//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Riky_dave

Pages: 1 2 [3] 4 5 6 7 8 9 10 ... 281
31
Diskusi Umum / Marketing dan Buddhimse ?
« on: 08 April 2012, 05:17:36 PM »
Namo Buddhaya,

Setelah sekian lama tak pernah berkunjung ke website dhammacitta, akhirnya datang juga...haha...Saya ingin bertanya soal perkembangan ajaran Buddha dewasa ini.Mungkin seperti yang telah kita ketahui bersama, antusias umat awam buddhisme atau sebagain masyarakat awam [ Buddhist KTP ] terhadap "Bhikkhu2" yang "diisukan" memiliki "ini" dan "itu" atau sederhananya terhadap "Bhikkhu" yang "populer" dan "terkenal" sangat besar..

Oleh karena itu, tentunya sebagai umat Buddhisme kita merasa berbangga melihat perkembangan ajaran Buddha yang semakin maju, tetapi apakah seperti itu ?

Saya melihat dewasa ini banyak sekali terjadi "marketing Buddhisme" dengan "dalih" untuk "pembiayaan operasional", hal ini tidak hanya dilakukan oleh "oknum organisasi yang ada" bahkan di dukung dan dilakukan oleh "oknum Bhikkhu" juga..

Apakah Buddha pernah mengajarkan bagaimana cara menyebarkan agama Buddha [Apakah dalam hal ini "marketing" untuk menarik "customer" untuk menghasilkan "pundi2" uang atau ?]

 _/\_

32
Game / Re: di Antara 2 pilihan
« on: 18 November 2011, 01:46:31 PM »
di liatin...

pengen jadi perumahtangga atau petapa ? :D

33
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 18 November 2011, 01:26:12 PM »
sesat apa-nya ?
mohon diperjelas...


Lihat yang anda warnai tanda merah di quote saya sebelumnya http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21492.msg379975#msg379975 >>> saya rasa dalam kalimat tersebut, saya tidak ingat dan juga tidak menulis kata "sesat", di bagian mana saya menulis kata "sesat" ? MOHON DIPERJELAS...thanks :)

34
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 18 November 2011, 11:36:37 AM »
terima kasih saudara Sobat, semoga praktik BuddhaDhamma anda membuat anda melihat kebenaran jangan sampai tersesat seperti YM Bahiya Sutta... :-)

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta...

35
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 18 November 2011, 11:05:28 AM »
jawaban mas sobat tentang keberadaan Arahat,


demikian yang kutahu, kesimpulannya apa ?

Wajar saja bro Adi, Mahayana kan selalu mengajarkan "standar ganda" dan memanganggap orang lain sebagai "fanatisme" tanpa menyelidiki diri sendiri...

36
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 18 November 2011, 11:03:43 AM »
Tampaknya contoh seperti apapun akan Anda bantah. Jadi aku pikr percuma menjelaskan pada Anda.
Kalau memang ada korelasi, mengapa saya harus bertanya lagi ? Justru karena saya tidak mengerti baru saya bertanya, hanya ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama saya tidak sanggup mengerti, atau kemungkinan kedua anda tidak sanggup memberikan penjelasan/penjelasan anda mengada-ada..Jadi saya tidak tahu kemungkinan mana yang tepat/benar, biarkan orang lain yang menilainya.. :)

Quote
Anehnya Anda menyinggung soal mampu atau tidak mampu dalam diskusi ini: tampaknya diskusi ini hanya soal uji kemampuan bagi Anda? Kalau itu maksud Anda berdiskusi dengan saya: aku ngaku kalah saja deh... dan Anda pemenangnya  :)) Selesai nggak :))

Seperti komentar saya diatas...Nah, anda melihatnya dari sisi yang negatif, jadi ya terserah Anda, toh pikiran anda adalah pikiran Anda... :)


Quote
Ini ukan soal urusan siapa, tapi siapa yang telah memperlakuan triratna seperti "tuhan baru". Tanya saja siapa ke forum ini, semoga ada yang mau mengaku :))
Nah, apakah anda sendiri merasa tidak memperlakukan "ajaran Buddha" sebagai "tuhan baru" ?


Quote
Kalau disebut jimat kenapa? Jimat kan fungsinya untuk melindungi?
Melindungi dalam arti apa ? :) , jadi Anda sekarang beralih lagi bahwa jimat itu berfungsi melindungi ?Apakah sutra anda telah melindungi anda sehingga anda menjadi tidak peduli Buddha itu nyata atau tidak nyata, yakin dan tidak yakin dengan adanya Arahatta ?Sampai-sampai ngotot dengan "jalan yang anda tempuh yang anda sebut sebagai praktik BuddhaDhamma?"


Quote
Dan terimakasih, Anda sudah bersedia untuk berputar2 bersama saya. Anda berputar2 saya berputar2 juga. Apa salahnya?
Maka Sang Buddha berkata kepada Angulimala, " Saya telah lama berhenti, kamulah yang masih berlari." , jadi bro sobat tidak capek ni lari-lari ? :)


Quote
Nah, Anda terus memasakan lari ke figur. "Buddha" yang Anda maksud itu Buddha yang mana? Apakah Siddharta Gotama sebagai figur pribadi?
Saya tidak memaksakan figur apapun koq, yang memberi contoh soal figur kan itu Anda, bukan saya, yang berasumsi soal figur itu  juga Anda bukan saya..bagi saya "Buddha = Buddha"...


Quote
Saddha saya ada pada praktik, dan saddha adalah bagian dari praktik saya, sedangkan praktik saya adalah saddha.
Oh gitu, ya sudah kal gitu.
Saddha adalah bagian dari praktik anda, sebelum muncul saddha anda, apakah anda langsung praktik ?Sebelum tahu sesuatu beracun atau tidak beracun, langsung anda makan ?wah...anda tipe pemberani yang bodoh kalau begitu ( kata dalam novel fiksi Harry Potter, berati anda Grifindor...pemberani tapi bodoh???)

Quote
Bukan kalimatnya, tapi motif di balik ketika kalimat itu diucapkan.
Dan setelah itu?Apakah motifnya menurut Anda ?Masih bermasalah atau mengarah ke asumsi pertama anda bahwa bro Adi "mengindolakan Buddha" ? ya atau tidak, dan tolong dijelaskan secara gamblang.. :)


Quote
Nah, mana tahu. Setelah mengundang lalu Sag Buddha datang dan berbicara, barusan jelas apakah penilaiannya tehadap Sang Buddha nanti dikarenakan bias atau tidak. Kalauia mengatakan: " Sang Buddha hebat karena temanku mengatakannya hebat," itu bias. Tai kalau ia dapat melihat secara obyektif apa yang dikatakan oleh Sang Buddha tanpa dipengaruhi penilaiannya pada refernsi temannya, ya itu baru tidak bias.

tai juga kalau orang yang percaya referensi temannya dan bisa dipengaruhi seperti contoh anda sebelumnya, kalau tidak enak ya tidak enak, bagaimana mungkin bisa dipengaruhi menjadi enak ?itu mah namanya "g****k"..jadi "refernsi" itu menurut saya sama sekali tidak ada masalahnya, dan malah "referensi" itu sangat dibutuhkan untuk diselidiki kemudian dibuktikan, tidak seperti anjuran Anda yang mengimbau orang "makan" dulu baru "selidiki" >>> apakah cara anda mempelajari sutra Mahayana seperti begitu ? Telan dulu bulat-bulat semua sutranya baru selidiki ?Ini mah baru namanya kepercayaan membabi buta bagi saya... :)

Quote
Menyelidiki di sini, maksudnya "tanya teman". Tolong lhat konteks kalimat dan diskusi ketika itu.
Sama saja, tolong diperhatikan kata-kata didalam diskusi...Menyelidiki dengan bertanya dengan teman, bukan dengan anjuran anda yang "makan dlu(tidak peduli beracun atau tidak beracun), baru diselidiki ( kalau belum mati )..." :)

Quote
Ya, kala itu asumsi Anda. Apa boleh buat. Itukan asumsi Anda.
Kalau itu menurut Anda sebagai asumsi saya, coba anda jelaskan asumsi anda, dan dijawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan asumsi Anda.. :)


Quote
Oh gitu...  Jadi "memercayai" dan "mengetahui" itu hal yang sama ya? Jadi ketika Anda percaya bahwa Arahat ada, saat itu jga Anda "mengetahui" Arahat itu ada. Sungguh keercayaan yang luar biasa, dapat menjadikan kepercayaan sebagai pengetahuan.
Jadi, kesimpulannya anda tidak mempercayai bahwa Buddha/Arahat itu nyata ? (sekali lagi mohon dijawab secara langsung )..

Oh 1 hal lagi, kalau anda suka membaca sutta-sutta, disana anda bakal melihat banyak para naga, para deva, para manusia yang percaya akan Buddha ( walau belum bertemu Buddha ) dan selalu menanti-nantikan Buddha, apakah menurut anda itu salah ? :)


Quote
Nah, kalau "menyelidiki" yang dimaksud di sini "harus tanya teman dulu" ya memang tidak perlu. Kalau menyeldiki dengan indera kita ya sudah otomatis terjadi tatkala makanan ada di depan mata, tanpa bisa ditolak.

Wah-wah, kalau anda tersesat di hutan bersama seorang "pemandu handal", kemudian anda lapar, dan kala itu disana adalah buah yang mengiurkan ( yang tampak tidak beracun), langsung anda ehipassiko ?tidak perlu tanya dulu kepada pemandu handalnya ?Persis seperti kisah Jataka...Si dungu yang sombong.. :)

Quote
Tapi, bagaimana pun Bo Riky Dave sangat bijaksana loh :) Anda menang kok, saya mengaku kalah saja :)

Apakah praktik Sutra Mahayana masih mengajarkan "menang dan kalah" ? Sangat berbeda dengan sutta yang saya pelajari yang mengajarkan untuk meninggalkan "kedua sifat yang bercorak anicca" tersebut...

Quote
Ini tampaknya jadi integorasi.  Semaki miripsaja dengan orang2 dari K. Bro Gandalf, Anda sungguh benar :)

Silakan dijawab, tidak perlu berbelit-belit..Thanks

37
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 18 November 2011, 09:18:35 AM »
Ketika seseorang menggunakan jarinya menunjuk ke bulan, maka seharusnya yang kita perhatikan adalah bulan, bukan orang atau jarinya. Orang yang menunjuk dan telunjuk yang digunakan untuk menunjuk adalah alat belaka, sedangkan intisarinya adalah bulan tersebut yang ditunjuk.

Buddha dan ajaran-Nya adalah orang dan jari yang menunjuk, sedangkan praktik adalah bulannya.

Semoga paham. Mohon maaf, kalau Anda tidak paham lagi, saya tidak bisa membantuk lagi. Terimakasih. 

Saudara Sobat ketika pada zaman Buddha, orang melihat pertama kali adalah "figur" Buddha, jadi saya menganggap perumpaaan anda tidak tepat dan tidak ada kolerasinya dengan pertanyaan yang di ajukan...Kalau anda memang tidak ada perumpaan yang lebih mengena lagi, maka anggap saja pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh anda dan tidak mampu dimengerti oleh saya.Terima kasih.



Quote
Tapi cara memuja/mengidolakan Triratna sebagai figur, telah menjadikannya tidak berbeda dengan agama lain itu memperlakukan Tuhannya.   
Itu urusan agama lain, bukan urusan kita, buat apa pula kita bahas agama yang lain ?Kemudian siapa yang mengindolakan Tiratana ?


Quote
Maksudmu Triratna jadi kayak jimat gitu. Boleh juga :) Kalau kamu mau menghayati demikian, ya boleh juga. Kalau dianalogikan dengan perlindungan dari sesuatu, inilah pemahaman saya: dengan menyerahkan diri secara total pada praktik Buddhadharma (mengembangkan sila, samadhi, dan prajna), maka saya melindungi diri dari perilaku buruk yang berasal dari lobha, moha, dan dosa. Saya berlindung bukan pada figur tertentu, tetapi berlindung pada praktik Buddhadharma (sila, samadhi, prajna), di mana saya berserah diri secara total.   

Saya merasa tidak ada kalimat saya yang mengandung/mengatakan bahwa menggangap Tiratana sebagai "jimat", saya juga kurang paham apa arti luas dari kata "jimat" menurut Anda sendiri, bisa dijelaskan apa maksud Anda mengatakan hal tersebut terhadap pernyataan saya tentang "perlindungan" ?

Kemudian sekali lagi dan telah berkali - kali Anda hanya berputar-putar saja, Anda mengatakan Anda menjalankan praktik BuddhaDhamma, saya to the point saja, "darimana anda belajar praktik BuddhaDhamma" ? "Apakah kalau Buddha tidak nyata, Anda tetap menjalani praktik BuddhaDhamma ?" "Percayakah anda kepada Buddha yang mengajarkan praktik BuddhaDhamma ?" Mohon dijawab.thanks


Quote
Saya tidak terlalu ingat cerita itu. Silahkan ceritakan dulu lebih lengkap.
Silakan di search di google...thanks

Quote
Karena saya tidak berserah pada Buddha dalam bentuk figur historis (yang bisa nyata atau tidak nyata), tapi berserah diri secara total pada Buddha  sebagai hakikat kebuddhaan (kualitas Kebuddhaan) di dalam diri setiap makhluk, yang berarti itu adalah berserah secara total pada kebijaksanaan dan cinta kasih. Kebijaksanaan dan cinta kasih tidak perlu dibuktikan sebagai nyata atau tidak nyata, karena ia ada dalam praktik nyata sehari-hari.   

Adalah sangat aneh pernyataan Anda, Anda tidak membuktikannya sebagai nyata atau tidak nyata, tetapi anda mempraktikannya, jadi apa yang Anda praktikkan ? Anda tidak memiliki Saddha ya ?Saya tidak menasumsikan Buddha sebagai sesosok figur, yang menasumsikan dan mengatakannya sebagai sesosok figur kan Anda...Thanks.


Quote
Tidak.

Jadi, tentunya kalimat "Buddha is the best" tidak memiliki masalah lagi bagi anda bukan ? :-)

Quote
Justru karena sudah membaca, tapi tidak melihat koherensi maknanya, maka saya meminta Anda untuk menjabarkannya dengan lebih logis dan sistematis.

Nah, sekarang di baca lagi, semoga dapat dimengerti yah... :-)

Quote
Saya tidak sedang berusaha menjadi "bijak", hanya menyampaikan apa adanya pandangan saya, karena itu bisa jadi buat Anda terdengar "tidak bijak." Kembali ke contoh yang Anda buat:

Ketika Anda mencoba langsung ke cafe, memang Anda sedang berehipassiko. Ketika itu dilaksanakan, referensi dari teman Anda hanyalah tinggal jadi pengetahuan yang akan terbukti atau tidak terbukti kebenarannya tatkala kita benar-benar langsung mencoba hidangan di cafe tersebut. Jika kita tetap bisa imparsial, tidak bias, dan obyektif, maka kita dapat menilai dengan tepat apa rasa makanan tersebut menurut pengalaman kita sendiri tanpa diinterupsi oleh ingatan akan penilaian dari teman kita. Jika itu yang terjadi, maka ini namanya ehispassiko: karena disertai dengan kesadaran jernih tanpa penilaian yang bias. 

Akan tetapi, apa jadinya kalau ternyata penilaian teman Anda tersebut kemudian mempengaruhi secara total komentar Anda akan makanan di cafe tersebut? "karena saya sangat percaya dan yakin dengan teman saya, pasti apa yang dikatakan oleh teman saya pasti selalu benar." Kemudian tatkala kita mencoba makanan di cafe yang direferensikan tersebut, persepsi kita tentang makanan lantas dipaksakan oleh asumsi tersebut, maka dalam pikiran muncul asumsi: "Temanku berkata makanan di cafe ini enak, karena temanku tidak mungkin salah, maka makan di cafe ini pasti enak, tidak mungkin tidak enak." Hal demikian hanya membuat kita semakin jauh dari pengalaman asli (orisinil) kita sendiri, karena semua penilaian atas pengalaman kita kemudian direpresi oleh keinginan kita mempertahankan keyakinan akan kebenaran figur teman kita. Ini bukan lagi ehipassiko, tapi kepercayaan buta yang muncul dari sikap favoritisme atas teman yang kita yakini (positif di mata kita).

Bias tidak bias, itu menurut Anda bukan ?banyak kasus dimana umat berkeyakinan bergaul dengan umat yang tidak berkeyakinan, setelah dijelaskan kualiatas2 Buddha Dhamma dan Sangha, mereka menjadi tertarik untuk mengundang Buddha, setelah Buddha datang dan membabarkan Dhamma, mereka turut menjadi berkeyakinan terhadap Tiratana, jadi menurut anda itu "dinterupsi" oleh penilaian pihak lain tidak ?

Quote
Dari mana ketidakpercayaan itu muncul, justru dari adanya asumsi yang telah diyakininya dalam  kepalanya. Kalau si petapa adalah orang yang tanpa tendensi, obyektif, imparsial, tanpa bias, maka ia akan menyelidiki lebih jauh lagi siapa Sang Buddha. Namun, dikarenakan si petapa penuh asumsi di kepalanya, 'Tidak mungkin ada yang demikian, karena dalam pengetahuan saya tidak mungkin demikian", yang diyakini sebagai benar demikian, maka ia tidak tertarik lagi mencari tahu.

Nah, coba dibaca komentar anda sebelumnya, "Apakah kita masih perlu langsung memakan sebuah makan tanpa menyelidikinya dulu, seperti anjuran anda sebelumnya ?"


Quote
Dalam kasus kalau kepercayaannya pada figur memang demikian, tapi saya lebih mementingkan praktik (demikian saya berkomitmen pada diri saya) daripada berspekulasi apakah guru saya adalah Arahat atau bukan, cerah atau tidak.
Praktiknya Anda dapatkan darimana ?Apakah sama seperti asumsi Anda, Anda langsung makan sebuah makanan tanpa menyelidikinya, seperti itu kah Anda ?dan Anda tetap "ngotot" dengan tindakan Anda tersebut, sehingga saya memberi asumsi anda ibarat seseorang yang "mengindolakan ajaran Buddha tanpa peduli dengan eksistensi Buddha atau Ajaran itu sendiri"..

Sangat penting untuk mempercayai/mengetahui bahwa para Arahat masih nyata dan ada, dengan kepercayaan seperti itulah orang akan mempraktikan Ajaran Buddha dan melatih diri untuk mencapai kesucian yang sama, tidak seperti anda yang menjalankan sebuah praktik tanpa kepedulian terhadap eksistensi Buddha atau Arahat, dan menurut saya itu sangat aneh dan tidak wajar..
 
Quote
ya, yang diselidiki adalah makanannya, bukan siapa si pembuat makanan, bukan pula ingatan kita akan referensi teman kita akan makanan tersebut.

Nah, oleh sebab itu, ingatlah jangan memakan langsung makanan direstoran tanpa menyelidikinya terlebih dahulu ya bro Sobat.. :-), sama juga seperti ajaran Buddha, jangan langsung menelan bulat-bulat tanpa ehipassiko terlebih dahulu, sama seperti Anda yang menjalankan praktik BuddhaDhamma tanpa peduli dengan eksistensi Buddha.Semoga dapat dimengerti yach...Thanks


Quote
Sudah dijawab di atas kan. Tidak akan terpengaruh.

Wah, pertanyaan yang ini agak membingungkan. Mohon diperjelas.

Menurut saya pertanyaanya cukup jelas, saya ulangi sekali lagi ya...
1.) Apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?

2.) Apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?

nah, apakah dengan begini sudah lebih jelas ?silakan dijawab...thanks

38
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 17 November 2011, 12:51:22 PM »
Saya sudah menjelaskan soal ini saat Bro Indra bertanya, silahkan baca kembali perumpamaan tentang anak panah beracun dan pengelana. Tidak ada soal “antara ya dan tidak”.

Sama seperti bro Indra, saya juga kurang paham mengenai perumpaan tersebut dengan pertanyaan yang diajukan, bisakah Saudara Sobat memberikan analogi/perumpanaan lainnya sebagai bahan diskusi agar menjadi lebih jelas ? Terima Kasih.. :-)

Quote
Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur. 

Saya enggan membicarakan soal agama lain dalam diskusi ini, karena saat ini yang kita bahas adalah "ajaran Buddha" sendiri bukan ajaran yang lain, terlebih lagi pengikut fanatik juga belum tertentu terlahir di alam menderita seterusnya dan seterusnya, bisa saja dia terlahir di alam yang lebih berbahagia ( karena seperti yang kita ketahui, penentu kelahiran selanjutnya adalah KAMMA, dalam hal ini bisa saja pengikut tersebut "rajin" berbuat baik ).

Menurut saya malah sebaliknya, bahwa berlindung kepada Tiratana berdasarkan "percaya/yakin" atau "tidak percaya/tidak yakin", secara pribadi saja, tentu saya sebagai umat biasa berlindung kepada sesuatu yang benar-benar bisa melindungi saya, tidak mungkin pula saya berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindungi saya ( dalam hal ini sesuatu yang tidak  nyata, dongeng, dll ) .Saya umpamkan saja, misalkan saya tersesat didalam hutan, kemudian muncul 2 orang, orang pertama merupakan orang asing( yang saya tidak kenal siapa, asal usulnya dst dstnya ), lalu orang kedua merupakan ibu saya ( yang secara jelas saya tahu siapa dia ), tentu saja ketika saya dihadapkan oleh pilihan untuk mengikuti siapa agar dapat keluar dari hutan tersebut, saya memilih berlindung dengan ibu saya ( berdasarkan kepercayaan saya bahwa ibu saya bisa melindungi saya, berdasarkan bahwa saya tahu dia adalah ibu saya!saya tahu siapa dia !yang memberikan saya kasih sayang, cinta kasih ! )..

Sama pula halnya dengan berlindung kepada sesuatu, sangatlah mustahil seseorang berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindunginya ( kepada sesuatu yang tidak nyata/tidak ada ) karena sesuatu itu tidak ada/nyata, bagaimana dia bisa melindungi ?

Saya sudah ingat siapa Raja yang membunuh ayahnya, yakni Raja Ajasatu, ketika Raja Ajassatu mendengarkan Dhamma dari Buddha, dia merasa bahagia ( walau tidak dapat mencapai tingkat kesucian apapun ), tetapi kala itu muncul didalam hatinya bahwa Buddha bisa melindunginya, maka dia menyatakan perlindungan kepada seseorang yang diyakininya bisa melindunginya..Dalam kasus Ajassatu, bisakah Saudara sobat katakan dia sebagai Raja yang "mengindolakan" Buddha atau malah sebaliknya bahwa Raja Ajassatu memiliki "keyakinan/kepercayaan" terhadap Buddha Dhamma dan Sangha ?

Lantas yang menjadi pertanyaan saya adalah beberapa komentar yang ditulis oleh Saudara Sobat, bahwa Saudara sobat tidak peduli Buddha nyata atau tidak nyata, jika begitu bagaimana Saudara bisa meluangkan waktu melafalkan Tisarana yang notabene tidak saudara peduli itu nyata atau tidak nyata ?Lantas bagaimana Saudara bisa mempraktekkan dan mengatakan praktek yang anda lakukan adalah "penyerahan secara total" terhadap sesuatu yang Saudara tidak peduli ada atau tidak ada ?


Quote
Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?
Jika Buddhanussati sendiri merupakan praktik BuddhaDhamma, bisakah seseorang yang merenungkan kualiatas Buddha disebut sebagai "fanatisme"(mengindolakan figur Buddha) menurut Saudara ?

Quote
Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.
Coba baca komentar saya diatas...thanks


Quote
Tampak peduli latar belakang Chef tersebut kita bisa memutuskan makanan itu enak atau tidak. Cicipi langsung saja makanannya. Dengan mencicipi langsung makanannya, kita bisa menilai rasa makanan itu secara obyektif. Justru sernkali orang yang tahu tentang latar belakang chef yang memasak makanaan tersebut akan menjadi bias penilaiannya, karena dipengaruhi oleh pengetahuan akan lata belakang chef-nya.

Menurut saya tulisan anda "terlihat bijak tetapi sesungguhnya sangat tidak bijak", mengapa saya mengatakan demikian ?Mari kita logikan, ketika saya memasuki sebuah restoran atau cafe, saya terlebih dahulu menanyakan ke teman saya, "Pernah makan di cafe A ?bagaimana rasa di cafe A ? " >>> setelah mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati saya, maka saya pergi ke cafe A untuk langsung ehipassiko, dari saya baru muncullah kepercayaan ( dari diri saya sendiri sebagai pemakan ), sesungguhnya cafe A lezat atau tidak lezat >> kesimpulan ini tidak bisa dianggap kebenaran mutlak.

Sama halnya ketika Buddha mencapai pencerahannya pertama kali, sesudah bangun dari pencerahannya Buddha menuju untuk bertemu 5 Petapa, kala itu Buddha bertemu seorang petapa yang menyapanya, petapa bertanya, " Siapakah Anda ?Siapakah Guru Anda ? dstnya ( cerita selengkapnya baca sendiri ), kemudian Buddha menjawab, " Saya adalah Buddha ( Yang tercerahkan
), Saya tidak ada guru, dan tidak seorang pun yang bisa menandingi saya dstnya..." >> kala itu si petapa tidak merespon, menurut saya sebabnya dia "tidak percaya kepada Buddha", karena Buddha hanya menyatakan dia tercerahkan ( disana tidak ada penjelasan Dhamma apapun ), sangat wajar bila petapa yang tidak mengenal siapa Buddha, tidak mungkin menyatakan perlindungan terhadap seseorang yang tidak dia kenal, dan hanya mengaku dia sebagai Buddha..

sama halnya ketika kita bertemu seseorang yang mengaku dirinya "Buddha atau Arahat", apakah anda langsung percaya "dia" adalah Arahat atau Buddha ?Menurut saya tentu tidak !kecuali setelah anda mengetahui asal usulnya, mengikutinya selama beberapa tahun, melihat tingkah lakunya, melihat pembabaran Dhammanya !baru anda percaya !

Sama halnya ketika tersiar kabar bahwa telah muncul seorang SamsamBuddha orang TIDAK LANGSUNG PERCAYA atau seperti kata anda langsung mencicipi makanannya, orang melihat dulu, menyelidiki dulu baru memakan ( lihat perenungan Dhammanussati, lihat Kalama Sutta, lihat Udumbara Sutta )


Quote
saya hanya bertanya pada Bro Ai Lim, apakah ia akan tetap mempraktikkan Buddhadharma (sebagaimana yang ia yakini), seadainya suatu saat ia menemuka bukti2 tersebut. Ini sama sekali tidak terkait dengan praktikku pribadi. 

Kalau begitu saya yang akan bertanya kepada Saudara Sobat, apakah Saudara sobat akan terpengaruh jika seandainya sosok Buddha itu hanya dongeng ? Mohon dijawab..thanks


Quote
Saya tidak mengidolakan ajaran siapapun. Saya melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari saya sendir. Ajaran Buddha menunjukkan sesuatu, dan saya melihat kemudian menekannya sendiri. Maka saya mempraktikkannya karena merasakan faedahnya. Tidak ada pemujaan apapn di sini.

Nah, apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?kemudian, apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?Mhon di jawab...thanks

39
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 17 November 2011, 12:19:01 PM »
Saya hanya meniru cara-cara Anda :)

Kita hanya berdiskusi, dimana saya melihat dalam beberapa komentar Saudara Sobat sangat mengagumkan tetapi dibeberapa komentar penuh dengan kritik yang merendahkan ( menurut pandangan saya ), oleh sebab itu saya hendak saling berbagi, apakah saja kah praktik BuddhaDhamma yang dijalankan oleh Saudara Sobat, apakah kriteria "keyakinan" menurut Saudara Sobat, apakah kalau benar Buddha itu dongeng, Saudara sobat masih menyakini Buddha ? >> seperti pertanyaan dari Saudara Indra, karena saya juga bingung, bagaimana seseorang menyakini kualiatas dari seseorang yang tidak nyata ?

40
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 17 November 2011, 11:48:27 AM »
1. Untuk mengingatkan diri bahwa setiap makhuk sudah memiliki potensi hakikat Kebuddhaan di dalam dirinya sejak semula.
2. Mendorong diri terus agar tidak lupa mempraktikkan Buddhadharma.

Point 1, darimana Saudara Sobat tahu bahwa setiap makhluk sudah memiliki potensi hakikat kebuddhaan dalam dirinya sejak semula ?, apakah dari asumsi semata berdasarkan historical yang dibaca dalam kitab suci agama Buddha, atau karena alasan tertentu, yang bisa Saudara buktikan ?Atau karena itu anjuran dari "orang tertentu" untuk melafalkan Tisarana agar memperoleh ini dan itu ?

untuk point 2, mengapa dengan melafalkan tisarana/tiratana bisa membuat Saudara Sobat tidak menjadi lupa mempraktikan BuddhaDhamma ?Apa sih yang terkandung didalam Tiratana/Tisarana, sampai bisakan menjadi ingatan untuk Saudara Sobat agar menjadi tidak lupa mempraktikan BuddhaDhamma ?

Tiratana ( Tiga Mustika ) >> Buddha, Dhamma, Sangha sering dipakai dalam penerenungan Buddhanusatti, Dhammanussati, Sanghanusati..

Tisarana ( Tiga perlindungan ) >> Berlindung kepada 3 objek Mustika ( Buddha, Dhamma, dan Sangha )

nah, dengan melafalkan hal tersebut, bagaimana bisa "menyakinkan" anda untuk mempraktikan BuddhaDhamma ?Apa alasan dibalik hal tersebut ? Bisa dijelaskan ?Anumodana


Quote
Bisa jadi praktiknya lebih baik. Kalau pun seandainya yang fanatik itu rajin berpraktik, tapi fanatisme itu akan menghalangi dirinya untuk maju lebih jauh dalam praktik. Jika ia melepaskan fanatisme itu, maka praktiknya akan mengalami lebih banyak lagi kemajuan. 

Saudara Sobat, yang saya tulis itu "    Nah, apakah keyakinan bisa diukur ?Bisa saja seseorang "terlihat" fanatik dalam hal tertentu, tapi bisa saja "prateknya" lebih nyata daripada orang yang omdo ( omong doang  ) " >> yang saya tulis adalah bisa saja seseorang terlihat fanatik , bukan berati dia benar-benar fanatik, karena menurut saya keyakinan terhadap sesuatu untuk setiap makhluk berbeda-beda dan tidak bisa diukur/sulit untuk diukur oleh orang lain kecuali Anda memiliki kemampuan seperti SammaSambuddha atau para Arahat lainnya, atau mungkin Anda sudah/telah menemukan/mengkategorikan seseorang disebut fanatik atau tidak fanatik, dalam hal ini bisakah anda membagikan/mensharingkan kepada rekan-rekan ( dan hal ini saya terumatanya ), ciri-ciri atau kategorikan dikatakan "fanatik" dan "bukan fanatik" ?

Quote
Kalau hanya dari pernyataan luar yang tampak, memang kita tidak bisa membedakan mana yang menyatakannya dengan pemujaan/pengidolaan dan mana yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur yang sebesar-besarnya terhadap Sang Buddha. Keduanya, bisa jadi tamak sama dari luar, namun motifnya berbeda. Yang pertama dipenuhi oleh Ego Kepemilikan atas Sang Buddha, yang satunya disertai dengan rasa penuh terimakasih atas jasa-jasa Sang Buddha. Rasa terimakasih yang diucapkan setulus-tulusnya pada orang lain (bukan sekadar formalitas), akan membantu kita dalam mengurangi ego kita yang besar. 

Oleh karena itu, soal pernyataan sdr. Adi Lim, saya hanya ingin tahu, mana yang menjadi landasan motifnya. Maka saya mengajukan beberapa pertanyaan padanya.

Jadi, boleh kah saya mengatakan bahwa Saudara Sobat juga memiliki motif, yakni motif untuk mengetahu apakah Saudara Adi itu mengindolakan Buddha atau memiliki keyakinan terhadap Buddha, setelah Saudara Sobat mengetahuinya, apa manfaat yang diperoleh dari hal tersebut ? Apakah keyakinan Saudara Sobat terhadap Buddha semakin meningkat, atau sebaliknya ?

Saya sering mengibratkan seperti sapi dan kerbau, terlihat sama tetapi berbeda bahkan fungsinya juga berbeda, tapi kebanyakan orang selalu ngotot bahwa sama hanya karena serupa, padahal serupa belum tentu sama..

Saya ingin menanyakan sedikit hal lagi kepada Saudara Sobat, " Apakah Saudara Sobat bisa mengindentifikasikan seseorang sebagai "fanatik"(dalam hal ini hanya bersifat "mengindolakan" ) dengan orang yang tidak fanatik ( dalam hal ini, seperti yang Saudara sebutkan diatas sebagai orang yang "mempunyai rasa syukur" ), jika ya, bagaimana caranya, bisakah disharingkan ?Kemudian setelah melihat motif seseorang, dari beberapa pertanyaan yang Saudara ajukan ke Saudara Adi, apa kesimpulan yang dapat Saudara ambil, dan boleh juga disebutkan kesimpulan itu berdasarkan "bukti" apa, dan apakah "kesimpulan" tersebut bisa dijadikan "tolak ukur" untuk "mengukur" keyakinan Saudara Adi terhadap Buddha? Terima kasih.

Quote
Pengidolaan disertai dengan hasrat akan rasa kepemilikian atas obyek idolanya (Guru-KU, Dharma-KU, Sagha-KU). Rasa bersyukur dan terimakasih yang tulus dan ikhlas, apalagi disertai dengan persembahan, adalah betuk pelepasan.

Ini, akan saya catat dan akan di diskusikan nantinya... :)

Quote
Coba jelaskan lagi maksud bagian ini.

Saudara menulis
  "Ketika seseorang mengatakan bahwa Guru-KU adalah yang THE BEST, maka sebenarnya di dalam dirinya secara diam-diam tersirat bahwa AKU adalah yang THE BEST. Karena yang THE BEST adalah adalah Guru-KU, sedangkan Guru-MU adalah sebaliknya: THE WORST. Karena itu kemudian dalam pikirannya ia berkata "Kalau kamu tidak mau mengikuti Guru-KU dan keyakinan-KU akan Guru-KU, maka kamu sebenarnya adalah bodoh. Betapa beruntungnya diri-KU karena telah mendapatkan Guru-KU yang THE BEST dan betapa sialnya kamu yang tidak mau meng-AKU-i Guru-KU sebagai yang THE BEST." Sebenarnya, seakan-akan ia memuja Guru-nya, namun orang ini sebenarnya hanya sedang memuja Ego-nya: karena yang dipuja adalah "Guru-KU, bukan Guru-MU," "Dharma-KU, bukan Dharma-MU, Sangha-KU, bukan Sangha-MU"

Saya merasa bahwa itu hanya asumsi dari Saudara Sobat dikarenakan "ego" Saudara Sobat merasa telah melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Saudara Adi ( dalam hal ini menurut saya ego sering kali suka "merancu" kita, sehingga tanpa sadar kita sering membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain ), saya contohkan Saudara Adi menulis " Buddha is the best " sedangkan Anda menulis " Saya melakukan praktik Dhamma ", secara kasat mata menurut kacamata awam saya, ini seperti sedang membandingkan " Hei, saya praktik Dhamma, kamu cuman OMDO saja, bilang Buddha ini itu padahal praktek NIHIL, SAYA LEBIH HEBAT DARI KAMU " >> nah bisa saja muncul asumsi seperti ini kan ?maka saya balikan pernyataan tersebut kepada Saudara Sobat( untuk direnungkan ), saya juga bisa berasumsi sebaliknya dengan kalimat anda terhadap Saudara Adi, begitu juga sebaliknya, kesan itu juga muncul sebaliknya dari Anda ke Saudara Adi..

Coba diselidiki, karena saya hanya umat awam yang melihat dari kacamata umat awam...Menurut Saudara sendiri bagaimana ?

Quote
Rasa bersyukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha.
Nah, dalam kasus tersebut Saudara bisa mengatakan itu dikarenakan "rasa syukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha", maka bisakah bila saya mengatakan " Buddha is the best ", Saudara juga mengatakan bahwa saya juga turut bersyukur mengingat "jasa-jasa Buddha" dan merenungkan segala kebenaran dan kesempurnaan Sang Tercerahkan/Yang Tersadarkan ?Atau malah Saudara hendak mengatakan saya "mengindolakan" Buddha dengan mengatakna Buddha is the best ?


Quote
1. Apakah Sang Buddha pernah minta diakui sebagai guru? Toh, beliau pernah mengatakan bahwa siapapun boleh datang belajar dengan-Nya, kalau tidak mendapatkan faedah apa2, boleh pergi meninggalkan-Nya. Ini bukan sikap sombong seseorang yang gila hormat.
kalau tidak salah disini ada Dhammapadda, coba di buka dan baca, karena saya membaca dalam Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, disebutkan seperti itu...Dan seperti permintaan saya sebelumnya coba kita "cabut" dulu semua label "arahat" dan "buddha", kalau saya mencabutnya seperti yang telah saya jelaskan pada quote sebelumnya, saya akan melihatnya dalam 2 point, dan dalam point pertama ini, tampak luar Buddha terlihat seakan hendak mengatakan " SAYA GURUMU, KAMU MURIDKU, SAYA LEBIH TINGGI, KAMU LEBIH RENDAH " >> nah jelas ini asumsi saya, kacamata umat awam, karena saya makhluk biasa yang belum tercerahkan dan tidak memiliki kemampuan apapun..Sama seperti kasus Saudara melihat pernyataan Saudara Adi yang mengatakan "buddha is the best", langsung muncul "ego" anda yang masih awam mengatakan saudara adi mengindolakan Buddha, dst dstnya...

sama juga saya analogikan dengan diri saya yang melihat sepenggal kisah dimana Buddha menalukan Para Petapa seperti 3 Kassapa bersaudara yang memuja api, atau seperti kisah Buddha menunjukan kemampuan saktinya kepada 6 Petapa Aliran sesaat di bawah pohon mangga, dan Buddha menjawab pertanyaan raja bahwa "Peraturan yang dia tetapkan hanya untuk "para siswanya" tidak berlaku untuk diriNya sendiri">> nah seakan-akan pernyataan ini penuh dengan kesombongan bukan ?Tapi apakah yang "tampak luar" itu bisa "dipercaya" ?

Quote
2. Pertapa tersebut pasti memiliki kebijaksanaan (prajna) yang memungkinkan ia mencapai suatu tingkat pencerahan tertentu dari hanya dengan mendengar.  Kemudian, ketika ia mendengar ajaran Sang Buddha, maka ia bisa langsung melihat apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah benar.  Seperti orang yang matanya bersih ditunjukkan sesuatu yang sebelumnya ia abaikan oleh seseorang yang matanya lebih jernih, lantas berkata, "benar sekali apa yang kamu tunjukkan, sebelumnya saya tidak melihanya." Hal ini dikarenakan praktik-praktik yang dijalani olehnya pada sebelumnya, sehingga ketika pada waktunya telah matang ia bertemu dengan Sang Buddha dan menikmati hasil dari praktiknya. Ini bukan pengakuan buta atas kata-kata Sang Buddha.


Nah, oke kalau anda bilang begitu, lantas bagaimana dengan kisah Angulimala ?dalam kitab yang saya baca, setelah Buddha menjelaskan kepadanya Dhamma, Angulima saat itu belum tercerahkan, tetapi sudah menyatakan Tisarana..Nah, kalau itu bagaimana ? Atau dalam beberapa kasus banyak yang menyatakan Tisarana, tetapi belum tercerahkan, contoh nyatanya Raja yang membunuh ayahnya Raja Bimbisara ( saya sudah lupa rajanya namanya siapa yang berkawan dengan Devadatta ), nah kalau itu menurut ada bagaimana ? Dalam kasus ini mereka "belum mencapai" tingkat pencerahan apapun lho, tapi sudah memiliki "saddha" terhadap Buddha hanya dengan "mendengarkan" Dhamma dari Bhagava, bahkan si Raja pembunuh orang tua tersebut "tidak" bisa mencapai pencerahan, tetapi memiliki tisarana terhadap Buddha..

Tahukah anda seberapa besarkan jasa berlindung dan menyakini Buddha ?Seperti kasus Devadata yang pada akhir hayatnya(sebelum ditelan ke neraka avici ) yang berteriak "Aku berlindung kepada Buddha", dan Buddha sendiri meramalkan setelah menjalani masa-masa penderitaannya dia akan dapat mencapai pencerahan sebagai Pacceka Buddha..Bahkan banyak kisah lagi yang tidak bisa saya jelaskan mengenai manfaat dari keyakinan terhadap Buddha, yang seringkali dianggap sebagai "fanatisme" terhadap Buddha..

Saya tidak mau menyebutnya "fanatisme" bahkan ketika orang disekelilingi saya menyebut "saya fanatisme", saya menyebutkan sebagai "tekad"... :)

Mohon tanggapannya...thanks

41
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 17 November 2011, 09:55:32 AM »
Mari, kita coba merangkumkan beberapa pernyataan Saudara Sobat mengenai keberadaan Tiratana dan kita akan mencoba mengkaji apa sebenarnya "ciri-ciri" keyakinan menurut Saudara sobat, dan apa yang dimaksudkan dengan "pengindolaan" seperti yang di arahkan kepada Saudara Adi, karena Saudara adi mengatakan bahwa dia mengakui "Buddha sebagai yang paling best ( yang tercerahkan, yang tersempurnakan, yang tindak-tanduknya sempurna, sesuai Buddhanussati, perenungan terhadap Buddha menurut saya ).Karena saya sedikit bingung, mengapa orang yang mengatakan "the best" dipertanyakaan ?Bukankah malah Buddha mengimbau kita selalu merenungkan kualitas-kualitas Buddha ( Buddhanusatti ), yang menurut saya kalau diterjemahkan secara gamblang ya "Buddha is the best "

beberapa point pernyataan yang berhasil saya rangkum dan cukup menarik untuk di diskusikan :

Sobat said :

1."Saya tidak pernah tahu apakah saya meragukan atau mempercayai ajaran Sang Buddha Gotama, bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng: Yang pasti saya mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari2 saya. Bahkan kalau seandainya ada bukti sangat ilmiah yang menyatakan bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada atau sebenarnya bukan orang suci, saya tidak akan peduli: Praktik Buddhadharma saya tidak akan terpengaruh.

Menurutmu ini disebut apa? ragu atau yakin?"


Sobat said :

2."Buddha dalam Trisarana bukan soal figur historis. Berserah total kepada Sang Buddha adalah berserah total pada Kebijaksanaan dan Cinta kasih, potensi pencerahan yang ada dalam di dalam setiap makhluk hidup.


Sobat said :
3."Lagipula, ketika saya menerima Trisarana, sebenarnya saya telah menerima bahwa Hakikat Kebuddhaan ada di dalam diri saya dan di dalam setiap makhluk hidup secara natural. Dikarenakan Citta adalah Buddha, Buddha adalah Citta. Menolak adanya Hakikat Kebuddhaan dalam diri saya dan dalam setiap makhluk hidup adalah kemunduran dalam praktik: mengabaikan Citta. Bagaimana mungkin saya bisa menolak Buddha ?"


sobat said :
4."Dimulai dari menyadari kehidupan coraknya adalah dukkha (dipenuhi oleh ketidakpuasaan), anitya (berubah-ubah), dan anatman (tidak memiliki inti) dikarenakan makhluk hidup dikuasai oleh kegelapan batin dan nafsu, lantas meyakini adanya hakikat Kebuddhaan dalam setiap makhluk hidup, mengembangkan tekad untuk mencapai pelepasan, selanjutnya mempratikkan enam paramita (dana, sila, ksanti, virya, dhyana, prajna) serta metta, karuna mudita, & upeksa,  untuk mencapai pantai seberang, yaitu padamnya nafsu dan persepsi.  Inilah praktik "Buddhadharma" saya."

sobat said :
5."Dengan merelakan atau melepasan apa yang dimiliki selama ini (kualitas-kualitas yang dipenuhi oleh lobha, moha, dan dosa), maka kita mulai menyerahkan diri kepada kualitas Kebuddhaan tersebut."

sobat said :
6."Keyakinan akan Trisarana, sebagaimana yang saya pahami dalam Mahayana (maaf kalau tidak sama dengan di Theravada), adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, yang berarti mengabdikan selalu upaya kita, segenap tubuh dan batin kita, untuk mempraktik Buddhdharma guna mencapai pelepasan tertinggi. "Berlindung" dalam hal ini adalah melepaskan keangkuhan ego."



pertanyaan dari saya untuk point - point di atas :

- Untuk point 1, saya bingung dengan pernyataan yang berstandart ganda dari Saudara Sobat, itu seperti pertanyaan dari petapa aliran sesat yang bisa di baca dalam Tipitaka keluaran DC, atau dalam beberapa sutta ( dimana petapa tersebut menjawab pertanyaan umatnya dengan kata , " Antara Ya atau Tidak " )

Saudara Sobat sendiri tidak tahu mengenai kondisi batinnya, apakah dia meyakini Tiratana dan berlindung dalam Tisarana, bahkan dia menyatakan tidak peduli tentang hal tersebut, lha...sedangkan Buddha menekankan dalam Dhammanussati untuk MENYELIDIKI...So...????Orang yang bahkan tidak tahu mengenai dirinya sendiri, bagaimana sih caranya dia melakukan praktik BuddhaDhamma ?Ibarat seseorang memakan sepiring masakan dari Chief Handal, orang tersebut memakan masakan tersebut karena percaya dari historynya Chief Handal tersebut ( biografi ) dan setelah percaya dengan "kemampuan" Chief tersebut baru memesan makanan, dan setelah dimakan(diselidiki/ehipasiko) ternyata terbukti "enak" maka dari kepercayaan tersebutlah timbul "keyakinan"..

Nah, kalau saudara sobat sendiri gimana ya ?karena dalam point 2 s/d 6, seakan-akan yang saya lihat Saudara Sobat membombandir soal praktik BuddhaDhamma, lha, dari point 1 Saudara bilang "tidak peduli", point selanjutnya Saudara malah membombandir praktik Buddha seakan-akan praktik tersebut adalah pasti benar, nah darimana saudara memiliki "keyakinan" tersebut ?

Jangan-jangan itu hanya seperti yang Saudara katakan, "pengindolaan", kalau bro Adi disebut "pengindolaan terhadap sosok figur Buddha", kalau anda bisa tidak disebut sebagai "pengindolaan terhadap ajaran Buddha" ?

Mohon dijawab...thanks

42
Chan atau Zen / Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« on: 17 November 2011, 09:05:03 AM »
Dalam Mahayana juga terdapat Trisarana, yang rumusannya sama dengan yang ada di Theravada. Dalam hal ini saya juga sudah menerima transmisi Trisarana, dan sampai hari ini kalau ada waktu luang saya selalu megulang Trisarana secara mandiri. Jadi kalau soal keraguan akan "iman" saya, seperti  yang didesakkan terus oleh Bro Adi Lim, sebenarnya tidak diperlukan.

Yang saya ajak untuk direnungkan bersama adalah, soal makna Trisarana itu sendiri.

Maaf nyela, saya sudah baca dari awal ( menurut saya yang dipertanyakan saudara sobat adalah "kepercayaan" yang dimiliki oleh adi terhadap Buddha ( Triratana ), ini menurut saya setelah saya membaca beberapa komentar saudara sobat dan adu argumentasi antara bro sobat dan bro adi ), jadi saya nimbrung bertanya, apakah yang saudara sobat maksudkan dalam kata ,"
Dalam hal ini saya juga sudah menerima transmisi Trisarana, dan sampai hari ini kalau ada waktu luang saya selalu megulang Trisarana secara mandiri" dan "Yang saya ajak untuk direnungkan bersama adalah, soal makna Trisarana itu sendiri."

1.Bro sobat apabila ada waktu luang selalu melafalkan Tisarana atau Tiratana(???) secara mandiri, melafalkan tisarana untuk apa ya bro ?
2.Merenungkan Tisarana atau Tiratana dalam kaitannya untuk apa?

Quote
Ketika Bro Adi Lim, berkata bahwa Buddha Gotama adalah Guru yang THE BEST, sebenarnya apakah yang dimaksud? Apakah ini adalah bentuk keyakinannya akan Sang Buddha dan ajaran-Nya atau semata pemujaan akan suatu figur semata dengan memberinya label "keyakinan akan Tisarana"?
Menurut saya, ini tergantung pribadi masing-masing, karena kalau tidak salah murid Buddha ( YM Ananda ) atau umat awam ( Anathapindika ) pernah bertanya kepada Buddha soal ini, dan Buddha menjawab didalam salah satu suttanya ,"Benar, bahwa apabila seseorang hanya dengan menyakini Buddha Dhamma Sangha ( Buddha saja juga bisa ), maka pada kelahiran selanjutnya di akan lahir di alam yang lebih berbahagia " ( walau pun tujuan umat Buddha adalah mengakhiri dukkha (nibbana), tapi kita kesampingkan yang ini dlu ).

Nah, apakah keyakinan bisa diukur ?Bisa saja seseorang "terlihat" fanatik dalam hal tertentu, tapi bisa saja "prateknya" lebih nyata daripada orang yang omdo ( omong doang ).

Quote
Keyakinan akan Trisarana, sebagaimana yang saya pahami dalam Mahayana (maaf kalau tidak sama dengan di Theravada), adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, yang berarti mengabdikan selalu upaya kita, segenap tubuh dan batin kita, untuk mempraktik Buddhdharma guna mencapai pelepasan tertinggi. "Berlindung" dalam hal ini adalah melepaskan keangkuhan ego.

Sedangkan, mengartikan keyakinan akan Trisarana sebagai pemujaan/pengidolaan akan suatu figur adalah sama sekali adalah hal yang berbeda. Hal ini hanya melahirkan rasa kepemilikan akan figur tersebut, seperti konsep Guru-KU, Dharma-KU, Sangha-KU yang TERBAIK, yang secara tersirat di dalam DIRI munculkah peng-AKU-an Trisarana sebagai keyakinan dirinya.

Seperti pertanyaan saya sebelumnya, pribadi orang berbeda-beda dan soal keyakinan itu tidak bisa / sulit untuk diukur secara kasat mata, apalagi bila kita tidak memiliki kemampuan apapun seperti kemampuan yang di milik oleh para Arahat atau SammaSambuddha dalam memberikan "komentar" terhadap suatu "objek"(dalam hal ini makhluk hidup), nah mengatakan Sang Buddha sebagai "the best" , apakah bisa dikategorikan sebagai "pemujaan/pengindolaan"?Apakah para umat awam dan para raja pada zaman keemasan Buddha, membangun segala keadaan yang mewah ( seperti Vihara, taman Veluvena, taman milik Anathapindika yang menghabiskan ribuan ton emas, bisa disebut pengindolaan terhadap Buddha ?Karena pemberiaanya seakan-akan "memaksa" dan terlalu "mewah" untuk seorang yang Tercerahkan, Sempurna dan tidak melekat pada bentuk duniawi apapun lagi )

Jadi, apa kriteria orang yang termasuk "pengindolaan" dan "bukan pengindolaan" menurut bro sobat ?

Quote
Ketika seseorang mengatakan bahwa Guru-KU adalah yang THE BEST, maka sebenarnya di dalam dirinya secara diam-diam tersirat bahwa AKU adalah yang THE BEST. Karena yang THE BEST adalah adalah Guru-KU, sedangkan Guru-MU adalah sebaliknya: THE WORST. Karena itu kemudian dalam pikirannya ia berkata "Kalau kamu tidak mau mengikuti Guru-KU dan keyakinan-KU akan Guru-KU, maka kamu sebenarnya adalah bodoh. Betapa beruntungnya diri-KU karena telah mendapatkan Guru-KU yang THE BEST dan betapa sialnya kamu yang tidak mau meng-AKU-i Guru-KU sebagai yang THE BEST." Sebenarnya, seakan-akan ia memuja Guru-nya, namun orang ini sebenarnya hanya sedang memuja Ego-nya: karena yang dipuja adalah "Guru-KU, bukan Guru-MU," "Dharma-KU, bukan Dharma-MU, Sangha-KU, bukan Sangha-MU"

Bukankah ini semua ada "asumsi" dari bro sobat?apakah mungkin asumsi ini muncul karena dalam "ego" bro sobat muncul segala sesuatu yang berlawanan dari yang disebutkan di atas ini ?

Coba tilik dalam beberapa sutta ( dalam hal ini berdasarkan sutta yang pernah saya baca ), bahwa seringkali petapa yang berpandangan salah yang telah di cerahkan oleh Buddha ( dalam hal ini mencapai 4 tingkat kesucian atau hanya sekedar memiliki "saddha" kepada Tiratana dan menyatakan Tisarana ), ketika umat pengikut petapa pandangan salah ini datang, dan melihat Buddha dengan petapa berpandangan salah, maka ketika itu sering diakhir cerita bahwa petapa yang telah "diluruskan" terbang ke atas menyatakan "Buddha adalah gurunya" atau petapa tersebut bersujud, dll, nah kalau kita membaca dengan adanya label "telah tercerahkan" , "telah mencapai arahat, anagami, sakadagami, sotapanna" mungkin kita bisa memakai argumentasi "oh, itu karena si petapa sudah mencapai A,B,C,D otamatis itu bukan "kemelekatan" itu "saddha", nah bagaimana kalau kita cabut semua "label" tersebut untuk sementara, kalau bro sobat melihatnya itu sebagai apa ?

Kalau dengan kacamata awam, saya bisa melihatnya sebagai :
1. Kesombongan Buddha untuk diakui sebagai "guru" dibandingkan petapa sesat tersebut
2. Petapa mengakui "apa yang diajarkan oleh Buddha" adalah sebagai benar menurut petapa tersebut, walau dalam hal ini, kita semua tahu bahwa petapa tersebut hanya "mendengarkan khotbah dari Sang Bhagava" belum mempraktikan, jadi menurut anda ini "keyakinan" atau "pengindolaan"?


Quote
Jika Trisarana dianut dengan cara demikian, maka seseorang akan sulit "berlindung", yaitu melepaskan egonya untuk berserah diri kepada praktik Buddhadharma. Daripada mengenali Budhadharma melalui praktik, ia hanya semakin menyimpang pada pemujaan buta akan ego-nya sendiri dan kemudian berpuas diri.

Saya dalam hal ini, hanya berharap Bro Adi Lim bukanlah yang demikian. Karena itulah saya bebincang-bincang dengannya sejenak untuk lebih mengenali motif dibalik kata-katanya.       


seperti komentar-komentar saya di atas sebelumnya...mohon tanggapannya...anumodana...

43
Theravada / Re: Masihkah mau membedakan aliran Theravada dan Mahayana
« on: 10 November 2011, 11:59:57 AM »
sapi dan kerbau again...haha

44
Tolong ! / Re: SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
« on: 10 November 2011, 11:38:32 AM »
pertanyaan di atas di ubah ya..sudah dapat jawabannya, yakni "wajib lapor pajak" , terutama SPT PPh  Orang Pribadi..

yang jadi masalah ini :
Ikut nimbrung, saya juga sedang kewalahan dibuat oleh orang pajak, kemarin tahun 2010 saya bekerja di perusahaan swasta yang cukup besar di daerah medan, kemudian saya dibuatkan NPWP oleh perusahaan tersebut, hari ini tertanggal 11 Nov 11 saya menerima surat teguran No : S3370/WPJ.01/KP.0203/2011 untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Orang Pribadi..

yang menjadi pertanyaan saya adalah :
1.) Saya tidak tahu tata cara pelaporan tersebut dan saya kira perusahaan yang mengurus untuk kita dimana NPWP saya sendiri dibuat oleh perusahaan dimana tempat saya bekerja.
2.) Saya tidak bekerja kurang lebih dari 2 bulan ( sudah mengundurkan diri dari perusahaan sebelum masa percobaan(training) selama 3 bulan dengan alasan bentrok dengan jadwal kuliah saya, sehingga tidak memungkinkan saya untuk terus bekerja diperusahaan tersebut ), sehingga sewaktu saya telah keluar ( mengundurkan diri ) dari perusahaan tersebut, saya tidak tahu mengenai NPWP tersebut dan bagaimana cara pelaporannya.
3.) Setelah saya menerima surat teguran No : S3370/WPJ.01/KP.0203/2011 untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Orang Pribadi..Saya menjadi heran ( walau itu tidak masalah bagi saya sebagai warga negara yang taat hukum ), tetapi yang aneh adalah surat teguran tersebut diterbitkan pada tanggal 11 Oktober 2011, dan saya terima pada tanggal 11 November 2011, ini kan ada?Masa terpending 1 (satu) bulan setelah surat ditekan oleh Kepala Seksi Pelayanan padalah batas penyampaian surat teguran hanya berlaku selambat-lambatnya sejak tanggal Surat Teguran diterbitkan? >> ini masalahnya ada di POS nya atau di PELAYANAN PAJAKNYA ? >> setelah saya konfirmasa, orang tua saya menerima suratnya begitu saja tanpa tanda tangan bukti penerimaan ??

jadi saya hendak mengurus surat teguran, hanya saja saya telah berhenti bekerja dan tidak mempunyai penghasilan, lantas formulir apa yang hendak saya isi ?Apakah saya tetap dikenakan sanksi dengan dalam kasus ini ?Mohon konfirmasi dan bantuannya Pak, sebelumnya saya ucapkan terima kasih..

Seblum saya ke kantor pajak, saya cari-cari dulu pengetahuan pajak, sebelum dikadalin sama orang pajak di kantor pajak nantinya...

45
Tolong ! / Re: SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
« on: 10 November 2011, 10:54:38 AM »
Bagaimanakah tata cara pengisian SPT Pajak Penghasilan Orang Pribadi untuk Pejabat Negara, PNS dan Anggota TNI?

Tata Cara Pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi untuk Pejabat Negara, PNS dan Anggota TNI
(SE - 17/PJ.23/1989)
1.    

Daftar penghasilan pejabat negara, PNS, dan anggota TNI yang dikeluarkan bendaharawan gaji, berlaku sebagai bukti formulir SPT 1721.A1 dan dilampirkan pada SPT 1770 S
2.    

Apabila PPh yang terutang lebih besar dari Kredit PPh Pasal 21, maka PPh yang diperhitungkan sebagai kredit pajak adalah sebesar PPh yang seharusnya terutang/dipotong, sedangkan apabila PPh yang terutang lebih kecil dari Kredit PPh Pasal 21, maka PPh yang diperhitungkan sebagai kredit pajak adalah PPh yang terutang yang lebih kecil tersebut.
3.    

Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa tunjangan lainnya yang tidak melekat pada gaji, misalnya honorarium atau imbalan jasa lainnya yang dananya disediakan dalam DIK Departemen ybs adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas PKP.  Kemudian Jmlah PPh yang diperoleh dikurangi dengan Kredit PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan yang termasuk dalam daftar gaji. Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajaknya maka harus dilunasi sendiri oleh pegawai tersebut
4.    Kesimpulan :
     a.    

Apabila karyawan yang menerima penghasilan hanya dari bendaharawan gaji instansi yang bersangkutan maka PPh yang terhutang pada SPT 1770 S, dianggap sama (disamakan), sehingga tidak ada sisa #Kurang Bayar# atau #Lebih Bayar#
     b.    

Apabila Karyawan tersebut juga menerima penghasilan diluar Bendaharawan gaji instansinya sendiri ( honorarium ataupun imbalan jasa lainnya) sehingga mengakibatkan terdapat kekurangan setor PPh dalam perhitungan SPT 1770 S, maka kekurangan tersebut harus dibayar sendiri, dan apabila ada kelebihan dapat direstitusi.

Contoh :

Tuan A, status TK/0,  PNS di Departemen Keuangan dengan data penghasilan sebagai berikut :
Penghasilan Neto    Rp    15.600.000,-    
Kredit PPh Pasal 21    Rp        670.000,-    
Pengisian SPT              
Penghasilan Neto             Rp    15.600.000,-    
PTKP     Rp     2.880.000,-    
             
Penghasilan Kena Pajak    Rp    12.720.000,-    
PPh Terutang    Rp     6.360.000,-    
Kredit PPh Pasal 21 *)    Rp     6.360.000,-    
PPh Yang harus dibayar sendiri         N I H I L    
*) Kredit PPh Pasal 21 yang diperhitungkan adalah sebesar PPh yang seharusnya terutang meskipun lebih kecil, yaitu Rp 6.360.000


>>> Ini maksudnya apa ya ?saya kurang mengerti...

Pages: 1 2 [3] 4 5 6 7 8 9 10 ... 281