//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)  (Read 35642 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« on: 29 September 2010, 09:13:45 PM »
thread ini dibuka untuk partisipasi member dalam hal editing, silahkan posting editingnya dan untuk pembahasan diluar editing subjek silahkan ke thread ini => http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.60.html
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #1 on: 29 September 2010, 09:36:31 PM »
51  Kandaraka Sutta
Kepada Kandaraka

[339] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Campā, di tepi Danau Gaggarā bersama sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Kemudian Pessa, putera penungangg gajah, dan Kandaraka si pengembara mendatangi Sang Bhagavā. Pessa, setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, sementara Kandaraka saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi. [ ]Sambil berdiri di sana, ia mengamati Sangha para bhikkhu yang sedang duduk dalam keheningan sepenuhnya, [ ]dan kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā:

1. “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana Sangha para bhikkhu telah diarahkan untuk mempraktikkan jalan yang benar oleh Guru Gotama. Mereka yang terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa lampau, paling jauh hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh Guru Gotama sekarang. Dan Mereka yang akan terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa depan, paling jauh akan hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh Guru Gotama sekarang.”

3. “Demikianlah, Kandaraka, demikianlah! Mereka yang terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa lampau, paling jauh hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan olehKu sekarang. Dan Mereka yang akan terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa depan, paling jauh akan hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh-Ku sekarang.

“Karena, Kandaraka, dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu penjelmaan, dan yang terbebaskan sepenuhnya melalui pengetahuan akhir. Dan dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang dalam tingkat latihan yang lebih tinggi dari moralitas yang konstan, menjalani kehidupan dengan moralitas konstan, bijaksana, menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan konstan. Mereka berdiam dengan pikiran kokoh dalam empat landasan perhatian. [ ]Apakah empat ini? Di sini, Kandaraka, [340] seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.”

4. Ketika hal ini dikatakan, Pessa, putera penunggang gajah, berkata: “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa baiknya empat landasan perhatian telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā: untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna. Karena, Yang Mulia, kami para umat awam berbaju-putih juga dari waktu ke waktu juga berdiam dengan pikiran kami kokoh dalam empat landasan perhatian ini. [ ]Di sini, Yang Mulia, kami berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani … perasaan sebagai perasaan … pikiran sebagai pikiran … objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa di tengah-tengah kekusutan, kecurangan, dan muslihat manusia, Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya pada makhluk-makhluk. Karena manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka. Yang Mulia, aku dapat menunggang seekor gajah yang harus dijinakkan, dan dalam waktu selama yang diperlukan untuk berjalan bolak-balik di Campā, gajah itu akan memperlihatkan segala jenis tipu daya, muslihat, ketidakjujuran, dan kecurangan [yang mampu ia lakukan]. [ ]Tetapi mereka yang disebut budak, kurir, dan pelayan kami berperilaku dalam satu cara melalui jasmaninya, dalam cara lain melalui ucapannya, sementara pikirannya bekerja dalam cara lain lagi. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa di tengah-tengah kekusutan, kecurangan, dan muslihat manusia, Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya pada makhluk-makhluk. Karena manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka.”

5. “Demikianlah, Pessa, demikianlah! [341] Manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka. Pessa, terdapat empat jenis orang di dunia ini.  Apakah empat ini? Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Karena ia tidak meyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.  Yang manakah dari empat jenis orang ini yang memuaskan pikiranmu, Pessa?”

“Tiga yang pertama tidak memuaskan pikiranku, Yang Mulia, tetapi yang ke empat memuaskan pikiranku.”

6. “Tetapi, Pessa, mengapakah tiga yang pertama tidak memuaskan pikiranmu?”

“Yang Mulia, jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, menyiksa dan melukai dirinya, walaupun ia menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. Dan jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain, menyiksa dan melukai makhluk lain yang menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. Dan jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain, menyiksa dan melukai dirinya dan makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. [342] Tetapi jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang kain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suciia tidak menyiksa dan melukai dirinya maupun makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Itulah sebabnya jenis orang ini memuaskan pikiranku. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak urusan yang harus dilakukan.”

“Silahkan Engkau pergi, Pessa.”

Kemudian Pessa, putera seorang penunggang gajah, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

7. Segera setelah ia pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, Pesa, putera penunggang gajah, adalah seorang bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan luas. Jika ia duduk sedikit lebih lama hingga Aku membabarkan kepadanya secara terperinci tentang ke empat jenis orang ini, ia akan sangat beruntung. Namun ia tetap sudah memperoleh manfaat besar bahkan sebanyak ini.”

“Ini adalah saatnya, Bhagavā, ini adalah waktu, Yang Mulia, bagi Sang Bhagabā untuk membabarkan secara terperinci tentang ke empat jenis orang ini, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, Para bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Para bhikkhu, orang-orang jenis apakah yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? [ ]Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan atau tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan atau tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, [343] sekali dalam [ ]dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan. Ia adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. [ ]Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh. Ia mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku; ia menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah, dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang meyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

9. “Orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba, penyembelih babi, penyembelih unggas, penjebak binatang-binatang liar, pemburu, nelayan, pencuri, algojo, sipir penjara, atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

10. “Orang-orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini beberapa orang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya. [ ]Setelah membangun sebuah kuil pengorbanan baru di sebelah timur kota, dan setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah dari kulit kasar, dan melumuri tubuhnya dengan ghee dan minyak, menggaruk punggungnya dengan tanduk rusa, ia memasuki kuil pengorbanan bersama dengan ratunya dan brahmana pendeta tertinggi. Di sana ia berbaring di atas tanah yang ditebari rumput. [ ]Raja bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu pertama seekor sapi yang memiliki anak dengan warna yang sama [344] sedangkan ratu bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu ke dua dan brahmana pendeta tertinggi bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu ke tiga; susu dari puting susu ke empat dituangkan ke dalam api, dan anak sapi itu hidup dari apa yang tersisa. Ia berkata sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi-sapi sebagai pengorbanan, mari menyembelih sapi-sapi muda sebagai pengorbanan, mari menyembelih anak-anak sapi sebagai pengorbanan, mari menyembelih domba-domba sebagai pengorbanan, mari menebang banyak pepohonan sebagai tiang pengorbanan, mari memotong banyak rumput sebagai rumput pengorbanan’. Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #2 on: 29 September 2010, 09:41:43 PM »
sambungan

11. Orang-orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci?

12. “Di sini, Para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

13.  “Seorang perumah tangga atau putra perumah tangga atau seorang yang terlahir dari beberapa suku lainnya mendengarkan Dhamma itu. Ketika mendengarkan Dhamma itu ia memperoleh keyakinan dalam Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’. Kemudian pada kesempatan lain, dengan meninggalkan harta yang banyak atau sedikit, [345] meninggalkan sanak saudara yang banyak atau sedikit, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

14. “Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat kayu dan senjata di singkirkan, berhati-hati, penuh belas kasihan, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; hanya mengambil apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri ia berdiam dalam kemurnian. Dengan meninggalkan kehidupan tidak selibat, ia menjalani hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik vulgar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, terpercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan jahat, ia menghindari ucapan jahat; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam salah, dan ukuran salah. [346] Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

15. “Ia menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Seperti halnya seekor burung, kemanapun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayap-sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula, bhikkhu itu menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #3 on: 29 September 2010, 11:19:57 PM »
Tambahan
51  Kandaraka Sutta


1. Kemudian Pessa, putra penunggang gajah,

12. “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama,

3. seperti yang telah dilakukan oleh-Ku sekarang.

Mereka berdiam dengan pikiran kukuh dalam empat landasan perhatian.

4. Ketika hal ini dikatakan, Pessa, putra penunggang gajah,
“Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan
Karena, Yang Mulia, kami para umat awam berbaju-putih juga dari waktu ke waktu juga berdiam dengan pikiran kami kukuh dalam empat landasan perhatian ini.
Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan
Karena manusia adalah kekusutan, sedangkan binatang lebih terbuka
Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan
Karena manusia adalah kekusutan, sedangkan binatang lebih terbuka

5. Manusia adalah kekusutan, sedangkan binatang lebih terbuka.
Pessa, terdapat empat jenis orang di dunia ini. [ ]Apakah empat ini? Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya,
Karena ia tidak menyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci. [ ]Yang manakah dari empat jenis orang ini yang memuaskan pikiranmu, Pessa?”

6.
“Yang Mulia, jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, menyiksa dan melukai dirinya, walaupun iayang menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan;
yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar

Silakan engkau pergi, Pessa.”


Kemudian Pessa, putra seorang penunggang gajah,

7. “Para bhikkhu, Pessa, putra penunggang gajah,
Namun, ia tetap sudah memperoleh manfaat besar bahkan sebanyak ini.”

“Ini adalah saatnya, Bhagavā, ini adalah waktunya, Yang Mulia, bagi Sang Bhagavā untuk membabarkan secara terperinci tentang keempat jenis orang ini,

8. Di sini, seseorang tertentu bepergian dengan telanjang,
menjilat tangannya mereka
merekaia tidak menerima ikan atau daging, merekaia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. merekaia mendatangi satu rumah, satu suap; merekaia mendatangi dua rumah, dua suap; … merekaia mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. merekaia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. merekaia makan sekali dalam sehari, [343] sekali dalam [ ]dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; merekaia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan
Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya

9. Di sini, seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba,

10. Di sini, beberapa orang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya.
seekor sapi yang memiliki anak dengan warna yang sama, [344] sedangkan ratu bertahan hidup
dari puting susu ke dua, dan brahmana pendeta tertinggi bertahan hidup

11. Orang-orang jenis apakah, Para bhikkhu,

12. yang telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung.

13. [ ]“Seorang perumah tangga atau putra
Ketika mendengarkan Dhamma itu, ia memperoleh keyakinan dalam Sang Tathāgata.

14. dengan tongkat kayu dan senjata disingkirkan,
ia berdiam dengan berbelaskasihan kepada semua makhluk hidup.
dengan tidak mencuri, ia berdiam dalam kemurnian.

menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, => ini digabung ato dipisah dari kata "indah"?
pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.
menghindari timbangan salah, logam salah, dan ukuran salah => logam palsu?

15. dan ke mana pun ia pergi, ia hanya membawa ini bersamanya.
Seperti halnya seekor burung, ke mana pun ia pergi,
dan ke mana pun ia pergi, ia hanya membawa ini bersamanya.

bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #4 on: 01 October 2010, 11:04:17 PM »
Lanjutan 51  Kandaraka Sutta
--------------------------------------

16. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian mulia akan indria-indria ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

17. “Ia menjadi seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju maupun mundur; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan maupun ke belakang; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika menunduk maupun menegakkan badan; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar maupun buang air kecil; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berjalan, berbicara, dan berdiam diri.

18. “Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, dan pengendalian mulia atas indria-indria ini, dan memiliki perhatian mulia dan kewaspadaan mulia ini, ia mencari tempat tinggal yang terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

19. [ ]“Setelah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan badannya, dan menegakkan perhatian di depannya. [347] Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelaskasihan bagi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan, seorang yang melihat cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa kegelisahan dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan akan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

20. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidakmurnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

21. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

22. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

23. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan.

24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, [348] umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampau.

25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

26. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan[.]’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

27. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

28. “Ini, Para bhikkhu, disebut jenis orang yang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain [349]seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #5 on: 02 October 2010, 12:03:11 AM »
52  Aṭṭhakanāgara Sutta
Orang dari Aṭṭhakanāgara


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī.

[ ]2. Pada saat itu, perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara telah tiba di Pāṭaliputta untuk suatu urusan. Kemudian ia mendatangi seorang bhikkhu tertentu di Taman Kukkuta, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya: “Di manakah Yang Mulia Ānanda menetap saat ini, Yang Mulia? Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia Ānanda.”

“Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī, Perumah tangga.”

3. Kemudian perumah tangga Dasama setelah menyelesaikan urusannya di Pāṭaliputta, ia mendatangi Yang Mulia Ānanda di Beluvagāmaka di dekat Vesālī. Setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya:

“Yang Mulia Ānanda, adakah satu hal yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya?”

“Ada, Perumah tangga, sesungguhnya ada satu hal demikian yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā.” [350]

“Apakah satu hal itu, Yang Mulia Ānanda?”

4. “Di sini, Perumah tangga, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna pertama ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. [ ]Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. [ ]Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan pada Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, [ ]maka dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam ini.

“Ini adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan terceerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

5. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke dua ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā [351] ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

6. “Kemudian, dengan lenyapnya kegembiraan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke tiga ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

7. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke empat ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

8. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

9. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... tanpa niat buruk. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui belas kasihan ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

10. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik ... tanpa niat buruk. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.
   
11. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan ... tanpa niat buruk. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui keseimbangan ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, [352] tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

12. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan ruang tanpa batas ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

13. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah [ ]tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan kesadaran tanpa batas ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda ... tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā ... di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh ... ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan kekosongan ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kukuh dalam hal itu, ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan pada Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di alam ini.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan terceerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.”

15. Ketika Yang Mulia Ānanda telah selesai berbicara, perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara berkata kepadanya: “Yang Mulia Ānanda, bagaikan seseorang yang mencari jalan masuk menuju harta karun dan sampai pada sebelas [353] jalan masuk menuju harta karun itu, demikian pula, selagi aku mencari pintu menuju Keabadian, aku telah dengan seketika mendengarkan sebelas pintu menuju Keabadian. [ ]Bagaikan seseorang yang membangun rumahnya dengan sebelas pintu dan ketika rumah itu terbakar, ia dapat menyelamatkan diri melalui salah satu dari sebelas pintu itu, demikian pula aku dapat menyelamatkan diri melalui salah satu dari sebelas pintu menuju Keabadian ini. Yang Mulia, para penganut sekte lain bahkan akan mencari bayaran untuk guru mereka; mengapa aku tidak memberikan persembahan kepada Yang Mulia Ānanda?”

16. Kemudian perumah tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara mengumpulkan Sangha para bhikkhu dari Pāṭaliputta dan Vesālī, dan dengan tangannya sendiri ia melayani mereka dengan berbagai jenis makanan baik. Ia mempersembahkan sepasang jubah kepada masing-masing bhikkhu, dan ia mempersembahkan tiga jubah kepada Yang Mulia Ānanda, dan ia membangun sebuah tempat tinggal bernilai lima ratus [ ]untuk Yang Mulia Ānanda.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #6 on: 04 October 2010, 09:54:28 PM »
53  Sekha Sutta
Siswa dalam Latihan yang Lebih Tinggi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Pada saat itu, sebuah aula pertemuan baru telah dibangun untuk orang-orang Sakya di Kapilavatthu dan belum dihuni oleh petapa atau brahmana atau manusia mana pun sama sekali. Kemudian orang-orang Sakya dari Kapilavatthu mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, sebuah aula pertemuan baru telah dibangun untuk orang-orang Sakya di Kapilavatthu dan belum dihuni oleh petapa atau brahmana atau manusia mana pun sama sekali. Yang Mulia, sudilah Bhagavā menjadi yang pertama menempatinya. Setelah Sang Bhagavā menggunakannya pertama kali, kemudian orang-orang Sakya di Kapilavatthu akan menggunakannya setelahnya. Ini akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”  [354]

3. Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, ketika mereka melihat bahwa Beliau telah menerima, mereka bangkit dari duduk, dan setelah bersujud kepada Beliau, dengan Beliau di sisi kanan mereka, mereka pergi ke aula pertemuan. Mereka menutup seluruhnya dengan penutup dan mempersiapkan tempat duduk, dan mereka meletakkan kendi air besar dan menggantung lampu minyak. Kemudian mereka mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka berdiri di satu sisi dan berkata:

“Yang Mulia, aula pertemuan telah ditutup sepenuhnya dengan penutup dan tempat-tempat duduk telah dipersiapkan, kendi air besar telah diletakkan dan lampu minyak telah digantung. Silakan Bhagavā datang.”

4. Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah-Nya, Beliau bersama dengan Sangha para bhikkhu pergi ke aula pertemuan. Ketika Beliau sampai, Beliau mencuci kaki-Nya dan kemudian memasuki aula dan duduk di tiang tengah menghadap ke timur. Dan para bhikkhu mencuci kaki mereka dan kemudian memasuki aula dan duduk di dinding barat menghadap ke timur, dengan Sang Bhagavā di depan mereka. Dan orang-orang Sakya Kapilavatthu mencuci kaki mereka dan memasuki aula dan duduk di dinding timur menghadap ke barat, dengan Sang Bhagavā di depan mereka.

5. Kemudian, setelah Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan orang-orang Sakya Kapilavatthu dengan khotbah Dhamma sepanjang malam, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, babarkanlah kepada orang-orang Sakya Kapilavatthu tentang siswa dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan. [ ]Punggung-Ku tidak nyaman. Aku akan beristirahat.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā melipat jubah-Nya menjadi empat dan berbaring pada sisi kanan-Nya dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikiran-Nya waktu untuk bangun.

6. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Mahānāma orang Sakya sebagai berikut:

“Mahānāma, di sini seorang siswa mulia memiliki moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, makan secukupnya, dan menekuni kewaspadaan; ia memiliki tujuh kualitas baik; dan ia adalah seorang yang tanpa kesulitan, sesuai kehendaknya ia mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kedamaian yang menyenangkan di sini dan saat ini. [355]

7. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia memiliki moralitas? Di sini, seorang siswa mulia bermoral, ia berdiam terkendali dengan pengendalian Pātimokkha, ia sempurna dalam perilaku dan bidang aktivitas, dan melihat dengan takut pada pelanggaran sekecil apa pun, ia berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan. Ini adalah bagaimana seorang siswa mulia memiliki moralitas.

8. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia menjaga pintu-pintu indrianya? [ ]Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang siswa mulia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali objek-pikiran dengan pikiran, seorang siswa mulia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Itu adalah bagaimana seorang siswa mulia menjaga pintu-pintu indrianya.

9. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia makan secukupnya? Di sini, dengan merenungkan dengan bijaksana, seorang siswa mulia memakan makanan bukan untuk kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.’ Itu adalah bagaimana seorang siswa mulia makan secukupnya.

10. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia menekuni kewaspadaan? Di sini, selama siang hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang siswa mulia memurnikan pikirannya dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari, di ia berbaring di sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikirannya waktu untuk bangun. Setelah bangun, pada jaga ke tiga malam hari, ia memurnikan pikirannya dari kondisi-kondisi yang merintangi. Itu adalah bagaimana seorang siswa mulia menekuni kewaspadaan. [356]

11. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia memiliki tujuh kualitas baik? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan; ia berkeyakinan pada Pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.

12. “Ia memiliki rasa malu; ia malu terhadap perilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, malu dalam melakukan perbuatan jahat yang tidak bermanfaat.

13. “Ia memiliki rasa takut pada pelanggaran; ia takut terhadap perilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, takut dalam melakukan perbuatan jahat yang tidak bermanfaat.

14. “Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan menegaskan kehidupan suci yang murni dan sempurnaajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, ia ingat, ia hafalkan, ia selidiki melalui pikiran dan ia tembus dengan baik melalui pandangan.

15. “Ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang bermanfaat; ia mantap, teguh dalam berusaha, tidak lengah dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang bermanfaat.

16. “Ia memiliki perhatian; ia memiliki perhatian dan keterampilan tertinggi; ia mengingat dan merenungkan apa yang telah dilakukan dan diucapkan yang telah lama berlalu.

17. “Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan munculnya dan lenyapnya yang mulia dan menembus dan menuntun menuju kehancuran total penderitaan. [ ]Itu adalah bagaimana seorang siswa mulia memiliki tujuh kualitas baik.

18. “Dan bagaimanakah seorang siswa mulia yang adalah seorang yang tanpa kesulitan, sesuai kehendaknya, mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kedamaian yang menyenangkan di sini dan saat ini? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Itu adalah bagaimana seorang siswa mulia yang adalah seorang yang tanpa kesulitan, sesuai kehendaknya, mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kedamaian yang menyenangkan di sini dan saat ini.

19. “Ketika seorang siswa mulia telah menjadi seorang yang memiliki moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, makan secukupnya, dan menekuni kewaspadaan; ia memiliki tujuh kualitas baik, [357] dan ia adalah seorang yang tanpa kesulitan, sesuai kehendaknya, mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kedamaian yang menyenangkan di sini dan saat ini demikian, maka ia disebut sebagai seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan. Telur-telurnya tidak pecah; ia mampu menembus, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.

“Misalkan terdapat seekor ayam betina dengan delapan atau sepuluh atau dua belas butir telur, yang ia tutupi, erami, dan pelihara dengan baik. [ ]Walaupun ia tidak menghendaki: ‘O, semoga anak-anakku dapat menusuk cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu mampu menembus cangkang mereka dengan cakar dan paruh dan menetas dengan selamat. Demikian pula, ketika seorang siswa mulia telah menjadi seorang yang memiliki moralitas … maka ia disebut sebagai seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan. Telur-telurnya tidak pecah; ia mampu menembus, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.

20. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama yang memiliki kemurnian karena keseimbangan, [ ]siswa mulia ini mengingat banyak kehidupan lampaunya … (seperti sutta 51, §24) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini adalah penetasan pertama seperti penetasan anak ayam dari cangkangnya.

21. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama yang memiliki kemurnian karena keseimbangan, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, siswa mulia ini melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … (seperti sutta 51, §25) … ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka. Ini adalah penetasan ke dua seperti penetasan anak ayam dari cangkangnya.

22. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama yang memiliki kemurnian karena keseimbangan, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, siswa mulia ini di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda melalui hancurnya noda-noda. [358] Ini adalah penetasan ke tiga seperti penetasan anak ayam dari cangkangnya.

23. “Ketika seorang siswa mulia memiliki moralitas, itu berhubungan dengan perilakunya. Ketika ia menjaga pintu-pintu indrianya, itu berhubungan dengan perilakunya. Ketika ia makan secukupnya, itu berhubungan dengan perilakunya. Ketika ia menekuni kewaspadaan, itu berhubungan dengan perilakunya. Ketika ia memiliki tujuh kualitas baik, itu berhubungan dengan perilakunya. Ketika ia telah menjadi seorang yang tanpa kesulitan, sesuai kehendaknya, mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kedamaian yang menyenangkan di sini dan saat ini, itu berhubungan dengan perilakunya.

24. “Ketika ia mengingat banyak kehidupan lampau … dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, itu berhubungan dengan pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan mata dewa … ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka, itu berhubungan dengan pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda melalui hancurnya noda-noda, itu berhubungan dengan pengetahuan sejatinya.

25. “Siswa mulia demikian ini dikatakan sempurna dalam pengetahuan sejati, sempurna dalam perilaku, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati. Dan syair ini diucapkan oleh Brahmā Sanankumāra:

   ‘Kasta mulia ini dianggap sebagai
   Orang-orang terbaik sehubungan dengan silsilah;
   Tetapi yang terbaik di antara para dewa dan manusia adalah seorang
   Yang sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati.’

“Syair ini telah dilantunkan dengan baik oleh Brahmā Sanankumāra, bukan dilantunkan dengan buruk; diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; syair ini memiliki makna, dan bukan tanpa makna, dan syair ini disetujui oleh Sang Bhagavā.[:]

26. Kemudian Sang Bhagavā bangun dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda sebagai berikut: “Bagus, bagus, Ānanda! Bagus sekali engkau telah membabarkan kepada orang-orang Sakya Kapilavatthu tentang siswa dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan.” [359]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Orang-orang Sakya Kapilavatthu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #7 on: 05 October 2010, 01:36:08 PM »
54  Potaliya Sutta
Kepada Potaliya

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di negeri orang-orang Anguttarāpa di mana terdapat pemukiman bernama Āpaṇa.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah-Nya, pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon.

3. Potaliya si perumah tangga, sewaktu berjalan mondar-mandir untuk berolahraga, mengenakan pakaian lengkap dengan payung dan sandal, juga pergi ke hutan itu, dan setelah memasuki hutan, ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: [‘]Ada tempat duduk, Perumah tangga, duduklah jika engkau menginginkan.[’]

Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Potaliya berpikir: [‘]Petapa Gotama memanggilku dengan ‘perumah tangga’,” dan marah serta tidak senang, ia berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Perumah tangga, duduklah jika engkau menginginkan.” Dan untuk ke dua kalinya perumah tangga Potaliya berpikir: ‘Petapa Gotama memanggilku dengan ‘perumah tangga’,” dan marah serta tidak senang, ia berdiam diri.

Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Perumah tangga, duduklah jika engkau menginginkan.” Dan untuk ke tiga kalinya perumah tangga Potaliya berpikir: ‘Petapa Gotama memanggilku sebagai ‘perumah tangga’,” dan marah serta tidak senang, ia berkata kepada Sang Bhagavā: [360] “Guru Gotama, adalah tidak selayaknya juga tidak tepat bahwa Engkau memanggilku dengan ‘perumah tangga’.

“Perumah tangga, engkau memiliki aspek-aspek, ciri-ciri, dan tanda-tanda seorang perumah tangga.”

“Walaupun demikian, Guru Gotama, aku telah meninggalkan semua pekerjaanku dan memotong semua urusanku.”

“Dengan cara bagaimanakah, Perumah tangga, engkau telah meninggalkan semua pekerjaanmu dan memotong semua urusanmu?”

“Guru Gotama, aku telah menyerahkan seluruh kekayaan, hasil panen, perak dan emas kepada anak-anakku sebagai warisan mereka. Aku tidak menegur dan menyalahkan mereka sehubungan dengan hal-hal tersebut melainkan hanya sekadar hidup dari makanan dan pakaian. Demikianlah bagaimana aku telah meninggalkan semua pekerjaanku dan memotong semua urusanku.”

“Perumah tangga, memotong urusan seperti yang engkau gambarkan adalah satu hal, tetapi dalam Disiplin Yang Mulia, memotong urusan adalah berbeda.”

“Apakah memotong urusan seperti dalam Disiplin para Mulia, Yang Mulia? Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku, menunjukkan bagaimana memotong urusan seperti dalam Disiplin Yang Mulia.”

“Maka dengarkanlah, Perumah tangga, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Potaliya si perumah tangga menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Perumah tangga, terdapat delapan hal ini dalam Disiplin Yang Mulia yang menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan. Apakah delapan ini? Dengan dukungan perbuatan tidak membunuh makhluk-makhluk hidup, maka pembunuhan makhluk-makhluk hidup ditinggalkan. Dengan dukungan perbuatan mengambil hanya apa yang diberikan, maka perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ditinggalkan. Dengan dukungan ucapan jujur, maka kebohongan ditinggalkan. Dengan dukungan ucapan tidak jahat, maka ucapan jahat ditinggalkan. Dengan dukungan tanpa merampas dan tanpa keserakahan, [ ]maka merampas dan keserakahan ditinggalkan. Dengan dukungan tanpa kedengkian dan tanpa cacian, maka kedengkian dan cacian ditinggalkan. Dengan dukungan tanpa kemarahan dan tanpa kejengkelan, maka kemarahan dan kejengkelan ditinggalkan. Dengan dukungan tanpa kesombongan, maka kesombongan ditinggalkan. Ini adalah delapan hal, yang disebutkan secara ringkas tanpa dijelaskan secara terperinci, yang menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia.”

5. “Yang Mulia, baik sekali jika, demi belas kasihan, Bhagavā sudi menjelaskan kepadaku secara terperinci mengenai kedelapan hal ini yang menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia, yang telah disebutkan secara ringkas tanpa dijelaskan secara terperinci.”

“Maka dengarkanlah, Perumah tangga, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Potaliya si perumah tangga menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [361]

6. “[’]Dengan dukungan perbuatan tidak membunuh makhluk-makhluk hidup, maka pembunuhan makhluk-makhluk hidup ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Aku melatih jalan untuk meninggalkan dan memotong belenggu-belenggu itu yang karenanya aku mungkin membunuh makhluk-makhluk itu. Jika aku membunuh makhluk-makhluk hidup, maka aku akan menyalahkan diri sendiri karena melakukan itu; para bijaksana, setelah menyelidiki, akan mencelaku karena melakukan hal itu; dan ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, karena membunuh makhluk-makhluk hidup maka alam tujuan yang tidak bahagia akan dapat diharapkan. Tetapi perbuatan membunuh makhluk-makhluk itu sendiri adalah belenggu dan rintangan. [ ]Dan sementara noda-noda, kekesalan, dan demam dapat muncul melalui perbuatan membunuh makhluk-makhluk hidup, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam bagi seseorang yang menghindari perbuatan membunuh makhluk-makhluk hidup.’ Demikianlah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: [’]Dengan dukungan perbuatan tidak membunuh makhluk-makhluk hidup, maka pembunuhan makhluk-makhluk hidup ditinggalkan.’

7. “[’]Dengan dukungan perbuatan mengambil hanya apa yang diberikan, maka perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan ....

8. “[’]Dengan dukungan ucapan jujur, maka kebohongan ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan .... [362]

9. “[’]Dengan dukungan ucapan tidak jahat, maka ucapan jahat ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan ....

10. “[’]Dengan dukungan tanpa merampas dan tanpa keserakahan, maka merampas dan keserakahan ditinggalkan.[]] Demikianlah dikatakan ....

11. “[’]Dengan dukungan tanpa kedengkian dan tanpa cacian, maka kedengkian dan cacian ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan .... [363]

12. “[’][ ]Dengan dukungan tanpa kemarahan dan tanpa kejengkelan, maka kemarahan dan kejengkelan ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan ....

13. “[’]Dengan dukungan tanpa kesombongan, maka kesombongan ditinggalkan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Aku melatih jalan untuk meninggalkan dan memotong belenggu-belenggu itu yang karenanya aku mungkin menjadi sombong. Jika aku menjadi sombong, maka aku akan menyalahkan diri sendiri karena melakukan itu; para bijaksana, setelah menyelidiki, akan mencelaku karena melakukan hal itu; dan ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, karena menjadi sombong maka alam tujuan yang tidak bahagia akan dapat diharapkan. Tetapi kesombongan itu sendiri adalah belenggu dan rintangan. Dan sementara noda-noda, kekesalan, dan demam dapat muncul melalui kesombongan, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam bagi seseorang yang menghindari kesombongan.’ Demikianlah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan dukungan tanpa kesombongan, maka kesombongan ditinggalkan.’  [364]

14. “Delapan hal ini yang menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia telah dijelaskan secara terperinci. Tetapi terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia belum tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara.”

“Yang Mulia, bagaimanakah terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia belum tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara? Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku, menunjukkan kepadaku bagaimana terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara.”

“Maka dengarkanlah, Perumah tangga, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Potaliya si perumah tangga menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

15. “Perumah tangga, misalkan seekor anjing, yang dikuasai oleh rasa lapar dan lemah, sedang menunggu di dekat sebuah toko daging. [ ]Kemudian seorang tukang daging terampil atau pelayannya akan melemparkan tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Akankah anjing itu terpuaskan lapar dan lemahnya dengan menggerogoti tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih itu?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena itu adalah tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Akhirnya anjing itu akan menemui keletihan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai tulang-belulang oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang membeda-bedakan, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan, [ ]di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

16. “Perumah tangga, misalkan seekor burung nasar, seekor burung bangau, seekor burung elang menyambar sepotong daging dan terbang, dan kemudian sekumpulan burung nasar, sekumpulan burung bangau, dan sekumpulan burung elang mengejarnya dan mematuk dan mencakarnya. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Jika burung nasar, burung bangau, atau burung elang itu tidak segera melepaskan sepotong daging itu, apakah ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena daging itu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai sepotong daging oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ [365] Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

17. “Perumah tangga, misalkan seseorang membawa obor rumput menyala dan pergi melawan arah angin. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Jika orang itu tidak segera melepaskan obor rumput menyala itu, apakah ia tidak terbakar di tangannya atau di lengannya atau bagian tubuh lainnya, sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena obor rumput menyala itu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai obor rumput oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

bersambung..
« Last Edit: 05 October 2010, 01:40:01 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #8 on: 10 October 2010, 09:38:26 PM »
18. “Perumah tangga, misalkan terdapat sebuah lubang arang sedalam tinggi seorang manusia penuh dengan arang membara tanpa api atau asap. Kemudian seseorang datang menginginkan kehidupan, tidak menginginkan kematian. Yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang arang tersebut. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Apakah orang itu akan menggeliatkan tubuhnya ke sana dan kemari?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena orang itu mengetahui bahwa jika ia jatuh ke dalam lubang arang itu, maka ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan karenanya.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai lubang arang oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

19. “Perumah tangga, misalkan seseorang bermimpi tentang taman-taman yang indah, hutan-hutan yang indah, padang rumput yang indah, dan danau yang indah, dan ketika terbangun, ia tidak melihat apa-apa. Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai mimpi oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

20. “Perumah tangga, misalkan seseorang meminjam barang-barang [366]sebuah kereta indah dan anting-anting permata yang bagusdan dengan barang-barang pinjaman itu ia pergi ke pasar. Kemudian orang-orang, ketika melihatnya, akan berkata: ‘Tuan-tuan, itu ada orang kaya! Itu adalah bagaimana orang kaya menikmati kekayaannya!’ Kemudian pemilik barang-barang itu, ketika melihatnya, akan mengambil kembali barang-barang itu. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Cukupkah hal itu untuk membuat orang itu bersedih?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena pemilik barang-barang itu mengambil kembali barang-barang miliknya.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai barang-barang pinjaman oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

21. “Perumah tangga, misalkan terdapat sebuah hutan lebat tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, di dalamnya terdapat sebatang pohon yang penuh buah-buahan tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Kemudian seseorang datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah, tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tahu cara memanjat pohon, aku akan memanjat pohon ini, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Kemudian seorang lainnya datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan dengan membawa kapak tajam ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah, tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tidak tahu cara memanjat pohon, aku akan menebang pohon ini di akarnya, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga, jika orang pertama yang telah memanjat pohon itu tidak segera turun ketika pohon itu tumbang, apakah tangan atau kaki atau bagian tubuh lainnya akan patah, [367] sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Perumah tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai buah-buahan di atas pohon oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang membeda-bedakan, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan, di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

22. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama itu yang murni karena keseimbangan, siswa mulia ini mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... (seperti Sutta 51, §24) ... Demikianlah dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

23. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama itu yang murni karena keseimbangan, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, siswa mulia ini melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin ... (seperti Sutta 51, §25) ... Demikianlah ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka.

24. “Berdasarkan pada perhatian tertinggi yang sama itu yang murni karena keseimbangan, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, siswa mulia ini di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda melalui hancurnya noda-noda.

25. “Pada titik ini, Perumah tangga, terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia telah tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara. Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Apakah engkau melihat dalam dirimu ada terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia belum tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara?”

“Yang Mulia, siapakah aku yang memiliki terpotongnya urusan-urusan sepenuhnya dan dalam segala cara seperti yang dalam Disiplin Yang Mulia? Aku sungguh masih jauh, Yang Mulia, dari terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia yang tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara itu. Karena, Yang Mulia, walaupun para pengembara dari sekte lain bukan keturunan murni, namun kami membayangkan bahwa mereka adalah keturunan murni; [ ]walaupun mereka bukan keturunan murni, namun kami memberi mereka makanan keturunan murni; walaupun mereka bukan keturunan murni, namun kami menempatkan mereka pada tempat keturunan murni. Tetapi walaupun para bhikkhu adalah keturunan murni, namun kami membayangkan bahwa mereka adalah bukan keturunan murni; walaupun mereka keturunan murni, namun kami memberi mereka makanan bukan keturunan murni; walaupun mereka bukan keturunan murni, namun kami menempatkan mereka pada tempat bukan keturunan murni. Tetapi sekarang, Yang Mulia, [368] karena para pengembara dari sekte lain bukan keturunan murni, maka kami harus memahami bahwa mereka bukan keturunan murni; karena mereka bukan keturunan murni, maka kami seharusnya memberi mereka makanan bukan keturunan murni; karena mereka bukan keturunan murni, maka kami seharusnya menempatkan mereka pada tempat bukan keturunan murni. Tetapi karena para bhikkhu adalah keturunan murni, maka kami harus memahami bahwa mereka adalah keturunan murni; karena mereka keturunan murni, maka kami seharusnya memberi mereka makanan keturunan murni; karena mereka keturunan murni, maka [ ]kami seharusnya menempatkan mereka pada tempat keturunan murni. Yang Mulia, Sang Bhagavā telah menginspirasi diriku akan cinta-kasih kepada para petapa, keyakinan di dalam para petapa, penghormatan kepada para petapa.

26. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #9 on: 10 October 2010, 11:12:10 PM »
55  Jīvaka Sutta
Kepada Jīvaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Mangga milik Jivāka Komārabhacca.

2. Kemudian Jivaka Komārabhacca mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Yang Mulia, aku telah mendengar ini: ‘Mereka menyembelih makhluk-makhluk hidup untuk Petapa Gotama; Petapa Gotama dengan sadar memakan daging yang dipersiapkan untuk-Nya dari binatang-binatang yang dibunuh demi Beliau.’ Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian mengatakan apa yang telah diucapkan oleh Sang Bhagavā; dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataan mereka?” [369]

4. “Jivaka, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang telah Kuucapkan, melainkan salah memahami-Ku dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.

5. “Jivaka, Aku katakan bahwa ada tiga kasus yang mana daging seharusnya tidak dimakan; jika terlihat, terdengar, atau dicurigai [bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya]. Aku katakan bahwa daging seharusnya tidak dimakan dalam ketiga kasus ini. Aku katakan bahwa ada tiga kasus yang mana daging boleh dimakan; jika tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak dicurigai [bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya]. Aku katakan bahwa daging boleh dimakan dalam ketiga kasus ini. 

6. “Di sini, Jivaka, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Kemudian [ ]seorang perumah tangga atau putra perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu menerimanya, jika ia menginginkannya. Ketika malam berlalu, pada pagi harinya, ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke rumah perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian perumah tangga atau putra perumah tangga itu melayaninya dengan makanan-makanan yang baik. Ia tidak berpikir: ‘Betapa baiknya perumah tangga atau putra perumah tangga itu melayaniku dengan makanan-makanan yang baik. Seandainya seorang perumah tangga atau putra perumah tangga itu dapat melayaniku dengan makanan-makanan yang baik di masa depan!’ ia tidak berpikir demikian. Ia memakan makanan itu tanpa terikat pada makanan itu, tanpa tergila-gila pada makanan itu, dan tanpa menyerah pada makanan itu, melihat bahaya di dalam makanan itu dan memahami jalan membebaskan diri dari makanan itu. Bagaimana menurutmu, Jivaka? Apakah bhikkhu itu pada kesempatan itu memilih untuk menyusahkan dirinya sendiri atau menyusahkan orang lain, atau menyusahkan keduanya?”“Tidak, Yang Mulia.”“Apakah bhikkhu itu memelihara dirinya dengan makanan tanpa cacat pada kesempatan itu?”

7. “Ya, Yang Mulia. Aku telah mendengar ini, Yang Mulia: ‘Brahmā berdiam dalam cinta kasih.’ Yang Mulia, Sang Bhagavā adalah bukti terlihat akan hal itu; karena Sang Bhagavā berdiam dalam cinta-kasih.”

“Jivaka, nafsu apa pun juga, [370] kebencian apa pun juga, kebodohan apa pun juga yang karenanya niat buruk dapat muncul telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, terpotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, telah disingkirkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. [ ]Jika apa yang engkau katakan adalah merujuk pada hal itu, maka Aku menyetujuinya.”

“Yang Mulia, apa yang kukatakan adalah merujuk tepat pada hal itu.”

8-10. “Di sini, Jivaka, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Kemudian [ ]seorang perumah tangga atau putra perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu menerimanya, jika ia menginginkannya ... Bagaimana menurutmu, Jivaka? Apakah bhikkhu itu pada kesempatan itu memilih untuk menyusahkan dirinya sendiri atau menyusahkan orang lain, atau menyusahkan keduanya?”“Tidak, Yang Mulia.”“Apakah bhikkhu itu memelihara dirinya dengan makanan tanpa cacat pada kesempatan itu?”

711. “Ya, Yang Mulia. Aku telah mendengar ini, Yang Mulia: ‘Brahmā berdiam dalam keseimbangan.’ Yang Mulia, Sang Bhagavā adalah bukti terlihat akan hal itu; karena Sang Bhagavā berdiam dalam keseimbangan.”

“Jivaka, nafsu apa pun juga, kebencian apa pun juga, kebodohan apa pun juga yang karenanya niat buruk dapat muncul telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, terpotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, telah disingkirkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. [ ]Jika apa yang engkau katakan adalah merujuk pada hal itu, maka Aku menyetujuinya.” [371]

“Yang Mulia, apa yang kukatakan adalah merujuk tepat pada hal itu.”

12. “Jika siapa pun juga menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathāgata atau siswa-Nya, ia menimbun banyak keburukan dalam lima kasus. Ketika ia berkata: ‘Pergi dan tangkap makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus pertama yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditarik dengan leher tercekik, ini adalah kasus ke dua yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika ia berkata: ‘Pergi dan sembelilah makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus ke tiga yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih, ini adalah kasus ke empat yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika ia mempersembahkan makanan yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswa-Nya, ini adalah kasus ke lima yang mana ia menimbun banyak keburukan. Siapa pun juga yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathāgata atau siswa-Nya, ia menimbun banyak keburukan dalam lima kasus ini.

13. Ketika hal ini dikatakan, Jivaka Komārabhacca berkata kepada Sang Bhagavā: [‘”]Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Para bhikkhu memelihara diri mereka dengan makanan-makanan yang diperbolehkan. Para bhikkhu memelihara diri mereka dengan makanan-makanan yang tanpa cacat. Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! ... sejak hari ini, sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #10 on: 12 October 2010, 12:18:20 AM »
56  Upāli Sutta
Kepada Upāli

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Nāḷandā di Hutan Mangga Pāvārika.

2. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta sedang berada di Nāḷandā bersama sekumpulan besar para Nigaṇṭha. Kemudian, ketika Nigaṇṭha [bernama] Dīgha Tapassī  telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia pergi ke Hutan Mangga Pāvārika untuk menemui Sang Bhagavā. [372] Ia saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah ini selesai, ia berdiri di satu sisi. Ketika berdiri di sana, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Tapassī, duduklah jika engkau menginginkan.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Dīgha Tapassī mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Tapassī, berapa banyakkah jenis perbuatan yang digambarkan oleh Nigaṇṭha Nātaputta sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk?”

“Teman Gotama, Nigaṇṭha Nātaputta tidak menggunakan penggambaran ‘perbuatan, perbuatan’; Nigaṇṭha Nātaputta biasanya menggunakan penggambaran ‘tongkat, tongkat’.

“Kalau begitu, Tapassī, berapa banyakkah jenis tongkat yang digambarkan oleh Nigaṇṭha Nātaputta sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk?”

“Teman Gotama, Nigaṇṭha Nātaputta menggambarkan tiga jenis tongkat sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk; yaitu, tongkat jasmani, tongkat ucapan, dan tongkat pikiran.”

“Bagaimanakah, Tapassī, apakah tongkat jasmani adalah satu hal, tongkat ucapan adalah hal lainnya, dan tongkat pikiran adalah hal lainnya lagi?”

“Tongkat jasmani adalah satu hal, Guru Gotama, tongkat ucapan adalah hal lainnya, dan tongkat pikiran adalah hal lainnya lagi.”

“Dari ketiga jenis tongkat ini, Tapassī, yang dianalisa dan dibedakan sedemikian, jenis yang manakah yang oleh Nigaṇṭha Nātaputta digambarkan sebagai yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk: tongkat jasmani atau tongkat ucapan atau tongkat pikiran?”

“Dari ketiga jenis tongkat ini, Teman Gotama, yang dianalisa dan dibedakan sedemikian, Nigaṇṭha Nātaputta menggambarkan tongkat jasmani sebagai yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.”

“Apakah engkau mengatakan tongkat jasmani, Tapassī?”

“Aku mengatakan tongkat jasmani, Teman Gotama.”

“Apakah engkau mengatakan tongkat jasmani, Tapassī?”

“Aku mengatakan tongkat jasmani, Teman Gotama.”

“Apakah engkau mengatakan tongkat jasmani, Tapassī?”

“Aku mengatakan tongkat jasmani, Teman Gotama.”

Demikianlah Sang Bhagavā membuat Nigaṇṭha Dīgha Tapassī mempertahankan pernyataannya sampai tiga kali. [373]

4. Kemudian Nigaṇṭha Dīgha Tapassī bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dan Engkau, Teman Gotama, berapa banyakkah jenis tongkat yang digambarkan oleh-Mu sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk?”

“Tapassī, Sang Tathāgata tidak menggunakan penggambaran ‘tongkat, tongkat’; Nigaṇṭha NātaputtaSang Tathāgata biasanya menggunakan penggambaran ‘perbuatan, perbuatan’.

“Kalau begitu, Teman Gotama, berapa banyakkah jenis perbuatan yang digambarkan oleh-Mu sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk?”

“Tapassī, Aku menggambarkan tiga jenis perbuatan sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk; yaitu, perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran.”

“Bagaimanakah, Teman Gotama, apakah perbuatan jasmani adalah satu hal, perbuatan ucapan adalah hal lainnya, dan perbuatan pikiran adalah hal lainnya lagi?”

“Perbuatan jasmani adalah satu hal, Tapassī, perbuatan ucapan adalah hal lainnya, dan perbuatan pikiran adalah hal lainnya lagi.”

“Dari ketiga jenis perbuatan ini, Teman Gotama, yang dianalisa dan dibedakan sedemikian, jenis yang manakah yang oleh-Mu digambarkan sebagai yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk: perbuatan jasmani atau perbuatan ucapan atau perbuatan pikiran?”

“Dari ketiga jenis perbuatan ini, Tapassī, yang dianalisa dan dibedakan sedemikian, Aku menggambarkan perbuatan pikiran sebagai yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan perbuatan jasmani dan perbuatan ucapan tidak terlalu tercela.”

“Apakah Engkau mengatakan perbuatan pikiran, Teman Gotama?”

“Aku mengatakan perbuatan pikiran, Tapassī.”

“Apakah Engkau mengatakan perbuatan pikiran, Teman Gotama?”

“Aku mengatakan perbuatan pikiran, Tapassī.”

“Apakah Engkau mengatakan perbuatan pikiran, Teman Gotama?”

“Aku mengatakan perbuatan pikiran, Tapassī.”

Demikianlah Nigaṇṭha Dīgha Tapassī membuat Sang Bhagavā mempertahankan pernyataannya sampai tiga kali, dan setelah itu, ia bangkit dari duduknya dan pergi menghadap Nigaṭha Nātaputta.

5. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta sedang duduk bersama sejumlah besar umat awam dari Bālaka yang dipimpin oleh Upāli. Dari kejauhan, Nigaṇṭha Nātaputta melihat kedatangan Nigaṇṭha Dīgha Tapassī dan bertanya kepadanya: “Dari manakah engkau datang di siang hari ini, Tapassī?”

“Aku datang dari kediaman Petapa Gotama, Yang Mulia.”

“Apakah engkau berbincang-bincang dengan Petapa Gotama, Tapassī?” [374]

“Aku berbincang-bincang dengan Petapa Gotama, Yang Mulia.”

“Seperti apakah perbincanganmu dengan Beliau, Tapassī?”

Kemudian Nigaṇṭha Dīgha Tapassī menceritakan kepada Nigaṇṭha Nātaputta keseluruhan pembicaraannya dengan Sang Bhagavā.

6. Ketika hal ini dikatakan, Nigaṇṭha Nātaputta berkata: “Bagus, bagus, Tapassī! Nigaṇṭha Dīgha Tapassī telah menjawab Petapa Gotama seperti seorang siswa yang telah diajarkan dengan baik yang memahami ajaran gurunya dengan benar. Apalah artinya tongkat pikiran yang halus bila dibandingkan dengan tongkat jasmani yang kasar? Sebaliknya, tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.”

7. Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Upāli berkata kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Bagus, bagus, Yang Mulia, [di pihak] Dīgha Tapassī! Yang Mulia Tapassī telah menjawab Petapa Gotama seperti seorang siswa yang telah diajarkan dengan baik yang memahami ajaran gurunya dengan benar. Apalah artinya tongkat pikiran yang halus bila dibandingkan dengan tongkat jasmani yang kasar? Sebaliknya, tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela. Sekarang, Yang Mulia, aku akan pergi dan membantah doktrin Petapa Gotama berdasarkan pada pernyataan ini. Jika Petapa Gotama di hadapanku mempertahankan apa yang Yang Mulia Dīgha Tapassī membuat Beliau mempertahankan, maka bagaikan seorang kuat [ ]mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah panci minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu sudutnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan mengguncangnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke bawah [375] dan mengguncang Beliau ke bawah atas dan mengguncang Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama. Yang Mulia, aku akan pergi dan membantah doktrin Petapa Gotama berdasarkan pada pernyataan ini.[.]

“Pergilah, Perumah tangga, dan bantahlah doktrin Petapa Gotama berdasarkan pada pernyataann ini. Apakah aku yang membantah doktrin Petapa Gotama atau Nigaṇṭha Dīgha Tapassī atau engkau sendiri.”

8. Ketika hal ini dikatakan, Nigaṇṭha Dīgha Tapassī berkata kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Yang Mulia, aku tidak setuju perumah tangga Upāli [mencoba untuk] membantah doktrin Petapa Gotama. Karena Petapa Gotama adalah seorang penyihir dan menguasai sihir pengalihan keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para penganut sekte lainnya.”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi bahwa perumah tangga Upāli akan menjadi siswa di bawah Petapa Gotama; tetapi mungkin saja, dapat terjadi bahwa Petapa Gotama akan menjadi siswa di bawah perumah tangga Upāli. Pergilah, Perumah tangga, dan bantahlah doktrin Petapa Gotama berdasarkan pada pernyataann ini. Apakah aku yang membantah doktrin Petapa Gotama atau Nigaṇṭha Dīgha Tapassī atau engkau sendiri.”

Untuk ke dua kalinya ... Untuk ke tiga kalinya, Nigaṇṭha Dīgha Tapassī berkata kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Yang Mulia, aku tidak setuju perumah tangga Upāli [mencoba untuk] membantah doktrin Petapa Gotama. Karena Petapa Gotama adalah seorang penyihir dan menguasai sihir pengalihan keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para penganut sekte lainnya.”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi bahwa perumah tangga Upāli akan menjadi siswa di bawah Petapa Gotama; tetapi mungkin saja, dapat terjadi bahwa Petapa Gotama akan menjadi siswa di bawah perumah tangga Upāli. Pergilah, Perumah tangga, dan bantahlah doktrin Petapa Gotama berdasarkan pada pernyataann ini. Apakah aku yang membantah doktrin Petapa Gotama atau Nigaṇṭha Dīgha Tapassī atau engkau sendiri.”

9. “Baik, Yang Mulia,” perumah tangga Upāli menjawab, dan ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Nigaṇṭha Nātaputta, dengan ia di sisi kanannya, ia pergi mendatangi Sang Bhagavā di Hutan Mangga Pāvārika. [376] Di sana, setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, apakah Nigaṇṭha Dīghā Tapassī datang ke sini?”

“Nigaṇṭha Dīgha Tapassī datang ke sini, Perumah tangga.”

“Yang Mulia, apakah Engkau berbincang-bincang dengannya?”

“Aku berbincang-bincang dengannya, Perumah tangga.”

“Seperti apakah perbincangan-Mu dengannya, Yang Mulia?”

Kemudian Sang Bhagavā menceritakan kepada perumah tangga Upāli keseluruhan pembicaraannya dengan Nigaṇṭha Dīgha Tapassī.

10. Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Upāli berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus, bagus, Yang Mulia, di pihak Tapassī! Nigaṇṭha Dīgha Tapassī telah menjawab Petapa Gotama seperti seorang siswa yang telah diajarkan dengan baik yang memahami ajaran gurunya dengan benar. Apalah artinya tongkat pikiran yang halus bila dibandingkan dengan tongkat jasmani yang kasar? Sebaliknya, tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.

“Perumah tangga, jika engkau akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, maka kita mungkin akan terlibat dalam perbincangan mengenai hal ini.”

“Aku akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, Yang Mulia, maka marilah kita berbincang-bincang mengenai hal ini.”

11. “Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Di sini, beberapa Nigaṇṭha mungkin mengalami kesusahan, menderita, dan sakit keras [(][dengan penyakit yang membutuhkan perawatan dengan air dingin, yang tidak diperbolehkan oleh sumpahnya] dan ia akan menolak air dingin [walaupun menginginkannya] dan hanya menggunakan air panas [yang diperbolehkan dan dengan demikian menjaga sumpahnya secara jasmani dan ucapan]. Karena tidak mendapatkan air dingin, maka ia akan mati. Sekarang, Perumah tangga, di manaakah Nigaṇṭha Nātaputta menggambarkan kelahiran kembalinya [terjadi]?”

“Yang Mulia, ada para dewa yang disebut ‘pikiran-terikat’; ia akan terlahir kembali di sana. Mengapakah? Karena ketika ia mati, ia masih terikat [oleh kemelekatan] dalam pikiran.”

“Perumah tangga, Perumah tangga, perhatikanlah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya, juga apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Aku akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, Yang Mulia, maka marilah kita berbincang-bincang mengenai hal ini.’”

“Yang Mulia, walaupun Sang Bhagavā telah berkata demikian, namun tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.”

bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #11 on: 12 October 2010, 09:50:42 AM »
58  Abhayarājakumāra Sutta
Kepada Pangeran Abhaya



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Pangeran Abhaya [ ]mendatangi Nigaṇṭha Nātaputta, dan setelah bersujud kepadanya, duduk di satu sisi. Kemudian Nigaṇṭha Nātaputta berkata kepadanya:

3. “Pergilah, Pangeran, bantahlah doktrin Petapa Gotama, dan berita baik tentangmu akan menyebar sebagai berikut: ‘Pangeran Abhaya telah membantah doktrin Petapa Gotama, yang begitu berkuasa dan perkasa’.”

“Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, aku membantah doktrin-Nya?”

“Pergilah, Pangeran, temui Petapa Gotama dan katakan: ‘Yang Mulia, apakah Sang Tathāgata akan mengucapkan kata yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain?’ Jika ketika ditanya demikian, Petapa Gotama menjawab: ‘Sang Tathāgata, Pangeran, akan mengucapkan kata yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain’, maka katakan kepada Beliau: ‘Kalau begitu, Yang Mulia, apakah perbedaan antara Engkau dan seorang biasa? Karena seorang biasa juga akan mengucapkan kata yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain’. Tetapi jika ketika ditanya demikian, Petapa Gotama menjawab: ‘Sang Tathāgata, Pangeran, tidak akan mengucapkan kata [393] yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain’, maka katakan kepada Beliau: ‘Kalau begitu, Yang Mulia, mengapa engkau mengatakan tentang Devadatta: “Devadatta ditakdirkan terlahir di alam sengsara, Devadatta ditakdirkan terlahir di neraka, Devadatta akan tetap [berada di neraka] selama satu kappa, Devadatta tidak dapat diselamatkan?" Devadatta marah dan tidak senang dengan kata-kataMu itu’. Jika Petapa Gotama diajukan kedua pertanyaan bertanduk ganda ini olehmu, Beliau tidak akan mampu memuntahkannya atau menelannya. Seperti sebatang paku besi yang tersangkut di tenggorokan seseorang, ia tidak akan mampu memuntahkannya atau menelannya; demikian pula, Pangeran, jika Petapa Gotama diajukan kedua pertanyaan bertanduk ganda ini olehmu, Beliau tidak akan mampu memuntahkannya atau menelannya.

4. “Baik, Yang Mulia,” Pangeran Abhaya menjawab. Kemudian ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Nigaṇṭha Nātaputta, dengan Nigaṇṭha Nātaputta tetap di sisi kanannya, ia pergi dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi, menatap matahari, dan berpikir: “Sudah terlambat hari ini untuk membantah doktrin Sang Bhagavā. Aku akan membantah doktrin Sang Bhagavā di rumahku sendiri besok.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan tiga lainnya menerima undangan makan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

5. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Pangeran Abhaya bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Beliau, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi. Kemudian, ketika malam telah berlalu, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, Beliau pergi ke rumah Pangeran Abhaya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Pangeran Abhaya melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menarik tangannya dari mangkuk, Pangeran Abhaya mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

6. “Yang Mulia, apakah Sang Tathāgata akan mengucapkan kata yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain?”

“Tidak ada jawaban satu sisi atas pertanyaan itu, Pangeran.”

“Kalau begitu, Yang Mulia, para Nigaṇṭha telah kalah dalam hal ini.”

“Mengapa engkau berkata seperti ini, Pangeran: [394] ‘Kalau begitu, Yang Mulia, para Nigaṇṭha telah kalah dalam hal ini’?”

Kemudian Pangeran Abhaya melaporkan kepada Sang Bhagavā keseluruhan percakapannya dengan Nigaṇṭha Nātaputta.

7. Pada saat itu seorang bayi muda yang lembut sedang berbaring telungkup di pangkuan Pangeran Abhaya. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Pangeran Abhaya: [395] “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Jika, sewaktu engkau atau perawatmu sedang tidak merawatnya, anak ini memasukkan kayu atau kerikil ke dalam mulutnya, apa yang akan engkau lakukan terhadapnya?”

“Yang Mulia, aku akan mengeluarkannya. Jika aku tidak dapat dengan segera mengeluarkannya. Aku akan memegang kepalanya dengan tangan kiriku, dan menekuk jari tangan kananku, aku akan mengeluarkannya bahkan jika itu berarti melukainya hingga berdarah. Mengapakah? Karena aku berbelas kasih pada anak ini.”

8. “Demikian pula, Pangeran, kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, tetapi tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu.  kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, tetapi disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, dan juga yang disukai dan menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata berbelas kasihan pada makhluk-makhluk.”

9. “Yang Mulia, ketika para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar, setelah merumuskan suatu pertanyaan, kemudian mendatangi Sang Bhagavā dan mengajukan pertanyaan itu, apakah sudah ada dalam pikiran Sang Bhagavā: ‘Jika mereka mendatangi-Ku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini?' atau apakah jawaban itu muncul pada Sang Tathāgata pada saat itu juga?”

10. “Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan. Jawablah sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau ahli dalam hal bagian-bagian kereta?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Pangeran? Jika orang-orang mendatangimu dan bertanya: ‘Apakah nama dari bagian kereta ini? apakah sudah ada dalam pikiranmu: [396] ‘Jika mereka mendatangiku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini’? atau apakah jawaban itu muncul padamu pada saat itu juga?”

“Yang Mulia, aku adalah seorang kusir kereta yang terkenal dan ahli dalam bagian-bagian kereta. Semua bagian kereta telah kuketahui dengan baik. Jawaban itu muncul padaku pada saat itu juga.”

11. “Demikian pula, Pangeran, ketika para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar, setelah merumuskan suatu pertanyaan, kemudian mendatangi Sang Tathāgata dan mengajukan pertanyaan itu, jawaban itu muncul pada Sang Tathāgata pada saat itu juga. Mengapakah? Unsur-unsur dari segala sesuatu telah sepenuhnya ditembus oleh Sang Tathāgata, melalui penembusan sepenuhnya maka jawaban muncul pada Sang Tathāgata pada saat itu juga.”

12. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Abhaya berkata: “Mengagumkan, Yang Mulia, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara ... Mulai hari ini sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #12 on: 13 November 2010, 02:36:58 AM »
sambungan 56  Upāli Sutta

12. “Bagaimana menurutmu, [377] Perumah tangga? Di sini beberapa Nigaṇṭha mungkin terkendali dengan empat pengawasanterkekang oleh segala pengekangan, terjepit oleh segala pengekangan, tercuci oleh segala pengekangan, dan dituntut oleh segala pengekangannamun ketika berjalan maju dan mundur, ia menyebabkan kehancuran banyak makhluk hidup. Apakah akibat yang dijelaskan oleh Nigaṇṭha Nātaputta terhadapnya?”

“Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta tidak menjelaskan apa yang tidak disengaja sebagai sangat tercela.”

“Tetapi dalam kelompok manakah [dari ketiga tongkat] Nigaṇṭha Nātaputta menjelaskan kehendak, Perumah tangga?”

“Dalam tongkat pikiran, Yang Mulia.”

“Perumah tangga, perumah tangga, perhatikanlah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya, juga apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Aku akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, Yang Mulia, maka marilah kita berbincang-bincang mengenai hal ini.’”

“Yang Mulia, walaupun Sang Bhagavā telah berkata demikian, namun tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.”

13. “Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Apakah pemukiman Nāḷandā ini berhasil dan makmur, apakah ramai dan penuh dengan orang?”

“Benar, Yang Mulia, demikianlah.”

“Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Misalkan seseorang datang dengan mengacungkan pedang dan berkata: ‘Dalam sesaat, dalam sekejap, aku akan menjadikan seluruh makhluk hidup di pemukiman Nāḷanda ini menjadi satu tumpukan daging, menjadi satu gunung daging.’ Bagaimana menurutmu, Perumah tangga, mampukah orang itu melakukan hal itu?”

“Yang Mulia, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau bahkan lima puluh orang tidak akan mampu menjadikan seluruh makhluk hidup di pemukiman ini menjadi satu tumpukan daging, menjadi satu gunung daging dalam sesaat atau sekejap, apalagi hanya satu orang yang tidak berarti.”

“Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Misalkan seorang petapa atau brahmana yang memiliki kekuatan batin dan mencapai penguasaan pikiran datang dan berkata: “Aku akan menghancurkan pemukiman Nāḷanda ini menjadi abu dengan satu perbuatan pikiran membenci[.]; bagaimana menurutmu, Perumah tangga, dapatkah petapa atau brahmana itu melakukan hal tersebut?” [378]

“Yang Mulia, seorang petapa atau brahmana demikian yang memiliki kekuatan batin dan mencapai penguasaan pikiran akan mampu menghancurkan sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau bahkan lima puluh Nāḷanda menjadi abu dengan satu perbuatan pikiran membenci, apalagi hanya satu Nāḷanda yang tidak berarti.”

“Perumah tangga, perumah tangga, perhatikanlah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya, juga apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Aku akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, Yang Mulia, maka marilah kita berbincang-bincang mengenai hal ini.’”

“Yang Mulia, walaupun Sang Bhagavā telah berkata demikian, namun tongkat jasmani adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela.”

14. “Bagaimana menurutmu, Perumah tangga? Pernahkah engkau mendengar bagaimana hutan-hutan Daṇḍaka, Kālinga, Mejjha, dan Mātanga menjadi hutan?”“Pernah, Yang Mulia.”“Karena engkau pernah mendengarnya, bagaimanakah terjadinya hutan-hutan itu?”“Yang Mulia, aku mendengar bahwa hutan-hutan itu terjadi melalui perbuatan pikiran membenci dari para petapa.”

“Perumah tangga, perumah tangga, perhatikanlah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya, juga apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Aku akan berdebat dengan berdasarkan pada kebenaran, Yang Mulia, maka marilah kita berbincang-bincang mengenai hal ini.’”

15. “Yang Mulia, aku merasa puas dan senang sejak perumpamaan Bhagavā yang pertama. Namun demikian, aku pikir aku harus membantah Sang Bhagavā seperti itu karena aku ingin mendengarkan dari Sang Bhagavā berbagai solusi atas permasalahan. Mengagumkan, Yang Mulia! Mengagumkan, Yang Mulia! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Yang Mulia, Aku berlindung pada Sang Bhagavā [379] dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #13 on: 13 November 2010, 03:20:40 AM »
Lanjutan 56  Upali Sutta
------------------------------

16. “Selidikilah dengan saksama, Perumah tangga. Baik sekali bagi orang terkenal seperti engkau untuk menyelidiki dengan saksama.”

“Yang Mulia, aku bahkan menjadi lebih puas dan lebih senang dengan pemberitahuan Sang Bhagavā itu. Karena sekte-sekte lain, ketika mendapatkan aku sebagai siswa mereka, akan membawa panji ke seluruh Nāḷanda mengumumkan: ‘Perumah tangga Upāli telah menjadi siswa kami.’ Tetapi, sebaliknya, Sang Bhagavā memberitahukan: ‘Selidikilah dengan saksama, Perumah tangga. Baik sekali bagi orang terkenal seperti engkau untuk menyelidiki dengan saksama.’ Jadi untuk ke dua kalinya, Yang Mulia, Aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

17. “Perumah tangga, keluargamu telah lama menyokong para Nigaṇṭha dan engkau harus mempertimbangkan bahwa dana harus diberikan kepada mereka ketika mereka datang.”

“Yang Mulia, aku bahkan menjadi lebih puas dan lebih senang dengan pemberitahuan Sang Bhagavā itu. Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengatakan sebagai berikut: ‘Persembahan harus diberikan hanya kepada-Ku; persembahan tidak boleh diberikan kepada orang lain. Persembahan harus diberikan hanya kepada para siswa-Ku; persembahan tidak boleh diberikan kepada para siswa orang lain. Hanya persembahan yang diberikan kepada-Ku yang menghasilkan buah, bukan apa yang diberikan kepada orang lain. Hanya persembahan yang diberikan kepada para siswa-Ku yang menghasilkan buah, bukan apa yang diberikan kepada para siswa orang lain.’ Tetapi, sebaliknya, Sang Bhagavā menganjurkan untuk memberikan persembahan kepada para Nigaṇṭha. Bagaimanapun juga kami akan mengetahui waktunya untuk itu, Yang Mulia. Jadi untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia, Aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

18. Kemudian Sang Bhagavā membabarkan kepada perumah tangga Upāli instruksi bertingkat, yaitu, khotbah tentang memberi, khotbah tentang moralitas, khotbah tentang alam surga; Beliau menjelaskan bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan berkah dari pelepasan keduniawian. Ketika Beliau mengetahui bahwa pikiran perumah tangga Upāli [380] telah siap, dapat menerima, bebas dari rintangan, gembira, dan berkeyakinan, Beliau membabarkan kepadanya ajaran yang khas para Buddha: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Bagaikan sehelai kain bersih dengan semua noda disingkirkan akan dapat menerima warna dengan merata, demikian pula, selagi perumah tangga Upāli duduk di sana, penglihatan Dhamma yang sangat bersih tanpa noda muncul dalam dirinya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.” [ ]Kemudian perumah tangga Upāli melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak tergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru. [ ]Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Sekarang, Yang Mulia, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak urusan yang harus dikerjakan.”

Silakan engkau pergi, Perumah tangga.”

19. Kemudian perumah tangga Upāli, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia kembali ke rumahnya. Di sana ia memanggil penjaga pintunya sebagai berikut: “Penjaga pintu, mulai hari ini dan seterusnya aku menutup pintuku untuk para Nigaṇṭha dan Nigaṇṭhi, dan aku membuka pintuku untuk para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan para siswa Sang Bhagavā. Jika ada Nigaṇṭha datang, katakan pada mereka sebagai berikut: ‘Tunggu, Yang Mulia, jangan masuk. Mulai hari ini dan seterusnya perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama. Ia telah menutup pintunya untuk para Nigaṇṭha dan Nigaṇṭhi, dan ia membuka pintunya untuk para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan para siswa Sang Bhagavā. Yang Mulia, jika engkau membutuhkan persembahan, tunggulah di sini; mereka akan membawakannya untukmu di sini.’”“Baik, Tuan.” Penjaga pintu itu menjawab.

20. Nigaṇṭha Dīgha Tapassī mendengar: “Perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama.” Kemudian ia menemui Nigaṇṭha Nātaputta dan memberitahunya: “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama.’”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi bahwa perumah tangga Upāli akan menjadi siswa di bawah Petapa Gotama; tetapi mungkin saja, dapat terjadi bahwa Petapa Gotama akan menjadi siswa di bawah perumah tangga Upāli. [“] [381]

Untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Nigaṇṭha Dīgha Tapassī memberitahukan kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama.’”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi ….

“Yang Mulia, haruskah aku pergi dan mencari tahu apakah perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama atau tidak?”

“Pergilah, Tapassī, dan cari tahu apakah ia telah menjadi siswa Petapa Gotama atau tidak.”

21. Kemudian Nigaṇṭha Dīgha Tapassī mendatangi rumah perumah tangga Upāli. Dari jauh penjaga pintu melihatnya datang dan memberitahunya: “Tunggu, Yang Mulia, jangan masuk. Mulai hari ini dan seterusnya perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama. Ia telah menutup pintunya untuk para Nigaṇṭha dan Nigaṇṭhi, dan ia membuka pintunya untuk para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan para siswa Sang Bhagavā. Yang Mulia, jika engkau membutuhkan persembahan, tunggulah di sini; mereka akan membawakannya untukmu di sini.”

“Aku tidak membutuhkan persembahan, Teman,” ia berkata, dan ia kembali menemui Nigaṇṭha Nātaputta dan memberitahunya: “Yang Mulia, sangat benar bahwa perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama. Yang Mulia, engkau tidak menyetujui ketika aku memberitahukan kepadamu: ‘Yang Mulia, aku tidak setuju perumah tangga Upāli [mencoba untuk] membantah doktrin Petapa Gotama. Karena Petapa Gotama adalah seorang penyihir dan menguasai sihir pengalihan keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para penganut sekte lainnya.’ Dan sekarang, Yang Mulia, perumah tangga Upāli telah dialihkan keyakinannya oleh Petapa Gotama dengan sihir pengalihan keyakinannya!”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi bahwa perumah tangga Upāli akan mejadi siswa di bawah Petapa Gotama; tetapi mungkin saja, dapat terjadi bahwa Petapa Gotama akan menjadi siswa di bawah perumah tangga Upāli.”

Untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Nigaṇṭha Dīgha Tapassī memberitahukan kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Yang Mulia, sangat benar bahwa perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama [382] ... dengan sihir pengalihan keyakinannya!”

“Tidak mungkin, Tapassī, tidak mungkin terjadi … mungkin saja, dapat terjadi bahwa Petapa Gotama akan menjadi siswa di bawah perumah tangga Upāli. Sekarang aku akan pergi sendiri dan mencari tahu apakah ia telah menjadi siswa Petapa Gotama atau tidak.”

22. [ ]Kemudian Nigaṇṭha Nātaputta bersama dengan sejumlah besar para Nigaṇṭha mendatangi rumah perumah tangga Upāli. Dari jauh penjaga pintu melihatnya datang dan memberitahunya: “Tunggu, Yang Mulia, jangan masuk. Mulai hari ini dan seterusnya perumah tangga Upāli telah menjadi siswa Petapa Gotama. Ia telah menutup pintunya untuk para Nigaṇṭha dan Nigaṇṭhi, dan ia membuka pintunya untuk para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan para siswa Sang Bhagavā. Yang Mulia, jika engkau membutuhkan persembahan, tunggulah di sini; mereka akan membawakannya untukmu di sini.”

“Penjaga pintu, pergilah temui perumah tangga Upāli dan katakan kepadanya: ‘Tuan, Nigaṇṭha Nātaputta sedang berdiri di gerbang luar bersama sejumlah besar para Nigaṇṭha; ia ingin menemui Tuan.’”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia pergi menemui perumah tangga Upāli dan memberitahukan kepadanya[ ]: [”] Tuan, Nigaṇṭha Nātaputta sedang berdiri di gerbang luar bersama sejumlah besar para Nigaṇṭha; ia ingin menemui Tuan.”

“Kalau begitu, Penjaga pintu, persiapkan tempat-tempat duduk di aula di pintu tengah.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab, dan setelah ia mempersiapkan tempat-tempat duduk di aula di pintu tengah, ia kembali menghadap perumah tangga Upāli dan memberitahunya: “Yang Mulia, tempat-tempat duduk telah dipersiapkan di aula di pintu tengah. Silakan Tuan datang.”

23. Kemudian perumah tangga Upāli [383] memasuki aula di pintu tengah dan duduk di tempat duduk tertinggi, terbaik, termulia yang ada di sana. Kemudian ia memberi tahu si penjaga pintu: “Sekarang, Penjaga pintu, temuilah Nigaṇṭha Nātaputta dan beri tahukan kepadanya: ‘Yang Mulia, perumah tangga Upāli berkata: “Silakan masuk, Yang Mulia.”’”

“Baik, Tuan,” ia menjawab, dan ia menemui Nigaṇṭha Nātaputta dan memberitahunya: “Yang Mulia, perumah tangga Upāli berkata: ‘Silakan masuk, Yang Mulia.’”

Kemudian Nigaṇṭha Nātaputta bersama dengan sejumlah besar para Nigaṇṭha memasuki aula di pintu tengah.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #14 on: 13 November 2010, 03:22:01 AM »
24. Sebelumnya, ketika perumah tangga Upāli dari kejauhan melihat kedatangan Nigaṇṭha Nātaputta, ia biasanya keluar untuk menemuinya, membersihkan tempat duduk tertinggi, terbaik, termulia yang ada di sana dengan jubah luarnya, dan setelah menata seluruhnya, ia mempersilakannya duduk di tempat duduk tersebut. Tetapi sekarang, sambil duduk di tempat duduk tertinggi, terbaik, termulia, ia berkata kepada Nigaṇṭha Nātaputta: “Yang Mulia, ada tempat-tempat duduk; duduklah jika kalian menghendaki.”

25. Ketika hal ini dikatakan, Nigaṇṭha Nātaputta berkata: “Perumah tangga, engkau gila, engkau bodoh. Engkau pergi dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, aku akan membantah doktrin Petapa Gotama,’ dan engkau telah kembali dengan terjebak oleh jaring besar ajaran-Nya. Bagaikan seseorang yang pergi untuk mengebiri orang lain dan kembali dengan dirinya yang dikebiri, bagaikan seseorang yang pergi untuk mencungkil mata orang lain dan kembali dengan matanya sendiri tercungkil; demikian pula engkau, Perumah tangga, pergi dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, aku akan membantah doktrin Petapa Gotama,’ dan engkau telah kembali dengan terjebak oleh jaring besar ajaran-Nya. Perumah tangga, engkau telah teralihkan oleh Petapa Gotama dengan sihir pengalihannya!”

26. “Sungguh menguntungkan sekali sihir pengalihan itu, Yang Mulia, sungguh baik sekali sihir pengalihan itu! [ ]Yang Mulia, jika sanak saudara dan kerabatku teralihkan oleh pengalihan ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan sanak saudara dan kerabatku untuk waktu yang lama. Jika semua para mulia teralihkan oleh pengalihan ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan para mulia itu untuk waktu yang lama. [384] Jika semua brahmana ...  semua pedagang ... semua pekerja teralihkan oleh pengalihan ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan para pekerja itu untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, teralihkan oleh pengalihan ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia untuk waktu yang lama. Sehubungan dengan hal ini, Yang Mulia, aku akan memberikan perumpamaan kepadamu; karena beberapa orang bijaksana di sini memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan.

27. “Yang Mulia, suatu ketika terdapat seorang brahmana yang sudah tua, jompo, dan terbebani dengan tahun demi tahun, dan ia memiliki istri seorang brahmana muda yang sedang hamil dan menjelang persalinan. Kemudian ia berkata kepada suaminya: ‘Pergilah, Brahmana, belilah seekor monyet muda di pasar dan bawa pulang untukku sebagai teman bermain bagi anakku.’ Ia menjawab: ‘Tunggulah, Istriku, hingga engkau melahirkan anak. Jika engkau melahirkan anak laki-laki, maka aku akan pergi ke pasar dan membelikan seekor monyet jantan muda dan membawanya pulang sebagai teman bermain bagi anakmu; tetapi jika engkau melahirkan anak perempuan, maka aku akan pergi ke pasar dan membelikan seekor monyet betina muda dan membawanya pulang sebagai teman bermain bagi anakmu.’ Untuk ke dua kalinya ia mengajukan permohonan yang sama dan menerima jawaban yang sama. Untuk ke tiga kalinya ia mengajukan permohonan yang sama. Maka, karena pikirannya terikat pada istrinya dengan cinta, ia pergi ke pasar, membeli seekor monyet jantan muda, membawanya pulang, dan berkata kepada istrinya: ‘Aku telah membeli monyet jantan muda ini di pasar [385] dan membawanya pulang kepadamu sebagai teman bermain bagi anakmu.’ Kemudian istrinya berkata kepadanya: ‘Pergilah, Brahmana, bawalah monyet jantan muda ini kepada Rattapāṇi putra pencelup kain dan katakan padanya: ‘Rattapāṇi, aku ingin agar monyet jantan muda ini diberi warna yang disebut kuning-salep, dipukul berkali-kali dan dihaluskan kedua sisinya.”’ Kemudian, karena pikirannya terikat pada istrinya dengan cinta, ia membawa monyet jantan muda itu kepada Rattapāṇi putra seorang pencelup kain dan berkata: ‘Rattapāṇi, aku ingin agar monyet jantan muda ini diberi warna yang disebut kuning-salep, dipukul berkali-kali dan dihaluskan kedua sisinya.’ Rattapāṇi putra pencelup kain memberitahukan kepadanya: ‘Tuan, monyet jantan muda ini akan menerima celupan, tetapi bukan pukulan atau penghalusan.’ Demikian pula, Yang Mulia, doktrin para Nigaṇṭha bodoh akan memberikan kegembiraan pada orang-orang bodoh namun bukan pada orang-orang bijaksana, dan tidak akan bertahan terhadap ujian atau penghalusan.

“Kemudian, Yang Mulia, pada kesempatan lain brahmana itu membawa sepasang pakaian baru kepada Rattapāṇi putra pencelup kain dan berkata: ‘Rattapāṇi, aku ingin agar sepasang pakaian baru ini diberi warna yang disebut kuning-salep, dipukul berkali-kali dan dihaluskan kedua sisinya.’ Rattapāṇi putra pencelup kain memberitahukan kepadanya: ‘Tuan, sepasang pakaian baru ini akan menerima celupan, dan pukulan dan penghalusan.’ Demikian pula, Yang Mulia, doktrin Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, akan memberikan kegembiraan pada orang-orang bijaksana namun bukan pada orang-orang bodoh, dan akan bertahan terhadap ujian dan penghalusan.”

28. “Perumah tangga, masyarakat dan raja mengenalmu sebagai berikut: ‘Perumah tangga Upāli adalah seorang siswa dari Nigaṇṭha Nātaputta.’ Siswa siapakah engkau harus kami anggap?”

Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Upāli bangkit dari duduknya, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, [386] ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Nigaṇṭha Nātaputta:

29. “Dalam hal ini, Yang Mulia, dengarlah siswa siapa aku ini:

   Beliau adalah Sang Bijaksana yang telah menyingkirkan kebodohan,
   Telah meninggalkan belantara dalam batin, [ ]pemenang dalam peperangan;
   Beliau tidak menderita, dengan pikiran seimbang yang sempurna,
   Matang dalam moralitas, berkebijaksanaan mulia;
   Melampaui segala godaan, [ ]Beliau adalah tanpa noda:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Bebas dari kebingungan, Beliau berdiam dalam kepuasan,
   Menolak perolehan duniawi, wadah kegembiraan;
   Seorang manusia yang telah menyelesaikan tugas Pertapaan,
   Seorang yang membawa jasmani terakhir-Nya;
   Beliau sama sekali tanpa tanding dan sama sekali tanpa noda:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Beliau bebas dari keragu-raguan dan terampil,
   Yang mendisiplinkan dan pemimpin yang unggul.
   Tidak seorang pun melampaui kualitas-kualitasnya yang gilang-gemilang;
   Tanpa bimbang, Beliau adalah penerang;
   Setelah mematahkan keangkuhan, Beliau adalah pahlawan:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Sang Pemimpin kelompok, Beliau tidak terukur,
   Kedalamannya tidak terukur, Beliau mencapai keheningan;
   Pemberi keamanan, pemilik pengetahuan,
   Beliau berdiri dalam Dhamma, dengan batin terkendali;
   Setelah mengatasi segala belenggu, Beliau terbebaskan:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Gajah yang bersih tanpa noda, hidup di tempat terpencil,
   Dengan belenggu-belenggu seluruhnya dihancurkan, sepenuhnya terbebas;
   Terampil dalam berdiskusi, penuh dengan kebijaksanaan,
   Panjinya telah diturunkan, [ ]Beliau tidak lagi bernafsu;
   Setelah menjinakkan diri-Nya sendiri, Beliau tidak lagi berproliferasi:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Yang terbaik di antara para petapa, [ ]tanpa rencana curang,
   Memperoleh tiga pengetahuan, mencapai kesucian;
   Batin-Nya dibersihkan, seorang yang menguasai khotbah,
   Beliau selalu hidup dalam ketenangan, penemu pengetahuan;
   Yang pertama dari semua pemberi, Beliau selalu mampu:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Beliau adalah Yang Mulia, terkembang dalam pikiran,
   Yang telah mencapai tujuan dan membabarkan kebenaran;
   Memiliki perhatian dan pandangan terang penembusan,
   Beliau tidak condong ke depan maupun ke belakang;
   Bebas dari gangguan, mencapai kemahiran:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Beliau telah mengembara dengan benar dan berdiam dalam meditasi,
   Tidak terkotori dalam batin, sempurna dalam kemurnian;
   Beliau tidak bergantung dan sama sekali tanpa takut,
   Hidup terasing, mencapai puncak;
   Setelah menyeberang oleh diri sendiri, Beliau menuntun kami menyeberang:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswaNya.

   Yang memiliki ketenangan tertinggi, dengan kebijaksanaan luas,
   Seorang dengan kebijaksanaan tinggi, hampa dari segala keserakahan;
   Beliau adalah Sang Tathāgata, Beliau adalah Yang Termulia,
   Seorang yang tanpa tandingan, tidak ada yang menyamaiNya;
   Beliau pemberani, terampil dalam segala hal:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.

   Beliau telah mematahkan keinginan dan menjadi Yang Tercerahkan,
   Menghalau segala kabut, sepenuhnya tanpa noda;
   Yang paling layak menerima persembahan, makhluk yang paling perkasa,
   Orang yang paling sempurna, melampaui penghormatan;
   Terbaik dalam kemegahan, mencapai puncak keagungan:
   Beliau adalah Sang Bhagavā, dan aku adalah siswa-Nya.”

30. “Kapankah engkau menggubah syair pujian kepada Petapa Gotama itu, Perumah tangga?”

“Yang Mulia, misalkan terdapat timbunan berbagai jenis bunga, [387] dan kemudian seorang pembuat kalung bunga yang cerdas atau muridnya ingin merangkainya menjadi kalung bunga berwarna-warni; demikian pula, Yang Mulia, Sang Bhagavā memiliki banyak kualitas yang patut dipuji, ratusan kualitas yang patut dipuji. Siapakah, Yang Mulia, yang tidak akan memuji yang patut dipuji?”

31. Kemudian, karena Nigaṇṭha Nātaputta tidak mampu menahankan penghormatan yang diberikan kepada Sang Bhagavā, ia memuntahkan darah panas dari mulutnya di sana dan pada saat itu juga.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #15 on: 22 November 2010, 09:35:34 PM »
57  Kukkuravatika Sutta
Petapa Berperilaku-Anjing

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Koliya di mana terdapat sebuah pemukiman Koliya bernama Haliddavasana.

2. Kemudian Puṇṇa, putra Koliya, seorang petapa berperilaku sapi, dan Seniya, seorang petapa telanjang berperilaku-anjing, menghadap Sang Bhagavā. [ ]Puṇṇa, si petapa berperilaku sapi, bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, sedangkan Seniya, si petapa telanjang berperilaku anjing, saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia juga duduk di satu sisi meringkuk seperti anjing. Puṇṇa, si petapa berperilaku sapi, berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Seniya ini adalah petapa telanjang berperilaku anjing yang telah lama melakukan hal-hal yang sulit dilakukan: ia memakan makanannya ketika dibuang ke tanah. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.”

Untuk ke dua kalinya ... Dan untuk ke tiga kalinya Puṇṇa, si petapa berperilaku-sapi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Seniya ini adalah petapa telanjang berperilaku anjing yang telah lama melakukan hal-hal yang sulit dilakukan: ia memakan makanannya ketika dibuang ke tanah. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Baiklah, Puṇṇa, karena Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’ Oleh karena itu, Aku akan menjawabmu.

3. Di sini, Puṇṇa, seseorang mengembangkan perilaku-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan kebiasaan-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan pikiran-anjing [388] sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan tingkah-laku-anjing sepenuhnya dan tanpa terputus. Setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di antara anjing-anjing. Tetapi jika ia memiliki pandangan seperti ini: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci ini maka aku akan menjadi dewa [besar] atau dewa [kecil],’ itu adalah pandangan salah dalam kasusnya. Sekarang terdapat dua alam tujuan kelahiran bagi seseorang yang berpandangan salah, Aku katakan: neraka atau alam binatang. [ ]Jadi, Puṇṇa, jika perilaku-anjingnya berhasil, itu akan menuntunnya menuju kelahiran kembali di antara anjing-anjing; jika gagal, maka itu akan menuntunnya menuju neraka.”

4. Ketika hal ini dikatakan, Seniya si petapa berperilaku-anjing menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Puṇṇa, putra Koliya, si petapa berperilaku-sapi: “Puṇṇa, Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Puṇṇa, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’”

[Kemudian Seniya si petapa telanjang berperilaku-anjing berkata:] “Yang Mulia, aku bukan menangis karena Sang Bhagavā mengatakan sesuatu tentang aku, melainkan karena aku telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-anjing ini. Yang Mulia, Puṇṇa ini, putra Koliya, adalah seorang petapa berperilaku-sapi. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.”

Untuk ke dua kalinya ... Dan untuk ke tiga kalinya Seniya, si petapa telanjang berperilaku-anjing berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Puṇṇa ini, putra Koliya, adalah seorang petapa berperilaku-sapi. Ia telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Baiklah, Seniya, karena Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’ Oleh karena itu, Aku akan menjawabmu.

5. Di sini, Seniya, seseorang mengembangkan perilaku-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan kebiasaan-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan pikiran-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus; ia mengembangkan tingkah-laku-sapi sepenuhnya dan tanpa terputus. Setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di antara sapi-sapi. [389] Tetapi jika ia memiliki pandangan seperti ini: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci ini maka aku akan menjadi dewa [besar] atau dewa [kecil],’ itu adalah pandangan salah dalam kasusnya. Sekarang terdapat dua alam tujuan kelahiran bagi seseorang yang berpandangan salah, Aku katakan: neraka atau alam binatang. Jadi, Seniya, jika perilaku-sapinya berhasil, itu akan menuntunnya menuju kelahiran kembali di antara sapi-sapi; jika gagal, maka itu akan menuntunnya menuju neraka.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Puṇṇa si petapa berperilaku-sapi menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Seniya, si petapa telanjang berperilaku-anjing: “Seniya, Aku tidak dapat membujukmu ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Seniya, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepada-Ku.’”

[Kemudian Puṇṇa si petapa berperilaku-sapi berkata:] “Yang Mulia, aku bukan menangis karena Sang Bhagavā mengatakan sesuatu tentang aku, melainkan karena aku telah lama menjalani dan mempraktikkan perilaku-sapi ini. Yang Mulia, aku berkeyakinan pada Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat meninggalkan perilaku-sapi ini dan sehingga Seniya si petapa telanjang berperilaku-anjing ini dapat meninggalkan perilaku-anjingya.’”

“Kalau begitu, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia, ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Puṇṇa, terdapat empat jenis perbuatan yang dinyatakan oleh-Ku setelah menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada perbuatan gelap dengan akibat gelap; ada perbuatan terang dengan akibat terang; ada perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang; dan ada perbuatan yang bukan gelap juga bukan terang dengan akibat yang bukan gelap juga bukan terang, perbuatan yang mengarah menuju hancurnya perbuatan.

8. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan gelap dengan akibat gelap? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan, bentukan ucapan yang menyakitkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan, bentukan ucapan yang menyakitkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan, ia muncul kembali di alam sengsara.  Ketika ia telah muncul kembali di alam sengsara, kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti pada makhluk-makhluk di [390] neraka. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk; [ ]seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan gelap dengan akibat gelap.

9. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan terang dengan akibat terang? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyenangkan, bentukan ucapan yang menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyenangkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani yang menyenangkan, bentukan ucapan yang menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyenangkan, ia muncul kembali di alam bahagia. [ ]Ketika ia telah muncul kembali di alam bahagia, kontak yang menyenangkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyenangkan, ia merasakan perasaan yang menyenangkan, sangat menyenangkan, seperti pada para dewa dengan Keagungan Gemilang. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk; seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan terang dengan akibat terang.

10. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini seseorang menghasilkan bentukan jasmani yang menyakitkan juga menyenangkan, bentukan ucapan yang menyakitkan juga menyenangkan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan. [ ]Setelah menghasilkan bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan, ia muncul kembali di alam sengsara juga bahagia. Ketika ia telah muncul kembali di alam sengsara juga bahagia, baik kontak yang menyakitkan maupun menyenangkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan juga menyenangkan, ia merasakan perasaan yang menyakitkan juga menyenangkan, campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada manusia dan beberapa dewa di alam yang lebih rendah. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk[:]; seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka. Ini disebut perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang. [391]

11. “Dan apakah, Puṇṇa, perbuatan bukan gelap juga bukan terang dengan akibat bukan gelap juga bukan terang, perbuatan yang mengarah menuju hancurnya perbuatan? Di sini, kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan gelap dengan akibat gelap, dan kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan terang dengan akibat terang dan kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: Ini disebut perbuatan bukan gelap juga bukan terang dengan akibat bukan gelap juga bukan terang yang mengarah menuju hancurnya perbuatan. [ ]Ini adalah empat jenis perbuatan yang dinyatakan oleh-Ku setelah menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung.”

12. Ketika hal ini dikatakan, Puṇṇa, putra Koliya, petapa berperilaku sapi berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Yang Mulia, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara ... Mulai hari ini sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

13. Tetapi Seniya, si petapa telanjang berperilaku anjing berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Yang Mulia, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

14. “Seniya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. [ ]Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu, jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka akan memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.”

15. “Kemudian Seniya si petapa telanjang berperilaku anjing menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, dengan berdiam sendirian, terasing, [392] rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Seniya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Seniya menjadi salah satu di antara para Arahant.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #16 on: 22 November 2010, 10:01:15 PM »
tambahan 58  Abhayarājakumāra Sutta

3.
Kalau begitu, Yang Mulia, mengapa Engkau mengatakan tentang Devadatta:
Devadatta marah dan tidak senang dengan kata-kata-Mu itu’.
demikian pula, Pangeran, jika Petapa Gotama diajukan kedua pertanyaan bertanduk ganda ini olehmu, Beliau tidak akan mampu memuntahkannya atau menelannya.

5.
Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi ke rumah Pangeran Abhaya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangan-Nya sendiri, Pangeran Abhaya melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menarik tangan-Nya dari mangkuk, Pangeran Abhaya mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

7. Pada saat itu, seorang bayi muda yang lembut sedang berbaring telungkup di pangkuan Pangeran Abhaya.

“Yang Mulia, aku akan mengeluarkannya. Jika aku tidak dapat dengan segera mengeluarkannya, aku akan memegang kepalanya

8. “Demikian pula, Pangeran, kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, tetapi tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu.  Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, tetapi disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata. Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, dan juga yang disukai dan menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata berbelaskasihan pada makhluk-makhluk.”

9.
apakah sudah ada dalam pikiran Sang Bhagavā: ‘Jika mereka mendatangi-Ku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini?’ atau apakah jawaban itu muncul pada Sang Tathāgata pada saat itu juga?”

10.
“Bagaimana menurutmu, Pangeran? Jika orang-orang mendatangimu dan bertanya: ‘Apakah nama dari bagian kereta ini? apakah sudah ada dalam pikiranmu: [396] ‘Jika mereka mendatangiku dan menanyakan demikian, maka Aku akan menjawab seperti ini’? atau apakah jawaban itu muncul padamu pada saat itu juga?”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #17 on: 23 November 2010, 10:17:24 PM »
59  Bahuvedanīya Sutta
Banyak Jenis Perasaan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian tukang kayu Pañcakanga [ ]mendatangi Yang Mulia Udāyin, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya:

3. “Yang mulia, berapa jeniskah perasaan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā?”

“Tiga jenis perasaan telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā, Perumah tangga: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [397] Tiga jenis perasaan ini telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā.”

“Bukan tiga jenis perasaan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia Udāyin; dua jenis perasaan telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā: perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan. Perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā sebagai jenis kenikmatan yang damai dan luhur.”

Untuk ke dua kalinya dan untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Udāyin mengutarakan posisinya, dan untuk ke dua kalinya dan untuk ke tiga kalinya si tukang kayu Pañcakanga mengutarakan posisinya. Tetapi Yang Mulia Udāyin tidak mampu meyakinkan si tukang kayu Pañcakanga, juga si tukang kayu Pañcakanga tidak mampu meyakinkan Yang Mulia Udāyin.

4. Yang Mulia Ānanda mendengar percakapan mereka, kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan melaporkan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Udāyin dan tukang kayu Pañcakanga. Ketika ia telah selesai, Sang Bhagavā memberi tahu Yang Mulia Ānanda:

5. “Ānanda, itu adalah penyajian yang benar yang tidak dapat diterima si tukang kayu Pañcakanga dari Udāyin, dan itu adalah penyajian yang benar yang tidak dapat diterima Udāyin dari si tukang kayu Pañcakanga. [ ]Aku telah menyatakan dua jenis perasaan dalam satu penyajian; [398] aku telah menyatakan tiga jenis perasaan dalam penyajian lainnya; aku telah menyatakan enam jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan delapan belas jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan tiga puluh enam jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi; aku telah menyatakan seratus delapan jenis perasaan dalam penyajian lainnya lagi. [ ]Itu adalah bagaimana Dhamma telah ditunjukkan oleh-Ku dalam penyajian [yang berbeda-beda].

“Ketika Dhamma telah ditunjukkan demikian oleh-Ku dalam penyajian [yang berbeda-beda], dapat diharapkan mereka yang tidak mengakui, tidak menyetujui, tidak menerima apa yang dinyatakan dan disampaikan dengan baik oleh orang lain akan saling bertengkar, berbantahan, dan berselisih, menusuk dengan pedang ucapan. Tetapi dapat diharapkan mereka yang mengakui, menyetujui, menerima apa yang dinyatakan dan disampaikan dengan baik oleh orang lain akan hidup rukun, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan ramah.

6. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Sekarang kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria.

7. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

8. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. [399] Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

9. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, dan masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

10. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan kegembiraan dan kesedihan yang lenyap sebelumnya, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

11. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

12. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

13. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya. [400]

14. “Jika siapa pun mengatakan … Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

15. “Jika siapa pun mengatakan: ‘Itu adalah kenikmatan dan kegembiraan tertinggi yang dialami makhluk-makhluk,’ Aku tidak akan menyetujuinya. [ ]Mengapakah? Karena ada kenikmatan jenis lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan itu. Dan apakah jenis lain kenikmatan itu? Di sini, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Ini adalah jenis lain kenikmatan indria itu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kenikmatan sebelumnya.

16. “Adalah mungkin, Ānanda, para pengembara sekte lain mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa Gotama membicarakan tentang lenyapnya persepsi dan perasaan dan Beliau menggambarkan itu sebagai kenikmatan. Apakah ini, dan bagaimanakah ini?’ Para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus diberi tahu: ‘Teman-teman, Sang Bhagavā menggambarkan kenikmatan bukan hanya dengan merujuk pada perasaan menyenangkan; akan tetapi, Teman-teman, Sang Tathāgata menggambarkan segala jenis kenikmatan di mana pun dan dalam cara apa pun kenikmatan itu ditemukan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #18 on: 24 November 2010, 10:45:00 PM »
60  Apaṇṇaka Sutta
Ajaran yang Tidak Dapat Dibantah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

2. Para brahmana perumah tangga di Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kosala [401] bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang [ ]telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya’. Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Sālā pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagava bertanya kepada mereka: “Para perumah tangga, adakah guru yang kalian sukai yang padanya kalian memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika?”

“Tidak, Yang Mulia, tidak ada guru yang kami sukai yang padanya kami memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika.”

“Karena, Para perumah tangga, kalian belum menemukan seorang guru yang kalian sukai, maka kalian dapat menjalankan dan mempraktikkan ajaran yang tidak dapat dibantah ini;  karena jika ajaran yang tidak dapat dibantah ini diterima dan dijalankan, maka ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Dan apakah ajaran yang tidak dapat dibantah ini?

(I. DOKTRIN NIHILIS)

5. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’.  [402]

6. (B) “Kemudian ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu, ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

7. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan ... tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

8. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada dunia lain’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada dunia lain’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada dunia lain’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. [ ]Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya. [403]

9. (A.iii) [ ]“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. [ ]Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin nihilisme. [ ]Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

10. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ada yang diberikan ... ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakannya di dunia ini dan di dunia lain’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

11. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada dunia lain’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘ada dunia lain’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada dunia lain’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘ada dunia lain’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada dunia lain’ [404] meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan  menghindari menghina orang lain inibeberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

12. (B.iii) [ ]“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin penegasan keberadaan. [ ]Dan di pihak lain, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.

*bersambung
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #19 on: 24 November 2010, 10:50:52 PM »
sambungan 60  Apaṇṇaka Sutta

(II. DOKTRIN TIDAK-BERBUAT)

13. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: [ ]‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai, ketika seseorang menyiksa atau menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, ketika seseorang menyebabkan dukacita atau menyuruh orang lain menyebabkan dukacita, ketika seseorang menindas atau menyuruh orang lain melakukan penindasan, ketika seseorang mengintimidasi atau menyuruh orang lain mengintimidasi, ketika seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, menggoda istri orang lain, mengucapkan kebohonganmaka tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, karena hal ini maka tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan’.

14. (B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana [405] yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai ... mengucapkan kebohonganmaka kejahatan [ ]dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini maka ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, karena hal ini maka ada kejahatan dan ada akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

15. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan ... maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

16. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada perbuatan’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada perbuatan’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. [406] Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

17. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin tanpa-perbuatan. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

18. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan ... maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

19. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada perbuatan’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘ada perbuatan’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada perbuatan’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘ada perbuatan’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; [407] dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan menghindari menghina orang lain ini beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

20. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatan. Dan sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.


-------------------------
*** Bersambung ...
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #20 on: 25 November 2010, 12:17:41 PM »
Lanjutan 60  Apaṇṇaka Sutta
------------------------------------


(III. DOKTRIN NON-KAUSALITAS)

21. (A) “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: [ ]‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada kekuasaan, tidak ada tenaga, tidak ada kekuatan fisik, tidak ada ketahanan fisik. Semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga; dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’.

22. (B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori karena sebab atau kondisi. Ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan karena sebab atau kondisi. Ada kekuasaan, ada tenaga, ada kekuatan fisik, ada ketahanan fisik. Tidak mungkin semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga, atau dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’.Bagaimana menurut kalian, perumah tangga? [408] Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”—“Benar, Yang Mulia.”

23. (A.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk ... mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

24. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada kausalitas memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada kausalitas’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada kausalitas’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada kausalitas’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain inibeberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

25. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin non-kausalitas. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: [409] karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat’.

26. (B.i) “Sekarang, Para perumah tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk ... mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok’, dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu: perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa meraka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu: perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

27. (B.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada kausalitas’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘ada kausalitas’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada kausalitas’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘ada kausalitas’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan [ ]menghindari menghina orang lain inibeberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

28. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatan. Dan sebaliknya, jika ternyata ada [410] kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat’.

(IV. TIDAK ADA ALAM TANPA BENTUK)

29. “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada alam tanpa bentuk’.

30. “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada alam tanpa materi’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

31. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada alam tanpa bentuk,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa bermateri-halus yang terdiri dari batin.  Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa di alam tanpa bentuk yang terdiri dari persepsi. Penggunaan tongkat dan senjata, pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuduh-menuduh, kedengkian, dan kebohongan terjadi berdasarkan pada bentuk materi, tetapi ini tidak ada sama sekali dalam alam tanpa bentuk’. Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada bentuk-bentuk materi, menuju peluruhan dan lenyapnya bentuk-bentuk materi.

(V. TIDAK ADA LENYAPNYA PENJELMAAN)

32. “Para perumah tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan’.

33. “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada [411] lenyapnya penjelmaan’. Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”“Benar, Yang Mulia.”

34. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa tanpa-bentuk yang terdiri dari persepsi. Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin bahwa aku dapat di sini dan saat ini mencapai Nibbāna akhir. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati nafsu, mendekati belenggu, mendekati kenikmatan, mendekati cengkeraman, mendekati kemelekatan; tetapi pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati tanpa-nafsu, mendekati tanpa-belenggu, mendekati tanpa-kenikmatan, mendekati tanpa-cengkeraman, mendekati tanpa-kemelekatan; Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada penjelmaan, menuju peluruhan dan lenyapnya penjelmaan.

(EMPAT JENIS ORANG)

35. “Para perumah tangga, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. [412] Karena ia tidak meyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.

36. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan ... (seperti pada Sutta 51, §8) ... Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang meyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

37. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba … (seperti pada Sutta 51, §9) ... atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

38. “Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya … (seperti pada Sutta 51, §10) ... Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

39. Orang jenis apakah, Para perumah tangga, yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci?.

40-55. “Di sini, Para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini … (seperti pada Sutta 51, §§12-27) [413]  ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

56. “Ini, Para perumah tangga, disebut jenis orang yang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

57. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai umat-umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #21 on: 25 November 2010, 12:40:43 PM »
61  Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta
Nasihat kepada Rāhula di Ambalaṭṭhika


[414] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Rāhula sedang menetap di Ambalaṭṭhika. [ ]Kemudian pada suatu malam, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan mendatangi Yang Mulia Rāhula di Ambalaṭṭhikā. Dari jauh Yang Mulia Rāhula melihat kedatangan Sang Bhagavā dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kaki-Nya. Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Beliau dan duduk di satu sisi.

3. Kemudian Sang Bhagavā menyisakan sedikit air di dalam wadah air dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat sedikit air ini dalam wadah air ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, hanya sedikit pertapaan dari mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja.”

4. Kemudian Sang Bhagavā membuang sedikit air yang tersisa itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat air yang dibuang itu?”“Ya, Yang Mulia.”color=blue][/color]“Demikian pula, Rāhula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja telah membuang pertapaan mereka.”

5. Kemudian Sang Bhagavā membalikkan wadah air itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat wadah air yang dibalikkan ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja telah membalikkan pertapaan mereka.”

6. Kemudian Sang Bhagavā menegakkan kembali wadah air itu dan bertanya kepada Yang Mulia Rāhula: “Rāhula, apakah engkau melihat wadah air yang cekung ini, wadah air yang kosong ini?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Rāhula, cekung dan kosong pertapaan mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja[ ].”

7. “Misalkan, Rāhula, ada seekor gajah besar dengan gading sepanjang tiang kereta, dewasa, dari keturunan yang baik, dan terbiasa dalam pertempuran. Dalam pertempuran ia akan melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan bagian tubuh depan dan bagian tubuh belakangnya, dengan kepala dan kupingnya, dengan gading dan ekornya, [415] namun ia akan menyembunyikan belalainya. Kemudian penunggangnya akan berpikir: ‘Gajah besar ini dengan gading sepanjang tiang kereta ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... namun ia menyembunyikan belalainya. Ia belum mempertaruhkan nyawanya’. Tetapi ketika gajah besar itu ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan bagian tubuh depan dan bagian tubuh belakangnya, dengan kepala dan kupingnya, dengan gading dan ekornya, dan juga dengan belalainya, maka penunggangnya akan berpikir: ‘Gajah besar ini dengan gading sepanjang tiang kereta ... melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... dan juga dengan belalainya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya. Sekarang tidak ada apa pun yang gajah besar ini tidak akan lakukan’. Demikian pula, Rāhula, jika seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja, maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang tidak akan ia lakukan. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan’.

8. “Bagaimana menurutmu, Rāhula? Apakah gunanya cermin?”

“Untuk merefleksikan, Yang Mulia,:

“Demikian pula, Rāhula, suatu perbuatan melalui jasmani harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui ucapan harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui pikiran harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang.

9. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu. [416] Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini tidak akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu.

10. “Juga, Rāhula, [ ]ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak harus menghentikan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui jasmani itu.

11. “Juga, Rāhula, [ ]setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, [417] engkau harus menjalani pengendalian di masa depan.  Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan’, maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

12. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §9, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui ucapan itu.

13. “Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §10, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... [418]maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui ucapan itu.

14. “Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui ucapan ... (lengkap seperti pada §11, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “ucapan”) ... maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

15. “Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui pikiran ... (lengkap seperti pada §9, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran”) ... [419] maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui pikiran itu.

16. “Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui pikiran... (lengkap seperti pada §10, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran”)  ... maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui pikiran itu.

17. “Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui pikiran... (lengkap seperti pada §11, dengan menggantikan “jasmani” menjadi “pikiran” ) ... maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat. [420]

18. “Rāhula, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau telah memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya akan melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memurnikan perbuatan jasmani kami, perbuatan ucapan kami, dan perbuatan pikiran kami dengan merefleksikannya berulang-ulang’.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #22 on: 25 November 2010, 09:50:39 PM »
tambahan
60  Apaṇṇaka Sutta

2. Para brahmana perumah tangga di Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya,

4.
maka kalian dapat menjalankan dan mempraktikkan ajaran yang tidak dapat dibantah ini; [ ]karena jika ajaran yang tidak dapat dibantah ini diterima dan dijalankan,

7. (A.i)
perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

8. (A.ii)
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

9. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

10. (B.i)
perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat,

11. (B.ii)
Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya.
dan menghindari memuji diri sendiri dan [ ]menghindari menghina orang lain ini—beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

12. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

13. (A)
‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai,
karena hal ini, maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan Sungai Gangga ... karena hal ini, maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara Sungai Gangga memberikan persembahan ... karena hal ini, maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan.

14. (B)
Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai
seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini, maka ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara Sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini, maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan.
Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung[ ]?”

bersambung


Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #23 on: 26 November 2010, 11:49:00 AM »
62 Mahārāhulovāda Sutta
Khotbah Panjang
Nasihat kepada Rāhula

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Yang Mulia Rāhula juga [421] merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

3. Kemudian Sang Bhagavā melihat ke belakang dan berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:  “Rāhula, segala jenis bentuk materi apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan milikku’.”

‘Hanya bentuk materi, Bhagavā? Hanya bentuk materi, Yang Sempurna?’

“Bentuk materi, Rāhula, dan perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.”

4. Kemudian Yang Mulia Rāhula merenungkan sebagai berikut: “Siapakah yang ingin pergi ke pemukiman hari ini ketika secara pribadi dinasihati oleh Sang Bhagavā?” Demikianlah ia berbalik dan duduk di bawah sebatang pohon, duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya.

5. Yang Mulia Sāriputta melihatnya duduk di sana dan berkata kepadanya sebagai berikut: “Rāhula, kembangkanlah perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar.”

6. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Rahula bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Yang Mulia, bagaimanakah perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?”

(EMPAT UNSUR UTAMA)
8. “Rāhula, [ ]apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati, yaitu: rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, atau apa pun yang lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. [422] Ketika seseorang melihatnya demikian sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, maka ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan pada unsur tanah itu.

9. “Apakah, Rahula, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. [ ]Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu: cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

10. “Apakah, Rāhula, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

11. “Apakah, Rāhula, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. [423] Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur angin dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

12. “Apakah, Rāhula, unsur ruang? [ ]Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

13. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., [ ]seperti halnya orang-orang membuang benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan tanah tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

14. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana, seperti halnya orang-orang mencuci benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan air tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, [424] Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

15. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya orang-orang membakar benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan api tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

16. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya udara meniup benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan udara tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

17. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana., seperti halnya ruang tidak terbentuk dimanapun juga, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

18. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada cinta kasih; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada cinta kasih, maka segala niat buruk akan ditinggalkan.

19. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada belas kasihan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada belas kasihan, maka segala kekejaman akan ditinggalkan.

20. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kegembiraan altruistik; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kegembiraan altruistik, maka segala ketidakpuasan akan ditinggalkan.

21. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada keseimbangan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada keseimbangan, maka segala ketidaksenangan akan ditinggalkan.

22. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kejijikan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kejijikan, maka segala nafsu akan ditinggalkan.

23. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada persepsi ketidakkekalan; [425] karena jika engkau mengembangkan meditasi pada persepsi ketidakkekalan, maka keangkuhan ‘aku’ akan ditinggalkan.

24. “Rāhula, kembangkanlah meditasi perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar. Dan bagaimanakah perhatian pada pernafasan itu dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

25. “Di sini, Rāhula, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

26. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang’. Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’.

27. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kegembiraan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kenikmatan; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kenikmatan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami bentukan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan pikiran’.

28. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menggembirakan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menggembirakan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan membebaskan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan membebaskan pikiran’.

29. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan ketidakkekalan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan ketidakkekalan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan peluruhan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan peluruhan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lenyapnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lenyapnya’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan pelepasan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan pelepasan’.

30. “Rāhula, itu adalah bagaimana perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, [426] maka bahkan nafas masuk dan nafas keluar terakhir dapat diketahui pada saat lenyapnya, bukan tidak diketahui.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puasa dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #24 on: 26 November 2010, 12:14:29 PM »
menghembuskan nafas...bukan mengembuskan nafas
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #25 on: 26 November 2010, 12:20:26 PM »
menghembuskan nafas...bukan mengembuskan nafas

menurut kamus mana?

em·bus, ber·em·bus v 1 bertiup (angin dsb): angin pagi mulai ~; 2 keluar ditiupkan (tt napas, udara dr mulut, dsb): napasnya sudah tidak ~ lagi;
meng·em·bus v meniup; bertiup: angin pun ~ dr sebelah barat;
meng·em·bus·kan v meniupkan; mengeluarkan (napas, udara, asap) dng mengembus: knalpot mobil itu ~ asap hitam;
~ napas terakhir, ki meninggal dunia;
em·bus·an n gerak udara yg bertiup; tiupan: ~ angin itu keras sekali sehingga banyak pohon yg tumbang karenanya;
peng·em·bus n alat untuk mengembus api dsb; embusan


hem·bus ? embus
« Last Edit: 26 November 2010, 12:33:09 PM by Indra »

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #26 on: 27 November 2010, 10:37:20 AM »
Sambungan 60  Apaṇṇaka Sutta

15. (A.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

16. (A.ii)
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

17. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan

18. (B.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat,

19. (B.ii)
Demikianlah perilaku buruk apa pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya.

20. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:

22. (B)
Bagaimana menurut kalian, Perumah tangga? [408] Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung ?”—“Benar, Yang Mulia.”

23. (A.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat,

24. (A.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada kausalitas memiliki pandangan salah
Demikianlah moralitas murni yang mana pun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya.

25. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin nonkausalitas.

26. (B.i)
dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu

28. (B.iii) “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatankausalitas. Dan sebaliknya, jika ternyata ada [410] kausalitas,

31. “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
pandangan “pasti tidak ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa bermateri-halus yang terdiri dari batin. [ ]Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada alam tanpa bentuk,” jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa di alam tanpa bentuk yang terdiri dari persepsi.

33.
Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung[ ]?”

34. “Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali [setelah kematian] di antara para dewa tanpa-bentuk yang terdiri dari persepsi.
jika kata-kata mereka benar, maka adalah mungkin bahwa aku dapat di sini dan saat ini mencapai Nibbāna akhir.
mendekati tanpa-kenikmatan, mendekati tanpa-cengkeraman, mendekati tanpa-kemelekatan; Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada penjelmaan, menuju peluruhan dan lenyapnya penjelmaan.

35.
Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini, jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. [412] Karena ia tidak menyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.

36.
Di sini, seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan ... (seperti pada Sutta 51, §8) ... Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

37.
Di sini, seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba … (seperti pada Sutta 51, §9) ... atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

38.
Di sini, seseorang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya … (seperti pada Sutta 51, §10) ... Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

56. “Ini, Para perumah tangga, disebut jenis orang yang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain—seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

57.
atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk.
« Last Edit: 27 November 2010, 10:38:52 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #27 on: 27 November 2010, 11:12:01 AM »
63  Cūḷamālunkya Sutta
Khotbah Pendek kepada
Mālunkyāputta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Mālunkyāputta sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya:

“Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan, tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā, dikesampingkan dan ditolak oleh Beliau, yaitu: ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’; ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’; ‘jiwa adalah sama dengan badan’ dan ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’; dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’. Sang Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, dan aku tidak menyetujui dan menerima fakta bahwa Beliau tidak menyatakan ini kepadaku, maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepadanya makna dari hal ini. Jika ia menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’ … atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Beliau; jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah.” [427]

3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mālunkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā … jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah’. Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah abadi’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah abadi’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah tidak abadi’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi’. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’, maka adalah suatu keterusterangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat’.

“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas’, … ’ dunia adalah tidak terbatas’, … ‘jiwa adalah sama dengan badan’, … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’, … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’, [428] … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’, … Jika Sang Bhagavā mengetahui [ ]‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku; [ ]jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi’. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka adalah suatu keterusterangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat’.

4. “Bagaimanakah, Mālunkyāputta, pernahkah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Mālunkyāutta, jalanilah kehidupan suci di bawah-Ku dan Aku akan menyatakan kepadamu “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Pernahkah engkau mengatakan kepada-Ku: ‘Aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā akan menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Kalau begitu, orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” [429] hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja’. Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau coklat atau keemasan; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa; … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang; … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau bulu atau urat atau rami atau kulit kayu; … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkanapakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung; … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikatapakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet; … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaikuapakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak’. [430]

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Mālunkyāputta, jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati.

6. “Mālunkyāputta, jika ada pandangan ‘dunia adalah abadi,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah pandangan ‘dunia adalah abadi’ atau pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’ ada atau tidak ada, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas’, … ’ dunia adalah tidak terbatas’, … ‘jiwa adalah sama dengan badan’, … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’, … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’, … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’, … ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani … [431] jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

7. “Oleh karena itu, Mālunkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan oleh-Ku sebagai dinyatakan. Dan apakah yang Kubiarkan tidak dinyatakan? ‘dunia adalah abadi’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak abadi’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah terbatas’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak terbatas’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Jiwa adalah sama dengan badan’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ’Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. [ ]‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’telah Kubiarkan tidak dinyatakan.

8. “Mengapakah Aku membiarkan tidak dinyatakan? Karena tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku membiarkan tidak dinyatakan.

9. “Dan apakah yang telah Kunyatakan? ‘Ini adalah penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’Aku telah menyatakan.

10. “Mengapakah Aku menyatakannya? Karena bermanfaat, menjadi bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya.

“Oleh karena itu, Mālunkyāputta, [432]ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan oleh-Ku sebagai dinyatakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mālunkyāputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #28 on: 29 November 2010, 09:56:40 AM »
64  Mahāmālunkya Sutta
Khotbah Panjang kepada
Mālunkyāputta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,”mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mālunkyāutta menjawab: “Yang Mulia, aku ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Tetapi, Mālunkyāutta, dalam cara bagaimanakah engkau mengingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

“Yang Mulia, Aku ingat pandangan identitas sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keragu-raguan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keinginan indria sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat niat buruk sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.

3. “Mālunkyāputta, dari siapakah engkau mengingat bahwa Aku telah mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah dalam cara itu? [ ]Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi? Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘identitas’, [433] jadi bagaimana mungkin pandangan identitas muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas terdapat dalam dirinya. [ ]Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ajaran’, [ ]jadi bagaimana mungkin keragu-raguan terhadap ajaran muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘peraturan’, jadi bagaimana mungkin keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada peraturan dan pelaksanaan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indria’, jadi bagaimana mungkin keterikatan pada keinginan indria muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘makhluk-makhluk’, jadi bagaimana mungkin niat buruk terhadap makhluk-makhluk muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada niat buruk terdapat dalam dirinya. Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi?”

4. Kemudian, Yang Mulia Ānanda berkata: “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, untuk Sang Bhagavā mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Ānanda, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh pandangan identitas, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul; dan ketika pandangan identitas itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah. Ia berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan ... oleh nafsu indria [434] … oleh niat buruk, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul; dan ketika niat buruk itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah.

6. “Seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh pandangan identitas; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul, dan pandangan identitas bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas ditinggalkan olehnya. [ ]Ia berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan … oleh nafsu indria … oleh niat buruk; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, dan niat buruk bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada niat buruk ditinggalkan olehnya.

7. “Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; bahwa siapa pun tanpa mengandalkan jalan itu, tanpa mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ituini adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk dapat memotong inti kayunya tanpa memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini adalah tidak mungkin.

“Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; [435] bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan itu, dengan mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ituini adalah mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, adalah mungkin bagi siapa pun untuk dapat memotong inti kayunya dengan memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini  adalah mungkin.

8. “Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; namun ia tidak mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang lemah itu.

“Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; dan ia mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang kuat itu.

9. “Dan apakah, Ānanda, jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu? Di sini, dengan terasing dari perolehan, [ ]dengan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dengan sepenuhnya menenangkan kelambanan jasmani, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. [ ]Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut [436] dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu: tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna’. [ ]Jika ia kukuh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu,  maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

10-12. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu ... masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

13.  Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, [ ]ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

15. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

Apa pun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu: tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna’. Jika ia kukuh di dalam itu, [437] maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

16. [ ]“Yang Mulia, jika ini adalah jalan, cara untuk meninggalkjan kelima belenggu yang lebih rendah, maka bagaimanakah beberapa bhikkhu di sini [dikatakan] mencapai kebebasan pikiran dan beberapa [dikatakan] mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan?”

“Perbedaannya di sini, Ānanda, adalah dalam indria-indria mereka, Aku katakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #29 on: 04 December 2010, 12:45:37 AM »
tambahan
61  Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta


7. Dalam pertempuran, ia akan melakukan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya,

8. “Untuk merefleksikan, Yang Mulia,[:]

10.
ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin sedang kulakukan melalui jasmani ini
ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan’, maka engkau tidak harus menghentikan perbuatan melalui jasmani itu.

11.
engkau harus menjalani pengendalian di masa depan. [ ]Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui:

18. “Rāhula, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya akan melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang memurnikan dalam perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran mereka, semuanya melakukannya dengan merefleksikan berulang-ulang seperti demikian. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memurnikan perbuatan jasmani kami, perbuatan ucapan kami, dan perbuatan pikiran kami dengan merefleksikannya berulang-ulang’.”

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #30 on: 05 December 2010, 12:52:28 AM »
tambahan
62 Mahārāhulovāda Sutta


2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Yang Mulia Rāhula juga [421] merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

3. Kemudian Sang Bhagavā melihat ke belakang dan berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut: [ ]“Rāhula,
semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan milikdiriku’.”

[‘]Hanya bentuk materi, Bhagavā? Hanya bentuk materi, Yang Sempurna?[’]

9.
Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu: cairan empedu, dahak, nanah, darah,

10.
Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati;

11.
Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati;
napas masuk, napas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati:
ia menjadi kecewa dengan unsur angin udara dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

12.
Apakah unsur udararuang internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati,

14.
seperti halnya orang-orang mencuci benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan air tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu,

17. seperti halnya ruang tidak terbentuk di mana pun juga,

24. “Rāhula, kembangkanlah meditasi perhatian pada pernapasan. Ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar. Dan bagaimanakah perhatian pada pernapasan itu dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

25.
penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan napas.

26. Menarik napas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik napas panjang’; atau mengembuskan napas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang’. Menarik napas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik napas pendek’; atau mengembuskan napas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami keseluruhan tubuh’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani’.

27. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kegembiraan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kenikmatan; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kenikmatan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan pikiran’.

28. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran’.

29. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan ketidakkekalan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan pelepasan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan pelepasan’.

30. “Rāhula, itu adalah bagaimana perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, [426] maka bahkan napas masuk dan napas keluar terakhir dapat diketahui pada saat lenyapnya, bukan tidak diketahui.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #31 on: 05 December 2010, 07:43:03 PM »
tambahan
63  Cūḷamālunkya Sutta


2.
“Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan[,] tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā,

maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepada-Nya makna dari hal ini. Jika Ia menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’
jika Ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah.”

3.
jika Ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku,
“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas’, … [’] dunia adalah tidak terbatas’,
Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’, maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi’‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’.

4.
‘Marilah, Mālunkyāputta, jalanilah kehidupan suci di bawah-Ku
atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?”—“Tidak, Yang Mulia.”
atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Kalau begitu, Orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapa pun mengatakan sebagai berikut:
hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau cokelat atau keemasan;

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Mālunkyāputta, jika siapa pun mengatakan sebagai berikut:

6.
“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas’, … [’] dunia adalah tidak terbatas’,

7.
[’]Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’—telah Kubiarkan tidak dinyatakan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #32 on: 05 December 2010, 11:02:43 PM »
tambahan
64  Mahāmālunkya Sutta


2. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mālunkyāputta menjawab: “Yang Mulia, aku ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Tetapi, Mālunkyāputta, dalam cara bagaimanakah

Aku ingat niat buruk sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.

3.
Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indria’, jadi bagaimana mungkin keterikatan pada keinginan indria muncul dalam dirinya?

7.
bahwa siapa pun tanpa mengandalkan jalan itu, tanpa mengandalkan cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu—ini adalah tidak mungkin.

bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan itu, dengan mengandalkan cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu—ini adalah mungkin.

8. “Misalkan, Ānanda, Sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya
‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang Sungai Gangga ini dengan selamat’;

“Misalkan, Ānanda, Sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya
‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang Sungai Gangga ini dengan selamat’;

9.
kegembiraan dalam Dhamma itu, [ ]maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan

15.
maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan

16. “Yang Mulia, jika ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah,
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #33 on: 07 December 2010, 12:54:00 PM »
65  Bhaddāli Sutta
Kepada Bhaddāli

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,”mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku makan satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. [ ]Marilah, Para bhikkhu, makanlah satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Bhaddāli berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Aku tidak mau makan satu kali sehari; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

“Kalau begitu, Bhaddāli, makanlah pada satu bagian di sana di mana engkau diundang dan bawalah satu bagian untuk dimakan. Dengan memakan demikian, [438] engkau akan memelihara tubuhmu.”

“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

4. Kemudian, ketika aturan latihan ini ditetapkan oleh Sang Bhagavā, [ ]ketika Sangha para bhikkhu sedang menjalani latihan, Yang Mulia Bhaddāli menyatakan penolakannya [untuk menuruti peraturan]. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama tiga bulan [masa vassa], seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

5. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang terlibat dalam pembuatan jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan.”

6. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu itu dan saling bertukar sapa dengan mereka, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, mereka berkata kepadanya: “Teman Bhaddāli, jubah ini dibuat untuk Sang Bhagavā. Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, Teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”

7. “Baik, Teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

8. “Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh-Ku, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu [untuk menuruti peraturan].

9. “Bhaddāli, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, dan Sang Bhagavā akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak [439] bhikkhu telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak bhikkhunī telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak umat awam laki-laki ... banyak umat awam perempuan sedang menetap di Sāvatthī, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak petapa dan brahmana sekte lain telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini, seorang siswa senior dari Petapa Gotama adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

10. “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh-Ku, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk menuruti peraturan.

11. “Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara, [ ]dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, Bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri, [ ]atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan ... seorang penglihat-jasmani ... seorang yang-mencapai-pandangan ... seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan ... seorang pengikut-Dhamma ... seorang pengikut-keyakinan, dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, Bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri, atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

12. “Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Apakah engkau pada saat itu adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara atau [440] seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan atau seorang penglihat-jasmani atau seorang yang-mencapai-pandangan atau seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan atau seorang pengikut-Dhamma atau seorang pengikut-keyakinan?”

“Bukan, Yang Mulia.”

“Bhaddāli, pada saat itu, tidakkah engkau kosong, hampa, dan keliru?”

13. “Benar, Yang Mulia. Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh-Ku, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk menuruti peraturan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu seperti demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau; karena adalah kemajuan dalam Disiplin Yang Mulia ketika seseorang melihat pelanggaran seperti demikian dan melakukan pelanggaran sesuai Dhamma dengan menjalani pengendalian di masa depan.

14. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jeramimungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan mencelanya, para dewa mencelanya, dan ia mencela dirinya sendiri. Karena dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia tidak mencapai kondisi melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

15. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, [441] ruang terbuka, tumpukan jeramimungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru tidak mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan tidak mencelanya, para dewa tidak mencelanya, dan ia tidak mencela dirinya sendiri. Karena tidak dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia mencapai kondisi melampaui manusia, mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

16. “Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

17. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga  ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

18. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau ... (seperti pada Sutta 51, §24) ... Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampau. Mengapakah? Itu adalah bagaimana [442] seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.
[ ]

19. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah ... mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti pada Sutta 51, §25) ... Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

20. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah … mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti pada Sutta 51, §26) ... ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

21. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

22. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli bertanya: “Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya?”

23. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, menunjukkan gangguan, kebencian, dan ketidaknyamanan; ia tidak melanjutkan dengan benar, ia tidak menurut, ia tidak membersihkan diri, ia tidak mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ [443] Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.

24. “Tetapi di sini seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengalihkan pembicaraan, dan tidak menunjukkan gangguan, kebencian, dan ketidaknyamanan; ia melanjutkan dengan benar, ia menurut, ia membersihkan diri, ia mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.

25. “Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar …[ ](ulangi bagian §23 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian [444] sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.

-------------------------
*** Bersambung


13.
karena adalah kemajuan dalam Disiplin Yang Mulia ketika seseorang melihat pelanggaran seperti demikian dan melakukan pelanggaran sesuai Dhamma dengan menjalani pengendalian di masa depan.

yg SP:
dan memperbaiki kesalahan sesuai dengan Dhamma dengan cara menjalankan pengandalian diri di masa depan.
« Last Edit: 07 December 2010, 01:03:56 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #34 on: 14 December 2010, 08:48:27 PM »
Lanjutan 65  Bhaddāli Sutta
-----------------------------------

26. “Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar …[ ](ulangi bagian §24 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.

27. “Di sini seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih. [ ]Dalam hal ini, para bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Teman-teman, bhikkhu ini maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih. Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.’ Misalkan seseorang hanya memiliki satu mata; maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjaga matanya, dengan berpikir: ‘Jangan sampai ia kehilangan mata satu-satunya.’ Demikian pula, seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih … Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.

28. “Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan terhadap para bhikkhu di sini dengan dengan berulang-ulang menegurnya. Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya.”

29. “Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sebelumnya terdapat [445] lebih sedikit aturan latihan dan lebih banyak bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sekarang terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir?”

30. “Demikianlah, Bhaddāli. Ketika makhluk-makhluk merosot dan Dhamma sejati memudar, maka terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir. Sang Guru tidak menetapkan aturan latihan untuk para siswa hingga hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda terbentuk di sini di dalam Sangha; [ ]tetapi ketika hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda telah terbentuk di sini di dalam Sangha, maka Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

31. “Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah membesar; tetapi ketika Sangha telah membesar, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda untuk terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda. Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah mencapai puncak perolehan duniawi ... puncak kemasyhuran ... banyak belajar ... kemasyhuran karena telah lama berdiri; tetapi ketika Sangha telah mencapai kemasyhuran karena telah lama berdiri, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda untuk terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

32. “Ada beberapa di antara kalian, Bhaddāli, ketika Aku mengajarkan penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Ingatkah engkau akan hal itu, Bhaddāli?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Karena alasan apakah?”

“Yang Mulia, aku telah lama menjadi seorang yang tidak memenuhi latihan di dalam Pengajaran Sang Guru.”

“Itu bukan sebab satu-satunya atau alasan satu-satunya. Tetapi, dengan pikiran-Ku melingkupi pikiranmu, aku telah tahu sejak lama sebagai berikut: ‘Ketika Aku sedang mengajarkan Dhamma, orang sesat ini tidak peduli, tidak memerhatikan, tidak mencurahkan segenap pikirannya, tidak mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.’ Namun, Bhaddāli, Aku akan tetap mengajarkan kepadamu penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Dengarkan dan perhatikanlah [446] pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia.” Yang Mulia Bhaddāli menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

33. “Bhaddāli, misalkan seorang pelatih kuda yang cerdas memperoleh seekor kuda muda dari keturunan murni yang baik. Pertama-tama ia membuatnya terbiasa mengenakan tali kekang. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan tali kekang, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terbiasa mengenakan perlengkapan kuda. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan perlengkapan kuda, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terlatih dalam melangkah, dalam berlari berputar, dalam menderap, dalam menyerang, dalam kualitas-kualitas kerajaan, dalam budaya kerajaan, dalam kecepatan tertinggi, dalam ketangkasan tertinggi. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan melakukan hal-hal ini, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan-tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh menghadiahinya dengan pijatan dan perawatan. Ketika seekor kuda muda jantan dari keturunan murni memiliki sepuluh faktor ini, ia layak menjadi milik raja, layak melayani raja, dan dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja.

34. “Demikian pula, Bhaddāli, ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia. Apakah sepuluh ini? Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar seorang yang melampaui latihan, [ ]kehendak benar seorang yang melampaui latihan, ucapan benar seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar seorang yang melampaui latihan, usaha benar seorang yang melampaui latihan, [447] perhatian benar seorang yang melampaui latihan, konsentrasi benar seorang yang melampaui latihan, pengetahuan benar seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar seorang yang melampaui latihan. [ ]Ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Bhaddāli merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #35 on: 14 December 2010, 11:40:16 PM »
66  Laṭukikopama Sutta
Perumpamaan Burung Puyuh

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri orang-orang Anguttarāpa di mana terdapat sebuah pemukiman bernama Āpaṇa.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

3. Pada pagi hari itu, Yang Mulia Udāyin merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia juga pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia pergi ke hutan yang sama untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

4. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Udāyin sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami[ ]! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!”

5. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Udāyin bangkit dari meditasinya, pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi [448] dan berkata kepada Beliau:

6. [‘]Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ [ ]Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! [ ]Lebih baik, Bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu, aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”

7. “Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ Dan mereka tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadap-Ku serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan menjadi gandar yang tebal.

8. “Misalkan, Udāyin, seekor burung puyuh [ ]terjebak oleh tanaman rambat kering dan karenanya dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tanaman rambat kering yang menjebak burung puyuh itu yang dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena bagi burung puyuh itu, tanaman rambat kering yang mengikatnya dan dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan [ ]gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ ... tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadap-Ku serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan menjadi gandar yang tebal.

9. “Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, [450] ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal kecil dan remeh seperti ini, Sang Bhagavā memberitahukan kepada kita untuk meninggalkan, Yang Sempurna memberitahukan kepada kita untuk melepaskan.’ Namun mereka meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadap-Ku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.

10. “Misalkan, Udāyin, seekor gajah besar dengan gading sepanjang tiang kereta, dewasa, dari keturunan yang baik, dan terbiasa dalam pertempuran, terikat dengan tali kulit yang kuat, tetapi hanya dengan sedikit menggerakkan badannya, ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi ke mana pun yang ia sukai. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu ... baginya adalah tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan [ ]gandar yang tebal.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu, yang hanya dengan sedikit menggerakkan badannya ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi ke mana pun yang ia sukai, baginya adalah tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, [ ]ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadap-Ku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.

11. “Misalkan, Udāyin, ada seseorang yang miskin, melarat, tidak punya uang, dan ia memiliki sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, [451] dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang kurus, bukan jenis terbaik. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah!’ Tetapi karena tidak mampu meninggalkan sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumahbaginya adalah adalah tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumahbaginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan [ ]gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ ... tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadap-Ku serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan menjadi gandar yang tebal.
 
12. “Misalkan, Udāyin, ada seorang perumah tangga kaya atau putra perumah tangga kaya, [452] dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak batangan emas, banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki-laki dan perempuan. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah!’ dan karena mampu meninggalkan banyak batangan emasnya, banyak lumbungnya, banyak ladangnya, banyak tanahnya, banyak istrinya, dan banyak budaknya laki-laki dan perempuan, maka ia mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumahbaginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kukuh, tidak lapuk, dan [ ]gandar yang tebal.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumahbaginya hal-hal tersebut adalah tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.’

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadap-Ku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. [453] Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk, dan tanpa inti.

13. “Udāyin, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini. Apakah empat ini?

14. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. [ ]Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerbunya. Ia menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Orang demikian Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

15. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerbunya. Ia tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

16. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan kadang-kadang menyerbunya karena lemahnya perhatian. Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. [ ]Seperti halnya seseorang meneteskan dua atau tiga tetes air di atas lempengan besi yang dipanaskan sepanjang hari, jatuhnya tetesan air itu mungkin lambat, namun air itu akan dengan cepat menguap dan lenyap. Demikian pula, di sini seseorang mempraktikkan jalan … Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. [454] Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.
 
17. “Di sini, Udāyin, seseorang, setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, melepaskan dirinya dari perolehan dan terbebaskan dalam hancurnya perolehan. Orang demikian Kusebut tidak terbelenggu, bukan terbelenggu. [ ]Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

18. “Ada, Udāyin, lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

19. “Sekarang, Udāyin, kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indriakenikmatan yang kotor, kenikmatan yang kasar, kenikmatan yang tidak mulia. Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya ditakuti.

20. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …

-----------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #36 on: 15 December 2010, 09:20:21 PM »
Lanjutan 66  Latukikopama Sutta
------------------------------------------

21. “Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. [ ]Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini harus dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini harus dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini harus dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya tidak ditakuti.

22. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu. [ ]Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? Awal pikiran dan kelangsungan pikiran yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

23. “Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? Kegembiraan dan kenikmatan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

24. “Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya kegembiraan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? [455] Kenikmatan keseimbangan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

25. “Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang tidak dapat terganggu.

26. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Itu, Aku katakan, belum cukup. [ ]Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

27. “Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

28. “Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya kegembiraan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

29. “Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

30. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

31. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

32. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

33. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. [456] Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

34. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. [ ]Itu melampaui sebelumnya. Demikianlah Aku mengatakan tentang meninggalkan bahkan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Apakah engkau melihat, Udāyin, belenggu apa pun[ ], kecil atau besar, yang pelepasannya tidak Aku katakan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #37 on: 15 December 2010, 10:49:16 PM »
67  Cātumā Sutta
Di Cātumā

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Cātumā di hutan kemloko (myrobalan).

2. Pada saat itu, lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Sewaktu para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar mereka, mereka sangat ribut dan berisik.

3. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda sebagai berikut: “Ānanda, siapakah orang-orang yang ribut dan berisik ini? Seseorang akan menganggap mereka adalah para nelayan yang sedang menjajakan ikan.”

“Yang Mulia, mereka adalah lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Dan sewaktu para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar mereka, mereka sangat ribut dan berisik.”

4. “Kalau begitu, Ānanda, beri tahu para bhikkhu itu atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggil para mulia itu.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi para bhikkhu itu dan memberi tahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, Teman,” mereka [457] menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Ketika mereka telah melakukan itu, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Para bhikkhu, mengapa kalian begitu ribut dan berisik? Seseorang akan menganggap kalian adalah para nelayan yang sedang menjajakan ikan.”

“Yang Mulia, kami adalah lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Dan sewaktu kami, para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar kami, kami sangat ribut dan berisik.”

5. “Pergilah, Para bhikkhu, Aku membubarkan kalian. Kalian tidak boleh menetap di dekat-Ku.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan mereka bangkit dari duduk mereka, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanan mereka, mereka meletakkan barang-barang di tempat tinggal, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar, mereka pergi.

6. Pada saat itu, para Sakya di Cātumā sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untuk suatu urusan. Dari jauh melihat kedatangan para bhikkhu, mereka mendatang para bhikkhu itu dan bertanya: “Ke mana kalian akan pergi, Para Mulia?”

“Teman-teman, Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Kalau begitu, silakan para mulia duduk sebentar. Mungkin kami mampu mengembalikan kepercayaan-Nya.”

“Baik, Teman-teman,” mereka menjawab.

7. Kemudian para Sakya dari Cātumā mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata:

“Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā membantu Sangha para bhikkhu saat ini seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu. Yang Mulia, terdapat para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, seperti halnya sebatang tunas muda yang tidak mendapatkan air, maka akan terjadi perubahan dan peralihan dalam dirinya, demikian pula, Yang Mulia, terdapat [458] para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, seperti halnya seekor anak sapi yang tidak melihat induknya, maka akan terjadi perubahan dan peralihan dalam dirinya, demikian pula, Yang Mulia, terdapat para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā membantu Sangha para bhikkhu saat ini seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu.”

8. Kemudian dengan pikirannya, Brahmā Sahampati [ ]mengetahui pikiran Sang Bhagavā, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, ia lenyap dari alam Brahma dan muncul di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata:

9. “Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; ... (seperti pada §7) ... [459] seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu.”

10. Orang-orang Sakya dari Cātumā dan Brahmā Sahampati berhasil mengembalikan kepercayaan Sang Bhagavā dengan perumpamaan tunas dan anak sapi.

11. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Bangkitlah, Teman-teman, ambil mangkuk dan jubah luar kalian. Kepercayaan Sang Bhagavā telah dipulihkan oleh orang-orang Sakya dari Cātumā dan Brahmā Sahampati dengan perumpamaan tunas dan anak sapi.”

12. “Baik, Teman,” mereka menjawab dan, bangkit dari duduk mereka, dengan membawa mangkuk dan jubah luar, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Bagaimana menurutmu, Sāriputta, ketika Sangha para bhikkhu Kububarkan?”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: ‘Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini; dan kami juga sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.

“Hentikan, Sāriputta, hentikan! Jangan engkau memunculkan pikiran seperti itu lagi.”

13. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: “Bagaimana menurutmu, Moggallāna, ketika Sangha para bhikkhu Kububarkan?”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: ‘Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini. Sekarang Yang Mulia Sāriputta dan aku akan mengasuh Sangha para bhikkhu.’”

“Bagus, bagus, Moggallāna! Apakah Aku yang mengasuh Sangha para bhikkhu atau Sāriputta dan Moggallāna yang melakukannya.”

14. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis ketakutan ini yang muncul pada mereka yang masuk ke air. [ ]Apakah empat ini? Yaitu: takut ombak, takut buaya, takut pusaran air, dan takut hiu. Ini adalah empat jenis ketakutan yang muncul pada mereka yang masuk ke air.

15. “Demikian pula, Para bhikkhu, ada empat jenis ketakutan ini yang muncul pada mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah [460] empat ini? Yaitu: takut ombak, takut buaya, takut pusaran air, dan takut hiu.

16. “Apakah, Para bhikkhu, takut ombak? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihati dan memberikan instruksi kepadanya sebagai berikut: ‘Engkau harus berjalan maju dan mundur seperti ini; engkau harus melihat ke depan dan ke belakang seperti ini; engkau harus menekuk dan merentangkan bagian-bagian tubuh seperti ini; engkau harus mengenakan jubah luar bertambalan, mangkuk, dan jubah seperti ini.’ Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami menasihati dan memberikan instruksi kepada orang lain, dan sekarang [para bhikkhu] ini, yang sepertinya dapat menjadi putra atau cucu kami, berpikir bahwa mereka dapat menasihati dan memberikan instruksi kepada kami.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut ombak. Sekarang ‘takut ombak’ adalah sebutan bagi kemarahan dan kekesalan.

17. “Apakah, Para bhikkhu, takut buaya? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihati dan memberikan instruksi kepadanya sebagai berikut: ‘Ini boleh dikonsumsi olehmu, ini tidak boleh dikonsumsi olehmu; ini boleh dimakan olehmu, ini tidak boleh dimakan olehmu; ini boleh dikecap olehmu, ini tidak boleh dikecap olehmu; ini boleh diminum olehmu, ini tidak boleh diminum olehmu. [ ]Engkau boleh mengonsumsi apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh mengonsumsi apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh memakan apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh memakan apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh mengecap apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh mengecap apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh meminum apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh meminum apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh makan dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh makan di luar batas waktu yang selayaknya; engkau boleh mengecap makanan dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh mengecap makanan di luar batas waktu yang selayaknya; engkau boleh minum dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh minum di luar batas waktu yang selayaknya.’  [461]

“Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami mengonsumsi apa yang kami sukai dan tidak mengonsumsi apa yang tidak kami sukai; kami memakan apa yang kami sukai dan tidak memakan apa yang tidak kami sukai; kami mengecap apa yang kami sukai dan tidak mengecap apa yang tidak kami sukai; kami meminum apa yang kami sukai dan tidak meminum apa yang tidak kami sukai. Kami mengonsumsi apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami memakan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami mengecap apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami meminum apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan. Kami mengonsumsi makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami memakan makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami mengecap makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami minum di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya. Sekarang, ketika para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan kepada kami berbagai jenis makanan-makanan baik selama siang hari di luar batas waktu yang selayaknya, sepertinya [para bhikkhu] ini mengenakan berangus pada mulut kami.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut buaya. Sekarang ‘takut buaya’ adalah sebutan bagi kerakusan.

18. “Apakah, Para bhikkhu, takut pusaran air? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari, ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmaninya tidak terjaga, dengan ucapannya tidak terjaga, dengan perhatian tidak ditegakkan, dan dengan organ-organ indria tidak terkendali. Ia melihat seorang perumah tangga atau putra perumah tangga yang [ ]memiliki lima utas kenikmatan indria dan sedang menikmatinya. Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami memiliki lima utas kenikmatan indria dan menikmatinya. Keluargaku kaya; aku dapat menikmati kekayaan dan melakukan kebajikan.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut pusaran air. Sekarang ‘takut pusaran air’ adalah sebutan bagi kelima utas kenikmatan indria.

19. “Apakah, Para bhikkhu, takut hiu? Di sini [462] seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari, ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmaninya tidak terjaga, dengan ucapannya tidak terjaga, dengan perhatian tidak ditegakkan, dan dengan organ-organ indria tidak terkendali. Ia melihat seorang perempuan dengan kain yang minim, dengan pakaian yang minim. Ketika ia melihat seorang perempuan demikian, nafsu memengaruhi pikirannya. Karena pikirannya telah terpengaruh nafsu, ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut hiu. Sekarang ‘takut hiu’ adalah sebutan bagi perempuan.

20. “Para bhikkhu, ini adalah keempat jenis ketakutan yang muncul pada mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #38 on: 15 December 2010, 11:03:58 PM »
ko hendra, yg udah sempat kuubah jadi "memerhatikan" itu dibatalin ya. sori, ga tau KBBI daring uda ada yg direvisi. :)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #39 on: 16 December 2010, 10:44:58 PM »
68  Naḷakapāna Sutta
Di Naḷakapāna

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kosala di Naḷakapāna di Hutan Palāsa.

2. Pada saat itu, banyak anggota keluarga terkenal telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Sang BhagavāYang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila, Yang Mulia Bhagu, Yang Mulia Kuṇḍadhāna, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan anggota keluarga terkenal lainnya.

3. Pada saat itu, Sang Bhagavā [463] duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, dengan merujuk pada anggota-anggota keluarga itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, anggota-anggota keluarga itu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah-Kuapakah mereka bergembira di dalam kehidupan suci?”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu itu berdiam diri.

Untuk ke dua dan ke tiga kalinya, dengan merujuk pada anggota-anggota keluarga itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, anggota-anggota keluarga itu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah-Kuapakah mereka bergembira di dalam kehidupan suci?”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya, para bhikkhu itu berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā mempertimbangkan sebagai berikut: “Bagaimana jika Aku bertanya kepada anggota-anggota keluarga itu?”

Kemudian Beliau berkata kepada Yang Mulia Anuruddha sebagai berikut: “Anuruddha, apakah engkau bergembira di dalam kehidupan suci?”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami bergembira di dalam kehidupan suci.”

5. “Bagus, bagus, Anuruddha! Adalah selayaknya bagi kalian anggota-anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah untuk bergembira di dalam kehidupan suci. Karena kalian masih memiliki berkah kemudaan, pemuda-pemuda berambut hitam dalam masa utama kehidupan, kalian seharusnya dapat menikmati kenikmatan indria, namun kalian telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bukan karena didesak oleh raja maka kalian meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, atau karena kalian didesak oleh para penjahat, atau karena berhutang, takut, atau menginginkan penghidupan. Sebaliknya, bukankah kalian meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah setelah merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’?”“Benar, Yang Mulia.”

6. “Apa yang harus dilakukan, Anuruddha, oleh seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian demikian? Selagi ia belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, [ ]ketamakan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, niat buruk menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kelambanan dan ketumpulan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kegelisahan dan penyesalan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, keragu-raguan menyerbu [464] pikirannya dan menetap di sana, ketidakpuasan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kelesuan menyerbu pikirannya dan menetap di sana. Demikianlah selagi ia masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu. Ketika ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, ketamakan tidak menyerbu pikirannya dan menetap di sana, niat buruk … kelambanan dan ketumpulan … kegelisahan dan penyesalan … keragu-raguan … ketidakpuasan … kelesuan tidak menyerbu pikirannya dan menetap di sana. Demikianlah ketika ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu.

7. “Bagaimana, Anuruddha, apakah kalian semua berpikir tentang Aku sebagai berikut: ‘Sang Tathāgata belum meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itulah sebabnya mengapa Sang Tathāgata menggunakan sesuatu setelah merenungkan, mempertahankan sesuatu lainnya setelah merenungkan, menghindari sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan, dan melenyapkan sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan.’?”

“Tidak, Yang Mulia, kami berpikir tentang Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itulah sebabnya mengapa Sang Tathāgata menggunakan sesuatu setelah merenungkan, mempertahankan sesuatu lainnya setelah merenungkan, menghindari sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan, dan melenyapkan sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan.’

“Bagus, bagus, Anuruddha! Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak lagi mampu tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori … telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.

8. “Bagaimana menurutmu, Anuruddha? Tujuan apakah yang dilihat oleh Sang Tathāgata sehingga ketika seorang siswa meninggal dunia, Beliau menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu’?”  [465]

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

9. “Anuruddha, bukanlah dengan tujuan berkomplot untuk menipu orang atau dengan tujuan untuk menyanjung orang atau dengan tujuan untuk perolehan, kehormatan, atau kemasyhuran, atau dengan pikiran, ‘Biarlah orang-orang mengenalku demikian,’ maka ketika seorang siswa meninggal dunia, Sang Tathāgata menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu.’ Akan tetapi, adalah karena terdapat anggota-anggota keluarga yang berkeyakinan yang terinspirasi dan gembira oleh apa yang luhur, yang ketika mereka mendengar hal tersebut, mereka mengarahkan pikiran mereka pada kondisi demikian, dan itu menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.

10. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Ia mencapai pengetahuan akhir.”’[”][ ] Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang bhikkhu tersebut: ‘Moralitas bhikkhu itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

11. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.”’[”] Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

12. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.”’[”] Dan ia belum pernah bertemu ... [466] ia mengarahkan pikirannya [ ]pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

13. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’[”] Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya [ ]pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

14. “Di sini seorang bhikkhunī mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhunī bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Ia mencapai pengetahuan akhir.”’[”] Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang bhikkhunī tersebut: ‘Moralitas bhikkhunī itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara inilah seorang bhikkhunī memiliki kediaman yang nyaman.

15. “Di sini seorang bhikkhunī mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhunī bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” ...

16. “Beliau telah menyatakan tentang bhikkhunī itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

17. “Beliau telah menyatakan tentang bhikkhunī itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ [467] Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya [ ]pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhunī memiliki kediaman yang nyaman.

18. “Di sini seorang umat awam laki-laki mendengar sebagai berikut: ‘Seorang umat awam laki-laki bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” ...

19. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam laki-laki itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

20. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam laki-laki itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang Yang Mulia tersebut: ‘Moralitas Yang Mulia itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang umat awam laki-laki memiliki kediaman yang nyaman.

21. “Di sini seorang umat awam perempuan mendengar sebagai berikut: ‘Seorang umat awam perempuan bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” [468] ...

22. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam perempuan itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

23. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam perempuan itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang saudari tersebut: ‘Moralitas saudari itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang umat awam perempuan memiliki kediaman yang nyaman.

24. “Jadi, Anuruddha, bukanlah dengan tujuan berkomplot untuk menipu orang atau dengan tujuan untuk menyanjung orang atau dengan tujuan untuk perolehan, kehormatan, atau kemasyhuran, atau dengan pikiran, ‘Biarlah orang-orang mengenalku demikian,’ maka ketika seorang siswa meninggal dunia, Sang Tathāgata menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu.’ Akan tetapi, adalah karena terdapat anggota-anggota keluarga yang berkeyakinan yang terinspirasi dan gembira oleh apa yang luhur, yang ketika mereka mendengar hal tersebut, mereka mengarahkan pikiran mereka pada kondisi demikian, dan itu menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Anuruddha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.



ko indra, umat awam perempuan => saudari

23. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam perempuan itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang saudari tersebut: ‘Moralitas saudari itu adalah demikian,

umat awam laki-laki => saudara?

20. “Beliau telah menyatakan tentang umat awam laki-laki itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang Yang Mulia tersebut: ‘Moralitas Yang Mulia itu adalah demikian,
« Last Edit: 16 December 2010, 11:04:46 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #40 on: 17 December 2010, 09:20:30 PM »
69  Gulissāni Sutta
Gulissāni

[469] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, seorang bhikkhu bernama Gulissāni, seorang penghuni hutan yang berperilaku lengah, telah datang berkunjung untuk menetap di tengah-tengah Sangha untuk suatu urusan. Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu dengan merujuk pada Bhikkhu Gulissāni sebagai berikut:

3. “Teman-teman, ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus menghormati dan menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika ia tidak menghormati dan tidak menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak menghormati dan tidak menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus menghormati dan menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci.

4. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk sebagai berikut: ‘Aku akan duduk dengan cara sedemikian sehingga aku tidak mengganggu para bhikkhu senior dan tidak meniadakan tempat duduk para bhikkhu junior.’ Jika ia tidak terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia bahkan tidak tahu apa yang merupakan sikap yang baik?’ karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk.

5. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari. Jika ia memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari.

6. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, [470] ia tidak boleh pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga. [ ]Jika ia pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, pasti ia terbiasa melakukan kunjungan pada waktu yang tidak tepat, karena ia bersikap demikian ketika ia datang mengunjungi Sangha.’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga.

7. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh sombong dan membanggakan diri. Jika ia sombong dan membanggakan diri, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, pasti ia biasanya sombong dan membanggakan diri, karena ia bersikap demikian ketika ia mengunjungi Sangha.’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh sombong dan membanggakan diri.

8. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh berkata kasar dan berbicara lepas. Jika ia berkata kasar dan berbicara lepas, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia berkata kasar dan berbicara lepas?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh berkata kasar dan berbicara lepas.

9. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus mudah dikoreksi dan harus bergaul dengan teman-teman yang baik. Jika ia sulit dikoreksi dan bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia sulit dikoreksi dan bergaul dengan teman-teman yang buruk?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus mudah dikoreksi dan harus bergaul dengan teman-teman yang baik.

10. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menjaga pintu-pintu indrianya. Jika ia tidak menjaga pintu-pintu indrianya, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena [471] ia tidak menjaga pintu-pintu indrianya?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menjaga pintu-pintu indrianya.

11. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus makan secukupnya. Jika ia makan berlebihan, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia makan berlebihan?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus makan secukupnya.

12. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kewaspadaan. Jika ia tidak menekuni kewaspadaan, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak menekuni kewaspadaan?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kewaspadaan.

13. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus bersemangat. Jika ia tidak bersemangat, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia malas?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus bersemangat.

14. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus penuh perhatian. Jika ia tidak penuh perhatian, [ ]maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak penuh perhatian?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus penuh perhatian.

15. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus terkonsentrasi. Jika ia tidak terkonsentrasi, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak terkonsentrasi?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus terkonsentrasi.

16. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus bijaksana. Jika ia tidak bijaksana, maka akan ada [472] di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak bijaksana?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus bijaksana.

17. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi.  Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi.

18. [ ]“Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk. [ ]Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk, ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk.

19. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia. Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang kondisi melampaui manusia. [ ]Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia bahkan tidak tahu untuk tujuan apa ia meninggalkan keduniawian?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia.

20. [ ]Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, apakah hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktikkan hanya oleh seorang bhikkhu penghuni hutan atau [473] oleh seorang yang menetap di dekat desa juga?”

“Teman Moggallāna, hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktikkan bahkan oleh seorang bhikkhu penghuni hutan, apalagi oleh seorang yang menetap di dekat desa.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #41 on: 17 December 2010, 10:06:19 PM »
^

19. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia. Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang kondisi melampaui manusia. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia bahkan tidak tahu untuk tujuan apa ia meninggalkan keduniawian?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #42 on: 17 December 2010, 11:34:05 PM »
70  Kīṭāgiri Sutta
Di Kīṭāgiri

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kāsi bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Di sana Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku menghindari makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, Para bhikkhu, hindarilah makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab.

3. Kemudian, ketika Sang Bhagavā mengembara secara bertahap di Negeri Kāsi, akhirnya Beliau tiba di sebuah Kota Kāsi bernama Kīṭāgiri. Di sana Beliau menetap di Kota Kāsi ini, Kīṭāgiri.

4. Pada saat itu, para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka sedang menetap di Kīṭāgiri. [ ]Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi mereka dan memberitahukan: “Teman-teman, Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu sekarang menghindari makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, mereka bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan mereka menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, Teman-teman, hindarilah makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.” [474] Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka memberi tahu mereka: “Teman-teman, kami makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya. Dengan melakukan demikian, kami bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kami menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Mengapa kami harus meninggalkan [manfaat] yang terlihat di sini dan saat ini untuk mengejar [manfaat yang harus dicapai di] masa depan? Kami akan makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya.”

5. Karena para bhikkhu itu tidak mampu meyakinkan para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka, maka mereka menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu meyakinkan para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, Bhikkhu, beri tahu para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggil mereka.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan ia mendatangi para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka dan memberi tahu mereka: “Sang Guru memanggil kalian, Teman-teman.”

“Baik, Teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, benarkah bahwa ketika sejumlah bhikkhu mendatangi kalian dan memberitahukan: ‘Teman-teman, Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu sekarang menghindari makan di malam hari ... Marilah, Teman-teman, hindarilah makan di malam hari [475] ....Kalian memberi tahu para bhikkhu itu: ‘Teman-teman, kami makan di malam hari ... Mengapa kami harus meninggalkan [manfaat] yang terlihat di sini dan saat ini untuk mengejar [manfaat yang harus dicapai di] masa depan? Kami akan makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya.’?”“Benar, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, pernahkan kalian mengetahui Aku mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut: ‘Perasaan apa pun yang dialami orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah’?”“Tidak, Yang Mulia.”

7. “Para bhikkhu, pernahkah kalian mengetahui Aku mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. [ ]Di sini, seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Di sini, seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah’?”“Benar, Yang Mulia.”

8. “Bagus, Para bhikkhu. [ ]Dan jika tidak diketahui oleh-Ku, tidak dilihat, tidak ditemukan, tidak dicapai, tidak disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ apakah selayaknya bagi-Ku, dengan tidak mengetahui hal itu, mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyenangkan itu’?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Tetapi karena hal ini diketahui oleh-Ku, dilihat, ditemukan, dicapai, disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan[476], maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu, Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyenangkan itu.’

Jika tidak diketahui oleh-Ku, tidak dilihat, tidak ditemukan, tidak dicapai, tidak disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ apakah selayaknya bagi-Ku, dengan tidak mengetahui hal itu, mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyenangkan itu’?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Tetapi karena hal ini diketahui oleh-Ku, dilihat, ditemukan, dicapai, disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu, Aku mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyenangkan itu.’

9. “Jika tidak diketahui olehKu ... Tetapi karena diketahui olehKu ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyakitkan itu.’

“Jika tidak diketahui oleh-Ku ... Tetapi karena diketahui oleh-Ku ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu, Aku mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyakitkan itu.’

10. “Jika tidak diketahui oleh-Ku ... Tetapi karena diketahui oleh-Ku ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu, Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu.’

“Jika tidak diketahui oleh-Ku ... Tetapi karena diketahui oleh-Ku ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu, Aku mengatakan: [477] ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu.’

11. “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun; juga aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka harus melakukan apa pun lagi dengan tekun.

12. “Aku tidak mengatakan tentang para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Mereka telah melakukan tugas mereka dengan tekun; mereka tidak lagi mampu menjadi lalai.

13. “Aku mengatakan tentang para bhikkhu yang dalam latihan yang lebih tinggi, yang batinnya belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, bahwa mereka masih harus melakukan sesuatu dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika mereka menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka mereka dapat, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi para bhikkhu ini, Aku katakan bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun.

14. “Para bhikkhu, terdapat tujuh jenis orang di dunia ini.  Apakah tujuh ini? Mereka adalah: seorang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara, seorang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan, seorang penglihat-jasmani, seorang yang-mencapai-pandangan, seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan, seorang pengikut-Dhamma, dan seorang pengikut-keyakinan.

15. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara? Di sini, seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara. [ ]Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugasnya mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

16. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan? Di sini, seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan. [ ][478] Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugasnya mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

17. “Orang jenis apakah yang adalah penglihat-jasmani? Di sini, seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang penglihat-jasmani. [ ]Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

18. “Orang jenis apakah yang-mencapai-pandangan? Di sini, seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan ia meninjau kembali dan memeriksa dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-mencapai-pandangan. [ ]Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

19. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-keyakinan? Di sini, seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan keyakinannya tertanam, berakar, dan kukuh di dalam Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan. [ ]Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu [479] ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

20. “Orang jenis apakah pengikut-Dhamma? Di sini, seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya tidak dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, tetapi ajaran-ajaran itu yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata diterima olehnya setelah merenungkannya secukupnya dengan kebijaksanaan. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-Dhamma. [ ]Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #43 on: 20 December 2010, 08:45:20 PM »
Lanjutan 70  Kīṭāgiri Sutta
--------------------------------

21. “Orang jenis apakah pengikut-keyakinan? Di sini, seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya tidak dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, [ ]namun ia memiliki keyakinan yang mencukupi di dalam Sang Tathāgata dan cinta kasih kepada Sang Tathāgata. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-Keyakinan. Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

22. “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan bahwa pengetahuan akhir dicapai seketika. Sebaliknya, pengetahuan akhir dicapai dengan latihan secara bertahap, dengan praktik secara bertahap, dengan kemajuan secara bertahap. [480]

23. “Dan bagaimanakah pengetahuan akhir itu dicapai dengan latihan secara bertahap, dengan praktik secara bertahap, dengan kemajuan secara bertahap? Di sini, seseorang yang berkeyakinan [pada seorang guru] mengunjungi gurunya; ketika ia mengunjungi sang guru, ia memberi penghormatan kepadanya, ia mendengarkannya; seseorang yang mendengarkannya mendengarkan Dhamma; setelah mendengarkan Dhamma, ia menghafalkannya; ia memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia memeriksa makna ajaran-ajaran itu, ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu; ketika ia telah memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul dalam dirinya; ketika semangat telah muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; ia berupaya; dengan berupaya dengan kukuh; dengan tubuhnya ia mencapai [ ]kebenaran tertinggi dan melihatnya dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.

24. “Jika belum ada keyakinan itu, [ ]Para bhikkhu, dan jika belum ada kunjungan itu, dan jika belum ada penghormatan itu, dan jika belum mendengarkan, dan jika belum mendengarkan Dhamma, dan jika belum menghafalkan Dhamma, dan jika belum memeriksa makna, dan jika belum ada penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, dan jika belum ada semangat itu, dan jika belum ada pengerahan tekad, dan jika belum ada penyelidikan, dan jika belum ada upaya itu. Para bhikkhu, maka kalian telah tersesat; Para bhikkhu, kalian telah mempraktikkan jalan yang salah. Berapa jauhkah, Para bhikkhu, orang-orang sesat ini menyimpang dari Doktrin dan Disiplin ini?

25. “Para bhikkhu, terdapat pernyataan berfrasa empat, dan jika diucapkan maka seorang bijaksana akan dengan cepat memahaminya. [ ]Aku akan mengucapkannya untuk kalian, Para bhikkhu, cobalah untuk memahaminya.”

“Yang Mulia, siapakah kami yang mampu memahami Dhamma itu?”

26. “Para bhikkhu, bahkan dengan seorang guru yang mengutamakan benda-benda materi, seorang pewaris dalam benda-benda materi, terikat pada benda-benda materi, tawar-menawar seperti ini [oleh para siswanya] adalah tidak selayaknya: ‘Jika kami mendapatkan ini, maka kami akan melakukannya; jika kami tidak mendapatkan ini, maka kami tidak akan melakukannya’; apalagi [jika sang guru adalah] Sang Tathāgata, yang sepenuhnya terlepas dari benda-benda materi?

27. “Para bhikkhu, bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, adalah sewajarnya ia bersikap sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah Guru, aku adalah seorang siswa; Sang Bhagavā mengetahui, aku tidak mengetahui.’ Bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, Pengajaran Sang Guru adalah memelihara dan menyegarkan. Bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, adalah sewajarnya ia bersikap sebagai berikut: ‘Aku rela, biarpun hanya kulit, urat, dan tulang-belulangku yang tersisa, dan biarpun daging dan darahku mengering, namun kegigihanku tidak akan mengendur selama aku belum mencapai apa yang dapat dicapai oleh kekuatan manusia, tenaga manusia, dan kegigihan manusia.’ [ ]Bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, satu dari dua buah ini dapat diharapkan: pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika masih ada jejak kemelekatan yang tersisa, menjadi yang-tidak-kembali.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #44 on: 20 December 2010, 09:13:59 PM »
71  Tevijjavacchagotta Sutta
Kepada Vacchagotta tentang
Tiga Pengetahuan Sejati

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, pengembara Vacchagotta sedang menetap di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Vesālī. Bagaimana jika Aku mendatangi pengembara Vacchagotta di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal.”

4. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi pengembara Vacchagotta di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal. Dari jauh pengembara Vacchagotta melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepadanya: “Silakan datang, Yang Mulia, selamat datang, Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silakan Sang bhagavā duduk; tempat duduk telah dipersiapkan.” Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan pengembara Vacchagotta [482] mengambil bangku yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

5. “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Petapa Gotama mengaku mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: “Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada pada-Ku.”? [ ]Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian telah mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahami-Nya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataan mereka?”

“Vaccha, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang dikatakan oleh-Ku, melainkan salah memahami-Ku dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.”

6. “Yang Mulia, bagaimanakah seharusnya aku menjawab sehingga aku mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahami-Nya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Bagaimanakah aku menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanku?”

“Vaccha, jika engkau menjawab sebagai berikut: ‘Petapa Gotama memiliki tiga pengetahuan sejati,’ maka engkau mengatakan apa yang dikatakan oleh-Ku dan tidak salah memahami-Ku dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Engkau akan menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanmu.

7. “Karena sejauh Aku menghendaki, Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... (seperti Sutta 51, §24) ... demikianlah dengan ciri-ciri dan aspek-aspeknya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

8. “Dan sejauh Aku menghendaki, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka ... (seperti Sutta 51, §25) ....

9. “Dan dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

10. “Jika engkau menjawab demikian: ‘Petapa Gotama memiliki tiga pengetahuan sejati,’ [483] maka engkau mengatakan apa yang dikatakan oleh-Ku dan tidak salah memahami-Ku dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Engkau akan menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanmu.”

11. Ketika hal ini dikatakan, pengembara Vacchagotta bertanya kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”

“Vaccha, tidak ada perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”

12. “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”

“Vaccha, bukan hanya seratus atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga.”

13. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”

“Vaccha, tidak ada Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”

14. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”

“Ketika aku mengingat kembali hingga sembilan puluh satu kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga, dengan satu pengecualian, dan ia menganut doktrin efektifitas perbuatan bermoral, doktrin efektifitas tindakan.”[”]

15. Kalau begitu, Guru Gotama, banyak sekte lain itu bahkan kosong dari satu orang yang pergi ke alam surga.”

“Demikianlah, Vaccha, banyak sekte lain itu bahkan kosong dari satu orang yang pergi ke alam surga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Pengembara Vacchagotta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #45 on: 20 December 2010, 10:17:51 PM »
72  Aggivacchagotta Sutta
Kepada Vacchagotta tentang Api

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā [484] dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

4. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

5. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

6. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

7. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

8. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

9. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

10. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

11. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?” [485]

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

12. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

13. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama? Ketika Guru Gotama ditanya masing-masing dari sepuluh pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Aku tidak menganut pandangan itu.’ Bahaya apakah yang Guru Gotama lihat sehingga Beliau tidak menganut pandangan-pandangan spekulatif ini?”

14. “Vaccha, pandangan spekulatif bahwa dunia adalah abadi adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputusasaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Pandangan spekulatif bahwa dunia adalah tidak abadi ... bahwa dunia adalah terbatas ... bahwa dunia adalah tidak terbatas ... bahwa jiwa dan badan adalah sama ... bahwa jiwa adalah satu hal dan dunia adalah hal lainnya ... bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian [486]... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputusasaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Melihat bahaya ini, Aku tidak menganut pandangan-pandangan ini.”

15. “Kalau begitu, apakah Guru Gotama menganut suatu pandangan spekulatif tertentu?”

“Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ adalah sesuatu yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata. Karena Sang Tathāgata, Vaccha, telah melihat [ ]ini: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya. Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidakmelekatan.”

16. “Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”

“Istilah ‘muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia muncul kembali juga tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

17. “Ketika Guru Gotama ditanya empat pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Istilah “muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah muncul kembali dan juga tidak muncul kembali tidak berlaku, Vaccha; Istilah bukan muncul kembali dan juga bukan [487] tidak muncul kembali tidak berlaku, Vaccha.’ Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”

18. “Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan mulia, tidak dapat dicapai hanya dengan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya jika engkau menganut pandangan lain, menerima ajaran lain, menyetujui ajaran lain, menekuni latihan yang berbeda, dan mengikuti guru yang berbeda. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan, Vaccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu’.”

“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”

20. “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; [ ]Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; [‘]‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.  Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; [‘]‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.”

21. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vacchagotta berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, misalkan terdapat sebatang pohon sāla besar tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan ketidakkekalan menggerus dahan dan dedaunannya, kulit kayu dan kayu lunaknya, sehingga kemudian, karena dahan dan dedaunannya berguguran, kulit kayu dan kayu lunaknya mengelupas, maka pohon itu menjadi murni, hanya terdiri dari inti kayunya saja; demikian pula, khotbah Guru Gotama ini tanpa dahan dan dedaunan, tanpa kulit kayu dan kayu lunak, dan murni terdiri dari hanya inti kayu saja.

22. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan [489] agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #46 on: 05 January 2011, 12:16:28 AM »
73  Mahāvacchagotta Sutta
Khotbah Panjang kepada Vacchagotta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Aku pernah berbincang-bincang dengan Guru Gotama lama sebelumnya. Baik sekali jika Guru Gotama mengajarkan kepadaku secara ringkas tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.”

“Aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas, dan Aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara lengkap. Namun Aku akan mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Vaccha, keserakahan adalah tidak bermanfaat, ketidak-serakahan adalah bermanfaat; kebencian adalah tidak bermanfaat, ketidak-bencian adalah bermanfaat; kebodohan adalah tidak bermanfaat, ketidak-bodohan adalah bermanfaat. Dengan cara ini, ketiga hal adalah tidak bermanfaat dan ketiga hal lainnya adalah bermanfaat.

5. “Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah tidak bermanfaat, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah bermanfaat; ucapan salah adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan salah adalah bermanfaat; ucapan jahat [490] adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan jahat adalah bermanfaat; ucapan kasar adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan kasar adalah bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat, menghindari gosip adalah bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat, ketidak-tamakan adalah bermanfaat; niat-buruk adalah tidak bermanfaat, tanpa niat-buruk adalah bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat, pandangan benar adalah bermanfaat. Dengan cara ini, sepuluh hal adalah tidak bermanfaat dan sepuluh hal lainnya adalah bermanfaat.

6. “Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan keinginan, memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan, maka bhikkhu itu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.”

7. “Selain dari Guru Gotama, adakah seorang bhikkhu lainnya, siswa Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, Vaccha, atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu, para bhikkhu, para siswa-Ku, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

8. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu, adakah seorang bhikkhunī lainnya, siswi Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhunī, para siswi-Ku, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

9. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswa-Ku, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, [491] akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

10. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswa-Ku, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi-Ku, menaati nasihat-Ku, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

11. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, adakah seorang umat awam perempuan, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswi-Ku, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

12. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat, adakah seorang umat awam perempuan lainnya, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswi-Ku, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi-Ku, menaati nasihat-Ku, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #47 on: 05 January 2011, 12:26:26 AM »
13. “Guru Gotama, jika hanya Guru Gotama yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhu yang sempurna, [492] maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama dan para bhikkhu sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama dan para bhikkhu yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhunī yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu dan para bhikkhunī sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, dan para bhikkhuni yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan umat awam laki-laki berpakaian putih … yang sempurna dalam Dhamma ini, tetapi tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih [493] yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih … dan para umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, para umat awam laki-laki berpakaian putih …[ ]dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan dan para umat awam perempuan berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu.

14. “Seperti halnya Sungai Gangga yang condong ke lautan, miring ke arah lautan, mengalir menuju lautan, dan mencapai lautan, demikian pula kelompok Guru Gotama bersama dengan mereka yang tanpa rumah dan para perumah tangga condong ke Nibbāna, miring ke arah Nibbāna, mengalir menuju Nibbāna, dan mencapai Nibbāna.

15. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.” [494]

16. “Vaccha, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka akan memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.”

17. “Kemudian Pengembara Vacchagotta menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, setengah bulan setelah penahbisan penuh, Yang Mulia Vacchagotta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mencapai apa yang dapat dicapai melalui pengetahuan seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, melalui pengetahuan sejati seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan aku lebih jauh lagi.”

18. “Kalau begitu, Vaccha, kembangkanlah lebih jauh lagi kedua hal ini: ketenangan dan pandangan terang, jika kedua hal iniketenangan dan pandangan terangdikembangkan lebih jauh lagi, maka itu akan menuntun menuju penembusan banyak unsur.

19. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku dapat menyelam masuk ke dalam dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; semoga aku dapat berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku dapat bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tanganku semoga aku dapat menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku dapat mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

20. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur mata dewa, [495] yang murni dan melampaui manusia, dapat mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

21. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi [35] dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

22. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku mampu mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

23. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, …(seperti Sutta 51, §25) … dan semoga aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

24. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan menembus bagi diriku dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

25. Kemudian Yang Mulia Vacchagotta, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagava, dengan beliau di sisi kanannya, ia pergi.

26. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Vacchagotta, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Vacchagotta menjadi salah satu di antara para Arahant.

27. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Yang Mulia Vacchagotta melihat kedatangan mereka. Melihat mereka, ia mendatangi mereka dan bertanya kepada mereka: [497] “Ke manakah para mulia hendak pergi?”

“Kami pergi untuk menemui Sang Bhagavā, Teman.”

“Kalau begitu, sudilah para mulia bersujud atas namaku dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan mengatakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian katakan: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan ia berkata: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

28. “Para bhikkhu, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranku, Aku telah mengetahui tentang Bhikkhu Vacchagotta: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’ Dan para dewa juga memberitahukan kepada-Ku hal ini: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #48 on: 10 January 2011, 08:57:36 PM »
74  Dīghanakha Sutta
Kepada Dīghanakha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gua Babi di Gunung Puncak Nasar.

2. Kemudian Pengembara Dīghanakha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, doktrin dan pandanganku adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’”

“Pandanganmu, Aggivessana, ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’bukankah setidaknya pandangan itu dapat diterima olehmu?”

“Jika pandanganku ini dapat diterima olehku, Guru Gotama, maka itu juga sama, itu juga [498] sama.”

3. “Baiklah, Aggivessana, ada banyak di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ namun mereka tidak melepaskan pandangan itu dan mereka menganut pandangan lainnya. Hanya sedikit di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ dan yang melepaskan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya.

4. “Aggivessana, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Segalanya dapat diterima olehku.’ Ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’ Dan ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.’ [ ]Di antara pandangan-pandangan ini, pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Dīghanakha berkata: “Guru Gotama memuji pandanganku, Guru Gotama merekomendasikan pandanganku.”

“Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku’pandangan mereka sehubungan dengan apa yang dapat diterima adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan, sedangkan pandangan mereka sehubungan dengan apa yang tidak dapat diterima adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.

6. “Sekarang, Aggivessana, seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Segalanya dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [499] dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

7. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [ ]dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

8. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku[.]’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [ ]dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini. [500]

9. “Sekarang, Aggivessana, [ ]jasmani ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran. Ini harus dianggap sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai bencana, sebagai kesusahan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai hampa, sebagai bukan diri. Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti demikian, maka ia meninggalkan keinginan terhadap jasmani, kasih sayang pada jasmani, kepatuhan pada jasmani.

10. “Terdapat, Aggivessana, tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Pada saat seseorang merasakan perasaan menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyakitkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; pada saat seseorang merasakan perasaan menyakitkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; Pada saat seseorang merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan menyakitkan; pada saat itu, ia hanya merasakan perasaan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

11. “Perasaan menyenangkan, Aggivessana, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti. Perasaan menyakitkan juga adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti.

12. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih baik menjadi kecewa dengan perasaan menyenangkan, kecewa dengan perasaan menyakitkan, kecewa dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan.[’] Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

13. “Seorang bhikkhu yang batinnya terbebas demikian, Aggivessana, tidak memihak siapa pun dan tidak berselisih dengan siapa pun; ia mengucapkan bahasa yang digunakan di dunia pada masa itu tanpa melekatinya.”

14. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, [501] mengipasi Beliau. Kemudian ia berpikir: “Sesungguhnya Sang Bhagavā, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung; sesungguhnya Yang Sempurna, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung.” Ketika Yang Mulia Sāriputta merenungkan demikian, batinnya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

15. Tetapi bagi Pengembara Dīghanakha, penglihatan Dhamma yang murni tanpa noda muncul dalam dirinya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan, juga tunduk pada kelenyapan.” Pengembara Dīghanakha melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

16. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #49 on: 11 January 2011, 12:55:20 PM »
75  Māgandiya Sutta
Kepada Māgandiya

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma, di atas hamparan rumput di dalam kamar perapian seorang brahmana dari suku Bhāradvāja.

2. Kemudian pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Kammāsadhamma untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kammāsadhamma dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. [502]

3. Kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi kamar perapian si brahmana dari suku Bhāradvāja. Di sana ia melihat hamparan rumput yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada si brahmana: “Untuk siapakah hamparan rumput ini dipersiapkan di dalam kamar perapian Tuan Bhāradvāja? Seperti tempat tidur seorang petapa.”

4. “Guru Māgandiya, ada Petapa Gotama, putra Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Tempat tidur ini dipersiapkan untuk Guru Gotama.”

5. “Sungguh, Guru Bhāradvāja, suatu pemandangan buruk yang kami lihat ketika kami melihat tempat tidur si perusak kemajuan itu, [ ]Guru Gotama.”

“Hati-hati dengan apa yang engkau katakan, Māgandiya, hati-hati dengan apa yang engkau katakan! Banyak para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar yang berkeyakinan penuh pada Guru Gotama, dan telah didisiplinkan oleh Beliau dalam jalan sejati yang mulia, dalam Dhamma yang bermanfaat.”

“Guru Bhāradvāja, bahkan jika kami berhadapan muka dengan Guru Gotama, kami akan mengatakan kepadanya: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena hal itu telah diturunkan dalam khotbah-khotbah kita.”

“Jika Guru Māgandiya tidak keberatan, bolehkah aku mengatakan hal ini kepada Guru Gotama?”

“Jangan khawatir, Guru Bhāradvāja. Beritahukanlah kepada-Nya tentang apa yang telah kukatakan.”

6. Sementara itu, dengan telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengarkan percakapan antara brahmana dari suku Bhāradvāja dengan Pengembara Māgandiya ini. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi, pergi ke kamar perapian si brahmana, dan duduk di atas hamparan rumput yang telah dipersiapkan. Kemudian si brahmana dari suku Bhāradvāja mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Bhāradvāja, apakah engkau berbincang-bincang dengan Pengembara Māgandiya [503] tentang hamparan rumput ini?”

Ketika hal ini dikatakan, si brahmana[,] terkejut dan dengan merinding[,] menjawab: “Kami hendak memberitahukan kepada Guru Gotama tentang hal ini, namun Guru Gotama telah mendahului kami.”

7. Tetapi diskusi antara Sang Bhagavā dan brahmana dari suku Bhāradvāja tidak selesai, karena kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, datang ke kamar perapian si brahmana dan menghadap Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

8. “Māgandiya, mata bergembira dalam bentuk-bentuk, menyenangi bentuk-bentuk, bersukacita dalam bentuk-bentuk; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

“Telinga bergembira dalam suara-suara … Hidung bergembira dalam bau-bauan … Lidah bergembira dalam rasa kecapan … Badan bergembira dalam objek-objek sentuhan … Pikiran bergembira dalam objek-objek pikiran, menyenangi objek-objek pikiran, bersukacita dalam objek-objek pikiran; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

9. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang [504] sebelumnya menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Kemudian, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk-bentuk. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan bentuk-bentuk, melenyapkan demam terhadap bentuk-bentuk, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?”“Tidak ada, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang sebelumnya menikmati suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan objek-objek sentuhan. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan objek-objek sentuhan, melenyapkan demam terhadap objek-objek sentuhan, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?”“Tidak ada, Guru Gotama.”

10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah.

“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, [505] yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. [ ]Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah tangga atau putra perumah tangga kaya, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah tangga atau putra perumah tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusia]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah tangga atau putra perumah tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusia.”

12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan keinginan pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, [506] menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang arang menyala atau pengobatannya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”

14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”

“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”

“Guru Gotama, api itu pada saat ini [ ]menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”

16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikianlah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan.

17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala, [508] maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.
« Last Edit: 11 January 2011, 01:17:31 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #50 on: 11 January 2011, 04:10:49 PM »
18. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Pernahkah engkau melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagus, Māgandiya, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian. Sebaliknya, Māgandiya, para petapa atau brahmana yang telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, semuanya melakukan demikian setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dan adalah setelah meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria dan melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria maka mereka telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai.”

19. Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

   “Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa tepatnya hal ini diungkapkan oleh Guru Gotama: [509]

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Kami juga pernah mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, dan ini selaras, Guru Gotama.”

“Tetapi, Māgandiya, ketika engkau mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, apakah kesehatan itu, apakah Nibbāna itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya mengusap bagian tubuhnya dengan tangannya dan berkata: “Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu; karena sekarang aku sehat dan bahagia dan tidak ada apa pun yang menyengsarakan aku.”

20. “Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Ketika orang yang buta sejak lahir itu menerima kain usang yang kotor itu, memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’apakah ia melakukan itu karena mengetahui dan melihat, atau karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu?”

“Yang Mulia, ia melakukan itu tanpa mengetahui dan tanpa melihat, [510] tetapi karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu.”

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #51 on: 11 January 2011, 05:04:56 PM »
lanjutan 75 Māgandiya Sutta
------------------------------------
21. “Demikian pula, Māgandiya, para pengembara sekte lain adalah buta dan tanpa penglihatan. Mereka tidak mengetahui kesehatan, mereka tidak melihat Nibbāna, namun mereka mengucapkan syair sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Syair ini diucapkan oleh para Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna sebelumnya, sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.’

Sekarang syair ini perlahan-lahan menjadi umum di antara orang-orang biasa.  Dan walaupun jasmani ini, Māgandiya, adalah penyakit, tumor, anak panah, bencana, dan penderitaan, namun dengan merujuk pada jasmani ini engkau mengatakan: “‘Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu.’ Engkau tidak memiliki penglihatan mulia, Māgandiya, yang dengannya engkau dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.”

22. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, namun dengan obat itu penglihatan orang itu tidak muncul atau tidak menjadi murni. Bagaimana menurutmu, Māgandiya, apakah tabib itu mendapatkan kelelahan dan kekecewaan?”“Benar, Guru Gotama.”“Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin tidak mengetahui kesehatan atau tidak melihat Nibbāna, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan Aku.” [511]

23. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknyaobat pembuat muntah dan pencahar, salep dan salep-anti, dan terapi hidungdan dengan obat-obatan itu penglihatan orang itu muncul dan menjadi murni. Bersamaan dengan munculnya penglihatannya, keinginan dan kesukaannya pada kain usang yang kotor itu menjadi ditinggalkan; kemudian ia mungkin terbakar oleh kemarahan dan permusuhan terhadap orang itu dan mungkin berpikir bahwa orang itu harus dibunuh sebagai berikut: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh orang itu dengan kain usang yang kotor ini ketika ia memberitahukan kepadaku: “Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.”’

24. “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna. Bersamaan dengan munculnya penglihatanmu, keinginan dan nafsumu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dapat ditinggalkan. Kemudian mungkin engkau akan berpikir: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh pikiran ini. Karena ketika melekat, aku telah melekat hanya pada bentuk materi, aku telah melekat hanya pada perasaan, aku telah melekat hanya pada bentukan-bentukan, aku telah melekat hanya pada kesadaran.  Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka muncul pula penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncul pula kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, [512] dan keputusasaan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

25. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat bangkit dari tempat duduk ini dengan kebutaanku menjadi sembuh.’”

“Maka, Māgandiya, bergaullah dengan orang-orang sejati. Ketika engkau bergaul dengan orang-orang sejati, maka engkau akan mendengarkan Dhamma sejati. Ketika engkau mendengarkan Dhamma sejati, maka engkau akan berlatih sesuai dengan Dhamma sejati. Ketika engkau berlatih sesuai dengan Dhamma sejati, maka engkau akan mengetahui dan melihat untuk dirimu sendiri sebagai berikut: ‘Ini adalah penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah; tetapi di sini penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah itu lenyap tanpa sisa. [ ]Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

26. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

27. “Māgandiya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.” [513]

28. “Kemudian Pengembara Māgandiya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Māgandiya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Māgandiya menjadi salah satu di antara para Arahant.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #52 on: 02 February 2011, 10:14:08 PM »
titipan Mayvise

82 Raṭṭhapāla Sutta
Tentang Raṭṭhapāla

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kuru bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di suatu pemukiman Kuru bernama Thullakoṭṭhita.

2. Para brahmana perumah tangga di Thullakoṭṭhita mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kuru [55] bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Thullakoṭṭhita. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Thullakoṭṭhita pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma.

4. Pada saat itu, seorang anggota keluarga bernama Raṭṭhapāla, putra seorang kepala suku di Thullakoṭṭhita itu, sedang duduk di tengah-tengah pertemuan itu. [ ]Kemudian ia berpikir: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

5. Kemudian para brahmana perumah tangga Thullakoṭṭhita, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau. Mereka bangkit dari duduk [56], dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

6. Segera setelah mereka pergi, Raṭṭhapāla mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Yang Mulia, aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

“Apakah engkau telah diizinkan oleh orang tuamu, Raṭṭhapāla, untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

“Belum, Yang Mulia, aku belum diizinkan oleh orang tuaku.”

“Raṭṭhapāla, Tathāgata tidak memberikan pelepasan keduniawian kepada siapa pun yang belum mendapatkan izin orang tuanya.”

7. Kemudian Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Ia menghadap orang tuanya dan memberi tahu mereka: “Ibu dan ayah, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Ketika ia mengatakan hal ini, orang tuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Anakku Raṭṭhapāla. [ ][57] Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya anggota keluarga Raṭṭhapāla berkata kepada orang tuanya: “Ibu dan ayah … izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orang tuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Kemudian, karena tidak menerima izin dari orang tuanya untuk meninggalkan keduniawian, anggota keluarga Raṭṭhapāla berbaring di lantai, dan berkata: “Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.” [58]

8. Kemudian orang tua Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Anakku Raṭṭhapāla. Bangunlah, Anakku Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Kami tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orang tuanya berkata kepadanya: ‘Anakku Raṭṭhapāla … jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Untuk ke tiga kalinya, Raṭṭhapāla berdiam diri.

9. Kemudian orang tua Raṭṭhapāla mendatangi teman-temannya dan berkata: “Anak-anak, Raṭṭhapāla berbaring di lantai, setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.’ Marilah, Anak-anak, datangilah Raṭṭhapāla dan katakan kepadanya: ‘Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putra tunggal orang tuamu … Bangunlah, Teman Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu … [59] bagaimana mungkin orang tuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?’”

10. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putra tunggal orang tuamu, yang disayangi dan dicintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Sahabat Raṭṭhapāla. Bangunlah, Sahabat Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Orang tuamu tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, mereka tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya teman-temannya berkata kepadanya: “Teman Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Untuk ke tiga kalinya Raṭṭhapāla berdiam diri.

11. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatangi orang tuanya dan berkata kepada mereka: “Ibu dan ayah, Raṭṭhapāla berbaring di lantai setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau [60] menerima pelepasan keduniawian.’ Sekarang jika kalian tidak mengizinkannya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, ia akan mati di sana. Tetapi jika kalian mengizinkannya, kalian akan melihatnya lagi setelah ia meninggalkan keduniawian. Dan jika ia tidak menikmati pelepasan keduniawian, apa lagi yang dapat ia lakukan selain kembali ke sini? Jadi, izinkanlah ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Kalau begitu, Anak-anak, kami mengizinkan Raṭṭhapāla meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika ia telah meninggalkan keduniawian, ia harus mengunjungi orang tuanya.”

Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Bangun, Teman Raṭṭhapāla. Orang tuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika engkau telah meninggalkan keduniawian, engkau harus mengunjungi orang tuamu.”
« Last Edit: 02 February 2011, 10:18:12 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #53 on: 02 February 2011, 10:24:30 PM »
12. Kemudian Raṭṭhapāla bangun, dan ketika ia telah memulihkan kekuatannya, ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, aku telah mendapatkan izin dari orang tuaku untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sudilah Sang Bhagavā memberikan pelepasan keduniawian kepadaku.” Kemudian Raṭṭhapāla menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh.

13. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā, setelah menetap di Thullakoṭṭhita selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī, dan di sana [61] Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

14. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Raṭṭhapāla, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [ ]Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Raṭṭhapāla menjadi salah satu di antara para Arahant.

15. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, aku ingin mengunjungi orang tuaku, jika Sang Bhagavā mengizinkan.”

Kemudian Sang Bhagavā dengan pikiran-Nya menembus pikiran Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ketika Beliau mengetahui bahwa Raṭṭhapāla tidak mungkin lagi meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah, Beliau berkata: “Engkau boleh pergi, Raṭṭhapāla.”

16. [ ]Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubahnya, ia pergi menuju Thullakoṭṭhita. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di Thullakoṭṭhita. Di sana ia menetap di Thullakoṭṭhita di Kebun Migācira Raja Koravya. Kemudian, pada pagi harinya, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Thullakoṭṭhita untuk menerima dana makanan. Ketika berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Thullakoṭṭhita, ia sampai di rumah ayahnya sendiri.

17. Pada saat itu, ayah dari Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang duduk di aula di pintu tengah setelah merapikan rambutnya. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Raṭṭhapāla, ia berkata: “Putra tunggal kami, yang kami sayangi dan cintai, telah meninggalkan keduniawian gara-gara para petapa gundul ini.” [62] Kemudian di rumah ayahnya sendiri Yang Mulia Raṭṭhapāla tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus; melainkan ia menerima hinaan.

18. Kemudian seorang budak perempuan milik salah satu sanak saudaranya sedang membuang bubur basi. Melihat hal ini, Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Saudari, jika makanan itu hendak dibuang, buanglah ke dalam mangkukku ini.”

Ketika ia melakukan hal itu, ia mengenali ciri-ciri tangan, kaki, dan suaranya. Kemudian ia mendatangi sang ibu dan berkata: “Untuk engkau ketahui, Nyonya, bahwa putra majikanku, Raṭṭhapāla, telah datang.”

“Astaga! Jika apa yang engkau katakan benar, maka engkau tidak akan menjadi budak lagi!”

Kemudian ibu Yang Mulia Raṭṭhapāla mendatangi sang ayah dan berkata: Untuk engkau ketahui, Perumah tangga, bahwa sang anggota keluarga, Raṭṭhapāla, telah datang.”

19. Saat itu Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang memakan bubur basi di dekat tembok di suatu tempat berteduh. Ayahnya mendatanginya dan berkata: “Raṭṭhapāla, anakku, tentu saja ada … dan engkau memakan bubur basi! [ ]Apakah itu bukan rumahmu untuk engkau kunjungi?”

“Bagaimana mungkin kami memiliki rumah, Perumah tangga, jika kami telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah? Kami tidak memiliki rumah, Perumah tangga. Kami mendatangi [63] rumahmu, namun kami tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus di sana; sebaliknya kami hanya menerima hinaan.”

“Marilah, Anakku Raṭṭhapāla, [ ]mari masuk ke rumah.”

“Cukup, Perumah tangga, aku sudah selesai makan hari ini.”

“Kalau begitu, Anakku Raṭṭhapāla, sudilah menerima makanan besok.” Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima dengan berdiam diri.

20. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Yang Mulia Raṭṭhapāla telah menerima, ayahnya pulang ke rumahnya di mana ia meletakkan uang-uang emas dan perak dalam tumpukan besar dan menutupinya dengan kain. Kemudian ia menyuruh para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Kemarilah, Menantu, hiaslah dirimu dengan perhiasan-perhiasan agar Raṭṭhapāla melihatmu sangat cantik dan menarik.”

21. Ketika malam telah berlalu, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla mempersiapkan berbagai jenis makanan di rumahnya dan mengumumkan waktunya kepada Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Sudah waktunya, Anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

22. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Raṭṭhapāla merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi ke rumah ayahnya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian ayahnya membuka tumpukan uang emas dan perak itu dan berkata: “Anakku Raṭṭhapāla, ini adalah kekayaan dari pihak ibumu; kekayaan dari pihak ayahmu adalah tumpukan yang lain, dan kekayaan leluhurmu adalah tumpukan yang lain lagi. Anakku Raṭṭhapāla, engkau dapat menikmati kekayaan dan melakukan perbuatan baik. Marilah, Anakku, [64] tinggalkanlah latihan dan kembalilah ke kehidupan rendah, nikmatilah kekayaan dan melakukan perbuatan baik.”

“Perumah tangga, jika engkau sudi menuruti nasihatku, maka muatlah tumpukan uang emas dan perak ini ke dalam kereta dan bawalah untuk dibuang di tengah arus Sungai Gangga. Mengapakah? Karena, Perumah tangga, dikarenakan benda-benda ini, akan muncul padamu dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan.”

23. Kemudian para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla memeluk kakinya dan berkata kepadanya: “Bagaimanakah rupa mereka, Putra junjunganku, para bidadari yang karena mereka engkau menjalani kehidupan suci?”

“Kami tidak menjalani kehidupan suci demi bidadari, Saudari-saudari.”

Putra junjungan kami, Raṭṭhapāla, memanggil kami ‘saudari-saudari,’” mereka menangis dan jatuh pingsan di sana.

24. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepada ayahnya: “Perumah tangga, jika ada makanan yang hendak diberikan, maka berikanlah. Jangan menyusahkan kami.”

“Makanlah, Anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

Kemudian, dengan tangannya sendiri, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla melayaninya dengan berbagai makanan baik. Ketika Yang Mulia Raṭṭhapāla telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, ia berdiri dan mengucapkan syair ini:

25.    “Lihatlah sebuah boneka di sini didandani,
   Sebuah tubuh yang dibangun dari luka,
   Sakit, suatu objek keprihatinan,
   Di mana tidak ada kestabilan di dalamnya.

   Lihatlah sesosok patung di sini didandani
   Dengan perhiasan dan anting-anting juga,
   Kerangka tulang-belulang yang dibungkus kulit,
   Dibuat menarik oleh pakaiannya.

   Kakinya dihias dengan warna kemerahan
   Dan bedak ditaburkan di wajahnya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang. [65]

   Rambutnya dihias dalam delapan kepangan
   Dan salep dioleskan di matanya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Tubuh kotor yang dihias indah
   Bagaikan kendi salep yang baru dicat:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Pemburu rusa memasang perangkap
   Tetapi sang rusa tidak terjebak;
   Kami memakan umpan dan sekarang pergi
   Meninggalkan si pemburu yang meratap.”

--------------
Bersambung

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #54 on: 03 February 2011, 12:40:35 PM »
Lanjutan 82 Raṭṭhapāla Sutta
--------------------------------

26. Setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla berdiri dan mengucapkan syair ini, ia pergi ke Kebun Migācira Raja Koravya dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

27. Kemudian Raja Koravya berkata kepada penjaga kebun sebagai berikut: “Penjaga kebun, bersihkan Kebun Migācira agar kami dapat pergi ke kebun rekreasi untuk melihat tempat yang menyenangkan.”“Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika ia sedang membersihkan Kebun Migācira, si penjaga kebun melihat Yang Mulia Raṭṭhapāla duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika ia melihatnya, ia mendatangi Raja Koravya dan memberitahunya: “Baginda, Kebun Migācira telah dibersihkan. Raṭṭhapāla ada di sana, putra seorang kepala suku terkemuka di Thullakoṭṭhita ini, yang sering engkau puji, [ ]ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

“Kalau begitu, Penjaga kebun, cukuplah dengan kebun rekreasi untuk hari ini. Sekarang kami akan pergi memberi penghormatan kepada Guru Raṭṭhapāla itu.”

28. Kemudian, dengan berkata: “Bagikanlah semua makanan yang telah dipersiapkan di sana,” Raja Koravya mempersiapkan sejumlah kereta, dan mengendarai salah satunya, dengan disertai oleh banyak kereta, ia pergi keluar dari Thullakoṭṭhita dengan kemegahan penuh seorang raja untuk menemui Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki bersama dengan para menterinya menuju tempat di mana Yang Mulia Raṭṭhapāla berada. [66] Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Raṭṭhapāla, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Ini adalah permadani kulit gajah. Silakan Guru Raṭṭhapāla duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda. Duduklah, aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

Raja Koravya duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata:

29. “Guru Raṭṭhapāla, ada empat jenis kehilangan. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini? Yaitu kehilangan karena penuaan, kehilangan karena penyakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara.

30. “Dan apakah kehilangan karena penuaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau untuk menambah kekayaan yang telah diperoleh. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penuaan itu, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penuaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apa pun karena penuaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

31. “Dan apakah kehilangan karena penyakit? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi sakit, menderita, dan sakit parah. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sakit, menderita, dan sakit parah. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [67] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penyakit itu … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penyakit. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini bebas dari penyakit dan kesakitan; ia memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, melainkan sedang. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apa pun karena penyakit. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

32. “Dan apakah kehilangan kekayaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang yang kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaannya menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: [“]Sebelumnya aku kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaanku menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan kekayaan … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan kekayaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan kekayaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

33. “Dan apakah kehilangan sanak saudara? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: [“]Sebelumnya aku memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [68] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan sanak saudara … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan sanak saudara. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan sanak saudara mana pun. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

34. “Guru Raṭṭhapāla, ini adalah empat jenis kehilangan itu. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami salah satu dari empat ini. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

35. “Baginda, ada empat ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini?

36. (1) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’:  ini adalah ringkasan pertama dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

(2) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung’:  ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(3) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’:  ini adalah ringkasan ke tiga dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(4) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan’:  ini adalah ringkasan ke empat dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

37. “Baginda, ini adalah ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. [69] Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

38. “Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Ketika engkau berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, apakah engkau adalah seorang penunggang gajah yang mahir, seorang penunggang kuda yang mahir? Seorang kusir kereta yang mahir? Seorang pemanah mahir, seorang pemain pedang yang mahir, dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur?”

“Ketika aku berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, Guru Raṭṭhapāla, aku adalah seorang penunggang gajah yang mahir …[ ]dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur. Bahkan kadang-kadang aku berpikir bahwa aku memiliki kekuatan super. Aku tidak melihat seorang pun yang dapat menyamaiku dalam hal kekuatan.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau sekarang memiliki tangan dan kaki yang sama kuatnya, sama kekarnya dan sama mampunya untuk bertempur?”

“Tidak, Guru Raṭṭhapāḷa. Sekarang aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan; umurku sudah delapan puluh tahun. Kadang-kadang aku bermaksud meletakkan kakiku di sini, namun aku meletakkannya di tempat lain.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

« Last Edit: 03 February 2011, 12:54:26 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #55 on: 03 February 2011, 02:11:55 PM »
39. “Guru Ratthapāla, ada di kerajaan ini pasukan gajah dan pasukan berkuda, pasukan kereta dan pasukan pejalan kaki, yang akan mengatasi segala ancaman untuk kita. [70] Sekarang Guru Ratthapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau memiliki penyakit kronis?”

“Aku memiliki penyakit masuk angin kronis, Guru Raṭṭhapāla. Kadang-kadang teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, berdiri di sekelilingku, berpikir: [“]Sekarang Raja Koravya akan mati, sekarang Raja Koravya akan mati!’”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Dapatkah engkau memerintahkan teman-teman dan sahabatmu, sanak saudara dan kerabatmu: ‘Marilah, Teman-teman dan sahabatku, Sanak saudara dan kerabatku, semua kalian yang hadir di sini, ambillah sebagian perasaan sakit ini agar perasaan sakit ini menjadi berkurang’? Atau apakah engkau harus merasakan sakit itu sendiri?”

“Aku tidak dapat memerintahkan teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku demikian, Guru Raṭṭhapāla. Aku harus merasakan sakit itu sendiri.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung[.]’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

40. “Guru Raṭṭhapāla, ada di kerajaan ini uang-uang emas dan perak yang berlimpah yang tersimpan dalam gudang-gudang harta dan lumbung-lumbung. Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Engkau sekarang [71] menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria, tetapi apakah engkau dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang: ‘Semoga aku dapat menikmati dan memiliki kelima utas kenikmatan indria yang sama ini’? atau apakah orang lain akan mengambil-alih harta ini, sementara engkau harus berlanjut sesuai dengan perbuatanmu?”

“Aku tidak dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang, Guru Raṭṭhapāla. Sebaliknya, orang lain akan mengambil-alih harta ini sementara aku harus berlanjut sesuai dengan perbuatanku.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

41. “Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menguasai Negeri Kuru yang kaya ini?”

“Benar, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari timur dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari timur, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya, berpenduduk padat dan ramai oleh orang-orang. Terdapat banyak pasukan gajah di sana, banyak pasukan berkuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kaki; ada banyak gading di sana, dan banyak uang-uang emas dan perak, baik yang telah diolah maupun belum diolah, dan banyak perempuan untuk dijadikan istri. Dengan kekuatanmu yang sekarang engkau dapat menaklukkannya. Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?” [72]

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari barat … dari utara … dari selatan … dari seberang samudra dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari seberang samudra, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya … Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?”

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan[.]’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

42. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Raṭṭhapāla. Dan setelah mengatakan hal itu, ia berkata lebih lanjut:

   “Aku melihat orang-orang kaya di dunia ini, yang masih
   Karena kebodohan tidak memberikan harta yang mereka kumpulkan.
   Dengan serakah mereka menimbun kekayaan mereka
   Masih menginginkan kenikmatan indria yang lebih jauh lagi.

   Seorang raja yang telah menaklukkan bumi ini secara paksa
   Dan menguasai negeri yang dibatasi oleh samudera
   Namun masih tidak puas dengan pantai sebelah sini
   Dan lapar akan pantai seberang juga. [73]

   Sebagian besar orang juga, bukan hanya seorang raja,
   Menemui kematian dengan keinginan tidak mereda;
[Dengan rencana-rencana] yang masih belum terlaksana mereka meninggalkan jasad
Keinginan masih tetap tidak terpuaskan di dunia ini.

Sanak saudaranya meratap dan menjambak rambut mereka,
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
Mereka membawa jasad yang terbungkus kain pembungkus mayat
Untuk meletakkannya di atas tumpukan kayu bakar dan membakarnya di sana.

Dengan berpakaian kain pembungkus mayat, ia meninggalkan harta kekayaannya.
Didorong dengan tongkat kayu, ia terbakar [di atas tumpukan kayu bakar]
Dan ketika ia mati, tidak ada sanak saudara atau teman-teman
Yang dapat memberikannya naungan dan perlindungan di sini.

Sementara keturunannya mengambil alih harta kekayaannya, makhluk ini
Harus berlanjut sesuai dengan perbuatannya;
Dan ketika ia mati, tak seorang pun yang dapat mengikutinya;
Tidak anak atau istri atau harta kekayaan ataupun kerajaan.

Usia panjang tidak diperoleh melalui harta kekayaan
Juga kemakmuran tidak dapat menghalau usia tua;
Hidup ini singkat, seperti yang dikatakan oleh semua orang bijaksana,
Tidak mengenal keabadian, hanya perubahan.

Yang kaya dan yang miskin sama-sama akan merasakan sentuhan [Kematian],
Yang dungu dan yang bijaksana juga akan merasakannya;
Tetapi sementara si dungu terbentur oleh kedunguannya,
si bijaksana tidak gemetar akan sentuhannya.

Kebijaksanaan adalah lebih baik di sini daripada harta kekayaan,
Karena dengan kebijaksanaan seseorang mencapai tujuan akhir.
Karena orang-orang melalui kebodohan melakukan perbuatan-perbuatan jahat
Sementara gagal mencapai tujuan dalam kehidupan demi kehidupan.

Ketika seseorang memasuki rahim dan alam berikutnya,
Memperbarui lingkaran kelahiran berikutnya,
Yang lain dengan sedikit kebijaksanaan, karena memercayainya,
Juga memasuki rahim dan alam berikutnya. [74]

Bagaikan seorang perampok yang tertangkap dalam perampokan
Mengalami penderitaan karena perbuatan jahatnya,
Demikian pula orang-orang setelah kematian, di alam berikutnya,
Mengalami penderitaan karena perbuatan-perbuatan jahatnya.

Kenikmatan indria, bervariasi, manis, menyenangkan,
Dalam berbagai cara mengganggu pikiran:
Melihat bahaya dalam ikatan indria ini
Aku memilih menjalani kehidupan tanpa rumah, O, Baginda.

Bagaikan buah yang jatuh dari pohonnya, demikian pula orang-orang,
Baik muda maupun tua, jatuh ketika jasmani ini hancur.
Melihat hal ini juga, O, Baginda, aku meninggalkan keduniawian:
Kehidupan pertapaan adalah jaminan yang lebih baik.”


ko indra, "woe" diartikan sbg aku?  :-?
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
'Oh woe, our loved one is dead,' they cry.

[at]  Sis Mayvise, utk yg font ungu saya rasa ga mslh
se·men·ta·ra 1 p selama; selagi: -- menunggu kedatangan Ayah, Ibu merenda taplak meja;
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #56 on: 03 February 2011, 02:27:48 PM »
ko indra, "woe" diartikan sbg aku?  :-?
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
'Oh woe, our loved one is dead,' they cry.


sumber darimana tuh yg mengandung kata "woe"? mungkin perlu saya bocorkan sekali lagi bahwa saya menerjemahkan dari sumber buku Majjhima Nikaya terjemahan Bhikkhu Bodhi, bukan yg lain, di halaman brp terdapat kalimat itu?

menurut sumber terjemahan saya sebagai berikut:

Crying, "Ah, me! Alas! Our love is dead!"

silahkan membandingkan dengan sumber lain tetapi mohon agar tidak dikonfrontasikan. atau alternatif lain, silahkan menerjemahkan ulang secara keseluruhan dari sumber lain tersebut. karena takutnya, dengan membandingkan hanya 1 kalimat dari berbagai sumber akan membuat keseluruhan sutta menjadi tidak konsisten
« Last Edit: 03 February 2011, 02:34:24 PM by Indra »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #57 on: 03 February 2011, 03:02:58 PM »
Setau saya, kalo kata "orang tua" yang merujuk pada ayah-ibu, harusnya digabung jadi "orangtua". Kalo dipisah jadi "orang tua", artinya orang yang sudah tua?

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #58 on: 03 February 2011, 03:31:52 PM »
Setau saya, kalo kata "orang tua" yang merujuk pada ayah-ibu, harusnya digabung jadi "orangtua". Kalo dipisah jadi "orang tua", artinya orang yang sudah tua?

mnrt KBBI online:
orang n
-- tua 1 ayah ibu kandung; 2 (orang tua) orang yg dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb); orang-orang yg dihormati (disegani) di kampung; tetua
jadi penulisan kata "orang tua" dgn dipisah ada 2 arti.

ada jg yg di pedoman EYD, lihat di bagian Kata yg sering salah dieja
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_ejaan_dan_penulisan_kata#Gabungan_kata_yang_ditulis_serangkai
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #59 on: 03 February 2011, 06:16:15 PM »
77  Mahāsakuludāyi Sutta
Khotbah Panjang kepada Sakuludāyin

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, sejumlah para pengembara terkenal sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembarayaitu, Annabhāra, Varadhara, dan Pengembara Sakuludāyin, serta para pengembara terkenal lainnya.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu, Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut, dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) [2] … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini. Kemudian Pengembara Sakuludāyin dari jauh melihat kedatangan Sang Bhagavā. Melihat Beliau, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang Petapa Gotama. Yang Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

5. Sang Bhagavā mendatangi Petapa Sakuludāyin yang berkata kepadanya: “Silakan Sang Bhagavā datang! Selamat datang, Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silakan Sang Bhagavā duduk; tempat duduk telah tersedia.”

Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan, dan Pengembara Sakuludāyin mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Belakangan ini, Yang Mulia, ketika para petapa dan brahmana dari berbagai sekte berkumpul bersama dan duduk bersama dalam aula perdebatan, topik berikut ini muncul: ‘Suatu keuntungan bagi penduduk Anga dan Magadha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Anga dan Magadha bahwa para petapa dan brahmana ini, para pemimpin sekte, pemimpin kelompok, para guru dari kelompok-kelompok, pendiri sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada Pūraṇa Kassapa ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada juga Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, [3] pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Juga ada Petapa Gotama ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Sekarang di antara para petapa dan brahmana mulia ini, para pemimpin sekte ini … yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, siapakah yang yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya? Dan bagaimanakah, menghormati dan menghargainya, apakah mereka hidup dengan bergantung padanya?’

“Kemudian beberapa orang berkata sebagai berikut: ‘Pūraṇa Kassapa ini adalah pemimpin suatu kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, tetapi ia tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Pūraṇa Kassapa sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu membuat keributan sebagai berikut: “Tuan-tuan, jangan mengajukan pertanyaan ini kepada Pūraṇa Kassapa. Ia tidak mengetahui hal itu. Kami mengetahuinya. Tanyakanlah kepada kami pertanyaan itu. Kami akan menjawabnya untuk kalian, Tuan-tuan.” Yang terjadi adalah Pūraṇa Kassapa tidak memperoleh cara, walaupun ia melambaikan tangannya dan berteriak: “Diamlah, Tuan-tuan, jangan berisik, Tuan-tuan. Mereka tidak bertanya kepada kalian. Mereka bertanya kepada kami. Kami akan menjawab mereka.” Sesungguhnya, banyak para siswanya meninggalkannya setelah membantah doktrinnya sebagai berikut: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Jalanmu salah. Jalanku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal, engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir, engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan begitu saksama telah diputarbalikkan. Doktrinmu telah dibantah. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lebih baik lagi, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Demikianlah Pūraṇa Kassapa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’ [4]

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte … [tetapi ia] tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Petapa Gotama ini adalah pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya [ ]hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu berdeham. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya [untuk mengisyaratkan]: [5] “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendeham dari para siswa-Nya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Seperti halnya seseorang dipersimpangan jalan memeras madu murni dan sekelompok besar orang tenang dengan pengharapan, demikian pula, ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendeham dari para siswa-Nya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Dan bahkan para siswa yang berselisih dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dan meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendahmereka bahkan memuji Sang Guru dan Dhamma dan Sangha; mereka menyalahkan diri sendiri, bukan menyalahkan orang lain, dengan mengatakan: “Kami tidak beruntung, kami memiliki jasa yang tidak mencukupi; karena walaupun kami telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma yang telah dinyatakan dengan sempurna demikian, namun kami tidak mampu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama sisa hidup kami.” Setelah menjadi pelayan vihara atau umat awam, mereka menerima dan menjalankan lima peraturan. Demikianlah Petapa Gotama dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswa-Nya, dan para siswa-Nya [ ]hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya.’”

7. “Tetapi, Udāyin, berapa banyakkah kualitas yang engkau lihat dalam diri-Ku yang karenanya para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku?”

8. “Yang Mulia, aku melihat lima kualitas dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya. Apakah lima ini? Pertama, Yang Mulia, Sang Bhagavā makan sedikit dan memuji makan sedikit; ini kulihat sebagai kualitas pertama dari Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya. [6] Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah; ini kulihat sebagai kualitas ke dua Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan; ini kulihat sebagai kualitas ke tiga Sang Bhagavā … Sang Bhagavā puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal; ini kulihat sebagai kualitas ke empat Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā terasing dan memuji keterasingan; ini kulihat sebagai kualitas ke lima Sang Bhagavā … Yang Mulia, ini adalah lima kualitas yang kulihat dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #60 on: 03 February 2011, 06:51:56 PM »
9. “Misalkan, Udāyin, para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Sekarang ada siswa-siswa-Ku yang hidup dari secangkir atau setengah cangkir makanan, sebanyak sebutir buah bilva atau setengah butir buah bilva, [7] sementara Aku kadang-kadang memakan semangkuk penuh atau bahkan lebih. Jadi, jika siswa-siswa-Ku menghormati-Ku … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Maka siswa-siswa-Ku itu yang hidup dari secangkir makanan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakan-Ku, dan juga hidup dengan tidak bergantung pada-Ku, dengan tidak menghormati dan tidak menghargai-Ku.

“Misalkan, Udāyin, para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Sekarang ada siswa-siswa-Ku yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar; mereka mengumpulkan potongan kain dari tanah pekuburan, dari tumpukan sampah, atau dari toko-toko, mereka membuatnya menjadi jubah bertambalan. Tetapi Aku kadang-kadang mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh para perumah tangga, jubah yang begitu halus sehingga sebagai perbandingan, bulu labu menjadi terasa kasar. Jadi, jika siswa-siswa-Ku menghormati-Ku … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Maka siswa-siswa-Ku yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakan-Ku, dan juga hidup dengan tidak bergantung pada-Ku, dengan tidak menghormati dan tidak menghargai-Ku.

“Misalkan, Udāyin, para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Sekarang ada siswa-siswa-Ku yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan, yang berjalan menerima dana makanan dari rumah ke rumah tanpa terputus, yang bergembira dalam mengumpulkan dana makanan mereka; ketika mereka memasuki rumah-rumah itu mereka bahkan tidak akan menerima jika diundang untuk duduk. Tetapi Aku kadang-kadang makan pada undangan makan yang terdiri dari nasi pilihan [8] dan banyak kuah dan kari. Jadi, jika siswa-siswa-Ku menghormati-Ku … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Maka siswa-siswa-Ku yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakan-Ku, dan juga hidup dengan tidak bergantung pada-Ku, dengan tidak menghormati dan tidak menghargai-Ku.

“Misalkan, Udāyin, para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Sekarang ada siswa-siswa-Ku yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka, yang tidak menggunakan atap selama delapan bulan [dalam setahun]. Sementara Aku kadang-kadang menetap di istana berkubah yang diplester bagian dalam dan luarnya, terlindung dari angin, diamankan dengan pasak pintu, dengan jendela berpenutup. Jadi, jika siswa-siswa-Ku menghormati-Ku … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Maka siswa-siswa-Ku yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakan-Ku, dan juga hidup dengan tidak bergantung pada-Ku, dengan tidak menghormati dan tidak menghargai-Ku.

“Misalkan, Udāyin, para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ Sekarang ada siswa-siswa-Ku yang menetap di hutan, yang bertempat tinggal di tempat terpencil, yang bertempat tinggal di hutan-belantara terpencil dan kembali ke tengah-tengah Sangha sekali setiap setengah bulan untuk membacakan Pātimokkha. Tetapi Aku kadang-kadang menetap dengan dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki dan perempuan, oleh raja-raja dan para menteri raja, oleh anggota sekte lain dan para siswa mereka. Jadi, jika siswa-siswa-Ku menghormati-Ku … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ [9] Maka siswa-siswa-Ku yang menetap di hutan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakan-Ku, dan juga hidup dengan tidak bergantung pada-Ku, dengan tidak menghormati dan tidak menghargai-Ku.

10. “Akan tetapi, Udāyin, ada lima kualitas yang karenanya para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku. Apakah lima ini?

(I. MORALITAS YANG LEBIH TINGGI)

11. “Di sini, Udāyin, para siswa-Ku menghargai-Ku karena moralitas yang lebih tinggi sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah bermoral, Beliau memiliki kelompok moralitas tertinggi.’ Ini adalah kualitas pertama yang karenanya para siswa-Ku, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku.

(II. PENGETAHUAN DAN PENGLIHATAN)

12. “Kemudian, Udāyin, para siswa-Ku menghargai-Ku karena pengetahuan dan penglihatan-Ku yang mulia sebagai berikut: ‘Ketika Petapa Gotama mengatakan “Aku mengetahui,” Beliau sungguh mengetahui; ketika Beliau mengatakan “Aku melihat,” Beliau sungguh melihat. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung; Beliau mengajarkan Dhamma dengan landasan yang kuat, bukan tanpa landasan yang kuat; Beliau mengajarkan Dhamma dengan sikap yang meyakinkan, bukan dengan sikap yang tidak meyakinkan.’ Ini adalah kualitas ke dua yang karenanya para siswa-Ku, menghargai-Ku …

(III. KEBIJAKSANAAN YANG LEBIH TINGGI)

13. “Kemudian, Udāyin, para siswa-Ku menghargai-Ku karena kebijaksanaan yang lebih tinggi sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah bijaksana, Beliau memiliki kelompok kebijaksanaan tertinggi. Tidaklah mungkin bahwa Beliau tidak meramalkan implikasi dari suatu pernyataan [ ]atau bahwa Beliau tidak mampu membantah dengan logis doktrin-doktrin orang lain yang ada sekarang.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin? Akankah para siswa-Ku, setelah mengetahui dan melihat demikian, datang dan menyela-Ku?”“Tidak, Yang Mulia.”“Aku tidak mengharapkan instruksi dari para siswa-Ku; adalah para siswa-Ku yang senantiasa mengharapkan instruksi dari-Ku. Ini adalah kualitas ke tiga yang karenanya para siswa-Ku, menghargai-Ku …

(IV. EMPAT KEBENARAN MULIA)

14. “Kemudian, Udāyin, ketika para siswa-Ku mengalami penderitaan dan menjadi korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan, mereka mendatangi-Ku dan bertanya tentang kebenaran mulia penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia penderitaan, dan Aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasan-Ku. Mereka bertanya tentang kebenaran mulia asal mula penderitaan … tentang kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan, dan aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasan-Ku. Ini adalah kualitas ke tigaempat [11] yang karenanya para siswa-Ku, menghargai-Ku …

(V. JALAN UNTUK MENGEMBANGKAN KONDISI-KONDISI BERMANFAAT)

(1. Empat Landasan Perhatian)

15. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan empat landasan perhatian. [ ]Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan … Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran … Ia berdiam dengan merenungkjan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(2. Empat Jenis Usaha Benar)

16. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan empat jenis usaha benar. Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul … Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

--------------------
Bersambung *****
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #61 on: 03 February 2011, 07:36:08 PM »
Lanjutan 77  Mahāsakuludāyi Sutta
-----------------------------------------------
(3. Empat Landasan Kekuatan Batin)

17. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat landasan kekuatan batin. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari semangat dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kegigihan dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari [kemurnian] pikiran dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari penyelidilan dan usaha penuh tekad. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(4. Lima Indria)

18. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan lima indria. Di sini [12] seorang bhikkhu mengembangkan indria keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan indria kegigihan … indria perhatian … indria konsentrasi … indria kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(5. Lima Kekuatan)

19. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan lima kekuatan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan kekuatan keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan kekuatan kegigihan … kekuatan perhatian … kekuatan konsentrasi … kekuatan kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(6. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna)

20. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan tujuh faktor penerangan sempurna. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan faktor penerangan sempurna perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor penerangan sempurna penyelidikan-kondisi-kondisi … faktor penerangan sempurna kegigihan … faktor penerangan sempurna kegembiraan … faktor penerangan sempurna ketenangan … faktor penerangan sempurna konsentrasi … faktor penerangan sempurna keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(7. Jalan Mulia Berunsur Delapan)

21. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(8. Delapan Pembebasan)

22. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan delapan pembebasan ini. [ ]Dengan memiliki bentuk materi, seseorang melihat bentuk-bentuk: ini adalah pembebasan pertama. Tidak melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal: ini adalah pembebasan ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah pembebasan ke tiga. [13] Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah pembebasan ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah pembebasan ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah pembebasan ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah pembebasan ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah pembebasan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(9. Delapan landasan Keunggulan)

23. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan delapan landasan keunggulan. [ ]Dengan melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan pertama. [ ]Dengan melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke dua. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tiga. [ ]Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke empat. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau biru; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan [14] ke lima. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau kuning; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke enam. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau merah; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tujuh. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau putih; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(10. Sepuluh Kasiṇa)

24. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan sepuluh landasan kasiṇa. [ ]Seseorang merenungkan kasiṇa-tanah di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Yang lain merenungkan kasiṇa-air … Yang lain merenungkan kasiṇa-api … Yang lain merenungkan kasiṇa-udara … Yang lain merenungkan kasiṇa-biru … Yang lain merenungkan kasiṇa-kuning … Yang lain merenungkan kasiṇa-merah … Yang lain merenungkan kasiṇa-putih … Yang lain merenungkan kasiṇa-ruang … Yang lain merenungkan kasiṇa-kesadaran [15] di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(11. Empat Jhāna)

25. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan empat jhāna. Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. [ ]Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembapan membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

26. “Kemudian, para bhikkhuUdāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingankonsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, [16] dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingankonsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

27. “Kemudian, para bhikkhuUdāyin, dengan lenyapnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

28. “Kemudian, para bhikkhuUdāyin, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikianlah, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [17] yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

------------------
Bersambung *****
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #62 on: 03 February 2011, 08:34:41 PM »
Lanjutan 77  Mahāsakuludāyi Sutta
----------------------------------------

(12. Pengetahuan Pandangan Terang)

29. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk memahami sebagai berikut: [ ]‘Jasmaniku ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidakkekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Misalkan terdapat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: ‘Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk memahami sebagai berikut: ‘Jasmaniku ini … tunduk pada ketidakkekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(13. Jasmani Ciptaan-Pikiran)

30. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Bagaikan seseorang yang mencabut sebatang buluh dari pelepahnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pelepah, ini adalah buluh; pelepah adalah satu hal, buluh adalah hal lainnya; adalah dari pelepah ini buluh itu dicabut’; atau bagaikan seseorang mencabut sebatang pedang dari sarungnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pedang, ini adalah sarungnya; pedang adalah satu hal, sarungnya adalah hal lainnya; adalah dari sarung ini pedang itu dicabut’; [18] atau bagaikan seseorang menguliti seekor ular dari kulitnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah ular, ini adalah kulitnya; ular adalah satu hal, kulitnya adalah hal lainnya; adalah dari kulit ini ular itu dikuliti.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(14. Jenis-jenis Kekuatan Batin)

31. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, mereka menjadi banyak; dari banyak, mereka menjadi satu; mereka muncul dan lenyap; mereka bepergian tanpa rintangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; mereka menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di air; mereka berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, mereka bepergian di angkasa bagaikan burung-burung; dengan tangannya mereka menyentuh bulan dan matahari, begitu kuat dan perkasa; mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Bagaikan seorang pengrajin tembikar yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk tanah liat yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai bentuk kendi yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin gading terampil atau muridnya dapat membuat atau membentuk gading yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai karya seni gading yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk emas yang dipersiapkan dengan baik menjadi segala jenis karya seni emas yang ia inginkan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … [19] … mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(15. Unsur Telinga Dewa)

32. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, suara yang jauh maupun dekat. Bagaikan seorang peniup trompet yang terampil dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan unsur telinga dewa … jauh maupun dekat. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(16. Memahami pikiran makhluk-makhluk lain)

33. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran makhluk lain dengan pikiran mereka sendiri. Mereka memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; mereka memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; mereka memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; mereka memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; mereka memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; mereka memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuanmuda, belia, dan menyukai hiasanketika melihat bayangan wajahnya di sebuah cermin yang bersih cemerlang atau dalam semangkuk air jernih, akan mengetahui jika terdapat noda sebagai berikut: ‘Ada noda,’ [20] atau akan mengetahui jika tidak ada noda sebagai berikut: ‘Tidak ada noda’; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk memahami … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(17. Mengingat Kehidupan Lampau)

34. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu … dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana [21] aku berdiri demikian … berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(18. Mata Dewa)

35. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan mata-dewa … Mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung. [22]

(19. Hancurnya Noda-Noda)

36. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari [ ]dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

37. “Ini, Udāyin, adalah kualitas ke lima yang karenanya para siswa-Ku, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku.

38. “Ini, Udāyin, adalah lima kualitas yang karenanya para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Pengembara Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #63 on: 03 February 2011, 08:38:45 PM »
ko hendra, yg no. 76  Sandaka Sutta ga ada ya? #34, #35, #36 terpost isi sutta no. 77.
begitu jg dgn #41, double post lanjutan no. 79  Cūḷasakuludāyi Sutta
« Last Edit: 03 February 2011, 08:46:17 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #64 on: 03 February 2011, 10:16:34 PM »
78  Samaṇamaṇḍikā Sutta
Samaṇamaṇḍikāputta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta sedang menetap di Taman Mallikā, di aula tunggal Kebun Tinduka untuk perdebatan filosofis, [ ][34] bersama dengan sejumlah besar para pengembara, berjumlah tiga ratus pengembara.

2. Tukang kayu Pañcakanga keluar dari Sāvatthī pada suatu siang hari untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: “Bukan waktu yang [ ]tepat untuk menemui Sang Bhagavā; Beliau masih bermeditasi. Dan bukan waktu yang tepat untuk menemui para bhikkhu yang layak dihormati; mereka masih bermeditasi. Bagaimana jika aku pergi ke Taman Mallikā, mengunjungi Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta?” Dan ia pergi ke Taman Mallikā.

3. Pada saat itu, Pengembara Uggāhamāna sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut, dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini.

Kemudian Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta dari jauh melihat kedatangan si tukang kayu Pañcakanga. Melihatnya, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang si tukang kayu Pañcakanga, seorang siswa Petapa Gotama, salah satu umat awam berpakaian putih dari Petapa Gotama yang menetap di Sāvatthī. Para Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

4. Si tukang kayu Pañcakanga mendatangi Pengembara Uggāhamāna dan saling bertukar sapa dengannya. [24] Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Kemudian Pengembara Uggāhamāna berkata kepadanya:

5. “Tukang kayu, ketika seseorang memiliki empat kualitas, kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi. Apakah empat ini? Di sini ia tidak melakukan perbuatan buruk jasmani, ia tidak mengucapkan ucapan buruk, ia tidak memiliki kehendak yang buruk, dan ia tidak mencari penghidupan dengan segala penghidupan yang buruk. Ketika seseorang memiliki empat kualitas, kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi.

6. Kemudian si tukang kayu Pañcakanga dengan tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata Pengembara Uggāhamāna. Dengan tidak melakukan salah satunya, ia bangkit dari duduknya dan pergi, dengan berpikir: “Aku akan mempelajari makna dari pernyataan ini di hadapan Sang Bhagavā.”

7. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan melaporkan kepada Sang Bhagavā seluruh pembicaraannya dengan Pengembara Uggāhamāna. Kemudian Sang Bhagavā berkata:

8. “Kalau begitu, Tukang kayu, maka seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup adalah terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi, menurut pernyataan Pengembara Uggāhamāna. Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘jasmani’, jadi, bagaimana ia melakukan perbuatan buruk jasmani yang lebih dari sekadar menggeliat? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ucapan’, jadi, bagaimana ia mengucapkan ucapan buruk melebihi rengekan? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kehendak’, jadi, bagaimana ia memiliki kehendak buruk melebihi merajuk? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘penghidupan’, jadi, bagaimana [25] ia bagaimana melakukan penghidupan buruk yang melebihi menyusu pada dada ibunya? Kalau begitu, Tukang kayu, maka seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup adalah terampil dalam apa yang bermanfaat … menurut pernyataan Pengembara Uggāhamāna.

“Ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia bukan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, bukan sempurna dalam apa yang bermanfaat, dan bukan seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi, tetapi sebagai seseorang yang berada dalam kelompok yang sama dengan bayi lembut yang berbaring telungkup itu. Apakah empat ini? Di sini ia tidak melakukan perbuatan buruk jasmani, ia tidak mengucapkan ucapan buruk, ia tidak memiliki kehendak yang buruk, dan ia tidak mencari penghidupan dengan segala penghidupan yang buruk. Ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia bukan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat … tetapi sebagai seseorang yang berada dalam kelompok yang sama dengan bayi lembut yang berbaring telungkup itu.

9. “Ketika seseorang memiliki sepuluh kualitas, Kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi. [Tetapi pertama-tama] Aku katakan, harus dipahami bahwa:  ‘Ini adalah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempraktikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempraktikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kehendak-kehendak tidak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak tidak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ [26] dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempraktikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kehendak-kehendak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempraktikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat.’

10. “Apakah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini? Yaitu perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, dan penghidupan yang buruk. Ini disebut kebiasaan-kebiasaan yang tidak bermanfaat.

“Dan dari manakah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini harus dikatakan berasal-mula dari pikiran. Pikiran apakah? Akan tetapi, pikiran ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada pikiran yang terpengaruh oleh nafsu, oleh kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini seorang bhikkhu meninggalkan perbuatan salah jasmani dan mengembangkan perbuatan baik jasmani, ia meninggalkan perbuatan salah ucapan dan mengembangkan perbuatan baik ucapan; ia meninggalkan perbuatan salah pikiran dan mengembangkan perbuatan baik pikiran; ia meninggalkan penghidupan salah dan mencari nafkah melalui penghidupan benar. [ ]Adalah di sini kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. [27] Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat.

11. “Apakah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini? Yaitu perbuatan jasmani yang bermanfaat, perbuatan ucapan yang bermanfaat, dan pemurnian penghidupan. Ini disebut kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat.

“Dan dari manakah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini harus dikatakan berasal-mula dari pikiran. Pikiran apakah? Akan tetapi, pikiran ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada pikiran yang tidak [ ]terpengaruh oleh nafsu, oleh kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini seorang bhikkhu bermoral, tetapi ia tidak mengidentifikasi diri dengan moralitasnya, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan itu di mana kebiasaan-kebiasaan bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat.

12. “Dan apakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat? Yaitu kehendak keinginan indria, kehendak niat buruk, dan kehendak kekejaman. Ini disebut kehendak-kehendak tidak bermanfaat.

“Dan dari manakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah? Akan tetapi, persepsi ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada persepsi keinginan indria, persepsi niat buruk, dan persepsi kekejaman. Kehendak-kehendak tidak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari [28] kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Adalah di sini kehendak-kehendak tidak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat.

13. “Dan apakah kehendak-kehendak bermanfaat? Yaitu kehendak pelepasan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa-kekejaman. Ini disebut kehendak-kehendak bermanfaat.

“Dan dari manakah kehendak-kehendak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kehendak-kehendak bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah? Akan tetapi, persepsi ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada persepsi pelepasan keduniawian, persepsi tanpa niat buruk, dan persepsi tanpa-kekejaman. Kehendak-kehendak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kehendak-kehendak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran. Adalah di sini kehendak-kehendak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat.

14. “Sekarang, Tukang kayu, kapankah seseorang memiliki sepuluh kualitas, [29] Aku [ ]gambarkan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi? Di sini, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar dari seorang yang melampaui latihan, [ ]kehendak benar dari seorang yang melampaui latihan, ucapan benar dari seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar dari seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar dari seorang yang melampaui latihan, usaha benar dari seorang yang melampaui latihan, perhatian benar dari seorang yang melampaui latihan, konsentrasi benar dari seorang yang melampaui latihan, pengetahuan benar dari seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar dari seorang yang melampaui latihan. Ketika seseorang memiliki sepuluh kualitas ini, Aku gambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tukang kayu Pañcakanga merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

ko indra, sutta 77, no. 9, ada kata "bulu labu", memang begitukah? :-?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #65 on: 04 February 2011, 01:09:51 PM »
79  Cūḷasakuludāyi Sutta
Khotbah Pendek kepada Sakuludāyin

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembara, bersama dengan sejumlah besar para pengembara.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

3-4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, … (seperti Sutta 77, §4-5) [30] … “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

5. “Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Yang Mulia, ketika aku tidak datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Tetapi ketika aku datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini duduk menatapku, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang Petapa Udāyin akan babarkan kepada kami.’ Akan tetapi, ketika [31] Sang Bhagavā datang, maka baik aku maupun pertemuan ini duduk menatap Sang Bhagavā, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang Sang Bhagavā akan babarkan kepada kami.’”

6. “Kalau begitu, usulkanlah sesuatu yang harus Kubicarakan.”

“Yang Mulia, belakangan ini terdapat seseorang yang mengaku sebagai mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada pada-Ku.[”] Ketika aku mengajukan pertanyaan tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Kemudian kegembiraan sehubungan dengan Sang Bhagavā muncul padaku sebagai berikut: ‘Ah, tentu saja adalah Sang Bhagavā, tentu saja Yang Sempurna yang terampil dalam hal-hal ini.’”

“Tetapi, Udāyin, siapakah itu yang mengaku sebagai mahatahu dan maha-melihat … namun ketika diajukan suatu pertanyaan olehmu tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan?

“Ia adalah Nigaṇṭha Nātaputta, Yang Mulia.”

7. “Udāyin, jika seseorang dapat mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... demikianlah, dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaku tentang masa lampau atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa lampau, dan ia akan memuaskan pikiran-Ku dengan jawabannya atas pertanyaan-Ku atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawaban-Ku atas pertanyaannya. Jika seseorang dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin ... dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepada-Ku tentang masa depan [32] atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa depan, dan ia akan memuaskan pikiran-Ku dengan jawabannya atas pertanyaan-Ku atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawaban-Ku atas pertanyaannya. Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.”

8. “Yang Mulia, aku bahkan tidak dapat mengingat apa yang telah aku alami dalam kehidupan ini dengan segala aspek dan ciri-cirinya, jadi, bagaimana mungkin aku mengingat banyak kehidupan lampauku, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, seperti halnya Sang Bhagavā? Dan aku bahkan tidak dapat melihat sesosok hantu-lumpur, jadi, bagaimana mungkin aku dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin ... dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, seperti halnya Sang Bhagavā? Tetapi, Yang Mulia, ketika Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’itu bahkan lebih tidak jelas lagi bagiku. Mungkin, Yang Mulia, aku dapat memuaskan pikiran Sang Bhagavā dengan menjawab pertanyaan tentang doktrin guru kami sendiri.”

9. “Baiklah, Udāyin, apakah yang diajarkan dalam doktrin gurumu sendiri?”

“Yang Mulia, ini diajarkan dalam doktrin guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan  sempurna!’”

“Tetapi, Udāyin, karena diajarkan dalam doktrin guru kalian sendiri: ‘Ini adalah kecemerlangan  sempurna, ini adalah kecemerlangan [ ]sempurna!’Apakah kecemerlangan  sempurna itu?”

“Yang Mulia, kecemerlangan [ ]itu adalah kecemerlangan [ ]sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

“Tetapi, Udāyin, apakah kecemerlangan itu yang yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia?” [33]

“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

10. “Udāyin, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama. Engkau mengatakan: ‘Yang Mulia, kecemerlangan [ ]itu adalah kecemerlangan [ ]sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan [ ]itu. Misalnya seseorang mengatakan: [“]Aku jatuh cinta dengan gadis tercantik di negeri ini.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai ituapakah engkau mengetahui apakah ia berasal dari kasta mulia atau kasta brahmana atau kasta pedagang atau kasta pekerja?’[ ]dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai ituapakah engkau mengetahui nama dan sukunya? ... Apakah ia tinggi atau pendek atau sedang? ... Apakah ia berkulit gelap atau cokelat atau keemasan? ... Di desa atau pemukiman atau kota apakah ia menetap?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Dan kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, kalau begitu, apakah engkau mencintai gadis yang belum engkau kenal dan belum pernah engkau lihat?’ dan ia akan menjawab: ‘Benar.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin, kalau begitu, bukankah kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka?”

“Tentu saja, Yang Mulia, kalau begitu, maka kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka.”

“Tetapi dengan cara yang sama, Udāyin, engkau mengatakan: ‘Kecemerlangan [ ]itu adalah kecemerlangan [ ]sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan [ ]itu.”

11. “Yang Mulia, seperti halnya sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah kecemerlangan diri [yang tetap bertahan] tanpa rusak setelah kematian.”

12. “Bagaimana menurutmu, Udāyin? Permata beryl sebening air yang paling murni ini, yang bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, [34] yang berkilau, bercahaya, dan bersinar, atau seekor kunang-kunang dalam kegelapan malamdari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”“Kunang-kunang dalam kegelapan malam, Yang Mulia.”

13. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, kunang-kunang dalam kegelapan malam ini atau lampu minyak dalam kegelapan malamdari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”“Lampu minyak, Yang Mulia.”

14. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, lampu minyak dalam kegelapan malam atau sebuah api unggun besar dalam kegelapan malamdari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”“Api unggun besar, Yang Mulia.”

15. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam atau bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awandari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”“Bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan, Yang Mulia.”

16. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan atau bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belasdari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas, Yang Mulia.” [35]

17. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas atau matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujandari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”“Matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan, Yang Mulia.”

18. “Di atas ini, Udāyin, Aku mengetahui banyak para dewa [yang cahayanya] tidak dapat ditandingi oleh matahari dan bulan, namun Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada kecemerlangan yang lebih tinggi atau lebih mulia daripada kecemerlangan itu. Tetapi engkau, Udāyin, mengatakan kecemerlangan yang lebih rendah dan lebih hina daripada kecemerlangan kunang-kunang: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna,’ tetapi engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”

19. “Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”

“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru.”

--------------
Bersambung *****
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #66 on: 04 February 2011, 06:35:51 PM »
Lanjutan 77  Mahāsakuludāyi Sutta
-----------------------------------------------
(3. Empat Landasan Kekuatan Batin)

17. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswa-Ku jalan untuk mengembangkan empat landasan kekuatan batin. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari semangat dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kegigihan dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari [kemurnian] pikiran dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari penyelidikan dan usaha penuh tekad. Dan dengan demikian banyak siswa-Ku berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #67 on: 04 February 2011, 07:13:37 PM »
Lanjutan 79  Cūḷasakuludāyi Sutta
-------------------------------------
20. “Bagaimanakah, Udāyin, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’”

21. “Tetapi, Udāyin, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

“Di sini, Yang Mulia, dengan meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup, seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; dengan meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; [36] dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; atau kalau tidak, ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan. Ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

22. “Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup dan menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan … Pada saat ia meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah … Pada saat ia meninggalkan ucapan salah dan menghindari ucapan salah, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Apakah pencapaian alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu terjadi dengan mengikuti jalan yang bercampur antara kenikmatan dan kesakitan?”

23. “Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”

“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’” Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru. Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?” [37]

24. “Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan, Udāyin, ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

25. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dalam jhāna ke tiga … ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, itu bukan cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu; pada titik itu, alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

“Udāyin, pada titik itu, alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

26. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin menjadi ribut, berisik, dan berbicara dengan suara keras: “Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami tidak mengetahui yang lebih tinggi daripada itu!”

Kemudian Pengembara Sakuludāyin menenangkan para pengembara itu dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

27. “Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu tercapai?”

“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat dan ia berbicara kepada mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. [ ]Pada titik ini, alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

28. “Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”

“Bukan demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia [daripada itu] dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.” [38]

“Apakah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia itu, Yang Mulia, yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā?”

29-36. “Di sini, Udāyin, seorang Tathāgata telah muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti sutta 51, §§12-19) … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

37. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Ini, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.

38-40. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.

41. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.

42. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti sutta 51, §25) …. Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti sutta 51, §26) [39] … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

44. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.

“Ini, Udāyin, adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah-Ku.”

45. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sakuludāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

46. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid. Karena jika Guru Udāyin melakukan hal itu, maka itu bagaikan sebuah kendi air yang menjadi cangkir. Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid.”

Demikianlah bagaimana kelompok Pengembara Sakuludāyin menghalanginya menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.

ko indra, yg no. 43 ini "noda-noda" bukan?
‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti sutta 51, §26) [39] … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #68 on: 04 February 2011, 07:50:42 PM »
80 Vekhanassa Sutta
Kepada Vekhanassa

[40] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Pengembara Vekhanassa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar-sapa dengan Beliau. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan di hadapan Sang Bhagavā ia mengucapkan seruan ini:

“Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!”

“Tetapi, Kaccāna, mengapa engkau berkata: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna[!]’? Apakah kecemerlangan sempurna itu?”

“Guru Gotama, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan [ ]sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

“Tetapi, Kaccāna, apakah kecemerlangan itu yang yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia?”

“Guru Gotama, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan [ ]lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

3-11. “Kaccāna, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama … (seperti Sutta 79, §§10-18) … namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan [ ]itu.

12. “Kaccāna, ada lima utas kenikmatan indria ini. [ ]Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan [43] yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

13. “Sekarang, Kaccāna, kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria. Demikianlah kenikmatan indria [muncul] melalui kenikmatan indria, tetapi di luar [ ]kenikmatan indria ini terdapat suatu kenikmatan yang berada di puncak indria, dan itu dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan itu.”

14. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhanassa berkata: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa baiknya hal itu dikatakan oleh Guru Gotama: ‘Demikianlah kenikmatan indria [muncul] melalui kenikmatan indria, tetapi di luar [ ]kenikmatan indria ini terdapat suatu kenikmatan yang berada di puncak indria, dan itu dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan itu.’

“Kaccāna, bagimu yang adalah penganut pandangan lain, yang menerima ajaran lain, yang menyetujui ajaran lain, yang menekuni latihan yang berbeda, yang mengikuti guru yang berbeda, adalah sulit untuk mengetahui apa indriawi itu, atau apa kenikmatan indria itu. Tetapi para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan itu, yang telah menjalani kehidupan suci, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, yang telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhiradalah mereka yang mengetahui apa indriawi itu, apa kenikmatan indria itu, atau apa kenikmatan di puncak indriawi itu.”

15. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhanassa marah dan tidak senang, dan ia mencaci, menghina, dan mencela Sang Bhagavā, dengan mengatakan: “Petapa Gotama akan dikalahkan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Kalau begitu, ada beberapa petapa dan brahmana di sini yang, tanpa mengetahui masa lampau dan tanpa melihat masa depan, namun mengaku: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Apa yang mereka katakan terbukti menggelikan; terbukti hanya kata-kata[,] kosong melompong.”

16. “Jika ada petapa dan brahmana[44], tanpa mengetahui masa lampau dan tanpa melihat masa depan, namun mengaku: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Mereka dapat dibantah secara logika. Sebaliknya, biarkanlah masa lampau, Kaccana, dan biarkanlah masa depan. Silakan seorang bijaksana datang, seorang yang jujur dan tulus, seorang yang bermoral. Aku akan memberinya instruksi, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadanya sedemikian sehingga dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, maka ia akan segera mengetahui dan melihat untuk dirinya sendiri: ‘Demikianlah, sungguh, benar-benar ada kebebasan dari belenggu, yaitu, dari belenggu kebodohan.’ Misalkan, Kaccāna, ada seorang bayi lembut yang berbaring telungkup, terikat oleh belenggu yang kuat [pada keempat tangan dan kakinya] dengan yang ke lima di lehernya; dan kemudian, sebagai akibat dari pertumbuhan dan kematangan indria-indrianya, belenggu itu menjadi kendur, kemudian ia akan mengetahui ‘aku bebas’ dan tidak ada lagi belenggu. Demikian pula, silakan seorang bijaksana datang ... ‘Demikianlah, sungguh, benar-benar ada kebebasan dari belenggu, yaitu, dari belenggu kebodohan.’”

17. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhanassa berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma  ... (seperti Sutta 74, §19) .. agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #69 on: 04 February 2011, 09:59:40 PM »
81  Ghaṭīkāra Sutta
Ghaṭīkāra si Pengrajin Tembikar

[45] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan utama dan, di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyum? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat yang sama ini terdapat sebuah kota niaga bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk dan menasihati Sangha para bhikkhu.”

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda melipat jubahnya menjadi empat, dan menghamparkannya, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Kalau begitu, Yang Mulia, silakan Sang Bhagavā duduk. Dengan demikian tempat ini akan telah digunakan oleh dua Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.”

Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda sebagai berikut:

5. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini terdapat sebuah kota niaga bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk [46] dan menasihati Sangha para bhikkhu.”

6. “Di Vebhalinga, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki seorang penyokong, sebagai penyokong utamanya, seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra, Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar memiliki seorang teman, seorang sahabat, seorang siswa brahmana bernama Jotipāla.

“Suatu hari si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata kepada si murid brahmana Jotipāla sebagai berikut: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, Sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, Sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’‘Kalau begitu, Sahabatku Jotipāla, mari kita membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi.’‘Baiklah,’ Jotipāla menjawab.

7. “Maka si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan murid brahmana Jotipāla membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Jotipāla: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Jotipāla menjawab: ‘Cukup, Sahabatku Ghaṭīkāra, apa [47] gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna ....’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, Sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

8. “Kemudian pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mencengkeram si murid brahmana Jotipāla pada sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Kemudian murid brahmana Jotipāla melepaskan sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Cukup, Sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

9. “Kemudian, ketika murid brahmana Jotipāla telah mencuci kepalanya, si pengrajin tembikar Ghaṭikāra mencengkeramnya pada rambutnya dan berkata: [ ]‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’

“Kemudian si murid brahmana Jotipāla berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bahwa si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra ini, yang berkelahiran rendah, berani mencengkeram rambutku ketika kami telah mencuci kepala kami! Tentu ini bukan persoalan sederhana.’ Dan ia berkata kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra: ‘Engkau melakukan sejauh ini, Sahabatku Ghaṭīkāra?’‘Aku melakukan sejauh ini, Sahabatku Jotipāla; karena aku sangat meyakini [48] bahwa adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna!’‘Kalau begitu, Sahabatku Ghaṭīkāra, lepaskan aku. Mari kita menemui Beliau.’

10. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ghaṭīkāra, setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, sementara Jotipāla saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia juga duduk di satu sisi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadanya.’

“Kemudian Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana dengan pembabaran Dhamma. Di akhir pembabaran itu, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā Kassapa, mereka bangkit dari duduk dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, mereka pergi.

11. “Kemudian Jotipāla bertanya kepada Ghaṭīkāra: ‘Setelah engkau mendengarkan Dhamma ini, Sahabatku Ghaṭīkāra, mengapa engkau tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?‘Sahabatku Jotipāla, tidakkah engkau tahu bahwa aku harus menyokong kedua orang tuaku yang jompo dan buta?’‘Kalau begitu, Sahabatku Ghaṭīkāra, aku akan meninggalkan keduniawian kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

12. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. [ ][49] Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā memberikannya pelepasan keduniawian.’ Dan murid brahmana Jotipāla menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna dan ia menerima penahbisan penuh.

13. “Kemudian tidak lama setelah Jotipāla si murid brahmana menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, setelah menetap di Vebhalinga selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Benares. Dengan mengembara secara bertahap, akhirnya Beliau tiba di Benares, dan di sana Beliau menetap di Taman Rusa Isipatana.

14. “Kemudian Raja Kikī dari Kāsi mendengar: ‘Sepertinya bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah tiba di Benares dan menetap di Taman Rusa di Isipatana.’ Maka ia menyiapkan sejumlah kereta kerajaan, dan dengan mengendarai kereta kerajaan, ia pergi keluar dari Benares dengan segala kemegahan kerajaan untuk menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ia berkendara hingga sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Raja Kikī dari Kāsi dengan pembabaran Dhamma.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #70 on: 04 February 2011, 10:01:12 PM »
15. “Pada akhir pembabaran itu, Raja Kikī dari Kāsi berkata: [50] ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama Sangha para bhikkhu menerima makanan dari-Ku besok.’ Dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menerima dengan berdiam diri. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah menerima, ia bangkit dari duduknya dan setelah bersujud kepada Beliau, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

16. “Kemudian, ketika malam telah berlalu, Raja Kikī dari Kāsi mempersiapkan berbagai jenis makanan di tempat kediamannyaberas merah yang tersimpan dalam ikatan dan beras yg kehitaman dipisahkan, bersama dengan banyak kuah dan karidan ketika waktunya tiba, ia mengumumkan kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, sebagai berikut: ‘Waktunya telah tiba, Yang Mulia, makanan telah siap.’

17. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju kediaman Raja Kikī dari Kāsi dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Raja Kikī dari Kāsi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik hingga kenyang. Ketika Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Raja Kikī dari Kāsi mengambil bangku yang rendah, [ ]duduk di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; akan ada pelayanan kepada Sangha.’‘Cukup, rajaBaginda, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untuk-Ku.’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Raja Kikī dari Kāsi berkata: Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; itu akan sangat membantu Sangha.’‘Cukup, Baginda, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untuk-Ku.’

“Sang raja berpikir: ‘Sang Bhagavā Kassapa, [51] yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,’ dan ia menjadi sangat kecewa dan sedih.

18. “Kemudian ia berkata: ‘Yang Mulia, apakah Engkau memiliki penyokong yang lebih baik daripada aku?[‘]‘Benar, Baginda. Ada sebuah kota niaga yang bernama Vebhalinga di mana seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra menetap. Ia adalah penyokong-Ku, penyokong utama-Ku. Sekarang engkau, Baginda, berpikir: “Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,” dan engkau menjadi sangat kecewa dan sedih; tetapi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra tidak dan tidak akan demikian. Pengrajin tembikar Ghaṭīkāra telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, dan menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan. Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki moralitas yang disukai oleh para mulia. Ia terbebas dari keragu-raguan mengenai penderitaan, mengenai asal-mula penderitaan, mengenai lenyapnya penderitaan, dan mengenai jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ia hanya makan satu kali dalam sehari, ia menjalani kehidupan selibat, ia bermoral, berkarakter baik. Ia telah meninggalkan permata dan emas, ia telah meninggalkan emas dan perak. Ia tidak menggali tanah untuk memperoleh tanah liat dengan alat penggali maupun dengan tangannya sendiri; apa yang runtuh dari tepi sungai atau yang digali oleh tikus-tikus, ia bawa ke rumah dengan menggunakan alat pengangkut; ketika ia telah membuat sebuah kendi, ia berkata: “Silakan [ ]siapa pun yang menginginkannya meletakkan beras pilihan atau biji-bijian pilihan atau kacang pilihan, dan silakan ia mengambil apa pun yang ia inginkan.” [ ]Ia menyokong kedua orang tuanya yang jompo dan buta. [52] Setelah menghancurkan lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang akan muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

19. “‘Pada saat itu, ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Ku, Aku mendatangi kedua orang tua si pengrajin tembikar Ghaṭikāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah[,] si pengrajin tembikar pergi?”“Yang Mulia, penyokongmu telah pergi; tetapi ambillah nasi dari kuali dan kuah dari panci dan makanlah.”

“‘Aku melakukannya dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra menghadap kedua orang tuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil nasi dari kuali dan kuah dari panci, makan dan pergi?”“Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu memercayaiku!” dan kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orang tuanya selama seminggu.

20. “‘Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Ku, Aku mendatangi kedua orang tua si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah[,] si pengrajin tembikar pergi?”“Yang Mulia, penyokongmu telah pergi; tetapi ambillah nasi dari kuali dan kuah dari panci dan makanlah.”

“‘Aku melakukannya [53] dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra menghadap kedua orang tuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil nasi dari kuali dan kuah dari panci, makan dan pergi?”“Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu memercayaiku!” dan kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orang tuanya selama seminggu.

21. “‘Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, gubuk-Ku bocor. Kemudian Aku berkata kepada para bhikkhu: “Pergilah, Para bhikkhu, dan cari apakah ada rerumputan di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.”“Yang Mulia, tidak ada rumput di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra; tetapi ada atap rumput di seluruh bangunan tempat kerjanya.”“Pergilah, Para bhikkhu, dan ambillah rumput dari bangunan tempat kerja si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.”

“‘Mereka melakukan hal itu, kemudian orang tua si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra bertanya kepada para bhikkhu: “Siapakah yang mengambil rumput dari bangunan tempat kerja?”“Saudari, gubuk Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.”“Ambillah, Para mulia, ambillah!”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mendatangi orang tuanya dan bertanya: “Siapakah yang mengambil rumput dari bangunan tempat kerja?”“Para bhikkhu yang melakukannya, Anakku; gubuk [ ]Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu memercayaiku!” dan [54] kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orang tuanya selama seminggu. Kemudian bangunan tempat kerja itu tetap begitu selama tiga bulan dengan langit sebagai atapnya, namun tidak ada turun hujan. Demikianlah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.’

“Adalah suatu keuntungan bagi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra, adalah suatu keuntungan besar baginya bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mengandalkannya.[’]

22. “Kemudian Raja Kikī dari Kāsi mengirimkan kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra sejumlah lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah. Kemudian para utusan raja mendatangi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan berkata: ‘Tuan, ada lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah, dikirimkan kepadamu oleh Raja Kikī dari Kāsi; mohon anda menerimanya.’‘Raja sangat sibuk dan banyak yang harus ia lakukan. Aku sudah memiliki cukup. Biarlah ini untuk sang raja sendiri.’

23. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah si murid brahmana Jotipāla pada saat itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah murid brahmana Jotipāla pada saat itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #71 on: 04 February 2011, 11:21:06 PM »
83  Makhādeva Sutta
Raja Makhādeva

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Mithilā di Hutan Mangga Makhādeva.

2. Kemudian di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyum? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini hiduplah seorang raja bernama Makhādeva. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma. [ ]Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha [75] di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

4. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: ‘Tukang cukur yang baik, jika engkau melihat ada uban yang tumbuh di kepalaku, beri tahukanlah kepadaku.’‘Baik, Baginda,’ ia menjawab. Dan setelah banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, si tukang cukur melihat uban yang tumbuh di kepala Raja Makhādeva. [ ]Ketika ia melihatnya, ia berkata kepada raja: ‘Utusan surgawi telah muncul, Baginda; uban telah terlihat tumbuh di kepala Baginda.’‘Kalau begitu, Tukang cukur yang baik, cabutlah uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan letakkan di telapak tanganku.’‘Baik, Baginda,’ ia menjawab, dan ia mencabut uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan meletakkan di telapak tangan raja.

“Kemudian Raja Makhādeva menganugerahkan sebuah desa kepada tukang cukurnya, dan setelah memanggil pangeran, putra sulungnya, ia berkata: ‘Anakku Pangeran, utusan surgawi telah muncul, [ ]uban telah terlihat tumbuh di kepalaku. Aku telah menikmati kenikmatan indria manusia, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan indria surgawi. Marilah, Anakku Pangeran, ambil-alihlah takhta ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan sekarang, Anakku Pangeran, ketika engkau juga melihat uban tumbuh di kepalamu, maka setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurmu, dan setelah dengan saksama memberikan instruksi kepada pangeran, putra sulungmu, dalam ketakhtaan, cukurlah rambut dan janggutmu, kenakan jubah kuning, dan tinggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan jalani kehidupan tanpa rumah. Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir. Anakku Pangeran, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik iniia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, Anakku Pangeran, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.’

5. “Kemudian, setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurnya dan dengan saksama memberikan instruksi kepada Sang Pangeran, putra sulungnya, dalam ketakhtaan, di dalam Hutan Mangga Makhādeva ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

6. “Selama delapan puluh empat ribu tahun Raja Makhādeva memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun ia bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun ia memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun ia menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

[ ]
7-9. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putra Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “putra Raja Makhādeva” pada seluruh bagian) … [77, 78] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

10. “Keturunan putra Raja Makhādeva hingga berjumlah delapan puluh empat ribu berturut-turut, setelah mencukur rambut dan janggut mereka dan mengenakan jubah kuning, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di Hutan Mangga Makhādeva. Mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih ... penuh belas kasihan ... kegembiraan altruistik ... penuh keseimbangan ... tanpa niat buruk.

11. “Selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka terlahir kembali di alam Brahma.

12. “Nimi adalah yang terakhir dari raja-raja itu. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

13. “Suatu ketika, Ānanda, ketika para Dewa Tiga-Puluh-Tiga [79] mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: ‘Suatu keuntungan, Tuan-tuan, bagi penduduk Videha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Videha bahwa raja mereka Raja Nimi adalah seorang raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

“Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada para Dewa Tiga-Puluh-Tiga: ‘Tuan-tuan, apakah kalian ingin bertemu dengan Raja Nimi?’‘Tuan, kami ingin bertemu dengan Raja Nimi.’

“Pada saat itu, bertepatan pada hari Uposatha hari ke lima belas, Raja Nimi setelah mencuci kepalanya dan naik ke kamar atas di istananya, di mana ia duduk untuk menjalankan Uposatha. Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari antara para Dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di hadapan Raja Nimi. Ia berkata: ‘Suatu keuntungan bagimu, Baginda, suatu keuntungan besar bagimu, Baginda. Ketika para Dewa Tiga Puluh Tiga mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: “Suatu keuntungan, Tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.” Baginda, para dewa ingin bertemu denganmu. Aku akan mengirimkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni untukmu, Baginda. Baginda, naiklah ke kereta surgawi itu tanpa merasa takut.[”]

“Raja Nimi menerima dengan berdiam diri. Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari hadapan Raja Nimi dan muncul di antara para Dewa Tiga-Puluh-Tiga.

14. [ ]“Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada si kusir, Mātali, sebagai berikut: ‘Pergilah, Mātali, siapkan sebuah kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, dan datangi Raja Nimi dan katakan: “Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini [80] tanpa merasa takut.”’

“‘Baik, Yang Mulia,[”] si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, ia mendatangi Raja Nimi dan berkata: ‘Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini tanpa merasa takut. Tetapi, Baginda, melalui jalan manakah aku harus mengantar engkau: melalui jalan di mana para pelaku kejahatan mengalami akibat perbuatan jahat mereka, atau melalui jalan di mana para pelaku kebaikan mengalami akibat perbuatan baik mereka?’‘Antarkan aku melalui kedua jalan itu, Mātali.[”]

15. “Mātali mengantarkan Raja Nimi menuju Aula Sudhamma. Dari kejauhan, Sakka, penguasa para dewa, melihat kedatangan Raja Nimi dan berkata kepadanya: ‘Silakan masuk, Baginda! Selamat datang, Baginda! Para Dewa Tiga Puluh Tiga, Baginda, yang duduk di Aula Sudhamma, telah mengatakan di antara mereka sendiri sebagai berikut: “Suatu keuntungan, Tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.[’] Baginda, para Dewa Tiga Puluh Tiga ingin bertemu denganmu. Baginda, nikmatilah kekuasaan surgawi di antara para dewa.’

“‘Cukup, Tuan. Mohon sang kusir mengantarkan aku kembali ke Mithilā. Di sana aku akan berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana aku akan menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

16. “Kemudian Sakka, penguasa para dewa, menyuruh si kusir Mātali: “Pergilah, Mātali, siapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni dan antarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā.”

“Baik, Yang Mulia,” si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni, ia mengantarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā. Dan di sana, sungguh, Raja Nimi berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana [81] ia menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

17-19. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putra Raja Nimi berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “Raja Nimi” pada seluruh bagian) … [82] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

20. “Sekarang Raja Nimi memiliki seorang putra bernama Kaḷārajanaka. Ia tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan tidak menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia memutuskan praktik yang baik itu. Ia adalah orang terakhir di antara mereka.

21. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah Raja Makhādeva pada saat itu yang memulai praktik yang baik itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah Raja Makhādeva pada saat itu. Aku memulai praktik yang baik itu dan generasi-generasi berikutnya melanjutkan praktik yang baik yang dimulai oleh-Ku itu. Tetapi jenis praktik baik demikian tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna, melainkan hanya kemunculan kembali di alam-Brahma. Tetapi ada jenis praktik baik yang dimulai oleh-Ku saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna. Dan apakah praktik baik itu? Adalah, Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, [83] usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah praktik baik yang dimulai oleh-Ku saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna.

“Ānanda, Aku katakan kepadamu: lanjutkanlah praktik baik yang dimulai oleh-Ku ini dan jangan menjadi orang terakhir. Ānanda, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik iniia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, Ānanda, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #72 on: 05 February 2011, 12:03:09 AM »
84  Madhurā Sutta
Di Madhurā

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Kaccāna sedang menetap di Madhurā di Hutan Gundā.

2. Raja Avantiputta dari Madhurā mendengar: “Petapa Kaccāna sedang menetap di Madhurā di Hutan Gundā. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Kaccāna telah menyebar sebagai berikut: ‘Ia bijaksana, cerdas, cerdik, terpelajar, pandai berbicara, dan tajam; ia sudah tua dan ia adalah seorang Arahant. Adalah baik sekali menemui Arahant demikian.’”

3. Kemudian Raja Avantiputta dari Madhurā mempersiapkan sejumlah kereta kerajaan, dan dengan mengendarai salah satunya, ia pergi keluar dari Madhurā dengan kemegahan kerajaan untuk menemui Yang Mulia Mahā Kaccāna. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju tempat Yang Mulia Mahā Kaccāna. [84] Ia saling bertukar sapa dengannya, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

4. “Guru Kaccāna, para brahmana berkata sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta dengan kulit paling cerah, kasta lainnya berkulit gelap; hanya para brahmana yang murni, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan putra-putra Brahmā, keturunan Brahmā, terlahir dari mulut Brahmā, terlahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Bagaimana menurut Guru Kaccāna mengenai hal ini?”

5. “Itu hanyalah kepercayaan di dunia ini, Baginda, bahwa ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi … pewaris Brahmā.’ Dan ada suatu cara untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang mulia makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para mulia yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para brahmana, para pedagang, dan para pekerja yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang brahmana makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para brahmana yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para pedagang, para pekerja, dan para mulia [85] yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang pedagang makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para pedagang yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para pekerja, para mulia, dan para brahmana yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang pekerja makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para pekerja yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para mulia, para brahmana, dan para pedagang yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [86]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

6. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang mulia demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [87]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

7. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang mulia demikian, Guru Kaccāna, ia akan [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja demikian, Guru Kaccāna, ia akan [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [88]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

8. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, atau menggoda istri orang lain, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apa pun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apa pun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang mulia, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja … mendobrak masuk ke rumah ... atau menggoda istri orang lain, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apa pun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apa pun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini. [89]

9. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia, setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari ucapan salah. Menghindari makan di malam hari, ia hanya makan pada satu bagian siang hari, dan menjalani hidup selibat, bermoral, berkarakter baik. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang mulia, dan hanya dikenal sebagai seorang petapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja, setelah mencukur rambut dan janggutnya … dan menjalani hidup selibat, bermoral, berkarakter baik. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana ... seorang pedagang ... seorang pekerja, dan hanya dikenal sebagai seorang petapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah [ ]satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini.

10. [“]Ketika hal ini dikatakan, Raja Avantiputta dari Madhurā berkata kepada Yang Mulia Mahā Kaccāna: “Mengagumkan, Guru Kaccāna! Mengagumkan, Guru Kaccāna! Guru Kaccāna telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah ia menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Kaccāna dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Kaccāna mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

“Jangan berlindung padaku, Baginda. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang sama dengan yang pada-Nya aku berlindung.”

“Di manakah Beliau menetap sekarang, Guru Kaccāna, Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

“Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu telah mencapai Nibbāna akhir, Baginda.”

11. “Jika kami mendengar bahwa Sang Bhagavā berada sepuluh liga jauhnya, maka kami akan pergi sejauh sepuluh liga untuk menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kami mendengar bahwa Sang Bhagavā berada dua puluh liga ... tiga puluh liga ... empat puluh liga ... lima puluh liga ... seratus liga, maka kami akan pergi sejauh seratus liga untuk menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Tetapi karena Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna akhir, maka kami berlindung pada Sang Bhagavā itu, dan kepada Dhamma, dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Kaccāna mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #73 on: 05 February 2011, 11:15:42 AM »
85  Bodhirājakumāra Sutta
Kepada Pangeran Bodhi

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.

2. Pada saat itu, sebuah istana bernama Kokanada baru saja dibangun untuk Pangeran Bodhi, dan istana itu belum ditempati oleh petapa atau brahmana atau manusia mana pun juga.

3. Kemudian Pangeran Bodhi berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

4. Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Sañjikāputta bangkit dari duduknya, mendatangi Pangeran Bodhi, dan memberitahukan apa yang telah terjadi [92], dengan menambahkan: “Petapa Gotama telah menerima.”

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Pangeran Bodhi mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia menutupi Istana Kokanada dengan kain putih hingga ke anak tangga terakhir. Kemudian ia berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan umumkan waktunya sebagai berikut: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia, makanan telah siap.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan mengumumkan bahwa waktunya telah tiba: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

6. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke kediaman Pangeran Bodhi.

7. Pada saat itu, Pangeran Bodhi sedang berdiri di serambi luar menunggu Sang Bhagavā. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia keluar untuk menyambut dan bersujud kepada Beliau; dan kemudian, setelah mempersilakan Sang Bhagavā untuk mendahuluinya, ia berjalan menuju Istana Kokanada. Tetapi Sang Bhagavā berhenti di anak tangga paling bawah. Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”

Sang Bhagavā menatap Yang Mulia Ānanda. [93] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Pangeran Bodhi: “Pangeran, singkirkanlah kain ini. Sang Bhagavā tidak akan menginjak sehelai kain; Sang Tathāgata memperhitungkan generasi mendatang.”

8. Maka Pangeran Bodhi memerintahkan agar kain itu disingkirkan, dan ia mempersiapkan tempat-tempat duduk di kamar atas Istana Kokanada. Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu menaiki Istana Kokanada dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

9. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Pangeran Bodhi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuk-Nya ke samping, Pangeran Bodhi mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami memiliki pikiran sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’”

10. “Pangeran, sebelum pencerahan-Ku, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga berpikir sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’

11-14. “Belakangan, Pangeran, ketika Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan … (seperti Sutta 36, §§15-17) … dan aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

15-42. “Saat itu, tiga perumpamaan muncul pada-Ku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-44, tetapi dalam sutta sekarang ini dalam §§18-23 – bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana” tidak muncul; dan di sutta yang sekarang ini pada §§37, 39 dan 42 – bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seseorang yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.

45-53. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam’ … (seperti Sutta 26, §§19-29) [94] … dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

54. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, tidak lama setelah diajari dan diberikan instruksi oleh-Ku, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

55. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Benar, Yang Mulia.”

56. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh tipuan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kekurangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”

57. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95] ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia  bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”
 
58. “Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

“Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.

“Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.

“Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.

“Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan [ ]dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

59. “Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [96]

“Jangankan tujuh tahun, Pangeran. Ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama enam tahun ... lima tahun ... empat tahun ... tiga tahun ... dua tahun ... satu tahun ... Jangankan satu tahun, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh bulan ... enam bulan ... lima bulan ... empat bulan ... tiga bulan ... dua bulan ... satu bulan ... setengah bulan ... Jangankan setengah bulan, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam ... enam hari enam malam ... lima hari lima malam ... empat hari empat malam ... tiga hari tiga malam ... dua hari dua malam ... dan sehari semalam.

“Jangankan sehari semalam, Pangeran. Ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari.”

60. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sañjikāputta berkata kepada Pangeran Bodhi: “Tuan Bodhi mengatakan: ‘O, Buddha! O, Dhamma! O, betapa Dhamma dibabarkan dengan baik!’ Tetapi ia tidak mengatakan: ‘Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu.’”

“Jangan berkata begitu, Sañjikāputta, jangan berkata begitu. Aku mendengar dan mengetahui ini dari mulut ibuku: [97] Pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian ibuku, yang sedang hamil, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, pangeran atau putri dalam rahimku, yang mana pun itu, berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingat [anak ini] sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Juga pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa. Kemudian perawatku, dengan menggendongku di pinggulnya, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi ini berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatnya sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Sekarang, Sañjikāputta, untuk ke tiga kalinya aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”


45-53. => 43-53?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #74 on: 05 February 2011, 12:51:05 PM »
86  Angulimāla Sutta
Tentang Angulimāla

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, terdapat seorang penjahat di wilayah kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, [98] dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung.

3. Kemudian, pada suatu pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berkeliling menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau merapikan tempat tinggal-Nya, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, berjalan ke arah Angulimāla. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Beliau: “Jangan melewati jalan ini, Petapa. Di jalan ini, ada penjahat bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tangan Angulimāla.” Ketika ini diucapkan, Sang Bhagavā berlalu sambil berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Sang Bhagavā, namun Sang Bhagavā tetap berlalu sambil berdiam diri.

4. Dari jauh penjahat Angulimāla melihat Sang Bhagavā datang. Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, [99] tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang petapa ini datang sendirian, tanpa teman, seolah-olah memaksakan diri. Mengapa aku tidak mengambil nyawa petapa ini?” Angulimāla kemudian mengambil pedang dan tamengnya, mengikat busur dan sarung anak panah, dan mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

5. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga penjahat Angulimāla, walaupun berlari secepat yang ia mampu, namun tidak dapat mengejar Sang Bhagavā, yang berjalan dengan kecepatan biasa. Kemudian penjahat Angulimāla berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku bahkan mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kuda yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kereta yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar rusa yang tercepat dan menangkapnya; tetapi sekarang, walaupun aku berlari secepat yang aku mampu, namun tidak dapat mengejar Petapa ini, yang berjalan dengan kecepatan biasa!” Ia berhenti dan berteriak kepada Sang Bhagavā: “Berhenti, Petapa! Berhenti, Petapa!”

“Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.”

Kemudian Penjahat Angulimāla berpikir: “Para Petapa ini, putra-putra suku Sakya, mengatakan yang sebenarnya, menegaskan kebenaran; tetapi walaupun petapa ini masih berjalan, ia mengatakan: ‘Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.’ Aku akan menanyai petapa ini.”

6. Kemudian Penjahat Angulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

“Selagi engkau berjalan, Petapa, engkau berkata bahwa engkau telah berhenti;
Tetapi sekarang, ketika aku telah berhenti, engkau berkata bahwa aku belum berhenti.
Aku bertanya kepadamu, O, Petapa, mengenai makna:
Bagaimanakah bahwa Engkau telah berhenti dan aku belum?”

“Angulimāla, Aku telah berhenti untuk selamanya,
Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk-makhluk hidup;
Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala sesuatu yang hidup:
Itulah mengapa Aku telah berhenti dan engkau belum.” [100]

O, setelah sekian lama Petapa ini, seorang bijaksana terhormat,
Telah datang ke hutan ini demi kesejahteraanku.
Setelah mendengar syair-Mu mengajarkan aku Dhamma,
Aku akan meninggalkan kejahatan selamanya.”

Setelah mengatakan hal itu, penjahat itu mengambil pedang dan senjata-senjatanya
Dan melemparkannya ke dalam celah dalam;
Sang penjahat menyembah kaki Yang Tertinggi,
Dan pada saat itu dan di tempat itu juga memohon penahbisan.

Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasih,
Sang Guru dunia bersama dengan [semua] dewa,
Berkata kepadanya, “Datanglah, Bhikkhu.”
Dan demikianlah ia menjadi seorang bhikkhu.

7. Kemudian Sang Bhagavā berjalan kembali ke Sāvatthī bersama dengan Angulimāla sebagai pelayan-Nya. Berjalan setahap demi setahap, akhirnya Beliau tiba di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

8. Pada saat itu, banyak orang berkumpul di gerbang istana dalam Raja Pasenadi, gaduh dan berisik, meneriakkan: “Baginda, Penjahat Angulimāla di wilayahmu; ia adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Raja harus menangkapnya!”

9. Kemudian pada tengah hari itu, Raja Pasenadi dari Kosala keluar dari Sāvatthī bersama dengan lima ratus orang prajurit dan pergi menuju taman. Ia berkendara sejauh yang bisa dilalui keretanya, dan kemudian turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju Sang Bhagavā. [101] Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada apa, Baginda? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavi dari Vesāli, atau raja-raja kejam lainnya?”

10. Yang Mulia, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerangku, juga tidak para Licchavi dari Vesāli, juga tidak raja-raja kejam lainnya. Tetapi ada seorang penjahat di wilayahku bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Aku tidak akan bisa menangkapnya, Yang Mulia.”

11. “Baginda, seandainya engkau melihat Angulimāla mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan tanpa rumah; bahwa ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindari ucapan salah; makan sekali sehari, dan hidup selibat, bermoral, bersikap baik. Jika engkau melihatnya demikian, bagaimanakah engkau memperlakukannya?”

“Yang Mulia, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangkit untuknya atau mengundangnya untuk duduk,[;] atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat peristirahatan, atau obat-obatan; atau kami akan menyediakan penjagaan, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang tidak bermoral demikian, seorang yang bersifat jahat, mungkin memiliki moralitas dan pengendalian seperti itu?”

12. Pada saat itu, Yang Mulia Angulimāla duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā merentangkan lengan kanannya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, inilah Angulimāla.”

Kemudian Raja Pasenadi ketakutan, gelisah, dan waswas. Mengetahui ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Jangan takut, Baginda, jangan takut. Tidak ada yang perlu engkau takutkan darinya.”

Kemudian rasa takut, [102] gelisah, dan waswas lenyap. Ia mendekati Yang Mulia Angulimāla dan berkata: “Yang Mulia, benarkah Yang Mulia adalah Angulimāla?”

“Benar, Baginda.”

“Yang Mulia, dari keluarga apakah ayah dari Yang Mulia? Dari keluarga apakah ibunya?”

“Ayahku adalah seorang Gagga, Baginda; ibuku adalah seorang Mantāṇi.”

“Semoga Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta berdiam dengan nyaman. Aku akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta.”

13. Yang Mulia Angulimāla sebelumnya adalah seorang penghuni hutan, pemakan dana makanan, pemakai jubah dari kain terbuang, dan membatasi dirinya dengan tiga jubah. Ia menjawab: “Cukup, Baginda, tiga jubahku sudah lengkap.”

Raja Pasenadi kemudian kembali ke Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana Bhagavā menjinakkan yang belum jinak, membawa kedamaian bagi yang tidak damai, dan menuntun ke Nibbāna bagi mereka yang belum mencapai Nibbāna. Yang Mulia, kami sendiri tidak mampu menjinakkannya dengan kekerasan dan senjata[.], namun Sang Bhagavā menjinakkannya tanpa menggunakan kekerasan dan senjata. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pamit. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

Silakan pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

14. Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthī, ia menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. [103] Ketika ia melihat hal itu, ia berpikir: “Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!”

Ketika ia telah berkeliling untuk menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, pagi hari ini aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarku, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthī, aku menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. Ketika aku melihat hal itu, aku berpikir: ‘Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!’”

15. “Kalau begitu, Angulimāla, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku dilahirkan, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’”

“Yang Mulia, bukankah dengan demikian aku mengatakan kebohongan dengan sengaja, karena aku telah dengan sengaja membunuh banyak makhluk hidup?”

“Kalau begitu, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’” 

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Angulimāla menjawab, dan setelah pergi ke Sāvatthī, ia berkata kepada perempuan itu: “Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!” Kemudian perempuan itu dan bayinya selamat.

16. Tidak lama, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Angulimāla, dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” [104] Dan Yang Mulia Angulimāla menjadi salah satu dari para Arahant.

17. [ ]Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Pada saat itu, seseorang melemparkan segumpal tanah dan mengenai tubuh Yang Mulia Angulimāla, seorang lainnya melemparkan tongkat dan mengenai tubuhnya, dan seorang lainnya melemparkan pecahan tembikar dan mengenai tubuhnya. Kemudian, dengan darah mengucur dari kepalanya yang terluka, dengan mangkuk pecah, dan dengan jubah luar robek, Yang Mulia Angulimāla mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepadanya: “Tahankanlah, Brahmana! Tahankanlah, Brahmana! Engkau mengalami di sini dan saat ini akibat dari perbuatanmu yang karenanya engkau seharusnya disiksa di neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun.”

18. Kemudian, selagi Yang Mulia Angulimāla sedang sendirian dalam keheningan mengalami kebahagiaan kebebasan, ia mengucapkan seruan berikut ini:

[ ]Siapa pun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian menjadi tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Yang melawan perbuatan jahat yang ia lakukan
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang mengabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka mengabdi pada Ajaran Buddha
Semoga musuh-musuhku melayani orang-orang baik
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

[105] Semoga musuh-musuhku memberikan telinga dari waktu ke waktu
Untuk mendengarkan Dhamma dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang membicarakan serta memuji kebajikan,
Dan semoga mereka melanjutkan perbuatan baik.

Karena pasti mereka tidak akan ingin mencelakaiku,
Juga mereka tidak berpikir untuk mencelakai makhluk lain,
Demikianlah mereka yang melindungi semua makhluk, lemah atau kuat,
Semoga mereka mencapai kedamaian yang tanpa banding.

Pembuat saluran menuntun air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu meluruskan kayu,
Tetapi orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang jinak dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi aku dijinakkan oleh Orang
Yang tidak memiliki tongkat kayu atau senjata apa pun.

“Tanpa-bahaya” adalah nama yang kubawa,
Walaupun aku berbahaya di masa lalu.
Nama yang kubawa sekarang adalah benar:
Aku tidak menyakiti makhluk hidup sama sekali.

Dan walaupun aku pernah hidup sebagai penjahat
Yang dikenal sebagai si ‘Kalung-jari’,
Seorang yang terhanyutkan oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Dan walaupun aku pernah bertangan-darah
Dengan nama si ‘Kalung-jari’
Bertemu dengan perlindungan yang kutemukan:
Belenggu penjelmaan telah terpotong.

Walaupun aku melakukan banyak perbuatan yang mengarah
pada kelahiran kembali di alam rendah,
namun akibatnya telah mendatangiku sekarang,
dan karenanya aku makan bebas dari hutang.

Mereka adalah orang-orang dungu dan tidak berakal sehat
Yang menyerahkan diri mereka pada kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga ketekunan
Dan memperlakukannya sebagai kebaikan yang terbesar.

Jangan menyerah pada kelengahan
Juga jangan mencari kegembiraan dalam kenikmatan indria,
Tetapi bermeditasilah dengan tekun
Agar dapat mencapai kebahagiaan sempurna.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Dari semua ajaran yang dipelajari
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan telah menyelesaikan semua yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #75 on: 15 February 2011, 12:36:26 AM »
87  Piyajātika Sutta
Terlahir dari Mereka yang Disayangi

[106] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, seorang putra tunggal tersayang dari seorang perumah tangga telah meninggal dunia[,]. Setelah kematian putranya, ia tidak lagi berkeinginan untuk bekerja ataupun makan. Ia terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]? Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]?”

3. Kemudian perumah tangga itu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya. Indria-indriamu tidak sewajarnya.”

“Bagaimana mungkin indria-indriaku bisa sewajarnya, Yang Mulia? Karena putra tunggalku yang tersayang dan tercinta telah meninggal dunia. Sejak ia mati, aku tidak lagi berkeinginan untuk bekerja ataupun makan. Aku terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]? Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]?”

“Demikianlah, Perumah tangga, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

“Yang Mulia, siapakah yang beranggapan bahwa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi? Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.” Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, perumah tangga itu bangkit dari duduknya dan pergi.

4. Pada saat itu, beberapa orang penjudi sedang bermain dadu tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian perumah tangga itu mendatangi para penjudi itu dan berkata: “Baru saja, Tuan-tuan, [107] aku mendatangi Petapa Gotama, dan setelah bersujud kepada Beliau, aku duduk di satu sisi. Ketika aku telah melakukan demikian, Petapa Gotama berkata kepadaku: ‘Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya.’ ... (ulangi keseluruhan percakapan seperti di atas) ... [‘]Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.[”][’] Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, aku bangkit dari dudukku dan pergi.”

“Demikianlah, Perumah tangga, demikianlah! Kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

Kemudian perumah tangga itu pergi dengan pikiran: “Aku sependapat dengan para penjudi itu.”

5. Akhirnya kisah ini sampai ke istana raja. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā: “Ini adalah apa yang telah dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

“Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.”

“Tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Bagaikan seorang murid yang memuji apa pun yang dikatakan oleh gurunya kepadanya, dengan mengatakan: ‘Demikianlah, Guru, demikianlah!’; demikian pula Mallikā, tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu [108] telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Pergilah, Mallikā, pergilah engkau!”

6. Kemudian Ratu Mallikā berkata kepada Brahmana Nāḷijangha: “Pergilah, Brahmana, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau bebas dari sakit dan apakah Beliau sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: [‘]Yang Mulia, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi[.]”?’ Dengarkanlah baik-baik apa jawaban Sang Bhagavā dan laporkanlah kepadaku; karena Sang Bhagavā tidak mengucapkan kebohongan.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman. Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi[.]”?’”

7. “Demikianlah, Brahmana, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

8. “Dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ibunya meninggal dunia. Karena kematian ibunya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat ibuku? Apakah kalian melihat ibuku?’ [109]

9-14. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang putranya meninggal dunia ... yang putrinya meninggal dunia ... yang suaminya meninggal dunia. Karena kematian suaminya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat suamiku? Apakah kalian melihat suamiku?’

15-21. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang laki-laki yang ibunya meninggal dunia ... yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang putranya meninggal dunia ... yang putrinya meninggal dunia ... yang istrinya meninggal dunia. Karena kematian istrinya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat istriku? Apakah kalian melihat istriku?’

22. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang perempuan yang menetap bersama keluarga sanak saudaranya. Sanak saudaranya ingin menceraikan dirinya dari suaminya dan menyerahkan dirinya kepada orang yang tidak ia sukai. Kemudian perempuan itu berkata kepada suaminya: ‘Suamiku, sanak-saudaraku ingin menceraikan aku darimu dan menyerahkan aku kepada orang lain yang tidak aku sukai.’ Kemudian sang suami memotong perempuan itu menjadi dua [110] dan menusuk perutnya sendiri, dengan pikiran: ‘Kita akan bersama-sama lagi dalam kehidupan berikut.’ [Ini] Juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

23. Kemudian, dengan merasa senang dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā, Brahmana Nāḷijangha bangkit dari duduknya, menghadap Ratu Mallikā, dan melaporkan kepadanya seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā.

24. Kemudian Ratu Mallikā menghadap Raja Pasenadi dari Kosala dan bertanya: “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Putri Vajiri?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Putri Vajiri.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan [ ]terjadi pada Putri Vajiri, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada dirimu?”

“Perubahan pada Putri Vajiri berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’

25-28. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Ratu Vāsabhā? … Apakah engkau menyayangi Jenderal Viḍūḍabha? … [111] … Apakah engkau menyayangiku? … Apakah engkau menyayangi Kāsi dan Kosala?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Kāsi dan Kosala. Kita berhutang pada Kāsi dan Kosala dalam hal bahwa kita menggunakan kayu cendana dan memakai kalung bunga, dupa, dan salep dari Kāsi[.]

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan terjadi pada Kāsi dan Kosala, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul dalam dirimu?”

“Perubahan pada Kāsi dan Kosala berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

29. “Sungguh mengagumkan, Mallikā, sungguh menakjubkan betapa jauhnya [112] Sang Bhagavā menembus dengan kebijaksanaan dan melihat dengan kebijaksanaan! Pergilah, Mallikā, ambilkan aku air pencuci.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah membenahi jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna!”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #76 on: 15 February 2011, 01:49:20 AM »
88  Bāhitika Sutta
Mantel

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, dan membawa jubah luarnya, pergi menuju Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia pergi ke Taman Timur, menuju Istana Ibu Migāra, untuk melewatkan hari.

3. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala sedang menunggang gajah Ekapuṇḍarika dan pergi keluar dari Sāvatthī di tengah hari. Dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda dan bertanya kepada menteri Sirivaḍḍha: “Bukankah itu adalah Yang Mulia Ānanda?”“Benar, Baginda, itu adalah Yang Mulia Ānanda.”

4. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menyuruh orangnya: “Pergilah, temui Yang Mulia Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu [113] sebentar, demi belas kasihan.’”

5. “Baik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda dan ia mengatakan ini: [‘]Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu sebentar, demi belas kasihan.’”

6. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: [‘]Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi mendatangi tepi Sungai Aciravati, demi belas kasihan.[’]

7. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Ia pergi ke tepi Sungai Aciravati dan duduk di bawah sebatang pohon di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ini, Yang Mulia, adalah permadani kulit gajah. Silakan Yang Mulia Ānanda duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda, duduklah. Aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

8. Raja Pasenadi dari Kosala duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata: “Yang Mulia Ānanda, mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.” [114]

“Mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.”

9. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Karena apa yang tidak mampu kami capai dengan sebuah pertanyaan telah dicapai oleh Yang Mulia Ānanda dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kami tidak mengenali sesuatu yang tidak berharga dalam pujian dan celaan orang lain yang diucapkan oleh orang-orang dungu, yang mengucapkan dengan tanpa menyelidiki dan mengevaluasi; tetapi kami mengenalinya sebagai berharga pujian dan celaan orang-orang lain yang diucapkan oleh orang-orang bijaksana, cerdas dan pintar yang mengucapkan setelah menyelidiki dan mengevaluasi.

10. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang tidak bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak bermanfaat?”

Segala perilaku jasmani yang tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tercela?”

Segala perilaku jasmani yang membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang membawa penderitaan?”

Segala perilaku jasmani yang memiliki akibat menyakitkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia[,] Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyakitkan?”

Segala perilaku jasmani, Baginda, yang mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi bertambah, dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang. Perilaku jasmani demikian dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana, Baginda.”

11. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

12. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [115] ...”

13. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

14. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang bermanfaat?”

Segala perilaku jasmani yang tidak tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak tercela?”

Segala perilaku jasmani yang tidak membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak membawa penderitaan?”

Segala perilaku jasmani yang memiliki akibat menyenangkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia[,] Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyenangkan?”

Segala perilaku jasmani, Baginda, yang tidak mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi berkurang, dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Perilaku jasmani demikian, Baginda, tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.”

15. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

16. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [116] ...”

17. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan mengembangkan segala kondisi bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

18. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan betapa baiknya hal itu diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda! Dan kami merasa puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan olehnya. Yang Mulia, Dan kami begitu puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda sehingga jika pusaka-gajah boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika pusaka-kuda boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika anugerah desa boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya. Tetapi kami mengetahui, Yang mulia, bahwa hal-hal ini tidak boleh dipersembahkan kepada Yang Mulia Ānanda. Tetapi mantelku ini, [ ]Yang Mulia, yang dikirim kepadaku dalam payung kerajaan oleh Raja Ajāttasattu dari Magadha, enam belas lengan panjangnya dan delapan lengan lebarnya. Sudilah Yang Mulia Ānanda menerimanya demi belas kasihnya.”

“Tidak perlu, Baginda. Tiga jubahku sudah lengkap.” [117]

19. “Yang Mulia, Sungai Aciravati ini telah dilihat baik oleh Yang Mulia Ānanda maupun oleh kami sendiri ketika awan tebal menurunkan hujat lebat di gunung-gunung; kemudian Sungai Aciravati ini meluap di kedua tepinya. Demikian pula, Yang Mulia Ānanda dapat membuat tiga jubah dari mantel ini, dan ia dapat membagikan tiga jubahnya yang lama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci. Dengan demikian, persembahan kami akan meluap. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia Ānanda menerima mantel ini.”

20. Yang Mulia Ānanda menerima mantel itu. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata: “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus kami lakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya; dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Ānanda, dengan Yang Mulia Ānanda tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan mempersembahkan mantel itu kepada Sang Bhagavā.

22. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Sungguh suatu keuntungan, Para bhikkhu, bagi Raja Pasenadi dari Kosala, sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa ia mendapat kesempatan bertemu dan bersujud kepada Ānanda.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #77 on: 15 February 2011, 02:38:01 AM »
89 Dhammacetiya Sutta
Monumen Dhamma

[118] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa.

2. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Nagaraka untuk suatu urusan. Kemudian ia berkata kepada Dīgha Kārāyaṇa: [ ]Kārāyaṇa, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi ke taman rekreasi untuk melihat pemandangan indah.”

“Baik, Baginda,” Dīgha Kārāyaṇa menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silakan engkau berangkat.”

3. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, ia berkendara keluar dari Nagaraka dengan kemegahan kerajaan dan bergerak menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

4. Ketika ia berjalan-jalan di taman untuk berolahraga, Raja Pasenadi melihat bawah pepohonan yang indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfer keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri. Pemandangan ini mengingatkannya pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Bawah pepohonan ini indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfer keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri, seperti tempat-tempat di mana kami biasanya memberi penghormatan kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.” Kemudian ia memberitahukan apa yang telah ia pikirkan kepada Dīgha Kārāyaṇa dan bertanya: “Di manakah Beliau menetap saat ini, [119] Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

5. “Ada, Baginda, sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa. Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, saat ini menetap di sana.”

“Berapa jauhkah Nagaraka ke Medaḷumpa?”

“Tidak jauh, Baginda, tiga liga. [ ]Masih cukup siang untuk ke sana.”

“Kalau begitu, Kārāyaṇa, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

“Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silakan engkau berangkat.”

6. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, pergi dari Nagaraka menuju pemukiman Sakya di Medaḷumpa. Ia tiba di sana ketika hari masih siang dan melanjutkan perjalanan menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

7. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi mereka dan bertanya: “Para Mulia, di manakah Beliau berada saat ini, Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna? Kami ingin menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

8. “Itu adalah tempat kediaman Beliau, Baginda, yang pintunya tertutup. Pergilah ke sana dengan tenang, tanpa terburu-buru, masuki berandanya, berdehamlah, dan ketuk pintunya. Sang Bhagavā akan membukakan pintunya untukmu.” Raja Pasenadi menyerahkan pedang dan turbannya kepada Dīgha Kārāyaṇa di sana pada saat itu juga. Kemudian Dīgha Kārāyaṇa berpikir: “Raja akan melakukan pertemuan pribadi sekarang! Dan aku harus menunggu di sini sendirian!” [ ]Tanpa terburu-buru, Raja Pasenadi dengan tenang mendatangi kediaman dengan pintu tertutup itu, memasuki beranda, berdeham, dan mengetuk pintu. Sang Bhagavā membuka pintu.

9. Kemudian Raja Pasenadi [120] memasuki tempat kediaman itu. Bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia; aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia.”

“Tetapi, Baginda, atas alasan apakah yang engkau lihat sehingga memberikan penghormatan yang begitu tinggi pada tubuh ini dan memperlihatkan persahabatan demikian?”

10. “Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’ Sekarang, Yang Mulia, aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang menjalani kehidupan suci terbatas selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau empat puluh tahun, dan kemudian belakangan aku melihat mereka berpenampilan rapi dan dengan hiasan indah, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama mereka hidup dan bernapas. Sesungguhnya, aku tidak melihat ada kehidupan suci lainnya yang semurni dan sesempurna ini. Itulah sebabnya mengapa, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

11. “Kemudian, Yang Mulia, para raja bertengkar dengan para raja, para mulia dengan para mulia, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, ibu bertengkar dengan putranya, putra dengan ibunya, ayah dengan putranya, putra dengan ayahnya, saudara laki-laki bertengkar dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. [ ]Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu hidup dengan rukun, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, bercampur bagaikan susu dan air, [121] saling melihat satu sama lain dengan tatapan ramah. Aku tidak melihat adanya kelompok lain dengan kerukunan demikian. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

12. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah berjalan dan mengembara dari taman ke taman, dari kebun ke kebun. Di sana aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang kurus, menyedihkan, buruk rupa, kekuningan, dengan urat menonjol keluar dari bagian-bagian tubuh mereka, sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini tidak puas dalam menjalani kehidupan suci, atau mereka telah melakukan perbuatan jahat dan berusaha menyembunyikannya, mereka begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku mendatangi mereka dan bertanya: “Mengapakah kalian, Para mulia, begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat kalian lagi?’ Jawaban mereka adalah: ‘Ini adalah penyakit keluarga kami, Baginda.’ Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu tersenyum dan ceria, gembira, bersukacita, indria-indria mereka segar, hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari apa yang diberikan oleh orang lain, berdiam dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā, karena mereka berdiam dengan tersenyum dan ceria … dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar demikian.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

13. “Kemudian, Yang Mulia, sebagai seorang raja mulia yang sah, [122] aku dapat mengeksekusi mereka yang patut dieksekusi, menghukum mereka yang patut dihukum, mengusir mereka yang patut diusir. Namun ketika aku sedang duduk dalam persidangan, mereka menyelaku. Walaupun aku mengatakan: ‘Tuan-tuan, jangan menyelaku ketika aku sedang duduk dalam persidangan; tunggulah hingga pembicaraanku berakhir,’ mereka tetap menyelaku. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu sewaktu Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma [ ]kepada sekelompok yang terdiri dari beberapa ratus pengikut dan di sana bahkan tidak ada suara dari siswa Sang Bhagavā yang batuk atau berdeham. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut dan di sana seorang siswa berdeham. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya untuk mengisyaratkan: “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bagaimana kelompok ini dapat begitu disiplin tanpa paksaan atau senjata!’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

14. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, berpengetahuan tentang doktrin-doktrin sekte lain, setajam ahli menembak pembelah rambut; [ ]mereka mengembara, membantah pandangan-pandangan sekte lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan mendatangi Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan kepada Beliau. Jika Beliau ditanya seperti ini, Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti ini; dan jika Beliau ditanya seperti itu, Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti itu.’ Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka mendatangi Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, [123] dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru menjadi siswa Beliau. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

15. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para brahmana terpelajar tertentu …

16. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para perumah tangga terpelajar tertentu …

17. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para petapa terpelajar tertentu … Mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru memohon agar Sang Bhagavā memperbolehkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka mengatakan sebagai berikut: ‘Kami nyaris tersesat, kami nyaris binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

18. “Kemudian, Yang Mulia, Isidatta dan Purāṇa,  kedua pengawasku, memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka tidak memberikan penghormatan kepadaku [124] seperti yang mereka lakukan terhadap Sang Bhagavā. Suatu ketika aku pergi dengan memimpin bala tentaraku dan menguji kedua pengawasku, Isidatta dan Purāṇa, aku ditempatkan dalam suatu tempat yang sempit. Kemudian kedua pengawas ini, Isidatta dan Purāṇa, setelah membicarakan Dhamma semalam suntuk, berbaring dengan kepala mereka menghadap ke arah di mana mereka mendengar Sang Bhagavā berada dan dengan kaki mereka menghadap ke arahku. Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan! Kedua pengawasku ini, Isidatta dan Purāṇa, yang memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka lebih menghormati Sang Bhagavā daripada aku. Pasti kedua orang baik ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

19. “Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā berasal dari kasta mulia dan aku juga berasal dari kasta mulia; Sang Bhagavā adalah orang Kosala dan aku juga adalah orang Kosala; Sang Bhagavā berusia delapan puluh tahun dan aku juga berusia delapan puluh tahun. [ ]Karena hal itu, aku rasa adalah selayaknya memberikan penghormatan tertinggi kepada Sang Bhagavā dan menunjukkan persahabatan.

20. “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, sebelum bangkit dari duduknya dan pergi, Raja Pasenadi ini telah mengucapkan monumen Dhamma. [ ]Pelajarilah monumen Dhamma ini, Para bhikkhu, kuasailah [125] monumen Dhamma ini; ingatlah monumen Dhamma. Monumen Dhamma sangat bermanfaat, Para bhikkhu, dan merupakan landasan kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #78 on: 15 February 2011, 03:19:43 AM »
90 Kaṇṇakatthala Sutta
Di Kaṇṇakatthala

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ujuññā, di Taman Rusa Kaṇṇakatthala.

2. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Ujuññā untuk suatu urusan. [ ]Kemudian ia berkata kepada orangnya: “Pergilah, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya.

3. Dua bersaudari Somā dan Sakulā  mendengar: “Hari ini [126] Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.”

Kemudian, ketika makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari itu menghadap raja dan berkata: “Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā bersujud dengan kepala mereka di kaki Sang Bhagavā, dan mereka menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’”

4. Kemudian, ketika ia telah menyelesaikan sarapannya, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesan dari kedua bersaudari Somā dan Sakulā.

“Tetapi, Baginda, apakah kedua bersaudari Somā dan Sakulā tidak dapat mengutus utusan lain?”

“Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā mendengar: ‘Hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’ Kemudian, sewaktu makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari Somā dan Sakulā mendatangiku dan berkata: ‘Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit …  dan berdiam dengan nyaman.’”

“Semoga kedua bersaudari Somā dan Sakulā berbahagia, Baginda.”

5. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Tidak ada petapa atau brahmana yang mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap; itu adalah tidak mungkin.” Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian [127] mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataan mereka?”

“Baginda, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang telah dikatakan oleh-Ku, melainkan salah memahami-Ku dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.”

6. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Ia adalah Sañjaya, Baginda, brahmana dari suku Ākāsa.”

7. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala memanggil orangnya: “Pergilah, atas namaku beri tahulah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab. Ia mendatangi Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, dan memberitahunya: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.”

8. Sementara itu, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkinkah sesuatu yang lain telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dengan merujuk pada hal itu, dan seseorang memahaminya secara keliru? Bagaimanakah Sang Bhagavā ingat telah mengucapkan ucapan demikian?”

“Aku ingat pernah mengucapkan sebagai berikut, Baginda: ‘Tidak ada petapa atau brahmana yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

“Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. ‘Tidak ada petapa atau brahmana [128] yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

9. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Dua di antaranya, yaitu, para mulia dan para brahmana, dianggap lebih tinggi karena orang-orang menyembah mereka, bangkit untuk mereka, dan memberikan penghormatan dan pelayanan yang sopan kepada mereka.”

10. “Yang Mulia, aku tidak menanyakan tentang kehidupan sekarang; aku menanyakan tentang kehidupan mendatang. [ ]Ada empat kasta, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Baginda, ada lima faktor usaha ini. [ ]Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha. Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci. Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat. Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”

11. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, [129] dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, apakah ada perbedaan di antara mereka?”

“Di sini, Baginda, Aku katakan bahwa perbedaan di antara mereka terletak pada keberagaman usaha mereka. Misalkan terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, dan dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, karena jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak?

“Benar, Yang Mulia.”

“Dan apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin, karena belum jinak, dapat memiliki perilaku yang jinak, seperti kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, tidaklah mungkin bahwa apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan, yang bebas dari penyakit, yang jujur dan tulus, yang bersemangat, dan yang bijaksana, dapat dicapai oleh seseorang yang tidak memiliki keyakinan, yang memiliki penyakit, yang curang dan penuh tipuan, yang malas, dan yang tidak bijaksana.”

12. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika.

“Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, dan jika usaha mereka benar, apakah ada perbedaan di antara mereka dalam hal itu?”

“Di sini, Baginda, dalam hal ini Aku katakan bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya. Misalkan seseorang mengambil kayu sāka kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya mengambil kayu sāla kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; [130] dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu mangga kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu ara kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah ada perbedaan antara api-api ini yang dinyalakan oleh jenis kayu yang berbeda-beda, yaitu, antara nyala api yang satu dengan nyala api yang lainnya, atau antara warna api yang satu dengan warna api lainnya, atau antara cahaya api yang satu dengan cahaya api lainnya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, ketika api [spiritual] dibangkitkan oleh kegigihan, dinyalakan oleh usaha, Aku katakan, tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya.”

13. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah ini: apakah ada para dewa?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah para dewa itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, para dewa yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

14. Ketika hal ini dikatakan, Jenderal Viḍūḍabha bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah para dewa yang masih tunduk pada niat buruk dan kembali ke alam [manusia] ini menjatuhkan atau mengusir para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk dan tidak [ ]kembali ke alam [manusia] ini dari tempat itu?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Jenderal Viḍūḍabha ini adalah putra Raja Pasenadi dari Kosala, dan aku adalah putra Sang Bhagavā. Ini adalah waktunya bagi satu putra berbicara dengan putra lainnya.” Ia berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah sesuai apa yang engkau anggap benar. Jenderal, bagaimanakah menurutmu? Terdapat seluruh wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana [131] ia berkuasa dan memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana mana pun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal? [ ]Terdapat seluruh wilayah yang bukan kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana ia tidak berkuasa dan tidak memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana mana pun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia tidak dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Jenderal, bagaimana menurutmu? Pernahkah engkau mendengar tentang para dewa Tiga Puluh Tiga?”

“Ya, Yang Mulia, aku pernah mendengarnya. Dan Raja Pasenadi dari Kosala juga pernah mendengarnya.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal? Dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir para dewa Tiga Puluh Tiga dari tempat itu?”

“Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bahkan tidak dapat melihat para dewa Tiga Puluh Tiga, jadi bagaimana mungkin ia menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

“Demikian pula, Jenderal, para dewa yang masih tunduk pada niat-buruk dan yang kembali ke alam [manusia] ini bahkan tidak dapat melihat para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat-buruk dan yang tidak kembali lagi ke alam [manusia] ini; jadi bagaimana mungkin mereka menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

15. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, siapakah nama bhikkhu ini?”

“Namanya adalah Ānanda, Baginda.”

“Sungguh ia adalah Ānanda (kegembiraan), Yang Mulia, dan ia tampak Ānanda. Apa [ ][132] yang Yang Mulia Ānanda katakan cukup masuk akal, apa yang ia katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, apakah ada Brahmā?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah Brahmā itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, Brahmā yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, Brahmā yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

16. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, telah tiba.”

Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: “Brahmana, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Baginda, ia adalah Jenderal Viḍūḍabha.”

Jenderal Viḍūḍabha berkata: “Baginda, Ia adalah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa.”

17. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, sekarang waktunya untuk pergi.”

Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang kemahatahuan, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang kemahatahuan; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang pemurnian empat kasta, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang pemurnian empat kasta; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para dewa, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para dewa; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para Brahmā, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para Brahmā; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Apa pun yang kami tanyakan kepada Sang Bhagavā, telah dijawab oleh Sang Bhagavā; kami menyetujui dan menerima jawaban-jawaban itu. [133] Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

18. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #79 on: 15 February 2011, 01:07:23 PM »
91 Brahmāyu Sutta
Brahmāyu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu.

2. Pada saat itu, Brahmana Brahmāyu sedang menetap di Mithilā. Ia sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa.

3. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang  telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.” [134]

4. Pada saat itu, Brahmana Brahmāyu memiliki seorang murid brahmana bernama Uttara yang menguasai Tiga Veda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia berkata kepada muridnya: “Muridku Uttara, Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu ... Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian. Pergilah, Muridku Uttara, temui Petapa Gotama dan lihat apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan. Dengan demikian kami akan mengenal Guru Gotama melalui dirimu.”

5. “Tetapi bagaimanakah aku mengetahuinya, Tuan, apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

“Muridku Uttara, tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain. [ ]Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-penakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: Pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh.  Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudra, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia. [ ]Tetapi aku, Muridku Uttara, adalah pemberi syair-syair pujian; engkau adalah penerimanya.”

6. “Baik, Tuan,” ia menjawab. Ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Brahmana Brahmāyu, dengan Brahmana Brahmāyu tetap di sisi kanannya, ia pergi menuju Negeri Videha, di mana Sang Bhagavā sedang mengembara. [135] Dengan berjalan secara bertahap, ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Murid brahmana Uttara ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

7. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga murid brahmana Uttara melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. [ ]Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

8. Kemudian murid brahmana Uttara berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda seorang Manusia Luar Biasa. Bagaimana jika aku mengikuti Petapa Gotama dan mengamati perilakunya?”

Kemudian ia mengikuti Sang Bhagavā selama tujuh bulan bagaikan bayangan, tidak pernah meninggalkan-Nya. Di akhir tujuh bulan itu di Negeri Videha, ia melakukan perjalanan menuju Mithilā di mana Brahmana Brahmāyu berada. Ketika ia tiba, ia bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Kemudian, Brahmana Brahmāyu bertanya kepadanya: “Baiklah, Muridku Uttara, apakah berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama [136] benar atau tidak? Dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

9. “Berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama adalah benar, Tuan, dan bukan sebaliknya; dan Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini dan bukan sebaliknya. Beliau memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama menapakkan kakinya secara merataini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa dalam diri Guru Gotama.

Di telapak kaki-Nya terdapat roda-roda dengan seribu jeruji dan lingkar dan pusatnya semua lengkap …

Tumitnya menonjol …
Jari-jari tangan dan kakinya panjang …
Tangan dan kakinya lunak dan lembut …
Beliau memiliki tangan dan kaki dengan jaring-jaring …
Kakinya melengkung …
Kakinya seperti kaki kijang …

Jika ia berdiri tanpa membungkuk, kedua telapak tangan-Nya dapat menyentuh dan mengusap lutut-Nya …
Organ kelamin-Nya terselubung dalam lapisan penutup …
Beliau berwarna keemasan, kulit-Nya berkilau keemasan …
Kulit-Nya halus, dan karena kehalusan kulit-Nya, debu dan kotoran tidak menempel di tubuh-Nya …

Bulu badan-Nya tumbuh secara tunggal, sehelai bulu badan tumbuh pada setiap pori-pori-Nya …
Ujung bulu badan-Nya menghadap ke atas; bulu badan-Nya yang menghadap ke atas itu berwarna hitam-kebiruan, berwarna collyrium, keriting, dan melingkar ke kanan …
Beliau memiliki lengan dan kaki lurus bagaikan lengan dan kaki Brahmā …
Beliau memiliki tujuh bagian cembung …

Beliau memiliki batang-tubuh seekor singa …
Alur di antara kedua bahu-Nya terisi …
Beliau memiliki rentangan pohon banyan; rentang kedua lengan-Nya sama dengan tinggi badan-Nya, dan tinggi badan-Nya sama dengan rentang kedua lengan-Nya …

Leher dan bahu-Nya rata …
Kecapan-Nya sangat tajam …
Beliau memiliki rahang seperti singa … [137]
Beliau memiliki empat puluh gigi …
Gigi-gigi-Nya rata …
Gigi-gigi-Nya tanpa celah …
Gigi-gigi-Nya sangat putih …
Beliau memiliki lidah yang lebar …
Beliau memiliki suara surgawi, bagaikan kicauan burung Karavīka …
Mata-Nya biru gelap …
Beliau memiliki bulu mata seekor sapi …
Beliau memiliki rambut yang tumbuh di antara kedua alis mata-Nya, yang berwarna putih dengan kemilau katun yang halus …
Kepala-Nya berbentuk turbanini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa ini.

10. “Ketika Beliau berjalan, Beliau melangkahkan kaki kanan terlebih dulu. Beliau tidak melangkahkan kaki-Nya terlalu jauh atau terlalu dekat. Beliau tidak berjalan terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Beliau berjalan tanpa kedua lututnya saling beradu. Beliau berjalan tanpa mengangkat atau menurunkan paha-Nya, dan tanpa merapatkan atau merenggangkannya. Ketika Beliau berjalan, hanya bagian bawah tubuh-Nya yang bergerak, dan Beliau tidak berjalan dengan usaha tubuh-Nya. Ketika Beliau melihat ke belakang, Beliau melakukannya dengan seluruh tubuh-Nya. Beliau tidak melihat ke atas; Beliau tidak melihat ke bawah. Beliau tidak berjalan dengan melihat ke sekeliling. Beliau melihat sejauh panjang gandar-bajak di depan; di luar itu Beliau memiliki pengetahuan dan penglihatan yang tanpa halangan.

11. “Ketika Beliau memasuki rumah, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan badan-Nya, atau membungkuk ke depan atau ke belakang. [138] Beliau berputar tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dari tempat duduk. Beliau tidak bersandar pada tempat duduk dengan tangan-Nya. Beliau tidak melemparkan badan-Nya ke tempat duduk.

12. “Ketika duduk di dalam rumah, Beliau tidak menggerak-gerakkan tangan-Nya karena gelisah. Beliau tidak menggerak-gerakkan kaki-Nya karena gelisah. Beliau tidak duduk dengan lutut bersilang. Beliau tidak duduk dengan pergelangan kaki bersilang. Beliau tidak duduk dengan bertopang dagu. Ketika duduk di dalam rumah, Beliau tidak takut, Beliau tidak menggigil dan gemetar, Beliau tidak gugup. Karena tidak takut, tidak menggigil atau gemetar atau gugup, Beliau tidak merinding dan Beliau mengarahkan perhatian pada keterasingan.

13. “Ketika Beliau menerima air untuk mencuci mangkuk-Nya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuk-Nya. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuk-Nya di lantai untuk mencuci tangan-Nya: ketika mencuci tangan-Nya, mangkuk-Nya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuk-Nya, tangan-Nya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

14. “Ketika Beliau menerima nasi, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit nasi. Beliau menambahkan kuah dengan porsi selayaknya; Beliau tidak melebihi takaran yang seharusnya dalam suapannya. Beliau membalikkan suapan itu dua atau tiga kali di dalam mulut-Nya dan kemudian menelannya, dan tidak ada butiran nasi yang memasuki tubuh-Nya tanpa dikunyah, dan tidak ada butiran nasi yang tertinggal di mulut-Nya; kemudian Beliau mengambil suapan berikutnya. Beliau memakan makanan-Nya dengan mengalami rasanya, namun tanpa mengalami keserakahan akan rasanya. Makanan yang Beliau makan memiliki delapan faktor: bukan demi kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya demi ketahanan dan kelangsungan jasmani ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk membantu kehidupan suci; [139] Beliau mempertimbangkan: “Dengan demikian Aku akan menghilangkan perasaan lama tanpa memunculkan perasaan baru dan Aku akan sehat dan tanpa cela dan hidup dalam kenyamanan.”

15. “Ketika Beliau telah selesai makan dan menerima air untuk mencuci mangkuk-Nya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuk-Nya. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuk-Nya di lantai untuk mencuci tangan-Nya: ketika mencuci tangan-Nya, mangkuk-Nya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuk-Nya, tangan-Nya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

16. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau meletakkan mangkuk-Nya di lantai tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat; dan Beliau sama sekali tidak mengabaikan mangkuk-Nya juga tidak terlalu mencemaskannya.

17. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau duduk sebentar, tetapi tidak melewatkan waktu untuk memberikan pemberkahan. [ ]Ketika Beliau telah selesai makan dan memberikan berkah, Beliau tidak melakukannya dengan mengkritik makanan atau mengharapkan makanan lainnya; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Ketika Beliau telah melakukan semua itu, Beliau bangkit dari duduk-Nya dan pergi.

18. “Beliau tidak berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat, dan Beliau tidak pergi bagaikan seorang yang ingin melarikan diri.

19. “Jubah-Nya tidak dikenakan terlalu tinggi atau terlalu rendah di badan-Nya, juga tidak terlalu ketat di badan-Nya, juga tidak terlalu longgar di badan-Nya, juga angin tidak meniup terbang jubah-Nya dari badan-Nya. Debu dan kotoran tidak mengotori badan-Nya.

20. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Setelah duduk, Beliau mencuci kaki-Nya, walaupun Beliau tidak peduli dengan keindahan kaki-Nya. Setelah mencuci kaki-Nya, Beliau duduk bersila, menegakkan tubuh-Nya, dan menegakkan perhatian di depan-Nya. Beliau tidak memenuhi pikiran-Nya dengan penderitaan diri-Nya sendiri, atau penderitaan makhluk lain, atau penderitaan keduanya; Beliau duduk dengan pikiran terarah pada kesejahteraan diri sendiri, pada kesejahteraan makhluk lain, dan pada kesejahteraan keduanya, bahkan pada kesejahteraan seluruh dunia. [140]

--------------
Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #80 on: 15 February 2011, 01:31:35 PM »
Lanjutan Brahmayu Sutta
---------------------------

21. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau mengajarkan Dhamma kepada para hadirin. Beliau tidak menyanjung juga tidak mencela para hadirin; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Kata-kata yang keluar dari mulut-Nya memiliki delapan kualitas: jelas, dapat dipahami, berirama, dapat didengar, bergema, merdu, dalam, dan nyaring. Tetapi walaupun suaranya menjangkau keseluruhan pendengar, namun kata-katanya tidak keluar dari keseluruhan pendengar. Ketika orang-orang telah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Beliau, mereka bangkit dari duduk dan pergi dengan menatap Beliau dan tidak mempedulikan hal lainnya.

22. “Kami telah melihat Guru Gotama berjalan, Tuan, kami telah melihat Beliau berdiri, kami telah melihat Beliau memasuki rumah, kami telah melihat Beliau di dalam rumah duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau makan di dalam rumah. Kami telah melihat Beliau duduk diam setelah makan, kami telah melihat Beliau memberikan pemberkahan setelah makan, kami telah melihat Beliau kembali ke vihara, kami telah melihat Beliau di dalam vihara duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau di dalam vihara mengajarkan Dhamma kepada para pendengar. Demikianlah Guru Gotama; demikianlah Beliau, dan lebih dari itu.”

23. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama, mungkin kami dapat berbincang-bincang dengan Beliau.”

24. Kemudian, dalam pengembaraan-Nya, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Mithilā. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Para brahmana perumah tangga di Mithilā mendengar: [141] “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu, dan sekarang Beliau telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti pada § 3 di atas) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

25. Kemudian para brahmana perumah tangga di Mithilā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

26. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva.”

Kemudian Brahmana Brahmāyu mendatangi Hutan Mangga Makhādeva bersama dengan sejumlah besar murid brahmana. “Tidaklah selayaknya bagiku untuk menemui Petapa Gotama tanpa terlebih dulu diperkenalkan.” Maka ia berkata kepada seorang murid brahmana: “Pergilah, Murid brahmana, temui Petapa Gotama dan tanyakan atas namaku apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Guru Gotama, Brahmana Brahmāyu menanyakan apakah Guru Gotama terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman,’ dan katakan ini: ‘Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama, sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Dari semua brahmana perumah tangga di Mithilā, Brahmana Brahmāyu dinyatakan sebagai yang terkemuka di antara mereka dalam hal kekayaan, dalam hal pengetahuan syair puji-pujian, [142] dan dalam hal usia dan kemasyhuran. Ia ingin bertemu dengan Guru Gotama.’”

“Baik, Tuan,” murid brahmana itu menjawab. Ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dan menyampaikan pesannya. [Sang Bhagavā berkata:]

“Murid, silakan Brahmana Brahmāyu datang.”

27. Kemudian murid brahmana itu mendatangi Brahmana Brahmāyu dan berkata: “Izin telah diberikan oleh Petapa Gotama. Silakan engkau datang, Tuan.”

Maka Brahmana Brahmāyu mendatangi Sang Bhagavā. Dari kejauhan orang-orang yang berkumpul di sana melihat kedatangannya, dan seketika mereka memberi jalan kepadanya sebagai seorang yang terkenal dan termasyhur. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada kumpulan itu: “Cukup, Tuan-tuan, silakan semuanya duduk. Aku akan duduk di sini di sebelah Petapa Gotama.”

28. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa dalam tubuh Sang Bhagavā. [143] Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

29. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Tiga puluh dua tanda yang kupelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa
   Aku masih belum melihat dua tanda ini
   Pada tubuh-Mu, Gotama.
   Apakah yang seharusnya terbungkus kain
   Tersembunyi dalam lapisan penutup, Manusia tertinggi?
   Walaupun disebut dengan kata berjenis perempuan,
   Mungkinkah lidahmu adalah lidah laki-laki?
   Mungkinkah lidahmu juga lebar,
   Sesuai dengan apa yang telah kami pelajari?
   Sudilah memperlihatkannya sedikit
   Dan dengan demikian, O, Yang Bijaksana, mengobati keragu-raguan kami
   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang
   Dan sekarang kami menginginkan izin untuk bertanya
   Tentang sesuatu yang sangat ingin kami ketahui.”

30. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Brahmāyu ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Brahmana Brahmāyu melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

31. Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair ini sebagai jawaban kepada Brahmana Brahmāyu:

   “Tiga puluh dua tanda yang engkau pelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa
   Semuanya dapat ditemukan pada tubuh-Ku:
   Oleh karena itu, Brahmana, janganlah engkau meragukan hal itu lagi.

   Apa yang harus diketahui telah Kuketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang,
   Karena izin telah diberikan kepadamu, silakan engkau bertanya
   Tetang apa pun yang ingin engkau ketahui.”

32. Kemudian Brahmana Brahmāyu berpikir: “Izin telah diberikan kepadaku oleh Petapa Gotama. Apakah yang harus kutanyakan kepadanya: kebaikan dalam kehidupan ini atau kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berpikir: “Aku mahir dalam hal kebaikan dalam kehidupan ini, dan orang-orang lain juga bertanya kepadaku tentang kebaikan dalam kehidupan ini. Mengapa aku tidak menanyakan hanya tentang kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Bagaimanakah seseorang menjadi seorang brahmana?
   Dan bagaimanakah ia mencapai pengetahuan?
   Bagaimanakah agar ia memiliki tiga pengetahuan?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang terpelajar suci?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang Arahant?
   Dan bagaimanakah ia mencapai kesempurnaan?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang yang hening?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang Buddha?”

33. Kemudian Sang Bhagavā menjawab dalam syair:

   “Yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya.
   Melihat surga dan alam-alam sengsara,
   Dan telah sampai pada hancurnya kelahiran
   Seorang bijaksana yang mengetahui melalui pengetahuan langsung,
   Yang mengetahui pikirannya murni,
   Sepenuhnya bebas dari segala nafsu.
   Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Yang sempurna dalam kehidupan suci,
   Yang melampaui segalanya
   Seorang yang seperti ini disebut seorang Buddha.”

34. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama; Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama.”

35. Mereka yang berada dalam kumpulan itu merasa heran dan takjub, dan mereka berkata: “Sungguh mengagumkan, Tuan-tuan, sungguh menakjubkan, betapa besar kekuasaan dan kekuatan Petapa Gotama, karena Brahmana Brahmāyu yang terkenal dan termasyhur pun menunjukkan kerendahan hati seperti itu.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Brahmāyu: [145] “Cukup, Brahmana, bangkitlah; duduklah di tempatmu karena pikiranmu telah berkeyakinan pada-Ku.”

Brahmana Brahmāyu kemudian bangkit dan duduk di tempat duduknya.

36. Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi bertingkat kepadanya, [ ]yaitu, khotbah tentang berdana, khotbah tentang moralitas, khotbah tentang alam surga; Beliau menjelaskan bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan berkah pelepasan keduniawian. Ketika Beliau mengetahui bahwa pikiran Brahmana Brahmāyu telah siap, bisa menerima, bebas dari rintangan, gembira, dan berkeyakinan, Beliau membabarkan kepadanya ajaran yang khas para Buddha: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Seperti halnya sehelai kain yang bersih dengan segala noda telah dihilangkan akan menerima warna dengan merata, demikian pula, selagi Brahmana Brahmāyu duduk di sana, penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda muncul padanya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.” Kemudian Brahmana Brahmāyu melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak tergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

37. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup. Sudilah Sang Bhagavā, bersama dengan Sangha para bhikkhu, menerima persembahan makanan dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

38. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Brahmana Brahmāyu mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.” [146]

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju tempat kediaman Brahmana Brahmāyu dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, selama satu minggu, dengan kedua tangannya sendiri, Brahmana Brahmāyu melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik.

39. Di akhir satu minggu tersebut, Sang Bhagavā melakukan perjalanan mengembara di Negeri Videha. Tidak lama setelah Beliau pergi, Brahmana Brahmāyu meninggal dunia. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Brahmāyu telah meninggal dunia. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Para bhikkhu, Brahmana Brahmāyu bijaksana, ia memasuki jalan Dhamma, dan ia tidak menyulitkan Aku dalam mengartikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana, tanpa pernah kembali lagi dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #81 on: 15 February 2011, 01:55:03 PM »
92 Sela Sutta
Kepada Sela

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, [102] yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah pemukiman Anguttarāpa bernama Āpaṇa.

2. Petapa berambut kusut Keṇiya mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh [103] [ ]bhikkhu, dan Beliau telah tiba di Āpaṇa. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian petapa berambut kusut Keṇiya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma. Kemudian, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya, [104] terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan engkau berkeyakinan penuh pada para brahmana.”

Untuk ke dua kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama, terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan walaupun aku berkeyakinan penuh pada para brahmana, namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.” Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya …”

Untuk ke tiga kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama … namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

4. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, petapa berambut kusut Keṇiya bangkit dari duduknya dan kembali ke pertapaannya di mana ia berkata kepada teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya sebagai berikut: “Dengarkan aku, Tuan-tuan, teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku. Petapa Gotama telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan dariku besok bersama dengan Sangha para bhikkhu. Lakukanlah pembelanjaan dan persiapan yang diperlukan untukku.”

“Baik, Tuan,” mereka menjawab, dan beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiya sendiri mendirikan sebuah paviliun.

5. Pada saat itu, Brahmana Sela sedang menetap di Āpaṇa. [105] Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa, dan sedang mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana.

6. Ketika ia si petapa berambut kusut Keṇiya berkeyakinan penuh pada Brahmana Sela. Kemudian Brahmana Sela, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya. Di sana ia melihat beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiya[ ]sendiri mendirikan sebuah paviliun.

7. Ketika ia melihat ini, ia bertanya kepada si petapa berambut kusut Keṇiya: “Apa? Apakah Guru Keṇiya akan mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anaknya? Atau apakah akan mengadakan upacara pengorbanan besar? Atau apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha telah diundang bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok?”

8. “Aku tidak mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anakku, Guru Sela, juga tidak mengundang Raja Seniya Bimbisara dari Magadha bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok, tetapi aku merencanakan suatu pengorbanan besar. Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan telah sampai di Āpaṇa. [106] Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. tercerahkan [Buddha], terberkahi.’ Beliau telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan besok bersama dengan Sangha para bhikkhu.”

9. “Apakah engkau mengatakan ‘Buddha’, Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

“Apakah engkau mengatakan ‘Buddha’, Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

10. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Bahkan kata ‘Buddha’ saja sulit terdengar di dunia ini. Sekarang tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain. Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-penakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh. Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudra, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia.”

11. [Ia berkata]: “Keṇiya yang baik, di manakah Guru Gotama, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna, sekarang menetap?”

Ketika hal ini dikatakan, si petapa berambut kusut Keṇiya merentangkan lengan kanannya dan berkata: [107] “Di sana, di mana batas hijau hutan terletak, Guru Sela.”

12. Kemudian Brahmana Sela pergi bersama tiga ratus murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā. Ia berkata kepada para murid brahmana: “Berjalanlah dengan tenang, Tuan-tuan, melangkahlah dengan hati-hati; karena Para Bhagavā ini sulit didekati bagaikan singa yang mengembara sendirian. Ketika aku sedang berbicara dengan Petapa Gotama, jangan menyelaku, tetapi tunggulah hingga pembicaraan kami selesai.”

13. Kemudian Brahmana Sela mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Sela ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

14. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Brahmana BrahmāyuSela melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. [108] Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

15. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa; tanda-tanda itu lengkap, bukan tidak lengkap. Tetapi aku tidak tahu apakah Beliau adalah Buddha atau bukan. Akan tetapi, aku telah mendengar dari para para sesepuh brahmana yang lanjut usia yang berbicara menurut silsilah para guru bahwa mereka yang adalah Para Sempurna, Para Tercerahkan Sempurna, mengungkapkan diri mereka ketika puji-pujian diucapkan. Bagaimana jika aku memuji Petapa Gotama dengan syair-syair selayaknya.”

Kemudian ia memuji Sang Bhagava dengan syair-syair selayaknya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #82 on: 15 February 2011, 02:22:14 PM »
16.  Sela
“O, yang sempurna tubuhnya, menarik,
Indah dan menyenangkan dipandang;
O, Sang Bhagavā, keemasan warna kulit-Mu,
Dan putih gigi-Mu; Engkau kuat.

Ciri-ciri yang terlihat seluruhnya
Yang membedakan seorang yang berkelahiran baik;
Semuanya terdapat pada tubuh-Mu,
Tanda-tanda ini mengungkapkan seorang Manusia Luar Biasa.

Dengan mata yang jernih, dengan wajah cerah,
Agung, tegak bagaikan kobaran api,
Di tengah-tengah sosok para petapa ini
Engkau bersinar bagaikan matahari yang menyala.

Seorang bhikkhu yang begitu indah dipandang
Dengan kulit yang berkilau keemasan
Dengan ketampanan yang begitu jarang terdapat, mengapa Engkau
Puas dengan kehidupan seorang petapa?

Engkau layak menjadi seorang raja, pemimpin barisan kereta,
Seorang raja yang memutar roda,
Seorang pemenang di empat penjuru
Dan pemimpin Hutan Pohon Jambu.

   Dengan para prajurit dan para pangeran mulia
   Semuanya mengabdi pada-Mu,
   O, Gotama, Engkau seharusnya berkuasa
   Sebagai pemimpin manusia, raja di atas segala raja.”

17. Buddha
   “Aku memang adalah seorang raja, O, Sela,”
   Sang Bhagavā menjawab.
   “Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda,
   Roda yang tidak dapat dihentikan oleh siapa pun.”

18. Sela
   “Engkau mengaku tercerahkan sempurna,” Brahmana Sela berkata,
   “Engkau mengatakan kepadaku, O, Gotama,
   ‘Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda.’

   Siapakah Jenderal-Mu, siswa-Mu
   Yang mengikuti dalam jalan Sang Guru?
   Siapakah yang membantu-Mu memutar
   Roda Dhamma yang Engkau putar?”

19. Buddha
   “Roda yang Kuputar,”
   Sang Bhagavā menjawab,
   “Roda Dhamma tertinggi yang sama itu,
   Sāriputta putra Sang Tathāgata
   membantu-Ku memutar roda ini.

   Apa yang harus diketahui telah diketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah dikembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah ditinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Maka singkirkanlah keragu-raguanmu pada-Ku
   Dan biarkan tekad muncul,
   Karena adalah sulit untuk menyaksikan
   Pemandangan Para Yang Tercerahkan. [110]

   Aku adalah seorang yang kehadirannya di dunia ini
   Adalah sangat jarang terjadi,
   Aku adalah Yang Tercerahkan Sempurna,
   Aku, O, Brahmana, adalah tabib tertinggi.

   Aku adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra;
   Setelah mengalahkan semua musuh-Ku,
   Aku bergembira bebas dari ketakutan.”

20. Sela
   “O, Tuan-tuan, dengarkan ini, dengarkan apa yang Beliau katakan,
   Orang berpenglihatan, sang tabib,
   Pahlawan perkasa yang mengaum
   Bagaikan singa di dalam hutan.

   Siapakah, bahkan walaupun seorang yang berkelahiran hina,
   Yang tidak memercayainya ketika ia melihat
   Bahwa Beliau adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra?

   Sekarang silakan mengikuti bagi yang menginginkan
   Dan yang tidak menginginkan, silakan pergi.
   Karena aku akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

21. Murid-murid
   Jika, O, Tuan, sekarang engkau menyetujui
   Ajaran dari Yang Tercerahkan ini,
   Kami juga akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

22. Sela
   “Ada tiga ratus brahmana di sini
   Yang dengan tangan teracung memohon:
   ‘O, semoga kami menjalani kehidupan suci
   Di bawah Engkau, O, Sang Bhagavā.’”

23. Buddha
   “Kehidupan suci telah dinyatakan dengan sempurna,
   O, Sela,” Sang Bhagavā berkata,
   “Terlihat di sini dan tidak tertunda;
   Seorang yang berlatih dengan tekun
   Akan memperoleh buah pelepasan keduniawian.”

24. Kemudian Brahmana Sela dan kelompoknya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan mereka menerima penahbisan penuh.

25. Kemudian, ketika malam telah berlalu, si petapa berambut kusut Keṇiya mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di pertapaannya [111] dan mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan sudah siap.” Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan kedua tangannya sendiri, si petapa berambut kusut melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuk-Nya ke samping, si petapa berambut kusut mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā memberikan pemberkahan kepadanya dengan syair ini:

26.    “Persembahan yang terbakar adalah keagungan api,
   Sāvitri adalah keagungan syair pujian Veda,
   Seorang raja adalah keagungan manusia,
   Samudra adalah keagungan sungai yang mengalir;

   Bulan adalah keagungan bintang-bintang,
   Matahari adalah keagungan dari segala yang bersinar;
   Jasa adalah keagungan dari semua yang mengharapkannya;
   Sangha adalah keagungan dari mereka yang memberi.”

Setelah Sang Bhagavā memberikan berkah dengan syair-syair ini, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Kemudian tidak lama setelah penahbisan penuh mereka, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Sela dan kelompoknya, [112] dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Sela dan kelompoknya menjadi para Arahant.

28. Kemudian Yang Mulia Sela dan kelompoknya menghadap Sang Bhagavā. Setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, dengan merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata dalam syair sebagai berikut:

   “Delapan hari telah berlalu, Yang Maha-Melihat,
   Sejak kami berlindung pada-Mu.
   Dalam tujuh malam ini, O, Sang Bhagavā,
   Kami telah dijinakkan di dalam ajaran-Mu.

   Engkau adalah Sang Buddha, Engkau adalah Sang Guru,
   Engkau adalah Sang Bijaksana, penakluk Māra.
   Setelah memotong segala kecenderungan buruk,
   Engkau telah menyeberang dan menuntun umat manusia menyeberang.

   Engkau telah mengatasi segala perolehan,
   Engkau telah melenyapkan segala noda.
   Engkau adalah singa yang bebas dari kemelekatan,
   Engkau telah meninggalkan ketakutan dan kekhawatiran.

   Di sini ketiga ratus bhikkhu ini berdiri
   Dengan tangan dirangkapkan dalam penghormatan.
   O, Pahlawan, julurkanlah kaki-Mu,
   Dan izinkan makhluk-makhluk agung ini menyembah Sang Guru.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #83 on: 15 February 2011, 03:33:51 PM »
93  Assalāyana Sutta
Kepada Assalāyana


[147] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, lima ratus brahmana dari berbagai provinsi sedang menetap di Sāvatthī untuk suatu urusan. Kemudian para brahmana itu berpikir: “Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. [ ]Siapakah di sini yang mampu membantah-Nya atas pernyataan ini?”

3. Pada saat itu, seorang murid brahmana bernama Assalāyana sedang menetap di Sāvatthī. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Kemudian para brahmana berpikir: “Ada seorang murid brahmana muda bernama Assalāyana yang sedang menetap di Sāvatthī. Muda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia akan mampu berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

4. Maka para brahmana itu mendatangi murid brahmana Assalāyana dan berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke dua kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana[.]

Untuk ke dua kalinya murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke tiga kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana. Jangan sampai Guru Assalāyana kalah sebelum bertempur.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tentu saja, Tuan-tuan, aku belum selesai ketika aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma.’ Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Tetapi, Tuan-tuan, atas permintaan kalian, [ ]aku akan pergi.”

5. Kemudian murid brahmana Assalāyana pergi bersama dengan sejumlah besar para brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, para kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta yang paling cerah, para kasta lainnya adalah gelap; hanya para brahmana yang dimurnikan, bukan nonbrahmana; hanya para brahmana yang merupakan para putra Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal itu?”

“Sekarang, Assalāyana, para perempuan brahmana terlihat mengalami periode menstruasi, menjadi hamil, melahirkan, dan menyusui. [ ]Namun para brahmana itu, walaupun terlahir dari rahim, mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... hanya para brahmana yang merupakan para putra Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’” [149]

6. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Pernahkah engkau mendengar bahwa Yona dan Kamboja [ ]dan di negeri asing lainnya terdapat hanya dua kasta, majikan dan budak, dan bahwa para majikan menjadi budak dan budak menjadi majikan?”

“Demikianlah yang kudengar, Tuan.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

7. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? [ ]Misalkan seorang mulia membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakadan bukan seorang brahmana? Misalkan seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakadan bukan seorang brahmana?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu yang membunuh makhluk-makhluk hidup [150] … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

8. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang brahmana menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surgadan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

9. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, [151] tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

10. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #84 on: 15 February 2011, 04:09:53 PM »
11. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? [152] Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda dan berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, silakan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga mulia atau keluarga brahmana atau keluarga bangsawan mengambil sebatang kayu api kayu sāla, kayu salala, kayu cendana, [ ]atau kayu padumaka dan menyalakan api dan menghasilkan panas. Dan juga silakan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga buangan, keluarga pemburu, keluarga pembuat keranjang, keluarga pembuat kereta, atau keluarga pemungut sampah, mengambil kayu dari tempat minum anjing, dari tempat makan babi, dari tempat sampah, atau dari kayu jarak dan menyalakan api dan menghasilkan panas.’

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, apakah api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan apakah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api, sementara ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dari kelompok ke dua, api itu tidak memiliki kobaran, tanpa warna, dan tanpa cahaya, dan tidak mungkin menggunakannya sebagai fungsi api?”

“Tidak, Guru Gotama. Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Dan api yang dinyalakan dan panas yang dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok ke dua, api itu juga memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Karena semua api memiliki kobaran, [153] warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

12. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda mulia hidup bersama dengan seorang gadis brahmana, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ayah atau seorang brahmana mengikuti sang ibu?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

13. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda brahmana hidup bersama dengan seorang gadis mulia, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ibu atau seorang brahmana mengikuti sang ayah?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seekor kuda betina dikawinkan dengan seekor keledai jantan, dan seekor anak kuda terlahir sebagai akibatnya. Apakah anak kuda itu disebut seekor kuda mengikuti sang ibu atau seekor keledai mengikuti sang ayah?”

“Itu adalah seekor bagal, Guru Gotama, karena anak kuda itu tidak berasal dari jenis mana pun. [154] Aku melihat perbedaan dalam kasus terakhir ini, tetapi aku tidak melihat perbedaan dalam kasus-kasus sebelumnya.”

15. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang rajin belajar dan cerdas, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas dapat menghasilkan buah besar?”

16. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas tetapi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk dapat menghasilkan buah besar?”

17. “Pertama-tama, Assalāyana, engkau berpegang pada kelahiran, dan setelah itu engkau berpegang pada pembelajaran kitab-kitab, dan setelah itu engkau akhirnya berpegang pada landasan pemurnian bagi keseluruhan empat kasta, seperti yang Kujelaskan.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana duduk diam dan cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak mampu menjawab. Mengetahui hal ini, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

18. “Suatu ketika, Assalāyana, ketika tujuh petapa brahmana sedang berdiskusi di dalam sebuah gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: ‘Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... [155] ... pewaris Brahmā.’ Petapa Devala si Gelap mendengar hal ini.  Kemudian ia merapikan rambut dan janggutnya, mengenakan pakaian berwarna kuning, memakai sandal besar, dan memegang tongkat emas, ia muncul di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu. Kemudian, selagi berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu, Petapa Devala si Gelap berkata sebagai berikut: ‘Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi?’ Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Siapakah yang berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana seperti orang dusun dan mengatakan: “Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi?” mari kita mengutuknya!’ Kemudian ketujuh petapa brahmana itu mengutuk petapa Devala si Gelap sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ Tetapi semakin ketujuh petapa brahmana itu mengutuknya, Petapa Devala si Gelap itu [ ]menjadi semakin menarik dan tampan. Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Pertapaan kami sia-sia, kehidupan suci kami tidak berbuah; karena sebelumnya jika kami mengutuk seseorang sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ maka ia pasti menjadi abu; tetapi semakin kami mengutuk orang ini, ia menjadi semakin menarik dan tampan.’

“‘Pertapaan kalian tidak sia-sia, Tuan-tuan, kehidupan suci kalian bukan tidak berbuah. Tetapi, Tuan-tuan, singkirkanlah kebencian kalian terhadapku.’ [156]

“‘Kami telah menyingkirkan kebencian kami terhadapmu, Tuan. Siapakah engkau?’

“‘Pernahkah kalian mendengar tentang Petapa Devala si Gelap, Tuan-tuan?’‘Pernah, Tuan.’Akulah Petapa si gelap itu, Tuan-tuan.’

“Kemudian ketujuh petapa brahmana itu mendatangi Petapa Devala si Gelap dan bersujud padanya. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, aku mendengar ketika ketujuh petapa brahmana sedang berdiam di dalam gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: “Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.”’‘Demikianlah, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu yang melahirkan kalian hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu dari ibu kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah yang menurunkan kalian hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah dari ayah kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bagaimana munculnya janin terjadi?’

“‘Tuan, kami mengetahui bagaimana munculnya janin terjadi. [157] Di sini, penyatuan ibu dan ayah, dan ibu sedang dalam masa subur, dan gandhabba hadir. Demikianlah munculnya janin terjadi melalui perpaduan ketiga hal ini.’

“‘Kalau begitu, Tuan-tuan, apakah kalian mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?’

“‘Tuan, kami tidak mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja.’

“‘Kalau begitu, Tuan-tuan, jadi siapakah kalian?’

“‘Kalau begitu, Tuan, kami tidak mengetahui siapa kami ini.’

“Sekarang, Assalāyana, bahkan ketujuh petapa brahmana itu, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh Petapa Devala si Gelap tentang pernyataan mereka sendiri sehubungan dengan kelahiran, tidak mampu mempertahankannya. Tetapi bagaimana mungkin engkau, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh-Ku tentang pernyataanmu sehubungan dengan kelahiran, mampu mempertahankannya? Engkau, yang mengandalkan doktrin-doktrin gurumu, [bahkan] tidak [sebanding dengan] Puṇṇa pemegang sendok mereka.”

19. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! ... (seperti Sutta 91, §37)  ... Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #85 on: 15 February 2011, 04:48:58 PM »
94  Ghoṭamukha Sutta
Kepada Ghoṭamukha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Hutan Mangga Khemiya.

2. Pada saat itu, Brahmana Ghoṭamukha telah tiba di Benares untuk suatu urusan. Sewaktu ia sedang [158] berjalan-jalan untuk berolahraga, ia sampai di Hutan Mangga Khemiya. Pada saat itu, Yang Mulia Udena sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mendatangi Yang Mulia Udena dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, sambil berjalan mondar-mandir bersama Yang Mulia Udena, ia berkata: “Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udena melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia. [ ]Dan Ghoṭamukha juga melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediaman, di mana ia berdiri di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Udena berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Brahmana, silakan duduk jika engkau menginginkan.”

“Kami tidak duduk karena kami sedang menunggu Guru Udena [berbicara]. Karena bagaimana mungkin seseorang seperti diriku berani duduk di tempat duduk tanpa sebelumnya diundang untuk duduk?”

4. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Udena: Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.

“Brahmana, jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diterima, maka terimalah; jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diperdebatkan, maka perdebatkanlah, tanyakanlah untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini, kita dapat mendiskusikan persoalan ini.”

“Guru Udena, jika aku merasa bahwa apa pun pernyataan Guru Udena harus diterima, maka aku akan menerima; jika aku merasa bahwa apa pun pernyataannya harus diperdebatkan, maka aku akan memperdebatkannya; dan jika aku [159] tidak memahami makna dari pernyataan Guru Udena, maka aku akan menanyakan kepada Guru Udena untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini, marilah kita mendiskusikan persoalan ini.”

5-6. “Brahmana, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini?” … (seperti Sutta 51, §§5-6) [160] …

“Tetapi, Guru Udena, jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suciia tidak menyiksa dan melukai dirinya maupun makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Itulah sebabnya jenis orang ini memuaskan pikiranku.”

7. “Brahmana, ada dua jenis kelompok. Apakah dua ini? Di sini kelompok tertentu bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak. Tetapi di sini kelompok tertentu tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang, ada jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci. Dalam kelompok manakah dari kedua jenis kelompok ini engkau biasanya melihat orang jenis ini, Brahmanadalam kelompok yang bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak; atau dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

[161] “Aku biasanya melihat orang jenis ini, Guru Udena, dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak … meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

8. “Tetapi baru saja, Brahmana, kami mendengar engkau mengatakan: ‘Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.’”

“Tentu saja, Guru Udena, adalah dengan tujuan untuk belajar, maka aku mengatakan kata-kata itu. Ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma; demikianlah sepertinya bagiku, dan sudilah Guru Udena mengingatku [telah berkata] demikian. Baik sekali jika, demi belas kasihan, Guru Udena sudi menjelaskan kepadaku secara terperinci mengenai keempat jenis orang yang telah disebutkan secara singkat.”

9. “Maka, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan,”“Baik, Tuan,” Brahmana Ghoṭamukha menjawab. Yang Mulia Udena berkata sebagai berikut:

10-30. “Brahmana, orang-orang jenis apakah yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini, seseorang tertentu bepergian dengan telanjang ... (seperti Sutta 51,§§8-28) [162] ... dan berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Ghoṭamukha berkata kepada Yang Mulia Udena: “Mengagumkan, Guru Udena! Mengagumkan, Guru Udena! Guru Udena telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Udena dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

32. “Jangan berlindung padaku, Brahmana. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang sama dengan yang pada-Nya aku berlindung.”

“Di manakah Beliau menetap sekarang, Guru Gotama itu, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, Guru Udena?”

“Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu telah mencapai Nibbāna akhir, Brahmana.”

11. “Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada sepuluh liga jauhnya, maka kami akan pergi sejauh sepuluh liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada dua puluh liga ... tiga puluh liga ... empat puluh liga ... lima puluh liga ... seratus liga, [163] maka kami akan pergi sejauh seratus liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Tetapi karena Guru Gotama telah mencapai Nibbāna akhir, maka kami berlindung pada Guru Gotama itu, dan kepada Dhamma, dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

33. “Sekarang, Guru Udena, Raja Anga memberikan persembahan harian kepadaku. Dari persembahan itu, izinkan aku memberikan persembahan rutin kepada Guru Udena.”

“Persembahan rutin apakah yang diberikan oleh Raja Anga kepadamu, Brahmana?”

“Lima ratus kahāpaṇa, Guru Udena.”

“Kami tidak diperbolehkan menerima emas dan uang, Brahmana.”

“Jika tidak diperbolehkan bagi Guru Udena, maka aku akan membangun sebuah vihara untuk Guru Udena.”

“Jika engkau ingin membangun sebuah vihara untukku, Brahmana, bangunlah sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

“Aku bahkan menjadi lebih puas dan lebih senang dengan usul Guru Udena untuk memberikan persembahan kepada Sangha. Maka dengan persembahan rutin ini dan persembahan rutin lainnya, aku akan membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

Kemudian dengan persembahan rutin [yang ia persembahkan kepada Guru Udena] dan persembahan rutin lainnya [yang ditambahkan], Brahmana Ghoṭamukha membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta. Dan sekarang dikenal sebagai Ghoṭamukhi.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #86 on: 15 February 2011, 05:23:30 PM »
95 Cankī Sutta
Bersama Cankī

[164] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah desa brahmana Kosala bernama Opasāda. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Para Dewa, [ ]Hutan Pohon-Sāla di utara Opasāda.

2. Pada saat itu, Brahmana Cankī adalah penguasa Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah, kaya akan padang rumput, hutan, sungai, dan sawah, suatu anugerah kerajaan, pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala.

3. Para brahmana perumah tangga di Opasāda mendengar: “Petapa Gotama … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

4. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla.

5. Pada saat itu, Brahmana Cankī telah naik ke lantai atas istananya untuk beristirahat siang. Kemudian ia melihat para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla. Ketika ia melihat mereka, ia bertanya kepada menterinya: “Menteriku, mengapakah brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla?”

6. “Tuan, ada Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, yang sedang mengembara di Negeri Kosala … (seperti Sutta 91, §3) … Mereka pergi menemui Guru Gotama.”

“Kalau begitu, Menteriku, temui para brahmana perumah tangga itu dan katakan: ‘Tuan-tuan, Brahmana Cankī berkata sebagai berikut: “Mohon Tuan-tuan menunggu sebentar. Brahmana Cankī juga akan pergi menemui Petapa Gotama[.]”’”

“Baik, Tuan,” menteri itu menjawab, [165] dan ia menjumpai para brahmana perumah tangga dari Opasāda dan menyampaikan pesannya.

7. Pada saat itu, lima ratus brahmana dari berbagai wilayah sedang menetap di Opasāda untuk suatu urusan. Mereka mendengar: “Brahmana Cankī, dikatakan, akan menemui Petapa Gotama.” Kemudian mereka mendatangi Brahmana Cankī dan bertanya kepadanya: “Tuan, benarkah bahwa engkau akan menemui Petapa Gotama?”

“Demikianlah, Tuan-tuan. Aku akan menemui Petapa Gotama.”

8. “Tuan, jangan pergi menemui Petapa Gotama. Tidaklah selayaknya, Guru Cankī, bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama; sebaliknya, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Karena engkau, Tuan, terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Engkau, Tuan, kaya, dengan kekayaan berlimpah dan banyak kepemilikan. Engkau, Tuan, adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Engkau, Tuan, tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Engkau, Tuan, bermoral, matang dalam moralitas, memiliki moralitas yang matang. Engkau, Tuan, adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; [166] engkau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Engkau, Tuan, mengajarkan guru-guru dari banyak orang, dan engkau mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Brahmana Pokkharasāti. [ ]Engkau, Tuan, menguasai Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah … pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada para brahmana itu: “Sekarang, Tuan-tuan, dengarkanlah dariku mengapa selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama, dan mengapa tidak selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku. Tuan-tuan, Petapa Gotama terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemuiku, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dengan melepaskan banyak emas dan perak yang tersimpan dalam gudang dan lumbung. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupannya. Tuan-tuan, Petapa Gotama mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah walaupun ibu dan ayahnya menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah berlinang air mata. Tuan-tuan, Petapa Gotama tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, [167] dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bermoral, dengan moralitas mulia, dengan moralitas bermanfaat, memiliki moralitas yang bermanfaat. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; Beliau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah guru bagi guru-guru dari banyak orang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bebas dari nafsu indria dan tidak membanggakan diri. Tuan-tuan, Petapa Gotama menganut doktrin efektivitas tindakan bermoral, doktrin efektivitas perbuatan bermoral; Beliau tidak berniat mencelakai silsilah para brahmana. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kerajaan, dari salah satu keluarga mulia yang asli. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kaya, dari keluarga dengan kekayaan berlimpah dan kepemilikan berlimpah. Tuan-tuan, orang-orang datang dari kerajaan-kerajaan yang jauh dan daerah-daerah yang jauh untuk bertanya kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, ribuan dewa telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, berita baik sehubungan dengan Petapa Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Tercerahkan, terberkahi.’ Tuan-tuan, Petapa Gotama memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa. Tuan-tuan, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Raja Pasenadi dari Kosala dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Brahmana Pokkharasāti dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama telah tiba di Opasāda dan menetap di Opasāda di Hutan Para Dewa, di Hutan Pohon Sāla di utara Opasāda. Sekarang, setiap petapa atau brahmana yang datang ke pemukiman kita adalah tamu kita, dan tamu seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. Karena Petapa Gotama telah tiba di Opasāda, maka Beliau adalah tamu kita, dan karena tamu kita seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. [168] Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama.

“Tuan-tuan, sebanyak ini pujian atas Guru Gotama yang telah kuketahui, tetapi pujian atas Guru Gotama tidak terbatas pada itu, karena pujian atas Guru Gotama adalah tidak terbatas. Karena Guru Gotama memiliki masing-masing dari faktor-faktor ini, maka tidaklah selayaknya bagi Beliau untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Oleh karena itu, Tuan-tuan, marilah kita semuanya pergi menemui Petapa Gotama.”

10. Kemudian Brahmana Cankī, bersama dengan sejumlah besar brahmana, pergi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi.

11. Pada saat itu, Sang Bhagavā sedang duduk dan beramah-tamah dengan beberapa brahmana yang sangat senior. Ketika itu, duduk dalam kumpulan itu, seorang murid brahmana bernama Kāpaṭhika. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Sementara para brahmana yang sangat senior sedang berbincang-bincang dengan Sang Bhagavā, ia berulang-ulang menyela pembicaraan mereka. Kemudian Sang Bhagavā menegur murid brahmana Kāpaṭhika sebagai berikut: “Mohon Yang Mulia Bhāradvāja tidak menyela pembicaraan para brahmana senior ketika mereka sedang berbicara. Mohon Yang Mulia Bhāradvāja menunggu hingga pembicaraan selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mohon Guru Gotama tidak menegur murid brahmana Kāpaṭhika. Murid brahmana Kāpaṭhika adalah seorang anggota keluarga, ia sangat terpelajar, ia adalah penyampai ajaran yang baik, ia bijaksana; ia mampu mengambil bagian dalam diskusi dengan Guru Gotama.”

12. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tentu saja, [169] karena para brahmana menghormatinya demikian, murid brahmana Kāpaṭhika pasti mahir dalam kitab-kitab Tiga Veda.”

Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Ketika Petapa Gotama melihatku, aku akan mengajukan pertanyaan kepada Beliau.”

Kemudian, mengetahui pikiran murid brahmana Kāpaṭhika dengan pikiran Beliau sendiri, Sang Bhagavā berpaling kepadanya. Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Petapa Gotama telah berpaling kepadaku. Bagaimana jika aku mengajukan sebuah pertanyaan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmanis kuno yang diturunkan melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

13. “Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangiyaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhaguapakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”[170] “Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Bhāradvāja, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Bagaimana menurutmu, Bhāradvāja, oleh karena itu, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti tidak berdasar?”

14. “Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan, Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.”

[ ]“Bhāradvāja, pertama-tama engkau berpegang pada keyakinan, sekarang engkau mengatakan tradisi lisan. Ada lima hal, Bhāradvāja, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. [ ]Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Sekarang, sesuatu mungkin sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. Kemudian, [171] sesuatu mungkin sepenuhnya disetujui … disampaikan dengan baik … dinalar dengan baik … direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. [Dalam kondisi-kondisi ini] adalah tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’”

------------
Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #87 on: 15 February 2011, 06:08:46 PM »
Lanjutan Canki Sutta
-----------------------

15. “Tetapi, Guru Gotama, dengan cara bagaimanakah pelestarian kebenaran itu? [ ]Bagaimanakah seseorang melestarikan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran.”

“Jika seseorang memiliki keyakinan, Bhāradvāja, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Keyakinanku adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara inilah ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.

“Jika seseorang menyetujui sesuatu … jika ia menerima penyampaian tradisi lisan … jika ia [sampai pada kesimpulan yang berdasarkan pada] penalaran … jika ia memperoleh penerimaan pandangan melalui perenungan, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Penerimaanku atas suatu pandangan setelah merenungkan adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini juga, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.”

16. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara itu seseorang melestarikan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui pelestarian kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, penemuan kebenaran itu? Dengan cara bagaimanakah seseorang menemukan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran.”

17. “Di sini, Bhāradvāja, seorang bhikkhu mungkin hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman. [ ]Kemudian seorang perumah tangga atau putra perumah tangga mendatanginya dan menyelidikinya sehubungan dengan tiga jenis kondisi: [172] sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, dan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada keserakahan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut, walaupun tidak mengetahui, ia akan mengatakan, “Aku tahu,” atau walaupun tidak melihat, ia akan mengatakan “Aku melihat,” atau ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh keserakahan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya melalui logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh keserakahan.’

18. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebencian sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebencian. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’

19. Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebodohan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebodohan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’

20. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia mendengarkan; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna-maknanya, ia memperoleh penerimaan atas ajaran-ajaran itu melalui perenungan; ketika ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; [ ]setelah menyelidiki, ia berusaha; [ ]karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan. [ ]Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran.”

21. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara itu seseorang menemukan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui penemuan kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran? Dengan cara bagaimanakah seseorang akhirnya sampai pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran.” [174]

“Kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja, terletak pada pengulangan, pengembangan, dan pelatihan hal-hal yang sama itu. Dengan cara inilah, Bhāradvāja, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara ini seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan kedatangan akhir pada kebenaran.”

22. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara itu seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui kedatangan akhir pada kebenaran. Tetapi dengan cara apakah, Guru Gotama, hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

“Usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak berusaha, maka ia tidak akan pada akhirnya sampai pada kebenaran; tetapi karena ia berusaha, maka ia akhirnya sampai pada kebenaran. Itulah sebabnya mengapa usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

23. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi usaha? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi usaha.”

“Penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menyelidiki, maka ia tidak akan berusaha; tetapi karena ia menyelidiki, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha.”

24. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penyelidikan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penyelidikan.”

“Pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengerahkan tekadnya, maka ia tidak akan menyelidiki; tetapi karena ia mengerahkan tekadnya, maka ia menyelidiki. Itulah sebabnya mengapa pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan.”

25. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi pengerahan tekad? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

“Semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak membangkitkan semangat, maka ia tidak akan mengerahkan tekadnya; tetapi karena ia membangkitkan semangat, maka ia berusahamengerahkan tekadnya. Itulah sebabnya mengapa semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

26. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi semangat? [175] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi semangat.”

“Penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat tidak akan muncul; tetapi karena ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat muncul. Itulah sebabnya mengapa penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat.”

27. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

“Penelitian makna adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak meneliti makna-maknanya, maka ia tidak akan memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran; tetapi karena ia meneliti makna-maknanya, maka ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa penelitian adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

28. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penelitian makna? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penelitian makna.”

“Penghafalan ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi penelitian makna, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghafalkan ajaran, maka ia tidak akan meneliti maknanya; tetapi karena ia menghafalkan ajaran, maka ia meneliti maknanya.”

29. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

“Mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mendengarkan Dhamma, maka ia tidak akan menghafalkan ajaran-ajaran; tetapi karena ia mendengarkan Dhamma, maka ia menghafalkan ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

30. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

“Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma, Bhāradvāja. [176] Jika seseorang tidak mendengar, maka ia tidak akan mendengarkan Dhamma; tetapi karena ia mendengar, maka ia mendengarkan Dhamma. Itulah sebabnya mengapa Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mendengar? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mendengar.”

“Memberikan penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghormat, maka ia tidak akan mendengar; tetapi karena ia menghormat, maka ia mendengar. Itulah sebabnya mengapa memberi penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar.”

32. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam memberi penghormatan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

“Mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengunjungi [seorang guru], maka ia tidak akan memberi penghormatan; tetapi karena ia mengunjungi [seorang guru], maka ia memberi penghormatan. Itulah sebabnya mengapa mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

33. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mengunjungi? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mengunjungi.”

“Keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi, Bhāradvāja. Jika keyakinan [pada seorang guru] tidak muncul, maka ia tidak akan mengunjunginya; tetapi karena keyakinan [pada seorang guru] muncul, maka ia mengunjunginya. Itulah sebabnya mengapa keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi.”

34. “Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang pelestarian kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang penemuan kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. [177] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Apa pun yang kami tanyakan kepada Guru Gotama, Beliau telah menjawab kami; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Sebelumnya, Guru Gotama, kami biasanya berpikir: ‘Siapakah petapa berkepala gundul ini, keturunan rendah dan gelap dari kaki Leluhur, sehingga mereka dapat memahami Dhamma?’ [ ]Tetapi Guru Gotama sungguh telah menginspirasiku dalam cinta kasih kepada para petapa, keyakinan pada para petapa, hormat pada para petapa.

35. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama, … (seperti Sutta 91, §38) … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #88 on: 15 February 2011, 07:14:23 PM »
96 Esukārī Sutta
Kepada Esukārī

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Esukārī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

3. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat tingkat pelayanan. Mereka menetapkan tingkat pelayanan kepada seorang brahmana, tingkat pelayanan kepada seorang mulia, tingkat pelayanan kepada seorang pedagang, tingkat pelayanan kepada seorang pekerja. Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang brahmana: seorang brahmana boleh melayani seorang brahmana, seorang mulia boleh melayani seorang brahmana, seorang pedagang boleh melayani seorang brahmana, dan seorang pekerja boleh melayani seorang brahmana. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang brahmana [178] yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang mulia: seorang mulia boleh melayani seorang mulia, seorang pedagang boleh melayani seorang mulia, dan seorang pekerja boleh melayani seorang mulia. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pedagang: seorang pedagang boleh melayani seorang pedagang, dan seorang pekerja boleh melayani seorang pedagang. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pekerja: hanya seorang pekerja yang boleh melayani seorang pekerja; karena siapakah orang lainnya yang akan melayani seorang pekerja? Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

4. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat tingkat pelayanan ini?”“Tidak, Guru Gotama.”“Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat, dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat tingkat pelayanan itu.

5. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak dilayani. Dan jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.

6. “Jika mereka bertanya kepada seorang mulia sebagai berikut: ‘Siapakah di antara orang-orang ini yang seharusnya engkau layaniseorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya, atau seorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya,’ [179] jika menjawab dengan benar, seorang mulia akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

“Jika mereka bertanya kepada seorang brahmana … bertanya kepada seorang pedagang … bertanya kepada seorang pekerja … jika menjawab dengan benar, seorang pekerja akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

7. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia kaya, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia kaya.

8. “Karena di sini, Brahmana, seseorang yang berasal dari keluarga bangsawan mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi juga, Brahmana, seseorang dari keluarga bangsawan mungkin menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, menghindari mengucapkan ucapan jahat, menghindari gosip, tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat-buruk, dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan.

“Di sini, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan … karena ia kaya. Tetapi juga, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya … mungkin menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu, [180] Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan … karena ia kaya.

9. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaannya bertambah dalam pelayanannya, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.”

10. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat jenis kekayaan. Mereka menetapkan kekayaan seorang brahmana, kekayaan seorang mulia, kekayaan seorang pedagang, dan kekayaan seorang pekerja.

“Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang brahmanamengembara mengumpulkan dana makanan; [ ]seorang brahmana yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu mengembara mengumpulkan dana makanan, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang brahmana yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang muliabusur dan tempat anak panah; seorang mulia yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu busur dan tempat anak panah, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pedagangbercocok-tanam dan mengembangbiakkan ternak; [ ]seorang pedagang yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu bercocok-tanam dan mengembangbiakkan ternak, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pekerjasabit dan galah pengangkut beban; seorang pekerja yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu sabit dan galah pengangkut beban, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

11. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat jenis kekayaan ini?”[181] “Tidak, Guru Gotama.”“Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat, dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat jenis kekayaan itu.

12. “Aku, Brahmana, menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang. [ ]Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali. [ ]Jika ia terlahir kembali dalam kasta mulia, maka ia diakui sebagai seorang mulia; jika ia terlahir kembali dalam kasta brahmana, maka ia diakui sebagai seorang brahmana; jika ia terlahir kembali dalam kasta pedagang, maka ia diakui sebagai seorang pedagang; jika ia terlahir kembali dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja. Seperti halnya api diakui melalui kondisi tertentu yang bergantung pada apa api itu membakarjika api membakar dengan bergantung pada kayu batang, maka api itu dikenal sebagai api kayu batang; jika api membakar dengan bergantung pada kayu ranting, maka api itu dikenal sebagai api kayu ranting; jika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka api itu dikenal sebagai api rumput; jika api membakar dengan bergantung pada kotoran-sapi, maka api itu dikenal sebagai api kotoran-sapidemikian pula, Brahmana, Aku menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang. Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali. Jika ia terlahir kembali … dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja.

13. “Jika, Brahmana, seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. [182]

Jika, Brahmana, seseorang dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

14. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

15. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

16. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda.” ... (seperti Sutta 93,  §11) [184] … “Karena semua api memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

17. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #89 on: 15 February 2011, 07:30:26 PM »
97 Dhānañjāni Sutta
Kepada Dhānañjāni

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta sedang mengembara di Gunung Selatan bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Kemudian seorang [185] bhikkhu yang telah melewatkan masa Vassa di Rājagaha mendatangi Yang Mulia Sariputta di Gunung Selatan dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta bertanya kepadanya: “Apakah Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman?”

“Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah Sangha para bhikkhu sehat dan kuat, Teman?”

“Sangha para bhikkhu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Teman, ada seorang brahmana bernama Dhānañjāni yang menetap di Taṇḍulapāla. Apakah Brahmana Dhānañjāni itu sehat dan kuat?”

“Brahmana Dhānañjāni itu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah ia tekun, Teman?”

“Bagaimana mungkin ia tekun, Teman? Ia merampas para brahmana perumah tangga atas nama raja, dan ia merampas raja atas nama para brahmana perumah tangga. Istrinya, yang berkeyakinan dan berasal dari suku yang berkeyakinan, telah meninggal dunia dan ia telah memperistri perempuan lain yang tidak berkeyakinan dan berasal dari suku yang tidak berkeyakinan.”

“Ini adalah berita buruk yang kami dengar, Teman. Ini sungguh berita buruk yang kami dengar bahwa Brahmana Dhānañjāni telah menjadi lengah. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Brahmana Dhānañjāni dan berbincang-bincang dengannya.”

3. Kemudian, setelah menetap di Gunung Selatan selama yang ia kehendaki, Yang Mulia Sāriputta melakukan pengembaraan menuju Rājagaha. Dengan mengembara secara bertahap, akhirnya ia tiba di Rājagaha, dan di sana ia menetap di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

4. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. [186] Pada saat itu, Brahmana Dhānañjāni sedang memerah susu di sebuah kandang sapi di luar kota. Maka ketika Yang Mulia Sāriputta telah menerima dana makanan di Rājagaha dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia mendatangi Brahmana Dhānañjāni. Dari kejauhan Brahmana Dhānañjāni melihat kedatangan Yang Mulia Sāriputta, dan ia menyambutnya dan berkata: “Minumlah susu segar ini, Guru Sāriputta, hingga waktunya makan.”

“Cukup, Brahmana, aku telah selesai makan hari ini. Aku akan berada di bawah pohon itu untuk melewatkan hari. Engkau boleh datang ke sana.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab.

5. Dan kemudian, setelah ia makan pagi, Brahmana Dhānañjāni mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya: “Apakah engkau tekun, Dhānañjāni?”

“Bagaimana mungkin kami dapat tekun, Guru Sāriputta, ketika kami harus menyokong orang tua kami, istri dan anak-anak kami, dan budak-budak, pelayan, dan pekerja kami; ketika kami harus melakukan tugas-tugas kami terhadap teman-teman dan sahabat kami, terhadap sanak-saudara dan kerabat kami, terhadap tamu-tamu kami, terhadap para leluhur kami yang telah meninggal dunia, terhadap para dewa, dan terhadap raja; dan ketika jasmani ini juga harus diistirahatkan dan dipelihara?”

6. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi orang tuanya, dan kemudian karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] Adalah demi orang tuaku maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? [187] Atau dapatkah orang tuanya [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: Adalah demi kami maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

7-15. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi istri dan anak-anaknya … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … [188] demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini, karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? Atau dapatkah orang lain [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #90 on: 15 February 2011, 07:53:37 PM »
16. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik, seorang yang demi orang tuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi orang tuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi orang tuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi orang tuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orang tuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.
 
17-25. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik, seorang yang demi istri dan anak-anaknya … [189] … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … [190] … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … [191] … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orang tuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.”

26. Kemudian Brahmana Dhānañjāni, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta, bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Belakangan Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, [192] temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.[’]” Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

28. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Brahmana Dhānañjāni, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Brahmana Dhānañjāni: “Aku harap engkau lebih baik, Brahmana, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

29. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah [193] seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah arang panas membara, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.

30. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baikneraka atau alam binatang?”“Alam binatang, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikalam binatang atau alam hantu?”“Alam hantu, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikalam hantu atau manusia?”“Manusia, Guru Sāriputta.” [194]“Yang manakah yang lebih baikmanusia atau para dewa di surga Empat Raja Dewa?”“Para dewa di alam Empat Raja Dewa, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Empat Raja Dewa atau para dewa di surga Tiga Puluh Tiga?”“Para dewa di surga Tiga Puluh Tiga, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Tiga Puluh Tiga atau para dewa Yāma?”“Para dewa Yāma, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa Yāma atau para dewa di surga Tusita?”“Para dewa di surga Tusita, Guru Sāriputta.”Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Tusita atau [ ]para dewa yang bergembira dalam penciptaan?”“Para dewa yang bergembira dalam penciptaan, Guru Sāriputta.”Yang manakah yang lebih baikpara dewa yang bergembira dalam penciptaan atau para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain?”“Para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain, Guru Sāriputta.”

31. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baikpara dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain atau alam Brahmā?”“Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahmā’. Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahmā’.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahma. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā?” [Dan ia berkata:] “Dhānañjāni, aku akan mengajarkan kepadamu jalan menuju alam Brahmā. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. [195] Yang Mulia berkata sebagai berikut:

32. “Apakah jalan menuju alam Brahmā? Di sini, Dhānañjāni, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini adalah jalan menuju alam Brahmā.

33-35. “Kemudian, Dhānañjāni,  seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini juga adalah jalan menuju alam Brahmā.

36. “Kalau begitu, Guru Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni di dalam alam-Brahmā yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan. [ ]Segera setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, Brahmana Dhānañjāni meninggal dunia dan muncul kembali di alam-Brahmā.

37. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni di alam-Brahmā yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan.”

38. Kemudian Yang Mulia Sāriputta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.”

“Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni [196] di alam-Brahmā yang rendah, mengapa engkau bangkit dari duduk dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan?”

“Yang Mulia, aku berpikir bahwa: ‘Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahmā. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā.’”

“Sāriputta, Brahmana Dhānañjāni telah meninggal dunia dan telah muncul kembali di alam-Brahmā.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #91 on: 15 February 2011, 08:33:22 PM »
98 Vāseṭṭha Sutta
Kepada Vāseṭṭha

[115] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala.

2. Pada saat itu, sejumlah brahmana kaya dan terkenal sedang menetap di Icchānangala, yaitu, Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇussoṇi, Brahmana Todeyya, dan para brahmana kaya dan terkenal lainnya.

3. Kemudian, sewaktu murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja sedang berjalan-jalan untuk berolahraga, diskusi berikut ini terjadi antara mereka: “Bagaimanakah seseorang disebut seorang brahmana?” Murid brahmana Bhāradvāja berkata: “Jika ia berasal dari kelahiran baik pada kedua pihak, keturunan dari ibu dan ayah yang murni hingga tujuh generasi sebelumnya, tidak dapat dibantah dan tanpa cela dalam hal kelahiran, maka ia adalah seorang brahmana.” Murid brahmana Vāseṭṭha berkata: “Jika ia bermoral dan mematuhi peraturan-peraturan, maka ia adalah seorang brahmana.”

4. Tetapi murid brahmana Bhāradvāja tidak dapat [116] meyakinkan murid brahmana Vāseṭṭha, juga murid brahmana Vāseṭṭha tidak dapat meyakinkan murid brahmana Bhāradvāja.

5. Kemudian murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada murid brahmana Bhāradvāja: “Tuan, Petapa Gotama, putra Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Marilah, Bhāradvāja, kita pergi menemui Petapa Gotama dan menanyakan kepadanya sehubungan dengan persoalan ini. Sebagaimana Beliau menjawabnya, demikianlah kita akan mengingatnya.”“Baik, Tuan,” murid brahmana Bhāradvāja menjawab.

6. Kemudian kedua murid brahmana itu, Vāseṭṭha dan Bhāradvāja, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

7. Vāseṭṭha
   1. “Kami berdua diakui memiliki
   Pengetahuan Tiga Veda,
   Karena aku adalah murid Pokkharasāti
   Dan ia adalah murid Tārukkha.

   2. Kami telah mencapai penguasaan penuh
   Atas segala yang diajarkan oleh para ahli Veda;
   Mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa
   Kami setara dengan guru-guru kami dalam hal pembacaan. [117]

   3. Perselisihan muncul di antara kami, Gotama,
   Sehubungan dengan pertanyaan tentang kelahiran dan kasta:
   Bhāradvāja mengatakan seseorang adalah brahmana melalui kelahiran,
   Sedangkan aku mengatakan seseorang adalah brahmana melalui perbuatan.
   Ketahuilah hal ini, O, Petapa, sebagai perdebatan kami.

   4. Karena kami tidak bisa saling meyakinkan satu sama lain,
   Atau membuatnya melihat sudut pandang yang lain,
   Kami telah mendatangi-Mu, Tuan,
   Yang termasyhur sebagai seorang Buddha.

   5. Seperti halnya orang-orang merangkapkan tangannya
   Menyembah bulan ketika bulan mulai mengembang,
   Demikian pula di dunia ini mereka memuliakan Engkau
   Dan menyembah Engkau, Gotama.

   6. Maka sekarang kami bertanya kepada-Mu, Gotama,
   Pembuka mata di dunia ini:
   Apakah seseorang menjadi brahmana melalui kelahiran atau perbuatan?
   Jelaskanlah kepada kami yang tidak mengetahui
   Bagaimana kami seharusnya mengenali seorang brahmana.”

8. Buddha
   7. “Aku akan mengajarkan engkau secara berurutan sebagaimana adanya,
   Vāseṭṭha,” Sang Bhagavā berkata,
   “Pengelompokan umum makhluk-makhluk hidup;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   8. Pertama-tama ketahuilah rumput dan pepohonan:
   Walaupun tidak memiliki kesadaran-diri,
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   9. Berikutnya adalah ngengat dan kupu-kupu
   Dan seterusnya hingga semut dan rayap:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   10. Kemudian ketahuilah jenis-jenis binatang kaki empat
   [dari berbagai jenisnya] baik kecil maupun besar:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   11. Ketahuilah binatang-binatang yang perutnya adalah kakinya,
   Yaitu, kelompok ular berbadan panjang:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   12. Ketahui juga ikan-ikan yang berdiam di air
   Habitatnya adalah alam cair:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   13. Berikutnya ketahuilah burung-burung yang mengepakkan sayapnya
   Ketika terbang di angkasa raya:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

9.
   14. “Sementara dalam kelahiran-kelahiran ini perbedaan-perbedaan
   Kelahiran menjadi tanda khususnya,
   Pada manusia tidak ada perbedaan kelahiran
   Yang menjadi tanda khususnya.
   
   15. Tidak di rambut juga tidak di kepala
   Tidak di telinga juga tidak di mata   
   Tidak di mulut juga tidak di hidung
   Tidak di bibir juga tidak di kening;

   16. Juga tidak di bahu atau di leher
   Juga tidak di perut atau di punggung
   Juga tidak di pantat atau di dada
   Juga tidak di organ kelamin atau cara berhubungan seksual

   17. Tidak di tangan juga tidak di kaki
   Juga tidak di jari tangan atau di kuku
   Tidak di lutut juga tidak di paha
   Juga tidak dalam warna kulit atau dalam suara
   Di sini kelahiran tidak memiliki tanda khusus
   Seperti halnya dengan jenis kelahiran lainnya. [119]

   18. Pada tubuh manusia
   Tidak ada tanda khusus dapat ditemukan
   Perbedaan di antara manusia
   Hanyalah sebutan verbal

10.   
   19. “Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui pertanian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang petani, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

   20. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui berbagai keahlian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang ahli, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   21. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui barang-barang dagangan, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pedagang, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   22. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan melayani orang-orang lain, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pelayan, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   23. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan mencuri, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang perampok, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   24. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan memanah, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang prajurit, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   25. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan religius, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pandita, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   26. Siapa pun juga yang memerintah di antara manusia
   Pemukiman dan kerajaan, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang penguasa, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

11.
   27. “Aku menyebutnya bukan seorang brahmana
   Karena asal-usul dan silsilahnya
   Jika rintangan masih bersembunyi dalam dirinya,
   Ia hanyalah seorang yang mengatakan ‘Tuan’.
   Siapa pun yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

   28. Yang telah memotong semua belenggu
   Dan tidak lagi terguncang oleh kesedihan,
   Yang telah mengatasi segala ikatan, terlepas:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [120]

29. Yang telah memotong tali pengikat
Juga tali kendali dan tali kekang,
Yang palangnya telah dicabut, yang tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

30. Yang menahankan tanpa jejak kebencian
Hinaan, kekerasan, dan juga penindasan.
Dengan kekuatan kesabaran tertata baik:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

31. Yang tidak terbakar oleh kemarahan,
Patuh, bermoral, dan rendah-hati,
Lembut, membawa jasmani terakhirnya:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

32. Siapa pun juga, yang bagaikan hujan di atas daun teratai,
Atau biji mostar di atas ujung jarum,
Sama sekali tidak melekat pada kenikmatan indria
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

33. Yang mengetahui di sini di dalam dirinya sendiri
Hancurnya segala penderitaan
Dengan beban diturunkan, dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

34. Yang dengan pemahaman mendalam, bijaksana,
Dapat mengetahui sang jalan dan bukan sang jalan
Dan telah mencapai tujuan tertinggi:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

35. Jauh dari para perumah tangga
Dan mereka yang menjalani kehidupan tanpa rumah,
Yang mengembara tanpa rumah atau keinginan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

36. Yang telah menyingkirkan tongkat pemukul
Terhadap semua makhluk lemah ataupun kuat,
Yang tidak membunuh atau menyebabkan makhluk lain terbunuh:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

37. Yang tidak melawan di antara para lawannya.
Damai di antara mereka yang melakukan kekerasan,
Yang tidak melekat di antara mereka yang melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

38. Yang telah menjatuhkan segala nafsu dan kebencian,
Menjatuhkan keangkuhan dan celaan,
Bagaikan biji mostar di ujung jarum:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [121]

39. Yang mengucapkan kata-kata yang bebas dari kekasaran,
Penuh makna, senantiasa jujur,
Yang tidak menghina siapa pun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

40. Yang di dunia ini tidak akan pernah mengambil
Apa yang tidak diberikan, panjang atau pendek,
Kecil atau besar atau indah atau menjijikkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

41. Yang tidak lagi memiliki kerinduan
Sehubungan dengan alam ini dan alam mendatang,
Yang hidup tanpa kerinduan dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

42. Yang tidak lagi memiliki kegemaran
Tidak lagi kebingungan karena ia mengetahui;
Yang telah memperoleh pijakan kukuh dalam Keabadian:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

43. Yang telah melampaui segala ikatan di sini
Dari perbuatan baik dan buruk,
Tanpa kesedihan, tanpa noda, dan murni:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

44. [ ]Yang, murni bagaikan bulan tanpa noda,
Bersih dan jernih, dan yang padanya
Kegembiraan dan penjelmaan telah dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

45. Yang telah menyeberangi rawa,
Lumpur, saṁsāra, segala kebodohan,
Yang telah menyeberang ke pantai seberang
Dan bermeditasi dalam jhāna-jhāna,
Tidak terganggu dan tidak bingung,
Mencapai Nibbāna melalui ketidakmelekatan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

46. Yang telah meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan indria dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

47. Yang juga telah meninggalkan keinginan,
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan rendah dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

48. Yang meninggalkan semua belenggu manusia
Dan telah melepaskan belenggu surgawi,
Terlepas dari segala belenggu di mana pun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

49. Yang meninggalkan kesenangan dan ketidakpuasan,
Yang sejuk dan tanpa perolehan,
Pahlawan yang telah melampaui seluruh alam:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [122]

50. Yang mengetahui bagaimana makhluk-makhluk meninggal dunia
Untuk muncul kembali dalam banyak cara,
Ia tidak mencengkeram, mulia, sadar:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

51. Yang tujuannya tidak diketahui
Oleh para dewa, hantu, dan manusia,
Seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

52. Yang tanpa rintangan sama sekali,
Di depan, di belakang, atau di tengah,
Yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

53. Pemimpin kelompok, pahlawan sempurna,
Petapa besar yang kemenangannya telah diraih,
Tanpa gangguan, dimurnikan, tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

54. Yang mengetahui banyak kehidupan lampaunya
Dan melihat alam-alam surga dan alam sengsara,
Yang telah mencapai hancurnya kelahiran:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

12.
   55. “Karena nama dan kasta diberikan
   Sebagai sekadar sebutan di dunia ini;
   Berasal-mula dari konvensi,
   Yang diberikan di sana-sini.

   56. Bagi mereka yang tidak mengetahui fakta ini,
   Pandangan salah telah lama bersembunyi dalam batin mereka;
   Tanpa mengetahui, mereka mengatakan kepada kita:
   ‘Ia adalah seorang brahmana melalui kelahiran.’

   57. Seseorang bukanlah seorang brahmana melalui kelahiran,
   Juga bukan melalui kelahiran seseorang menjadi bukan-brahmana
   Seseorang menjadi brahmana melalui perbuatan,
   Seseorang menjadi bukan-brahmana melalui perbuatan.

   58. Karena orang-orang menjadi petani melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi orang-orang ahli;
   Dan orang-orang menjadi pedagang melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi pelayan.

   59. Dan orang-orang menjadi perampok melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi prajurit;
   Dan orang-orang menjadi pandita melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi penguasa. [123]

13.
   60. “Maka demikianlah bagaimana yang sungguh bijaksana
   Melihat perbuatan sebagaimana adanya,
   Yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan,
   Terampil dalam perbuatan dan akibatnya.

61. Perbuatan menyebabkan dunia berputar,
Perbuatan menyebabkan generasi berganti.
Makhluk-makhluk hidup terikat oleh perbuatan
Bagaikan roda kereta terikat oleh porosnya.

62. Pertapaan, kehidupan suci,
Pengendalian-diri dan latihan batin
Dengan ini seseorang menjadi brahmana,
Terletak dalam kebrahmanaan tertinggi ini.

63. Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan,
Damai, dengan segala penjelmaan dihancurkan:
Kenalilah ia demikian, O, Vāseṭṭha,
Sebagai Brahmā dan Sakka bagi mereka yang tidak memahami.”

14. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingat kami sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #92 on: 15 February 2011, 09:52:12 PM »
99 Subha Sutta
Kepada Subha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, murid brahmana Subha, putra Todeyya, sedang menetap di rumah seorang perumah tangga di Sāvatthī untuk suatu urusan. [ ]Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, bertanya kepada si perumah tangga yang menjadi tuan rumahnya: “Perumah tangga, aku mendengar bahwa Sāvatthī tidak kosong dari para Arahant. Petapa atau brahmana manakah yang dapat kami kunjungi hari ini untuk memberikan penghormatan?”

“Tuan, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Engkau boleh memberikan penghormatan kepada Sang Bhagavā itu, Tuan.” [197]

3. Kemudian, setelah menyetujui saran si perumah tangga, murid brahmana Subha, putra Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Perumah tangga menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Seorang yang meninggalkan keduniawian [dan menjalani kehidupan tanpa rumah] tidak menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis; [ ]aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Aku tidak memuji jalan praktik yang salah baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang salah, karena jalan praktiknya yang salah, maka ia tidak menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Aku memuji jalan praktik yang benar baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang benar, karena jalan praktiknya yang benar, maka ia menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.”

5. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Karena pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, maka berbuah besar. Karena pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, maka berbuah kecil.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Sekali lagi, Murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis; aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar.

6. “Apakah, [198] Murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil. Dan apakah, murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi, pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar. Dan apakah, Murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil.  Dan apakah, Murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi, perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar.

7. “Seperti halnya pertanian, Murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … tetapi berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, tetapi berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya pertanian yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … dan berbuah besar jika berhasil, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan dan berbuah besar jika berhasil. Seperti halnya perdagangan, Murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … dan berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, dan berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya perdagangan yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … tetapi berbuah besar jika berhasil, demikian pula [ ][199] pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan,[ ]tetapi berbuah besar jika berhasil.”

8. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan lima hal bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Jika tidak menyusahkan engkau, Murid, silakan sebutkan pada kumpulan ini kelima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Tidak menyusahkan bagiku, Guru Gotama, ketika Yang Mulia seperti Engkau dan yang lainnya sedang duduk [dalam kumpulan ini].”

“Maka sebutkanlah, Murid.”

9. “Guru Gotama, kebenaran adalah hal pertama yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Pertapaan adalah hal ke dua … Kehidupan selibat adalah hal ke tiga … Belajar adalah hal ke empat … Kedermawanan adalah hal ke lima yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Ini adalah lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Bagaimanakah, Murid, [ ]di antara para brahmana, adakah bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Murid, di antara para brahmana, adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.” [200]

“Bagaimanakah, Murid, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangiyaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhaguapakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Murid, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Murid, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat.”

10. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, menjadi marah dan tidak senang dengan perumpamaan sebaris orang buta itu, dan ia mencaci, menghina, dan mencela Sang Bhagavā, dengan mengatakan: “Petapa Gotama akan dikalahkan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti dari suku Upamaññā, penguasa Hutan Subhaga, berkata sebagai berikut: [ ]‘Beberapa petapa dan brahmana di sini mengaku telah mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Tetapi apa yang mereka katakan [201] terbukti menggelikan; terbukti hanya sekadar kata-kata, kosong dan hampa. Karena bagaimana mungkin seorang manusia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia? Itu adalah tidak mungkin.’”

11. “Bagaimanakah, Murid, Brahmana Pokkharasāti memahami pikiran semua petapa dan brahmana, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri?”

“Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti bahkan tidak memahami pikiran budak perempuannya Puṇṇikā, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri, jadi bagaimana mungkin ia memahami pikiran semua petapa dan brahmana itu?”

12. “Murid, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin berkata sebagai berikut: ‘Tidak ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, tidak ada yang dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang; tidak ada bentuk-bentuk yang berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, tidak ada yang rata dan tidak rata; tidak ada bintang-bintang dan tidak ada matahari dan bulan, dan tidak ada yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu, hal-hal ini tidak ada.’ Dengan berkata demikian, Murid, apakah ia mengatakan yang sebenarnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, dan ada orang-orang yang melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … ada bintang-bintang dan ada matahari dan bulan, dan ada orang-orang yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. [202] Dengan mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu, hal-hal ini tidak ada,’ maka ia tidak mengatakan yang sebenarnya.”

13. “Demikian pula, Murid, Brahmana Pokkharasāti adalah buta dan tidak berpenglihatan. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin. Bagaimana menurutmu, Murid? Apakah yang lebih baik bagi para brahmana kaya dari Kosala seperti Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇusonni, atau ayahmu, Brahmana Todeyyabahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi?”“Bahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi, Guru Gotama.”

“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyataan mereka adalah penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?”“Penuh pertimbangan, Guru Gotama.”“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa mereka membuat pernyataan setelah merenungkan atau tanpa perenungan?”“Setelah merenungkan, Guru Gotama.”“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyataan yang mereka buat adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”“Bermanfaat, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Murid? Kalau begitu, apakah pernyataan yang dibuat oleh Brahmana Pokkharasāti selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi?Pernyataannya melawan konvensi duniawi, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan itu dibuat dengan penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?”“Tanpa pertimbangan, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan itu dibuat setelah direnungkan atau tanpa perenungan?”“Tanpa perenungan, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan yang dibuat itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?”“Tidak bermanfaat, Guru Gotama.” [203]

--------------
Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #93 on: 15 February 2011, 10:48:43 PM »
Lanjutan 99 Subha Sutta
---------------------------

15. Sekarang, ada lima rintangan ini, Murid. Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah lima rintangan. Brahmana Pokkharasāti terhalangi, terintangi, terganjal, dan terselubung oleh kelima rintangan ini. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin.

16. Sekarang, ada lima utas kenikmatan indria ini, Murid. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Brahmana Pokkharasāti terikat pada kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila padanya dan sepenuhnya menjalaninya; ia menikmatinya tanpa melihat bahwaaya di dalamnya atau memahami jalan membebaskan diri darinya. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin.

17. “Bagaimana menurutmu, Murid? Yang manakah dari kedua api ini yang memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik]api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu, atau api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu?”

“Jika memungkinkan, Guru Gotama, bagi api untuk menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, maka api itu akan memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik].”

“Adalah tidak mungkin, Murid, tidak dapat terjadi api menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu kecuali dengan [pengerahan] kekuatan batin. Yang seperti api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan [204] yang bergantung pada kelima utas kenikmatan indria. Yang seperti api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Dan apakah, Murid, kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

18. “Dari kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, yang manakah dari kelima itu yang mereka tetapkan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat?”

“Dari kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, mereka menetapkan kedermawanan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

19. “Bagaimana menurutmu, Murid? Di sini, seorang brahmana mungkin sedang mengadakan upacara pengorbanan besar, dan dua brahmana lainnya pergi ke sana dengan pikiran untuk berpartisipasi dalam upacara besar tersebut. Salah satu brahmana itu berpikir: ‘O, semoga hanya aku yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan; semoga tidak ada brahmana lain yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan!’ Dan adalah mungkin bahwa brahmana lainnya, bukan brahmana itu, mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan. Karena memikirkan hal ini, [205] brahmana pertama menjadi marah dan tidak senang. Jenis akibat apakah yang dijelaskan oleh para brahmana untuk hal ini?”

“Guru Gotama, para brahmana tidak memberikan persembahan dengan cara itu, dengan berpikir: ‘Semoga orang lain menjadi marah dan tidak senang karena hal ini.’ Sebaliknya, para brahmana memberikan persembahan karena didorong oleh belas kasihan.”

“Oleh karena itu, Murid, tidakkah ini menjadi landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan?”

“Oleh karena itu, Guru Gotama, ini adalah landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan.”

20. “Kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaatdi manakah engkau lebih sering melihat kelima hal tersebut, pada para perumah tangga atau pada mereka yang meninggalkan keduniawian?”

“Kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga. Karena perumah tangga memiliki banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan: ia tidak secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, atau menekuni kedermawanan. Tetapi seseorang yang meninggalkan keduniawian memiliki sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan: ia secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, dan menekuni kedermawanan. Kelima hal itu, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga.”

21. “Kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, [206] Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Di sini, Murid, seorang bhikkhu adalah seorang yang mengatakan kebenaran. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang mengatakan kebenaran,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Di sini, Murid, seorang bhikkhu adalah seorang petapa … seorang yang menjalani kehidupan selibat … seorang yang menekuni pelajaran … seorang yang menekuni kedermawanan. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang menekuni kedermawanan,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Demikianlah kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

22. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengetahui jalan menuju alam-Brahmā.”

“Bagaimana menurutmu, Murid? Apakah Desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini?”

“Ya, Tuan, Desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini.”

“Bagaimana menurutmu, Murid? Misalkan ada seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Desa Naḷakāra, dan segera setelah ia meninggalkan Naḷakāra, mereka menanyakan kepadanya tentang jalan menuju desa itu. Apakah orang itu akan lambat atau ragu-ragu dalam menjawabnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena orang itu dilahirkan dan dibesarkan di Naḷakāra, dan mengenal dengan baik semua jalan menuju desa itu.”

“Bagaimanapun juga, seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Desa Naḷakāra [207] mungkin saja lambat atau ragu-ragu dalam menjawab ketika ditanya tentang jalan menuju desa itu, tetapi seorang Tathāgata, ketika ditanya tentang alam-Brahmā atau jalan menuju alam-Brahmā, tidak akan pernah lambat atau ragu-ragu dalam menjawab. Aku memahami[,] Brahmā, Murid, dan Aku memahami alam-Brahmā, dan Aku memahami jalan menuju alam-Brahmā, dan Aku memahami bagaimana seseorang berlatih agar muncul kembali di alam-Brahmā.”

23. “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengajarkan jalan menuju alam Brahmā. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan kepadaku jalan menuju alam-Brahmā.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

24. “Apakah, Murid, jalan menuju alam-Brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. [ ]Ini adalah jalan menuju alam-Brahmā.

25-27. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, [208] tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Ini juga adalah jalan menuju alam-Brahmā.

28. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

29. “Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Murid.”

Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

30. Pada saat itu, Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang seluruhnya berwarna putih yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. [ ]Dari kejauhan ia melihat kedatangan si murid brahmana Subha, putra Todeyya dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Bhāradvāja datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Bhāradvāja sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?” [209]

“Tuan, siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Bhāradvāja memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia. Tuan, kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Petapa Gotama menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini: “Suatu keuntungan bagi Raja Pasenadi dari Kosala, sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di kerajaannya.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #94 on: 15 February 2011, 11:09:02 PM »
100  Sangārava Sutta
Kepada Sangārava

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Pada saat itu, seorang brahmana perempuan bernama Dhānañjāni sedang menetap di Caṇḍalakappa, memiliki keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. [ ]Suatu ketika ia tersandung, dan [ketika mengembalikan keseimbangannya] menyerukan tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna [210] dan tercerahkan sempurna!”

3. Pada saat itu, seorang murid brahmana bernama Sangārava sedang menetap di Caṇḍalakappa. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Setelah mendengar brahmana perempuan Dhānañjāni mengucapkan kata-kata itu, ia berkata kepadanya: “Brahmana perempuan Dhānañjāni harus dipermalukan dan direndahkan, karena ketika ada para brahmana di sekitar sini, ia justru memuji petapa gundul itu.”

[Ia menjawab:] “Tuan, engkau tidak mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā. Jika engkau mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā, Tuan, engkau tidak akan pernah berpikir untuk menghina dan mencacinya.”

“Kalau begitu, Nyonya, beri tahu aku jika Petapa Gotama datang ke Caṇḍalakappa.”

“Baik, Tuan,” brahmana perempuan Dhānañjāni menjawab.

4. Kemudian, setelah mengembara secara bertahap di Negeri Kosala, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Caṇḍalakappa. Di Caṇḍalakappa Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya.

5. Brahmana perempuan Dhānañjāni mendengar bahwa Sang Bhagavā telah tiba, maka ia mendatangi murid brahmana Sangārava dan memberitahunya: “Tuan, Sang Bhagavā telah tiba di Caṇḍalakappa dan Beliau menetap di sini di Caṇḍalakappa di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya. Sekarang, Tuan, silakan engkau pergi.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini [211] berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

6. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. [ ]Di manakah posisi Guru Gotama di antara para petapa dan brahmana ini?”

7. Bhāradvāja, Aku katakan bahwa ada keberagaman di antara para petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Ada beberapa petapa dan brahmana yang tradisionalis, yang dengan berdasarkan pada tradisi lisan mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para brahmana Tiga Veda. Ada beberapa petapa dan brahmana yang, sepenuhnya hanya berdasarkan pada keyakinan, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para pemikir logis dan penyelidik. [ ]Ada beberapa petapa dan brahmana yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri [ ]di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini.

8. “Aku, Bhāradvāja, adalah salah satu di antara para petapa dan brahmana itu yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Sehubungan dengan bagaimana Aku menjadi salah satu di antara para petapa dan brahmana itu, hal ini dapat dipahami dengan cara sebagai berikut:

9. “Di sini, Bhāradvāja, sebelum pencerahan-Ku, sewaktu aku masih menjadi hanya seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

10-13. “Belakangan, Bhāradvāja, [212] selagi aku masih muda ... (seperti Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

14-30. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-33; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§17-22bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36kalimat Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usaha-Nya dan kembali ke kemewahan.’

31-41. “Sekarang ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatan-Ku, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat … (seperti Sutta 36, §§34-44; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§36, 38, dan 41bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44  dari Sutta 36kalimat Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh.”

42. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Usaha Guru Gotama tidak tergoyahkan, usaha Guru Gotama adalah usaha seorang manusia sejati, seperti seharusnya bagi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, apakah ada para dewa?”

“Ini diketahui oleh-Ku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

“Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, bahwa ketika Engkau ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ engkau mengatakan: ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa’? Kalau begitu, bukankah apa yang Engkau katakan adalah kosong dan keliru?”

“Bhāradvāja, ketika seseorang ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ [213] apakah ia menjawab, ‘Ada para dewa,’ atau ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa,’ seorang bijaksana dapat menarik kesimpulan pasti bahwa ada para dewa.”

“Tetapi mengapa Guru Gotama tidak menjawab dengan cara pertama?”

“Telah diterima secara umum di dunia, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

43. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #95 on: 25 February 2011, 04:16:16 PM »
mnrt KBBI online:
orang n
-- tua 1 ayah ibu kandung; 2 (orang tua) orang yg dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb); orang-orang yg dihormati (disegani) di kampung; tetua
jadi penulisan kata "orang tua" dgn dipisah ada 2 arti.

ada jg yg di pedoman EYD, lihat di bagian Kata yg sering salah dieja
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_ejaan_dan_penulisan_kata#Gabungan_kata_yang_ditulis_serangkai

Yumi, kemaren sy baca artikel di kompas, tulisnya orangtua. Gak hanya sekali, malah berkali-kali dan di artikel yang berbeda.. Hoho... ;D Tapi kalo menurut KBBI begitu, ya berarti dipisah.
« Last Edit: 25 February 2011, 04:28:09 PM by Mayvise »

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #96 on: 26 February 2011, 09:18:52 PM »
Yumi, kemaren sy baca artikel di kompas, tulisnya orangtua. Gak hanya sekali, malah berkali-kali dan di artikel yang berbeda.. Hoho... ;D Tapi kalo menurut KBBI begitu, ya berarti dipisah.

saya pernah baca jg artikel kompas, udah lupa kata apa (yg blm baku).
biar standard, kita usahakan ikut KBBI & pedoman EYD aja..
:)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #97 on: 26 February 2011, 09:19:54 PM »
SUTTA 51

538) Dari perbedaan cara mereka dalam menyapa Sang Buddha, terlihat bahwa Pessa adalah seorang pengikut Sang Buddha, sedangkan Kandarakaterlepas dari penghormatan dan kekagumannyaadalah pengikut dari komunitas kepercayaan lain.

539) MA: Demi menghormati Sang Buddha dan karena latihan mereka, para bhikkhu tidak saling berdebat satu sama lain, mereka bahkan juga tidak berdeham. Dengan tidak menggerakkan badan, dengan tidak kacau dalam pikiran, mereka duduk mengelilingi Sang Bhagavā bagaikan awan kemerahan mengelilingi puncak Gunung Sineru. Kandaraka pasti secara diam-diam membandingkan kumpulan para bhikkhu itu dengan kumpulan para pengembara seperti digambarkan pada MN 76.4.

540) MA menjelaskan bahwa Kandaraka tidak memiliki pengetahuan langsung atas para Buddha di masa lampau dan masa depan. Ia mengucapkan pernyataan ini sebagai suatu cara mengungkapkan kekagumannya terhadap Sangha para bhikkhu yang terlatih baik, disiplin, dan tenang. Akan tetapi, Sang Buddha mengonfirmasi ini atas dasar pengetahuan langsung.

541) MA: Empat landasan perhatian disebutkan untuk menunjukkan penyebab pembawaan Sangha yang tenang. Tentang empat landasan perhatian, baca MN 10.

542) MA mengemas: “Kami juga, ketika kami memiliki kesempatan, dari waktu ke waktu memperhatikan ini; kami juga adalah para praktisi, kami tidak sepenuhnya mengabaikan meditasi.”

543) Inti dari pernyataan ini adalah bahwa muslihat dan tipu daya binatang adalah sangat terbatas, sedangkan muslihat manusia tidak habis-habisnya.

544) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan sebagai lanjutan dari pernyataan Pessa bahwa Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya dari makhluk-makhluk; karena Sang Buddha menunjukkan bahwa tiga jenis orang pertama mempraktikkan jalan yang mencelakai, sedangkan jenis ke empat mempraktikkan jalan yang bermanfaat. Paragraf ini juga dapat dihubungkan dengan pujian Kandaraka kepada Sangha; karena Sang Buddha akan menunjukkan tiga jalan yang tidak Beliau ajarkan kepada Sangha dan satu jalan yang semua Buddha di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan ajarkan kepada Sangha mereka.

545) Sukhapaṭisaṁvedi brahmabhūtena attanā. MA: Ia mengalami kebahagiaan jhāna, jalan, buah, dan Nibbāna. “Brahmā” di sini harus dipahami dalam makna suci atau mulia (seṭṭha). Mungkin ada suatu sindiran di sini pada tema utama Upanishad, identitas ātman sebagai Brahman.

546) MA: Pessa mungkin akan mencapai buah memasuki-arus, namun ia bangkit dari duduknya dan pergi sebelum Sang Buddha menyelesaikan khotbah-Nya. Manfaat yang diterima ada dua: ia memperoleh keyakinan yang lebih mendalam pada Sangha, dan ia memunculkan metode baru untuk memahami landasan-landasan perhatian.

547) Paragraf ini menjelaskan praktik keras yang dijalankan oleh banyak pertapaan pada masa Sang Buddha, juga oleh Sang Bodhisatta sendiri selama masa berjuang untuk mencapai pencerahan. Baca MN 12.45.

548) Paragraf ini menunjukkan praktik dari seseorang yang menyiksa dirinya dengan berharap memperoleh jasa dan kemudian memberikan pengorbanan yang melibatkan pembantaian banyak binatang dan penindasan pada para pekerjanya.

549) Ini adalah Arahant. Untuk menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak menyiksa dirinya sendiri dan juga makhluk lain, berikutnya Sang Buddha menjelaskan jalan praktik yang dengannya Beliau sampai pada Kearahatan.


SUTTA 52

550) Semua ungkapan ini adalah gambaran Kearahatan.

551) Abhisankhataṁ abhisañcetayitaṁ. Kedua kata ini sering digunakan secara majemuk untuk menunjukkan keterkondisian yang mana kehendak (cetanā) merupakan faktor pengondisi yang paling menonjol.

552) Paragraf ini menjelaskan metode pengembangan “pandangan terang yang didahului oleh ketenangan” (samathapubbangamā vipassanā; baca AN 4:170/ii.157). Setelah mencapai jhāna pertama, si meditator keluar dari sana dan merenungkan kondisi yang dimunculkan oleh kondisi-kondisi, khususnya kehendak. Dengan berdasarkan pada ini, ia menegaskan ketidakkekalannya, dan kemudian merenungkan jhāna dengan pandangan terang ke dalam ketiga corak ketidakkekalan, penderitaan, dan bukan-diri. Baca juga MN 64.9-15 untuk suatu pendekatan yang agak berbeda untuk mengembangkan pandangan terang dengan berdasarkan pada jhāna-jhāna.

553) Dhammarāgena dhammanandiyā. MA: kedua kata ini menyiratkan keinginan dan kemelekatan (chandarāga) sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang. Jika ia mampu melenyapkan semua keinginan dan kemelekatan sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang, maka ia menjadi seorang Arahant; jika ia tidak mampu melenyapkannya, ia menjadi seorang yang-tidak-kembali dan terlahir kembali di Alam Murni.

554) Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan karena merupakan faktor yang terlalu halus untuk dijadikan sebagai objek perenungan pandangan terang.

555) Sebelas “pintu menuju Keabadian” adalah empat jhāna, empat brahmavihāra, dan tiga pertama pencapaian tanpa materi yang digunakan sebagai landasan untuk pengembangan pandangan terang dan pencapaian Kearahatan.

556) Ini adalah lima ratus khāpaṇa yang merupakan mata uang standar pada masa itu.


SUTTA 53

557) Ini dipercaya sebagai sumber jasa kebajikan bagi mereka yang membangun sebuah tempat tinggal baru untuk mengundang seorang individu religius yang terkemuka untuk menetap di dalamnya bahkan selama hanya satu malam sebelum mereka sendiri menempatinya. Kepercayaan ini masih berlaku di negeri-negeri Buddhis hingga saat ini, dan orang-orang yang telah membangun sebuah rumah baru sering kali mengundang para bhikkhu untuk melakukan pembacaan sutta-sutta paritta (perlindungan) di rumah baru mereka sebelum mereka menempatinya.
558) Sekho pāṭipado. Mengenai sekha, baca n.21.

559) Mengenai perbedaan antara rasa malu (hiri) dan rasa takut akan pelanggaran (ottappa), baca n.416.

560) Di sini, teks menjelaskan sati, perhatian, dengan merujuk pada makna aslinya yaitu ingatan. Hubungan antara kedua makna satiingatan dan perhatiandapat diformulasikan sebagai berikut: perhatian tajam pada masa sekarang membentuk landasan bagi ingatan akurat masa lampau. MA menganggap penyebutan sati di sini menyiratkan seluruh tujuh faktor pencerahan, yang di antaranya terdapat pada urutan pertama.

561) MA: Ini adalah kebijaksanaan pandangan terang dan sang jalan, mampu menembus timbul dan tenggelamnya kelima kelompok unsur kehidupan. Kebijaksanaan sang jalan disebut “menembus” (nibbedhika) karena menembus dan melenyapkan kumpulan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, kebijaksanaan pandangan terang disebut menembus karena menembus secara sementara dan karena menuntun menuju penembusan melalui sang jalan.

562) Seperti pada MN 16.26.

563) Ini merujuk pada jhāna ke empat, yang menjadi landasan bagi ketiga pengetahuan berikutnya.

564) Pada titik ini, ia berhenti menjadi seorang sekha dan menjadi seorang Arahant.

565) Ini merupakan daftar tradisional dari lima belas faktor yang membentuk perilaku (caraṇa), yang sering digabungkan dengan ketiga jenis pengetahuan berikutnya dalam perjalanan latihan yang lengkap. Kedua ini bersama-sama menjadi gelar umum bagi Sang Buddha dan para Arahant, vijjācaraṇasampanna, “sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati”. Baca Vsm VII, 30-31.

566) Syair ini disetujui oleh Sang Buddha dalam DN 3.1.28/i.99. Brahmā Sanankumāra, “muda selamanya”, menurut MA adalah seorang pemuda yang mencapai jhāna, meninggal dunia, dan terlahir kembali di alam Brahmā, mempertahankan ketampanan yang sama yang ia miliki di alam manusia. Baca DN 18.17-19/ii.2100218.


SUTTA 54

567) Masing-masing dari kedua kata ini yang dihubungkan dalam kata sambung majemuk ini, dan dalam kedua berikutnya, adalah serupa.


568) MA: Walaupun pembunuhan makhluk-makhluk hidup tidak termasuk dalam sepuluh belenggu dan lima rintangan, namun dapat disebut belenggu dalam makna mengikat seseorang pada lingkaran kelahiran kembali dan rintangan dalam makna merintangi kesejahteraan sejati seseorang.

569) MA: Membunuh dan mengambil apa yang tidak diberikan harus ditinggalkan melalui moralitas jasmani; ucapan salah dan ucapan jahat, melalui moralitas ucapan; keserakahan suka merampas, keputusasaan dengan kemarahan, dan kesombongan, melalui moralitas pikiran. Cacian dengki (yang dapat termasuk pembalasan dendam yang ganas) harus ditinggalkan melalui moralitas jasmani dan ucapan.

570) Perumpamaan bagi bahaya dalam kenikmatan indria ini merujuk pada MN 22.3, walaupun sutta ini tidak menjelaskan ketiga perumpamaan terakhir yang disebutkan di sana.

571) Menurut MA, “keseimbangan yang berdasarkan pada keberagaman” adalah keseimbangan (yaitu, ketidakpedulian, tidak membeda-bedakan) yang berhubungan dengan kelima utas kenikmatan indria; “keseimbangan yang berdasarkan pada keterpusatan” adalah keseimbangan jhāna ke empat.

572) Dalam Ms, Ñm telah mengikuti kemasan MA dalam menerjemahkan ājānīya sebagai “mereka yang mengetahui” (menganggap kata itu sebagai turunan dari ājānāti); akan tetapi, jauh lebih disukai, untuk memahami kata ini di sini sebagai “keturunan murni”. Baca MN 65.32 untuk kata assājāniya, “kuda muda jantan berketurunan murni”, dan untuk kata purisājāniya, “manusia berketurunan murni” (yaitu, seorang Arahant), baca AN 9:10/v,324.


SUTTA 55

573) Jivaka adalah anak yang ditelantarkan oleh seorang pelacur. Ditemukan dan dibesarkan oleh Pangeran Abhaya, ia mempelajari ilmu pengobatan di Takkasilā dan belakangan ditunjuk sebagai tabib pribadi Sang Buddha, ia menjadi seorang pemasuk-arus setelah mendengarkan Sang Buddha mengajarkan Dhamma.

574) Paragraf ini menyebutkan dengan jelas dan secara eksplisit aturan-aturan sehubungan dengan memakan daging yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada Sangha. Perhatikan bahwa Sang Buddha tidak menuntut agar para bhikkhu menjalankan pola makan vegetarian, melainkan memperbolehkan mereka memakan daging jika mereka yakin bahwa binatang itu tidak disembelih secara khusus untuk mereka makan. Daging seperti itu disebut tikoṭiparisuddha, “murni dalam tiga aspek”, karena tidak terlihat, tidak terdengar, atau tidak dicurigai berasal dari binatang yang disembelih khusus untuk bhikkhu tersebut. Peraturan untuk umat awam Buddhis menghindari pembunuhan juga melarangnya membunuh demi makanan. Tetapi tidak melarang membeli daging yang berasal dari binatang yang telah mati. Untuk lebih jelas mengenai hal ini, baca Vin Mv Kh 6/i.237-38, dan I.B. Horner, Early Buddhism and the Taking of Life, pp.20-26.

575) Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa ia tidak sekadar berdiam dalam cinta kasih dengan menekan niat buruk melalui jhāna yang berdasarkan pada cinta kasih, seperti yang dilakukan oleh dewa Brahmā, melainkan telah melenyapkan akar niat buruk melalui pencapaian Kearahatan.

576) Kekejaman, ketidakpuasan, dan ketidaksenangan (vihesā, arati, paṭigha) adalah berturut-turut lawan dari belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan.

577) Sangat mengherankan bahwa Jivaka di sini menyatakan dirinya sebagai umat awam seolah-olah untuk pertama kalinya, padahal ia telah mencapai tingkat memasuki-arus. Mungkin formula ini digunakan sebagai cara untuk menegaskan pengabdian seseorang pada Tiga Permata dan bukan terbatas pada pernyataan berlindung pertama kali.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #98 on: 26 February 2011, 09:47:29 PM »
SUTTA 56

578) Ini berarti “Petapa Tinggi”, nama yang diberikan kepadanya karena tinggi badannya.

579) Daṇḍa, aslinya berarti potongan kayu atau batang, memperoleh makna tongkat sebagai alat penghukum, dan selanjutnya menjadi bermakna hukuman atau penderitaan itu sendiri, bahkan tanpa merujuk pada suatu alat. Penggunaannya di sini menyiratkan bahwa para Jain menganggap aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran sebagai alat-alat yang dengannya seseorang menyengsarakan dirinya sendiri dengan memperlama belenggunya dalam saṁsāra dan menyengsarakan makhluk lain dengan menimbulkan kemalangan pada mereka.

580) MA: Para Nigaṇṭha menganut bahwa kedua “tongkat” pertama menghasilkan kamma secara tidak bergantung pada keterlibatan pikiran (acittaka) seperti halnya, ketika angin bertiup, dahan-dahan berayun dan dedaunan bergemerisik tanpa adanya inisiatif pikiran.

581) Sang Buddha mengatakan hal ini karena dalam ajaran-Nya, kehendak (cetanā), suatu faktor batin, adalah unsur kamma yang paling penting, dan dengan ketiadaannyayaitu, dalam kasus aktivitas jasmani atau ucapan yang tidak disengajatidak ada kamma yang dihasilkan. Akan tetapi, MA berpendapat bahwa Sang Buddha mengatakan hal ini dengan merujuk pada pandangan salah dengan akibat pasti (niyatā micchā diṭṭhi), dan mengutip AN 1:18.3/i.33 sebagai dukungan: “Para bhikkhu, Aku tidak melihat apa pun yang begitu tercela sebagai pandangan salah. Pandangan salah adalah yang paling tercela dari segala hal.” Jenis-jenis pandangan salah ini dijelaskan dalam MN 60.5, 13 dan 21.

582) Seperti pada MN 35.5.
583) Penambahan dalam kurung pada paragraf sebelumnya, disisipkan oleh Ñm, bersumber dari MA. Ñm, dalam Ms, menyimpulkan argumen ini sebagai berikut: Para Nigaṇṭha tidak diperbolehkan menggunakan air dingin (karena mereka menganggapnya mengandung makhluk hidup). Dengan menolak air dingin melalui jasmani dan ucapan, ia menjaga perilaku jasmani dan ucapannya tetap murni, tetapi jika dalam pikirannya ia menginginkan air dingin maka perilaku pikirannya tidak murni, dan dengan demikian ia terlahir kembali di antara “para dewa dengan pikiran-terikat” (manosattā devā).

584) Pada §15, Upāli mengakui bahwa pada titik ini ia telah berkeyakinan pada Sang Buddha. Akan tetapi, ia terus membantah-Nya karena ia ingin mendengarkan berbagai solusi dari Sang Buddha atas persoalan itu.

585) Pernyataan ini, pada DN 2.29/i.57, dianggap berasal dari Nigaṇṭha Nātaputta sendiri sebagai formula doktrin Jain. Ñm menunjukkan dalam Ms bahwa ini melibatkan permainan kata pada vāri, yang dapat bermakna “air” juga bermakna “mengekang” (dari vāreti, menghalau). Dalam terjemahan saya atas Sāmaññaphala Sutta, The Discourse on the Fruits of recluseship, p.24. Saya menerjemahkannya dengan berdasarkan pada komentar Dīgha sebagai berikut: “Seorang Nigaṇṭha terkendali sehubungan dengan segala jenis air; ia memiliki penghindaran segala kejahatan; ia dibersihkan oleh penghindaran segala kejahatan; ia diliputi dengan penghindaran segala kejahatan.” Walaupun pernyataan ini menyampaikan sesuatu mengenai kemurnian moral, namun penekannya berbeda dengan ajaran Buddha.

586) Sang Buddha menunjukkan suatu kontradiksi antara ajaran-ajaran Jain bahwa, bahkan dengan tidak adanya kehendak, “tongkat jasmani” merupakan yang paling tercela dibandingkan dengan yang lainnya, dan penegasan mereka bahwa adanya kehendak banyak mengubah karakter moral dari suatu perbuatan.

587) Baca Jāt iii.463, v.133ff., 267;  v.144;  vi.389; v.267; v.114, 267; Miln 130.

588) MA: penglihatan Dhamma (dhammacakkhu) adalah jalan memasuki-arus. Frasa “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan”. Menunjukkan modus yang mana sang jalan muncul. Sang jalan menggunakan lenyapnya (Nibbāna) sebagai objeknya, tetapi fungsinya adalah menembus segala kondisi yang terkondisi sebagai tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.

589) “Dhamma” yang dirujuk di sini adalah Empat Kebenaran Mulia. Setelah melihat kebenaran-kebenaran ini untuk dirinya sendiri; ia telah memotong belenggu keragu-raguan dan sekarang memiliki “pandangan yang mulia dan membebaskan dan (yang) menuntun seseorang yang mempraktikkan dengan selaras dengannya menuju kehancuran total penderitaan” (MN 48.7).

590) MA: Upāli mengatakan hal ini dengan merujuk pada jalan memasuki-arus yang telah ia tembus sebelumnya.

591) Baca MN 16.3-7.

592) PTS dan SBJ menuliskan vessantarassa; edisi BBS dari teks ini dan MA menuliskan vesamantarassa; MṬ mendukung tulisan pertama. MA menjelaskan: “Beliau telah melampaui ketidakbajikan (visama) dari nafsu, dan seterusnya.”

593) Monapattassa. “Keheningan” adalah kebijaksanaan, berhubungan dengan muni, sang bijaksana hening.

594) “Panji” adalah keangkuhan “aku”. Baca MN 22.35.

595) Nippapañcassa. Baca n.229.

596) Isisattamassa. MA menginterpretasikan ini sebagai bermakna “petapa ke tujuh”selaras dengan konsepsi tujuh resi dalam konsepsi brahmanisdan menganggapnya sebagai merujuk pada status Gotama sebagai Buddha ke tujuh setelah Vipassī (baca DN 14.1.4/ii.2). Akan tetapi, lebih masuk akal, bahwa sattama di sini adalah bentuk superlatif dari kata sad, dan dengan demikian kata majemuk itu berarti “yang terbaik di antara para petapa”. Kata isisattama muncul pada Sn 356, dan komentar atas syair itu memperbolehkan kedua interpretasi ini, memberikan uttama sebagai suatu kemasan dari sattama.

597) Ini merujuk pada tidak adanya keterikatan dan penolakan.

598) Ñm menerjemahkan dari Bahasa Thai v.1. appabhītassa, menunjukkan bahwa appahinassa dari PTS tidak tepat di sini.

599) MA: dukacita yang berat muncul dalam dirinya karena kehilangan penyokong awamnya, dan ini menghasilkan gangguan pada jasmaninya yang mengakibatkan ia memuntahkan darah panas. Setelah memuntahkan darah panas, hanya sedikit makhluk yang dapat bertahan hidup. Demikianlah mereka membawanya ke Pāvā dengan menggunakan tandu, dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.


SUTTA 57


600) MA: Puṇṇa memasangkan tanduk di kepalanya, mengikatkan ekor di bagian belakangnya, dan bepergian dengan memakan rumput bersama dengan sapi-sapi. Seniya melakukan semua perbuatan yang khas anjing.

601) Harus dipahami bahwa praktik pertapaan yang salah memiliki akibat buruk yang lebih ringan daripada jika disertai dengan pandangan salah. Walaupun di masa kini sangat sedikit yang menjalani praktik berperilaku anjing, namun banyak gaya hidup menyimpang yang telah menyebar, dan sejauh bahwa hal-hal ini didorong oleh pandangan salah, maka akibatnya menjadi jauh lebih berat.

602) Sabyābajjhaṁ kāyasankhāraṁ (vacīsankhāraṁ, manosankhāraṁ) abhisankharoti. Di sini suatu “bentukan jasmani yang menyakitkan” dapat dipahami sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat; suatu “bentukan ucapan yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas empat perbuatan yang tidak bermanfaat; dan suatu “bentukan pikiran yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan pikiran yang tidak bermanfaat. Baca MN 9.4.

603) Ia terlahir lagi di salah satu dari alam-alam sengsaraneraka, alam binatang, atau alam hantu.

604) Bhūta bhūtassa upapatti hoti. MA: makhluk-makhluk terlahir kembali melalui perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan dan dalam cara-cara yang sesuai dengan perbuatan-perbuatan itu. Implikasi dari ajaran ini dijelaskan dengan lengkap dalam MN 135 dan MN 136.

605) Di sini, yang dimaksudkan adalah kehendak-kehendak bertanggung jawab atas sepuluh perbuatan bermanfaat, bersama dengan kehendak-kehendak jhāna.

606) Ia terlahir kembali di alam surga.

607) Sesungguhnya, tidak ada perbuatan kehendak yang secara bersamaan adalah bermanfaat dan sekaligus tidak bermanfaat, karena kehendak yang bertanggung jawab atas perbuatan itu pasti adalah salah satu dari itu. Dengan demikian di sini kita harus memahami bahwa makhluk itu terlibat dalam rangkaian perbuatan bermanfaat dan tidak bermanfaat, tanpa ada yang lebih dominan secara khusus.

608) MA: Ini adalah kehendak atas empat jalan lokuttara yang memuncak pada Kearahatan. Walaupun Arahant melakukan perbuatan, namun perbuatannya tidak lagi memiliki potensi kamma untuk menghasilkan kehidupan baru atau menghasilkan akibat dalam kehidupan sekarang.

609) MA menjelaskan bahwa pabbajjā, pelepasan keduniawian, disebutkan di sini hanya dalam bentuk gaya bahasa. Dalam kenyataannya, ia menerima pelepasan keduniawian sebelum masa percobaan dan kemudian menjalani masa percobaan selama empat bulan sebelum berhak menerima upasampadā, penahbisan penuh ke dalam Sangha.
610) MA: Sang Buddha dapat menentukan: “Orang ini harus menjalani masa percobaan, orang ini tidak perlu menjalani masa percobaan.”


SUTTA 58

611) Pangeran Abhaya adalah putra Raja Bimbisara dari Magadha, walaupun bukan pewaris tahta.

612) Kedua tanduk persoalan yang serba salah ini direncanakan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dengan menduga bahwa Sang Buddha akan memberikan jawaban satu-sisi. Sekarang bahwa jawaban satu sisi itu telah ditolak, maka persoalan itu menjadi tidak berlaku.

613) Sang Buddha tidak segan menegur dan menasihati para siswa-Nya jika Beliau melihat bahwa ucapan itu akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

614) MA mengatakan bahwa dhammadhātu (“unsur-unsur dari segala sesuatu”) merujuk pada pengetahuan kemahatahuan Sang Buddha. Dhammadhātu di sini tidak sama dengan kata yang sama dengan yang digunakan untuk menyiratkan unsur objek-objek pikiran di antara delapan belas unsur, juga bukan bermakna suatu prinsip kosmis yang mencakup segalanya seperti kata yang dipahami dalam Buddhisme Mahayana.


SUTTA 59

615) Pañcakanga, tukang kayu bagi Raja Pasenadi dari Kosala, adalah seorang pengikut Sang Buddha yang berbakti. Ia muncul kembali dalam MN 78 dan MN 127.

616) Dua jenis perasaan adalah perasaan jasmani dan batin, atau (yang lebih jarang disebutkan adalah) kedua jenis yang disebutkan oleh Pañcakanga dalam §3. Tiga jenis perasaan adalah tiga yang disebutkan oleh Udāyin dalam §3. Lima jenis adalah kemampuan kenikmatan (jasmani), kegembiraan (batin), kesakitan (jasmani), kesedihan (batin), dan keseimbangan. Enam jenis adalah perasaan yang muncul dari kontak melalui enam organ indria. Delapan belas jenis adalah delapan belas jenis penjelajahan batinmenjelajahi enam objek indria yang menghasilkan kegembiraan, menghasilkan kesedihan, dan menghasilkan keseimbangan (baca MN 137.8). Tiga puluh enam jenis adalah tiga puluh enam posisi makhluk-makhlukenam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan masing-masing berdasarkan pada kehidupan rumah tangga atau pada pelepasan keduniawian (baca MN 137.9-15). Seratus delapan jenis adalah tiga puluh enam sebelumnya yang merujuk pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

617) MA menunjukkan bahwa dengan perasaan bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dari jhāna ke empat sebagai satu jenis kenikmatan, Sang Buddha secara tidak langsung menegaskan pandangan yang dikemukakan oleh Pañcakanga.

618) MA: Baik kenikmatan yang dirasakan maupun kenikmatan yang tidak dirasakan ditemukan (kenikmatan yang tidak dirasakan adalah kenikmatan yang berhubungan dengan pencapaian lenyapnya.) Sang Tathāgata menggambarkan keduanya sebagai kenikmatan dalam makna bahwa keduanya adalah tanpa penderitaan (niddukkhabhāva).
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #99 on: 26 February 2011, 09:59:06 PM »
SUTTA 60

619) MA: Sang Buddha memulai dengan menanyakan pertanyaan ini karena Desa Sālā terletak di mulut hutan, dan banyak petapa dan brahmana dari berbagai sekte bermalam di sana, membabarkan pandangan mereka dan menjatuhkan pandangan dari lawan mereka. Hal ini membuat para penduduk desa menjadi bingung, tidak mampu menerima suatu ajaran tertentu.

620) Apaṇṇakadhamma. MA menjelaskan ini sebagai suatu ajaran yang tidak dapat dipertentangkan, bebas dari ambiguitas, pasti dapat diterima (aviraddho advejjhagāmi ekaṁsagāhiko). Kata ini juga muncul dalam AN 3:16/i.113 dan AN 4:71/ii.76.

621) Tiga pandangan yang dibahas pada §§5, 13 dan 21 disebut pandangan salah dengan akibat buruk yang pasti (niyatā micchā diṭṭhi). Terikat pada pandangan-pandangan itu dengan keyakinan kuat menutup peluang untuk terlahir kembali di alam surga dan pencapaian kebebasan. Untuk pembahasan lebih lengkap, baca Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship, pp.79-83.

Peninjauan atas pandangan-pandangan ini diungkapkan menurut pola berikut ini: Sang Buddha mengungkapkan pandangan salah A dan lawannya B. Pertama membahas A, dalam A.i Beliau menunjukkan akibat buruk dari pandangan ini pada perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran. Dalam A.ii Beliau melanjutkan dari penilaian bahwa pandangan ini sesungguhnya adalah salah dan memunculkan akibat negatif tambahan karena menganut pandangan ini. Kemudian dalam A.iii Beliau menunjukkan bagaimana seorang bijaksana menyimpulkan bahwa apakah pandangan itu benar atau salah, ia tetap menolaknya.

Selanjutnya dibahas posisi B. dalam B.i Sang Buddha menggambarkan pengaruh bermanfaat dari pandangan ini dalam perilaku. Dalam B.ii Beliau memunculkan akibat positif tambahan karena menganut pandangan itu. Dan dalam B.iii Beliau menunjukkan bagaimana seorang bijaksana menyimpulkan bahwa, tidak peduli kebenaran sesungguhnya, ia berusaha untuk berperilaku seolah-olah pandangan itu benar.

622) Baca n.425 untuk menjelaskan beberapa ungkapan yang digunakan di sini dalam formulasi pandangan ini.

623) Kata-kata Pali untuk ini adalah susīlya dan dusilya. Karena “moralitas buruk” terdengar kontradiktif pada kata itu sendiri, dalam terjemahan saya digunakan “perilaku” dalam ungkapan “perilaku buruk”. Ñm menggunakan “ketidakbermoralan”.

624) Ia telah membuat dirinya aman (sotthi) dalam makna bahwa ia tidak akan mengalami kesengsaraan dalam kehidupan mendatang. Akan tetapi, ia masih dapat mengalami jenis-jenis penderitaan dalam kehidupan ini, yang sedang dijelaskan oleh Sang Buddha.

625) Natthikavāda, lit. “doktrin ketiadaan”, disebut demikian karena menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma.

626) Penerimaannya akan ajaran yang tidak dapat dibantah “hanya sejauh satu sisi” dalam makna bahwa ia membuat dirinya aman sehubungan dengan kehidupan berikut hanya atas dugaan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, sementara jika ada kehidupan setelah kematian maka ia kalah dalam kedua sisi.

627) Atthikavāda: Penegasan pada keberadaan kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma.

628) Penerimaannya “mencakup kedua sisi” karena ia memperoleh manfaat dari pandangannya dengan menegaskan kehidupan setelah kematian tidak peduli apakah kehidupan setelah kematian ada atau tidak ada.

629) Doktrin tidak berbuat (akiriyavāda), dalam Sāmaññaphala Sutta (DN 2.17/i.52-53), dihubungkan dengan Pūraṇa Kassapa. Walaupun pada pertemuan pertama, pandangan ini sepertinya bersandar pada anggapan-anggapan materialis, seperti halnya pandangan nihilistis sebelumnya, namun terdapat bukti kanonis bahwa Pūraṇa Kassapa menganut doktrin fatalistis. Dengan demikian keyakinan moralnya mungkin mengikuti dari pandangan bahwa segala perbuatan ditakdirkan dalam berbagai cara yang membatalkan tanggung jawab moral si pelakunya. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivijas, p.84.

630) Ini adalah doktrin nonkausalitas (ahetukavāda) yang dianut oleh Makkhali Gosāla pemimpin Ājivaka, disebut dalam Sāmaññaphala Sutta sebagai doktrin pemurnian oleh Saṁsāra (saṁsārasuddhi, DN 2.21/i.54). Filosofi dari Makkhali Gosāla telah dibahas secara terperinci oleh Basham, History and Doctrines of the Ājivikas, Bab 12 dan 13. Sebuah terjemahan atas Komentar Digha atas doktrin ini dapat ditemukan dalam Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship,  pp.70-77.

631) Niyati, takdir atau nasib, adalah prinsip penjelasan utama dari filosofi Makkhali, “situasi dan alam” (sangatibhāva) sepertinya adalah modus operasi dari peristiwa-peristiwa eksternal dan keadaan jasmani individu secara berturut-turut. Enam kelompok (abhijāti) adalah enam gradasi manusia menurut tingkat pengembangan spiritual mereka, yang tertinggi diperuntukkan bagi ketiga guru Ājivaka yang disebutkan pada MN 36.5. Mengenai enam kelompok ini, baca Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship, [`]pp.73-75. juga AN 6:57/iii.383-84.

632) Ini adalah penyangkalan pada empat alam kehidupan tanpa-bentuk, pasangan objektif dari empat pencapaian meditatif tanpa materi.

633) Ini adalah para dewa dari alam yang bersesuaian dengan empat jhāna. Mereka memiliki jasmani dengan materi yang halus, tidak seperti pada dewa dari alam tanpa materi yang terdiri dari hanya batin tanpa adanya campuran materi.

634) MA: Walaupun orang bijaksana yang dibahas di sini memiliki keragu-raguan mengenai kehidupan alam tanpa materi, namun ia mencapai jhāna ke empat, dan dengan berdasarkan pada itu, ia berusaha untuk mencapai pencerapan tanpa materi. Jika ia gagal, maka ia pasti terlahir kembali di alam bermateri halus, tetapi jika ia berhasil, maka ia akan terlahir kembali di alam tanpa materi. Demikianlah baginya taruhan ini adalah suatu “ajaran yang tidak dapat dibantah”.

635) MA: Lenyapnya penjelmaan (bhavanirodha) di sini adalah Nibbāna.

636) MA: Walaupun orang ini memiliki keragu-raguan sehubungan dengan Nibbāna, namun ia mencapai delapan pencapaian meditatif, dan kemudian, dengan menggunakan salah satu dari pencapaian itu sebagai landasan, ia mengembangkan pandangan terang, dengan pikiran: “Jika ada lenyapnya, maka aku akan mencapai Kearahatan dan mencapai Nibbāna.” Jika ia gagal, maka ia pasti terlahir kembali di alam tanpa materi, tetapi jika ia berhasil, maka ia mencapai Kearahatan dan mencapai Nibbāna.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #100 on: 26 February 2011, 10:16:34 PM »
SUTTA 61

637) Rāhula adalah [ ]putra tunggal Sang Buddha, dilahirkan pada hari yang sama ketika ayahnya meninggalkan istana untuk mencari pencerahan. Pada usia tujuh tahun, ia ditahbiskan menjadi seorang samaṇera oleh YM. Sāriputta pada peristiwa kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu setelah pencerahan-Nya. Sang Buddha menyatakannya sebagai siswa terunggul di antara para siswa yang menyukai latihan. Menurut MA, khotbah ini diajarkan kepada Rāhula ketika ia berumur tujuh tahun, dengan demikian tidak lama setelah penahbisannya. Pada MN 147, ia mencapai Kearahatan setelah mendengarkan khotbah dari Sang Buddha tentang pengembangan pandangan terang.

638) Mengakui perbuatan salah demikian dan menjalankan pengendalian di masa depan mengarah pada perkembangan dalam disiplin Para Mulia. Baca MN 65.13.

639) Akan tetapi, pada bagian ini, frasa “maka engkau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu ... dan menceritakannya” diganti menjadi: “maka engkau harus merasa terpukul, malu, dan jijik oleh perbuatan pikiran itu. Setelah menjadi terpukul, malu, dan jijik oleh perbuatan pikiran itu ...” Penggantian ini dibuat karena pikiran-pikiran tidak bermanfaat, tidak seperti pelanggaran jasmani dan ucapan, tidak memerlukan pengakuan sebagai cara untuk terbebas dari kesalahan. Baik Horner dalam MLS maupun Ñm dalam Ms tidak memasukkan variasi ini.


SUTTA 62

640) Menurut MA, khotbah ini diajarkan kepada Rāhula ketika ia berumur delapan belas tahun, dengan tujuan untuk menghalau keinginan yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Khotbah pendek nasihat kepada Rāhula adalah MN 147.

641) MA: Sewaktu Rāhula mengikuti Sang Buddha, ia memperhatikan dengan penuh kekaguman pada kesempurnaan fisik Sang Guru dan berpikir bahwa ia sendiri juga berpenampilan serupa, dengan pikiran: “Aku juga tampan seperti ayahku Sang Bhagavā. Bentuk Sang Buddha sungguh indah dan demikian pula denganku.” Sang Buddha membaca pikiran Rāhula dan memutuskan untuk menasihatinya seketika, sebelum pikiran-pikiran tidak berguna itu mengarahkannya pada kesulitan yang lebih jauh lagi. Demikianlah Sang Buddha membingkai nasihatnya dalam hal perenungan jasmani sebagai bukan diri juga tidak memiliki diri.

642) MA: YM. Sāriputta, guru Rāhula, memberikan nasihat ini kepada Rāhula tanpa menyadari bahwa Rāhula telah diberikan instruksi meditasi berbeda oleh Sang Buddha. Ia terkecoh oleh posisi Rāhula yang duduk bersila dan berpikir bahwa Rāhula sedang berlatih perhatian pada pernapasan.

643) MA: Sang Buddha di sini menjelaskan meditasi pada empat unsur utama dan bukannya perhatian pada pernapasan dengan tujuan untuk menghalau kemelekatan Rāhula pada jasmani, yang belum dilenyapkan melalui instruksi singkat tentang ketanpaakuan bentuk materi. Baca n.329 untuk penjelasan kata yang memerlukan komentar.

644) Ruang (ākāsa) bukanlah unsur materi utama tetapi dikelompokkan dalam bentuk materi turunan (upādā-rūpa).

645) MA: Paragraf ini (§13-17) diajarkan untuk menunjukkan kualitas ketidak-membeda-bedakan (tādibhāva).

646) Untuk penjelasan atas kata yang tidak jelas dalam empat tetrad pertama tentang perhatian pada pernapasan ini (§26), baca nn.140-142. Kata-kata yang memerlukan penjelasan dalam tiga tetrad berikutnya akan dijelaskan dalam catatan pada MN 118, Ānāpānasati Sutta.

647) Yaitu, meditator meninggal dunia dengan tenang, dengan penuh perhatian dan sadar.


SUTTA 63

648) Mereka yang selalu bertanya-tanya tentang nasib bhikkhu yang nyaris meninggalkan Sang Buddha demi memuaskan keingintahuan metafisikanya akan gembira setelah mengetahui bahwa dalam usia tuanya, Mālunkyāputta menerima khotbah singkat tentang enam landasan indria dari Sang Buddha, pergi memasuki keterasingan meditasi, dan mencapai Kearahatan. Baca SN 35:95/iv.72-76. Syair-syairnya terdapat pada Thag 399-404 dan 794-817.


SUTTA 64

649) Kelima belenggu yang lebih rendah (orambhāgiyāni saṁyojanāni) disebut demikian karena mengarah menuju kelahiran kembali di alam indria. Belenggu-belenggu ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan yang-tidak-kembali.

650) MA: Akan muncul pertanyaan: “Ketika Sang Buddha bertanya tentang belenggu-belenggu dan Bhikkhu itu menjawab dalam hal belenggu-belenggu, mengapa Sang Buddha mengkritik jawabannya?”[ ]Alasannya adalah karena Mālunkyāputta menganut pandangan bahwa seseorang terbelenggu oleh kekotoran hanya pada saat ketika kekotoran itu menyerangnya, sementara pada saat lainnya tidak terbelenggu oleh kekotoran. Sang Buddha mengatakan itu untuk menunjukkan kesalahan dalam pandangannya.

651) Anuseti tve’ assa sakkāyadiṭṭhānusayo. Mengenai anusaya atau kecenderungan tersembunyi, baca n.473. Dalam komentar, kekotoran dibedakan saat muncul di tiga tingkat: tingkat anusaya, di mana kekotoran menetap hanya sebagai watak tersembunyi dalam batin; tingkat pariyaṭṭhāna, di mana kekotoran muncul untuk menguasai dan memperbudak pikiran (dirujuk dalam §5 dari khotbah ini); dan tingkat vitikkama, di mana kekotoran memotivasi perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak bermanfaat. Inti dari kritikan Sang Buddha adalah bahwa belenggu-belenggu, bahkan ketika tidak muncul secara aktif, namun terus ada pada tingkat anusaya selama belum dilenyapkan melalui jalan lokuttara.

652) Dhamma. Ini juga dapat diterjemahkan “segala sesuatu”.

653) MA: Belenggu dan kecenderungan tersembunyi secara prinsip bukanlah hal yang berbeda; sebaliknya, adalah kekotoran yang sama yang disebut belenggu dalam makna mengikat, dan kecenderungan tersembunyi dalam makna belum ditinggalkan.

654) Upadhivivekā. MA mengemas upadhi di sini sebagai lima utas kenikmatan indria. Walaupun ketiga klausul pertama dari pernyataan ini sepertinya mengungkapkan gagasan yang sama dengan dua klausul berikutnya, MṬ menunjukkan bahwa ini dimaksudkan untuk menunjukkan cara untuk mendapatkan kondisi “dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat”.

655) Paragraf ini menunjukkan pengembangan pandangan terang (vipassanā) yang berdasarkan pada ketenangan (samatha), menggunakan jhāna yang dengannya praktik pandangan terang didasarkan sebagai objek perenungan pandangan terang. Baca MN 52.4 dan n.552. Di sini dua katatidak kekal dan kehancuranmenunjukkan karakteristik ketidakkekalan; tiga katamakhluk asing, kehampaan, dan bukan-dirimenunjukkan karakteristik tanpa-diri; enam kata lainnya menunjukkan karakteristik penderitaan.

656) MA: Ia “mengalihkan pikirannya” dari kelima kelompok unsur kehidupan yang termasuk dalam jhāna, yang telah ia lihat dengan ditandai ketiga karakteristik. “Unsur keabadian” (amatā dhātu) adalah Nibbāna. Pertama “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan kesadaran pandangan terang, setelah mendengarnya dipuji dan digambarkan sebagai “damai dan luhur”, dan seterusnya. Kemudian, dengan jalan lokuttara, “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan menjadikannya sebagai objek dan menembusnya sebagai yang damai dan luhur, dan seterusnya.

657) Baca n.553.

658) Mengenai penghilangan pencapaian tanpa-materi yang ke empat, baca n.554.

659) MA: Di antara mereka yang maju melalui ketenangan, seorang bhikkhu menekankan keterpusatan pikirania dikatakan mencapai kebebasan pikiran; yang lain menekankan kebijaksanaania dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan. Di antara mereka yang maju melalui pandangan terang, satu menekankan kebijaksanaania dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan, yang lain menekankan keterpusatan pikirania dikatakan mencapai kebebasan pikiran. Kedua siswa utama mencapai Kearahatan dengan menekankan pada ketenangan dan pandangan terang, tetapi YM. Sāriputta menjadi seorang yang mencapai kebebasan pikiran. Demikianlah alasan (bagi perbedaan sebutan) adalah perbedaan dalam indria-indria mereka, yaitu, antara keunggulan indria konsentrasi dan indria kebijaksanaan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #101 on: 26 February 2011, 10:29:33 PM »
SUTTA 65

660) Ini merujuk pada praktik Sang Buddha dalam hal makan satu kali sehari hanya sebelum siang. Menurut Pātimokkha, para bhikkhu dilarang makan dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya, walaupun praktik makan satu kali sehari dianjurkan namun bukan keharusan.

661) MA: Ia menjadi cemas dan khawatir apakah ia mampu menjalani kehidupan suci selama seumur hidupnya.

662) Kecemasannya tetap ada karena ia masih harus menyelesaikan makanan yang tersisa sebelum tengah hari.

663) Ini adalah peraturan yang melarang makan di luar batas waktu yang selayaknya. Baca Vin Pāc 37/iv.35.

664) Ketujuh kata yang digunakan dalam bagian ini mewakili tujuh kelompok individu mulia. Dijelaskan pada MN 70.14-21.

665) Baik Ñm maupun Horner menganggap sankameyya di sini berarti bahwa bhikkhu itu membuat dirinya menjadi papan, yaitu, berbaring di atas lumpur. Akan tetapi, ini berlawanan dengan jawaban negatif Bhaddāli. Dengan demikian, sepertinya lebih tepat menganggap kata kerja ini berarti bahwa ia menyeberang sendiri (seperti makna literal kata kerja itu), dalam mengabaikan perintah Sang Buddha. MA menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak akan pernah memberikan perintah seperti itu kepada para siswa-Nya, tetapi hanya mengatakan ini untuk menekankan sikap keras kepala Bhaddāli.

666) MA: Ia memelihara dirinya dengan keyakinan duniawi dan cinta kasih duniawi terhadap penahbis dan gurunya. Karena para bhikkhu lain membantunya, ia bertahan dalam kehidupan tanpa rumah dan mungkin akhirnya menjadi seorang bhikkhu besar yang mencapai pengetahuan langsung.

667) Paragraf ini merujuk pada prinsip pasti bahwa Sang Buddha tidak menetapkan aturan latihan hingga sebuah kasus muncul yang memerlukan penetapan aturan latihan yang sesuai. Baca Vin Pār 1/iii.9-10.

668) Tasmiṁ ṭhāne parinibbāyati. Kata kerja yang digunakan di sini adalah bentuk verbal dari parinibbāna, dan mungkin secara literal, walaupun salah, diterjemahkan, “Ia mencapai Nibbāna akhir dalam perbuatan itu”.

669) “Seorang yang melampaui latihan” (asekha) adalah seorang Arahant. MA menjelaskan kesepuluh faktor ini adalah unsur-unsur dari buah Kearahatan.

670) Pengetahuan benar (sammā ñāṇa) adalah pengetahuan yang berhubungan dengan buah Kearahatan, kebebasan benar (sammā vimutti) adalah kebebasan Arahant dari segala kekotoran.


SUTTA 66

671) Dari paragraf ini dan paragraf berikutnya, sepertinya Sang Buddha membatasi waktu makan yang diperbolehkan bagi para bhikkhu dalam dua tahap berturut-turut, pertama melarang hanya makan sore dan memperbolehkan makan malam. Akan tetapi, dalam kisah latar belakang dalam Vinaya dari Pāc 37 (Vin iv.85) tidak disebutkan larangan berturut-turut ini. Sebaliknya, teks sepertinya menganggapnya sebagai suatu pengetahuan umum bahwa para bhikkhu tidak boleh mengonsumsi makanan setelah lewat tengah hari, dan ini menunjukkan bahwa Sang Buddha menetapkan peraturan makan yang tidak pada waktunya dengan satu kelompok pernyataan yang berlaku untuk semua makanan setelah lewat tengah hari.

672) Ucapan ini adalah dalam bentuk yang sepertinya percakapan Pali. MA menjelaskan: jika ibu dan ayah seseorang masih hidup, mereka akan memberikan berbagai makanan kepada putra mereka dan memberikan tempat untuk tidur, dan dengan demikian ia tidak perlu berkeliling mencari makanan di malam hari.

673) MA: Sang Buddha mengangkat ajaran ini untuk menganalisa orang yang meninggalkan apa yang telah diberitahukan untuk ditinggalkan (§9) ke dalam empat jenis individu berbeda.

674) Upadhi. MA mengemas: Untuk meninggalkan empat jenis upadhikelompok-kelompok unsur kehidupan, kekotoran-kekotoran, bentukan-bentukan kehendak, dan utas-utas kenikmatan indria (khandh’ upadhi kiles’upadhi abhisankhār’upadhi kāmaguṇ’upadhi).

675) MA: Orang biasa, pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali dapat termasuk dalam kelompok pertama (§14), yang-tidak-kembali karena keinginan akan penjelmaan masih ada dalam dirinya dan dengan demikian kadang-kadang ia dapat menikmati pikiran-pikiran kenikmatan duniawi. Orang biasa yang sama dapat termasuk dalam kelompok ke dua (§15), orang biasa karena ia mungkin dapat menekan kekotoran yang telah muncul, membangkitkan kegigihan, mengembangkan pandangan terang, dan melenyapkan kekotoran dengan mencapai jalan lokuttara.

676) Jenis ini dibedakan dengan jenis sebelumnya hanya oleh kelambanannya dalam membangkitkan perhatian untuk meninggalkan kekotoran yang telah muncul.

677) Ini adalah Arahant, yang telah melenyapkan segala belenggu.

678) Di sini saya berbeda dengan Ñm dalam menerjemahkan sukha sebagai “kebahagiaan” dan bukan sebagai “kenikmatan” untuk menghindari frasa-frasa yang terdengar janggal yang dapat diakibatkan dari konsistensi yang kaku. MA menjelaskan jhāna-jhāna sebagai nekkhammasukha karena menghasilkan kebahagiaan dari meninggalkan kenikmatan indria; sebagai pavivekasukha karena menghasilkan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan dari keramaian dan dari kekotoran; sebagai upasamasukha karena kebahagiaannya adalah bertujuan untuk menenangkan kekotoran; dan sebagai sambodhasukha karena kebahagiaannya adalah bertujuan untuk mencapai pencerahan. Jhāna-jhāna itu sendiri, tentu saja, bukanlah kondisi-kondisi pencerahan.

679) Semua kondisi pikiran di bawah jhāna ke empat dikelompokkan sebagai “yang dapat terganggu” (iñjita). Jhāna ke empat dan semua kondisi yang lebih tinggi disebut “yang tidak dapat terganggu” (aniñjita). Baca n.1000.

680) MA: Tidaklah selayaknya untuk melekatinya dengan keinginan, dan seseorang seharusnya tidak berhenti pada titik ini.

681) Lenyapnya persepsi dan perasaan bukan hanya sekadar satu pencapaian yang lebih tinggi dalam skala konsentrasi, melainkan di sini menyiratkan pengembangan pandangan terang penuh yang membawa menuju puncaknya dalam Kearahatan.


SUTTA 67

682) Kevaṭṭā maññe macchavilope. MA memberikan dua penjelasan: yang satu sesuai dengan terjemahan ini, yang lain menyarankan “nelayan yang sedang mengangkut ikan”.

683) Ini adalah Brahmā Sahampati yang memohon kepada Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk mengajarkan Dhamma kepada dunia. Baca MN 26.20.

684) MA: Dalam hal ini, YM. Sāriputta bersalah karena tidak menyadari tanggung jawabnya, karena Sangha adalah tanggung jawab kedua siswa utama. Demikianlah Sang Buddha menegurnya tetapi memuji YM. Moggallāna, yang menyadari tanggung jawabnya.

685) MA: Sang Buddha mengangkat ajaran ini untuk menunjukkan bahwa terdapat empat ketakutan (atau bahaya, bhaya) dalam Pengajaran ini. Mereka yang mampu mengatasi empat ketakutan ini akan maju dalam Pengajaran ini, yang lainnya tidak akan maju.

686) Pali menggunakan dua kata yang berbeda untuk menunjukkan jenis-jenis makanan yang berbeda: khādaniya, “makanan untuk dikonsumsi”, termasuk semua jenis sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, umbi-umbian, dan sebagainya; bhojanīya, “makanan untuk dimakan”, termasuk makanan yang terbuat dari padi, daging, dan ikan. Makanan-makanan untuk dikecap (sāyitabba) termasuk kudapan ringan.

687) Batas waktu selayaknya adalah dari fajar hingga tengah hari, di luar itu hanya cairan yang boleh diminum.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #102 on: 26 February 2011, 10:41:10 PM »
SUTTA 68

688) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria” menyiratkan jhāna pertama dan ke dua, “Sesuatu yang lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi dan empat jalan.

689) Baca MN 2.4. Ini adalah praktik yang dijalankan oleh seseorang yang dalam latihan untuk mencegah munculnya noda-noda tersembunyi yang belum ditinggalkan.

690) Ini merujuk pada kemampuan Sang Buddha untuk menemukan melalui mata-batin kondisi-kondisi di mana para siswa-Nya telah terlahir kembali.

691) Aññā: Pengetahuan yang dicapai oleh Arahant. Harus diperhatikan bahwa sementara pengumuman pencapaian oleh para bhikkhu dan bhikkhunī dimulai dari Kearahatan, pencapaian oleh umat awam laki-laki dan perempuan dimulai dengan yang-tidak-kembali (dalam §18, §21). Walaupun Buddhisme awal mengakui kemungkinan umat awam mencapai Kearahatan. Dalam semua kasus yang terdapat dalam Nikāya, mereka mencapainya menjelang kematian atau persis sebelum memohon penahbisan ke dalam Sangha.


SUTTA 69

692) Ini dilarang dalam Pāc 46 (Vin iv.98-100). Seorang bhikkhu boleh mengunjungi keluarga-keluarga hanya pada saat-saat ia telah memberitahukan kepada bhikkhu lain dalam vihara sehubungan dengan niatnya, kecuali selama masa pembuatan dan persembahan jubah.

693) Abhidhamma Abhivinaya. MA mengatakan bahwa ia harus tekun mempelajari teks dan komentar Abhidhamma Piṭaka dan Vinaya Piṭaka. Ini jelas tidak sesuai pada masa itu. Mengenai Abhidhamma dalam konteks sutta-sutta, baca n.362. Walaupun tidak ada batang tubuh literatur yang disebut “Abhivinaya”, sepertinya mungkin kata itu merujuk pada suatu pendekatan sistematis dan analitis untuk mempelajari Vinaya, mungkin ditambahkan dalam Suttavibhanga dari Vinaya Piṭaka.

694) MA: Ini merujuk pada delapan pencapaian meditatif. Minimal ia harus menguasai tahap persiapan dari satu objek meditasi, misalnya kasiṇa.

695) MA: Ini merujuk pada semua kondisi-kondisi lokuttara. Minimal ia harus menguasai satu pendekatan untuk mengembangkan pandangan terang hingga Kearahatan.


SUTTA 70

696) Baca n.671. Selaras dengan MN 66.6, MA menjelaskan bahwa Sang Buddha pertama-tama melarang makan sore dan kemudian belakangan melarang makan malam. Beliau melakukan hal ini karena peduli dengan para bhikkhu yang lemah dalam Sangha, karena mereka akan menjadi terlalu cepat lelah jika kedua waktu makan ini dilarang pada saat bersamaan.

697) Dalam Vinaya Piṭaka, para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka digambarkan sebagai para bhikkhu yang “ceroboh dan tidak bermoral” dan ditunjukkan melakukan berbagai perbuatan buruk yang merusak umat awam. Di Kīṭāgiri suatu tindakan pengucilan dinyatakan terhadap mereka, dan penolakan mereka untuk patuh melatarbelakangi penetapan Sanghādisesa 13 (Vin iii.179-84).

698) MA: Pernyataan ini dibuat dengan merujuk pada kenikmatan yang dialami dalam makan malam, yang tidak mendukung praktik tugas-tugas seorang bhikkhu.

699) MA: Jenis pertama perasaan yang menyenangkan adalah kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, dan jenis berikutnya adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Demikian pula, kedua kalimat berikutnya yang merujuk pada kesakitan dan kenetralan berdasarkan, berturut-turut, pada kehidupan rumah tangga dan berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

700) §§8-10 berfungsi untuk memberikan, berdasarkan pada pemahaman sempurna Sang Buddha, landasan bagi perintah untuk meninggalkan segala perasaan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan mengembangkan perasaan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

701) Di sini mengikuti tujuh pengelompokan individu mulia yang mengelompokkan mereka bukan hanya berdasarkan pada jalan dan buah pencapaian merekatetapi menurut indria yang lebih unggul. Definisi alternatif dari ketujuh ini diberikan oleh Pug 1:30-36/14-15.

702) Ubhatobhāgavimutta. MA: Ia adalah “yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara” karena ia terbebaskan dari tubuh fisik melalui pencapaian tanpa materi dan dari tubuh batin melalui jalan (Kearahatan). Definisi Pug tertulis: “Ia menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam delapan kebebasan, dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatan dengan kebijaksanaan.” MA mengatakan bahwa ubhatobhāgavimutta termasuk mereka yang mencapai Kearahatan setelah keluar dari salah satu dari empat pencapaian tanpa materi dan ia yang mencapainya setelah keluar dari pencapaian lenyapnya.

703) Paññāvimutta. MA: Ini termasuk mereka yang mencapai Kearahatan apakah sebagai meditator pandangan terang tanpa jhāna (sukkha-vipassaka) atau setelah keluar dari salah satu jhāna. Definisi Pug sekadar menggantikan ‘kebebasan-kebebasan itu … melampaui bentuk-bentuk’ menjadi delapan kebebasan.

704) Kāyasakkhim. MA: jenis ini memasukkan enam jenis individudari seorang yang mencapai buah memasuki-arus hingga seorang yang berada dalam jalan Kearahatanyang pertama menyentuh jhāna-jhāna (tanpa materi) dan selanjutnya mencapai Nibbāna. MṬ menekankan bahwa salah satu pencapaian jhāna tanpa materi terrmasuk pencapaian lenyapnya diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai kāyasakkhin. Definisi Pug hanya sekadar menggantikan delapan kebebasan.

705) Diṭṭhipatta: MA mengatakan bahwa jenis ini juga memasukkan enam individu yang sama yang termasuk dalam kāyasakkhindari seorang pemasuk-arus hingga seorang yang berada dalam jalan Kearahatantetapi tidak memiliki pencapaian-pencapaian tanpa materi. Pug mendefinisikannya sebagai seorang yang telah memahami Empat Kebenaran Mulia dan yang telah meninjau dan memeriksa dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.

706) Saddhāvimutta. MA mengatakan bahwa jenis ini juga memasukkan enam yang sama. Pug mendefinisikannya dengan cara yang sama dengan definisi diṭṭhipatta, tetapi menambahkan bahwa ia belum meninjau dan memeriksa ajaran-ajaran dengan kebijaksanaan dalam jangkauan yang sama dengan diṭṭhipatta.

707) MA mengatakan bahwa jenis ini, dhammānusārin, dan yang berikutnya, saddhānusārin, adalah individu-individu yang berada dalam jalan memasuki-arus, yang pertama lebih unggul dalam kebijaksanaan, dan yang ke dua lebih unggul dalam keyakinan. Untuk kedua jenis ini, baca n.273.

708) MA: Dengan tubuh batin ia mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi, dan ia menembusnya dengan kebijaksanaan yang berhubungan dengan jalan lokuttara.

709) Yaitu, para bhikkhu ini belum memperoleh keyakinan yang diperlukan untuk menjalani latihan yang ditetapkan untuk mereka oleh Sang Bhagavā.

710) MA mengatakan bahwa “pernyataan berfrasa empat” (catuppadaṁ veyyākaraṇaṁ) adalah ajaran Empat Kebenaran Mulia. Akan tetapi, di sini tidak disebutkan tentang empat kebenaran. Mungkin “pernyataan berfrasa empat” adalah tekad pada upaya yang terdapat persis di bawah, dengan masing-masing klausa dihitung sebagai satu frasa (klausa kondisional dianggap sebagai dua frasa).

711) MA: Dengan ini Sang Buddha menunjukkan bahwa siswa ideal mempraktikkan dengan membangkitkan kegigihannya dan bertekad: “Aku tidak akan bangkit selama aku belum mencapai Kearahatan.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #103 on: 26 February 2011, 10:58:41 PM »
SUTTA 71

712) Sutta ini dan dua sutta berikutnya sepertinya menyajikan kisah kronologis atas evolusi spiritual Vacchagotta. Dalam Saṁyutta Nikāya terdapat satu bagian penuh yang menceritakan diskusi antara Sang Buddha dengan Vacchagotta, SN 33/iii.257-62. Baca juga SN 44:7-11/iv.391-402.

713) Ini adalah jenis kemahatahuan yang diakui dimiliki oleh guru Jain, Nigaṇṭha Nātaputta pada MN 14.17 …

714) MA menjelaskan bahwa walaupun sebagian pernyataan ini benar, namun Sang Buddha menolak keseluruhan pernyataan karena porsinya tidak benar. Bagian pernyataan yang benar adalah penegasan bahwa Sang Buddha adalah mahatahu dan maha-melihat; bagian yang berlebih-lebihan dalam pernyataan itu adalah bahwa pengetahuan dan penglihatan terus-menerus ada pada-Nya. Menurut tradisi penafsiran Theravāda, Sang Buddha adalah mahatahu dalam makna bahwa semua hal-hal yang dapat diketahui adalah terjangkau oleh-Nya. Akan tetapi, Beliau tidak dapat, mengetahui segala sesuatu pada saat bersamaan dan harus mengarahkannya pada apa pun yang Beliau ingin ketahui. Pada MN 90.8, Sang Buddha mengatakan bahwa adalah mungkin untuk mengetahui dan melihat segala sesuatu, walaupun tidak pada saat bersamaan. Dan pada AN 4:24/ii.24, Beliau mengaku mengetahui segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Ini dipahami oleh para komentator Theravada sebagai suatu penegasan kemahatahuan dalam makna yang memenuhi syarat. Sehubungan dengan hal ini, baca juga Miln 102-7.

715) MA menjelaskan “belenggu kerumahtanggaan” (gihisaṁyojana) sebagai kemelekatan pada kebutuhan-kebutuhan seorang rumah tangga, yang diperinci oleh MṬ sebagai tanah, hiasan-hiasan, kekayaan, hasil panen, dan sebagainya. MA mengatakan bahwa bahkan walaupun teks menyebutkan beberapa individu yang mencapai Kearahatan sebagai seorang awam, melalui jalan Kearahatan mereka menghancurkan segala kemelekatan pada hal-hal duniawi dan dengan demikian mereka akan meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu atau segera meninggal dunia setelah pencapaian mereka. Pertanyaan mengenai para Arahant awam dibahas pada Miln 264.

716) Mengenai para Ājivaka, baca n.73.

717) Karena Ājivaka ini percaya pada efektivitas perbuatan bermoral, maka Beliau tidak dapat menyetujui filosofi fatalisme ortodoks dari para Ājivaka yang menyangkal efektivitas peran kamma dan perbuatan-perbuatan kehendak dalam mengubah takdir manusia. MA mengidentifikasikan Ājivaka ini sebagai Sang Bodhisatta dalam kehidupan sebelumnya.


SUTTA 72

718) Pandangan bahwa jiwa (jiva) dan badan adalah sama merupakan pandangan materialisme, yang memperkecil jiwa ke dalam badan. Pandangan berikutnya bahwa jiwa dan badan adalah berbeda merupakan pandangan eternalis, yang menganggap jiwa sebagai suatu prinsip spiritual yang terus ada dengan tidak bergantung pada badan.

719) Pandangan bahwa Seorang Tathāgata ada setelah kematian adalah suatu bentuk eternalisme yang menganggap Sang Tathāgata, atau individu yang sempurna secara spiritual, sebagai memiliki diri yang mencapai kebebasan abadi setelah kematian jasmani. Pandangan bahwa seorang Tathāgata tidak ada setelah kematian juga menyiratkan Sang Tathāgata sebagai diri, tetapi menganut bahwa diri ini musnah pada saat kematian jasmani. Pandangan ke tiga mencoba menggabungkan kedua pandangan ini, yang ditolak oleh Sang Buddha karena kedua komponen itu melibatkan pandangan salah. Pandangan ke empat sepertinya merupakan suatu usaha skeptis untuk menolak kedua alternatif atau menghindari pendirian yang pasti.

720) Dalam Pali, suatu permainan kata terlibat antara diṭṭhigata, “pandangan spekulatif”, yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata, dan diṭṭha, apa yang telah “terlihat” oleh Sang Tathāgata dengan pengetahuan langsung, yaitu, timbul dan tenggelamnya kelima kelompok unsur kehidupan.

721) MA mengatakan bahwa “tidak muncul kembali” sebenarnya berlaku, dalam makna bahwa Arahant tidak mengalami penjelmaan baru. Tetapi jika Vacchagotta mendengar hal ini, maka ia akan salah memahaminya sebagai nihilisme, dan karena itu, Sang Buddha membantah bahwa itu berlaku dalam makna bahwa nihilisme bukanlah posisi yang dapat dipertahankan.

722) MA mengatakan ini adalah bentuk materi yang dengannya seseorang dapat menggambarkan Sang Tathāgata sebagai makhluk (atau diri) yang memiliki bentuk materi. MṬ menambahkan bahwa bentuk materi telah ditinggalkan melalui ditinggalkannya belenggu-belenggu yang berhubungan dengannya, dan dengan demikian telah menjadi tidak dapat muncul lagi di masa depan.

723) Paragraf ini harus dihubungkan dengan perumpamaan padamnya api. Seperti halnya padamnya api tidak dapat digambarkan sebagai pergi ke arah mana pun, demikian pula Sang Tathāgata yang telah mencapai Nibbāna akhir tidak dapat digambarkan dalam hal empat alternatif. Perumpamaan itu hanya berkaitan dengan legitimasi penggunaan konseptual dan bahasa dan bukan dimaksudkan untuk menyiratkan, seperti yang dianut oleh beberapa terpelajar, bahwa Sang[”] Tathāgata mencapai suatu pencerapan mistis dalam Yang [ ]Mutlak. Kata-kata [ ]“dalam, tidak terbatas, sulit diukur” menunjukkan dimensi transenden dari kebebasan yang dicapai oleh Yang Sempurna, ketidakterjangkauannya oleh pikiran yang berkeliaran.


Sepertinya bahwa pada titik ini dalam percakapan itu, Sang Buddha menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan apa yang tidak dapat disampaikan oleh konsep-konsep. Kedua perumpamaanpadamnya api dan samudra dalamdengan sendirinya membentuk ketegangan dialektika, dan dengan demikian keduanya harus diperhitungkan untuk menghindari pandangan-pandangan satu sisi. Perumpamaan padamnya api, secara berdiri sendiri, berbelok ke arah pemadaman total, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan samudra; Perumpamaan samudra, secara berdiri sendiri, menyiratkan [ ]beberapa modus penjelmaan abadi, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan padamnya api. Selanjutnya, kebenaran terletak di tengah-tengah yang melampaui kedua ekstrem yang tidak dapat dipertahankan.


SUTTA 73

724) Pertanyaan ini dan pertanyaan berikutnya merujuk pada Kearahatan, yang mana (menurut MA) Vacchagotta menganggapnya sebagai keistimewaan eksklusif Sang Buddha.

725) Pertanyaan ini merujuk pada yang-tidak-kembali. Bahkan walaupun seorang yang-tidak-kembali masih dapat menjalani kehidupan awam, namun ia harus menjalani kehidupan selibat karena ia telah memotong belenggu keinginan indria.

726) Pertanyaan ini merujuk pada pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali, yang masih menikmati kenikmatan indria jika mereka masih menjalani kehidupan awam.

727) MA: Ia telah mencapai buah yang-tidak-kembali dan datang untuk bertanya kepada Sang Buddha mengenai praktik pandangan terang untuk mencapai jalan Kearahatan. Akan tetapi, Sang Buddha melihat bahwa ia memiliki kondisi yang mendukung bagi enam pengetahuan langsung. Maka demikianlah Beliau mengajarkan kepadanya ketenangan untuk menghasilkan lima pengetahuan langsung lokiya dan pandangan terang untuk mencapai Kearahatan.

728) Landasan yang sesuai (āyatana) adalah jhāna ke empat untuk lima pengetahuan langsung dan pandangan terang untuk Kearahatan.

729) Pariciṇṇo me Bhagavā, pariciṇṇo me Sugato. Ini adalah cara tidak langsung untuk memberitahukan kepada Sang Buddha mengenai pencapaian Kearahatan olehnya. Para bhikkhu tidak memahami hal ini, dan oleh karena itu, Sang Buddha menjelaskan maknanya kepada mereka.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #104 on: 26 February 2011, 11:20:11 PM »
SUTTA 74

730) Dīghanakha adalah keponakan YM. Sāriputta. Pada saat ia mendatangi Sang Buddha, Sāriputta baru menjadi bhikkhu selama dua minggu dan masih menjadi seorang pemasuk-arus.

731) MA berpendapat bahwa Dīghanakha adalah seorang nihilis (ucchedavādin) dan menjelaskan penegasan ini sebagai berarti: “Tidak ada [cara] kelahiran kembali yang dapat diterima olehku.” Akan tetapi, teks tidak memberikan bukti nyata yang mendukung interpretasi ini. Sepertinya lebih mungkin bahwa pernyataan Dīghanakha, “Tidak ada yang dapat diterima olehku” (sabbaṁ me na khamati), dimaksudkan untuk secara khusus ditujukan kepada pandangan-pandangan filosofis lainnya, dan dengan demikian Dīghanakha sebagai seorang skeptis radikal dari kelompok yang dikarakteristikkan secara sindiran dalam MN 76.30 sebagai “geliat-belut”. Penegasannya serupa dengan penolakan umum atas semua pandangan [ ]filosofis.

732) Jawaban ini, seperti diinterpretasikan oleh MA dan MṬ, harus dipahami sebagai berikut: Dengan pertanyaan ini, Sang Buddha menyiratkan bahwa pernyataan Dīghanakha mengandung suatu kontradiksi. Karena ia tidak dapat menolak segala sesuatu tanpa menolak pandangannya sendiri, dan ini menuntut suatu posisi yang berlawanan, yaitu, bahwa sesuatu dapat diterima olehnya. Akan tetapi, walaupun Dīghanakha menyadari implikasi dari pertanyaan Sang Buddha, namun ia mempertahankan pandangannya bahwa tidak ada yang dapat diterima olehnya.

733) MA mengatakan bahwa kalimat pertama merujuk pada mereka yang awalnya menganut pandangan eternalis atau nihilis dasar dan kemudian mengadopsi variasi sekunder atas pandangan itu; kalimat ke dua merujuk pada mereka yang meninggalkan pandangan dasar mereka tanpa mengadopsi pandangan alternatif. Tetapi jika, yang sepertinya masuk akal, Dīghanakha adalah seorang skeptis radikal, maka pernyataan Sang Buddha dapat dipahami sebagai menunjukkan suatu ketidakpuasan yang terdapat dalam posisi skeptis: adalah secara psikologis tidak nyaman untuk terus-menerus berada dalam kegelapan. Demikianlah kebanyakan para skeptis, sambil mengakui penolakan atas semua pandangan, diam-diam mengadopsi beberapa pandangan pasti, sementara sebagian kecil dari mereka meninggalkan keraguan mereka untuk mencari jalan menuju pengetahuan pribadi.

734) MA mengidentifikasikan ketiga pandangan di sini sebagai eternalisme, nihilisme, dan eternalisme sebagian. Pandangan eternalis adalah dekat pada nafsu (sārāgāya santike), dan seterusnya, karena menegaskan dan bergembira dalam kehidupan dalam bentuk yang bagaimanapun halusnya; nihilisme adalah dekat pada tanpa-nafsu, dan seterusnya, karena, walaupun melibatkan konsepsi keliru sehubungan dengan diri, namun mengarah menuju kekecewaan terhadap kehidupan. Jika pandangan ke dua dipahami sebagai dekat pada tanpa-nafsu dalam hal bahwa pandangan itu mengungkapkan kekecewaan dengan usaha untuk menopang kemelekatan pada kehidupan dengan landasan teoritis dan dengan demikian menyajikan suatu langkah yang bersifat sementara, walaupun keliru, ke arah kebosanan.

735) MA: Ajaran ini dibabarkan untuk menunjukkan kepada Dīghanakha akan bahaya dalam pandangannya dan karenanya mendorongnya untuk melepaskannya.

736) MA: Pada titik ini, Dīghanakha telah melepaskan pandangan nihilisnya. Demikianlah Sang Buddha sekarang mengajarkan meditasi pandangan terang kepadanya, pertama-tama melalui ketidakkekalan jasmani dan kemudian melalui ketidakkekalan faktor-faktor batin dalam kelompok perasaan.

737) MA mengutip suatu syair yang mengatakan bahwa seorang Arahant mungkin menggunakan kata “aku” dan “milikku” tanpa membangkitkan keangkuhan atau konsepsi salah sebagai merujuk pada diri atau ego (SN 1:5/i.14). Baca DN 9.53/i.202, di mana Sang Buddha mengatakan ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata “diri”: “Ini hanyalah nama-nama, ungkapan-ungkapan, gaya bahasa, sebutan-sebutan dalam penggunaan umum di dunia, yang mana Sang Tathāgata menggunakannya tanpa salah memahaminya.”

738) MA: Setelah merenungkan khotbah yang dibabarkan kepada keponakannya, YM. Sāriputta mengembangkan pandangan terang dan mencapai Kearahatan. Dīghanakha mencapai buah memasuki-arus.

739) Baca nn.588-89.


SUTTA 75

740) Bhūnahuno. Dalam Ms, Ñm menerjemahkan ungkapan tersamar ini sebagai “penghancur makhluk”. Saya mengikuti Horner dalam menerjemahkan kemasan komentar hatavaḍḍhino mariyādakārakassa. MA menjelaskan bahwa ia menganut pandangan bahwa “kemajuan” harus dicapai dalam enam indria dengan mengalami objek indria apa pun yang belum pernah dialami sebelumnya tanpa melekat pada apa yang telah dikenali. Dengan demikian, pandangannya sepertinya dekat pada sikap umum pada masa itu bahwa intensitas dan variasi pengalaman adalah kebaikan tertinggi dan harus dikejar tanpa rintangan dan batasan. Alasan penolakannya atas Sang Buddha akan menjadi jelas pada §8.

741) MA mengemas kata nippurisa, lit. “bukan laki-laki”, sebagai berarti bahwa mereka semua adalah perempuan. Bukan hanya para musisi, tetapi semua posisi dalam istana, termasuk para penjaga pintu, terdiri dari para perempuan. Ayahnya, sang raja, memberikan kepadanya tiga istana dan para pengiring perempuan dengan harapan untuk mempertahankannya dalam kehidupan awam dan mengalihkannya dari pikiran meninggalkan keduniawian.

742) MA: Ini dikatakan dengan merujuk pada pencapaian buah Kearahatan yang berdasarkan pada jhāna ke empat.

743) Ungkapan viparitasaññā menyinggung pada “persepsi keliru” (saññāvipallāsa) dengan melihat kenikmatan dalam apa yang sesungguhnya adalah menyakitkan. MṬ mengatakan bahwa kenikmatan indria adalah menyakitkan karena membangkitkan kekotoran-kekotoran yang menyakitkan dan karena menghasilkan buah yang menyakitkan di masa depan. Horner tidak menangkap maksudnya dengan menerjemahkan kalimat “(Mereka dapat) menerima suatu perubahan sensasi dan menganggapnya menyenangkan” (MLS 2:187).

744) Māgandiya jelas memahami syair yang selaras dengan lima puluh delapan pandangan salah dari Brahmajāla Sutta: “Ketika diri ini, lengkap dengan kelima helai kenikmatan indria, bersenang-senang di dalamnyapada titik ini, diri itu mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” (DN 1.3.20/i.36).

745) MA: syair lengkap telah diucapkan oleh para Buddha sebelumnya ketika duduk di tengah-tengah empat kelompok. Banyak orang mempelajarinya sebagai “syair yang berhubungan dengan kebaikan”. Setelah kematian Buddha terakhir, syair ini menyebar di antara para pengembara, yang hanya mampu melestarikan dua baris pertama dalam kitab-kitab mereka.

746) Penekanan yeva, “hanya”, menyiratkan bahwa ia melekat pada bentuk materi, perasaan, dan seterusnya, secara keliru menganggapnya sebagai “aku”, “milikku”, dan “diriku”. Dengan munculnya penglihatanungkapan metafora untuk jalan memasuki-aruspandangan identitas dilenyapkan dan ia memahami bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan hanya sebagai fenomena kosong yang hampa dari diri yang ia hubungkan dengannya sebelumnya.

747) “Ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan.


SUTTA 76

748) Tiracchānakathā. Banyak penerjemah menerjemahkan kata ini sebagai “percakapan binatang”. Akan tetapi, tiracchāna secara literal berarti “berjalan secara horizontal”, dan walaupun kata ini digunakan sebagai sebutan bagi binatang, namun MA menjelaskan bahwa dalam konteks sekarang ini berarti percakapan yang berjalan “secara horizontal” atau “tegak lurus” terhadap jalan menuju alam surga atau kebebasan.

749) “Empat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci” (abrahmacariyavāsā, lit. “cara-cara yang bukan merupakan praktik kehidupan suci”) adalah ajaran-ajaran yang secara prinsip meniadakan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual. Seperti yang akan ditunjukkan oleh sutta ini, para praktisinyasecara tidak konsisten dengan prinsip-prinsip mereka sendirijuga melaksanakan kehidupan selibat dan mempraktikkan pertapaan keras. “Empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan” (anassāsikāni brahmacariyāni) tidak mengurangi prinsip-prinsip kehidupan suci, namun gagal memberikan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual.

750) Paragraf berikut ini menjelaskan premis materialis dari pandangan nihilis yang telah dijelaskan pada MN 60.7. Sāmaññaphala Sutta menganggap pandangan ini berasal dari Ajita Kesakambalin (DN 2.23/i.55).

751) Intinya sepertinya adalah bahwa bahkan jika seseorang tidak menjalani kehidupan suci, ia pada akhirnya akan memperoleh [ ]imbalan yang sama seperti seseorang yang menjalaninya, seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dari paragraf tersebut.

752) Dalam Sāmaññaphala Sutta, pandangan berikutnya, hingga “ruang di antara ketujuh badan”, diduga berasal dari Pakudha Kaccāyana (DN 2.26/i.56). Akan tetapi, dalam sutta itu, paragraf berikutnya tentang sistem pengelompokan terperinci, hingga kalimat “si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan”, [ ]dihubungkan dengan pandangan nonkausalitas dan persis setelah pernyataan tentang doktrin nonkausalitas yang dikemukakan dalam sutta ini pada §13. Keseluruhan pandangan di sana berasal dari Makkhali Gosāla. Karena terdapat hubungan nyata antara doktrin nonkausalitas dan butir-butir dalam sistem pengelompokan (yaitu, rujukan pada “enam kelompok”), dan karena keduanya diketahui memiliki ciri khas gerakan Ājivaka yang dipimpin oleh Makkhali Gosāla, maka sepertinya bahwa sistem pengelompokan ini yang dimasukkan ke dalam doktrin tujuh badan terjadi melalui suatu kesalahan dalam penyampaian secara lisan. Dengan demikian, versi yang benar adalah yang dilestarikan oleh Dīgha Nikāya. Untuk komentar tentang sistem pengelompokan, baca Bodhi, The Discourse on the Fruits of Recluseship, pp.72-77.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #105 on: 26 February 2011, 11:38:46 PM »
753) Ini adalah pengakuan yang dibuat oleh guru Jain bernama Nigāṇṭha Nātaputta pada MN 14.17, dan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dan Pūraṇa Kassapa pada AN 9:38/iv.428-29. Fakta bahwa ia membuat penilaian buruk itu dan harus mengajukan pertanyaan membantah pengakuannya sebagai mahatahu.
.
754) Sama seperti BBS dan SBJ, kita harus membaca sussutaṁ dan dussutaṁ. sussataṁ dan dussataṁ dalam PTS jelas adalah kekeliruan.

755) MA: Posisi ini disebut geliat-belut (amarāvikkhepa) karena doktrinnya menggeliat ke sana kemari seperti belut yang menyelam masuk dan keluar dari air, dan dengan demikian adalah mustahil untuk memegangnya. Dalam Sāmaññaphala Sutta, posisi ini dianggap berasal dari Sañjaya Belaṭṭhiputta (DN 2.32/1.58-59). Cukup masuk akal bahwa para “geliat-belut” adalah suatu kelompok skeptis radikal yang mempertanyakan keseluruhan prospek pengetahuan yang tidak dapat dibantah sehubungan dengan isu-isu tertinggi.

756) MA: Ia tidak mampu menyimpan perbekalan makanan dan benda-benda kenikmatan lainnya untuk dinikmati kemudian.

757) Pada DN 29.26/iii.133, empat hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh para Arahant disebutkan: ia tidak dapat melakukan perbuatan salah karena keinginan, kebencian, ketakutan, atau kebodohan.

758) Terjemahan paragraf ini mengikuti SBJ dan PTS. Versi BBS lebih lengkap.

759) Niyyātāro: Ñm menerjemahkan ini sebagai “para penuntun”, Horner menerjemahkan sebagai “para pemimpin besar”. Jelas keduanya mengikuti PED, yang menganggap niyyātar sebagai kata benda pelaku yang berhubungan dengan niyyāma(ka), pilot atau pengemudi. Tetapi niyyātar seharusnya adalah kata benda pelaku dari kata kerja niyyāti, “keluar (menuju pembebasan)”, dan dengan demikian, di sini diterjemahkan sebagai “yang terbebaskan”. Ini mungkin adalah satu-satunya tempat dalam Nikāya-Nikāya di mana kata ini muncul.

760) Mengenai ketiga guru para Ājivaka, baca MN 36.5 dan n.383. MA menjelaskan frasa puttamatāya puttā, “putra-putra mati dari para ibu”, dengan demikian: gagasan ini muncul padanya, “para Ājivaka telah mati; ibu mereka memiliki putra yang mati”.


SUTTA 77

761) Anāgataṁ vādapathaṁ. Ñm menerjemahkan “konsekuensi logis di masa depan dari suatu pernyataan”. Maknanya sepertinya adalah bahwa Sang Buddha memahami segala implikasi yang tidak diungkapkan [ ]dari doktrin-doktrin-Nya juga doktrin-doktrin lawan-Nya.

762) Dijelaskan secara lengkap dalam MN 10, ketujuh kelompok pertama “kondisi-kondisi yang bermanfaat” (§§15-21) membentuk ketiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).

763) Abhiññavosānapāramippatta. MA menjelaskan sebagai pencapaian Kearahatan. Ini mungkin adalah makna satu-satunya dari kata pārami dalam keempat Nikāya. Dalam literatur Theravāda belakangan, dimulai mungkin dari karya-karya seperti Buddhavaṁsa, kata ini bermakna kualitas sempurna yang harus dipenuhi oleh seorang Bodhisatta dalam banyak kehidupan untuk mencapai Kebuddhaan. Dalam konteks tersebut bersesuaian dengan pāramitā dari literatur Mahāyāna, walaupun daftar kualitas hanya bersesuaian sebagian.

764) MA menjelaskan pembebasan (vimokkha) di sini sebagai bermakna pikiran yang sepenuhnya (tetapi sementara) terbebas dari kondisi-kondisi yang berlawanan dan sepenuhnya (tetapi sementara) terbebaskan melalui kegembiraan dalam objek. Kebebasan pertama adalah pencapaian empat jhāna menggunakan suatu kasiṇa (baca §24 dan n.768) yang diturunkan dari objek warna dalam tubuh diri sendiri; ke dua adalah pencapaian jhāna-jhāna menggunakan kasiṇa yang diturunkan dari objek eksternal; ke tiga dapat dipahami sebagai pencapaian jhāna-jhāna melalui kasiṇa warna yang sangat murni dan indah atau empat brahmavihāra. Kebebasan selanjutnya adalah pencapaian tanpa materi dan pencapaian lenyapnya.

765) MA menjelaskan bahwa ini disebut landasan-landasan keunggulan (abhibhūyatana) karena mengungguli (abhibhavati, mengatasi) kondisi-kondisi berlawanan dan objek-objeknya, mengungguli kondisi-kondisi berlawanan dengan penerapan penawar yang sesuai, mengungguli objek-objeknya melalui munculnya pengetahuan.

766) MA: Meditator melakukan pekerjaan persiapan atas suatu bentuk internalmisalnya, mata yang biru untuk kasiṇa-biru, kulit untuk kasiṇa-kuning, darah untuk kasiṇa-merah, gigi untuk kasiṇa-putihtetapi gambaran konsentrasi (nimitta) muncul secara eksternal. “Mengungguli” bentuk-bentuk adalah pencapaian pencerapan bersama dengan munculnya gambaran. Persepsi “aku mengetahui, aku melihat” adalah perhatian (ābhoga) yang muncul setelah ia keluar dari pencapaian itu, bukan di dalam pencapaian. Landasan keunggulan ke dua berbeda dengan yang pertama hanya pada perluasan gambaran dari terbatas menjadi dimensi tanpa batas.

767) MA: landasan ke tiga dan ke empat melibatkan pekerjaan persiapan yang dilakukan atas suatu bentuk eksternal dan munculnya gambaran secara eksternal. Landasan ke lima hingga ke delapan berbeda dengan yang ke tiga dan ke empat dalam hal kemurnian dan kecemerlangan yang lebih tinggi pada warna-warnanya.

768) Kasiṇa adalah suatu objek meditasi yang diturunkan dari suatu alat fisik yang memberikan dukungan untuk memperoleh gambaran visual dalam batin. Demikianlah, misalnya, sebuah piringan yang terbuat dari tanah liat dapat digunakan sebagai objek permulaan untuk melatih kasiṇa-tanah, semangkuk air untuk melatih kasiṇa-air. Kasiṇa-kasiṇa dijelaskan secara terperinci dalam Vsm IV dan V. Akan tetapi, di sana, kasiṇa-ruang dibatasi pada ruang terbatas, dan kasiṇa-kesadaran digantikan dengan kasiṇa-cahaya.

769) Perumpamaan bagi jhāna-jhāna ini juga muncul dalam MN 39, seperti juga perumpamaan bagi ketiga jenis terakhir pengetahuan pada §§34-36.

770) §§ 29-36 menggambarkan delapan variasi dari pengetahuan yang lebih tinggi yang dalam Sāmaññaphala Sutta, disebutkan sebagai buah pertapaan yang tinggi.


SUTTA 78

771) MA: Taman itu dibangun oleh Ratu Mallikā, istri Raja Pasenadi dari Kosala, dan diperindah dengan pohon bunga-bungaan dan buah-buahan. Pada awalnya, hanya satu aula dibangun, yang menjelaskan asal namanya, tetapi setelah itu banyak aula di bangun. Banyak para brahmana dan pengembara berkumpul di sini untuk menjelaskan dan mendiskusikan ajaran-ajaran mereka.

772) MA: Pertama-tama Sang Buddha menunjukkan bidang Arahant, seorang yang melampaui latihan (yaitu, dengan menyebutkan sepuluh kualitas), kemudian Beliau menjelaskan garis besar yang berlaku untuk sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi. Kata yang diterjemahkan sebagai “kebiasaan-kebiasaan” adalah sīla, yang dalam beberapa konteks dapat bermakna lebih luas daripada “moralitas”.

773) MA menjelaskan bahwa ini merujuk pada buah memasuki-arus, karena pada titik ini, moralitas pengendalian melalui Pātimokkha terpenuhi (dan, bagi seorang umat awam Buddhis, pelaksanaan Lima Aturan). MA juga menjelaskan paragraf berikutnya dengan merujuk pada jalan dan buah lokuttara lainnya. Walaupun teks sutta tidak secara langsung menyebutkan pencapaian-pencapaian ini, namun interpretasi komentar sepertinya dapat dibenarkan dengan frasa “lenyap tanpa sisa” (aparisesā nirujjhanti), karena hanya dengan pencapaian jalan dan buah itu berturut-turut maka lenyapnya kekotoran tertentu sepenuhnya dapat terjadi. Pandangan komentar lebih jauh lagi didukung oleh puncak keseluruhan khotbah ini dalam sosok seorang Arahant.

774) MA: Sejauh jalan memasuki-arus, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah memasuki-arus, kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

775) Paragraf ini menunjukkan Arahant, yang mempertahankan perilaku bermoral tetapi tidak mengidentifikasikan diri dengan moralitasnya dengan menganggapnya sebagai “aku” dan “milikku”. Karena kebiasaan-kebiasaan bermoralnya tidak lagi menghasilkan kamma, maka kebiasaan-kebiasaan itu dapat digambarkan sebagai “bermanfaat”.

776) MA: Sejauh jalan Kearahatan, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah Kearahatan, kebiasaan-kebiasaan bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

777) MA: Ini merujuk pada jhāna pertama yang berhubungan dengan buah yang-tidak-kembali, jalan yang-tidak-kembali melenyapkan keinginan indria dan niat buruk, dan dengan demikian mencegah munculnya ketiga kehendak tidak bermanfaat di masa depanyaitu kehendak keinginan indria, niat buruk, dan kekejaman.

778) MA: Sejauh jalan yang-tidak-kembali ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah yang-tidak-kembali, kehendak-kehendak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

779) MA: Ini merujuk pada jhāna ke dua yang berhubungan dengan buah Kearahatan.

780) MA: Sejauh jalan Kearahatan, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah Kearahatan, kehendak-kehendak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap. Kehendak-kehendak bermoral dari Arahant tidak digambarkan sebagai “bermanfaat”.

781) Baca MN 65.34.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #106 on: 27 February 2011, 09:01:49 AM »
SUTTA 79

782) Baca n.408.

783) Evaṁvaṇṇo attā hoti arogo param maraṇā. Kata arogo, [ ]biasanya berarti sehat, di sini harus dipahami sebagai berarti kekal. MA mengatakan bahwa ia berbicara dengan merujuk pada kelahiran kembali di alam surga dengan Keagungan Gemilang, padanan dari jhāna ke tiga, yang pernah didengarnya tanpa benar-benar pernah mencapainya. Pandangannya sepertinya termasuk dalam kelompok yang digambarkan pada MN 102.3.

784) Para penerjemah sebelumnya sepertinya dibingungkan oleh kata kerja anassāma. Demikianlah Ñm dalam Ms menerjemahkan kalimat ini: “Kami tidak meninggalkan doktrin guru-guru kami karena alasan ini”. Dan Horner: “Kami telah mendengar sampai di sini dari guru-guru kami”. Tetapi anassāma adalah bentuk jamak aoris orang pertama dari nassati, “musnah, hilang”. Bentuk yang sama muncul pada MN 27.7. MA menjelaskan bahwa mereka mengetahui bahwa di masa lalu para meditator akan melakukan pekerjaan persiapan pada kasiṇa, mencapai jhāna ke tiga, dan terlahir kembali di alam Keagungan Gemilang. Tetapi dengan berlalunya waktu, pekerjaan persiapan pada kasiṇa tidak lagi dipahami dan para meditator tidak mampu mencapai jhāna ke tiga. Para pengembara hanya mendengar bahwa “alam yang sungguh-sungguh menyenangkan” ada dan kelima kualitas yang disebutkan pada §21 adalah “cara praktis” untuk mencapainya. Mereka tidak mengetahui adanya alam yang lebih tinggi daripada jhāna ke tiga, dan tidak mengetahui adanya cara praktis yang lebih dari kelima kualitas tersebut.

785) MA: Setelah mencapai jhāna ke empat, dengan kekuatan batinnya ia pergi ke alam Keagungan Gemilang dan berbincang-bincang dengan para dewa di sana.

786) MA menjelaskan bahwa dalam kehidupan sebelumnya, sebagai seorang bhikkhu pada masa Buddha Kassapa, ia telah membujuk seorang bhikkhu lain untuk kembali ke kehidupan awam untuk mendapatkan jubah dan mangkuknya, dan kamma penghalang ini mencegahnya melepaskan keduniawian di bawah Sang Buddha dalam kehidupan ini. Tetapi Sang Buddha mengajarkan kepadanya dua sutta panjang untuk memberikan kondisi untuknya bagi pencapaian di masa depan. Pada masa kekuasaan Raja Asoka ia mencapai Kearahatan sebagai Bhikkhu Assagutta, yang unggul dalam praktik cinta-kasih.


SUTTA 80

787) MA mengidentifikasikan Vekhanassa sebagai guru Sakuludāyin.

788) MA: Bahkan walaupun ia adalah seorang pengembara, namun ia menekuni kenikmatan indria. Sang Buddha membabarkan ajaran ini untuk membuatnya mengenali kegemarannya pada kenikmatan indria, dan dengan demikian khotbah ini akan bermanfaat baginya.

789) Dalam Pali kalimat ini berbentuk teka-taki, dan terjemahan di sini bersifat dugaan. MA menjelaskan bahwa “kenikmatan pada puncak indria” (atau “kenikmatan indria tertinggi”, kāmaggasukhaṁ) adalah Nibbāna.


SUTTA 81

790) Di akhir Sutta ini, Sang Buddha akan menyebutkan bahwa Beliau adalah Jotipāla. Pada SN 1:50/I,35-36, Dewa Ghaṭīkāra mengunjungi Sang Buddha Gotama dan mengingat persahabatan lampau mereka.

791) Ini sepertinya telah menjadi ungkapan menghina yang umum digunakan oleh para brahmana perumah tangga dengan merujuk pada mereka yang menjalani kehidupan pelepasan keduniawian seumur hidup, berlawanan dengan idealisme mereka mempertahankan silsilah keluarga.

792) Di Timur dianggap, dalam situasi normal, sebagai pelanggaran etika serius bagi seorang yang berasal dari kelahiran rendah menyentuh kepala seseorang yang berasal dari kelahiran tinggi. MA menjelaskan bahwa Ghaṭīkāra telah siap dengan pelanggaran itu untuk membujuk Jotipāla agar mau menemui Sang Buddha.

793) MA menyebutkan bahwa para Bodhisatta melepaskan keduniawian di bawah para Buddha, memurnikan moralitas, mempelajari ajaran Buddha, mempraktikkan kehidupan meditatif, dan mengembangkan pandangan terang hingga pengetahuan adaptasi (anulomañāṇa). Tetapi mereka tidak berusaha untuk mencapai jalan dan buah (yang dapat menghentikan karir Bodhisatta mereka).

794) Sebagai seorang yang masih menjalani kehidupan rumah tangga, perilakunya sangat mendekati perilaku seorang bhikkhu. MA menjelaskan bahwa ia tidak memperdagangkan tembikar yang ia buat, melainkan hanya terlibat dalam pertukaran jasa secara bebas dengan para tetangganya.

795) MA menjelaskan bahwa ia menolak karena ia memiliki sedikit keinginan (appicchatā). Ia menyadari bahwa raja telah mengirimkan bahan-bahan makanan karena ia telah mendengar laporan Sang Buddha tentang moralitasnya, tetapi ia berpikir: “Aku tidak memerlukan ini. Dengan apa yang kuperoleh dari pekerjaanku aku mampu menyokong orang tuaku dan memberikan persembahan kepada Sang Buddha.”


SUTTA 82

796) Karena ia siap menerima risiko kematian untuk memperoleh izin dari orang tuanya untuk meninggalkan keduniawian, kelak ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan. Syair-syairnya terdapat pada Thag 769-93.

797) Di sini, saya menghilangkan kalimat yang dimulai dengan ehi tvaṁ Raṭṭhapāla, yang terdapat dalam Sbj tetapi dituliskan dalam kurung dalam PTS dan dalam sebuah catatan oleh BBS, kalimat ini sepertinya lebih sesuai jika dimasukkan dalam §8 di bawah, dengan kata kerja uṭṭhehi menggantikan ehi.

798) Walaupun frasa umum “tidak lama” digunakan di sini, MA mengatakan bahwa perlu waktu selama dua belas tahun bagi Raṭṭhapāla untuk mencapai Kearahatan. Pernyataan ini sepertinya benar dengan memandang fakta bahwa ketika ia kembali ke rumah orang tuanya, ayahnya tidak seketika mengenalinya.

799) MA menjelaskan bahwa ayahnya bermaksud mengatakan: “Raṭṭhapāla, anakku, ada harta kekayaan kitakita tidak dapat disebut miskinnamun engkau duduk di tempat seperti ini memakan bubur basi!” Akan tetapi, perumah tangga itu dirundung kesedihan sehingga tidak mampu menyelesaikan kata-katanya.

800) Syair-syair ini jelas merujuk pada mantan istri-istrinya, yang dihias untuk menggodanya agar kembali ke kehidupan awam. Anehnya, tidak disebutkan mengenai istri-istri ini dalam bagian sutta mengenai hari-hari sebelum penahbisannya.

801) MA: Dengan mengingat bhikkhu ini, raja akan memujinya di tengah-tengah bala tentaranya atau haremnya: “Anak muda itu telah melakukan hal yang sulitsetelah meninggalkan harta kekayaannya, ia meninggalkan keduniawian tanpa berbalik atau melihat ke belakang.”

802) Upaniyati loko addhuvo. MA: terhanyut ke arah penuaan dan kematian.

803) Attāṇo loko anabhissaro. MA: Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan naungan atau menghiburnya dengan perlindungan. Pernyataan ini, tentu saja, tidak membantah perlindungan dari dunia, yang merupakan apa yang diberikan oleh Dhamma.

804) Assako loko sabbaṁ pahāya gamanīyaṁ.

805) Ūno loko atitto taṇhādāso.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #107 on: 27 February 2011, 09:16:02 AM »
SUTTA 83

806) Baca Makhādeva Jātaka (No. 9[ ]) dan Nimi Jataka (No.541). Raja Makhādeva dan Raja Nimi adalah kelahiran-kelahiran lampau Buddha Gotama.

807) Hutan itu awalnya ditanam oleh Makhādeva dan kemudian diberi nama sesuai dengan namanya.

808) MA: ia mantap dalam sepuluh perbuatan bermanfaat.

809) Uposatha adalah hari pelaksanaan religius di India Kuno, juga diserap seperti apa adanya dalam Buddhisme, baca n.59.

810) Menurut Kosmologi Buddhis, umur kehidupan manusia berfluktuasi antara minimum 10 tahun dan maksimum hingga ribuan tahun. Makhādeva hidup pada masa umur kehidupan pada batas maksimum rentang tersebut.

811) Mengenai “utusan surgawi”pertanda usia tua, penyakit, dan kematianbaca MN 130.

812) MA: Mātali membawanya pertama-tama melalui neraka-neraka, kemudian kembali dan membawanya melalui alam surga.

813) MA: Praktik baik ini diputus oleh seorang bhikkhu yang baik jika berpikir, “Aku tidak dapat mencapai Kearahatan” dan tidak mengerahkan kegigihan. Diputus oleh bhikkhu jahat. Praktik baik ini dilanjutkan oleh tujuh sekha. Telah dilanjutkan oleh Arahant.


SUTTA 84

814) Baca n.230.

815) Dari paragraf ini sepertinya terlepas dari kecenderungan pada kekakuan, sistem kasta India pada masa itu termasuk lebih elastis daripada sistem kasta belakangan yang berevolusi dari sana.


SUTTA 85

816) Pangeran Bodhi adalah putra Raja Udena dari Kosambi, ibunya adalah putri Raja Caṇḍappajjota dari Avanti. Bagian sutta dari §2 hingga §8 juga terdapat pada Vin Cv Kh 5/ii.127-29, yang melatarbelakangi penetapan peraturan yang disebutkan pada catatan berikutnya.

817) MA menjelaskan bahwa Pangeran Bodhi tidak memiliki anak dan menginginkan seorang anak. Ia mendengar bahwa orang-orang dapat memenuhi keinginan mereka dengan memberikan persembahan khusus kepada Sang Buddha, maka ia menghamparkan kain putih dengan gagasan: “Jika aku akan memiliki anak, maka Sang Buddha akan menginjak kain ini; jika aku tidak akan memiliki anak, maka Beliau tidak akan menginjak kain ini.” Sang Buddha mengetahui hal tersebut sebagai akibat dari kamma masa lampaunya, ia dan istrinya ditakdirkan untuk tidak memiliki anak. Karena itu, Beliau tidak menginjak kain tersebut. Belakangan Beliau menetapkan peraturan disiplin yang melarang bhikkhu menginjak kain putih, tetapi kemudian mengubah peraturan itu dengan memperbolehkan bhikkhu menginjak kain putih sebagai berkah kepada perumah tangga.

818) Pacchimaṁ janataṁ Tathāgato apaloketi. Versi Vin di sini menuliskan anukampati, “memiliki belas kasihan”, yang lebih tepat. MA menjelaskan bahwa YM. Ānanda mengatakan ini dengan pikiran: “kelak orang-orang akan menganggap penghormatan kepada para bhikkhu sebagai cara untuk memenuhi keinginan duniawi mereka dan akan mengurangi keyakinan mereka terhadap Sangha jika penghormatan mereka tidak memenuhi keinginan mereka.”

819) Ini adalah prinsip dasar para Jain, seperti pada MN 14.20.


SUTTA 86

820) Nama “Angulimāla” adalah julukan yang berarti “si kalung (mālā) jari (anguli)”. Ia adalah putra Brahmana Bhaggava, seorang penasihat Raja Pasenadi Kosala. Nama aslinya adalah Ahiṁsaka, yang berarti “yang tidak berbahaya”. Ia belajar di Takkasila, di mana ia menjadi murid kesayangan gurunya. Teman-teman murid lainnya, karena iri padanya, melaporkan kepada sang guru bahwa Ahiṁsaka telah berselingkuh dengan istrinya. Sang guru, berniat untuk menghancurkan Ahiṁsaka, memerintahkannya untuk membawakan seribu jari tangan kanan manusia sebagai upah. Ahiṁsaka menetap di Hutan Jālini, menyerang para pejalan kaki, memotong satu jari mereka, dan mengalungkannya di lehernya. Pada saat dimulainya Sutta, ia kekurangan [ ]satu dari seribu dan ia bertekad untuk membunuh orang berikutnya yang datang. Sang Buddha melihat bahwa ibu Angulimāla sedang dalam perjalanan untuk mengunjunginya, dan mengetahui bahwa Angulimāla memiliki kondisi pendukung untuk mencapai kesucian Arahant, Beliau mencegatnya sesaat sebelum ibunya tiba. Membunuh ibu adalah satu dari lima kejahatan berat yang mengakibatkan kelahiran di alam neraka. Demikianlah Sang Buddha menyela untuk mencegah Angulimāla melakukan kejahatan ini.

821) MA menjelaskan bahwa Angulimāla baru menyadari bahwa bhikkhu di hadapannya adalah Sang Buddha sendiri dan bahwa Beliau datang ke hutan itu untuk menyadarkannya.

822) MṬ menjelaskan ungkapan mūḷhagabbha untuk menggambarkan bahwa janin itu terbalik dan hanya sebagian berada di dalam rahim dan keluar secara horizontal, sehingga jalan keluarnya terhalang. MA mengatakan bahwa walaupun Angulimāla telah membunuh hampir seribu orang, ia tidak pernah memunculkan pikiran belas kasihan. Tetapi sekarang, melalui kekuatan penahbisan, belas kasihan muncul dalam dirinya segera setelah ia melihat perempuan yang melahirkan dengan penuh kesakitan itu.

823) Bahkan hingga hari ini, kalimat ini sering diucapkan oleh para bhikkhu sebagai paritta perlindungan bagi perempuan hamil menjelang melahirkan.

824) MA menjelaskan bahwa setiap perbuatan kehendak (kamma) adalah mampu menghasilkan tiga jenis akibat: akibat yang dialami di sini dan saat ini, yaitu, dalam kehidupan yang sama dengan perbuatan yang dilakukan, akibat yang dialami dalam kehidupan berikut; dan akibat yang dialami dalam kehidupan mana pun setelah kehidupan berikutnya, selama seseorang masih mengembara dalam saṁsāra. Karena ia telah mencapai kesucian Arahant, Angulimāla telah melepaskan diri dari dua jenis akibat yang terakhir tetapi tidak jenis yang pertama, karena bahkan para Arahant masih dapat mengalami akibat dalam kehidupan sekarang dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan sebelum mencapai kesucian Arahant.

825) Beberapa syair berikut juga muncul dalam Dhammapada. Syair Angulimāla juga ditemukan secara lengkap dalam Thag 866-91.

826) Walaupun MA mengatakan bahwa Ahiṁsaka, “Tanpa-bahaya” adalah nama asli Angulimāla, komentar Theragāthā [ ]mengatakan bahwa nama aslinya adalah Hiṁsaka, artinya “Berbahaya”.

827) Sementara para bhikkhu bermoral yang masih belum Arahant dikatakan memakan dana makanan sebagai warisan dari Sang Buddha, para Arahant dikatakan memakan makanan yang “bebas dari hutang” karena ia telah membuat dirinya sepenuhnya layak menerima persembahan. Baca Vsm I, 125-27.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #108 on: 27 February 2011, 09:47:38 AM »
SUTTA 87

828) Ungkapan ini sering digunakan sebagai bermakna penyakit berat dan kematian.

829) Viḍūḍabha adalah putra raja, yang akhirnya menggulingkannya. Kāsi dan Kosala adalah negeri yang dikuasai oleh raja.

830) MA: Ia menggunakan air ini untuk mencuci tangan dan kakinya dan membersihkan mulutnya sebelum memberi penghormatan kepada Sang Buddha.


SUTTA 88

831) MA menjelaskan bahwa raja mengajukan pertanyaan ini dengan merujuk pada kasus yang melibatkan pengembara perempuan bernama Sundari, yang penyelidikannya tertunda pada saat itu. Dengan niat untuk mendiskreditkan Sang Buddha, beberapa petapa pengembara membujuk Sundari untuk mengunjungi Hutan Jeta di malam hari dan kemudian membiarkan dirinya terlihat ketika berjalan pulang di pagi hari, agar orang-orang menjadi curiga. Setelah beberapa lama, mereka membunuhnya dan menguburnya di dekat Hutan Jeta, dan ketika mayatnya ditemukan, mereka menuding Sang Buddha. Setelah seminggu, berita bohong itu terungkap ketika mata-mata raja menemukan kisah sebenarnya di balik pembunuhan itu. Baca Ud 4:8/42-45.

Di sini saya mengikuti BBS dan SBJ, yang menambahkan kualifikasi “bijaksana” pada frasa “petapa dan brahmana” (samaṇehi brāhmaṇehi viññūhi). Dengan demikian, jawaban Ānanda menyiratkan bahwa adalah celaan mereka dan bukan bukan celaan para petapa biasa yang harus dihindari. Bahwa kalimat ini benar didukung oleh pernyataan raja persis di bawah bahwa Ānanda telah memecahkan dengan jawabannya atas apa yang tidak mampu dipecahkan, yaitu, membedakan antara si bijaksana dan si dungu.

832) Secara singkat, paragraf ini menjelaskan lima kriteria perbuatan buruk: ketidakbermanfaatan menekankan kualitas psikologis dari perbuatan, efek ketidaksehatannya bagi pikiran; ketercelaan [ ]menekankan sifat mengganggu secara moral; kapasitasnya untuk menghasilkan akibat-akibat menyakitkan mengalihkan perhatian pada potensi kamma yang tidak disukai; dan pernyataan terakhir mengalihkan baik kepada motivasi buruk maupun akibat jangka panjang yang bahaya seperti perbuatan yang berdampak baik pada diri sendiri maupun pada makhluk lain. Penjelasan yang berlawanan yang diterapkan pada perbuatan baik, dibahas dalam §14.

833) MA: Jawaban YM. Ānanda melampaui pertanyaannya, karena tidak hanya menunjukkan bahwa Sang Buddha memuji ditinggalkannya segala kondisi tidak bermanfaat, tetapi juga bahwa Beliau bertindak sesuai dengan kata-katanya dengan telah meninggalkan segala kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

834) MA menjelaskan kata bāhitikā, yang menjadi nama dari sutta ini, sebagai mantel yang dihasilkan di luar negeri.


SUTTA 89

835) Dīgha Kārāyaṇa adalah jenderal atas bala tentara Raja Pasenadi. Ia adalah keponakan Bandhula, jenderal Malla dan seorang mantan-sahabat Raja Pasenadi, yang mana raja telah membunuh tiga puluh dua putranya ketika terungkapnya pengkhianatan para menterinya yg korup. Kārāyaṇa bersekongkol dengan Pangeran Viḍūḍabha, putra Raja Pasenadi, untuk membantu Pangeran Viḍūḍabha merampas takhta ayahnya.

836) Tiga liga (yojana) kira-kira sejauh dua puluh mil.

837) MA mengatakan bahwa ia berpikir: “Sebelumnya, setelah berunding secara pribadi dengan Petapa Gotama, raja menangkap pamanku dan tiga puluh dua putranya. Mungkin kali ini ia akan menangkapku.” Lambang-lambang kerajaan yang diserahkan kepada Dīgha Kārāyaṇa juga termasuk kipas, payung, dan sandal. Dīgha Kārāyaṇa bergegas kembali ke ibu kota dengan lambang-lambang kerajaan dan menobatkan Viḍūḍabha menjadi raja.

838) Pada MN 13.11, pertengkaran ini dikatakan muncul karena kenikmatan indria.

839) Seperti pada MN 77.6.

840) Seperti pada MN 27.4-7.

841) Pada saat kematian mereka, keduanya dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang-kembali-sekali. Baca AN 6:44/iii.348.

842) Pernyataan ini menunjukkan bahwa sutta ini terjadi pada tahun terakhir kehidupan Sang Buddha.

843) Ketika Raja Pasenadi kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Dīgha Kārāyaṇa, ia hanya menemukan seorang pelayan perempuan yang melaporkan berita itu kepadanya. Ia kemudian bergegas ke Rājagaha untuk meminta bantuan dari keponakannya, Raja Ajātasattu. Tetapi karena ia tiba di malam hari, gerbang kota telah ditutup. Karena lelah akibat perjalanan itu, ia berbaring di sebuah aula di luar kota dan meninggal dunia pada malam itu.

844) MA: “Monumen Dhamma” berarti kata-kata yang mengungkapkan penghormatan terhadap Dhamma. Kapan pun penghormatan ditunjukkan kepada salah satu dari Tiga Permata, itu juga ditunjukkan kepada Permata lainnya.
   

SUTTA 90

845) MA: Kedua bersaudari ini adalah istri-istri raja (bukan saudarinya!).

846) MA: Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dan melihat segalanyamasa lampau, masa sekarang, dan masa depandengan satu tindakan pengalihan pikiran, dengan satu tindakan kesadaran; demikianlah persoalan ini dibahas dalam hal satu tindakan kesadaran tunggal (ekacitta). Mengenai pertanyaan tentang jenis kemahatahuan yang oleh tradisi Theravāda dianggap berasal dari Sang Buddha, baca n. 714.

847) Yaitu, ia tidak menanyakan tentang status sosial mereka, melainkan tentang prospek kemajuan spiritual dan pencapaian mereka.

848) Seperti pada MN 85.58.

849) MA menjelaskan kembali dan tidak kembali sebagai merujuk pada kelahiran kembali, dengan demikian menyiratkan bahwa para dewa yang tidak kembali adalah para yang-tidak-kembali, sementara mereka yang kembali adalah yang masih menjadi ‘kaum duniawi’. Keluhuran yang sama berlaku pada pembahasan tentang Brahmā dalam §15. Kedua kata kunci di sini yang membedakan kedua jenis dewa muncul dalam edisi PTS sebagai savyāpajjhā dan abyāpajjhā, “tunduk pada niat buruk” dan “bebas dari niat buruk”, berturut-turut; dalam SBJ, sebagai sabyāpajjhā dan abyāpajjhā (yang bermakna sama secara efektif): dalam BBS, kata itu muncul sebagai sabyābajjhā dan abyābajjhā, “tunduk pada penderitaan” dan “tidak tunduk pada penderitaan”. Versi terakhir ini didukung oleh MA, yang menjelaskan perbedaannya melalui penderitaan batin. Dalam edisi sebelumnya dari terjemahan ini, saya menerjemahkan sesuai dengan tulisan BBS, tetapi sekarang tulisan PTS-SBJ tampak lebih mungkin. Lagipula, sepertinya lebih mungkin bahwa seorang pangeran akan lebih memperhatikan niat jahat para dewa daripada pengalaman penderitaan mereka. Catatan bahwa kata itthatta, [ ]yang dalam penjelasan umum Kearahatan menyiratkan kondisi perwujudan kehidupan mana pun, di sini dikemas oleh MA sebagai manussaloka, alam manusia.

K.R. Norman, dalam suatu makalah yang menarik, mengusulkan suatu penyuntingan yang radikal atas bagian ini dari sutta ini, yang mengemukakan perbedaan penting dalam terjemahan, tetapi karena usulannya tidak didukung oleh edisi mana pun, maka saya tidak mengikutinya. Baca Norman, Collected Papers, 2:162-71.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #109 on: 27 February 2011, 10:05:42 AM »
SUTTA 91

850) Ini adalah penggambaran umum atas seorang brahmana terpelajar. Menurut MA, ketiga Veda adalah Iru, Yaju, dan Sāma (= Rig, Yajur, dan Sāman). Veda ke empat, Atharva, tidak disebutkan, tetapi MA mengatakan bahwa keberadaannya disiratkan ketika sejarah (Itihāsa) disebut “yang ke lima”, yaitu, karya-karya yang dianggap sebagai otoritas oleh para brahmana. Akan tetapi, lebih mungkin, bahwa sejarah-sejarah disebut “yang ke lima” sehubungan dengan empat cabang pelajaran tambahan pada Veda yang mendahuluinya dalam penjelasan. Terjemahan istilah-istilah teknis di sini mengikuti MA, dengan bantuan Sanskrit-English Dictionary dari Monier-William (Oxford, 1899). Mengenai tanda-tanda Manusia Luar Biasa, MA mengatakan bahwa ini adalah suatu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada 12.000 karya yang menjelaskan karakteristik-karakteristik manusia luar biasa seperti para Buddha, para Paccekabuddha, para siswa utama, para siswa besar, para Raja Pemutar Roda, dan sebagainya. Karya-karya ini yang terdiri dari 16.000 syair disebut “Buddha Mantra”.

851) Ketiga puluh dua tanda, yang diuraikan pada §9 di bawah, adalah topik dari keseluruhan sutta dalam Digha Nikāya, DN 30, Lakkhaṇa Sutta. Di sana masing-masing tanda dijelaskan sebagai akibat kamma dari suatu moralitas tertentu yang disempurnakan oleh Sang Buddha selama kehidupan-kehidupan sebelumnya sebagai Bodhisatta.

852) Ketujuh pusaka dibahas dalam MN 129.34-41. Perolehan Pusaka-Roda menjelaskan mengapa ia disebut seorang “Raja Pemutar Roda”.

853) Loke vicattacchaddo. Untuk hipotesa tentang bentuk asli dan makna dari ungkapan ini, baca Norman, Group of Discourses II, n. Atas 372, pp. 217-18. MA: Dunia ini, diselimuti dalam kegelapan kekotoran, tertutup oleh tujuh selubung: nafsu, kebencian, khayalan, keangkuhan, pandangan-pandangan, kebodohan, dan perilaku tidak bermoral. Setelah menyingkapkan selubung-selubung ini, Sang Buddha berdiam dengan memancarkan cahaya ke sekeliling. Demikianlah Beliau adalah seorang yang menyingkapkan selubung dunia. Atau dengan kata lain, vivattacchando dapat dipecah menjadi vivatto dan vicchaddo; yaitu, Beliau adalah hampa dari lingkaran (vaṭṭharahito) dan hampa dari selubung (chadanarahito). Dengan tidak adanya lingkaran (yaitu, saṁsāra) Beliau adalah seorang Arahant; dengan tidak adanya selubung, Beliau adalah Yang Tercerahkan Sempurna.

854) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kesaktian ini setelah terlebih dulu memastikan bahwa Guru Uttara, Brahmāyu, memiliki potensi untuk mencapai buah yang-tidak-kembali, dan bahwa pencapaian buah ini bergantung pada lenyapnya keragu-raguan Uttara.

855) Ketujuh ini adalah bagian belakang keempat tangan dan kakinya, kedua bahu, dan batang tubuhnya.

856) Rasaggasaggi. Lakkhaṇa Sutta memperluas (DN 30.2.7/iii.1666): “Apa pun yang Beliau sentuh dengan ujung lidahnya, Beliau rasakan dalam tenggorokannya, dan rasa itu menyebar ke seluruh tubuh.” Akan tetapi, adalah sulit untuk memahami bagaimana kualitas ini dapat dianggap sebagai karakteristik fisik, dan bagaimana hal ini dapat terlihat oleh orang lain.

857) Tanda ini, uṇhīsa, adalah tonjolan yang biasa terlihat di atas kepala patung-patung Buddha.

858) Ini adalah perenungan standar pada penggunaan dana makanan yang seharusnya, seperti pada MN 2.14.

859) Pemberkahan (anumodana) adalah khotbah singkat setelah makan, memberikan instruksi kepada pemberi dalam beberapa aspek Dhamma dan mengungkapkan kehendak bahwa kamma baik mereka akan menghasilkan buah berlimpah.

860) Di sini saya mengikuti BBS, yang lebih lengkap daripada SBJ dan PTS. MA: maksudnya adalah sebagai berikut: “Kualitas-kualitas baik yang belum kusebutkan adalah jauh lebih banyak daripada yang telah kusebutkan. Kualitas-kualitas baik Guru Gotama adalah bagaikan bumi yang besar dan samudra luas; digambarkan secara terperinci kualitas-kualitas itu adalah tidak terbatas dan tidak terukur, bagaikan angkasa.”

861) Kata Pali untuk lidah, jivhā, adalah berjenis perempuan.

862) Apa yang harus diketahui secara langsung (abhiññeyya) adalah Empat Kebenaran Mulia, apa yang harus dikembangkan (bhāvetabba) adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan apa yang harus ditinggalkan (pahātabba) adalah kekotoran-kekotoran yang dipimpin oleh keinginan. Di sini, konteks ini mengharuskan bahwa kata “Buddha” dipahami dalam makna spesifik sebagai Yang Tercerahkan Sempurna (sammāsambuddha).

863) Vedagū. Kata ini dan dua berikutnyatevijja dan sothiyasepertinya mewakili jenis ideal di antara para brahmana; baca juga MN 39.24, 26, dan 27. kata ke enam dan ke tujuhkevali dan munimungkin adalah jenis ideal di antara sekte-sekte pertapaan non-Veda. Dengan jawaban ini, Sang Buddha memberikan makna baru pada kata-kata ini yang diturunkan dari sistem spiritual Beliau sendiri.

864) Di sini dan dalam jawabannya kata “Buddha” hanya menyiratkan seorang yang tercerahkan atau tersadarkan, dalam makna yang berlaku pada Arahant mana pun, walaupun tanggapan Brahmāyu juga menyiratkan bahwa itu dapat dimaksudkan dalam makna yang lebih sempit sebagai seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

865) MA memberikan penjelasan terselubung atas bagaimana jawaban Sang Buddha menjawab seluruh delapan pertanyaan Brahmāyu.

866) Seperti pada MN 56.18.


SUTTA 92

867) Teks sutta ini tidak termasuk dalam Majjhima Nikāya edisi PTS, karena identik dengan sutta dengan judul yang sama dalam Sutta Nipata, yang diterbitkan dalam dua versi yang berbeda oleh PTS. Oleh karena itu, nomor halaman dalam kurung siku di sini merujuk pada edisi Sn yang lebih baru dari PTS, yang disunting oleh Dines Anderson dan Helmer Smith.

868) Yaitu, Jambudīpa, benua India.


SUTTA 93

869) Argumen yang digunakan dalam tesis ini dijelaskan pada MN 90.10-12.

870) MA: Mereka mengatakan demikian dengan maksud untuk mengatakan: “Setelah mempelajari Tiga Veda, engkau telah terlatih dalam mantra-mantra yang dengannya mereka yang meninggalkan keduniawian menjalankan pelepasan keduniawian mereka dan mantra-mantra yang mereka lestarikan setelah mereka meninggalkan keduniawian. Engkau telah mempraktikkan cara mereka berperilaku. Oleh karena itu, engkau tidak akan kalah. Kemenangan akan menjadi milikmu.”

871) Pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa para brahmana terlahir dari para perempuan, sama seperti manusia lainnya, dan dengan demikian tidak selayaknya mereka mengaku bahwa mereka terlahir dari mulut Brahmā.

872) Yona [ ]adalah kata Pali untuk Ionia. Kamboja adalah suatu wilayah barat laut “Negeri Tengah” India.

873) Argumen pada §§7-8 di sini pada dasarnya identik dengan argumen pada MN 84.

874) MA mengidentifikasi Devala si Gelap, Asita Devala, sebagai Sang Buddha dalam kehidupan lampau. Sang Buddha membabarkan ajaran ini untuk menunjukkan: “Di masa lampau, ketika engkau berkelahiran tinggi dan aku berkelahiran rendah, engkau tidak dapat menjawab pertanyaan yang Kuajukan tentang pernyataan sehubungan dengan kelahiran. Jadi, bagaimana mungkin engkau dapat melakukannya sekarang, ketika engkau adalah seorang rendah dan aku telah menjadi seorang Buddha?”

875) Seperti pada MN 38.26. baca n.411. Perhatikan bahwa dialog persis di bawah menegaskan makna gandhabba sebagai makhluk yang telah meninggal dunia menjelang kelahiran kembali.

876) MA: Puṇṇa adalah nama pelayan ketujuh petapa brahmana itu; ia mengambilkan sendok, memasak dedaunan, dan melayani mereka.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #110 on: 27 February 2011, 10:38:47 AM »
SUTTA 94

877) MA: Ia melakukan hal ini setelah menyadari bahwa suatu diskusi yang panjang akan dilakukan.

878) Kahāpaṇa adalah unit mata uang pada masa itu.

879) Pada masa hari-hari terakhir Sang Buddha, kota ini hanyalah sebuah pemukiman kecil yang dikenal sebagai Pāṭaligāma. Pada DN 16.1.28/iii.87, Sang Buddha meramalkan perkembangannya di masa depan. Kota ini akhirnya menjadi ibu kota Magadha. Pada masa sekarang ini dikenal sebagai Kota Patna, ibu kota Negara bagian Bihar.


SUTTA 95

880) Paragraf pembuka sutta ini, hingga §10, sebenarnya identik dengan paragraf pembuka Soṇadaṇḍa Sutta (DN 4).

881) MA: Disebut demikian karena persembahan diberikan di sana kepada para dewa.

882) Seorang brahmana kaya lainnya yang menetap di Ukkaṭṭhā, [ ]wilayah tanah kerajaan diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi. Dalam DN 2.21/i.110, ia mendengarkan khotbah dari Sang Buddha, mencapai memasuki-arus, dan menyatakan berlindung bersama dengan seluruh keluarga dan pengikutnya.

883) Mereka ini adalah para rishi masa lampau yang oleh para brahmana dianggap sebagai para penulis syair-syair pujian Veda.

884) Dalam Pali: saddhā, ruci, anussava, ākāparivitakka, diṭṭhinijjhānakkhanti. Di antara kelima landasan bagi kepastian ini, dua yang pertama sepertinya umumnya berdasarkan perasaan, yang ke tiga adalah penerimaan tradisi secara membuta, dan dua terakhir umumnya adalah penalaran rasional. “Dua cara berbeda” masing-masing adalah terbukti benar dan salah.

885) Tidaklah selayaknya baginya untuk sampai pada kesimpulan karena ia belum secara pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya menerimanya atas dasar yang tidak dapat menghasilkan kepastian.

886) Saccānurakkhana: atau, mengamankan kebenaran, perlindungan kebenaran.

887) Saccānubodha: atau, tercerahkan pada kebenaran.

888) Prosedur penemuan kebenaran yang direkomendasikan oleh sutta ini tampak sebagai suatu penjelasan atas pendekatan yang dibabarkan pada MN 47.

889) Tūleti. MA: Ia menyelidiki hal-hal sehubungan dengan ketidakkekalan, dan seterusnya. Tahap ini sepertinya merupakan tahap perenungan pandangan terang.

890) Walaupun pengerahan tekad (ussahati) terlihat serupa dengan usaha (padahati), namun pengerahan tekad dapat dipahami sebagai usaha yang dikerahkan sebelum perenungan pandangan terang, sedangkan usaha sebagai pengerahan yang membawa pandangan terang hingga pada tingkat jalan lokuttara.

891) MA: Ia mencapai Nibbāna dengan tubuh batin (dari jalan memasuki-arus), dan setelah menembus kekotoran-kekotoran, ia melihat Nibbāna dengan kebijaksanaan, nyata dan terbukti.

892) Sementara penemuan kebenaran dalam konteks ini sepertinya menyiratkan pencapaian memasuki-arus, kedatangan akhir pada kebenaran (saccānuppati) sepertinya bermakna pencapaian penuh Kearahatan.

893) Baca n.524.


SUTTA 96

894) MA: Adalah praktik sejak masa lampau di antara para brahmana untuk mengembara mengumpulkan dana makanan bahkan walaupun mereka memiliki kekayaan berlimpah.

895) Walaupun pertanian sepertinya adalah pekerjaan yang tidak seharusnya bagi seseorang yang digambarkan sebagai pedagang, harus dipahami bahwa para vessa tidak hanya menjalankan usaha perkotaan, tetapi juga memiliki dan mengawasi pekerjaan pertanian.

896) Ariyaṁ kho ahaṁ brāhmaṇa lokuttaraṁ dhammaṁ purissa sandhanaṁ paññāpemi.

897) Attabhāvassa abhinibbatti: secara literal, “di mana pun pembuahan kembali individunya terjadi”.


SUTTA 97

898) Sati uttarakaraṇiye. YM. Sāriputta pergi tanpa memberikan ajaran yang dapat membantunya untuk sampai pada jalan lokuttara dan pasti mencapai pencerahan. Dibandingkan dengan ini, bahkan kelahiran kembali di alam-Brahmā digambarkan sebagai “rendah” (hina).

899) Pernyataan ini memiliki kekuatan sebuah teguran yang halus. Sang Buddha pasti telah melihat bahwa Dhānañjāni memiliki potensi untuk mencapai jalan lokuttara, karena di tempat lain (misalnya dalam MN 99.24-27) Beliau sendiri mengajarkan hanya jalan menuju alam-Brahmā ketika potensi itu tidak dimiliki oleh para pendengarnya.


SUTTA 98

900) Teks dari sutta ini tidak termasuk dalam Majjhima Nikāya edisi PTS, untuk alasan yang sama seperti pada n.867. Nomor halaman dalam kurung siku merujuk pada edisi Sn dari Anderson-Smith.

901) Di sini, kata “kamma” harus dipahami sebagai perbuatan atau tindakan sekarang, dan bukan perbuatan lampau yang menghasilkan akibat sekarang.

902) Sāmaññā. MA: Di antara binatang-binatang, keberagaman bentuk dari bagian-bagian tubuh mereka ditentukan oleh spesiesnya (yoni), tetapi hal itu (perbedaan spesies) tidak terdapat pada tubuh para brahmana dan kasta-kasta manusia lainnya. Oleh karena itu, perbedaan antara brahmana, khattiya, dan sebagainya, hanyalah sebutan verbal; diucapkan hanya sekadar sebagai ungkapan konvensional.

903) MA: Hingga pada titik ini, Sang Buddha telah mengkritik pernyataan Bhāradvāja bahwa kelahiran menjadikan seseorang sebagai brahmana. Sekarang Beliau akan mendukung pernyataan Vāseṭṭha bahwa perbuatan menjadikan seseorang sebagai brahmana. Karena para brahmana masa lampau dan para bijaksana lainnya di dunia ini tidak akan mengakui kebrahmanaan seseorang yang cacat dalam penghidupan, moralitas, dan perilaku.

904) Bhavādi. Bho, “Tuan”, adalah cara menyapa yang biasanya digunakan di antara para brahmana. Mulai titik ini dan seterusnya, Sang Buddha akan mengidentifikasikan brahmana sejati sebagai Arahant[.], bait 27-54 di sini identik dengan Dhp 396-423, kecuali pada bait tambahan dalam Dhp 423.

905) MA: Melalui perbuatan kehendak sekarang yang menyelesaikan pekerjaan bertani, dan sebagainya.

906) Dengan bait ini, kata “kamma” mengalami pergeseran makna yang ditandai oleh kata “sebab-akibat yang saling bergantungan”. “Kamma” di sini bukan lagi hanya berarti perbuatan sekarang yang menentukan status sosial seseorang, melainkan perbuatan dalam makna khusus kekuatan yang mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kehidupan. Pemikiran yang sama ini menjadi lebih jelas pada bait berikutnya.

907) Bait ini dan yang berikutnya sekali lagi merujuk pada Arahant. Akan tetapi, di sini, perbedaannya tidak terletak pada perbedaan Arahant sebagai seorang yang menjadi suci melalui perbuatannya dan brahmana melalui kelahiran yang tidak layak menyandang sebutan itu, melainkan pada perbedaan antara Arahant sebagai seorang yang terbebaskan dari belenggu perbuatan dan akibat dan semua makhluk lainnya yang masih terikat oleh perbuatan mereka pada lingkaran kelahiran dan kematian.


SUTTA 99

908) Todeyya adalah seorang brahmana kaya, penguasa Tudigāma, sebuah desa di dekat Sāvatthī. MN 135 juga dibabarkan kepada Subha yang sama ini.

909) Vibhajjavādo kho aham ettha. Pernyataan ini menjelaskan sebutan belakangan dari Buddhisme sebagai vibhajjavāda, “doktrin analisis”. Seperti yang dijelaskan dalam konteks ini, Sang Buddha menyebut dirinya sebagai seorang vibbhajjavādin, bukan karena Beliau menganalisis segala sesuatu ke dalam unsur-unsurnya (seperti yang dipercayai secara umum), tetapi karena Beliau membedakan implikasi yang berbeda dari suatu pertanyaan tanpa menjawabnya secara sepihak.

910) Jelas pada masa itu perdagangan masih dalam tahap awal perkembangan. Pernyataan yang sama sulit untuk diberlakukan pada masa kini.

911) Seperti pada MN 95.13.

912) Pernyataan ini pasti dibuat sebelum Pokkharasāti menjadi seorang pengikut Sang Buddha, seperti disebutkan pada MN 95.9.

913) Anukampājātika.

914) Pengetahuan ini berhubungan dengan kekuatan Sang Tathāgata yang ke tiga, mengetahui jalan-jalan menuju segala alam tujuan kelahiran. Baca MN 12.12.

915) MA menjelaskan perbuatan yang membatasi (pamāṇakataṁ kammaṁ) sebagai kamma yang berhubungan dengan alam indria (kāmāvacara). Ini berlawanan dengan perbuatan tanpa batas atau perbuatan tidak terukur, yaitu, jhāna-jhāna yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah brahmavihāra yang dikembangkan hingga tingkat-tingkat jhāna. Ketika jhāna yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi dicapai dan dikuasai, kamma yang berhubungan dengan alam indria tidak dapat mengalahkannya dan tidak dapat memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibatnya. Sebaliknya, kamma yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi mengalahkan kamma alam-indria dan menghasilkan akibatnya. Dengan menghalangi akibat dari kamma alam-indria, brahmavihāra yang telah dikuasai menuntun menuju kelahiran kembali di alam Brahmā.

916) Seperti pada MN 27.2.


SUTTA 100

917) Dhānañjāni adalah seorang pemasuk-arus. MA mengatakan bahwa Sangārava adalah adik laki-laki suaminya.

918) Diṭṭhadhammābhiññāvosānapāramippattā ādibrahmacariyaṁ paṭijānanti. MA mengemas: Mereka mengaku sebagai perintis, pencipta, pembentuk kehidupan suci, dengan mengatakan: “Setelah secara langsung mengetahui di sini dan saat ini dalam kehidupan ini dan setelah mencapai kemuliaan, kami telah mencapai Nibbāna, disebut ‘kesempurnaan’ karena melampaui segalanya.”

919) Mengherankan bahwa para pemikir logis dan penyelidik (takkī, vīmaṁsī) di sini dikatakan bersandar hanya pada landasan keyakinan (saddhāmattakena). Di tempat lain keyakinan dan logika adalah berlawanan sebagai dua landasan pendirian yang berbeda (MN 95.14), dan “sekadar keyakinan” sepertinya lebih dekat pada bersandar pada tradisi lisan daripada pemikiran logis dan penyelidikan.

920) Sāmaṁ yeva dhammaṁ abhiññāya. Frasa ini menekankan pencapaian langsung secara pribadi sebagai landasan untuk mengajarkan kehidupan suci.

921) MA mengatakan bahwa Sangārava memiliki gagasan bahwa Sang Buddha mengatakan demikian tanpa pengetahuan sebenarnya, dan oleh karena itu, ia menuduh Sang Buddha berbohong. Urutan gagasan dalam paragraf ini sulit diikuti dan kemungkinan ada perubahan pada teks. K.R. Norman mengusulkan suatu rekonstruksi pada bagian dialog ini, tetapi sulit mengikutinya secara terperinci. Baca Norman, Collected Papers, 2:1-8.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #111 on: 30 January 2013, 12:48:44 PM »
[...]
Dan walaupun aku pernah bertangan-darah
Dengan nama si ‘Kalung-jari’
Bertemu dengan perlindungan yang kutemukan:
Belenggu penjelmaan telah terpotong.

Walaupun aku melakukan banyak perbuatan yang mengarah
pada kelahiran kembali di alam rendah,
namun akibatnya telah mendatangiku sekarang,
dan karenanya aku makan bebas dari hutang.

Mereka adalah orang-orang dungu dan tidak berakal sehat
Yang menyerahkan diri mereka pada kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga ketekunan
Dan memperlakukannya sebagai kebaikan yang terbesar.

Jangan menyerah pada kelengahan
Juga jangan mencari kegembiraan dalam kenikmatan indria,
Tetapi bermeditasilah dengan tekun
Agar dapat mencapai kebahagiaan sempurna.

Tadi saya baca syair di atas yang Yumi copas ke FB-DC (di postingan Indra). Yang dibold itu, terjemahannya kurang pas.

Kalo saya liat di http://www.leighb.com/mn86.htm:

Having done many actions
leading to birth in hell,
touched by the results of such actions
I now partake food without a debt.

sedangkan di sini: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.086.than.html

Having done the type of kamma that would lead to many bad destinations, touched by the fruit of [that] kamma, unindebted, I eat my food. [7]

_______________________

apakah makna sebenarnya: "setelah memahami akibat buruk tersebut, maka..."?
« Last Edit: 30 January 2013, 12:59:14 PM by dhammadinna »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #112 on: 30 January 2013, 03:41:12 PM »
Tadi saya baca syair di atas yang Yumi copas ke FB-DC (di postingan Indra). Yang dibold itu, terjemahannya kurang pas.

Kalo saya liat di http://www.leighb.com/mn86.htm:

Having done many actions
leading to birth in hell,
touched by the results of such actions
I now partake food without a debt.

sedangkan di sini: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.086.than.html

Having done the type of kamma that would lead to many bad destinations, touched by the fruit of [that] kamma, unindebted, I eat my food. [7]

_______________________

apakah makna sebenarnya: "setelah memahami akibat buruk tersebut, maka..."?

source yg kami pake bukan kedua itu.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #113 on: 30 January 2013, 04:15:11 PM »
^ ^ ^

Tapi kok berasa janggal ya?

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #114 on: 30 January 2013, 07:32:03 PM »
mel, kalo baca indo doank (terlepas dr tau versi terjemahan english yg lain), saya rasa maknanya dapat. tapi biar lbh jelas, bs minta ko indra copas jg terjemahan english-nya bhikkhu bodhi yg bagian kalimat itu.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #115 on: 30 January 2013, 07:47:16 PM »
mel, kalo baca indo doank (terlepas dr tau versi terjemahan english yg lain), saya rasa maknanya dapat. tapi biar lbh jelas, bs minta ko indra copas jg terjemahan english-nya bhikkhu bodhi yg bagian kalimat itu.

tapi di bukunya ada tertulis "no part of this book may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photography, recording, or by any information storage .... without permission in writing from the publisher"

Offline will_i_am

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.163
  • Reputasi: 155
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #116 on: 30 January 2013, 08:10:42 PM »
tapi di bukunya ada tertulis "no part of this book may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photography, recording, or by any information storage .... without permission in writing from the publisher"
:hammer:
hiduplah hanya pada hari ini, jangan mengkhawatirkan masa depan ataupun terpuruk dalam masa lalu.
berbahagialah akan apa yang anda miliki, jangan mengejar keinginan akan memiliki
_/\_

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #117 on: 31 January 2013, 08:20:13 AM »
 [at]  Yumi: saya cari inggrisnya karena saya merasa indo-nya agak janggal... (kayak ga nyambung dengan kalimat selanjutnya) :D

 [at]  Indra: PM aja inggrisnya, ndra..
« Last Edit: 31 January 2013, 08:30:00 AM by dhammadinna »