TL:
Mas Tan, coba perhatikan postingan saya, apakah saya mempertentangkan M dengan T? malah kelihatannya mas Tan yang tidak konsisten, selalu mempertentangkan M dengan T, padahal mas Tan sendiri menyetujui agar jangan melihat M dari sudut pandang T. Ini kedua kali mas Tan membandingkan M dengan T.
Dewa dan Brahma konsep M mengenai keBuddhaan tidak saya bandingkan dengan T, tetapi menurut saya mirip dengan dewa-dewa Hindu yang sekali waktu menjelma menjadi manusia, atau yang turun ke Bumi untuk mnyelamatkan domba-domba yang tersesat.
TAN:
Maaf, bukan mempertentangkan antara T dan M. Saya hanya menanggapi berdasarkan apa yang Anda tanyakan. Kalau Anda menganggap saya mempertentangkan T dan M, maka kemungkina Anda salah tafsir terhadap apa yang saya uraikan sebelumnya.
Oke. Kalau mau dianggap mirip antara dewa yang menjelma jadi manusia mungkin memang ada miripnya. Saya pakai kata "mungkin" karena saya tidak banyak tahu bagaimana proses penjelmaaan suatu makhluk adikodrati seperti yang Anda ungkapkan di atas. Anda sendiri mengatakan bahwa segala sesuatu atau persamaan atau perbedaannya, bukan? Hanya saja, "penjelmaan" itu tidak sepenuhnya sama. Kita sepakati saja bahwa memang ada kemiripannya. Tetapi sesuatu yang mirip tidak selamanya identik bukan?
TL:
Manusia beda dengan monyet, ini benar. Manusia ada kemiripan dengan monyet, ini juga benar. Apakah kita kesal atau menerima persamaan kita dengan monyet? Ini terserah pribadi masing-masing individu. Kita marah atau menerima toh realitas yang sebenarnya tak berubah.
Mengenai konsep Trikaya khususnya Dharmakaya? Disini bukan saya menerima atau tidak menerima, apakah saya harus menerima sesuatu karena tertulis di kitab suci atau karena petinggi agamanya yang mengatakan demikian? Oleh karena itu sebaiknya mas Tan yang menjelaskan, bukankah sudah saya katakan bahwa pengetahuan saya sangat minim?
Mengerti lebih dahulu maka penerimaan menjadi lebih mudah kan?
Mengenai Buddha yang menjelma kembali, itu bukan saya yang mengatakan, itu berdasarkan kitab suci M kan? (tolong dikoreksi bila saya salah) Saya hanya membandingkan penjelmaan ini dengan kitab suci Hindu dan juga Perjanjian Baru kr****n, yaitu penjelmaan untuk menebus dosa umat manusia. (tolong jangan diperlebar, batasi hanya pada penjelmaannya).
TAN:
Bukankah saya sudah mengulas panjang lebar tentang "penjelmaan" tadi? Saya sudah menguraikan tentang Tiga Tubuh Buddha, yakni Dharmakaya, Samboghakaya, dan Nirmanakaya. Ini merupakan acuan untuk menjelaskan mengenai "manifestasi" seorang Buddha menurut Mahayana. Nirmanakaya adalah Tubuh Jelmaan. Sedangkan Samboghakaya secara harafiah berarti Tubuh Pahala. Seorang Buddha dapat memanifestasikan diriNya dalam miliaran nirmanakaya, sementara itu Dharmakayanya tidak perlu berpindah tempat sama sekali, karena Dharmakaya atau Tubuh Dharma itu omnipresence (maha hadir). Mungkin analoginya adalah matahari (selaku Dharmakaya), sinar matahari (Sambhogakaya), dan bayangan matahari di air (Nirmanakaya). Dengan demikian, seorang Buddha dapat "menjelma" di mana saja dan sebagai apa saja, tetapi Dharmakaya-nya tidak bergerak ke manapun. Ini adalah konsep Mahayana. Saya menerima konsep ini karena menurut saya sangat logis dan masuk akal. Mengapa sangat logis dan masuk akal? Marilah kita cermati alasan2 berikut ini:
1.Seorang Buddha telah mengumpulkan paramita yang tak terhitung jumlahnya (silakan lihat kitab Buddhacarita - Fo Shuo Xing Chan, Lalitavistara Sutra, Sutra Damamukanidana - Xianyujing, dll). Seorang Buddha telah menyempurnakan maitri karunanya melalui tingkatan-tingkatan Boddhisattva (diulas di Sutra Dashabhumika - bagian kumpulan Avatamsaka). Dengan demikian, tidak mungkin setelah ia memasuki Nirvana Tanpa Sisa, Beliau berhenti memancarkan energi belas kasihNya terhadap para makhluk. Tidak mungkin energi paramita-paramita itu berhenti begitu saja. Kalau dengan memasuki Nirvana Tanpa Sisa seorang Buddha tidak memiliki dan tidak dapat memancarkan belas kasih lagi, paramita-paramita yang dilakukannya akan menjadi sia-sia; dengan asumsi bahwa maitri karuna yang sejati itu tak terbatas dan tak terkatakan. Maitri karuna sejati tidak dapat mengatakan, "Oke sampai di sini saja saya menolong kamu." Maitri karuna seorang Buddha itu tak dapat berakhir, beda dengan maitri karuna manusia biasa: "Ada uang abang disayang. Tak ada uang abang ditendang."
2.Orang yang telah bebas tentunya dapat pergi ke mana saja, bukan? Karena itu, bagi saya sangat masuk akal pandangan bahwa seorang Buddha masih dapat "pergi" atau "masuk" lagi ke dunia samsara. Hanya saja "masuk" atau "menjelma"nya Beliau ke dalam samsara itu bukan didasari oleh lobha, dosa, dan moha. Kalau dikatakan bahwa seorang Buddha tidak dapat "menjelma," maka nirvana akan menjadi semacam penjara yang "membatasi" seorang yang telah mencapai pencerahan. Banyak orang dari agama lain yang memahami nirvana semacam ini jadi menyalah artikan bahwa nirvana adalah penjara. Padahal nirvana adalah suatu kondisi, yang melambangkan pembebasan sejati.
Analoginya adalah sebagai berikut. Penjahat harus masuk penjara karena kesalahannya. Tetapi orang bebas (dalam artian bebas dari hukum pidana penjara) boleh berkunjung ke penjara dan setelah itu keluar lagi. Ia datang ke penjara bukan karena kesalahannya dan tidak harus ke sana. Ia datang ke penjara untuk menghibur dan menasihati para narapidana.
Tentu saja, sang Buddha masih dapat datang mengunjungi "penjara" kita ini. Hanya saja dengan cara yang berbeda dengan kita-kita "terlahir" di penjara ini. Beliau hadir bukan karena lobha, dosa, mohanya, melainkan karena maitri karuna Beliau. Konsep Trikaya dapat menjelaskan bagaimana "Kebuddhaan" hadir di samsara ini.
3.Nirvana dan samsara adalah identik menurut Mahayana.
Nah, demikian uraian saya mengenai konsep Buddhologi dalam Mahayana? Apakah uraian saya di atas mempertentangkan antara M dan T? Saya tidak merasa demikian. Bahkan saya tidak pakai kata "T" sama sekali. Silakan Anda cek. Tentu saja penjelasan saya masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan waktu dan tempat.
CL:
Mas Tan straight to the point saja: adakah keterangan mengenai kebuddhaan dan sifat Nirvana pada buku-buku M? bila ada dimana dan bagaimana? Supaya diskusi kita tidak mengambang tanpa arah.
Terima kasih dan saya sangat menghargai keterangan mas Tan.
TAN:
Tentu ada donk. Banyak sekali. Bisa cek di Sutra Avatamsaka, Lankavatara, Saddharmapundarika, Srimaladevisimhanada, Mahaparinirvana, dll.
Di sastra juga banyak, antara lain: Mahayana Uttara Tantra Sashtra, Cheng Wei Shi Lun (karya Xuanzang), Madhyamakasashtra (karya Nagarjuna), dll.
Anda saya sarankan membaca naskah2 di atas, karena saya tidak ada waktu untuk menguraikannya. Lagipula membaca langsung dari sumbernya lebih baik bukan?
Amiduofo,
Tan