//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663213 times)

0 Members and 6 Guests are viewing this topic.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #840 on: 30 April 2009, 11:38:39 PM »
Kilas Balik.

Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.

1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p

2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.

3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?

Sementara itu dulu. Semoga kaum non Mahayanis bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Semoga!

Amiduofo,

Tan

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #841 on: 30 April 2009, 11:39:02 PM »
Melihat bahwa pembahasan mengenai mahzab Mahayana selalu OOT, karena banyaknya member2 mempertanyakan sesuai dengan aliran laen, sehingga pembahasan mengenai topik itu sendiri menjadi kacau dan ujung2nya selalu membahas antara T vs M...

Gw coba memfasilitasi dengan membuat thread khusus bagi member2 yg ingin bertanya...
Selanjutnya, jika ada pertanyaan2 OOT yg ujung2nya T vs M, akan dilempar k thread ini...

Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..

 _/\_


pesan dari mod/TS, mohon diperhatikan...

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #842 on: 30 April 2009, 11:47:08 PM »

TL:

Nggak nyambung lagi. Hukum karma atau karma Niyama terjadi pada apa mas? terjadi pada mahluk hidup atau benda mati juga berlaku karma niyama?

TAN:

Karma niyama ya karma niyama. Jangan coba mengkaitkan dengan makhluk hidup atau makhluk mati. Saya tanya sebagai suatu niyama. Nitya atau anitya? Mohon jawabannya.

TL:

Coba jawab mas Tan :

Mahluk hidup punya kesadaran atau tidak ? ? ? 
Kesadaran itu anitya atau nitya ?

TAN:

Sudah saya jawab pada posting2 sebelumnya. Saya tentu tidak mau mengulang-ulang terus. Seratus kali Anda menanyakan pertanyaan ini. Seratus kali pula Anda akan mendapatkan jawaban yang sama dari saya: “Apakah anitya itu sendiri nitya atau anitya?”

TL:

99% sama ya mas Tan?   

TAN:

Wah kok pakai wikipedia? Anda cek sendiri dari sumbernya donk. Saya tidak akan menanggapi kalau Anda pakai sumber wikipedia. Jawabannya saya tetap 99 % sama. Ingat 99 % bukan berarti bahwa “semuanya sama lho.” Pasti ada bedanya. Saya ga pernah bilang Abhidarma Sarvatisvara = Abhidhamma. Itu Anda sendiri yang bilang. Tetapi yang pasti dalam kanon Mahayana. Abhidhamma Pali juga ada.

TL:

Oh ya bagaimana dengan kutipan kitab suci Hindu tersebut, mirip atau tidak?
Terima kasih mas Tan, semoga mas Tan selalu berbahagia.

TAN:

Ohya bagaimana dengan konsep Tirthankara dalam agama Jain. Mirip atau tidak?

Terima kasih kembali. Semoga Anda selalu berbahagia.

Amiduofo,

Tan








Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #843 on: 30 April 2009, 11:50:58 PM »
TL:

Nah disinilah masalahnya mas Tan, bila Nirvana hanya merupakan dongeng menurut Mahayana maka mirip Dengan kr****n atau Islam dllnya, yaitu: Semua itu mungkin bisa dibuktikan nanti setelah kita meninggal.

TAN:

Bagi saya semua boleh dikatakan sebagai "dongeng" selama kita semua belum merealisasinya.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #844 on: 30 April 2009, 11:54:43 PM »
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..

TAN:

Saya pribadi sih sebenarnya tidak masalah apabila direndahkan atau dihina. Semuanya dapat dijadikan inputan yang berharga.


Amiduofo,

Tan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #845 on: 01 May 2009, 12:32:15 AM »
Quote
Anda tidak paham maksud saya dan mengartikan posting saya terlalu harafiah. Apa yang saya sampaikan itu berbeda sekali dengan apa yang Anda ungkapkan di sini.
Ungkapan Anda: “apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?” Pertanyaan saya:

1.Kebijaksanaan macam apa dulu? Kebijaksanaan tertinggi (prajna) jelas hanya seorang Buddha yang sanggup merealisasinya. Ingat banyak orang merasa dirinya bijaksana. Tetapi sekali lagi kebijaksanaan macam apa yang Anda maksud? Kalau kebijaksanaan Buddha jelas hanya seorang samyaksambuddha yang sanggup merealisasinya.

2. Ungkapan Anda mengenai 1+1 dan keharusan menjadi samasambuddha adalah sesuatu yang aneh dan tidak nyambung. Saya giliran bertanya pada Anda: “Apakah pengetahuan bahwa 1+1 = 2 itu adalah Kebijaksanaan Buddha?” Kalau bukan jangan gunakan sebagai analogi di sini.

Kebijaksanaan Buddha ya Kebijaksanaan Buddha.

Analogi Anda tentang garam dan anak SD tidak tepat. Yang benar adalah: Anda tidak akan pernah tahu apakah garam itu asin sebelum mengecap keasinan tersebut. Lagipula “asin” adalah sekedar istilah. Orang Inggris mengatakannya “salty.” Orang Jerman menyebutnya “saelzig.” Bagi orang Inggris garam jelas tidak asin tapi “salty.” Tetapi istilah “salty” sendiri apakah dapat menggambarkan rasa “garam.”

Mengenai metta dan pikiran. Tentu saja bagi makhluk yang belum tercerahi metta timbul dari pikiran. Saya tidak pernah mengatakan bahwa “metta” tidak berasal dari “ketiadaan” sama sekali. Buddha tidak masuk ke dalam nihilisme. Buddha itu tetap “ada.” Kalian boleh menyebutnya “Pikiran Tertinggi” atau apa saja. Saya tidak mempermasalahkan sebutan. Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai “keberadaan.” Itulah sebabnya Kebuddhaan merupakan “sesuatu yang tak terkatakan.” Dengan demikian, Mahayana menurut saya bukanlah eternalisme, meskipun aliran non Mahayana menuduhnya demikian. Saya tidak peduli tuduhan apapun terhadap Mahayana. Pandangan saya tak akan berubah sama sekali.

Amiduofo,
saudara tan yang bijak,

jawabannya adalah ya, 1+1 = 2 adalah kebijaksanaan seorang buddha.
memang nya kebijaksanaan apa yang anda harapkan dari seorang buddha dari 1+1 sama dengan berapa?

aduh, apa anda mau tunggu menjadi buddha dulu baru meyakinkan diri anda bahwa garam itu rasanya asin?

astaga saudara Tan, walau orang inggris bahkan indo sekalipun "bahagia" mereka katakan "happy"
apa beda rasa bahagia orang inggris dan rasa bahagia orang indonesia?

kalau inggris bilang "suffering" dan indo bilang "penderitaan" apa berbeda?
jelas berbeda secara kata-kata, tetapi "rasa"  itu sama.

orang inggris bilang "air" adalah "water" apa berbeda ?
sudah dikatakan kata nya memang berbeda "A I R" dan " W A T E R" tetapi maksud dari penujukan objek "air" adalah sama...
coba saja tanyakan karateristik dari air pada orang inggris...sama tidak dengan indonesia...^^


Quote
Anda salah mengerti. Asin dan manis hanyalah nama. Sebagai contoh kita mengacungkan jempol artinya “bagus.” Tetapi orang India mengacungkan jempol artinya “kotor.” Mana yang benar mana yang salah? Karena itu jangan biarkan kata-kata menipu kita. Orang yang sudah mengecap rasa garam, dia sudah tahu “kedemikianan” (tathata) garam itu. Mau disebut “asin,” “manis,” “salty,” atau “saelzig” ya sami mawon.
Kenyataan tidak bisa diubah oleh teori, demikian kata Anda. Kalo gitu mari kita kembali ke topik kita tentang masalah Kebuddhaan. Kita anggap Buddha sebagai suatu “kenyataan.” Nah masalahnya, apakah kita semua sudah menjadi Buddha? Kalau belum. Janganlah kalian bilang TAHU kenyataan itu. Sudahkah kalian memasuki parinirvana? Kalau belum jangan bilang itu sebagai “kenyataan.” Kita semua ini cuma “kutu-kutu buku” atau “kutu-kutu teori.”

Amiduofo,
yang salah mengerti itu saya atau anda?
kalau asin dan manis adalah nama saja menurut anda...
jadi asin = manis? ^^
kita mengatakan asin itu merujuk pada sebuah penamaan....(samuthi)
guna untuk menamakan/ me-label sesuatu. agar tidak terjadi kesalahpahaman....
kita ini pakai bahasa indonesia loh.^^


masalah kebijaksanaan seorang buddha, nah. saya tanyakan pada anda....
apakah buddha merasakan "rasa" garam itu berbeda dengan apa yang saya rasakan?

seseorang menjadi buddha, dikarenakan sudah berlatih dan memakai pengalaman-nya sebagai kebijaksanaan....

jadi ketika saya memakan garam dan merasakan "asin" pada garam, apakah perlu saya meragukan rasa yang saya dapatkan dari garam? >>> iinilah point utamanya.

sudah saya nyatakan disini, saya sudah merealisasikan pengalaman dimana
"sebuah kesadaran ada,karena ada objek"
tidak mungkin ada kesadaran tanpa objek.......
apakah perlu saya menunggu buddha metteya untuk tahu jawaban beliau?

sama seperti saya sudah makan garam, apa perlu saya ragukan rasa garam itu asin?


justru karena demikian makanya saya mengatakan, anda keliru jika mengatakan bahwa metta itu bisa dipancarkan tanpa pikiran.
seperti anda mengatakan bahwa rasa garam itu manis pada saya.


-------------------------------------

Quote
Sebelumnya saya minta izin OOT dulu. Perkataan Anda sungguh lucu dan membuat saya geli. Tapi cukup menghibur juga. Anda mengatakan “Saudara Tan yang bijak…. Adalah pemahaman yang BODOH dan KELIRU.” Lucu sekali, Anda mengatakan saya bijak.. tapi bilang pandangan saya bodoh dan keliru. Hahahahahaaha…. :p
Oke kembali ke laptop. Anda salah. Saya tidak takut mengatakan “ada.” Saya tidak takut dikatakan “eternalis.” Memang apakah untungnya bagi saya dikatakan “eternalis” atau “tidak eternalis”? Uang saya tidak tambah sama sekali hahahahaha ) (becanda).
Jadi baiklah untuk menyingkat waktu. Saya katakan Buddha itu tetap “ada.” Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan konsep “keberadaan” yang ada di benak kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar ada dan tiada. Saya kira ini cukup jelas.

Ungkapan Anda: “oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?”

Hahahaaha Anda salah besar!!! Rulai itu bahasa Mandarin bagi Tathagata. Dalam Sutra Saddharmapundarika ada disebutkan Duobao Rulai yang dalam bahasa Sansekerta disebut Prabutaratna Tathatagata. Rulai itu salah satu gelar Buddha. Ungkapan bahwa Rulai mengacu pada Maitreya saja jelas ngawur. Sutra lain ada menyebutkan Miaoshi shen Rulai (Buddha Tubuh Elok). Nah sekarang Anda simpulkan sendiri apakah Rulai = Maitreya.
well bagus lah untuk tawa anda, tawa itu ibadah. ^^ semoga anda berbahagia.
]
dan memang saya salah disitu, setelah saya check pada translator ternyata artinya merujuk pada Tathagata.
kalau begitu ilmu bahasa mandarin saya butuh di tingkatkan. ^^

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #846 on: 01 May 2009, 12:47:54 AM »
Kilas Balik.

Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.

1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p

2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.

3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?

Sementara itu dulu. Semoga kaum non Mahayanis bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Semoga!

Amiduofo,

Tan
1. loh darimana anda tarik kesimpulan bahwa nihilisme?....
saya tidak berani comment karena kita berbicara nibbana, sedangkan saya belum nibbana.

tetapi pengetahuan tentang 1+1 = 2 ,bahkan dengan seorang buddha sekalipun saya berani berdiskusi. ( karena saya pahami dengan baik )

(tetapi kalau tidak salah menurut beberapa rujukan, setelah seseorang parinibbana maka pancakhadhanya padam)

justru sebaliknya menurut mahayana gimana? ^^
setelah buddha parinirvana apa buddha masih ada?
dikatakan "tidak ada" eh bisa muncul lagi di entah dikalpa mana....

dikatakan "ADA" sama saja masuk dalam pandangan salah dalam sutta.

dikatakan "ada dan tiada" kok bisa muncul di salah satu kalpa entah dimana]

bahkan lupa cara pencapaian hingga butuh guru, dan lagi tenggelam dalam nafsu indria karena menikahi seorang putri yasodhara.
gimana itu?
jadi pencapaian buddha juga bisa merosot? apa ini sesuai dengan konsep anicca mahayanis? segala tidak memiliki inti...

^^


katanya kelahiran = penderitaan...kok buddha masih lahir lagi?
jadi tujuan ajaran buddha itu apa?
katanya bebas dari penderitaan... ^^
apa dengan demikian masih bisa dikatakan bebas.....


2. masalah anitya dan nitya apa bisa kasih saya info mengenai kata tersebut, saya miskin ilmu kalau soal itu.

salam metta
« Last Edit: 01 May 2009, 12:52:11 AM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #847 on: 01 May 2009, 12:51:31 AM »
Kilas Balik.

Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.

1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p

2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.

3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?

Sementara itu dulu. Semoga kaum non Mahayanis bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Semoga!

Amiduofo,

Tan

[at] Tan

Saya akan berkomentar. Namun saya bukan bermaksud menjadi perwakilan kaum Non-Mahayanis.


1) Setelah Parinibbana, jelas Buddha tidak lagi memiliki pancakkhandha. Lalu apakah lenyap / nihilisme? Jawabannya adalah tidak. Parinibbana diumpamakan seperti api yang padam. Dimana tidak ada lagi unsur-unsur yang menyebabkan api untuk bertahan, maka api pun tidak akan tercipta lagi. Parinibbana tidak dikatakan lenyap, karena memang tidak pernah 'ada' diri yang merealisasinya. Parinibbana tidak dikatakan kekal, karena memang tidak 'ada' diri yang berada di dalamnya.

Apakah sesuatu yang tidak tercipta itu dikatakan lenyap / nihilisme? Saya rasa Anda cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan ini.

Konsep nihilisme itu berangkat dari pemahaman bahwa ada diri yang akan lepas dari dunia ini. Dan ini tidak sama dengan konsep di Theravada. Terlebih lagi Aliran Theravada tidak pernah memegang konsep bahwa masih 'ada' thing (Buddha tidak mungkin akan lenyap, kata Bro Tan) dalam Parinibbana, meski doktrin anatta juga diakui.

Nah, kontroversi "anatta tapi masih memiliki sisa setelah Parinirvana" inilah yang jika ditinjau sebenarnya selaras dengan paham eternalisme. Semoga tidak demikian adanya. :)


2) Hukum Karma itu sendiri merupakan hukum timbal-balik dari anitya, dukkha dan anatta. Karena dunia ini tidak ada yang kekal, fatamorgana / penderitaan dan tanpa inti; makanya setiap perbuatan berkehendak adalah Karma. Jadi kalau ditanya apakah Hukum Karma itu anitya? Maka jawabannya adalah "Hukum Karma merupakan salah satu koridor penghidupan yang berlaku sebagai timbal-baliknya dengan anitya, dukkha dan anatta."

Apakah konsep anitya itu anitya atau nitya? Maka jawabannya :
- Selama kita masih terperangkap dalam samsara, maka anitya akan terus berlaku.
- Ketika kita mencapai Pembebasan Mutlak / Parinirvana, maka anitya tidak lagi berlaku.

Kesimpulannya : Konsep anitya bukan bersifat anitya ataupun nitya. Konsep anitya merupakan salah satu sifat dari samsara. Jadi tidaklah relevan untuk berspekulasi tentang hal ini.


3) Pertanyaan nomor 3 ini modelnya sama dengan pertanyaan nomor 2. Hanya saja Anda memakai objek "Dharma". Mungkin supaya terkesan lebih spektakuler dan agar Kaum Non-Mahayanis tersentil. Tapi sebenarnya pertanyaan ini secara tidak langsung sudah terjawab bila pertanyaan nomor 2 juga sudah dijawab.


Sementara itu dulu. Semoga Kaum Mahayanis tidak segera puas atas jawaban ini. Semoga!



Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #848 on: 01 May 2009, 01:14:06 AM »
Silahkan berdikusi, mempertanyakan, atau mengkritik , tapi harap masih dalam koridor kesopanan dan tidak menghina atau merendahkan..

TAN:

Saya pribadi sih sebenarnya tidak masalah apabila direndahkan atau dihina. Semuanya dapat dijadikan inputan yang berharga.


Amiduofo,

Tan
saya sependapat dengan saudara Tan. ^^


saudara Tan,
saya dan anda sudah memiliki pandangan berbeda mengenai objek dan kesadaran.

anda berpendapat bahwa "metta dapat timbul tanpa pikiran"
sedangkan saya berpendapat lain....

saya menyatakan pendapat saya benar, karena saya telah langsung merealisasikan pengalaman ini.
bagaimana dengan anda?
apakah anda telah merealisasikan pengalaman langsung,hingga anda berani mengeluarkan pernyataan itu?

Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #849 on: 01 May 2009, 10:30:39 AM »
Kilas balik dari diskusi selama ini,

selama page 1 sampai page sekarang belum pernah ada jawaban.
karena pengetahuan mahayana suadara TAN sepertinya lebih luas..jadi sy mohon beri jawaban, semoga memuaskan.

1.bagian pertama membahas aliran buddha amitabha/tanah suci.
dikatakan beberapa oleh rekan mahayana bahwa ketika seseorang memasuki alam buddha amitabha disitu akan menerima pelajaran dan dibimbing langsung oleh buddha.

4 kesunyataan mulia ( ada pada theravada dan mahayana dan menggambarkan kenyataan )

-bagaimana bisa mengajarkan apa itu dukkha, kalau di situ tidak ada penderitaan?
ibarat buddha berkata "anda akan mengalami usia tua dan kematian"
umat pun berkata "disini panjang usia tak-terhitung karena nol-nya terlalu banyak"

-bagaimana bisa mengajarkan apa itu Sakit, tua, mati, kalau umur makhluk disana di katakan "tak-terhitung"
-dikatakan bahwa ajaran buddha semua sama, "apakah ketika anda telah bertemu buddha amitabha lalu buddha tersebut mengajarkan "hafalkan lah nama buddha lain, maka terlahir lagi di alam buddha lain...kan ajaran buddha sama....berarti para sesepuh pure land disitu merenung ke buddha mana lagi?


2.pertanyaanpun berlanjut pada 4 kesunyataan mulia yang patut dipertanyakan.
apakah anda setuju kalau kelahiran merupakan penderitaan?

ketika kita lahir kita sudah terperangkap dengan beberapa hal, bahkan seperti sakit,tua,mati.
bahkan diskusi di DC ini, adalah sebab dari kelahiran.^^
dan sesuai kenyataan dimana ada kelahiran pasti disitu ada jara-marana.

-dikatakan buddha menyatakan bahwa kelahiran adalah dukkha, mengapa buddha masih ingin lahir? dan mengajarkan kita(ajaran mahayana) untuk tetap lahir?

-dikatakan buddha telah mencapai pencerahan sempurna jauh dikalpa sebelumnya , mengapa beliau "lupa" cara pencapaian bahkan mencari guru-guru....
dan terjerat nafsu hingga menikahi putri yasodhara?


dari kejadian yang dialami Buddha gotama, bisakah saya tarik kesimpulan bahwa
-seorang buddha bisa mengalami kemerosotan batin.
(apakah ini disebut anicca bahkan pencapaian-pun tidak kekal)

-buddha mengajarkan untuk mengembangkan benih boddhisatva hingga mencapai buddha, lalu kenyataannya tidak membawa "kebebasan dari penderitaan"
jadi buddha mengajarkan kita untuk lahir terus....dan ini sudah bertolak belakang dengan
"kelahiran merupakan penderitaan"

jadi apakah ajaran buddha tidak dapat menyelamatkan/membebaskan mahkluk dari penderitaan?

mohon diberi jawaban yang memuaskan, semoga. ^^



Nb: anda adalah orang ke-3 yang saya beri pertanyaan ini,
dan pendahulu anda orang pertama dan kedua ketika ditanya
apakah kelahiran merupakan penderitaan...

orang ke-1 menjawab "YA".. tetapi begitu, saya buka pertanyaan selanjut-nya, tidak ada jawaban.

kalau orang ke-2 jawabannya agak panjang, tetapi karena terlalu berbeli-belit sampai sekarang pun tidak pernah menjawab "ya" atau "tidak"
makanya mendapat gelar "yang tercerahkan" karena telah bebas dari dualisme. ^^
semoga anda orang ke-3 bisa menjadi tauladan bagi kedua pendahulu anda



salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #850 on: 01 May 2009, 11:50:57 AM »
Kaynin:

Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?

TAN:

Hmm. Jadi Anda tetap berpendapat bahwa maitri karuna itu HANYA dapat terpancar karena adanya pancaskandha. Sementara itu, saya berpendapat bahwa maitri karuna yang termurnikan seorang Buddha tak ada kaitannya dengan panca skandha. Kalau mau disebut tidak konsisten itu terserah Anda. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya ajaran Mahayana. Semuanya terserah dan berpulang pada Anda sendiri. Saya kira diskusi topik ini telah mencapai jalan buntu (death end). Pendapat kita tak ada titik temunya. Marilah masing-masing kita jalankan praktik yang kita anggap baik.

Tan
saudara Tan yang bijak,
kalau ada sesuatu pasti ada sebab-nya.........

api ada maka ada panas api, asap ada pasti ada sumber-nya, demikian metta ada karena ada pikiran yang memancarkan....
tanpa pikiran dari mana metta?

sama halnya , bisakah cinta kasih dipancarkan dari sebuah kursi?
pelajaran dari mana anda berpendapat bahwa maitri karuna muncul tanpa sebab dan asal?

selama saya belajar meditasi, tidak pernah ada sebuah pikiran tanpa objek...pasti ada objek baru ada kesadaran mental.
objek adalah penyebab dan kesadaran adalah akibat.
tidak percaya? pratek saja sekarang.. ^^

nanti anda akan tahu pendapat bahwa
metta bisa dipancarkan,tanpa pikiran...itu salah besar dan hanya merupakan teori tanpa kenyataan.

salam metta.

quote dari meditasi ala mahayana :
kalau begitu, buktikan donk ^^............kalau pakai teori tanpa kenyataan semua juga bisa.

Bagi teman-teman pemeraktek jalan  umum,
saya mo beri inspirasi, tapi harap direnungkan baik-baik secara mendalam jangan langsung serang balik.
dorongan-dorongan sifat-sifat keTuhanan/brahma vihara (metta karuna upekha mudita) sebenarnya dilakukan (dimunculkan) oleh pikiran atau bukan?

menurut saya dimunculkan oleh pikiran... jadi saya setuju ketika sudah me-realisasi-kan nibbana/arahatta phala, maka pada dasarnya sudah tiada lagi kehendak pikiran untuk ini dan itu... secara analogi dapat dikatakan bahwa nirvana = samsara...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #851 on: 01 May 2009, 05:36:02 PM »
TOPIK: Lenyapnya Pancaskandha

Saya akan berikan tanggapan terpadu. Pertama-tama mengapa disebut nihilisme? Misalkan ada sesuatu yang sebut saja bernama Ucok. Ucok ini terdiri dari A, B, C, D, dan E. Sehingga secara matematis boleh dituliskan:

Ucok = A + B + C + D + E.

Nah, jika A = 0, B = 0, C = 0, D = 0, dan E = 0. Maka berapakah nilai Ucok?

Ucok = 0 + 0 + 0 + 0 + 0

Ucok = 0 (nihil)

Bila seluruh pancaskandha padam, maka seorang Buddha tentunya akan menjadi 0. Dengan demikian, pandangan apakah bukan nihilisme?

Marilah kita cermati satu persatu berbagai jawaban:

UPASAKA:


1) Setelah Parinibbana, jelas Buddha tidak lagi memiliki pancakkhandha. Lalu apakah lenyap / nihilisme? Jawabannya adalah tidak. Parinibbana diumpamakan seperti api yang padam. Dimana tidak ada lagi unsur-unsur yang menyebabkan api untuk bertahan, maka api pun tidak akan tercipta lagi. Parinibbana tidak dikatakan lenyap, karena memang tidak pernah 'ada' diri yang merealisasinya. Parinibbana tidak dikatakan kekal, karena memang tidak 'ada' diri yang berada di dalamnya.

Apakah sesuatu yang tidak tercipta itu dikatakan lenyap / nihilisme? Saya rasa Anda cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan ini.

Konsep nihilisme itu berangkat dari pemahaman bahwa ada diri yang akan lepas dari dunia ini. Dan ini tidak sama dengan konsep di Theravada. Terlebih lagi Aliran Theravada tidak pernah memegang konsep bahwa masih 'ada' thing (Buddha tidak mungkin akan lenyap, kata Bro Tan) dalam Parinibbana, meski doktrin anatta juga diakui.

Nah, kontroversi "anatta tapi masih memiliki sisa setelah Parinirvana" inilah yang jika ditinjau sebenarnya selaras dengan paham eternalisme. Semoga tidak demikian adanya.



TAN:

Tanggapan di atas tidak masuk akal dan tidak membebaskan kaum non Mahayanis dari dari pandangan nihilisme. Dikatakan “Buddha tidak lagi memiliki pancakkhandha.” Padahal unsur penyusun makhluk hidup adalah “pancakkhandha.” Secara matematis tidak memiliki pancaskandha berarti identik dengan  0 + 0 + 0 + 0 + 0 = 0 (Ingat saya tulis dengan huruf besar NOL). Apakah ini sekali lagi tidak identik dengan nihilisme? Selanjutnya dikatakan “apakah lenyap/ nihilisme? Jawabannya adalah tidak.” Ini tidak masuk akal karena seolah-olah hendak mengatakan bahwa 0 = 1. Selanjutnya diberikan analogi tentang api. Sepintas memang masuk akal. Tetapi sekarang pertanyaannya apakah “api” benar hilang-hilang bila unsur-unsur pendukungnya tidak ada lagi? Jawabannya adalah TIDAK. Api tidak hilang melainkan bertransformasi menjadi bentuk energi lainnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa “tidak tercipta maka tidak akan lenyap.”  Bila dicermati secara seksama pandangan ini tetap menimbulkan permasalahan. Kita tidak mempermasalahkan “tercipta” atau “tidak tercipta.” Untuk mudahnya begini, saya akan mempertanyakan apakah panca skandha itu “ada” atau “tidak ada”? Apakah “ada” Buddha Sakyamuni yang sebelumnya terdiri dari pancaskandha? Kemana perginya pancaskandha itu setelah Beliau parinirvana?
Mengemukakan konsep bahwa yang tak tercipta tak akan lenyap jelas tidak tepat di sini, karena pada kenyataannya pancaskandha itu “ada.” Jika pancaskandha itu tidak ada karena tak pernah tercipta, siapakah yang menulis artikel ini?
Jawaban di atas tetap tidak dapat menuntaskan masalah nihilisme yang saya kemukakan.

UPASAKA:

Ketika kita mencapai Pembebasan Mutlak / Parinirvana, maka anitya tidak lagi berlaku.



TAN:

Apakah maksud Anda, setelah mencapai Pembebasan Mutlak semuanya menjadi nitya alias kekal? Benarkah demikian?

Anda tidak menjawab pertanyaan saya, apakah konsep anitya itu merupakan nitya atau anitya. Ingat kita bicara anitya sebagai suatu KONSEP lho. Saya tekan lagi KONSEP. Saya tidak menanyakan mengenai anitya/ nitya ditinjau dari sebelum dan sesudah pembebasan. Yang Anda jawab hanyalah memberikan pembedaan mengenai nitya dan anitya ditinjau dari orang yang sudah bebas dan belum. Padahal yang saya tanyakan bukan itu.
Kedua, dengan jawaban Anda, seolah-olah hendak mengatakan bahwa anitya itu tidak kekal. Bagaimana logikanya?

Orang yang belum tercerahi masih berlaku anitya, tetapi yang sudah tercerahi tidak lagi berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut Anda anitya itu TIDAK KEKAL. Benarkah demikian?

MERCEDES:

1. loh darimana anda tarik kesimpulan bahwa nihilisme?....
saya tidak berani comment karena kita berbicara nibbana, sedangkan saya belum nibbana.



TAN:

Kalau begitu mengapa Anda berkomentar bahwa sesudah seorang Buddha parinirvana tak dapat lagi memancarkan cinta kasih?

APAKAH MAHAYANA MENGAJARKAN ETERNALISME?

Ini merupakan rangkuman bagi penjelasan-penjelasan saya sebelumnya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang Buddha tidak lenyap sama sekali, seperti pandangan kaum nihilis (sesudah mati tidak ada apa-apa lagi). Tetapi apakah ini merupakan pandangan eternalisme? Mari kita cermati. Seorang Buddha sudah tidak memiliki lagi “aku” atau “atman.” Apa yang disebut atman ini berupaya mengekalkan atau melanggengkan dirinya. Saat atman ini tidak ada lagi, maka tak ada lagi yang dapat disebut eternalis. Menurut Mahayana seorang Buddha berada dalam suatu kondisi “keberadaan.” Tetapi “keberadaan” ini berbeda dengan “keberadaan” para makhluk samsara. Jadi kita tak dapat menyebutnya sebagai “keberadaan” karena memang kondisinya beda. Mahayana menyebutnya dengan Trikaya (Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Samboghakaya). Boleh juga kita menyebutnya sebagai Pikiran Buddha yang Tercerahi dan lain sebagainya. Bila demikian, tentu ada yang menyanggah dan menanyakan, “Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan. Oleh karena itu, ajaran Mahayana sekali lagi konsisten di sini, dengan tak terjebak pada pandangan nihilisme maupun eternalisme.
Agar jelasnya saya akan ungkapkan apa yang disebut eternalisme itu? Umpamanya ada seorang dewa bernama X. Ia mencintai orang yang menyembahnya dan menghukum orang yang menghujatnya. Ia ingin mengekalkan dirinya. Nah inilah baru yang disebut eternalisme. Adanya suatu “aku” yang ingin terus melanggengkan dirinya. Apakah Buddha dalam Mahayana seperti itu? Tentu saja sangat jauh dari itu.


Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #852 on: 01 May 2009, 05:51:38 PM »
TOPIK: Metta dan Pikiran

MERCEDES:

saudara Tan,
saya dan anda sudah memiliki pandangan berbeda mengenai objek dan kesadaran.

anda berpendapat bahwa "metta dapat timbul tanpa pikiran"
sedangkan saya berpendapat lain....

saya menyatakan pendapat saya benar, karena saya telah langsung merealisasikan pengalaman ini.
bagaimana dengan anda?
apakah anda telah merealisasikan pengalaman langsung,hingga anda berani mengeluarkan pernyataan itu?



TAN:

Anda nampaknya salah paham. Saya akan perjelas lagi. Bagi makhluk yang belum tercerahi, metta timbul dari pikirannya. Namun apakah metta suatu makhluk samsara dapat maksimal? Jawabanya tidak, karena kita masih memiliki semangat keakuan. Dalam melakukan kebajikan, sedikit banyak dalam hati seseorang pasti mengharapkan “pamrih.” Kalau ditanya “adakah orang di dunia ini yang tidak pernah punya pamrih”? Pasti tak seorangpun akan mengacungkan jarinya.
Ini berbeda dengan seorang Buddha yang telah membebaskan dirinya dari keakuan. Metta yang dipancarkanNya tidak lagi terkondisi oleh pancaskandha. Semuanya itu terpancar secara alami dari apa yang dinamakan “Pikiran Tercerahi Seorang Buddha.” Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, Buddha dalam Mahayana itu tidak “musnah” menjadi nihilisme, seperti yang dianut oleh kawan-kawan non Mahayanis; melainkan dalam suatu “keberadaan” yang berbeda dengan konsep “keberadaan” menurut makhluk-makhluk awam. Kondisi inilah yang sanggup memancarkan metta secara sempurna, tetapi bukan eternalisme. Untuk jelasnya lihat posting sebelumnya.
Adalah tidak masuk akal, Buddha yang sempurna segenap paramitanya dapat begitu saja musnah menjadi kenihilan.
Pertanyaannya, lebih sempurna mana seorang Buddha yang masih berada dalam nirvana sisa dengan yang tanpa sisa?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #853 on: 01 May 2009, 05:54:30 PM »
MERCEDES:

-dikatakan buddha menyatakan bahwa kelahiran adalah dukkha, mengapa buddha masih ingin lahir?

TAN:

Kata siapa Buddha punya KEINGINAN untuk lahir? Itu adalah pelintiran Anda terhadap Ajaran Mahayana.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #854 on: 01 May 2009, 05:56:41 PM »
Tambahan lagi:

Kalau metta karuna seorang Buddha masih terkondisi oleh pancaskandha, itu artinya metta Beliau tak sempurna. Sekali lagi Mahayana konsisten dengan mengajarkan bahwa maitri karuna yang dipancarkanNya tak terkondisi oleh pancaskandha.

Amiduofo,

Tan

 

anything