//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663304 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1035 on: 11 May 2009, 07:11:06 PM »
Quote
by Tan
Ada aliran di luar M, yang getol bilang Sabbe Sattha Bhavantu Sukithatta. Malah getol bikin stiker gede2 pake tulisan itu. Nah, pertanyaannya apakah itu berarti bahwa aliran tersebut berspekulasi agar semua makhluk berbahagia? Lagian secara logika, apakah mungkin semua makhluk berbahagia, padahal masing2 punya kepentingan beda. Apakah kita berharap agar seorang maling berhasil dalam merampok, sehingga ia bahagia? Nah, sekarang giliran saya tanya: Sabbe Sattha Bhavantu Sukhittata itu masuk akal ga? Hahahahahaa.

Sabbe satta Bhavantu Sukhittata itu sangat masuk akal. coba kita lihat terjemahannya"Semoga semua makhluk berbahagia". Jadi baru "semoga" atau mudah2an, karena yg memulai kata itu tau bahwa mudah-mudahan( good wishes yg rasional sesuai dengan anitya) bisa terbebaskan semua dan mengerti adanya anicca/anitya. Kalau bisa ya syukur kalo ngak , ya ngak apa2, seperti om Tan bilang masing2(makhluk) punya kepentingan. Kecuali kalimatnya "semua makhluk pasti berbahagia"  atau semua makhluk  harus bebas dari alam samsara baru saya jadi Buddha. Nah ini yg tidak mungkin atau spekulasi

Jadi kata "semoga" sudah sesuai karena ada hubunganya dengan anicca/anitya tadi. _/\_

« Last Edit: 11 May 2009, 07:24:01 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1036 on: 11 May 2009, 08:16:23 PM »
kayaknya ilmu BAHASA Sdr. Tan perlu di perdalam atau memang ndak mengerti arti kata SEMOGA !

jadi tidak bisa mengartikan arti kata SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA ! secara tepat kemudian memvonis suatu aliran yang tidak benar bila menggunakan slogan itu.
jadi sdr Tan perlu memahami dulu arti yang lebih mendalam, sebelum mengkritik sesuatu.

jadi saya tidak menjelaskan lagi, karena sudah di jelaskan sdr. Bond secara terperinci.

SENT GRP ke Sdr. Bond

 _/\_

Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1037 on: 11 May 2009, 09:03:45 PM »
Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?

Bukankah sutta yang kukutip juga berkata demikian, pembebasan sejati justru terjadi ketika seseorang dapat berpindah dari kondis satu ke kondisi lainnya
‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’


keknya yang di bold itu maksudnya kedua arah
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1038 on: 11 May 2009, 10:59:01 PM »
Tanggapan terhadap Bond dan Adi Lim


BOND:

Sabbe satta Bhavantu Sukhittata itu sangat masuk akal. coba kita lihat terjemahannya"Semoga semua makhluk berbahagia". Jadi baru "semoga" atau mudah2an, karena yg memulai kata itu tau bahwa mudah-mudahan( good wishes yg rasional sesuai dengan anitya) bisa terbebaskan semua dan mengerti adanya anicca/anitya. Kalau bisa ya syukur kalo ngak , ya ngak apa2, seperti om Tan bilang masing2(makhluk) punya kepentingan. Kecuali kalimatnya "semua makhluk pasti berbahagia"  atau semua makhluk  harus bebas dari alam samsara baru saya jadi Buddha. Nah ini yg tidak mungkin atau spekulasi

Jadi kata "semoga" sudah sesuai karena ada hubunganya dengan anicca/anitya tadi.

TAN:

Nah! Ini dia... kena juga pancingan saya hehehehehee....

Tanggapan saya adalah sebagai berikut:

1.Kalau begitu, umat non Mahayana hendaknya jangan mengkritik Mahayana yang berkenaan dengan ikrar Bodhisattva. Anda bisa menulis tanggapan seperti di atas, seharusnya memahami bahwa ikrar Bodhisattva juga mengandung makna yang sama. Itu juga dapat dianggap sebagai good wishes. Tidak ada bedanya sama sekali.

2.Sekarang saya balik bertanya. Itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan bukan (dalam istilah Anda “terbebaskan dan mengerti aniccha”). Entah pakai kata “semoga” atau apapun juga, itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan (nirvana). Lalu apa bedanya dengan ikrar bodhisattva? Orang mengucapkan kata “semoga” tentunya dengan harapan bahwa “harapan”nya itu dapat terkabul (kalau ia tidak mengharapkan demikian, tentunya orang itu hanya “gombal” atau “munafik” - istilah Jawanya “abang2 lambe” atau dalam bahasa Indonesia “bibir manis”). Tentunya orang non Mahayanis tidak hanya bermanis bibir bukan? Selanjutnya, orang yang mengucapkan Sabbe Sattha Bhavantu Sukkhitata tentunya juga punya asumsi bahwa hal itu tidak mustahil terjadi bukan? Kalau umat non Mahayanis merasa itu mustahil terjadi (semua makhluk mencapai pencerahan), maka itu artinya umat non Mahayanis harus mengakui bahwa mereka berkhayal terlalu tinggi, bukan? Ibaratnya kita bilang, semoga batu di kebunku berubah menjadi emas semua. Orang yang punya keinginan semacam itu akan Anda anggap “pengkhayal” atau “gila”, bukan?

3.Tidak cukup mengucapkan kata “semoga” bukan? Hanya mengucapkan kata “semoga” tidak menyelesaikan masalah atau ada gunanya. Ada teman saya yang hanya bilang “semoga aku kaya,” “semoga ujianku lulus,” “semoga...” “semoga...” Nah, tanpa usaha yang nyata, apakah itu ada gunanya? Oleh karena itu, seorang Bodhisattva Mahayana akan melakukan tindakan nyata dan tidak hanya berkata “semoga” saja. Bodhisattva Mahayana memilih untuk bertindak secara aktif. Itulah gunanya ikrar Bodhisattva.

Menimbang poin2 di atas, ikrar Bodhisattva jelas bukan spekulatif atau tidak masuk akal. Jika pihak non Mahayanis terus menerus mengkritik ikrar Bodhisattva, maka slogan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA yang mereka dengungkan hanya pepesan kosong yang tidak ada artinya.

ADILIM:

kayaknya ilmu BAHASA Sdr. Tan perlu di perdalam atau memang ndak mengerti arti kata SEMOGA !

jadi tidak bisa mengartikan arti kata SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA ! secara tepat kemudian memvonis suatu aliran yang tidak benar bila menggunakan slogan itu.
jadi sdr Tan perlu memahami dulu arti yang lebih mendalam, sebelum mengkritik sesuatu.

jadi saya tidak menjelaskan lagi, karena sudah di jelaskan sdr. Bond secara terperinci.

SENT GRP ke Sdr. Bond

TAN:

Saran yang sangat baik Sdr. Adi Lim. Anda telah berbuat karma yang sungguh sangat bajik dengan menyarankan saya memperdalam bahasa Indonesia. Memang saya orang yang sangat bodoh dan tidak paham bahasa Indonesia dengan baik. Semoga sdr. Adi Lim bersedia mengajari saya bahasa Indonesia. Budi baik Anda sungguh tak terlupakan.
Saya hanya dapat membalasnya dengan sebuah saran pula. Saya juga menyarankan umat non Mahayana untuk lebih memperdalam pula bahasa Indonesia. BUKAN karena bahasa Indonesia mereka kurang baik (seperti saya). Bahasa Indonesia mereka sudah sangat teramat baik, tetapi tidak apa-apa khan kalau bisa lebih baik lagi? Bahkan siapa tahu bisa jadi lebih baik.  Dengan demikian, umat non Mahayanis dapat mengerti lebih baik ikrar Bodhisattva dan tidak terus menerus mengkritik atau mendiskreditkan Mahayana.
Saya terpaksa bicara agak keras di sini. Kritikan  terhadap Mahayana itu menurut hemat saya sudah “kurang ajar.”
Demikian mohon maklum.

Amiduofo,

Tan
(yang tidak bisa bahasa Indonesia dengan baik)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1039 on: 11 May 2009, 11:11:06 PM »

Saya terpaksa bicara agak keras di sini. Kritikan  terhadap Mahayana itu menurut hemat saya sudah “kurang ajar.”
Demikian mohon maklum.

Amiduofo,

Tan
(yang tidak bisa bahasa Indonesia dengan baik)

Sdr Tan,
jika ada postingan yg menurut anda "kurang ajar" anda bisa menggunakan feature "Report to Moderator" dan kami para mod akan mengambil tindakan yang dianggap perlu.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1040 on: 11 May 2009, 11:30:07 PM »
TL:

Apakah mas Tan membaca menurut prajna paramita sutra dikatakan MEREKA YANG MENGIKUTI JALAN PRATYEKA BUDDHA DAN SRAVAKA BUDDHA DIANGGAP TELAH BERADA DIBAWAH PENGARUH MARA?

Pada bagian lain di SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA DIKATAKAN BAHWA ARAHAT HANYA PENGHENTIAN SEMENTARA, yang diumpamakan kafilah yang berjalan jauh lalu menemukan sebuah kota, lalu rombongan kafilah DIBOHONGI oleh pemimpin kafilah yang mengatakan bahwa mereka telah sampai tujuan. Apa iya Seorang Buddha suka berbohong?

Renungkan sendiri kedua pernyataan dari kitab suci Prajna Paramita sutra dan Saddharma Pundarika sutra ini, kontradiktif atau tidak?

Pertanyaan: bila jalan Sravaka Buddha itu dibawah pengaruh Mara mengapa dikatakan di Saddharma Pundarika bahwa itu hanya penghentian sementara? Apakah Buddha bersekutu dengan Mara di dalam doktrin Mahayana?

TAN:

Apakah maksudnya di bawah “pengaruh Mara”? Anda perlu membaca Sutra itu secara lengkap untuk memahami maksudnya. Maksudnya adalah seseorang yang merasa bahwa diri mereka sudah sempurna dan tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Orang yang merasa sudah “sempurna” justru belum “sempurna.” Mengapa? Karena “sempurna” hanya ada bila dikontraskan dengan “tidak sempurna.” Nah, dengan demikian, bila dualisme telah dilampaui, masih adakah “sempurna” dan “tidak sempurna”? Oleh karena itu, orang yang telah “sempurna” justru tidak akan merasa “sempurna” lagi. Tetapi mereka juga tak akan merasa “tidak sempurna.” Mereka telah menyelami kedemikianan segala sesuatu (tathata) dan terbebas dari segenap label.
Sutra Sadharmapundarika menyebutkan pula sebagai contoh, 500 orang bhikshu yang meninggalkan pasamuan, ketika Buddha memaparkan mengenai sutra ini. Mereka merasa diri telah “sempurna” dan tak perlu belajar lagi. Inilah yang disebut “kesombongan spiritual.” Merasa malu atau enggan mempelajari sesuatu yang mereka anggap rendah. Inilah sebabnya Sutra menyebabkan berada “di bawah pengaruh Mara.” Tentu ini adalah suatu metafora atau perumpamaan bagi hal tersebut.
Kedua, mengapa disebut “penghentian sementara”? Ini untuk menghapuskan pandangan salah bahwa perealisasian sravaka atau pratykebuddha itu adalah suatu “kemandekan.” Selain itu, yang patut diingat goal bagi Mahayana adalah Samyaksambuddha. Oleh karena itu, dalam konteks ini hendaknya istilah “penghentian sementara” itu dipahami.
Apakah Buddha berbohong dan bersekutu dengan Mara? Jawabannya tentu saja tidak. Kesimpulan yang keliru. Oleh karena itu, kedua Sutra itu tidak bertolak belakang. Keduanya mengkaji dari sudut pandang yang berbeda. Semua praktisi Mahayana yang mendalami Mahayana akan tahu betul tentang hal ini.

TL:

Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak  pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....

TAN:

Anda menganggap sesuatu sebagai kebenaran sejati, maka itu jadi kebenaran sejati bagi Anda. Orang lain menganggap sesuatu sebagai kebenaran sejati, maka itu jadi kebenaran sejati bagi orang lain. Lalu mana yang kebenaran sejati? Kebenaran sejati juga perlu ada ketidak-benaran sejati. Kalau tidak ada ketidak-benaran sejati bagaimana mungkin ada kebenaran sejati? Apakah kebenaran sejati masih perlu dipihaki? Apa bedanya dengan umat K dan agama lainnya yang mati-matian mengatakan bahwa ajaran mereka adalah kebenaran sejati? Lalu mana yang benar-benar kebenaran sejati? Bingung :p Orang Jawa bilang: Kabeh kecap nomer siji (semua kecap nomor satu).

TL:

iatas saya sudah jawab mengenai pertanyaan mas Tan, Sekarang giliran mas Tan jawab pertanyaan saya apakah kesadaran itu anitya atau nitya?   

TAN:

Maaf, jawaban Anda masih belum menjawab pertanyaan saya. Jawaban saya bagi pertanyaan Anda masih belum berubah: “apakah anitya itu nitya atau anitya?” Pertanyaan saya tidak valid menurut Anda? Kalau begitu sama juga pertanyaan Anda tidak valid.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1041 on: 11 May 2009, 11:43:51 PM »
UPASAKA:

Siapa yang terjebak…?

Yang saya maksud itu adalah kondisi Nirvana-nya, kondisi Pembebasan Mutlaknya (Parinirvana); bukan orang yang telah merealisasinya.

Kalau ditanya apakah anitya masih berlaku bagi orang yang sudah merealisasi Nirvana? Jawabannya adalah “A BIG YES”.

Kalau ditanya apakah anitya masih berlaku dalam Nirvana? Jawabannya adalah “itu pertanyaan yang tidak relevan”.

Konteks pertanyaan yang Anda ajukan itu pun berkondisi, sehingga bila konteksnya tidak terpenuhi maka pertanyaan itu tidak valid untuk dijawab.

Apakah relevan jika saya bertanya :
- “Apakah perubahan itu statis atau berubah?” Cheesy

Jadi sebenarnya Anda yang terjebak oleh planning Anda sendiri. Anda malah salah tangkap dengan pertanyaan Anda sendiri.

TAN:

Saudara Upasaka, jadi begini saya jawab singkat saja. Kuncinya adalah relevansi suatu pertanyaan. Jika Anda menganggap pertanyaan itu tidak relevan, maka saya juga mengatakan bahwa segenap pertanyaan kritis tentang Mahayana juga tidak relevan, apalagi bila Anda menggunakan standar non Mahayanis sebagai landasannya.

UPASAKA:

O begitu…
Mohon kiranya Bro Tan menjelaskan definisi “ada” berdasarkan pandangan orang yang sudah tercerahi.

TAN:

Justru itu, Bro. Saya belum tercerahi jadi tak dapat memberikan definisi seperti yang Anda minta. Bagi saya cukup mengetahui saja bahwa definisi "ada" itu berbeda. Kelak kalau saya sudah tercerahi pasti akan tahu sendiri.

Saya mengucapkan selamat Waisak juga.. walaupun terlambat.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1042 on: 11 May 2009, 11:48:38 PM »
Pertanyaan "kurang ajar"

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan "pertanyaan kurang ajar." Semoga ini bisa meluruskannya. Yang saya maksud adalah seseorang "menanyakan" sesuatu tapi sesungguhnya dia sudah punya jawaban bagi pertanyaannya itu. Jika orang menjawab pertanyaannya dan ternyata tidak sesuai dengan pemikiran si penanya, maka ia akan "mencacatnya" habis-habisan. Nah, kalau sudah begitu apa gunanya bertanya. Dengan kata lain, si penanya mengharapkan jawaban yang sesuai dengan pemikirannya.
Kalau sudah begini, lebih baik penanya semacam itu, kirim saja sms pertanyaan ke dirinya sendiri, lalu balas juga ke nomor sendiri, jawabannya. Pasti ia akan puas! Dijamin deh.

Amiduofo,

Tan

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1043 on: 11 May 2009, 11:54:52 PM »
Pertanyaan "kurang ajar"

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan "pertanyaan kurang ajar." Semoga ini bisa meluruskannya. Yang saya maksud adalah seseorang "menanyakan" sesuatu tapi sesungguhnya dia sudah punya jawaban bagi pertanyaannya itu. Jika orang menjawab pertanyaannya dan ternyata tidak sesuai dengan pemikiran si penanya, maka ia akan "mencacatnya" habis-habisan. Nah, kalau sudah begitu apa gunanya bertanya. Dengan kata lain, si penanya mengharapkan jawaban yang sesuai dengan pemikirannya.
Kalau sudah begini, lebih baik penanya semacam itu, kirim saja sms pertanyaan ke dirinya sendiri, lalu balas juga ke nomor sendiri, jawabannya. Pasti ia akan puas! Dijamin deh.

Amiduofo,

Tan

hmm... prosedur yg benar adalah click "Report to moderator" ketika anda menemukan postingan "kurang ajar". tidak melakukan hal ini, dan melakukan tuduhan seperti ini setelah diskusi berjalan sepanjang ini, sepertinya merugikan posisi anda sendiri.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1044 on: 12 May 2009, 12:01:07 AM »
to Indra:

Baik terima kasih atas sarannya.

Amiduofo,

Tan

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1045 on: 12 May 2009, 12:32:25 AM »
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”


Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.

buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.

Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."

Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.

Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini  yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.

Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?

Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8  pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
  • 1)   Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
    (2)   Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
    (3)   Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
    (4)   Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
    (5)   Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
    (6)   Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
    (7)   Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
    (8 )   Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.
Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.

Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.

Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.

Bagaimana menurut teman-teman?   



Maksud maju dan mundur adalah dari poin satu , kedua dstnya hingga ke delapan dan sebaliknya dari poin delapan, ketujuh, dstnya hingga ke satu kembali.

Maksud keluar masuk adalah keluar masuk Nibbana dalam kehidupan seorang Ariya puggala selama ia masih hidup.
Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).

metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1046 on: 12 May 2009, 12:37:23 AM »
TL:

Maksud keluar masuk adalah keluar masuk Nibbana dalam kehidupan seorang Ariya puggala selama ia masih hidup.

TAN:

Nirvana tanpa sisa dan dengan sisa mana yang lebih tinggi?


TL:

Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).

TAN:

Mana ada di ajaran Hindu kalau nirvana dan samsara itu identik?


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1047 on: 12 May 2009, 12:40:28 AM »
TAMBAHAN:

Maksud maju dan mundur adalah dari poin satu , kedua dstnya hingga ke delapan dan sebaliknya dari poin delapan, ketujuh, dstnya hingga ke satu kembali.

Maksud keluar masuk adalah keluar masuk Nibbana dalam kehidupan seorang Ariya puggala selama ia masih hidup.
Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).


TAN:

Di sini saya melihat ada suatu keanehan. Tiap rekan non Mahayanis dihadapkan dengan suatu kenyataan yang "mirip" atau "nyerempet2" Mahayana dalam Sutta-nya, pasti jawabannya adalah "itu khan waktu Buddha masih hidup (alias nirvana dengan sisa)." Jawaban semacam itu kebanyakan yang dilontarkan. Nah pertanyaan saya: Manakah yang lebih tinggi nirvana sisa dan tanpa sisa?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1048 on: 12 May 2009, 12:43:26 AM »
TL:

Sudah jelas ada keperluan mempertahankan pancaskhanda karena kebutuhan contohnya : Sang Buddha memerlukan makan untuk mempertahankan kelanjutan hidupnya supaya dapat mengembangkan Dharma. Tetapi Beliau makan bukan karena kemelekatan loba,loba,loba seperti mas Tan dan saya.   
Weleh..weleh... sekarang terbalik posisinya malah saya yang diminta berbagi pengetahuan oleh mas Tan

TAN:

Apakah Sang Buddha masih punya keinginan untuk mempertahankan hidupnya atau untuk menyebarkan Dharma? Katanya tidak ada keinginan lagi? Bagaimana jawaban Anda?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1049 on: 12 May 2009, 12:49:24 AM »
TL:

Sekarang saya mengerti mengapa Aliran M beranggapan bisa bolak balik Nirvana-Samsara, rupanya menilai sutta dari kacamata Hindu. (Nirvana dan Samsara identik).

TAN:

Salah besar. Ajaran Brahmanisme tidak pernah mengajarkan kesamaan nirvana dan samsara. Goal mereka adalah penyatuan dengan suatu istha devata agar dapat terbebaskan dari samsara.  Ini jelas sekali nampak dalam Bhagavadgita maupun Upanishads. Silakan Anda baca Mundaka Upanishad: "Aku melihat suatu makhluk suci di seberang sana, yang mengatasi kegelapan.... ia merupakan jalan menuju pembebasan." Nah, lebih mirip mana ternyata filosofi Hindu dengan aliran Mahayana (nirvana identik dengan samsara) dan aliran non Mahayana (nirvana tidak identik dengan samsara). Silakan dicerna sendiri.

Amiduofo,

Tan