Tanggapan terhadap Bond dan Adi Lim
BOND:
Sabbe satta Bhavantu Sukhittata itu sangat masuk akal. coba kita lihat terjemahannya"Semoga semua makhluk berbahagia". Jadi baru "semoga" atau mudah2an, karena yg memulai kata itu tau bahwa mudah-mudahan( good wishes yg rasional sesuai dengan anitya) bisa terbebaskan semua dan mengerti adanya anicca/anitya. Kalau bisa ya syukur kalo ngak , ya ngak apa2, seperti om Tan bilang masing2(makhluk) punya kepentingan. Kecuali kalimatnya "semua makhluk pasti berbahagia" atau semua makhluk harus bebas dari alam samsara baru saya jadi Buddha. Nah ini yg tidak mungkin atau spekulasi
Jadi kata "semoga" sudah sesuai karena ada hubunganya dengan anicca/anitya tadi.
TAN:
Nah! Ini dia... kena juga pancingan saya hehehehehee....
Tanggapan saya adalah sebagai berikut:
1.Kalau begitu, umat non Mahayana hendaknya jangan mengkritik Mahayana yang berkenaan dengan ikrar Bodhisattva. Anda bisa menulis tanggapan seperti di atas, seharusnya memahami bahwa ikrar Bodhisattva juga mengandung makna yang sama. Itu juga dapat dianggap sebagai good wishes. Tidak ada bedanya sama sekali.
2.Sekarang saya balik bertanya. Itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan bukan (dalam istilah Anda “terbebaskan dan mengerti aniccha”). Entah pakai kata “semoga” atau apapun juga, itu adalah suatu harapan bahwa semua makhluk mencapai pencerahan (nirvana). Lalu apa bedanya dengan ikrar bodhisattva? Orang mengucapkan kata “semoga” tentunya dengan harapan bahwa “harapan”nya itu dapat terkabul (kalau ia tidak mengharapkan demikian, tentunya orang itu hanya “gombal” atau “munafik” - istilah Jawanya “abang2 lambe” atau dalam bahasa Indonesia “bibir manis”). Tentunya orang non Mahayanis tidak hanya bermanis bibir bukan? Selanjutnya, orang yang mengucapkan Sabbe Sattha Bhavantu Sukkhitata tentunya juga punya asumsi bahwa hal itu tidak mustahil terjadi bukan? Kalau umat non Mahayanis merasa itu mustahil terjadi (semua makhluk mencapai pencerahan), maka itu artinya umat non Mahayanis harus mengakui bahwa mereka berkhayal terlalu tinggi, bukan? Ibaratnya kita bilang, semoga batu di kebunku berubah menjadi emas semua. Orang yang punya keinginan semacam itu akan Anda anggap “pengkhayal” atau “gila”, bukan?
3.Tidak cukup mengucapkan kata “semoga” bukan? Hanya mengucapkan kata “semoga” tidak menyelesaikan masalah atau ada gunanya. Ada teman saya yang hanya bilang “semoga aku kaya,” “semoga ujianku lulus,” “semoga...” “semoga...” Nah, tanpa usaha yang nyata, apakah itu ada gunanya? Oleh karena itu, seorang Bodhisattva Mahayana akan melakukan tindakan nyata dan tidak hanya berkata “semoga” saja. Bodhisattva Mahayana memilih untuk bertindak secara aktif. Itulah gunanya ikrar Bodhisattva.
Menimbang poin2 di atas, ikrar Bodhisattva jelas bukan spekulatif atau tidak masuk akal. Jika pihak non Mahayanis terus menerus mengkritik ikrar Bodhisattva, maka slogan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA yang mereka dengungkan hanya pepesan kosong yang tidak ada artinya.
ADILIM:
kayaknya ilmu BAHASA Sdr. Tan perlu di perdalam atau memang ndak mengerti arti kata SEMOGA !
jadi tidak bisa mengartikan arti kata SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA ! secara tepat kemudian memvonis suatu aliran yang tidak benar bila menggunakan slogan itu.
jadi sdr Tan perlu memahami dulu arti yang lebih mendalam, sebelum mengkritik sesuatu.
jadi saya tidak menjelaskan lagi, karena sudah di jelaskan sdr. Bond secara terperinci.
SENT GRP ke Sdr. Bond
TAN:
Saran yang sangat baik Sdr. Adi Lim. Anda telah berbuat karma yang sungguh sangat bajik dengan menyarankan saya memperdalam bahasa Indonesia. Memang saya orang yang sangat bodoh dan tidak paham bahasa Indonesia dengan baik. Semoga sdr. Adi Lim bersedia mengajari saya bahasa Indonesia. Budi baik Anda sungguh tak terlupakan.
Saya hanya dapat membalasnya dengan sebuah saran pula. Saya juga menyarankan umat non Mahayana untuk lebih memperdalam pula bahasa Indonesia. BUKAN karena bahasa Indonesia mereka kurang baik (seperti saya). Bahasa Indonesia mereka sudah sangat teramat baik, tetapi tidak apa-apa khan kalau bisa lebih baik lagi? Bahkan siapa tahu bisa jadi lebih baik. Dengan demikian, umat non Mahayanis dapat mengerti lebih baik ikrar Bodhisattva dan tidak terus menerus mengkritik atau mendiskreditkan Mahayana.
Saya terpaksa bicara agak keras di sini. Kritikan terhadap Mahayana itu menurut hemat saya sudah “kurang ajar.”
Demikian mohon maklum.
Amiduofo,
Tan
(yang tidak bisa bahasa Indonesia dengan baik)