//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)  (Read 35982 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #15 on: 22 November 2010, 09:35:34 PM »
57  Kukkuravatika Sutta
Petapa Berperilaku-Anjing

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Koliya di mana terdapat sebuah pemukiman Koliya bernama Haliddavasana.

2. Kemudian Puṇṇa, putra Koliya, seorang petapa berperilaku sapi, dan Seniya, seorang petapa telanjang berperilaku-anjing, menghadap Sang Bhagavā. [ ]Puṇṇa, si petapa berperilaku sapi, bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, sedangkan Seniya, si petapa telanjang berperilaku anjing, saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia juga duduk di satu sisi meringkuk seperti anjing. Puṇṇa, si petapa berperilaku sapi, berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Seniya ini adalah petapa telanjang berperilaku anjing yang telah lama melakukan hal-hal yang sulit dilakukan: ia memakan makanannya ketika dibuang ke tanah. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.”

Untuk ke dua kalinya ... Dan untuk ke tiga kalinya Puṇṇa, si petapa berperilaku-sapi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Seniya ini adalah petapa telanjang berperilaku anjing yang telah lama melakukan hal-hal yang sulit dilakukan: ia memakan makanannya ketika dibuang ke tanah. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Baiklah, Puṇṇa, karena Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’ Oleh karena itu, Aku akan menjawabmu.

3. Di sini, Puṇṇa, seseorang mengembangkan perilaku-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan kebiasaan-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan pikiran-anjing [388] sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan tingkah-laku-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus. Setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di antara anjing-anjing. Tetapi jika ia memiliki pandangan seperti ini: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci ini maka aku akan menjadi dewa [besar] atau dewa [kecil],’ itu adalah pandangan salah dalam kasusnya. Sekarang terdapat dua alam tujuan kelahiran bagi seseorang yang berpandangan salah, Aku katakan: neraka atau alam binatang. [ ]Jadi, Puṇṇa, jika perilaku-anjingnya berhasil, itu akan menuntunnya menuju kelahiran kembali di antara anjing-anjing; jika gagal, maka itu akan menuntunnya menuju neraka.”

4. Ketika hal ini dikatakan, Seniya si petapa berperilaku-anjing menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Puṇṇa, putra Koliya, si petapa berperilaku-sapi: “Puṇṇa, Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’”

[Kemudian Seniya si petapa telanjang berperilaku-anjing berkata:] “Yang Mulia, aku bukan menangis karena Sang Bhagavā mengatakan sesuatu tentang aku, melainkan karena aku telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing ini. Yang Mulia, Puṇṇa ini, putra Koliya, adalah seorang petapa berperilaku-sapi. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.”

Untuk ke dua kalinya ... Dan untuk ke tiga kalinya Seniya, si petapa telanjang berperilaku-anjing berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Puṇṇa ini, putra Koliya, adalah seorang petapa berperilaku-sapi. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Baiklah, Seniya, karena Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’ Oleh karena itu, Aku akan menjawabmu.

5. Di sini, Seniya, seseorang mengembangkan perilaku-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan kebiasaan-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan pikiran-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan tingkah-laku-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus. Setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di antara sapi-sapi. [389] Tetapi jika ia memiliki pandangan seperti ini: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci ini maka aku akan menjadi dewa [besar] atau dewa [kecil],’ itu adalah pandangan salah dalam kasusnya. Sekarang terdapat dua alam tujuan kelahiran bagi seseorang yang berpandangan salah, Aku katakan: neraka atau alam binatang. Jadi, Seniya, jika perilaku-sapinya berhasil, itu akan menuntunnya menuju kelahiran kembali di antara sapi-sapi; jika gagal, maka itu akan menuntunnya menuju neraka.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Puṇṇa si petapa berperilaku-sapi menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Seniya, si petapa telanjang berperilaku-anjing: “Seniya, Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’”

[Kemudian Puṇṇa si petapa berperilaku-sapi berkata:] “Yang Mulia, aku bukan menangis karena Sang Bhagavā mengatakan sesuatu tentang aku, melainkan karena aku telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi ini. Yang Mulia, aku berkeyakinan pada Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat meninggalkan perilaku-sapi ini dan sehingga Seniya si petapa telanjang berperilaku-anjing ini dapat meninggalkan perilaku-anjingya.’”

“Kalau begitu, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia, ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Puṇṇa, terdapat empat jenis perbuatan yang dinyatakan oleh-Ku setelah menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada perbuatan gelap dengan akibat gelap; ada perbuatan terang dengan akibat terang; ada perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang; dan ada perbuatan yang bukan gelap juga bukan terang dengan akibat yang bukan gelap juga bukan terang, perbuatan yang mengarah menuju hancurnya perbuatan.

8. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan gelap dengan akibat gelap? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan, bentukan ucapan yang menyakitkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan, bentukan ucapan yang menyakitkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan, ia muncul kembali di alam sengsara.  Ketika ia telah muncul kembali di alam sengsara, kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti pada makhluk-makhluk di [390] neraka. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk; [ ]seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan gelap dengan akibat gelap.

9. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan terang dengan akibat terang? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyenangkan, bentukan ucapan yang menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyenangkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani yang menyenangkan, bentukan ucapan yang menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyenangkan, ia muncul kembali di alam bahagia. [ ]Ketika ia telah muncul kembali di alam bahagia, kontak yang menyenangkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyenangkan, ia merasakan perasaan yang menyenangkan, sangat menyenangkan, seperti pada para dewa dengan Keagungan Gemilang. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk; seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan terang dengan akibat terang.

10. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan juga menyenangkan, bentukan ucapan yang menyakitkan juga menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan, ia muncul kembali di alam sengsara juga bahagia. Ketika ia telah muncul kembali di alam sengsara juga bahagia, baik kontak yang menyakitkan maupun menyenangkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan juga menyenangkan, ia merasakan perasaan yang menyakitkan juga menyenangkan, campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada manusia dan beberapa dewa di alam yang lebih rendah. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk[:]; seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang. [391]

11. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan bukan gelap juga bukan terang dengan akibat bukan gelap juga bukan terang, perbuatan yang mengarah menuju hancurnya perbuatan? Di sini, kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan gelap dengan akibat gelap, dan kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan terang dengan akibat terang dan kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: Ini disebut perbuatan bukan gelap juga bukan terang dengan akibat bukan gelap juga bukan terang yang mengarah menuju hancurnya perbuatan. [ ]Ini adalah empat jenis perbuatan yang dinyatakan oleh-Ku setelah menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung.”

12. Ketika hal ini dikatakan, Puṇṇa, putra Koliya, petapa berperilaku sapi berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Yang Mulia, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara ... Mulai hari ini sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

13. Tetapi Seniya, si petapa telanjang berperilaku anjing berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Yang Mulia, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

14. “Seniya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. [ ]Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu, jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka akan memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.”

15. “Kemudian Seniya si petapa telanjang berperilaku anjing menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, dengan berdiam sendirian, terasing, [392] rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Seniya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Seniya menjadi salah satu di antara para Arahant.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #16 on: 22 November 2010, 10:01:15 PM »
tambahan 58  Abhayarājakumāra Sutta

3.
Kalau begitu, Yang Mulia, mengapa Engkau mengatakan tentang Devadatta:
Devadatta marah dan tidak senang dengan kata-kata-Mu itu’.
demikian pula, Pangeran, jika Petapa Gotama diajukan kedua pertanyaan bertanduk ganda ini olehmu, Beliau tidak akan mampu memuntahkannya atau menelannya.

5.
Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi ke rumah Pangeran Abhaya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangan-Nya sendiri, Pangeran Abhaya melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menarik tangan-Nya dari mangkuk, Pangeran Abhaya mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

7. Pada saat itu, seorang bayi muda yang lembut sedang berbaring telungkup di pangkuan Pangeran Abhaya.

“Yang Mulia, aku akan mengeluarkannya. Jika aku tidak dapat dengan segera mengeluarkannya, aku akan memegang kepalanya

8. “Demikian pula, Pangeran, kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, tetapi tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu.  Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, tetapi disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, dan juga yang disukai dan menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata berbelaskasihan pada makhluk-makhluk.”

9.
apakah sudah ada dalam pikiran Sang Bhagavā: ‘Jika mereka mendatangi-Ku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini?’ atau apakah jawaban itu muncul pada Sang Tathāgata pada saat itu juga?”

10.
“Bagaimana menurutmu, Pangeran? Jika orang-orang mendatangimu dan bertanya: ‘Apakah nama dari bagian kereta ini? apakah sudah ada dalam pikiranmu: [396] ‘Jika mereka mendatangiku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini’? atau apakah jawaban itu muncul padamu pada saat itu juga?”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #17 on: 23 November 2010, 10:17:24 PM »
59  Bahuvedanīya Sutta
Banyak Jenis Perasaan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian tukang kayu Pañcakanga [ ]mendatangi Yang Mulia Udāyin, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya:

3. “Yang mulia, berapa jeniskah perasaan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā?”

“Tiga jenis perasaan telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā, Perumah tangga: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [397] Tiga jenis perasaan ini telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā.”

“Bukan tiga jenis perasaan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia Udāyin; dua jenis perasaan telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā: perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan. Perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā sebagai jenis kenikmatan yang damai dan luhur.”

Untuk ke dua kalinya dan untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Udāyin mengutarakan posisinya, dan untuk ke dua kalinya dan untuk ke tiga kalinya si tukang kayu Pañcakanga mengutarakan posisinya. Tetapi Yang Mulia Udāyin tidak mampu meyakinkan si tukang kayu Pañcakanga, juga si tukang kayu Pañcakanga tidak mampu meyakinkan Yang Mulia Udāyin.

4. Yang Mulia Ānanda mendengar percakapan mereka, kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan melaporkan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Udāyin dan tukang kayu Pañcakanga. Ketika ia telah selesai, Sang Bhagavā memberi tahu Yang Mulia Ānanda:

5. “Ānanda, itu adalah penyajian yang benar yang tidak dapat diterima si tukang kayu Pañcakanga dari Udāyin, dan itu adalah penyajian yang benar yang tidak dapat diterima Udāyin dari si tukang kayu Pañcakanga. [ ]Aku telah menyatakan dua jenis perasaan dalam satu penyajian; [398] aku telah menyatakan tiga jenis perasaan dalam penyajian lainnya; aku telah menyatakan enam jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan delapan belas jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan tiga puluh enam jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan seratus delapan jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi. [ ]Itu adalah bagaimana Dhamma telah ditunjukkan oleh-Ku dalam penyajian [yang berbeda-beda].

“Ketika Dhamma telah ditunjukkan demikian oleh-Ku dalam penyajian [yang berbeda-beda], dapat diharapkan mereka yang tidak mengakui, tidak menyetujui, tidak menerima apa yang dinyatakan dan disampaikan dengan baik oleh orang lain akan saling bertengkar, berbantahan, dan berselisih, menusuk dengan pedang ucapan. Tetapi dapat diharapkan mereka yang mengakui, menyetujui, menerima apa yang dinyatakan dan disampaikan dengan baik oleh orang lain akan hidup rukun, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan ramah.

6. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Sekarang kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria.

7. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

8. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. [399] Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

9. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, dan masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

10. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan kegembiraan dan kesedihan yang lenyap sebelumnya, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

11. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

12. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

13. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya. [400]

14. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

15. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. [ ]Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

16. “Adalah mungkin, Ānanda, para pengembara sekte lain mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa Gotama membicarakan tentang lenyapnya persepsi dan perasaan dan Beliau menggambarkan itu sebagai kenikmatan. Apakah ini, dan bagaimanakah ini?’ Para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus diberi tahu: ‘Teman-teman, Sang Bhagavā menggambarkan kenikmatan bukan hanya dengan merujuk pada perasaan menyenangkan; akan tetapi, Teman-teman, Sang Tathāgata menggambarkan segala jenis kenikmatan di mana pun dan dalam cara apa pun kenikmatan itu ditemukan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #18 on: 24 November 2010, 10:45:00 PM »
60  Apaṇṇaka Sutta
Ajaran yang Tidak Dapat Dibantah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

2. Para brahmana perumah tangga di Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kosala [401] bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang [ ]telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya’. Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Sālā pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagava bertanya kepada mereka: “Para perumah tangga, adakah guru yang kalian sukai yang padanya kalian memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika?”

“Tidak, Yang Mulia, tidak ada guru yang kami sukai yang padanya kami memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika.”

“Karena, Para perumah tangga, kalian belum menemukan seorang guru yang kalian sukai, maka kalian dapat menjalankan dan mempraktikkan ajaran yang tidak dapat dibantah ini;  karena jika ajaran yang tidak dapat dibantah ini diterima dan dijalankan, maka ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Dan apakah ajaran yang tidak dapat dibantah ini?

(I. DOKTRIN NIHILIS)

5. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’.  [402]

6. (B) “Kemudian ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu, ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

7. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan ... tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

8. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada dunia lain’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada dunia lain’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada dunia lain’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. [ ]Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya. [403]

9. (A.iii) [ ]“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. [ ]Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin nihilisme. [ ]Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

10. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ada yang diberikan ... ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

11. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada dunia lain’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘ada dunia lain’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada dunia lain’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘ada dunia lain’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada dunia lain’ [404] meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan  menghindari menghina orang lain inibeberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

12. (B.iii) [ ]“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin penegasan keberadaan. [ ]Dan di pihak lain, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.

*bersambung
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #19 on: 24 November 2010, 10:50:52 PM »
sambungan 60  Apaṇṇaka Sutta

(II. DOKTRIN TIDAK-BERBUAT)

13. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: [ ]‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai, ketika seseorang menyiksa atau menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, ketika seseorang menyebabkan dukacita atau menyuruh orang lain menyebabkan dukacita, ketika seseorang menindas atau menyuruh orang lain melakukan penindasan, ketika seseorang mengintimidasi atau menyuruh orang lain mengintimidasi, ketika seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, menggoda istri orang lain, mengucapkan kebohonganmaka tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, karena hal ini maka tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan’.

14. (B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana [405] yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai ... mengucapkan kebohonganmaka kejahatan [ ]dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini maka ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, karena hal ini maka ada kejahatan dan ada akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

15. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan ... maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

16. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada perbuatan’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada perbuatan’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. [406] Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

17. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin tanpa-perbuatan. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

18. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan ... maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

19. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada perbuatan’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘ada perbuatan’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada perbuatan’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘ada perbuatan’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; [407] dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan menghindari menghina orang lain ini beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

20. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatan. Dan sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.


-------------------------
*** Bersambung ...
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #20 on: 25 November 2010, 12:17:41 PM »
Lanjutan 60  Apaṇṇaka Sutta
------------------------------------


(III. DOKTRIN NON-KAUSALITAS)

21. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: [ ]‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada kekuasaan, tidak ada tenaga, tidak ada kekuatan fisik, tidak ada ketahanan fisik. Semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga; dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’.

22. (B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori karena sebab atau kondisi. Ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan karena sebab atau kondisi. Ada kekuasaan, ada tenaga, ada kekuatan fisik, ada ketahanan fisik. Tidak mungkin semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga, atau dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’.Bagaimana menurut kalian, perumah tangga? [408] Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”—“Benar, Yang Mulia.”

23. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk ... mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

24. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada kausalitas memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada kausalitas’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada kausalitas’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada kausalitas’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

25. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin non-kausalitas. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: [409] karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

26. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk ... mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

27. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada kausalitas’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘ada kausalitas’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada kausalitas’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘ada kausalitas’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan [ ]menghindari menghina orang lain inibeberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

28. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatan. Dan sebaliknya, jika ternyata ada [410] kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.

(IV. TIDAK ADA ALAM TANPA BENTUK)

29. “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada alam tanpa bentuk’.

30. “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada alam tanpa materi’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

31. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada alam tanpa bentuk,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa bermateri-halus yang terdiri dari batin.  Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa di alam tanpa bentuk yang terdiri dari persepsi. Penggunaan tongkat dan senjata, pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuduh-menuduh, kedengkian, dan kebohongan terjadi berdasarkan pada bentuk materi, tetapi ini tidak ada sama sekali dalam alam tanpa bentuk’. Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada bentuk-bentuk materi, menuju peluruhan dan lenyapnya bentuk-bentuk materi.

(V. TIDAK ADA LENYAPNYA PENJELMAAN)

32. “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan’.

33. “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada [411] lenyapnya penjelmaan’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

34. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa tanpa-bentuk yang terdiri dari persepsi. Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin bahwa aku dapat di sini dan saat ini mencapai Nibbāna akhir. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati nafsu, mendekati belenggu, mendekati kenikmatan, mendekati cengkeraman, mendekati kemelekatan; tetapi pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati tanpa-nafsu, mendekati tanpa-belenggu, mendekati tanpa-kenikmatan, mendekati tanpa-cengkeraman, mendekati tanpa-kemelekatan; Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada penjelmaan, menuju peluruhan dan lenyapnya penjelmaan.

(EMPAT JENIS ORANG)

35. “Para perumah tangga, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. [412] Karena ia tidak meyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.

36. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan ... (seperti pada Sutta 51, §8) ... Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang meyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

37. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba … (seperti pada Sutta 51, §9) ... atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

38. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya … (seperti pada Sutta 51, §10) ... Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

39. Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci?.

40-55. “Di sini, Para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini … (seperti pada Sutta 51, §§12-27) [413]  ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

56. “Ini, Para perumah tangga, disebut jenis orang yang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

57. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai umat-umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #21 on: 25 November 2010, 12:40:43 PM »
61  Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta
Nasihat kepada Rāhula di Ambalaṭṭhika


[414] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Rāhula sedang menetap di Ambalaṭṭhika. [ ]Kemudian pada suatu malam, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan mendatangi Yang Mulia Rāhula di Ambalaṭṭhikā. Dari jauh Yang Mulia Rāhula melihat kedatangan Sang Bhagavā dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kaki-Nya. Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Beliau dan duduk di satu sisi.

3. Kemudian Sang Bhagavā menyisakan sedikit air di dalam wadah air dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat sedikit air ini dalam wadah air ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, hanya sedikit pertapaan dari mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja.”

4. Kemudian Sang Bhagavā membuang sedikit air yang tersisa itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat air yang dibuang itu?”“Ya, Yang Mulia.”color=blue][/color]“Demikian pula, Rāhula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja telah membuang pertapaan mereka.”

5. Kemudian Sang Bhagavā membalikkan wadah air itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat wadah air yang dibalikkan ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja telah membalikkan pertapaan mereka.”

6. Kemudian Sang Bhagavā menegakkan kembali wadah air itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat wadah air yang cekung ini, wadah air yang kosong ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, cekung dan kosong pertapaan mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja[ ].”

7. “Misalkan, Rāhula, ada seekor gajah besar dengan gading sepanjang tiang kereta, dewasa, dari keturunan yang baik, dan terbiasa dalam pertempuran. Dalam pertempuran ia akan melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan bagian tubuh depan dan bagian tubuh belakangnya, dengan kepala dan kupingnya, dengan gading dan ekornya, [415] namun ia akan menyembunyikan belalainya. Kemudian penunggangnya akan berpikir: ‘Gajah besar ini dengan gading sepanjang tiang kereta ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... namun ia menyembunyikan belalainya. Ia belum mempertaruhkan nyawanya’. Tetapi ketika gajah besar itu ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan bagian tubuh depan dan bagian tubuh belakangnya, dengan kepala dan kupingnya, dengan gading dan ekornya, dan juga dengan belalainya, maka penunggangnya akan berpikir: ‘Gajah besar ini dengan gading sepanjang tiang kereta ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... dan juga dengan belalainya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya. Sekarang tidak ada apa pun yang gajah besar ini tidak akan lakukan’. Demikian pula, Rāhula, jika seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja, maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang tidak akan ia lakukan. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan’.

8. “Bagaimana menurutmu, Rāhula? Apakah gunanya cermin?”

“Untuk merefleksikan, Yang Mulia,:

“Demikian pula, Rāhula, suatu perbuatan melalui jasmani harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui ucapan harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui pikiran harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang.

9. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu. [416] Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini tidak akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu.

10. “Juga, Rāhula, [ ]ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak harus menghentikan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui jasmani itu.

11. “Juga, Rāhula, [ ]setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, [417] engkau harus menjalani pengendalian di masa depan.  Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

12. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §9, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui ucapan itu.

13. “Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §10, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... [418]maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui ucapan itu.

14. “Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §11, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

15. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui pikiran ... (lengkap seperti pada §9, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran”) ... [419] maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui pikiran itu.

16. “Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui pikiran... (lengkap seperti pada §10, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran”)  ... maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui pikiran itu.

17. “Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui pikiran... (lengkap seperti pada §11, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran” ) ... maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat. [420]

18. “Rāhula, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau telah memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya akan melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memurnikan perbuatan jasmani kami, perbuatan ucapan kami, dan perbuatan pikiran kami dengan merefleksikannya berulang-ulang’.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #22 on: 25 November 2010, 09:50:39 PM »
tambahan
60  Apaṇṇaka Sutta

2. Para brahmana perumah tangga di Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya,

4.
maka kalian dapat menjalankan dan mempraktikkan ajaran yang tidak dapat dibantah ini; [ ]karena jika ajaran yang tidak dapat dibantah ini diterima dan dijalankan,

7. (A.i)
perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

8. (A.ii)
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

9. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

10. (B.i)
perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat,

11. (B.ii)
Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya.
dan menghindari memuji diri sendiri dan [ ]menghindari menghina orang lain ini—beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

12. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

13. (A)
‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai,
karena hal ini, maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan Sungai Gangga ... karena hal ini, maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara Sungai Gangga memberikan persembahan ... karena hal ini, maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan.

14. (B)
Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai
seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini, maka ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara Sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini, maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan.
Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung[ ]?”

bersambung


Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #23 on: 26 November 2010, 11:49:00 AM »
62 Mahārāhulovāda Sutta
Khotbah Panjang
Nasihat kepada Rāhula

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Yang Mulia Rāhula juga [421] merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

3. Kemudian Sang Bhagavā melihat ke belakang dan berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:  “Rāhula, segala jenis bentuk materi apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan milikku’.”

‘Hanya bentuk materi, Bhagavā? Hanya bentuk materi, Yang Sempurna?’

“Bentuk materi, Rāhula, dan perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.”

4. Kemudian Yang Mulia Rāhula merenungkan sebagai berikut: “Siapakah yang ingin pergi ke pemukiman hari ini ketika secara pribadi dinasihati oleh Sang Bhagavā?” Demikianlah ia berbalik dan duduk di bawah sebatang pohon, duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya.

5. Yang Mulia Sāriputta melihatnya duduk di sana dan berkata kepadanya sebagai berikut: “Rāhula, kembangkanlah perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar.”

6. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Rahula bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Yang Mulia, bagaimanakah perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?”

(EMPAT UNSUR UTAMA)
8. “Rāhula, [ ]apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati, yaitu: rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, atau apa pun yang lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. [422] Ketika seseorang melihatnya demikian sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, maka ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan pada unsur tanah itu.

9. “Apakah, Rahula, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. [ ]Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu: cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

10. “Apakah, Rāhula, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

11. “Apakah, Rāhula, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. [423] Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur angin dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

12. “Apakah, Rāhula, unsur ruang? [ ]Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

13. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., [ ]seperti halnya orang-orang membuang benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan tanah tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

14. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana, seperti halnya orang-orang mencuci benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan air tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, [424] Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

15. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya orang-orang membakar benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan api tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

16. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya udara meniup benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan udara tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

17. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya ruang tidak terbentuk dimanapun juga, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

18. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada cinta kasih; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada cinta kasih, maka segala niat buruk akan ditinggalkan.

19. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada belas kasihan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada belas kasihan, maka segala kekejaman akan ditinggalkan.

20. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kegembiraan altruistik; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kegembiraan altruistik, maka segala ketidakpuasan akan ditinggalkan.

21. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada keseimbangan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada keseimbangan, maka segala ketidaksenangan akan ditinggalkan.

22. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kejijikan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kejijikan, maka segala nafsu akan ditinggalkan.

23. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada persepsi ketidakkekalan; [425] karena jika engkau mengembangkan meditasi pada persepsi ketidakkekalan, maka keangkuhan ‘aku’ akan ditinggalkan.

24. “Rāhula, kembangkanlah meditasi perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar. Dan bagaimanakah perhatian pada pernafasan itu dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

25. “Di sini, Rāhula, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

26. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang’. Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’.

27. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kegembiraan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kenikmatan; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kenikmatan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami bentukan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan pikiran’.

28. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menggembirakan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menggembirakan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan membebaskan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan membebaskan pikiran’.

29. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan ketidakkekalan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan ketidakkekalan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan peluruhan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan peluruhan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lenyapnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lenyapnya’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan pelepasan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan pelepasan’.

30. “Rāhula, itu adalah bagaimana perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, [426] maka bahkan nafas masuk dan nafas keluar terakhir dapat diketahui pada saat lenyapnya, bukan tidak diketahui.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puasa dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #24 on: 26 November 2010, 12:14:29 PM »
menghembuskan nafas...bukan mengembuskan nafas
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #25 on: 26 November 2010, 12:20:26 PM »
menghembuskan nafas...bukan mengembuskan nafas

menurut kamus mana?

em·bus, ber·em·bus v 1 bertiup (angin dsb): angin pagi mulai ~; 2 keluar ditiupkan (tt napas, udara dr mulut, dsb): napasnya sudah tidak ~ lagi;
meng·em·bus v meniup; bertiup: angin pun ~ dr sebelah barat;
meng·em·bus·kan v meniupkan; mengeluarkan (napas, udara, asap) dng mengembus: knalpot mobil itu ~ asap hitam;
~ napas terakhir, ki meninggal dunia;
em·bus·an n gerak udara yg bertiup; tiupan: ~ angin itu keras sekali sehingga banyak pohon yg tumbang karenanya;
peng·em·bus n alat untuk mengembus api dsb; embusan


hem·bus ? embus
« Last Edit: 26 November 2010, 12:33:09 PM by Indra »

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #26 on: 27 November 2010, 10:37:20 AM »
Sambungan 60  Apaṇṇaka Sutta

15. (A.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

16. (A.ii)
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

17. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan

18. (B.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat,

19. (B.ii)
Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya.

20. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

22. (B)
Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? [408] Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”—“Benar, Yang Mulia.”

23. (A.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

24. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada kausalitas memiliki pandangan salah
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

25. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin nonkausalitas.

26. (B.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu

28. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatankausalitas. Dan sebaliknya, jika ternyata ada [410] kausalitas,

31. “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
pandangan “pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa bermateri-halus yang terdiri dari batin. [ ]Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa di alam tanpa bentuk yang terdiri dari persepsi.

33.
Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung[ ]?”

34. “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa tanpa-bentuk yang terdiri dari persepsi.
jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin bahwa aku dapat di sini dan saat ini mencapai Nibbāna akhir.
mendekati tanpa-kenikmatan, mendekati tanpa-cengkeraman, mendekati tanpa-kemelekatan; Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada penjelmaan, menuju peluruhan dan lenyapnya penjelmaan.

35.
Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. [412] Karena ia tidak menyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.

36.
Di sini, seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan ... (seperti pada Sutta 51, §8) ... Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

37.
Di sini, seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba … (seperti pada Sutta 51, §9) ... atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

38.
Di sini, seseorang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya … (seperti pada Sutta 51, §10) ... Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

56. “Ini, Para perumah tangga, disebut jenis orang yang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain—seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

57.
atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk.
« Last Edit: 27 November 2010, 10:38:52 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #27 on: 27 November 2010, 11:12:01 AM »
63  Cūḷamālunkya Sutta
Khotbah Pendek kepada
Mālunkyāputta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Mālunkyāputta sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya:

“Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan, tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā, dikesampingkan dan ditolak oleh Beliau, yaitu: ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’; ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’; ‘jiwa adalah sama dengan badan’ dan ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’; dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’. Sang Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, dan aku tidak menyetujui dan menerima fakta bahwa Beliau tidak menyatakan ini kepadaku, maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepadanya makna dari hal ini. Jika ia menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’ … atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Beliau; jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah.” [427]

3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mālunkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā … jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah’. Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah abadi’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah abadi’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah tidak abadi’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi’. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’, maka adalah suatu keterusterangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat’.

“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas’, … ’ dunia adalah tidak terbatas’, … ‘jiwa adalah sama dengan badan’, … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’, … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’, [428] … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’, … Jika Sang Bhagavā mengetahui [ ]‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku; [ ]jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi’. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka adalah suatu keterusterangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat’.

4. “Bagaimanakah, Mālunkyāputta, pernahkah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Mālunkyāutta, jalanilah kehidupan suci di bawah-Ku dan Aku akan menyatakan kepadamu “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Pernahkah engkau mengatakan kepada-Ku: ‘Aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā akan menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Kalau begitu, orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” [429] hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja’. Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau coklat atau keemasan; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa; … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang; … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau bulu atau urat atau rami atau kulit kayu; … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkanapakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung; … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikatapakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet; … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaikuapakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak’. [430]

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Mālunkyāputta, jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati.

6. “Mālunkyāputta, jika ada pandangan ‘dunia adalah abadi,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah pandangan ‘dunia adalah abadi’ atau pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’ ada atau tidak ada, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas’, … ’ dunia adalah tidak terbatas’, … ‘jiwa adalah sama dengan badan’, … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’, … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’, … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’, … ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani … [431] jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

7. “Oleh karena itu, Mālunkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan oleh-Ku sebagai dinyatakan. Dan apakah yang Kubiarkan tidak dinyatakan? ‘dunia adalah abadi’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak abadi’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah terbatas’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak terbatas’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Jiwa adalah sama dengan badan’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ’Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. [ ]‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan.

8. “Mengapakah Aku membiarkan tidak dinyatakan? Karena tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku membiarkan tidak dinyatakan.

9. “Dan apakah yang telah Kunyatakan? ‘Ini adalah penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’Aku telah menyatakan.

10. “Mengapakah Aku menyatakannya? Karena bermanfaat, menjadi bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya.

“Oleh karena itu, Mālunkyāputta, [432]ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan oleh-Ku sebagai dinyatakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mālunkyāputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #28 on: 29 November 2010, 09:56:40 AM »
64  Mahāmālunkya Sutta
Khotbah Panjang kepada
Mālunkyāputta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,”mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mālunkyāutta menjawab: “Yang Mulia, aku ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Tetapi, Mālunkyāutta, dalam cara bagaimanakah engkau mengingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

“Yang Mulia, Aku ingat pandangan identitas sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keragu-raguan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keinginan indria sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat niat buruk sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.

3. “Mālunkyāputta, dari siapakah engkau mengingat bahwa Aku telah mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah dalam cara itu? [ ]Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi? Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘identitas’, [433] jadi bagaimana mungkin pandangan identitas muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas terdapat dalam dirinya. [ ]Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ajaran’, [ ]jadi bagaimana mungkin keragu-raguan terhadap ajaran muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘peraturan’, jadi bagaimana mungkin keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada peraturan dan pelaksanaan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indria’, jadi bagaimana mungkin keterikatan pada keinginan indria muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘makhluk-makhluk’, jadi bagaimana mungkin niat buruk terhadap makhluk-makhluk muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada niat buruk terdapat dalam dirinya. Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi?”

4. Kemudian, Yang Mulia Ānanda berkata: “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, untuk Sang Bhagavā mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Ānanda, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh pandangan identitas, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul; dan ketika pandangan identitas itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah. Ia berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan ... oleh nafsu indria [434] … oleh niat buruk, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul; dan ketika niat buruk itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah.

6. “Seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh pandangan identitas; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul, dan pandangan identitas bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas ditinggalkan olehnya. [ ]Ia berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan … oleh nafsu indria … oleh niat buruk; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, dan niat buruk bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada niat buruk ditinggalkan olehnya.

7. “Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; bahwa siapa pun tanpa mengandalkan jalan itu, tanpa mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ituini adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk dapat memotong inti kayunya tanpa memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini adalah tidak mungkin.

“Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; [435] bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan itu, dengan mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ituini adalah mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, adalah mungkin bagi siapa pun untuk dapat memotong inti kayunya dengan memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini  adalah mungkin.

8. “Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; namun ia tidak mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang lemah itu.

“Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; dan ia mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang kuat itu.

9. “Dan apakah, Ānanda, jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu? Di sini, dengan terasing dari perolehan, [ ]dengan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dengan sepenuhnya menenangkan kelambanan jasmani, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. [ ]Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut [436] dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu: tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna’. [ ]Jika ia kukuh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu,  maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

10-12. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu ... masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

13.  Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, [ ]ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

15. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu: tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna’. Jika ia kukuh di dalam itu, [437] maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

16. [ ]“Yang Mulia, jika ini adalah jalan, cara untuk meninggalkjan kelima belenggu yang lebih rendah, maka bagaimanakah beberapa bhikkhu di sini [dikatakan] mencapai kebebasan pikiran dan beberapa [dikatakan] mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan?”

“Perbedaannya di sini, Ānanda, adalah dalam indria-indria mereka, Aku katakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #29 on: 04 December 2010, 12:45:37 AM »
tambahan
61  Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta


7. Dalam pertempuran, ia akan melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya,

8. “Untuk merefleksikan, Yang Mulia,[:]

10.
ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin sedang kulakukan melalui jasmani ini
ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak harus menghentikan perbuatan melalui jasmani itu.

11.
engkau harus menjalani pengendalian di masa depan. [ ]Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui:

18. “Rāhula, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya akan melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memurnikan perbuatan jasmani kami, perbuatan ucapan kami, dan perbuatan pikiran kami dengan merefleksikannya berulang-ulang’.”

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything