnya berbeda.

Amiduofo,


Tan


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1114 on: 17 May 2009, 12:04:16 AM »
MARCEDES:

saudara Tan yang bijak,
dalam teks pali mesti kita teliti kata-kata tersebut....maaf dalam hal ini sy juga bukan ahli.

tetapi dalam kasus percakapan buddha dengan vecchagota, buddha jelas menolak kata "tidak ada setelah parinibbana" apabila tidak ada unsur yg padam...

TAN:

Tapi pada kenyataannya, ada khan unsur yang padam? Yaitu pancakkhanda. Kalau para makhluk hanya tersusun dari lima kandha dan itu padam saat mencapai nibanna tanpa sisa, lalu apa lagi yang tersisa? Mengapa tidak dikatakan saja tidak ada? Maka semuanya akan menjadi logis.

MARCEDES:

dan buddha juga menolak dikatakan "ADA" karena kasus nya tidak tepat....
dalam hal tumimbal lahir.

TAN:

Tunggu. Yang Anda maksud dalam kasus ini adalah tumimbal lahir atau seorang Buddha yang merealisasi anupadisesa nibanna? Ini yang perlu kita bedakan karena kasusnya berbeda.

Amiduofo,
Tan
Saudara Tan, seorang yang mencapai nibbana tidak akan berspekulasi, apakah dirinya akan ada dimasa depan, atau tidak ada dimasa depan....tetapi menembus akan dua hal itu....tidak terjebak pada pilihan yang dibuat pikirannya sendiri...

jadi tidaklah mungkin seorang yang mencapai arahat, itu berkata kepada orang lain bahwa, saya telah mencapai tingkat kesucian arahat....dikarenakan tidak ada pencapaian apapun, tetapi yang ada adalah "pelepasan"....tetapi sebenarnya telah mencapai arahat.

periksa lah Tipitaka dan sampai saat ini tidak ada satupun seorang arahat berkata bahwa "saya ada pada masa lampau, atau masa depan, atau tidak ada di kedua-dua-nya...."
tetapi sebenarnya itu telah padam....jadi dikatakan tidak ada apa-apa lagi...

jadi ketika anda bertanya, apakah Buddha itu tidak ada setelah parinibbana...tidaklah mungkin buddha berkata "saya tidak ada", tetapi sebenarnya memang tidak ada....karena para arahat tidak berpikir tentang masa lampau, atau masa depan...
yang ada "yathabhutam nanadassanam"

inilah yang dimaksudkan dengan brahmajala sutta, tidak berspekulasi dan tidak berpikir tentang masa depan atau masa lampau......tetapi yang ada     S A A T      I N I
maka dikatakan padam..................


"Nibbana, O Raja, tidak dibangun, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat
ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah
timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini atau
masa depan; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah atau
tubuh."
"Kalau begitu, Yang Mulia Nagasena, nibbana adalah kondisi yang tidak ada!"
"Nibbana itu ada, O Baginda, dan dapat dikenali lewat pikiran.
Seorang siswa Arya yang pikirannya murni, mulia, tulus, tidak terhalang, dan
bebas dari kemelekatan dapat mencapai nibbana." 


mudah-mudahan kata-kata saya bisa dipahami.

salam metta.
« Last Edit: 17 May 2009, 12:09:33 AM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1115 on: 17 May 2009, 09:26:09 AM »
sedang mencerna nih ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1116 on: 17 May 2009, 11:49:19 AM »
TAN:

Itulah dia. Aliran non Mahayanis menggunakan siasat DIAM MEMBISU agar tidak dikatakan nihilis atau eternalis (menolak berkomentar "ya" "tidak" "ya dan tidak" ataupun "bukan ya ataupun tidak."
Pertama-tama, aliran Hinayana mengajarkan mahluk untuk berbahagia, bukan untuk menjadi tukang debat paling mahir, atau pun mampu menjawab semua pertanyaan, walaupun itu pertanyaan ga nyambung.

Saya beri perumpamaan. Misalkan Bro Tan punya anak yang sangat gemar dengan superhero tertentu. Suatu ketika dalam kisahnya, superhero tersebut mengalami kemalangan, dan menghilang. Namun tidak diceritakan kelanjutannya. Kemudian anak Bro Tan itu bertanya-tanya dan memaksa meminta jawaban dan penjelasan kepada anda apakah superhero masih ada atau mati. Karena superhero itu bagi anak Bro Tan terlebih dahulu diasumsikan "ADA", maka kemudian ia memaksa bertanya apakah kemudian ia tetap ada atau binasa.
Nah, kepada para anak-anak tersebut, hanya ada dua pilihan bagi kita untuk menjawab, "Superhero tetap ada (eternalis)" dan "Superhero sudah binasa (nihilis)". Setelah ia dewasa, maka ia punya pola pikir yang berbeda dari sekadar "ada" dan "tidak ada".



Quote
Memang sekilas siasat ini nampak jitu. Tetapi kalau kita renungkan sungguh-sungguh baru kelihatan kelemahan taktiknya itu. Namun di zaman sekarang berdiam diri seperti itu nampaknya sudah ketinggalan zaman. Tetap saja pertanyaan saya tidak terjawab. Bila dalam ajaran non Mahayanis dikatakan bahwa pancakkandha adalah dasar bagi segala sesuatu, dimana ke-5 kanddha ini padam saat seseorang mencapai parinibanna; dengan kata lain tidak ada apa-apa lagi, mengapa Buddha tidak dengan mudah mengatakan TIDAK ADA saja? Bila Buddha mengatakan demikian, tentu tidak akan terjadi perselisihan antar sekte. Umat non Mahayanis akan berkelit dan menolak menanggapinya. Mereka mengatakan bahwa pertanyaan ini tidak valid. Baik, kita akan mengulas implikasi bagi tanggapan non Mahayanis ini:

1.Jawaban bahwa pertanyaan itu tidak valid, dapat menimbulkan kesan bahwa yang ditanya tidak tahu lagi harus menjawab apa, sehingga melontarkan jawaban seperti itu.
Saya rasa jawaban bahwa "pertanyaan itu ditanyakan dengan tidak tepat" memang hanya pantas dikatakan oleh seorang yang sudah mencapai kesucian saja, karena ia memang tahu bahwa pertanyaan itu tidak tepat.
Untuk orang yang masih belum mencapai kesucian (seperti saya), itu hanyalah suatu cliche yang sebenarnya memang tidak valid.
Namun saya heran mengapa Bro Tan di sini malah terbawa arus menjadi "orang suci" juga dengan membalas "menghakimi" Non-Mahayana.


Quote
2.Jika mereka mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak valid, maka umat Mahayana juga berhak melontarkan pendapat bahwa segenap kritikan dan pertanyaan kaum non Mahayanis terhadap Mahayanis adalah juga tidak valid.
Ini sekali lagi saya setuju, dalam hal "spekulasi setelah parinibbana".


Quote
Sekarang kita akan menjawab apakah Mahayana mengarah pada eternalis. Jawabannya adalah tidak. Eternalis adalah pandangan akan "ada"nya suatu esensi yang kekal dan berubah. Ini disebut atman dalam bahasa Sansekerta. Tentu saja pengertian "ada" di sini adalah dalam pengertian makhluk awam. Mahayana ternyata tidak mengakui adanya atman semacam ini. Marilah kita tengok pada Sutra Lankavatara. Sang Buddha dengan tegas menyatakan: "Mahamati, Tathagatagarbha yang Kuajarkan bukanlah atman illahi." Karena itu, bertolak dari kutipan sutra di atas, Mahayana sama sekali tidak mengajarkan adanya atman yang kekal.
Kedua, Mahayana memang menganggap bahwa Sang Buddha tidak musnah (nihilis), melainkan berada dalam suatu "keberadaan." Tetapi "keberadaan" di sini tidak sama dengan pengertian "keberadaan" menurut orang yang belum tercerahi. Jadi definisi eternalis tidak tepat dikenakan pada Mahayana. Oleh karena itu, kelebihan Mahayana adalah sanggup mengatasi nihilisme dan eternalisme sekaligus.
Hal ini tentu saja berbeda dengan non Mahayanis, yang mengajarkan bahwa setelah pancaskandha padam tidak ada apa-apa lagi. Namun anehnya yang tidak dapat dimengerti, mengapa mereka tidak mau mengatakan bahwa Buddha SUDAH TIDAK ADA LAGI? Ini terkesan kontradiktif dengan ajaran mereka.
Demikian, semoga posting ini jadi bahan pertimbangan.
Ya, saya sudah melihat perbedaannya. Hinayana berusaha menghindari spekulasi dalam bentuk apa pun juga sehingga ketika ditanya mengenai spekulasi "setelah parinibbana" memilih diam. Di lain pihak, Mahayana mencoba menteorikan spekulasi tersebut ke dalam konsep tertentu. Bagi saya memang keduanya sama, adalah untuk menjaga pikiran orang awam agar spekulasinya tidak berkembang terlalu jauh ke mana-mana. Jadi hanya tergantung preference masing-masing saja.


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1117 on: 17 May 2009, 11:12:48 PM »
Diskusi dengan Sdr. Kainyn Kutho

Diskusi dengan Sdr. Kainyn kali ini sudah ada beberapa kemajuan. Setidaknya kita sudah sepakat dalam berbagai hal; terutama dalam poin-poin berikut ini:

KAINYN KUTHO (1):

Ini sekali lagi saya setuju, dalam hal "spekulasi setelah parinibbana".

KAYNIN KUTHO (2):

Ya, saya sudah melihat perbedaannya. Hinayana berusaha menghindari spekulasi dalam bentuk apa pun juga sehingga ketika ditanya mengenai spekulasi "setelah parinibbana" memilih diam. Di lain pihak, Mahayana mencoba menteorikan spekulasi tersebut ke dalam konsep tertentu. Bagi saya memang keduanya sama, adalah untuk menjaga pikiran orang awam agar spekulasinya tidak berkembang terlalu jauh ke mana-mana. Jadi hanya tergantung preference masing-masing saja.

TAN:

Ya saya 100 % sepakat dengan Anda.

Berikut ini masih ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan.

KAYNIN KUTHO:

Pertama-tama, aliran Hinayana mengajarkan mahluk untuk berbahagia, bukan untuk menjadi tukang debat paling mahir, atau pun mampu menjawab semua pertanyaan, walaupun itu pertanyaan ga nyambung.

TAN:

Benar. Saya kira aliran Mahayana juga demikian. Sesungguhnya tujuan semua agama adalah membawa umatnya pada kebahagiaan dan bukan menjadi tukang debat. Namun pada kenyataannya banyak dari kita yang gemar berdebat. Tetapi ini tidak masalah, yang penting kita jangan melupakan tujuan sejati Buddhisme, baik itu Mahayana maupun non Mahayana.

KAINYN KUTHO:

Saya beri perumpamaan. Misalkan Bro Tan punya anak yang sangat gemar dengan superhero tertentu. Suatu ketika dalam kisahnya, superhero tersebut mengalami kemalangan, dan menghilang. Namun tidak diceritakan kelanjutannya. Kemudian anak Bro Tan itu bertanya-tanya dan memaksa meminta jawaban dan penjelasan kepada anda apakah superhero masih ada atau mati. Karena superhero itu bagi anak Bro Tan terlebih dahulu diasumsikan "ADA", maka kemudian ia memaksa bertanya apakah kemudian ia tetap ada atau binasa.
Nah, kepada para anak-anak tersebut, hanya ada dua pilihan bagi kita untuk menjawab, "Superhero tetap ada (eternalis)" dan "Superhero sudah binasa (nihilis)". Setelah ia dewasa, maka ia punya pola pikir yang berbeda dari sekadar "ada" dan "tidak ada".

TAN:

Benar. Perumpamaan yang baik. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa superhero itu memang "ada," dalam artian sebagai berikut:

1. Dapat mempengaruhi mentalitas seseorang, khususnya anak2.
2. Jika tokoh superhero atau pujaan kita mati, maka kita akan merasa sedih. Ada kasus seorang anak yang menangis waktu Superman ditonjok oleh musuhnya yang membawa batu kryptonite. Konon dengan adanya batu itu tenaga Superman akan menjadi lemah.
3. Orang dewasa juga kadang sedih dan menangis waktu tokoh idolanya mati atau menderita. Contoh: ibu-ibu yang menonton sinetron.

Nah, jika superhero itu "tidak ada" mengapa ada orang yang menangis dan susah waktu "tokoh" kesayangan disakiti atau mati. Jadi seorang superhero itu "ada" namun mempunyai konsep "keberadaan" yang berbeda dengan kita.

Tetapi jika superhero dikatakan "ada," pada kenyataannya ia tidak mempunyai darah dan daging atau wujud seperti kita. Jadi superhero itu memang "tidak ada," tetapi tidak mempunyai konsep "ketidak-adaan" seperti kita.

Dari sinilah pandangan kita mengenai "ada" dan "tidak ada" itu perlu kita perluas seiring dengan hidup kita, yang akan mencapai puncaknya saat kita merealisasi Kesempurnaan.

KAINYN KUTHO:

Namun saya heran mengapa Bro Tan di sini malah terbawa arus menjadi "orang suci" juga dengan membalas "menghakimi" Non-Mahayana.


TAN:

Saya tidak menghakimi non Mahayana. Jujurnya dalam praktik keseharian saya sendiri tidak menganut pandangan dikotomis Mahayana - non Mahayana. Saya menjalankan meditasi konsentrasi pernafasan (satthipatana), nianfo, dan juga membaca mantra. Bagi saya, kalau sudah masuk ke tataran praktik spiritual, label tidak lagi penting. Hanya untuk menjelaskan di sini (dalam artian forum ini) saya perlu mengambil sisi Mahayana. Lebih jauh lagi, dalam menjelaskan sesuatu, kita terkadang perlu mengambil sisi ekstrem lawan dari hal itu. Oleh karena itu, saya seolah-olah terkesan "menghakimi." Padahal bukan itu maksud saya.

Amiduofo,

Tan


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1118 on: 17 May 2009, 11:15:37 PM »
MERCEDES:

jadi ketika anda bertanya, apakah Buddha itu tidak ada setelah parinibbana...tidaklah mungkin buddha berkata "saya tidak ada", tetapi sebenarnya memang tidak ada....

TAN:

Berarti benar ya, memang "tidak ada apa-apa" lagi khan?


Amiduofo,

Tan

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1119 on: 18 May 2009, 10:34:38 AM »
KAINYN KUTHO:

Saya beri perumpamaan. Misalkan Bro Tan punya anak yang sangat gemar dengan superhero tertentu. Suatu ketika dalam kisahnya, superhero tersebut mengalami kemalangan, dan menghilang. Namun tidak diceritakan kelanjutannya. Kemudian anak Bro Tan itu bertanya-tanya dan memaksa meminta jawaban dan penjelasan kepada anda apakah superhero masih ada atau mati. Karena superhero itu bagi anak Bro Tan terlebih dahulu diasumsikan "ADA", maka kemudian ia memaksa bertanya apakah kemudian ia tetap ada atau binasa.
Nah, kepada para anak-anak tersebut, hanya ada dua pilihan bagi kita untuk menjawab, "Superhero tetap ada (eternalis)" dan "Superhero sudah binasa (nihilis)". Setelah ia dewasa, maka ia punya pola pikir yang berbeda dari sekadar "ada" dan "tidak ada".

TAN:

Benar. Perumpamaan yang baik. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa superhero itu memang "ada," dalam artian sebagai berikut:

1. Dapat mempengaruhi mentalitas seseorang, khususnya anak2.
2. Jika tokoh superhero atau pujaan kita mati, maka kita akan merasa sedih. Ada kasus seorang anak yang menangis waktu Superman ditonjok oleh musuhnya yang membawa batu kryptonite. Konon dengan adanya batu itu tenaga Superman akan menjadi lemah.
3. Orang dewasa juga kadang sedih dan menangis waktu tokoh idolanya mati atau menderita. Contoh: ibu-ibu yang menonton sinetron.

Nah, jika superhero itu "tidak ada" mengapa ada orang yang menangis dan susah waktu "tokoh" kesayangan disakiti atau mati. Jadi seorang superhero itu "ada" namun mempunyai konsep "keberadaan" yang berbeda dengan kita.

Tetapi jika superhero dikatakan "ada," pada kenyataannya ia tidak mempunyai darah dan daging atau wujud seperti kita. Jadi superhero itu memang "tidak ada," tetapi tidak mempunyai konsep "ketidak-adaan" seperti kita.

Dari sinilah pandangan kita mengenai "ada" dan "tidak ada" itu perlu kita perluas seiring dengan hidup kita, yang akan mencapai puncaknya saat kita merealisasi Kesempurnaan.
Ya, sebetulnya kita ini anak-anak yang belum tahu. Sebetulnya dibilang "ada" yah salah, dibilang "tidak ada", juga keliru. Tapi namanya anak-anak perlu bimbingan dalam berkembang, jadi tergantung kecocokan masing-masing terhadap satu konsep. Kalau yang saya percaya, setelah kita sendiri "dewasa", tidak ada lagi pertanyaan "ada/tidak ada" tersebut.




Quote
KAINYN KUTHO:

Namun saya heran mengapa Bro Tan di sini malah terbawa arus menjadi "orang suci" juga dengan membalas "menghakimi" Non-Mahayana.


TAN:

Saya tidak menghakimi non Mahayana. Jujurnya dalam praktik keseharian saya sendiri tidak menganut pandangan dikotomis Mahayana - non Mahayana. Saya menjalankan meditasi konsentrasi pernafasan (satthipatana), nianfo, dan juga membaca mantra. Bagi saya, kalau sudah masuk ke tataran praktik spiritual, label tidak lagi penting. Hanya untuk menjelaskan di sini (dalam artian forum ini) saya perlu mengambil sisi Mahayana. Lebih jauh lagi, dalam menjelaskan sesuatu, kita terkadang perlu mengambil sisi ekstrem lawan dari hal itu. Oleh karena itu, saya seolah-olah terkesan "menghakimi." Padahal bukan itu maksud saya.

Amiduofo,

Tan

Ya, memang sebetulnya agama, aliran atau sekte semuanya tidak berarti dan tidak nyata. Yang nyata hanyalah kehidupan dengan semua penderitaannya. :)


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1120 on: 18 May 2009, 11:29:24 PM »
MERCEDES:

jadi ketika anda bertanya, apakah Buddha itu tidak ada setelah parinibbana...tidaklah mungkin buddha berkata "saya tidak ada", tetapi sebenarnya memang tidak ada....

TAN:

Berarti benar ya, memang "tidak ada apa-apa" lagi khan?


Amiduofo,

Tan
saudara Tan yg bijak,
kalau di quote tolong di quote secara lengkap, karena kalau sepotong seperti itu..
seakan-akan saya menyatakan "bahwa Tathagata tidak ada setelah parinibbana"

tetapi maksud saya adalah "tidak ada pemikiran seperti ada atau pun tidak ada setelah itu"


jadi ketika anda bertanya, apakah Buddha itu tidak ada setelah parinibbana...tidaklah mungkin buddha berkata "saya tidak ada", tetapi sebenarnya memang tidak ada.....karena para arahat tidak berpikir tentang masa lampau, atau masa depan...



salam metta.
« Last Edit: 18 May 2009, 11:55:56 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1121 on: 18 May 2009, 11:46:05 PM »
bisa baca,Potthapàda Sutta

disitu lah jawabannya.

apakah Tathagata itu ada setelah parinibbana.
apakah Tathagata itu tidak ada setelah parinibbana.
apakah Tathagata itu tidak ada ataupun ada setelah parinibbana.
apakah Tathagata itu bukan tidak ada ataupun bukan ada setelah parinibbana.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1122 on: 20 May 2009, 11:41:35 PM »
Quote
TL:

Hayo pada reply sebelumnya nggak ngaku... jadi benar kan Theravada 99% sama dengan Mahayana? 
Tapi sorry... kayaknya Theravada nggak ngerasa sama lho mas...

TAN:

Anda salah besar. Di sini kita membahas sesuatu yang beda. Mari kita lihat apa yang sedang kita bicarakan. Yang kita bicarakan adalah perbandingan Agama Sutra dan Nikaya Pali. Ingat bahwa Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari Kanon Mahayana. Kalau isi Agama Sutra kurang lebih 99 % sama dengan Nikaya Pali. Tetapi karena Mahayana juga memiliki suatu kumpulan yang disebut Sutra-sutra Mahayana (Nama Mahayana Sutra), maka jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana. Ini adalah sesuatu yang beda. Yang satu bicara kitab suci sedangkan yang satu bicara mazhab. Suatu agama yang kitab sucinya benar-benar sama saja bias terpecah menjadi berbagai mazhab, apalagi yang kita sucinya tidak identik. Sutra-sutra Mahayana itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Agama Sutra. Inilah yang Anda tidak mengerti-ngerti jadi diskusinya tidak maju-maju.
Memang Theravada tidak sama dengan Mahayana, tetapi dalam diskusi ini kita memperbandingkan mana yang lebih masuk akal. Selama diskusi selama beberapa minggu ini belum pernah saya mendapatkan jawaban yang membuktikan bahwa Mahayana “tidak masuk akal.” Malah saya merasa sudah membuktikan bahwa ada beberapa ajaran mazhab non Mahayanis yang tidak masuk akal, seperti mengajarkan nihilisme, dan lain sebagainya.
Justru saya berdiskusi untuk “menguji” mazhab saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satupun tanggapan rekan-rekan non Mahayanis yang sanggup menggoyangkan sendi-sendi Mahayana.
Mahayana juga nggak merasa sama dengan Theravada kok hehehehee…. Malahan Mahayana tidak mau dikatakan nihilisme.

Agama Sutra 99% sama dengan Nikaya Pali. Bila Agama Sutra sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain, berarti isi Nikaya Pali 99% sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain.

dulu disekolah matematika dapat berapa mas?

Quote
TL:

Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)" 
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?

TAN:

Hm bagaimana ya? Karena kita beda pandangan di sini. Bagi saya tindakan semacam itu bukan berbohong. Kita kadang harus bijaksana dalam menjawab sesuatu. Supaya orang seperti Anda bisa mengerti, saya kasih satu contoh dah. Umpamanya Anda punya anak atau keponakan yang masih kecil dan ingusan, terus dia bertanya: “Darimana datangnya adik bayi?” Pertanyaannya apakah Anda akan memberikan jawaban: “O iya adik bayi itu datangnya dari hubungan [tiiiittttt sensor], caranya alat [tiittttt..sensor] dimasukkan ke [tiittttt…sensor]…..” Begitu ya? Jawaban yang bijak adalah mengatakan: “Adik bayi itu datang dibawa burung bangau.” Nah, apakah jawaban itu adalah kebohongan? Tidak. Karena itu adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan. Anda mungkin akan berkilah dengan mengatakan, “Ah, tunggu kamu besar, nanti khan tahu sendiri.” Tetapi ingat ini bukan jawaban. Efek negatifnya akan lebih besar. Sang anak jadi penasaran dan kemungkinan mencari dari sumber-sumber lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, kasus yang saya ungkapkan dalam posting sebelumnya juga belum Anda jawab. Apakah bijaksana memberitahu kondisi yang sebenarnya pada sang ayah yang sakit jantung atau depresi? Sebaiknya Anda jawab pertanyaan ini.
Apakah sah-sah saja seorang Buddha di Mahayana berbohong? Pertanyaan ini tidak valid, karena Mahayana tidak menganggapnya sebagai kebohongan.

Jadi berbohong bisa dibenarkan ya? asal bijaksana
membunuh bisa dibenarkan, asal bijaksana
mencuri bisa dibenarkan asal bijaksana
asusila bisa dibenarkan asal bijaksana    ;D

Tidak bisa membedakan antara berbohong dengan diam ya mas?  Apakah kalau diam termasuk berbohong?  ^-^

Quote
TL:

Katanya punya keterbatasan pengetahuan kok tahu Buddha mondar-mandir Nirvana-Samsara?

TAN:

Anda salah. Buddha tidak mondar mandir nirvana-samsara. Anda mengatakannya demikian karena memandangnya dari sudut pandang dualisme. Sah-sah saja Anda mengatakan demikian, tetapi dari sudut pandang Mahayana hal ini tidak benar. Istilah “mondar mandir” nirvana dan samsara itu tidak valid karena:

1.Bagi seorang Buddha tidak ada lagi dualisme nirvana dan samsara. Karena nirvana tidak lagi beda dan samsara, adakah lagi masuk dan keluar?
2.Saat seorang Buddha “memasuki” (ini istilah yang terpaksa digunakan) samsara, ia tidak meninggalkan “keberadaan”nya (istilah ini juga terpaksa dipergunakan karena kerterbatasan kosa kata kita) di nirvana. Dharmakaya seorang Buddha tetap omnipresence dan tidak “berpindah” ke mana-mana.

Jadi jelas istilah “mondar-mandir nirvana-samsara” itu tidak valid. Ya memang kita mempunyai keterbatasan pengetahuan, karena itu kita harus tahu batasnya.

kalau tidak tahu bersikap tahu itu namanya ... tahu

Quote
TL:

Bingung? Wajar karena sudah saya katakan tolong diresapi dan dimengerti, karena saya rasa memang terlalu dalam untuk mas Tan. Penjelasan seperti ini merupakan pelajaran anak SMP dikalangan T lho mas.
Masa iya mas Tan nggak mengerti bahwa bila sebuah rumah, tiang-tiang penopangnya telah hancur, gentingnya telah berserakan, tiang kuda-kudanya telah patah berkeping-keping apakah masih dapat menjadi tempat naungan bagi orang-orang?

TAN:

Bisa. Kalau rumahnya dibangun kembali. Meskipun fungsi sebuah sudah berakhir, tetapi unsur penyusun2nya masih ada khan. Genting, kuda-kuda, tiang penopang, atau bata-batanya masih ada khan? Ataukah menurut Anda lantas semuanya lenyap sama sekali? Semoga tidak ada yang terobsesi dengan David Copperfield di sini yang bisa menihilismekan suatu benda.

Kelihatannya saya musti sabar mengajarkan mas Tan,

Jika seorang Bhikkhu melepaskan kemelekatan pada kesadaran, kemudian karena melepas kemelekatan terhadap kesadaran, penyangganya terpotong, dan tak ada basis kesadaran. Kesadaran, dengan demikian tidak muncul, tidak muncul terus-menerus, tidak melakukan fungsi apapun, terbebas, karena terbebas menjadi mantap, karena mantap menjadi puas. karena menjadi puas tidak teragitasi, ia (bhikkhu) (batinnya) tak terbelenggu, ia mengetahui "kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terpenuhi, kewajiban telah dilaksanakan. Tak ada lagi yang harus dilakukan di dunia ini."
ini dari Upaya Sutta, Samyutta Nikaya. kalau 99% sama, mungkin ada di Agama Sutra   ^-^

Quote
TL

Berbicara mengenai pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti? 

TAN:

Rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti dengan dua cara:

1.Tidak ada orang lagi yang tinggal di sana. Kalau tidak yang berlindung di dalamnya, apakah dapat disebut tempat berlindung?
2.Rumahnya rusak dan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung.

Jadi rumah tidak harus hancur. Rumah memang anitya, tetapi ingat anitya tidak sama dengan nihilisme. Rumah mungkin hancur menjadi unsur2 penyusunnya. Tetapi ingat unsur2 penyusun ini tetap ada. Karena itu analogi itu tidak dapat mendukung pendapat Anda

lain yang yang ditanyakan lain yang dijawab. perhatikan kalimat berikut:

ada fungsi rumah sebagai tempat perlindungan yang telah berhenti, simak baik-baik pertanyaannya: apakah penghentian fungsinya akan berhenti atau tidak berhenti?


Quote
TL:

Nih saya kasih tahu lagi, simak yang baik pelajaran SMP ini ya? Berhentinya fungsi rumah tersebut karena bahan-bahan pendukungnya telah tak berfungsi, oleh karena itu fungsi rumah tersebut juga berhenti.

TAN:

Semua anak SD, juga tahu bahwa rumah itu bisa dibangun kembali dan reruntuhannya tidak mungkin lenyap begitu saja.


Semua anak TK juga tahu itu hanya spekulasi mas Tan, emangnya tahu itu akan dibangun kembali atau tidak?  ;D

Quote
TL:

Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi,  apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.

Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.

Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)

TAN:

Jadi menurut Anda: anupadisesa nibanna tak berkondisi, sedangkan saupadisesa nibanna masih berkondisi? Jadi ada dua jenis nibanna yang berbeda kalau begitu? Apakah menurut Anda dengan demikian anupadisesa nibanna lebih tinggi dari saupadisesa nibanna? Jika anupadisesa nibanna “lebih tinggi” dari saupadisesa nibanna bukankan itu adalah suatu “kondisi” (dalam artian lebih tinggi dan rendah)?  Anda mengatakan saupadisesa nibanna masih berkondisi. Artinya “nibanna” masih bisa berkondisi dan tidak bukan? Bisa “berkondisi dan tidak” bukankah itu adalah suatu kondisi. Ingat ini Anda sendiri yang menyatakan lho.

kalau tidak mengerti jangan membantah mas, seorang Arahat telah mengalami Nibbana dalam kehidupan ini juga, bukan sesudah wafat. Jangankan Arahat, seorang Sotapanna juga merasakan Nibbana sewaktu masih hidup bukan sesudah meninggal.

Membandingkan Nirvana tinggi atau rendah adalah pertanyaan penuh konsep dari orang yang tak mengerti, Nirvana tak ada lebih tinggi atau lebih rendah kalau seorang Ariya mencapai Nirvana sewaktu duduk bermeditasi tentu saja ada kondisi yaitu tubuhnya sendiri, yang masih utuh.

Sekarang saya Tanya apakah Seorang Bodhisatva dalam Mahayana sudah merasakan Nirvana atau belum?



« Last Edit: 21 May 2009, 12:06:59 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1123 on: 20 May 2009, 11:43:27 PM »
Quote
TL:

Oleh sebab itu dikatakan dalam Dhammanussati: Sanditthiko, akaliko, opanayiko paccatam veditabbo vinnuhiti...
Dhamma berada sangat dekat, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh orang bijaksana dalam batin masing-masing.

Perhatikan terjemahan kata diselami, yang tepat adalah dialami. Dhamma adalah jalan hingga tercapainya Nibbana itu sendiri (baca: Dhammacakkapavattana sutta)

Dhamma disini bukan berarti teori spekulasi macam-macam. Dhamma berarti pembersihan batin dari macam-macam noda, dengan kata lain mencapai Magga/Phala yaitu: mencapai dan mengalami Nibbana sewaktu kita masih hidup, bukan sudah meninggal.

Bagaimanakah caranya agar kita terbebas dari kondisi-kondisi tersebut? Dengan melatih Dhamma dan menembus Dhamma atau mencapai kesucian/ mengalami Nibbana seseorang pada akhirnya akan mampu melepaskan kemelekatan pada pancakhandha. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi, "wahai pembuat rumah.... dstnya"  baca sendiri deh di RAPB.

Mengenai mahluk lain masih diliputi oleh anicca, oleh karena mereka belum terbebas dari kondisi-kondisi.

Mengenai Anitya itu nitya atau tidak anitya maksudnya apa? MAS TAN SENDIRI BISA MENJAWAB ATAU TIDAK?
Saya telah menjawab dengan jelas!!!  Dan sekarang MAS TAN, TERUS MEMAKAI JURUS BERKELIT KARENA MAS TAN SENDIRI TAK BISA MENJAWAB KAN? jawaban saya tak memuaskan mas Tan, itu jelas karena memaksakan pendapat bahwa T nihilis padahal sudah dikatakan bahwa Sang Buddha menolak bila dikatakan Beliau ada setelah Parinibbana, Beliau juga tidak setuju bila dikatakan Beliau tak ada setelah Parinibbana, maupun pandangan Buddha ada dan tidak ada, Buddha bukan tidak ada dan bukan ada, karena semua hal itu merupakan spekulasi. 

Hayo ngaku, mas Tan bingung terhadap pertanyaan mas Tan sendiri kan? Makanya dikasih tahu bagaimanapun juga tetap nggak mudeng.   

makanya kalo kagak ngerti mengenai Nirvana jangan berspekulasi.

TAN:

Wah. Anda masih belum bisa menjawab juga. Masih menuduh orang lain berkelit. Tapi tidak mengapa. Saya tidak peduli dituduh apapun. Anda tidak berspekulasi? Kalau begitu bagaimana bisa tahu kalau nibanna itu tak berkondisi? Dari buku khan? Nah, sesama pencontek buku tidak perlu saling menyalahkan. Sama-sama spekulan tida boleh saling mendahului. Heheheehehe. Sebagai informasi, saya tidak bingung dengan pertanyaan saya sendiri. Saya berterima kasih, karena Anda telah memproklamasikan kebingungan saya.

Kalau saya tidak cuma dari buku mas, juga mendengar pengalaman mereka yang mengalami Nibbana, maaf jadi kita tidak sama. mas Tan tukang contek dari buku, kalau saya ditambah penuturan pengalaman orang lain hehehehe.

BTW perlu diingat satu hal mengapa Sang buddha menolak menerangkan mengenai Nibbana harap dicamkan baik-baik:Sang Buddha waktu menerangkan semua Sutta belum Parinibbana oleh karena itu beliau menolak menerangkan mengenai keadaan sesudah Parinibbana, karena akan menjadi bentuk spekulasi.

Jadi pengalaman Nirvana yang Beliau terangkan adalah Nirvana yang masih bersisa (Saupadisesa Nibbana) sedangkan kalau Nibbana tanpa sisa (anupadisesa Nibbana / Parinibbana) ikuti link yang diberikan mas Marcedes atau link berikut:

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.095.than.html

Nah kalau orang  yang menerangkan panjang lebar keadaan setelah Parinirvana emangnya orang itu pernah Parinirvana?  Mati suri kali ya?  ^-^

Quote
TL:

Sudah dapat belum yang mau membeli tulisan saya mas?

TAN:

Ah, mana ada yang mau. Dikasih gratis saja belum tentu ada yang mau. Wakakakaka )

kok menyembunyikan fakta mas? lengkapnya kan begini:

Quote
Quote
Jadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.
Kalau ada yang mau bayar tulisan saya setengah atau sepersepuluhnya saja dari 500.000 USD tolong kasih tahu saya ya mas Tan? nanti saya bagi separoh, makasih sebelumnya lho mas.

Belum ditanya kan? Coba ditanya mungkin ada yang mau beli, ntar kita bagi dua honornya  :))
Quote
TL:

yang mana ya? saya juga gelap tuh! siapa yang menjadi nihil ya? tolong kasih tahu dimana mahluk yang menjadi nihil tersebut, oh ya tolong kasih tahu mas Tan, bagaimana caranya mahluk tersebut menjadi nihil.
ngomong-ngomong ada yang mengajarkan eternalisme lho mas, hayo ngaku siapa 

Mau lapor kepada moderator nih, mas Tan menghina dan merendahkan ajaran lain yang tidak sesuai dengan pandangannya  dengan mengatakan bahwa ajaran tersebut nihilis... hayo buktikan mas Tan, dimana di Tipitaka maupun komentarnya yang mengatakan bahwa SANG BUDDHA MENGAJARKAN UNTUK MENGHANCURKAN DIRI SENDIRI (NIHILISME?)

TAN:

Sudah saya ungkapkan pada posting-posting terdahulu. Malas ngulang-ulang terus. Ajaran yang mengatakan bahwa sesudah pancaskandha hancur terus tidak ada apa-apa lagi, apakah bukan nihilisme?
Hayo masih tidak mau ngaku ada yang mengajarkan nihilisme? Siapa ya?


Nuduh ya? Kapan dan dimana dikatakan sesudah panca skandha hancur tak ada apa-apa lagi? sumbernya mana?

Copy paste lagi aaahhhh:

Jika seorang Bhikkhu melepaskan kemelekatan pada kesadaran, kemudian karena melepas kemelekatan terhadap kesadaran, penyangganya terpotong, dan tak ada basis kesadaran. Kesadaran, dengan demikian tidak muncul, tidak muncul terus-menerus, tidak melakukan fungsi apapun, terbebas, karena terbebas menjadi mantap, karena mantap menjadi puas. karena menjadi puas tidak teragitasi, ia (bhikkhu) (batinnya) tak terbelenggu, ia mengetahui "kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terpenuhi, kewajiban telah dilaksanakan. Tak ada lagi yang harus dilakukan di dunia ini."

Mana dibilang nggak ada apa-apa lagi? fitnah lebih keji dari pembunuhan   ^-^


Ada yang mengatakan kesadaran abadi, siapa ya? tauk ah gelaappp   :))

Quote
TL:

sesuatu memancarkan sesuatu, yang kita tidak tahu apa sesuatu itu karena berbeda dengan apa yang kita tahu, kita punya keterbatasan, tetapi kita tahu akan sesuatu yang kita tidak tahu.   

Ada sesuatu tak berkondisi, dari yang tak berkondisi ini ada suatu kondisi yang timbul, tak tahu apa itu, tetapi itu jangan disebut kondisi, oleh karena kita umat awam tak mengerti, oleh karena itu, sesuatu itu tak berkondisi   

semoga cukup jelas   

Mana yang berbelit-belit ya?

TAN:

Berbelit-belit bagi yang tidak mau tahu atau mengerti. Tidak berbelit-belit bagi yang tahu dan mengerti.

Amiduofo,

Tan

mau tahu dan mau mengerti juga kagak bisa, yang tahu dan mengerti cuma yang nulis  ^-^

metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1124 on: 20 May 2009, 11:52:11 PM »
TL:

Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak  pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....

TAN:

Orang K juga menganggap agamanya sebagai kebenaran sejati. God is truth... etc...etc... Hm lalu mana yang benar-benar "truth" ya. Hahahaahahah
The highest truth is NO TRUTH.

Amiduofo,

Tan

Kutip lagi aaahh THE HIGHEST TRUTH IS NO TRUTH
terjemahannya: Kebenaran / Dharma tertinggi adalah no truth (A-DHARMA)     ^-^ 
The truth, and nothing but the truth...

 

anything