DN 23 Pāyāsi Sutta
...
31. ‘Pangeran, jika pengorbanan dilakukan dengan menyembelih sapi, kambing, unggas, atau babi, atau berbagai makhluk dibunuh,[18] dan para pesertanya [353] memiliki pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah, maka pengorbanan itu tidak akan menghasilkan buah atau manfaat, tidak cemerlang dan tidak bersinar. Bagaikan, Pangeran, seorang petani pergi ke hutan membawa bajak dan benih, dan di sana, di tanah tanpa humus yang belum diolah yang mana tunggul-tunggul belum dicabut, ia menanam benih yang telah rusak, layu, hancur terkena angin dan panas, basi, dan tidak ditanam dengan baik di tanah, dan dewa hujan tidak menurunkan hujan pada waktunya – akankah benih ini bertunas, tumbuh dan berkembang, dan akankah petani itu mendapatkan panen yang berlimpah?’ ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa.’
‘Pangeran, sama halnya dengan pengorbanan yang dilakukan dengan menyembelih sapi, ... dan para pesertanya memiliki pandangan salah, ..., konsentrasi salah. Tetapi jika tidak ada makhluk yang dibunuh dan para pesertanya memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, maka pengorbanan itu akan menghasilkan buah dan manfaat besar, cemerlang dan bersinar. Bagaikan, Pangeran, seorang petani pergi ke hutan membawa bajak dan benih [354], dan di sana, di tanah berhumus yang telah diolah yang mana tunggul-tunggul telah dicabut, ia menanam benih yang tidak rusak, layu, hancur terkena angin dan panas, basi, dan ditanam dengan baik di tanah, dan dewa hujan menurunkan hujan pada waktunya – akankah benih ini bertunas, tumbuh dan berkembang, dan akankah petani itu mendapatkan panen yang berlimpah?’ ‘Ia akan mendapatkannya, Yang Mulia Kassapa.’
‘Demikian pula, Pangeran, pada pengorbanan di mana tidak ada sapi yang disembelih, ... dan para pesertanya memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, maka pengorbanan itu akan menghasilkan buah dan manfaat besar, cemerlang dan bersinar.’
32. Kemudian Pangeran Pāyāsi memberikan persembahan kepada para petapa dan Brahmana, para pengemis dan kaum miskin. Dan di sana makanan yang diberikan adalah dari beras berkualitas rendah dengan bubur yang asam, dan juga pakaian kasar berlubang-lubang.[19] Dan seorang Brahmana muda bernama Uttara bertanggung jawab dalam hal pembagian persembahan.[20] Merujuk pada hal ini, ia berkata: ‘Melalui persembahan ini, aku bergabung dengan Pangeran Pāyāsi di dunia ini, tetapi tidak di dunia berikutnya.’
Dan Pangeran Pāyāsi mendengar kata-katanya, [355] maka ia memanggilnya dan bertanya apakah ia memang mengatakan hal itu. ‘Ya, Tuanku.’ ‘Tetapi mengapa engkau mengatakan hal itu, Sahabat Uttara? Tidakkah kita yang ingin memperoleh jasa mengharapkan imbalan atas persembahan kita?’
‘Tetapi, Tuanku, makanan yang engkau berikan – beras kualitas rendah dengan bubur asam – engkau tidak akan sudi menyentuhnya dengan kakimu, apalagi memakannya! Dan pakaian kasar berlubang-lubang – engkau tidak akan sudi menginjakkan kakimu di atasnya, apalagi memakainya! Tuanku, engkau baik dan lembut kepada kami, jadi bagaimana kami dapat menggabungkan kebaikan dan kelembutan dengan keburukan dan kekasaran?’ ‘Baiklah, Uttara, engkau aturlah persembahan makanan seperti yang kumakan dan pakaian seperti yang kupakai.’ ‘Baiklah, Tuanku,’ jawab Uttara, dan ia melakukan hal itu.[21] [356]
Dan Pangeran Pāyāsi, karena ia telah menyelenggarakan persembahan dengan enggan, tidak dengan kedua tangannya, dan tanpa perhatian yang selayaknya, seperti membuang sesuatu, setelah kematiannya, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di tengah-tengah Empat Raja Dewa, di dalam istana kosong Serīsaka. Tetapi Uttara yang telah menyelenggarakan persembahan tidak dengan enggan, dengan kedua tangannya, dan dengan perhatian yang selayaknya, tidak seperti membuang sesuatu, setelah kematiannya, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam bahagia, di alam surga, di tengah-tengah Tiga-Puluh-Tiga Dewa.
33. Pada saat itu, Yang Mulia Gavampati[22] biasa mengunjungi istana kosong Serīsaka untuk beristirahat siang. Dan Dewa Pāyāsi menjumpai Yang Mulia Gavampati, memberi hormat kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Dan Yang Mulia Gavampati berkata kepadanya, selagi ia berdiri di sana: ‘Siapakah engkau, teman?’ ‘Yang Mulia, aku adalah Pangeran Pāyāsi.’ ‘Teman, bukankah engkau adalah orang yang mengatakan: “Tidak ada alam lain, tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau buruk”?’ ‘Ya, Yang Mulia, aku adalah orang yang mengatakan hal itu, tetapi aku [357] telah berubah dari pandangan salah itu oleh Yang Mulia Kumāra-Kassapa.’ ‘Dan di manakah Brahmana muda Uttara yang bertanggung jawab dalam pembagian persembahanmu itu, terlahir kembali?’
‘Yang Mulia, ia yang memberikan persembahan dengan tidak merasa enggan ... terlahir kembali di antara Tiga-Puluh-Tiga Dewa, tetapi, aku, yang memberikan dengan enggan, ... terlahir kembali di sini di istana Serīsaka yang kosong. Yang Mulia, mohon, saat engkau kembali ke bumi, katakan kepada orang-orang untuk memberi tanpa enggan ... dan beritahukan mereka tentang bagaimana Pangeran Pāyāsi dan Brahmana muda Uttara terlahir kembali.’
34. Dan demikianlah Yang Mulia Gavampati, setelah kembali ke bumi, menyatakan: ‘Engkau harus memberi tanpa enggan, dengan kedua tanganmu sendiri, dengan perhatian yang selayaknya, tidak dengan sembrono. Pangeran Pāyāsi tidak melakukan hal ini, dan setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia terlahir kembali di tengah-tengah Empat Raja Dewa di dalam istana Serīsaka yang kosong, sedangkan pelaksana persembahannya, Brahmana muda Uttara, yang memberi tanpa enggan, dengan kedua tangannya, dengan perhatian yang selayaknya dan tidak dengan sembrono, terlahir kembali di tengah-tengah Tiga-Puluh-Tiga Dewa.’