Anda salah paham. Dalam praktik Buddhadharma, ukuran yang digunakan tetap mengutamakan sila. Tetapi kalau anda adalah seorang tentara di medan perang bisakah anda tetap bertahan untuk tidak membunuh?
Ok. Kalau begitu kita sependapat.
Tentu. Memangnya bertanya yang demikian?
O... Nirvana merupakan hasil.
Jadi Nirvana adalah akibat dari suatu sebab.
Sabar dan tidak sabar dalam konteks bahwa kita harus bersabar kapanpun nirvana terealisasi. Pandangan Mahayana bahwa bodhisattva siap menunda realisasi nirvana demi makhluk lain mencerminkan sikap sabar tersebut. Sikap sabar adalah bagian dari praktik enam paramita yang justru membantu seseorang merealisasi nirvana, bukan menghambatnya.
Saya jadi ingin bertanya...
Misalnya : Di kehidupan ini, seorang Bodhisatva menunda perealisasian Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Kemudian di kehidupan berikutnya, Bodhisattva itu (setelah bertumimbal lahir maksudnya) kembali menunda perealisasin Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Dan di kehidupan-kehidupan selanjutnya juga demikian... Jadi sampai kapan Bodhisattva itu menunda penundaannya?
Tetapi saya juga mengatakan setiap kehidupan adalah kehidupan ini. Jadi nirvana ada di dalam setiap kehidupan manapun dan kapanpun. Namun realisasinya tergantung pada kesempurnaan praktik paramita dan bagaimana akhirnya berhasil menyingkirkan dua rintangan: klesavarana (rintangan kekotoran batin) dan jneyavarana (rintangan pengetahuan).
Yup. Anda mengiyakan komentar saya.
Bisa. Tapi dalam hal seperti ini rasanya lebih tepat jika kamu tanyakan pada penganut Tantra dan Tanah Murni. Saya kurang kompeten menjelaskan hal demikian.
OK.
Kalau bilang mau, tentunya mau. Kalau kemampuan masih dipertanyakan
Jadi memang tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat menolong semua makhluk, ya...?
Tentu saja pernah. Tapi hebatnya anda pertentangan pikiran dan hati yang demikian dibawa terus dan dengan sengaja dipelihara… Itu yang membuat saya heran
Makanya saya minta pencerahan dari Anda untuk kasus itu...
Melihat arah diskusi kita terakhir ini, saya menilai mulai menjadi kontra-produktif. Oleh karena itu, saya pikir perlu untuk mengkerecutkan isu yang didiskusikan.
Pertama-tama, saya menilai kalau keberatan bro. Upasaka berkaitan dengan ikrar Bodhisattva yang dinilai tidak sesuai dengan logika dan akal sehatnya. Dalam hal ini, saya menilai bro. Upasaka terlalu mengandalkan logika dan akal sehat. Kritik saya kemudian sekitar penggunaan logika dan akal sehat sebagai standar kebenaran, yang kemudian oleh sdr. Upasaka jawab dengan pentingnya segala sesuatu dinilai dengan akal sehat dan logika sebelum diterima.
Pada bagian penjelasan ini, saya tetap keberatan dengan penggunaan logika dan akal sehat sebagai ukuran semata dalam menilai ikrar bodhisattva, mengapa?
Pada sudut pandang tertentu ikrar Bodhisattva tidak terlalu berbeda dengan meditasi objek metta dalam Theravada. Dalam meditasi dengan objek metta, misalnya seseorang diminta untuk mengharapkan kebahagiaan semua makhluk. Bukankah dengan mengharapkan kebaikan semua makhluk hidup, bukan berarti secara otomatis semua makhluk akan langsung mengalami kebahagiaan seperti yang diharapkan? (Jika dipandang dengan akal sehat serupa) Namun, ternyata meditasi metta toh ternyata dapat bermanfaat untuk seorang meditator. Hal yang sama berlaku untuk ikrar Bodhisattva untuk membantu semua makhluk hidup merealisasi nirvana.
Dalam hal ini Santideva dalam Bodhicaryavatara menulis:
“Bila sekedar berpikir hendak menyembuhkan
Makhluk lain dari sakit kepala saja
Adalah suatu kehendak baik
Yang dipenuhi kebajikan tak terbatas.
Lantas bagaimana menjelaskan
Tentang kehendak untuk menghapuskan penderitaan
Mereka yang tiada terhitung
Yang menginginkan agar masing-masing dari mereka
Mencapai kebajikan tidak terbatas?
[...]
Kehendak membawa kebajikan bagi semua makhluk yang
Demikian
Yang tak tumbuh pada mereka yang tak menginginkan
Kebajikan bagi diri sendiri
Adalah permata pikiran yang tiada banding
Dan kelahirannya belum pernah terjadi sebelumnya dalam
Pengembaraan samsara
[...]
Namun bila pikiran baik yang muncul (dalam
Memandangnya)
Buahnya akan berlipat ganda jauh melampaui
Penyebabnya
Saat Bodhisattva mengalami penderitaan berat ia tidak
Bersikap buruk
Oleh sebab itu kebajikannya terus berkembang dengan sendirinya”
Pada kata-kata di atas, jelas ikrar Bodhisattva dinilai sebagai cara membangkitkan pikiran yang positif, tidak dinilai dari segi nyata atau tidaknya. Bahkan ketika kita membangun pikiran yang positif akan seseorang saja, maka hasilnya akan memberikan dampak yang positif untuk kita. Bagaimana kita membangun pikiran yang positif akan kebaikan semua makhluk hidup tanpa memilah-milah? Bukankah akan semakin kuat dampak positifnya?
Dengan ikrarlah, seorang Bodhisattva mulai membangun kebajikan yang tanpa batas:
“Sejak saat itu
Meskipun tidur ataupun tak sadar
Kekuatan kebajikannya seluas angkasa
Akan tiada habisnya mengalir.”
Kebajikan tanpa batas ini yang disebut sebagai Bodhicitta:
“Segala kebajikan yang lain bagaikan pohon yang ditanam
Setelah berbuah ia punah begitu saja
Sebaliknya pohon abadi Bodhicitta
Tak akan berhenti berbuah, bahkan terus berkembang
Bodhicitta atau dalam pengertian ini adalah ikrar Bodhisattva merupakan landasan bagi seorang calon Bodhisattva untuk membangun pikiran dan tekad tak terbatas untuk mempraktekkan Buddha Dharma hingga mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna. Ia adalah bahan bakar tak habis-habisnya yang mendukung tekad tersebut.
Oleh karena itu tidak tepatlah hal demikian ditakar dengan logika dan akal sehat. Karena tekad Bodhisattva bukanlah suatu pernyataan afirmasi akan suatu kebenaran objektif. Sebaliknya ia adalah suatu pernyataan sederhana yang sifatnya subjektif, namun lebih mencerminkan suatu tekad dan semangat.
Meskipun saya melihat sebenarnya selama ini bro. Upasaka menggunakan pengertiannya yang luas dan longgar untuk kedua konsep tersebut. Jika ia, “bertanya mungkinkah hal demikian terjadi?” yang dipermasalahkan oleh dia bukanlah logis atau tidaknya isi ikrar Bodhisattva tersebut, melainkan nyata atau tidak nyatanya isi Ikrar tersebut. Dalam arti ia mempertanyakan apakah isi ikrar tersebut mempertimbangkan aspek realitas atau tidak. Bro Upasaka lebih bertindak selaku seorang penganut realisme yang sedang mempertanyakan suatu idealisme yang dinilainya tidak sesuai dengan “akal sehat”-nya sebagai realis, ketimbang seorang yang menggunakan kaidah-kaidah dalam ilmu logika untuk mengevaluasi isi pernyataan ikrar. Jika ia menggunakan kaidah-kaidah dalam logika, seharusnya ia sadar hukum dalam ilmu logika: “Semua logis belum tentu nyata.” Karena logika adalah sistem kebenaran simbolik yang terisolasi dengan kenyataan empirik. Sedangkan yang dipertanyakan Bro. Upasaka apakah hal yang demikian “mungkin terjadi.”
Dalam realisme yang dianut oleh Bro. Upasaka sebenarnya yang bekerja adalah “akal sehat” yang didasarkan pada keyakinan umum akan mungkin atau tidaknya suatu hal terjadi. Akal sehat demikian hanyalah cerminan apa yang berlaku pada pandangan masyarakat umum, ketimbang suatu kebenaran yang pasti. Misalnya, jika masyarakat Abad 18 ditanyakan apakah mungkin seseorang menangkap listrik di dalam bola kaca atau sebuah benda berat terbang di udara dan turun lagi dengan selamat, maka mereka akan menertawakan sebagai tidak masuk akal. Namun, jika masyarakat saat ini ditanyakan hal yang sama, maka jawabanya akan bertentangan dengan masyarakat Abad 18. Mengapa demikian? Karena akal sehat demikian hanya dibentuk oleh keterbatasan pengetahuan dan apa yang berlaku sebagai keyakinan umum apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Nah, sekarang mari kita bertanya apakah mungkin seseorang menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara? Tentu dengan akal sehat dan batas pengetahuan saat ini kita cenderung akan menjawab tidak mungkin. Tetapi ingat, dalam posisi ini kita tidak berbeda dengan masyarakat Abad 18 ketika ditanyakan tentang pesawat dan bola lampu. Jawaban kita atas pertanyaan ini dibatasi oleh pengetahuan dan keyakinan umum yang dianut oleh kita semua. Meskipun demikian, saya tidak bermaksud untuk menjawab dengan yakin dan pasti bahwa seseorang bisa menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara, namun saya juga tidak akan mengatakan dengan pasti juga bahwa tidak mungkin ini terjadi. Pada dasarnya semua kemungkinan bisa terjadi jika hal tersebut berkaitan dengan realitas. Bahkan untuk pengetahuan-pengetahuan tentang dunia material saja kita masih akan menemukan banyak surprise di kemudian hari, bagaimana dengan Jalan Kebodhisattvaan yang melampaui dunia material?
Sebagai sumber kekuatan kebajikan, Bodhicitta justru harus melawan semua akal sehat yang dianut oleh realisme yang dibentuk berdasarkan cara pikir umum belaka. Dalam meditasi metta, hal yang sama juga berlaku. Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk hidup bukan berarti bisa terjadi tiba-tiba semua makhluk hidup bebas dari kebahagiaan. Ukuran-ukuran keyakinan umum seperti kuantitas, waktu dan ruang sebagaimana dalam pengertian objektivisme justru menghambat niat dalam memancarkan metta. Dalam hal ini, kita harus memancarkan metta pada makhluk ke segala penjuru tanpa mempertimbangan objektivitas ruang dan waktu. Bahkan konon, dalam Theravada pun percaya bahwa ketika kita memancarkan metta dengan konsentrasi yang kuat seseorang akan lambat laun merasakan kebahagiaan yang kita pancarkan padanya. Dalam ikrar Bodhisattva hal yang sama berlaku. Ukuran objektif tidak lagi berlaku. Dengan mengabaikan ini, dan menguatkan tekad sepenuhnya maka semua potensi yang ada di dalam dicurahkan untuk mempraktikkan Buddha Dharma. Jika tekad yang harapan positif tersebut dipancarkan terus menerus dengan kuat bukankah tidak tertutup kemungkinan pancaran enerji positifnya benar-benar akan membantu makhluk lain bebas dari samsara?
Tekad yang muncul dari kesadaran akan tiadanya batas ukuran objektif demikian justru adalah sumber yang luar biasa untuk menjalani Buddha Dharma. Pada beberapa kasus nyata, seringkali seseorang yang didesak oleh keinginan untuk menyelamatkan orang lain dan keinginan mengorbankan diri menjadi mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan olehnya pada saat biasa. Seorang Ibu yang melihat suami dan anak terjepit dibawa mobil dan berada dalam bahaya, mampu mengangkat mobil yang beratnya tak akan mampu diangkatnya pada saat “normal.” Dorongan altruisme yang demikianlah yang akan memacu seorang Bodhisattva untuk terus mempraktikkan Buddha Dharma.
“Setelah dengan jelas melihat bodhicitta dengan cara ini
Seorang Jinaputra harus tak gentar
Terus mendorong dirinya sendiri
Untuk tidak berpaling dari prakteknya.”
Lantas akan dengan demikian semuanya akan saling menunggu dan akhirnya tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna seperti yang dikira bro. Upasaka? Sekali lagi ini hanya dugaan yang dilandaskan pengetahuan dan keyakinan umum terbatas belaka. Para Bodhisattva terdahulu tak terhitung banyaknya yang akhirnya mencapai Buddha Sempurna, bahkan Buddha Sakyamuni sendiri dahulu adalah Bodhisattva. Jika memang kekhawatiran bahwa ikrar Bodhisattva menyebabkan semuanya akan saling menunggu hingga tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna adalah benar, maka seharusnya tidak ada Buddha Yang Sempurna di dunia ini. Oleh karena itu kekhawatiran ini berlebihan. Kenyataannya, isi ikrar tidak selalu harus terwujud saat seorang Bodhisattva akan mencapai Buddha Sempurna. Ketika praktiknya sudah matang, maka Bodhisattva akan tetap mencapai Buddha Sempurna terlepas dari ikrar yang disampaikannya terwujud ataupun tidak.
Untuk lebih memahami ikrar Bodhisattva, perhatikan kutipan dari Mahavaipulya Paripurnabuddhis Nitarthasutra ini:
“Kebijaksanaan yang dimiliki Bodhisattva luar biasa. Mereka tidak akan terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi, namun demikian mereka juga tidak terburu-buru melepaskan segala penderitaannya. Mereka tidak takut mati dan lahir kembali, juga tidak ingin mencapai Nirvana sedini mungkin. Mereka tidak menjunjung tinggi (memuji) para umat yang melakukan Sila dengan tekun, sebaliknya mereka tidak membenci umat yang melanggar sila. Mereka tidak memuliakan tokoh Dharma, tapi mereka juga tidak menyepelekan dan memandang umat yang baru belajar Dharma. Mengapa para Bodhisattva bersikap demikian? Tiada lain kesadaran mereka telah mencapai tingkat sempurna! Hakikat ini bisa diumpamakan sebagai fungsi terang yang berada di dalam mata. Bila mata telah dibuka, segala sesuatu dapat kita lihat dengan jelas, tanpa membedakan mana yang disukai atau mana yang dibenci oleh penglihatannya. Ini berarti fungsi terang dari mata telah melimpahi segala sesuatu di alam semesta secara sama rata (merata) tanpa benci dan suka!”
Melalui kutipan ini, jelas dalam Mahayana tekad seorang Bodhisattva untuk tidak merealisasi nirvana secara cepat mencerminkan keseimbangan akan sikap tidak takut mati dan lahir kembali, yang mencerminkan sikap tidak terikat dengan duniawi sekaligus tidak segera melepaskan penderitaannya. Sikap ini justru mencerminkan keseimbangan dan kebijaksanaan (prajna) yang merupakan bagian dari kesadaran sempurna.
Dari kutipan ini kita juga lihat, ikrar calon Bodhisattva untuk menunda realisasi nirvana demi semua makhluk yang pada awalnya adalah perwujudan tekad dan semangat bodhicitta, pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi suatu kesadaran yang merata tanpa diskriminasi terhadap segala sesuatu pada Bodhisattva tingkat atas. Dengan demikian, sikap untuk menunda realisasi nirvana jika bukan karena kemelekatan pada duniawi adalah justru mencerminkan kesadaran tersebut.