1901 > Seluruh tiga edisi menuliskan kata kerja tunggal
hoti, walaupun Ee mencatat beberapa naskah yang menuliskan bentuk jamak
honti. Subjek
rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai tunggal ataupun jamak.
1902 >
Anupubbavihāra. Be hanya menyebutkan nama-namanya, yaitu, “jhāna pertama, jhāna ke dua,” dan seterusnya. Ce dan Ee mencantumkan formula lengkap.
1903 >
Anupubbavihārasamāpattiyo, tidak jelas apakah, dalam kata majemuk ini,
vihārasamāpattiyo harus diinterpretasikan sebagai sebuah
dvanda (“keberdiaman dan pencapaian”) atau sebagai sebuah
tappurisa” (“pencapaian keberdiaman”). Mp, dengan kemasannya
anupaṭipāṭiya samāpajjitabbavihārā, “keberdiaman yang dicapai dalam urutan yang benar,” menyiratkan sebuah
tappurisa.
1904 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca
tiṇṇā, bukan seperti Ce
nittaṇhā, “tanpa ketagihan,” yang tampaknya kurang memuaskan dalam konteks ini. Mp (Be): “
Menyeberang: menyeberangi nafsu indria” (
kāmato tiṇṇā).
1905 >
Tadaṅgena. Mp: “
Dalam aspek tersebut: sehubungan dengan faktor jhāna itu” (
tena jhānaṅgena).
1906 >
Upekkhāsukha. Mp tidak berkomentar, tetapi saya menganggap kata majemuk ini lebih sebagai sebuah
tappurisa daripada sebuah
dvanda “keseimbangan dan kenikmatan.” Dalam jhāna ke empat dan di atasnya
upekkhā, keseimbangan, berlanjut tetapi tidak lagi disertai dengan
sukha, perasaan menyenangkan.
1907 > Ce dan Ee mencantumkan kata kerja jamak
nirujjhanti di sini, tetapi bentuk tunggal
nirujjhati pada §§6-8. Be juga mencantumkan bentuk tunggal
nirujjhati di sini. Sekali lagi, subjek
rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai bentuk tunggal atau pun jamak.
1908 > Mp mengidentifikasikannya sebagai sesepuh Lāḷudāyī.
1909 > Brahmāli mengomentari: “Karena nibbāna adalah ‘padamnya’ (penderitaan), maka pemadaman sebagian penderitaan adalah jenis nibbāna sebagian.”
1910 > Walaupun seluruh tiga edisi di sini membaca
upe(k)khāsahagatā saññāmanasikārā, saya mengikuti naskah Burma dan Sinhala yang dirujuk dalam catatan dalam Ee, yang membaca
upe(k)khāsukhasahagatā saññāmanasikārā. Ini lebih sesuai dengan penjelasan dalam
9:33 §4 dan
9:41 §4 daripada tulisan
upek(k)hāsahagatā dalam seluruh tiga edisi cetak.
1911 > Dikutip pada Vism 153,17-154,8, Ppn 4.130, sebagai sebuah kesaksian bahwa seseorang pertama-tama harus menguasai jhāna yang baru saja ia capai sebelum mencoba memasuki jhāna yang lebih tinggi berikutnya.
1912 >
Taṃ nimittaṃ. Mp: “Objek yang terdapat dalam jhāna pertama” (
taM paṭhamajjhānasaṅkhataṃ nimittaṃ).
1913 >
Ubhato bhaṭṭho. Bhaṭṭha adalah bentuk kata kerja lampau dari
bhassati, menjatuhkan, terkulai, tergelincir.
1914 >
Anabhihisamāno. Saya hanya memberikan terjemahan literal. Berdasarkan pada konteks yang maknanya saya pahami bahwa ia tidak memaksa dirinya untuk secara prematur mencapai pencapaian yang lebih tinggi melainkan menguasai yang sebelumnya sebelum berpindah ke yang berikutnya.
1915 > Mp: “Karakteristik ketidak-kekalan disebutkan dalam dua kata: tidak kekal dan kehancuran (
anccato, palokato). Karakteristik tanpa-diri disebutkan dalam tiga kata: makhluk asing (
parato), kosong (
suññato), dan tanpa-diri (
anattato). Karakteristik penderitaan disebutkan dalam enam kata lainnya: penderitaan (
dukkhato), penyakit (
rogato), bisul (
gaṇḍato), anak panah (
sallato), kemalangan (
aghato), dan kesengsaraan (
ābādhato).
1916 > Mp: “Ia mengarahkan pikiran pandangan terang (
vipassanācitta) pada elemen keabadian yang tidak terkondisi melalui mendengar, melalui pujian, melalui pembelajaran, dan melalui konsep sebagai berikut: ‘Nibbāna adalah damai.’ Ia mengarahkan pikiran sang jalan (
maggacitta) pada nibbāna hanya dengan membuatnya sebagai objek (
ārammaṇakaraṇavase’eva), bukan dengan mengatakan, ‘Ini damai, ini luhur.’ Maksudnya adalah bahwa ia mengarahkan pikirannya ke sana, menembusnya dengan cara ini.”
1917 >
Ten’eva dhammarāgena tāya dhammanandiyā. Mp: “Dengan keinginan dan kemelekatan pada Dhamma ketenangan dan pandangan terang. Demikian pula untuk “menyukai Dhamma.” Jika ia dapat sepenuhnya memadamkan keinginan dan kemelekatan pada ketenangan dan pandangan terang, maka ia mencapai Kearahattaan. Jika tidak, maka ia menjadi seorang yang-tidak-kembali.” Mp-ṭ: “Setelah meninggalkan keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang yang mengarah pada sang jalan yang lebih rendah, jika ia tidak mampu memadamkan keinginan akan [ketenangan dan pandangan terang] yang mengarah pada jalan tertinggi, maka ia kokoh dalam tingkat yang-tidak-kembali.”
1918 > Baca
4:181,
4:196.
1919 > Perhatikan bahwa
rūpa, bentuk, dihilangkan dalam menjelaskan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Mp: “Dalam pencapaian tanpa bentuk di sana sama sekali tidak ada bentuk; sehubungan dengan hal ini, maka bentuk tidak termasuk.”
1920 > Mp: “Mengapakah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan? Karena kehalusannya. Empat kelompok unsur kehidupan tanpa bentuk dalam [pencapaian] itu begitu halus sehingga tidak mudah diamati [melalui pandangan terang]. Karena itu [persis di bawah] Sang Buddha mengatakan: ‘ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi.’ Ini maksudnya adalah: ‘Hingga sejauh di mana ada pencapaian yang disertai oleh pikiran (
sacittakasamāpatti; citta di sini diduga berarti “kesadaran jelas dan jernih”), ada penembusan pada pengetahuan akhir ketika seseorang menyelidiki [melalui pandangan terang] fenomena-fenomena kasar itu, yaitu, ia mencapai Kearahattaan. Tetapi karena kehalusannya, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan sebagai pencapaian yang disertai dengan persepsi.”
1921 > Ada beberapa perbedaan antara tulisan-tulisan pada Ce, Ee, dan Be. Saya mengikuti Ce:
jhāyih’ete bhikkhave bhikkhūhi samāpattikusalehi samāpattivuṭṭhānakusalehi samāpajjitvā vuṭṭhahitvā samakkhātabbānī ti vadāmi. Ee pada dasarnya sepakat dengan Ce tetapi menuliskan
jhāyi h’ete, seolah-olah memiliki subjek nominatif yang diikuti dengan penegasan
hi. Mp: “
Dijelaskan berarti dinyatakan dengan benar, dijelaskan, ditinggikan, dipuji hanya sebagai ‘damai dan luhur’” (
samakkhātabbānī ti sammā akkhātabbāni,
[/i] “santāni paṇittānī” ti evaṃ kevalaṃ ācikkhitabbānī thometabbāni vaṇṇetabbānī).
1922 > Tentang makna “kurungan” (
samādha), baca
9:42 di bawah.
1923 > Ini sama dengan pernyataan pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta yang terkenal, pada DN 22.1, II 290,8-11; MN 10.2, I 66,32-56,2. Juga muncul pada AN
3:74,
4:194,
6:26, dan
10:95.
1924 > Mp: “
Mata itu sendiri … sebenarnya akan ada (
tadeva nāma cakkhuṃ bhavissati): materi sensitif dari mata itu sendiri tidak rusak.
Serta bentuk-bentuk itu (
te rūpa): objek bentuk terlihat itu sendiri akan masuk dalam jangkauan.
Namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu: Namun seseorang tidak mengetahui landasan bentuk terlihat itu.” Saya mungkin salah dalam mengasumsikan bahwa sembilan hal itu diperoleh dengan menjumlahkan lima jenis pengalaman indriawi dengan empat meditasi tanpa bentuk. Kemungkinan sembilan ini diperoleh dengan memasukkan empat jhāna (yang mungkin hilang dari teks) dengan empat meditasi tanpa bentuk, dan kemudian menambahkan, sebagai yang ke sembilan, keadaan konsentrasi khusus yang dirujuk pada akhir sutta.
1925 > Ce dan Be keduanya mencantumkan
ti di sini, yang menunjukkan akhir dari sebuah kutipan, yang menyiratkan bahwa pembicara paragraf berikutnya adalah Udāyi. Tetapi jelas bahwa Ānanda sendiri yang masih berbicara. Dengan demikian, tampaknya,
ti adalah kekeliruan dan harus dihapuskan dalam Ce dan Be. Ee tidak mencantumkan
ti.
1926 > Demikian Ce dan Ee. Be menuliskan namanya sebagai Jaṭilavāsikā. Mp mengatakan bahwa ia adalah seorang penduduk kota Jaṭila (
jaṭilanagaravāsinī). Para
jaṭila adalah para petapa berambut kusut, tetapi patut dipertanyakan apakah mereka cukup banyak untuk membentuk sebuah kota.
1927 > Mp: “
Tidak condong ke depan melalui nafsu, dan
tidak condong ke belakang melalui kebencian” (
rāgavasena na abhinato, dosavasena na apanato).
1928 > Baca
5:27. Di sini Mp mengomentari: “konentrasi itu kokoh, bukan karena seseorang telah secara paksa dan sekuat tenaga mengekang dan menekan kekotoran-kekotoran, melainkan karena konsentrasi itu muncul setelah kekotoran-kekotoran terpotong.”
1929 >
Vimuttattā ṭhito, thitattā santusito, santusitattā no paritassati. Urutan ini juga terdapat pada
SN III 45,13-14,
46,4-5,
54,1-2,
55,34-35,
58,23-24. Adalah dengan berdasarkan paragraf ini maka saya melihat perubahan dalam topik dari frasa terakhir dari teks AN, dari “itu” yang merujuk pada
samādhi, menjadi “ia,” yang merujuk pada orang yang mencapainya. Sedangkan dalam paragraf AN, kata itu berbentuk tunggal laki-laki dan dengan demikian dapat diinterpretasikan baik merujuk pada
samādhi maupun pada orang, paralel SN menuliskan:
Vimuttattā ṭhitaṃ. Thitattā santusitaṃ. Santusitattā na paritassati. Aparitassaṃ paccattaññeva parinibbāyati. Khiṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ, kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti ti. Bentuk kata tunggal netral menunjukkan bahwa subjek dari kedua frasa pertama adalah
cittaṃ, tetapi dengan
santusitattā na paritassati, subjeknya tampaknya bergeser dari
cittaṃ menjadi orang yang mencapai kebebasan. Kita dapat menyimpulkan melalui analogi bahwa dalam kalimat sekarang ini juga terjadi pergeseran yang sama, dalam hal ini dari
samādhi menjadi orang yang mencapainya.
1930 >
Ayaṃ, bhante Ānanda, samādhi kiṃphalo vutto bhagavatā. Pertanyaan ini ambigu. Dapat bermakna, “Tentang apakah Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini sebagai buahnya?” atau “Apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sebagai buah dari konsentrasi ini?” Mp menganggap yang pertama, tetapi ada argumen-argumen yang mendukung yang ke dua (baca catatan berikutnya).
1931 >
Ayaṃ bhagini samādhi aññāphalo vutto bhagavatā. Kata majemuk
aññāphalo dapat diinterpretasikan apakah sebagai sebuah
tappurisa (“konsentrasi ini memiliki buah pengetahuan akhir”) atau sebagai sebuah
bāhubbihi (‘konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya”). Dalam kasus pertama,
samādhi diidentifikasikan sebagai buah; dalam kasus ke dua, dengan suatu pencapaian yang mendahului buah. Mp mengambil makna pertama, sebagai buah itu sendiri: “Bhikkhunī itu menanyakan tentang konsentrasi buah Kearahattaan (
arahattaphalasamādhi). Pengetahuan akhir adalah Kearahattaan. Sang Bhagavā membicarakan konsentrasi buah Kearahataan ini. [maksudnya adalah:] Ketika seseorang mempersepsikan persepsi buah Kearahattaan, ia tidak mengalami landasan itu.” Akan tetapi, pertanyaan
kimphalā yang muncul berulang-ulang pada SN V 118,22-120,19,, di mana itu berarti, “Apakah yang dimilikinya sebagai buahnya?” dan pada
5:25 kita menemukan
pañcahi,
bhikkhave, aṅgehi anuggahitā sammādiṭṭhi ca cetovimuttiphalā hoti … paññāvimuttiphalā ca hoti. Maknanya di sini bukanlah bahwa pandangan benar adalah
buah kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan, melainkan bahwa pandangan benar memiliki kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai
buahnya. Lebih jauh lagi, pada
3:101,
samādhi dijelaskan persis dengan kata-kata yang sama dengan yang ditunjukkan sebagai kondisi pendukung bagi enam pengetahuan yang lebih tinggi, yang mana yang terakhirnya adalah “kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan.” Secara analogi, hal ini mengikuti bahwa
samādhi ini bukanlah buah pengetahuan akhir, melainkan yang
menghasilkan pengetahuan akhir.
Terdapat paralel China pada bagian akhir sutta ini, SĀ 557 pada T II 146a12-29. dalam versi ini, ketika bhikkhunī itu bertanya kepada Ānanda tentang konsentrasi pikiran tanpa karakteristik ((MANDARIN)), ia menjawab bahwa Sang Buddha mengatakan konsentrasi ini “adalah buah kebijaksanaan, imbalan kebijaksanaan” ((MANDARIN), yang memiliki ambiguitas yang sama seperti yang telah saya sebutkan pada catatan sebelumnya).1932 >
Lokāyatikā brāhmaṇā. Baca SN 12:48, II 77. biasanya,
lokāyatika digambarkan sebagai penganut materalisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator tentang dunia.
1933 > Terjemahan saya tidak mengikuti edisi mana pun dari ketiga edisi yang ada, yang semuanya meragukan. Dalam Be kedua guru mengaku mengetahui sebuah dunia yang tanpa batas dengan pengetahuan yang tanpa batas. Pūraṇa Kassapa berkata:
ahaṃ anantena ñāṇena anantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta [guru Jain, Mahāvīra] menggunakan kata-kata yang persis sama. Karena hal ini secara langsung berlawanan dengan pernyataan (dalam semua edisi) bahwa keduanya membuat pengakuan yang saling berlawanan (
ubhinnaṃ aññamaññaṃ vipaccanīkavādānaṃ), maka Be pasti keliru di sini. Kekeliruan ini pasti sudah terjadi sejak lama, karena beberapa naskah Burma dan Siam (yang dirujuk dalam catatan Ee) juga mencantumkan tulisan yang sama.
Dalam Ce dan Ee Pūraṇa Kassapa berkata:
ahaṃ anantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta berkata:
ahaṃ antavantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi. Tulisan ini juga, tampaknya keliru. Pertama, tulisan ini mengatakan bahwa Nātaputta mengaku memiliki pengetahuan terbatas, walaupun diketahui bahwa ia mengaku maha-tahu atau memiliki pengetahuan tanpa batas. Ke dua, walaupun mengatakan bahwa kedua guru itu mengaku memiliki jangkauan pengetahuan yang berbeda, namun kesimpulan mereka atas dunia adalah sama. Kontradiksi sebenarnya hanya akan terjadi jika satu guru menyatakan bahwa dunia adalah tanpa batas dan guru lainnya mengatakan terbatas. Saya berpendapat bahwa keduanya mengaku memiliki pengetahuan tanpa batas (
anantena ñāṇena) tetapi berbeda sehubungan dengan jangkauan dunia. Karena kaum Jain sesungguhnya menganut bahwa dunia adalah terbatas dan juga tanpa batas (baca di bawah), maka saya menganggap bahwa brahmana itu memahami bahwa Nātaputta menganut dalil bahwa dunia adalah terbatas, dan dengan demikian menganggap lawannya, Pūraṇa Kassapa, menganut dalil bahwa dunia adalah tanpa batas. Kita tidak memiliki sumber lain atas pemikiran Pūraṇa yang dengannya kita dapat memahami kosmologinya. Di tempat lain inti filosofi Pūrana dikatakan adalah doktrin tidak-berbuat (DN 2.17, I 52,21-53,4) atau tesis bahwa makhluk-makhluk menjadi kotor dan murni tanpa penyebab, atau bahwa tidak ada penyebab bagi pengetahuan dan penglihatan (SN 46:56, V 126,26-30). Pada
6:57 suatu sistem enam kelompok orang disebutkan berasal darinya.
Pandangan Mahāvīra atas dunia ini dijelaskan dalam “Berbagai topik yang dipersiapkan atas Sejarah Jain oleh Dr. K.C. Jain and his team” (
http://www.jainworld.com/literature/jainhistory/chapter4.asp: “Adalah sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan [tentang dunia] ini maka Mahāvīra menyatakan: ‘Dari alternatif-alternatif ini, kalian tidak dapat sampai pada kebenaran; dari alternatif-alternatif ini, kalian pasti [tersesat]. Dunia ini abadi sejauh bagian lapisan bawah (
dravya) dari “dunia”; tidak abadi sejauh keadaannya yang senantiasa berubah.’ Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, nasihat Mahāvīra kepada para siswanya adalah tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa duia adalah abadi juga tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa dunia adalah tidak abadi. Ia pasti mengatakan hal yang sama sehubungan dengan dalil-dalil seperti dunia eksis dan tidak eksis; dunia tidak berubah; dunia terus-menerus berubah; dunia memiliki awal; dunia tidak memiliki awal;
dunia memiliki akhir; dunia tidak memiliki akhir; dan sebagainya.” (cetak miring oleh saya).1934 > Be tidak mencantumkan
paramāya gatiyā, yang terdapat dalam Ce dan Ee.
1935 >
Daḷhadhammā dhanuggaho aikkhito katahattho katūpāsano. Komentar Mp atas kata-kata ini agak berbeda dengan komentarnya pada
4:45 (baca p.1690, catatan 724 dan 725): seorang pemanah yang telah memegang sebuah busur kokoh: sebuah ‘busur kokoh’ (
daḷhadhanu) disebut ‘berkekuatan dua ribu’ (
dvisahassathānaṃ): sebuah busur yang dengannya seseorang dapat merentang anak panah dengan kepala yang terbuat dari suatu logam seperti perunggu atau timah, dan sebagainya, memasangkan lekukannya pada talinya, menggenggam pegangan busur dan menarik talinya sepanjang batang anak panah, dan menembakkan anak panah itu dari atas tanah.
Terlatih (
sikkhito): mereka telah mempelajari keterampilan itu dalam perguruan guru mereka selama sepuluh atau dua belas tahun.
Terampil (
katahattho): seorang yang sekedar telah mempelajari keterampilan ini masih belum terampil, mereka terampil ketika telah mencapai penguasaan atas keterampilan ini.
Berpengalaman (
katūpāsano): seorang yang telah memperlihatkan keterampilan ini di lapangan kerajaan, dan sebagainya.”
1936 > Seperti pada
4:45 (dan SN 2:26, I 61-62).
1937 > Teks menuliskan
evarūpāya sandhāvanikāya di sini, sedangkan
4:45 menuliskan
gamanena. Mp mengemas
padasā dhāvanena, “berlari dengan kaki.”
1938 > Di sini Ce dan Ee menambahkan
bhītā , “ketakutan,” tetapi tampaknya kata ini hanya untuk kasus ke tiga, ketika para deva melarikan diri ke kota mereka. Dalam Be ini hanya muncul sehubungan dengan kasus ke tiga.
1939 > Di sini seluruh tiga edisi menuliskan
antamakāsi māraṃ. Diduga para editornya menganggap ini berarti, “yang telah mengakhiri Māra.” Tetapi ini jelas salah, karena dua alasan: pertama, secara tata bahasa, hal ini memerlukan bentuk genitif
mārassa; dan ke dua, tidak benar bahwa seorang meditator dalam jhāna telah “mengakhiri Māra.” Di tempat lain kita menemukan
andhamakāsi māraṃ (pada MN I 159,19, I 160,5,10, I 174,15-16, dan I 175,5), “ia telah membuat Māra menjadi buta” atau “membutakan Māra,” yang memiliki arti yang lebih tepat. Ps II 163,4-8, mengomentari MN I 159,19, menjelaskan: “
Ia membutakan Māra: ia tidak menghancurkan mata Māra, melainkan ketika seorang bhikkhu telah mencapai jhāna sebagai landasan bagi pandangan terang, Māra tidak mampu melihat objek pikirannya. Karena itu dikatakan: ‘Ia membutakan Māra’” (
andhamakāsi māran tin a mārassa akkhīni bhindi. Vipassanāpādakajjhānaṃ samāpannassa pana bhikkhuno imaṃ nāma ārammaṇaṃ nissāya cittaṃ vattatī ti māro passituṃ na sakkoti. Tena vuttaṃ “andhamakāsi māran” ti).
1940 >
Apadaṃ vadhitvā māracakkhuṃ. Mp: “
mencabut mata Māra tanpa jejak: menghancurkan [matanya] sepenuhnya, tanpa sisa [
nippadaṃ niravasesaM vadhitvā).” Pada MN I 159,19-160,12 dan MN I 174,15-175,6 keseluruhan pernyataan ini merujuk pada
seluruh sembilan pencapaian meditatif, termasuk empat jhāna. Dengan demikian tampaknya ada perbedaan antara silsilah tekstual atas sejauh mana pernyataan ini berlaku.