Memang begitu, maksudnya adalah bagaimana kebijaksanaan memahami suatu 'kebenaran pikiran' itu membimbing dirinya atau orang lain kepada kebenaran sejati (yang pada saat itu memang kebenaran pikiran sudah ditinggalkan). Misalnya pada Cula Panthaka, kebenaran pikiran anicca berupa 'perubahan kain bersih dari kain kotor' adalah BUKAN kebenaran sejati, tetapi itu membimbing Cula Panthaka pada kebenaran sejati yang entah apa. Buddha Gotama memiliki kebijaksanaan untuk memahami keterkondisian dan keterbatasan Cula Panthaka, dan potensinya untuk mengerti kebenaran pikiran 'kain kotor' yang akhirnya membawa pada kebenaran sejati yang tidak terceritakan.
Sejauh yang bisa dilakukan, pikiran hanya bisa menunjukkan 'pintu' kepada diri sendiri atau kepada orang lain, dan orang harus "melangkah" sendiri memasuki 'pintu' itu ("melangkah" itu berarti menyadari kesia-siaan pikiran untuk sampai pada kebenaran). Peristiwa "melangkah" itu sendiri TIDAK dipengaruhi oleh pikiran sebelumnya yang menunjuk ke 'pintu', peristiwa "melangkah" itu bukan DISEBABKAN karena bimbingan pikiran sebelumnya, karena peristiwa "melangkah" itu sendiri BEBAS DARI HUKUM SEBAB-AKIBAT; peristiwa "melangkah" itu memutuskan hubungan dengan pikiran, dengan masa lampau, dengan hukum sebab-akibat. Oleh karena itu tidak seorang pun bisa membimbing diri sendiri atau orang lain mencapai pembebasan/kebenaran, Buddha pun tidak.
Setuju. Yang sering menjadi masalah adalah karena keterbatasan kita sendiri, kita tidak mampu menyadari semua proses pikiran itu. Maka dalam doktrin memang dikatakan dhamma diajarkan dalam bertahap.
Doktrin agama-agama mengatakan dhamma/ajaran itu bertahap. Namun dalam praktik, yang ada hanyalah 'sadar' atau 'tidak sadar'; tidak ada tahapan dari 'tidak sadar' menjadi 'sadar'.
Setuju, ada banyak jalan. Ada tradisi dari Yudaisme juga mengajarkan untuk menghentikan 'pikiran intelektual dan analitis' dalam meditasi untuk pengertian yang lebih mendalam.
Di dalam meditasi pun --dari tradisi mana pun-- yang ada hanyalah 'sadar' atau 'tidak sadar', 'ya' atau 'tidak'. 'Tidak sadar' berarti pikiran analitis masih terus bekerja; 'sadar' berarti pikiran analitis sudah diam.