//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT  (Read 17369 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #45 on: 15 February 2013, 06:17:08 AM »
711 > Ini adalah pengorbanan Veda.

712 > Saya mengikuti Ce dan Be, yang menempatkan niraggaḷaṃ dalam pāda b dan memasukkan mahāyaññā dalam pāda c. Ee tidak mencantumkan mahāyaññā, tetapi dua paralel China memsukkan sebuah kata majemuk yang bersesuaian dengan kata ini: SĀ 89 (pada T IIc19) menuliskan (MANDARIN), secara lebih literal “pertemuan besar,” dan SĀ2 89 (pada T II 404b4) menuliskan (MANDARIN), di mana (MANDARIN) berarti “mengorbankan kepada para dewa atau leluhur.” Mp menjelaskan mahārambhā: “Dengan tugas-tugas besar, pekerjaan-pekerjaan besar; lebih jauh lagi, itu adalah ‘kekejaman besar’ karena banyaknya pembunuhan.”

713 > Tulisan dari kata yang rumit ini bervariasi di sana-sini dalam Nikāya-nikāya. Di sini, Ce menuliskan vivattacchaddā, Be vivaṭacchadā, Ee vivattacchadā. Ungkapan ini sering muncul dalam kalimat umum tentang dua perjalanan yang tersedia bagi seseorang yang memiliki tiga puluh dua tanda manusia luar biasa: jika ia menetap di rumah, maka ia akan menjadi raja pemutar-roda, tetapi jika ia meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi seorang Budha yang tercerahkan sempurna, yang digambarkan sebagai “seorang di dunia yang vivaṭacchado” (variasi: vivaṭṭacchado, vivaṭṭacchaddo, vivattachaddo). Baca misalnya DN 3.1.5, I 89,8-9; DN 14.1.31, II 16, 8-9; DN 30.1.1, III 142,4; MN 91.5, II 134,28; Sn 106. Walaupun asal-usul kata ini dan makna pastinya agak problematik, namun komentar-komentar secara konsisten menganalisis dan menjelaskannya dengan cara yang sama. Karena Mp (pada sutta sekarang ini) tidak memberikan penjelasan, maka saya mengutip komentar Dīgha Nikāya, Sv I 250,3: “Vivaṭṭacchado: Di sini, setelah menyingkap selubung di dunia ini (loke taṃ chadanaṃ vivaṭṭetvā), dalam kegelapan kekotoran yang tertutup oleh tujuh selubung (chadanehi): nafsu, kebencian, delusi, keangkuhan, pandangan, ketidak-tahuan, dan perbuatan buruk.”

Komentar kanonis kuno, Cūlaniddesa, dengan mengomentari Sn 1147, mengatakan: “Vivaṭacchado: ada lima selubung (chadanāni): ketagihan, pandangan, kekotoran, perbuatan buruk, ketidak-tahuan. Selubung-selubung itu telah disingkirkan (vivaṭāni) oleh Sang Buddha Yang Suci; selubung-selubung itu telah dihalau, dicabut, ditinggalkan, dilenyapkan, diusir, ditenangkan, dibakar oleh api pengetahuan sehingga tidak dapat muncul. Oleh karena itu Sang Buddha adalah seorang yang telah menyingkap selubung-selubung” (Nidd II 251,18-22; edisi VRI 204).

Norman (1991: 71-76) mengusulkan bahwa ungkapan Pāli itu harus diturunkan dari bentuk BHS vighuṣṭaśabda dan dengan demikian bermakna “seorang dengan kemasyhuran luas.” Dalam karya belakangan (2006b: 228-29) ia mengubah posisinya, dengan menyebutkan: “walaupun saya benar dalam melihat hubungan antara kata-kata Pāli dan Skt, namun arah pengembangannya terbalik, dan harus merepresentasikan Sanskritisasi berlebihan dari vivattacchadda.” Pada Sn 372 dan di tempat lain ia menerjemahkan ini “dengan kebohongan dilenyapkan.”

Para penerjemah Āgama dari China pasti telah bekerja dengan teks yang bertuliskan  vighuṣṭaśabda atau beberapa variasi dengan makna yang sama. Dengan demikian sebuah paralel dari 4:40, SĀ2 90 (pada T II 404c6) menuliskan (MANDARIN), “yang namanya terdengar hingga sangat jauh.” Paralel dari DN 30, MĀ 59 (pada T I 493b7-8), menuliskan: (MANDARIN); “Beliau pasti menjadi seorang Tathāgata, tidak melekat (=Arahant), tercerahkan sempurna, yang namanya menyebar dan terdengar di sepuluh penjuru.” MĀ 161, paralel dari MN 91, menuliskan yang sama pada T I 685b2-4. Walaupun berbagai dugaan dapat diusulkan sehubungan dengan ungkapan asli dan maknanya, karena sulitnya memecahkan pertanyaan ini melalui tradisi-tradisi tekstual Buddhis, maka jalan yang paling bijaksana yang memungkinkan bagi saya adalah menerjemahkan kata itu sesuai apa yang telah dilestarikan dan diinterpretasikan dalam tradisi Pāli.

714 > Tulisan di sini agak bervariasi. Ce dan Be menuliskan vītivattā kulaṃ gatiṃ, “yang telah melampaui keluarga dan takdir.” Ee menuliskan kata majemuk bahubbīhi, vītivattakālaṃgatī, dengan lebih banyak lagi variasi dalam catatan. Mp (Be) menuliskan kulaṃ gatiṃ dalam lema, tetapi Mp (Ce) menuliskan kālaṃ gatiṃ. Terjemahan saya mengikuti Ee. Perhatikan bahwa dalam 5:55, pada III 69,10, kālaṃ dan gatiṃ berdekatan persis, yang mendukung dugaan bahwa di sini juga kita seharusnya membaca kāla- / kālaṃ.

715 > Saya bersama dengan Be membaca yaññassa kovidā, tidak seperti Ce dan Ee puññassa kovidā, “terampil dalam jasa.” Mp (Be) dan Mp (Ce) menunjukkan perbedaan yang sama dalam lema dan kemasan. Dua paralel China bersesuaian dengan Be. SĀ 90 (pada T II 23a11) menuliskan (MANDARIN), “Sang Buddha yang terampil dalam pengorbanan,” dan SĀ2 90 (pada T II 404c8) (MANDARIN), “ini adalah pengorbanan yang baik dan jalan pengorbanan yang dipuji oleh para Buddha.”

716 > Pāli menuliskan atthi bhikkhave samādhibhavanā bhāvitā bahulīkatā diṭṭhadhammasukhavihārāya saṃvattati, lit. “ada, para bhikkhu, pengembangan konsentrasi yang, ketika dikembangkan dan dilatih, mengarah pada kediaman berbahagia dalam kehidupan ini.” Karena dalam Bahasa Inggris “ketika dikembangkan dan dilatih” akan menjadi pengulangan yang berlebihan, maka saya telah menghilangkannya agar lebih sesuai dengan gaya Bahasa Inggris yang wajar. Hal yang sama berlaku untuk masing-masing dari ketiga pengembangan konsentrasi lainnya.

717 > Jelas bahwa ini merujuk pada pencapaian jhāna-jhāna apakah oleh seorang yang tidak menggunakannya untuk mengembangkan pandangan terang, atau oleh seorang Arahant, yang memasuki jhāṅa-jhāna hanya untuk berdiam dengan nyaman. Di tempat lain jhāna-jhāna dikatakan mengarah pada hancurnya noda-noda. Ce menuliskan vuccati pada bagian ini tetapi tidak dalam kalimat-kalimat paralel dari tiga bagian selanjutnya. Ee melakukan sebaliknya, menghilangkan viccati di sini tetapi memasukkannya dalam ketiga bagian selanjutnya. Be menghilangkan viccati dalam seluruh empat bagian.

718 > Mp menjelaskan “pengetahuan dan penglihatan” dalam konteks ini sebagai mata dewa (dibbacakkhuñāṇadassanassa paṭilābhāya). Di tempat lain kata ini digunakan dengan makna pengetahuan pandangan terang atau bahkan pencerahan penuh.

719 > Yathā divā tathā rattiṃ, yathā rattiṃ tathā divā. Mp: “Seperti halnya ia memperhatikan persepsi cahaya di siang hari, demikian pula ia memperhatikannya di malam hari; dan demikian pula sebaliknya.”

720 > Mp: “Bagaimanakah perasaan-perasaan diketahui pada saat munculnya, dan seterusnya? Di sini, seorang bhikkhu memahami landasannya (vatthu, organ indria) dan objeknya (ārammaṇa). dengan memahami landasan dan objeknya, ia mengetahui: ‘Demikianlah perasaan-perasaan itu telah muncul; demikianlah berlangsungnya; demikianlah lenyapnya.’ Metode yang sama berlaku pada persepsi-persepsi dan pikiran-pikiran.

721 > Sn 1048, juga dikutip pada 3:33.

722 > Baca 3:67 dan p.1654, catatan 464.

723 > Juga terdapat pada SN 2:26, I 61-62.

724 > Daḷhadhammā. Akhiran –dhamma di sini adalah bentukan Pāli dari Skt dhamvan, “memiliki busur.” Karena itu kemasan oleh Mp: “Busur kokoh berarti memiliki busur dengan ukuran maksimum” (daḷhadhanu uttamappamāṇena dhanunā samannāgato).

725 > Dhanuggaho sikkhito katahattho katūpāsano. Mp menjelaskan dhanuggaho sebagai seorang guru memanah, sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan keahliannya. Baca juga p.1831, catatan 1935; baca juga CDB 393, catatan 181, dan CDB 819, cataatn 365.

726 > Mp: “Ajaran yang baik adalah tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan. Ajaran yang buruk adalah enam puluh dua pandangan spekulatif.”

727 > Sutta ini juga terdapat pada SN 21:7, II 280. Tidak ada skema empat yang terlihat, dan dengan demikian saya tidak dapat menentukan alasan untuk memasukkannya ke dalam Kelompok Empat.

728 > Saya bersama dengan Be dan Ee membaca nibhāsamānaṃ jananti, tidak seperti Ce na bhāsamānaṃ jānanti. Konteks ini jelas memerlukan yang pertama. Paralel China SĀ 1069 (pada T II 277c12) mendukung hal ini dengan (MANDARIN), “jika ia tidak membicarakan Dhamma.”

729 > Saññāvipallāso, cittavipallāso, diṭṭhivipallāsoi. Vipallāsa adalah bentuk vi + pari + āsa, “dibalikkan.” Kata-kata ini diperlakukan dalam hal meninggalkan dan tidak meninggalkan pada Paṭis II 80-81.

730 > Saya bersama dengan Ce dan Ee membaca dukkhe bhikkhave sukhan ti saññāvipallāso, tidak seperti Ee adukkhe bhikkhave dukkhan ti saññāvipallāso.

731 > Saya bersama dengan Ce dan Ee membaca micchādiṭṭhigatā, tidak seperti Be micchādiṭṭhihatā. Tetapi saya mengikuti pembagian syair dari Be bukan dari Ce.

732 > Mp mengemas mahikā sebagai himaṃ, “salju,” tetapi PED menawarkan “kabut, embun beku,” yang tampak lebih baik.

733 > Di antara keempat upakkilesa ini, meminum minuman keras oleh para bhikkhu dilarang dalam Pācittiya 51; hubungan seksual dalam Pārājika 1; menerima emas dan perak (serta media pertukaran uang lainnya) dalam Nissaggiya-pācittiya 18. berbagai jenis penghidupan salah dilarang untuk kaum monastik Buddhis diuraikan dalam DN 2.1.21-27, I 67-69. baca juga MN 117.29, III 75,11-14.

734 > Saya bersama dengan Be membaca asuddhā sarajā magā.

735 > Di sini, keempat arus jasa dijelaskan dalam hal empat barang kebutuhan: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mp jelas keliru dalam kata turunan sovaggika, dengan menurunkannya dari saṭṭhu aggānaṃ rūpādīnaṃ dāyakā. Kata ini seharusnya diturunkan dari saga (Skt svarga), alam surga. Tetapi Mp pada 4:61 memberikan turunan yang benar, baca p.1691, catatan 746.

736 > Appamāṇaṃ cetosamādhiṃ. Mp: “Konsentrasi buah Kearahattaan” (arahattaphalasamādhi).

737 > Juga terdapat pada SN 55:31, V 391, tanpa syair, dan pada SN 55:41, V 399-400, dengan syair yang sama seperti 4:51.

738 > Syair-syair ini juga terdapat pada SN 11:14, I 232; SN 55:26, V 384; dan SN 55:51, V 405.

739 > Chava, lit. mayat. Mp: “Orang demikian disebut mayat karena ia mati karena kematian kualitas-kualitas bermoralnya.”

740 > Tentang Nakulapitā dan Nakulamātā, baca 1:257, 1:266, 6:16.

741 > Pada 1:263 ia dinyatakan sebagai yang terunggul di antara para pemberi yang memberikan benda-benda yang baik.

742 > Mp mengidentifikasikan “para pengenal dunia” (lokavidhūna) sebagai para Buddha.

743 > Ee agak menyesatkan di sini. Pertama, Ee memotong secara keliru, dan kemudian menambahkan paccupaṭṭhito hoti di akhir. Pemotongan dalam Ce dan Be menunjukkan bahwa objek tidak langsung (benda yang diberikan) didahului oleh paccupaṭṭhito, dan keduanya tidak mencantumkan paccupaṭṭhito di akhir. Dengan demikian dalam Ce dan Be tidak ada frasa terpisah yang menunjukkan bahwa umat awam hanya sekedar melayani Saṅgha tanpa menyebutkan barang yang sedang dipersembahkan.

744 > Saha ñātīhi saha upajjhāyehi. Dalam budaya monastik Buddhis, seorang upajjhāya seorang bhikkhu senior yang memimpin upacar penahbisan seseorang. Demikianlah penggunaan kata itu di sini, dalam konteks non-monastik, hal ini tidak lazim. Mp menjelaskan kata ini dalam paragraf ini seolah-olah bermakna teman-teman, “karena teman-teman harus mempedulikan kebahagiaan dan penderitaan seseorang (sukhadukkhesu upanijjhāyitabbattā),” tetapi penjelasan ini bergantung pada permainan kata yang tidak meyakinkan. Upajjhāya tidak berhubungan dengan kata kerja upanijjhāyati (Skt upanidhyāyati), “memikirkan, mempertimbangkan,” melainkan dengan kata ajjheti (Skt adhyeti), “mempelajari, belajar dari (seorang guru).”

745 > Ce dan Ee āpāthadaso; Be āpātadaso. Mp (Ce): “Ia melihat apa pun yang masuk dalam jangkauan, bahkan sebuah materi kecil yang masuk dalam jangkauan” (taṃ taṃ atthaṃ āpātheti tameva passati, sukhumampussa atthajātaṃ āpāthaṃ āgacchatiyevā ti attho).

746 > Di sini Mp mengoreksi turunan sovaggika dari saga: Saggassa hitā ti tatr’upapattijananato sovaggikā.

747 > Saya membagi syair ini dan syair berikutnya sesuai dengan syair-syair yang bersesuaian pada 5:51. karena Ce disunting oleh beberapa penyunting yang jelas tidak saling bekerja sama, syair-syair yang sama dalam jilid berbeda kadang-kadang dibagi  secara berbeda. Pembagian yang digunakan dalam 5:51, yang mengelompokkan beberapa penerapan kekayaan, tampaknya sesuai dengan makna yang lebih baik.

748 > Dalam Pāli: atthisukha, bhogasukha, anaṇasukha, anavajjasukha. Mp: “Pertama adalah kebahagiaan yang muncul dalam pikiran, ‘Ada (atthi, yaitu, kekayaan)’; kedua adalah kekayaan yang muncul pada seseorang yang menikmati kekayaan; ke tiga adalah kekayaan yang muncul dalam pikiran, ‘aku tanpa hutang,’; ke empat adalah kebahagiaan yang muncul dalam pikiran, ‘aku tanpa cacat, tanpa cela.’”

749 > Bersama dengan Ce dan Ee membaca sare, bukan seperti Be paraṃ.

750 > Bersama dengan Ce dan Ee membaca bhāge, bukan seperti Be bhoge.

751 > Mp: “Beliau membagi jenis-jenis kebahagiaan dalam dua bagian. Tiga jenis pertama membentuk bagian pertama, kebahagiaan ketanpa-celaan adalah satu bagian tersendiri. Kemudian ia melihat dengan kebijaksanaan dan mengetahui bahwa ketiga jenis kebahagiaan pertama secara keseluruhan adalah tidak ada seper enam belas bagian dari kebahagiaan ketanpa-celaan.”

752 > Satu paralel yang diperluas dari 3:31. paralel lainnya adalah It 106, 609-11.

753 > Nomor sutta yang terpisah tidak terdapat dalam Ee, yang memberikan kesan bahwa sutta ini adalah lanjutan dari sutta sebelumnya.

754 > Yang pertama, tampaknya, adalah mereka yang berkeyakinan pada seorang guru spiritual karena bentuk fisiknya (rūpa) yang mengesankan, yaitu, kecantikannya. Yang ke dua adalah mereka yang berkeyakinan dengan berdasarkan pada ucapan yang mengesankan (ghosa, mungkin “suara,” suara yang merdu dan menenangkan); yang ke tiga, mereka yang berkeyakinan dengan berdasarkan pada latihan keras sang guru (lūkha; Mp memberikan contoh menggunakan jubah kasar dan mangkuk kasar); dan yang ke empat, mereka yang berkeyakinan pada sang guru karena ajarannya (dhamma). Mp mengatakan bahwa satu dari 100,000 orang mendasarkan keyakinan mereka pada ajaran sang guru.

755 > Bersama dengan Be membaca nābhijānanti te janā.

756 > Bersama dengan Ce membaca mohena adhammā sattā, tidak seperti Be mohena āvutā sattā. Ee mohena adhamasatta adalah bermakna sama dengan Ce.

757 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca kuplet ke dua yathādhammā tathāsantā na tass’evan ti maññare. Ce membaca pāda d: nassevanti na maññare. Mp: “Sesuai dengan sifat mereka: Mereka yang memiliki sifat di mana kualitas-kualitas seperti nafsu, dan seterusnya, masih ada; setelah memiliki sifat demikian. [Mereka] tidak berpikir demikian: Mereka tidak berpikir sebagai berikut: ‘Kami eksis dengan cara demikian, kami memiliki sifat demikian’” (yathādhammā tathāsantā ti yathā rāgādayo dhammā ṭhita, tathā sabhāvā’va hutvā; na tass’evan ti maññare ti mayaṃ evaṃsantā evaṃsabhāvā ti tassa na maññāre, na maññantī ti attho[/i]).

758 > Kejadian ini juga tercatat dalam Vin II 109-10.

759 > Imāni cattāri ahirājakulāni. Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan [ular-ular] itu yang gigitannya berbisa. Karena semua ular berbisa termasuk dalam empat keluarga kerajaan ular ini.”

760 > Be menyusun pernyataan ini dalam bentuk syair, tetapi saya mengikuti Ce dan Ee dengan menganggapnya sebagai prosa. Ini adalah pernyataan kebenaran (saccakiriya) dan, karena itu, menjadi bagian dari syair-syair, tetapi karena tidak ada irama yang terlihat, maka ini tidak menyerupai syair yang sesungguhnya. Pernyataan ini biasanya diucapkan oleh para bhikkhu hutan sebagai perlindungan dari gigitan ular. Syair ini sering dimasukkan dalam pembacaan harian mereka.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #46 on: 15 February 2013, 06:18:07 AM »
761 > Sutta ini, termasuk syairnya, juga terdapat pada SN 17:35, II 241, dengan tambahan khotbah tentang bahaya dari perolehan, kehormatan, dan pujian. Baca juga Vin II 187-88.

762 > Saya tidak dengan jelas melihat alasan untuk memasukkan sutta ini dalam Kelompok Empat. Saya hanya dapat menduga bahwa penjelasannya terletak dalam kelompok empat orang yang menyimpang dari kebaikan: raja-raja, pejabat kerajaan, para brahmana dan perumah tangga, dan para penduduk pemukiman dan pedalaman. Tetapi hal ini meniadakan fenomena-fenomena alam, yang seharusnya juga termasuk.

763 > Adhammikā honti. Mp: “Tanpa melakukan sepuluh pengorbanan yang ditetapkan oleh raja-raja masa lampau, dan tanpa menjatuhkan hukuman yang sesuai atas tindak kriminal, mereka melakukan pengorbanan yang berlebihan dan menjatuhkan hukuman yang berlebihan.” Sepuluh pengorbanan (dasabhāgabali) hanya disebutkan di sini.

764 > Untuk mendukung terjemahan saya atas brāhmaṇagahapatikā sebagai sebuah kata majemuk dvanda bukan sebagai sebuah kammadhāraya, “brahmana perumah tangga,” baca It-a II 162,7-9: Brāhmaṇagahapatikā ti brāhmaṇā c’eva gahapatikā ca Ṭhapetvā brāhmaṇe ye keci agāraṃ ajjhāvasantā idha gahapatikā ti veditabbā.

765 > Penghilangan dubbalā dalam edisi VRI tampaknya adalah kekeliruan. Edisi-edisi lainnya, termasuk versi cetakan Be, mencantunkan kata ini.

766 > Baca 3:16.

767 > Pandangan benar (sammādiṭṭhi) adalah faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, dan ketiga jenis pikiran bermanfaat secara kolektif adalah kehendak benar (sammāsaṅkappa), faktor ke dua dari sang jalan.

768 > Ee memperlakukan bagian ini sebagai awal dari sutta baru, bernomor 4:74, sedangkan Ce dan Be menganggap ini adalah bagian dari 4:73. Mp mendukung Ce dan Be, dengan menyebutkan bahwa perumpamaan ini ditampilkan untuk memberikan contoh atas orang dengan karakter buruk.

769 > Ee memperlakukan 4:74 dan 4:75 sebagai satu sutta tersendiri, tidak seperti Ce dan Be, yang menganggapnya berbeda.

770 > Apa yang tercatat dari titik ini juga terdapat dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.6.5, II 54-55.

771 > Acinteyyāni. Mp hanya mengatakan “tdak selayaknya dipikirkan” (cintetuṃ ayuttāni).

772 > Mp menjelaskan sebagai berikut: “Jangkauan para Buddha (buddhavisaya) adalah prosedur dan kekuatan spiritual (pavatti ca ānubhāvo ca) dari kualitas-kualitas Sang Buddha seperti pengetahuan kemaha-tahuan dan seterusnya. Jangkauan seseorang dalam jhāna (jhānavisaya) adalah pengetahuan-pengetahuan langsung dan jhāna-jhāna. Akibat kamma (kammavipāka) adalah akibat kamma yang harus dialami dalam kehidupan ini dan seterusnya. Spekulasi tentang dunia (lokacintā) adalah spekulasi-spekulasi duniawi seperti : ‘Siapakah yang menciptakan matahari dan rembulan? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapa yang menciptakan makhluk-makhluk hidup? Siapakah yang menciptakan gunung, mangga, lontar, and kelapa?’”

773 > Juga terdapat pada MN 142.9, III 256-57.

774 > Mp: “Mereka tidak duduk di dalam dewan (n’eva sabhāyaṃ nisīdati) dalam aula persidangan dengan tujuan untuk memberikan penilaian. Mereka tidak melakukan bisnis (na kammantaṃ payojeti), dalam pekerjaan-pekerjaan besar seperti pertanian, perdagangan, dan sebagainya. Mereka tidak pergi ke Kamboja (na kambojaṃ gacchati): mereka tidak pergi ke negeri Kamboja dengan tujuan untuk membawa barang-barang. Ini hanyalah judul. Maknanya adalah bahwa mereka tidak pergi ke negeri-negeri jauh.”

775 > Sutta ini, serta perumpamaan-perumpamaan dan syair-syairnya, terdapat pada SN 3:21, I 93-96; baca juga Pp. 51-52. Mp: “Seorang yang dalam gelap (tamo) karena ia memasuki kegelapan karena terlahi kembali di keluarga rendah, dan seorang yang mengarah menuju gelap (tamoparāyaṇa) karena ia mendatangi gelap neraka melalui perbuatan buruk jasmani, dan seterusnya. Seorang yang dalam terang (joti) karena ia memasuki terang karena terlahi kembali di keluarga tinggi, dan seorang yang mengarah menuju terang (jotiparāyaṇa) karena ia mendatangi terang surga melalui perbuatan baik jasmani, dan seterusnya.

776 > Baca 3:13. Bersama dengan Ce dan Be saya membaca veṇakule vā nesādakule, tidak seperti Ee nesādakule vā veṇakule.

777 > Ce mendefinsiikan keempat jenis ini persis sama dengan penjelasan pada 4:85. Akan tetapi Be dan Ee tidak memberikan penjelasan, hanya memberikan judul.

778 > Mp memecah samaṇamacalo menjadi samaṇa-acalo, dengan –m- menjadi konsonan penghubung. Mp mengeidentifikasikan sosok ini sebagai tujuh jenis individu yang masih berlatih (sattavidhampi sekhaṃ dasseti). Tentang kedua jenis petapa berikutnya, Mp mengatakan: “Petapa teratai putih samaṇapuṇḍarīka) adalah seorang petapa yang menyerupai teratai putih (puṇḍarīka), yang memiliki kurang dari seratus kelopak. Dengan ini Beliau menunjukkan Arahant dengan pandangan terang kering (sukkhavipassakakkhīṇāsavaṃ dasseti), disebut petapa teratai putih, karena kualitas-kualitasnya tidak lengkap, yaitu ia tidak memiliki jhāna-jhāna dan pengetahuan-pengetahuan langsung. Petapa teratai merah (samaṇapaduma) adalah petapa yang menyerupai teratai merah (paduma), yang memiliki lengkap seratus kelopak. Dengan ini Beliau menunjukkn Arahany yang terbebaskan dalam kedua cara (ubhatobhāgavimuttaṃ khīṇāsavaṃ dasseti), disebut petapa teratai merah, karena kualitas-kualitasnya lengkap, yaitu ia memiliki jhāna-jhāna dan pengetahuan-pengetahuan langsung.” Tentang warna-warna kedua jenis bunga teratai ini, puṇḍarīka dan paduma, baca p. 1642, catatan 389. “petapa lembut di antara para petapa” (samaṇesu samaṇasūkhumālo) adalah “seorang dengan pikiran dan jasmani yang lunak, yang mengalami kenikmatan yang luar biasa, bebas dari kesakitan jasmani dan pikiran” (muducittasarīro kāyikacetasikadukkharahito ekantasuki,)

779 > Mp: ”Macalappato ti rañño khattiyassa muddhāvasittassa puttabhāvena ceva puttesu jeṭṭhakabhāvena ca na tāva abhisittabhāvena ca abhisekappatti-atthāya acalappatto niccalapatto[/i].” Intinya adalah bahwa putera tertua dikatakan telah “mencapai kondisi yang tak tergoyahkan” karena ia pasti menjadi raja yang sah. Baca juga p.1636, catatan 345.

780 > Anuttaraṃ yogakkhemaṃ patthayamāno viharati. Mp: “Ia berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai Kearahattaan.”

781 > Berlawanan dengan Mp, definisi petapa teratai putih di sini bermakna ganda; karena ungkapan: “ia belum berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya” (noca kho aṭṭha vimokkhe kāyena phusitvā viharati) dapat bermakna: (1) bahwa ia tidak mencapai satu pun dari delapan kebebasan, yang dapat membuatnya mnjadi seorang Arahant dengan pandangan terang kering (seperti yang dinyatakan oleh Mp); atau (2) bahwa ia mencapai beberapa dari delapan kebebasan tetapi tidak seluruhnya, mungkin tiga kebebasan yang berdasarkan pada bentuk tetapi bukan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk dan pencapaian lenyapnya. Dalam kasus demikian, sang meditator harus selaras dengan definisi Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutta) yang dikatakan bahwa ia telah melenyapkan noda-noda tetapi tidak mencapai pencapaian-pencapaian tanpa bentuk yang damai (MN 70.16, I 477,33-478,1). Para komentator berpendapat bahwa Arahant paññāvimutta hanya dapat memiliki beberapa tingkat jhāna atau tanpa jhāna sama sekali; hanya yang belakangan yang disebut Arahant dengan pandangan terang kering. Arahant dengan pandangan terang kering (sukhavipassakakhīṇāsava) tidak secara eksplisit disebutkan demikian dala Nikāya-nikāya melainkan pertama kali dikenal dalam komentar-komentar. Bagaimana pun juga, perbedaan definisi antara Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dan Arahant teratai putih menyiratkan bahwa pada titik tertentu suatu pergeseran telah terjadi dalam skala pencapaian-pencapaian meditative yang diharapkan dari seorang Arahant. Sedangkan Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan hanya tidak memiliki pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, Arahant teratai putih, pada interpretasi yang diberikan oleh para komentator, juga tidak memiliki jhāna-jhāna.

Delapan kebebasan (aṭṭha vimokkhā), yang didefinisikan pada 8:66, tidak persis identik dengan empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk. Tampaknya ketiga kebebasan pertama bersesuaian dengan empat jhāna tetapi berbeda dalam hal objek dan faktor-faktor pikiran.

782 > Sekali lagi, terdapat makna ganda dalam definisi petapa teratai merah. Untuk memenuhi syarat demikian, apakah seseorang harus memiliki seluruh delapan kebebasan atau cukup dengan memiliki beberapa? Menurut penjelasan komentar, yang membandingkan petapa teratai merah dengan teratai dengan seratus kelopak lengkap, tampkanya bahwa seseorang harus memiliki seluruh delapan kebebasan. Tetapi definsii komentar atas Arahant ubhatobhāgavimutta memperbolehkan seseorang yang memiliki salah satu pencapaian tanpa bentuk dapat dianggap sebagai “seorang yang terbebaskan dalam kedua cara.” Ini, juga, mungkin merepresentasikan penurunan kriteria yang lebih ketat yang membatasi sebutan pada seorang Arahant yang memiliki seluruh delapan kebebasan.

783 > Secara lebih literal, “jubah yang ia gunakan biasanya adalah jubah yang diminta agar diterima, jarang menggunakan jubah yang tidak diminta agar diterima.” Dan seterusnya untuk ketiga barang kebutuhan lainnya.

784 > Dalam mengomentari sannipātikāni, Mp-ṭ mengatakan “dihasilkan oleh kombinasi ketiga –empedu dan seterusnya – yang tidak seimbang” (pittādīnaṃ tiṇṇampi visamānaṃ sannipātena jātanī). Spk III 81,22-23, mengomentari kata yang sama pada SN IV 230,29 mengatakan “berasal dari gangguan ketiga, empedu dan seterusnya” (tiṇṇampi pittādīnaṃ kopena samuṭṭhitāni).

785 > Delapan penyebab perasaan juga terdapat pada SN 36:21, IV 230-31.

786 > Mp mengatakan bahwa bagian pertama menjelaskan ketujuh jenis individu yang masih berlatih; yang ke dua menjelaskan Arahant pandangan terang kering; yang ke tiga menjelaskan  Arahant yang terbebaskan dalam kedua cara; dan yang ke empat menjelaskan Sang Tathāgata dan Arahant yang menyerupai Sang Tathāgata.

787 > Mp: “Ketenangan pikiran internal (ajjhattaṃ cetosamatha) adalah konsentrasi pikiran internal pada tingkat absorpsi (nikayajjhatte appanācittasamādhi). Kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena (adhipaññādhammavipassanāi) adalah pengetahuan pandangan terang yang memahami fenomena-fenomena terkondisi (saṅkhārapariggāhakavipassanāñāṇa. ini adalah kebijaksanaan yang lebih tinggi yng merupakan pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan.”

788 > Mp: “Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat sebagai tidak kekal, diperiksa sebagai tidak kekal, dan dilihat melalui pandangan terang sebagai tidak kekal; and demikian pula sebagai penderitaan dan tanpa-diri.”

789 > Mp: “Pikiran harus dikokohkan, ditenangkan, dipersatukan, dan dikonsentrasikan, melalui jhāna pertama; dan demikian pula untuk jhāna ke dua dan jhāna-jhāna lebih tinggi.”

790 > Ia mengulangi seluruh empat jenis, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha di bawah. Saya telah menghilangkan bagian pengulangan.

791 > Abhikkantā h’esā potaliya yadidaṃ tattha tattha kālaññutā. Mp: “Adalah sifat para bijaksana, ketika mereka mengetahui waktu yang tepat, maka mereka mencela seseorang yang layak dicela dan memuji seseorang yang layak dipuji.”

792 > Ini adalah sembilan pengelompokan ajaran Sang Buddha. Baca p.1678, catatan 631.

793 > Ee mengakhiri 4:104 di sini, menganggap hingga sejauh ini sebagai sutta yang lengkap, dan kemudian mengulangi kaliman-kalimat ini sebagai pembuka pada 4:105, diikuti dengan penjelasan. Dengan demikian 4:105 pada Ee adalah identik dengan 4:104 pada versi saya. Ee membaca syair uddāna untuk menunjukkan ada dua sutta “kolam air”, tetapi naskah hanya mencantumkn satu. Dalam syair dve honti dapat dibaca baik sebagai udakarahadā atau sebagai ambāni. Ce dan Be, yang saya ikuti, memilih yang belakangan dan dengan demikian hanya mencantumkan satu sutta “kolam air”, yaitu 4:104, dengan 4:106 dibiarkan kosong.

794 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca kiṃ nu, bukan seperti Ee kathan nu.

795 > Pahitatto kāyena c’eva paramasaccaṃ sacchikaroti, paññāya ca ativijjha passati. Mp menjelaskan “tubuh” sebagai tubuh batin (nāmakāyena), kebenaran tertinggi sebagai nibbāna, dan kebijaksanaan sebagai kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang.

796 > Kata Pāli thāna dapat berarti tempat, kemungkinan, kesempatan, situasi, sebab, kasus, dan sebagainya. Mp mengemasnya sebagai kāraṇa. Untuk menyampaikan makna yang tepat, di sini saya menerjemahkannya kadang-kadang sebagai “kasus perbuatan” dan kadang-kadang hanya sebagai “perbuatan.”

797 > So na bhāyati samparāyikassa maraṇassa. Mp: “Para Arahant tidak takut pada kematian apakah di masa depan maupun di masa sekarang. Sesungguhnya mereka sendirian di sini. Akan tetapi, beberapa orang mengatakan bahwa karena pernyataan, ‘kembangkanlah pandangan benar,’ maka yang dimaksudkan adalah semua para mulia dari pemasuk-arus.” Saya tidak yakin bahwa samparāyikassa maraṇassa bermakna kematian di masa depan. Seperti yang dipahami secara implicit oleh Mp. Saya menganggapnya hanya sebagai bermakna “kematian di masa depan,” dengan merujuk terutama pada masa depan seseorang dalam kehidupan ini.

798 > Attarūpena, Mp mengemas: “Apa yang selaras dengan diri sendiri, apa yang cocok, bermakna seseorang yang meginginkan kesejahteraannya” (attano anurūpena anucchavikena hitakāmenā ti attho).

799 > Kita menemukan tiga jenis kemabukan (mada) pada 3:39: dengan kemudaan, kesehatan, dan kehidupan. Vibh 345 (Be §§843-45) menghubungkan mada dengan māna, yang bermakna keangkuhan, dan unnati, yang bermakna kemajuan diri sendiri.

800 > Na ca pana samaṇavacanahetupi gacchati Mp: “Ia tidak terombang-ambing oleh kata-kata para petapa yang menganut doktrin lain untuk meinggalkan pandangannya sendiri dan menganut pandangan mereka. Di sini juga yang dimaksudkan adalah para Arahant.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #47 on: 15 February 2013, 06:19:44 AM »
801 > Juga terdapat dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.5.8, II 140-41. Kata itu di sini diterjemahkan “menginspirasi,” saṃvejanīya, dikemas oleh Mp sebagai saṃvegajanaka. Dalam konteks ini, terjemahan “menginspirasi rasa keterdesakan” tidak cocok. Melainkan, makna yang dimaksudkan adalah yang menginspirasi keyakinan dan pengabdian.

802 > Empat tempat, berturut-turut, adalah: Lumbini, Bodhgaya, Isipatana (Sarnath), dan Kusinārā.

803 > Bagian selanjutya juga terdapat pada 2:1.

804 > Bagian selnjutnya paralel dengan paragraf tentang “cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang” dalam 2:1, tetapi menjelaskan hanya sebagai “kibat buruk” (pāpako vipāko) di mana 2:1 mencantumkan “akibat yang buruk dan menyakitkan” (pāpako dukkho vipāko). Karena 2:1 juga tidak mencantumkan dukkho, maka adalah mungkin dukkho adalah berasal dari kemasan komentator atas pāpako yang menyusup ke dalam teks 2:1 itu sendiri.

805 > Mp: “Di antara bahaya-bahaya ini, (1) bagi seseorang yang merenungkan bahaya mencela diri sendiri, suatu rasa malu bermoral muncul dalam pikiran. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi. (2) bagi seseorang yang merenungkan bahaya dicela oleh orang lain, rasa takut bermoral muncul sehubungan dengan hal-hal eksternal. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi.(4) bagi seseorang yang merenungkan bahaya takdir yang buruk, rasa malu bermoral muncul sehubungan dengan hal-hal eksternal. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi.” Kasus ke tiga tidak secara langsung mengarah menuju buah tertinggi melainkan hanya penghindaran dari pelanggaran lima sila.

806 > Juga terdapat pada MN 67.14-20, I 459-62.

807 > Pāli mengenali dua kelompok makanan: khādanīya dan bhojanīya. Bhojanīya terdiri dari nasi, bubur,  biji-bijian lainnya, ikan, dan daging; sedangkan khādanīya terdiri dari semua makanan lainnya. Karena itu, bersesuaian dengan kedua jenis makanan ini, kedua kata digunakan di sini untuk menyebutkan apa yang boleh dimakan: khāditabba dan bhunjitabba, yang saya terjemahkan berturut-turut sebagai “yang boleh dikonsumsi” dan “yang boleh dimakan.”

808 > Mp: “Jhāna pertama dapat berupa tingkat rendah, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Bagi makhluk-makhluk yang terlahir kembali melalui tingkat rendah, umur kehidupannya adalah sepertiga lappa; bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat menengah, umur kehidupannya adalah setengah kappa; bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat tinggi, umur kehidupannya adalah satu kappa. Ini dikatakan sehubungan dengan yang terakhir.” Untuk penjelasan tentang umur kehidupan di berbagai alam menurut model Theravāda yang berkembang, baca Vibh 422-26 (Be §§1022-28); CMA 196-99.

809 > Mp: “Ia ‘pergi ke neraka’ dalam beberapa kehidupan setelahnya, selama ia belum meninggalkan kamma yang mengarahkannya menuju neraka; bukan dalam makna bahwa ia pergi ke sana segera dalam kehidupan berikutnya.” Menurut Abhidhanna, seseorang yang meninggal dunia dari alam berbentuk, tidak seketika terlahir kembali dalam salah satu alam rendah; baca CMA 226-27.

810 > Tasmiṃyeva bhave parinibbāyati. Mp: “Ia mencapai nibbāna akhir selagi masih berada dalam kehidupan di alam berbentuk yang sama itu; ia tidak turun ke alam rendah.”

811 > Baca pp.1671-72, catatan 581.

812 > Para deva dengan cahaya gemerlap (devā ābhassarā) adalah kelompok deva tertinggi yang berhubungan dengan jhāna ke dua. Mp: “Jhāna ke dua terdiri dari tiga tingkay, seperti disebutkan di atas [untuk jhāna pertama]. Bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat tinggi, umur kehidupannya adalah delapan kappa; tingkat menengah, empat kappa; dan tingkat rendah, dua kappa. Teks ini merujuk pada yang terakhir.”

813 > Para deva dengan keagungan gemilang (devā subhakiṇhā) adalah kelompok deva tertinggi yang berhubungan dengan jhāna ke tiga. Menurut sistem Abhidhamma, umur kehidupan di tiga alam yang berhubungan dengan jhāna ke tiga berturut-turut adalah enam belas, tiga puluh dua, dan enam puluh empat kappa. Karena ini bertentangan dengan sutta, maka Mp menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah alam terendah di antara alam-alam itu yang dicapai dengan kelahiran kembali melalui pencapaian jhāna ke tiga. Akan tetapi, menurut Mp, para deva dengan keagungan gemilang sebenarnya adalah yang tertinggi di antara alam-alam ini. Dengan demikian tampaknya ada perbedaan antara sutta dan penentuan sistematis Theravāda sehubungan dengan umur kehidupan.

814 > Ini aadlah devā vehapphalā, satu-satunya alam kelahiran kembali yang bersesuaian dengan jhāna ke empat lokiya. Angka ini sesuai dengan ketentuan Abhidhamma.

815 > Te dhamme aniccato dukkhato rogato gaṇḍato sallato aghato ābāhato parato palokato suññato anattato samanupassati. Mp: “Di antara sebelas kata ini, dua – tidak kekal dan kehancuran – menyiratkan karakteristik ketidak-kekalan. Dua – kosong dan tanpa-diri – menyiratkan karakteristik tanpa-diri. Yang lainnya menyiratkan karakteristik penderitaan. Dengan menghubungkan ketiga karakteristik dengan kelima kelompok unsur kehidupan dan melihatnya demikian, ia mencapai tiga jalan dan buah. Setelah mengembangkan jhāna ke empat, kokoh di dalamnya, ‘ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni.’”

816 > Alam murni (suddhāvāsā) adalah lima alam kehidupan dalam alam berbentuk di alam mana para yang-tidak-kembali dapat terlahir kembali. Para yang-tidak-kembali mencapai Kearahattaan di sana tanpa perneh kembali ke alam yang lebih rendah. Baca CMA 192-93.

817 > Dalam sutta ini, cinta kasih dihubungkan dengan jhāṅa pertama, belas kasihan dengan jhāṅa ke dua, kegembiraan altruistik dengan jhāna ke tiga, dan keseimbangan dengan jhāna ke empat. Akan tetapi, menurut sistem Theravāda yang berkembang, masing-masing dari tiga meditasi tanpa batas yang pertama dapat mengarah pada seluruh tiga jhāna, kecuali yang ke empat; hanya keseimbangan tanpa batas yang dapat mengarah pada jhāna ke empat. Baca Vism 322,5-12, Ppn 9.111.

818 > Untuk berbagai keajaiban yang terjadi pada saat konsepsi dan kelahiran Sang Bodhisatta, baca juga MN 123.

819 > Mp: “Di antara setiap tiga sistem dunia terdapat satu dunia antara, yang seperti ruang di tengah-tengah tiga roda kereta atau kelopak yang diletakkan saling bersentuhan satu sama lain. Neraka dunia antara ini (lokantarikanirayo) berukuran delapan ribu yojana.”

820 > Mp: “Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana: Melalui kamma apakah yang telah dilakukan oleh makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana di neraka dunia antara? Mereka muncul di sana karena mereka telah melakukan kejahatan mengerikan terhadap orang tua mereka dan terhadap para petapa dan brahnmana baik, dank arena perbuatan-perbuatan jahat lainnya seperti membunuh makhluk-makhluk hidup setiap hari … tubuh mereka berukuran tiga gāvuta (kira-kira lima mil) dan mereka memiliki kuku jari yang panjang seperti kelelawar. Seperti halnya kelelawar-kelelawar bergelantungan di pepohonan, makhluk-makhluk ini bergelantungan dengan kuku mereka pada kaki gunung sistem dunia. Ketika merayap, mereka saling berdekatan satu sama lain dalam jarak panjang satu lengan. Kemudian, dengan berpikir, ‘Kami telah memperoleh makanan,’ mereka menjadi heboh, bergulingan, dan jatuh ke air yang menyokong dunia; mereka bagaikan buah madu yang, ketika tertiup angin, gugur dan jatuh ke air. Segera setelah mereka terjatuh, mereka melebur bagaikan sebongkah tepung dalam air yang sangat tajam … Cahaya ini [ketika Sang Bodhisatta memasuki rahim ibunya] tidak berlangsung bahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk menyesap bubur, tetapi hanya cukup lama bagi mereka untuk bangun dari tidur dan mengenali objek. Tetapi para pembaca Dīgha Nikāya mengatakan bahwa, bagaikan kilatan halilintar, ini menunjukkan waktu yang hanya sejentikan jari dan lenyap bahkan selagi mereka mengatakan, ‘Apa itu?’”

821 > Ālaya, Mp menjelaskan hal ini secara sempit sebagai kelima objek kenikmatan indria, atau secara lebih luas, sebagai keseluruhan lingkaran saṃsāra.

822 > Anālaye dhamme. Mp: “Dhamma mulia yang melawan kemelekatan, berdasarkan pada akhir lingkaran.”

823 > Anupasama. Lit., “tanpa kedamaian.”

824 > Avijjāgatā, bhikkhave, pajā aṇḍabhūtā pariyonaddhā. Ini adalah tulisan pada Ce dan Be, tetapi Ee menuliskan andhabhūta, “menjadi buta.” Yang belakangan, pada awalnya, tampak lebih asli, tetapi perumpaam ayam pada 8:11, IV 176,15-16 mendukung aṇḍabhūtā, “menjadi sebutir telur.” Mp juga menerima tulisan ini dengan kemasannya, “terbungkus oleh cangkang ketidak-tahuan, telah menjadi seperti sebutir telur” (avijjaṇḍakosena pariyonaddhattā aṇḍaṃ viya bhūtā ti aṇḍabhūtā).

825 > Juga terdapat pada DN 16.5.16, II 145-46.

826 > Dalam Pāli, ketiga jenis belenggu adalah, berturut-turut: orambhāgiyāni saṃyojanāni, upapattipaṭilābhiyāni saṃyojanāni, bhavapaṭilābhiyāni saṃyojananāni. Mp membedakan kedua kata terakhir sebagai berikut: “belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali” adalah belenggu yang dengannya seseorang memperoleh kelahiran kembali berikutnya (yehi anantarā upapattiṃ paṭilabhati); “belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan” adalah kondisi-kondisi untuk memperoleh penjelmaan kelahiran kembali (upapattibhavassa paṭilābhāya paccayāni). Jelas perbedaannya, dari sudut pandang komentar, adalah bahwa yang pertama mengikat seseorang hanya pada kelahiran kembali berikutnya sedangkan yang ke dua mengikat seseorang pada kelahiran kembali berturut-turut. Tetapi baca catatan 829 untuk interpretasi alternative.

827 > Karena pemasuk-arus juga belum meninggalkan salah satu dari belenggu-belenggu ini, Mp menjelaskan: “Yang-tidak-kembali disebutkan untuk menunjukkan yang tertinggi di antara para mulia yang belum meninggalkan salah satu dari belenggu-belenggu ini. Karena di atas yang-kembali-sekali, tidak ada yang mulia yang belum meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah. Tetapi bukankah para yang-kembali-sekali telah meninggalkan [beberapa] belenggu yang lebih rendah, karena mereka telah meninggalkan belenggu-belenggu pandangan-pandangan, keargu-raguan, dan cengkeraman keliru pada ritual dan upacara? Dalam kasus itu, mengapa dikatakan bahwa mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah? Karena yang-kembali-sekali belum meninggalkan belenggu-belenggu nafsu indriawi dan niat buruk; oleh karena itu pernyataan bahwa mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dikatakan sehubungan dengan belenggu-belenggu yang belum mereka tinggalkan itu. Bukan berarti bahwa mereka belum meninggalkan belenggu sama sekali.”

828 > Uddhaṃsotassa akaniṭṭhagāmino puggalassa. Ini merujuk pada yang paling lambat di antara kelima jenis yang-tidak-kembali, yang naik ke atas melalui alam-alam murni berturut-turut hingga yang tertinggi, yang disebut Akaniṭṭha. Jenis ini juga disebutkan untuk menunjukkan yang paling kasar yang masih menyisakan belenggu kelahiran kembali, tetapi kelompok yang-tidak-kembali yang paling tajam pun juga menyisakan belenggu-belenggu ini.

829 > Pernyataan ini memberikan suatu situasi sulit bagi interpretasi Theravāda tradisional atas kelima jenis yang-tidak-kembali, yang berdasarkan pada Pp 16-17 dan komentarnya pada Pp-a 198-201. inti dari interpretasi ini adalah penolakan atas keadaan antara (antarābhava) antara dua kehidupan. Dengan demikian penolakan ini mensyaratkan perlunya menginterpretasikan antarāparinibbāyī sebagai yang-tidak-kembali yang mencapai Kearahattaan pada paruh pertama umur kehidupannya dalam kehidupan berikut. Akan tetapi, kata antarāparinibbāyī secara literal berarti “seorang yang mencapai nibbāna akhir pada masa antara,” dan tampaknya tidak ada alasan yang tepat, berdasarkan pada sutta, untuk membantah kemungkinan bahwa yang-tidak-kembali tertentu, setelah kehidupannya di alam manusia, memasuki suatu keadaan antara dan mencapai nibbāna akhir dalam keadaan itu juga, sehingga menghinddari perlunya kelahiran kembali yang lainnya. Ini tampaknya merupakan inti dari teks yang sekarang ini, yang menurutnya antarāparinibbāyī telah meninggalkan belenggu-belenggu kelahiran kembali tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan. Setelah mencapai Kearahattaan, antarāparinibbāyī juga akan meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan. Saya telah membahas kelima jenis yang-tidak-kembali secara terperinci dalam CDB 1902-3, catatan 65. Untuk pembahasan lebih lanjut, baca p.1782, catatan 1535-38; untuk analsisi tekstual tambahan, baca Harvey 1995: 98-108.

830 > Yuttappaṭibhāno no muttappaṭibhāno. Mp: “Ketika menjawab sebuah pertanyaan, ia menjawab dengan benar (yuttameva), tetapi ia tidak menjawab dengan cepat (sīghaṃ pana na katheti). Maknanya adalah bahwa ia menjawab dengan lambat. Metode [penjelasan] ini berlaku untuk semua kasus.” Pp 42 (Be §152) mendefinisikan orang ini dalam makna yang sama: “Seorang yang, ketika ditanya suatu pertanyaan, menjawab dengan benar tetapi tidak dengan cepat disebut yang kearifannya tajam tetapi tidak mengalir-bebas” (idh’ekacco puggalo pañhaṃ puṭṭho samāno yuttaṃ vadati no sīghaṃ, ayaṃ vuccati puggalo yuttappaṭibhāno no muttappaṭibhāno).

831 > Keempat alternative adalah : ugghaṭitaññū, vipacitaññū (demikian menurut Ce dan Ee; Be vipañcitaññū), neyyo, padaparamo. Perbedaan tulisan untuk orang ke dua memberikan pilihan antara “seorang yang memahami ketika matang” (menurut Ce dan Ee) dan “seorang yang memahami ketika dijelaskan” (menurut Be). Tulisan Be tampak bagi saya lebih sesuai dengan definisi formal dari definisi jenis ini dari sumber-sumber lain. Di sini saya mengutip definisi pada Pp 41 (Be §§148-51) dengan klarifikasi komentar pada Pp-a 223: (1) “Seorang dengan pemahaman cepat adalah orang yang padanya penerobosan Dhamma (dhammābhisamāya) terjadi bersamaan dengan sebuah pengucapan. (Pp-a: Ugghaṭita berarti membuka pengetahuan (ñāṇugghāṭana); maknanya adalah bahwa ia mengetahui segera setelah pengetahuan terbuka. Bersamaan dengan sebuah pengucapan segera setelah [sebuah kalimat Dhamma] diucapkan. Penerobosan muncul bersamaan dengan pengetahuan Dhamma pada keempat kebenaran.)” (2) “Seorang yang memahami melalui penjelasan terperinci adalah seorang yang padanya penerobosan Dhamma terjadi bersamaan dengan ketika makna dari apa yang telah dinyatakan dianalisis secara terperinci. (Pp-a: Ini adalah orang yang mampu mencapai Kearahattaan ketika, setelah suatu kerangka ringkas dari suatu ajaran telah dibabarkan dan maknanya telah dianalisis secara terperinci.)” (3) “Seorang yang perlu dituntun adalah orang yang padanya penerobosan Dhamma terjadi secara bertahap, melalui instruksi, pertanyaan, perhatian seksama, dan mengandalkan teman-teman yang baik.” (4) “Seorang yang padanya kata-kata adalah maksimum adalah orang yang – walaupun banyak mendengar, banyak membaca, banyak mengingat, dan banyak mengajar – tidak mencapai penerobosan Dhamma dalam kehidupan itu.”

Nett 125 (Be §§88) menghubungkan keempat jenis ini dengan empat jenis praktik (baca 4:161-62): ugghaṭitaññū puggala sebagai seorang yang terbebaskan melalui praktik yang menyenangkan and pengetahuan langsung yang cepat, vipañcitaññū puggala sebagai seorang yang terbebaskan apakah melalui praktik yang menyakitkan dan pengetahuan langsung yang cepat atau melalui praktik yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang lambat, dan neyya puggala sebagai seorang yang terbebaskan melalui praktik yang menyakitkan dan pengetahuan langsung yang lambat. Padaparama puggala tidak terbebaskan dan dengan demikian keempat alternatif tidak berlaku.

832 > Mp: “Seorang yang hidup dari buah usahanya tetapi bukan dari buah kammanya: Ini adalah seorang yang melewatkan harinya dengan bersemangat mengerahkan dirinya dan hidup dari apa pun yang ia peroleh sebagai buah akibat dari ini, tetapi tidak memperoleh buah jasa sebagai akibat dari usahanya. Seorang yang hidup dari buah kammanya tetapi bukan dari buah usahanya: Ini adalah semua deva, dari [alam surga] empat raja dewa, yang hidup dari buah jasa mereka tanpa secara bersemangat mengerahkan diri mereka. Seorang yang hidup dari buah usahanya juga dari buah kammanya: Ini adalah raja-raja dan para menteri kerajaan, dan sebagainya. Seorang yang hidup bukan dari buahnya juga bukan dari buah kammanya: Ini adalah makhluk-makhluk di neraka. Dalam sutta ini, yang dimaksudkan dengan ‘buah kamma’ adalah hanya buah jasa baik.

833 > Mp: “Yang pertama adalah kaum duniawi yang buta dan dungu; yang ke dua adalah kaum duniawi yang kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat; yang ke tiga adalah pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali; dan yang ke empat adalah Arahant.”

834 > Mp: “Yang pertama adalah banyak kaum duniawi; yang ke dua adalah pemasuk-arus dengan pandangan terang kering dan yang-kembali-sekali; dan yang ke tiga adalah yang-tidak-kembali. Karena meditator pandangan terang kering memperoleh jhāna saat-ke-saat berdasarkan pada objeknya (taṅkhaṇikampi upapattinimittakaṃ jhānaṃ paṭilabhati yeva), maka ia juga memenuhi konsentrasi. Yang ke empat adalah Arahant. Sutta berikutnya harus dipahami dengan cara seperti yang disebutkan di sini.

835 > Tentang empat pengetahuan analitis (paṭisambhidā), baca di bawah catatan 875.

836 > Di sini dan pada sutta berikutnya saya bersama dengan Ce dan Ee membaca samatho, bukan seperti Be sammasanā.

837 > Daftar yang biasa untuk indria-indria (indriya) dan kekuatan-kekuatan (bala) ada lima, dengan kebijaksanaan (paññā) sebagai yang ke lima. Untuk definisi kelima indria, baca SN 48:9-10.  untuk lima kekuatan, baca 5:14.

838 > Cattāri kappassa asaṅkheyyānī. Terlepas dari kata “tak terhitung” (Ce dan Ee asaṅkheyya; Be asaṅkhyeyya), lamanya masa ini adalah terbatas. Untuk perumpamaan yang mengilustrasikan lamanya satu kappa – yang dikatakan sulit diungkapkan dalam angka-angka – baca SN 15:5-6, II 181-82. Dan untuk jumlah kappa yang telah “berlalu dan terlewatkan,” baca SN 15:7-8, II 182-84.

839 > Mp menjelaskan bahwa ada tiga cara penyusutan satu kappa terjadi: melalui air, api, dan angin. Ketika kappa hancur melalui api, maka api menghabiskan hingga para deva dengan cahaya gemerlap. Ketika kappa hancur melalui air, maka air menenggelamkan hingga para deva denga keagungan gemilang. Ketika kappa hancur melalui angin, maka kappa menghancurkan hingga para deva berbuah besar.

840 > Mp: “Ia tidak puas dengan empat benda kebutuhan melalui tiga jenis kepuasan.” Baca p. 1600, catatan 55.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #48 on: 15 February 2013, 06:21:03 AM »
841 > Mp mengatakan kata “dengan licik” (saṅkhāya, lit. “setelah memperhitungkan”) menunjukkan bahwa ia mencoba untuk memberikan kesan palsu pada keluarga-keluarga (dengan tujuan untuk menerima persembahan). Frasa terakhir mungkin serupa dengan nuansa dari gaya bahasa ungkapan Bahasa Inggris yang terkenal.

842 > Di sini Ee membaca: gambhīresu … ṭhānaṭṭhānesu, yang dapat diterjemahkan “berbagai hal mendalam.” Mungkin ṭhānaṭṭhānesu adalah tulisan yang lebih asli, yang berubah menjadi ṭhānāṭṭhānesu karena pengaruh ungkapan yang lebih umum. Tetapi karena Mp mengomentari seolah-olah tulisan yang benar adalah yang benar, maka jelas bahwa ṭhānāṭṭhānesu berasal setidaknya pada masa komentator. Pada MN 115.12-19, III 64-67, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seorang bhikkhu “terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin” (ṭhānāṭhānakusalo).

843 > Mengherankan bahwa Ānanda pergi sendirian mengunjungi kediaman bhikkhunī itu. Hampir selalu ketika seorang bhikkhu pergi mengunjungi seorang umat awam, bahkan laki-laki, maka ia mengajak seorang bhikkhu lain bersamanya. Dalam paralel China dari sutta ini, SĀ 564 (T II 148a13-148c10), ketika Ānanda mendekat, bhikkhunī itu melihatnya dari jauh dan memperlihatkan tubuhnya. Ketika Ānanda melihatnya terbuka, ia mengendalikan organ-organ indrianya dan berbalik. Bhikkhunī itu kemudian merasa malu dan mengenakan jubahnya. Ia menawarkan tempat duduk kepada Ānanda, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Terlepas dari perbedaan situasi ini, khotbah Ānanda dalam versi China nyaris sama persi dengan versi Pāli.

844 > Setughāto vutto bhagavatā. Mp: “Penghancuran jembatan (setughātaṃ): penghancuran keadaan dan peghancuran kondisinya (padaghātaṃ paccayaghātaṃi).” Ungkapan ini juga terdapat pada 3:74. baca p.1660, catatan 497.

845 > Mp: “Berdasarkan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang, dengan menggunakannya secara hati-hati, maka ia meninggalkan makanan yang terdapat dalam kamma masa lampau; tetapi ketagihan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang harus ditinggalkan.

846 > Versi China membaca: “Saudari, dengan tidak menikmatinya, seseorang meninggalkan dan mematahkan keinginan indria, jembatan penghubung (MANDARIN).” Tampaknya bahwa setughāto adalah suatu idiom yang bermakna bahwa segala hubungan dengan kondisi tertentu harus dihancurkan. Mp mengatakan bahwa ketika Ānanda mencapai akhir khotbahnya, nafsu bhikkhunī tersebut padanya telah lenyap.

847 > Sugata. Lit. “Pergi dengan Baik.” Salah satu gelar yang paling umum untuk Sang Buddha, kadang-kadang juga digunakan untuk para siswa Arahant.

848 > Bhikkhū duggahitaṃ suttantaṃ pariyāpuṇanti dunnikkhittehi padabyañjanehi. Baca 2:20. saya mengikuti saran Brahmāli bahwa suttantaṃ di sini secara implicit bermakna jamak; untuk contoh lain, baca Vin III 159,12, dan Vin IV 344,21.

849 > Ce menghilangkan syair uddāna di akhir vagga ni. Karena itu saya mengambil judul ini dari Be.

850 > Dalam Pāli: dukkhā paṭipadā dandhābhiññā, dukkhā paṭipadā khippābhiññā, sukhā paṭipadā dandhābhiññā, sukhā paṭipadā khippābhiññā.

851 > Anantariyaṃ pāpuṇāti āsavānaṃ khayāya. Kata ānantariya adalah kata yang jarang muncul, maka maknanya harus ditentukan dengan cara menyimpulkan. Satu petunjuk adalah  Ratana Sutta, yang mengatakan: yam buddhaseṭṭho parivaṇṇayī suciṃ samādhim ānantarikaññam āhu (Sn 226). Perbedaan antara ānantarika dan ānantariya tidaklah signifikan, karena akhiran –iya dan –ika sering kali dapat dipertukarkan. Petunjuk lainnya adalah SN 22:81, pada III 96-99, di mana Sang Buddha bertanya: “Bagaimanakah seseorang mengetahui dan melihat untuk segera mencapai (lit. ‘tanpa jeda’) hancurnya noda-noda?” (evaṃ … jānato evaṃ passato anantarā āsavānaṃ khayo hoti). Sutta AN lainnya – 3:102, I 158,7-12, dan 5:23, III 16, 29-17,2 –membicarakan tentang pikiran yang “terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda” (sammā samādhiyati āsavānaṃ khayāya). Baca juga 5:170, III 202,27-33, yang membicarakan tentang kondisi-kondisi tertentu “yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi” (anantarā āsavānaṃ khayo hoti). Demikiankah, “kondisi kesegeraan” yang dibicarakan di sini tampaknya merupakan kondisi di mana pikiran terkonsentrasi dengan baik dan, pada saat yang sama, telah memperoleh pandangan terang yang menghasilkan hancurnya noda-noda. Mp menjelaskan ānantariya dengan menghubungkannya pada konsep Abhidhamma atas rangkaian segera antara jalan dan buah: “’Kondisi segera’ adalah konsentrasi sang jalan, yang dengan segera menghasilkan akibatnya (anantaravipākadāyakaṃ maggasamādhiṃ).” Walaupun sutta-sutta tidak menggunakan skema proses kognitif yang mendasari konsep momen jalan dan buah, namun ungkapan “kondisi segera” memang menyiratkan suatu keadaan matang sepenuhnya bagi penerobosan menuju Kearahattaan.

852 > Kekuatan-kekuatan dari seorang yang masih berlatih (sekhabalāni), didefinisikan pada 5:2, sebagian berbeda dengan lima kekuatan yang termasuk dalam tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan.

853 > Di sini, sameti, “menenangkan[nya],” adalah suatu tambahan pada formula biasa, yang dimaksudkan untuk memasukkan disiplin ini ke dalam “praktik menenangkan.”

854 > Mp mengatakan bahwa bagi Moggallāna, ketiga jalan pertama dicapai melalui cara yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang lambat, tetapi jalan Kearahattaan dicapai melalui praktik yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang cepat. Dalam 7:61 terlihat bahwa Moggallāna sering bersusah-payah melawan kantuk dalam praktiknya untuk mencapai Kearahataan. Ia sering mengalami kemunduran dan membutuhkan bantuan Sang Buddha untuk maju lebih jauh, seperti ditunjukkan dalam SN 40:1-9, IV 262-69.

855 > Dalam sutta ini frasa kāyassa bhedā, “dengan hancurnya jasamani,” tidak diikuti dengan paraṃ maraṇā, “setelah kematian,” seperti biasanya. Penghilangan ini tampaknya disengaja. Mungkin tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa orang itu dapat mencapai nibbāna pada saat kematian, tanpa harus berlanjut pada penjelmaan lainnya.

856 > Menurut sutta ini, perbedaan antara penggunaan objek-objek menjijikkan dan jhāna-jhāna menentukan apakah seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) atau tanpa pengerahan usaha (asaṅkhāraparinibbāyī). Perbedaan antara indria-indria yang menonjol dan yang lemah menentukan apakah seseorang mencapai nibbāna dalam kehidupan ini (diṭṭh’eva dhamme) atau ketika hancurnya jasmani (kāyassa bhedā). Mp mengatakan bahwa orang pertama dan ke dua adalah para meditator pandangan terang kering (sukkhavipassakā) yang memahami fenomena-fenomena terkondisi sebagai objek meditasi mereka (saṅkhāranimittaṃ upaṭṭhepenti). Sasaṅkhārena dikemas sebagai sappayogena, yang mendukung terjemahan saya “melalui pengerahan usaha.” Orang ke tiga dan ke empat adalah mereka yang menggunakan ketenangan sebagai kendaraan mereka (samathayānikā).

857 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca maggehi, bukan seperti Ee aṅgehi. Yang belakangan kemungkinan adalah kesalahan editorial. Walaupun Mp tidak memberikan kemasan di sini, paragraf yang tertulis dalam Paṭis II 92,9 dan dikomentari pada Paṭis-a III 584,24-25, dengan suatu cara yang memerlukan maggehi: Catūhi maggehī ti upari vuccamānehi catūhi paṭipadāmaggehi, na ariyamaggehi (“Melalui empat jalan: melalui empat jalan praktik yang dibicarakan di bawah, bukan melalui jalan mulia”).

858 > Mp menjelaskan ini sebagai jalan melampaui keduniawian yang pertama, tetapi Mp-ṭ mengatakan: “Ini dikatakan sehubungan dengan jalan memasuki-arus (sotāpattimagga), tetapi makna dari paragraf ini dapat dipahami secara sederhana melalui jalan [persiapan] yang duniawi” (lokiyamaggavasen’eva).

859 > Ṃp dan Mp-ṭ, secara bersama-sama, mengatakan bahwa karena tidak ada pengembangan dan tidak ada latihan atas jalan yang melampaui keduniawian, yang berlangsung hanya selama satu momen pikiran, ia mengembangkan dan melatih jalan persiapan yang duniawi (pubbabhāgiyo lokiyamaggo) dengan tujuan untuk mencapai jalan-jalan yang melampaui keduniawian. Kemudian belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut melalui jalan-jalan berturut-turut (maggappaṭipāṭiya pahīyanti byantī honti).

860 > Mp: “Ini adalah orang yang secara alami memperoleh pandangan terang. Berdasarkan pada pandangan terang, ia menghasilkan konsentrasi.”

861 > Yuganaddhaṃ bhāveti. Mp mengatakan bahwa setiap kali ia mencapai suatu pencapaian meditatif (samāpatti), ia memeriksanya melalui fenomena-fenomena terkondisi. Dan setelah memeriksa fenomena-fenomena terkondisi, ia memasuki pencapaian berikutnya. Demikianlah, setelah mencapai jhāna pertama, ia keluar dan memeriksa fenomena-fenomena terkondisi di sana sebagai tidak kekal, dan seterusnya. Kemudian ia memasuki jhāna ke dua, keluar, dan memeriksa fenomena-fenomena terkondisi di sana, dan seterusnya hingga landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Akan tetapi, karena yuganaddha secara literal berarti “berpasangan bersama-sama,” beberapa orang menerjemahkan kata ini sebagai cara praktik ketenangan dan pandangan terang yang muncul secara bersamaan. Sistem komentar tidak mengakui kemungkinan ini tetapi beberapa sutta menyiratkan bahwa pandangan terang dapat muncul dalam jhāna dan meditator tidak perlu menariknya sebelum memulai perenungan. Dalam AN, baca khususnya 9:36; baca juga MN 52.4-14, I 350-52; MN 64.9-15, I 435-37.

862 > Tulisannya bermacam-macam. Ee menuliskan dhammuddhaccaviggahītamanā; akhiran –manā agak mencurigakan. Be menuliskan -viggahitaṃ mānasaṃ. Ce menuliskan -viggahītaṃ mānaṃ. Sedangkan manā dan mānasaṃ keduanya dapat diterjemahkan sebagai “pikiran,” mānaṃ biasanya berarti “kesombongan.” Terjemahan Sinhala tampaknya mendukung ini dengan menerjemhkan mānaṃ sebagai adhimānaya (Pāli adhimāna), “menilai diri sendiri terlalu tinggi,” tetapi membicarakan “kesombongan” – bukannya “pikiran” – sebagai dicengkeram oleh kegelisahan” sepertinya tidak masuk akal. Mp mengemas kata ini tanpa menyebutkan subjeknya: “Dicengkeram, secara menyeluruh dicengkeram, oleh kegelisahan, yang terdapat dalam sepuluh kekotoran pandangan terang (dasa vipassan’upakkilesā; baca Vism 633-38, Ppn 20.105-28) sehubungan dengan dhamma dari ketenangan dan pandangan terang.” Teks itu sendiri sama sekali tidak menyiratkan adanya kekotoran pandangan terang. Saya memahami orang yang sedang dijelaskan di sini sebagai seorang praktisi yang secara mendalam merenungkan Dhamma, memperoleh rasa keterdesakan, dan kemudian akhirnya menjadi tenang dan mendapatkan pandangan terang ketika bertemu dengan kondisi-kondisi yang mendukung. Dalam kalimat berikutnya pada teks, kata ini diterjemahkan sebagai “pikiran” adalah cittaṃ.

863 > Bagian pertama sutta ini, hingga bagian tentang empat perolehan individualitas, juga terdapat pada SN 12:25, II 39-51, tetapi ditujukan kepada Ānanda.

864 > Mp menjelaskan ini dengan menghubungkan dengan skema Abhidhamma atas citta, jenis-jenis kesadaran; baca CMA 32-40, 46-64.  saya merangkum penjelasan Mp: Kehendak melalui jasmani ada dua puluh jenis melalui delapan jenis citta bermanfaat bidang indria dan dua belas jenis citta tidak bermanfaat. Demikian pula kehendak melalui ucapan. Tetapi kehendak melalui pikiran termasuk hal-hal ini serta sembilan jenis kehendak luhur (mahaggata), yaitu, kehendak yang berhubungan dengan lima jhāṅa dari sistem Abhidhamma dan empat pencapaian tanpa bentuk. Karena kehendak melalui jasmani, maka muncul kenikmatan yang dikondisikan oleh delapan jenis kamma bermanfaat, dan kesakitan yang dikondisikan oleh dua belas jenis kamma tidak bermanfaat, yaitu, kamma yang dihasilkan dalam jenis-jenis kesadaran aktif yang bersesuaian. Demikian pula dengan kedua pintu lainnya. Ketidak-tahuan adalah kondisi (avijjāpaccayā va) karena, dengan adanya ketidak-tahuan, maka kehendak muncul dalam ketiga pintu sebagai suatu kondisi bagi kenikmatan dan kesakitan. Demikianlah pernyataan dalam sutta ini yang merujuk pada ketidak-tahuan sebagai penyebab akar. Kenikmatan dan kesakitan muncul “secara internal” (ajjhattaṃ) ketika muncul dalam diri seseorang. Kata ini tampaknya menggarisbawahi aspek pembalasan dari kamma.

865 > Mp: “Seseorang bertindak atas kehendaknya sendiri (sāmaṃ) ketika ia memulai suatu tindakan tanpa dorongan dari orang lain. Seseorang memulai aktivitas karena orang lain ketika orang lain mendorong atau memerintahkannya untuk bertindak. Seseorang bertindak dengan pemahaman jernih (sampajāno) ketika ia mengethui apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat seperti demikian, dan akibatnya masing-masing seperti demikian. Jika ia tidak mengetahui hal ini, maka ia bertindak tanpa pemahaman jernih.”

866 > Imesu bhikkhave dhammesu avijjā anupatitā. Mp: “Ketidak-tahuan terdapat dalam kondisi-kondisi kehendak yang dianalisa di atas, yang berfungsi baik sebagai kondisiyang hadir bersamaan dan sebagai kondisi pendukung-keputusan (sahajātavasena ca upanissayavasena ca). dengan demikian lingkaran kehidupan dan akarnya, yaitu ketidak-tahuan, ditunjukkan.”

867 > Mp: “Para Arahant terlihat bertindak melalui jasmani. Mereka menyapu halaman altar dan pohon bodhi, pergi dan kembali, melakukan berbagai tugas, dan sebagainya, tetapi dalam kasus mereka kedua puluh kehendak yang muncul di pintu jasmani tidak lagi menghasilkan akibat kamma (avipākadhammataṃ āpajjanti). Di sini, adalah kehendak yang muncul di puntu jasmani yang dimaksudkan oleh kata ‘jasmani.’ Metode yang sama berlaku untuk kedua lainnya.” Mp-ṭ: “Ketika para Arahant melakukan perbuatan, bagaimanakah mereka tidak membuat kamma jasmani atau jenis lainnya? Dalam makna bahwa perbuatan-perbuatan ini tidak membawa akibat, karena suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang Arahant adalah bukan bermanfaat juga bukan tidak bermanfaat melainkan sekedar aktivitas (kiriyamatta) yang tidak menghasilkan akibat.”

868 > Mp: “’Lahan,’ dan seterusnya adalah sebutan bagi kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat. Karena itu adalah lahan (khetta) dalam makna suatu tempat di mana akibat-akibat tumbuh; suatu bidang (vatthu) dalam makna fondasinya; landasan (āyatana) dalam makna suatu penyebab; lokasi (adhikaraṇa) dalam makna suatu tempat.”

869 > Dalam Ee kalimat ini menandai awal dari sutta baru, dan dengan demikian pada titik ini penomoran Ee lebih satu dari penomoran saya. Baik Ce maupun Be, selaras dengan Mp, memperlakukan paragraf sebelumnya dan paragraf ini sebagai satu sutta. Sedangkan paragraf ini jelas tampak sebagai awal dari sutta tersendiri, dan mungkin awalnya memang demikian, Mp menganggapnya sebagai kelanjutan dari analisis kehendak yang dijelaskan di atas. Mp mengatakan bahwa hingga titik ini Sang Buddha telah menunjukkan kamma yang terakumulasi dalam tiga pintu; sekarang Beliau menunjukkan tempat di mana kamma itu matang. “Perolehan individualitas” (attabhāvappaṭilābha) adalah suatu penjelmaan individu, kombinasi dari jasmani dan batin yang membentuk kehidupan tertentu.

870 > Mp mengidentifikasikan makhluk-makhluk ini sebagai para deva yang menjadi rusak karena bermain (khiḍḍāpadosikā devā). Sewaktu mereka sedang menikmati kegembiraan surgawi di alam surga, kadang-kadang mereka lupa makan dan minum, dan karena mereka tidak makan maka mereka menjadi layu bagaikan kalung bunga yang diletakkan di terik matahari. Baca Bodhi 2007: 159-60.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #49 on: 15 February 2013, 06:21:56 AM »
871 > Mp mengatakan ini adalah para deva yang rusak melalui pikiran (manopadosika devā), yang berdiam di alam Empat Raja Dewa. Ketika mereka marah satu sama lain, kemarahan bersama itu menyebabkan keduanya meninggal dunia. Baca Bodhi 2007: 160-61.

872 > Mp mengatakan bahwa ini adalah manusia. Karena orang-orang bunuh diri dan orang lain membunuh mereka. Demikianlah mereka binasa karena kehendak diri sendiri dan karena kehendak orang lain.

873 > Mp: “[Pertanyaan:] Mengapakah Sāriputta mengajukan pertanyaan ini? Bukankah ia mampu menjawabnya sendiri? [Jawab:] Ia mampu, tetapi ia tidak mengatakannya karena ia berpikir, ‘pertanyaan ini adalah wilayah seorang Buddha.’”

874 > Mp: “Yang pertama, yang kembali pada kondisi makhluk ini (āgantāro itthattaṃ), adalah mereka yang kembali pada kelima kelompok unsur kehidupan di alam indria; mereka tidak terlahir kembali di sana [di alam di mana mereka meninggal dunia] atau di alam yang lebih tinggi. Mereka yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini (anāgantāro itthattaṃ) tidak kembali pada kelima kelompok unsur kehidupan atau kelahiran kembali yang lebih rendah. Mereka terlahir kembali di sana [di alam di mana mereka meninggal dunia] atau di alam yang lebih tinggi, atau mereka mencapai nibbāna akhir di sana. Ketika dikatakan bahwa mereka terlahir kembali di alam yang lebih tinggi, ini dikatakan dalam kasus mereka yang telah dilahirkan di alam yang lebih rendah. Tetapi dari alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, tidak ada kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi.”

875 > Odhiso vyañjanaso. Mp mengemas kedua kata ini berturut-turut sebagai kāraṇaso akkharaso, “melalui alasan-alasan [atau kasus-kasus], melalui hurufnya.” Maknanya tidak sepenuhnya jelas bagi saya dan Mp-ṭ tidak menjelaskan. Paṭisambhidā dijelaskan dalam Vism 440-43, Ppn 14.21-31, dengan berdasarkan pada Vibh 292-94 (Be §§718-24), yang menganalisanya dari beberapa sudut. Secara ringkas: pengetahuan makna adalah pengetahuan analitis pada makna (atthapaṭisambhidā); pengetahuan Dhamma adalah pengetahuan analitis pada Dhamma (dhammapaṭisambhidā); pengetahuan tentang bagaimana mengungkapkan dan menyampaikan Dhamma adalah pengetahuan analitis pada bahasa (niruttipaṭisambhidā); dan pengetahuan tentang pengetahuan adalah pengetahuan analitis pada pemahaman (paṭibhānapaṭisambhidā). Pengetahuan analitis yang terakhir ini tampaknya merujuk pada kemampuan untuk secara spontan menerapkan ketiga jenis pengetahuan lainnya untuk dengan jelas menyampaikan Dhamma. Dari perspektf yang lebih filosofis, attha dianggap sebagai aakibat dari suatu sebab (hetuphala) dan dhamma adalah suatu sebab (hetu) yang menghasilkan akibat. Oleh karena itu pengetahuan analitis pada makna berhubungan dengan pengetahuan pada kebenaran mulia pertama dank e tiga, pengetahuan analitis pada Dhamma berhubungan dengan pengetahuan pada kebenaran mulia ke dua dan ke empat. Pengetahuan analitis pada makna adalah pengetahuan pada masing-masing faktor dari kemunculan bergantungan dlam perannya sebagai akibat yang ditimbulkan dari kondisi, dan pengetahuan analitis pada Dhamma adalah pegetahuan pada faktor yang sama dalam perannya sebagai kondisi yang memunculkan akibat.

876 > Pakāsemi dalam Ee, sebagai kata kerja ke tiga, tidak terdapat dalam Ce atau Be. Pakāseti juga tidak ada dalam urutan kata kerja yang sama pada 3:136, I 286, 9-10, juga dalam Ee.

877 > Dalam teks yang samar-samar di sini dan mungkin terbolak-balik dalam perjalanan penyampaian. Mp memberikan suatu kata kerja pada bagian pertama kalimat, upagacchatu, yang saya sertakan dan terjemahkan dalam tanda kurung siku. Mp melengkapi ahaṃ veyyākaraṇena dengan ahamassa pañhakathanena cittaṃ ārādhessāmi (“Aku akan memuaskan pikirannya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan”). Saya juga menambahkan ini dalam tanda kurung siku.

878 > Mp: “Guru kita, yang sangat terampil dalam hal-hal ini yang telah kita capai, hadir di sini. Jika aku belum merealisasi pengetahuan analitis pada makna, maka Beliau akan mengusirku, menyuruhku untuk merealisasinya terlebih dulu.’ Bahkan selagi duduk di depan Sang Guru, ia mengaumkan auman singa itu.”

879 > Percakapan di sini tampaknya berhubungan dengan “status ontologism” Arahant yang telah mencapai elemen nibbāna tanpa sisa, yaitu, dengan pertanyaan apakah orang yang terbebaskan ada atau tidak ada setelah kematian.

880 > Mp mengemas mā h’evaṃ sebagai evaṃ mā bhaṇi, “Jangan berkata begitu,” dan menjelaskan bahwa keempat pertanyaan yang diajukan melalui eternalisme, nihilisme, eternalisme sebagian, dan “geliat-belut” (sassata-uccheda-ekaccasasssata-amarāvikkhepa). Dengan demikian Sāriputta menolak tiap-tiap pertanyaan. “Geliat-belut” adalah agnotis, skeptis, atau penghindaran intelektual.

881 > Appapañcaṃ papañceti. Mp: “Ia menciptakan proliferasi [atau spekulasi] sehubungan dengan sesuatu yang seharusnya tidak diproliferasikan [atau dispekulasikan]. Ia berjalan di sepanjang jalan yang seharusnya tidak dijalani.” Kata Pāli papañca menyiratkan bentukan-bentukan pikiran, konstruksi pikiran obsesif, dan konseptualisasi terdelusi, yang dikatakan oleh komentar sebagai muncul dari ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan salah (taṇhā, māna, diṭṭhi). Bagi saya tampaknya Mp memahami appapañcaṃ sebagai bentuk singkat dari appapañciyaṃ. Paralel China, SĀ 249, pada T II 60a16-20 mengatakan: “Jika seseorang [membuat pernyataan apa pun sehubungan dengan keenam landasan bagi kontak ini], maka itu hanyalah kata-kata kosong (MANDARIN). Dengan lenyapnya, meluruhnya, berhentinya, dan tenangnya keenam landasan bagi kontak ini, maka seseorang melepskan kebohongan kosong (MANDARIN) dan mencapai nibbāna.”

882 > Tāvatā papañcassa gati. Mp: “Sejauh mana keenam landasan kontak menjangkau, sejauh itulah jangkauan proliferasi, yang dibedakan melalui ketagihan, pandangan-pandangan, dan kesombongan.”

883 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, tanpa menghitungnya secara terpisah. Dengan demikian pada titik ini penomoran Ee menjadi sama dengan Ce dan Be.

884 > Percakapan ini, menurut Mp, merujuk pada penghentian saṃsāra. Keseluruhan lingkaran penderitaan (vaṭṭadukkhassa antakaro hoti, sakalaṃ vaṭṭadukkhaṃ paricchinnaṃ parivaṭumaṃ kaṭvā tiṭṭhati).

885 > Caraṇasampanno yathābhūtaṃ jānāti passati. Yathābhūtaṃ jānaṃ passaṃ antakaro hoti. Ini berbeda dengan pernyataan sebelumnya (bahwa seseorang tidak dapat menjadi pembuat akhir melalui pengetahuan dan perilaku) dalam penekanan atas mengetahui dan melihat (serta perilaku) sebagai fungsi aktif daripada kepemilikan subjektif yang bernuansa kemelekatan.

886 > Sutta ini menggabungkan 2:130-33.

887 > Banyak dari sutta ini juga terdapat dalam MN 62.8-11, I 421-23. Baca juga MN 28 dan MN 140, yang memperlakukan topik ini dengan lebih terperinci.

888 > Paññāya cittaṃ virājeti dari Ee jelas keliru. Dalam masing-masing dari keempat paragraf, paññāya di sini harus digantikan dengan nama elemen.

889 > Sakkāyanirodhaṃ. Mp: “Lenyapnya eksistensi diri; yaitu, lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya; maknanya adalah nibbāna.”

890 > Ini dijelaskan pada Vibh 330-31 (Be §799), namun dalam hal kebijaksanaan (paññā). Saya hanya mengutip teks tentang jhāna pertama: “Ketika seseorang yang mencapai jhāna pertama, maka kebijaksanaan berhubungan dengan kemerosotan; ketika perhatian distabilkan menurut sifatnya, maka kebijaksanaan berhubungan dengan kestabilan; ketika persepsi dan perhatian tidak disertai dengan pemikiran, maka kebijaksanaan berhubungan dengan keluhuran. Ketika persepsi dan perhatian disertai oleh kekecewaan, bersama dengan kebosanan, maka kebijaksanaan berhubungan dengan penembusan” (paṭhamassa jhānassa lābhiṃ kāmasahagatā saññāmanasikāra samudācaranti hānabhāginī paññā; tadanudhammatā sati santiṭṭhati ṭhitibhāginī paññā; avitakkasahagatā saññāmanasikārā samudācaranti visesabhāgini paññā; nibbidāsahagatā saññāmanasikārā samudācaranti virāgupasaṃhitā nibbedhabhāginī paññā). Keluhuran-keluhuran serupa dicapai pada tiap-tiap pencapian yang lebih tinggi.

891 > Paragraf ini juga termasuk dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.4.7, pada II 124-26.

892 > Mahāpadese: Mp mengemas sebagai mahā-okāse (jelas seolah-olah kata majemuk itu dapat dipecah menjadi mahā + padese) dan sebagai mahā-apadese, yang terakhir dijelaskan sebagai “alasan agung yang dinyatakan sehubungan dengan para makhluk agung seperti Buddha dan lainnya” (buddhādayo mahante mahante apadisitvā vuttāni mahākāraṇāni). Pemecahan ke dua ini tentu saja lebih disukai. DOP memberikan, di antara makna-makna apadesa, “sebutan, penunjukan, rujukan, saksi, otoritas.” Cattāro mahāpadesā kadang-kadang diterjemahkan “empat otoritas agung” tetapi sutta sebenarnya hanya menyebutkan dua otoritas, sutta-sutta dan vinaya. Walshe, dalam LDB, menerjemahkannya sebagai “empat kriteria.” Saya memahami kata ini bermakna “empat rujukan agung,” empat sumber ajaran.

893 > Tāni padabyañjanāni … suttee otāretabbāni vinaye sandassetabbāni. Mp memberikan berbagai makna suttee dan vinaye di sini, beberapa di antaranya tidak mungkin. Jelas, instruksi ini mensyaratkan bahwa di sana telah ada batang tubuh khotbah-khotbah dan Vinaya yang sistematis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi teks-teks lain yang dimasukkan sebagai sabda-sabda otektik dari Sang Buddha. Otāretabbāni adalah bentukan kata benda jamak dari kata kerja otārenti, “menurunkan, meletakkan atau memasukkan,” terjemahan saya berturut-turut, sebagai “memeriksanya” dan “termasuk di antara” telah disesuaikan menurut konteksnya. Sandassetabbāni adalah bentukan kata benda jamak dari kata kerja sandassenti, “memperlihatkan, membuat terlihat,” dan sandissanti berarti “terlihat.”

894 > Yang lebih jelas di antara dua paralel China adalah dlam DĀ 2, pada T I 17b29-18a22. di sini cattāro mahāpadesā diterjemahkan sebagai (MANDARIN), “empat ajaran dhamma agung.” Saya menerjemahkan pernyataan pertama (T I  17c2-13) sebagai berikut: “Jika ada seorang bhikkhu yang mengaku: ‘Para mulia, di desa, kota, negeri itu, aku secara pribadi mendengar [hal ini] dari Sang Buddha, aku secara pribadi menerima ajaran ini,’ maka kalian seharusnya tidak mempercayai apa yang kalian dengar darinya, juga tidak menolaknya, melainkan pastikan benar atau salahnya melalui sutta-sutta; berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, selidikilah dengan seksama. Jika apa yang ia katakan bukanlah sutta, bukan vinaya, bukan Dhamma, maka kalian harus mengatakan kepadanya: ‘Sang Buddha tidak mengatakan hal ini. Apa yang engkau terima adalah keliru! [Atau: Engkau menerimanya secara keliru!] Karena alasan apakah? Karena berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, kami [menemukan] bahwa apa yang engkau katakan adalah menyimpang dari Dhamma. Yang Mulia, engkau tidak boleh memegang ini, engkau tidak boleh mengatakannya kepada orang-orang, melainkan harus membuangnya.’ Tetapi jika apa yang ia katakan adalah berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, maka kalian harus mengatakan kepadanya: ‘Apa yang engkau katakan sesungguhnya adalah apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Karena alasan apakah? Karena berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, kami [menemukan] bahwa apa yang engkau katakan adalah sesuai dengan Dhamma. Yang Mulia, engkau harus memegang ini, engkau harus mengajarkannya kepada orang banyak; engkau tidak boleh membuangnya.’ Ini adalah ajaran dhamma agung yang pertama.”

895 > Saya mengikuti Ce dan Ee di sini. Be berbeda dan diterjemahkan: “Tetapi jika, ketika seseorang tidak mengatakan apa yang telah ia lihat, kualitas-kualitas bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan apa yang telah ia lihat.” Tiap-tiap paragraf berikutnya bervariasi dengan cara serupa.

896 > Nāhaṃ kvacana, kassaci kiñcamatasmiṃ, na ca mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Pada 3:70, I 206, 18-20, formula ini dikatakan telah digunakan oleh para Niganṭha untuk melatih tanpa-kepemilikan. Saya mengikuti tulisan pada Ce. Be hampir sama, kecuali bahwa tulisan kvacani dua kali menggantikan kvacana. Ee pada bagian akhir membaca kiñcanaṃ n’atthi bukan kiñcanat’atthi atau kiñcanatātthi. Tulisan ini juga terdapat pada edisi naskah Sinhala kuno, dan dalam tulisan Be atas MN 106.8.

Terjemahan saya mengikuti Mp, yang mengomentari: “Ini adalah penjelasan atas empt kekosongan terpusat (catukkoṭisuññatā).
897 > Ākiñcaññaṃyeva paṭipadaṃ paṭipanno hoti. Mp mengatakan bahwa ia mempraktikkan jalan itu tanpa kesulitan, tanpa menggenggam (nippalibodhaṃ niggahaṇameva paṭipadaṃ paṭipanno hoti). Akan tetapi MN 106.8, II 263,33-264,4 menjelaskan formula ini sebagai suatu alat meditasi untuk mencapai landasan kekosongan (ākiñcaññāyatanaṃ samāpajjati).

898 > Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban Sang Buddha disampaikan dalam syair pada SN 1:62, I 39.

899 > Mp mengidentifikasikan ummagga dan paṭibhāna sebagai kebijaksanaan (pañña): “Kecerdasan meningkat, yaitu, pergerakan kebijaksanaan. Atau kebijaksanaan itu sendiri disebut ‘kecerdasan,’ dalam makna meningkat. [Juga disebut] ‘kearifan’ dalam makna memahami” (unmaggo ti ummujjanaṃ, paññāgamanan ti attho. Paññā eva vā ummujjanaṭṭhena ummaggo ti vuccati. Sā va paṭibhānaṭṭhena paṭibhānaṃ[/i]).

900 > Terdapat perubahan dalam teks dari ceteti dalam kalimat sebelumnya menjadi cintamāno cinteti di sini. Sulit untuk menentukan apakah hal ini penting. Mp tidak mengomentarinya, maka saya menganggapnya tidak penting.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #50 on: 15 February 2013, 06:23:58 AM »
901 > Mp mengidentifikasinya sebagai Uddaka Rāmaputta, salah satu guru Sang Buddha sebelum pencerahanNya. Baca MN 26.16, I 165-66.

902 > Mp menjelaskan inti dari penyimpangan jelas ini sebagai berikut: “Sang brahmana, sebagai seorang yang baik, memuji Raja Eleyya, kelompoknya, dan Uddaka Rāmaputta. Karena orang jahat adalah bagaikan seorang buta, dan orang baik bagaikan seorang yang memiliki penglihatan yang baik. Seperti halnya orang buta tidak dapat melihat orang lain baik yang buta maupun yang memiliki penglihatan, demikian pula orang jahat tidak dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Tetapi seperti halnya seorang yang memiliki penglihatan baik dapat melihat baik orang buta maupun orang yang berpenglihatan baik, demikian pula seorang yang baik dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Brahmana [Vassakāra], berpikir: ‘Bahkan Todeyya, sebagai seorang yang baik, mengenali siapa yang orang jahat,’merasa senang karena hal ini dan berkata: ‘Menakjubkan, Guru Gotama!’”

903 > Be dan Ee membaca sotānugatānaṃ bhikkhave dhammānaṃ. Ce menuliskan sotānudhatānaṃ di sini, dan sotānudhātā honti persis di bawah, tidak seperti Be dan Ee sotānugatā honti; akan tetapi Ce menuliskan sotānugataṃ dalam syair uddāna. Mp (Ce) membaca sotānugatānaṃ. Mp mengemas: “Setelah mengerahkan indria telinga, seseorang telah menentukan [makna] dengan telinga pengetahuan” (pasādasotaṃ odahitvā ñāṇasotena vavatthapitānaṃ). Ini tampaknya mendukung sotānudhatānaṃ, tetapi persis di bawah Mp (Be) mengemas sotānugatā honti sebagai sotaṃ anuppattā anupaviṭṭhā honti, yang  menyarankan tulisan sotānugatānaṃ. Mp (Ce), walaupun membaca sotānugatānaṃ dalam lema kalimat sebelumnya, namun di sini secara tidak konsisten membaca sotānudhatā honti. Demikianlah sejumlah teks mengungkapkan bahwa para penyusun sendiri tidak pasti akan tulisan ini. Tidak ada paralel China yang tercatat.

904 > Kalimat ini agak problematik, baik sehubungan dengan tulisan maupun maknanya. Pertama, tulisan: bersama dengan Ce saya membaca tassa tattha sukhino dhammapadāpilapanti. Saya menafsirkan dhammapadāpilapanti sebagai sebuah sandhi yang dibentuk dari dhammapadā dan apilapanti, yang bermakna “membaca, mengucapkan.” Kata kerja ini mungkin perubahan dari abhilapanti (baca DOP sv apilapati). Be menuliskan tassa tattha sukhino dhammapadāplavanti. Ee dhammapadāni pi lapanti, dengan kekosongan antara pi dan lapanti, yang tampaknya tidak dapat diterima. Dalam sebuah makalah pendek tentang paragraf ini, Norman (1992:257-59) berpendapat bahwa kata kerja ini adalah api-lapanti = abhi + lapanti. Tulisan plavanti pada Be jelas mengambil kata kerja ini sebagai berasal dari akar plui, mengapung, mungkin melalui plavanti.

Masalah ke dua muncul dari frasa tassa tattha sukhino. Sukhino dapat berupa bentuk datif-genitif tunggal atau pun bentuk nominatif jamak, dan dengan demikian frasa ini dapat ditafsirkan bermakna “padanya yang berbahagia di sana” (dengan tassa dan sukhino sebagai bentuk datif tunggal yang merujuk pada subjek yang sama) atau “padanya, mereka yang berbahagia di sana” (dengan tassa merujuk pada seorang yang terlahir kembali, dan sukhino sebuah bentuk nominatif jamak yang merujuk pada mereka yang telah ada di sana). Hubungan frasa ini dengan kata-kata berikutnya akan berbeda tergantung pada alternatif mana yang dipilih. Mp (Be) memilih alternatif pertama, menganggap dhammapadā sebagai subjek nominatif, plavanti sebagai kata kerja, dan tassa sukhino sebagai objek tidak langsung datif: “Kalimat-kalimat Dhama yang mengapung padanya yang berbahagia di sana.” Dengan mengomentari frasa itu dalam makna ini, Mp (Be) mengatakan: “Kepada seseorang yang terlahir kembali yang berpikiran kacau dalam kehidupan berikutnya, ajaran-ajaran dari kata-kata Sang Buddha yang telah ia ucapkan, karena berasal dari pengucapan masa lampau, semuanya mengapung dengan jelas terlihat bagaikan bayangan dalam sebuah cermin yang bersih.” Mp (Ce), secara menarik, mencatat lema ini sebagai dhammapadāpilapanti, dan membaca kemasan: te sabbe pasanne ādāse chāyā viya apilapanti upaṭṭhahanti. Saya mengasumsikan bahwa kata kerja apilapanti dimasukkan ke sini karena naskah Sinhala dari AN mempertahankan kata kerja aslinya, yang kemudian berpindah kepada komentar untuk menggantikan plavanti atau pilavanti. Sebaliknya adalah sulit untuk menjelaskan plavanti dalam Be. Mp (Ce) juga memasukkan kata kerja upaṭṭhahanti, “[mereka] tampak,” yang tidak ada dalam Be, mungkin karena terlewatkan dalam penyuntingan. Kata kerja ini jelas dimaksudkan sebagai sebuah kemasan atas apilapanti / plavanti.

Saya berpisah dengan Mp dan mengikuti Norman dalam menganggap tassa dan sukhino sebagai merujuk pada orang-orang berbeda: tassa adalah objek datif tidak langsung dan sukhino adalah sbujek jamak nominative. Saya menganggap kata kerja ini sebagai berbentuk transitif apilapanti ( = abhilapanti) dengan dhammapadā sebagai objek tidak langsungnya. Norman (p.259) menegaskan kata benda netral itu dalam bentuk jamak akusatif yang kadang-kadang ditambahkan akhiran –ā. Demikianlah saya memahami baris ini sebagai bermakna bahwa “mereka yang berbahagia” – para deva di alam surga – “mengulangi kalimat-kalimat Dhamma untuknya,” yaitu, kepada orang yang terlahir kembali di sana.

905 > Di sini dan persis di bawah, saya bersama dengan Ce dan Be membaca purimavohārā pacchimavohāraṃ.

906 > Saya menerjemahkan ini secara bebas agar sesuai dengan gaya bahasa Inggris. Pāli tathābhūto kho ayaṃ lokasannivāso tathābhūto ayaṃ attabhāvapaṭilābho secara literal berarti: “Kediaman di dunia bersifat demikian, perolehan penjelmaan individu bersifat demikian …” Lokasannivāso juga terdapat pada 3:40 §2.

907 > Tuduhan ini juga terdapat pada SN 42:13, IV 340,21-29. menurut MN 56.8, I 375,24-26; tuduhan ini berasal dari kaum Jain.

908 > Ini adalah nasihat Sang Buddha kepada para penduduk Kālāma apda 3:65. Percakapan selanjutnya juga paralel dengan yang digunakan kepada para penduduk Kālāma, tetapi dengan penambahan motif yang tidak bermanfaat.

909 > BHSD mendefinisikan sārambha “sifat suka bertengkar” dan menghubungkannya dengan Skt saṃrambha, yang dijelaskan oleh SED sebagai “tindakan mencengkeram atau menggenggam,” dan memberikan makna “sifat berapi-api, ketidak-sabaran … kemarahan, kemurkaan pada.” Karena sutta membicarakan tentang sārambha yang terjadi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka saya memilih “sifat berapi-api.”

910 > Ce membaca lobhaṃ vineyya vineyya viharananto, dan juga sehubungan dengan dosa, moha, dan sārambha. Saya mencoba menangkap makna ini sebagai “secara terus-menerus”, walaupun “secara berulang-ulang” juga digunakan. Be dan Ee hanya membaca lobhaṃ vineyya viharanto.

911 > Baca MN 56.26, II 383,32-384,7.

912 > Kata sace ceteyyuṃ terdapat dalam Ce dan Ee, tetapi tidak terdapat dalam Be.

913 > Pārisuddhipadhāniyaṅgāni. Saya menerjemahkan kata majemuk ini sesuai dengan pecahan oleh ṃp: pārisuddhi-atthāya padhāniyaṅgāni.

914 > Sīlapārisuddhipadhāniyaṅga, cittaparisuddhipadhāniyaṅga, diṭṭhipārisuddhipadhāniyaṅga, vimuttipārisuddhipadhāniyaṅa. Sīlavisuddhi, cittavisuddhi, dan diṭṭhivisuddhi termasuk dalam tujuh pemurnian (satta visuddhi) pada MN 24, yang digunakan sebagai kerangka bagi Vism. Empat ini termasuk di dalam sembilan pārisuddhipadhāniyaṅgaṃ. Mengherankan bahwa tidak ada sutta tentang ketujuh pemurnian yang termasuk dalam Kelompok Tujuh. Ini menyiratkan asal-usul yang belakangan untuk skema ini, serta asal-usul belakangan untuk MN 24.

915 > Tattha tattha paññāya anuggahessāmi. Mp: “Dalam aspek ini dan itu aku akan membantunya dengan kebijaksanaan (vipassanāpaññāya).”

916 > Karena, dalam Nikāya-Nikāya, pemahaman langsung pada keempat kebenaran mulia secara khas menandai pencapaian tingkat memasuki-arus, pemurnian pandangan di sini dapat diidentifikasikan sebagai kebijaksanaan pemasuk-arus. Hal ini berlawanan dengan skema Vism, yang mana pemurnian pandangan (diṭṭhivisuddhi) adalah yang ke tiga dari tujuh pemurnian. Vism menjelaskannya sebagai pemahaman jernih pada fenomena-fenomena batin dan jasmani (nāmarūpavavatthān), yang juga dikenal sebagai pembatasan fenomena-fenomena terkondisi (saṅkhārapariccheda). Dalam skema vism, pencapaian tingkat memasuki-arus (and jalan berikutnya) hanya terjadi pada pemurnian ke tujuh, yaitu pemurnian pengetahuan dan penglihatan (ñāṇadassanavisuddhi).

917 > Pemurnian terpisah dengan nama ini tidak terdapat dalam skema Vism, tetapi mungkin dapat dianggap sebagai puncak dari pemurnian pengetahuan dan penglihatan.

918 > Ini tampaknya merupakan prindip Jain, yang melalui praktik menyiksa-diri mereka mengejar pelenyapan kamma lampau. Baca ajaran yang diberikan oleh Nātaputta (Mahāvīra) pada 3:74.

919 > So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañ ca kammaṃ phussa phussa vyantīkaroti. Baca p.1660, catatan 499. Di sini Mp memparafrasekan sedikit berbeda dengan yang sebelumnya: “Setelah menyentuh kamma lagi dan lagi melalui kontak dengan pengetahuan, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan melalui pengetahuan. Setelah menyentuh akibat lagi dan lagi melalui kontak-akibat, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan dengan [mengalami] akibatnya.”

920 > Mp: “Karena ia telah memperoleh keseimbangan, yang dirangkul oleh perhatian dan pemahaman jernih, dan memiliki keseimbangan pikiran sebagai karakteristiknya, ‘ia berdiam seimbang,’ seimbang secara pikiran sehubungan dengan objek-objek itu” (satisampajaññapariggahitāya majjhattākāralakkhanāya upekkhāya tesu ārammaṇesu upekkhako majjhato hutvā viharati).

921 > Ini menunjukkan sikap Arahant terhadap pengalaman masa sekarang. Ia mengetahui bahwa perasaan-perasaannya berlangsung hanya selama jasmani dan vitalitasnya bekerja, dan bahwa dengan musnahnya jasmani dan padamnya vitalitas maka semua perasaan akan berakhir. Mp menjelaskan “akan menjadi dingin di sini (idh’eva sītībhavissantii)” sebagai berikut: “Perasaan-perasaan itu akan menjadi dingin, hampa dari gangguan dan kesulitan yang disebabkan oleh terjadinya [proses kehidupan]; perasaan-perasaan itu tidak akan terulang. [Ini terjadi] di sini, tanpa pergi ke tempat lain melalui kelahiran kembali.”

922 > Mp: “Ini adalah penerapan perumpamaan itu: jasmani harus dilihat sebagai pohon. Kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah bagaikan bayangan yang bergantung pada pohon. Meditator adalah bagaikan orang yang ingin melenyapkan bayangan; kebijaksanaan adalah bagaikan sekop; konsentrasi adalah bagaikan keranjang; pandangan terang adalah bagaikan pencungkil (khaṇitti, tidak disebutkan dalam sutta; DOP mendefinisikan baik kudddāla maupun khaṇitti sebagai alat penggali, sekop, tajak). Waktu yang dibutuhkan untuk menggali akar dengan pencungkil adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk memotong ketidak-tahuan dengan jalan Kearahattaan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan tunggul pohon menjadi berkeping-keping adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat landasan-landasan indria; waktu yang dibutuhkan untuk mengiris-irisnya adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat elemen-elemen. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan-irisan itu di bawah angina dan terik matahari adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk mengerahkan kegigihan jasmani dan pikiran. Waktu yang dibutuhkan untuk membakar irisan-irisan itu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk membakar kekotoran-kekotoran dengan pengetahuan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkannya menjadi abu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan ketika kelima kelompok unsur kehidupan masih ada [setelah seseorang mencapai Kearahattaan]. Waktu yang dibutuhkan untuk menebarkan abu itu dalam angina kencang dan menghanyutkannya di arus kencang adalah bagaikan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan. Seperti halnya abu yang ditebarkan dan terhanyutkan akan pergi menuju kondisi yang tidak terlihat (appaṇṇattibhāvūpagamo), demikian pula seseorang harus memahami kondisi yang tidak terlihat (appaṇnattibhāvo) [yang dicapai] melalui ketidak-mundulan kelompok-kelompok unsur kehidupan yang dihasilkan dalam penjelmaan baru.”

923 > Menyeberangi banjir (oghassa nittharaṇa) adalah suatu metafora untuk menyeberangi saṃsāra atau melenyapkan kekotoran-kekotoran. Kedua faktor yang disebutkan oleh Sāḷha adalah sīlavisuddhi dan tapojigucchā. Yang terakhir merupakan variasi jenis pertapaan keras dan penyiksaan diri yang ditolak oleh Sang Buddha dalam formula “jalan tengah.” Dalam jawabannya, Sang Buddha menerima pemurnian perilaku bermoral sebagai salah satu faktor pertapaan (sāmaññaṅga), namun menolak pertapaan keras dan kejijikan.

924 > Baca 3:78.

925 > Mp menjelaskan konsentrasi benar yang dibicarakan di atas sebagai konsentrasi jalan dan buah. Pandangan benar adalah pandangan sang jalan; penyebutan empat kebenaran mulia merujuk pada empat jalan dan tiga buah. Kebebasan benar adalah kebebasan buah Kearahattaan. Kumpulan ketidak-tahuan dibelah melalui jalan Kearahattaan, yang telah dicapai oleh siswa sebelum ia memperoleh kebebasan buah.

Saya menganggap bahwa sutta ini dimasukkan dalam Kelompok Empat melalui kemurnian moral (jasmani, ucapan, pikiran, dan penghidupan), konsentrasi benar, pandangan benar, dan kebebasan benar. Akan tetapi, sutta ini sendiri tidak cukup eksplisit sehubungan dengan hal ini dan dengan demikian penomoran saya adalah dugaan.
926 > Ratu Mallikā adalah istri Raja Pasenadi dari Kosala.

927 > Isi dari sutta ini juga terdapat pada MN 51.8-28, I 342-49.

928 > Ungkapan ini juga terdapat pada 3:66. baca p.1654, catatan 463.

929 > Praktik pertapaan ini juga dijelaskan pada 3:156 §2.

930 > Be sendiri yang memiliki tugas tambahan di sini, goghatako, penyembelih ternak.

931 > Baca p.1658, catatan 481.

932 > Mp: “Ketagihan disebut yang menjerat (jālinī) karena seperti jarring. Karena sebuah jaring dijahit kencang menjadi satu dan secara menyeluruh saling terjalin, demikian pula ketagihan. Atau disebut yang menjerat karena jaring ini ditebarkan di seluruh tiga alam kehidupan.  Disebut yang mengalir (saritā) karena mengalir ke sana-sini. Yang menyebar luas (visaṭā) karena menyebar luas dan berserakan. Dan lengket (visattikā) karena menempel, melekat, terikat di sana-sini.

933 > Saya menerjemahkan frasa-frasa ini – yang tidak jelas – dengan bantuan Mp. “Berhubungan dengan apa yang internal” (ajjhattikassa upādāya) bermakna berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan diri sendiri.

934 > “Berhubungan dengan apa yang eksternal” (bāhirassa upādāya) bermakna berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan eksternal.

935 > Mp mengatakan bahwa “karena ini” (iminā) harus dipahami sebagai bermakna “karena bentuk ini … karena kesadaran ini” (iminā rūpena vā … pe … viññāṇena). Kalimat ini tersamar dan saya tidak yakin bahwa Mp telah menangkap makna aslinya. “Karena ini” mungkin bermakna “karena Tuhan pencipta,” atau “karena materi primordial” atau “karena kesempatan atau keperluan,” dan sebagainya.

936 > Saya tidak yakin bagaimana menjelaskan mengapa sutta ini masuk dalam Kelompok Empat. Alasannya mungkin karena keempat kata ini digunakan untuk menjelaskan ketagihan, yang diapit oleh tanda garis pisah, tetapi ini hanya sekedar dugaan.

937 > DOP mendefinisikan kata kerja usseneti sebagai “membentuk pergaulan (dengan), terlibat,” tetapi Mp mengemasnya sebagai ukkhipati, yang dikatakan DOP dapat bermakna “melempar ke atas, naik; mengangkat, mendorong, menahan; menaikkan, memuji.” Bagian selanjutnya adlah dua puluh modus pandangan eksistensi diri (sakkāyadiṭṭhi), pandangan atas diri yang nyata yang ada sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan. Ada empat modus untuk masing-masing kelompok unsur kehidupan.

938 > Terdapat perbedaan tulisan di sini: Ce appajjhāyate, Be sampajjhāyāti, Ee pajjhāyati. Ee tidak mencantumkan paragraf ini tetapi mencantumkan paragraf berikutnya; diduga, ini adalah kekeliruan editorial dan bukan perbedaan dalam naskah.

939 > Tentang empat kata ini, baca p.1681, cataatn 656.

940 > Dalam Pāli: cintākavi, sutakavi, atthakavi, paṭibānakavi. Mp mengatakan yang pertama menggubah syair setelah merenungkan, yang ke dua melakukannya berdasarkan pada apa yang ia dengar, yang ke tiga berdasarkan sebuah pesan, dan ke empat secara spontan, melalui inspirasinya, seperti Bhikkhu Vaṅgisa.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #51 on: 15 February 2013, 06:24:21 AM »
941 > Baca ṃṇ 57.7-11, I 389-91.

942 > Di sini suatu “aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan” (sabyāpajjhaṃ kāyasaṅkhāraṃ) dapat dipahami sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas ketiga perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui jasmani, suatu “aktvitas berkehendak melalui ucapan yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas keempat perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui ucapan, dan suatu “aktvitas berkehendak melalui pikiran yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas ketiga perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui pikiran.

943 > Sepuluh perjalanan kamma bermanfaat bersama dengan kehendak jhāna-jhāna.

944 > Alam deva yang lebih tinggi.

945 > Devā subhakiṇhā. Ini adalah para deva yang berdiam di alam surga tertinggi pada jhāna ke tiga.

946 > Mp: “Kehendak sang jalan menuju akhir lingkaran” (vivaṭṭagāminī maggacetanā),

947 > Di sini saya mengikuti tulisan dalam Ce dan Ee: suññā parappavāda samaṇehi aññe ti. Be membaca aññehi untuk aññe ti. Perbedaan yang sama dalam tulisan antar edisi terjadi pada MN I 63,30 – 64,1. Dalam satu baris yang tidak merujuk pada auman siinga DN II 151,22, menuliskan suññā parappavādā samaṇehi aññe. Mp mengatakan bahwa “sekte lain” adalah para penganut enam puluh dua pandangan, yang tidak memiliki dua belas jenis pertapaan: empat yang telah mencapai buah, empat yang sedang melatih sang jalan, dan empat yang mempraktikkan pandangan terang untuk mencapi masing-masing jalan.

948 > Adhikaraṇaṃ vūpasantaṃ. Baca p.1623, catatan 231.

949 > Pārājika adalah kelompok pelanggaran yang paling berat. Untuk para bhikkhu, kelompok ini terdiri dari empat pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran dari Saṅgha: hubungan seksual, pencruan (pada tingkat yang dapat dihukum oleh hukum), pembunuhan manusia, dan pengakuan palsi telah mencapai kondisi melampaui manusia dan keluhuran spiritual. Untuk para bhikkhunī terdapat empat tambahan pārājika. Satu-satunya cara bagi seseorang yang telah melakukan salah satu dari pelanggaran-pelanggaran ini untuk “memperbaikinya sesuai Dhamma” adalah mengakuinya dan melepaskan status kebhikhhuannya. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 4.

950 > Teks menggunakan kata bhante di sini. Jelas kata ini tidak digunakan hanya untuk berbicara dengan para bhikkhu tetapi juga kepada orang-orang lain dengan posisi yang lebih tinggi. Karena itu di sini saya menerjemahkannya sebagai “Tuan-Tuan.”

951 > saṅghadisesa adalah kelompok pelanggaran terberat ke dua. Untuk para bhikkhu, kelompok ini termasuk dengan sengaja mengeluarkan mani, menyentuh perempuan dengan pikiran bernafsu, berbicara cabul dengan perempuan, dan memfitnah seorang bhikkhu bermoral telah melakukan pelanggaran pārājika, dan sebagainya. Rehabilitasinya melibatkan suatu proses yang rumit yang memerlukan siding resmi Saṅgha. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 5.

952 > Ce dan Ee assapuṭaṃ, Be bhasmapuṭaṃ. Mp: “[Perbuatannya] layak dihukum dengan karung abu yang tercela di kepalanya” (garahitabbachārikāpuṭena matthake abhighātārahaṃ).

953 > Pācittiya adalah kelompok pelanggaran yang dapat dimurnian melalui pengakuan kepada sesama bhikkhu. Diduga pelanggaran nissaggiya-pācittiya yang juga menuntut dilepaskannya benda-benda yang tidak selayaknya, juga termasuk dalam kategori ini. . Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 7 dan 8.

954 > Ini adalah kelompok pelanggaran yang lebih ringan yang dapat dimurnikan dengan cara mengakui. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 9.

955 > Sikkhānisaṃsam idaṃ bhikkhave brahmacariyaṃ vussati paññuttaraṃ vimuttisāraṃ satādhipateyyaṃ. Dalam sutta-sutta di belakang yang menggunakan metafora-metafora ini (8:83, 9:14, 10:58), perhatian mendahului kebijaksanaan dan kebebasan, tetapi sutta sekarang ini menjelaskan alasan pembalikan urutan normal ini.

956 > Ābhisamācārikā sikkhā. Mp: “Ini adalah sebutan untuk jenis perilaku bermoral yang diajarkan melalui tugas-tugas” (vattavasena paññattisīlass’etaṃ adhivacanaṃ). Komentar menarik perbedaan antara perilaku bermoral alami (pakatisīla), modus perilaku bermoral dengan penekanan pada etika, dan perilaku bermoral yang berdasarkan pada aturan (paññattisīla) yang diturunkan dari aturan-aturan monastik yang menentukan perilaku dan penampikan yang tidak secara intrinsik tidak memandang etika, seperti, tidak makan setelah tengah hari, tidak menerima uang, tidak menggelitik bhikkhu lain, dan sebagainya. Yang dimaksudkan oleh yang terakhir ini adalah ābhisamācārikā sikkhā.

957 > Mp: : “Ini adalah sebutan untuk jenis utama perilaku bermoral, yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual sang jalan” (maggabrahmacariyassa ādibhūtānaṃ catunnaṃ mahāsīlānam etaṃ achivacanaṃ). Walaupun Mp tampaknya membatasi jenis moralitas ini pada keempat pelanggaran pārājika, namun ini jelas termasuk banyak aturan latihan lainnya lagi yang termasuk dalam keompok-kelompok pelanggaran lainnya.

958 > Mp tidak menjelaskan dalam makna apa paññā disebut uttarā, tetapi hanya mengatakan: “Ini terlihat dengan baikoleh kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang” (sahavipassanāya maggapaññāya sudiṭṭhā honti).

959 > Mp: “Ini dialami melalui pengetahuan pengalaman kebebasan buah Kearahataan” (arahattaphalavimuttiyāñāṇaphassena phuṭṭhā honti).

960 > Seperti pada 4:194. Mp mengatakan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan pandangan terang (vipassanāpaññāi).

961 > Baca 2:55
962 > Seperti pada SN 55:60, V 411. ini juga disebut empat faktor yang mengarah pada realisasi buah memasuki-arus (dan buah-buah yang lebih tinggi). Baca SN 55-58, V 410-11.
963< > Ee menggabungkan sutta ini dengan sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be memperlakukannya secara terpisah.

964 > Ini bersesuaian dengan keempat kebenaran mulia, tetapi dengan kebenaran ke tiga dan ke empat terbalik.

965 > Seperti pada MN 26.5, I 161-62, tetapi yang terakhir diperkuat dengan dua pencarian tambahan: apa yang tunduk pada dukacita dan apa yang tunduk pada kekotoran. Pencarian mulia terdapat pada MN 26.12, I 162-63.

966 > Baca di atas, 4:32. Tampaknya bagi saya bahwa kedua sutta ini seharusnya berurutan. Tetapi

967 > Ia adalah bhikkhu yang mengancam akan meninggalkan Sang Buddha jika Sang Buddha tdiak menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisikanya. Baca MN 63, I 426-32, serta MN 64.2-3, I 432-33; SN 35:95, IV 72-76.

968 > Baca 4:9 di atas.

969 > Baca SN 42:9, IV 324,25 – 25,3, tentang delapan penyebab hancurnya keluarga-keluarga.

970 > Sebuah paralel yang diperluas dari 3:96.

971 > Sebuah paralel yang diperluas dari 3:98. sebuah paralel dari 3:97, tentang yang-tidak-kembali, tidak terdapat dalam Kelompok Empat.

972 > Dalam tiap-tiap sutta kelompok ini, 4:265-73, salah satu dari pelanggaran yang terdapat pada (1) menggantikan “membunuh” dalam 4:264.

973 > Serperti halnya tiga kelompok keempat praktik yang harus dikembangkan demi pengetahuan langsung pada nafsu, demikian pula praktik-prakti tersebut harus dikembangkan utuk masing-masing dari sembilan tujuan. Dengan demikian terdapat secara total tiga puluh sutta sehubungan dengan nafsu.