//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA  (Read 18309 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #15 on: 12 March 2013, 02:25:38 AM »
78 (8 ) Bahaya Masa Depan (2)

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu hutan mempertimbangkan lima bahaya masa depan, cukuplah baginya untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan. Tetapi akan tiba saatnya ketika usia tua menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sudah tua, dikuasai oleh usia tua, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sudah tua.’ Ini adalah bahaya masa depan pertama yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku jarang sakit atau menderita; aku memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. Tetapi akan tiba saatnya ketika penyakit menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sakit, dikuasai oleh penyakit, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [104] Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sakit.’ Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang ada cukup makanan; telah ada panen yang baik dan dana makanan berlimpah, sehingga seseorang dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi bencana kelaparan, panen yang buruk, ketika dana makanan sulit diperoleh dan seseorang tidak dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Pada masa bencana kelaparan, orang-orang pindah ke tempat-tempat di mana tersedia cukup makanan dan kondisi kehidupan di sana padat dan ramai. Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bencana kelaparan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(4) ) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang orang-orang berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi marabahaya, pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Pada masa bahaya, orang-orang pindah ke tempat-tempat di mana terdapat keamanan dan kondisi kehidupan di sana padat dan ramai. [105] Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bahaya.’ Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(5) ) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang Saṅgha berdiam dalam kenyamanan – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha. Ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun terjadi perpecahan dalam Saṅgha.’ Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.”

79 (9) Bahaya Masa Depan (3)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan ini yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya [106] dan berusaha untuk meninggalkannya. Apakah lima ini?

(1) “Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan.<1083> Mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma.<1084> Ini adalah bahaya masa depan pertama yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(2) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka akan menjadi tempat bergantung<1085> bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya mereka akan menjadi tempat bergantung bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. [107]

(3) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Sewaktu terlibat dalam pembicaraan yang berhubungan dengan Dhamma, dalam pertanyaan-dan-jawaban,<1086> mereka akan tergelincir ke dalam Dhamma gelap tetapi tidak menyadarinya. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(4) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang diulangi yang mendalam, dengan makna yang mendalam, melampaui keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, mereka tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui.<1087> Tetapi ketika khotbah-khotbah yang sedang diulang itu hanya sekedar puisi yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata dan frasanya, diciptakan oleh pihak luar; dibabarkan oleh para siswa, mereka ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(5) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, [108] dan kebijaksanaan. Para bhikkhu senior – karena tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan – akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikankan apa-yang-belum-direalisasikan. Mereka dalam generasi berikutnya akan mengikuti teladan mereka. Mereka juga, akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.”

80 (10) Bahaya Masa Depan (4)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan ini yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. Apakah lima ini?

(1) “Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang menginginkan jubah yang baik. Mereka akan berhenti menggunakan jubah potongan kain, berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi sehelai jubah. Ini adalah bahaya masa depan pertama yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. [109]

(2) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang menginginkan makanan yang baik. Mereka akan berhenti melakukan perjalanan menerima dana makanan, berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; mencari makanan-makanan lezat terbaik dengan ujung lidah mereka; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi makanan. Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(3) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang menginginkan tempat tinggal yang baik. Mereka akan berhenti berdiam di bawah pohon, akan berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi tempat tinggal. Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(4) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang berhubungan erat dengan para bhikkhunī, para perempuan yang dalam masa percobaan, dan para samaṇerī.<1088> Ketika mereka membentuk hubungan demikian, dapat diharapkan bahwa mereka akan menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas, melakukan pelanggaran kotor tertentu,<1089> atau meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(5) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang berhubungan erat dengan para pekerja vihara dan para samaṇera. Ketika mereka membentuk hubungan demikian, dapat diharapkan bahwa mereka akan terlibat dalam penggunaan berbagai jenis barang-barang simpanan [110] dan memberikan isyarat nyata sehubungan dengan tanah dan tanaman.<1090> Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #16 on: 12 March 2013, 02:26:03 AM »
IV. SENIOR

81 (1) Merangsang Nafsu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia penuh dengan nafsu terhadap apa yang merangsang nafsu; (2) ia penuh dengan kebencian terhadap apa yang merangsang kebencian; (3) ia terdelusi oleh apa yang mendelusikan; (4) ia bergejolak oleh apa yang menggejolakkan; (5) dan ia dimabukkan oleh apa yang memabukkan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? [111] (1) Ia tidak penuh dengan nafsu terhadap apa yang merangsang nafsu; (2) ia tidak penuh dengan kebencian terhadap apa yang merangsang kebencian; (3) ia tidak  terdelusi oleh apa yang mendelusikan; (4) ia tidak bergejolak oleh apa yang menggejolakkan; (5) dan ia tidak dimabukkan oleh apa yang memabukkan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

82 (2) Hampa dari Nafsu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia tidak hampa dari nafsu; ia tidak hampa dari kebencian; ia tidak hampa dari delusi; ia merendahkan; dan ia kurang ajar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia hampa dari nafsu; ia hampa dari kebencian; ia hampa dari delusi; ia tidak merendahkan; dan ia tidak kurang ajar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

83 (3) Seorang Pengatur Siasat

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia adalah seorang pengatur siasat, seorang penyanjung, seorang pemberi isyarat, seorang yang meremehkan, dan seorang yang mengejar perolehan dengan perolehan.<1091> Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka. [112]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia bukanlah seorang pengatur siasat, bukan seorang penyanjung, bukan seorang pemberi isyarat, bukan seorang yang meremehkan, dan bukan seorang yang mengejar perolehan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

84 (4) Hampa dari Keyakinan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, memiliki moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

85 (5) Tidak Dapat dengan Sabar Menahankan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. [113] Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.

86 (6) Pengetahuan Analitis

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia telah mencapai pengetahuan analitis pada makna, pengetahuan analitis pada Dhamma, pengetahuan analitis pada bahasa, pengetahuan analitis pada pemahaman,<1092> dan ia terampil dan rajin dalam melakukan berbagai tugas yang harus dilakukan pada teman-temannya para bhikkhu; ia memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.

87 (7) Moralitas

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini?

(1) “Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalan pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, [114] dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar,<1093> yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna.

(4) “Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini.

(5) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

88 (8 ) Seorang Senior

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior bertindak untuk bahaya banyak orang, untuk ketidak-bahagiaan banyak orang, untuk kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah lima ini?

“(1) Seorang senior yang telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian. (2) ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik. (3) Ia memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, [114] dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.<1094> (5) Ia menganut pandangan salah dan memiliki perspektif menyimpang.

“Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma sejati dan mengokohkan mereka dalam Dhamma palsu. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian,’ [115] mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari,’ mereka mengikuti teladannya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior bertindak untuk bahaya banyak orang, untuk ketidak-bahagiaan banyak orang, untuk kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior bertindak untuk kesejahteraan banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang, untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah lima ini?

“(1) Seorang senior yang telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian. (2) ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik. (3) Ia memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal … ia telah menembusnya dengan baik melalui pandangan. (5) Ia menganut pandangan benar dan memiliki perspektif yang benar.

“Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma palsu dan mengokohkan mereka dalam Dhamma sejati. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari,’ mereka mengikuti teladannya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior bertindak untuk kesejahteraan banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang, [116] untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.”

89 (9) Seorang yang Masih Berlatih (1)

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini? Kesenangan dalam bekerja, kesenangan dalam berbicara, kesenangan dalam tidur, dan kesenangan dalam pergaulan; dan ia tidak meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan.<1095> Kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini? Ketidak-senangan dalam bekerja, ketidak-senangan dalam berbicara, ketidak-senangan dalam tidur, dan ketidak-senangan dalam pergaulan; dan ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”<1096>

90 (10) Seorang yang Masih Berlatih (2)

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu yang masih berlatih memiliki banyak tugas dan kewajiban dan kompeten dalam berbagai pekerjaan yang harus dilakukan, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal pertama yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih melewatkan hari dengan melakukan pekerjaan remeh, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran [117] internal. Ini adalah hal ke dua yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih berhubungan erat dengan para perumah tangga dan kaum monastik, bersosialisasi dalam cara yang tidak pantas selayaknya para umat awam,<1097> ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih memasuki desa terlalu awal dan kembali terlalu terlambat di siang hari, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke empat yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang keterasingan, tentang ketidak-terlibatan dengan [orang-orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan; ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke lima yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak memiliki banyak tugas dan kewajiban; walaupun ia kompeten dalam berbagai pekerjaan yang harus dilakukan; ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal pertama yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak melewatkan hari dengan melakukan pekerjaan remeh, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke dua yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak  berhubungan erat dengan para perumah tangga dan kaum monastik, tidak bersosialisasi dalam cara yang tidak pantas selayaknya para umat awam, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. [118] Ini adalah hal ke tiga yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak memasuki desa terlalu awal dan tidak kembali terlalu terlambat di siang hari, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke empat yang mengarah menuju menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit …  tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan; ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke lima yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #17 on: 12 March 2013, 02:26:24 AM »
V. KAKUDHA

91 (1) Penyempurnaan (1)

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan keyakinan, penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan pembelajaran, penyempurnaan kedermawanan, dan penyempurnaan kebijaksanaan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.” [119]

92 (2) Penyempurnaan (2)

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan konsentrasi, penyempurnaan kebijaksanaan, penyempurnaan kebebasan, dan penyempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.”

93 (3) Pernyataan

“Para bhikkhu, ada lima pernyataan pengetahuan akhir ini.<1098> Apakah lima ini? (1) Seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena ia memiliki keinginan jahat dan didorong oleh keinginan; (3) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena gila dan pikirannya terganggu; (4) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena menilai dirinya terlalu tinggi; dan (5) seseorang dengan benar menyatakan pengetahuan akhir. Ini adalah kelima pernyataan pengetahuan akhir itu.”

94 (4) Kediaman yang Nyaman

“Para bhikkhu, ada lima jenis kediaman yang nyaman ini. Apakah lima ini? (1) Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, teraing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … (2) … jhāna ke dua … (3) … jhāna ke tiga … (4) … jhāna ke empat. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah kelima jenis kediaman yang nyaman itu.”

95 (5) Kondisi Yang Tak Tergoyahkan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.<1099> Apakah lima ini? [120] Di sini, seorang bhikkhu telah mencapai pengetahuan analitis pada makna, pngetahuan analitis pada Dhamma, pengetahuan analitis pada bahasa, dan pengetahuan analitis pada pemahaman; dan ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.”

96 (6) Apa yang Telah Dipelajari Seseorang

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang mengejar perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan, sedikit tugas, mudah disokong, dan mudah puas dengan barang-barang kebutuhan hidup. (2) Ia makan sedikit dan bertekad untuk makan secukupnya. (3) Ia jarang mengantuk dan bertekad pada keawasan. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki kelima hal ini, maka seorang bhikkhu yang mengejar perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

97 (7) Pembicaraan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan … (2) Ia makan sedikit … (3) Ia jarang mengantuk … [121] (4) Ia mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang keterasingan, tentang ketidak-terlibatan dengan [orang-orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki kelima hal ini, maka seorang bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

98 (8 ) Seorang Penghuni Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang melatih perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan … (2) Ia makan sedikit … (3) Ia jarang mengantuk … (4) Ia adalah seorang penghuni hutan yang mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang melatih perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

99 (9) Singa

“Para bhikkhu, pada malam hari seekor singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya, mengamati empat penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian ia pergi berburu.

(1) “Ketika ia menyerang seekor gajah, ia selalu menyerang dengan hormat, bukan dengan tidak hormat.<1100> (2) Ketika ia menyerang seekor sapi jantan … (3) … seekor sapi betina … (4) … seekor macan tutul … (5) Ketika ia menyerang [122] binatang apa pun yang lebih kecil, bahkan seekor kelinci atau seekor kucing, ia menyerang dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. Karena alasan apakah? [dengan berpikir:] ‘Agar latihanku tidak hilang.’

“Singa, para bhikkhu, adalah sebutan untuk Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada suatu kumpulan, ini adalah auman singaNya. (1) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (2) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhunī … (3) … kepada umat awam laki-laki … (4) … kepada umat awam perempuan, Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (5) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada kaum duniawi, bahkan kepada para pembawa-makanan atau para pemburu,<1101>Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. Karena alasan apakah? Karena Sang Tathāgata menghormati Dhamma, memuliakan Dhamma.”

100 (10) Kakudha

Demikianlah yang kudengar.<1102> Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Pada saat itu Kakudha putra Koliya, pelayan Yang Mulia Mahāmoggallāna, baru saja meninggal dunia dan terlahir kembali di tengah-tengah kelompok [dewata] dengan tubuh ciptaan pikiran.<1103> Tubuhnya berukuran dua atau tiga kali luas lahan di sebuah desa Magadha, tetapi ia tidak menghalangi dirinya atau yang lainnya dengan tubuhnya itu.<1104>

Kemudian deva muda Kakudha mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna, bersujud kepadanya, berdiri di satu sisi, dan [123] berkata kepadanya: “Bhante, suatu keinginan muncul pada Devadatta: ‘Aku akan memimpin Saṅgha para bhikkhu.’ Dan bersama dengan munculnya pikiran ini, Devadatta kehilangan kekuatan batinnya.”<1105> Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda Kakudha. Kemudian ia bersujud kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna, mengelilinginya dengan sisi kanannya menghadap Yang Mulia Mahāmoggallāna, dan lenyap dari sana.

“Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan segala yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi, Moggallāna, apakah engkau melingkupi pikirannya dengan pikiranmu dan memahami deva muda Kakudha: ‘Apa pun yang dikatakan oleh deva muda Kakudha semuanya benar dan bukan sebaliknya’?”

“Benar, Bhante.”

“Ingatlah pernyataan ini, Moggallāna! Sekarang orang dungu itu, atas kehendaknya sendiri, mengungkapkan dirinya sendiri.

“Ada, Moggallāna, lima jenis guru ini terdapat di dunia. Apakah lima ini? [124]

(1) “Di sini, seorang guru yang perilakunya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang perilakunya murni. Perlakuku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun perilakunya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang perilakunya murni. Perlakuku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’<1106> Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal perilakunya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal perilakunya.

(2) “Kemudian, seorang guru yang penghidupannya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penghidupannya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun penghidupannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang penghidupannya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal penghidupannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal penghidupannya.

(3) “Kemudian, seorang guru yang ajaran Dhammanya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang ajaran Dhammanya murni. Ajaran Dhammaku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun ajaran Dhammanya tidak murni, [125] tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang ajaran Dhammanya murni. Ajaran Dhammaku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal ajaran Dhammanya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal ajaran Dhammanya.

(4) “Kemudian, seorang guru yang penjelasan-penjelasannya tidak murni<1107> mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasannya murni. Penjelasan-penjelasanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun penjelasan-penjelasannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasannya murni. Penjelasan-penjelasanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal penjelasan-penjelasannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal penjelasan-penjelasannya.

(5) “Kemudian, seorang guru yang pengetahuan dan penglihatannya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatannya murni. Pengetahuan dan penglihatanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun pengetahuan dan penglihatannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatannya murni. Pengetahuan dan penglihatanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? [126] Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal pengetahuan dan penglihatannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal pengetahuan dan penglihatannya.

“Ini adalah kelima jenis guru itu terdapat di dunia.”

(1) “Tetapi, Moggallāna, Aku adalah seorang yang perilakuNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang perilakuNya murni. PerlakuKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal perilakuKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal perilakuKu. (2) Aku adalah seorang yang penghidupanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penghidupanNya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal penghidupanku, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal penghidupanku. (3) Aku adalah seorang yang ajaran DhammaNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang ajaran DhammaNya murni. Ajaran DhammaKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal ajaran DhammaKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal ajaran DhammaKu. (4) Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasanNya murni. Penjelasan-penjelasanKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal penjelasan-penjelasanKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal penjelasan-penjelasanKu. (5) Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatanNya murni. Pengetahuan dan penglihatanKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal pengetahuan dan penglihatanKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal pengetahuan dan penglihatanKu.” [127]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #18 on: 12 March 2013, 02:27:10 AM »
LIMA PULUH KE TIGA


I. KEDIAMAN YANG NYAMAN

1 (1) Ketakutan

“Para bhikkhu, ada lima kualitas ini yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.<1108> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, terpelajar, bersemangat, dan bijaksana. (1) Ketakutan<1109> apa pun yang ada pada seorang yang tanpa keyakinan tidak ada pada seorang yang memiliki keyakinan; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (2) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bermoral tidak ada pada seorang yang bermoral; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (3) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak terpelajar tidak ada pada seorang yang terpelajar; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (4) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang malas tidak ada pada seorang yang bersemangat; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (5) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bijaksana tidak ada pada seorang yang bijaksana; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.. Ini adalah kelima kualitas itu yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.” [128]

102 (2) Dicurigai

“Para bhikkhu, atas lima dasar seorang bhikkhu tidak dipercaya dan dicurigai sebagai ‘seorang bhikkhu jahat’ walaupun ia berkarakter tak tergoyahkan.<1110> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu sering mengunjungi pelacur, janda, perempuan tidak menikah, orang kebiri, atau bhikkhunī.<1111> atas lima dasar ini seorang bhikkhu tidak dipercaya dan dicurigai sebagai ‘seorang bhikkhu jahat’ walaupun ia berkarakter tak tergoyahkan.”

103 (3) Pencuri <1112>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya. Apakah lima ini? Di sini, seorang pencuri ulung (1) bergantung pada permukaan yang tidak rata, (2) pada belantara, (3) pada orang-orang berkuasa; (4) memberi suap, dan (5) ia bergerak sendirian.

(1) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada hutan rotan, belantara pepohonan, semak belukar, atau hutan rapat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun [129] menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa.

(4) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung memberi suap? Di sini, seorang pencuri ulung yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Ia berpikir: ‘Jika seseorang menuduhku melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan suapan.’ Jika seseorang menuduhnya melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan suapan. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung memberi suap.

(5) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergerak sendirian? Di sini, seorang pencuri ulung melakukan perampasannya<1113> semuanya sendirian. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Rencana-rencana rahasiaku<1114> seharusnya tidak disebarkan kepada orang lain!’ Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergerak sendirian.

“Adalah dengan memiliki kelima faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat (1) bergantung pada permukaan yang tidak rata, (2) pada belantara, dan (3) pada orang-orang berkuasa; (4) ia memberi suap dan (5) bergerak sendirian.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara? [130] Di sini, seorang bhikkhu jahat menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim.<1115> Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat memberi suap? Di sini, seorang bhikkhu jahat memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ia berpikir: ‘Jika seseorang menuduhku melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan menawarkan salah satu dari perolehan ini.’ Jika seseorang menuduhnya melakukan apa pun, maka ia menenangkannya dengan menawarkan salah satu dari perolehan ini. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat memberi suap.

(5) Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergerak sendirian? Di sini, seorang bhikkhu jahat membangun tempat kediaman terasing untuk dirinya sendiri di daerah perbatasan. Dengan mendatangi keluarga-keluarga di sana, ia mendapatkan perolehan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergerak sendirian.

“Adalah dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan.”

104 (4) Lembut <1116>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang petapa lembut di antara para petapa. Apakah lima ini? (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. [131] (2) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. (3) Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini tidak muncul padanya. Ia jarang sakit. (4) Sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, ia mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang petapa lembut di antara para petapa.

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini. (1) Karena Aku biasanya biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu. (2) Para bhikkhu itu, yang dengan mereka Aku menetap, biasanya memperlakukanKu dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. (3) Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini [132] tidak muncul padaKu. Aku jarang sakit. (4) Sesuai kehendakKu, tanpa kesusahan atau kesulitan, Aku mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, Aku telah merealisasikan untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Aku berdiam di dalamnya. Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini.

105 (5) Dengan Nyaman

“Para bhikkhu, ada lima cara kediaman yang nyaman ini.<1117> Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan jasmani cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (2) mempertahankan tindakan ucapan cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (3) mempertahankan tindakan pikiran cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (4) Ia berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya para bhikkhu dalam hal perilaku bermoral yang tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, mengarah pada konsentrasi. (5) ) Ia berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya para bhikkhu dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan seseorang yang berbuat sesuai dengannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini, para bhikkhu, adalah lima cara kediaman yang nyaman itu.”

106 (6) Ānanda

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“(1) Bhante, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ketika, Ānanda, [133] seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral,<1118> sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(2) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(3) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(4) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal; dan ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(5) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, [134] dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal; dan ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha. Dan, Ānanda, Aku katakan bahwa tidak ada cara kediaman  yang nyaman lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada ini.”

107 (7) Perilaku Bermoral

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, sempurna dalam konsentrasi, sempurna dalam kebijaksanaan. Sempurna dalam kebebasan, dan sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

108 (8 ) Seorang Yang Melampaui Latihan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan,  kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebebasan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.” [135]

109 (9) Rumah di Empat Penjuru

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas ini, seorang bhikkhu berada di rumah di empat penjuru.<1119> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalan pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berada di rumah di empat penjuru.”

110 (10) Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas ini, seorang bhikkhu layak mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral … ia berlatih di dalamnya. (2) ) Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, [136] kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #19 on: 12 March 2013, 02:27:39 AM »
II. ANDHAKAVINDA<1120>

111 (1) Tamu Keluarga-Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia memperlihatkan keakraban terhadap mereka yang hanya sekedar kenalan; (2) ia memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia bergaul dengan mereka yang terpecah;<1121> (4) ia berbisik di telinga dan (5) ia mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia tidak memperlihatkan keakraban terhadap mereka yang hanya sekedar kenalan; (2) ia tidak memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia tidak bergaul dengan mereka yang terpecah; (4) ia tidak berbisik di telinga dan (5) ia tidak mengajukan permintaan yang berlebihan. [137] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.

112 (2) Bhikkhu Pelayan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang tidak boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan. Apakah lima ini? (1) Ia berjalan terlalu jauh di belakang atau terlalu dekat; (2) ia tidak membawakan mangkukmu ketika penuh; (3) ia tidak menahanmu ketika ucapanmu berbatasan dengan suatu pelanggaran; (4) ia terus-menerus menyelamu ketika engkau berbicara; dan (5) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seseorang tidak boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seseorang boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan. Apakah lima ini? (1) Ia tidak berjalan terlalu jauh di belakang atau terlalu dekat; (2) ia membawakan mangkukmu ketika penuh; (3) ia menahanmu ketika ucapanmu berbatasan dengan suatu pelanggaran; (4) ia tidak terus-menerus menyelamu ketika engkau berbicara; dan (5) ia bijaksana, cerdas, cerdik. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seseorang boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan.”

113 (3) Konsentrasi

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar. Apakah lima ini? [138] Di sini, seorang bhikkhu dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar.”

114 (4) Andhakavinda

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Magadha di Andhakavinda. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, para bhikkhu itu yang adalah para pendatang baru, yang baru saja meninggalkan keduniawian, yang baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam lima hal. Apakah lima ini?

(1) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam pengendalian Pātimokkha sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jadilah bermoral; berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, dengan memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, berlatihlah di dalamnya.’

(2) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam pengendalian organ-organ indria sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jagalah pintu-pintu organ indria; gunakan perhatian sebagai pelindung; penuh perhatian dan waspada, dengan pikiran yang terlindungi, dengan pikiran di bawah perlindungan perhatian.’

(3) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam membatasi ucapan mereka sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jangan berbicara terlalu banyak. Batasilah ucapan kalian.’

(4) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keterasingan jasmani sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jadilah penghuni hutan. Datangilah tempat-tempat tinggal terpencil di hutan-hutan dan belantara.’

(5) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam perspektif benar sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, anutlah pandangan benar dan milikilah perspektif benar.’<1122> [139]

“Ānanda, para bhikkhu itu yang adalah para pendatang baru, yang baru saja meninggalkan keduniawian, yang baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam kelima hal ini.”

115 (5) Kikir

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia kikir dengan tempat kediamannya, keluarga-keluarganya, perolehan, pujian, atau Dhamma.<1123> Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia tidak kikir dengan tempat kediamannya, keluarga-keluarganya, perolehan, pujian, dan Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

116 (6) Pujian

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan.<1124> Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [140] (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

117 (7) Iri

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia iri-hati (4) dan kikir. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia bebas dari sifat iri-hati (4) dan dari kekikiran. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

118 (8 ) Pandangan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia menganut pandangan salah (4) dan memiliki kehendak salah. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [141]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia menganut pandangan benar (4) dan memiliki kehendak benar. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

119 (9) Ucapan

[Seperti pada 5:118], tetapi dengan menggantikan kualitas ke tiga dan ke empat yang mengarah pada neraka dan surga berturut-turut sebagai berikut:]

“… (3) Ia memiliki ucapan salah dan (4) perbuatan salah …

“… (3) Ia memiliki ucapan benar dan (4) perbuatan benar …”

120 (10) Usaha

[Seperti pada 5:118], tetapi dengan menggantikan kualitas ke tiga dan ke empat yang mengarah pada neraka dan surga berturut-turut sebagai berikut:]

“… (3) Ia memiliki usaha salah dan (4) perhatian salah … [142]

“… (3) Ia memiliki usaha benar dan (4) perhatian benar …”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #20 on: 12 March 2013, 02:28:03 AM »
III. SAKIT

121 (1) Sakit

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada malam hari, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi balai pengobatan, di mana Beliau melihat seorang bhikkhu yang sedang lemah dan sakit. Kemudian Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, jika lima hal tidak terlepas dari seorang bhikkhu yang lemah dan sakit, maka dapat diharapkan baginya: ‘Dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia akan berdiam di dalamnya.’ Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, [143] merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Jika kelima hal ini tidak terlepas dari seorang bhikkhu yang lemah dan sakit, maka dapat diharapkan baginya: ‘Dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia akan berdiam di dalamnya.’”

122 (2) Penegakan Perhatian

“Para bhikkhu, jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih lima hal, maka salah satu dari dua buah ini menanti: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu menegakkan perhatiannya secara internal untuk [mencapai] kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena;<1125> ia berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi. Jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih kelima hal ini, maka salah satu dari dua buah ini menanti: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali.”

123 (3) Seorang Perawat (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang pasien sulit dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang berbahaya. (2) Ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya. (3) Ia tidak meminum obatnya. (4) Ia tidak secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia tidak melaporkan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia tidak dapat dengan sabar menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. [144] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien sulit dirawat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang pasien mudah dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang bermanfaat. (2) Ia melakukan  apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya. (3) Ia meminum obatnya. (4) Ia secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia melaporkan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia dapat dengan sabar menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien mudah dirawat.”

124 (4) Seorang Perawat (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang perawat tidak memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mampu mempersiapkan obat. (2) Ia tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, maka ia memberikan apa yang berbahaya dan tidak memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien demi mendapatkan hadiah materi, bukan dengan pikiran cinta-kasih. (4) Ia merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia tidak mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dangan khotbah Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat tidak memenuhi syarat untuk merawat pasien
 
“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia mampu mempersiapkan obat. (2) Ia mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, maka ia tidak memberikan apa yang berbahaya dan memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien dengan pikiran cinta-kasih, bukan demi mendapatkan hadiah materi. (4) Ia tidak merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dangan khotbah Dhamma. [145] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien.”

125 (5) Vitalitas (1)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang menurunkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang berbahaya; ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang buruk; ia berjalan [untuk menerima dana makanan] pada waktu yang salah;<1126> ia tidak hidup selibat. Ini adalah kelima hal itu yang menurunkan vitalitas.

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang meningkatkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang bermanfaat; ia melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang baik; ia berjalan [untuk menerima dana makanan] pada waktu yang benar; ia hidup selibat. Ini adalah kelima hal itu yang meningkatkan vitalitas.”

126 (6) Vitalitas (2)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang menurunkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang berbahaya; ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang buruk; ia tidak bermoral; ia memiliki teman-teman yang jahat. Ini adalah kelima hal itu yang menurunkan vitalitas.

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang meningkatkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang bermanfaat; ia melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang baik; ia bermoral; ia memiliki teman-teman yang baik. Ini adalah kelima hal itu yang meningkatkan vitalitas.”

127 (7) Hidup Terpisah

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tidak layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha. Apakah lima ini? Ia tidak puas dengan segala jenis jubah; ia tidak puas dengan segala jenis makanan; ia tidak puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia tidak puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia berdiam dengan terpikat pada pikiran indriawi. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tidak layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha. Apakah lima ini? [146] Ia puas dengan segala jenis jubah; ia puas dengan segala jenis makanan; ia puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit;<1127> dan ia berdiam dengan terpikat pada pikiran pelepasan keduniawian. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha.

128 (8 ) Kebahagiaan Seorang Petapa

“Para bhikkhu, ada lima jenis penderitaan ini bagi seorang petapa. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak puas dengan segala jenis jubah; ia tidak puas dengan segala jenis makanan; ia tidak puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia tidak puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas. Ini adalah kelima penderitaan itu bagi seorang petapa.

“Para bhikkhu, ada lima jenis kebahagiaan ini bagi seorang petapa. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah; ia puas dengan segala jenis makanan; ia puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia menjalani kehidupan spiritual dengan puas. Ini adalah kelima kebahagiaan itu bagi seorang petapa.”

129 (9) Luka

“Para bhikkhu, ada lima luka ini yang tidak dapat disembuhkan<1128> mengarah menuju alam sengsara; yang mengarah menuju neraka. Apakah lima ini? Seseorang membunuh ibunya; ia membunuh ayahnya; ia membunuh seorang Arahant; dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; ia memecah belah Saṅgha. Ini adalah kelima luka itu yang tidak dapat disembuhkan.” [147]

130 (10) Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada lima bencana ini. Apakah lima ini? Bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, bencana yang disebabkan oleh penyakit, bencana sehubungan dengan perilaku bermoral, dan bencana sehubungan dengan pandangan.<1129> Bukanlah karena bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, atau bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, atau bencana yang disebabkan oleh penyakit maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Adalah karena bencana sehubungan dengan perilaku bermoral dan bencana sehubungan dengan pandangan, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bencana itu.

“Para bhikkhu, ada lima keberhasilan ini. Apakah lima ini? Keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan, keberhasilan dalam hal perilaku bermoral, dan keberhasilan dalam hal pandangan. Bukanlah karena keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Adalah karena keberhasilan dalam hal perilaku bermoral dan keberhasilan dalam hal pandangan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima keberhasilan itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #21 on: 12 March 2013, 02:28:51 AM »
IV. RAJA-RAJA

131 (1) Melanjutkan Memutar Roda (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seorang raja pemutar-roda memutar roda hanya melalui Dhamma,<1130> roda yang [148] tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. Apakah lima ini? Di sini, seorang raja pemutar-roda adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan memiliki kelima faktor ini, seorang raja pemutar-roda memutar roda hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia. Apakah lima ini? Di sini, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan.<1131> Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, Sang Tathāgata … memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik … oleh siapa pun juga juga di dunia.”

132 (2) Melanjutkan Memutar Roda (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda yang telah diputar oleh ayahnya, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. Apakah lima ini? Di sini, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan memiliki kelima faktor ini, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda yang telah diputar oleh ayahnya, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. [149]

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, Sāriputta melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.<1132> Apakah lima ini? Di sini, Sāriputta adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, Sāriputta melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.”

133 (3) Raja <1133>

“Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, tidak memutar roda tanpa raja di atasnya.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Bhante, siapakah yang menjadi raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma?”

“Adalah Dhamma, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “di sini, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma,  mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para penduduk dalam kerajaannya. Kemudian, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma … memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para khattiya bawahannya; kepada bala tentaranya; kepada para brahmana dan perumah tangga; kepada para penduduk pemukiman dan luar kota; kepada para petapa dan brahmana; kepada binatang-binatang dan burung-burung. [150] Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik demikian, raja pemutar-roda itu, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, memutar roda hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi.

“Demikian pula, para bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para bhikkhu, dengan mengatakan: (1) ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih; perbuatan jasmani demikian tidak boleh dilatih. (2) Perbuatan ucapan demikian harus dilatih; perbuatan ucapan demikian tidak boleh dilatih. (3) Perbuatan pikiran demikian harus dilatih; perbuatan pikiran demikian tidak boleh dilatih. (4) Penghidupan demikian harus dilatih; penghidupan demikian tidak boleh dilatih. (5) Desa atau pemukiman demikian boleh dikunjungi; desa atau pemukiman demikian tidak boleh dikunjungi.’

“Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para bhikkhunī … kepada para umat awam laki-laki … kepada para umat awam perempuan, dengan mengatakan: ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih … ) Perbuatan ucapan demikian harus dilatih … Perbuatan pikiran demikian harus dilatih … Penghidupan demikian harus dilatih; penghidupan demikian tidak boleh dilatih. Desa atau pemukiman demikian boleh dikunjungi; desa atau pemukiman demikian tidak boleh dikunjungi.’

Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik demikian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, [151] Raja Dhamma yang baik, memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.”

134 (4) Di Daerah Mana pun

“Para bhikkhu, di daerah mana pun juga ia berdiam, seorang raja khattiya yang sah yang memiliki lima faktor berdiam di dalam wilayahnya sendiri. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang raja khattiya yang sah terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayah, dari keturunan murni, tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahirannya hingga tujuh generasi dari pihak ayah.<1134> (2) Ia kaya, dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak pusaka dan gudang harta. (3) ia berkuasa, memiliki empat barisan bala tentara yang patuh dan menuruti perintahnya. (4) Penasihatnya bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang.<1135> (5) Keempat kualitas ini memajukan kemasyhurannya. Dengan memiliki kelima kualitas ini termasuk kemasyhuran ini, ia berdiam di dalam wilayahnya sendiri di daerah mana pun ia berada. Karena alasan apakah? Karena ini adalah bagaimana seharusnya bagi para pemenang.

“Demikian pula, para bhikkhu, di daerah mana pun juga ia berdiam, seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas berdiam dengan pikiran yang terbebaskan. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. [152] Ini adalah seperti sang raja khattiya yang sah yang terlahir baik. (2) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak pusaka dan gudang harta. (3) Ia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam usaha, dan tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang berkuasa. (4) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang memiliki penasihat yang baik. (5) Keempat kualitas ini memajukan kebebasannya. Dengan memiliki kelima kualitas ini termasuk kebebasan, di daerah mana pun ia berdiam, ia berdiam dengan pikiran yang terbebaskan. Karena alasan apakah? Karena ini adalah bagaimana seharusnya bagi mereka yang terbebaskan dalam pikiran.”

135 (5) Merindukan (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja. Apakah lima ini? (1) Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayah, dari keturunan murni, tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahirannya hingga tujuh generasi dari pihak ayah. (2) Ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (3) ia menyenangkan dan disukai oleh orang tuanya. (4) ia menyenangkan dan disukai oleh para penduduk pemukiman-pemukiman dan luar kota. (5) ia terlatih dan mahir dalam berbagai seni dari para raja khattiya yang sah, apakah menunggang gajah, menunggang kuda, mengendarai kereta, memanah, atau berpedang. [153]

“Ia berpikir: (1) ‘Aku terlahir baik dari kedua pihak … tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (2) Aku tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (3) Aku menyenangkan dan disukai oleh orang tuaku, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (4) Aku menyenangkan dan disukai oleh para penduduk pemukiman-pemukiman dan luar kota, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (5) Aku terlatih dan mahir dalam berbagai seni dari para raja khattiya yang sah, apakah menunggang gajah, menunggang kuda, mengendarai kereta, memanah, atau berpedang, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja?’ Dengan memiliki kelima faktor ini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ (2) Ia jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. (3) Ia jujur dan terbuka, seorang yang mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana. (4) Ia membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ia berpikir: (1) ‘Aku memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … Yang Tercerahkan, Yang Suci, ” mengapa aku tidak boleh [154] merindukan hancurnya noda-noda? (2) Aku jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (3) Aku jujur dan terbuka; aku mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (4) Aku telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (5) Aku bijaksana; aku memiliki kebijaksanaan … [yang] mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda?’

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #22 on: 12 March 2013, 02:29:39 AM »
136 (6) Merindukan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja muda. Apakah lima ini? (1) Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah terlahir baik … hingga tujuh generasi dari pihak ayah. (2) Ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (3) ia menyenangkan dan disukai oleh orang tuanya. (4) ia menyenangkan dan disukai oleh bala tentara. (5) ia bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang.
   
“Ia berpikir: (1) ‘Aku terlahir baik … hingga tujuh generasi dari pihak ayah.  mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (2) Aku tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (3) Aku menyenangkan dan disukai oleh orang tuaku, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? [155] (4) Aku menyenangkan dan disukai oleh bala tentara, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (5) Aku bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda?’ Dengan memiliki kelima faktor ini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja muda.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? “(1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral … ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang yang pikirannya ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian. (4) Ia telah membangkitkan kegigihan … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan … [yang] mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ia berpikir: (1) ‘Aku bermoral … aku berlatih di dalamnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (2) Aku telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (3) Aku adalah adalah seorang yang pikirannya ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (4) Aku telah membangkitkan kegigihan … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (5) Aku bijaksana; aku memiliki kebijaksanaan … [156] [yang] mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda?’

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda.”

137 (7) Tidur Sedikit

“Para bhikkhu, lima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga. Apakah lima ini? Seorang perempuan yang terarah pada seorang laki-laki, seorang laki-laki yang terarah pada seorang perempuan, seorang pencuri yang terarah pada pencurian, seorang raja yang sibuk dengan tugas-tugas kerajaan, dan seorang bhikkhu yang bertekad untuk memutuskan ikatan. Kelima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga.”

138 (8 ) Pemakan Makanan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seekor gajah jantan besar adalah pemakan makanan, penghuni ruang, pembuang kotoran, pengambil-kupon,<1136> namun ia tetap dianggap sebagai seekor gajah jantan besar milik raja. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki lima faktor, seekor gajah jantan yang besar adalah pemakan makanan, penghuni ruang … namun ia tetap dianggap sebagai seekor gajah jantan besar milik raja.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah pemakan makanan, penghuni ruang, penghancur kursi,<1137> pengambil-kupon,<1138> namun ia masih dianggap seorang bhikkhu. Apakah lima ini? [157] Di sini, seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima faktor ini, seorang bhikkhu adalah pemakan makanan, penghuni ruang … namun ia masih dianggap seorang bhikkhu.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #23 on: 12 March 2013, 02:29:48 AM »
139 (9) Tidak Dapat dengan Sabar Menahankan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi milik seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan pejalan kaki, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mendengar suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan pejalan kaki, atau suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan? [158] Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mencium bau air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan kerajaan dari keturunan yang baik dan terbiasa berperang, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima porsi dirampas darinya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) ) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua, tiga, empat, atau lima berondongan, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi milik seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas,<1139> seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian, tidak layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, ia menjadi terpikat pada suatu bentuk yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? [159] Di sini, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, ia menjadi terpikat pada suatu suara yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, ia menjadi terpikat pada suatu bau yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia menjadi terpikat pada suatu rasa kecapan yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seorang bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia menjadi terpikat pada suatu objek sentuhan yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian, tidak layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Ia dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan pejalan kaki, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan suara-suara? [160] Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mendengar suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan pejalan kaki, atau suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mencium bau air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan kerajaan dari keturunan yang baik dan terbiasa berperang, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima porsi dirampas darinya, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) ) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua, tiga, empat, atau lima berondongan, ia tidak merosot, tidak terperosok melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah lima ini? Ia dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan sabar menahankan [161] objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menjadi terpikat pada bentuk yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara? Di sini, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, ia tidak menjadi terpikat pada suara yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, ia tidak menjadi terpikat pada bau yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia tidak menjadi terpikat pada rasa kecapan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seorang bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia tidak menjadi terpikat pada objek sentuhan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.”

140 (10) Seorang Yang Mendengarkan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Di sini, seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang menjaga, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan? Di sini, tugas apapun yang diberikan oleh pelatih gajah kepadanya, apakah [162] pernah dilakukan sebelumnya atau tidak, gajah jantan besar milik raja itu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menghancurkan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia menghancurkan gajah-gajah dan para penunggang gajah, kuda-kuda dan para prajurit penunggang kuda, kereta-kereta dan para kusirnya, dan para prajurit pejalan kaki. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menjaga? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia menjaga bagian depannya, bagian belakangnya, kaki depannya, kaki belakangnya, kepalanya, telinganya, gadingnya, belalainya, ekornya, dan penunggangnya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menjaga.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang dengan sabar menahankan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia dengan sabar menahankan tusukan oleh tombak, pedang, anak panah, dan kapak; ia menahankan gelegar tambur, genderang, kulit kerang, dan gendang. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan.

(5) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang bepergian? Di sini, seekor gajah jantan besar milik raja dengan cepat pergi ke wilayah mana pun yang sang pelatih mengirimnya, apakah pernah dikunjungi sebelumnya atau tidak. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan, yang menghancurkan, [163] yang menjaga, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan? Di sini, ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun yang muncul dari waktu ke waktu, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menjaga? Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran … ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menjaga.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian? [164] Di sini, seorang bhikkhu dengan cepat pergi ke wilayah di mana ia belum pernah mengunjunginya sebelumnya dalam waktu yang lama, yaitu, untuk menenangkan segala aktivitas, melepaskan segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

“Dengan memiliki lima kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #24 on: 12 March 2013, 02:30:14 AM »
V. TIKAṆḌAKĪ

141 (1) Setelah Memberi, Ia Merendahkan

“Para bhikkhu, ada lima jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah lima ini? Seorang yang memberi dan kemudian merendahkan; seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama; seorang yang mudah tertipu oleh gosip; seorang yang berubah-ubah; dan seorang yang tumpul dan bodoh.

(1) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan? Di sini, seseorang memberikan kepada orang lain jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ia berpikir: ‘Aku memberi; ia menerima.’ Setelah memberikan kepadanya, ia merendahkannya. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama? [165] Di sini, seseorang hidup bersama dengan orang lain selama dua atau tiga tahun. Kemudian ia merendahkan orang lain karena mereka telah hidup bersama. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang mudah tertipu oleh gosip? Di sini, ketika pujian atau celaan sedang dibicarakan tentang orang lain, ia segera mempercayainya. Dengan cara inilah seseorang yang mudah tertipu oleh gossip.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berubah-ubah? Di sini, keyakinan seseorang, kesetiaannya, kasih sayangnya, dan kepercayaannya lemah. Dengan cara inilah seseorang berubah-ubah.

(5) “Dan bagaimanakah seorang yang tumpul dan bodoh? Di sini, seseorang tidak mengetahui kualitas-kualitas apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, kualitas-kualitas apa yang tercela dan apa yang tidak tercela, kualitas-kualitas apa yang rendah dan apa yang tinggi; ia tidak mengetahui kualitas-kualitas yang gelap dan terang bersama dengan padanannya. Dengan cara inilah seseorang tumpul dan bodoh.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

142 (2) Seseorang melanggar

“Para bhikkhu, ada lima jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seseorang melanggar dan kemudian menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.<1140>

(2) “Di sini, seseorang melanggar dan tidak menjadi menyesal,<1141> dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(3) “Di sini, seseorang tidak melanggar [166] namun menyesal,<1142> dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(4) “Di sini, seseorang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(5) “Di sini, seseorang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(1) “Para bhikkhu, orang di antara mereka yang melanggar dan kemudian menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran ada padamu, dan noda-noda yang muncul dari penyesalan bertambah. Tinggalkanlah noda-noda yang muncul dari pelanggaran dan hilangkanlah noda-noda yang muncul dari penyesalan; kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu.<1143> Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(2) “Orang di antara mereka yang melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran ada padamu, tetapi noda-noda yang muncul dari penyesalan tidak bertambah. Tinggalkanlah noda-noda yang muncul dari pelanggaran, dan kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(3) “Orang di antara mereka yang tidak melanggar namun menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: [167] ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran tidak ada padamu, tetapi noda-noda yang muncul dari penyesalan bertambah. Hilangkanlah noda-noda yang muncul dari penyesalan, dan kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(4) “Orang di antara mereka yang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran tidak ada padamu, dan noda-noda yang muncul dari penyesalan tidak bertambah. Kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(5) “Demikianlah, para bhikkhu, ketika orang-orang dari keempat jenis ini dinasihati dan diajari melalui teladan orang jenis ke lima, maka mereka secara bertahap mencapai hancurnya noda-noda.”

143 (3) Sārandada

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā meraipikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Pada saat itu lima ratus orang Licchavi telah berkumpul di altar Sārandada dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini berlangsung: “Manifestasi lima permata adalah jarang di dunia ini. Apakah lima ini? Permata-gajah, permata-kuda, permata-perhiasan, permata-perempuan, dan permata-pelayan. Manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.” [168]

Kemudian para Licchavi menugaskan seseorang di jalan dan memberitahunya: “Sahabat, ketika engkau melihat Sang Bhagavā datang, engkau harus memberitahu kami.” Dari jauh orang itu melihat Sang Bhagavā datang, ia mendatangi para Licchavi, dan memberitahu mereka: “Tuan-tuan, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna datang. Kalian boleh pergi menghadap Beliau.”

Kemudian para Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, mereka berkata kepada Beliau: “Bhante, sudilah Sang Bhagavā pergi ke altar Sārandada demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri. Beliau pergi ke altar Sārandada, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada para Licchavi:

“Diskusi apakah yang sedang kalian bicarakan tadi ketika kalian duduk bersama di sini? Pembicaraan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Bhante, ketika kami telah berkumpul dan sedang duduk bersama, pembicaraan ini berlangsung … [Di sini ia mengulangi keseluruhan pembicaraan di atas.] … Manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.’”

“Sambil menekuni kenikmatan-kenikmatan indria, para Licchavi terlibat dalam pembicaraan tentang kenikmatan-kenikmatan indria! Para Licchavi, manifestasi lima permata adalah jarang di dunia. Apakah lima ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata [169] adalah jarang di dunia. (3) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan, seorang yang memahaminya adalah jarang di dunia. (4) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan dan dipahami, seorang yang berlatih sesuai Dhamma adalah jarang di dunia. (5) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia. Para Licchavi, manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.”

144 (4) Tikaṇḍakī

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāketa di Hutan Tikaṇḍakī. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“(1) Para bhikkhu, adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan. (2) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan. (3) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan. (4) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan. (5) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan.<1144>

(1) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan di dalam apa yang tidak menjijikkan.

(2) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan? ’Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan di dalam apa yang menjijikkan.

(3) “Dan demi manfaat apakah [170] seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu, dan tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan di dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan.

(4) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian, dan tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan di dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan.

(4) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang merangsang nafsu! Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang merangsang kebencian! Semoga tidak ada delusi yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang mengembangkan delusi!’:<1145> Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan.”

145 (5) Neraka

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [171]

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas [lainnya] ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #25 on: 12 March 2013, 02:30:39 AM »
146 (6) Teman

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya tidak berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas. Apakah lima ini? Ia menggerakkan proyek-proyek pekerjaan; ia mengangkat persoalan-persoalan disiplin; ia memusuhi para bhikkhu terkemuka; ia gemar melakukan perjalanan panjang dan tanpa akhir; ia tidak mampu dari waktu ke waktu mengajari, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan seseorang dengan khotbah Dhamma. Seseorang seharusnya tidak berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki kelima kualitas ini.

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas [lainnya]. Apakah lima ini? Ia tidak menggerakkan proyek-proyek pekerjaan; ia tidak mengangkat persoalan-persoalan disiplin; ia tidak memusuhi para bhikkhu terkemuka; ia tidak gemar melakukan perjalanan panjang dan tanpa akhir; ia mampu dari waktu ke waktu mengajari, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan seseorang dengan khotbah Dhamma. Seseorang seharusnya berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki kelima kualitas ini.”

147 (7) Orang Jahat

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang jahat ini. Apakah lima ini? Ia memberi secara sambil-lalu; ia memberi tanpa hormat; ia tidak memberikan melalui tangannya; ia memberikan apa yang seharusnya dibuang; ia memberikan tanpa pandangan tentang akibat dari memberi.<1146> Ini adalah kelima pemberian dari orang jahat. [172]

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang baik ini. Apakah lima ini? Ia memberi secara hormat; ia memberikan dengan penghormatan mendalam; ia memberikan melalui tangannya; ia memberikan apa yang seharusnya tidak dibuang; ia memberikan dengan pandangan tentang akibat dari memberi.<1147> Ini adalah kelima pemberian dari orang baik.”

148 (8 ) Orang Baik

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang baik ini. Apakah lima ini? Ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan; ia memberikan pemberian dengan hormat; ia memberikan pemberian yang tepat waktu; ia memberikan tanpa enggan; ia memberikan pemberian tanpa melukai dirinya atau orang lain.

“(1) Karena ia memberikan dengan penuh keyakinan, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan ia menjadi tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (2) Karena ia memberikan pemberian dengan hormat, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan anak-anak dan istri-istrinya, para budak, para pelayan, dan para pekerjanya patuh, menyimak, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami. (3) Karena memberikan pemberian yang tepat waktu, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan manfaat-manfaat yang sesuai waktunya mendatanginya secara berlimpah. (4) Karena ia memberikan tanpa enggan, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan pikirannya condong pada kenikmatan lima jenis kenikmatan indria. [173] (5) Karena memberikan pemberian tanpa melukai dirinya atau orang lain, maka maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan tidak ada kerusakan pada hartanya dari sumber mana pun, apakah dari api, banjir, raja-raja, pencuri, atau pewaris yang tidak disukai. Ini adalah kelima pemberian dari orang baik.”

149 (9) Terbebaskan Sementara (1)

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.<1148> Apakah lima ini? Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam pembicaraan, bersenang-senang dalam tidur, bersenang-senang dalam pergaulan; and ia tidak meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam pembicaraan, tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam pergaulan; and ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.”

150 (10) Terbebaskan Sementara (2)

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam pembicaraan, bersenang-senang dalam tidur, tidak menjaga pintu-pintu indria dan makan berlebihan. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam pembicaraan, tidak bersenang-senang dalam tidur, menjaga pintu-pintu indria dan makan secukupnya. [174] Kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #26 on: 12 March 2013, 02:31:37 AM »
LIMA PULUH KE EMPAT


I. DHAMMA SEJATI

151 (1) Jalan Pasti Kebenaran <1149> (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1150> Apakah lima ini? Ia meremehkan khotbah itu; ia meremehkan sang pembabar; ia meremehkan diri sendiri; ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran kacau dan berhamburan; ia memperhatikan secara sembrono. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan [175] Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia tidak meremehkan khotbah itu; ia tidak meremehkan sang pembabar; ia tidak meremehkan diri sendiri; ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran tidak kacau dan terpusat; ia memperhatikan secara teliti. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

152 (2) Jalan Pasti Kebenaran  (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia meremehkan khotbah itu; ia meremehkan sang pembabar; ia meremehkan diri sendiri; ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul; ia membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia tidak meremehkan khotbah itu; ia tidak meremehkan sang pembabar; ia tidak meremehkan diri sendiri; ia bijaksana, cerdas, cerdik; ia tidak membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

153 (3) Jalan Pasti Kebenaran  (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? (1) Ia mendengarkan Dhamma sebagai seorang pencela yang dikuasai oleh celaan; (2) ia mendengarkan Dhamma dengan niat untuk mengkritiknya, mencari kesalahan-kesalahan; [176] (3) ia berwatak buruk terhadap gurunya, berniat untuk menyerangnya; (4) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul; (5) ia membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mendengarkan Dhamma sebagai seorang pencela yang dikuasai oleh celaan; (2) ia mendengarkan Dhamma tanpa niat untuk mengkritiknya, bukan sebagai seorang yang mencari kesalahan-kesalahan; (3) ia tidak berwatak buruk terhadap gurunya dan tidak berniat untuk menyerangnya (4) ia bijaksana, cerdas, cerdik; (5) ia tidak membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

154 (4) Kemunduran Dhamma Sejati (1)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Di sini, para bhikkhu tidak dengan hormat mendengarkan Dhamma; (2) mereka tidak dengan hormat mempelajari Dhamma; (3) mereka tidak dengan hormat menghafalkan Dhamma dalam pikiran; (4) mereka tidak dengan hormat memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah mereka hafalkan dalam pikiran; (5) mereka tidak dengan hormat memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Di sini, para bhikkhu dengan hormat mendengarkan Dhamma; (2) mereka dengan hormat mempelajari Dhamma; (3) mereka dengan hormat menghafalkan Dhamma dalam pikiran; (4) mereka dengan hormat memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah mereka hafalkan dalam pikiran; (5) mereka dengan hormat memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma. Kelima hal ini mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

155 (5) Kemunduran Dhamma Sejati (2)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu tidak mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu tidak menyuruh orang-orang lain untuk mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, para bhikkhu tidak merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki dalam pikiran Dhamma seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke lima ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu menyuruh orang-orang lain untuk mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, para bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki dalam pikiran Dhamma seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke lima ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

156 (6) Kemunduran Dhamma Sejati (3)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini?<1151>

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan buruk, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan buruk. Ketika kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan buruk, maka maknanya menjadi diinterpretasikan dengan buruk. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka sulit dikoreksi. Mereka tidak sabar dan tidak menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. [179]

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli kerangka, tidak dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang-orang lain. Ketika mereka telah meninggal dunia, khotbah-khotbah itu terpotong di akarnya, dibiarkan tanpa ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu senior hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, terjadi perpecahan dalam Saṅgha, dan ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha maka terdapat saling menghina, saling mencaci, saling mencela, dan saling menolak. Kemudian mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan, sedangkan beberapa di antara mereka yang berkeyakinan menjadi berubah pikiran.<1152> Ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan baik, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan baik. Ketika kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan baik, maka maknanya menjadi diinterpretasikan dengan baik. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. [180]

(2) “Kemudian, para bhikkhu mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka mudah dikoreksi. Mereka sabar dan menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli kerangka, dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang-orang lain. Ketika mereka telah meninggal dunia, khotbah-khotbah itu tidak terpotong di akarnya, karena ada mereka yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan dan tidak menjadi mengendur, melainkan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, tidak hidup mewah dan dan tidak menjadi mengendur, melainkan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. . Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, Saṅgha berdiam dengan nyaman – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Ketika Saṅgha rukun, maka tidak ada saling menghina, tidak ada saling mencaci, tidak ada saling mencela, dan tidak ada saling menolak. Kemudian mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan menjadi meningkat [keyakinannya]. Ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.” [181]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #27 on: 12 March 2013, 02:31:59 AM »
157 (7) Khotbah yang Disampaikan Secara Keliru

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral.

(3) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar.

(4) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan [182] tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir.

(5) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

“Sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.

(3) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan [183] keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar.

(4) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.

(5) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”

158 (8 ) Ketakutan <1153>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu dikuasai oleh ketakutan. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tidak terpelajar, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu dikuasai oleh ketakutan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu menjadi percaya-diri. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, terpelajar, bersemangat, dan bijaksana. [184] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu menjadi percaya-diri.”

159 (9) Udāyī

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Pada saat itu Yang Mulia Udāyī, dengan dikelilingi oleh kumpulan besar umat awam, sedang duduk mengajarkan Dhamma.<1154> Yang Mulia Ānanda melihat hal ini dan mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Yang Mulia Udāyī, dengan dikelilingi oleh kumpulan besar umat awam, sedang mengajarkan Dhamma.”

“Tidaklah mudah, Ānanda, mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Seseorang yang mengajarkan Dhamma kepada orang lain pertama-tama harus menegakkan lima kualitas secara internal. Apakah lima ini? (1) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah bertingkat,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain.<1155> (2) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah dengan memperlihatkan alasan-alasan,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain.<1156> (3) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah demi simpati,’ ’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. (4) [Setelah memutuskan:] ‘Aku tidak akan memberikan khotbah dengan menghendaki perolehan materi,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. (5) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah tanpa membahayakan diriku atau orang lain,’ ’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Seseorang yang mengajarkan Dhamma kepada orang lain pertama-tama harus menegakkan kelima kualitas ini secara internal.”

160 (10) Sulit Dihilangkan

“Para bhikkhu, kelima hal ini, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Apakah lima ini? [185] Nafsu, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Kebencian … Delusi … Kearifan … Desakan untuk melakukan perjalanan, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Kelima hal ini, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #28 on: 12 March 2013, 02:32:26 AM »
II. KEKESALAN

161 (1) Pelenyapan Kekesalan (1)

“Para bhikkhu, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.<1157> Apakah lima ini? (1) Ia harus mengembangkan cinta-kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (2) Ia harus mengembangkan belas-kasihan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (3) Ia harus mengembangkan keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. [186] (4) Ia harus mengabaikan orang yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (5) Ia harus menerapkan gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya, ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk.’ Dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara itu ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

162 (2) Pelenyapan Kekesalan (2)

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Di sini, perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi perilaku ucapannya murni; seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (2) Perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni; seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (3) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran;<1158> seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (4) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan ia tidak mendapatkan [187] bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (5) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni, dan dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

(1) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmaninya tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni? Misalkan seorang bhikkhu pemakai jubah kain potongan melihat sepotong kain di tepi jalan. Ia akan menginjaknya dengan kaki kirinya, menghamparkannya dengan kaki kanannya, merobek bagian yang utuh, dan mengambilnya; demikian pula, ketika perilaku jasmani orang lain tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmaninya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(2) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni? Misalkan terdapat sebuah kolam yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan terjun ke dalam kolam, menyingkirkan ganggang dan tanaman air dengan tangannya, meminum air dengan menangkupkan tangannya, dan kemudian pergi; demikian pula, [188] ketika perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi perilaku jasmaninya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku ucapannya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(3) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan ada sedikit air dalam sebuah genangan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan berpikir: ‘Ada sedikit air dalam genangan ini. Jika aku mencoba untuk meminumnya dengan menangkupkan tanganku atau menggunakan wadah, maka aku akan mengacaukannya, mengganggunya, dan membuatnya tidak dapat diminum.  Biarlah aku merangkak dengan keempat tangan dan kaki, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi.’ Kemudian ia merangkak pada keempat tangan dan kakinya, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmani dan ucapannya, melainkan harus memperhatikan [189] bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(4) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan yang tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu? Misalkan seorang yang sakit, menderita, sakit parah sedang melakukan perjalan di sepanjang jalan raya, dan desa terakhir di belakangnya dan desa berikutnya di depannya keduanya berjauhan. Ia tidak akan memperoleh makanan dan obat-obatan yang sesuai atau perawat yang kompeten; ia tidak akan dapat [bertemu] kepala desa. Seorang lainnya yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya itu mungkin bertemu dengannya dan membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir: ‘Oh, semoga orang ini memperoleh makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan seorang perawat yang kompeten! Semoga ia dapat [bertemu] dengan kepala desa! Karena alasan apakah? Agar orang ini tidak menemui kemalangan dan bencana di sini.’ Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni, dan ia dari waktu ke waktu tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir, ‘Oh, semoga Yang Mulia ini meninggalkan perilaku buruk melalui jasmani dan mengembangkan perilaku baik melalui jasmani; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui ucapan dan mengembangkan perilaku baik melalui ucapan; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui pikiran dan mengembangkan perilaku baik melalui pikiran! Karena alasan apakah? Agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak akan terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan. [190]

(5) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih, manis, dan sejuk, bersih, dengan tepian yang landai, sebuah tempat yang menyenangkan di bawah keteduhan berbagai pepohonan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Setelah terjun ke dalam kolam itu, ia akan mandi dan minum, dan kemudian, setelah keluar dari sana, ia akan duduk atau berbaring di bawah keteduhan sebatang pohon di sana. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya, memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya, dan memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan. Teman-teman, melalui seseorang yang menginspirasi keyakinan dalam berbagai cara, maka pikiran memperoleh keyakinan.<1159>

“Ini, teman-teman, adalah kelima cara itu untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

163 (3) Diskusi

[Sutta ini identik dengan 5:65, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.] [191]

164 (4) Gaya Hidup

[Sutta ini identik dengan 5:66, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.]

165 (5) Mengajukan Pertanyaan

Yang Mulia Sāriputta … berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, siapa pun yang mengajukan pertanyaan kepada orang lain melakukannya untuk lima alasan atau salah satu di antaranya. Apakah lima ini? (1) Seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seseorang dengan keinginan jahat, didorong oleh keinginan, mengajukan pertanyaan kepada orang lain; [192] (3) seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain sebagai cara untuk mencemooh [orang lain]; (4) seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain karena ia ingin belajar; (5) atau seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain dengan pikiran: ‘Jika, ketika ia ditanya olehku, ia menjawab dengan benar, maka itu bagus; tetapi jika ia tidak menjawab dengan benar, maka aku akan memberikan penjelasan yang benar kepadanya.’ Teman-teman, siapa pun yang mengajukan pertanyaan kepada orang lain melakukannya untuk lima alasan atau salah satu di antaranya. Teman-teman, aku mengajukan pertanyaan kepada orang lain dengan pikiran: ‘Jika, ketika ia ditanya olehku, ia menjawab dengan benar, maka itu bagus; tetapi jika ia tidak menjawab dengan benar, maka aku akan memberikan penjelasan yang benar kepadanya.’”

166 (6) Lenyapnya

Yang Mulia Sāriputta … berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini. Tetapi jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan.<1160> Ada kemungkinan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya, [193] Yang Mulia Sāriputta berkata: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral … setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Yang Mulia Udāyī telah menolakku hingga ke tiga kali, dan tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengungkapkan persetujuannya denganku. Biarlah aku mendatangi Sang Bhagavā.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada para bhikkhu: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini. Tetapi jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Sāriputta berkata: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral … [194] … setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Bahkan ketika aku berada di hadapan Sang Bhagavā, Yang Mulia Udāyī menolakku hingga ke tiga kali, dan tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengungkapkan persetujuannya denganku. Biarlah aku berdiam diri.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, seperti apakah yang engkau pahami sehubungan dengan kelompok ciptaan-pikiran?”

“Bhante, itu adalah para deva yang tanpa bentuk, ciptaan-persepsi.”<1161>

“Apakah yang sedang engkau katakan, Udāyī, engkau yang dungu dan tidak kompeten? Tetapi engkau merasa bahwa engkau harus berbicara!”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, apakah engkau hanya melihat dengan pasif ketika seorang bhikkhu senior sedang diserang? Tidakkah engkau berbelas kasihan terhadap seorang bhikkhu senior ketika ia sedang diserang?”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. [195]

Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Upavāṇa dan berkata kepadanya: “Di sini, teman Upavāṇa, mereka sedang menyerang para bhikkhu senior lainnya, tetapi kami tidak mempertanyakan mereka.<1162> Tidak akan mengherankan jika malam ini, ketika Beliau keluar dari keterasingan, Sang Bhagavā akan memberikan pernyataan sehubungan dengan hal ini, dan Beliau akan memanggil Yang Mulia Upavāṇa sendiri [untuk memberikan pendapat].<1163> Tadi aku merasa takut.”

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Upavāṇa:

“Upavāṇa, berapa banyakkah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang bhikkhu senior agar disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan agar dihormati dan dihargai oleh mereka?”

“Dengan memiliki lima kualitas, Bhante, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Paṭimokkha … [seperti pada 5:134] … ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar … [seperti pada 5:134] … ia telah menembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka.” [196]

“Bagus, bagus, Upavāṇa! Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka. Tetapi jika kelima kualitas ini tidak ditemukan pada seorang bhikkhu senior, mengapakah teman-temannya para bhikkhu harus menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya?<1164> Karena giginya yang tanggal, rambutnya yang memutih, dan kulitanya yang keriput? Tetapi adalah karena kelima kualitas ini terdapat pada seorang bhikkhu senior, maka teman-temannya para bhikkhu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #29 on: 12 March 2013, 02:32:51 AM »
167 (7) Menegur

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: …

“Teman-teman, seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama harus menegakkan lima hal dalam dirinya. Apakah lima ini? (1) [Ia harus mempertimbangkan:] ‘Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; (2) aku akan berbicara dengan jujur, bukan dengan berbohong; (3) aku akan berbicara secara halus, bukan secara kasar; (4) aku akan berbicara dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; (5) aku akan berbicara dengan pikiran cinta-kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama harus menegakkan lima hal dalam dirinya.

“Di sini, teman-teman, aku melihat beberapa orang ditegur pada waktu yang tidak tepat, tidak diganggu<1165> pada waktu yang tepat; ditegur secara bohong, tidak diganggu secara jujur; ditegur secara kasar, tidak diganggu secara halus; ditegur dalam cara yang berbahaya, tidak diganggu dalam cara yang bermanfaat; ditegur oleh seseorang yang memendam kebencian, tidak diganggu oleh seseorang dengan pikiran cinta kasih.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau ditegur pada waktu yang tidak tepat, bukan [197] pada waktu yang tepat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (2) Engkau ditegur secara bohong, bukan secara jujur; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (3) Engkau ditegur secara kasar, bukan secara halus; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (4) Engkau ditegur dalam cara yang berbahaya, bukan dalam cara yang bermanfaat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau ditegur oleh seseorang yang memendam kebencian, bukan oleh seseorang dengan pikiran cinta-kasih; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal.’ Ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau menegurnya pada waktu yang tidak tepat, bukan pada waktu yang tepat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (2) Engkau menegurnya secara bohong, bukan secara jujur; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (3) Engkau menegurnya secara kasar, bukan secara halus; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (4) Engkau menegurnya dalam cara yang berbahaya, bukan dalam cara yang bermanfaat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (5) Engkau menegurnya selagi memendam kebencian, bukan dengan pikiran cinta-kasih; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal.’ Ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini. Karena alasan apakah? Agar bhikkhu lain tidak berpikir tentang teguran yang keliru.

“Di sini, teman-teman, aku melihat beberapa orang ditegur pada waktu yang tepat, tidak diganggu pada waktu yang tidak tepat; ditegur secara jujur, tidak diganggu secara bohong; ditegur secara halus, tidak diganggu secara kasar; ditegur dalam cara yang bermanfaat, tidak diganggu dalam cara yang berbahaya; ditegur oleh seseorang dengan pikiran cinta kasih, tidak diganggu oleh seseorang yang memendam kebencian.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau ditegur pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (2) Engkau ditegur secara jujur, bukan secara bohong; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (3) Engkau ditegur secara halus, bukan secara kasar; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (4) Engkau ditegur dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau ditegur oleh seseorang dengan pikiran cinta-kasih, bukan oleh seseorang yang memendam kebencian; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal.’ [198] Ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka ketidak-nyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau menegurnya pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (2) Engkau menegurnya secara jujur, bukan secara bohong; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (3) Engkau menegurnya secara halus, bukan secara kasar; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (4) Engkau menegurnya dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau menegurnya dengan pikiran cinta-kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini. Karena alasan apakah? Agar bhikkhu lain berpikir tentang teguran atas apa yang benar.

“Teman-teman, seseorang yang ditegur harus kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan ketidak-marahan. Jika orang lain menegurku – apakah pada waktu yang tepat atau pun pada waktu yang tidak tepat; apakah tentang apa yang benar atau pun tentang apa yang tidak benar; apakah secara halus atau pun secara kasar; apakah dalam cara yang bermanfaat atau pun dalam cara yang berbahaya; apakah dengan pikiran cinta-kasih atau pun selagi memendam kebencian – aku harus tetap kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan ketidak-marahan.

“Jika aku mengetahui: ‘Ada kualitas demikian padaku,’ maka aku memberitahunya: ‘Hal ini ada. Kualitas ini ada padaku.’ Jika aku mengetahui: : ‘Tidak ada kualitas demikian padaku,’ maka aku memberitahunya: ‘Hal ini tidak ada. Kualitas ini tidak ada padaku.’

[Sang Bhagavā berkata:] “Sāriputta, bahkan ketika engkau sedang berbicara kepada mereka seperti demikian, beberapa orang dungu di sini tidak dengan hormat menerima apa yang engkau katakan.”

“Ada, Bhante, orang-orang yang hampa dari keyakinan yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bukan [199] karena keyakinan melainkan menghendaki pencarian penghidupan; mereka licik, munafik, penipu, gelisah, sombong, tinggi hati, banyak berbicara, mengoceh tanpa arah dalam pembicaraan mereka, tidak menjaga pintu-pintu indria mereka, makan berlebihan, tidak menekuni keawasan, tidak mempedulikan kehidupan pertapaan, tidak menghormati latihan, hidup mewah dan mengendur, para pelopor dalam hal kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan, malas, hampa dari kegigihan, berpikiran kacau, tidak memiliki pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, tidak bijaksana, bodoh. Ketika aku berbicara kepada mereka seperti demikian, mereka tidak dengan hormat menerima apa yang aku katakan.

“Tetapi, Bhante, ada orang-orang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan penuh keyakinan, yang tidak licik, tidak munafik, bukan penipu, tidak gelisah, tidak sombong, tidak tinggi hati, tidak banyak berbicara, dan tidak mengoceh tanpa arah dalam pembicaraan mereka; yang menjaga pintu-pintu indria mereka; yang makan secukupnya, menekuni keawasan, menekuni kehidupan pertapaan, sangat menghormati latihan, tidak hidup mewah dan tidak mengendur; yang membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; yang bersemangat, teguh, penuh perhatian, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, bijaksana, cerdas. Ketika aku berbicara kepada mereka seperti demikian, mereka dengan hormat menerima apa yang aku katakan.”

“Sāriputta, biarkan saja orang-orang itu yang hampa dari keyakinan dan yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bukan karena keyakinan melainkan menghendaki pencarian penghidupan; yang licik … tidak bijaksana, bodoh. Tetapi, Sāriputta, engkau harus berbicara kepada anggota-anggota keluarga itu yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan penuh keyakinan yang tidak licik … yang bijaksana, cerdas. [200] Nasihatilah teman-temanmu para bhikkhu, Sāriputta! Ajarilah teman-temanmu para bhikkhu, Sāriputta, [dengan berpikir:] ‘Aku akan membuat teman-temanku para bhikkhu keluar dari apa yang bertentangan dengan Dhamma sejati dan akan mengokohkan mereka dalam Dhamma sejati.’ Demikianlah, Sāriputta, engkau harus berlatih.”

168 (8 ) Perilaku Bermoral

[Sutta ini identik dengan 5:24, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.] [201]

169 (9) Pemahaman Cepat

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Dengan cara bagaimanakah, teman Sāriputta, seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat, seorang yang menangkap dengan baik apa yang telah ia pelajari, banyak belajar, dan tidak melupakan apa yang telah ia pelajari?”

“Yang Mulia Ānanda adalah seorang terpelajar, maka biarlah ia sendiri yang menjelaskan hal ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Sāriputta, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu mahir dalam makna, mahir dalam Dhamma, mahir dalam bahasa, mahir dalam frasa, dan mahir dalam urutan.<1166> Dengan cara inilah, teman Sāriputtra, seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat, seorang yang menangkap dengan baik apa yang telah ia pelajari, banyak belajar, dan tidak melupakan apa yang telah ia pelajari.”

“Mengagumkan dan menakjubkan, teman, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Yang Mulia Ānanda! Kami menganggap Yang Mulia Ānanda adalah seorang yang memiliki kelima kualitas ini: ‘Yang Mulia Ānanda mahir dalam makna, mahir dalam Dhamma, mahir dalam bahasa, mahir dalam frasa, dan mahir dalam urutan.’” [202]

170 (10) Bhaddaji

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Bhaddaji mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya:

“Teman Bhaddaji, apakah yang terunggul di antara penglihatan-penglihatan? Apakah jenis pendengaran terunggul? Apakah kebahagiaan yang terunggul? Apakah persepsi terunggul? Apakah yang terunggul di antara penjelmaan-penjelmaan?”

“(1) Ada, teman, Brahmā, sang penakluk, yang tidak terkalahkan, yang maha melihat, maha kuasa. Dapat melihat Brahmā adalah penglihatan terunggul. (2) Ada para deva dengan cahaya gemerlap yang diliputi dan dibanjiri dengan kebahagiaan. Kadang-kadang mereka mengucapkan ucapan inspiratif: “Oh, sungguh bahagia! Oh, sungguh bahagia!’ dapat mendengar suara itu adalah jenis pendengaran terunggul. (3) Ada para deva dengan keagungan gemilang. Karena bahagia, mereka mengalami kebahagiaan yang sangat damai:<1167> ini adalah kebahagiaan terunggul. (4) Ada para deva dari landasan kekosongan: ini adalah persepsi terunggul. (5) Ada para deva dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah penjelmaan terunggul.”

“Apakah Yang Mulia Bhaddaji setuju dengan semua ini?”<1168>

“Yang Mulia Ānanda adalah seorang terpelajar, maka biarlah ia sendiri yang menjelaskan hal ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Bhaddaji, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Bhaddaji menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“(1) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang melihat sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi:<1169> ini adalah penglihatan terunggul. (2) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang mendengar sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah jenis pendengaran terunggul. (3) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang berbahagia yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah kebahagiaan terunggul. (4) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang mempersepsikan sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah persepsi terunggul. (5) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang menjelma yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah penjelmaan terunggul.” [203]