//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663698 times)

0 Members and 5 Guests are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1005 on: 07 May 2009, 03:57:47 PM »
ilmuwan itu melihat burung bisa terbang, baru kemudian dicari cara, dicari tahu bagaimana bisa terbang. Bahkan sebuah pesawat yang begitu berat pun bisa terbang... Dengan cara-cara itu pula maka kamera bisa tercipta, hp bisa tercipta... Ketika manusia tidak berkembang, maka tidak ada peradaban ini. Semakin berkembang ilmu pengetahuan. kita mendapati bahwa ajaran buddha tidak bertentangan langsung dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Justru itulah saya bilang logika itu kompleks. Lihat betapa kompleksnya sistem operasi dalam microelectronic, lihat kompleksnya sistem mesin robotic, dll. Semuanya dibangun dengan logika mekanistik yang kompleks. Saya tidak membantah bahwa logika itu berguna, apalagi dalam sains eksak dan teknologi. Masalahnya adalah logika harus dilepaskan dalam prosese seorang merealisasi nirvana, meskipun mungkin saja pada tahap awalnya bisa membantu. Dalam hal ini bukanlah Buddhadharma bertentangan dengan logika, namun logika yang tidak bisa digunakan untuk memahami Buddhadharma. Buddhadharma adalah suatu keadaanya yang melampaui logika, sehingga bagi logika yang sempit Buddhadharma bisa saja terlihat "tidak logis." Yang bermasalah adalah logika itu sendiri terbatas, bukan Buddhadharma yang tidak logis.

Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya. Dengan demikian, logika pun adalah anatta, anicca dan anitya pada hakikatnya, sehingga logika tidak lain adalah bagian dari samsara. Maka dikatakan Buddhadharma melampaui logika, karena Buddhadharma mengajarkan yang lebih tinggi darinya, yaitu Nirvana.

Itu namanya hipotesa (dugaan)... ada hipotesa awal... terus ada penelitian, trus ada penarikan kesimpulan apakah hipotesa itu bisa diterima atau tidak... EHI PHASSIKO namanya kalau dalam buddhis. Beda donk logika dengan iman... gimana sih...

Ini namanya Logika Deduktif. Kadangkala prosesnya terbalik, penelitian dahulu baru menghasilkan sebuah hipotesa, biasanya disebut Logika Induktif. Pada prinsipnya, semua proses ini adalah permainan logika belaka untuk membenarkan dirinya dan semuanya tergantung pada hukum-hukum logika yang diakui/diyakini sebagai kebenaran.

Sebuah Hipotesa dikatakan telah teruji setelah diteliti dan menghasilkan kesimpulan baru (tesis) yang dikatakan lebih kokoh. Dalam banyak penelitian betapa kemudian banyak tesis yang katanya telah teruji akhirnya bisa disanggah juga dengan proses yang sama, dan proses yang sama akan terus terjadi dan terjadi seterusnya tanpa tahu kapan berakhir. Apa yang dulu sempat disebut ilmu akhirnya menjadi mitos, dan apa yang menjadi mitos akhirnya menjadi ilmu, dan seterusnya. Lalu jika kenyataannya demikian, apa bedanya ilmu dengan iman keyakinan? Toh iman keyakinan pun demikian adanya, saling sanggah terus menerus satu sama lain dengan asumsi dan pendapatnya masing-masing.

Saya juga tidak setuju jika Ehipassiko disamakan dengan Logika Deduktif. Dalam ehipassiko yang disebut "Datang dan lihatlah!" sebenarnya seruan untuk melaksanakan Buddhadharma dengan mempraktiknya langsung dan mencapai langsung apa yang diajarkan, bukan untuk mengujinya secara logis. Prinsipnya adalah "melihat" dan "mengetahui". Hanya dengan menjalankan praktik Buddhadharma kita bisa melihat sendiri dan mengetahui sebagaimana yang dicapai oleh Sang Buddha, bukan hanya berdasarkan pengetahuan literer ataupun penalaran logis.

Dengan "melihat" dan "mengetahui" secara langsung, maka yang dibutukan bukan logika, namun praktik Buddhadharma. Hasilnya adalah sebuah "pengetahuan" absolut yang tidak dibutuhkan penalaran logis untuk membenarkannya. Ketika nirvana direalisasi, maka tidak ada "kesimpulan akhir" yang perlu diumumkan atau dibela dengan sebuah argumen logis sekalipun. Barang siapa yang ingin melihat dan mengetahui hal yang sama ia harus mempraktikkannya langsung, bukan membacanya dan mendiskusikannya sebagaimana yang dilakukan dalam Ilmu Pengetahuan.

Sedangkan dalam Logika Deduktif/Induktif produk dari penggalian kebenaran adalah suatu kesimpulan kebenaran yang diakui benar secara logis. Tujuannya adalah mengumpulkan "kebenaran-kebenaran" yang ditemukan kemudian dimanfaatkan untuk kegunaan-kegunaan praktis dan bisa dipelajari kembali tanpa perlu melakukan pengujian ulang yang serupa. Jika ada "kebenaran" yang akhirnya tidak ada lagi yang menyanggah maka ia dianggap final dan tuntas. Sayangnya, dalam sainspun tidak ada yang benar-benar mampu menemukan kebenaran absolut, karena seperti yang kukatakan di atas, tesis yang ditemukan selalu bisa disanggah lagi, apakah sepuluh tahun, lima puluh tahun, seratus tahun ataupun beratus-ratus tahun kemudian. Dengan logikalah kemudian sains yang satu dengan lainnya saling menyerang dan menjatuhkan atau mempertahankan diri. Konon, dengan cara demikianlah sains berevolusi.

Anda lihat betapa bedanya jalan yang ditemph oleh Buddhadharma dan Sains. Ehipassiko jelas bukan proses pencarian dengan mengandalkan hipotesis dan tesis seperti yang anda katakan. Hasil dari Ehipassiko adalah praktik Buddhadharma yang membawa pada kebenaran absolut yang tidak perlu dibela ataupun dibenarkan dengan logika, sebab Nirvana adalah absolut. Kenapa yang absolut harus dibela dengan logika yang jelas-jelas jauh berada di bawahnya?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1006 on: 07 May 2009, 04:47:28 PM »
Guru SD mengajarkan kepada anak SD tentunya mengatakan bahwa air itu ya air seperti itu saja,
naik kelas ke SMP mulai diajarkan air itu H2O... tetapi belum diajarkan kimia-nya...
di SMA mulai diajarkan apa itu Hidrogen, apa itu Oksigen, bagaimana ikatan molekulnya dsbnya...
naik terus sampai ke perguruan tinggi (jika ngambil jurusan kimia) akan diperdalam lagi...

Nah, BUDDHA GOTAMA sebagaimana adalah seorang sammasambuddha memiliki KEMAHATAHUAN akan semua prinsip yang perlu diketahui, mengetahui secara persis bagaimana kondisi bathin itu bergerak dan dijabarkan dengan sangat baik di dalam abhidhamma. Apakah itu rumit, tergantung kepada tingkat pemahaman kita... saya sendiri karena belum menemukan "kunci" dalam mempelajari abhidhamma, menganggap abhidhamma itu sulit sekali. Tetapi saya yakin, ketika semua hal itu jelas, maka semuanya akan terasa mudah.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1007 on: 08 May 2009, 02:20:23 PM »
Guru SD mengajarkan kepada anak SD tentunya mengatakan bahwa air itu ya air seperti itu saja,
naik kelas ke SMP mulai diajarkan air itu H2O... tetapi belum diajarkan kimia-nya...
di SMA mulai diajarkan apa itu Hidrogen, apa itu Oksigen, bagaimana ikatan molekulnya dsbnya...
naik terus sampai ke perguruan tinggi (jika ngambil jurusan kimia) akan diperdalam lagi...

Nah, BUDDHA GOTAMA sebagaimana adalah seorang sammasambuddha memiliki KEMAHATAHUAN akan semua prinsip yang perlu diketahui, mengetahui secara persis bagaimana kondisi bathin itu bergerak dan dijabarkan dengan sangat baik di dalam abhidhamma. Apakah itu rumit, tergantung kepada tingkat pemahaman kita... saya sendiri karena belum menemukan "kunci" dalam mempelajari abhidhamma, menganggap abhidhamma itu sulit sekali. Tetapi saya yakin, ketika semua hal itu jelas, maka semuanya akan terasa mudah.

Bukankah bro dilbert, Abhidhamma yang paling sederhana adalah langsung melihat ke dalam diri sendiri?

Jika anda menggunakan contoh dengan menggunakan jenjang pendidikan maka sangat wajar peningkatan jenjang berarti bertambah rumitnya materi yang dipelajari. Hal ini dikarenakan dalam pendidikan semata-mata yang dilatih sebagian besar adalah kemampuan kognisi atau bernalar. Memang benar, nalar itu sifatnya semakin lama semakin rumit dan kompleks. Namun saya jadi kurang paham bagaimana perumpamaan ini dikaitkan dengan Budhadharma.

Sedangkan tentang Kemahatahuan Sang Buddha, menurut saya arti Mahatahu di sini tidak bisa diartikan semata-mata dalam pengertian kognitif atau pengetahuan logis belaka. Apa yang dicapai Sang Buddha adalah "Pengetahuan Agung" yang melampaui "pikiran biasa." Untuk menjelaskan soal ini ijinkan saya mengutip bagian dari Brahmajàla Sutta di bawah ini:

'Ada lagi, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’

Dari kutipan ini bukankah Buddha sendiri juga mengatakan bahwa Buddhadharma "melampaui sekadar pikiran", dalam hal ini logika bukanlah adalah pikiran, sehingga dengan demikian bukankah tepat dikatakan bahwa Budhadharma "melampaui sekadar logika"? Sedangkan "Pengetahuan-agung" Sang Buddha bukanlah sekadar "pengetahuan" dalam arti umum; karena jelas di sini dikatakan "pengetahuan agung melampaui sekadar pikiran."

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1008 on: 08 May 2009, 04:13:27 PM »
Guru SD mengajarkan kepada anak SD tentunya mengatakan bahwa air itu ya air seperti itu saja,
naik kelas ke SMP mulai diajarkan air itu H2O... tetapi belum diajarkan kimia-nya...
di SMA mulai diajarkan apa itu Hidrogen, apa itu Oksigen, bagaimana ikatan molekulnya dsbnya...
naik terus sampai ke perguruan tinggi (jika ngambil jurusan kimia) akan diperdalam lagi...

Nah, BUDDHA GOTAMA sebagaimana adalah seorang sammasambuddha memiliki KEMAHATAHUAN akan semua prinsip yang perlu diketahui, mengetahui secara persis bagaimana kondisi bathin itu bergerak dan dijabarkan dengan sangat baik di dalam abhidhamma. Apakah itu rumit, tergantung kepada tingkat pemahaman kita... saya sendiri karena belum menemukan "kunci" dalam mempelajari abhidhamma, menganggap abhidhamma itu sulit sekali. Tetapi saya yakin, ketika semua hal itu jelas, maka semuanya akan terasa mudah.

Bukankah bro dilbert, Abhidhamma yang paling sederhana adalah langsung melihat ke dalam diri sendiri?

Jika anda menggunakan contoh dengan menggunakan jenjang pendidikan maka sangat wajar peningkatan jenjang berarti bertambah rumitnya materi yang dipelajari. Hal ini dikarenakan dalam pendidikan semata-mata yang dilatih sebagian besar adalah kemampuan kognisi atau bernalar. Memang benar, nalar itu sifatnya semakin lama semakin rumit dan kompleks. Namun saya jadi kurang paham bagaimana perumpamaan ini dikaitkan dengan Budhadharma.

Sedangkan tentang Kemahatahuan Sang Buddha, menurut saya arti Mahatahu di sini tidak bisa diartikan semata-mata dalam pengertian kognitif atau pengetahuan logis belaka. Apa yang dicapai Sang Buddha adalah "Pengetahuan Agung" yang melampaui "pikiran biasa." Untuk menjelaskan soal ini ijinkan saya mengutip bagian dari Brahmajàla Sutta di bawah ini:

'Ada lagi, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’

Dari kutipan ini bukankah Buddha sendiri juga mengatakan bahwa Buddhadharma "melampaui sekadar pikiran", dalam hal ini logika bukanlah adalah pikiran, sehingga dengan demikian bukankah tepat dikatakan bahwa Budhadharma "melampaui sekadar logika"? Sedangkan "Pengetahuan-agung" Sang Buddha bukanlah sekadar "pengetahuan" dalam arti umum; karena jelas di sini dikatakan "pengetahuan agung melampaui sekadar pikiran."

Brahmajala sutra yang mana yang dikutip ? brahmajula sutra versi mahayana ya ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1009 on: 08 May 2009, 06:01:59 PM »
Brahmajala sutra yang mana yang dikutip ? brahmajula sutra versi mahayana ya ?

Tidak juga. Saya ambil dari Digha Nikaya terbitan DC Press
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1010 on: 09 May 2009, 09:34:02 AM »

Quote
Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.
saudara Sobat-dharma,

btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?

Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1011 on: 10 May 2009, 09:07:52 AM »
Quote
TL:

Nampaknya mas Tan kurang mengerti mengenai teori nihilisme, karena jawabannya panjang dan tadinya saya malas menulis terlalu panjang, itu alasan pertama.

Alasan kedua adalah karena saya menghindar untuk membandingkan antara Mahayana dengan ajaran lain. Dan hanya membandingkan ajaran Mahayana dengan ajaran Mahayana sendiri atau ajaran non Buddhis seperti Hindu. Tetapi karena mas Tan sendiri yang mengklaim bahwa Tipitaka ada di Mahayana (walaupun saya tidak beranggapan demikian). Jadi saya rasa saya tidak perlu sungkan-sungkan membandingkan Tipitaka dengan buku-buku Mahayana yang lain, karena bukankah Tipitaka Pali juga 99% sama dengan Tripitaka Mahayana? jadi hanya 1 diantara 100 yang berbeda. Jadi Saya tidak membandingkan T dengan M, karena T juga termasuk M menurut pemahaman mas Tan iya kan? 

TAN:

Anda salah. Saya tidak pernah mengatakan bahwa Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Saya hanya bilang bahwa sebagian besar sutra di kumpulan Agama ada di Nikaya Pali. Ingat Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari kanon Pali. Selain itu, masih banyak pula Sutra yang hanya ada di Mahayana. Anda salah paham kalau mengatakan bahwa saya bilang Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Salah besar! Saya punya kumpulan kanon Pali dan Tripitaka Mahayana, jadi tidak mungkin saya sebodoh itu mengatakan demikian.
Ajaran Mahayana tidak identik dengan ajaran Theravada. Meskipun Mahayana mengakui Agama Sutra, tetapi juga menggunakan Sutra-sutra Mahayana. Jadi penafsiran pada Agama Sutra diterangi dengan cahaya Sutra-Sutra Mahayana. Oleh karena itu, kami kaum Mahayanis tidak menganggap keduanya bertentangan.

ini jawaban mas Tan pada reply # 771 :

Quote
TL:

terlepas dari fakta bahwa ini kesekian kalinya mas Tan membandingkan antara M dengan T padahal mengatakan tidak bermaksud demikian

TAN:

Apakah Sdr. TL mengetahui bahwa Sutta2 Pali itu 99% juga ada di kumpulan Agama (Ahanjing) milik Mahayana? Sutta2 Pali dimasukkan dalam bagian tersendiri yang bernama Agama Sutra. Saya sah-sah saja memakai argument itu karena ajaran seperti itu juga ada di kanon Mahayana. Jadi tidak tepat bahwa saya dikatakan membandingkan antara M dengan T.

Jadi setuju menurut mas Tan 99% Tipitaka Pali ada di Agama sutra?  ;D

Quote
The Saṃyukta Āgama ("Connected Discourses", Zá Ahánjīng 雜阿含經 Taishō 99)[7] (corresponding to Saṃyutta Nikāya). A Chinese translation of the complete Saṃyukta Āgama of the Sarvāstivāda (說一切有部) school was done by Guṇabhadra (求那跋陀羅) in the Song state (宋) [435-443CE]4 (although two folios are missing). Portions of the Sarvāstivāda Saṃyukta Āgama also survive in Tibetan translation. There is also an incomplete Chinese translation of the Saṃyukta Āgama (別譯雜阿含經 Taishō 100) of the Kāśyapīya (飲光部) school by an unknown translator [circa the Three Qin (三秦) period, 352-431CE][8]. A comparison of the Sarvāstivādin, Kāśyapīya, and Theravadin texts reveals a considerable consistency of content, although each recension contains texts not found in the others.


The Madhyama Āgama ("Middle-length Discourses," Zhōng Ahánjīng 中阿含經, Taishō 26)[9] (corresponding to Majjhima Nikāya). A complete translation of the Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school was done by Saṃghadeva (僧伽提婆) in the Eastern Jin dynasty (東晉) [397-398CE]. The Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school contains 222 sūtras, in contrast to the 152 suttas in the Pāli Majjhima Nikāya. Portions of the Sarvāstivāda Madhyama Āgama also survive in Tibetan translation.


The Dīrgha Āgama ("Long Discourses," Cháng Ahánjīng 長阿含經 Taishō 1)[10] (corresponding to Dīgha Nikāya). A complete version of the Dīrgha Āgama of the Dharmagupta  (法藏部) school was done Buddhayaśas (佛陀耶舍) and Zhu Fonian (竺佛念) in the Late Qin dynasty (後秦) [413CE]. It contains 30 sūtras in contrast to the 34 suttas of the Theravadin Dīgha Nikāya. A "very substantial" portion of the Sarvāstivādin Dīrgha Āgama survives in Sanskrit,[11] and portions survive in Tibetan translation.


The Ekottara Āgama ("Increased by One Discourses," Zēngyī Ahánjīng, 增壹阿含經 Taishō 125)[12] (corresponding to Anguttara Nikāya). A complete version, translated by Dharmanandi (曇摩難提) of the Fu Qin state (苻秦) [397CE] and altered by Saṃghadeva in the Eastern Jin (東晉), is thought to be from either the Mahāsaṃghika (大眾部) or Sarvāstivādin canons. It contains some mahāyāna philosophy. According to Keown, "there is considerable disparity between the Pāli and the Sarvāstivādin versions, with more than two-thirds of the sūtras found in one but not the other compilation, which suggests that much of this portion of the Sūtra Pitaka was not formed until a fairly late date."13]
In addition, there is a substantial quantity of Agama-style texts outside of the main collections. These are found in various sources:

 :o mana yang benar?   ;D

Quote
TL:

Ini Sebenarnya adalah pandangan plin-plan. Perhatikan cara penyampaiannya disini, jelas nampak seolah-olah Sang buddha adalah mahluk mendua yang kadang mengajarkan A, kadang mengajarkan B, tidak konsekuen. 
Hal lain yang jelas juga disini adalah: bahwa Nagarjuna (saya katakan bahwa ini pandangan Nagarjuna) berpandangan secara tidak langsung atman (atta) ada. Sebenarnya PANDANGAN NAGARJUNA ADALAH TERMASUK PANDANGAN SEMI ETERNALIS (Brahmajala Sutta ada membahas 62 pandangan salah dan pandangan Nagarjuna adalah salah satu diantaranya).
MEMPERSOALKAN ADA ATAU TIDAK ADA ADALAH SATU KOIN DUA SISI. adalah merupakan pandangan salah.

TAN:

Anda memandang bahwa Buddha dengan cara mengajar seperti itu adalah plin plan. Tetapi mari kita cermati. Saya ambil contoh, seorang dokter yang memeriksa seorang anak yang kekurangan vitamin pada sayuran. Ia lalu menyuruh anak itu banyak makan sayuran. Kemudian ada pasien lain yang menderita sakit asam urat. Ia disarankan jangan banyak makan sayuran. Menurut Anda dokter itu plin plan?
Ada lagi seorang pasien yang berobat dan diberi suatu jenis obat. Setelah pasien sembuh, dokter berkata obatnya boleh dihentikan atau tak boleh diminum lagi. Apakah dokter itu plin plan?

Perumpamaannya kok nggak tepat ya?
Perumpamaan yang benar adalah: menghadapi pasien lever dokternya bilang pada ibunya si A sakit lever, pada ayahnya dia mengatakan si A tidak sakit apa-apa.
Pada ayahnya ia bilang sakit lever tidak bisa sembuh, pada ibunya ia mengatakan sakit lever bisa sembuh. Itu namanya plin plan atau tidak ? ;D

Quote
MERCEDES:

Sisi yang lain yaitu:
YAITU : PRATITYA SRAMUTPADA.
Mohon jangan dibantah, bukankah kitab suci Tipitaka sama dengan kitab suci Tripitaka Mahayana?   

untuk lebih jelasnya, baca kembali syair Sang Buddha ketika di Bodhgaya waktu baru mencapai penerangan sempurna, yaitu:

"Semua faktor-faktor pendukung dumadi (tumimbal lahir)telah dihancurkan, maka tak akan ada lagi kelahiran."

TAN:

Ya tentu saja saya setuju pratyasamupatda. Hanya saja kaum Mahayana tidak menganggap penjelmaan Buddha sebagai "kelahiran." Kalaupun dianggap "kelahiran" maka itu adalah nampaknya begitu di mata makhluk samsara. Tetapi yang pasti tetap tidak ada "kelahiran." Nah, pertanyaan apakah ajaran Mahayana bertentangan dengan pratyasamutpada? Jawabannya, tidak! Karena itu bukanlah "kelahiran

Tidak dilahirkan? apa Beliau muncul begitu saja?  Seperti dewa?   
Atau bersandiwara pura-pura lahir?   ^-^

Quote
TL:

Mas Tan mari kita ke basic.. tolong jelaskan hukum karma menurut mas Tan apakah melingkupi mahluk hidup saja dan apakah melingkupi benda mati?

PERTANYAAN INI SANGAT SEDERHANA (TAK PERLU ADA SPEKULASI) TETAPI MAS TAN TAK BISA MENJAWAB, (ATAU TAK BERANI MENJAWAB.....? ? ? ? ?) ANAK SD SAJA BISA MENJAWAB PERTANYAAN INI  HEHEHE....

TAN:

Kalau Anda tidak suka spekulasi dan berbelit-belit. Jawab saja: Apakah hukum kamma itu anitya atau nitya? Gitu aja kok repot. gak usah repot2 lah.. saya ini tak suka merepotkan orang lain. Hehehehehe.....

Kasihan mas Tan tinggal satu-satunya cara menjawab karena tidak tahu jawabannya ^-^

Anitya bersifat nitya atau Anitya?

Tolong diresapi dan dimengerti jawaban saya berikut ini:

Ada sanskhata Dharma dan asanskhata Dharma (Dharma yang berkondisi dan Dharma yang tidak berkondisi), suatu hal yang berkondisi atau suatu hal yang muncul maka akan lenyap kembali. Inilah yang disebut anitya.

Berbagai hal bisa muncul di alam sengsara disebabkan oleh hukum sebab dan akibat dan akan lenyap kembali (bersifat anitya) selama akarnya tidak dilenyapkan maka kondisi-kondisi akan muncul kembali. Sesuai dengan hukum pratitya sramupatda. (dari Avidya timbullah sankshara, dari sankshara timbullah vinyana, dari vinyana timbullah nama-rupa, dari nama-rupa timbullah salayatana, dstnya)
Akar dari sebab musabab tersebut adalah avidya bila avidya lenyap mungkinkah timbul vinyana/alaya vinyana? Bila tak ada vinyana mungkinkah terjadi pemancaran metta? Bila mungkin dengan apa pemancaran maitri karuna dilakukan bila vinyana tidak timbul?

Pratitya sramupatda yang merupakan lingkaran tumimbal lahir mahluk hidup, saling bergantungan yaitu: bila ini muncul maka muncullah itu. Bila ini lenyap maka lenyaplah itu. Selama ada pemunculan maka akan timbul kondisi-kondisi, bila kondisi-kondisi itu lenyap maka pemunculan juga akan lenyap. Dengan lenyapnya pemunculan maka muncul dan lenyapnya segala sesuatu juga ikut berhenti. Dengan kata lain bila tak ada pemunculan (kelahiran) maka penghentian (kematian) juga tak akan terjadi. jadi bila tak ada pemunculan maka tak ada anitya. Karena anitya adalah konsekuensi logis yang merupakan penghentian dari suatu pemunculan atau dengan kata lain suatu yang muncul akan lenyap kembali.

PERTANYAAN ANEH DARI MAS TAN: APAKAH PENGHENTIAN ITU AKAN BERHENTI JUGA ATAU TIDAK BERHENTI? Ini adalah pertanyaan gaya mas Tan yang tentu saja tidak valid.  :P

Demikian juga dengan nirvana,
Nirvana adalah termasuk asanskhata Dharma, sedangkan sanskhata Dharma masih masuk dalam alam samsara jika kondisi-kondisi Dharma (sanskhata Dharma) berhenti, maka asanskhata Dharma yang akan menggantikan.
Karena pada Nirvana bersifat asanskhata maka Nirvana tak berkondisi, dan karena tak berkondisi maka tak ada muncul dan lenyap kembali dengan kata lain pada Nirvana tak ada anitya.

Mungkin mas Tan masih akan bertanya lagi apakah anitya itu nitya atau anitya? Jawabnya Nirvana telah terlepas dari dualisme anitya maupun nitya karena Nirvana tak berkondisi.
Theravada tak akan menjawab Nirvana anitya karena akan muncul pandangan nihilisme, dan juga tidak nitya, karena pandangan nitya akan memunculkan eternalisme.

NIRVANA TAK BERKONDISI JADI BUKAN ANITYA MAUPUN NITYA...

Sesuai dengan kitab Udana: Ajhatam, abhutam dan asankhatam, tidak dikatakan Nirvana bersifat nitya maupun anitya. Jadi Nirvana adalah berhentinya anitya itu sendiri. Paham mas?   :)

Quote
TL:

Sudah saya jawab diatas: hukum karma hanya berlaku dan valid hanya pada mahluk hidup, sewaktu mereka masih memiliki kelima kelompok kemelekatan (panca skandha). Bila kemelekatan terhadap panca skandha telah lenyap seluruhnya, maka karma niyama tak berlaku.

TAN:

Buddha sebelum parinirvana masih menerima balasan kammanya, dan mengalami penyakit. Apakah Buddha masih punya kemelekatan pada panca skandha?

Sudah jelas ada keperluan mempertahankan pancaskhanda karena kebutuhan contohnya : Sang Buddha memerlukan makan untuk mempertahankan kelanjutan hidupnya supaya dapat mengembangkan Dharma. Tetapi Beliau makan bukan karena kemelekatan loba,loba,loba seperti mas Tan dan saya.   
Weleh..weleh... sekarang terbalik posisinya malah saya yang diminta berbagi pengetahuan oleh mas Tan ^-^

Quote
TL:

99% berarti hanya satu yang berbeda diantara seratus, apakah saya salah secara matematis?
Mengenai tanggapan terhadap Wikipedia, saya serahkan pada pembaca, mau percaya tulisan mas Tan atau percaya Wikipedia   

TAN:

Meskipun semua pembaca tidak percaya tulisan saya, sama sekali saya tidak peduli. Saya punya pandangan sendiri berdasarkan literatur2 yang saya punya. Saya tidak perlu penilaian atau pendapat orang lain.


Iya saya setuju mas Tan, pake kacamata kuda aja  ;D

Quote
Jadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.

Kalau ada yang mau bayar tulisan saya setengah atau sepersepuluhnya saja dari 500.000 USD tolong kasih tahu saya ya mas Tan? nanti saya bagi separoh, makasih sebelumnya lho mas.

Quote
Kedua, kebenaran tidak bergantung dari banyak orang yang percaya atau tidak. Dulu yang percaya bumi bulat hanya GALILEO GALILEI. Nah, nyatanya bumi datar atau bulat?

Benar mas Tan kebenaran tidak tergantung dari banyak orang yang percaya atau tidak. Tetapi orang yang percaya buta dan tak peduli benar atau tidak; atau orang-orang yang mencari pembenaran sangat banyak mas Tan.

Quote
MERCEDES:

Mas Tan mengerti atau tidak pandangan causal effect/ sebab akibat/ pratitya sramutpada
ini kutipan ajaran jainism ( http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism#Doctrines ):

Jains believe that every human is responsible for his/her actions and all living beings have an eternal soul, jīva.
Jains beranggapan bahwa semua manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan semua mahluk hidup memiliki roh yang kekal, jiva.Apa mirip ?   

Jains view God as the unchanging traits of the pure soul of each living being, described as Infinite Knowledge, Perception, Consciousness, and Happiness (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). Jains do not believe in an omnipotent supreme being, creator or manager (kartā), but rather in an eternal universe governed by natural laws
Jains beranggapan Tuhan/dewa sebagai sifat tak berubah dari jiwa yang murni setiap mahluk hidup, diterangkan sebagai pengetahuan tak terbatas, persepsi, kesadaran dan kebahagiaan (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). jain tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur, tetapi percaya alam semesta yang abadi yang diatur oleh hukum alam.
Mirip T atau mirip M 

History suggests that various strains of Hinduism became vegetarian due to strong Jain influences
Berbagai aliran Hinduisme menjadi vegetarian karena pengruh kuat jainism. Mirip mana ? 
tolong diperhatikan kita tidak mempersoalkan vegetarian benar atau salah, baik atau buruk.

TAN:

Ah, bukannya umat Buddha juga percaya ajaran bahwa "tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur"?

Loh? di Theravada jelas tidak, emangnya di Mahayana percaya?  ^-^

Quote
Adalah wajar bahwa di antara berbagai ajaran agama ada kemiripan dan ketidak-miripannya. Tidak perlu dibingungkan. Bagaimana dengan kemiripan ajaran non-Mahayanis dengan konsep tirthankara yang juga tak dapat memancarkan maitri karuna setelah ia memasuki nirvana?

Amiduofo,

Tan

Manakah yang lebih mungkin memancarkan maitri karuna:
jiwa roh yang kekal abadi seperti paham alaya vinyana yang telah memasuki Nirvana atau
keadaan yang tak berkondisi?   ^-^

metta
« Last Edit: 10 May 2009, 09:20:20 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1012 on: 10 May 2009, 09:36:13 AM »
Wah ternyata belum di lock juga, ya.

Luar biasa. Belum sampai sehari dah maju 2-3 halaman. Betul2 diskusi yang bersemangat.
Saya belum bisa mereply semua pertanyaan. Tetapi saya sudah baca sekilas. Saya angkat topik ini dulu.

HUKUM KAMMA ITU NITYA ATAU ANITYA?

Pertanyaan ini nampaknya tidak bersedia dijawab dengan gamblang, karena akan menimbulkan problematika bagi sebagian orang. Oleh karena itu, alih-alih memberikan jawaban langsung, ada rekan peserta diskusi yang mencoba mengaitkannya dengan karma masing-masing individu. Intinya dijawab bahwa:

1.Bagi yang belum tercerahi, karma masih ada.
2.Bagi yang sudah tercerahi, hukum karma sudah tak berlaku lagi.

Jawaban ini tak memecahkan masalahnya. Pertanyaannya, meskipun bagi sebagian orang yang telah tercerahi hukum karma tak berlaku lagi, tetapi hal ini tetap berarti bahwa hukum karma tetap ada; karena bagi sebagian orang lain yang belum tercerahi, hukum ini masih berlaku. Oleh karena itu, hukum kamma MASIH TETAP BERLAKU, ENTAH ADA YANG SUDAH TERCERAHI ATAU BELUM. Apakah dengan demikian hukum karma bersifat kekal? Jadi pertanyaan saya apakah hukum karma bersifat kekal atau tidak kekal masih belum terjawab hingga saat ini. Mohon maaf, tanpa bermaksud merendahkan pihak manapun, saya terus mengatakan bahwa saya belum menerima  jawaban yang definitif dan memuaskan mengenai hal ini. Masing-masing masih mencoba berkelit ke sana kemari.

Amiduofo,

Tan


Ini pemikiran spekulatif Mahayana yang terlebih lagi tidak menyelesaikan masalah, karena beranggapan suatu ketika semua mahluk hidup merealisasi Nirvana berkat pertolongan Bodhisattva dan Buddha yang harus berkali-kali tumimbal lahir lagi (apa bedanya ya?) sehingga tak ada lagi mahluk di alam samsara, sehingga setelah semua mahluk masuk Nirvana maka tak ada lagi karma.

Spekulasi lebih besar lagi akan timbul dari spekulasi Mahayana tersebut:

BILA BUDDHA JUGA BERTUMIMBAL LAHIR KEMBALI SAMPAI KAPAN SEMUA MAHLUK AKAN TERBEBAS DARI SAMSARA?

Bukankah terlahir kembali berarti masuk alam samsara lagi? Bukankah bila seorang yang telah mencapai pencerahan dan tak akan terlahir kembali, maka masih memungkinkan samsara akan bersih dari mahluk? karena semua mahluk telah terbebas dari samsara?.

Ini hanya spekulasi yang dijawab dengan spekulasi.

Ada aliran diluar M yang tak mau berspekulasi mengenai apakah semua mahluk akan terbebas dari samsara atau tidak, yang penting baginya adalah membebaskan dirinya dari samsara dan membantu mahluk lain sebanyak mungkin agar terbebas dari samsara.

Pandangan di luar M ini menggunakan rujukan dari satu sutra yang berisi perumpamaan orang yang terkena panah.

metta,
« Last Edit: 10 May 2009, 10:03:08 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1013 on: 10 May 2009, 10:01:10 AM »
TL:

Kitab-kitab suci Mahayana seperti Saddharma Pundarika Sutra, Avatamsaka Sutra dll tak pernah dimasukkan dalam agama sutra padahal kitab-suci ini juga dimulai dengan: Demikianlah yang kudengar.
Disebabkan ketidak sepakatan diantara golongan Mahayana sendiri mengenai keabsahan kedua kitab tersebut.

TAN:

Terus masalahnya apa kalau tidak dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Justru itulah yang membedakan Tripitaka Mahayana dengan Tipitaka Pali. Apakah Anda hendak memaksakan bahwa semuanya harus dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Ataukah semua sutra2 Mahayana harus dibuang, sehingga tinggal Agama Sutra saja? [Kok jadi ingat agama XXX yang pernah menyarankan pembakaran kitab-kitab ;)]
Kedua, kata siapa pernah ada ketidak-sepakatan di antara golongan Mahayana tentang keabsahan kedua kitab tersebut? Jawabnya tidak ada. Yang ada adalah aliran-aliran Mahayana menjadikan kitab2 tertentu sebagai pedomannya. Ya ini wajarlah. Sutra2 Mahayana itu jumlahnya bejibun. Akhirnya suatu aliran hanya pakai sutra2 tertentu saja, tetapi tidak memandang rendah Sutra2 Mahayana lainnya. Sebagai contoh:

Aliran Huayan (Avatamsaka) menjadikan Sutra Avatamsaka sebagai pedomannya.
Airan Tiantai (Panggung Surgawi) menjadikan Sutra Saddharmapundarika sebagai pedomannya.
Aliran Mizong (Tantra) menjadikan Sutra Mahavairocana dan Vajrasekhara sebagai pedomannya.

Mungkin dahulu dalam proses penyusunan kanonisasi Taisho Tripitaka Mahayana pernah terjadi perdebatan mengenai berbagai kitab yang hendak dimasukkan. Ini wajar saja, karena di tiap2 agama juga begitu. Bukannya menyinggung Theravada, tetapi kenyataan sejarah juga memperlihatkan bahwa Abhidhamma Pali sempat menjadi kontroversi.

Di sini Anda sekali lagi mengungkapkan ketidak benaran. Yang sebelumnya menuduh saya mengatakan Tipitaka Pali = Tripitaka Mahayana. Sekarang mengatakan ada perselisihan mengenai keabsahan Sadharmapundarika dan Avatamsaka Sutra dalam Mahayana. Padahal keduanya sudah 1000 tahun lebih masuk dalam kanon Mahayana.

Apakah mas Tan membaca menurut prajna paramita sutra dikatakan MEREKA YANG MENGIKUTI JALAN PRATYEKA BUDDHA DAN SRAVAKA BUDDHA DIANGGAP TELAH BERADA DIBAWAH PENGARUH MARA?

Pada bagian lain di SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA DIKATAKAN BAHWA ARAHAT HANYA PENGHENTIAN SEMENTARA, yang diumpamakan kafilah yang berjalan jauh lalu menemukan sebuah kota, lalu rombongan kafilah DIBOHONGI oleh pemimpin kafilah yang mengatakan bahwa mereka telah sampai tujuan. Apa iya Seorang Buddha suka berbohong?

Renungkan sendiri kedua pernyataan dari kitab suci Prajna Paramita sutra dan Saddharma Pundarika sutra ini, kontradiktif atau tidak?

Pertanyaan: bila jalan Sravaka Buddha itu dibawah pengaruh Mara mengapa dikatakan di Saddharma Pundarika bahwa itu hanya penghentian sementara? Apakah Buddha bersekutu dengan Mara di dalam doktrin Mahayana?

Quote
TL:

At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?

TAN:

O maaf! Saya tidak lagi mencari kebenaran sejati. Bagi saya kebenaran adalah ajaran Mahayana. Saya tidak mencari-cari lagi. Anda ingin merubah saya mengikuti aliran Anda? Kalau itu tujuan Anda, Anda pasti akan kecewa, Bung. Sebaiknya urungkan saja niat Anda. Saya sudah yakin 100 %, Mahayana itu logis dan realistis. Tetapi saya tidak memaksa Anda mengikuti Mahayana. Di sini Mahayana dikritik, jadi saya merasa berhak memberikan jawaban. Anda sendiri masihkan mencari kebenaran sejati?

Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak  pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....

Quote
TL:

Seperti Alaya Vinnana yang kekal abadi, mas Tan nampak sekali menghindar untuk membahas mengenai Alaya Vinnana, itulah sebabnya bila saya tanyakan apakah kesadaran itu anitya atau tidak mas Tan selalu menghindar dengan mengajukan pertanyaan balasan: apakah anitya itu nitya atau anitya? (dalam usaha defensif).

TAN:

Justru Anda tidak mau menjawab hal itu, karena jawaban apakah anitya itu nitya atau anitya akan merupakan tantangan bagi apa yang Anda yakini dan sekaligus jawaban apakah kesadaran itu anitya atau nitya. Apakah Anda tidak bersedia menjawab apakah anitya itu nitya atau anitya sebagai usaha defensif pula? Coba tanyalah pada diri Anda sendiri.

Selebihnya posting Anda di bawah ini tidak akan saya tanggapi, karena menurut saya tidak berguna ditanggapi. Saya sudah banyak jelaskan panjang lebar sebelumnya. Kalau Anda tidak mengerti-ngerti juga ya sudah.

Diatas saya sudah jawab mengenai pertanyaan mas Tan, Sekarang giliran mas Tan jawab pertanyaan saya apakah kesadaran itu anitya atau nitya?   ^-^

Quote
Semoga pencerahan tidak hanya di intelektual, tetapi juga pada tindakan, perkataan, dan tindakan.

Amiduofo,

Tan

bagus ini berlaku juga untuk mas Tan, lengkapnya demikian: semoga saya mencapai pencerahan, sehingga pikiran, perkataan dan tindakan saya lurus tidak bertentangan dengan Dharma.

Metta,



The truth, and nothing but the truth...

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1014 on: 11 May 2009, 09:56:51 AM »
Quote from: Tan
TAN:

Hmm... Anda menyatakan "nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias tubuh" bukanlah adalah suatu "kondisi" pula? Dengan kata lain, Anda seolah-olah hendak menyatakan bahwa nirvana itu berkondisi. Kedua, saya perlu mengulangi lagi bahwa yang dimaksud dengan "tubuh" di sini tidak sama dengan tubuh dalam pengertian makhluk yang belum tercerahi. Saya sebenarnya tidak menolak ungkapan bahwa "nirvana tidak memiliki elemen apapun" asalkan yang Anda maksud "elemen" di sini adalah "elemen" dalam pengertian makhluk samsara. Nirvana memang tidak dapat diungkapkan dengan kosa kata umat awam.

Amiduofo,

Tan

Kan sudah saya bilang kalau Nirvana itu “tidak tercipta”, oleh karena itu tidak ada elemen apa pun. Nirvana itu kondisi yang tidak tercipta, jadi bukanlah suatu kondisi yang berkondisi.

O jadi Nirvana itu memiliki elemen yang bukan merupakan elemen seperti Samsara? Nama elemennya apa Bro? Elemen Nirvana yah? Pasti jawabannya Trikaya + Maitri-Karuna. Ya kan? ;D


Quote from: Tan
TAN:

Anda telah terjebak di sini. Oke anggap saja anitya tidak berlaku lagi bagi seseorang yang telah merealisasi nirvana. Tetapi ini tidak berarti anitya tidak ada lagi. Anitya tetap berlaku bagi para makhluk yang telah mencapai pencerahan, meskipun ada yang telah merealisasi nirvana. Sebagai contoh, saya beri kasus sebagai berikut. Seseorang berada dalam rumah yang tertutup rapat, sehingga ia tidak lagi melihat matahari. Namun apakah matahari itu hilang seiring dengan hal itu? Jawabannya tidak! Orang yang berada di luar rumah masih dapat melihat matahari. Nah, apakah kini anitya atau nitya itu kekal?
Kalau pertanyaan ini dianggap tidak valid atau ditolak menjawabnya dengan alasan apapun, maka saya juga boleh menyatakan bahwa segenap pertanyaan dan kritikan terhadap Mahayana juga tidak patut, layak, ataupun valid.

Amiduofo,

Tan

Siapa yang terjebak…?

Yang saya maksud itu adalah kondisi Nirvana-nya, kondisi Pembebasan Mutlaknya (Parinirvana); bukan orang yang telah merealisasinya.

Kalau ditanya apakah anitya masih berlaku bagi orang yang sudah merealisasi Nirvana? Jawabannya adalah “A BIG YES”.

Kalau ditanya apakah anitya masih berlaku dalam Nirvana? Jawabannya adalah “itu pertanyaan yang tidak relevan”.

Konteks pertanyaan yang Anda ajukan itu pun berkondisi, sehingga bila konteksnya tidak terpenuhi maka pertanyaan itu tidak valid untuk dijawab.

Apakah relevan jika saya bertanya :
- “Apakah perubahan itu statis atau berubah?” :D

Jadi sebenarnya Anda yang terjebak oleh planning Anda sendiri. Anda malah salah tangkap dengan pertanyaan Anda sendiri.


Quote from: Tan
TAN:

Hmmm.. kalau saya jawab "ada" juga tidak tepat. Karena Anda masih menggunakan definisi "ada" berdasarkan pandangan seseorang yang masih belum tercerahi. Apa yang disebut "keberadaan" di sini hendaknya tidak didasari oleh pandangan kita yang masih ada dalam samsara ini. Iya Buddha "ada" tetapi berada dalam kondisi yang di luar "keberadaan" makhluk samsarik. Inilah bedanya dengan eternalisme ataupun semi eternalisme. Apakah Anda melihat bedanya?
Mahayana boleh dicap eternalisme atau semi eternalis asalkan penganut pandangan "ada" sama seperti makhluk samsarik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.

Amiduofo,

Tan

O begitu… :-?
Mohon kiranya Bro Tan menjelaskan definisi “ada” berdasarkan pandangan orang yang sudah tercerahi.


Btw… Bro Tan, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

“Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1015 on: 11 May 2009, 09:58:05 AM »
Quote from: sobat-dharma
Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva.  Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi  jelas.
Saya sudah mengatakan pada anda bahwa, pembangkitan pikiran “bodhicitta” adalah yang terpenting dalam Ikrar Bodhisattva bukan logika tentang mungkin atau tidaknya ikrar tersebut diwujudkan, seperti halnya dalam Metta Bhavana pembangkitan Metta itu paling penting dibandingkan apakah akhirnya semua makhluk hidup bebahagia seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini, yang penting adalah kedua-duanya membangkitkan tekad dan semangat yang kurang lebih sama.  Kalau anda kemudian mempertanyakan Ikrar Bodhisattva semata-mata agar terkesan elegan, maka anda seharusnya mempertanyakan hal yang sama pula pada Metta Bhavana. Di sini saya kembali bertanya pada anda, buat apa mengharapkan semua makhluk berbahagia padahal tidak ada kemungkinan hal ini terjadi?

Saya kan berada jauh ribuan kilometer dari Anda. Oleh karena itu, saya mengharapkan Anda dapat hidup berbahagia. Karena saya tidak bisa membahagiakan Anda, jadi saya hanya mampu ’mendoakan’ Anda untuk berbahagia.

Anda berada jauh ribuan kilometer dari saya. Oleh karena itu, sebaiknya Anda mengaharapkan agar saya dapat hidup berbahagia. Karena Anda memegang konsep Bodhicitta, seharusnya Anda turut mampu menolong dan membahagiakan saya. Berhubung saat ini saya sedang butuh bantuan tenaga dan materi yang cukup besar, saya harap Anda mau membantu saya. Mau ya, Bro? Jangan cuma memancarkan maitri-karuna-mudita lewat pikiran saja loh… Saya tunggu kesedian bantuan dari Anda. ;D

Untuk uraian mengenai Metta Bhavana, saya skip dulu deh. Percuma saya jelaskan juga, nanti tetap saja Anda akan mengidentikannya dengan Ikrar Bodhisattva.


Quote from: sobat-dharma
:) sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi :) saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.

Jadi kalau membahas Dharma, kita tidak boleh membicarakan mengenai kusala (menguntungkan) dan akusala (merugikan) yah...?


Quote from: sobat-dharma
Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Bro Upasaka, logika demikian hanya menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermanfaat, kenapa harus terus dipertahankan? Coba kalau anda bertanya terus dengan logika anda apa bukti logis bahwa Sakyamuni benar-benar mencapai Kebuddhaan dan terus meragukan hal tersebut atau apakah realisasi nirvana itu mungkin terjadi atau tidak, saya rasa pertanyaan demikian tidak ada gunanya.  Dalam Dharma, tidak semua pertanyaan perlu dijawab saat ini juga.

Saya tidak ragu mengenai jalan pencapaian Nirvana-nya. Yang saya tekankan di postingan sebelumnya adalah kemustahilan semua makhluk pada satu masa bisa serentak merealisasi jalan itu.

Dan jika semua makhluk menapaki Jalan Bodhisttva pada saat yang bersamaan, maka...
- Ekologi sistem tidak lagi seimbang.
- Planet Bumi menjadi sebuah lokasi hunian yang sempit.
- Semua makhluk harus mengantri untuk menjadi Samyaksambuddha. Karena meski semua makhluk menapaki Jalan Bodhisattva secara serentak, namun tidak mungkin ada lebih dari satu Samyaksambuddha dalam satu masa.
- Pada akhirnya, Samyaksambuddha terakhir tidak layak disebut sebagai seorang Samyaksambuddha. Karena Beliaulah makhluk terakhir di samsara ini, sehingga Beliau tidak bisa mengajarkan Dharma pada makhluk lain. Ujung-ujungnya... Hal ini kontradiksi dengan Konsep Mahayana. Karena kalau hal ini terjadi, maka Samyaksambuddha terakhir ini lebih pantas diberi gelar Pratyeka Buddha.

Mudah-mudahan saya tidak diiming-imingi dengan iman lagi...


Quote from: sobat-dharma
Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut.  Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.

Saya tidak bilang kesuksesan duniawi. Saya pakai kata ”kesuksesan” itu dalam lingkup generalisasi, yaitu bersifat luas dan komprehensif. Mencapai Nirvana pun merupakan kesuksesan merealisasi Pembebasan, Bro. Dan di dalam Hukum Alam, yang ada adalah konsekuensi. Konsekuensi dari orang yang memiliki kualitas dalam bidang yang digeluti adalah KESUKSESAN.

Untuk bisa SUKSES MEREALISASI NIRVANA, seseorang harus mempunyai kualitas yang memadai. Bukan dengan berusaha dalam kebajikan secara membabi-buta dan tanpa systematic planning yang jelas.


Quote from: sobat-dharma
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama.

Yang saya maksudkan adalah mustahil untuk mencintai 1.000 tahun lamanya, jika umurnya saja tidak mencapai 1.000 tahun. Kalau sudah begitu, itu namanya kalimat / syair yang ’manis’ di telinga bukan?

Quote from: sobat-dharma
Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui  tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.

Itu dia Bro. Ketika membaca Ikrar Bodhisattva itu, jantung saya terhentak keras oleh syair emas itu sehingga membuatnya berdegup haru. Namun setelah saya selidiki, rupanya itu hanyalah permainan pikiran. Dan saya tidak boleh mudah hanyut dalam ucapan-ucapan manis orang lain.


Quote from: sobat-dharma
Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?

Hmm... Saya tidak mengerti atau Anda yang tidak mengerti yah. :|
Saya ulangi lagi pertanyaannya dengan sudut pandang berbeda...

”Apakah menurut Anda, suatu saat nanti mungkin ada masa kehidupan di mana semua makhluk menapaki Jalan Bodhisattva, sehingga tidak lagi diperlukan mikroorganisme pengurai untuk membusukkan bangkai?”


Quote from: sobat-dharma
Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur. :) Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?

Anda terlalu banyak berpikir bro :)
Kalau Buddha bisa terbang, menembus tembok, menggandakan diri dan melakukan banyak keajaiban, mengapa kita bicara tentang hukum fisika lagi?

Menurut konsep Mahayana, apakah tersirat bahwa semua makhluk akan lepas dari Samsara?

Kita tidak perlu berspekulasi “mungkin” atau “tidak mungkin” deh. Kalau di konsep Mahayana dinyatakan tidak mengenai “YA” atau “TIDAK”…?

Yang bisa ditelaah lewat logika dan ilmu eksak (setidaknya sampai detik ini), maka lebih baik ditelaah terlebih dahulu. Kemampuan gaib Sang Buddha pun sebenarnya masih memiliki kolerasinya dengan Iptek. Namun suatu masa di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis, menurut saya itu tidak mungkin ada. Dengan kata lain, filsafat ilmu eksak bertolak-belakang dengan “konsep Penapakan Jalan Bodhisattva secara serentak”.

Selanjutnya terserah Anda…
Ingin bersandar pada pemikiran logis (akal sehat) atau berbahagia dengan percaya namun tidak melihat (iman).


Quote from: sobat-dharma
Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)

Sifat orang yang belum mencapai kebuddhaan itu masih mengenal kematangan mental, Bro. Yang saya tekankan adalah perbedaan kualitas batin antar orang yang satu dengan orang yang lain, ketika belum mencapai kebuddhaan.

Kurang teliti neh bacanya… :)


Quote from: sobat-dharma
:) Itu asumsi anda :))

^-^


Quote from: sobat-dharma
Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.

Jadi dengan membantu orang lain maka kita bisa merealisasi Nirvana toh...? :-?

Hmmm.... Begitu yah. Pantas saja deh. :-?


Quote from: sobat-dharma
Saya  tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana  tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)

Saya ingin jujur mengatakan hal ini…

Sebenarnya di Umat Theravada, ada sebagian umatnya yang memang secara halus tersirat pemikiran egoisnya. Dan ini sangat sulit diketahui, terutama oleh dirinya sendiri.

Jadi apakah Jalan Theravada itu egois atau tidak? Jawabannya adalah sangat bergantung dari praktisi Theravada itu sendiri. Karena sebenarnya Konsep Theravada itu tidak dibangun atas dasar kepentingan individual. Jadi yang memberi kesan egois atau tidak itu berasal dari pola pandang praktisi yang bersangkutan, dan pola pandang orang lain terhadap praktisi yang bersangkutan itu.


Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”
« Last Edit: 11 May 2009, 10:01:12 AM by upasaka »

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1016 on: 11 May 2009, 11:56:35 AM »

Quote
Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.
saudara Sobat-dharma,

btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?


According to Sammana-Phala Sutta (berhubung saya bicara dengan Theravadin):

Melalui praktik yang antara lain:

1. Mempraktikkan sila yang mulia
2. Mengendalikan indera-indera
3. Membangun sati dan sampajnana 
4. Kepuasaan seperti "burung terbang bebas hanya dengan sayapnya"

Dengan demikian dapat mengatasi lima rintangan:
1. Kerinduan pada duniawi
2. Niat jahat
3. Kemalasan dan kelambanan
4. Kegelisahan dan kekhawatiran
5. Keragu-raguan

Dengan demikian seorang praktisi dapat bekonsentrasi menembus jhana 1, 2, 3, 4 (samadhi). Setelah itu dengan konsentrasi yang murni dan terpusat akhirnya merenungkan empat kebenaran mulia dan lain sehingga mencapai nibbana (panna)

Dari langkah-langkah yang disajikan di atas, tidak ada yang secara langsung dikatakan "akal pikiran" atau "logika" dapat membantu seseorang merealisasi nibbana. Justru yang dibutuhkan adalah "pandangan terang" yang akhirnya menyebabkan seseorang "mengetahui" dan "melihat" langsung apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Bagaimana dengan akal? Tentu saja bukan berarti akal sama sekali tidak dibutuhkan. Minimal dibutuhkan ketika membaca Ajaran Sang Buddha dari teks dan mendiskusikannya seperti yang kita lakukan di forum ini. Tapi itu berada di tahap awal belaka. Pada praktik selanjutnya, baik Theravadin ataupun Mahayanis, rasio-logis kadang-kadang malah bisa mengganggu. Kenapa demikian?
1. Terlalu banyak berpikir kritis membuat orang mudah ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan akan jalan (rintangan ke lima)
2. Terbiasa banyak berpikir menyebabkan pikiran terus bergerak dan sulit mencapai keheningan yang biasa menyebabkan kerinduan pada duniawi (rintangan 1) dan kegelisahan (rintangan 4)
Demikian pendapat saya tentang dampak terlalu banyak pikiran terhadap praktik Buddhadharma.
« Last Edit: 11 May 2009, 12:11:18 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1017 on: 11 May 2009, 12:13:04 PM »

Quote
Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.
saudara Sobat-dharma,

btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?


According to Sammana-Phala Sutta (berhubung saya bicara dengan Theravadin):

Melalui praktik yang antara lain:

1. Mempraktikkan sila yang mulia
2. Mengendalikan indera-indera
3. Membangun sati dan sampajnana 
4. Kepuasaan seperti "burung terbang bebas hanya dengan sayapnya"

Dengan demikian dapat mengatasi lima rintangan:
1. Kerinduan pada duniawi
2. Niat jahat
3. Kemalasan dan kelambanan
4. Kegelisahan dan kekhawatiran
5. Keragu-raguan

Dengan demikian seorang praktisi dapat bekonsentrasi menembus jhana 1, 2, 3, 4 (samadhi). Setelah itu dengan konsentrasi yang murni dan terpusat akhirnya merenungkan empat kebenaran mulia dan lain sehingga mencapai nibbana (panna)

Dari langkah-langkah yang disajikan di atas, tidak ada yang secara langsung dikatakan "akal pikiran" atau "logika" dapat membantu seseorang merealisasi nibbana. Justru yang dibutuhkan adalah "pandangan terang" yang akhirnya menyebabkan seseorang "mengetahui" dan "melihat" langsung apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Bagaimana dengan akal? Tentu saja bukan berarti akal sama sekali tidak dibutuhkan. Minimal dibutuhkan ketika membaca Ajaran Sang Buddha dari teks dan mendiskusikannya seperti yang kita lakukan di forum ini. Tapi itu berada di tahap awal belaka. Pada praktik selanjutnya, baik Theravadin ataupun Mahayanis, rasio-logis kadang-kadang malah bisa mengganggu. Kenapa demikian?
1. Terlalu banyak berpikir kritis membuat orang mudah ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan akan jalan (rintangan ke lima)
2. Terbiasa banyak berpikir menyebabkan pikiran terus bergerak dan sulit mencapai keheningan yang biasa menyebabkan kerinduan pada duniawi (rintangan 1) dan kegelisahan (rintangan 4)
Demikian pendapat saya tentang dampak terlalu banyak pikiran terhadap praktik Buddhadharma.

itu-lah logika-nya arahatta magga (jalan pembebasan), jadi tidak blash blush blesh... langsung jadi...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1018 on: 11 May 2009, 04:12:52 PM »
itu-lah logika-nya arahatta magga (jalan pembebasan), jadi tidak blash blush blesh... langsung jadi...

Yang bagian mana logikanya bro? Saya cuma melihat praktik di sini. lagipula dalam Mahayana juga tidak ada yang "blash blush blesh... langsung jadi..."
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1019 on: 11 May 2009, 04:41:36 PM »
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”


Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.

buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.

Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."

Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.

Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini  yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.

Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?

Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8  pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
  • (1)   Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
    (2)   Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
    (3)   Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
    (4)   Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
    (5)   Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
    (6)   Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
    (7)   Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
    (8 )   Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.

Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.

Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.

Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.

Bagaimana menurut teman-teman?   

« Last Edit: 11 May 2009, 04:44:22 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

 

anything