gak ada yg ilang, karena sebelumnya memang gak ada...hmm..I think I get it...
yg berhenti adalah prosesnya...
Mere suffering exists, no sufferer is found,
The deed is, but no doer of the deed is there.
Nirvaana is, but not the man that enters it.
The path is, but no traveller on it is seen'.
7. Setelah meninggal, Tathagata ada
8. Setelah meninggal, Tathagata tidak ada
9. Setelah meninggal, Tathagata ada dan tidak ada
10. Setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada
Nah, kalo istilah Matematika-nya, bisa dianalogikan dengan himpunan venn:
Misalnya:
A = ada
A' = bukan ada
B = tidak ada
B' = bukan tidak ada
maka
untuk butir 7, itu sama dengan A
untuk butir 8, itu sama dengan B
untuk butir 9, itu sama dengan A irisan B
untuk butir 10, itu sama dengan A' irisan B'
Semesta himpunan venn-nya adalah samsara.
Karena Tathagata (Arahat) terbebas dari samsara, maka tidak termasuk himpunan manapun.. Alias himpunan venn-nya tidak berlaku lagi, oleh karena itu Buddha diam ketika ditanya.
Analogi lain:
C = lulus
C' = tidak lulus
D = gagal
D' = tidak gagal
Semesta himpunan venn-nya adalah peserta ujian.
Jika si Z yang bukan peserta ujian ditanya:
apakah Z lulus?
apakah Z gagal?
apakah Z antara lulus dan gagal?
apakah Z antara tidak lulus dan tidak gagal?
Tentu saja pertanyaan itu tidak berlaku bagi Z, karena Z bukan peserta ujian. Bagaimana bisa lulus atau gagal, atau keduanya, atau bukan keduanya.. Lha wong si Z ngga ikut ujian... ;)
Jadi kalau ada orang, seorang guru mengatakan bahwa ia melihat Buddha Sakyamuni dan pergi denganNya ke sebuah kafe untuk minum kopi. Guru itu mengataan hal yang benar atau tidak ya??
Kalau mengenali, bagaimana bisa memastikan bahwa orang yang ditemui benar2 Buddha Sakyamuni?
Kalau orang lain mau percaya, ya silakan saja..
Atau orang lain mau menolak untuk percaya, ya juga silakan saja..
Itu pilihan mereka kok..
Di dalam Kalama Sutta, Buddha bilang: "Jangan semata-mata percaya..."Apakah harus hal itu dibuktikan dengan melihat dengan mata sendiri?
Saya tidak menyetujui atau menolak pernyataan tersebut sebelum dapat membuktikannya sendiri.
Ehipassiko dong... ;)
Kalau saya sudah keburu meninggal sebelum dapat membuktikan, ya sudah risiko saya sendiri. ^-^
Apa dasarnya kita untuk mempersilahkan orang lain untuk percaya atau tidak percaya, sedangkan kita sendiri tidak tahu pasti hal itu benar atau salah ?
Apakah harus hal itu dibuktikan dengan melihat dengan mata sendiri?
Untuk direnungkan: Apakah mungkin untuk melarang semua orang (kalau tidak salah, populasi manusia di bumi saat ini ada sekitar 6 miliar, CMIIW) untuk percaya atau mewajibkan untuk percaya?[/i][/color]
Apakah harus hal itu dibuktikan dengan melihat dengan mata sendiri?
Untuk direnungkan: Apakah ada cara lain untuk membuktikan tanpa melihat dengan mata sendiri? Jika ada, bagaimana caranya?
Rekan2 semua,
Hati2 terjebak pada penafsiran nihilisme.
Salam,
Suchamda
Jadi kalau ada orang, seorang guru mengatakan bahwa ia melihat Buddha Sakyamuni dan pergi denganNya ke sebuah kafe untuk minum kopi. Guru itu mengataan hal yang benar atau tidak ya??
Ini maksudnya Lu Shen Yen bukan?
Lord Buddha said "If you see Dhamma, you see Me"...
_/\_
Thanks atas warning Sdr. Suchamda dan saya pribadi dalam membahas hal ini selalu wanti-wanti agar tidak terjebak dalam pandangan Nihilisme. Tapi, kita juga perlu wanti-wanti agar tidak terjebak dalam pandangan eternalis yang selalu mengedepankan istilah perwujudan, penitisan, manifestasi, dsb.
Lord Buddha said "If you see Dhamma, you see Me"...
_/\_
Menurut Sdr. Lex, "Me" disini apakah mengacu pada diri Sang Buddha dengan fisik dan 32 tanda istimewa yang bisa bisa makan, minum dan sakit perut atau apa?
Tentu!
Tapi masalahnya apakah bisa menjelaskan sesuatu (apalagi secara singkat) tentang sesuatu yang diluar kemampuan kita untuk menjelaskannya? Menurut saya, pertanyaan awal di topik ini bersifat menjebak.
Apa yang bisa kita lakukan adalah memberi arahan, bagaikan memberikan jari untuk menunjuk bulan. Selanjutnya orang itu sendiri yang harus memahami dengan kebijaksanaannya untuk mengerti arah yang dimaksud. Oleh karena itu, tidak masalah bila dikedepankan istilah-istilah 'padam', 'tak bersisa' dsb demikian juga istilah2 'perwujudan', 'emanasi' dsb sebagai alat bantu penjelasan. Permasalahannya adalah bukan pada istilahnya, tetapi apabila dalam menjelaskan itu kita tidak seimbang, atau tidak mengutarakan bahaya dari kedua kecenderungan pandangan tersebut.
Tapi bila kita bisa menghilangkan kebingungan orang tsb dengan kata2 berarti kemungkinan besar kita memberi suatu jawaban yg keliru. :)
Maaf Bro Kelana,
Saya belum melihat Dhamma, maka saya belum melihat Buddha..
Saat ini cuma bisa menduga-duga.
Tapi dugaan itu adalah hasil pikiran, bukan realita. Oleh karena itu tidak perlu dipercaya..
Kalau sudah melihat Dhamma sekaligus Buddha, saya baru cerita ya.. ;)
Setidaknya jari pun harus diarahkan setepat mungkin ke arah bulan. Bukankah demikian?
Baru kemungkinan iya kan Sdr. Suchamda? Dan dasar apa yang anda gunakan untuk menyatakan bahwa bila kita bisa menghilangkan kebingungan orang tsb dengan kata2 berarti kemungkinan besar kita memberi suatu jawaban yg keliru ?
Maaf Bro Kelana,
Saya belum melihat Dhamma, maka saya belum melihat Buddha..
Saat ini cuma bisa menduga-duga.
Tapi dugaan itu adalah hasil pikiran, bukan realita. Oleh karena itu tidak perlu dipercaya..
Kalau sudah melihat Dhamma sekaligus Buddha, saya baru cerita ya.. ;)
Sdr. Lex, perasaan, saya tidak menanyakan apakah anda sudah melihat Dhamma ataupun Buddha, yang saya tanyakan adalah kata "Me" dari kalimat “Lord Buddha said "If you see Dhamma, you see Me"...” mengacu pada apa/siapa?
Quote from: kelanaSetidaknya jari pun harus diarahkan setepat mungkin ke arah bulan. Bukankah demikian?
Bukankah itu yang telah saya katakan sejak kemaren?
Baru kemungkinan iya kan Sdr. Suchamda? Dan dasar apa yang anda gunakan untuk menyatakan bahwa bila kita bisa menghilangkan kebingungan orang tsb dengan kata2 berarti kemungkinan besar kita memberi suatu jawaban yg keliru ?
Maksud saya adalah: saya tidak tahu "Me" yang dimaksud oleh Lord Buddha karena saya belum melihat Dhamma. Jika saya tetap dipaksa untuk menjawab, maka apapun jawaban saya itu hanyalah dugaan yang berasal dari pikiran saya. Dan dugaan itu belum tentu merupakan realita. Jika bukan realita, apakah layak dipercaya?
Kalau saya sih lebih baik ragu2 daripada yakin pada hal yang bukan realita. Ragu2 di sini bukan berarti langsung percaya, dan juga bukan berarti menolak untuk percaya. Dan ragu2 hanya berlaku sebelum dapat membuktikan. Jika sudah dapat membuktikan maka ke-ragu2-an akan luntur dengan sendirinya..
Bro Morpheus, pinjam kutipan ya..
RAGU PANGKAL CERAH! ;D
Quote from: kelanaSetidaknya jari pun harus diarahkan setepat mungkin ke arah bulan. Bukankah demikian?
Bukankah itu yang telah saya katakan sejak kemaren?
Hanya untuk penegasan saja.Quote from: kelanaBaru kemungkinan iya kan Sdr. Suchamda? Dan dasar apa yang anda gunakan untuk menyatakan bahwa bila kita bisa menghilangkan kebingungan orang tsb dengan kata2 berarti kemungkinan besar kita memberi suatu jawaban yg keliru ?
Baru kemungkinan?......
Baiklah saya bertanya balik kepada anda: apakah anda (atau ada orang yg) pasti bisa menjelaskan tentang kondisi setelah parinibbana?
Setelah anda menjawab ini nanti akan saya kemukakan dasar2 mengapa saya mengatakan demikian.
Gampang... Ngga perlu bingung...
Nanti juga tahu sendiri dengan se-jelas2-nya kalau sudah tiba saatnya...
_/\_
Memang sangat sulit (baca: tidak mungkin) untuk menjelaskan hakikat dengan tepat melalui kata-kata.. ^-^
Me :
Kalo memang memicu kebijaksanaannya itu baik... tapi kalo ternyata nambah bikin bingung atau persepsinya salah gimana??
Contoh :
Sekarang buddha sidharta dimana ya setelah parinibana??
trus dijawabnya ;
Ow buddha ada di nibana
dari jawaban itu saja belum tentu menangkap nibana dengan baik.. sebab "di" bisa menujukan tempat padahal nibana bukan juga berarti tempat
dari jawaban tersebut pula bisa saja sang pendengar akan menangkap bahwa sosok buddha dengan wajah dan tubuh sidharta yg sering dilihat di patung-patung (hasil visualisasi pikiran) ada di sebuah tempat yg bernama nibana.. padahal belum tentu juga buddha sidharta masih berbentuk "sidharta"
sow.. jadi gimana??
Hmmm… ada 2 kemungkinan dari pernyataan anda ini. Pertama Sdr. Lex mengetahui sesuatu tetapi tidak ingin memberitahu (dengan 2 kemungkinan alasan). Kedua. Sdr. Lex tidak mengetahui apapun yang disampaikannya. 8)
Sadhu.. _/\_
Tampaknya dari awal Bro Kelana memancing saya terus.. :-?
Menurut yang saya ketahui, cara menjawab itu ada 4 macam:
1. menjawab secara singkat
2. menjawab secara panjang lebar
3. menjawab dengan bertanya kembali
4. menjawab dengan diam
Secara kebetulan, saya sudah pakai cara 1-3 pada postingan sebelumnya di dalam topik ini.
Baru sadar.. hehe.. ^-^
Kalau begitu, tinggal satu metode yang belum saya pakai sebagai jurus terakhir, yaitu: noble silence..
Saya akhiri posting saya untuk topik ini.. ;D
Sabbe Sankhara Anicca
Segala bentukan yang berkondisi adalah tidak kekal.
Kalau tidak berkondisi yah nicca alias tidak anicca.
tapi harus dicerna dalam framework tilakhana sih
sabbe sankhara dukkha
sabbe sankhara anicca
sabbe dhamma anatta
kalo nga, bisa jatuh pada pandangan eternalis :)
by Aloka Mahita:
Bro sekalian, setelah membaca diskusi ttg Nibbana diatas, timbul pertanyaan saya : Apakah yang membuat Nibbana jadi begitu menarik? atau mengapa kita menginginkan pencapaian Nibbana?
Apakah kita membandingkannya dengan kebahagiaan duniawi, sehingga kita menginginkan pencapaian nibbana seperti halnya menginginkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi?
Atau pandangan yang sebaliknya, seseorang yg ingin mengakhiri penderitaan dengan cara pemusnahan diri.. (merasa Nibbana adalah jawaban atas pencarian untuk mengakhiri penderitaan nya)
Kedua pandangan itu jelas adalah pandangan yang salah. Jadi, bagaimanakah seharusnya pandangan ttg Nibbana atau 'kebahagiaan tertinggi' yang benar?
Nibbana bukanlah jawaban atas pencarian untuk mengakhiri penderitaan tetapi hasil akhir yg di capai melalui 8 jalan mulia yg merupakan jawaban utk mengakhiri penderitaan.
berlatih yang tekun nak...
membingungkan?? ^:)^
salam kenal _/\_
'Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.'nah itulah, lebih merujuk ke penghentian proses, bukan apa itu nibbana...
Sorry OOT
gw ada pertanyaan neh buat mega projek..ini pertanyaan dari dulu gk kejawab..I mean ada yg jawab, but gk memuaskan..><"
setelah parinibbana..apakah kita hilang begitu saja? kemana?
anyway, nice job Kemenyan...
saya teringat kembali tulisan saya ttg hal "rasa sakit kepala" yang "hilang" setelah diobati dgn "minum obat sakit kepala"!!!
Sorry OOThmm thread lama, sebenarnya penjelasan sdr Lex Chan sudah tepat.
gw ada pertanyaan neh buat mega projek..ini pertanyaan dari dulu gk kejawab..I mean ada yg jawab, but gk memuaskan..><"
setelah parinibbana..apakah kita hilang begitu saja? kemana?
anyway, nice job Kemenyan...
oh ya....
lalu yg bertumimbal lahir itu apa?
[at] om Ika
Mind yg bergerakkk........ berarti Mind itu kata benda kan.......
bisa tunjukan dimana pikiranmu?
maksudnya.......?
gini loh om........
kan kata om ika nibbana itu kek rasa sakit kepala yg ilang.......
nah.. itu kan ibarat kata..... pikiran yg sudah tidak bergerak lagi..... artinya pergerakannya yg hilang bukan pikirannya.......
nah kalo yg bertumimbal lahir itu........ yg berpindah apanya..... pikirannya atau pergerakannya?
dari fenomena tersebut....... yaitu fenomena batin dan jasmani....
lalu apa yg membedakan..... yg satu dengan yg lainnya....?
bagaimana inti dari fenomena tersebut?
dari fenomena tersebut....... yaitu fenomena batin dan jasmani....
lalu apa yg membedakan..... yg satu dengan yg lainnya....?
bagaimana inti dari fenomena tersebut?
jika benar anda sdh paham ungkapan "fenomena batin-jasmani" itu, maka anda tidak akan pernah menanyakan ttg hal "inti" lagi!
krn apa?
krn yang namanya cuma sekedar "fenomena (batin-jasmani)" , itu artinya tidak berinti sendiri!
kalaupun ada, itu cuma sekedar "lbh utama dibandingkan dr faktor lainnya"!
nah, jika hal ini sdh dipahami, maka pertanyaan berikutnya sehubungan dgn hal tummimbal lahir adalah:" apa yang menjadi faktor utama dari batin itu"?
ika.
apakah maksudnya semua fenomena yg ada itu sudah menjadi satu kesatuan?
bila ada yg lebih diutamakan maka saya lebih mementingkan memori atau pengalaman....
namun dalam hal tumimbal lahir.... pernah dikatakan om markos seperti resonansi .... bahwa.... batin itu menyampaikan getarannnya kepada objek yg berbeda....
bagaimana pendapat om Ika
baru aja berdialog sama temen
ada potongan diskusi yg menurut i menarik.....
"Bagaimana batin itu bekerja bila tidak ada fisik?"
so.... bagaimana pendapat yg laen?
baru aja berdialog sama temen
ada potongan diskusi yg menurut i menarik.....
"Bagaimana batin itu bekerja bila tidak ada fisik?"
so.... bagaimana pendapat yg laen?
baru aja berdialog sama temen
ada potongan diskusi yg menurut i menarik.....
"Bagaimana batin itu bekerja bila tidak ada fisik?"
so.... bagaimana pendapat yg laen?
pertanyaan itu seakan ingin mengatakan bahwa "apakah diam itu sama dgn tidak berbicara"?
tentunya jwbannya adalah tidak!
ika.
maksudnya?
Teman-teman sekalian mau nimbrung ya?
Sang Buddha tidak membahas Nibbana dari sisi ada atau tidak ada.
Sang Buddha menggambarkan Nibbana dari sisi sebab dan akibat.
Keadaan yang kita alami adalah timbul dari sebab-sebab.
Berhentinya sebab-sebab itulah yang disebut Nibbana.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan dalam salah satu sutta (saya lupa dimana),
Sang Buddha menjelaskan yang tidak tepat mengenai Parinibbana:
Sang Tathagata ada setelah Parinibbana.
Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana,
Sang Tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana
Ini tidak cocok karena ini adalah pandangan eksistensialis.
Keadaan yang paling tepat digambarkan oleh Sang Buddha mengenai Parinibbana adalah berhentinya kondisi-kondisi atau fenomena-fenomena. Sesuai dengan khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa (belakangan dikenal sebagai Y.A. Sariputta).
Semoga keterangan ini membantu.
Mettacittena,
Teman-teman sekalian mau nimbrung ya?
Sang Buddha tidak membahas Nibbana dari sisi ada atau tidak ada.
Sang Buddha menggambarkan Nibbana dari sisi sebab dan akibat.
Keadaan yang kita alami adalah timbul dari sebab-sebab.
Berhentinya sebab-sebab itulah yang disebut Nibbana.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan dalam salah satu sutta (saya lupa dimana),
Sang Buddha menjelaskan yang tidak tepat mengenai Parinibbana:
Sang Tathagata ada setelah Parinibbana.
Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana,
Sang Tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana
Ini tidak cocok karena ini adalah pandangan eksistensialis.
Keadaan yang paling tepat digambarkan oleh Sang Buddha mengenai Parinibbana adalah berhentinya kondisi-kondisi atau fenomena-fenomena. Sesuai dengan khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa (belakangan dikenal sebagai Y.A. Sariputta).
Semoga keterangan ini membantu.
Mettacittena,
Teman-teman yang baik,
Agar jangan salah pengertian: Sang Buddha tidak menyetujui pendapat yang mengatakan: Sang Tathagata ada setelah Parinibbana, Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana, Sang tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana.
metacittena,
Teman-teman sekalian mau nimbrung ya?
Sang Buddha tidak membahas Nibbana dari sisi ada atau tidak ada.
Sang Buddha menggambarkan Nibbana dari sisi sebab dan akibat.
Keadaan yang kita alami adalah timbul dari sebab-sebab.
Berhentinya sebab-sebab itulah yang disebut Nibbana.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan dalam salah satu sutta (saya lupa dimana),
Sang Buddha menjelaskan yang tidak tepat mengenai Parinibbana:
Sang Tathagata ada setelah Parinibbana.
Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana,
Sang Tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana
Ini tidak cocok karena ini adalah pandangan eksistensialis.
Keadaan yang paling tepat digambarkan oleh Sang Buddha mengenai Parinibbana adalah berhentinya kondisi-kondisi atau fenomena-fenomena. Sesuai dengan khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa (belakangan dikenal sebagai Y.A. Sariputta).
Semoga keterangan ini membantu.
Mettacittena,
Teman-teman yang baik,
Agar jangan salah pengertian: Sang Buddha tidak menyetujui pendapat yang mengatakan: Sang Tathagata ada setelah Parinibbana, Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana, Sang tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana.
metacittena,
jadi apa jwb mu jika ada pertanyaan adakah sang Buddha stelh Parinibbana?
ika./
Teman-teman sekalian mau nimbrung ya?
Sang Buddha tidak membahas Nibbana dari sisi ada atau tidak ada.
Sang Buddha menggambarkan Nibbana dari sisi sebab dan akibat.
Keadaan yang kita alami adalah timbul dari sebab-sebab.
Berhentinya sebab-sebab itulah yang disebut Nibbana.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan dalam salah satu sutta (saya lupa dimana),
Sang Buddha menjelaskan yang tidak tepat mengenai Parinibbana:
Sang Tathagata ada setelah Parinibbana.
Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana,
Sang Tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana
Ini tidak cocok karena ini adalah pandangan eksistensialis.
Keadaan yang paling tepat digambarkan oleh Sang Buddha mengenai Parinibbana adalah berhentinya kondisi-kondisi atau fenomena-fenomena. Sesuai dengan khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa (belakangan dikenal sebagai Y.A. Sariputta).
Semoga keterangan ini membantu.
Mettacittena,
Teman-teman yang baik,
Agar jangan salah pengertian: Sang Buddha tidak menyetujui pendapat yang mengatakan: Sang Tathagata ada setelah Parinibbana, Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana, Sang tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana.
metacittena,
jadi apa jwb mu jika ada pertanyaan adakah sang Buddha stelh Parinibbana?
ika./
Sdr. Ika, umat Buddha tidak akan mempertanyakan (apalagi ,menjawab) mengenai apakah Sang Buddha ada atau tidak ada setelah Parinibbana. pertanyaan dan jawaban ini adalah untuk anda
Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak berawal bisa berakhir ?
setuju.........
lalu y*y*n*(censored) lucky..... saat ini apa yg akan anda "lakukan"?
jangan karena mereka membencimu maka enkau menjawab dengan kebencian......
vathena mode on...
where there is a hatred, let us sow love
Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak berawal bisa berakhir ?Sang Buddha memberikan penjelasan tentang sebab pertama dalam Dalam Samyutta Nikaya II, 178-193 dijelaskan bahwa:
umat Buddha sedang duduk di atas kepala Buddha dan mempermainkannya:))
umat Buddha sedang duduk di atas kepala Buddha dan mempermainkannya:))
1 GRP sent ;D
bagaimana kalo kalimatnya sedikit di modif menjadi...
umat "yg Tercerahkan" sedang duduk di atas kepala "yg Tercerahkan" dan mempermainkannya ;D
siapa yg sedang mempermainkan siapa? dan siapa yg sedang "Tercerahkan" ;D
do you thinking what i'm thinking? ;D
_/\_
umat Buddha sedang duduk di atas kepala Buddha dan mempermainkannya:))
1 GRP sent ;D
bagaimana kalo kalimatnya sedikit di modif menjadi...
umat "yg Tercerahkan" sedang duduk di atas kepala "yg Tercerahkan" dan mempermainkannya ;D
siapa yg sedang mempermainkan siapa? dan siapa yg sedang "Tercerahkan" ;D
do you thinking what i'm thinking? ;D
_/\_
(http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=dlattach;attach=2158;type=avatar) hmmm ?
[at] luckysetuju.........
lalu y*y*n*(censored) lucky..... saat ini apa yg akan anda "lakukan"?
waduh kk jangan mengeluarkan kata kata yg menakutkan... he he...
yang saya lakukan untuk apa ???
kalau untuk agama, saya saat ini hanya merasa terpukul.....saya merasa saat ini agama cuma kedok, agama itu juga senjata perang... dari yang dalam ayatnya ada perintah perang, sampai yang katanya kedamaian,,,,, dimana mana tempat ibadah , sekte dan lain sebagainya, yang ada cuma cekcok
kata kata damai dan bahagia hanya bunga bunga mimpi
tanpa sadar manusia menggunakan pujaaanya atau misal Buddha untuk memuaskan egonya sendiri
dengan mengaku sebagai siswa Buddha , seseorang tanpa sadar telah menginjak injak Buddha lebih kejam daripada orang berkeyakinan lain yang tidak menerima Buddha.
Dengan tingkah laku dan emosi serta batin yang tanpa kendali, seseorang meludahi Buddha dengan mengatakan bahwa dia siswa Buddha dan sedang memperjuangkan ajaran Buddha yang paling benar....
dimana mana mengaku yang paling benar
dimana mana cek ccok
dimana mana saling jegal
umat Buddha sedang duduk di atas kepala Buddha dan mempermainkannya
Teman-teman sekalian mau nimbrung ya?
Sang Buddha tidak membahas Nibbana dari sisi ada atau tidak ada.
Sang Buddha menggambarkan Nibbana dari sisi sebab dan akibat.
Keadaan yang kita alami adalah timbul dari sebab-sebab.
Berhentinya sebab-sebab itulah yang disebut Nibbana.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan dalam salah satu sutta (saya lupa dimana),
Sang Buddha menjelaskan yang tidak tepat mengenai Parinibbana:
Sang Tathagata ada setelah Parinibbana.
Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana,
Sang Tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana
Ini tidak cocok karena ini adalah pandangan eksistensialis.
Keadaan yang paling tepat digambarkan oleh Sang Buddha mengenai Parinibbana adalah berhentinya kondisi-kondisi atau fenomena-fenomena. Sesuai dengan khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa (belakangan dikenal sebagai Y.A. Sariputta).
Semoga keterangan ini membantu.
Mettacittena,
Teman-teman yang baik,
Agar jangan salah pengertian: Sang Buddha tidak menyetujui pendapat yang mengatakan: Sang Tathagata ada setelah Parinibbana, Sang Tathagata tidak ada setelah Parinibbana, Sang tathagata ada dan tidak ada setelah Parinibbana.
metacittena,
jadi apa jwb mu jika ada pertanyaan adakah sang Buddha stelh Parinibbana?
ika./
Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak berawal bisa berakhir ?
Terus terang inilah yang mengganggu pikiran saya..... selama ini saya belum menemukan jawaban yang pasti....
dulu saya kira masuk agama Buddha banyak yang sesuai kenyataan dan bisa diterima akal sehat,
Namun tetap saja saya bertanya tanya seperti saat dulu saya di agama sebelumnya....
dan tak jarang di agama Buddha pun banyak yang tidak memberi jawaban dengan menampilkan kesabaran dan kebijaksanaan ajaran Buddha sendiri... bahkan saya pernah dihujat bila saya tidak yakin sepenuhnya pada semua dalam Tripitaka dan bila saya terus bertanya, maka saya tidak ubahnya dengan orang berpandangans sesat...
Namun, bila dinyatakan adalah pandangan orang tertentu adalah pandangan benar, apa buktinya ???
kenapa pandangan benar bisa membuat orang menjadi emosional dan kadang gaya bicaranya n gga enak, suka mencibir yg baru belajar dan suka mencibir agama lain...
saat ini... saya merasakan bahwa agama manapun sama saja,,,,, justru awal dari tujuan sebuah agama sudah tiada lagi, agama hanya alat pengkotak kotak.... sekarang banyak yang menjadikan agama hanya merupakan bibit kebencian....
agama hanyalah alat pemuas ego kesombongan diri, dengan dalih meninggikan pujaan dan agamanya, seseorang memuaskan egonya....