[a] Bagaimana dengan bakteri?
Kita tau pada waktu masa vassa, Sang Buddha tidak memperbolehkan para Bhikkhu untuk keluar/berkelana karena pada musim hujan banyak sekali binatang2 kecil yang keluar, hal ini akan meningkatkan resiko terbunuhnya secara tidak sengaja tanaman2 dan serangga2 kecil.
[c] Apakah lantas berarti kita juga perlu mengurangi terbunuhnya bakteri2, misalkan, dengan cara mengurangi frekuensi mandi?
(a) Bakteri adalah makhluk hidup karena memiliki kesadaran, bisa dibilang mereka dikelompokkan sebagai "hewan". Namun, bakteri adalah bakteri. Mungkin lebih tepatnya, sepupu hewan
Bakteri tidak akan bisa dilihat dengan mata telanjang. Bakteri adalah makhluk hidup yang paling banyak jumlahnya.
(b) Haha, pindah ke judul "
Tujuan Sang Buddha menetapkan masa vassa". Tidak apa-apa, saya jawab.
Agak sulit dijelaskan di negara yang hanya memiliki 2 musim. Di negara yang memiliki 4 musim, musim dingin bisa saja turun salju, untuk beberapa tempat bisa menggunung saljunya. (Salju kalau kena kepala, dingin banget/akit.)
Intinya: bhikkhu hutan (nanti bahas bhikkhu di Vihara) biasanya menetap di hutan (ruang terbuka), pada masa musim hujan, buah-buahan tidak akan tumbuh-baik, di hutan dan pastinya tempat pertapaan jadi becek, berlumpur, syukur-syukur ada gua (goa). akan tetapi, semua hewan juga pada musim hujan juga kewalahan (tidak ada payung), mereka juga pastinya akan kelaparan, akhirnya saling memangsa. Mereka juga pastinya kalau ada gua, akan berlindung ke sana walaupun bisa saja ada hewan buas yang menetap di sana. Nah, di sini kalau mereka lapar, bukankah bhikkhu akan dalam masalah? Karena kalau sudah lapar, ya, apalagi hewan, tukang mangsa.
Jadi, secara umum, bhikkhu hutan (petapa), mencari tempat-sementara di luar hutan, yaitu mencari tempat-sementara di tengah-tengah masyarakat, selama musim hujan atau yang dikenal sebagai masa vassa (retret musim hujan). Untuk sementara, bhikkhu tidak tinggal di hutan walaupun ada bhikkhu yang tetap menetap di hutan, itu tadi saya kataan, jika ada gua, bhikkhu akan melewatkan masa vassa tetap di hutan. tidak semua hutan memiliki gua. Apalagi jika gua itu malah ditempati orang lain, syukur-syukur ia mau berbagi tempat.
Ini berlaku untuk semua petapa. Walaupun jika dilihat ini seperti masa sulit, akan tetapi jika bhikkhu mulia tersebut menetap selama musim hujan di tengah-tengah masyarakat maka ini dapat diartikan "masa berkah", berkah untuk menanam jasa bagi umat/siapa pun.
Nah, untuk bhikkhu di Vihara, otomatis tetap menetap di Vihara atau bhikkhu hutan menetap di sini (Vihara).
Inilah poin utama masa vassa dalam Ajaran Buddha. Ketika masa vassa, bhikkhu-bhikkhu sudah pasti berkumpul, minimal di Vihara masing-masing (sayang sekali di Indonesia belum ada bhikkhu hutan). Selesai vassa, saat itulah diadakan "Pavarana" (kira-kira artinya kegiatan yang dilakaukan di akhir vassa). Di sinilah bhikkhu mulai diskusi dengan "bhikkhu hutan", apa yang dipelajari, ada bhikkhu baru gak? Siapa namanya, berapa jumlah vassa bhikkhu itu, seperti apakah pencapaianmu di Vihara, atau seperti apakah pencpaianmu di hutan, dll.
Kira-kira, mungkin, bisa dibilang "Pavarana" = reuni para bhikkhu. Di sini cukup jelas, tetapi reuni bhikkhu tidak seperti reuni umat awam yang bicara ke sana-sini, reuni para bhikkhu, adalah seperti yang saya jelaskan di atas: "Adakah bhikkhu baru yang kamu tahbiskan, apa pencpaianmu di hutan/Vihara, blabla."
(c) Apakah lantas berarti kita juga perlu mengurangi terbunuhnya bakteri2, misalkan, dengan cara mengurangi frekuensi mandi?Oleh karena itulah, dikatakan kehidupan duniawi adalah berdebu, kehidupan suci adalah jaminan terbaik. Umat awam tidak akan sanggup dengan mengatakan, "Saya akan waspada untuk menghindari agar "bakteri tidak mati." Umat awam secara umum, tidak akan sanggup. Mengapa? Karena, jika umat awam berjalan saja tangan bergerak-gerak, kepala lihat sana sisi (cewek cantik lewat, uda kacau pikirannya), duduk kaki bersilang, duduk bersandar, duduk silang (pergelanagan) kaki, mandi airnya banyak, cuci piring airnya banyak, makanan belum masuk mulut, mulut sudah buka, baru masuk mulut sudah ditelan, tidur bergelatak, dll.
Inilah umat awam, hal yang biasa. Ini namanya tidak menjaga indria, itulah umat awam.
Lain halnya dengan bhikkhu, bhikkhu berjalan pelan, tangan tidak melayang-layang, makan 32 gigitan sebelah kiri, 32 gigitan sebelah kanan, (kadang 32 lagi, baru telan). Cuci mangkuk, airnya kira-kira setengah gelas saja, cuci sekaligus tangan, selesai. Duduk tidak meyilang kaki, duduk tidak bersandar, tidur seperti singa, dll. Ini namanya menjaga indria. Karena menjaga indria, otomatis penuh waspada, karena penuh waspada, makhluk -makhluk yang kecil seperti bakteri, akan "lebih" aman.
Pada musim hujan, otomatis sering hujan. Para bhikkhu lebih diam di rumah (tempat) karena hujan tak menentu. Umat awam bisa saja naik motor, becak, lari-lari, naik mobil, bawa payung, akan tetapi bhikkhu tidak diizinkan naik kendaraan (pun gak ada duit), kecuali memang harus, misalnya diundang ke luar negri, otomatis harus naik pesawat. Bhikkhu tidak punya motor pribadi,
tidak ada bhikkhu yang lari-lari, kecuali dikejar najing. Bhikkhu boleh menggunakan payung, jika dikasih umat, tetapi hanya sementara.
Jika hari tidak hujan, kemudian bhikkhu sedang berada di tengah jalan, tiba-tiba hujan, kan kasihan jika hujan gak berhenti-henti, syukur-syukur ada orang yang baik untuk kasih tempat teduh.
* Jika bakteri terbunuh, itu pasti tidak sengaja. Pikiran harus tetap dipertahankan untuk menghindari pembunuhan. Pikiranlah yang menjadi tonggak atas segala sesuatu, perbuatan buruk, pikiran belum tentu buruk, ucapan buruk, belum tentu pikiran buruk, tetapi
jika pikiran buruk, pasti ucapan buruk, pasti perbuatan buruk.