Kalau begitu mengapa Anda berkomentar bahwa sesudah seorang Buddha parinirvana tak dapat lagi memancarkan cinta kasih?
APAKAH MAHAYANA MENGAJARKAN ETERNALISME?
Ini merupakan rangkuman bagi penjelasan-penjelasan saya sebelumnya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang Buddha tidak lenyap sama sekali, seperti pandangan kaum nihilis (sesudah mati tidak ada apa-apa lagi). Tetapi apakah ini merupakan pandangan eternalisme? Mari kita cermati. Seorang Buddha sudah tidak memiliki lagi “aku” atau “atman.” Apa yang disebut atman ini berupaya mengekalkan atau melanggengkan dirinya. Saat atman ini tidak ada lagi, maka tak ada lagi yang dapat disebut eternalis. Menurut Mahayana seorang Buddha berada dalam suatu kondisi “keberadaan.” Tetapi “keberadaan” ini berbeda dengan “keberadaan” para makhluk samsara. Jadi kita tak dapat menyebutnya sebagai “keberadaan” karena memang kondisinya beda. Mahayana menyebutnya dengan Trikaya (Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Samboghakaya). Boleh juga kita menyebutnya sebagai Pikiran Buddha yang Tercerahi dan lain sebagainya. Bila demikian, tentu ada yang menyanggah dan menanyakan, “Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan. Oleh karena itu, ajaran Mahayana sekali lagi konsisten di sini, dengan tak terjebak pada pandangan nihilisme maupun eternalisme.
Agar jelasnya saya akan ungkapkan apa yang disebut eternalisme itu? Umpamanya ada seorang dewa bernama X. Ia mencintai orang yang menyembahnya dan menghukum orang yang menghujatnya. Ia ingin mengekalkan dirinya. Nah inilah baru yang disebut eternalisme. Adanya suatu “aku” yang ingin terus melanggengkan dirinya. Apakah Buddha dalam Mahayana seperti itu? Tentu saja sangat jauh dari itu.
Amiduofo,
Tan
begini saudara Tan yang bijak,
saya mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah Nibbana,
tetapi saya "tahu" pasti bahwa penderitaan akan berakhir ketika pikiran ini padam.
dan Nibbana adalah padam, jadi bagaimana mungkin Buddha masih bisa memancarkan metta dengan tanpa pikiran.....
adalah sama seperti saya disuruh percaya kursi yang merupakan benda tanpa pikiran bisa memancarkan metta.
------
tetapi dalam konteks NIRVANA(mahayana) disitu jelas dikatakan Buddha masih memiliki eksis, karena bisa lahir lagi entah dikalpa mana, jadi buddha dalam mahayana tidak bisa dikatakan "PADAM"
yang jadi pertanyaan sekarang adalah,
apabila dikatakan "tidak padam" mengapa bisa beliau lupa cara pencapaiannya....
bahkan batinnya merosot. !!!!
Anda nampaknya salah paham. Saya akan perjelas lagi. Bagi makhluk yang belum tercerahi, metta timbul dari pikirannya. Namun apakah metta suatu makhluk samsara dapat maksimal? Jawabanya tidak, karena kita masih memiliki semangat keakuan.
saudara Tan, yang salah paham itu anda. ^^
bagaimana bisa ada kesadaran tanpa ada objek, ini bukan masalah AKU atau "diri" atau ego....
ini masalah benar secara mutlak....
bisakah Dhammacitta ini ADA tanpa ada Komputer?inilah yang saya maksudkan, tentu ada komputer dulu baru ada DC.....
tentu ada matahari dan bumi, barulah ada siang dan malam,
tentu ada listrik baru ada bola lampu,
jadi bukan masalah KE-AKU-AN atau pikiran ego atau ada diri or apalah........
anda benar-benar membuat rumus baru ^^
masih kah anda berpikir metta bisa dipancarkan tanpa pikiran?
Metta yang dipancarkanNya tidak lagi terkondisi oleh pancaskandha
oh,saudara Tan...
tidak pernah ada sejarah "lampu bisa menyala tanpa listrik"
Kata siapa Buddha punya KEINGINAN untuk lahir? Itu adalah pelintiran Anda terhadap Ajaran Mahayana.
Amiduofo,
Tan
kata saya,
ketika ada seseorang menyatakan keinginannya untuk tidak makan, tetapi kenyataannya malah makan, dikatakan apakah orang itu?
pembohong bukan...^^
sama seperti buddha, menyatakan tidak memiliki keinginan untuk lahir, tetapi kenyataan lahir lagi, apakah buddha itu seorang mulut berkata "A" tapi tindakan "B".. ^^
Tambahan lagi:
Kalau metta karuna seorang Buddha masih terkondisi oleh pancaskandha, itu artinya metta Beliau tak sempurna. Sekali lagi Mahayana konsisten dengan mengajarkan bahwa maitri karuna yang dipancarkanNya tak terkondisi oleh pancaskandha.
Amiduofo,
Tan
apakah ketika seseorang mencapai buddha, sudah tidak terkena sakit? sudah tidak terkena tua?
yang jelas ketika buddha lahir, pasti juga sakit dan tua serta mati...
begitu juga listrik dan lampu....tidak mungkin lampu bisa nyala tanpa listrik.
buddha tidak pernah mengajarkan untuk melawan hukum alam. ^^
dan buddha pun tunduk pada hukum alam...
ataukan di versi mahayana sudah lain?...hehehe
MERCEDES:
apakah kelahiran merupakan penderitaan...
TAN:
Kalau begitu jelaskan dahulu apakah yang Anda maksud dengan "kelahiran" dan "penderitaan." Apakah bagi Anda kelahiran = keluarnya bayi dari rahim ibunya setelah 9 bulan 10 hari? Apakah penderitaan itu sama dengan seseorang yang sudah jauh-jauh mengejar bis, ternyata bisnya baru berangkat? Tanpa penjelasan yang lengkap, pertanyaan Anda tentu saja tak akan dapat dijawab. Karena konsep kelahiran dan penderitaan masing-masing orang itu beda, maka jawaban dari pertanyaan Anda itu tentunya hanya Anda sendiri yang tahu.
Amiduofo,
Tan
kelahiran yang saya maksudkan
Bhava dan dapat menimbulkan "JARA-MARANAM"
kalau tidak mengerti boleh konfirmasi balik ^^
masalah nihil, anda seperti vecchagota yang bertanya kepada buddha. masalah ke mana sang buddha pergi setelah nibbana. ^^
jawabnya tidak kemana-mana, hanya padam. dan tidak ada "diri" disitu ke sana atau kemari....
kembali ke pertanyaan saya
"apakah kelahiran merupakan sebab dari penderitaan?"
salam metta.