//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT  (Read 17285 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« on: 15 February 2013, 05:35:07 AM »
[1] BUKU KELOMPOK EMPAT

[/b]Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #1 on: 15 February 2013, 05:36:50 AM »
LIMA PULUH PERTAMA


I. BHAṆḌAGĀMA

1 (1) Dipahami

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Vajji di Bhaṇḍagāma. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:<618>

“Para bhikkhu, adalah karena tidak memahami dan tidak menembus empat hal maka kalian dan Aku telah berkelana dan mengembara dalam waktu yang sangat lama.<619> Apakah empat ini?

“Adalah, para bhikkhu, karena tidak memahami dan tidak menembus perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia maka kalian dan Aku telah berkelana dan mengembara dalam waktu yang sangat lama.

“Perilaku bermoral yang mulia telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus.
Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan;<620> sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut: [2]

   “Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,
   Dan kebebasan yang tidak terlampaui:
   Hal-hal ini Gotama yang termasyhur
   Telah dipahami oleh diriNya sendiri

   “Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini,
   Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu.
   Sang Guru, sang pembuat-akhir penderitaan,
   Seorang dengan Penglihatan, telah mencapai nibbāna.”<621>

2 (2) Terjatuh

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seseorang yang tidak memiliki empat hal ini dikatakan telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini. Apakah empat ini? (1) Seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral yang mulia dikatakan telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang yang tidak memiliki konsentrasi yang mulia … (3) Seorang yang tidak memiliki kebijaksanaan yang mulia … (4) Seorang yang tidak memiliki kebebasan yang mulia dikatakan telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini. Seseorang yang tidak memiliki empat hal ini dikatakan telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini

“Tetapi, para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat hal ini dikatakan aman<622> dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah empat ini? (1) Seorang yang memiliki perilaku bermoral yang mulia dikatakan aman dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang yang memiliki konsentrasi yang mulia … (3) Seorang yang memiliki kebijaksanaan yang mulia … (4) Seorang yang memiliki kebebasan yang mulia dikatakan aman dalam Dhamma dan disiplin ini. Seseorang yang memiliki empat hal ini dikatakan aman dalam Dhamma dan disiplin ini.”

   Roboh dan terjatuh, mereka jatuh;
   Yang serakah kembali lagi.
   Tugas telah dilakukan, kenikmatan telah dinikmati;
   Kebahagiaan dicapai melalui kebahagiaan.<623>

3 (3) Celaka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela [3] dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini?

(1) “Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki empat kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini?

(1) “Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki empat kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.

   Ia yang memuji seorang yang layak dicela,
   Atau mencela seorang yang layak dipuji,
   Dengan mulutnya melemparkan lemparan yang tidak beruntung
   Yang karenanya ia tidak menemukan kebahagiaan.<624>

   Lemparan dadu yang tidak beruntung adalah kecil
   Yang mengakibatkan hilangnya kekayaan seseorang,
   [hilang] segalanya, termasuk dirinya;
   Lemparan yang jauh lebih tidak beruntung
Adalah memendam kebencian terhadap mereka Yang Berbahagia.<625>

Selama seratus ribu tiga puluh enam
Nirabbuda, ditambah lima abbuda, [4]
   Pencela para mulia pergi ke neraka,
   Setelah memfitnah mereka dengan ucapan dan pikiran jahat.<626>

4 (4) Celaka (2)

“Para bhikkhu, dengan berperilaku buruk terhadap empat orang, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? (1) Dengan berperilaku buruk terhadap ibunya, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. (2) Dengan berperilaku buruk terhadap ayahnya … (3) Dengan berperilaku buruk terhadap Sang Tathāgata … (4) Dengan berperilaku buruk terhadap seorang siswa Sang Tathāgata … Dengan berperilaku buruk terhadap empat orang ini, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan berperilaku baik terhadap empat orang, sang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? (1) Dengan berperilaku baik terhadap ibunya, sang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. (2) Dengan berperilaku baik terhadap ayahnya … (3) Dengan berperilaku baik terhadap Sang Tathāgata … (4) Dengan berperilaku baik terhadap seorang siswa Sang Tathāgata … Dengan berperilaku baik terhadap empat orang ini, sang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.

   Seorang yang berperilaku buruk
   Terhadap ibu dan ayahnya,
   Terhadap Sang Tathāgata yang tercerahkan,
   Atau terhadap siswaNya, [5]
   Menghasilkan banyak keburukan.

   Karena perilaku yang tidak baik itu
   Terhadap ibu dan ayahnya,
   Para bijaksana mengkritiknya di sini dalam kehidupan ini
   Dan setelah kematian ia pergi ke alam sengsara.

   Seorang yang berperilaku baik
   Terhadap ibu dan ayahnya,
   Terhadap Sang Tathāgata yang tercerahkan,
   Atau terhadap siswaNya,
   Menghasilkan banyak jasa.

   Karena perilaku yang baik itu
   Terhadap ibu dan ayahnya,
   Para bijaksana memujinya di sini dalam kehidupan ini
   Dan setelah kematian ia pergi ke alam surga.<627>

5 (5) Mengikuti Arus

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.<628>

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

(3) “Dan apakah orang yang kokoh dalam pikiran? Di sini, dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, seseorang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini disebut orang yang kokoh dalam pikiran.

(4) “Dan apakah orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas tanah yang tinggi? [6] Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

“Ini, para bihkkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

   Orang-orang itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria,
   Tidak bebas dari nafsu, menikmati kenikmatan indria di sini,
   Berulang-ulang kembali pada<629> kelahiran dan penuaan,
   “Orang-orang yang mengikuti arus” tenggelam dalam ketagihan,

   Oleh karena itu seorang bijaksana dengan perhatian ditegakkan,
   Dengan tidak mendekati kenikmatan indria dan perbuatan buruk,
   Harus meninggalkan kenikmatan indria walaupun menyakitkan:
   Mereka menyebut orang ini “orang yang melawan arus.”

   Orang yang telah meninggalkan lima kekotoran,
   Seorang yang masih berlatih yang telah terpenuhi,<630> tidak mungkin mundur,
   Telah mencapai penguasaan pikiran, indria-indrianya tenang:
   Orang ini disebut “orang yang kokoh dalam pikiran.”

   Orang yang telah memahami hal-hal yang tinggi maupun rendah,
   Membakarnya, sehingga lenyap dan tidak ada lagi:
   Orang bijaksana yang telah menjalani kehidupan spiritual,
   Telah mencapai akhir dunia, disebut
   “Orang yang menyeberang.”

6 (6) Seorang yang Sedikit Belajar

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang sedikit belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari; orang yang sedikit belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari; orang yang banyak belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari; orang yang banyak belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari;

(1) “Dan bagaimanakah orang yang sedikit belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari? [7] Di sini, seseorang telah mempelajari sedikit – yaitu, khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban<631> - tetapi ia tidak memahami makna dari apa yang telah ia pelajari, ia tidak memahami Dhamma; dan ia tidak berlatih sesuai Dhamma. Dengan demikian, maka orang itu adalah orang yang sedikit belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari

(2) “Dan bagaimanakah orang yang sedikit belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari? Di sini, seseorang telah mempelajari sedikit – yaitu, khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – tetapi setelah memahami makna dari apa yang telah ia pelajari, dan setelah memahami Dhamma, ia berlatih sesuai Dhamma. Dengan demikian, maka orang itu adalah orang yang sedikit belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari.

(3) “Dan bagaimanakah orang yang banyak belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari? Di sini, seseorang telah mempelajari banyak – yaitu, khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak memahami makna dari apa yang telah ia pelajari, ia tidak memahami Dhamma; dan ia tidak berlatih sesuai Dhamma. Dengan demikian, maka orang itu adalah orang yang banyak belajar yang tidak bertekad pada apa yang telah ia pelajari.

(4) “Dan bagaimanakah orang yang banyak belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari? Di sini, seseorang telah mempelajari banyak – yaitu, khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – dan setelah memahami makna dari apa yang telah ia pelajari, dan setelah memahami Dhamma, ia berlatih sesuai Dhamma. Dengan demikian, maka orang itu adalah orang yang banyak belajar yang bertekad pada apa yang telah ia pelajari.

“Ini, para bhikkhu, adalah  ada empat jenis orang ini terdapat di dunia.”

   Jika seseorang sedikit belajar
   Dan tidak kokoh dalam moralitas,
   Mereka mengkritiknya dalam kedua hal,
   Perilaku bermoral dan pembelajaran.

   Jika seseorang sedikit belajar
   Namun kokoh dengan baik dalam moralitas,
   Mereka memujinya atas perilaku bermoralnya;
   Pembelajarannya telah berhasil.<632>

   Jika seseorang banyak belajar
   Namun tidak kokoh dalam moralitas,
   Mereka mengkritiknya atas ketiadaan moralitasnya;
   Pembelajaran belum berhasil.

   Jika seseorang banyak belajar
   Dan kokoh dengan baik dalam moralitas,
   Mereka memujinya dalam kedua hal;
   Perilaku bermoral dan pembelajaran.

   Ketika seorang siswa Sang Buddha banyak belajar,
   Seorang ahli Dhamma, memiliki kebijaksanaan,
   Bagaikan kepingan uang yang terbuat dari emas gunung yang dihaluskan,
   Siapakah yang pantas mencelanya?
   Bahkan para deva memuji seorang demikian;
   Brahmā juga memujinya.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #2 on: 15 February 2013, 05:38:32 AM »
7 (7) Mereka Menghias

“Para bhikkhu, empat jenis orang ini yang kompeten, disiplin percaya-diri, terpelajar, ahli dalam Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, menghias Saṅgha. Apakah empat ini?

(1) “seorang bhikkhu yang kompeten, disiplin, percaya-diri, terpelajar, ahli dalam Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, menghias Saṅgha. (2) Seorang bhikkhunī yang kompeten … (3) Seorang umat awam laki-laki yang kompeten … (4) Seorang umat awam perempuan yang kompeten, disiplin berkeyakinan-diri, terpelajar, ahli dalam Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, menghias Saṅgha.

“Para bhikkhu, empat jenis orang ini yang kompeten, disiplin, percaya-diri, terpelajar, ahli dalam Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, menghias Saṅgha.

   Seorang yang kompeten dan percaya-diri,
   Terpelajar, seorang ahli dalam Dhamma,
   Berlatih sesuai Dhamma,
   Disebut sebuah hiasan Saṅgha.

   Seorang bhikkhu yang sempurna dalam moralitas,
   Seorang bhikkhunī yang terpelajar
   Seorang umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan
   Seorang umat awam perempuan yang memiliki keyakinan;
   Mereka ini adalah orang-orang yang menghias Saṅgha;
   Mereka ini adalah hiasan Saṅgha.

8 (8 ) Kepercayaan-diri

“Para bhikkhu, ada empat jenis kepercayaan diri ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menyatakan posisinya sebagai sapi pemimpin, [9] mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.<633> Apakah empat ini?

(1) “Aku tidak melihat landasan apa pun yang dengan berdasarkan pada landasan itu seorang petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu, dengan mengatakan: ‘Walaupun Engkau mengaku tercerahkan sempurna, namun Engkau tidak sepenuhnya tercerahkan sehubungan dengan hal-hal ini.’ Karena aku tidak melihat landasan demikian, naka Aku berdiam aman, tanpa takut, dan percaya diri.

(2) “Aku tidak melihat landasan apa pun yang dengan berdasarkan pada landasan itu seorang petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu, dengan mengatakan: ‘Walaupun Engkau mengaku noda-nodanya telah dihancurnya, namun Engkau tidak sepenuhnya menghancurkan noda-noda ini.’ Karena aku tidak melihat landasan demikian, naka Aku berdiam aman, tanpa takut, dan percaya diri.

(3) “Aku tidak melihat landasan apa pun yang dengan berdasarkan pada landasan itu seorang petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu, dengan mengatakan: ‘Hal-hal ini yang Engkau katakan sebagai penghalang tidak mampu menghalangi orang yang menekuninya.’ Karena aku tidak melihat landasan demikian, naka Aku berdiam aman, tanpa takut, dan percaya diri.

(4) “Aku tidak melihat landasan apa pun yang dengan berdasarkan pada landasan itu seorang petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu, dengan mengatakan: ‘Dhamma tidak menuntun seseorang menuju kehancuran total penderitaan, tujuan yang karenanya engkau mengajarkannya.’<634> Karena aku tidak melihat landasan demikian, naka Aku berdiam aman, tanpa takut, dan percaya diri.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis kepercayaan diri yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menyatakan posisinya sebagai sapi pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.”

   Jalan-jalan doktrin ini
   Yang diformulasikan dalam berbagai macam cara,
   Yang diandalkan oleh para petapa dan brahmana,
   Tidak mencapai Sang Tathāgata,
   Yang percaya diri yang telah melewati
   Melampaui jalan-jalan doktrin.<635>

   Sempurna, setelah mengatasi [segalanya],
   Beliau memutar roda Dhamma
   Demi belas kasihan pada semua makhluk.
   Makhluk-makhluk bersujud kepada orang demikian,
   Yang terbaik di antara para deva dan manusia,
   Yang telah melampaui penjelmaan. [10]

9 (9) Ketagihan

“Para bhikkhu, ada empat cara ini di mana ketagihan muncul pada seorang bhikkhu. Apakah empat ini? Ketagihan muncul pada seorang bhikkhu karena jubah, makanan, tempat tinggal, atau demi kehidupan di sini atau di tempat lain.<636>
   
   Dengan ketagihan sebagai pendamping
   Seseorang mengembara sepanjang waktu yang lama ini.
   Pergi dari satu kondisi ke kondisi lainnya,
   Ia tidak mengatasi saṃsāra.

   Setelah mengetahui bahaya ini –
   Bahwa ketagihan adalah asal-mula penderitaan –
   Dengan terbebas dari ketagihan, hampa dari genggaman,
   Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian.

10 (10) Ikatan

“Para bhikkhu, ada empat ikatan ini. Apakah empat ini? Ikatan indriawi, ikatan penjelmaan, ikatan pandangan, dan ikatan ketidak-tahuan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, ikatan indriawi? Di sini, seseorang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria. Ketika seseorang tidak memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka nafsu indriawi, kesenangan indriawi, kasih sayang indriawi, ketergila-gilaan indriawi, kehausan indriawi, kegemaran indriawi, keterikatan indriawi, dan ketagihan indriawi berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan kenikmatan inderia. Ini disebut ikatan indriawi.

(2) “Demikianlah ikatan indriawi. Dan bagaimanakah terjadinya ikatan penjelmaan? Di sini, seseorang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kondisi-kondisi penjelmaan.<637> Ketika seseorang tidak memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka nafsu pada penjelmaan, kesenangan pada penjelmaan, kasih sayang pada penjelmaan, ketergila-gilaan pada penjelmaan, kehausan pada penjelmaan, kegemaran pada penjelmaan, keterikatan pada penjelmaan, dan ketagihan pada penjelmaan berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan penjelmaan. Ini disebut ikatan penjelmaan.

(3) “Demikianlah ikatan indriawi dan ikatan penjelmaan. Dan bagaimanakah terjadinya ikatan pandangan? Di sini, seseorang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan pandangan-pandangan. Ketika seseorang tidak memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, [11] maka nafsu pada pandangan-pandangan, kesenangan pada pandangan-pandangan, kasih sayang pada pandangan-pandangan, ketergila-gilaan pada pandangan-pandangan, kehausan pada pandangan-pandangan, kegemaran pada pandangan-pandangan, keterikatan pada pandangan-pandangan, dan ketagihan pada pandangan-pandangan berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan pandangan-pandangan. Ini disebut ikatan pandangan-pandangan.

(4) “Demikianlah ikatan indriawi, ikatan penjelmaan, dan ikatan pandangan. Dan bagaimanakah terjadinya ikatan ketidak-tahuan? Di sini, seseorang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan enam landasan kontak. Ketika seseorang tidak memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka, kebodohan dan ketidak-tahuan berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan enam landasan kontak. Ini disebut ikatan ketidak-tahuan. Demikianlah ikatan indriawi, ikatan penjelmaan, ikatan pandangan, dan ikatan ketidak-tahuan.

“Seseorang terbelenggu oleh kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang mengotori, menghasilkan penjelmaan baru, menyusahkan, matang dalam penderitaan, mengarah pada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; oleh karena itu ia dikatakan ‘tidak aman dari belenggu.’ Ini adalah keempat ikatan itu.

“Ada, para bhikkhu, empat pemutusan ikatan ini. Apakah empat itu? Pemutusan ikatan indriawi, pemutusan ikatan penjelmaan, pemutusan ikatan pandangan, dan pemutusan ikatan ketidak-tahuan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, pemutusan ikatan indriawi? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria. Ketika seseorang memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka nafsu indriawi, kesenangan indriawi, kasih sayang indriawi, ketergila-gilaan indriawi, kehausan indriawi, kegemaran indriawi, keterikatan indriawi, dan ketagihan indriawi tidak berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan kenikmatan indria. Ini disebut pemutusan ikatan indriawi.

(2) “Demikianlah pemutusan ikatan indriawi. Dan bagaimanakah terjadinya pemutusan ikatan penjelmaan? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kondisi-kondisi penjelmaan. Ketika seseorang memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka nafsu pada penjelmaan, kesenangan pada penjelmaan, kasih sayang pada penjelmaan, ketergila-gilaan pada penjelmaan, kehausan pada penjelmaan, kegemaran pada penjelmaan, keterikatan pada penjelmaan, dan ketagihan pada penjelmaan tidak berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan penjelmaan. Ini disebut pemutusan ikatan penjelmaan.

(3) “Demikianlah pemutusan ikatan indriawi dan pemutusan ikatan penjelmaan. Dan bagaimanakah terjadinya pemutusan ikatan pandangan? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan [12] jalan membebaskan diri sehubungan dengan pandangan-pandangan. Ketika seseorang memahami hal-hal ini sebagaimana adanya,] maka nafsu pada pandangan-pandangan, kesenangan pada pandangan-pandangan, kasih sayang pada pandangan-pandangan, ketergila-gilaan pada pandangan-pandangan, kehausan pada pandangan-pandangan, kegemaran pada pandangan-pandangan, keterikatan pada pandangan-pandangan, dan ketagihan pada pandangan-pandangan tidak berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan pandangan-pandangan. Ini disebut pemutusan ikatan pandangan-pandangan.

(4) “Demikianlah pemutusan ikatan indriawi, ikatan pemutusan penjelmaan, dan ikatan pemutusan pandangan. Dan bagaimanakah terjadinya pemutusan ikatan ketidak-tahuan? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan enam landasan kontak. Ketika seseorang memahami hal-hal ini sebagaimana adanya, maka, kebodohan dan ketidak-tahuan tidak berdiam dalam diri seseorang sehubungan dengan enam landasan kontak. Ini disebut pemutusan ikatan ketidak-tahuan. Demikianlah pemutusan ikatan indriawi, ikatan pemutusan penjelmaan, pemutusan ikatan pandangan, dan pemutusan ikatan ketidak-tahuan.

“Seorang terlepas dari kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang mengotori, menghasilkan penjelmaan baru, menyusahkan, matang dalam penderitaan, mengarah pada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; oleh karena itu ia dikatakan ‘aman dari belenggu.’ Ini adalah keempat pemutusan ikatan itu.”

   Terbelenggu oleh ikatan indriawi
   Dan ikatan penjelmaan,
   Terbelenggu oleh ikatan pandangan,
   Yang didahului oleh ketidak-tahuan,
   Makhluk-makhluk berlanjut dalam saṃsāra,
   Yang mengarah pada kelahiran dan kematian.

   Tetapi setelah sepenuhnya memahami
   Kenikmatan-kenikmatan indria dan ikatan penjelmaan,
   Setelah mencabut ikatan pandangan
   Dan meleburkan ketidak-tahuan,
   Para bijaksana telah memutuskan segala ikatan;
   Mereka telah melampaui belenggu.<638> [13]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #3 on: 15 February 2013, 05:39:03 AM »
II. BERJALAN

11 (1) Berjalan <639>

(1) “Para bhikkhu, jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu sedang berjalan, dan ia membiarkannya, tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai hampa dari semangat dan rasa takut bermoral; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi malas dan tanpa kegigihan ketika sedang berjalan.

(2) “Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berdiri … (3) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang duduk … (4) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berbaring terjaga, dan ia membiarkannya, tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai hampa dari semangat dan rasa takut bermoral; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi malas dan tanpa kegigihan ketika sedang berbaring terjaga.

(1) “tetapi, para bhikkhu, jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu sedang berjalan, tetapi ia tidak membiarkannya, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia secara terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan tanpa bertekad ketika sedang berjalan.

(2) “Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berdiri … (3) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang duduk … (4) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berbaring terjaga, dan ia tidak membiarkannya, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi penuh semangat dan tanpa bertekad ketika sedang berbaring terjaga.”

   Apakah berjalan atau berdiri,
   Duduk atau berbaring,
   Seseorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk
   Yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga
   Telah memasuki jalan mengerikan,
   Tergila-gila oleh hal-hal yang menyesatkan:
   Bhikkhu demikian tidak dapat mencapai
   Pencerahan tertinggi

   Tetapi seseorang yang, apakah berjalan,
   Berdiri, duduk, atau berbaring,
   Telah menenangkan pikiran-pikirannya
   Dan gembira dalam penenangan pikiran:
   Bhikkhu seperti ini dapat mencapai
   Pencerahan tertinggi.

12 (2) Perilaku Bermoral

“Para bhikkhu, berdiamlah dengan mematuhi perilaku bermoral, mematuhi Pātimokkha. Berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalan pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerimanya, berlatihlah dalam aturan-aturan latihan. Jika kalian telah melakukan demikian, apakah yang harus dilakukan lebih lanjut?

(1) “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk  ketika sedang berjalan; jika ia telah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan;<640> jika kegigihannya telah dibangkitkan tanpa mengendur; jika perhatiannya telah ditegakkan dan tidak kacau; jika jasmaninya tenang dan tidak terganggu; jika pikirannya terkonsentrasi dan terpusat, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan bertekad sewaktu sedang berjalan.

(2) “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk  ketika sedang berdiri … (3) Jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk  ketika sedang duduk … (4) Jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk  ketika sedang berbaring terjaga; jika ia telah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan; jika kegigihannya telah dibangkitkan tanpa mengendur; jika perhatiannya telah ditegakkan dan tidak kacau; jika jasmaninya tenang dan tidak terganggu; jika pikirannya terkonsentrasi dan terpusat, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan bertekad sewaktu sedang berbaring terjaga.”

   Terkendali ketika berjalan, terkendali ketika berdiri,
   Terkendali ketika duduk, dan ketika berbarung;
   Terkendali, seorang bhikkhu menarik anggota tubuhnya,
   Dan terkendali, ia merentangkannya.

   Ke atas, ke sekeliling, dan ke bawah,
   Sejauh mana dunia ini merentang,
   Ia adalah seorang yang memerika muncul dan lenyapnya
   Fenomena-fenomena kelompok-kelompok unsur kehidupan.

   Berlatih dalam apa yang kondusif
   Hingga ketenangan pikiran, selalu penuh perhatian,
   Mereka menyebut bhikkhu demikian
   Sebagai seorang yang terus-menerus bertekad.

13 (3) Usaha

“Para bhikkhu, ada empat usaha benar ini. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (2) Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (3) Ia membangkitkan keinginan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (4) Ia membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ini adalah empat usaha benar.”

   Mereka yang berusaha keras dengan benar
   Mengatasi alam Māra;
   Mereka tidak melekat,
   Melampaui ketakutan pada kelahiran dan kematian.

   Mereka puas dan tidak terpengaruh,
   Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya;
   Mereka yang berbahagia itu telah mengatasi
   Seluruh bala tentara Namuci.<641> [16]

14 (4) Pengendalian

“Para bhikkhu, ada empat usaha ini. Apakah empat ini? Usaha untuk mengendalikan, usaha untuk meninggalkan, usaha untuk mengembangkan, dan usaha untuk melindungi.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha untuk mengendalikan? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini disebut usaha untuk mengendalikan.

(2) “Dan apakah usaha untuk meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan pikiran indriawi yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan pikiran berniat buruk yang telah muncul … pikiran mencelakai yang telah muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut usaha untuk meninggalkan.

(3) “Dan apakah usaha untuk mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam kebebasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan suka-cita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam kebebasan. Ini disebut usaha untuk mengembangkan. [17]

(4) “Dan apakah usaha untuk melindungi? Di sini, seorang bhikkhu melindungi objek konsentrasi yang baik yang telah muncul:<642> persepsi tulang-belulang, persepsi mayat yang dikerbuti belatung, persepsi mayat yang memucat, persepsi mayat bernanag, persepsi mayat terpecah; persepsi mayat membengkak. Ini disebut usaha untuk melindungi.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis usaha.”

   Mengendalikan dan meninggalkan,
   Mengembangkan dan melindungi:
   Keempat usaha keras ini diajarkan
   Oleh kerabat Matahari.
   Melalui cara-cara ini seorang bhikkhu yang tekun di sini
   Dapat mencapai hancurnya penderitaan.

15 (5) Pernyataan

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan yang terunggul ini. Apakah empat ini?

(1) “Yang terunggul di antara mereka yang memiliki tubuh adalah Rāhu, raja para asura.<643> (2) Yang terunggul di antara mereka yang menikmati kenikmatan indria adalah Raja Mandhātā.<644> (3) Yang terunggul di antara mereka yang mengerahkan kekuasaan adalah Māra Si jahat. (4) Di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terunggul. Ini adalah empat pernyataan dari mereka yang terunggul.”

   Rāhu adalah yang terunggul di antara mereka yang memiliki tubuh,
Mandhāta adalah yang terunggul di antara mereka menikmati kenikmatan indria;
Māra adalah adalah yang terunggul di antara para penguasa,
Gemerlap dengan kekuasaan dan keagungan.

Di dunia ini bersama dengan para deva,
Di atas, di sekeliling, dan di bawah,
Sejauh mana dunia ini merentang,
Sang Buddha dinyatakan sebagai yang terunggul.

16 (6) Keindahan

“Para bhikkhu, ada empat jenis keindahan ini.<645> Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki keindahan tertinggi atas bentuk. Ia tidak melihat keindahan bentuk lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada yang itu; ia tidak merindukan keindahan bentuk lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada yang itu. (2) Ia memiliki keindahan tertinggi atas perasaan [18] … (3) … keindahan tertinggi atas persepsi … (4) … keindahan tertinggi atas aktivitas-aktvitas berkehendak. Ia tidak melihat keindahan bentuk lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada yang itu; ia tidak merindukan keindahan bentuk lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada yang itu.

“Ini adalah keempat jenis keindahan itu.”

   Setelah mengetahui keindahan bentuk
   Asal-mula perasaan-perasaan,
   Bagaimana persepsi muncul,
   Dan di mana lenyapnya;
   Setelah mengetahui aktivitas-aktivitas berkehendak
   Sebagai makhluk asing, sebagai penderitaan, dan bukan sebagai diri,
   Sungguh bhikkhu itu yang melihat dengan benar,<646>
   Damai, bersenang dalam kondisi penuh damai.
   Ia membawa jasmani terakhirnya,
   Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya.

17 (7) Jalan yang Salah (1)

“Para bhikkhu, ada empat cara ini dalam mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau karena ketakutan. Ini adalah keempat cara dalam mengambil jalan yang salah.”

   Jika melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi
   Seseorang melanggar Dhamma,
   Maka kemasyhurannya memudar bagaikan rembulan
   Pada malam dwimingguan yang gelap.

18 (8 ) Jalan yang Salah (2)

“Para bhikkhu, ada empat cara ini dalam tidak mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang tidak mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau karena ketakutan. Ini adalah keempat cara dalam tidak  mengambil jalan yang salah.”

   Jika seseorang tidak melanggar Dhamma
   Melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi,
   Maka kemasyhurannya menjadi penuh bagaikan rembulan
   Pada malam dwingguan yang terang.

19 (9) Jalan yang Salah (3)

“Para bhikkhu, ada empat cara ini dalam mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? [19] Seseorang mengambil jalan yang salah karena keinginan … [seperti pada 4:17] … Ini adalah keempat cara dalam mengambil jalan yang salah.”

“Para bhikkhu, ada empat cara ini dalam tidak mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang tidak mengambil jalan yang salah karena keinginan … [seperti pada 4:18] … Ini adalah keempat cara dalam tidak mengambil jalan yang salah.”

   Jika melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi
   Seseorang melanggar Dhamma,
   Maka kemasyhurannya memudar bagaikan rembulan
   Pada malam dwimingguan yang gelap.

   Jika seseorang tidak melanggar Dhamma
   Melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi,
   Maka kemasyhurannya menjadi penuh bagaikan rembulan
   Pada malam dwingguan yang terang.

20 (10)  Seorang Pembagi Makanan

“Para bhikkhu, jika seorang pembagi makanan<647> memiliki empat kualitas, ia ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau karena ketakutan. jika seorang pembagi makanan memiliki keempat kualitas ini, ia ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa kesana.

“Para bhikkhu, jika seorang pembagi makanan memiliki empat kualitas, ia ditempatkan di surga seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia tidak mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau karena ketakutan. jika seorang pembagi makanan memiliki keempat kualitas ini, ia ditempatkan di surga seolah-olah dibawa kesana.”

   Orang-orang itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria,
   Yang tidak baik, tidak menghormati Dhamma
   Pergi [berkelana] melalui keinginan, kebencian, dan ketakutan<648>
Disebut kumpulan yang ternoda.
Demikianlah dikatakan oleh Petapa yang mengetahui.

Oleh karena itu orang-orang baik itu yang terpuji
Kokoh dalam Dhamma, yang tidak melakukan kejahatan,
Tidak terpengaruh oleh keinginan, kebencian, dan ketakutan,
Disebut kumpulan unggulan.
Demikianlah dikatakan oleh Petapa yang mengetahui. [20]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #4 on: 15 February 2013, 05:40:12 AM »
III. URUVELĀ

21 (1) Uruvelā (1) <649>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Uruvelā, di bawah pohon banyan penggembala di tepi Sungai Neranjarā, tidak lama setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian, sewaktu Aku sedang sendirian dalam keterasingan, suatu pemikiran muncul dalam pikiranku sebagai berikut: ‘Sungguh menyakitkan berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan. Sekarang petapa atau brahmana manakah yang dapat Kuhormati, Kuhargai, dan berdiam dengan bergantung padanya?’

“Kemudian Aku berpikir: (1) ‘Jika kelompok perilaku bermoralKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal perilaku bermoral daripada diriKu sendiri kepada siapa Aku dapat menghormat, menghargai, dan berdiam dengan bergantung padanya.

(2) “Jika kelompok konsentrasiKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal konsentrasi daripada diriKu sendiri …

(3) “Jika kelompok kebijaksanaanKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal kebijaksanaan daripada diriKu sendiri …

(4) “Jika kelompok kebebasanKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal kebebasan daripada diriKu sendiri kepada siapa Aku dapat menghormat, menghargai, dan berdiam dengan bergantung padanya.

“Aku berpikir: ‘Biarlah Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma ini yang karenanya Aku telah menjadi tercerahkan sempurna.’

“Kemudian Brahmā Sahampati, [21] setelah mengetahui refleksi pikiranKu dengan pikirannya sendiri, lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di hadapanKu seperti halnya seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang. Ia merapikan jubahnya di satu bahunya, membungkuk dengan lutut kanannya di tanah, memberi hormat kepadaKu, dan berkata: ‘Betulah, Bhagavā! Begitulah Yang Berbahagia! Bhante, mereka yang telah menjadi para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau – para Bhagavā itu, juga, menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma. mereka yang akan menjadi para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan – para Bhagavā itu, juga, akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma. Biarlah Sang Bhagavā, juga, yang sekarang ini menjadi seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma.’

“Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Setelah mengatakan ini, ia berkata lebih lanjut sebagai berikut:

“Para Buddha yang sempurna di masa lampau,
Para Buddha di masa depan
Dan Sang Buddha di masa sekarang
Yang telah melenyapkan dukacita banyak makhluk:
Mereka semua telah berdiam, sekarang berdiam,
Dan [di masa depan] akan berdiam
Dengan menghormati Dhamma sejati.
Ini adalah ciri para Buddha.
“Oleh karena itu seseorang yang menginginkan kebaikan,<650>
Bercita-cita untuk mencapai kebesaran,
Harus menghormati Dhamma sejati,
Merenungkan ajaran para Buddha.’

“Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Kemudian ia memberi hormat kepadaKu, dan dengan Aku tetap berada di sisi kanannya, ia lenyap dari sana. Kemudian, setelah menerima permohonan Brahmā dan apa yang sesuai bagi diriKu sendiri, maka Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma yang karenanya Aku telah menjadi tercerahkan sempurna. Dan sekarang bahwa Saṅgha telah mencapai kebesaran, maka Aku juga menghormati Saṅgha.” [22]

22 (2) Uruvela (2)

“Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Uruvelā, di bawah pohon banyan penggembala di tepi Sungai Neranjarā, tidak lama setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian sejumlah para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, mendatangiKu dan saling bertukar sapa denganKu. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadaKu:

“Kami telah mendengar, Guru Gotama: ‘Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.’ Hal ini sesungguhnya benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.”<651>

“Kemudian Aku berpikir: Para mulia ini tidak mengetahui apa itu sepuh dan kualitas-kualitas apa yang membuat seseorang menjadi sepuh. Walaupun seseorang berusia tua – delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun sejak lahir – jika ia berbicara pada waktu yang tidak tepat, berbohong, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengatakan apa yang berlawanan dengan Dhamma dan displin, jika pada waktu yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, berbicara tanpa tujuan, dan tidak bermanfaat, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh yang dungu [yang kekanak-kanakan].

“Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, pada masa utama kehidupannya, jika ia berbicara pada waktu yang tepat, jujur, mengatakan apa yang bermanfaat, mengatakan apa yang sesuai dengan Dhamma dan displin, dan jika pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak layak diingat, masuk akal, ringkas, dan bermanfaat, maka ia dianggap sebagai sesepuh bijaksana.

“Ada, para bhikkhu, keempat kualitas ini yang membuat seseorang menjadi sesepuh. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam terkendali oleh Pārimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar, [23] mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia adalah seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan merupakan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini.

(4) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah mencapai untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Ini adalah keempat kualitas yang membuat seseorang menjadi sesepuh.”

   Si dungu dengan pikiran resah<652>
   Yang banyak membicarakan ucapan-ucapan tanpa tujuan,
   Pikirannya kacau,
   Bersenang dalam ajaran yang buruk,
Menganut pandangan sesat, tidak sopan,
Adalah jauh dari status seorang sesepuh

Tetapi seorang yang sempurna dalam moralitas,
Terpelajar dan melihat,
Terkendali oleh diri sendiri dalam faktor-faktor kekokohan,
Yang dengan jelas melihat makna dengan kebijaksanaan;
Telah melampaui segala fenomena,
Tidak mandul, melihat;<653>
Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
Sempurna dalam kehidupan spiritual,
Padanya tidak ada noda-noda –
Ia adalah seorang yang Kusebut sesepuh.
Dengan hancurnya noda-noda
Seorang bhikkhu disebut sesepuh.

23 (3) Dunia <654>

“Para bhikkhu, Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada dunia.<655> Sang Tathāgata terlepas dari dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada asal-mula dunia. Sang Tathāgata telah meninggalkan asal-mula dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah merealisasi lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada jalan menuju lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah mengembangkan jalan menuju lenyapnya dunia.

(1) “Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva, dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, [24] diperiksa oleh pikiran – Sang Tathāgata telah tercerahkan pada semuanya; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<656>

(2) “Para bhikkhu, apa pun yang dibicarakan, diucapkan, atau dibabarkan oleh Sang Tathāgata selama interval antara malam ketika Beliau tercerahkan pada pencerahan sempurna yang tidak terlampaui hingga malam ketika Beliau mencapai nibbāna akhir.<657> Semuanya adalah persis seperti itu dan bukan sebaliknya; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<658>

(3) “Para bhikkhu, sebagaimana yang dikatakan oleh Sang Tathāgata, demikianlah Beliau melakukan; sebagaimana Beliau melakukan, demikianlah Beliau mengatakannya. Karena Beliau melakukan apa yang Beliau katakan dan mengatakan apa yang Beliau lakukan, oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<659>

(4) “Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva, dan manusia, Sang Tathāgata adalah Sang Penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, pemegang kekuasaan; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.”

   Setelah secara langsung mengetahui dunia –
   Semua di dunia hanyalah demikian –
   Beliau terpisah dari seluruh dunia,
   Terlepas dari seluruh dunia.

   Beliau adalah penakluk segalanya,
   Sang Bijaksana yang telah melepas segala ikatan
   Beliau telah mencapai kedamaian tertinggi,
   Nibbāna, yang tidak terjangkau oleh ketakutan.

   Beliau adalah Sang Buddha, noda-nodaNya telah dihancurkan,
   Tidak terganggu, semua keragu-raguan terpotong;
   Setelah mencapai hancurnya semua kamma,
   Beliau terbebaskan dalam padamnya perolehan.

   Beliau adalah Sang Bhagavā, Sang Buddha,
   Beliau adalah singa yang tidak tertandingi;
   Di dunia ini bersama dengan para devanya,
   Beliau memutar roda Brahmā.

   Demikianlah para deva dan manusia itu
   Yang telah berlindung pada Sang Buddha
   Berkumpul dan memberi hormat padaNya,
   Yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri

   “Jinak, Beliau adalah penjinak terbaik;
   Damai, Beliau adalah sang bijaksana di antara para pembawa kedamaian;
   Bebas, Beliau adalah pemimpin di antara para pembebas;
   Menyeberang, Beliau adalah penuntun terbaik ke seberang.”

   Demikianlah sesungguhnya mereka memberi hormat kepadaNya,
   Yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri
   Di dunia ini bersama dengan para devanya,
   Tidak ada yang mampu menandingiMu.

24 (4) Kāḷaka

[Demikianlah yang kudengar.]<660> Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāketa, di Taman Kāḷaka.<661> Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [25]

“Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran – Aku mengetahuinya.

“Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran – telah Kuketahui secara langsung. Hal ini telah diketahui oleh Sang Tathāgata,<662> tetapi Sang Tathāgata tidak tunduk padanya.<663>

“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku tidak mengetahuinya,’ maka itu adalah kebohongan dipihakKu.

“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku mengetahui sekaligus tidak mengetahuinya,’ maka itu juga sama.<664>

“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku bukan mengetahui juga bukan tidak mengetahuinya.’ Maka itu adalah pelanggaran di pihakku.<665>

(1) “Jadi, setelah melihat apa yang dapat dilihat, Sang Tathāgata tidak salah memahami apa yang terlihat, tidak salah memahami apa yang tidak terlihat, tidak salah memahami apa yang dapat dilihat, tidak salah memahami orang yang melihat.<666> (2) Setelah mendengar apa yang dapat didengar, Beliau tidak salah memahami apa yang terdengar, tidak salah memahami apa yang tidak terdengar, tidak salah memahami apa yang dapat didengar, tidak salah memahami orang yang mendengar. (3) Setelah mengindera apa yang dapat diindera Beliau tidak salah memahami apa yang terindera, tidak salah memahami apa yang tidak diindera, tidak salah memahami apa yang dapat diindera, tidak salah memahami orang yang mengindera. (4) Setelah mengenali apa yang dapat dikenali Beliau tidak salah memahami apa yang dikenali, tidak salah memahami apa yang tidak dikenali, tidak salah memahami apa yang dapat dikenali, tidak salah memahami orang yang mengenali.

“Demikianlah, para bhikkhu, dengan senantiasa stabil di antara hal-hal yang dilihat, didengar, diindera, dan dikenali, maka Sang Tathāgaat adalah Seorang yang stabil.<667> Dan, Aku katakan, tidak ada orang stabil yang lebih baik atau lebih luhur daripada Yang Stabil itu.”

   Di tengah-tengah mereka yang dibatasi oleh diri sendiri, Yang Stabil
   Tidak akan menyatakan secara tegas benar atau salah
   Apa pun yang dilihat, didengar, atau diindera,
   Dilekati dan dianggap sebagai kebenaran oleh orang lain.<668>

   Karena mereka telah melihat anak panah ini<669>
   Yang padanya orang-orang melekat dan bergantung, [26]
   [Dengan mengatakan] “Aku mengetahui, aku melihat, demikianlah adanya,”
   Sang Tathāgata tidak melekat pada apa pun.

25 (5) Kehidupan Spiritual

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual bukan dijalani untuk menipu orang-orang dan membujuk mereka; juga bukan untuk kepentingan perolehan, kehormatan, dan pujian; juga bukan untuk tujuan memenangkan perdebatan; juga bukan dengan pikiran: ‘Semoga orang-orang mengenalku seperti demikian.’ Melainkan, kehidupan spiritual ini dijalani untuk mengendalikan, meninggalkan, demi kebosanan, dan lenyapnya.”<670>

   Sang Bhagavā mengajarkan kehidupan spiritual,
Bukan berdasarkan pada tradisi, yang memuncak dalam nibbāna,
Yang dijalani untuk
Mengendalikan dan meninggalkan.<671>

Ini adalah jalan makhluk-makhluk agung,<672>
Jalan yang diikuti oleh para bijaksana agung.
Mereka yang mempraktikkannya
Seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha,
Bertindak menurut bimbingan Sang Guru,
Akan mengakhiri penderitaan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #5 on: 15 February 2013, 05:40:43 AM »
26 (6) Penipu <673>

(1) “Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang adalah para penipu, keras kepala, banyak bicara, pembohong, congkak, dan tidak terkonsentrasi bukanlah para bhikkhuKu.<674> (2) Mereka telah tersesat dari Dhamma dan disiplin ini, dan mereka tidak mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (3) Tetapi para bhikkhu itu yang jujur, tulus, teguh, patuh, dan terkonsentrasi baik adalah para bhikkhuKu. (4) Mereka tidak tersesat dari Dhamma dan disiplin ini, dan mereka mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

Mereka yang adalah para penipu, keras kepala, banyak bicara,
Pembohong, congkak, tidak terkonsentrasi,
Tidak mengalami kemajuan dalam Dhamma
Yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan Sempurna.

Tetapi mereka yang jujur dan tulus,
Teguh, patuh, dan terkonsentrasi baik
Mengalami kemajuan dalam Dhamma
Yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan Sempurna.

27 (7) Kepuasan

“Para bhikkhu ada empat barang sepele ini, yang mudah diperoleh dan tanpa cela. Apakah empat ini?

(1) “Jubah potongan kain adalah barang sepele di antara jubah-jubah, mudah diperoleh [27] dan tanpa cela. (2) Segumpal makanan adalah barang sepele di antara makanan-makanan, mudah diperoleh dan tanpa cela. (3) Bawah pohon adalah barang sepele di antara tempat-tempat tinggal, mudah diperoleh dan tanpa cela. (4) Air kencing yang bau adalah barang sepele di antara obat-obatan, mudah diperoleh dan tanpa cela.<675>

“Ini adalah empat barang sepele, yang mudah diperoleh dan tanpa cela. Jika seorang bhikkhu puas dengan apa yang sepele dan mudah diperoleh, Aku katakan bahwa ia memiliki satu faktor kehidupan pertapaan.”

   Ketika seseorang puas dengan apa yang tanpa cela,
   Barang sepele dan mudah diperoleh;
   Ketika pikirannya tidak tertekan
   Karena tempat tinggal,
   Jubah, minuman, dan makanan,
   Maka ia tidak terhalangi di mana pun.<676>

   Kualitas-kualitas ini, dinyatakan dengan benar
   Agar sesuai dengan kehidupan pertapaan,
   Diperoleh oleh seorang bhikkhu<677>
   Yang puas dan waspada.

28 (8 ) Silsilah Mulia <678>

“Para bhikkhu, ada empat silsilah mulia ini, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu puas dengan jenis jubah apa pun, dan memuji kepuasan atas jenis jubah apa pun, dan ia tidak terlibat dalam pencarian salah, dalam apa yang tidak selayaknya, demi mendapatkan jubah.<679> Jika ia tidak mendapatkan jubah, ia tidak bergejolak, dan jika ia mendapatkan jubah, ia menggunakannya tanpa terikat pada jubah itu, tanpa tergila-gila pada jubah itu, dan tidak secara membuta terserap di dalam jubah itu, melihat bahaya di dalam jubah itu dan memahami jalan membebaskan diri dari jubah itu. Namun ia tidak memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang lain karena hal ini. Bhikkhu mana pun yang terampil dalam hal ini, rajin, memahami dengan jernih dan senantiasa penuh perhatian, dikatakan berdiri dalam silsilah mulia yang kuno dan primitif.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu puas dengan jenis makanan apa pun, dan memuji kepuasan atas jenis makanan apa pun, dan ia tidak terlibat dalam pencarian salah, dalam apa yang tidak selayaknya, demi mendapatkan makanan. Jika ia tidak mendapatkan makanan, ia tidak bergejolak, dan jika ia mendapatkan makanan, ia menggunakannya tanpa terikat pada makanan itu, tanpa tergila-gila pada makanan itu, dan tidak secara membuta terserap di dalam makanan itu, melihat bahaya di dalam makanan itu dan memahami jalan membebaskan diri dari makanan itu. [28] Namun ia tidak memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang lain karena hal ini. Bhikkhu mana pun yang terampil dalam hal ini, rajin, memahami dengan jernih dan senantiasa penuh perhatian, dikatakan berdiri dalam silsilah mulia yang kuno dan primitif.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu puas dengan jenis tempat tinggal apa pun, dan memuji kepuasan atas jenis tempat tinggal apa pun, dan ia tidak terlibat dalam pencarian salah, dalam apa yang tidak selayaknya, demi mendapatkan tempat tinggal. Jika ia tidak mendapatkan tempat tinggal, ia tidak bergejolak, dan jika ia mendapatkan tempat tinggal, ia menggunakannya tanpa terikat pada tempat tinggal itu, tanpa tergila-gila pada tempat tinggal itu, dan tidak secara membuta terserap di dalam tempat tinggal itu, melihat bahaya di dalam tempat tinggal itu dan memahami jalan membebaskan diri dari tempat tinggal itu.  Namun ia tidak memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang lain karena hal ini. Bhikkhu mana pun yang terampil dalam hal ini, rajin, memahami dengan jernih dan senantiasa penuh perhatian, dikatakan berdiri dalam silsilah mulia yang kuno dan primitif.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu menemukan kesenangan dalam pengembangan, gembira dalam pengembangan, menemukan kesenangan dalam meninggalkan, gembira dalam meninggalkan.<680> Namun ia tidak memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang lain karena hal ini. Bhikkhu mana pun yang terampil dalam hal ini, rajin, memahami dengan jernih dan senantiasa penuh perhatian, dikatakan berdiri dalam silsilah mulia yang kuno dan primitif.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat silsilah mulia ini, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki empat silsilah mulia ini, jika ia berdiam di timur maka ia menaklukkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menaklukkannya; jika ia berdiam di barat maka ia menaklukkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menaklukkannya; jika ia berdiam di utara maka ia menaklukkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menaklukkannya; jika ia berdiam di selatan maka ia menaklukkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menaklukkannya. Karena alasan apakah? Karena ia adalah seorang yang teguh yang menaklukkan ketidakpuasan dan kesenangan.”

   Ketidak-puasan tidak menaklukkan seorang yang teguh,<681>
   [karena] seorang yang teguh tidak ditaklukkan oleh ketidak-puasan.<682>
   Seorang yang teguh menaklukkan ketidak-puasan,
   Karena seorang yang teguh adalah penakluk ketidak-puasan. [29]

   Siapakah yang dapat menghalangi sang penghalau
   yang telah membuang segala kamma?
   Siapakah yang sepantasnya mencela seseorang yang seperti
   keping uang dari emas murni?
   Bahkan para deva memuji orang demikian;
   Brahmā juga memujinya.

29 (9) Faktor-faktor Dhamma

“Para bhikkhu, ada empat faktor Dhamma ini,<683> yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Apakah empat ini?

(1) “Tanpa-kerinduan adalah satu faktor Dhamma, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana. (2) Niat baik adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … (3) Perhatian benar adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … (4) Konsentrasi Benar adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ini adalah keempat faktor Dhamma itu, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana.”

   Seseorang harus berdiam bebas dari kerinduan
   Dengan pikiran berniat baik.
   Ia harus penuh perhatian dan pikirannya terpusat,
   Pikirannya terkonsentrasi dengan baik.

30 (10) Pengembara

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah para pengembara terkenal sedang menetap di taman para pengembara di tepi sungai Sappinī, yaitu, Annabhāra, Varadhara, Sakuludayī si pengembara, dan para pengembara terkenal lainnya.

Kemudian, pada suatu malam, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan pergi ke taman para pengembara di tepi sungai Sappinī. Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada para pengembara itu: “Para Pengembara, ada empat faktor Dhamma ini, yang primitif, [30] telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Apakah empat ini?

(1) “Tanpa-kerinduan adalah satu faktor Dhamma, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana. (2) Niat baik adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … (3) Perhatian benar adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … (4) Konsentrasi Benar adalah satu faktor Dhamma yang primitif, telah ada sejak lama … yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ini adalah keempat faktor Dhamma itu, yang primitif, telah ada sejak lama, tradisional, kuno, tidak palsu dan belum pernah dipalsukan, yang tidak sedang dipalsukan dan tidak akan dipalsukan, yang tidak disangkal oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

(1) “Jika, Para Pengembara, seseorang mengatakan: ‘Aku akan menolak faktor Dhamma tanpa-kerinduan ini dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang penuh kerinduan, secara mendalam berhasrat pada kenikmatan indria,’ Aku akan menjawabnya sebagai berikut: ‘Biarlah ia datang, berbicara, dan berbincang-bincang. Biarlah Aku melihat seberapa perkasanya ia!’ sesungguhnya, adalah tidak mungkin baginya untuk menolak tanpa-kerinduan sebagai satu faktor Dhamma dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang penuh kerinduan, secara mendalam berhasrat pada kenikmatan indria.

(2) “Jika, Para Pengembara, seseorang mengatakan: ‘Aku akan menolak faktor Dhamma niat baik ini dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang memiliki pikiran berniat buruk dan kehendak membenci,’ Aku akan menjawabnya sebagai berikut: ‘Biarlah ia datang, berbicara, dan berbincang-bincang. Biarlah Aku melihat seberapa perkasanya ia!’ sesungguhnya, adalah tidak mungkin baginya untuk menolak niat baik sebagai satu faktor Dhamma dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang memiliki pikiran berniat buruk dan kehendak membenci.

(3) “Jika, Para Pengembara, seseorang mengatakan: ‘Aku akan menolak faktor Dhamma perhatian benar ini dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang pikirannya kacau dan tanpa pemahaman jernih,’ Aku akan menjawabnya sebagai berikut: ‘Biarlah ia datang, berbicara, dan berbincang-bincang. Biarlah Aku melihat seberapa perkasanya ia!’ sesungguhnya, adalah tidak mungkin baginya untuk menolak perhatian benar sebagai satu faktor Dhamma dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang pikirannya kacau dan tanpa pemahaman jernih.

(4) “Jika, Para Pengembara, seseorang mengatakan: ‘Aku akan menolak faktor Dhamma konsentrasi benar ini dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara,’ Aku akan menjawabnya sebagai berikut: ‘Biarlah ia datang, berbicara, [31] dan berbincang-bincang. Biarlah Aku melihat seberapa perkasanya ia!’ sesungguhnya, adalah tidak mungkin baginya untuk menolak konsentrasi benar sebagai satu faktor Dhamma dan menunjukkan seorang petapa atau brahmana [sejati] yang tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara.

“Jika, Para Pengembara, seseorang menganggap bahwa keempat faktor Dhamma ini harus dicela dan disangkal, maka, dalam kehidupan ini, ia mengundang empat kritikan dan dasar bagi celaan.<684> Apakah empat ini?

“Jika kalian mencela dan menyangkal faktor Dhamma tanpa-kerinduan ini, maka kalian pasti menganggap para petapa atau brahmana yang penuh kerinduan dan secara mendalam berhasrat pada kenikmatan indria sebagai layak disembah dan dipuji. Jika kalian mencela dan menyangkal faktor Dhamma niat baik ini, maka kalian pasti menganggap para petapa atau brahmana yang memiliki pikiran berniat buruk dan kehendak membenci sebagai layak disembah dan dipuji. Jika kalian mencela dan menyangkal faktor Dhamma perhatian benar ini, maka kalian pasti menganggap para petapa atau brahmana yang pikirannya kacau dan tanpa pemahaman jernih sebagai layak disembah dan dipuji. Jika kalian mencela dan menyangkal faktor Dhamma konsentrasi benar ini, maka kalian pasti menganggap para petapa atau brahmana yang tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara sebagai layak disembah dan dipuji.

“Jika, Para Pengembara, seseorang menganggap bahwa keempat faktor Dhamma ini harus dicela dan disangkal, maka, dalam kehidupan ini, ia mengundang empat kritikan dan dasar bagi celaan ini. Bahkan para pengembara itu seperti Vassa dan Bhañña dari Ukkalā, yang menganjurkan doktrin tanpa-penyebab, tanpa aktivitas, dan nihilisme, tidak menganggap bahwa empat faktor Dhamma ini harus dicela dan disangkal. Karena alasan apakah? Takut disalahkan, diserang, dan dibantah.”<685>

   Seorang yang berniat baik, senantiasa penuh perhatian,
   Terkonsentrasi baik dalam pikiran,
   Berlatih untuk melenyapkan kerinduan,
   Dikatakan sebagai waspada. [32]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #6 on: 15 February 2013, 05:41:16 AM »
IV. RODA

31 (1) Roda

“Para bhikkhu, ada empat roda ini. Ketika empat roda ini berputar, maka para deva dan manusia yang memilikinya akan segera mencapai kebesaran dan kekayaan berlimpah. Apakah empat ini? Menetap di tempat yang sesuai, mengandalkan orang-orang baik, tekad yang benar, dan jasa yang dilakukan di masa lampau.<686> Ini adalah empat roda itu. . Ketika empat roda ini berputar, maka para deva dan manusia yang memilikinya akan segera mencapai kebesaran dan kekayaan berlimpah.”

   Ketika seseorang berdiam di tempat yang sesuai
   Dan bergaul dengan para mulia,
   Ketika ia telah membentuk tekad yang benar,
   Dan telah melakukan perbuatan berjasa di masa lampau,
   Panen, kekayaan, kemasyhuran, dan reputasi,
   Bersama dengan kebahagiaan akan mendatanginya.

32 (2) Mempertahankan

“Para bhikkhu, ada empat cara ini untuk memelihara hubungan baik. Apakah empat ini? Memberi, ucapan yang penuh kasih, perilaku yang murah hati, dan tidak membeda-bedakan.<687> Ini adalah empat cara untuk memelihara hubungan baik.”

   Memberi, ucapan penuh kasih,
   Perilaku murah hati, dan tidak membeda-bedakan
   Di bawah kondisi-kondisi duniawi yang bermacam-ragam,
   Sesuai dengan tiap-tiap kasus: cara-cara
   memelihara hubungan baik ini
   Adalah bagaikan sumbu dari roda kereta yang berputar.

   Jika tidak ada cara-cara
   memelihara hubungan baik seperti itu
   Maka ibu atau ayah
   Tidak akan memperoleh penghargaan
   Dan penghormataan dari anak-anak mereka.

   Tetapi karena ada cara-cara
   memelihara hubungan baik seperti ini
   Maka orang-orang bijaksana menghormati mereka;
   Demikianlah mereka mencapai kebesaran
   Dan dipuji tinggi. [33]

33 (3) Singa

“Para bhikkhu, pada malam hari seekor singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya, mengamati empat penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian ia pergi berburu.

“Binatang apa pun yang mendengar auman singa sebagian besar akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan teror. Mereka yang hidup di dalam lubang memasuki lubang mereka; mereka yang hidup di dalam hutan memasuki hutan; dan burung-burung terbang ke angkasa. Bahkan gajah-gajah kerajaan yang besar, yang terikat erat dengan tali kulit di desa-desa, pemukiman-pemukiman; dan kota-kota besar, berontak dan memutuskan ikatan mereka hingga hancur; dengan ketakutan, mereka buang air kecil dan air besar dan berlarian dari sana. Sungguh singa begitu perkasa di antara binatang-binatang, raja binatang buas, begitu agung dan perkasa.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci, Beliau mengajarkan Dhamma sebagai berikut: (1) ‘Demikianlah penjelmaan diri, (2) demikianlah asal-mula penjelmaan diri, (3) demikianlah lenyapnya penjelmaan diri, (4) demikianlah jalan menuju lenyapnya penjelmaan diri.’<688>

“Ketika para deva itu yang berumur panjang, indah, dengan kebahagiaan melimpah, menetap lama di istana-istana agung, mendengar ajaran Dhamma Sang Tathāgata, sebagian besar dari mereka akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan teror sebagai berikut:<689> ‘Tampaknya kami sebenarnya adalah tidak kekal, walaupun kami pikir kami adalah kekal; tampaknya kami sebenarnya adalah sementara, walaupun kami pikir kami bertahan selamanya; tampaknya kami sebenarnya adalah tidak abadi, walaupun kami pikir kami adalah abadi. Tampaknya kami adalah tidak kekal, sementara, tidak abadi, yang termasuk dalam penjelmaan diri.’<690> Begitu berkuasanya Sang Tathāgata, begitu agung dan perkasanya Beliau di dunia ini bersama dengan para devanya.” [34]

   Ketika, melalui pengetahuan langsung,
   Sang Buddha, Sang Guru, manusia yang tanpa tandingan
   Di dunia ini bersama dengan para devanya,
   Memutar roda Dhamma,
   [Beliau mengajarkan] penjelmaan diri, lenyapnya,
   Asal mula penjelmaan diri,
   Dan jalan mulia berunsur delapan
   Yang menuntun menuju ditenangkannya penderitaan.

   Maka bahkan para deva itu yang berumur panjang –
   Indah, gemerlap dengan keagungan –
   Menjadi ketakutan dan merasakan teror,
   Bagaikan binatang buas yang mendengarkan auman singa.
   “Tampaknya kami adalah tidak kekal,
   Tidak melampaui penjelmaan diri,” [mereka berkata],
   Ketika mereka mendengar kata Sang Arahant,
   Yang Stabil yang terbebaskan sepenuhnya.

34 (4) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat jenis keyakinan terunggul ini. Apakah empat ini?

(1) “Sejauh apa pun jangkauan makhluk-makhluk yang ada, apakah yang tanpa kaki atau berkaki dua, berkaki empat, atau berkaki banyak, apakah berbentuk atau tanpa bentuk, apakah memiliki persepsi atau tanpa persepsi, atau bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terunggul di antara semua makhluk itu. Mereka yang memiliki keyakinan pada Sang Buddha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(2) “Sejauh apa pun jangkauan  fenomena-fenomena terkondisi yang ada, Jalan Mulia Berunsur Delapan dinyatakan sebagai yang terunggul di antara fenomena-fenomena terkondisi itu. Mereka yang memiliki keyakinan pada Jalan Mulia Berunsur Delapan memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(3) “Sejauh apa pun jangkauan  fenomena-fenomena terkondisi maupun yang tidak terkondisi yang ada,<691> kebosanan dinyatakan sebagai yang terunggul di antara fenomena-fenomena terkondisi maupun tidak terkondisi itu, yaitu, penghancuran keangkuhan, pelenyapan kehausan, pencabutan kemelekatan, penghentian lingkaran, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Mereka yang memiliki keyakinan pada Dhamma memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(2) “Sejauh apa pun jangkauan  Saṅgha atau kelompok-kelompok yang ada, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata dinyatakan sebagai yang terunggul di antara kelompok-kelompok itu, yaitu, empat pasang orang, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. [35] Mereka yang memiliki keyakinan pada Saṅgha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

“Ini adalah empat jenis keyakinan yang terunggul.”

   Bagi mereka yang berkeyakinan sehubungan dengan yang terunggul,
   Mengetahui Dhamma yang terunggul,
   Berkeyakinan pada Sang Buddha – yang terunggul –
   Tidak tertandingi, layak menerima persembahan;

   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Dhamma yang terunggul,
   Dalam kedamaian kebosanan yang membahagiakan;
   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Saṅgha yang terunggul.
   Lahan jasa yang tiada taranya;

   Bagi mereka yang memberikan pemberian kepada yang terunggul,
   Jenis jasa yang terunggul meningkat:
   Terunggul dalam hal umur kehidupan, kecantikan, dan kemuliaan,
   Reputasi baik, kebahagiaan, dan kekuatan.

   Para bijaksana yang memberikan kepada yang terunggul,<692>
   Terkonsentrasi pada Dhamma yang terunggul,
   Setelah menjadi deva atau manusia,
   Bergembira, setelah mencapai yang terunggul.

35 (5) Vassakāra

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, kami menggambarkan seseorang yang memiliki empat kualitas sebagai seorang besar dengan kebijaksanaan tinggi. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang sangat terpelajar dalam berbagai bidang pelajaran. (2) Ia memahami makna dari berbagai pernyataan, sehingga ia dapat mengatakan: ‘Ini adalah makna dari pernyataan ini; ini adalah makna dari pernyataan itu.’ (3) Ia memiliki ingatan yang baik; ia ingat apa yang telah dilakukan dan dikatakan yang telah lama berlalu. (4) Ia terampil dan rajin dalam mengerjakan berbagai pekerjaan dari seorang perumah tangga; ia memiliki penilaian yang baik agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan baik. Kami menggambarkan seseorang yang memiliki empat kualitas sebagai seorang besar dengan kebijaksanaan tinggi. Jika Guru Gotama berpikir bahwa apa yang Kukatakan harus disetujui, maka silakan Beliau menyetujuinya. Jika Beliau berpikir bahwa apa yang Kukatakan harus ditolak, maka silakan Beliau menolaknya.”

“Aku tidak menyetujui [pernyataanmu], Brahmana, Aku juga tidak menolaknya. [36] Melainkan, Aku menggambarkan seseorang yang memiliki empat kualitas [lain] sebagai seorang besar dengan kebijaksanaan tinggi. Apakah empat ini? (1) Di sini, ia berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang; ia adalah seorang yang menegakkan banyak orang dalam metode mulia, yaitu dalam kebaikan Dhamma, dalam kebermanfaatan Dhamma.<693> (2) Ia memikirkan apa pun yang ingin ia pikirkan dan tidak memikirkan apa yang tidak ingin ia pikirkan; ia berniat pada apa yang ingin ia niatkan dan tidak berniat pada apa yang tidak ingin ia niatkan; demikianlah ia telah mencapai penguasaan pikiran atas cara berpikirnya. (3) Ia memperoleh sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (4) Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Aku tidak menyetujui [pernyataanmu], Brahmana, Aku juga tidak menolaknya. Melainkan, Aku menggambarkan seseorang yang memiliki empat kualitas ini sebagai seorang besar dengan kebijaksanaan tinggi.
   
 “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini telah dinyatakan oleh Guru Gotama. Dan kami menganggap Guru Gotama sebgaai seorang yang memiliki empat kualitas ini. (1) Karena Beliau berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang; Beliau adalah seorang yang menegakkan banyak orang dalam metode mulia, yaitu dalam kebaikan Dhamma, dalam kebermanfaatan Dhamma. (2) Beliau memikirkan apa pun yang ingin Beliau pikirkan dan tidak memikirkan apa yang tidak ingin Beliau pikirkan; Beliau berniat pada apa yang ingin Beliau niatkan dan tidak berniat pada apa yang tidak ingin Beliau niatkan; demikianlah Beliau telah mencapai penguasaan pikiran atas cara berpikirnya. (3) Beliau memperoleh sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (4) Dengan hancurnya noda-noda, Beliau merealisasi untuk diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Beliau berdiam di dalamnya.” [37]

“Tentu saja, Brahmana, kata-katamu itu memancing dan menantang.<694> Namun demikian, Aku akan menjawabmu. (1) Sebenarnya, Aku memang berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang; Aku telah menegakkan banyak orang dalam metode mulia, yaitu dalam kebaikan Dhamma, dalam kebermanfaatan Dhamma. (2) Aku memikirkan apa pun yang ingin Kupikirkan dan tidak memikirkan apa yang tidak ingin Kupikirkan; Aku berniat pada apa yang ingin Kuniatkan dan tidak berniat pada apa yang tidak ingin Kuniatkan; demikianlah Aku telah mencapai penguasaan pikiran atas cara berpikir. (3) Aku memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (4) Dengan hancurnya noda-noda, Aku merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Aku berdiam di dalamnya.”

   Ia yang demi semua makhluk menemukan
   Kebebasan dari perangkap kematian;
   Yang mengungkapkan Dhamma, metode,
   Demi manfaat para deva dan manusia,
   Ia yang padanya banyak orang memperoleh keyakinan
   Ketika mereka melihat dan mendengarkanNya;
   Seorang yang terampil dalam jalan dan apa yang bukan jalan,
   Yang tanpa noda yang telah menyelesaikan tugasnya;
   Yang Tercerahkan yang membawa jasmani terakhirnya
   Disebut “seorang besar dengan kebijaksanaan tinggi.”

36 (6) Doṇa

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di jalan raya antara Ukaṭṭhā dan Setavya. Brahmana Doṇa juga sedang melakukan perjalanan di jalan raya antara Ukaṭṭhā dan Setavya. Kemudian Brahmana Doṇa melihat roda-roda berjari-jari seribu pada jejak kaki Sang Bhagavā, dengan lingkar dan porosnya, lengkap dalam segala hal,<695> dan berpikir: “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan! Ini tidak mungkin jejak kaki manusia!” [38]

Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan raya dan duduk di bawah sebatang pohon, duduk bersila, menegakkan tubuhNya, dan menegakkan perhatian di depanNya. Dengan mengikuti jejak kaki Sang Bhagavā, Brahmana Doṇa melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon – anggun, menginspirasi keyakinan, dengan indria-indria yang damai dan pikiran yang damai, seorang yang telah mencapai penjinakan dan ketenangan tertinggi, [bagaikan] seekor gajah jantan besar yang jinak dan terjaga dengan indria-indria terkendali. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau:

(1) “Mungkinkah Engkau deva, Tuan?”<696>

“Aku tidak akan menjadi deva, Brahmana.”

(2) “Mungkinkah Engkau gandhabba, Tuan?”<697>

“Aku tidak akan menjadi gandhabba, Brahmana.”

(3) “Mungkinkah Engkau yakkha, Tuan?”

“Aku tidak akan menjadi yakkha, Brahmana.”

(4) “Mungkinkah Engkau manusia, Tuan?”

“Aku tidak akan menjadi manusia, Brahmana.”

“Ketika Engkau ditanya: ‘Mungkinkah Engkau deva, Tuan?’ Engkau menjawab: ‘Aku tidak akan menjadi deva, Brahmana.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Mungkinkah Engkau gandhabba, Tuan?’ Engkau menjawab: ‘Aku tidak akan menjadi gandhabba, Brahmana.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Mungkinkah Engkau yakkha, Tuan?’ Engkau menjawab: ‘Aku tidak akan menjadi yakkha, Brahmana.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Mungkinkah Engkau manusia, Tuan?’ Engkau menjawab: ‘Aku tidak akan menjadi manusia, Brahmana.’ Kalau begitu, apakah Engkau, Tuan?”

(1) “Brahmana, Aku telah meninggalkan noda-noda itu yang karenanya aku dapat menjadi deva; Aku telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. (2) , Aku telah meninggalkan noda-noda itu yang karenanya aku dapat menjadi gandhabba … (3) … dapat menjadi yakkha … (4) … dapat menjadi manusia; Aku telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Seperti halnya bunga teratai biru, merah, atau putih, yang walaupun lahir di dalam air dan tumbuh di dalam air, namun meninggi keluar dari air dan berdiri [39] tidak dikotori oleh air, demikian pula, walaupun lahir di dunia dan tumbuh di dunia, namun Aku telah mengatasi dunia dan berdiam tidak dikotori oleh dunia. Ingatlah Aku, Brahmana, sebagai seorang Buddha.

   “Aku telah menghancurkan noda-noda ini yang karenanya
   Aku dapat terlahir kembali menjadi deva
   Atau gandhabba yang bepergian melalui angkasa;
   Yang karenanya Aku dapat mencapai kondisi yakkha,
   Atau kembali pada kondisi manusia:<698>
   Aku telah menghalau dan memotong noda-noda ini.

   “Bagaikan teratai putih yang indah
   Tidak dikotori oleh air,
   Aku juga tidak dikotori oleh dunia:
   Oleh karena itu, O Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.”<699>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #7 on: 15 February 2013, 05:41:44 AM »
37 (7) Ketidak-munduran

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas tidak dapat mundur dan berada di dekat nibbāna. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, menjaga pintu-pintu organ indria, makan secukupnya, dan menekuni keawasan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu organ indria? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia melatih pengendaliannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan lidah … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan [40] dapat menyerangnya, ia melatih pengendaliannya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu organ indria

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu makan secukupnya? Di sini, dengan merenungkan secara seksama, seorang bhikkhu memakan makanan bukan untuk kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya untuk mendukung dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan spiritual, dengan merenungkan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama dan tidak memunculkan perasaan baru,<700> dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu makan secukupnya.

(4) Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menekuni keawasan? Di sini, selama siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari ia berbaring di sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah mencatat dalam pikirannya waktu untuk bangun. Setelah bangun, pada jaga terakhir malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang merintangi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menekuni keawasan

“Seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas tidak dapat mundur dan berada di dekat nibbāna.”

   Kokoh dalam perilaku bermoral,
   Terkendali dalam organ-organ indria,
   Makan secukupnya,
   Menekuni keawasan:

   Seorang bhikkhu berdiam dengan tekun,
   Tanpa lelah siang dan malam,
   Mengembangkan kondisi-kondisi bermanfaat<701>
   Untuk mencapai keamanan dari ikatan.

   Seorang bhikkhu yang bersenang dalam kewaspadaan,
   Yang melihat bahaya dalam kelengahan,
   Tidak dapat mundur:
   Ia mendekati nibbāna.<702> [41]

38 (8 ) Ditarik Kembali

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah menghalau kebenaran-kebenaran pribadi, sepenuhnya meninggalkan pencarian, dan menenangkan aktivitas jasmani dikatakan sebagai telah ditarik kembali.<703>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah menghalau kebenaran-kebenaran pribadi?<704> Di sini, kebenaran pribadi yang biasa mana pun yang mungkin dianut oleh para petapa dan brahmana biasa – yaitu, ‘Dunia adalah abadi’ atau ‘Dunia adalah tidak abadi’; ‘Dunia adalah terbatas’ atau ‘Dunia adalah tidak terbatas’; ‘Jiwa dan badan adalah sama’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’; ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian’ – seorang bhikkhu telah membuang dan menghalau semua itu, mengakhirinya, menolaknya, mengusirnya, meninggalkannya, dan melepaskannya.<705> Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu telah menghalau kebenaran-kebenaran pribadi.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah sepenuhnya meninggalkan pencarian? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan pencarian kenikmatan-kenikmatan indria dan pencarian penjelmaan dan telah memuaskan pencarian kehidupan spiritual.<706> Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu telah sepenuhnya meninggalkan pencarian.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah menenangkan aktivitas jasmani? Di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu telah menenangkan aktivitas jasmani.<707>

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah ditarik kembali? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu telah ditarik kembali.

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah menghalau kebenaran-kebenaran pribadi, sepenuhnya meninggalkan pencarian, dan menenangkan aktivitas jasmani dikatakan sebagai telah ditarik kembali.” [42]

   Mencari kenikmatan-kenikmatan indria,
   Mencari penjelmaan,
   Mencari kehidupan spiritual;
   Genggaman erat “Demikianlah kebenaran,”
   Sudut-sudut pandang [yang] membengkak:<708>

   Bagi seseorang yang terlepas dari nafsu,
   Terbebaskan melalui hancurnya ketagihan,
   Pencarian demikian telah dilepaskan,
   Dan sudut-sudut pandang tercabut.

   Bhikkhu yang damai dan penuh perhatian itu,
   Tenang, tidak terkalahkan, tercerahkan
   Dengan menerobos menembus keangkuhan
   Disebut “seorang yang telah ditarik kembali.”

39 (9) Ujjaya

Brahmana Ujjaya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Apakah Guru Gotama memuji pengorbanan?”

“Aku tidak memuji segala pengorbanan, Brahmana, juga Aku tidak menolak pujian pada segala pengorbanan. (1) Aku tidak memuji pengorbanan kejam di mana ternak, kambing-kambing, domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi dibunuh, di mana berbagai makhluk digiring untuk disembelih. (2) Karena alasan apakah? Karena para Arahant dan mereka yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan tidak melakukan pengorbanan kejam.

(3) “Tetapi Aku memuji pengorbanan tanpa kekejaman di mana mana ternak-ternak, kambing-kambing, domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi tidak dibunuh, di mana berbagai makhluk tidak disembelih, yaitu, pemberian biasa, pengorbanan yang dipersembahkan melalui kebiasaan keluarga.<709> (4) Karena alasan apakah? Karena para Arahant dan mereka yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan melakukan pengorbanan tanpa kekejaman.”<710>

   Pengorbanan kuda, pengorbanan manusia,
   Sammāpāsa, vājapeyya, [43] niraggaḷa:<711>
   Pengorbanan besar ini, penuh dengan kekejaman,<712>
   Tidak berbuah besar.

   Para bijaksana agung berperilaku benar
   Tidak melakukan pengorbanan
   Di mana kambing-kambing, domba-domba, ternak,
   Dan berbagai makhluk dibunuh.

Tetapi ketika mereka secara rutin mempersembahkan melalui kebiasaan keluarga
Pengorbanan yang bebas dari kekejaman,
Tidak ada kambing, domba, dan ternak
Atau berbagai makhluk yang dibunuh.

Itu adalah pengorbanan yang dilakukan
para bijaksana agung berperilaku benar.
Orang bijaksana harus mempersembahkan ini;
Pengorbanan ini sangat berbuah.

Bagi seseorang yang melakukan pengorbanan demikian
Sesungguhnya adalah lebih baik, tidak pernah lebih buruk.
Pengorbanan demikian sungguh luas
Dan para dewata juga bergembira.

40 (10) Udāyī

Brahmana Udāyī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

[Bagian prosa identik dengan 4:39.]

Ketika sebuah pengorbanan tepat waktu dan diperbolehkan,
   Dipersiapkan dengan baik dan tanpa kekejaman, [44]
   Para pengikut kehidupan spiritual yang terkendali oleh diri sendiri
   Melakukan pengorbanan seperti ini.

   Mereka di dunia ini yang telah menyingkap selubung,<713>
Yang telah melampaui waktu dan takdir,<714>
Para Buddha yang mahir dalam pengorbanan,<715>
Memuji jenis pengorbanan ini.

Setelah mempersiapkan pemberian yang layak,
Apakah jenis biasa atau untuk peringatan bagi yang telah meninggal dunia,
Seseorang melakukan pengorbanan dengan pikiran yakin
Pada lahan yang subur, kepada para pengikut kehidupan spiritual.

Ketika apa yang telah diperoleh dengan benar
Dipersembahkan dengan benar, dikorbankan dengan benar,
Kepada mereka yang layak menerima persembahan,
Maka pengorbanan itu luas dan para dewata bergembira
   
Orang bijaksana yang memiliki keyakinan,
Setelah memberi pengorbanan demikian dengan pikiran dermawan,
Akan terlahir kembali di alam bahagia,
Di [alam] tanpa kesengsaraan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #8 on: 15 February 2013, 05:42:38 AM »
V. ROHITASSA

41 (1) Konsentrasi

“Para bhikkhu, ada empat pengembangan konsentrasi ini. Apakah empat ini? (1) ada pengembangan konsentrasi yang mengarah pada kediaman berbahagia dalam kehidupan ini.<716> (2) Ada pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perolehan pengetahuan dan penglihatan. (3) Ada pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih. (4) Ada pengembangan konsentrasi yang mengarah pada hancurnya noda-noda. [45]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, pengembangan konsentrasi yang mengarah pada kediaman berbahagia dalam kehidupan ini? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ini disebut pengembangan konsentrasi yang mengarah pada kediaman berbahagia dalam kehidupan ini.<717>

(2) “Dan apakah pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perolehan pengetahuan dan penglihatan?<718> Di sini, seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya; ia berfokus pada persepsi siang hari sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari,demikian pula siang hari.’<719> Demikianlah, dengan pikiran terbuka dan tidak tertutup, ia mengembangkan pikiran yang penuh cahaya. Ini adalah pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perolehan pengetahuan dan penglihatan.

(3) “Dan apakah pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui perasaan-perasaan pada saat muculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; ia mengetahui persepsi-persepsi pada saat muculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; ia mengetahui mengetahui pikiran-pikiran pada saat muculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya.<720> Ini adalah pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih.

(4) “Dan apakah pengembangan konsentrasi yang mengarah pada hancurnya noda-noda? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah aktivitas-aktivitas berkehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya.’

“Ini adalah keempat pengembangan konsentrasi. And adalah sehubungan dengan ini maka Aku mengatakan dalam Pārāyana, dalam ‘Pertanyaan Puṇṇaka’:

   “Setelah memahami ketinggian dan kerendahan dunia,
   Ia tidak terganggu oleh apa pun di dunia. [46]
   Damai, tanpa asap, tidak terganngu, tanpa keinginan,
   Ia telah, Aku katakan, menyeberangi kelahiran dan penuaan.”<721>

42 (2) Pertanyaan

“Para bhikkhu, ada empat cara ini dalam menjawab pertanyaan.<722> Apakah empat ini? (1) Ada pertanyaan yang harus dijawab secara tegas; (2) Ada pertanyaan yang harus dijawab setelah membuat pembedaan; (3) Ada pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan; (4) Ada pertanyaan yang harus dikesampingkan. Ini adalah keempat cara dalam menjawab pertanyaan.”

   Satu jenis diberikan jawaban tegas,
   Yang lainnya dijawab setelah membuat pembedaan;
   Yang ke tiga, seseorang harus mengajukan pertanyaan balasan,
   Tetapi yang ke empat harus dikesampingkan.

   Ketika seorang bhikkhu mengetahui bagaimana untuk menjawab
   Tiap-tiap jenis dengan cara yang seharusnya,
   Mereka mengatakan bahwa ia terampil
   Dalam empat jenis pertanyaan.

   Ia sulit dilawan, sulit dikalahkan,
   Dalam, sulit diserang;
   Ia mahir dalam
   Apa yang bermanfaat dan apa yang membahayakan.

   Orang bijaksana menghindari apa yang membahayakan,
   Dan mengambil apa yang bermanfaat.
   Dengan sampai pada apa yang bermanfaat,
   Yang kokoh dikatakan sebagai bijaksana.

43 (3) Kemarahan (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang menghargai kemarahan, bukan Dhamma sejati; (2) seorang yang menghargai sikap merendahkan, bukan Dhamma sejati; (3) seorang yang menghargai perolehan, bukan Dhamma sejati; dan (4) seorang yang menghargai kehormatan, bukan Dhamma sejati. Ini adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia ini.

“Ada, para bhikkhu, empat jenis orang lainnya ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan kemarahan; (2) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan sikap merendahkan; (3) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan perolehan; dan (4) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan kehormatan. [47] Ini adalah empat jenis orang lainnya yang terdapat di dunia ini.”

   Para bhikkhu yang menghargai kemarahan dan sikap merendahkan,
   Yang menghargai perolehan dan kehormatan,
   Tidak tumbuh dalam Dhamma sejati
   Yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan Sempurna.

   Tetapi mereka yang menghargai Dhamma sejati,
Yang berdiam demikian di masa lampau dan berdiam demikian di masa sekarang,
Sungguh tumbuh dalam Dhamma
Yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan Sempurna.

44 (4) Kemarahan (2)

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang berlawanan dengan Dhamma sejati. Apakah empat ini? (1) menghargai kemarahan, bukan Dhamma sejati; (2) menghargai sikap merendahkan, bukan Dhamma sejati; (3) menghargai perolehan, bukan Dhamma sejati; dan (4)menghargai kehormatan, bukan Dhamma sejati. Ini adalah empat hal yang berlawanan dengan Dhamma sejati.

“Ada, para bhikkhu, empat hal [lainnya] ini yang selaras dengan Dhamma sejati. Apakah empat ini? (1) Menghargai Dhamma sejati, bukan kemarahan; (2) menghargai Dhamma sejati, bukan sikap merendahkan; (3) menghargai Dhamma sejati, bukan perolehan; dan (4) menghargai Dhamma sejati, bukan kehormatan. Ini adalah empat hal [lainnya] yang berlawanan dengan Dhamma sejati.”

   Para bhikkhu yang menghargai kemarahan dan sikap merendahkan,
   Yang menghargai perolehan dan kehormatan,
   Adalah bagaikan benih busuk di lahan subur:
   Mereka tidak tumbuh dalam Dhamma sejati.

   Tetapi mereka yang menghargai Dhamma sejati
Yang berdiam demikian di masa lampau dan berdiam demikian di masa sekarang,
Adalah bagaikan melembabkan tanaman obat-obatan:
Mereka tumbuh dalam Dhamma.

45 (5) Rohitassa (1) <723>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, [48] tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’

“Di masa lampau, Bhante, aku adalah seorang petapa bernama Rohitassa, putera Bhoja, seorang yang memiliki kekuatan batin, mampu melakukan perjalanan di angkasa. Kecepatanku adalah bagaikan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah berbusur kokoh<724> - seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman<725> - melintasi bayangan pohon lontar. Langkahku adalah sedemikian sehingga dapat mencapai dari samudera timur hingga samudera barat. Kemudian, ketika aku memiliki kecepatan dan langkah demikian, suatu keinginan muncul padaku: ‘Aku akan mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, Aku melakukan perjalanan selama seratus tahun tanpa henti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan air kecil, dan    untuk meredakan kelelahan dengan tidur; namun aku mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai akhir dunia.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1) dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju lenyapnya dunia.” [49]

   Akhir dunia tidak dapat dicapai
   Dengan melakukan perjalanan [melintasi dunia]
   Namun tanpa mencapai akhir dunia
   Maka tidak ada kebebasan dari penderitaan

   Karena itu Sang Bijaksana, Pengenal-dunia,
   Yang telah mencapai akhir dunia dan telah menjalani kehidupan spiritual,
   Setelah mengetahui akhir dunia, menjadi damai,
   Tidak menginginkan dunia ini atau dunia lainnya.

46 (6) Rohitassa (2)

Ketika malam itu telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?”

[Selanjutnya adalah identik dengan 4:45, termasuk syairnya, tetapi disampaikan dalam narasi orang pertama.] [50]

47 (7) Jauh Terpisah

“Para bhikkhu, ada empat pasang hal ini yang sangat jauh terpisah. Apakah empat ini? (1) Langit dan bumi. (2) pantai sini dan pantai seberang dari samudera. (3) Tempat di mana matahari terbit and tempat di mana matahari tenggelam. (4) Ajaran yang baik dan ajaran yang buruk. Empat pasang hal ini sangat jauh terpisah.” [51]

   Langit dan bumi adalah jauh terpisah,
   Pantai seberang samudera dikatakan sebagai jauh,
   Dan demikian pula tempat di mana matahari terbit
   Dari tempat di mana matahari terbenam.

   Tetapi yang lebih jauh terpisah lagi, mereka mengatakan,
   Adalah ajaran yang baik dan yang buruk.<726>
   Teman-teman yang baik adalah konstan;
   Selama pertemanan itu bertahan, pertemanan itu tetap sama.
   Tetapi teman-teman yang buruk adalah tidak tetap;
   Demikianlah ajaran yang baik
   Jauh dari ajaran yang buruk.

48 (8 ) Visākha <727>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Visākha Pañcāliputta sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, di aula pertemuan, [yang dibabarkan] dengan ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna, komprehensif, dan tanpa rintangan.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, siapakah yang tadi mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, di aula pertemuan, [yang dibabarkan] dengan ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna, komprehensif, dan tanpa rintangan?”

“Ia adalah Yang Mulia Visākha Pañcāliputta, Bhante.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Visākha Pañcāliputta: “Bagus, bagus, Visākha! Bagus sekali engkau mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, di aula pertemuan, [yang dibabarkan] dengan ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna, komprehensif, dan tanpa rintangan.”

   Ketika seorang bijaksana di tengah-tengah orang-orang dungu,
   Mereka tidak mengenalinya jika ia tidak berbicara,<728>
   Tetapi mereka mengenalinya ketika ia berbicara,
   Mengajarkan kondisi keabadian.

   Ia harus berbicara dan mengilustrasikan Dhamma;
   Ia harus menaikkan panji para petapa.
   Kata-kata yang diucapkan dengan baik adalah panji para petapa:
   Karena Dhamma adalah panji para petapa. [52]

49 (9) Pembalikan

“Para bhikkhu, Ada empat pembalikan persepsi, pembalikan pikiran, dan pembalikan pandangan ini.<729> Apakah empat ini? (1) Pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang tidak kekal sebagai kekal; (2) pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang merupakan penderitaan sebagai menyenangkan;<730> (3) pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang bukan-diri sebagai diri; (4) pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang tidak menarik sebagai menarik. Ini adalah empat pembalikan persepsi, pembalikan pikiran, dan pembalikan pandangan itu.

“Ada, para bhikkhu, empat bukan-pembalikan persepsi, bukan-pembalikan pikiran, dan bukan-pembalikan pandangan ini. Apakah empat ini? (1) Bukan-pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang tidak kekal sebagai tidak kekal; (2) bukan-pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang merupakan penderitaan sebagai penderitaan; (3) bukan-pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang bukan-diri sebagai bukan-diri; (4) bukan-pembalikan persepsi, pikiran, dan pandangan yang menganggap apa yang tidak menarik sebagai tidak menarik. Ini adalah empat bukan-pembalikan persepsi, pembalikan pikiran, dan pembalikan pandangan itu.”

   Melihat ketidak-kekalan sebagai kekekalan,
   Melihat kenikmatan di dalam apa yang merupakan penderitaan,
   Melihat diri di dalam apa yang bukan-diri,
   Dan melihat kemenarikan di dalam apa yang tidak menarik,
   Makhluk-makhluk mendatangi pandangan salah,<731>
   Pikiran mereka kacau, dan persepsi mereka terpelintir.

   Orang-orang demikian terikat oleh kuk Māra,
   Dan tidak mencapai keamanan dari ikatan.
   Makhluk-makhluk berlanjut dalam saṃsāra,
   Menuju kelahiran dan kematian.

   Tetapi ketika para Buddha muncul di dunia,
   Memancarkan cahaya cemerlang,
   Mereka mengungkapkan Dhamma ini yang menuntun
   Menuju penenangan penderitaan.

   Setelah mendengarnya, orang-orang bijaksana
   Telah tersadarkan kembali.
   Mereka telah melihat ketidak-kekalan sebagai ketidak-kekalan,
   Dan apa yang merupakan penderitaan sebagai penderitaan.

   Mereka telah melihat apa yang bukan-diri sebagai bukan-diri
   Dan yang tidak menarik sebagai tidak menarik.
   Dengan memperoleh pandangan benar,
   Mereka telah mengatasi segala penderitaan. [53]

50 (10) Kekotoran

“Para bhikkhu, ada empat kekotoran dari matahari dan rembulan ini yang karenanya matahari dan rembulan tidak bercahaya, menyala, dan bersinar. Apakah empat ini? Awan adalah satu kekotoran dari matahari dan rembulan yang karenanya matahari dan rembulan tidak bercahaya, menyala, dan bersinar; kabut adalah satu kekotoran dari matahari dan rembulan …<732> asap dan debu adalah satu kekotoran dari matahari dan rembulan … dan Rāhu, raja para asura adalah satu kekotoran dari matahari dan rembulan yang karenanya matahari dan rembulan tidak bercahaya, menyala, dan bersinar. Ini adalah empat kekotoran dari matahari dan rembulan itu yang karenanya matahari dan rembulan tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada empat kekotoran dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar. Apakah empat ini?

(1) “Ada beberapa petapa dan brahmana yang meminum minuman keras dan anggur dan tidak menghindari meminum minuman keras dan anggur. Ini adalah kekotoran pertama dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

(2) “Ada beberapa petapa dan brahmana yang menikmati hubungan seksual dan tidak menghindari hubungan seksual. Ini adalah kekotoran ke dua dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

(3) “Ada beberapa petapa dan brahmana yang menerima emas dan perak dan tidak menghindari menerima emas dan perak. Ini adalah kekotoran ke tiga dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

(4) “Ada beberapa petapa dan brahmana yang mencari penghidupan mereka melalui penghidupan salah dan tidak menghindari penghidupan salah. Ini adalah kekotoran ke empat dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

“Ini adalah empat kekotoran dari para petapa dan brahmana itu [54] yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.”<733>

   Beberapa petapa dan brahmana
   Diseret ke sana kemari oleh nafsu dan kebencian;
   Orang-orang yang terhalang oleh ketidak-tahuan
   Mencari kesenangan dalam hal-hal yang menyenangkan.

   Mereka meminum minuman keras dan anggur,
   Menikmati aktivitas seksual;
   Si dungu menerima
   Perak dan emas.

   Beberapa petapa dan brahmana
   Hidup dari penghidupan salah.
   Ini adalah kekotoran-kekotoran
yang dijelaskan oleh Sang Buddha, kerabat Matahari.

Dengan dikotori oleh hal-hal ini,
Beberapa petapa dan brahmana –
Makhluk-makhluk tidak murni dan berdebu –<734>
Tidak bersinar dan menyala.

Terselimuti dalam kegelapan,
Budak-budak ketagihan, dituntun,
Mereka mengambil penjelmaan baru
Dan memenuhi tanah pekuburan yang menakutkan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #9 on: 15 February 2013, 05:43:09 AM »
LIMA PULUH KE DUA

I. ARUS JASA

51 (1) Arus Jasa (1)

“Para bhikkhu, ada empat arus jasa ini, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Apakah empat ini?<735>

“(1) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tidak terukur<736> sewaktu menggunakan jubah [yang diberikan seseorang kepadanya], orang itu memperoleh arus jasa yang tidak terukur, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah kepada kesejahteraan dan kebahagiaannya. (2) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tidak terukur sewaktu menggunakan makanan [yang diberikan seseorang kepadanya], orang itu memperoleh arus jasa yang tidak terukur, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah … kepada kesejahteraan dan kebahagiaannya. [55] (3) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tidak terukur sewaktu menggunakan tempat tinggal [yang diberikan seseorang kepadanya], orang itu memperoleh arus jasa yang tidak terukur, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah kepada kesejahteraan dan kebahagiaannya. (4) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tidak terukur sewaktu menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit [yang diberikan seseorang kepadanya], orang itu memperoleh arus jasa yang tidak terukur, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah kepada kesejahteraan dan kebahagiaannya.

“Ini adalah empat arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memiliki empat arus jasa ini, arus yang bermanfaat, tidaklah mudah untuk mengukur jasanya sebagai berikut: ‘Sedemikian besar arus jasanya, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah … kepada kesejahteraan dan kebahagiaannya’; melainkan, ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur.

“Para bhikkhu, seperti halnya tidaklah mudah untuk mengukur air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada berapa galon air,’ atau ‘ Ada berapa ratus galon air,’ atau ‘Ada berapa ribu galon air,’ atau ‘Ada berapa ratus ribu galon air,’ melainkan ini hanya dianggap kumpulan air yang banyak, tidak terhitung, tidak terukur; demikian pula, ketika seorang siswa mulia memiliki empat arus jasa ini …  ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur.”

   Seperti halnya banyak sungai yang digunakan oleh banyak orang,
   Mengalir ke hilir, mencapai samudera,
   Kumpulan besar air, lautan yang tanpa batas,
   Wadah luar biasa dari tumpukan permata; [56]
   Demikian pula arus jasa yang mencapai seorang bijaksana
   Yang adalah pemberi makanan, minuman, dan pakaian;
[arus itu mencapai] penyumbang tempat tidur, tempat duduk, dan penutup tempat tidur
Bagaikan sungai membawa air ke lautan.

52 (2) Arus Jasa (2) <737>

“Para bhikkhu, ada empat arus jasa ini, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini adalah arus jasa pertama …

(2) “Kemudian, seorang siswa mulia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Ini adalah arus jasa ke dua …

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagava ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ini adalah arus jasa ke tiga …

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia memiliki perilaku bermoral yang disukai para mulia, yang tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, [57] tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, mengarah pada konsentrasi. Ini adalah arus jasa ke empat …

“Ini adalah empat arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang

   Ketika seseorang berkeyakinan pada Sang Tathāgata,
   Tidak tergoyahkan dan berdiri kokoh,
   Dan perilaku bermoral yang baik,
   Disukai oleh para mulia dan dipuji;
   Ketika ia berkeyakinan pada Saṅgha
   Dan pandangannya telah diluruskan,
   Mereka mengatakan bahwa ia tidak miskin,
   Dan kehidupannya tidak dijalani dengan sia-sia.

   Oleh karena itu seorang yang cerdas,
   Dengan mengingat ajaran para Buddha,
   Harus bertekad pada keyakinan dan perilaku bermoral,
   Memiliki keyakinan dan penglihatan pada Dhamma.<738>

53 (3) Hidup Bersama (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya antara Madhurā dan Verañjā. Sejumlah perumah tangga laki-laki dan perempuan juga sedang melakukan perjalanan di jalan yang sama. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan raya dan duduk di bawah sebatang pohon. Para perumah tangga laki-laki dan perempuan itu melihat Sang Bhagavā duduk di sana dan mendatangi Beliau, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada mereka:

“Para perumah tangga, ada empat cara hidup bersama ini. Apakah empat ini? Seorang hina hidup bersama dengan seorang hina;<739> seorang hina hidup bersama dengan deva perempuan; deva hidup bersama dengan seorang hina; deva hidup bersama dengan deva perempuan.

(1) “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, seorang hina hidup bersama dengan seorang hina? [58] Di sini, sang suami adalah seorang yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan; ia tidak bermoral, berkarakter buruk; ia berdiam di rumah dengan pikiran dikuasai oleh noda kekikiran; ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Dan istrinya juga adalah seorang yang membunuh … ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Adalah dengan cara ini seorang hina hidup bersama dengan seorang hina.

(2) “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, seorang hina hidup bersama dengan deva perempuan? Di sini, sang suami adalah seorang yang membunuh … ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina dan tidak mencela para petapa dan brahmana. Adalah dengan cara ini seorang hina hidup bersama dengan deva perempuan.

(3) “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, deva hidup bersama dengan seorang hina? Di sini, sang suami adalah seorang yang menghindari membunuh … ia tidak menghina dan tidak mencela para petapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang membunuh … ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Adalah dengan cara ini deva hidup bersama dengan seorang hina.

(4) “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, deva hidup bersama dengan deva perempuan? Di sini, sang suami adalah seorang yang menghindari membunuh … ia tidak menghina dan tidak mencela para petapa dan brahmana. Dan istrinya juga adalah seorang yang menghindari membunuh … ia tidak menghina dan tidak mencela para petapa dan brahmana. Adalah dengan cara ini deva hidup bersama dengan deva perempuan. [59]

“Ini adalah empat cara hidup bersama.”

   Ketika keduanya tidak bermoral,
   Kikir dan kasar,
   Suami dan istri
   Hidup bersama sebagai orang-orang hina.

   Sang suami tidak bermoral,
   Kikir dan kasar,
   Tetapi istrinya bermoral,
   Murah hati, dermawan.
   Ia adalah deva perempuan yang hidup
   Bersama dengan suami hina.

   Sang suami adalah bermoral,
   Murah hati, dermawan,
   Tetapi istrinya tidak bermoral,
   Kikir dan kasar.
   Ia adalah seorang hina yang hidup
   Bersama dengan suami deva.

   Suami dan istri keduanya memiliki keyakinan,
   Murah hati dan terkendali oleh diri sendiri,
   Menjalani hidup mereka dengan kebaikan,
   Saling menyapa satu sama lain dengan kata-kata yang menyenangkan.

   Maka banyak manfaat mendatangi mereka
   Dan mereka berdiam dengan nyaman.
   Musuh-musuh mereka menjadi kecewa
   Ketika keduanya setara dalam moralitas.

   Setelah mempraktikkan dhamma di sini,
   Dalam perilaku bermoral dan pelaksanaan yang sama,
   Bergembira [setelah kematian] di alam deva,
   Mereka bersukacita, menikmati kenikmatan-kenikmatan indria.

54 (4) Hidup Bersama (2)

“Para bhikkhu, ada empat cara hidup bersama ini. Apakah empat ini? Seorang hina hidup bersama dengan seorang hina; seorang hina hidup bersama dengan deva perempuan; deva hidup bersama dengan seorang hina; deva hidup bersama dengan deva perempuan.

[Selanjutnya, termasuk bagian syair, identik dengan 4:53 tetapi ditujukan kepada para bhikkhu.] [60-61]

55 (5) Sama dalam Hidup (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga, di Suṃsumāragiri, di Taman Rusa di Hutan Bhesakalā. Kemudian, pada pagi harinya,  Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan pergi ke kediaman perumah-tangga Nakulapitā, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian perumah-tangga Nakulapitā dan istrinya, Nakulamātā mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.<740> Perumah-tangga Nakulapitā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, sejak aku masih muda, ketika gadis muda Nakulamātā diserahkan kepadaku dalam pernikahan, aku tidak ingat pernah memperlakukannya dengan buruk bahkan dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Kami berharap, Bhante, agar dapat saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.”

Kemudian sang istri Nakulamātā berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Bhante, sejak aku masih muda yang diserahkan kepada perumah tangga muda Nakulapitā dalam pernikahan. aku tidak ingat pernah memperlakukannya dengan buruk bahkan dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Kami berharap, Bhante, agar dapat saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.” [62]

“Perumah-tangga, jika baik istri maupun suami ingin dapat saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang, maka mereka harus memiliki keyakinan yang sama, perilaku bermoral yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama. Maka mereka akan dapat senantiasa saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.”

   Baik suami maupun istri memiliki keyakinan,
   Murah hati dan terkendali oleh diri sendiri,
   Menjalani kehidupan mereka dengan kebaikan,
   Saling menyapa satu sama lain dengan kata-kata menyenangkan,

   Banyak keuntungan mendatangi mereka,
   Dan Mereka berdiam dengan nyaman.
   Musuh-musuh mereka akan kecewa,
   Ketika keduanya setara dalam moralitas.

   Setelah mempraktikkan dhamma di sini,
   Dalam perilaku bermoral dan pelaksanaan yang sama,
   Bergembira [setelah kematian] di alam deva,
   Mereka bersukacita, menikmati kenikmatan-kenikmatan indria.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #10 on: 15 February 2013, 05:43:31 AM »
56 (6) Sama dalam Hidup (2)

“Para bhikkhu, jika baik suami maupun istri ingin dapat saling melihat satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang, maka mereka harus memiliki keyakinan yang sama, perilaku bermoral yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama. Maka mereka akan dapat senantiasa saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.”

[Syairnya identik dengan syair pada 4:55]

57 (7) Suppavāsā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya di pemukiman bernama Sajjanela. Kemudian, pada pagi harinya,  Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan pergi ke kediaman puteri Koliya bernama Suppavāsā, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan.<741> Kemudian puteri Koliya Suppavāsā, [63] dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan lezat. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menyingkirkan mangkukNya, puteri Koliya Suppavāsā duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Suppavāsā, seorang siswa mulia perempuan yang memberikan makanan memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah empat ini? Ia memberikan kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan. (1) Setelah memberikan kehidupan, ia memperoleh kehidupan, apakah surgawi atau manusia. (2) Setelah memberikan kecantikan, ia memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusia. (3) Setelah memberikan kebahagiaan, ia memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusia. (4) Setelah memberikan kekuatan, ia memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusia. Suppavāsā, seorang siswa mulia perempuan yang memberikan makanan memberikan empat hal ini kepada penerimanya.”

   Ketika seseorang memberikan makanan yang dipersiapkan dengan baik,
   Murni, lezat, dan penuh citarasa,
   Kepada mereka yang lurus yang
   Luhur dan berperilaku baik,
   Maka persembahan itu, yang menghubungkan jasa dengan jasa,
   Dipuji sebagai sangat berbuah
   Oleh para pengenal dunia.<742>

   Mereka yang merenungkan kedermawanan demikian
   Berdiam di dunia ini terinspirasi oleh kegembiraan.
   Setelah menyingkirkan noda kekikiran dan akarnya,
   Tanpa cela, mereka pergi ke alam surga.

58 (8 ) Sudatta

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, seorang siswa mulia yang memberikan makanan memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah empat ini? [64] Ia memberikan kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan. (1) Setelah memberikan kehidupan, ia memperoleh kehidupan, apakah surgawi atau manusia. (2) Setelah memberikan kecantikan, ia memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusia. (3) Setelah memberikan kebahagiaan, ia memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusia. (4) Setelah memberikan kekuatan, ia memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusia. Perumah tangga, seorang siswa mulia yang memberikan makanan memberikan empat hal ini kepada penerimanya.”

   Seseorang yang dengan hormat memberikan makanan pada waktu yang tepat
Kepada mereka yang terkendali oleh diri sendiri yang memakan apa yang diberikan oleh orang lain,
Memberikan empat hal kepada mereka:
Kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Seorang yang memberikan kehidupan dan kecantikan,
Yang memberikan kebahagiaan dan kekuatan,
Akan memperoleh umur panjang dan kemasyhuran
Di mana pun ia dilahirkan kembali.

59 (9) Makanan

“Para bhikkhu, ketika seorang penyumbang memberikan makanan, ia memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah empat ini? … [seperti pada sutta sebelumnya] … Para bhikkhu, ketika seorang penyumbang memberikan makanan, ia memberikan empat hal ini kepada penerimanya.

[Syairnya identik dengan syair pada 4:58] [65]

60 (10)  Praktik Benar Umat Awam

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, seorang siswa mulia yang memiliki empat kualitas mempraktikkan jalan benar umat awam, jalan yang membawa pencapaian kemasyhuran dan mengarah menuju surga. Apakah empat ini?

“Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia melayani Saṅgha para bhikkhu dengan jubah; ia melayani Saṅgha para bhikkhu dengan makanan; ia melayani Saṅgha para bhikkhu dengan tempat tinggal; melayani Saṅgha para bhikkhu dengan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit.<743>

“Perumah tangga, seorang siswa mulia yang memiliki empat kualitas ini mempraktikkan jalan benar umat awam, jalan yang membawa pencapaian kemasyhuran dan mengarah menuju surga.”

   Ketika para bijaksana mempraktikkan jalan
   Yang benar bagi umat awam, mereka melayani
   Para bhikkhu bermoral yang berperilaku lurus
   Dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan:

   Kepada mereka siang dan malam
   Jasa selalu meningkat;
   Setelah melakukan perbuatan-perbuatan baik,
   Mereka berlanjut menuju alam surga.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #11 on: 15 February 2013, 05:43:56 AM »
II. PERBUATAN LAYAK

61 (1) Perbuatan Layak

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Sang Bhagavā berkata kepadanya: [66]

“Perumah tangga, ada empat hal ini yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Seseorang berpikir: ‘Semoga kekayaan mendatangiku dengan cara yang benar!’ Ini adalah hal pertama di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(2) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar, ia berpikir: ‘Semoga kemasyhuran mendatangiku dan sanak saudaraku dan penahbisku!’<744> Ini adalah hal ke dua di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(3) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar dan setelah memperoleh kemasyhuran untuk dirinya dan sanak saudaranya dan penahbisnya, ia berpikir: ‘Semoga aku panjang umur dan menikmati umur panjang!’ Ini adalah hal ke tiga di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(4) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar dan setelah memperoleh kemasyhuran untuk dirinya dan sanak saudaranya dan penahbisnya, setelah hidup lama dan menikmati umur panjang, ia berpikir: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga aku terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga!’ Ini adalah hal ke empat di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

“Ini adalah empat hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia.

“Ada, perumah tangga, empat hal [lainnya] yang mengarah pada diperolehnya empat hal tadi. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, perumah tangga, kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan; ia menempatkan keyakinan dalam pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini adalah kesempurnaan dalam keyakinan.

(2) “Dan apakah kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh … menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.

(3) “Dan apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan dalam kedermawanan.

(4) “Dan apakah kesempurnaan dalam kebijaksanaan? [67] Jika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya, maka ia melakukan apa yang seharusnya dihindari dan mengabaikan tugasnya, sehingga kemasyhuran dan kebahagiaannya menjadi rusak. Jika ia berdiam dengan pikiran dikuasai oleh niat buruk … oleh ketumpulan dan kantuk … oleh kegelisahan dan penyesalan … oleh keragu-raguan, maka ia melakukan apa yang seharusnya dihindari dan mengabaikan tugasnya, sehingga kemasyhuran dan kebahagiaannya menjadi rusak.

“Ketika, perumah tangga, seorang siswa mulai telah memahami sebagai berikut: ‘Kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Niat buruk  adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Ketumpulan dan kantuk adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Kegelisahan dan penyesalan adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Keragu-raguan adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya.

“Ketika, perumah tangga, seorang siswa mulai telah memahami sebagai berikut: ‘Kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya adalah kekotoran pikiran,’ dan telah meninggalkannya; ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Niat buruk  … Ketumpulan dan kantuk … Kegelisahan dan penyesalan … Keragu-raguan adalah kekotoran pikiran,’ dan telah meninggalkannya, maka ia disebut seorang siswa mulia dengan kebijaksanaan tinggi, dengan kebijaksanaan luas, seorang yang melihat jangkauan,<745> seorang yang sempurna dalam kebijaksanaan. Ini disebut kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Ini adalah keempat hal [lainnya] yang mengarah pada diperolehnya empat hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia.

“Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat, dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, maka siswa mulia itu melakukan empat perbuatan yang layak. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat … diperoleh dengan benar, siswa mulia itu membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara dirinya dalam kebahagiaan; ia membuat orang tuanya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan; ia membuat istri dan anak-anaknya, budak-budak, para pekerja, dan para pelayannya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan; ia membuat teman-teman dan sahabatnya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan. Ini adalah kasus pertama yang mana kekayaan digunakan dengan baik, yang telah dengan benar dimanfaatkan dan digunakan untuk sebab yang layak. [68]

(2) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat … diperoleh dengan benar, siswa mulia itu mempersiapkan perbekalan terhadap kehilangan yang mungkin muncul dari api, banjir, raja-raja, pencuri-pencuri, atau pewaris yang tidak disukai; ia membuat dirinya aman dari hal-hal itu. Ini adalah kasus ke dua yang mana kekayaan digunakan dengan baik … untuk sebab yang layak.

(3) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat … diperoleh dengan benar, siswa mulia itu memberikan lima pengorbanan: kepada sanak saudara, tamu, leluhur, raja, dan para dewata. Ini adalah kasus ke tiga yang mana kekayaan digunakan dengan baik … untuk sebab yang layak.

(4) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat … diperoleh dengan benar, siswa mulia itu memberikan contoh perbuatan mempersembahkan makanan – suatu persembahan yang surgawi,<746> matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – kepada para petapa dan brahmana itu yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang jinak, tenang, dan berlatih untuk mencapai nibbāna. Ini adalah kasus ke empat yang mana kekayaan digunakan dengan baik, yang telah dengan benar dimanfaatkan dan digunakan untuk sebab yang layak.

“Ini, perumah tangga, adalah keempat perbuatan layak yang dilakukan oleh siswa mulia itu dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat, dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar. Ketika seseorang menghabiskan kekayaannya untuk apa pun selain ke empat perbuatan layak ini, maka kekayaan itu dikatakan telah tersia-siakan, telah dihambur-hamburkan, telah digunakan secara sembrono. Tetapi ketika sesorang menghabiskan kekayaannya untuk empat perbuatan layak ini, maka kekayaannya dikatakan tidak tersia-siakan, telah digunakan dengan benar, telah dimanfaatkan untuk sebab yang layak.”

   “Aku telah menikmati kekayaan,
   Menyokong mereka yang bergantung padaku,
   Dan mengatasi kesusahan.
   Aku telah memberikan contoh memberikan persembahan
   Dan melakukan lima pengorbanan.
   Aku telah melayani para bhikkhu bermoral,
   Mereka yang selibat dan terkendali oleh diri sendiri.<747>

   “Aku telah mencapai tujuan apa pun
   Yang oleh orang bijaksana, dengan berdiam di rumah, [69]
   Yang menginginkan kekayaan;
   Apa yang kulakukan tidak akan membawa penyesalan padaku.”

   Dengan merenungkan ini, seorang manusia
   Berdiam kokoh dalam Dhamma mulia.
   Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini,
   Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.

62 (2) Kebebasan dari Hutang

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ada empat jenis kebahagiaan ini yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, bergantung pada waktu dan situasinya. Apakah empat ini? Kebahagiaan memiliki, kebahagiaan menikmati, kebahagiaan bebas dari hutang, dan kebahagiaan ketanpacelaan.<748>

(1) “Dan apakah, perumah tangga, kebahagiaan memiliki? Di sini, seorang anggota keluarga telah memperoleh kekayaan melalui usaha keras penuh semangat, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar. Ketika ia berpikir, ‘Aku telah memperoleh kekayaan melalui usaha keras penuh semangat … diperoleh dengan cara yang benar,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan memiliki.

(2) “Dan apakah kebahagiaan menikmati? Di sini, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat itu, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar. Ketika ia berpikir, ‘Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat itu … diperoleh dengan cara yang benar, aku menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan menikmati.

(3) “Dan apakah kebahagiaan bebas dari hutang? Di sini, seorang anggota keluarga tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah besar atau kecil. Ketika ia berpikir, ‘Aku tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah besar atau kecil,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan bebas dari hutang.

(4) “Dan apakah kebahagiaan ketanpacelaan? Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. [70] Ketika ia berpikir, ‘Aku memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan ketanpacelaan.

“Ini adalah ada keempat jenis kebahagiaan itu yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, bergantung pada waktu dan situasinya.”

   Setelah mengetahui kebahagiaan bebas dari hutang,
   Seseorang harus mengingat<749> kebahagiaan memiliki.
   Menikmati kebahagiaan kenikmatan,
   Seorang manusia melihat segala sesuatu dengan jelas melalui kebijaksanaan.

   Sewaktu melihat segala sesuatu dengan jelas, seorang bijaksana
   Mengetahui kedua jenis<750> kebahagiaan.
   Yang lain tidak ada seper enam belas bagian
   Dari kebahagiaan ketanpa-celaan.<751>

63 (3) Dengan Brahmā <752>

(1) “Para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam dengan Brahmā di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (2) Keluarga-keluarga itu berdiam dengan Guru-guru pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (3) Keluarga-keluarga itu berdiam dengan dewata-dewata pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (4) Keluarga-keluarga itu berdiam dengan yang layak menerima pemberian di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

“’Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk ibu dan ayah, ‘Guru-guru pertama,’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Dewata-dewata pertama’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Yang layak menerima pemberian’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. Dan mengapakah? Ibu dan ayah adalah sangat membantu bagi anak-anak mereka: mereka membesarkan mereka, memelihara mereka, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

   Ibu dan ayah disebut “brahmā,”
   Dan juga “guru-guru pertama.”
   Mereka layak menerima pemberian dari anak-anak mereka,
   Karena mereka berbelas kasih kepada keturunan mereka.
   Oleh karena itu seorang bijaksana harus menghormati mereka
   Dan memperlakukan mereka dengan hormat.

   Seseorang harus melayani mereka dengan makanan dan minuman,
   Dengan pakaian dan tempat tidur,
   Dengan memijat dan memandikan mereka,
   Dan dengan mencuci kaki mereka.

   Karena pelayanan itu
   Kepada ibu dan ayah,
   Para bijakasna memujinya di dunia ini
   Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga. [71]

64 (4) Neraka <753>

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong. Seseorang yang memiliki empat kualitas dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

   Membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan,
   Mengucapkan kebohongan,
   Dan bergaul dengan istri-istri orang lain:
   Para bijaksana tidak memuji perbuatan-perbuatan demikian.

65 (5) Bentuk

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang menilai dengan berdasarkan pada bentuk, yang keyakinannya berdasarkan pada bentuk. (2) Seorang yang menilai berdasarkan pada ucapan, yang keyakinannya berdasarkan pada ucapan. (3) Seorang yang menilai berdasarkan pada latihan keras, yang keyakinannya berdasarkan pada latihan keras. (4) Seorang yang menilai berdasarkan pada Dhamma, yang keyakinannya berdasarkan pada Dhamma. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<754>

   Mereka yang menilai dengan berdasarkan pada bentuk
   Dan mereka yang megikuti karena ucapan
   Telah jatuh di bawah kendali keinginan dan nafsu;
   Orang-orang itu tidak memahami.<755>

   Seseorang yang tidak mengetahui yang di dalam
   Dan tidak melihat yang di luar,
   Seorang dungu yang terhalangi di segala sisi,
   Dihanyutkan oleh ucapan.

Seseorang yang tidak mengetahui yang di dalam
   Namun melihat dengan jelas yang di luar
   Melihat buah secara eksternal,
   Juga dihanyutkan oleh ucapan.

   Tetapi seorang yang memahami yang di dalam
   Dan melihat dengan jelas yang di luar,
   Melihat tanpa rintangan,
   Tidak dihanyutkan oleh ucapan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #12 on: 15 February 2013, 05:45:54 AM »
66 (6) Bernafsu

“Para bhikkhu, ada empat orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Yang bernafsu, yang membenci, yang terdelusi, yang angkuh. Ini adalah keempat orang itu yang terdapat di dunia.” [72]

   Makhluk-makhluk terpikat oleh hal-hal yang menggoda,
   Mencari kesenangan dalam apa pun yang menyenangkan,
   Makhluk-makhluk rendah terikat oleh delusi,<756>
   Mengencangkan ikatan mereka.

   Si dungu bepergian
   Menciptakan kamma tidak bermanfaat
   Yang timbul dari nafsu, kebencian, dan delusi:
   Perbuatan-perbuatan menyusahkan yang menghasilkan penderitaan.

   Orang-orang yang terhalangi oleh ketidak-tahuan,
   Buta, tanpa mata untuk melihat,
   Sesuai dengan sifat mereka,
   Tidak berpikir demikian.<757>

67 (7) Ular

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, di Sāvatthī, seorang bhikkhu tertentu digigit oleh seekor ular dan tewas.<758> Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, seorang bhikkhu tertentu di sini di Sāvatthī digigit ular dan tewas.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Pasti, para bhikkhu, bhikkhu itu tidak meliputi keempat keluarga kerajaan ular<759> dengan pikiran cinta kasih. Karena jika ia melakukan demikian, maka ia tidak akan digigit ular dan tewas. Apakah empat ini? Keluarga kerajaan ular virūpakkha, Keluarga kerajaan ular erāpatha, Keluarga kerajaan ular chabyāputta, dan Keluarga kerajaan ular gotamaka hitam. Pasti, bhikkhu itu tidak meliputi keempat keluarga kerajaan ular dengan pikiran cinta kasih. Karena jika ia melakukan demikian, maka ia tidak akan digigit ular dan tewas.

“Aku menginstruksikan kalian, para bhikkhu, untuk meliputi keempat keluarga kerajaan ular ini dengan pikiran cinta kasih, demi keamanan, keselamatan, dan perlindungan kalian.”

   Aku memiliki cinta kasih pada ular-ular virūpakkha;
   
Pada ular-ular erāpatha aku memiliki cinta kasih.
   Aku memiliki cinta kasih pada ular-ular chabyāputta;
   
Pada ular-ular gotamaka hitam aku memiliki cinta kasih.

   Aku memiliki cinta kasih pada makhluk-makhluk tanpa kaki;
   Pada mereka yang berkaki dua aku memiliki cinta kasih. [73]
   Aku memiliki cinta kasih pada mereka yang berkaki empat;
   Pada mereka yang berkaki banyak aku memiliki cinta kasih.

   Semoga makhluk-makhluk tanpa kaki tidak mencelakaiku;
   Semoga tidak ada bahaya bagiku dari mereka yang berkaki dua;
   Semoga makhluk-makhluk berkaki empat tidak mencelakaiku;
   Semoga tidak ada bahaya bagiku dari mereka yang berkaki banyak.

   Semoga semua makhluk, semua benda hidup,
   Semua penghuni dunia, semuanya,
   Mengalami keberuntungan;
   Semoga tidak ada hal buruk menimpa siapa pun.

Sang Buddha adalah tidak terbatas, Dhamma adalah tidak terbatas, Saṅgha adalah tidak terbatas; binatang-binatang melata, ular, kalajengking, lipan, laba-laba, kadal, dan tikus adalah terbatas. Aku telah membuat pengamanan, aku telah membuat perlindungan. Semoga makhluk-makhluk menjauh. Aku memberi hormat kepada Sang Bhagavā, hormat kepada tujuh Yang Tercerahkan Sempurna.<760>

68 (8 ) Devadatta

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar tidak lama setelah Devadatta pergi.<761> Di sana Sang Bhagavā, dengan merujuk pada Devadatta, berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya. (1) Seperti halnya pohon pisang menghasilkan buah untuk keruntuhan dan kehancurannya, demikian pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya. (2) Seperti halnya bambu menghasilkan buah untuk keruntuhan dan kehancurannya, demikian pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya. (3) Seperti halnya buluh menghasilkan buah untuk keruntuhan dan kehancurannya, demikian pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya. (4) Seperti halnya seekor bagal menjadi hamil untuk keruntuhan dan kehancurannya, demikian pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya.”

   Seperti halnya buahnya sendiri menghancurkan pohon pisang,
   Seperti halnya buahnya menghancurkan bambu dan buluh,
   Seperti halnya janin menghancurkan bagal,
   Demikian pula kehormatan menghancurkan orang jahat. [74]

69 (9) Usaha

“Para bhikkhu, ada empat usaha ini. Apakah empat ini? Usaha dengan mengendalikan, usaha dengan meninggalkan, usaha dengan mengembangkan, dan usaha dengan melindungi.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.

(2) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ini disebut usaha dengan meninggalkan.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ini disebut usaha dengan mengembangkan.

(4) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan melindungi? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ini disebut usaha dengan melindungi.

“Ini adalah keempat usaha itu.”

70 (10) Tidak Baik <762>

“Para bhikkhu, ketika raja-raja tidak baik,<763> maka para pejabat kerajaan menjadi tidak baik. Ketika para pejabat kerajaan tidak baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik.<764> Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik, maka para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman menjadi tidak baik. Ketika para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman tidak baik, maka matahari dan rembulan [75] berputar di luar jalurnya. Ketika matahari dan rembulan berputar di luar jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang berputar di luar jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang berputar di luar jalurnya, maka siang dan malam berjalan di luar waktunya … bulan-bulan dan dwimingguan berjalan di luar waktunya … musim-musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya. Ketika musim-musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya, maka angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak. Ketika angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak, maka para dewata menjadi marah. Ketika para dewata menjadi marah, maka hujan tidak turun dengan cukup. Ketika hujan tidak turun dengan cukup, pertanian menjadi masak dengan tidak teratur. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak dengan tidak teratur, mereka menjadi pendek umur, buruk rupa, lemah, dan banyak penyakit.<765>

“Para bhikkhu, ketika raja-raja baik, maka para pejabat kerajaan menjadi baik. Ketika para pejabat kerajaan baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi baik. Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi baik, maka para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman menjadi baik. Ketika para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman baik, maka matahari dan rembulan berputar sesuai jalurnya. Ketika matahari dan rembulan berputar sesuai jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang berputar sesuai jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang berputar sesuai jalurnya, maka siang dan malam berjalan sesuai waktunya … bulan-bulan dan dwimingguan berjalan sesuai waktunya … musim-musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya. Ketika musim-musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya, maka angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan. Ketika angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan, maka para dewata tidak menjadi marah. Ketika para dewata tidak menjadi marah, maka hujan turun dengan cukup. Ketika hujan turun dengan cukup, pertanian menjadi masak sesuai musimnya. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak sesuai musimnya, mereka menjadi panjang umur, cantik, kuat, dan sehat.

   Ketika ternak sedang menyeberangi [suatu penyeberangan]
   Ketika sapi pemimpin berjalan berbelok-belok,
   Maka semua yang lainnya berjalan berbelok-belok
   Karena pemimpin mereka berjalan berbelok-belok.

   Demikian pula, di antara manusia,
   Ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
   Berperilaku tidak baik,
   Maka orang-orang lain juga melakukan demikian. [76]
   Seluruh kerajaan menjadi kecewa
   Jika rajanya tidak baik.

   Ketika ternak sedang menyeberangi [suatu penyeberangan]
   Ketika sapi pemimpin berjalan lurus,
   Maka semua yang lainnya berjalan lurus
   Karena pemimpin mereka berjalan lurus.

   Demikian pula, di antara manusia,
   Ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
   Berperilaku baik,
   Maka orang-orang lain juga melakukan demikian.
   Seluruh kerajaan bergembira
   Jika rajanya baik.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #13 on: 15 February 2013, 05:46:22 AM »
III. TIDAK MUNGKIN KELIRU

71 (1) Usaha

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas mempraktikkan jalan yang tidak mungkin keliru dan telah meletakkan landasan kerja bagi hancurnya noda-noda.<766> Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu bermoral, terpelajar, penuh semangat, dan bijaksana. Seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas ini mempraktikkan jalan yang tidak mungkin keliru dan telah meletakkan landasan kerja bagi hancurnya noda-noda.”

72 (2) Pandangan

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas mempraktikkan jalan yang tidak mungkin keliru dan telah meletakkan landasan kerja bagi hancurnya noda-noda. Apakah empat ini? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, pikiran tidak mencelakai, dan pandangan benar.<767> seorang bhikkhu yang memiliki empat kualitas ini [77] mempraktikkan jalan yang tidak mungkin keliru dan telah meletakkan landasan kerja bagi hancurnya noda-noda.”

73 (3) Orang Jahat: Pengantin

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang jahat. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang jahat mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan jika tidak ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi jika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain tanpa sela atau pengurangan, secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’

(2) “Kemudian, seorang yang jahat tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan jika ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kebaikan orang lain dengan sela dan pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’

(3) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang jahat tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan jika tidak ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi jika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya dengan sela dan pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’

(4) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang jahat mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan jika tidak ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi jika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya tanpa sela atau pengurangan, secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’

“Seorang yang memiliki empat kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang jahat.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini dapat dimengerti sebagai seorang baik. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang baik tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan jika ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi jika tidak ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain dengan sela dan pengurangan, [78] tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’

(2) “Kemudian, seorang yang baik mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan jika tidak ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi jika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kebaikan orang lain tanpa sela atau pengurangan, secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’

(3) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang baik mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan jika tidak ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi jika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya tanpa sela atau pengurangan, secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’

(4) “Di sini, para bhikkhu, seorang yang baik tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan jika ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi jika tidak ditanya. Tetapi ketika ia ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya dengan sela dan pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’

“Seorang yang memiliki empat kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang baik.

“Para bhikkhu,<768> Ketika seorang pengantin pertama kali dibawa pulang ke rumah, apakah pada malam hari atau siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral yang mendalam terhadap ibu mertuanya, ayah mertuanya, suaminya, dan bahkan budak-budaknya, para pekerja, dan para pelayannya. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata kepada ibu mertuanya, ayah mertuanya, dan suaminya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu di sini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah pada malam hari atau siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral yang mendalam terhadap para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan, dan bahkan terhadap para pekerja dan para samaṇera di vihara. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata bahkan kepada gurunya dan penahbisnya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami aakan berdiam dengan pikiran seperti pengantin yang baru tiba itu.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih.” [79]

74 (4) Terunggul (1)

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang terunggul. Apakah empat ini? Jenis terunggul dari perilaku bermoral, jenis terunggul dari konsentrasi, jenis terunggul dari kebijaksanaan, dan jenis terunggul dari kebebasan. Ini adalah empat hal yang terunggul.”

75 (5) Terunggul (2)

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang terunggul. Apakah empat ini? Yang terunggul dari bentuk, yang terunggul dari perasaan, yang terunggul dari persepsi, dan yang terunggul di antara kondisi-kondisi penjelmaan. Ini adalah empat hal yang terunggul.”<769>

76 (6) Kusinārā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusinārā di antara kedua pohon sal kembar di hutan pohon sal milik kaum Malla di Upavattana, pada hari nibbāna akhirnya. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, mungkin ada seorang bhikkhu yang memiliki keragu-raguan atau kebimbangan terhadap Sang Buddha, Dhamma, atau Saṅgha, terhadap sang jalan atau latihan.<770> Maka tanyalah, para bhikkhu. Jangan sampai menyesal kelak, dengan berpikir: ‘Guru kami ada di hadapan kami, namun kami tidak mengajukan pertanyaan kepada Sang Bhagavā ketika kami di hadapanNya.’

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu berdiam diri. Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu … Dan untuk ke tiga kalinya para bhikkhu berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Mungkin, para bhikkhu, kalian tidak bertanya karena hormat kepada Sang Guru. Maka sampaikanlah pertanyaan kalian kepada seorang teman.” Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu masih berdiam diri. [80]

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante! Aku yakin tidak ada bhikkhu dalam Saṅgha ini yang memiliki keragu-raguan terhadap Sang Buddha, Dhamma, atau Saṅgha, terhadap sang jalan atau latihan.”

“Engkau berbicara karena keyakinan, Ānanda, tetapi Sang Tathāgata mengetahui hal ini berdasarkan fakta. Karena di antara lima ratus bhikkhu ini, bahkan yang paling rendah adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali di] alam rendah, pasti dalam takdirnya, mengarah menuju pencerahan.”

77 (7) Hal-hal yang Tidak Terpikirkan

“Para bhikkhu, ada empat hal yang tidak terpikirkan<771> ini yang seharusnya seseorang tidak berusaha memikirkannya; seseorang yang berusaha untuk memikirkannya akan menghasilkan kegilaan atau frustrasi. Apakah empat ini? (1) Jangkauan para Buddha adalah hal yang tidak terpikirkan yang seharusnya seseorang tidak berusaha memikirkannya; seseorang yang berusaha untuk memikirkannya akan menghasilkan kegilaan atau frustrasi. (2) Jangkauan seseorang yang berada di dalam jhāna adalah hal yang tidak terpikirkan … (3) akibat kamma adalah hal yang tidak terpikirkan … (4) Spekulasi tentang dunia adalah hal yang tidak terpikirkan yang seharusnya seseorang tidak berusaha memikirkannya; seseorang yang berusaha untuk memikirkannya akan menghasilkan kegilaan atau frustrasi.<772> Ini adalah keempat hal yang tidak terpikirkan itu yang seharusnya seseorang tidak berusaha memikirkannya; seseorang yang berusaha untuk memikirkannya akan menghasilkan kegilaan atau frustrasi.”

78 (8 ) Persembahan

“Para bhikkhu, ada empat pemurnian persembahan<773> ini. Apakah empat ini? (1) Ada persembahan yang dimurnikan melalui si pembri tetapi bukan melalui si penerima; (2) ada persembahan yang dimurnikan melalui si penerima tetapi bukan melalui si pemberi; (3) ada persembahan yang tidak dimurnikan apakah melalui si pemberi maupun melalui si penerima; (4) ada persembahan yang dimurnikan melalui si pemberi dan si penerima. [81]

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, persembahan yang dimurnikan melalui si pemberi tetapi bukan melalui si penerima? Di sini, si pemberi bermoral dan berkarakter baik, tetapi si penerima tidak bermoral dan berkarakter buruk. Adalah dengan cara ini suatu persembahan di murnikan melalui si pemberi tetapi bukan melalui si penerima.

(2) “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan melalui si penerima tetapi bukan melalui si pemberi? Di sini, si pemberi tidak bermoral dan berkarakter buruk, tetapi si penerima bermoral dan berkarakter baik. Adalah dengan cara ini suatu persembahan yang dimurnikan melalui si penerima tetapi bukan melalui si pemberi.

(3) “Dan bagaimanakah persembahan yang tidak dimurnikan apakah melalui si pemberi maupun melalui si penerima? Di sini, si pemberi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan si penerima juga tidak bermoral dan berkarakter buruk. Adalah dengan cara ini suatu persembahan yang tidak dimurnikan apakah melalui si pemberi maupun melalui si penerima.

(4) “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan melalui si pemberi dan si penerima? Di sini, si pemberi bermoral dan berkarakter baik, dan si penerima juga bermoral dan berkarakter baik. Adalah dengan cara ini suatu persembahan yang dimurnikan melalui si pemberi dan si penerima.

“Ini adalah keempat pemurnian persembahan itu.”

79 (9) Bisnis

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, (1) Mengapakah bagi seseorang di sini, bisnis yang ia lakukan berakhir dengan kegagalan? (2) Mengapakah bagi orang lainnya bisnis yang sama tidak memenuhi harapannya? (3) Mengapakah bagi orang lainnya lagi bisnis yang sama memenuhi harapannya? (4) Dan mengapakah bagi orang lainnya lagi bisnis yang sama melebihi harapannya?”

(1) “Di sini, Sāriputta, seseorang mendatangi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengundangnya untuk menanyakan apa yang ia perlukan, [82] tetapi tidak memberikan apa yang diminta. Ketika ia meninggal dunia dari sana, jika ia kembali ke alam ini, apa pun bisnis yang ia lakukan akan berakhir dengan kegagalan.

(2) “Seorang lainnya mendatangi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengundangnya untuk menanyakan apa yang ia perlukan. Ia memberikannya tetapi tidak memenuhi harapannya. Ketika ia meninggal dunia dari sana, jika ia kembali ke alam ini, apa pun bisnis yang ia lakukan akan tidak memenuhi harapannya.

(3) “Seorang lainnya lagi mendatangi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengundangnya untuk menanyakan apa yang ia perlukan. Ia memberikannya dan memenuhi harapannya. Ketika ia meninggal dunia dari sana, jika ia kembali ke alam ini, apa pun bisnis yang ia lakukan akan  memenuhi harapannya.

(4) “Seorang lainnya lagi mendatangi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengundangnya untuk menanyakan apa yang ia perlukan. Ia memberikannya dan melebihi harapannya. Ketika ia meninggal dunia dari sana, jika ia kembali ke alam ini, apa pun bisnis yang ia lakukan akan  melebihi harapannya.

“Ini, Sāriputta, adalah alasan mengapa bagi seseorang di sini bisnis yang ia lakukan berakhir dengan kegagalan, bagi orang lainnya bisnis yang sama tidak memenuhi harapannya, bagi orang lainnya lagi bisnis yang sama memenuhi harapannya, dan bagi orang lainnya lagi bisnis yang sama melebihi harapannya.”

80 (10) Kamboja

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, mengapakan para perempuan tidak duduk di dalam dewan, atau melakukan bisnis, atau pergi ke Kamboja?”<774>

“Ānanda, para perempuan rentan terhadap kemarahan; para perempuan iri hati; [83] para perempuan kikir; para perempuan tidak bijaksana. ini adalah mengapa para perempuan tidak duduk di dalam dewan, atau melakukan bisnis, atau pergi ke Kamboja

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #14 on: 15 February 2013, 05:47:49 AM »
IV. TIDAK TERGOYAHKAN

81 (1) Membunuh

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas ini akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong. Seorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan menghindari berbohong. Seorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana.”

82 (2) Berbohong

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas ini akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah belah, berbicara kasar, dan bergosip. Seorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana. [84]

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia menghindari berbohong, menghindari mengucapkan kata-kata yang memecah belah, menghindari berbicara kasar, dan menghindari bergosip. Seorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana.”

83 (3) Mencela

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas ini akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? 1) “Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki empat kualitas ini seseorang akan akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? 1) “Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki empat kualitas ini seseorang akan akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana.

84 (4) Kemarahan

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas ini akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? (1) Seorang yang menghargai kemarahan, bukan Dhamma sejati; (2) seorang yang menghargai sikap merendahkan, bukan Dhamma sejati; (3) seorang yang menghargai perolehan, bukan Dhamma sejati; dan (4) seorang yang menghargai kehormatan, bukan Dhamma sejati. Seorang yang memiliki empat kualitas ini akan ditempatkan di neraka, seolah-olah dibawa kesana.

Para bhikkhu, seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat ini? (1) Seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan kemarahan; (2) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan sikap merendahkan; (3) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan perolehan; dan (4) seorang yang menghargai Dhamma sejati, bukan kehormatan. Seorang yang memiliki empat kualitas [lainnya] ini akan ditempatkan di surga, seolah-olah dibawa kesana.”

85 (5) Kegelapan <775>

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang mengarah dari gelap menuju gelap, seorang yang mengarah dari gelap menuju terang, seorang yang mengarah dari terang menuju gelap, dan seorang yang mengarah dari terang menuju terang.”

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang mengarah dari gelap menuju gelap? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – keluarga caṇḍāla, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga<776> - yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan hidup dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, tidak menyenangkan dilihat, cebol, dan banyak penyakit – buta, pincang, timpang, atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Adalah dengan cara ini seseorang mengarah dari gelap menuju gelap.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang mengarah dari gelap menuju terang? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah … di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa … atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Adalah dengan cara ini seseorang mengarah dari gelap menuju terang.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang mengarah dari terang menuju gelap? [86] Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga tinggi – keluarga khattiya yang makmur, keluarga brahmana yang makmur, atau keluarga perumah tangga yang makmur – seorang yang kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, dengan pusaka dan kepemilikan berlimpah, dengan kekayaan dan panen berlimpah; dan ia rupawan, menarik, anggun, memiliki kecantikan sempurna. Ia memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Adalah dengan cara ini seseorang mengarah dari terang menuju gelap.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang mengarah dari terang menuju terang? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga tinggi … dengan kekayaan dan panen berlimpah; dan ia rupawan … memiliki kecantikan sempurna. Ia memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Adalah dengan cara ini seseorang mengarah dari terang menuju terang.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

86 (6) Membungkuk

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang membungkuk yang membungkuk lebih rendah, seorang yang membungkuk yang berdiri, seorang yang berdiri yang membungkuk, dan seorang yang berdiri yang berdiri lebih tinggi lagi.<777>

“Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

87 (7) Putera

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Petapa yang tak tergoyahkan, pertapa teratai merah, petapa teratai putih, dan petapa lembut di antara para petapa.<778>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang berlatih mempraktikkan sang jalan yang berdiam dengan beraspirasi pada keamanan tertinggi dari ikatan. Seperti halnya [87] putera tertua dari seorang raja khattiya yang sah – seorang yang pasti dilantik tetapi masih belum dilantik – telah mencapai kondisi tak tergoyahkan,<779> demikian pula seorang bhikkhu adalah seorang yang berlatih mempraktikkan sang jalan yang berdiam dengan beraspirasi pada keamanan tertinggi dari ikatan.<780> Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai putih? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya; namun ia belum berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai putih.<781>

(3) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai merah? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya; dan ia berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai merah.<782>

(4) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa? Di sini, seorang bhikkhu biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya;<783> ia biasanya memakan makanan yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya;<784> ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini tidak muncul padanya.<785> Ia jarang sakit. Sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, ia mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, [88] kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa.

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini. Karena Aku biasanya biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya memakan makanan yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu. Para bhikkhu itu, yang dengan mereka Aku menetap, biasanya memperlakukanKu dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini tidak muncul padaKu. Aku jarang sakit. Sesuai kehendakKu, tanpa kesusahan atau kesulitan, Aku mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Dengan hancurnya noda-noda, Aku telah merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Aku berdiam di dalamnya. Jika seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

88 (8 ) Belenggu

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Petapa yang tak tergoyahkan, pertapa teratai merah, petapa teratai putih, dan petapa lembut di antara para petapa.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan? Di sini, dengan hancurnya tiga belenggu, [89] seorang bhikkhu adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi [terlahir kembali di] alam rendah, pasti dalam takdirnya, menuju pencerahan. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai putih? Di sini, dengan hancurnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, seorang bhikkhu adalah seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini hanya satu kali lagi, akan mengakhiri penderitaan. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai putih.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai merah? Di sini, dengan hancurnya lima belenggu, seorang bhikkhu adalah seorang yang terlahir kembali secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai merah.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

89 (9) Pandangan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Petapa yang tak tergoyahkan, pertapa teratai merah, petapa teratai putih, dan petapa lembut di antara para petapa.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai putih? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; namun ia belum berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. [90] Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai putih.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai merah? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; dan ia berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai merah.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa? Di sini, seorang bhikkhu biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya … [seperti pada 4:87] … Jika seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<786>

90 (10) Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Petapa yang tak tergoyahkan, pertapa teratai merah, petapa teratai putih, dan petapa lembut di antara para petapa.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang berlatih mempraktikkan sang jalan yang berdiam dengan beraspirasi pada keamanan tertinggi dari ikatan. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa yang tak tergoyahkan.

(2) Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai putih? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah aktivitas-aktivitas berkehendak, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya’; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya. namun ia belum berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai putih.

(3) Dan bagaimanakah seseorang menjadi petapa teratai merah? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah aktivitas-aktivitas berkehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, [91] demikianlah lenyapnya’; dan ia berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya. Dengan cara inilah seseorang itu menjadi seorang petapa teratai merah.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang menjadi seorang petapa lembut di antara para petapa? Di sini, seorang bhikkhu biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya … [seperti pada 4:87] … Jika seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #15 on: 15 February 2013, 05:48:39 AM »
V. ASURA

91 (1) Asura

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Asura dengan pengikut para asura, asura dengan pengikut para deva, deva dengan pengikut para asura, dan deva dengan pengikut para deva.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah asura dengan pengikut para asura? Di sini, seseorang tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan pengikutnya juga tidak bermoral dan berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah asura dengan pengikut para asura.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah asura dengan pengikut para deva? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi pengikutnya bermoral dan berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah asura dengan pengikut para deva.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah deva dengan pengikut para asura? [92] Di sini, seseorang bermoral dan berkarakter baik, tetapi pengikutnya tidak bermoral dan berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah deva dengan pengikut para asura.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah deva dengan pengikut para deva? Di sini, seseorang bermoral dan berkarakter baik, dan pengikutnya juga bermoral dan berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah deva dengan pengikut para deva.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

92 (2) Konsentrasi (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.<787> (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

93 (3) Konsentrasi (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(1) “Para bhikkhu, seorang yang di antara mereka yang memperoleh ketenangan pikiran [93] internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada ketenangan pikiran internal dan berusaha untuk memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(2) “Seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal harus mendasarkan dirinya pada kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena dan berusaha untuk memperoleh ketenangan pikiran internal. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena serta ketenangan pikiran internal.

(3) “Seorang yang tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memperoleh kedua kualitas bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar api akan mengerahkan  keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memadamkan [api] di pakaian atau kepalanya, demikian pula orang itu harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memperoleh kedua kualitas bermanfaat itu. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(4) “Seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang sama itu untuk berusaha lebih jauh untuk mencapai hancurnya noda-noda.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

94 (4) Konsentrasi (3)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. [94] (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(1) “Para bhikkhu, seorang yang di antara mereka yang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena dan bertanya kepadanya: ‘Bagaimanakah, teman, fenomena-fenomena terkondisi itu harus dilihat? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu diperiksa? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu dilihat melalui pandangan terang?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat dengan cara demikian, diperiksa dengan cara demikian, dilihat melalui pandangan terang dengan cara demikian.’<788> Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(2) Seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal harus mendatangi seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal dan bertanya kepadanya: ‘Bagaimanakah, teman, pikiran dikokohkan? Bagaimanakah pikiran ditenangkan? Bagaimanakah pikiran dipersatukan? Bagaimanakah pikiran dikonsentrasikan?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran harus dikokohkan dengan cara demikian, ditenangkan dengan cara demikian, dipersatukan dengan cara demikian, dikonsentrasikan dengan cara demikian.’<789> Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena serta ketenangan pikiran internal.

(3) “Seorang yang tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi seorang yang memperoleh keduanya dan bertanya kepadanya: ‘‘Bagaimanakah, teman, pikiran dikokohkan? Bagaimanakah pikiran ditenangkan? Bagaimanakah pikiran dipersatukan? Bagaimanakah pikiran dikonsentrasikan? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu harus dilihat? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu diperiksa? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu dilihat melalui pandangan terang?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran harus dikokohkan dengan cara demikian, ditenangkan dengan cara demikian, dipersatukan dengan cara demikian, dikonsentrasikan dengan cara demikian. Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat dengan cara demikian, diperiksa dengan cara demikian, dilihat melalui pandangan terang dengan cara demikian.’ Maka, beberapa lama kemudian, [95] ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(4) “Seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang sama itu untuk berusaha lebih jauh untuk mencapai hancurnya noda-noda.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

95 (5) Kayu Kremasi

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, Aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini. (3) Seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini. (4) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang  yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. [96]

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #16 on: 15 February 2013, 05:48:51 AM »
96 (6) Nafsu

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka, tetapi tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, juga tidak  tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, dan ia mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. [97] Dengan cara inilah seseorang berlatih berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

97 (7) Cerdas

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Setelah memahami makna dan Dhamma itu, ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia tidak berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, tidak mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan tidak memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Karena tidak memahami makna dan Dhamma itu, ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri. [98]

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

98 (8 ) Kesejahteraan Sendiri

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

99 (9) Aturan-aturan Latihan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri [99] tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri [99]tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh. Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia sendiri menghindari hubungan seksual yang salah tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah. Ia sendiri menghindari berbohong tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari berbohong. Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya.  Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh dan tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [100]

100 (10) Potaliya

Pengembara Potaliya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, pengembara Potaliya duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Potaliya, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Seseorang lainnya memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu. (3) Seseorang lainnya lagi tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (4) Dan seseorang lainnya lagi mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia. Sekarang, Potaliya, yang manakah di antara keempat jenis orang ini yang tampak bagimu sebagai yang paling unggul dan paling luhur?”

“Ada, Guru Gotama, empat jenis orang ini terdapat di dunia.<790> [101] Di antara keempat ini, yang tampak bagiku sebagai yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Guru Gotama, adalah keseimbangan.”

“Ada, Potaliya, jenis orang ini terdapat di dunia. Di antara keempat ini, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengunggulil, Potaliya, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.”<791>

“Ada, Guru Gotama, empat jenis orang ini terdapat di dunia. Di antara keempat ini, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengunggulil, Guru Gotama, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [102]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #17 on: 15 February 2013, 05:49:56 AM »
LIMA PULUH KE TIGA

I. AWAN

51 (1) Awan (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis awan ini. Apakah empat ini? Awan dengan petir tetapi tanpa hujan; awan dengan hujan tetapi tanpa petir; awan yang tanpa petir juga tanpa hujan; dan awan dengan petir juga dengan hujan. Ini adalah keempat jenis awan itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan awan-awan itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang dengan petir tetapi tanpa hujan; orang dengan hujan tetapi tanpa petir; orang yang tanpa petir dan tanpa hujan; dan orang dengan petir juga dengan hujan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir tetapi tanpa hujan? Di sini, seseorang adalah pembicara, tetapi bukan pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir tetapi tanpa hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir tetapi tanpa hujan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan hujan tetapi tanpa petir? Di sini, seseorang adalah pelaku, tetapi bukan pembicara. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan hujan tetapi tanpa petir. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan hujan tetapi tanpa petir.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang yang tanpa petir juga tanpa hujan? Di sini, seseorang adalah bukan pembicara juga bukan pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang tanpa petir juga tanpa hujan tetapi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan yang tanpa petir juga tanpa hujan.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir juga dengan hujan? Di sini, seseorang adalah pembicara juga pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir juga dengan hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir juga dengan hujan.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang serupa dengan awan-awan itu yang terdapat di dunia.” [103]

102 (2) Awan (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis awan ini. Apakah empat ini? … [seperti di atas] …

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir tetapi tanpa hujan? Di sini, seseorang menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban<792> - tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir tetapi tanpa hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir tetapi tanpa hujan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan hujan tetapi tanpa petir? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan hujan tetapi tanpa petir. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan hujan tetapi tanpa petir.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang yang tanpa petir juga tanpa hujn? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – dan ia juga tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang tanpa petir juga tanpa hujan tetapi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan yang tanpa petir juga tanpa hujan.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir juga dengan hujan? Di sini, seseorang menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban - dan ia juga memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir juga dengan hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir juga dengan hujan. [104]

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang serupa dengan awan-awan itu yang terdapat di dunia.”

103 (3) Kendi

“Para bhikkhu, ada empat jenis kendi ini. Apakah empat ini? Kendi yang kosong dan tertutup; kendi yang penuh dan terbuka; kendi yang kosong dan terbuka, dan kendi yang penuh dan tertutup. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan kendi-kendi itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang kosong dan tertutup; orang yang penuh dan terbuka; orang yang kosong dan terbuka, dan orang yang penuh dan tertutup.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah kosong dan tertutup? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang kosong dan tertutup. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang kosong dan tertutup.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah penuh dan terbuka? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang penuh dan terbuka. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang penuh dan terbuka.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah kosong dan terbuka? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang kosong dan terbuka. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang kosong dan terbuka.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah penuh dan tertutup? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; [105] dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang penuh dan tertutup. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang penuh dan tertutup.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan kendi-kendi itu terdapat di dunia.”

104 (4) Kolam Air

“Para bhikkhu, ada empat jenis kolam air ini. Apakah empat ini? Kolam yang dangkal tetapi tampak dalam; kolam yang dalam tetapi tampak dangkal; kolam yang dangkal dan tampak dangkal; dan kolam yang dalam dan tampak dalam. Ini adalah keempat jenis kolam itu.<793> Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan kolam-kolam air itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang dangkal tetapi tampak dalam; orang yang dalam tetapi tampak dangkal; orang yang dangkal dan tampak dangkal; dan orang yang dalam dan tampak dalam.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang dangkal tetapi tampak dalam? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang dangkal tetapi tampak dalam. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam dangkal yang tampak dalam. [106]

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dalam tetapi tampak dangkal? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang dalam tetapi tampak dangkal. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dalam tetapi tampak dangkal.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dangkal dan tampak dangkal? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang dangkal dan tampak dangkal. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dangkal dan tampak dangkal.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dalam dan tampak dalam? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang dalam dan tampak dalam. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dalam dan tampak dalam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan kolam-kolam air itu terdapat di dunia.”

105 (5) Mangga

“Para bhikkhu, ada empat jenis mangga ini. Apakah empat ini? Mangga yang belum matang tetapi tampak matang; mangga yang matang tetapi tampak belum matang; mangga yang belum matang dan tampak belum matang; dan mangga yang matang dan tampak matang. Ini adalah keempat jenis mangga itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan mangga-mangga itu terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Orang yang belum matang tetapi tampak matang; orang yang matang tetapi tampak belum matang; orang yang belum matang dan tampak belum matang; dan orang yang matang dan tampak matang.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang belum matang tetapi tampak matang? [107] Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang belum matang tetapi tampak matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga belum matang tetapi tampak matang.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang matang tetapi tampak belum matang? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang matang tetapi tampak belum matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang matang tetapi tampak belum matang.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang belum matang dan tampak belum matang? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang belum matang dan tampak belum matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang belum matang dan tampak belum matang.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang matang dan tampak matang? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang matang dan tampak matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang matang dan tampak matang.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan mangga-mangga itu terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #18 on: 15 February 2013, 05:50:38 AM »
106 (6) [Mangga]

[Tidak ada teks sutta ini terdapat dalam edisi mana pun. Syair uddāna pada akhir vagga mengatakan: dve honti ambāni, “ada dua [tentang] mangga,” yang menjelaskan mengapa Be memberi judul ini. Mp hanya mengatakan, “Yang ke enam sudah jelas.” Baik Ce maupun Be, yang merujuk pada komentar ini, memberi catatan: “Komentar mengatakan, “Yang ke enam sudah jelas, ’tetapi tidak terdapat dalam teks kanonis.”]

107 (7) Tikus

“Para bhikkhu, ada empat jenis tikus ini. Apakah empat ini? Tikus yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya; tikus yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya; tikus yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya; dan tikus yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. Ini adalah empat jenis tikus itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan tikus-tikus ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya; orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya; orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya; dan orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. [108]

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya? Di sini, seseorang menguasai Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban - tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - tetapi ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya? Di sini, seseorang menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang membuat lubang juga menetap di dalamnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan tikus-tikus itu terdapat di dunia.”

108 (8 ) Sapi Jantan

“Para bhikkhu, ada empat jenis sapi jantan ini. Apakah empat ini? [109] Sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain; sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri, sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain; dan sapi jantan yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Ini adalah empat jenis sapi jantan. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan sapi-sapi jantan ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain; orang yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri, orang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain; dan orang yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompoknya sendiri tetapi tidak pada kelompok lain. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompok lain tetapi tidak pada kelompoknya sendiri. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompok lain dan juga kelompoknya sendiri. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri ataupun terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang tidak menakut-nakuti kelompoknya sendiri dan juga kelompok lain. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan sapi-sapi jantan itu terdapat di dunia.”

109 (9) Pohon

“Para bhikkhu, ada empat jenis pohon ini. Apakah empat ini? [110] Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras; pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Ini adalah empat jenis pohon itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan pepohonan itu terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, dan kelompoknya juga tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi kelompoknya bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, tetapi kelompoknya tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, dan kelompoknya juga bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan pepohonan itu terdapat di dunia.”

110 (10) Ular Berbisa

“Para bhikkhu, ada empat jenis ular berbisa ini. Apakah empat ini? Ular yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; ular yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; ular yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan ular yang biasnya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Ini adalah keempat jenis ular berbisa itu. [111] Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan ular-ular berbisa itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan orang yang biasnya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, tetapi kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan juga kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, dan juga juga kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan ular-ular berbisa itu terdapat di dunia.” [112]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #19 on: 15 February 2013, 05:51:25 AM »
II. KESI

111 (1) Kesi


Kesi si pelatih kuda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Kesi, engkau adalah seirang pelatih kuda yang memiliki reputasi baik. Bagaimanakah engkau mendisiplinkan seekor yang harus dijinakkan?”

“Bhante, aku mendisiplinkan sejenis kuda dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.”

“Tetapi, Kesi, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

“Bhante, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka aku membunuhnya. Karena alasan apakah? Agar tidak mempermalukan perkumpulan guruku. Tetapi, Bhante, Sang Bhagavā adalah pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Bagaimanakah Sang Bhagavā mendisiplinkan seorang yang harus dijinakkan?”

“Aku mendisiplinkan sejenis orang dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras. (1) Ini, Kesi, adalah metode lembut: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia.’ (2) Ini adalah metode keras: ‘Demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’ (3) Ini adalah metode lembut dan keras: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’”

“Tetapi, Bhante, jika orang yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, [113] apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

(4) “Jika orang yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka Aku membunuhnya.”

“Tetapi, Bhante, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Namun Beliau mengatakan, ‘maka Aku membunuhnya.”

“Benar, Kesi, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Akan tetapi, Jika orang yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui metode lembut, metode keras, atau metode lembut dan keras, maka Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari. Karena ini, Kesi, adalah ‘pembunuhan’ dalam disiplin Yang Mulia: Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari.”

“Ia memang telah dibunuh dengan benar, Bhante, ketika Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

112 (2) Kecepatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? Kejujuran, kecepatan, kesabaran dan kelembutan. Dengan memiliki keempat faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Kejujuran, kecepatan, kesabaran dan kelembutan. Dengan memiliki keempat faktor ini, [114] seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

113 (3) Baik

“Para bhikkhu, ada empat jenis kuda yang baik yang berdarah murni ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah<794> yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis pertama dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke dua dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(3) Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke tiga dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(4) Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, juga tidak ketika ia kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika tulangnya ditepuk dengan tongkat kendali,, dengan berpikir: [115] ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke empat dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

“Ini adalah ke empat jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ada empat jenis orang yang baik yang berdarah murni ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya.<795> Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis pertama dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(2) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Melainkan, ia melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia bulunya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke dua dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(3) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Juga ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. Melainkan, sanak saudara atau anggota keluarganya jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. [116] Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia kulitnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke tiga dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(4) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Juga ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. juga sanak saudara atau anggota keluarganya tidak jatuh sakit dan meninggal dunia. Melainkan ia sendiri yang didera oeh perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia tulangnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke empat dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia

“Ini adalah keempat jenis orang yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”

114 (4) Gajah Jantan Besar

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? Di sini, seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan? Di sini, tugas apapun yang diberikan oleh pelatih gajah kepadanya, apakah pernah dilakukan sebelumnya atau tidak, gajah jantan besar kerajaan itu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia menghancurkan gajah-gajah dan para penunggang gajah; ia menghancurkan kuda-kuda dan para prajurit penunggang kuda; [117] ia menghancurkan kereta-kereta dan para kusirnya; ia menghancurkan para prajurit pejalan kaki. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia dengan sabar menahankan tusukan dan bacokan oleh tombak, pedang, anak panah, dan kapak; ia menahankan gelegar tambur, gendering, kulit kerang, dan gendang. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan.

(4) ) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan dengan cepat pergi ke wilayah mana pun yang sang pelatih mengirimnya, apakah pernah dikunjungi sebelumnya atau tidak. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian.

“Dengan memiliki empat faktor seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan? Di sini, ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun yang muncul dari waktu ke waktu, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; [118] ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian? Di sini, seorang bhikkhu dengan cepat pergi ke wilayah di mana ia belum pernah mengunjunginya sebelumnya dalam waktu yang lama, yaitu, untuk menenangkan segala aktivitas, melepaskan segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian.

“Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

115 (5) Perbuatan

“Para bhikkhu, ada empat kasus perbuatan ini.<796> Apakah empat ini? (1) Ada perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. (2) Ada perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. (3) Ada perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. (4) Ada perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat.

(1) “Para bhikkhu, ambil kasus perbuatan pertama yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. Seseorang mempertimbangkan bahwa perbuatan ini seharusnya tidak dilakukan atas kedua dasar: karena tidak menyenangkan untuk dilakukan dan karena akan terbukti berbahaya. Ia harus mempertimbangkan bahwa perbuatan ini seharusnya tidak dilakuakn atas kedua dasar.

(2) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. Adalah dalam kasus ini seseorang dapat memahami siapa orang dungu dan siapa orang bijaksana sehubungan dengan kekuatan manusia, kegigihan manusia, dan pengerahan usaha manusia. Si dungu tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja [119] perbuatan ini akan terbukti bermanfaat.’ Maka ia tidak melakukan perbuatan itu, dan tidak melakukannya terbukti berbahaya. Tetapi orang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti bermanfaat.’ Maka ia melakukan perbuatan itu, dan terbukti bermanfaat.

(3) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. dalam kasus ini juga, seseorang dapat memahami siapa orang dungu dan siapa orang bijaksana sehubungan dengan kekuatan manusia, kegigihan manusia, dan pengerahan usaha manusia. Si dungu tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti berbahaya.’ Maka ia melakukan perbuatan itu, dan terbukti berbahaya. Tetapi orang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti berbahaya.’ Maka ia tidak melakukan perbuatan itu, dan tidak melakukannya terbukti bermanfaat.

(4) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. Perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang harus dilakukan atas kedua dasar: karena menyenangkan untuk dilakukan dan karena terbukti bermanfaat. Perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang harus dilakukan atas kedua dasar.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat kasus perbuatan itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #20 on: 15 February 2013, 05:51:57 AM »
116 (6) Kewaspadaan

“Para bhikkhu, ada empat kesempatan ketika kewaspadaan harus dipraktikkan. Apakah empat ini?

(1) “Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui jasmani dan kembangkanlah perbuatan baik melalui jasmani. (2) Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui ucapan dan kembangkanlah perbuatan baik melalui ucapan. (3) Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui pikiran dan kembangkanlah perbuatan baik melalui pikiran. (4) Tinggalkanlah pandangan salah dan kembangkanlah pandangan benar; jangan lengah dalam hal ini. [120]

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ketika ia telah meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ketika ia telah meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ketika ia telah meninggalkan pandangan salah dan mengembangkan pandangan benar, maka ia tidak perlu takut pada kematian di masa depan.”<797>

117 (7) Menjaga

“Para bhikkhu, seseorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri<798> harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya dalam empat kasus. Apakah empat ini?

(1) “’Semoga pikiranku tidak tertarik oleh hal-hal yang memancing nafsu!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(2) “’Semoga pikiranku tidak penuh kebencian terhadap hal-hal yang memancing kebencian!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(3) “’Semoga pikiranku tidak terdelusi oleh hal-hal yang menyebabkan delusi!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(4) “’Semoga pikiranku tidak mabuk oleh hal-hal yang memabukkan!’<799> Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

“Para bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu tidak tertarik oleh hal-hal yang memancing nafsu karena ia telah terbebas dari nafsu; ketika pikirannya tidak penuh kebencian terhadap hal-hal yang memancing kebencian karena ia telah terbebas dari kebencian; ketika pikirannya tidak terdelusi oleh hal-hal yang menyebabkan delusi karena ia telah terbebas dari delusi; ketika pikirannya tidak mabuk oleh hal-hal yang memabukkan, maka ia tidak gentar, tidak terguncang, tidak gemetar atau menjadi ketakutan, juga tidak terombang-ambing oeh kata-kata para petapa [lain].”<800>

118 (9) Menginspirasi <801>

“Para bhikkhu, empat tempat yang menginspirasi ini yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. Apakah empat ini? (1) Tempat di mana Sang Tathāgata terlahir adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (2) Tempat di mana Sang Tathāgata tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak tertandingi adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (3) Tempat di mana Sang Tathāgata memutar roda Dhamma yang tidak tertandingi adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (4) Tempat di mana Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. [121] Ini, para bhikkhu, adalah empat tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan.”<802>

119 (9) Bahaya (1)

“Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya kelahiran, bahaya usia tua, bahaya penyakit, dan bahaya kematian. Ini adalah empat bahaya itu.”

120 (10) Bahaya (2)

“Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya api, bahaya banjir, bahaya raja-raja, bahaya para penjahat. Ini adalah empat bahaya itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #21 on: 15 February 2013, 05:53:01 AM »
III. BAHAYA

121 (1) Mencela Diri Sendiri

”Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya mencela diri sendiri, bahaya dicela oleh orang lain, bahaya hukuman, dan bahaya takdir yang buruk.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya mencela diri sendiri? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, tidakkah aku akan menegur diriku sendiri karena perilakuku?’ Karena takut akan bahaya mencela diri sendiri, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya mencela diri sendiri.

(2) “Dan apakah bahaya dicela oleh orang lain? [122] Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, tidakkah orang lain akan menegurku karena perilakuku?’ Karena takut akan bahaya dicela oleh orang lain, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya dicela oleh orang lain.

(3) “Dan apakah bahaya hukuman?<803> Di sini, seseorang melihat ketika raja-raja menangkap seorang pencuri yang telah melakukan tindak kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan tongkat pemukul, mereka memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; mereka menjatuhkan kepadanya siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan tikar jerami’;  dan mereka menyiramnya dengan minyak mendidih, dan mereka membuangnya agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan dalam keadaan hidup ia ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang.

“Ia berpikir: ‘Ketika raja-raja menangkap seorang pencuri yang telah melakukan tindak kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti … kepalanya dipenggal dengan pedang. Sekarang jika aku melakukan perbuatan jahat itu, dan jika raja-raja menangkapku, maka mereka akan menjatuhkan hukuman yang sama kepadaku. Mereka akan mencambukku dengan cemeti … dan kepalaku akan dipenggal dengan pedang.’ Karena takut pada bahaya hukuman, ia tidak merampas barang-barang milik orang lain. Ini disebut bahaya hukuman. [123]

(4) “Dan apakah bahaya takdir yang buruk? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat buruk<804> di masa depan; perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat buruk di masa depan; perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat buruk di masa depan. Sekarang jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Karena takut pada bahaya takdir yang buruk, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya takdir yang buruk.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya itu.”<805>

122 (2) Ombak <806>

“Para bhikkhu, ada empat bahaya yang menanti pada seseorang yang masuk ke air. Apakah empat ini? Bahaya ombak, bahaya buaya, bahaya pusaran air, dan bahaya ikan buas. Ini adalah empat bahaya yang menanti pada seseorang yang masuk ke air. Demikian pula, ada empat bahaya ini yang menanti pada seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah empat ini? Bahaya ombak, bahaya buaya, bahaya pusaran air, dan bahaya ikan buas.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya ombak? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya para bhikkhu menasihati dan mengajarinya: ‘Engkau harus berjalan pergi seperti ini, kembali seperti ini; [124] menatap ke depan seperti ini, menatap ke belakang seperti ini; engkau harus mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu seperti ini.’ Ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku menasihati dan mengajari orang lain. Tetapi sekarang [para bhikkhu] ini, yang cukup muda untuk menjadi anak atau cucuku, berani menasihati dan mengajari aku.’ Karena marah dan tidak senang, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya ombak. ‘Bahaya ombak’ adalah sebutan untuk kemarahan dan kejengkelan. Ini disebut bahaya ombak.

(2) “Dan apakah bahaya buaya?  Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya para bhikkhu menasihati dan mengajarinya: ‘Engkau boleh mengkonsumsi ini tetapi tidak itu; engkau boleh memakan ini tetapi tidak itu;<807> engkau boleh mengecap ini tetapi tidak itu. Engkau boleh meminum ini tetapi tidak itu. Engkau boleh mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum apa yang diperbolehkan, bukan apa yang tidak diperbolehkan. Engkau boleh mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum di dalam waktu yang benar, bukan di luar waktu yang benar.’ Ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku mengkonsumsi apa pun yang ingin kukonsumsi dan tidak mengkonsumsi apa pun yang tidak ingin kukonsumsi. Aku memakan apa pun yang ingin kumakan dan tidak memakan apa pun yang tidak ingin kumakan. Aku mengecap apa pun yang ingin kukecap dan tidak mengecap apa pun yang tidak ingin kukecap. Aku meminum apa pun yang ingin kuminum dan tidak meminum apa pun yang tidak ingin kuminum. Aku mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum apa yang diperbolehkan maupun apa yang tidak diperbolehkan. Aku mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum di dalam waktu yang benar juga di luar waktu yang benar. [125] Tetapi sekarang ketika para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan makanan-makanan lezat untuk dikonsumsi dan dimakan selama siang hari di luar waktu yang tepat, [para bhikkhu] ini tampaknya memberangus mulut kami.’ Karena marah dan tidak senang, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya buaya. ‘Bahaya buaya’ adalah sebutan untuk kerakusan. Ini disebut bahaya buaya.

(3) “Dan apakah bahaya pusaran air? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Ia melihat seorang perumah tangga atau seorang putera perumah tangga di sana memiliki dan menikmati kelima objek kenikmatan indria, ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku memiliki dan menikmati kelima objek kenikmatan indria. Keluargaku kaya. Aku dapat menikmati kekayaan itu sekaligus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku sekarang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah sehingga aku dapat menikmati kekayaan itu sekaligus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.’ Maka ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya pusaran air. ‘Bahaya pusaran air’ adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Ini disebut bahaya pusaran air.

(4) “Dan apakah bahaya ikan buas? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, [126] dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Di sana ia melihat para perempuan dengan pakaian mereka yang berantakan dan terbuka. Ketika ia melihat mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikiran diserang oleh nafsu, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya ikan buas. “Bahaya ikan buas” adalah sebutan untuk para perempuan. Ini disebut bahaya ikan buas.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya itu yang menanti pada seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin ini.”

103 (3) Perbedaan (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā. Umur kehidupan para deva kumpulan Brahmā adalah satu kappa.<808> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita.<809> Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu.<810> Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.<811> [127]

(2) “Kemudian, seseorang, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan cahaya gemerlap. Umur kehidupan para deva dengan cahaya gemerlap adalah dua kappa.<812> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

(3) “Kemudian, seseorang, dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan keagungan gemilang. Umur kehidupan para deva dengan keagungan gemilang adalah empat kappa.<813> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

(4) “Kemudian, seseorang, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. [128] Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva berbuah besar. Umur kehidupan para deva berbuh besar adalah lima ratus kappa.<814> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

124 (4) Perbedaan (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.<815> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni.<816> Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

(2) “Kemudian, seseorang, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … (3) Dengan memudarnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … (4) dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #22 on: 15 February 2013, 05:53:44 AM »
125 (5) Cinta Kasih (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, [129] demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā.<817> Umur kehidupan para deva kumpulan Brahmā adalah satu kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan cahaya gemerlap. Umur kehidupan para deva dengan cahaya gemerlap adalah dua kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(3) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan keagungan gemilang. Umur kehidupan para deva dengan keagungan gemilang adalah empat kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(4) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva berbuah besar. Umur kehidupan para deva berbuah besar adalah lima ratus kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [130]

126 (6) Cinta Kasih (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, [129] demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.  Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … (3) … kegembiraan altruistik … (4) … keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.  Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

127 (7) Menakjubkan (1)

“Para bhikkhu, melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, maka empat hal menakjubkan dan mengagumkan terjadi.<818> Apakah empat ini?

(1) “Ketika, para bhikkhu, seorang bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih memasuki rahim ibunya, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara, yang kosong dan kedalamannya tak terukur, wilayah kegelapan dengan kegelapan yang tak tertembus di mana cahaya matahari dan rembulan, yang begitu kuat dan perkasa, tidak menjangkaunya,<819> di sana juga suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, keagungan surgawi para deva. Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana saling melihat satu sama lain dengan cahaya ini dan berkata: ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’<820> [131] Ini melampaui adalah hal menakjubkan dan mengagumkan pertama yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(2) “Kemudian, ketika seorang bodhisatta dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih keluar dari rahim ibunya, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara … [makhluk-makhluk] berkata: : ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke dua yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(3) “Kemudian, ketika seorang Tathāgata tercerahkan pada pencerahan sempurna yang tak tertandingi, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara … [makhluk-makhluk] berkata: : ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke tiga yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(4) “Kemudian, ketika seorang Tathāgata memutar roda Dhamma yang tak tertandingi, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara, yang kosong dan kedalamannya tak terukur, wilayah kegelapan dengan kegelapan yang tak tertembus di mana cahaya matahari dan rembulan, yang begitu kuat dan perkasa, tidak menjangkaunya, di sana juga suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana saling melihat satu sama lain dengan cahaya ini dan berkata: ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke empat yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan itu yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.”

128 (8 ) Menakjubkan (2)

“Para bhikkhu, melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, maka empat hal menakjubkan dan mengagumkan terjadi. Apakah empat ini?

(1) “Orang-orang bersenang-senang dalam kemelekatan,<821> menikmati kesenangan di dalam kemelekatan, bergembira di dalam kemelekatan. Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma tentang ketidak-melekatan,<822> orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan pertama yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(2) “Orang-orang bersenang-senang dalam kesombongan, menikmati kesenangan di dalam kesombongan, bergembira di dalam kesombongan. [132] Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan kesombongan, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke dua yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(3) “Orang-orang bersenang-senang dalam hal-hal yang menggairahkan,<823> menikmati kesenangan di dalam hal-hal yang menggairahkan, bergembira di dalam hal-hal yang menggairahkan. [132] Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang menuntun menuju kedamaian, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke tiga yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(4) “Orang-orang tenggelam dalam ketidak-tahuan, menjadi seperti sebutir telur, sepenuhnya terbungkus.<824> Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan ketidak-tahuan, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke empat yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan itu yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.”

129 (9) Menakjubkan (3) <825>

“Para bhikkhu, ada empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada Ānanda. Apakah empat ini?

(1) “JIka suatu kelompok para bhikkhu datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para bhikkhu itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(2) “JIka suatu kelompok para bhikkhunī datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para bhikkhunī itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(3) “JIka suatu kelompok para umat awam laki-laki datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para umat awam laki-laki itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(4) “JIka suatu kelompok para umat awam perempuan datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para umat awam perempuan itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada Ānanda.” [133]

130 (10) Menakjubkan (4)

“Para bhikkhu, ada empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada seorang raja pemutar roda. Apakah empat ini?

(1) “JIka suatu kelompok para khattiya datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para khattiya itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(2) “JIka suatu kelompok para brahmana datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para brahmana itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(3) “JIka suatu kelompok para perumah tangga datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para perumah tangga itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(4) “JIka suatu kelompok para petapa datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para perumah tangga itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada seorang raja pemutar roda.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada empat hal empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada Ānanda. Apakah empat ini? … [lengkap seperti pada 4:129] …

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada Ānanda.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #23 on: 15 February 2013, 05:54:11 AM »
IV. ORANG-ORANG

131 (1) Belenggu

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

“(1) Di sini, para bhikkhu, seseorang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.<826> [134] (2) Seseorang lainnya telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan. (3) Seseorang lainnya lagi telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan. (4) Dan Seseorang lainnya lagi telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(1) “Orang jenis apakah yang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Yang-kembali-sekali.<827> Orang ini belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(2) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Seorang yang naik ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.<828> Orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(3) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Seorang yang mencapai nibbāna akhir pada masa interval.<829> Orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(4) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Sang Arahant. Karena orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [135]

132 (2) Kearifan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang kearifannya tajam tetapi tidak mengalir-bebas;<830> seorang yang kearifannya mengalir-bebas tetapi tidak tajam; seorang yang kearifannya tajam dan juga mengalir bebas; seorang yang kearifannya tidak tajam juga tidak mengalir-bebas. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

133 (3) Dengan Pemahaman Cepat

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang memahami dengan cepat; seorang yang memahami melalui penjelasan terperinci;  seorang yang perlu dituntun; dan seorang yang baginya kata-kata adalah maksimum. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<831>

134 (4) Usaha

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang hidup dari buah usahanya tetapi bukan dari buah kammanya; seorang yang hidup dari buah kammanya tetapi bukan dari buah usahanya; seorang yang hidup dari buah usahanya juga dari buah kammanya; dan seorang yang hidup bukan dari buahnya juga bukan dari buah kammanya. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<832>

135 (5) Tercela

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Yang tercela, yang paling tercela, yang sedikit tercela, dan yang tanpa cela.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang tercela melalui jasmani, perbuatan yang tercela melalui ucapan, perbuatan yang tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut tercela. [136]

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut paling tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang paling tercela melalui jasmani, perbuatan yang paling tercela melalui ucapan, perbuatan yang paling tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut paling tercela.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut sedikit tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang sedikit tercela melalui jasmani, perbuatan yang sedikit tercela melalui ucapan, perbuatan yang sedikit tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut sedikit tercela.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut tanpa cela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang tanpa cela melalui jasmani, perbuatan yang  tanpa cela melalui ucapan, perbuatan yang tanpa cela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut tanpa cela.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<833>

136 (6) Perilaku Bermoral (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. (2) Seseorang lainnya memenuhi perilaku bermoral tetapi tidak memenuhi konsentrasi dan kebijaksanaan. (3) Seseorang lainnya lagi memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi tidak memenuhi kebijaksanaan. (4) Dan seseorang lainnya lagi memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<834>

137 (7) Perilaku Bermoral (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?  [137]

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak menghargai perilaku bermoral atau menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, tidak menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(2) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, tetapi tidak menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(3) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, tetapi tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(4) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

“Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

138 (8 ) Retret

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran; dan seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran? Di sini seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi di sana ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran? Di sini seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak-mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, sini seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, [138] dan ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, dan di sana ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak-mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

“Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

139 (9) Pembabar Dhamma

“Para bhikkhu, ada empat jenis pembabar Dhamma ini. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang pembabar Dhamma sedikit berbicara dan [ucapannya] tanpa makna, dan kelompoknya tidak terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(2) “Pembabar Dhamma lainnya sedikit berbicara tetapi [ucapannya] bermakna, dan kelompoknya terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(3) “Pembabar Dhamma lainnya lagi banyak berbicara tetapi [ucapannya] tanpa makna, dan kelompoknya tidak terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(4) (3) “Pembabar Dhamma lainnya lagi banyak berbicara dan [ucapannya] bermakna, dan kelompoknya terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

“Ini, para bhikkhu adalah keempat jenis pembabar Dhamma itu.”

140 (10) Pembabar

“Para bhikkhu, ada empat pembabar ini. Apakah empat ini? [139] (1) Ada pembabar yang kehabisan makna tetapi tidak kehabisan kata-kata. (2) Ada pembabar yang kehabisan kata-kata tetapi tidak kehabisan makna. (3) Ada pembabar yang kehabisan baik makna maupun kata-kata. (4) Dan ada pembabar yang tidak kehabisan baik makna maupun kata-kata. Ini adalah keempat pembabar itu. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seseorang yang memiliki empat pengetahuan analitis dapat kehabisan makna dan kata-kata.”<835>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #24 on: 15 February 2013, 05:54:34 AM »
V. KEMEGAHAN

141 (1) Kemegahan

“Para bhikkhu, ada empat kemegahan ini. Apakah empat ini? Kemegahan rembulan, kemegahan matahari, kemegahan api, dan kemegahan kebijaksanaan. Ini adalah empat kemegahan itu. Di antara keempat kemegahan ini, kemegahan kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

142 (2) Sinar

“Para bhikkhu, ada empat sinar ini. Apakah empat ini? Sinar rembulan, sinar matahari, sinar api, dan sinar kebijaksanaan. Ini adalah empat sinar itu. Di antara keempat sinar ini, sinar kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

143 (3) Cahaya

“Para bhikkhu, ada empat cahaya ini. Apakah empat ini? Cahaya rembulan, cahaya matahari, cahaya api, dan cahaya kebijaksanaan. Ini adalah empat cahaya itu. Di antara keempat cahaya ini, cahaya kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

144 (4) Kilauan

“Para bhikkhu, ada empat kilauan ini. Apakah empat ini? Kilauan rembulan, kilauan matahari, kilauan api, dan kilauan kebijaksanaan. [140] Ini adalah empat kilauan itu. Di antara keempat kilauan ini, kilauan kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

145 (5) Benda Bercahaya

“Para bhikkhu, ada empat benda bercahaya ini. Apakah empat ini? Rembulan adalah satu benda bercahaya, matahari adalah satu benda bercahaya, api adalah satu benda bercahaya, dan kebijaksanaan adalah satu benda bercahaya. Ini adalah empat benda bercahaya itu. Di antara keempat benda bercahaya ini, kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

146 (6) Waktu (1)

“Ada, para bhikkhu, empat waktu ini? Apakah empat ini? Waktu untuk mendengarkan Dhamma, waktu untuk mendiskusikan Dhamma, waktu untuk ketenangan,<836> dan waktu untuk pandangan terang. Ini adalah keempat waktu itu.

147 (7) Waktu (2)

“Para bhikkhu, keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda. Apakah empat ini? Waktu untuk mendengarkan Dhamma, waktu untuk mendiskusikan Dhamma, waktu untuk ketenangan, dan waktu untuk pandangan terang. Keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda.

“Seperti halnya, ketika hari hujan dan air hujan turun dalam butiran-butiran besar di puncak gunung, air mengalir turun di sepanjang lereng dan mengisi celah, parit, dan anak sungai; ini, setelah menjadi penuh, akan memenuhi kolam-kolam; ini, setelah penuh, akan memenuhi danau-danau; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai kecil; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai besar; dan ini, setelah penuh, akan memenuhi samudera; demikian pula, keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda.” [141]

148 (8 ) Perilaku (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis perilaku buruk melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Ucapan bohong, ucapan memecah belah, ucapan kasar, dan gosip. Ini adalah keempat jenis perilaku buruk melalui ucapan.”

149 (9) Perilaku (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis perilaku baik melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Ucapan jujur, ucapan tidak memecah belah, ucapan halus, dan ucapan bijaksana. Ini adalah keempat jenis perilaku baik melalui ucapan.”

150 (10) Inti

“Para bhikkhu, ada empat inti ini. Apakah empat ini? Inti perilaku bermoral, inti konsentrasi, inti kebijaksanaan, dan inti kebebasan. Ini adalah keempat inti itu.”



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #25 on: 15 February 2013, 05:55:01 AM »

LIMA PULUH KE EMPAT


I. INDRIA-INDRIA

151 (1) Indria

“Para bhikkhu, ada empat indria ini. Apakah empat ini? Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, dan indria konsentrasi. Ini adalah keempat indria itu.”<837>

152 (2) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, dan kekuatan konsentrasi. Ini adalah keempat kekuatan itu.” [142]

153 (3) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan kegigihan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

154 (4) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

155 (5) Refleksi

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan refleksi, kekuatan pengembangan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

156 (6) kappa

“Para bhikkhu, ada empat pembagian yang tak terhitung dari satu kappa.<838> Apakah empat ini?

(1) “Masa ketika satu kappa menyusut, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’<839>

(2) “Masa ketika satu kappa berada pada tahap penyusutan, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

(3) “Masa ketika satu kappa mengembang, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

(4) “Masa ketika satu kappa berada pada tahap pengembangan, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

“Ini, para bhikkhu, adalah empat pembagian yang tak terhitung dari satu kappa.”

157 (7) Penyakit

“Para bhikkhu, ada dua jenis penyakit ini. Apakah dua ini? [143] Panyakit jasmani dan penyakit batin. Orang-orang dapat mengaku menikmati kesehatan jasmani selama satu, dua, tiga, empat, dan lima tahun; selama sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, dan lima puluh tahun; dan bahkan seratus tahun atau lebih. Tetapi kecuali mereka yang noda-nodanya telah dihancurkan, adalah sulit untuk menemukan orang-orang di dunia yang dapat mengaku menikmati kesehatan batin bahkan untuk sesaat.

“Ada, para bhikkhu, empat penyakit ini yang ditimbulkan oleh seorang bhikkhu. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan yang kuat, mengalami kesusahan, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit.<840> (2) Karena ia memiliki keinginan-keinginan yang kuat, mengalami kesusahan, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, maka ia menyerah pada keinginan jahat demi pengakuan dan demi perolehan, kehormatan, dan pujian. (3) Ia membangkitkan dalam dirinya, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh pengakuan dan perolehan, kehormatan, dan pujian. (4) Ia dengan licik mendatangi keluarga-keluarga, dengan licik duduk, dengan licik membabarkan Dhamma, dan dengan licik menahankan desakan untuk buang air besar dan air kecil.<841> Ini adalah empat penyakit yang ditimbulkan oleh seorang bhikkhu.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan memiliki keinginan-keinginan yang kuat atau mengalami kesusahan, dan kami tidak akan menjadi tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Kami tidak akan menyerah pada keinginan jahat demi pengakuan dan demi perolehan, kehormatan, dan pujian. Kami tidak akan menggerakkan diri kami, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh pengakuan dan perolehan, kehormatan, dan pujian. Kami akan dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; kami akan menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

158 (8 ) Kemunduran

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, [144] para bhikkhu!”

“Teman!”, para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kemunduran oleh Sang Bhagavā.’ Apakah empat ini? Berlimpahnya nafsu, berlimpahnya kebencian, berlimpahnya delusi, dan mata kebijaksanaannya tidak menapak dalam hal-hal mendalam pada apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.<842> Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kemunduran oleh Sang Bhagavā.’

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku tidak mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut ketidak-munduran oleh Sang Bhagavā.’ Apakah empat ini? Berkurangnya nafsu, berkurangnya kebencian, berkurangnya delusi, dan mata kebijaksanaannya menapak dalam hal-hal mendalam pada apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin. Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku tidak mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut ketidak-munduran oleh Sang Bhagavā.’”

159 (9) Bhikkhunī

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian seorang bhikkhunī tertentu memanggil seorang laki-laki sebagai berikut: ‘Pergilah, Sahabat, datangilah Guru Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya. Kemudian katakan: ‘Bhante, seorang bhikkhunī sedang sakit, menderita, sakit parah. Ia bersujud kepada Guru Ānanda dengan kepalanya di kaki Guru Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Sudilah, Bhante, jika, demi belas kasihan, Guru Ānanda sudi mengunjungi bhikkhunī itu di kediaman para bhikkhunī.’”

“Baik, Nyonya Mulia,” orang itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, [145] bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesannya. Yang Mulia Ānanda menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman para bhikkhunī. Ketika bhikkhunī itu dari jauh melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda, ia menutup tubuhnya dari kepala dan berbaring di atas tempat tidurnya.<843> Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi bhikkhunī itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepadanya:

“Saudari, tubuh ini berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari kesombongan, dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.<844>

(1) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, merenungkan dengan seksama, seorang bhikkhu mengkonsumsi makanan bukan demi kesenangan juga bukan demi kemabukan juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi menyokong dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, untuk membantu kehidupan spiritual, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama dan tidak memunculkan perasaan baru, dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada makanan, ia meninggalkan makanan.<845> Ketika dikatakan: ‘‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(2) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ karena alasan [146] apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, berdiam di dalamnya?’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada ketagihan, ia meninggalkan ketagihan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(3) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal-mula dari kesombongan, dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Yang Mulia itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Mengapakah, aku juga dapat melakukannya!’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada kesombongan, ia meninggalkan kesombongan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari kesombongan; dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(4) “Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.”<846>

Kemudian bhikkhunī itu bangkit dari tempat tidurnya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan setelah bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda, ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku telah begitu dungu, bodoh, dan bersikap secara tidak terampil seperti yang telah kulakukan. Bhante, sudilah Guru Ānanda menerima pelanggaranku dilihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Saudari, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau telah begitu dungu, bodoh, dan bersikap secara tidak terampil seperti yang telah engkau lakukan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, memperbaikinya sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.” [147]

160 (10) Yang Berbahagia <847>

“Para bhikkhu, selama Yang Berbahagia atau disiplin dari Yang Berbahagia masih ada di dunia, maka ini adalah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada Dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.

“Dan siapakah, para bhikkhu, Yang Berbahagia itu? Di sini, Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Ini adalah Yang Berbahagia itu.

“Dan apakah disiplin dari Yang Berbahagia? Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ini adalah disiplin dari Yang Berbahagia. Demikianlah selama Yang Berbahagia atau disiplin dari Yang Berbahagia masih ada di dunia, maka ini adalah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada Dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.

“Ada, para bhikkhu empat hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh secara buruk, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang dibabarkan secara buruk.<848> Jika kata-kata dan frasa-frasa dibabarkan secara buruk, maka maknanya diinterpretasikan secara buruk. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka sulit dikoreksi. Mereka tidak sabar dan tidak menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.
 
(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka, tidak dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang lain. Ketika mereka meninggal dunia, khotbah-khotbah itu terpotong di akarnya, dibiarkan tanpa ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “kemudian, para bhikkhu senior hidup mewah [148] dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, meninggalkan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, meninggalkan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah empat hal yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ada, para bhikkhu, empat hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh secara baik, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang dibabarkan secara baik. Jika kata-kata dan frasa-frasa dibabarkan secara baik, maka maknanya diinterpretasikan secara baik. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu nudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka mudah dikoreksi. Mereka sabar dan menerima ajaran dengan penuh hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka, dengan penuh hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang lain. Ketika mereka meninggal dunia, khotbah-khotbah itu tidak terpotong di akarnya karena ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.
.
(4) “kemudian, para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, mereka meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. [149]

“Ini, para bhikkhu, adalah empat hal yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #26 on: 15 February 2013, 05:57:20 AM »
II. CARA PRAKTIK

161 (1) Secara Ringkas <849>

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.<850> Ini adalah keempat cara praktik itu.”

162 (2) Secara Terperinci

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seseorang secara alami sangat rentan terhadap nafsu dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu. Secara alami ia sangat rentan terhadap kebencian dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh kebencian. Secara alami ia sangat rentan terhadap delusi dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh delusi. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda.<851> Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(2) “Dan apakah praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seseorang secara alami sangat rentan terhadap nafsu … kebencian … delusi dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu … kebencian … delusi. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: [150] indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia dengan cepat lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

(3) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seseorang secara alami tidak sangat rentan terhadap nafsu dan  tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu. Secara alami ia tidak sangat rentan terhadap kebencian dan tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh kebencian. Secara alami ia tidak sangat rentan terhadap delusi dan tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh delusi. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(4) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seseorang secara alami tidak sangat rentan terhadap nafsu … kebencian … delusi  tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu … kebencian … delusi. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia cepat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

163 (3) Ketidak-menarikan

[Paragraf pembuka seperti di atas]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia memiliki persepsi kematian yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, [151] kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan.<852> Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(2) “Dan apakah praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani … dan ia memiliki persepsi kematian yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia dengan cepat lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

(3) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(4) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama  … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … [152] jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia cepat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

164 (4) Sabar (1)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik yang jinak, dan praktik yang tenang.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang menghina orang yang menghinanya, memarahi orang yang marah padanya, dan berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang tidak menghina orang yang menghinanya, tidak memarahi orang yang marah padanya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah praktik yang jinak? setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, [153] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini disebut praktik yang jinak.

(4) “Dan apakah praktik yang tenang? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya.<853> Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun dan kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut praktik yang tenang.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

165 (5) Sabar (2)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik yang jinak, dan praktik yang tenang.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang tidak dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia tidak mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang dengan sabar menahankan dingin dan panas … ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang jinak? … [seperti pada 4:164] …

(4) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tenang? … [seperti pada 4:164] …

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.” [154]

166 (6) Keduanya

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.

(1) “Cara praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat dinyatakan sebagai rendah untuk kedua alasan: karena menyakitkan dan karena pengetahuan langsung yang lambat. Cara praktik ini dinyatakan rendah untuk kedua alasan.

(2) “Cara praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat dinyatakan sebagai rendah karena menyakitkan.

(3) “Cara praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat dinyatakan sebagai rendah karena lambatnya.

(4)  “Cara praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat dinyatakan sebagai unggul untuk dua alasan: karena praktik yang menyenangkan dan karena pengetahuan langsung yang cepat. Cara praktik ini dinyatakan sebagai unggul untuk dua alasan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

167 (7) Moggallāna

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna:

“Teman Moggallāna, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat. Dengan cara praktik yang manakah pikiranmu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan?” [155]

“Di antara keempat cara praktik ini, Teman Sāriputta, adalah melalui cara yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat maka pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”<854>

168 (8 ) Sāriputta

Yang Mulia Mahāmoggallāna mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

“Teman Sāriputta, ada empat cara praktik ini … Dengan cara praktik yang manakah pikiranmu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan?”

“Di antara keempat cara praktik ini, Teman Moggallāna, adalah melalui cara yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat maka pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”

169 (9) Melalui Pengerahan Usaha

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini. (2) Orang lainnya mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.<855> (3) Orang lainnya lagi mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini. (4) Orang lainnya lagi nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.<856>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia memiliki persepsi kematian [156] yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani … dan ia memiliki persepsi kematian [156] yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

170 (10)  Bersama-sama

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu:

“Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut: [157]

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menyatakan pencapaian Kearahattaannya di hadapanku telah melakukannya melalui empat jalan ini<857> atau melalui salah satu di antaranya. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan. Ketika ia sedang mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan, sang jalan dihasilkan.<858> Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.<859>

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang.<860> Ketika ia sedang mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang, sang jalan dihasilkan. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara bersama-sama.<861> Ketika ia sedang mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara bersama-sama, sang jalan dihasilkan. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

(4) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh kegelisahan akan Dhamma.<862> Tetapi akan tiba suatu saat ketika pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menyatu, dan terkonsentrasi. Kemudian sang jalan muncul padanya. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menyatakan pencapaian Kearahattaannya di hadapanku telah melakukannya melalui empat jalan ini atau melalui salah satu di antaranya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #27 on: 15 February 2013, 05:58:02 AM »
III. KEHENDAK

171 (1) Kehendak <863>

“Para bhikkhu, ketika ada jasmani, karena kehendak jasmani [158] maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal; ketika ada ucapan, karena kehendak ucapan maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal; ketika ada pikiran, karena kehendak pikiran maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal.<864>

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<865>

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.

“Ketidak-tahuan terdiri dari kondisi-kondisi ini.<866> Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan maka jasmani itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal; ucapan itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal; pikiran itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<867> Lahan itu tidak ada, bidang [159] itu tidak ada, landasan itu tidak ada, lokasi itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh lokasi itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<868>

***

“Para bhikkhu, ada empat perolehan individualitas ini.<869> Apakah empat ini? (1) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri yang bekerja, bukan kehendak orang lain. (2) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak orang lain yang bekerja, bukan kehendak diri sendiri. (3) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain yang bekerja. (4) Ada perolehan individualitas yang mana bukan kehendak diri sendiri dan juga bukan kehendak orang lain yang bekerja.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang Sang Bhagavā babarkan secara ringkas sebagai berikut. (1) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri yang bekerja, bukan kehendak orang lain, adalah karena alasan kehendak mereka sendiri maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<870> (2) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak orang lain yang bekerja, bukan kehendak diri sendiri, adalah karena alasan kehendak orang lain maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<871> (3) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain yang bekerja, adalah karena alasan kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<872> (4) Tetapi, Bhante, jenis deva apakah yang dipahami sebagai perolehan individualitas yang mana bukan kehendak diri sendiri dan juga bukan kehendak orang lain yang bekerja?”<873>

“Mereka adalah, Sāriputta, para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”

“Mengapakah, Bhante, bahwa beberapa makhluk yang meninggal dunia dari kelompok itu adalah para yang-kembali, yang kembali pada kondisi makhluk ini, sedangkan [160] yang lainnya adalah para yang-tidak-kembali, yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini?”<874>

“Di sini, Sāriputta, seseorang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah. Dalam kehidupan ini ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika ia meninggal dunia dari sana ia adalah seorang yang-kembali yang kembali pada kondisi makhluk ini.

“Tetapi seorang [lainnya] di sini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah. Dalam kehidupan ini ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika ia meninggal dunia dari sana ia adalah seorang yang-tidak-kembali yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.

“Ini, Sāriputta, adalah alasan mengapa beberapa makhluk yang meninggal dunia dari kelompok itu adalah para yang-kembali, yang kembali pada kondisi makhluk ini, sedangkan yang lainnya adalah para yang-tidak-kembali, yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.”

172 (2) Analisis

Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

(1) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada makna melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya.<875> Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya.<876> [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku.<877> Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.<878>

(2) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada Dhamma melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.

(3) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada bahasa melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.

(4) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada pemahaman melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini. [161]

173 (3) Koṭṭhita

Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta:

(1) “Teman, dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada yang lainnya lagi?”<879>

“Jangan berkata begitu, teman.”

(2) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah tidak ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”

(3) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”

(4) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”<880>

“Teman, ketika engkau ditanya: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada yang lainnya lagi?’ engkau berkata: ‘Jangan berkata begitu, teman.’ Dan ketika engkau ditanya: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah tidak ada yang lainnya lagi? … Apakah ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi? … Apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi?’ [dalam setiap pertanyaan] engkau berkata: ‘Jangan berkata begitu, teman.’ Dengan cara bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

(1) “Teman, jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, masih ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan.<881> (2) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, tidak ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan. (3) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan. (4) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, Apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan.

“Teman, sejauh mana keenam landasan kontak menjangkau, sejauh itulah jangkauan proliferasi.<882> Sejauh mana proliferasi menjangkau, [162] sejauh itulah jangkauan enam landasan kontak. Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak maka lenyap pula proliferasi, meredanya proliferasi.”

174 (4) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan saling bertukar sapa dengannya.

[Sutta ini sama persis dengan 4:173 kecuali bahwa di sini Ānanda mengajukan pertanyaan dan Mahākoṭṭhita menjawab.]<883> [163]

175 (5) Upavāṇa

Yang Mulia Upavāna mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

(1) “Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?”<884>

“Tidak demikian, teman.”

(2) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(3) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(4) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

“Ketika engkau ditanya: ‘Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?’ engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Ketika engkau ditanya: ‘Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku? … melalui pengetahuan dan perilaku? … selain melalui pengetahuan dan perilaku? ’ [dalam setiap pertanyaan] engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Kalau begitu dengan cara bagaimanakah seseorang menjadi pembuat-akhir?”

(1) “Jika, teman, seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (2) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (3) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (4) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku, maka seorang kaum duniawi dapat menjadi pembuat-akhir; karena kaum duniawi miskin akan pengetahuan dan perilaku.

“Teman, seseorang yang kurang dalam hal perilaku tidak megetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Seseorang yang sempurna dalam perilaku [164] mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka ia menjadi seorang pembuat-akhir.”<885>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #28 on: 15 February 2013, 05:58:37 AM »
176 (6) Beraspirasi <886>

(1) “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Sāriputta dan Moggallāna!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa bhikkhu, yaitu, Sāriputta dan Moggallāna.”

(2) “Para bhikkhu, seorang bhikkhunī yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Khemā dan Uppalavaṇṇā!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa bhikkhunī, yaitu, Khemā dan Uppalavaṇṇā.”

(3) “Para bhikkhu, seorang umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam laki-laki, yaitu, perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī

(4) “Para bhikkhu, seorang umat awam perempuan yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā!’ [89] Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam perempuan, yaitu, umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā.”

177 (7) Rāhula

Yang Mulia Rāhula mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut:<887>

(1) “Rāhula, elemen tanah internal dan elemen tanah eksternal adalah hanya elemen tanah. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen tanah; ia melepaskan pikirannya dari elemen tanah.<888>

(2) “Rāhula, elemen air internal dan elemen air eksternal [165] adalah hanya elemen air. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen air; ia melepaskan pikirannya dari elemen air.

(3) “Rāhula, elemen api internal dan elemen api eksternal adalah hanya elemen api. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen api; ia melepaskan pikirannya dari elemen api.

(4) “Rāhula, elemen udara internal dan elemen udara eksternal adalah hanya elemen udara. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen udara; ia melepaskan pikirannya dari elemen udara.

“Ketika, Rāhula, seorang bhikkhu tidak mengenali diri atau apa yang menjadi milik diri dalam keempat elemen ini, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos kesombongan, ia telah mengakhiri penderitaan.”

178 (8 ) Waduk

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan lenyapnya eksistensi diri.<889> Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya tidak meluncur ke arahnya, tidak memperoleh keyakinan, tidak menjadi kokoh, dan tidak berfokus padanya. Bhikkhu ini tidak mungkin dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri. Misalkan seseorang memegang dahan pohon dengan tangan berlumuran getah. Tangannya akan menempel pada dahan itu, melekat pada dahan itu, dan terikat pada dahan itu. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini tidak mungkin dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri.

(2) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. [166] Ia memperhatikan lenyapnya eksistensi diri. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri. Misalkan seseorang memegang dahan pohon dengan tangan yang bersih. Tangannya tidak akan menempel pada dahan itu, tidak akan melekat pada dahan itu, dan tidak akan terikat pada dahan itu. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri.

(3) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya tidak meluncur ke arahnya, tidak memperoleh keyakinan, tidak menjadi kokoh, dan tidak berfokus padanya. Bhikkhu ini tidak dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan. Misalkan terdapat suatu waduk yang telah berumur bertahun-tahun. Seseorang menutup aliran air masuk dan membuka aliran air keluar, dan hujan yang mencukupi tidak turun. Dalam kasus demikian, maka tidak mungkin tanggul dari waduk ini dapat runtuh. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini tidak dapat untuk mencapai hancurnya ketidak-tahuan.

(4) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan. Misalkan terdapat suatu waduk yang telah berumur bertahun-tahun. Seseorang membuka aliran air masuk dan menutup aliran air keluar, dan hujan yang mencukupi turun. Dalam kasus demikian, maka adalah mungkin bahwa tanggul dari waduk ini dapat runtuh. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. [167] Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

179 (9) Nibbāna

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

“Mengapakah, teman Sāriputta, bahwa beberapa makhluk tidak mencapai nibbāna dalam kehidupan ini?”

“Di sini, teman Ānanda, [beberapa] makhluk tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kemerosotan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kestabilan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan keluhuran; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan penembusan.’ Ini adalah mengapa beberapa makhluk di sini tidak mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.”

“Mengapakah, teman Sāriputta, bahwa beberapa makhluk mencapai nibbāna dalam kehidupan ini?”

“Di sini, teman Ānanda, [beberapa] makhluk memahami sebagaimana adanya: ‘Persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kemerosotan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kestabilan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan keluhuran; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan penembusan.’ Ini adalah mengapa beberapa makhluk di sini mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.”<890>

180 (10) Rujukan Agung <891>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bhoganagara di dekat altar Ānanda. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang empat rujukan agung ini.<892> [168] Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Apakah, para bhikkhu, empat rujukan agung itu?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin.<893> Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung pertama ini.

(2) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di suatu kediaman di sana suatu Saṅgha menetap bersama dengan para sesepuh dan para bhikkhu terkemuka. Di hadapan Saṅgha itu aku mendengar hal ini; di hadapan Saṅgha itu aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. [169] Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi … Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke dua ini.

(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan para sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapan mereka aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi … Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke tiga ini.

(4) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap seorang bhikkhu sepuh [170] yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapannya aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap seorang bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapannya aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke empat ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat rujukan agung itu.”<894>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #29 on: 15 February 2013, 05:59:33 AM »
IV. BRAHMANA

181 (1) Prajurit

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor, seorang prajurit murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? ? Di sini, seorang prajurit adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat, seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar. Dengan memiliki empat faktor, seorang prajurit murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. [171] Demikian pula, dengan memiliki empat faktor, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat, seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pārimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu terampil dalam tempat-tempat.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh? Di sini, segala jenis bentuk apa pun – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat semua bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apa pun … Segala jenis persepsi apa pun … Segala jenis aktivitas berkehendak apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat semua bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar? DI sini, seorang bhikkhu membelah kumpulan besar ketidak-tahuan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar

“Dengan memiliki keempat faktor ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.” [172]

182 (2) Penjamin

“Para bhikkhu, terhadap empat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penuaan agar tidak menua.

(2) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penyakit agar tidak jatuh sakit.

(3) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada kematian agar tidak mati.

(4) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas kamma buruk yang – kotor, mengarah pada penjelmaan baru, menyusahkan, matang dalam penderitaan, mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan – agar tidak menghasilkan akibatnya.

“Terhadap keempat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia.”

183 (3) Terdengar

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha Di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terlihat, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terlihat olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terdengar, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terdengar olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terindera, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terindera olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang dikenali, dengan berkata: ‘Demikianlah yang dikenali olehku.’”

(1) “Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terlihat harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terlihat harus dikatakan. (2) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terdengar harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terdengar [173] harus dikatakan. (3) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terindera harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terindera harus dikatakan. (4) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang dikenali harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak dikenali harus dikatakan.

(1) “Karena, Brahmana, jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia lihat, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia lihat. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia lihat, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia lihat.<895>

(2) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia dengar, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia dengar. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia dengar, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia dengar.

(3) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia indera, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia indera. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia indera, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia indera.

(4) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia kenali, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia kenali. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia kenali, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia kenali.

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

184 (4) Tanpa Takut

Kemudian Brahmana Jānussoṇī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada seorang pun yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan takut pada kematian.”

“Brahmana, ada mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian, tetapi ada juga mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

“Dan, brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian?

(1) “Di sini, seseorang tidak hampa dari nafsu, keinginan, [174] kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(2) “Kemudian, seseorang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(3) “Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk dirinya sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk diriku sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(4) “Kemudian, seseorang di sini bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

“Ini adalah keempat orangitu  yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian. [175]

“Dan, brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian?

(1) “Di sini, seseorang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

(2) “Kemudian, seseorang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
.
(3) “Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk dirinya sendiri. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Sesungguhnya, aku tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk diriku sendiri. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

(4) “Kemudian, seseorang di sini tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aku tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang terhadap Dhamma sejati.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. [176] Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

“Ini adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 4:100] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

185 (5) Kebenaran Brahmana

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah pengembara terkenal sedang menetap di taman pengembara di tepi sungai Sappinī, yaitu, Annabhāra, Varadhara, Sakuludāyī, dan para pengembara terkenal lainnya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi taman pengembara di tepi sungai Sappinī. Pada saat itu para pengembara sekte lain telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi: “Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.”

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para pengembara itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan bertanya kepada mereka: “Para pengembara, diskusi apakah yang telah kalian bicarakan tadi? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Guru Gotama, kami telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi: ‘Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.’”

“Para pengembara, ada empat kebenaran brahmana ini yang telah Kunyatakan, setelah merealisasinya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua makhluk hidup tidak boleh dicelakai.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya karena simpati dan belas kasihan pada semua makhluk hidup.

(2) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: [177] ‘Semua kenikmatan indria adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kenikmatan-kenikmatan indria, demi peluruhan dan lenyapnya.

(3) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua kondisi kehidupan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kondisi-kondisi kehidupan, demi peluruhan dan lenyapnya.

(4) “Kemudian, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘‘Aku sama sekali bukan milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga sama sekali bukan milikku.’<896> Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia mempraktikkan jalan kekosongan.<897>

“Ini, para pengembara, adalah keempat kebenaran brahmana itu yang telah Kunyatakan, setelah merealisasinya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #30 on: 15 February 2013, 06:00:09 AM »
186 (6) Kecerdasan

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada BEliau:

(1) “Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakh maka [dunia] berada di bawah kendalinya?”<898>

“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus.<899> Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakah maka [dunia] berada di bawah kendalinya?’”

“Benar, Bhante.”

“Dunia, bhikkhu, diarahkan oleh pikiran; ditarik oleh pikiran; ketika pikiran muncul, maka [dunia] berada di bawah kendalinya.” [178]

Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(2) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?’”

“Benar, Bhante.”

“Aku telah mengajarkan banyak ajaran, bhikkhu: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Jika, setelah mempelajari makna dan Dhamma bahkan hanya sebuah syair empat baris, ia berlatih sesuai Dhamma, maka itu cukup baginya untuk disebut ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’”
 
Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(3) “Dikatakan, Bhante, ‘terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.’ cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?”

Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.” cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?’”

“Benar, Bhante.”

“Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Dengan cara inilah seseorang itu terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.”

Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(4) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?” [179]

Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?’”

“Benar, Bhante.”

“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi tidak menghendaki kesusahannya sendiri, atau kesusahan orang lain, atau kesusahan keduanya. Melainkan, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia.<900> Dengan cara inilah seseorang itu adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.”

187 (7) Vassakāra

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

(1) “Guru Gotama, dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”

“Adalah, brahmana, tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

(1) “Dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”

“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang baik.’”

(3) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”

“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik.’”

(4) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”

“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa [180] baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik … [seperti di atas] … Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.”’

“Pada suatu ketika, Guru Gotama, para anggota kelompok Brahmana Todeyya sedang mencari-cari kesalahan satu sama lain, [dengan berkata]: ‘Raja Eleyya ini dungu, karena ia memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.<901> Para bawahan Raja Eleyya ini – Yamaka, Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – juga dungu, karena mereka juga memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’ Kemudian Brahmana Todeyya menggiring mereka dengan menggunakan metodenya: ‘Bagaimana menurut kalian, Tuan-Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah Raja Eleyya bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“[Mereka menjawab:] ‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, Raja Eleyya memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“’Tetapi, Tuan-Tuan,’ [ia berkata,] ‘adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [raja yang] cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.

“’Bagaimana menurut kalian, Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah para bawahan Raja Eleyya – Yamaka, Moggalla, [181] Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa –adalah bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, para bawahan Raja Eleyya – Yamaka … Aggivesa -memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“’Tetapi, Tuan-Tuan, adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada para bawahan Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [para bawahan raja] yang cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka para bawahan Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’”<902>

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang jahat.” Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang baik.” Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang yang baik.” Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.” Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi, kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

“Silakan engkau pergi, Brahmana.”

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

188 (8 ) Upaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian Upaka Maṇḍikāputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, aku menganut suatu tesis dan pandangan sebagai berikut: Jika siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan sama sekali tidak memperkuatnya, maka ia adalah tercela dan bersalah.”

“Jika, Upaka, siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, [182] maka ia adalah tercela dan bersalah. Tetapi engkau mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, maka engkau tercela dan bersalah.”

“Bhante, seperti halnya seseorang dapat menangkap [seekor ikan] yang keluar [dari air] dengan perangkap besar, demikian pula, ketika aku keluar, Sang Bhagavā menangkapku dengan perangkap besar dalam debat.”

(1) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah tidak bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah tidak bermanfaat.’

(2) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’

(3) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah bermanfaat.’

(4) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’

Kemudian Upaka Maṇḍikāputta, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, dan mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau. Kemudian ia mendatangi Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha dan melaporkan seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā kepada sang raja.

Ketika ia telah selesai berbicara, Raja Ajātasattu menjadi marah dan tidak senang dan berkata kepada Upaka Maṇḍikāputta: “Betapa beraninya anak pembuat-garam ini! Betapa kasar, betapa lancangnya sehingga berpikir bahwa ia dapat menyerang Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Pergilah, Upaka, pergilah! Pergi dari hadapanku.”

189 (9) Realisasi

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang harus direalisasikan. Apakah empat ini? [183]

“Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani? Delapan kebebasan, para bhikkhu, harus direalisasikan melalui jasmani. (2) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan? Kehidupan-kehidupan lampau seseorang harus direalisasikan melalui ingatan. (3) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata? Kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk harus direalisasikan melalui mata. (4) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan? Hancurnya noda-noda harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal itu yang harus direalisasikan.”

190 (10) Uposatha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramāta di Taman Timur. Pada saat itu, pada hari Uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, setelah mengamati kesenyapan Saṅgha para bhikkhu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, kumpulan ini bebas dari ocehan; kumpulan ini adalah tanpa ocehan, murni, kokoh dalam intinya. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah jarang terlihat di dunia. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Bahkan sedikit yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, akan menjadi banyak, sedangkan banyak yang diberikan akan menjadi lebih banyak lagi. Adalah layak untuk menempuh perjalanan sejauh banyak yojana untuk menemui Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, bahkan sambil membawa tas bahu. Demikianlah Saṅgha para bhikkhu ini. [184]

“Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para deva. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para brahmā. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai ketanpa-gangguan. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang deva? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang deva.

(2) “Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang brahmā.

(3) Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai ketanpa-gangguan? Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai ketanpa-gangguan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang mulia? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang mulia.” [185]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #31 on: 15 February 2013, 06:03:26 AM »
V. BAB BESAR

191 (1) Diikuti oleh Telinga

“Para bhikkhu, ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga,<903> mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan, maka empat manfaat ini menanti. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya.<904> Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat pertama yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, tetapi seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva. Ia berpikir: ‘Ini adalah Dhamma dan disiplin yang dulu pernah kujalani dalam kehidupan spiritual.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan seseorang yang terampil dalam hal suara genderang. Sambil berjalan di sepanjang jalan raya ia mungkin mendengar suara genderang dan sama sekali tidak ragu atau bimbang sehubungan dengan suara itu; melainkan, ia akan menyimpulkan: ‘Itu adalah suara genderang.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma [186] … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke dua yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(3) “Kemudian, “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, dan juga seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva. Akan tetapi, seorang deva muda mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva itu. Ia berpikir: ‘Ini adalah Dhamma dan disiplin yang dulu pernah kujalani dalam kehidupan spiritual.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan seseorang yang terampil dalam hal suara terumpet kulit kerang. Sambil berjalan di sepanjang jalan raya ia mungkin mendengar suara terumpet kulit kerang dan sama sekali tidak ragu atau bimbang sehubungan dengan suara itu; melainkan, ia akan menyimpulkan: ‘Itu adalah suara terumpet kulit kerang.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke tiga yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(4) “Kemudian, “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, juga seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva, dan juga seorang deva muda tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva itu. Akan tetapi, seseorang yang telah terlahir kembali secara spontan mengingatkan yang lainnya yang juga telah terlahir secara spontan: ‘Ingatkah engkau, Tuan? Apakah engkau ingat di mana kita menjalani kehidupan spiritual sebelumnya?’ Yang lain berkata: ‘Aku ingat, Tuan. Aku ingat.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan dua sahabat yang pernah bermain bersama di dalam Lumpur. Kebetulan mereka bertemu kembali di masa depan dalam kehidupan itu. Salah satu sahabat berkata kepada yang lain: ‘Ingatkah engkau, Sahabat? Apakah engkau mengingat hal itu, Sahabat?’ Dan yang lainnya berkata: ‘Aku ingat, Sahabat. Aku ingat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke empat yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

“Ini adalah keempat manfaat itu yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.”

192 (2) Fakta

“Para bhikkhu, empat fakta [tentang orang-orang] dapat diketahui dari empat fakta [lainnya]. Apakah empat ini?

(1) “Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(2) “Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(3) “Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(4) “Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah rusak, cacat, ternoda, dan bebercak, dan ia tidak secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini tidak bermoral, tidak baik.’

“Tetapi pada kasus lainnya, dengan menetap bersama dengan orang lain ia akan mengetahui sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah tidak rusak, tidak cacat, tidak ternoda, dan tanpa bercak, [188] dan ia secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini bermoral, bukan tidak bermoral.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(2) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan berurusan dengan seseorang, ia akan mengenalinya sebagai berikut:  ‘Yang mulia ini berurusan dengan satu orang dengan cara ini, dengan cara lain jika berurusan dengan dua orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan tiga orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus berbeda dengan caranya berurusan dalam kasus lain.<905> Yang mulia ini tidak murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berurusan dengan seseorang, ia mengenalinya sebagai berikut: ‘Dengan cara yang sama ia berurusan dengan satu orang, ia berurusan dengan dua orang, tiga orang, atau banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus sama dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, bukan tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(3) “Lebih lanjut lagi dikatakan:  ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian<906> bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan.

“Tetapi dalam kasus lain, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, [189] kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’
   
(4) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini tidak membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia tidak mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisa, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’ seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan kecil meloncat, ia akan berpikir: ‘dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan kecil, bukan ikan besar,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. ‘

 “Tetapi dalam kasus lain, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisa, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’ seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan besar meloncat, [190] ia akan berpikir: ‘dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan besar, bukan ikan kecil,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. ‘

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: : ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat fakta [tentang orang-orang] itu yang dapat diketahui dari empat fakta [lainnya].”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #32 on: 15 February 2013, 06:04:20 AM »
193 (3) Bhaddiya

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Bhaddiya orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, aku telah mendengar ini: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyihir yang mengetahui sihir pengalih-keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para siswa dari guru-guru sekte lain.’ Apakah mereka yang mengatakan demikian mengatakan apa yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sehingga mereka tidak menimbulkan kritik yang beralasan atau landasan bagi celaan? Karena kami tidak ingin salah memahami Sang Bhagavā.”<907> [191]

“Marilah, Bhaddiya. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.<908>

(1) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika kebencian … (3) … delusi … (4) … sifat berapi-api muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”<909>

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang bersifat berapi-api, dikendalikan oleh sifat berapi-api, pikirannya dikuasai oleh sifat berapi-api, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“ Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Bhaddiya, ketika kami berkata: ‘Marilah, Bhaddiya, jangan menuruti tradisi lisan … [192] … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, Bhaddiya. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka engkau harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika ketidak-bencian … (3) … ketidak-delusian … (4) … sifat tidak berapi-api muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang tidak bersifat berapi-api, tidak dikendalikan oleh sifat berapi-api, pikirannya tidak dikuasai oleh sifat berapi-api, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” [193] – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Bhaddiya, ketika kami berkata: ‘Marilah, Bhaddiya, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Bhaddiya, orang-orang baik di dunia ini mendorong para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, orang yang baik, engkau harus secara terus-menerus melenyapkan keserakahan.<910> Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan keserakahan, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh keserakahan, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan kebencian. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan kebencian, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh kebencian, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan delusi. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan delusi, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh delusi, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan sifat berapi-api. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan sifat berapi-api, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh sifat berapi-api, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.’”

Ketika hal ini dikatakan, Bhaddiya orang Licchavi berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Bhante! … [seperti pada 4:111] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

“Sekarang, Bhaddiya, apakah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Bhaddiya, jadilah siswaku dan Aku menjadi gurumu?’”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

“Tetapi, Bhaddiya, walaupun Aku mengatakan demikian dan menyatakan [ajaranKu] dengan cara demikian, beberapa petapa dan brahmana dengan tidak benar, tanpa dasar, secara keliru, dan secara salah memahamiKu ketika mereka mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyihir yang mengetahui sihir pengalih-keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para siswa dari guru-guru sekte lain.’” [194]

“Sungguh baik sekali sihir pengalih keyakinan itu, Bhante! Sungguh bagus sihir pengalih keyakinan itu! Jika sanak-saudaraku yang tercinta dan anggota-anggota keluargaku dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua khattiya dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … vessa … sudda dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”<911>

“Demikianlah, Bhaddiya, demikianlah! Jika semua khattiya dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … vessa … sudda dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika pepohonan sal besar ini dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu bahkan akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan pepohonan sal besar ini untuk waktu yang lama.<912> Apalagi untuk seorang manusia!”

194 (4) Sāpūga

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di antara penduduk Koliya di dekat pemukiman Koliya bernama Sāpūga. Kemudian sejumlah pemuda Koliya dari Sāpūga mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sii. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada mereka:

“Para Byagghapajja, ada empat faktor usaha pemurnian<913> ini yang telah dengan benar diajarkan oleh  Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, [195] demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi terhentinya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, untuk merealisasikan nibbāna. Apakah empat ini? Faktor usaha demi pemurnian perilaku bermoral, faktor usaha demi pemurnian pikiran, faktor usaha demi pemurnian pandangan, dan faktor usaha demi pemurnian kebebasan.<914>

(1) “Dan apakah, Byagghapajja, faktor usaha demi pemurnian perilaku bermoral? Di sini, seorang bhikkhu bermoral … [seperti pada 4:181] … ia berlatih di dalamnya. Ini disebut pemurnian perilaku bermoral. Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian perilaku bermoral yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian perilaku bermoral yang telah kupenuhi<915> - ini disebut faktor usaha pemurnian perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian pikiran? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Ini disebut pemurnian pikiran. Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian pikiran yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian pikiran yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian pikiran.

(3) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian pandangan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini disebut pemurnian pandangan.<916> Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian pandangan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian pandangan yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian pandangan.

(4) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian kebebasan? Siswa mulia yang sama itu, dengan memiliki faktor usaha pemurnian perilaku bermoral ini, [196] faktor usaha pemurnian pikiran ini, dan faktor usaha pemurnian pandangan ini, melepaskan pikirannya dari hal-hal yang menyebabkan kemelekatan dan membebaskan pikirannya melalui hal-hal yang membawa kebebasan. Dengan demikian ia mencapai kebebasan. Ini disebut pemurnian kebebasan.<917> Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian kebebasan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian kebebasan yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian kebebasan.

“Ini, para Byagghapajja, adalah keempat faktor usaha pemurnian itu yang telah dengan benar diajarkan oleh  Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat,  demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi terhentinya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, untuk merealisasikan nibbāna.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #33 on: 15 February 2013, 06:05:15 AM »
195 (5) Vappa

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Vappa orang Sakya, seorang siswa Nigaṇṭha, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Di sini, Vappa, jika seseorang terkendali melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka, dengan meluruhnya ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, apakah engkau melihat apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Aku memang melihat kemungkinan demikian, Bhante. Di masa lampau seseorang melakukan perbuatan jahat yang akibatnya belum matang. Karena hal itu, noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang.”<918>

Sewaktu percakapan antara Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Vappa orang Sakya ini sedang berlangsung, pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan [197] dan memasuki aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna: “Apakah, Moggallāna, yang engkau diskusikan tadi? Dan percakapan apakah yang sedang berlangsung?”

[Yang Mulia Mahāmoggallāna di sini menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Vappa orang Sakya, diakhiri dengan:]

“Ini, Bhante, adalah percakapan yang terjadi antara aku dan Vappa orang Sakya ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Vappa orang Sakya: “Jika, Vappa, engkau mengakui apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan jika, ketika engkau tidak memahami makna dari kata-kataKu, maka engkau akan bertanya kepadaKu tentangnya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’; maka kita dapat mendiskusikan hal ini.”

“Bhante, aku akan mengakui Sang Bhagavā atas apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan ketika aku tidak memahami makna dari kata-kata Beliau, maka aku akan bertanya kepadaNya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’; jadi mari kita mendiskusikan hal ini.

(1) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui jasmani tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi.<919> [198] Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui ucapan tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui pikiran tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(4) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Dengan peluruhan ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul dengan ketidak-tahuan sebagai kondisinya tidak lagi terjadi. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

“Seorang bhikkhu yang demikian terbebaskan sempurna dalam pikiran, Vappa, mencapai enam kediaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.<920> Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.

“Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berakhir bersama dengan jasmani.’ Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir bersama dengan kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan kehidupan.’ Ia memahami: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’<921>

“Misalkan, Vappa, sebuah bayangan terlihat karena sebuah tunggul pohon. Kemudian [199] seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia memotong tunggul itu diakarnya, menggalinya, dan menarik akar-akarnya, bahkan akar-akar serabut yang halus dan serat-serat akarnya. Ia memotong-motong tunggul itu hingga menjadi keping-kepingan kecil, memecahkan kepingan-kepingan itu, dan mengiris-irisnya. Kemudian ia menjemur irisan-irisan itu di bawah angin dan terik matahari, membakarnya, dan menghancurkannya menjadi abu. Setelah melakukan itu, ia menebarkan abu itu di angin kencang atau menghanyutkannya di arus kencang sebuah sungai. Demikianlah bayangan yang bergantung pada tunggul itu telah dipotong di akar, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan.<922>

“Demikian pula, Vappa, seorang bhikkhu yang demikian terbebaskan sempurna dalam pikiran, Vappa, mencapai enam kediaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata … … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih. Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan jasmani, ia memahami … : ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

Ketika hal ini dikatakan, Vappa orang Sakya, siswa Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Bhagavā: “Misalkan, Bhante, ada seseorang yang mencari keuntungan dengan memelihara kuda untuk dijual, tetapi ia tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Demikian pula, demi mencari keuntungan, aku melayani si dungu Nigaṇṭha, tetapi aku tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Mulai hari ini, keyakinan apa pun yang kumiliki terhadap si dungu Nigaṇṭha, aku menebarkannya di angin kencang atau menghanyutkannya di arus sungai.

“Bagus sekali, Bhante! … [200] … Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

196 (6) Sāḷha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Sāḷha orang Licchavi dan Abhaya orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sāḷha orang Licchavi berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang menyatakan penyeberangan banjir melalui dua hal: melalui pemurnian perilaku bermoral dan melalui pertapaan-keras dan kejijikan.<923> Apa yang Sang Bhagavā katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Aku katakan, Sāḷha, bahwa pemurnian perilaku bermoral adalah salah satu faktor pertapaan. Tetapi para petapa dan brahmana itu yang mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang melekat pada pertapaan keras dan kejijikan tidak akan mampu menyeberangi banjir.<924> Juga, para petapa dan brahmana yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak murni, dan yang penghidupannya tidak murni, adalah tidak mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Misalkan, Sāḷha, seseorang yang ingin menyeberangi banjir membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang anak pohon sal besar, lurus, segar, tanpa tunas buah. Ia memotong akarnya, memotong pucuknya, sepenuhnya memotong dahan-dahan dan dedaunannya, meratakannya dengan kapak, meratakannya lebih lanjut lagi dengan beliung, mengikisnya dengan alat pengikis, menghaluskannya dengan bola batu, dan pergi menyeberangi sungai. Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Dapatkah orang itu menyeberangi sungai?

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena walaupun anak pohon sal itu telah secara menyeluruh dipersiapkan secara eksternal, [201] namun pohon itu belum dimurnikan di bagian dalam. Kemungkinan besar anak pohon sal itu akan tenggelam dan orang itu akan menemui kemalangan dan bencana.”

“Demikian pula, Sāḷha, para petapa dan brahmana itu yang mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang melekat pada pertapaan keras dan kejijikan tidak akan mampu menyeberangi banjir. Juga, para petapa dan brahmana yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak murni, dan yang penghidupannya tidak murni, adalah tidak mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Misalkan, Sāḷha, seseorang yang ingin menyeberangi banjir membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang anak pohon sal besar, lurus, segar, tanpa tunas buah. Ia memotong akarnya, memotong pucuknya, sepenuhnya memotong dahan-dahan dan dedaunannya, meratakannya dengan kapak, meratakannya lebih lanjut lagi dengan beliung, dengan menggunakan pahat ia membersihkan bagian dalamnya, mengikisnya dengan alat pengikis, menghaluskannya dengan bola batu, dan membuatnya menjadi sebuah perahu. Kemudian ia melengkapinya dengan dayung dan kemudi dan pergi menyeberangi sungai. Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Dapatkah orang itu menyeberangi sungai?

“Dapat, Bhante. Karena alasan apakah? Karena anak pohon sal itu telah secara menyeluruh dipersiapkan secara eksternal, dimurnikan dengan baik di bagian dalam, dibuat menjadi sebuah perahu, dan dilengkapi dengan dayung dan kemudi. Kemungkinan besar anak pohon sal itu tidak akan tenggelam dan orang itu akan selamat sampai di pantai seberang.”

(1) “Demikian pula, Sāḷha, para petapa dan brahmana itu yang tidak mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang tidak menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang tidak melekat pada pertapaan keras dan kejijikan akan mampu menyeberangi banjir. Juga, para petapa dan brahmana [202] yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya murni, dan yang penghidupannya murni, adalah mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Walaupun seorang prajurit mengetahui banyak kemahiran berbeda yang dapat dilakukan dengan anak panah, hanya jika ia memiliki tiga kualitas maka ia layak menjadi miliki seorang raja, layak menjadi perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Ia adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(2) “Seperti halnya seorang prajurit adalah seorang penembak jarak jauh, demikian pula siswa mulia itu memiliki konsentrasi benar. Bentuk apa pun yang ada di sana – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswa mulia dengan konsentrasi benar melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Perasaan apa pun yang ada di sana … Persepsi apa pun yang ada di sana … Aktivitas-aktivitas berkehendak apa pun yang ada di sana … Kesadaran apa pun yang ada di sana - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswa mulia dengan konsentrasi benar melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

(3) “Seperti halnya seorang prajurit adalah seorang penembak tepat, demikian pula siswa mulia itu memiliki pandangan benar. Seorang siswa mulia dengan pandangan benar memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

(4) “Seperti halnya seorang prajurit membelah tubuh besar, demikian pula siswa mulia itu memiliki kebebasan benar. Seorang siswa mulia yang memiliki kebebasan benar telah membelah kumpulan besar ketidak-tahuan.”<925>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #34 on: 15 February 2013, 06:06:35 AM »
197 (7) Mallikā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:<926> [203]

(1) “Bhante, mengapakah beberapa perempuan di sini (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh? (2) Dan mengapakah beberapa di antaranya (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh? (3) Dan mengapakah beberapa perempuan di sini (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh? (4) Dan mengapakah beberapa di antaranya (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh?”

(1) “Di sini, Mallikā, (i) seorang perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. (iii) dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii)  miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh.

(2)  “Perempuan lainnya (i) rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar … (ii) Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun [204] ia terlahir kembali (i) ia akan buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) tetapi ia akan kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.

(3) “Perempuan lainnya lagi (1) tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) tetapi ia akan miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh.

(4) “Dan perempuan lainnya lagi (1) tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … (ii) Dan ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.

“Ini, Mallikā, adalah mengapa beberapa perempuan di sini (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa perempuan di sini (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.”

Ketika hal ini dikatakan, Ratu Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku menduga, Bhante, (i) bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, [205] bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat. (ii) Tetapi aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta. (iii) Dan aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah tangga yang tunduk di bawah perintahku.

“Mulai hari ini, Bhante, (i) aku tidak akan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Dan aku akan memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. (iii) Dan aku tidak akan menjadi iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain.

“Bagus sekali, Bhante! … [seperti pada 4:111] … Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #35 on: 15 February 2013, 06:07:38 AM »
198 (8 ) Penyiksaan-diri <927>

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, sejenis orang tertentu menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri. (2) Tetapi jenis orang lainnya menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya. (3) Orang jenis lainnya lagi menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya. (4) Dan orang jenis lainnya lagi tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, [206] dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain. Karena ia tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.<928>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri?<929> Di sini, seseorang tertentu bepergian telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan dan tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; ia tidak menerima ikan atau daging, ia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Ia mendatangi satu rumah [pada perjalanan menerima dana makanan], untuk satu suap; ia mendatangi dua rumah, untuk dua suap; … ia mendatangi tujuh rumah, untuk tujuh suap. Ia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Ia makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari; dan seterusnya hingga sekali dalam dua minggu; ia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.

“Ia adalah pemakan sayur-sayuran atau milet atau beras hutan atau kulit kupasan atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi.  Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh.

“Ia mengenakan jubah yang terbuat dari rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain, jubah dari kulit pohon, jubah dari kulit rusa, jubah dari cabikan kulit rusa, jubah dari kain rumput kusa, jubah dari kain kulit kayu, jubah dari kain serutan kayu, mantel dari kain rambut atau dari kain bulu binatang, penutup dari bulu sayap burung hantu.

“Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menekuni praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur berduri; ia menjadikan alas tidur berduri sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. [207] Dengan cara inilah seseorang menyiksa dirinya sendiri dan  menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya? Di sini, seseorang tertentu adalah seorang penjagal domba, seorang penjagal babi, seorang penangkap burung, seorang penjebak binatang liar, seorang pemburu, seorang penangkap ikan, seorang pencuri, seorang algojo,<930> seorang sipir penjara, atau seseorang yang menekuni pekerjaan-pekerjaan berdarah lainnya. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya? Di sini, seseorang adalah seorang raja khattiya yang sah atau seorang brahmana kaya. Setelah membangun sebuah kuil pengorbanan baru di sebelah timur kora, dan setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan pakaian dari kulit kijang yang kasar, dan meminyaki tubuhnya dengan ghee dan minyak, dengan menggaruk punggungnya dengan tanduk rusa, ia memasuki kuil pengorbanan bersama dengan ratunya dan brahmana pendeta tinggi. Di sana ia berbaring di atas tanah yang ditaburi dengan rumput. Raja bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu pertama dari sapi yang memiliki anak dengan warna yang sama sedangkan ratu bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu ke dua dan brahmana pendeta tinggi bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu ke tiga; susu dari puting susu ke empat mereka tuangkan ke api, dan anak sapi hidup dari apa yang tersisa. Ia berkata: ‘Sembelihlah sapi-sapi jantan sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah banteng-banteng sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah sapi-sapi muda sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah kambing-kambing sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah domba-domba sebanyak itu untuk pengorbanan; tebanglah pepohonan sebanyak itu sebagai tiang pengorbanan, potonglah rumput sebanyak itu sebagai rumput pengorbanan.’ [208] Dan kemudian budak-budaknya, utusan-utusannya, dan pelayan-pelayannya melakukan persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang yang tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain – seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā?

“Di sini, para bhikkhu, Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik dari orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah merealisasikan dengan pengetahuan langsungNya sendiri dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.

“Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga atau sesorang yang terlahir dalam suatu suku mendengar Dhamma ini. Ia kemudian memperoleh keyakiann pada Sang Tathāgata dan merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan melepaskan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup di dalam rumah, juga mejalani kehidupan spiritual yang sama sekali sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Belakangan, setelah meninggalkan sedikit atau banyak kekayaan, setelah meninggalkan lingkaran sanak saudara yang kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

“Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup para bhikkhu, setelah meninggalkan pembunuhan, ia menghindari pembunuhan, dengan tongkat pemukul dan senjata di singkirkan, berhati-hati dan bersikap baik, ia berdiam dengan berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup. Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; [209] mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan berdiam dengan jujur tanpa pikiran mencuri. Setelah meninggalkan aktivitas seksual, ia menjalankan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa.

“Setelah meninggalkan ucapan bohong, ia menghindaari ucapan bohong, melekat pada kebenaran; ia dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Setelah meninggalkan ucapan yang memecah-belah, ia menghindari ucapan yang memecah-belah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang ia dengar di sini untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini; ia juga tidak mengulangi di sini apa yang ia dengar di tempat lain untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang penyuara kata-kata yang mendorong kerukunan. Setelah meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, indah, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Setelah meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, membicarakan apa yang benar, membicarakan apa yang bermanfaat, membicarakan tentang Dhamma dan disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkankata-kata yang layak diingat, masuk akal, singkat, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia makan sekali sehari,<931> menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Ia menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak selayaknya. Ia menghindari menghias dan mempercantik dirinya dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wewangian dan salep. Ia menghindari tempat tidur yang tinggi dan lebar. Ia menghindari menerima emas dan perak, beras mentah, daging mentah, perempuan-perempuan dan gadis-gadis, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, ternak, kuda jantan, dan kuda betina, ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan utusan; menghindari membeli dan menjual; menghindari menipu dengan timbangan, logam, dan ukuran; menghindari menerima suap, penipuan, kecurangan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

“Ia puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Seperti halnya seekor burung, kemanapun ia pergi, ia [210] terbang hanya dengan sayap-sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula, seorang bhikkhu puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Dengan memiliki kelompok perilaku bermoral yang mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

“Setelah melihat bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian indria-indria yang mulia ini, ia mengalami kebahagiaan tak tercela dalam dirinya.

“Ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan pergi dan kembali; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika melihat ke depan dan ke sekeliling; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika menekuk dan merentangkan anggota-anggota tubuhnya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika membuang air besar dan membuang air kecil; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh terlelap, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

“Dengan memiliki kelompok perilaku yang mulia ini, dan pengendalian indria-indria yang mulia ini, dan perhatian dan pemahaman jernih yang mulia ini, ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

“Setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, [211] ia berdiam terbebas dari ketumpulan dan niat buruk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tidak bingung terhadap kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran, kualitas-kualitas yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya telah terkonsentrasi dengan cara ini, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau … [seperti pada 3:58 §1] … pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … [seperti pada 3:58 §2] …  pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Dengan cara inilah seseorang yang tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain – seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #36 on: 15 February 2013, 06:08:01 AM »
199 (9) Ketagihan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketagihan – yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket<932> yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, [212] sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, ketagihan - yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra?

“Ada, para bhikkhu, delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal dan delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal.

“Dan apakah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal? Ketika ada [gagasan] ‘Aku,’ maka ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ ‘Aku hanya seperti itu,’ ‘Aku adalah sebaliknya,’ ‘Aku abadi,’ ‘Aku sementara,’ ‘Aku mungkin menjadi,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya,’ ‘Semoga aku menjadi,’ ‘Semoga aku demikian,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya,’ ‘Aku akan menjadi,’ ‘Aku akan menjadi demikian,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Ini adalah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal.<933>

“Dan apakah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal?<934> Ketika ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’<935> maka ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ ‘Aku hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Aku abadi karena ini,’ ‘Aku sementara karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi karena ini,’ ‘Semoga aku demikian karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya karena ini,’ ‘Aku akan menjadi karena ini,’ ‘Aku akan menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Ini adalah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan apa yang eksternal.

“Demikianlah ada delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal, dan delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal. Ini disebut tiga puluh enam arus ketagihan. Ada tiga puluh enam arus ketagihan yang berhubungan dengan masa lampau, tiga puluh enam yang berhubungan dengan masa depan, [213] dan tiga puluh enam yang berhubungan dengan masa sekarang. Maka seluruhnya ada seratus delapan arus ketagihan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketagihan itu - yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra.”<936>

200 (10) Kasih Sayang

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang dilahirkan. Apakah empat ini? Kasih sayang dilahirkan dari kasih sayang; kebencian dilahirkan dari kasih sayang; kasih sayang dilahirkan dari kebencian; dan kebencian dilahirkan dari kebencian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang? Di sini, seseorang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagiku itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kasih sayang pada mereka. Dengan cara inilah kasih sayang dilahirkan dari kasih sayang.

(2) “Dan bagaimanakah kebencian dilahirkan dari kasih sayang? Di sini, seseorang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagiku itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kebencian pada mereka. Dengan cara inilah kebencian dilahirkan dari kasih sayang.

(3) “Dan bagaimanakah kasih sayang dilahirkan dari kebencian? Di sini, seseorang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagiku itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kasih sayang pada mereka. Dengan cara inilah kasih sayang dilahirkan dari kebencian.

(4) “Dan bagaimanakah kebencian dilahirkan dari kebencian? Di sini, seseorang tidak disukai, tidak disayangi, [214] dan tidak menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagiku itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kebencian pada mereka. Dengan cara inilah kebencian dilahirkan dari kebencian.

“Ini adalah empat hal yang dilahirkan.

“Ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, pada saat itu kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya, dan kebencian yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya.

“Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, pada saat itu kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya, dan kebencian yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya.

“Ketika, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, maka ia telah meninggalkan kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; ia telah meninggalkan kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; ia telah meninggalkan kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; dan ia telah meninggalkan kebencian yang dilahirkan dari kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Ini disebut seorang bhikkhu yang tidak menarik juga tidak mendorong, yang tidak berasap, tidak menyala, dan tidak merenung.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menarik?<937> Di sini, seorang bhikkhu menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk … [215] persepsi sebagai diri … aktivitas-aktivitas kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menarik.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menarik? Di sini, seorang bhikkhu tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk … [215] persepsi sebagai diri … aktivitas-aktivitas kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak menarik.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mendorong? Di sini, seorang bhikkhu menghina orang yang menghinanya, memarahi orang yang memarahinya, dan berdebat dengan orang yang mendebatnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mendorong.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mendorong? Di sini, seorang bhikkhu tidak menghina orang yang menghinanya, tidak memarahi orang yang memarahinya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak mendorong.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berasap? Ketika ada [gagasan] ‘Aku,’ maka ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ ‘Aku hanya seperti itu,’ ‘Aku adalah sebaliknya,’ ‘Aku abadi,’ ‘Aku sementara,’ ‘Aku mungkin menjadi,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya,’ ‘Semoga aku menjadi,’ ‘Semoga aku demikian,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya,’ ‘Aku akan menjadi,’ ‘Aku akan menjadi demikian,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu berasap.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak berasap? Ketika tidak ada [gagasan] ‘Aku,’ maka tidak ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ … [216] … ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak berasap.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyala? Ketika ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’ maka ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ ‘Aku hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Aku abadi karena ini,’ ‘Aku sementara karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi karena ini,’ ‘Semoga aku demikian karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya karena ini,’ ‘Aku akan menjadi karena ini,’ ‘Aku akan menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu menyala.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menyala? Ketika tidak ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’ maka tidak ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ … ’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak menyala.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu merenung?<938> Di sini, seorang bhikkhu belum meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ belum memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu merenung.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak merenung? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak merenung.” [217]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #37 on: 15 February 2013, 06:08:28 AM »
LIMA PULUH KE LIMA

I. ORANG BAIK

201 (1) Aturan-Aturan Latihan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang orang yang jahat dan orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat; tentang orang yang baik dan orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh; ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri melakukan hubungan seksual yang salah dan mendorong orang lain untuk melakukan hubungan seksual yang salah; ia sendiri berbohong dan mendorong orang lain untuk berbohong; ia sendiri menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh; ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri menghindari melakukan hubungan seksual yang salah dan mendorong orang lain untuk menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; ia sendiri menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.” [218]

202 (2) Hampa dari Keyakinan

[Pembukaan seperti pada 4:201.]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, kurang dalam pembelajaran, malas, berpikiran kacau, dan tidak bijaksana. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri hampa dari keyakinan dan mendorong orang lain agar hampa dari keyakinan; ia sendiri tidak memiliki rasa malu bermoral dan mendorong orang lain agar tidak memiliki rasa malu bermoral; ia sendiri memiliki moralitas yang sembrono dan mendorong orang lain agar memiliki moralitas yang sembrono; ia sendiri kurang dalam pembelajaran dan mendorong orang lain agar kurang dalam pembelajaran; ia sendiri malas dan mendorong orang lain agar menjadi malas; ia sendiri berpikiran kacau dan mendorong orang lain agar berpikiran kacau; ia sendiri tidak bijaksana dan mendorong orang lain agar menjadi tidak bijaksana. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, dan rasa takut bermoral, dan terpelajar, bersemangat, penuh perhatian dan bijaksana. ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri sempurna dalam keyakinan dan mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; ia sendiri memiliki rasa malu bermoral dan mendorong orang lain agar memiliki rasa malu bermoral; ia sendiri memiliki rasa takut bermoral dan mendorong orang lain agar memiliki rasa takut bermoral; ia sendiri terpelajar dan mendorong orang lain dalam pembelajaran, ia sendiri bersemangat dan mendorong orang lain agar membangkitkan semangat, ia sendiri penuh perhatian dan mendorong orang lain agar menegakkan perhatian; ia sendiri bijaksana dan mendorong orang lain agar sempurna dalam kebijaksanaan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

203 (3) Tujuh Perbuatan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [219]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berbicara kasar, dan menikmati gosip. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menikmati gosip dan mendorong orang lain untuk menikmati gosip. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … menghindari gosip. Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menghindari gosip dan mendorong orang lain untuk menghindari gosip. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

203 (3) Sepuluh Perbuatan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [220]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh … menikmati gossip; ia penuh kerinduan, memendam niat buruk, dan menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … menghindari gosip; ia tanpa kerinduan, berniat baik, dan menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang baik

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri tanpa kerinduan dan mendorong oang lain agar tanpa kerinduan; ia sendiri berniat baik dan mendorong orang lain agar berniat baik; ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain agar menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

205 (5) Berunsur Delapan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [220]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. [221] Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki konsentrasi salah dan mendorong orang lain agar memiliki konsentrasi salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? seseorang memiliki pandangan benar, kehendak salah, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.  Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki konsentrasi benar dan mendorong orang lain agar memiliki konsentrasi benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

206 (6) Berunsur Sepuluh

[Pembukaan seperti pada 4:201.]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? [222] Di sini, seseorang memiliki pandangan salah … konsentrasi salah, pengetahuan salah, dan kebebasan salah.  Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? seseorang memiliki pandangan benar … konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar.  Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

207 (7) Berkarakter Buruk (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang apa yang buruk dan apa yang lebih buruk daripada yang buruk; tentang apa yang baik dan yang lebih baik daripada  yang baik. Dengarkan …

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, yang buruk? Di sini, seseorang membunuh … dan menganut pandangan salah. Ini disebut yang buruk.

(2) “Dan apakah yang lebih buruk daripada yang buruk? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah. Ini disebut apa yang lebih buruk daripada yang buruk.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menganut pandangan benar. [223] Ini disebut yang baik.

(4) “Dan apakah yang lebih baik daripada yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan benar. Ini disebut apa yang lebih baik daripada yang baik.”

208 (8 ) Berkarakter Buruk (2)

[Pembukaan seperti pada 4:207.]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, yang buruk? Di sini, seseorang berpandangan salah … kebebasan salah. Ini disebut yang buruk.

(2) “Dan apakah yang lebih buruk daripada yang buruk? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. Ini disebut apa yang lebih buruk daripada yang buruk.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang memiliki pandangan benar … konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar.  Ini disebut yang baik.

(4) “Dan apakah yang lebih baik daripada yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut apa yang lebih baik daripada yang baik.”

209 (9) Berkarakter Buruk (3)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang seorang yang berkarakter buruk [224] dan tentang seorang yang berkarakter lebih buruk lagi. Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang seorang yang berkarakter baik dan tentang seorang yang berkarakter lebih baik lagi. Dengarkan …

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter buruk? Di sini, seseorang membunuh … dan menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang berkarakter buruk.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih buruk lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain agar bepandangan salah. Ini disebut orang yang berkarakter lebih buruk lagi.

(3) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang berkarakter baik.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih baik lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain agar bepandangan benar. Ini disebut orang yang berkarakter lebih baik lagi.”

210 (10) Berkarakter Buruk (4)

[Pembukaan seperti pada 4:209.]
 
(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter buruk? seseorang berpandangan salah … kebebasan salah. Ini disebut orang yang berkarakter buruk.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih buruk lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah [225] dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. . Ini disebut orang yang berkarakter lebih buruk lagi.

(3) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter baik? Di sini, seseorang memiliki pandangan benar … kebebasan benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar. Ini disebut orang yang berkarakter baik.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih baik lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut orang yang berkarakter lebih baik lagi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #38 on: 15 February 2013, 06:09:36 AM »
II. HIASAN BAGI KUMPULAN

211 (1) Kumpulan

“Para bhikkhu, empat ini adalah noda bagi sebuah kumpulan. Apakah empat ini? Seorang bhikkhu yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang bhikkhunī yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang umat awam laki-laki yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang umat awam perempuan yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk. Keempat ini adalah noda-noda bagi sebuah kumpulan.

“Para bhikkhu, empat ini adalah hiasan bagi sebuah kumpulan. Apakah empat ini? Seorang bhikkhu yang bermoral, yang berkarakter baik; [226] seorang bhikkhunī yang bermoral, yang berkarakter baik; seorang umat awam laki-laki yang bermoral, yang berkarakter baik; seorang umat awam perempuan yang bermoral, yang berkarakter baik. Keempat ini adalah hiasan-hiasan bagi sebuah kumpulan.”

212 (2) Pandangan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan pandangan salah. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan pandangan benar. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

213 (3) Tidak Berterima Kasih

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan bersyukur atau berterima kasih. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

214 (4) Pembunuhan

[4:214-19 mengikuti pola yang sama seperti 4:213, dengan kualitas-kualitas berikut ini berturut-turut bertanggung jawab atas kelahiram kembali di neraka dan surga.]

“… Seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong …

“… Seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan menghindari berbohong ….” [227]

215 (5) Jalan (1)

“… Seorang yang berpandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, dan perbuatan salah …

“… Seorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, dan perbuatan benar …”

216 (6) Jalan (2)

“… Seorang yang berpenghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah …

“… Seorang yang berpenghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar …”

217 (7) Cara Pengungkapan (1)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali …<939>

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali …”

218 (7) Cara Pengungkapan (2)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali …

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali …”

219 (9) Tanpa Rasa Malu Bermoral

“ … Seorang yang hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tanpa rasa malu bermoral, dan memiliki moralitas yang sembrono …

“… Seorang yang memiliki keyakinan, bermoral, dan memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral …”

220 (10) Tidak Bijaksana

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak bermoral, malas, dan tidak bijaksana. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? [228] Ia memiliki keyakinan, bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

III. PERILAKU BAIK

221 (1) Perilaku Buruk

“Para bhikkhu, ada empat jenis perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Berbohong, mengucapkan kata-kata memecah-belah, berbicara kasar, dan bergosip. Ini adalah empat jenis perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada empat jenis perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Mengucapkan yang sebenarnya, mengucapkan kata-kata yang tidak memecah-belah, berbicara lembut, dan berbicara secara bijaksana. Ini adalah empat jenis perbuatan baik melalui ucapan itu.

222 (2) Pandangan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan pandangan salah. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan pandangan benar. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.” [229]

223 (3) Tidak Berterima Kasih

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan bersyukur atau berterima kasih. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

224 (4) Pembunuhan

 “… Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong …

“… Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan menghindari berbohong ….”

225 (5) Jalan (1)

“… Ia berpandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, dan perbuatan salah …

“… Ia berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, dan perbuatan benar …”

226 (6) Jalan (2)

“… Ia berpenghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah …

“… Ia berpenghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar …”

227 (7) Cara Pengungkapan (1)

“… Ia mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali …

“… Ia mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali …”

218 (7) Cara Pengungkapan (2)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali …

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang  telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali …”

219 (9) Tanpa Rasa Malu Bermoral

“ … Seorang yang hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tanpa rasa malu bermoral, dan memiliki moralitas yang sembrono …

“… Seorang yang memiliki keyakinan, bermoral, dan memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral …” [230]

220 (10) Tidak Bijaksana

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak bermoral, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Ia memiliki keyakinan, bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

231 (11) Penyair

“Para bhikkhu, ada empat jenis penyair ini. Apakah empat ini? Penyair reflektif, penyair naratif, penyair didaktik, dan penyair yang menginspirasi.<940> Ini adalah keempat jenis penyair itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #39 on: 15 February 2013, 06:10:04 AM »
IV. KAMMA

232 (1) Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada kamma gelap dengan akibat gelap; ada kamma terang dengan akibat terang; ada kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang; ada kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma. Ini adalah keempat jenis kamma yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

233 (2) Secara Terperinci <941>

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada kamma gelap dengan akibat gelap; ada kamma terang dengan akibat terang; ada kamma [231] gelap dan terang dengan akibat gelap-dan-terang; ada kamma yang tidak gelap juga tidak terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan.<942> Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti pada kasus makhluk-makhluk neraka. Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang tidak-menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang tidak-menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang tidak-menyakitkan.<943> Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang tidak-menyakitkan.<944> Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang tidak-menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang tidak-menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang tidak-menyakitkan, sangat menyenangkan, seperti pada kasus para deva dengan keagungan gemilang.<945> Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan  dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan,campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada kasus manusia dan beberapa makhluk di alam-alam yang lebih rendah. Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap dengan akibat gelap, kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang terang dengan akibat terang, dan kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.<946>

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

234 (3) Soṇakāyana

Brahmana Sikhāmoggallāna mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di masa lalu, Guru Gotama, dulu sekali, murid brahmana Soṇakāyana mendatangiku dan berkata: ‘Petapa Gotama mengajarkan penghentian semua kamma. Tetapi dengan mengajarkan penghentian semua kamma, Beliau mengajarkan pemusnahan dunia. Dunia ini, Tuan, yang memiliki kamma sebagai substansinya, berlanjut melalui dilakukannya kamma.’”

[Sang Bhagavā:] “Aku tidak ingat bahkan pernah bertemu dengan murid brahmana Soṇakāyana, Brahmana. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi demikian? Ada, Brahmana, empat jenis kamma yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?”

[Bagian Selanjutnya dari sutta ini identik dengan 4:233.] [233]

235 (5) Aturan-Aturan Latihan (1)


[Pembukaan seperti pada 4:233.] [234]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan  dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan,campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada kasus manusia dan beberapa makhluk di alam-alam yang lebih rendah. Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap dengan akibat gelap, kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang terang dengan akibat terang, dan kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

236 (5) Aturan-Aturan Latihan (2)

[Pembukaan seperti pada 4:233.]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang membunuh ibunya, membunuh ayahnya, dengan pikiran kebencian ia melukai tubuh Sang Tathāgata hingga berdarah, atau memecah-belah Saṅgha. [235] Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip. Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? … [seperti pada 4:235] … Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? … [seperti pada 4:235] … ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

237 (6) Jalan Mulia

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

[Seluruhnya seperti pada 4:233 hingga:] [236]

“Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

238 (7) Faktor-Faktor Pencerahan

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

[Seluruhnya seperti pada 4:233 hingga:] [237]

“Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukacita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

239 (8 ) Tercela

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tercela, perbuatan ucapan yang tercela, perbuatan pikiran yang tercela, dan pandangan yang tercela. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tanpa cela, perbuatan ucapan yang tanpa cela, perbuatan pikiran yang tanpa cela, dan pandangan yang tanpa cela. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

240 (9) Tidak-Menyakitkan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang menyakitkan, perbuatan ucapan yang menyakitkan, perbuatan pikiran yang menyakitkan, dan pandangan yang menyakitkan. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tidak-menyakitkan, perbuatan ucapan yang tidak-menyakitkan, perbuatan pikiran yang tidak-menyakitkan, dan pandangan yang tidak-menyakitkan. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

241 (10) Para Petapa

“Para bhikkhu, ‘hanya di sini terdapat seorang petapa, seorang petapa ke dua, seorang petapa ke tiga, dan seorang petapa ke empat. Sekte-sekte lainnya kosong dari para petapa.’<947> Adalah dengan cara demikian maka kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, petapa pertama? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga beleggu, seorang bhikkhu adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali di] alam rendah, pasti dalam takdirnya, menuju pencerahan. Ini adalah petapa pertama.

(2) “Dan apakah petapa ke dua? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga beleggu dan dengan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, seorang bhikkhu adalah yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke alam ini satu kali lagi, akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah petapa ke dua.

(3) “Dan apakah petapa ke tiga? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya lima beleggu, seorang bhikkhu adalah yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu. Ini adalah petapa ke tiga.

(4) “Dan apakah petapa ke empat? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah petapa ke empat.

“Para bhikkhu, ‘hanya di sini terdapat seorang petapa, seorang petapa ke dua, seorang petapa ke tiga, dan seorang petapa ke empat. Sekte-sekte lainnya kosong dari para petapa.’ Adalah dengan cara demikian maka kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.” [239]

242 (11) Manfaat Orang yang Baik

“Para bhikkhu, dengan mengandalkan orang yang baik, maka empat manfaat dapat diharapkan. Apakah empat ini? Seseorang tumbuh dalam perilaku bermoral yang mulia, ia tumbuh dalam konsentrasi yang mulia; ia tumbuh dalam kebijaksanaan yang mulia; dan ia tumbuh dalam kebebasan yang mulia. Dengan mengandalkan orang yang baik, maka keempat manfaat ini dapat diharapkan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #40 on: 15 February 2013, 06:10:32 AM »
V. BAHAYA-BAHAYA DARI PELANGGARAN

243 (1) Perpecahan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Apakah persoalan disiplin itu telah diselesaikan, Ānanda?”<948>

“Bagaimana mungkin persoalan disiplin itu dapat diselesaikan, Bhante? Bāhiya, murid Yang Mulia Anuruddha masih sangat berniat menciptakan perpecahan di dalam Saṅgha, tetapi Yang Mulia Anuruddha tidak berpikir untuk mengatakan bahkan satu kata pun tentang persoalan ini.”

“Tetapi, Ānanda, kapankah Anuruddha pernah peduli dengan persoalan disiplin di dalam Saṅha? Bukankah engkau, dan Sāriputta dan Moggallāna, yang menyelesaikan persoalan disiplin apa pun yang muncul?

“Melihat empat keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, Seorang bhikkhu jahat tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, berperilaku mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, [240] busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak bermoral … rusak, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan pertama ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu jahat berpandangan salah; ia menganut pandangan ekstrim. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menganut pandangan salah, bahwa aku menganut pandangan ekstrim, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke dua ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu jahat berpenghidupan salah; ia mencari penghidupannya melalui penghidupan salah. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku berpenghidupan salah dan mencari penghidupanku melalui penghidupan salah, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke tiga ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(4) “kemudian, seorang bhikkhu menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke empat ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

“Melihat keempat keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.”

244 (2) Pelanggaran

“Para bhikkhu, ada empat bahaya dari pelanggaran-pelanggaran ini. Apakah empat ini?

(1) “Misalkan, para bhikkhu, mereka menangkap seorang pencuri, seorang kriminal, dan membawanya ke hadapan raja, dengan berkata: ‘Baginda, orang ini adalah seorang pencuri, seorang kriminal. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman padanya.’ Sang raja akan berkata kepada mereka: [241] ‘Pergilah, kalian, dan ikat lengan orang ini erat-erat di punggungnya dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan bawa dia berkeliling dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang menakutkan. Kemudian bawa ia melalui gerbang selatan dan penggal kepalanya di selatan kota.’ Orang-orang sang raja melakukan sesuai apa yang diperintahkan dan memenggal kepala orang itu di selatan kota. Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan penggalan kepala, karena orang-orang sang raja mengikat lengannya erat-erat di punggungnya dengan tali yang kuat … dan memenggal kepalanya di selatan kota. Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan penggalan kepala.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pārājika, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pārājika tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<949>

(2) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan,<950> Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” [242] Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran saṅghādisesa, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran saṅghādisesa tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<951>

(3) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan sekarung abu.<952> Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan sekarung abu, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan sekarung abu. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pācittiya, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pācittiya tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<953>

(4) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, patut dikecam, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, dan berkata kepada kerumunan orang: [243] “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, patut dikecam.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pāṭidesanīya, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pāṭidesanīya tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<954>

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya dari pelanggaran-pelanggaran itu.”

245 (3) Latihan

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalani dengan latihan sebagai manfaatnya, dengan kebijaksanaan sebagai pengawasnya, dengan kebebasan sebagai intinya, dan dengan perhatian sebagai otoritasnya.<955>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, latihan menjadi manfaatnya? Di sini, latihan yang berhubungan dengan perilaku yang selayaknya<956> telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu sehingga mereka yang tidak berkeyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [dalam keyakinan mereka]. Seseorang menjalani latihan yang berhubungan dengan perilaku selayaknya persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu, menjaganya agar tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, dan tanpa bercak, sehingga mereka yang tidak berkeyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [dalam keyakinan mereka]. Setelah menerimanya, ia berlatih dalam aturan-aturan latihan itu.

“Kemudian, latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual<957> telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Seseorang menjalani latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan, menjaganya agar tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, dan tanpa bercak. Setelah menerimanya, ia berlatih dalam aturan-aturan latihan itu. Dengan cara inilah latihan itu menjadi manfaatnya.

(2) “Dan bagaimanakah kebijaksanaan menjadi pengawasnya? Di sini, ajaran-ajaran telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Seseorang menyelidiki ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Dengan cara inilah kebijaksanaan menjadi pengawasnya.<958> [244]

(3) “Dan bagaimanakah kebebasan adalah intinya? Di sini, ajaran-ajaran telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Melalui kebebasan seseorang mengalami ajaran-ajaran itu persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Dengan cara inilah kebebasan menjadi intinya.<959>

(4) “Dan bagaimanakah perhatian menjadi otoritasnya? Perhatian seseorang ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan memenuhi latihan yang berhubungan dengan perilaku baik yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek latihan yang berhubungan dengan perilaku baik yang telah kupenuhi.<960> Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan memenuhi latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual yang telah kupenuhi.’ Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan menyelidiki dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang belum kuselidiki atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek ajaran yang telah kuselidiki.’ Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan mengalami melalui kebebasan Dhamma yang belum kualami atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek Dhamma yang telah kualami.’ Dengan cara inilah perhatian menjadi otoritasnya.

“Demikianlah ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalani dengan latihan sebagai manfaatnya, dengan kebijaksanaan sebagai pengawasnya, dengan kebebasan sebagai intinya, dan dengan perhatian sebagai otoritasnya,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.”

246 (4) Berbaring

“Para bhikkhu, ada empat postur berbaring ini. Apakah empat ini? Postur mayat, postur orang yang penuh nafsu, postur singa, dan postur Sang Tathāgata.

(1) “Dan apakah postur mayat? Mayat biasanya berbaring lurus pada punggungnya. Ini disebut postur mayat.

(2) “Dan apakah postur orang yang penuh nafsu? Orang yang penuh nafsu biasanya berbaring pada sisi kirinya. Ini disebut postur orang yang penuh nafsu.

(3) “Dan apakah postur singa? [245] Singa, raja binatang buas, berbaring pada sisi kanannya. Setelah menindih satu kaki dengan kaki lainnya dan menyelipkan ekornya di antara pahanya. Ketika ia bangun, ia mengangkat bagian depan tubuhnya dan menatap ke belakang pada bagian belakang tubuhnya. Jika ia melihat ada ketidak-teraturan atau pembengkakan pada tubuhnya, maka ia menjadi tidak senang. Jika ia tidak melihat ada ketidak-teraturan atau pembengkakan pada tubuhnya, maka ia menjadi senang. Ini disebut postur singa.

(4) “Dan apakah postur Sang Tathāgata? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Sang Tathāgata masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ini disebut postur Sang Tathāgata.

“Ini adalah keempat postur itu.”

247 (5) Layak Didirikan Stūpa

“Para bhikkhu, empat ini layak didirikan sebuah stupa. Apakah empat ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan sempurna; seorang paccekabuddha; seorang siswa Sang Tathāgata; dan seorang raja dunia. Keempat ini layak didirikan sebuah stupa.”<961>

248 (6) Pertumbuhan Kebijaksanaan

“Para bhikkhu, empat hal ini mengarah pada pertumbuhan kebijaksanaan. Apakah empat ini? Pergaulan dengan orang-orang baik, mendengarkan Dhamma sejati, pengamatan waspada, dan praktik sesuai Dhamma. [246] Keempat hal ini mengarah pada pertumbuhan kebijaksanaan.”<962>

249 (7) Membantu <963>

“Para bhikkhu, empat hal ini membantu bagi seorang manusia. Apakah empat ini? Pergaulan dengan orang-orang baik, mendengarkan Dhamma sejati, pengamatan waspada, dan praktik sesuai Dhamma. [246] Keempat hal ini membantu bagi seorang manusia.”

250 (8 ) Pernyataan (1)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan tidak mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar, mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera, mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan tidak mulia itu.”

251 (9) Pernyataan (2)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar, mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera, mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan mulia itu.”

252 (10) Pernyataan (3)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan tidak mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar, mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera, mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan tidak mulia itu.”

253 (11) Pernyataan (4)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang telah ia lihat, mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar, mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera, mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan mulia itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #41 on: 15 February 2013, 06:10:56 AM »
VI. PENGETAHUAN LANGSUNG

254 (1) Pengetahuan Langsung

“Para bhikkhu, ada empat hal ini. Apakah empat ini? (1) Ada hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung. (2) Ada [247] hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung. (3) Ada hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. (4) Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung.<964>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung? Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Ini disebut hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung.

(2) “Dan apakah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung? Ketidak-tahuan dan ketagihan pada penjelmaan. Ini disebut hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung.

(3) “Dan apakah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung? Ketenangan dan pandangan terang. Ini disebut hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung.

(4) “Dan apakah Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung? Pengetahuan sejati dan kebebasan. Ini disebut Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung..

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal itu.”

255 (2) Pencarian

“Para bhikkhu, ada empat pencarian tidak mulia ini.<965> Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penuaan mencari hanya apa yang tunduk pada penuaan; (2) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penyakit mencari hanya apa yang tunduk pada penyakit; (3) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kematian mencari hanya apa yang tunduk pada kematian; dan (4) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kekotoran mencari hanya apa yang tunduk pada kekotoran. Ini adalah keempat pencarian tidak mulia itu.

“Ada, para bhikkhu, empat pencarian mulia ini. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari apa yang tanpa-penuaan, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (2) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari apa yang tanpa-penyakit, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (3) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari apa yang tanpa-kematian, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (4) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, [248] mencari apa yang tanpa-kekotoran, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna. Ini adalah keempat pencarian mulia itu.”

256 (3) Memelihara

“Para bhikkhu, ada empat cara ini untuk memelihara hubungan baik. Apakah empat ini? Memberi, ucapan yang penuh kasih, perilaku yang murah hati, dan tidak membeda-bedakan. Ini adalah keempat cara untuk memelihara hubungan baik itu.”<966>

257 (4) Māluṅkyāputta

Yang Mulia Māluṅkyaputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:<967>

“Bhante, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas, sehingga, setelah mendengar Dhamma dari Sang Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Sekarang, Māluṅkyāputta, apakah yang harus kami katakan kepada para bhikkhu muda jika seorang tua sepertimu, jompo, dan lanjut usia, meminta masihat ringkas dari Sang Tathāgata?”

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas! sudilah Yang Berbahagia mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas! Mungkin aku dapat memahami makna dari pernyataan Sang Bhagavā; mungkin aku dapat menjadi pewaris dari pernyataan Sang Bhagavā.”

“Ada, Mālunkyāputta, empat sumber ketagihan ini bagi seorang bhikkhu. Apakah empat ini? Ketagihan yang muncul dalam diri seorang bhikkhu karena jubah, makanan, tempat tinggal, atau demi kehidupan di sini atau di tempat lain.<968> Ini adalah keempat sumber ketagihan itu bagi seorang bhikkhu. [249] Ketika, Māluṅkyāputta, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketagihan, memotonganya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, telah melepaskan belenggu, dan telah sepenuhnya menerobos keangkuhan, telah mengakhiri penderitaan.”

Kemudian Yang Mulia Māluṅkyāputta, setelah dinasihati dengan cara ini oleh Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Māluṅkyāputta merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang demi itu para anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Māluṅkyāputta menjadi salah satu di antara para Arahant.

258 (5) Keluarga

“Para bhikkhu, keluarga apa pun yang tidak bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya tidak bertahan karena empat alasan, atau salah satu di antaranya. Apakah empat ini? (1) Mereka tidak mencari apa yang telah hilang; (2) Mereka tidak memperbaiki apa yang telah usang; (3) mereka menikmati makan dan minum secara berlebihan; atau (4) mereka menunjuk seorang perempuan atau laki-laki tidak bermoral sebagai pemimpin mereka. Keluarga apa pun yang tidak bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya tidak bertahan karena keempat alasan ini, atau salah satu di antaranya.<969>

“Para bhikkhu, keluarga apa pun yang bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya bertahan karena empat alasan, atau salah satu di antaranya. Apakah empat ini? (1) Mereka mencari apa yang telah hilang; (2) Mereka memperbaiki apa yang telah usang; (3) mereka menikmati makan dan minum secukupnya; dan (4) mereka menunjuk seorang perempuan atau laki-laki bermoral sebagai pemimpin mereka. Keluarga apa pun yang bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya bertahan karena keempat alasan ini, atau salah satu di antaranya.

259 (6) Berdarah Murni (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.<970> Apakah empat ini? Di sini, seekor kuda kerajaan yang baik memiliki keindahan, kekuatan, kecepatan, dan proporsi yang baik. Dengan memiliki keempat faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keindahan, kekuatan, kecepatan, dan proporsi yang baik.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki keindahan? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki keindahan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kekuatan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki kekuatan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘ini adalah asal-mula penderitaan,’ [245] dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki proporsi yang benar. [251]

“Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

260 (7) Berdarah Murni (2)

[Seluruhnya sama seperti 4:259, dengan satu-satunya perbedaan berikut ini]<971>

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.”

261 (8 ) Kekuatan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah keempat kekuatan itu.”

262 (9) Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas ini seorang bhikkhu tidak layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara. Apakah empat ini? [Ia memikirkan] (1) Pikiran indriawi, (2) pikiran berniat buruk, (3) pikiran mencelakai; dan (4) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu tidak layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara.

“Dengan memiliki empat kualitas [lainnya] ini seorang bhikkhu layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara. Apakah empat ini? [Ia memikirkan] (1) Pikiran melepaskan keduniawian, (2) berniat baik, (3) tidak mencelakai; dan (4) ia  bijaksana, tidak bodoh, atau tidak tumpul. Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara.”

263 (10) Perbuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perbuatan yang tercela melalui jasmani, perbuatan yang tercela melalui ucapan, perbuatan yang tercela melalui pikiran, dan pandangan yang tercela. [253] Dengan memiliki keempat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perbuatan yang tanpa cela melalui jasmani, perbuatan yang tanpa cela melalui ucapan, perbuatan yang tanpa cela melalui pikiran, dan pandangan yang tanpa cela. Dengan memiliki keempat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

VII. PERJALANAN KAMMA

264 (1) Pembunuhan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia sendiri membunuh; mendorong orang lain untuk membunuh; ia menyetujui tindakan membunuh; dan ia memuji tindakan membunuh. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia sendiri menghindari membunuh; mendorong orang lain untuk menghindari membunuh; ia menyetujui menghindari membunuh; dan ia memuji menghindari membunuh. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

265 (2) – 273 (10) Mengambil Apa yang Tidak Diberikan, dan seterusnya.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? (1) Ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan  … [254] … melakukan hubungan seksual yang salah … berbohong … mengucapkan kata-kata yang memecah-belah … berbicara kasar … [255] bergosip … penuh kerinduan … memendam niat buruk … menganut pandangan salah; (2) ia mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah; (3) ia menyetujui pandangan salah; dan (4) ia memuji pandangan salah. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? (1) Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan … menganut pandangan benar; (2) ia mendorong orang lain untuk menganut pandangan benar; (3) ia menyetujui pandangan benar; dan (4) ia memuji pandangan benar. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #42 on: 15 February 2013, 06:11:16 AM »
VIII. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<972>

274 (1) Empat Penegakan Perhatian

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (2) Ia berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan … (3) … pikiran dalam pikiran … (4) fenomena di dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.

275 (2) Empat Usaha Benar

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (2) Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … (3) … untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat … (4) … untuk mempertahankan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.”

276 (3) Empat Landasan Kekuatan Batin

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (2) ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan … (3) … yang memiliki konsentrasi karena pikiran … (4) … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.


277 (4) – 303 (30)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. “<973>

304 (31) – 783 (510)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka empat hal ini harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani  … (2) … perasaan di dalam perasaan … (3) … pikiran di dalam pikiran … (4) … fenomena di dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (1) Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat  yang belum muncul … (2) … untuk meninggakan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … (3) … untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul … (4) … untuk mempertahankan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (2) ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan … (3) … yang memiliki konsentrasi karena pikiran … (4) … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Demi terlepasnya kelengahan, maka keempat hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Empat selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #43 on: 15 February 2013, 06:12:07 AM »
Catatan Kaki

618 > Bagian selanjutnya termasuk dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.4.2-3, II 122-23

619 > Dīghamaddhānaṃ sandhāvitaṃ saṃsaritaṃ. “Waktu yang sangat lama” dalam mengembara adalah saṃsāra, yang diturunkan dari kata kerja saṃsarati, dilihat di sini dalam bentuk pasif saṃsaritaṃ. Mp mengemas dīghamaddhānaṃ sebagai cirakālaṃ (“waktu yang lama”) dan menjelaskan sandhācitaṃ sebagai “berkelana dari satu kondisi penjelmaan ke penjelmaan lainnya” (bhavato bhavaṃ gamanavasena sandhāvitaṃ).

620 > Bhavanetti. Mp: “Tali penjelmaan (bhavarajju) adalah nama bagi ketagihan. Seperti halnya sapi-sapi diikat dengan tali di lehernya, demikian pula hal ini menuntun makhluk-makhluk dari satu penjelmaan ke penjelmaan lainnya. Oleh karena itu disebut saluran penjelmaan.”

621 > Cakkhumā parinibbuto. Mp: “Beliau mencapai nibbāna melalui padamnya kekotoran-kekotoran. Ini adalah nibbāna pertama, yang terjadi padanya di sekitar pohon bodhi. Tetapi setelah itu, antara kedua pohon sal kembar (di Kusinārā) Beliau mencapai nibbāna melalui elemen nibbāna tanpa sisa.”

622 > Appatito. Lit., ‘tidak jatuh,” tetapi Mp mengemasnya secara lebih positif sebagai patiṭṭho, yang berarti “kokoh, tenang,” dan mengatakannya sebagai merujuk pada pemasuk-arus dan para mulia lainnya; Arahant adalah “sepenuhnya tenang” (khīṇāsavo ekantapatiṭṭho).

623 > Syair ini juga terdapat pada Th 63. Th-a I 155: “Tugas telah diselesaikan (kataṃ kiccaṃ): enam belas tugas telah diselesaikan (yaitu, masing-masing dari empat jalan mulia melakukan empat tugas memahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, merealisasi lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan) dan tidak ada lagi yang harus dilakukan. Kenikmatan telah dinikmati (rataṃ rammaṃ): kenikmatan nibbāna, yang bebas dari segala yang terkondisi, dinikmati oleh para mulia. Kebahagiaan dicapai melalui kebahagiaan (sukhenanvāgataṃ sukhaṃ): kebahagiaan tertinggi, nibbāna, dicapai melalui kebahagiaan pencapaian buah; atau kebahagiaan buah dan nibbana tercapai melalui kebahagiaan pandangan terang dan jalan melalui modus praktik yang menyenangkan (tentang hal ini, baca 4:162 §§3-4 di bawah).”

624 > Ketiga syair ini juga terdapat pada 10:89 sehubungan dengan bhikkhu pemfitnah bernama Kokālika. Kisahnya, termasuk syair-syairnya, juga terdapat pada SN 6:9-10, I 149-53, dan Sn 3:10, pp.123-31.

Vicināti mukhena so kaliṃ, kalinā tena sukhaṃ na vindati
. Ini juga dapat diterjemahkan: “Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.” Kali dapat berarti bencana dan juga lemparan dadu yang kalah.

625 > Mp: “Bencana ini aadlah kecil, yaitu, hilangnya kekayaan pada permainan dadu bersama dengan semua yang dimiliki seseorang, termasuk dirinya sendiri.” Mp mengemas sugatesu, “para suci,” sebagai sammaggatesu puggalesu, “orang-orang yang telah dengan benar mencapai,” dengan demikian merujuk pada semua Arahant, bukan hanya pada Sang Buddha.

626 > Sataṃ sahasānaṃ nirabbudānaṃ / chattiṃsatī pañca ca abbudāni. Saya menerjemahkan dengan mengikuti Mp, yang mengatakan jumlah: “Seratus ribu nirabbuda, ditambah tiga puluh enam nirabbuda lagi, ditambah lima abbuda” (sataṃ sahassānan ti nirabbudagaṇanāya satasahassaṃ[/i]; chattiṃsatī ti aparāni ca chattiṃsati nirabbudāni; pañca cā[/i] ti abbudagaṇanāya ca pañca abbudāni). Akan tetapi, Vanarata, berpendapat bahwa pañca tidak secara langsung mensyaratkan abbudānaṃ dan oleh karena itu ia menggabungkan sahassānaṃ dengan chattiṃsatī serta pañca, menjadikannya tiga puluh enam ribu nirabbuda dan lima abbuda tambahan. Mp, dalam mengomentari 10:89, menjelaskan skema penomoran Buddhis sebagai berikut: satu koṭi = sepuluh juta; satu koṭi kotī = satu pakoṭi; satu koṭi pakoṭi = satu koṭipakoṭi; satu koti koṭipakoṭi = satu nahuta; satu koṭi nahuta = satu ninnahuta; satu koṭi ninnahuta = satu abbuda; dua puluh abbuda = satu nirabbuda.

627 > Syair ini juga terapat pada 3:31 dan 4:63, tetapi di sini dhammacariyāya menggantikan paricariyāya.

628 > Dalam Pāli: anusotagāmī puggalo, paṭisotagāmī puggalo, ṭhitatto puggalo, tiṇṇo pāraṅgato thale tiṭṭhati brāhmaṇo.

629 > Bersama dengan Be dan Ee membaca upagāmino, bukan seperti Ce upagāhino.

630 > Paripuṇnasekho. Mp: “Seorang yang teguh dalam memenuhi latihan” (sikkhāpāripūriyā ṭhito). Seorang yang masih berlatih (sekha) adalah seorang yang telah memasuki jalan yang tidak bisa berbalik menuju kebebasan tetapi masih belum mencapai Kearahattaan. Arahant adalah asekha, “seorang yang melampaui latihan.”

631 > Dalam Pāli: suttaṃ, geyyaṃ, veyyākaranaṃ, gāthā, udānaṃ, itivuttakaṃ, jātakaṃ, abhutadhammaṃ, vedallaṃ. Ini adalah sembilan pengelompokan awal dari Dhamma, yang akhirnya digantikan dengan pengaturan teks-teks ke dalam lima Nikāya. Baca Norman 1983: 15-16; Norman 2006a: 172-73. Mp, selaras dengan komentar-komentar lainnya, memberikan contoh untuk tiap-tiap gaya pengungkapan, yang tidak semuanya diterima oleh para terpelajar masa kini. Telah menjadi perdebatan apakah beberapa koleksi dalam daftar itu merujuk pada koleksi yang telah ada pada masa Sang Buddha atau merujuk pada purwarupa dari koleksi yang ada sekarang. Pendapat para terpelajar masa kini lebih condong pada yang ke dua.

632 > Saya mengikuti Be, yang membaca tassa sampajjate sutaṃ dalam pāda d dari syair ini dan nāssa sampajjate sutaṃ, “pembelajarannya belum berhasil,” dalam pāda d bait berikutnya. Ce membaca nāssa sampajjate sutaṃ di sini dan tassa sampajjate sutaṃ pada bait berikutnya, sedangkan Ee menuliskan tassa sampajjate sutaṃ dalam kedua bait. Mp mendukung Be dengan menjelaskan, sehubungan dengan bait ini: “Pembelajarannya dapat dikatakan telah berhasil karena orang ini telah menggunakan apa yang telah ia pelajari untuk mencapai tujuan pembelajaran.” Dan sehubungan dengan bait berikutnya, Mp menjelaskan: “Pembelajarannya belum berhasil karena ia belum mencpai tujuan pembelajarannya.”syair ini dikutip dalam Vism 48, Ppn 1.136, tetapi dengan beberapa perbedaan dalam tulisan di antara banyak edisi.

633 > Mp mengemas brahma di sini sebagai “yang terbaik, tertinggi, murni” (seṭṭhaṃ uttamaṃ visuddhaṃ) dan mengidentifikasikan brahmacakka sebagai dhammacakka, roda Dhamma.

634 > Baca 3:64 dan p.1652, catatan 451.

635 > Vanarata menuliskan sehubungan dengan pāda c: “Saya pikir bahwa patvā adalah suatu adaptasi keliru dari Pāli awal yang asli pattā, yang dapat berbentuk absolutif juga dapat berbentuk pasif. Ketika Pāli dibentuk ulang, alterntif keliru yang dipilih, Pattā, sebagai bentuk pasif, seharusnya tidak diubah” (komunikasi pribadi). Saya membaca pāda d sesuai Be visāradaṃ vādapatthātivattaṃ, tulisan yang juga terdapat pada naskah-naskah kuno Sinhāla. Ce menuslikan visāradaṃ vādapatthātivattīnaṃ, yang juga masuk akal, tetapi Be visāradaṃ vādapathāti vuttaṃ jelas adalah kekeliruan.

636 > Itthabhāvaññathābhāvaṃ. Mp: “Kehidupan di sini” adalah penjelmaan ini (ayaṃ attabhāvo); “kehidupan di tempat lain” adalah kehidupan mendatang (anāgatattabhāvo).

637 > Bhavānaṃ. Mp membedakan kāmayoga sebagai nafsu yang terhubung dengan kelima objek kenikmatan indria dan bhavayoga sebagai keinginan dan nafsu pada penjelmaan di alam berbentuk dan alam tanpa bentuk.

638 > Bersama dengan Ce dan Be membaca yogātigā munī, bukan seperti Ee yogātigāmino.

639 > Juga terdapat pada It §110, 115-18.

640 > Saya dan Ce membaca thīnamiddhaṃ uddhaccakukkuccaṃ vicikicchā pahīṇā hoti (Ee juga sama, tetapi dengan honti), tidak seperti Be thīnamiddhaṃ vigataṃ hoti uddhaccakukkuccaṃ vigataṃ hoti vicikicchā pahīṇā hoti.

641 > “Namuci”: adalah nama bagi Māra, yang dijelaskan komentar sebagai “ia tidak (na) membebaskan (muci).”

642 > Bhaddakaṃ samādhinimittaṃ. Enam yang disebutkan di sini termasuk di antara sepuluh subjek meditasi asubha dalam Vism bab 6.

643 > Rāhu adalah pemimpin asura yang menangkap matahari dan rembulan, jelas merepresentasikan gerhana matahari dan bulan. Baca SN 2:9-10, I 50-51.

644 > Seorang raja masa awal, keturunan Mahāsammata, putera Uposatha, dan leluhur orang Sakya (baca DPPN). Mp: “Ia dilahirkan di antara manusia ketika umur kehidupan tidak terhingga dan menikmati kenikmatan indria manusiawi untuk waktu yang lama, membuat hujan emas di mana pun ia menginginkan. Di alam deva, selama umur kehidupan tiga puluh enam Indra, ia menikmati kenikmatan indria yang sangat baik.

645 > Mp: “Jenis-jenis keindahan [atau kebagusan, kelembutan, kehalusan]: pengetahuan yang menembus karaktristik-karakteristik halus” (sokhummānī ti sukhumalakkhaṇapativijjhanakāni ñāṇāni[/i]). Kata benda sokhumma, dari kata sifat yang biasa sukhuma, adalah jarang dan dalam Nikāya-nikāya hanya muncul di sini dan dalam kata majemuk pada Th 437. Penjelasan Mp tampak problematik. Saya mengidentifikasikan keindahan bentuk sebagai bentuk yang dirasakan dalam jhāna ke empat, keindahan perasaan sebagai perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan yang muncul pada jhāna ke empat dan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, keindahan persepsi sebagai persepsi landasan kekosongan, dan keindahan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai aktivitas-aktivitas berkehendak yang tersisa dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

646 > Saya bersama dengan Ce dan Be membaca sa ve sammaddaso bhikkhu. Ee yang menuliskan sace untuk sa ve jelas suatu kekeliruan.

647 > Bhattuddesika. Bhikkhu yang bertanggung jawab untuk membagi persembahan makanan dan undangan kepada para bhikkhu lain. Mengenai wewenang dan diskualifikasinya, baca 5:272.

648 > Be menyebutkan seluruh empat motif: chandā dosā mohā ca bhayā gāmino. Dan dalam bait berikutnya: na chandā na dosā na mohā na bhayā ca gāmino.

649 > SN 6:2, I 138-40, mencatat insiden ini dalam modus narasi langsung. Sutta ini memasukkan faktor ke lima: pengetahuan dan penglihatan kebebasan. Karena dibabarkan pada saat pencerahan Sang Buddha, maka Saṅgha tidak disebutkan, karena Saṅgha muncul hanya setelah Sang Buddha mulai mengajar.

650 > Ce membaca atthakāmena; Be dan Ee menuliskan attakāmena, “menginginkan diri.” Dalam pāda d, bentuk jamak Buddha diambil dari Pāli, buddhānasāsanaṃ. Mungkin kata majemuk ini adalah bentuk keliru dari buddhānusāsanaṃ, ” ajaran Buddha,” yang berbentuk tunggal.

651 > Penempatan sutta ini pada periode persis setelah pencerahan Sang Buddha agak aneh. Kata-kata para brahmana yang menyiratkan agar Sang Buddha, dari posisi otoritas, terlibat dalam diskusi rutin dengan para brahmana; namun Beliau pasti tidak melakukannya sebelum Beliau memulai karirnya sebagai seorang guru. Baca 8:11, di mana seorang brahmana melakukan tuduhan yang sama terhadap Sang Buddha belakangan setelah Beliau menjadi seorang guru yang berhasil.

652 > Saya mengikuti Ce dalam menuliskan sajak ini terdiri dari tiga baris untuk tiap-tiap pāda. Be membaginya dalam empat baris, yang pertama dengan enam pāda, dan tiga lainnya dengan empat pāda.

653 > Dalam pāda c, saya bersama Ce membaca saññato thiradhammesu, tidak seperti Be dan Ee saññato dhīro dhammesu, “terkendali oleh diri sendiri dan kokoh di antara fenomena-fenomena.” Dalam hal ini, saya mengikuti saran dari Vanarata (dalam suatu komunikasi pribadi) bahwa tulisan Ce “memiliki keuntungan yaitu lebih sesuai dalam hal irama dan memberikan permainan kata (antara thira dan thera, kokoh dan sesepuh).” Klausa ini bersesuaian dengan jhāna-jhāna, “faktor-faktor kekokohan” merujuk pada samādhi. Mp mengemas “yang dengan jelas melihat makna kebijaksanaan” (paññāyatthaṃ vipassati) sebagai melihat makna keempat kebenaran mulia menjadi  kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang. Mp menjelaskan “telah melampaui segala fenomena” (pāragū sabbadhammānaṃ) sebagai “telah melampaui semua fenomena seperti kelima kelompok unsur kehidupan” dan “mendatangi kesempurnaan dari semua kualitas [baik]” melalui enam melampaui (chabbidhena pāragamena): sehubungan dengan pengetahuan langsung, pemahaman penuh, meninggalkan, mengembangkan, realisasi, dan pencapaian-pencapaian meditative. Mp tidak menjelaskan pengulangan paṭibhānavā (“melihat”) dalam syair, yang tampaknya khas.

654 > Juga terdapat pada It §112, 121-23.

655 > Mp mengidentifikasikan dunia (loka) sebagai kebenaan penderitaan. Keempat tugas yang telah diselesaikan oleh Sang Tathāgata di sini bersesuaian dengan keempat tugas sehubungan dengan empat kebenaran mulia –memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan kebenaran asal-mulanya, merealisasikan lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan – tetapi dengan “tercerahkan sepenuhnya” (abhisambuddha) menggantikan “memahami sepenuhnya” (pariññāta) sehubungan dengan kebenaran pertama. Baca SN 56:11, V 422.

656 > Mp, seperti juga komentar lainnya, menjelaskan yang dilihat (diṭṭha) sebagai landasan bentuk terlihat; yang didengar (sutta) sebagai landasan suara; yang diindera (muta) sebagai landasan bau-bauan, rasa kecapan, dan sensasi sentuhan; dan yang dikenali (viññātaṃ) sebagai landasan fenomena pikiran. Ketiga kata “dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran” (pattaṃ pariyesitaṃ anuvicaritaṃ manasā) hanyalah penjelasan dari yang dikenali. Mp juga menjelaskan bahwa akhiran –gata, lit. “pergi,” dalam kata turunan “Tathāgata,” bermakna sama seperti abhisambuddha, “tercerahkan sepenuhnya pada.”

657 > Ce dan Ee hanya menuliskan parinibbāyati, tidak seperti Be anupādisesāya nibbānadhātuyā parinibbāyati, “mencapai nibbāna akhir melalui elemen nibbāna tanpa sisa.” Tulisan terakhir itu mungkin masuk ke dalam Be dari It §112, 121,21-22.

658 > Sabbaṃ taṃ that’eva hoti, no aññathā. Tasmā ‘tathāgato’ ti vuccati.

659 > Yathāvādī tathākārī, yathākārī tathāvādī … Tasmā ‘tathāgato’ ti vuccati.

660 > Ce menuliskan ini dalam tanda kurung. Be dan Ee tidak menuliskan ini sama sekali.
« Last Edit: 15 February 2013, 06:13:48 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #44 on: 15 February 2013, 06:15:56 AM »
661 > Menurut Mp, Kāḷaka adalah seorang ahli keuangan kaya dan ayah mertua Cūḷasubhaddā, puteri Anāthapiṇḍika. Pada saat pernikahannya, Kāḷaka adalah seorang pengikut para petapa telanjang dan tidak mengetahui tentang Sang Buddha atau ajaranNya. Cūḷasubhaddā merencanakan agar ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk mempersembahkan makanan. Setelah makan, Sang Buddha membabarkan khotbah yang membuatnya mencapai buah memasuki-arus. Kāḷaka kemudian membangun sebuah vihara di tamannya dan mempersembahkan vihara dan taman itu kepada Sang Buddha. Suatu hari, ketika para bhikkhu yang adalah para penduduk Sāketa sedang duduk di aula pertemuan membahas keberhasilan Sang Buddha dalam mengkonversi Kāḷaka, Sang Buddha membaca pikiran mereka dan mengetahui bahwa mereka telah siap untuk mendengarkan khotbah yang akan mengantarkan mereka menuju Kearahattaan. Hal ini juga menyebabkan bumi berguncang hingga ke batasnya. Karena itulah Beliau memanggil para bhikkhu.

662 > Mp: “Ketiga kata ini (jānāmi, abbhaññāsiṃ, viditaṃ) menunjukkan bidang kemahatahuan (sabbaññutabhūmi).” Dalam sejarah Buddhisme, serta dalam pelajaran moden, pertanyaan apakah Sang Buddha mengaku maha-tahu telah menjadi topik perdebatan. Sang Buddha secara tegas menolak klaim bahwa seseorang dapat mengetahui segala hal sepanjang waktu (baca MN 71.5, I 482,4-18) serta klaim bahwa seseorang dapat mengetahui segala hal pada saat bersamaan (baca MN 90.8, II 127,28-30). Dengan demikian tampaknya bahwa apa yang ditolak oleh Sang Buddha adalah kemungkinan pengetahuan segala hal terus-menerus dan bersamaan, tetapi bukan pengetahuan disktrit yang disengaja atas segala sesuatu yang dapat diketahui (yang tidak termasuk banyak hal di masa depan, karena belum terjadi).

663 > Taṃ tathāgato na upaṭṭhāsi. Mp: “Sang Tathāgata tidak tunduk pada objek apa pun di enam pintu indria, yaitu, ia tidak menerimanya (na upagañchi) melalui ketagihan atau pandangan. Karena dikatakan: “Sang Bhagavā melihat bentuk dengan mata, tetapi Beliau tidak menginginkan dan bernafsu pada bentuk itu; Sang Bhagavā sepenuhnya terbebaskan dalam pikiran … Sang Bhagavā mengenali fenomena dengan pikiran, tetapi Beliau tidak menginginkan dan bernafsu pada pikiran itu’ (baca SN 35:232, IV 164-65). Ini menunjukkan bidang Kearahattaan (khīṇāsavabhūmi).”

664 > Taṃ p’assa tādisameva. Mp: “Itu juga adalah ucapan salah.”

665 > Taṃ mam’assa kali. Mp: “Pernyataan itu adalah pelanggaranKu. Ketika pernyataan di atas menunjukkan bidang kejujuran (saccabhūmi).

666 > Mp: “Beliau tidak salah memahami (na maññati) objek terlihat melalui ketagihan, keangkuhan, atau pandangan; dan demikian pula untuk objek-objek lainnya. Kalimat ini menjelaskan bidang kekosongan (suññatābhūmi).”

667 > Kata tādī, aslinya adalah sebuah kata hormat yang bermakna “orang itu,” mendapat makna khussu ketika digunakan untuk menunjuk Sang Buddha atau seorang Arahant. Nidd I 114-15 menjelaskan bahwa seorang Arahant disebut tādī karena ia telah melampaui preferensi-preferensi, melepaskan (catto) kekotoran-kekotoran, menyeberangi (tiṇṇo) banjir, dan memiliki pikiran yang terbebaskan (mutto).

Mp: “Dengan senantiasa stabil … adalah seorang yang stabil (tādīyeva tādī): ‘Stabil’ bermakna persis sama (ekasadisatāi). Sang Tathāgata adalah sama baik dalam hal keuntungan maupun kerugian, kemasyhuran dan ketidak-masyhuran, celaan dan pujian, dan kenikmatan dan kesakitan … ini menjelaskan bidang seorang yang stabil (tādibhūmi). Ketika Beliau menurup ajaran ini dengan kelima bidang ini, pada tiap-tiap pembabarannya bumi ini berguncang sebagai saksi.”

668 > Saya memparafrasekan penjelasan Mp atas syair ini: “Beliau tidak akan menerima bahkan satu klaim dari para penganut teori spekulatif (diṭṭhigatikā) – yang ‘dibatasi oleh diri sendiri’ (sayasaṃvitesu) dalam makna bahwa mereka terbatasi atau terblokir oleh konsepsi-konsepsi mereka – secara tegas atau tertinggi dan mempercayainya, meyakininya, mundur kembali padanya sebagai benar atau salah (evaṃ saccaṃ musā vāpi paraṃ uttamaṃ katvā na odaheyya, na saddaheyya, na pattiyāyeyya), dengan berpikir: ‘Hanya ini yang benar dan yang lainnya adalah salah.’” Penjelasan ini secara tepat menghubungkan syair ini dengan kalimat dalam prosa. “Sang Tathāgata tidak tunduk padanya.”

669 > Mp mengidentifikasikan “anak panah” sebagai anak panah pandangan-pandangan (diṭṭhisalla). Di tempat lain ketagihan dikatakan sebagai anak panah, misalnya, pada MN II 258,27 dan SN I 40,7; dalam paragraf lain lagi, anak panah adalah kesedihan, seperti pada 5:48, 5:50.

670 > Saṃvaratthaṃ pahānatthaṃ virāgatthaṃ nirodhatthaṃ. Empat tujuan kehidupan spiritual ini, tampaknya adalah alasan untuk memasukkan sutta ini dalam Kelompok Empat.

671 > Mp mengemas nibbānogadhagāminaṃ sebagai nibbānassa antagāminaṃ, “menuntun menuju nibbāna.”

672 > Seluruh tiga edisi yang saya pelajari menuliskan mahantehi, tetapi saya lebih menyukai tulisan pada It §35, 28,17, mahattehi, yang dikemas oleh It-a I 112,25, mahāātumehi uḷārajjhāsayehi, “oleh makhluk-makhluk agung, oleh mereka yang berwatak luhur.”

673 > Sutta ini juga muncul sebagai It §108, 112-13. Pembagian saya atas sutta ini menjadi empat bagian adalah dugaan, tetapi terlepas dari hal ini tidak ada skema empat yang terlihat.

674 > Na me te bhikkhave bhikkhū māmakā. Mp. “Mereka bukanlah bhikkhuKu; mereka bukan bagian dari Aku” (te mayhaṃ bhikkhū mama santakā na honti).

675 > Pūtimuttaṃ. Ada kepercayaan dalam pengobatan tradisional ayurveda bahwa air kencing sapi di mana kacang empedu direndam memiliki kekuatan pengobatan. Tetapi Mp mengatakan bahwa segala jenis air kencing termasuk, “karena seperti halnya tubuh berwarna keemasan disebut tubuh yang kotor, demikian pula bahkan air kencing yang baru disebut air kencing yang busuk.”

676 > Disā na paṭihaññati. Lit. “Daerah [atau wilayah] yang tidak terhalangi.” Tetapi disā mungkin merupakan bentuk instrumental yang terpotong, dengan paṭihaññati merujuk pada bhikkhu. Dengan demikian “ia tidak terhalangi oleh [atau ‘di’] mana pun.”

677 > Saya dengan Ce membaca bhikkhuno, tidak seperti Be dan Ee sikkhato, “seorang yang dalam latihan.”

678 > Ini adalah salah satu khotbah yang paling terkenal dalam tradisi Theravāda. Di Sri Lanka, selama masa Anurādhapura, khotbah ini sering digunakan sebagai topik untuk suatu upacara panjang yang menjadi puncak sebuah festival; baca Rahula 1956: 268-73. Mp menjelaskan “silsilah mulia” (ariyavaṃsā) sebagai silsilah para mulia; semua Buddha, paccekabuddha, dan para siswa Sang Buddha.

679 > Mp menjelaskan kepuasan atas tiap-tiap benda kebutuhan melalui tiga jenis kepuasan. Baca p.1600, catatan 55.

680 > Mp: “Menemukan kesenangan dalam pengembangan (bhāvanārāmo): ia bersenang dalam mengembangkan empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, dan lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, tujuh perenungan, delapan belas pandangan terang agung, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan, dan tiga puluh delapan objek meditasi. Menemukan kesenangan dalam meninggalkan (pahānārāmo): Ia bersenang dalam meninggalkan kekotoran-kekotorann kenikmatan indria dan seterusnya.”

681 > Membaca bersama Be dan Ee dhīraṃ. Ce menuliskan vīraṃ dalam pāda a dan b, tetapi dhīro dalam pāda c dan d.

682 > Mp mengatakan bahwa pāda b menjelaskan pāda a. karena ketidak-puasan tidak mampu menaklukkan yang teguh, tidak dapat mengatasinya, oleh karena itu ketidak-puasan tidak menaklukkan yang teguh.

683 > Dhammapadāni. Mp: “Porsi Dhamma” (dhammakoṭṭhāsāi).

684 > Baca p.1646, catatan 416.

685 > Kedua pengembara ini juga disebutkan dalam MN 117.37, III 78,13, dan SN 22:62, III 73,3. Kami tidak memiliki informasi lain tentang mereka selain dari apa yang dikatakan di sini.

686 > Tiga dari empat “roda” (cakkāni) disebutkan dalam Sn 260. roda ke empat, “mengandalkan orang-orang baik” bersesuaian dengan “bergaul dengan para bijaksana” (paṇḍitanañca sevanā) pada Sn 259.

687 > Kata Saṅgaha secara literal berarti “menyertakan, menggabungkan, menyatukan,” dari awalan saṃ + gaha, “menggenggam, mencengkeram.” Kata kerja dari mana kata benda ini diturunkan adalah saṅgaṇhāti, dari saṃ, “bersama,” dan gaṇhāti, “mencengkeram, menggenggam.” Keempat saṅgahavatthu adalah cara-cara yang dengannya seseorang dapat menarik orang lain dan memelihara hubungan dengan mereka yang dikarakteristikkan sebagai persahabatan dan penghormatan.

Keempat itu dalam Pāli adalah dāna, peyyavajja, atthacariyā, samānattatā. Untuk dapat menangkap nuansa ganda dari saṅgaha terpaksa menggunakan dua kata, “menarik dan memelihara.” PED menjelaskan saṅgaha, dalam makna yang relevan, sebagai “keramahan, simpati, persahabatan, bantuan, perlindungan, kebaikan,” dan mengartikan saṅgahavatthu sebagai “(karakteristik-karakteristik) objek simpati.” SED mendefinisikan bentuk Skt saṃgrahavastu sebagai “elemen popularitas,” dan BHSD sebagai “komponen penarikan, yang bermakna yang dengannya seorang Buddha atau (lebih sering dalam BHS) seorang Bodhisatta menarik makhluk-makhluk pada diriNya dan pada kehidupan religius.” Walaupun keempat sosok secara menonjol terdapat dalam sūtra-sūtra Mahāyāna, namun mereka juga ditemukan dalam Nikāya-nikāya kuno.

Mp: “Beberapa orang harus dipelihara dengan pemberian, maka pemberian harus diberikan kepada mereka. Orang lainnya mengharapkan kata-kata yang menyenangkan, maka mereka harus diberikan kata-kata yang menyenangkan. Perilaku murah hati adalah sebuah khotbah tentang meningkatkan kebaikan; orang-orang ini harus diberitahu, ‘Engkau harus melakukan ini, engkau tidak boleh melakukan itu. Engkau harus bergaul dengan orang ini, bukan dengan orang itu.’ Tidak membeda-bedakan adalah kesamaan dalam kebahagiaan maupun penderitaan. Ini berarti duduk bersama mereka, hidup bersama, dan makan bersama.” Dalam versi Skt atas keempat faktor ini faktor ke empat sering kali disebut samānārtha (yang dalam Pāli adalah samānattha), “memiliki tujuan yang sama” atau “memiliki manfaat yang sama.”

688 > “Penjelmaan diri” (sakkāya); kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Baca MN 44.2, I 299,8-14; SN 22:105; III 158,3-4.

689 > Mp: “’Sebagian besar’ (yebhuyyena) dikatakan untuk mengecualikan para deva itu yang adalah para siswa mulia. Walaupun mereka mengalami desakan pengetahuan (ñāṇasaṃvega), namun tidak ada ketakutan sama sekali yang muncul pada para Arahant, karena mereka telah mencapai apa yang harus dicapai melalui usaha seksama. Para deva lain, ketika mereka memperhatikan ketidak-kekalan, mereka mengalami baik ketakutan maupun ketakutan pikiran (cittutrāsabhaya) dan, pada saat pandangan terang yang kuat, mengalami ketakutan kognitif (ñāṇabhaya).” “Ketakutan kognitif” mungkin adalah tingkat pandangan terang yang disebut “pengetahuan penampakan sebagai menakutkan” (bhayat’upaṭṭhānañāṇa; baca Vism 645-47, Ppn 21.29-34).

690 > Mp: “Termasuk dalam penjelmaan diri (sakkāyapariyāpannā): termasuk dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah, ketika Sang Buddha mengajarkan kepada mereka Dhamma yang disegel dengan ketiga karakteristik, mengungkapkan cacat-cacat dalam lingkaran penjelmaan, maka ketakutan kognitif merasuki mereka.”

691 > Yāvatā bhikkhave dhammā saṅkhatā vā asaṅkhatā vā. Dalam Nikāya-nikāya, satu-satunya dhamma yang secara eksplisit dikatakan sebagai tidak terkondisi adalah nibbāna. Semua dhamma lainnya, pikiran dan materi, adalah terkondisi. Dengan demikian yang terbaik dari segala dhamma terkondisi adalah jalan mulia berunsur delapan, yang menuntun menuju yang tidak terkondisi.

692 > Aggassa dātā. It-a II 111,5-7, menjelaskan bahwa bentuk datif-negatif aggassa dapat dipahami sebagai menunjuk baik kepada si penerima pemberian atau pun kepada benda yang diberikan: “Seorang pemberi yang memberikan kepada yang terunggul: seorang pemberi kepada Tiga Permata, yang adalah yang terunggul; atau seseorang yang menghasilkan jasa dengan memberikan pemberian tertinggi dari benda yang terunggul” (aggassa ratanattayassa dātā, atha vā aggassa deyyadhammassa dānaṃ uḷāraṃ katvā tattha puññaṃ pavattetā).

693 > Mp mengatakan bahwa metode mulia (ariyañāya) adalah sang jalan bersama dengan pandangan terang, dan “kebaikan Dhamma” (kalyāṇadhammatā) dan “kebermanfaatan Dhamma” (kusaladhammatā) adalah sebutannya.

694 > Baca p.1647, catatan 428

695 > Ini adalah salah satu dari tiga puluh dua tanda manusia luar biasa, dikatakan sebagai konsekuensi karma  karena hidup demi kebahagiaan banyak orang,menghalau ketakutan dan terror, memberikan perlindungan dan naungan selayaknya, dan menyediakan segala kebutuhan. Baca DN 30.1.7, III 147-49.

696 > Mp menginterpretasikan percakapan pada kedua pihak sebagai merujuk pada masa depan: sang brahmana bertanya tentang kelahiran kembali Sang Buddha di masa depan dan Sang Buddha menjawab sehubungan dengan kelahiran kembali di masa depan. Akan tetapi, ketika saya membaca percakapan itu, ada terlihat suatu keterlibatan permainan kata yang halus. Sang brahmana menggunakan bentuk masa depan bhavissati sebagai cara sopan untuk bertanya tentang masa kini, yang saya terjemahkan “Apakah engkau adalah?” (Bhavissanti digunakan di atas dalam cara ini, secara negatif, dalam kalimat, na vat’imāni manussabhūtassa padāni bhavissanti, “Ini tidak mungkin …”) Tetapi Sang Buddha menggunakan bentuk masa depan secara literal and dengan demikian dalam setiap kasus menjawab, “Aku tidak akan menjadi” (na bhavissāmi), merujuk pada takdirNya di masa depan. Dua paralel China, SĀ 101 (pada T II 28a19-28b17) dan EĀ 38.3 (pada T II 717c18-718a12), menerjemahkan keseluruhan percakapan ini sebagai berhubungan dengan masa sekarang. Sang brahnana bertanya kepada Sang Buddha apakah Beliau adalah (MANDARIN) deva, nāga, dan seterusnya, manusia, atau bukan manusia, dan Sang Buddha hanya membantah (MANDARIN) bahwa Beliau adalah salah satu dari itu. Tidak ada referensi pada masa depan.

697 > Gandhabba adalah makhluk surgawi yang kadang-kadang digambarkan sebagai musisi para deva. Yakkha adalah makhluk ganas yang terkenal dengan sifat perusaknya.

698 > Kata kerja abbaje di sini adalah bentuk optatif dari abbajati (Skt āvrajati). Baca DOP sv abbajati.

699 > Mp: “Di akhir khotbah itu, sang brahmana mencapai tiga jalan dan buah dan, dalam 12,000 frasa, mengucapkan pujian yang disebut ‘Gelegar Doṇa.’ ketika kegemparan hebat pecah setelah wafatnya Sang Buddha, ia menenangkannya dan membagikan relic-relik” (pada DN 16.6.25, II 166).

700 > Yaitu, aku akan mengakhiri ketidak-nyamanan lama berupa rasa lapar tanpa menciptakan ketidak-nyamanan baru dengan makan berlebihan.

701 > Saya menganggap dhammaṃ di sini mewakili Skt dhammān, bentuk akusatif jamak. Penggunaan demikian tidak jarang dalam syair Pāli.

702 > Syair ini identik dengan Dhp 32.

703 > Patilīno. MP mengemas sebagai “tersembunyi, masuk ke dalam keterasingan” (nilīno ekībhāvaṃ upagato).

704 > Panuṇṇapaccekasacco. Mp mengemas sebagai “kebenaran-kebenaran pandangan (diṭṭhisaccāni) disebut ‘pribadi’ karena masing-masing memegangnya secara individual, memaksakan ‘Hanya ini yang benar, hanya inilah kebenaran.’”

705 > Bersama Be membaca savvāni nuṇṇāni honti panuṇṇāni honti cattāni vantāni muttāni pahīnāni, paṭinissaṭṭhāni. Ini juga tulisan pada Ce dan Ee pada paragraf yang sama dalam 10:20.

706 > Mp: “Pencarian kehidupan spiritual (brahmacariyesanā) terdapat dalam aspirasi yang muncul sebagai berikut, ‘Aku akan pergi, mencari kehidupan spiritual.’ Ini mereda dan ditenangkan melalui jalan Kearahattaan. Tetapi pencarian kehidupan spiritual dalam bentuk pandangan-pandangan (diṭṭhibrahmacariyesanā) mereda pada jalan memasuki-arus.

707 > Aktivitas jasmani (kāyasaṅkhāra) di tempat lain didentifikasikan dengan nafas masuk-dan-keluar, yang lenyap pada jhāna ke empat. Baca 9:31 §4. Baca juga MN 44.15; I 301,19-21; SN 41:6, IV 293,16-17.

708 > Mp: “Genggaman erat ‘Demikianlah kebenaran’ (iti saccaparāmāso) adalah genggaman konsepsi-konsepsi seperti ‘Demikianlah kebenaran, demikianlah kebenaran.’ Sudut-sudut pandang (diṭṭhiṭṭhāna) adalah hanya pandangan-pandangan, disebut ‘membengkak’ (samussayā) karena membengkak besar (samussitattā), karena tumbuh dan bertahan.”

709 > Niccadānaṃ anukulayaññaṃ. Mp menjelaskan anukulayaññaṃ sebagai pengorbanan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kebiasaan keluarga, atas dasar bahwa pengorbanan itu diberikan oleh ayah dan kakek dan seterusnya. Tentang niccadānaṃ anukulayaññaṃ sebagai lebih tinggi daripada pengorbanan binatang, baca khususnya DN 5.22-23, I 144, yang hampir dapat dianggap sebagai penjelasan dari sutta sekarang ini.

710 > Pembagian saya ke dalam empat bagian adalah spekulatif. Terlepas dari hal ini, saya tidak melihat dasar apa pun untuk memasukkan sutta ini ke dalam Kelompok Empat.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #45 on: 15 February 2013, 06:17:08 AM »
711 > Ini adalah pengorbanan Veda.

712 > Saya mengikuti Ce dan Be, yang menempatkan niraggaḷaṃ dalam pāda b dan memasukkan mahāyaññā dalam pāda c. Ee tidak mencantumkan mahāyaññā, tetapi dua paralel China memsukkan sebuah kata majemuk yang bersesuaian dengan kata ini: SĀ 89 (pada T IIc19) menuliskan (MANDARIN), secara lebih literal “pertemuan besar,” dan SĀ2 89 (pada T II 404b4) menuliskan (MANDARIN), di mana (MANDARIN) berarti “mengorbankan kepada para dewa atau leluhur.” Mp menjelaskan mahārambhā: “Dengan tugas-tugas besar, pekerjaan-pekerjaan besar; lebih jauh lagi, itu adalah ‘kekejaman besar’ karena banyaknya pembunuhan.”

713 > Tulisan dari kata yang rumit ini bervariasi di sana-sini dalam Nikāya-nikāya. Di sini, Ce menuliskan vivattacchaddā, Be vivaṭacchadā, Ee vivattacchadā. Ungkapan ini sering muncul dalam kalimat umum tentang dua perjalanan yang tersedia bagi seseorang yang memiliki tiga puluh dua tanda manusia luar biasa: jika ia menetap di rumah, maka ia akan menjadi raja pemutar-roda, tetapi jika ia meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi seorang Budha yang tercerahkan sempurna, yang digambarkan sebagai “seorang di dunia yang vivaṭacchado” (variasi: vivaṭṭacchado, vivaṭṭacchaddo, vivattachaddo). Baca misalnya DN 3.1.5, I 89,8-9; DN 14.1.31, II 16, 8-9; DN 30.1.1, III 142,4; MN 91.5, II 134,28; Sn 106. Walaupun asal-usul kata ini dan makna pastinya agak problematik, namun komentar-komentar secara konsisten menganalisis dan menjelaskannya dengan cara yang sama. Karena Mp (pada sutta sekarang ini) tidak memberikan penjelasan, maka saya mengutip komentar Dīgha Nikāya, Sv I 250,3: “Vivaṭṭacchado: Di sini, setelah menyingkap selubung di dunia ini (loke taṃ chadanaṃ vivaṭṭetvā), dalam kegelapan kekotoran yang tertutup oleh tujuh selubung (chadanehi): nafsu, kebencian, delusi, keangkuhan, pandangan, ketidak-tahuan, dan perbuatan buruk.”

Komentar kanonis kuno, Cūlaniddesa, dengan mengomentari Sn 1147, mengatakan: “Vivaṭacchado: ada lima selubung (chadanāni): ketagihan, pandangan, kekotoran, perbuatan buruk, ketidak-tahuan. Selubung-selubung itu telah disingkirkan (vivaṭāni) oleh Sang Buddha Yang Suci; selubung-selubung itu telah dihalau, dicabut, ditinggalkan, dilenyapkan, diusir, ditenangkan, dibakar oleh api pengetahuan sehingga tidak dapat muncul. Oleh karena itu Sang Buddha adalah seorang yang telah menyingkap selubung-selubung” (Nidd II 251,18-22; edisi VRI 204).

Norman (1991: 71-76) mengusulkan bahwa ungkapan Pāli itu harus diturunkan dari bentuk BHS vighuṣṭaśabda dan dengan demikian bermakna “seorang dengan kemasyhuran luas.” Dalam karya belakangan (2006b: 228-29) ia mengubah posisinya, dengan menyebutkan: “walaupun saya benar dalam melihat hubungan antara kata-kata Pāli dan Skt, namun arah pengembangannya terbalik, dan harus merepresentasikan Sanskritisasi berlebihan dari vivattacchadda.” Pada Sn 372 dan di tempat lain ia menerjemahkan ini “dengan kebohongan dilenyapkan.”

Para penerjemah Āgama dari China pasti telah bekerja dengan teks yang bertuliskan  vighuṣṭaśabda atau beberapa variasi dengan makna yang sama. Dengan demikian sebuah paralel dari 4:40, SĀ2 90 (pada T II 404c6) menuliskan (MANDARIN), “yang namanya terdengar hingga sangat jauh.” Paralel dari DN 30, MĀ 59 (pada T I 493b7-8), menuliskan: (MANDARIN); “Beliau pasti menjadi seorang Tathāgata, tidak melekat (=Arahant), tercerahkan sempurna, yang namanya menyebar dan terdengar di sepuluh penjuru.” MĀ 161, paralel dari MN 91, menuliskan yang sama pada T I 685b2-4. Walaupun berbagai dugaan dapat diusulkan sehubungan dengan ungkapan asli dan maknanya, karena sulitnya memecahkan pertanyaan ini melalui tradisi-tradisi tekstual Buddhis, maka jalan yang paling bijaksana yang memungkinkan bagi saya adalah menerjemahkan kata itu sesuai apa yang telah dilestarikan dan diinterpretasikan dalam tradisi Pāli.

714 > Tulisan di sini agak bervariasi. Ce dan Be menuliskan vītivattā kulaṃ gatiṃ, “yang telah melampaui keluarga dan takdir.” Ee menuliskan kata majemuk bahubbīhi, vītivattakālaṃgatī, dengan lebih banyak lagi variasi dalam catatan. Mp (Be) menuliskan kulaṃ gatiṃ dalam lema, tetapi Mp (Ce) menuliskan kālaṃ gatiṃ. Terjemahan saya mengikuti Ee. Perhatikan bahwa dalam 5:55, pada III 69,10, kālaṃ dan gatiṃ berdekatan persis, yang mendukung dugaan bahwa di sini juga kita seharusnya membaca kāla- / kālaṃ.

715 > Saya bersama dengan Be membaca yaññassa kovidā, tidak seperti Ce dan Ee puññassa kovidā, “terampil dalam jasa.” Mp (Be) dan Mp (Ce) menunjukkan perbedaan yang sama dalam lema dan kemasan. Dua paralel China bersesuaian dengan Be. SĀ 90 (pada T II 23a11) menuliskan (MANDARIN), “Sang Buddha yang terampil dalam pengorbanan,” dan SĀ2 90 (pada T II 404c8) (MANDARIN), “ini adalah pengorbanan yang baik dan jalan pengorbanan yang dipuji oleh para Buddha.”

716 > Pāli menuliskan atthi bhikkhave samādhibhavanā bhāvitā bahulīkatā diṭṭhadhammasukhavihārāya saṃvattati, lit. “ada, para bhikkhu, pengembangan konsentrasi yang, ketika dikembangkan dan dilatih, mengarah pada kediaman berbahagia dalam kehidupan ini.” Karena dalam Bahasa Inggris “ketika dikembangkan dan dilatih” akan menjadi pengulangan yang berlebihan, maka saya telah menghilangkannya agar lebih sesuai dengan gaya Bahasa Inggris yang wajar. Hal yang sama berlaku untuk masing-masing dari ketiga pengembangan konsentrasi lainnya.

717 > Jelas bahwa ini merujuk pada pencapaian jhāna-jhāna apakah oleh seorang yang tidak menggunakannya untuk mengembangkan pandangan terang, atau oleh seorang Arahant, yang memasuki jhāṅa-jhāna hanya untuk berdiam dengan nyaman. Di tempat lain jhāna-jhāna dikatakan mengarah pada hancurnya noda-noda. Ce menuliskan vuccati pada bagian ini tetapi tidak dalam kalimat-kalimat paralel dari tiga bagian selanjutnya. Ee melakukan sebaliknya, menghilangkan viccati di sini tetapi memasukkannya dalam ketiga bagian selanjutnya. Be menghilangkan viccati dalam seluruh empat bagian.

718 > Mp menjelaskan “pengetahuan dan penglihatan” dalam konteks ini sebagai mata dewa (dibbacakkhuñāṇadassanassa paṭilābhāya). Di tempat lain kata ini digunakan dengan makna pengetahuan pandangan terang atau bahkan pencerahan penuh.

719 > Yathā divā tathā rattiṃ, yathā rattiṃ tathā divā. Mp: “Seperti halnya ia memperhatikan persepsi cahaya di siang hari, demikian pula ia memperhatikannya di malam hari; dan demikian pula sebaliknya.”

720 > Mp: “Bagaimanakah perasaan-perasaan diketahui pada saat munculnya, dan seterusnya? Di sini, seorang bhikkhu memahami landasannya (vatthu, organ indria) dan objeknya (ārammaṇa). dengan memahami landasan dan objeknya, ia mengetahui: ‘Demikianlah perasaan-perasaan itu telah muncul; demikianlah berlangsungnya; demikianlah lenyapnya.’ Metode yang sama berlaku pada persepsi-persepsi dan pikiran-pikiran.

721 > Sn 1048, juga dikutip pada 3:33.

722 > Baca 3:67 dan p.1654, catatan 464.

723 > Juga terdapat pada SN 2:26, I 61-62.

724 > Daḷhadhammā. Akhiran –dhamma di sini adalah bentukan Pāli dari Skt dhamvan, “memiliki busur.” Karena itu kemasan oleh Mp: “Busur kokoh berarti memiliki busur dengan ukuran maksimum” (daḷhadhanu uttamappamāṇena dhanunā samannāgato).

725 > Dhanuggaho sikkhito katahattho katūpāsano. Mp menjelaskan dhanuggaho sebagai seorang guru memanah, sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan keahliannya. Baca juga p.1831, catatan 1935; baca juga CDB 393, catatan 181, dan CDB 819, cataatn 365.

726 > Mp: “Ajaran yang baik adalah tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan. Ajaran yang buruk adalah enam puluh dua pandangan spekulatif.”

727 > Sutta ini juga terdapat pada SN 21:7, II 280. Tidak ada skema empat yang terlihat, dan dengan demikian saya tidak dapat menentukan alasan untuk memasukkannya ke dalam Kelompok Empat.

728 > Saya bersama dengan Be dan Ee membaca nibhāsamānaṃ jananti, tidak seperti Ce na bhāsamānaṃ jānanti. Konteks ini jelas memerlukan yang pertama. Paralel China SĀ 1069 (pada T II 277c12) mendukung hal ini dengan (MANDARIN), “jika ia tidak membicarakan Dhamma.”

729 > Saññāvipallāso, cittavipallāso, diṭṭhivipallāsoi. Vipallāsa adalah bentuk vi + pari + āsa, “dibalikkan.” Kata-kata ini diperlakukan dalam hal meninggalkan dan tidak meninggalkan pada Paṭis II 80-81.

730 > Saya bersama dengan Ce dan Ee membaca dukkhe bhikkhave sukhan ti saññāvipallāso, tidak seperti Ee adukkhe bhikkhave dukkhan ti saññāvipallāso.

731 > Saya bersama dengan Ce dan Ee membaca micchādiṭṭhigatā, tidak seperti Be micchādiṭṭhihatā. Tetapi saya mengikuti pembagian syair dari Be bukan dari Ce.

732 > Mp mengemas mahikā sebagai himaṃ, “salju,” tetapi PED menawarkan “kabut, embun beku,” yang tampak lebih baik.

733 > Di antara keempat upakkilesa ini, meminum minuman keras oleh para bhikkhu dilarang dalam Pācittiya 51; hubungan seksual dalam Pārājika 1; menerima emas dan perak (serta media pertukaran uang lainnya) dalam Nissaggiya-pācittiya 18. berbagai jenis penghidupan salah dilarang untuk kaum monastik Buddhis diuraikan dalam DN 2.1.21-27, I 67-69. baca juga MN 117.29, III 75,11-14.

734 > Saya bersama dengan Be membaca asuddhā sarajā magā.

735 > Di sini, keempat arus jasa dijelaskan dalam hal empat barang kebutuhan: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mp jelas keliru dalam kata turunan sovaggika, dengan menurunkannya dari saṭṭhu aggānaṃ rūpādīnaṃ dāyakā. Kata ini seharusnya diturunkan dari saga (Skt svarga), alam surga. Tetapi Mp pada 4:61 memberikan turunan yang benar, baca p.1691, catatan 746.

736 > Appamāṇaṃ cetosamādhiṃ. Mp: “Konsentrasi buah Kearahattaan” (arahattaphalasamādhi).

737 > Juga terdapat pada SN 55:31, V 391, tanpa syair, dan pada SN 55:41, V 399-400, dengan syair yang sama seperti 4:51.

738 > Syair-syair ini juga terdapat pada SN 11:14, I 232; SN 55:26, V 384; dan SN 55:51, V 405.

739 > Chava, lit. mayat. Mp: “Orang demikian disebut mayat karena ia mati karena kematian kualitas-kualitas bermoralnya.”

740 > Tentang Nakulapitā dan Nakulamātā, baca 1:257, 1:266, 6:16.

741 > Pada 1:263 ia dinyatakan sebagai yang terunggul di antara para pemberi yang memberikan benda-benda yang baik.

742 > Mp mengidentifikasikan “para pengenal dunia” (lokavidhūna) sebagai para Buddha.

743 > Ee agak menyesatkan di sini. Pertama, Ee memotong secara keliru, dan kemudian menambahkan paccupaṭṭhito hoti di akhir. Pemotongan dalam Ce dan Be menunjukkan bahwa objek tidak langsung (benda yang diberikan) didahului oleh paccupaṭṭhito, dan keduanya tidak mencantumkan paccupaṭṭhito di akhir. Dengan demikian dalam Ce dan Be tidak ada frasa terpisah yang menunjukkan bahwa umat awam hanya sekedar melayani Saṅgha tanpa menyebutkan barang yang sedang dipersembahkan.

744 > Saha ñātīhi saha upajjhāyehi. Dalam budaya monastik Buddhis, seorang upajjhāya seorang bhikkhu senior yang memimpin upacar penahbisan seseorang. Demikianlah penggunaan kata itu di sini, dalam konteks non-monastik, hal ini tidak lazim. Mp menjelaskan kata ini dalam paragraf ini seolah-olah bermakna teman-teman, “karena teman-teman harus mempedulikan kebahagiaan dan penderitaan seseorang (sukhadukkhesu upanijjhāyitabbattā),” tetapi penjelasan ini bergantung pada permainan kata yang tidak meyakinkan. Upajjhāya tidak berhubungan dengan kata kerja upanijjhāyati (Skt upanidhyāyati), “memikirkan, mempertimbangkan,” melainkan dengan kata ajjheti (Skt adhyeti), “mempelajari, belajar dari (seorang guru).”

745 > Ce dan Ee āpāthadaso; Be āpātadaso. Mp (Ce): “Ia melihat apa pun yang masuk dalam jangkauan, bahkan sebuah materi kecil yang masuk dalam jangkauan” (taṃ taṃ atthaṃ āpātheti tameva passati, sukhumampussa atthajātaṃ āpāthaṃ āgacchatiyevā ti attho).

746 > Di sini Mp mengoreksi turunan sovaggika dari saga: Saggassa hitā ti tatr’upapattijananato sovaggikā.

747 > Saya membagi syair ini dan syair berikutnya sesuai dengan syair-syair yang bersesuaian pada 5:51. karena Ce disunting oleh beberapa penyunting yang jelas tidak saling bekerja sama, syair-syair yang sama dalam jilid berbeda kadang-kadang dibagi  secara berbeda. Pembagian yang digunakan dalam 5:51, yang mengelompokkan beberapa penerapan kekayaan, tampaknya sesuai dengan makna yang lebih baik.

748 > Dalam Pāli: atthisukha, bhogasukha, anaṇasukha, anavajjasukha. Mp: “Pertama adalah kebahagiaan yang muncul dalam pikiran, ‘Ada (atthi, yaitu, kekayaan)’; kedua adalah kekayaan yang muncul pada seseorang yang menikmati kekayaan; ke tiga adalah kekayaan yang muncul dalam pikiran, ‘aku tanpa hutang,’; ke empat adalah kebahagiaan yang muncul dalam pikiran, ‘aku tanpa cacat, tanpa cela.’”

749 > Bersama dengan Ce dan Ee membaca sare, bukan seperti Be paraṃ.

750 > Bersama dengan Ce dan Ee membaca bhāge, bukan seperti Be bhoge.

751 > Mp: “Beliau membagi jenis-jenis kebahagiaan dalam dua bagian. Tiga jenis pertama membentuk bagian pertama, kebahagiaan ketanpa-celaan adalah satu bagian tersendiri. Kemudian ia melihat dengan kebijaksanaan dan mengetahui bahwa ketiga jenis kebahagiaan pertama secara keseluruhan adalah tidak ada seper enam belas bagian dari kebahagiaan ketanpa-celaan.”

752 > Satu paralel yang diperluas dari 3:31. paralel lainnya adalah It 106, 609-11.

753 > Nomor sutta yang terpisah tidak terdapat dalam Ee, yang memberikan kesan bahwa sutta ini adalah lanjutan dari sutta sebelumnya.

754 > Yang pertama, tampaknya, adalah mereka yang berkeyakinan pada seorang guru spiritual karena bentuk fisiknya (rūpa) yang mengesankan, yaitu, kecantikannya. Yang ke dua adalah mereka yang berkeyakinan dengan berdasarkan pada ucapan yang mengesankan (ghosa, mungkin “suara,” suara yang merdu dan menenangkan); yang ke tiga, mereka yang berkeyakinan dengan berdasarkan pada latihan keras sang guru (lūkha; Mp memberikan contoh menggunakan jubah kasar dan mangkuk kasar); dan yang ke empat, mereka yang berkeyakinan pada sang guru karena ajarannya (dhamma). Mp mengatakan bahwa satu dari 100,000 orang mendasarkan keyakinan mereka pada ajaran sang guru.

755 > Bersama dengan Be membaca nābhijānanti te janā.

756 > Bersama dengan Ce membaca mohena adhammā sattā, tidak seperti Be mohena āvutā sattā. Ee mohena adhamasatta adalah bermakna sama dengan Ce.

757 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca kuplet ke dua yathādhammā tathāsantā na tass’evan ti maññare. Ce membaca pāda d: nassevanti na maññare. Mp: “Sesuai dengan sifat mereka: Mereka yang memiliki sifat di mana kualitas-kualitas seperti nafsu, dan seterusnya, masih ada; setelah memiliki sifat demikian. [Mereka] tidak berpikir demikian: Mereka tidak berpikir sebagai berikut: ‘Kami eksis dengan cara demikian, kami memiliki sifat demikian’” (yathādhammā tathāsantā ti yathā rāgādayo dhammā ṭhita, tathā sabhāvā’va hutvā; na tass’evan ti maññare ti mayaṃ evaṃsantā evaṃsabhāvā ti tassa na maññāre, na maññantī ti attho[/i]).

758 > Kejadian ini juga tercatat dalam Vin II 109-10.

759 > Imāni cattāri ahirājakulāni. Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan [ular-ular] itu yang gigitannya berbisa. Karena semua ular berbisa termasuk dalam empat keluarga kerajaan ular ini.”

760 > Be menyusun pernyataan ini dalam bentuk syair, tetapi saya mengikuti Ce dan Ee dengan menganggapnya sebagai prosa. Ini adalah pernyataan kebenaran (saccakiriya) dan, karena itu, menjadi bagian dari syair-syair, tetapi karena tidak ada irama yang terlihat, maka ini tidak menyerupai syair yang sesungguhnya. Pernyataan ini biasanya diucapkan oleh para bhikkhu hutan sebagai perlindungan dari gigitan ular. Syair ini sering dimasukkan dalam pembacaan harian mereka.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #46 on: 15 February 2013, 06:18:07 AM »
761 > Sutta ini, termasuk syairnya, juga terdapat pada SN 17:35, II 241, dengan tambahan khotbah tentang bahaya dari perolehan, kehormatan, dan pujian. Baca juga Vin II 187-88.

762 > Saya tidak dengan jelas melihat alasan untuk memasukkan sutta ini dalam Kelompok Empat. Saya hanya dapat menduga bahwa penjelasannya terletak dalam kelompok empat orang yang menyimpang dari kebaikan: raja-raja, pejabat kerajaan, para brahmana dan perumah tangga, dan para penduduk pemukiman dan pedalaman. Tetapi hal ini meniadakan fenomena-fenomena alam, yang seharusnya juga termasuk.

763 > Adhammikā honti. Mp: “Tanpa melakukan sepuluh pengorbanan yang ditetapkan oleh raja-raja masa lampau, dan tanpa menjatuhkan hukuman yang sesuai atas tindak kriminal, mereka melakukan pengorbanan yang berlebihan dan menjatuhkan hukuman yang berlebihan.” Sepuluh pengorbanan (dasabhāgabali) hanya disebutkan di sini.

764 > Untuk mendukung terjemahan saya atas brāhmaṇagahapatikā sebagai sebuah kata majemuk dvanda bukan sebagai sebuah kammadhāraya, “brahmana perumah tangga,” baca It-a II 162,7-9: Brāhmaṇagahapatikā ti brāhmaṇā c’eva gahapatikā ca Ṭhapetvā brāhmaṇe ye keci agāraṃ ajjhāvasantā idha gahapatikā ti veditabbā.

765 > Penghilangan dubbalā dalam edisi VRI tampaknya adalah kekeliruan. Edisi-edisi lainnya, termasuk versi cetakan Be, mencantunkan kata ini.

766 > Baca 3:16.

767 > Pandangan benar (sammādiṭṭhi) adalah faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, dan ketiga jenis pikiran bermanfaat secara kolektif adalah kehendak benar (sammāsaṅkappa), faktor ke dua dari sang jalan.

768 > Ee memperlakukan bagian ini sebagai awal dari sutta baru, bernomor 4:74, sedangkan Ce dan Be menganggap ini adalah bagian dari 4:73. Mp mendukung Ce dan Be, dengan menyebutkan bahwa perumpamaan ini ditampilkan untuk memberikan contoh atas orang dengan karakter buruk.

769 > Ee memperlakukan 4:74 dan 4:75 sebagai satu sutta tersendiri, tidak seperti Ce dan Be, yang menganggapnya berbeda.

770 > Apa yang tercatat dari titik ini juga terdapat dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.6.5, II 54-55.

771 > Acinteyyāni. Mp hanya mengatakan “tdak selayaknya dipikirkan” (cintetuṃ ayuttāni).

772 > Mp menjelaskan sebagai berikut: “Jangkauan para Buddha (buddhavisaya) adalah prosedur dan kekuatan spiritual (pavatti ca ānubhāvo ca) dari kualitas-kualitas Sang Buddha seperti pengetahuan kemaha-tahuan dan seterusnya. Jangkauan seseorang dalam jhāna (jhānavisaya) adalah pengetahuan-pengetahuan langsung dan jhāna-jhāna. Akibat kamma (kammavipāka) adalah akibat kamma yang harus dialami dalam kehidupan ini dan seterusnya. Spekulasi tentang dunia (lokacintā) adalah spekulasi-spekulasi duniawi seperti : ‘Siapakah yang menciptakan matahari dan rembulan? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapa yang menciptakan makhluk-makhluk hidup? Siapakah yang menciptakan gunung, mangga, lontar, and kelapa?’”

773 > Juga terdapat pada MN 142.9, III 256-57.

774 > Mp: “Mereka tidak duduk di dalam dewan (n’eva sabhāyaṃ nisīdati) dalam aula persidangan dengan tujuan untuk memberikan penilaian. Mereka tidak melakukan bisnis (na kammantaṃ payojeti), dalam pekerjaan-pekerjaan besar seperti pertanian, perdagangan, dan sebagainya. Mereka tidak pergi ke Kamboja (na kambojaṃ gacchati): mereka tidak pergi ke negeri Kamboja dengan tujuan untuk membawa barang-barang. Ini hanyalah judul. Maknanya adalah bahwa mereka tidak pergi ke negeri-negeri jauh.”

775 > Sutta ini, serta perumpamaan-perumpamaan dan syair-syairnya, terdapat pada SN 3:21, I 93-96; baca juga Pp. 51-52. Mp: “Seorang yang dalam gelap (tamo) karena ia memasuki kegelapan karena terlahi kembali di keluarga rendah, dan seorang yang mengarah menuju gelap (tamoparāyaṇa) karena ia mendatangi gelap neraka melalui perbuatan buruk jasmani, dan seterusnya. Seorang yang dalam terang (joti) karena ia memasuki terang karena terlahi kembali di keluarga tinggi, dan seorang yang mengarah menuju terang (jotiparāyaṇa) karena ia mendatangi terang surga melalui perbuatan baik jasmani, dan seterusnya.

776 > Baca 3:13. Bersama dengan Ce dan Be saya membaca veṇakule vā nesādakule, tidak seperti Ee nesādakule vā veṇakule.

777 > Ce mendefinsiikan keempat jenis ini persis sama dengan penjelasan pada 4:85. Akan tetapi Be dan Ee tidak memberikan penjelasan, hanya memberikan judul.

778 > Mp memecah samaṇamacalo menjadi samaṇa-acalo, dengan –m- menjadi konsonan penghubung. Mp mengeidentifikasikan sosok ini sebagai tujuh jenis individu yang masih berlatih (sattavidhampi sekhaṃ dasseti). Tentang kedua jenis petapa berikutnya, Mp mengatakan: “Petapa teratai putih samaṇapuṇḍarīka) adalah seorang petapa yang menyerupai teratai putih (puṇḍarīka), yang memiliki kurang dari seratus kelopak. Dengan ini Beliau menunjukkan Arahant dengan pandangan terang kering (sukkhavipassakakkhīṇāsavaṃ dasseti), disebut petapa teratai putih, karena kualitas-kualitasnya tidak lengkap, yaitu ia tidak memiliki jhāna-jhāna dan pengetahuan-pengetahuan langsung. Petapa teratai merah (samaṇapaduma) adalah petapa yang menyerupai teratai merah (paduma), yang memiliki lengkap seratus kelopak. Dengan ini Beliau menunjukkn Arahany yang terbebaskan dalam kedua cara (ubhatobhāgavimuttaṃ khīṇāsavaṃ dasseti), disebut petapa teratai merah, karena kualitas-kualitasnya lengkap, yaitu ia memiliki jhāna-jhāna dan pengetahuan-pengetahuan langsung.” Tentang warna-warna kedua jenis bunga teratai ini, puṇḍarīka dan paduma, baca p. 1642, catatan 389. “petapa lembut di antara para petapa” (samaṇesu samaṇasūkhumālo) adalah “seorang dengan pikiran dan jasmani yang lunak, yang mengalami kenikmatan yang luar biasa, bebas dari kesakitan jasmani dan pikiran” (muducittasarīro kāyikacetasikadukkharahito ekantasuki,)

779 > Mp: ”Macalappato ti rañño khattiyassa muddhāvasittassa puttabhāvena ceva puttesu jeṭṭhakabhāvena ca na tāva abhisittabhāvena ca abhisekappatti-atthāya acalappatto niccalapatto[/i].” Intinya adalah bahwa putera tertua dikatakan telah “mencapai kondisi yang tak tergoyahkan” karena ia pasti menjadi raja yang sah. Baca juga p.1636, catatan 345.

780 > Anuttaraṃ yogakkhemaṃ patthayamāno viharati. Mp: “Ia berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai Kearahattaan.”

781 > Berlawanan dengan Mp, definisi petapa teratai putih di sini bermakna ganda; karena ungkapan: “ia belum berdiam setelah menyentuh delapan kebebasan dengan tubuhnya” (noca kho aṭṭha vimokkhe kāyena phusitvā viharati) dapat bermakna: (1) bahwa ia tidak mencapai satu pun dari delapan kebebasan, yang dapat membuatnya mnjadi seorang Arahant dengan pandangan terang kering (seperti yang dinyatakan oleh Mp); atau (2) bahwa ia mencapai beberapa dari delapan kebebasan tetapi tidak seluruhnya, mungkin tiga kebebasan yang berdasarkan pada bentuk tetapi bukan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk dan pencapaian lenyapnya. Dalam kasus demikian, sang meditator harus selaras dengan definisi Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutta) yang dikatakan bahwa ia telah melenyapkan noda-noda tetapi tidak mencapai pencapaian-pencapaian tanpa bentuk yang damai (MN 70.16, I 477,33-478,1). Para komentator berpendapat bahwa Arahant paññāvimutta hanya dapat memiliki beberapa tingkat jhāna atau tanpa jhāna sama sekali; hanya yang belakangan yang disebut Arahant dengan pandangan terang kering. Arahant dengan pandangan terang kering (sukhavipassakakhīṇāsava) tidak secara eksplisit disebutkan demikian dala Nikāya-nikāya melainkan pertama kali dikenal dalam komentar-komentar. Bagaimana pun juga, perbedaan definisi antara Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dan Arahant teratai putih menyiratkan bahwa pada titik tertentu suatu pergeseran telah terjadi dalam skala pencapaian-pencapaian meditative yang diharapkan dari seorang Arahant. Sedangkan Arahant yang terbebaskan melalui kebijaksanaan hanya tidak memiliki pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, Arahant teratai putih, pada interpretasi yang diberikan oleh para komentator, juga tidak memiliki jhāna-jhāna.

Delapan kebebasan (aṭṭha vimokkhā), yang didefinisikan pada 8:66, tidak persis identik dengan empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk. Tampaknya ketiga kebebasan pertama bersesuaian dengan empat jhāna tetapi berbeda dalam hal objek dan faktor-faktor pikiran.

782 > Sekali lagi, terdapat makna ganda dalam definisi petapa teratai merah. Untuk memenuhi syarat demikian, apakah seseorang harus memiliki seluruh delapan kebebasan atau cukup dengan memiliki beberapa? Menurut penjelasan komentar, yang membandingkan petapa teratai merah dengan teratai dengan seratus kelopak lengkap, tampkanya bahwa seseorang harus memiliki seluruh delapan kebebasan. Tetapi definsii komentar atas Arahant ubhatobhāgavimutta memperbolehkan seseorang yang memiliki salah satu pencapaian tanpa bentuk dapat dianggap sebagai “seorang yang terbebaskan dalam kedua cara.” Ini, juga, mungkin merepresentasikan penurunan kriteria yang lebih ketat yang membatasi sebutan pada seorang Arahant yang memiliki seluruh delapan kebebasan.

783 > Secara lebih literal, “jubah yang ia gunakan biasanya adalah jubah yang diminta agar diterima, jarang menggunakan jubah yang tidak diminta agar diterima.” Dan seterusnya untuk ketiga barang kebutuhan lainnya.

784 > Dalam mengomentari sannipātikāni, Mp-ṭ mengatakan “dihasilkan oleh kombinasi ketiga –empedu dan seterusnya – yang tidak seimbang” (pittādīnaṃ tiṇṇampi visamānaṃ sannipātena jātanī). Spk III 81,22-23, mengomentari kata yang sama pada SN IV 230,29 mengatakan “berasal dari gangguan ketiga, empedu dan seterusnya” (tiṇṇampi pittādīnaṃ kopena samuṭṭhitāni).

785 > Delapan penyebab perasaan juga terdapat pada SN 36:21, IV 230-31.

786 > Mp mengatakan bahwa bagian pertama menjelaskan ketujuh jenis individu yang masih berlatih; yang ke dua menjelaskan Arahant pandangan terang kering; yang ke tiga menjelaskan  Arahant yang terbebaskan dalam kedua cara; dan yang ke empat menjelaskan Sang Tathāgata dan Arahant yang menyerupai Sang Tathāgata.

787 > Mp: “Ketenangan pikiran internal (ajjhattaṃ cetosamatha) adalah konsentrasi pikiran internal pada tingkat absorpsi (nikayajjhatte appanācittasamādhi). Kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena (adhipaññādhammavipassanāi) adalah pengetahuan pandangan terang yang memahami fenomena-fenomena terkondisi (saṅkhārapariggāhakavipassanāñāṇa. ini adalah kebijaksanaan yang lebih tinggi yng merupakan pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan.”

788 > Mp: “Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat sebagai tidak kekal, diperiksa sebagai tidak kekal, dan dilihat melalui pandangan terang sebagai tidak kekal; and demikian pula sebagai penderitaan dan tanpa-diri.”

789 > Mp: “Pikiran harus dikokohkan, ditenangkan, dipersatukan, dan dikonsentrasikan, melalui jhāna pertama; dan demikian pula untuk jhāna ke dua dan jhāna-jhāna lebih tinggi.”

790 > Ia mengulangi seluruh empat jenis, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha di bawah. Saya telah menghilangkan bagian pengulangan.

791 > Abhikkantā h’esā potaliya yadidaṃ tattha tattha kālaññutā. Mp: “Adalah sifat para bijaksana, ketika mereka mengetahui waktu yang tepat, maka mereka mencela seseorang yang layak dicela dan memuji seseorang yang layak dipuji.”

792 > Ini adalah sembilan pengelompokan ajaran Sang Buddha. Baca p.1678, catatan 631.

793 > Ee mengakhiri 4:104 di sini, menganggap hingga sejauh ini sebagai sutta yang lengkap, dan kemudian mengulangi kaliman-kalimat ini sebagai pembuka pada 4:105, diikuti dengan penjelasan. Dengan demikian 4:105 pada Ee adalah identik dengan 4:104 pada versi saya. Ee membaca syair uddāna untuk menunjukkan ada dua sutta “kolam air”, tetapi naskah hanya mencantumkn satu. Dalam syair dve honti dapat dibaca baik sebagai udakarahadā atau sebagai ambāni. Ce dan Be, yang saya ikuti, memilih yang belakangan dan dengan demikian hanya mencantumkan satu sutta “kolam air”, yaitu 4:104, dengan 4:106 dibiarkan kosong.

794 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca kiṃ nu, bukan seperti Ee kathan nu.

795 > Pahitatto kāyena c’eva paramasaccaṃ sacchikaroti, paññāya ca ativijjha passati. Mp menjelaskan “tubuh” sebagai tubuh batin (nāmakāyena), kebenaran tertinggi sebagai nibbāna, dan kebijaksanaan sebagai kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang.

796 > Kata Pāli thāna dapat berarti tempat, kemungkinan, kesempatan, situasi, sebab, kasus, dan sebagainya. Mp mengemasnya sebagai kāraṇa. Untuk menyampaikan makna yang tepat, di sini saya menerjemahkannya kadang-kadang sebagai “kasus perbuatan” dan kadang-kadang hanya sebagai “perbuatan.”

797 > So na bhāyati samparāyikassa maraṇassa. Mp: “Para Arahant tidak takut pada kematian apakah di masa depan maupun di masa sekarang. Sesungguhnya mereka sendirian di sini. Akan tetapi, beberapa orang mengatakan bahwa karena pernyataan, ‘kembangkanlah pandangan benar,’ maka yang dimaksudkan adalah semua para mulia dari pemasuk-arus.” Saya tidak yakin bahwa samparāyikassa maraṇassa bermakna kematian di masa depan. Seperti yang dipahami secara implicit oleh Mp. Saya menganggapnya hanya sebagai bermakna “kematian di masa depan,” dengan merujuk terutama pada masa depan seseorang dalam kehidupan ini.

798 > Attarūpena, Mp mengemas: “Apa yang selaras dengan diri sendiri, apa yang cocok, bermakna seseorang yang meginginkan kesejahteraannya” (attano anurūpena anucchavikena hitakāmenā ti attho).

799 > Kita menemukan tiga jenis kemabukan (mada) pada 3:39: dengan kemudaan, kesehatan, dan kehidupan. Vibh 345 (Be §§843-45) menghubungkan mada dengan māna, yang bermakna keangkuhan, dan unnati, yang bermakna kemajuan diri sendiri.

800 > Na ca pana samaṇavacanahetupi gacchati Mp: “Ia tidak terombang-ambing oleh kata-kata para petapa yang menganut doktrin lain untuk meinggalkan pandangannya sendiri dan menganut pandangan mereka. Di sini juga yang dimaksudkan adalah para Arahant.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #47 on: 15 February 2013, 06:19:44 AM »
801 > Juga terdapat dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.5.8, II 140-41. Kata itu di sini diterjemahkan “menginspirasi,” saṃvejanīya, dikemas oleh Mp sebagai saṃvegajanaka. Dalam konteks ini, terjemahan “menginspirasi rasa keterdesakan” tidak cocok. Melainkan, makna yang dimaksudkan adalah yang menginspirasi keyakinan dan pengabdian.

802 > Empat tempat, berturut-turut, adalah: Lumbini, Bodhgaya, Isipatana (Sarnath), dan Kusinārā.

803 > Bagian selanjutya juga terdapat pada 2:1.

804 > Bagian selnjutnya paralel dengan paragraf tentang “cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang” dalam 2:1, tetapi menjelaskan hanya sebagai “kibat buruk” (pāpako vipāko) di mana 2:1 mencantumkan “akibat yang buruk dan menyakitkan” (pāpako dukkho vipāko). Karena 2:1 juga tidak mencantumkan dukkho, maka adalah mungkin dukkho adalah berasal dari kemasan komentator atas pāpako yang menyusup ke dalam teks 2:1 itu sendiri.

805 > Mp: “Di antara bahaya-bahaya ini, (1) bagi seseorang yang merenungkan bahaya mencela diri sendiri, suatu rasa malu bermoral muncul dalam pikiran. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi. (2) bagi seseorang yang merenungkan bahaya dicela oleh orang lain, rasa takut bermoral muncul sehubungan dengan hal-hal eksternal. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi.(4) bagi seseorang yang merenungkan bahaya takdir yang buruk, rasa malu bermoral muncul sehubungan dengan hal-hal eksternal. Hal ini menghasilkan dalam dirinya pengendalian di tiga pintu, dan pengendalian itu adalah empat perilaku bermoral yang dimurnikan. Berdasarkan pada perilaku bermoral ini, ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah tertinggi.” Kasus ke tiga tidak secara langsung mengarah menuju buah tertinggi melainkan hanya penghindaran dari pelanggaran lima sila.

806 > Juga terdapat pada MN 67.14-20, I 459-62.

807 > Pāli mengenali dua kelompok makanan: khādanīya dan bhojanīya. Bhojanīya terdiri dari nasi, bubur,  biji-bijian lainnya, ikan, dan daging; sedangkan khādanīya terdiri dari semua makanan lainnya. Karena itu, bersesuaian dengan kedua jenis makanan ini, kedua kata digunakan di sini untuk menyebutkan apa yang boleh dimakan: khāditabba dan bhunjitabba, yang saya terjemahkan berturut-turut sebagai “yang boleh dikonsumsi” dan “yang boleh dimakan.”

808 > Mp: “Jhāna pertama dapat berupa tingkat rendah, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Bagi makhluk-makhluk yang terlahir kembali melalui tingkat rendah, umur kehidupannya adalah sepertiga lappa; bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat menengah, umur kehidupannya adalah setengah kappa; bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat tinggi, umur kehidupannya adalah satu kappa. Ini dikatakan sehubungan dengan yang terakhir.” Untuk penjelasan tentang umur kehidupan di berbagai alam menurut model Theravāda yang berkembang, baca Vibh 422-26 (Be §§1022-28); CMA 196-99.

809 > Mp: “Ia ‘pergi ke neraka’ dalam beberapa kehidupan setelahnya, selama ia belum meninggalkan kamma yang mengarahkannya menuju neraka; bukan dalam makna bahwa ia pergi ke sana segera dalam kehidupan berikutnya.” Menurut Abhidhanna, seseorang yang meninggal dunia dari alam berbentuk, tidak seketika terlahir kembali dalam salah satu alam rendah; baca CMA 226-27.

810 > Tasmiṃyeva bhave parinibbāyati. Mp: “Ia mencapai nibbāna akhir selagi masih berada dalam kehidupan di alam berbentuk yang sama itu; ia tidak turun ke alam rendah.”

811 > Baca pp.1671-72, catatan 581.

812 > Para deva dengan cahaya gemerlap (devā ābhassarā) adalah kelompok deva tertinggi yang berhubungan dengan jhāna ke dua. Mp: “Jhāna ke dua terdiri dari tiga tingkay, seperti disebutkan di atas [untuk jhāna pertama]. Bagi mereka yang terlahir kembali melalui tingkat tinggi, umur kehidupannya adalah delapan kappa; tingkat menengah, empat kappa; dan tingkat rendah, dua kappa. Teks ini merujuk pada yang terakhir.”

813 > Para deva dengan keagungan gemilang (devā subhakiṇhā) adalah kelompok deva tertinggi yang berhubungan dengan jhāna ke tiga. Menurut sistem Abhidhamma, umur kehidupan di tiga alam yang berhubungan dengan jhāna ke tiga berturut-turut adalah enam belas, tiga puluh dua, dan enam puluh empat kappa. Karena ini bertentangan dengan sutta, maka Mp menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah alam terendah di antara alam-alam itu yang dicapai dengan kelahiran kembali melalui pencapaian jhāna ke tiga. Akan tetapi, menurut Mp, para deva dengan keagungan gemilang sebenarnya adalah yang tertinggi di antara alam-alam ini. Dengan demikian tampaknya ada perbedaan antara sutta dan penentuan sistematis Theravāda sehubungan dengan umur kehidupan.

814 > Ini aadlah devā vehapphalā, satu-satunya alam kelahiran kembali yang bersesuaian dengan jhāna ke empat lokiya. Angka ini sesuai dengan ketentuan Abhidhamma.

815 > Te dhamme aniccato dukkhato rogato gaṇḍato sallato aghato ābāhato parato palokato suññato anattato samanupassati. Mp: “Di antara sebelas kata ini, dua – tidak kekal dan kehancuran – menyiratkan karakteristik ketidak-kekalan. Dua – kosong dan tanpa-diri – menyiratkan karakteristik tanpa-diri. Yang lainnya menyiratkan karakteristik penderitaan. Dengan menghubungkan ketiga karakteristik dengan kelima kelompok unsur kehidupan dan melihatnya demikian, ia mencapai tiga jalan dan buah. Setelah mengembangkan jhāna ke empat, kokoh di dalamnya, ‘ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni.’”

816 > Alam murni (suddhāvāsā) adalah lima alam kehidupan dalam alam berbentuk di alam mana para yang-tidak-kembali dapat terlahir kembali. Para yang-tidak-kembali mencapai Kearahattaan di sana tanpa perneh kembali ke alam yang lebih rendah. Baca CMA 192-93.

817 > Dalam sutta ini, cinta kasih dihubungkan dengan jhāṅa pertama, belas kasihan dengan jhāṅa ke dua, kegembiraan altruistik dengan jhāna ke tiga, dan keseimbangan dengan jhāna ke empat. Akan tetapi, menurut sistem Theravāda yang berkembang, masing-masing dari tiga meditasi tanpa batas yang pertama dapat mengarah pada seluruh tiga jhāna, kecuali yang ke empat; hanya keseimbangan tanpa batas yang dapat mengarah pada jhāna ke empat. Baca Vism 322,5-12, Ppn 9.111.

818 > Untuk berbagai keajaiban yang terjadi pada saat konsepsi dan kelahiran Sang Bodhisatta, baca juga MN 123.

819 > Mp: “Di antara setiap tiga sistem dunia terdapat satu dunia antara, yang seperti ruang di tengah-tengah tiga roda kereta atau kelopak yang diletakkan saling bersentuhan satu sama lain. Neraka dunia antara ini (lokantarikanirayo) berukuran delapan ribu yojana.”

820 > Mp: “Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana: Melalui kamma apakah yang telah dilakukan oleh makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana di neraka dunia antara? Mereka muncul di sana karena mereka telah melakukan kejahatan mengerikan terhadap orang tua mereka dan terhadap para petapa dan brahnmana baik, dank arena perbuatan-perbuatan jahat lainnya seperti membunuh makhluk-makhluk hidup setiap hari … tubuh mereka berukuran tiga gāvuta (kira-kira lima mil) dan mereka memiliki kuku jari yang panjang seperti kelelawar. Seperti halnya kelelawar-kelelawar bergelantungan di pepohonan, makhluk-makhluk ini bergelantungan dengan kuku mereka pada kaki gunung sistem dunia. Ketika merayap, mereka saling berdekatan satu sama lain dalam jarak panjang satu lengan. Kemudian, dengan berpikir, ‘Kami telah memperoleh makanan,’ mereka menjadi heboh, bergulingan, dan jatuh ke air yang menyokong dunia; mereka bagaikan buah madu yang, ketika tertiup angin, gugur dan jatuh ke air. Segera setelah mereka terjatuh, mereka melebur bagaikan sebongkah tepung dalam air yang sangat tajam … Cahaya ini [ketika Sang Bodhisatta memasuki rahim ibunya] tidak berlangsung bahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk menyesap bubur, tetapi hanya cukup lama bagi mereka untuk bangun dari tidur dan mengenali objek. Tetapi para pembaca Dīgha Nikāya mengatakan bahwa, bagaikan kilatan halilintar, ini menunjukkan waktu yang hanya sejentikan jari dan lenyap bahkan selagi mereka mengatakan, ‘Apa itu?’”

821 > Ālaya, Mp menjelaskan hal ini secara sempit sebagai kelima objek kenikmatan indria, atau secara lebih luas, sebagai keseluruhan lingkaran saṃsāra.

822 > Anālaye dhamme. Mp: “Dhamma mulia yang melawan kemelekatan, berdasarkan pada akhir lingkaran.”

823 > Anupasama. Lit., “tanpa kedamaian.”

824 > Avijjāgatā, bhikkhave, pajā aṇḍabhūtā pariyonaddhā. Ini adalah tulisan pada Ce dan Be, tetapi Ee menuliskan andhabhūta, “menjadi buta.” Yang belakangan, pada awalnya, tampak lebih asli, tetapi perumpaam ayam pada 8:11, IV 176,15-16 mendukung aṇḍabhūtā, “menjadi sebutir telur.” Mp juga menerima tulisan ini dengan kemasannya, “terbungkus oleh cangkang ketidak-tahuan, telah menjadi seperti sebutir telur” (avijjaṇḍakosena pariyonaddhattā aṇḍaṃ viya bhūtā ti aṇḍabhūtā).

825 > Juga terdapat pada DN 16.5.16, II 145-46.

826 > Dalam Pāli, ketiga jenis belenggu adalah, berturut-turut: orambhāgiyāni saṃyojanāni, upapattipaṭilābhiyāni saṃyojanāni, bhavapaṭilābhiyāni saṃyojananāni. Mp membedakan kedua kata terakhir sebagai berikut: “belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali” adalah belenggu yang dengannya seseorang memperoleh kelahiran kembali berikutnya (yehi anantarā upapattiṃ paṭilabhati); “belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan” adalah kondisi-kondisi untuk memperoleh penjelmaan kelahiran kembali (upapattibhavassa paṭilābhāya paccayāni). Jelas perbedaannya, dari sudut pandang komentar, adalah bahwa yang pertama mengikat seseorang hanya pada kelahiran kembali berikutnya sedangkan yang ke dua mengikat seseorang pada kelahiran kembali berturut-turut. Tetapi baca catatan 829 untuk interpretasi alternative.

827 > Karena pemasuk-arus juga belum meninggalkan salah satu dari belenggu-belenggu ini, Mp menjelaskan: “Yang-tidak-kembali disebutkan untuk menunjukkan yang tertinggi di antara para mulia yang belum meninggalkan salah satu dari belenggu-belenggu ini. Karena di atas yang-kembali-sekali, tidak ada yang mulia yang belum meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah. Tetapi bukankah para yang-kembali-sekali telah meninggalkan [beberapa] belenggu yang lebih rendah, karena mereka telah meninggalkan belenggu-belenggu pandangan-pandangan, keargu-raguan, dan cengkeraman keliru pada ritual dan upacara? Dalam kasus itu, mengapa dikatakan bahwa mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah? Karena yang-kembali-sekali belum meninggalkan belenggu-belenggu nafsu indriawi dan niat buruk; oleh karena itu pernyataan bahwa mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dikatakan sehubungan dengan belenggu-belenggu yang belum mereka tinggalkan itu. Bukan berarti bahwa mereka belum meninggalkan belenggu sama sekali.”

828 > Uddhaṃsotassa akaniṭṭhagāmino puggalassa. Ini merujuk pada yang paling lambat di antara kelima jenis yang-tidak-kembali, yang naik ke atas melalui alam-alam murni berturut-turut hingga yang tertinggi, yang disebut Akaniṭṭha. Jenis ini juga disebutkan untuk menunjukkan yang paling kasar yang masih menyisakan belenggu kelahiran kembali, tetapi kelompok yang-tidak-kembali yang paling tajam pun juga menyisakan belenggu-belenggu ini.

829 > Pernyataan ini memberikan suatu situasi sulit bagi interpretasi Theravāda tradisional atas kelima jenis yang-tidak-kembali, yang berdasarkan pada Pp 16-17 dan komentarnya pada Pp-a 198-201. inti dari interpretasi ini adalah penolakan atas keadaan antara (antarābhava) antara dua kehidupan. Dengan demikian penolakan ini mensyaratkan perlunya menginterpretasikan antarāparinibbāyī sebagai yang-tidak-kembali yang mencapai Kearahattaan pada paruh pertama umur kehidupannya dalam kehidupan berikut. Akan tetapi, kata antarāparinibbāyī secara literal berarti “seorang yang mencapai nibbāna akhir pada masa antara,” dan tampaknya tidak ada alasan yang tepat, berdasarkan pada sutta, untuk membantah kemungkinan bahwa yang-tidak-kembali tertentu, setelah kehidupannya di alam manusia, memasuki suatu keadaan antara dan mencapai nibbāna akhir dalam keadaan itu juga, sehingga menghinddari perlunya kelahiran kembali yang lainnya. Ini tampaknya merupakan inti dari teks yang sekarang ini, yang menurutnya antarāparinibbāyī telah meninggalkan belenggu-belenggu kelahiran kembali tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan. Setelah mencapai Kearahattaan, antarāparinibbāyī juga akan meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan. Saya telah membahas kelima jenis yang-tidak-kembali secara terperinci dalam CDB 1902-3, catatan 65. Untuk pembahasan lebih lanjut, baca p.1782, catatan 1535-38; untuk analsisi tekstual tambahan, baca Harvey 1995: 98-108.

830 > Yuttappaṭibhāno no muttappaṭibhāno. Mp: “Ketika menjawab sebuah pertanyaan, ia menjawab dengan benar (yuttameva), tetapi ia tidak menjawab dengan cepat (sīghaṃ pana na katheti). Maknanya adalah bahwa ia menjawab dengan lambat. Metode [penjelasan] ini berlaku untuk semua kasus.” Pp 42 (Be §152) mendefinisikan orang ini dalam makna yang sama: “Seorang yang, ketika ditanya suatu pertanyaan, menjawab dengan benar tetapi tidak dengan cepat disebut yang kearifannya tajam tetapi tidak mengalir-bebas” (idh’ekacco puggalo pañhaṃ puṭṭho samāno yuttaṃ vadati no sīghaṃ, ayaṃ vuccati puggalo yuttappaṭibhāno no muttappaṭibhāno).

831 > Keempat alternative adalah : ugghaṭitaññū, vipacitaññū (demikian menurut Ce dan Ee; Be vipañcitaññū), neyyo, padaparamo. Perbedaan tulisan untuk orang ke dua memberikan pilihan antara “seorang yang memahami ketika matang” (menurut Ce dan Ee) dan “seorang yang memahami ketika dijelaskan” (menurut Be). Tulisan Be tampak bagi saya lebih sesuai dengan definisi formal dari definisi jenis ini dari sumber-sumber lain. Di sini saya mengutip definisi pada Pp 41 (Be §§148-51) dengan klarifikasi komentar pada Pp-a 223: (1) “Seorang dengan pemahaman cepat adalah orang yang padanya penerobosan Dhamma (dhammābhisamāya) terjadi bersamaan dengan sebuah pengucapan. (Pp-a: Ugghaṭita berarti membuka pengetahuan (ñāṇugghāṭana); maknanya adalah bahwa ia mengetahui segera setelah pengetahuan terbuka. Bersamaan dengan sebuah pengucapan segera setelah [sebuah kalimat Dhamma] diucapkan. Penerobosan muncul bersamaan dengan pengetahuan Dhamma pada keempat kebenaran.)” (2) “Seorang yang memahami melalui penjelasan terperinci adalah seorang yang padanya penerobosan Dhamma terjadi bersamaan dengan ketika makna dari apa yang telah dinyatakan dianalisis secara terperinci. (Pp-a: Ini adalah orang yang mampu mencapai Kearahattaan ketika, setelah suatu kerangka ringkas dari suatu ajaran telah dibabarkan dan maknanya telah dianalisis secara terperinci.)” (3) “Seorang yang perlu dituntun adalah orang yang padanya penerobosan Dhamma terjadi secara bertahap, melalui instruksi, pertanyaan, perhatian seksama, dan mengandalkan teman-teman yang baik.” (4) “Seorang yang padanya kata-kata adalah maksimum adalah orang yang – walaupun banyak mendengar, banyak membaca, banyak mengingat, dan banyak mengajar – tidak mencapai penerobosan Dhamma dalam kehidupan itu.”

Nett 125 (Be §§88) menghubungkan keempat jenis ini dengan empat jenis praktik (baca 4:161-62): ugghaṭitaññū puggala sebagai seorang yang terbebaskan melalui praktik yang menyenangkan and pengetahuan langsung yang cepat, vipañcitaññū puggala sebagai seorang yang terbebaskan apakah melalui praktik yang menyakitkan dan pengetahuan langsung yang cepat atau melalui praktik yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang lambat, dan neyya puggala sebagai seorang yang terbebaskan melalui praktik yang menyakitkan dan pengetahuan langsung yang lambat. Padaparama puggala tidak terbebaskan dan dengan demikian keempat alternatif tidak berlaku.

832 > Mp: “Seorang yang hidup dari buah usahanya tetapi bukan dari buah kammanya: Ini adalah seorang yang melewatkan harinya dengan bersemangat mengerahkan dirinya dan hidup dari apa pun yang ia peroleh sebagai buah akibat dari ini, tetapi tidak memperoleh buah jasa sebagai akibat dari usahanya. Seorang yang hidup dari buah kammanya tetapi bukan dari buah usahanya: Ini adalah semua deva, dari [alam surga] empat raja dewa, yang hidup dari buah jasa mereka tanpa secara bersemangat mengerahkan diri mereka. Seorang yang hidup dari buah usahanya juga dari buah kammanya: Ini adalah raja-raja dan para menteri kerajaan, dan sebagainya. Seorang yang hidup bukan dari buahnya juga bukan dari buah kammanya: Ini adalah makhluk-makhluk di neraka. Dalam sutta ini, yang dimaksudkan dengan ‘buah kamma’ adalah hanya buah jasa baik.

833 > Mp: “Yang pertama adalah kaum duniawi yang buta dan dungu; yang ke dua adalah kaum duniawi yang kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat; yang ke tiga adalah pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali; dan yang ke empat adalah Arahant.”

834 > Mp: “Yang pertama adalah banyak kaum duniawi; yang ke dua adalah pemasuk-arus dengan pandangan terang kering dan yang-kembali-sekali; dan yang ke tiga adalah yang-tidak-kembali. Karena meditator pandangan terang kering memperoleh jhāna saat-ke-saat berdasarkan pada objeknya (taṅkhaṇikampi upapattinimittakaṃ jhānaṃ paṭilabhati yeva), maka ia juga memenuhi konsentrasi. Yang ke empat adalah Arahant. Sutta berikutnya harus dipahami dengan cara seperti yang disebutkan di sini.

835 > Tentang empat pengetahuan analitis (paṭisambhidā), baca di bawah catatan 875.

836 > Di sini dan pada sutta berikutnya saya bersama dengan Ce dan Ee membaca samatho, bukan seperti Be sammasanā.

837 > Daftar yang biasa untuk indria-indria (indriya) dan kekuatan-kekuatan (bala) ada lima, dengan kebijaksanaan (paññā) sebagai yang ke lima. Untuk definisi kelima indria, baca SN 48:9-10.  untuk lima kekuatan, baca 5:14.

838 > Cattāri kappassa asaṅkheyyānī. Terlepas dari kata “tak terhitung” (Ce dan Ee asaṅkheyya; Be asaṅkhyeyya), lamanya masa ini adalah terbatas. Untuk perumpamaan yang mengilustrasikan lamanya satu kappa – yang dikatakan sulit diungkapkan dalam angka-angka – baca SN 15:5-6, II 181-82. Dan untuk jumlah kappa yang telah “berlalu dan terlewatkan,” baca SN 15:7-8, II 182-84.

839 > Mp menjelaskan bahwa ada tiga cara penyusutan satu kappa terjadi: melalui air, api, dan angin. Ketika kappa hancur melalui api, maka api menghabiskan hingga para deva dengan cahaya gemerlap. Ketika kappa hancur melalui air, maka air menenggelamkan hingga para deva denga keagungan gemilang. Ketika kappa hancur melalui angin, maka kappa menghancurkan hingga para deva berbuah besar.

840 > Mp: “Ia tidak puas dengan empat benda kebutuhan melalui tiga jenis kepuasan.” Baca p. 1600, catatan 55.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #48 on: 15 February 2013, 06:21:03 AM »
841 > Mp mengatakan kata “dengan licik” (saṅkhāya, lit. “setelah memperhitungkan”) menunjukkan bahwa ia mencoba untuk memberikan kesan palsu pada keluarga-keluarga (dengan tujuan untuk menerima persembahan). Frasa terakhir mungkin serupa dengan nuansa dari gaya bahasa ungkapan Bahasa Inggris yang terkenal.

842 > Di sini Ee membaca: gambhīresu … ṭhānaṭṭhānesu, yang dapat diterjemahkan “berbagai hal mendalam.” Mungkin ṭhānaṭṭhānesu adalah tulisan yang lebih asli, yang berubah menjadi ṭhānāṭṭhānesu karena pengaruh ungkapan yang lebih umum. Tetapi karena Mp mengomentari seolah-olah tulisan yang benar adalah yang benar, maka jelas bahwa ṭhānāṭṭhānesu berasal setidaknya pada masa komentator. Pada MN 115.12-19, III 64-67, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seorang bhikkhu “terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin” (ṭhānāṭhānakusalo).

843 > Mengherankan bahwa Ānanda pergi sendirian mengunjungi kediaman bhikkhunī itu. Hampir selalu ketika seorang bhikkhu pergi mengunjungi seorang umat awam, bahkan laki-laki, maka ia mengajak seorang bhikkhu lain bersamanya. Dalam paralel China dari sutta ini, SĀ 564 (T II 148a13-148c10), ketika Ānanda mendekat, bhikkhunī itu melihatnya dari jauh dan memperlihatkan tubuhnya. Ketika Ānanda melihatnya terbuka, ia mengendalikan organ-organ indrianya dan berbalik. Bhikkhunī itu kemudian merasa malu dan mengenakan jubahnya. Ia menawarkan tempat duduk kepada Ānanda, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Terlepas dari perbedaan situasi ini, khotbah Ānanda dalam versi China nyaris sama persi dengan versi Pāli.

844 > Setughāto vutto bhagavatā. Mp: “Penghancuran jembatan (setughātaṃ): penghancuran keadaan dan peghancuran kondisinya (padaghātaṃ paccayaghātaṃi).” Ungkapan ini juga terdapat pada 3:74. baca p.1660, catatan 497.

845 > Mp: “Berdasarkan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang, dengan menggunakannya secara hati-hati, maka ia meninggalkan makanan yang terdapat dalam kamma masa lampau; tetapi ketagihan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang harus ditinggalkan.

846 > Versi China membaca: “Saudari, dengan tidak menikmatinya, seseorang meninggalkan dan mematahkan keinginan indria, jembatan penghubung (MANDARIN).” Tampaknya bahwa setughāto adalah suatu idiom yang bermakna bahwa segala hubungan dengan kondisi tertentu harus dihancurkan. Mp mengatakan bahwa ketika Ānanda mencapai akhir khotbahnya, nafsu bhikkhunī tersebut padanya telah lenyap.

847 > Sugata. Lit. “Pergi dengan Baik.” Salah satu gelar yang paling umum untuk Sang Buddha, kadang-kadang juga digunakan untuk para siswa Arahant.

848 > Bhikkhū duggahitaṃ suttantaṃ pariyāpuṇanti dunnikkhittehi padabyañjanehi. Baca 2:20. saya mengikuti saran Brahmāli bahwa suttantaṃ di sini secara implicit bermakna jamak; untuk contoh lain, baca Vin III 159,12, dan Vin IV 344,21.

849 > Ce menghilangkan syair uddāna di akhir vagga ni. Karena itu saya mengambil judul ini dari Be.

850 > Dalam Pāli: dukkhā paṭipadā dandhābhiññā, dukkhā paṭipadā khippābhiññā, sukhā paṭipadā dandhābhiññā, sukhā paṭipadā khippābhiññā.

851 > Anantariyaṃ pāpuṇāti āsavānaṃ khayāya. Kata ānantariya adalah kata yang jarang muncul, maka maknanya harus ditentukan dengan cara menyimpulkan. Satu petunjuk adalah  Ratana Sutta, yang mengatakan: yam buddhaseṭṭho parivaṇṇayī suciṃ samādhim ānantarikaññam āhu (Sn 226). Perbedaan antara ānantarika dan ānantariya tidaklah signifikan, karena akhiran –iya dan –ika sering kali dapat dipertukarkan. Petunjuk lainnya adalah SN 22:81, pada III 96-99, di mana Sang Buddha bertanya: “Bagaimanakah seseorang mengetahui dan melihat untuk segera mencapai (lit. ‘tanpa jeda’) hancurnya noda-noda?” (evaṃ … jānato evaṃ passato anantarā āsavānaṃ khayo hoti). Sutta AN lainnya – 3:102, I 158,7-12, dan 5:23, III 16, 29-17,2 –membicarakan tentang pikiran yang “terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda” (sammā samādhiyati āsavānaṃ khayāya). Baca juga 5:170, III 202,27-33, yang membicarakan tentang kondisi-kondisi tertentu “yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi” (anantarā āsavānaṃ khayo hoti). Demikiankah, “kondisi kesegeraan” yang dibicarakan di sini tampaknya merupakan kondisi di mana pikiran terkonsentrasi dengan baik dan, pada saat yang sama, telah memperoleh pandangan terang yang menghasilkan hancurnya noda-noda. Mp menjelaskan ānantariya dengan menghubungkannya pada konsep Abhidhamma atas rangkaian segera antara jalan dan buah: “’Kondisi segera’ adalah konsentrasi sang jalan, yang dengan segera menghasilkan akibatnya (anantaravipākadāyakaṃ maggasamādhiṃ).” Walaupun sutta-sutta tidak menggunakan skema proses kognitif yang mendasari konsep momen jalan dan buah, namun ungkapan “kondisi segera” memang menyiratkan suatu keadaan matang sepenuhnya bagi penerobosan menuju Kearahattaan.

852 > Kekuatan-kekuatan dari seorang yang masih berlatih (sekhabalāni), didefinisikan pada 5:2, sebagian berbeda dengan lima kekuatan yang termasuk dalam tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan.

853 > Di sini, sameti, “menenangkan[nya],” adalah suatu tambahan pada formula biasa, yang dimaksudkan untuk memasukkan disiplin ini ke dalam “praktik menenangkan.”

854 > Mp mengatakan bahwa bagi Moggallāna, ketiga jalan pertama dicapai melalui cara yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang lambat, tetapi jalan Kearahattaan dicapai melalui praktik yang menyenangkan dan pengetahuan langsung yang cepat. Dalam 7:61 terlihat bahwa Moggallāna sering bersusah-payah melawan kantuk dalam praktiknya untuk mencapai Kearahataan. Ia sering mengalami kemunduran dan membutuhkan bantuan Sang Buddha untuk maju lebih jauh, seperti ditunjukkan dalam SN 40:1-9, IV 262-69.

855 > Dalam sutta ini frasa kāyassa bhedā, “dengan hancurnya jasamani,” tidak diikuti dengan paraṃ maraṇā, “setelah kematian,” seperti biasanya. Penghilangan ini tampaknya disengaja. Mungkin tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa orang itu dapat mencapai nibbāna pada saat kematian, tanpa harus berlanjut pada penjelmaan lainnya.

856 > Menurut sutta ini, perbedaan antara penggunaan objek-objek menjijikkan dan jhāna-jhāna menentukan apakah seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) atau tanpa pengerahan usaha (asaṅkhāraparinibbāyī). Perbedaan antara indria-indria yang menonjol dan yang lemah menentukan apakah seseorang mencapai nibbāna dalam kehidupan ini (diṭṭh’eva dhamme) atau ketika hancurnya jasmani (kāyassa bhedā). Mp mengatakan bahwa orang pertama dan ke dua adalah para meditator pandangan terang kering (sukkhavipassakā) yang memahami fenomena-fenomena terkondisi sebagai objek meditasi mereka (saṅkhāranimittaṃ upaṭṭhepenti). Sasaṅkhārena dikemas sebagai sappayogena, yang mendukung terjemahan saya “melalui pengerahan usaha.” Orang ke tiga dan ke empat adalah mereka yang menggunakan ketenangan sebagai kendaraan mereka (samathayānikā).

857 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca maggehi, bukan seperti Ee aṅgehi. Yang belakangan kemungkinan adalah kesalahan editorial. Walaupun Mp tidak memberikan kemasan di sini, paragraf yang tertulis dalam Paṭis II 92,9 dan dikomentari pada Paṭis-a III 584,24-25, dengan suatu cara yang memerlukan maggehi: Catūhi maggehī ti upari vuccamānehi catūhi paṭipadāmaggehi, na ariyamaggehi (“Melalui empat jalan: melalui empat jalan praktik yang dibicarakan di bawah, bukan melalui jalan mulia”).

858 > Mp menjelaskan ini sebagai jalan melampaui keduniawian yang pertama, tetapi Mp-ṭ mengatakan: “Ini dikatakan sehubungan dengan jalan memasuki-arus (sotāpattimagga), tetapi makna dari paragraf ini dapat dipahami secara sederhana melalui jalan [persiapan] yang duniawi” (lokiyamaggavasen’eva).

859 > Ṃp dan Mp-ṭ, secara bersama-sama, mengatakan bahwa karena tidak ada pengembangan dan tidak ada latihan atas jalan yang melampaui keduniawian, yang berlangsung hanya selama satu momen pikiran, ia mengembangkan dan melatih jalan persiapan yang duniawi (pubbabhāgiyo lokiyamaggo) dengan tujuan untuk mencapai jalan-jalan yang melampaui keduniawian. Kemudian belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut melalui jalan-jalan berturut-turut (maggappaṭipāṭiya pahīyanti byantī honti).

860 > Mp: “Ini adalah orang yang secara alami memperoleh pandangan terang. Berdasarkan pada pandangan terang, ia menghasilkan konsentrasi.”

861 > Yuganaddhaṃ bhāveti. Mp mengatakan bahwa setiap kali ia mencapai suatu pencapaian meditatif (samāpatti), ia memeriksanya melalui fenomena-fenomena terkondisi. Dan setelah memeriksa fenomena-fenomena terkondisi, ia memasuki pencapaian berikutnya. Demikianlah, setelah mencapai jhāna pertama, ia keluar dan memeriksa fenomena-fenomena terkondisi di sana sebagai tidak kekal, dan seterusnya. Kemudian ia memasuki jhāna ke dua, keluar, dan memeriksa fenomena-fenomena terkondisi di sana, dan seterusnya hingga landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Akan tetapi, karena yuganaddha secara literal berarti “berpasangan bersama-sama,” beberapa orang menerjemahkan kata ini sebagai cara praktik ketenangan dan pandangan terang yang muncul secara bersamaan. Sistem komentar tidak mengakui kemungkinan ini tetapi beberapa sutta menyiratkan bahwa pandangan terang dapat muncul dalam jhāna dan meditator tidak perlu menariknya sebelum memulai perenungan. Dalam AN, baca khususnya 9:36; baca juga MN 52.4-14, I 350-52; MN 64.9-15, I 435-37.

862 > Tulisannya bermacam-macam. Ee menuliskan dhammuddhaccaviggahītamanā; akhiran –manā agak mencurigakan. Be menuliskan -viggahitaṃ mānasaṃ. Ce menuliskan -viggahītaṃ mānaṃ. Sedangkan manā dan mānasaṃ keduanya dapat diterjemahkan sebagai “pikiran,” mānaṃ biasanya berarti “kesombongan.” Terjemahan Sinhala tampaknya mendukung ini dengan menerjemhkan mānaṃ sebagai adhimānaya (Pāli adhimāna), “menilai diri sendiri terlalu tinggi,” tetapi membicarakan “kesombongan” – bukannya “pikiran” – sebagai dicengkeram oleh kegelisahan” sepertinya tidak masuk akal. Mp mengemas kata ini tanpa menyebutkan subjeknya: “Dicengkeram, secara menyeluruh dicengkeram, oleh kegelisahan, yang terdapat dalam sepuluh kekotoran pandangan terang (dasa vipassan’upakkilesā; baca Vism 633-38, Ppn 20.105-28) sehubungan dengan dhamma dari ketenangan dan pandangan terang.” Teks itu sendiri sama sekali tidak menyiratkan adanya kekotoran pandangan terang. Saya memahami orang yang sedang dijelaskan di sini sebagai seorang praktisi yang secara mendalam merenungkan Dhamma, memperoleh rasa keterdesakan, dan kemudian akhirnya menjadi tenang dan mendapatkan pandangan terang ketika bertemu dengan kondisi-kondisi yang mendukung. Dalam kalimat berikutnya pada teks, kata ini diterjemahkan sebagai “pikiran” adalah cittaṃ.

863 > Bagian pertama sutta ini, hingga bagian tentang empat perolehan individualitas, juga terdapat pada SN 12:25, II 39-51, tetapi ditujukan kepada Ānanda.

864 > Mp menjelaskan ini dengan menghubungkan dengan skema Abhidhamma atas citta, jenis-jenis kesadaran; baca CMA 32-40, 46-64.  saya merangkum penjelasan Mp: Kehendak melalui jasmani ada dua puluh jenis melalui delapan jenis citta bermanfaat bidang indria dan dua belas jenis citta tidak bermanfaat. Demikian pula kehendak melalui ucapan. Tetapi kehendak melalui pikiran termasuk hal-hal ini serta sembilan jenis kehendak luhur (mahaggata), yaitu, kehendak yang berhubungan dengan lima jhāṅa dari sistem Abhidhamma dan empat pencapaian tanpa bentuk. Karena kehendak melalui jasmani, maka muncul kenikmatan yang dikondisikan oleh delapan jenis kamma bermanfaat, dan kesakitan yang dikondisikan oleh dua belas jenis kamma tidak bermanfaat, yaitu, kamma yang dihasilkan dalam jenis-jenis kesadaran aktif yang bersesuaian. Demikian pula dengan kedua pintu lainnya. Ketidak-tahuan adalah kondisi (avijjāpaccayā va) karena, dengan adanya ketidak-tahuan, maka kehendak muncul dalam ketiga pintu sebagai suatu kondisi bagi kenikmatan dan kesakitan. Demikianlah pernyataan dalam sutta ini yang merujuk pada ketidak-tahuan sebagai penyebab akar. Kenikmatan dan kesakitan muncul “secara internal” (ajjhattaṃ) ketika muncul dalam diri seseorang. Kata ini tampaknya menggarisbawahi aspek pembalasan dari kamma.

865 > Mp: “Seseorang bertindak atas kehendaknya sendiri (sāmaṃ) ketika ia memulai suatu tindakan tanpa dorongan dari orang lain. Seseorang memulai aktivitas karena orang lain ketika orang lain mendorong atau memerintahkannya untuk bertindak. Seseorang bertindak dengan pemahaman jernih (sampajāno) ketika ia mengethui apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat seperti demikian, dan akibatnya masing-masing seperti demikian. Jika ia tidak mengetahui hal ini, maka ia bertindak tanpa pemahaman jernih.”

866 > Imesu bhikkhave dhammesu avijjā anupatitā. Mp: “Ketidak-tahuan terdapat dalam kondisi-kondisi kehendak yang dianalisa di atas, yang berfungsi baik sebagai kondisiyang hadir bersamaan dan sebagai kondisi pendukung-keputusan (sahajātavasena ca upanissayavasena ca). dengan demikian lingkaran kehidupan dan akarnya, yaitu ketidak-tahuan, ditunjukkan.”

867 > Mp: “Para Arahant terlihat bertindak melalui jasmani. Mereka menyapu halaman altar dan pohon bodhi, pergi dan kembali, melakukan berbagai tugas, dan sebagainya, tetapi dalam kasus mereka kedua puluh kehendak yang muncul di pintu jasmani tidak lagi menghasilkan akibat kamma (avipākadhammataṃ āpajjanti). Di sini, adalah kehendak yang muncul di puntu jasmani yang dimaksudkan oleh kata ‘jasmani.’ Metode yang sama berlaku untuk kedua lainnya.” Mp-ṭ: “Ketika para Arahant melakukan perbuatan, bagaimanakah mereka tidak membuat kamma jasmani atau jenis lainnya? Dalam makna bahwa perbuatan-perbuatan ini tidak membawa akibat, karena suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang Arahant adalah bukan bermanfaat juga bukan tidak bermanfaat melainkan sekedar aktivitas (kiriyamatta) yang tidak menghasilkan akibat.”

868 > Mp: “’Lahan,’ dan seterusnya adalah sebutan bagi kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat. Karena itu adalah lahan (khetta) dalam makna suatu tempat di mana akibat-akibat tumbuh; suatu bidang (vatthu) dalam makna fondasinya; landasan (āyatana) dalam makna suatu penyebab; lokasi (adhikaraṇa) dalam makna suatu tempat.”

869 > Dalam Ee kalimat ini menandai awal dari sutta baru, dan dengan demikian pada titik ini penomoran Ee lebih satu dari penomoran saya. Baik Ce maupun Be, selaras dengan Mp, memperlakukan paragraf sebelumnya dan paragraf ini sebagai satu sutta. Sedangkan paragraf ini jelas tampak sebagai awal dari sutta tersendiri, dan mungkin awalnya memang demikian, Mp menganggapnya sebagai kelanjutan dari analisis kehendak yang dijelaskan di atas. Mp mengatakan bahwa hingga titik ini Sang Buddha telah menunjukkan kamma yang terakumulasi dalam tiga pintu; sekarang Beliau menunjukkan tempat di mana kamma itu matang. “Perolehan individualitas” (attabhāvappaṭilābha) adalah suatu penjelmaan individu, kombinasi dari jasmani dan batin yang membentuk kehidupan tertentu.

870 > Mp mengidentifikasikan makhluk-makhluk ini sebagai para deva yang menjadi rusak karena bermain (khiḍḍāpadosikā devā). Sewaktu mereka sedang menikmati kegembiraan surgawi di alam surga, kadang-kadang mereka lupa makan dan minum, dan karena mereka tidak makan maka mereka menjadi layu bagaikan kalung bunga yang diletakkan di terik matahari. Baca Bodhi 2007: 159-60.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #49 on: 15 February 2013, 06:21:56 AM »
871 > Mp mengatakan ini adalah para deva yang rusak melalui pikiran (manopadosika devā), yang berdiam di alam Empat Raja Dewa. Ketika mereka marah satu sama lain, kemarahan bersama itu menyebabkan keduanya meninggal dunia. Baca Bodhi 2007: 160-61.

872 > Mp mengatakan bahwa ini adalah manusia. Karena orang-orang bunuh diri dan orang lain membunuh mereka. Demikianlah mereka binasa karena kehendak diri sendiri dan karena kehendak orang lain.

873 > Mp: “[Pertanyaan:] Mengapakah Sāriputta mengajukan pertanyaan ini? Bukankah ia mampu menjawabnya sendiri? [Jawab:] Ia mampu, tetapi ia tidak mengatakannya karena ia berpikir, ‘pertanyaan ini adalah wilayah seorang Buddha.’”

874 > Mp: “Yang pertama, yang kembali pada kondisi makhluk ini (āgantāro itthattaṃ), adalah mereka yang kembali pada kelima kelompok unsur kehidupan di alam indria; mereka tidak terlahir kembali di sana [di alam di mana mereka meninggal dunia] atau di alam yang lebih tinggi. Mereka yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini (anāgantāro itthattaṃ) tidak kembali pada kelima kelompok unsur kehidupan atau kelahiran kembali yang lebih rendah. Mereka terlahir kembali di sana [di alam di mana mereka meninggal dunia] atau di alam yang lebih tinggi, atau mereka mencapai nibbāna akhir di sana. Ketika dikatakan bahwa mereka terlahir kembali di alam yang lebih tinggi, ini dikatakan dalam kasus mereka yang telah dilahirkan di alam yang lebih rendah. Tetapi dari alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, tidak ada kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi.”

875 > Odhiso vyañjanaso. Mp mengemas kedua kata ini berturut-turut sebagai kāraṇaso akkharaso, “melalui alasan-alasan [atau kasus-kasus], melalui hurufnya.” Maknanya tidak sepenuhnya jelas bagi saya dan Mp-ṭ tidak menjelaskan. Paṭisambhidā dijelaskan dalam Vism 440-43, Ppn 14.21-31, dengan berdasarkan pada Vibh 292-94 (Be §§718-24), yang menganalisanya dari beberapa sudut. Secara ringkas: pengetahuan makna adalah pengetahuan analitis pada makna (atthapaṭisambhidā); pengetahuan Dhamma adalah pengetahuan analitis pada Dhamma (dhammapaṭisambhidā); pengetahuan tentang bagaimana mengungkapkan dan menyampaikan Dhamma adalah pengetahuan analitis pada bahasa (niruttipaṭisambhidā); dan pengetahuan tentang pengetahuan adalah pengetahuan analitis pada pemahaman (paṭibhānapaṭisambhidā). Pengetahuan analitis yang terakhir ini tampaknya merujuk pada kemampuan untuk secara spontan menerapkan ketiga jenis pengetahuan lainnya untuk dengan jelas menyampaikan Dhamma. Dari perspektf yang lebih filosofis, attha dianggap sebagai aakibat dari suatu sebab (hetuphala) dan dhamma adalah suatu sebab (hetu) yang menghasilkan akibat. Oleh karena itu pengetahuan analitis pada makna berhubungan dengan pengetahuan pada kebenaran mulia pertama dank e tiga, pengetahuan analitis pada Dhamma berhubungan dengan pengetahuan pada kebenaran mulia ke dua dan ke empat. Pengetahuan analitis pada makna adalah pengetahuan pada masing-masing faktor dari kemunculan bergantungan dlam perannya sebagai akibat yang ditimbulkan dari kondisi, dan pengetahuan analitis pada Dhamma adalah pegetahuan pada faktor yang sama dalam perannya sebagai kondisi yang memunculkan akibat.

876 > Pakāsemi dalam Ee, sebagai kata kerja ke tiga, tidak terdapat dalam Ce atau Be. Pakāseti juga tidak ada dalam urutan kata kerja yang sama pada 3:136, I 286, 9-10, juga dalam Ee.

877 > Dalam teks yang samar-samar di sini dan mungkin terbolak-balik dalam perjalanan penyampaian. Mp memberikan suatu kata kerja pada bagian pertama kalimat, upagacchatu, yang saya sertakan dan terjemahkan dalam tanda kurung siku. Mp melengkapi ahaṃ veyyākaraṇena dengan ahamassa pañhakathanena cittaṃ ārādhessāmi (“Aku akan memuaskan pikirannya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan”). Saya juga menambahkan ini dalam tanda kurung siku.

878 > Mp: “Guru kita, yang sangat terampil dalam hal-hal ini yang telah kita capai, hadir di sini. Jika aku belum merealisasi pengetahuan analitis pada makna, maka Beliau akan mengusirku, menyuruhku untuk merealisasinya terlebih dulu.’ Bahkan selagi duduk di depan Sang Guru, ia mengaumkan auman singa itu.”

879 > Percakapan di sini tampaknya berhubungan dengan “status ontologism” Arahant yang telah mencapai elemen nibbāna tanpa sisa, yaitu, dengan pertanyaan apakah orang yang terbebaskan ada atau tidak ada setelah kematian.

880 > Mp mengemas mā h’evaṃ sebagai evaṃ mā bhaṇi, “Jangan berkata begitu,” dan menjelaskan bahwa keempat pertanyaan yang diajukan melalui eternalisme, nihilisme, eternalisme sebagian, dan “geliat-belut” (sassata-uccheda-ekaccasasssata-amarāvikkhepa). Dengan demikian Sāriputta menolak tiap-tiap pertanyaan. “Geliat-belut” adalah agnotis, skeptis, atau penghindaran intelektual.

881 > Appapañcaṃ papañceti. Mp: “Ia menciptakan proliferasi [atau spekulasi] sehubungan dengan sesuatu yang seharusnya tidak diproliferasikan [atau dispekulasikan]. Ia berjalan di sepanjang jalan yang seharusnya tidak dijalani.” Kata Pāli papañca menyiratkan bentukan-bentukan pikiran, konstruksi pikiran obsesif, dan konseptualisasi terdelusi, yang dikatakan oleh komentar sebagai muncul dari ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan salah (taṇhā, māna, diṭṭhi). Bagi saya tampaknya Mp memahami appapañcaṃ sebagai bentuk singkat dari appapañciyaṃ. Paralel China, SĀ 249, pada T II 60a16-20 mengatakan: “Jika seseorang [membuat pernyataan apa pun sehubungan dengan keenam landasan bagi kontak ini], maka itu hanyalah kata-kata kosong (MANDARIN). Dengan lenyapnya, meluruhnya, berhentinya, dan tenangnya keenam landasan bagi kontak ini, maka seseorang melepskan kebohongan kosong (MANDARIN) dan mencapai nibbāna.”

882 > Tāvatā papañcassa gati. Mp: “Sejauh mana keenam landasan kontak menjangkau, sejauh itulah jangkauan proliferasi, yang dibedakan melalui ketagihan, pandangan-pandangan, dan kesombongan.”

883 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, tanpa menghitungnya secara terpisah. Dengan demikian pada titik ini penomoran Ee menjadi sama dengan Ce dan Be.

884 > Percakapan ini, menurut Mp, merujuk pada penghentian saṃsāra. Keseluruhan lingkaran penderitaan (vaṭṭadukkhassa antakaro hoti, sakalaṃ vaṭṭadukkhaṃ paricchinnaṃ parivaṭumaṃ kaṭvā tiṭṭhati).

885 > Caraṇasampanno yathābhūtaṃ jānāti passati. Yathābhūtaṃ jānaṃ passaṃ antakaro hoti. Ini berbeda dengan pernyataan sebelumnya (bahwa seseorang tidak dapat menjadi pembuat akhir melalui pengetahuan dan perilaku) dalam penekanan atas mengetahui dan melihat (serta perilaku) sebagai fungsi aktif daripada kepemilikan subjektif yang bernuansa kemelekatan.

886 > Sutta ini menggabungkan 2:130-33.

887 > Banyak dari sutta ini juga terdapat dalam MN 62.8-11, I 421-23. Baca juga MN 28 dan MN 140, yang memperlakukan topik ini dengan lebih terperinci.

888 > Paññāya cittaṃ virājeti dari Ee jelas keliru. Dalam masing-masing dari keempat paragraf, paññāya di sini harus digantikan dengan nama elemen.

889 > Sakkāyanirodhaṃ. Mp: “Lenyapnya eksistensi diri; yaitu, lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya; maknanya adalah nibbāna.”

890 > Ini dijelaskan pada Vibh 330-31 (Be §799), namun dalam hal kebijaksanaan (paññā). Saya hanya mengutip teks tentang jhāna pertama: “Ketika seseorang yang mencapai jhāna pertama, maka kebijaksanaan berhubungan dengan kemerosotan; ketika perhatian distabilkan menurut sifatnya, maka kebijaksanaan berhubungan dengan kestabilan; ketika persepsi dan perhatian tidak disertai dengan pemikiran, maka kebijaksanaan berhubungan dengan keluhuran. Ketika persepsi dan perhatian disertai oleh kekecewaan, bersama dengan kebosanan, maka kebijaksanaan berhubungan dengan penembusan” (paṭhamassa jhānassa lābhiṃ kāmasahagatā saññāmanasikāra samudācaranti hānabhāginī paññā; tadanudhammatā sati santiṭṭhati ṭhitibhāginī paññā; avitakkasahagatā saññāmanasikārā samudācaranti visesabhāgini paññā; nibbidāsahagatā saññāmanasikārā samudācaranti virāgupasaṃhitā nibbedhabhāginī paññā). Keluhuran-keluhuran serupa dicapai pada tiap-tiap pencapian yang lebih tinggi.

891 > Paragraf ini juga termasuk dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.4.7, pada II 124-26.

892 > Mahāpadese: Mp mengemas sebagai mahā-okāse (jelas seolah-olah kata majemuk itu dapat dipecah menjadi mahā + padese) dan sebagai mahā-apadese, yang terakhir dijelaskan sebagai “alasan agung yang dinyatakan sehubungan dengan para makhluk agung seperti Buddha dan lainnya” (buddhādayo mahante mahante apadisitvā vuttāni mahākāraṇāni). Pemecahan ke dua ini tentu saja lebih disukai. DOP memberikan, di antara makna-makna apadesa, “sebutan, penunjukan, rujukan, saksi, otoritas.” Cattāro mahāpadesā kadang-kadang diterjemahkan “empat otoritas agung” tetapi sutta sebenarnya hanya menyebutkan dua otoritas, sutta-sutta dan vinaya. Walshe, dalam LDB, menerjemahkannya sebagai “empat kriteria.” Saya memahami kata ini bermakna “empat rujukan agung,” empat sumber ajaran.

893 > Tāni padabyañjanāni … suttee otāretabbāni vinaye sandassetabbāni. Mp memberikan berbagai makna suttee dan vinaye di sini, beberapa di antaranya tidak mungkin. Jelas, instruksi ini mensyaratkan bahwa di sana telah ada batang tubuh khotbah-khotbah dan Vinaya yang sistematis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi teks-teks lain yang dimasukkan sebagai sabda-sabda otektik dari Sang Buddha. Otāretabbāni adalah bentukan kata benda jamak dari kata kerja otārenti, “menurunkan, meletakkan atau memasukkan,” terjemahan saya berturut-turut, sebagai “memeriksanya” dan “termasuk di antara” telah disesuaikan menurut konteksnya. Sandassetabbāni adalah bentukan kata benda jamak dari kata kerja sandassenti, “memperlihatkan, membuat terlihat,” dan sandissanti berarti “terlihat.”

894 > Yang lebih jelas di antara dua paralel China adalah dlam DĀ 2, pada T I 17b29-18a22. di sini cattāro mahāpadesā diterjemahkan sebagai (MANDARIN), “empat ajaran dhamma agung.” Saya menerjemahkan pernyataan pertama (T I  17c2-13) sebagai berikut: “Jika ada seorang bhikkhu yang mengaku: ‘Para mulia, di desa, kota, negeri itu, aku secara pribadi mendengar [hal ini] dari Sang Buddha, aku secara pribadi menerima ajaran ini,’ maka kalian seharusnya tidak mempercayai apa yang kalian dengar darinya, juga tidak menolaknya, melainkan pastikan benar atau salahnya melalui sutta-sutta; berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, selidikilah dengan seksama. Jika apa yang ia katakan bukanlah sutta, bukan vinaya, bukan Dhamma, maka kalian harus mengatakan kepadanya: ‘Sang Buddha tidak mengatakan hal ini. Apa yang engkau terima adalah keliru! [Atau: Engkau menerimanya secara keliru!] Karena alasan apakah? Karena berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, kami [menemukan] bahwa apa yang engkau katakan adalah menyimpang dari Dhamma. Yang Mulia, engkau tidak boleh memegang ini, engkau tidak boleh mengatakannya kepada orang-orang, melainkan harus membuangnya.’ Tetapi jika apa yang ia katakan adalah berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, maka kalian harus mengatakan kepadanya: ‘Apa yang engkau katakan sesungguhnya adalah apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Karena alasan apakah? Karena berdasarkan atas sutta, berdasarkan atas Vinaya, berdasarkan atas Dhamma, kami [menemukan] bahwa apa yang engkau katakan adalah sesuai dengan Dhamma. Yang Mulia, engkau harus memegang ini, engkau harus mengajarkannya kepada orang banyak; engkau tidak boleh membuangnya.’ Ini adalah ajaran dhamma agung yang pertama.”

895 > Saya mengikuti Ce dan Ee di sini. Be berbeda dan diterjemahkan: “Tetapi jika, ketika seseorang tidak mengatakan apa yang telah ia lihat, kualitas-kualitas bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan apa yang telah ia lihat.” Tiap-tiap paragraf berikutnya bervariasi dengan cara serupa.

896 > Nāhaṃ kvacana, kassaci kiñcamatasmiṃ, na ca mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Pada 3:70, I 206, 18-20, formula ini dikatakan telah digunakan oleh para Niganṭha untuk melatih tanpa-kepemilikan. Saya mengikuti tulisan pada Ce. Be hampir sama, kecuali bahwa tulisan kvacani dua kali menggantikan kvacana. Ee pada bagian akhir membaca kiñcanaṃ n’atthi bukan kiñcanat’atthi atau kiñcanatātthi. Tulisan ini juga terdapat pada edisi naskah Sinhala kuno, dan dalam tulisan Be atas MN 106.8.

Terjemahan saya mengikuti Mp, yang mengomentari: “Ini adalah penjelasan atas empt kekosongan terpusat (catukkoṭisuññatā).
897 > Ākiñcaññaṃyeva paṭipadaṃ paṭipanno hoti. Mp mengatakan bahwa ia mempraktikkan jalan itu tanpa kesulitan, tanpa menggenggam (nippalibodhaṃ niggahaṇameva paṭipadaṃ paṭipanno hoti). Akan tetapi MN 106.8, II 263,33-264,4 menjelaskan formula ini sebagai suatu alat meditasi untuk mencapai landasan kekosongan (ākiñcaññāyatanaṃ samāpajjati).

898 > Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban Sang Buddha disampaikan dalam syair pada SN 1:62, I 39.

899 > Mp mengidentifikasikan ummagga dan paṭibhāna sebagai kebijaksanaan (pañña): “Kecerdasan meningkat, yaitu, pergerakan kebijaksanaan. Atau kebijaksanaan itu sendiri disebut ‘kecerdasan,’ dalam makna meningkat. [Juga disebut] ‘kearifan’ dalam makna memahami” (unmaggo ti ummujjanaṃ, paññāgamanan ti attho. Paññā eva vā ummujjanaṭṭhena ummaggo ti vuccati. Sā va paṭibhānaṭṭhena paṭibhānaṃ[/i]).

900 > Terdapat perubahan dalam teks dari ceteti dalam kalimat sebelumnya menjadi cintamāno cinteti di sini. Sulit untuk menentukan apakah hal ini penting. Mp tidak mengomentarinya, maka saya menganggapnya tidak penting.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #50 on: 15 February 2013, 06:23:58 AM »
901 > Mp mengidentifikasinya sebagai Uddaka Rāmaputta, salah satu guru Sang Buddha sebelum pencerahanNya. Baca MN 26.16, I 165-66.

902 > Mp menjelaskan inti dari penyimpangan jelas ini sebagai berikut: “Sang brahmana, sebagai seorang yang baik, memuji Raja Eleyya, kelompoknya, dan Uddaka Rāmaputta. Karena orang jahat adalah bagaikan seorang buta, dan orang baik bagaikan seorang yang memiliki penglihatan yang baik. Seperti halnya orang buta tidak dapat melihat orang lain baik yang buta maupun yang memiliki penglihatan, demikian pula orang jahat tidak dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Tetapi seperti halnya seorang yang memiliki penglihatan baik dapat melihat baik orang buta maupun orang yang berpenglihatan baik, demikian pula seorang yang baik dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Brahmana [Vassakāra], berpikir: ‘Bahkan Todeyya, sebagai seorang yang baik, mengenali siapa yang orang jahat,’merasa senang karena hal ini dan berkata: ‘Menakjubkan, Guru Gotama!’”

903 > Be dan Ee membaca sotānugatānaṃ bhikkhave dhammānaṃ. Ce menuliskan sotānudhatānaṃ di sini, dan sotānudhātā honti persis di bawah, tidak seperti Be dan Ee sotānugatā honti; akan tetapi Ce menuliskan sotānugataṃ dalam syair uddāna. Mp (Ce) membaca sotānugatānaṃ. Mp mengemas: “Setelah mengerahkan indria telinga, seseorang telah menentukan [makna] dengan telinga pengetahuan” (pasādasotaṃ odahitvā ñāṇasotena vavatthapitānaṃ). Ini tampaknya mendukung sotānudhatānaṃ, tetapi persis di bawah Mp (Be) mengemas sotānugatā honti sebagai sotaṃ anuppattā anupaviṭṭhā honti, yang  menyarankan tulisan sotānugatānaṃ. Mp (Ce), walaupun membaca sotānugatānaṃ dalam lema kalimat sebelumnya, namun di sini secara tidak konsisten membaca sotānudhatā honti. Demikianlah sejumlah teks mengungkapkan bahwa para penyusun sendiri tidak pasti akan tulisan ini. Tidak ada paralel China yang tercatat.

904 > Kalimat ini agak problematik, baik sehubungan dengan tulisan maupun maknanya. Pertama, tulisan: bersama dengan Ce saya membaca tassa tattha sukhino dhammapadāpilapanti. Saya menafsirkan dhammapadāpilapanti sebagai sebuah sandhi yang dibentuk dari dhammapadā dan apilapanti, yang bermakna “membaca, mengucapkan.” Kata kerja ini mungkin perubahan dari abhilapanti (baca DOP sv apilapati). Be menuliskan tassa tattha sukhino dhammapadāplavanti. Ee dhammapadāni pi lapanti, dengan kekosongan antara pi dan lapanti, yang tampaknya tidak dapat diterima. Dalam sebuah makalah pendek tentang paragraf ini, Norman (1992:257-59) berpendapat bahwa kata kerja ini adalah api-lapanti = abhi + lapanti. Tulisan plavanti pada Be jelas mengambil kata kerja ini sebagai berasal dari akar plui, mengapung, mungkin melalui plavanti.

Masalah ke dua muncul dari frasa tassa tattha sukhino. Sukhino dapat berupa bentuk datif-genitif tunggal atau pun bentuk nominatif jamak, dan dengan demikian frasa ini dapat ditafsirkan bermakna “padanya yang berbahagia di sana” (dengan tassa dan sukhino sebagai bentuk datif tunggal yang merujuk pada subjek yang sama) atau “padanya, mereka yang berbahagia di sana” (dengan tassa merujuk pada seorang yang terlahir kembali, dan sukhino sebuah bentuk nominatif jamak yang merujuk pada mereka yang telah ada di sana). Hubungan frasa ini dengan kata-kata berikutnya akan berbeda tergantung pada alternatif mana yang dipilih. Mp (Be) memilih alternatif pertama, menganggap dhammapadā sebagai subjek nominatif, plavanti sebagai kata kerja, dan tassa sukhino sebagai objek tidak langsung datif: “Kalimat-kalimat Dhama yang mengapung padanya yang berbahagia di sana.” Dengan mengomentari frasa itu dalam makna ini, Mp (Be) mengatakan: “Kepada seseorang yang terlahir kembali yang berpikiran kacau dalam kehidupan berikutnya, ajaran-ajaran dari kata-kata Sang Buddha yang telah ia ucapkan, karena berasal dari pengucapan masa lampau, semuanya mengapung dengan jelas terlihat bagaikan bayangan dalam sebuah cermin yang bersih.” Mp (Ce), secara menarik, mencatat lema ini sebagai dhammapadāpilapanti, dan membaca kemasan: te sabbe pasanne ādāse chāyā viya apilapanti upaṭṭhahanti. Saya mengasumsikan bahwa kata kerja apilapanti dimasukkan ke sini karena naskah Sinhala dari AN mempertahankan kata kerja aslinya, yang kemudian berpindah kepada komentar untuk menggantikan plavanti atau pilavanti. Sebaliknya adalah sulit untuk menjelaskan plavanti dalam Be. Mp (Ce) juga memasukkan kata kerja upaṭṭhahanti, “[mereka] tampak,” yang tidak ada dalam Be, mungkin karena terlewatkan dalam penyuntingan. Kata kerja ini jelas dimaksudkan sebagai sebuah kemasan atas apilapanti / plavanti.

Saya berpisah dengan Mp dan mengikuti Norman dalam menganggap tassa dan sukhino sebagai merujuk pada orang-orang berbeda: tassa adalah objek datif tidak langsung dan sukhino adalah sbujek jamak nominative. Saya menganggap kata kerja ini sebagai berbentuk transitif apilapanti ( = abhilapanti) dengan dhammapadā sebagai objek tidak langsungnya. Norman (p.259) menegaskan kata benda netral itu dalam bentuk jamak akusatif yang kadang-kadang ditambahkan akhiran –ā. Demikianlah saya memahami baris ini sebagai bermakna bahwa “mereka yang berbahagia” – para deva di alam surga – “mengulangi kalimat-kalimat Dhamma untuknya,” yaitu, kepada orang yang terlahir kembali di sana.

905 > Di sini dan persis di bawah, saya bersama dengan Ce dan Be membaca purimavohārā pacchimavohāraṃ.

906 > Saya menerjemahkan ini secara bebas agar sesuai dengan gaya bahasa Inggris. Pāli tathābhūto kho ayaṃ lokasannivāso tathābhūto ayaṃ attabhāvapaṭilābho secara literal berarti: “Kediaman di dunia bersifat demikian, perolehan penjelmaan individu bersifat demikian …” Lokasannivāso juga terdapat pada 3:40 §2.

907 > Tuduhan ini juga terdapat pada SN 42:13, IV 340,21-29. menurut MN 56.8, I 375,24-26; tuduhan ini berasal dari kaum Jain.

908 > Ini adalah nasihat Sang Buddha kepada para penduduk Kālāma apda 3:65. Percakapan selanjutnya juga paralel dengan yang digunakan kepada para penduduk Kālāma, tetapi dengan penambahan motif yang tidak bermanfaat.

909 > BHSD mendefinisikan sārambha “sifat suka bertengkar” dan menghubungkannya dengan Skt saṃrambha, yang dijelaskan oleh SED sebagai “tindakan mencengkeram atau menggenggam,” dan memberikan makna “sifat berapi-api, ketidak-sabaran … kemarahan, kemurkaan pada.” Karena sutta membicarakan tentang sārambha yang terjadi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka saya memilih “sifat berapi-api.”

910 > Ce membaca lobhaṃ vineyya vineyya viharananto, dan juga sehubungan dengan dosa, moha, dan sārambha. Saya mencoba menangkap makna ini sebagai “secara terus-menerus”, walaupun “secara berulang-ulang” juga digunakan. Be dan Ee hanya membaca lobhaṃ vineyya viharanto.

911 > Baca MN 56.26, II 383,32-384,7.

912 > Kata sace ceteyyuṃ terdapat dalam Ce dan Ee, tetapi tidak terdapat dalam Be.

913 > Pārisuddhipadhāniyaṅgāni. Saya menerjemahkan kata majemuk ini sesuai dengan pecahan oleh ṃp: pārisuddhi-atthāya padhāniyaṅgāni.

914 > Sīlapārisuddhipadhāniyaṅga, cittaparisuddhipadhāniyaṅga, diṭṭhipārisuddhipadhāniyaṅga, vimuttipārisuddhipadhāniyaṅa. Sīlavisuddhi, cittavisuddhi, dan diṭṭhivisuddhi termasuk dalam tujuh pemurnian (satta visuddhi) pada MN 24, yang digunakan sebagai kerangka bagi Vism. Empat ini termasuk di dalam sembilan pārisuddhipadhāniyaṅgaṃ. Mengherankan bahwa tidak ada sutta tentang ketujuh pemurnian yang termasuk dalam Kelompok Tujuh. Ini menyiratkan asal-usul yang belakangan untuk skema ini, serta asal-usul belakangan untuk MN 24.

915 > Tattha tattha paññāya anuggahessāmi. Mp: “Dalam aspek ini dan itu aku akan membantunya dengan kebijaksanaan (vipassanāpaññāya).”

916 > Karena, dalam Nikāya-Nikāya, pemahaman langsung pada keempat kebenaran mulia secara khas menandai pencapaian tingkat memasuki-arus, pemurnian pandangan di sini dapat diidentifikasikan sebagai kebijaksanaan pemasuk-arus. Hal ini berlawanan dengan skema Vism, yang mana pemurnian pandangan (diṭṭhivisuddhi) adalah yang ke tiga dari tujuh pemurnian. Vism menjelaskannya sebagai pemahaman jernih pada fenomena-fenomena batin dan jasmani (nāmarūpavavatthān), yang juga dikenal sebagai pembatasan fenomena-fenomena terkondisi (saṅkhārapariccheda). Dalam skema vism, pencapaian tingkat memasuki-arus (and jalan berikutnya) hanya terjadi pada pemurnian ke tujuh, yaitu pemurnian pengetahuan dan penglihatan (ñāṇadassanavisuddhi).

917 > Pemurnian terpisah dengan nama ini tidak terdapat dalam skema Vism, tetapi mungkin dapat dianggap sebagai puncak dari pemurnian pengetahuan dan penglihatan.

918 > Ini tampaknya merupakan prindip Jain, yang melalui praktik menyiksa-diri mereka mengejar pelenyapan kamma lampau. Baca ajaran yang diberikan oleh Nātaputta (Mahāvīra) pada 3:74.

919 > So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañ ca kammaṃ phussa phussa vyantīkaroti. Baca p.1660, catatan 499. Di sini Mp memparafrasekan sedikit berbeda dengan yang sebelumnya: “Setelah menyentuh kamma lagi dan lagi melalui kontak dengan pengetahuan, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan melalui pengetahuan. Setelah menyentuh akibat lagi dan lagi melalui kontak-akibat, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan dengan [mengalami] akibatnya.”

920 > Mp: “Karena ia telah memperoleh keseimbangan, yang dirangkul oleh perhatian dan pemahaman jernih, dan memiliki keseimbangan pikiran sebagai karakteristiknya, ‘ia berdiam seimbang,’ seimbang secara pikiran sehubungan dengan objek-objek itu” (satisampajaññapariggahitāya majjhattākāralakkhanāya upekkhāya tesu ārammaṇesu upekkhako majjhato hutvā viharati).

921 > Ini menunjukkan sikap Arahant terhadap pengalaman masa sekarang. Ia mengetahui bahwa perasaan-perasaannya berlangsung hanya selama jasmani dan vitalitasnya bekerja, dan bahwa dengan musnahnya jasmani dan padamnya vitalitas maka semua perasaan akan berakhir. Mp menjelaskan “akan menjadi dingin di sini (idh’eva sītībhavissantii)” sebagai berikut: “Perasaan-perasaan itu akan menjadi dingin, hampa dari gangguan dan kesulitan yang disebabkan oleh terjadinya [proses kehidupan]; perasaan-perasaan itu tidak akan terulang. [Ini terjadi] di sini, tanpa pergi ke tempat lain melalui kelahiran kembali.”

922 > Mp: “Ini adalah penerapan perumpamaan itu: jasmani harus dilihat sebagai pohon. Kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah bagaikan bayangan yang bergantung pada pohon. Meditator adalah bagaikan orang yang ingin melenyapkan bayangan; kebijaksanaan adalah bagaikan sekop; konsentrasi adalah bagaikan keranjang; pandangan terang adalah bagaikan pencungkil (khaṇitti, tidak disebutkan dalam sutta; DOP mendefinisikan baik kudddāla maupun khaṇitti sebagai alat penggali, sekop, tajak). Waktu yang dibutuhkan untuk menggali akar dengan pencungkil adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk memotong ketidak-tahuan dengan jalan Kearahattaan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan tunggul pohon menjadi berkeping-keping adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat landasan-landasan indria; waktu yang dibutuhkan untuk mengiris-irisnya adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat elemen-elemen. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan-irisan itu di bawah angina dan terik matahari adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk mengerahkan kegigihan jasmani dan pikiran. Waktu yang dibutuhkan untuk membakar irisan-irisan itu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk membakar kekotoran-kekotoran dengan pengetahuan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkannya menjadi abu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan ketika kelima kelompok unsur kehidupan masih ada [setelah seseorang mencapai Kearahattaan]. Waktu yang dibutuhkan untuk menebarkan abu itu dalam angina kencang dan menghanyutkannya di arus kencang adalah bagaikan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan. Seperti halnya abu yang ditebarkan dan terhanyutkan akan pergi menuju kondisi yang tidak terlihat (appaṇṇattibhāvūpagamo), demikian pula seseorang harus memahami kondisi yang tidak terlihat (appaṇnattibhāvo) [yang dicapai] melalui ketidak-mundulan kelompok-kelompok unsur kehidupan yang dihasilkan dalam penjelmaan baru.”

923 > Menyeberangi banjir (oghassa nittharaṇa) adalah suatu metafora untuk menyeberangi saṃsāra atau melenyapkan kekotoran-kekotoran. Kedua faktor yang disebutkan oleh Sāḷha adalah sīlavisuddhi dan tapojigucchā. Yang terakhir merupakan variasi jenis pertapaan keras dan penyiksaan diri yang ditolak oleh Sang Buddha dalam formula “jalan tengah.” Dalam jawabannya, Sang Buddha menerima pemurnian perilaku bermoral sebagai salah satu faktor pertapaan (sāmaññaṅga), namun menolak pertapaan keras dan kejijikan.

924 > Baca 3:78.

925 > Mp menjelaskan konsentrasi benar yang dibicarakan di atas sebagai konsentrasi jalan dan buah. Pandangan benar adalah pandangan sang jalan; penyebutan empat kebenaran mulia merujuk pada empat jalan dan tiga buah. Kebebasan benar adalah kebebasan buah Kearahattaan. Kumpulan ketidak-tahuan dibelah melalui jalan Kearahattaan, yang telah dicapai oleh siswa sebelum ia memperoleh kebebasan buah.

Saya menganggap bahwa sutta ini dimasukkan dalam Kelompok Empat melalui kemurnian moral (jasmani, ucapan, pikiran, dan penghidupan), konsentrasi benar, pandangan benar, dan kebebasan benar. Akan tetapi, sutta ini sendiri tidak cukup eksplisit sehubungan dengan hal ini dan dengan demikian penomoran saya adalah dugaan.
926 > Ratu Mallikā adalah istri Raja Pasenadi dari Kosala.

927 > Isi dari sutta ini juga terdapat pada MN 51.8-28, I 342-49.

928 > Ungkapan ini juga terdapat pada 3:66. baca p.1654, catatan 463.

929 > Praktik pertapaan ini juga dijelaskan pada 3:156 §2.

930 > Be sendiri yang memiliki tugas tambahan di sini, goghatako, penyembelih ternak.

931 > Baca p.1658, catatan 481.

932 > Mp: “Ketagihan disebut yang menjerat (jālinī) karena seperti jarring. Karena sebuah jaring dijahit kencang menjadi satu dan secara menyeluruh saling terjalin, demikian pula ketagihan. Atau disebut yang menjerat karena jaring ini ditebarkan di seluruh tiga alam kehidupan.  Disebut yang mengalir (saritā) karena mengalir ke sana-sini. Yang menyebar luas (visaṭā) karena menyebar luas dan berserakan. Dan lengket (visattikā) karena menempel, melekat, terikat di sana-sini.

933 > Saya menerjemahkan frasa-frasa ini – yang tidak jelas – dengan bantuan Mp. “Berhubungan dengan apa yang internal” (ajjhattikassa upādāya) bermakna berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan diri sendiri.

934 > “Berhubungan dengan apa yang eksternal” (bāhirassa upādāya) bermakna berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan eksternal.

935 > Mp mengatakan bahwa “karena ini” (iminā) harus dipahami sebagai bermakna “karena bentuk ini … karena kesadaran ini” (iminā rūpena vā … pe … viññāṇena). Kalimat ini tersamar dan saya tidak yakin bahwa Mp telah menangkap makna aslinya. “Karena ini” mungkin bermakna “karena Tuhan pencipta,” atau “karena materi primordial” atau “karena kesempatan atau keperluan,” dan sebagainya.

936 > Saya tidak yakin bagaimana menjelaskan mengapa sutta ini masuk dalam Kelompok Empat. Alasannya mungkin karena keempat kata ini digunakan untuk menjelaskan ketagihan, yang diapit oleh tanda garis pisah, tetapi ini hanya sekedar dugaan.

937 > DOP mendefinisikan kata kerja usseneti sebagai “membentuk pergaulan (dengan), terlibat,” tetapi Mp mengemasnya sebagai ukkhipati, yang dikatakan DOP dapat bermakna “melempar ke atas, naik; mengangkat, mendorong, menahan; menaikkan, memuji.” Bagian selanjutnya adlah dua puluh modus pandangan eksistensi diri (sakkāyadiṭṭhi), pandangan atas diri yang nyata yang ada sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan. Ada empat modus untuk masing-masing kelompok unsur kehidupan.

938 > Terdapat perbedaan tulisan di sini: Ce appajjhāyate, Be sampajjhāyāti, Ee pajjhāyati. Ee tidak mencantumkan paragraf ini tetapi mencantumkan paragraf berikutnya; diduga, ini adalah kekeliruan editorial dan bukan perbedaan dalam naskah.

939 > Tentang empat kata ini, baca p.1681, cataatn 656.

940 > Dalam Pāli: cintākavi, sutakavi, atthakavi, paṭibānakavi. Mp mengatakan yang pertama menggubah syair setelah merenungkan, yang ke dua melakukannya berdasarkan pada apa yang ia dengar, yang ke tiga berdasarkan sebuah pesan, dan ke empat secara spontan, melalui inspirasinya, seperti Bhikkhu Vaṅgisa.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #51 on: 15 February 2013, 06:24:21 AM »
941 > Baca ṃṇ 57.7-11, I 389-91.

942 > Di sini suatu “aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan” (sabyāpajjhaṃ kāyasaṅkhāraṃ) dapat dipahami sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas ketiga perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui jasmani, suatu “aktvitas berkehendak melalui ucapan yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas keempat perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui ucapan, dan suatu “aktvitas berkehendak melalui pikiran yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas ketiga perjalanan kamma tidak bermanfaat melalui pikiran.

943 > Sepuluh perjalanan kamma bermanfaat bersama dengan kehendak jhāna-jhāna.

944 > Alam deva yang lebih tinggi.

945 > Devā subhakiṇhā. Ini adalah para deva yang berdiam di alam surga tertinggi pada jhāna ke tiga.

946 > Mp: “Kehendak sang jalan menuju akhir lingkaran” (vivaṭṭagāminī maggacetanā),

947 > Di sini saya mengikuti tulisan dalam Ce dan Ee: suññā parappavāda samaṇehi aññe ti. Be membaca aññehi untuk aññe ti. Perbedaan yang sama dalam tulisan antar edisi terjadi pada MN I 63,30 – 64,1. Dalam satu baris yang tidak merujuk pada auman siinga DN II 151,22, menuliskan suññā parappavādā samaṇehi aññe. Mp mengatakan bahwa “sekte lain” adalah para penganut enam puluh dua pandangan, yang tidak memiliki dua belas jenis pertapaan: empat yang telah mencapai buah, empat yang sedang melatih sang jalan, dan empat yang mempraktikkan pandangan terang untuk mencapi masing-masing jalan.

948 > Adhikaraṇaṃ vūpasantaṃ. Baca p.1623, catatan 231.

949 > Pārājika adalah kelompok pelanggaran yang paling berat. Untuk para bhikkhu, kelompok ini terdiri dari empat pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran dari Saṅgha: hubungan seksual, pencruan (pada tingkat yang dapat dihukum oleh hukum), pembunuhan manusia, dan pengakuan palsi telah mencapai kondisi melampaui manusia dan keluhuran spiritual. Untuk para bhikkhunī terdapat empat tambahan pārājika. Satu-satunya cara bagi seseorang yang telah melakukan salah satu dari pelanggaran-pelanggaran ini untuk “memperbaikinya sesuai Dhamma” adalah mengakuinya dan melepaskan status kebhikhhuannya. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 4.

950 > Teks menggunakan kata bhante di sini. Jelas kata ini tidak digunakan hanya untuk berbicara dengan para bhikkhu tetapi juga kepada orang-orang lain dengan posisi yang lebih tinggi. Karena itu di sini saya menerjemahkannya sebagai “Tuan-Tuan.”

951 > saṅghadisesa adalah kelompok pelanggaran terberat ke dua. Untuk para bhikkhu, kelompok ini termasuk dengan sengaja mengeluarkan mani, menyentuh perempuan dengan pikiran bernafsu, berbicara cabul dengan perempuan, dan memfitnah seorang bhikkhu bermoral telah melakukan pelanggaran pārājika, dan sebagainya. Rehabilitasinya melibatkan suatu proses yang rumit yang memerlukan siding resmi Saṅgha. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 5.

952 > Ce dan Ee assapuṭaṃ, Be bhasmapuṭaṃ. Mp: “[Perbuatannya] layak dihukum dengan karung abu yang tercela di kepalanya” (garahitabbachārikāpuṭena matthake abhighātārahaṃ).

953 > Pācittiya adalah kelompok pelanggaran yang dapat dimurnian melalui pengakuan kepada sesama bhikkhu. Diduga pelanggaran nissaggiya-pācittiya yang juga menuntut dilepaskannya benda-benda yang tidak selayaknya, juga termasuk dalam kategori ini. . Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 7 dan 8.

954 > Ini adalah kelompok pelanggaran yang lebih ringan yang dapat dimurnikan dengan cara mengakui. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007a, bab 9.

955 > Sikkhānisaṃsam idaṃ bhikkhave brahmacariyaṃ vussati paññuttaraṃ vimuttisāraṃ satādhipateyyaṃ. Dalam sutta-sutta di belakang yang menggunakan metafora-metafora ini (8:83, 9:14, 10:58), perhatian mendahului kebijaksanaan dan kebebasan, tetapi sutta sekarang ini menjelaskan alasan pembalikan urutan normal ini.

956 > Ābhisamācārikā sikkhā. Mp: “Ini adalah sebutan untuk jenis perilaku bermoral yang diajarkan melalui tugas-tugas” (vattavasena paññattisīlass’etaṃ adhivacanaṃ). Komentar menarik perbedaan antara perilaku bermoral alami (pakatisīla), modus perilaku bermoral dengan penekanan pada etika, dan perilaku bermoral yang berdasarkan pada aturan (paññattisīla) yang diturunkan dari aturan-aturan monastik yang menentukan perilaku dan penampikan yang tidak secara intrinsik tidak memandang etika, seperti, tidak makan setelah tengah hari, tidak menerima uang, tidak menggelitik bhikkhu lain, dan sebagainya. Yang dimaksudkan oleh yang terakhir ini adalah ābhisamācārikā sikkhā.

957 > Mp: : “Ini adalah sebutan untuk jenis utama perilaku bermoral, yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual sang jalan” (maggabrahmacariyassa ādibhūtānaṃ catunnaṃ mahāsīlānam etaṃ achivacanaṃ). Walaupun Mp tampaknya membatasi jenis moralitas ini pada keempat pelanggaran pārājika, namun ini jelas termasuk banyak aturan latihan lainnya lagi yang termasuk dalam keompok-kelompok pelanggaran lainnya.

958 > Mp tidak menjelaskan dalam makna apa paññā disebut uttarā, tetapi hanya mengatakan: “Ini terlihat dengan baikoleh kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang” (sahavipassanāya maggapaññāya sudiṭṭhā honti).

959 > Mp: “Ini dialami melalui pengetahuan pengalaman kebebasan buah Kearahataan” (arahattaphalavimuttiyāñāṇaphassena phuṭṭhā honti).

960 > Seperti pada 4:194. Mp mengatakan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan pandangan terang (vipassanāpaññāi).

961 > Baca 2:55
962 > Seperti pada SN 55:60, V 411. ini juga disebut empat faktor yang mengarah pada realisasi buah memasuki-arus (dan buah-buah yang lebih tinggi). Baca SN 55-58, V 410-11.
963< > Ee menggabungkan sutta ini dengan sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be memperlakukannya secara terpisah.

964 > Ini bersesuaian dengan keempat kebenaran mulia, tetapi dengan kebenaran ke tiga dan ke empat terbalik.

965 > Seperti pada MN 26.5, I 161-62, tetapi yang terakhir diperkuat dengan dua pencarian tambahan: apa yang tunduk pada dukacita dan apa yang tunduk pada kekotoran. Pencarian mulia terdapat pada MN 26.12, I 162-63.

966 > Baca di atas, 4:32. Tampaknya bagi saya bahwa kedua sutta ini seharusnya berurutan. Tetapi

967 > Ia adalah bhikkhu yang mengancam akan meninggalkan Sang Buddha jika Sang Buddha tdiak menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisikanya. Baca MN 63, I 426-32, serta MN 64.2-3, I 432-33; SN 35:95, IV 72-76.

968 > Baca 4:9 di atas.

969 > Baca SN 42:9, IV 324,25 – 25,3, tentang delapan penyebab hancurnya keluarga-keluarga.

970 > Sebuah paralel yang diperluas dari 3:96.

971 > Sebuah paralel yang diperluas dari 3:98. sebuah paralel dari 3:97, tentang yang-tidak-kembali, tidak terdapat dalam Kelompok Empat.

972 > Dalam tiap-tiap sutta kelompok ini, 4:265-73, salah satu dari pelanggaran yang terdapat pada (1) menggantikan “membunuh” dalam 4:264.

973 > Serperti halnya tiga kelompok keempat praktik yang harus dikembangkan demi pengetahuan langsung pada nafsu, demikian pula praktik-prakti tersebut harus dikembangkan utuk masing-masing dari sembilan tujuan. Dengan demikian terdapat secara total tiga puluh sutta sehubungan dengan nafsu.