http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2006-05/msg00897.htmlKisah di Balik Sebuah Jenazah
Dari: Romo Buyung Wahab <buyungwhb [at] xxxxxxxxx>
Romo Hudoyo yth.,
Berita ini saya copy dari harian Sinar Harapan tanggal 27 Mei (hari ini), untuk informasi Romo.
Saya sudah tidak bisa berkomentar lagi atas hal ini.
Salam metta,
Buyung W.
JENAZAH BHIKSU ASAL THAILAND DIKREMASI DI CANDI BOROBUDUR
Borobudur-Jenazah Bhiksu Vin Vijjano (83) rencananya dikremasi di Bukit Dagi sebelah Barat Daya Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Minggu (28/5).
Ketua DPP Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Siti Hartati Murdaya di Borobudur, Jumat mengatakan, prosesi kremasi dilakukan secara alami seperti tokoh India Mahatma Gandhi.
Jenazah Bhiksu Vin Vijjano tiba di kompleks Candi Borobudur, Jumat (26/5) siang, setelah diberangkatkan dari Jakarta. Kedatangan jenazah disambut sejumlah bhiksu dan umat Buddha Walubi. Kini jenazah disemayamkan di rumah tenda berukuran 270 meter persegi yang didirikan sekitar 300 meter dari Bukit Dagi. Rumah tenda itu sekaligus untuk ibadah mendoakan Bhiksu Vin oleh para bhiksu sangha dan umat Buddha.
Bhiksu Vin atau sering disebut Bante Win mangkat di RS Mount Elizabeth Singapura 6 Mei 2006 sekitar pukul 09.15 WIB, pada 8 Mei 2006 jenazahnya dibawa ke Jakarta dan disemayamkan di Vihara Buddha Metta.
Pada 12-13 Mei 2006 jenazah disemayamkan di Hall C1 Arena Parkir Timur Senayan Jakarta bertepatan Hari Waisak 2006 yang dilaksanakan Walubi.
Bante Win lahir 17 November 1923 di Surat Thani Desa Sriwijaya Kabupaten Phun Tin, Thailand. Dia datang ke Indonesia 12 Juli 1989 sebagai Ketua Dhammadatu Thailand.
Hartati mengatakan, kremasi terhadap pemimpin umat Buddha di Candi Borobudur itu pertama kali dilakukan di Indonesia. Hingga saat ini umat Buddha Indonesia tidak memiliki tradisi kremasi seperti halnya dilakukan terhadap bhiksu di Thailand yang mangkat.
Ia mengaku, sempat terjadi pembicaraan serius tentang rencana kremasi Bante Win di Borobudur antara pihaknya dengan Pemerintah Thailand dan sejumlah saudara almarhum. Mereka menginginkan pengabuan jenazah Bante Win di Vihara Kerajaan Thailand. ?Tapi akhirnya disepakati di Borobudur,? katanya.
Sementara itu, Lembaga Penelitian Buddhis Indonesia (LPBI) menilai tindakan Ketua Umum DPP Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Dra Siti Hartati Murdaya MBA menyalahi ajaran agama Buddha karena mempertahankan dan memindah-mindahkan jenazah seorang bhiksu yang telah meninggal dunia. Bhiksu tersebut meninggal 5 Mei 2006 lalu karena sakit. ?Namun, jenazahnya baru dikremasi Minggu (28/5) besok,? kata Sekretaris Lembaga Penelitian Buddhis Indonesia (LPBI), Hamdhani Wiryana Ks di Jakarta, Sabtu (27/5). (ant/pr/kbn)
Copyright © Sinar Harapan 2003
===============================================
CATATAN HUDOYO:
Bhante Win pertama kali datang ke Indonesia bukan pada tahun 1989, melainkan jauh sebelum itu, yakni pada tahun 1968! Beliau datang sebagai ketua rombongan Dhammaduta dari Sangha Thai terdiri dari empat bhikkhu senior yang dikirim ke Indonesia memenuhi permintaan Sangha Suci Indonesia (sekarang Sangha Agung Indonesia) yang pada waktu itu diketuai oleh YM Ashin Jinarakkhita. Rombongan keempat bhikkhu Thai itu langsung menuju ke Vihara Vimala Dharma di Bandung, di mana saya ikut menyambut mereka.
Sementara ketiga bhikkhu rekan beliau hanya menetap di Indonesia selama beberapa bulan saja dan kemudian pulang kembali ke Thailand, Bhante Win berkali-kali bolak-balik antara Thailand dan Indonesia. Sebagai salah seorang murid beliau, saya tahu betul minat dan perjuangan Bhante Win untuk mengembangkan Buddha Dhamma di Indonesia, yang pada waktu itu masih dalam taraf perintisan.
Terakhir Bhante Win menetap di Vihara Buddha Metta, Jakarta, sebagai pembimbing spiritual Walubi. Sementara itu Agama Buddha di Indonesia berkembang pesat dan berdirilah Sangha Theravada Indonesia (STI). Sayang sekali hubungan antara STI dan Walubi yang dimotori oleh Hartati Murdaya (HM) tidak begitu akrab. Sebagai dampak dari pertentangan itu, hubungan antara Bhante Win dan STI pun tidak begitu akrab. Di lain pihak, HM/Walubi malah memrakarsai atau mendukung dibentuknya sebuah Sangha Theravada tandingan di Indonesia.
Bhante Win meninggal dunia di Singapura pada tgl 6 Mei 2006, dan jenazahnya dibawa ke Indonesia pada tgl 8 Mei. Mula-mula jenazah beliau disemayamkan di Vihara Buddha Metta, tempat domisili beliau yang terakhir.
Rencana pengelolaan jenazah Bhante Win disiarkan melalui berbagai milis pada tgl 9 Mei pk 05:46 atas nama Forum Komunikasi Umat Budha FKUB DKI Jakarta oleh Budiman Sudharma, sebagai berikut:
- Tanggal 8 s/d 12 Mei 2006, disemayamkan di Vihara Buddha Metta, Jalan Terusan Lembang, Jakarta.
- Tanggal 13 Mei 2006 pagi disemayamkan di PRJ, Kemayoran.
- Usai detik suci Waisak langsung menuju Bandara untuk diterbangkan ke Yogyakarta, tiba di Pendopo Taman Wisata Candi Borobudur sekitar Jam 3 Sore.
- Jam 4 Sore diusung mengelilingi Candi dan naik sampai ke Puncak diiringi umat Pelayat.
- Jam 5 Sore kembali ke Pendopo untuk memberi kesempatan umat bernamaskara memberi penghormatan terakhir.
- Jam 7 malam Upacara pembacaan Paritta Penyaluran Jasa oleh Sangha Thailand iikuti umat.
- Tanggal 14 Mei 2006 pagi menuju Bandara Adisucipto (Yogyakarta) untuk diterbangkan ke Bangkok (Thailand)
Setelah mendapat protes dari berbagai pihak, ternyata rencana itu dibantah ketika ditanyakan ke Vihara Buddha Metta. Tidak ada penjelasan resmi dari pihak Forum Komunikasi Umat Budha FKUB DKI Jakarta maupun dari Budiman Sudharma sendiri.
Namun, menjelang Hari Waisak tgl 13 Mei 2006, ternyata jenazah Bhante Win dipindahkan dari Vihara Buddha Metta ke Hall C Pekan Raya Jakarta, dekat tempat upacara peringatan Waisak Walubi. Tindakan Walubi ini dapat dipahami, oleh karena tentu saja jenazah beliau tidak bisa terlalu lama disemayamkan di Vihara Buddha Metta dengan menutup jalan umum di muka vihara. Tentu hal itu akan menimbulkan protes dari warga setempat.
Sementara itu, kesimpangsiuran kembali mencuat tentang bagaimana jenazah Bhante Win akan dikelola lebih lanjut setelah peringatan Waisak berlalu. Ada berita bahwa jenazah beliau akan disemayamkan di Vihara Vipassana Graha, Lembang, selama sebulan, sebelum diterbangkan ke Thailand untuk diperabukan di sana.
Lain lagi keterangan Hartati Murdaya kepada Jawa Pos yang dimuat pada hari Minggu, 14 Mei 2006, di mana diberitakan: "Rencananya, imbuh Sri Hartati, lusa jenazahnya diterbangkan ke Bangkok untuk disemayamkan."
Namun kemudian ternyata HM mengubah pernyataannya sendiri. Menurutnya kepada Suara Pembaruan tgl 27 Mei 2006, sebagaimana diberitakan harian itu:
"Ia [HM] mengaku, sempat terjadi pembicaraan serius tentang rencana kremasi Bante Win di Borobudur antara pihaknya dengan Pemerintah Thailand dan sejumlah saudara almarhum. Mereka menginginkan pengabuan jenazah Bante Win di Vihara Kerajaan Thailand. 'Tapi akhirnya disepakati di Borobudur,' katanya."
Mengapa sebelumnya ada berita bahwa setelah peringatan Waisak di PRJ, jenazah Bhante Win akan disemayamkan dulu di Lembang SELAMA SEBULAN sebelum diterbangkan ke Thailand? Mengenai hal ini pun diperoleh berita yang simpang siur. Apa yang sesungguhnya terjadi di kalangan Sangha Thai di Thailand sana?
Menurut sementara kalangan yang dapat dipercaya, Sangha Thai tidak begitu berminat untuk menerima dan memperabukan jenazah Bhante Win di Thailand pada saat ini. Konon alasan yang dikemukakan ialah bahwa di Thailand pada waktu ini sedang berlangsung rangkaian acara peringatan 60 tahun Raja menaiki tahta. Malah konon Sangha Thai menyarankan agar Bhante Win diperabukan di Indonesia saja.
Tetapi apakah hanya itu alasan Sangha Thai untuk menolak jenazah Bhante Win pada saat ini? Bagaimanakah hubungan antara Bhante Win selama ini dengan Sangha induknya, Sangha Thai?
Seperti diketahui, hampir 40 tahun lamanya Bhante Win bermukim di Indonesia, sekalipun beliau selalu bolak-balik pulang-pergi ke Thailand. Timbul pertanyaan, apakah ini sesuai kebijakan Sangha Thai yang dulu mengutus beliau? Ini jauh lebih lama daripada masa bakti ketiga rekan bhikkhu beliau yang datang ke Indonesia sebagai Dhammaduta dari Sangha Thai kepada Sangha Suci Indonesia pada tahun 1968 dulu.
Kemudian, apakah kebijakan, sikap serta tindakan Bhante Win sehubungan dengan situasi Sangha Theravada dan umat Buddha Theravada di Indonesia selama ini disetujui sepenuhnya oleh Sangha Thai?
Itulah beberapa aspek politik Sangha tingkat tinggi, yang seharusnya perlu diketahui secara transparan oleh umat Buddha Indonesia yang kritis.
***
Pada hari ini, 28 Mei 2006, menurut rencana Walubi jenazah Bhante Win akan diperabukan tidak jauh dari Candi Borobudur. Sebentar lagi putuslah benang terakhir yang menghubungkan almarhum Bhante Win dengan ruang & waktu dari kehidupan beliau yang baru lalu. Semoga Bhante Win dapat meneruskan perjalanan beliau dengan lapang dan tenang menuju pencerahan dan pembebasan terakhir.
Salam,
Hudoyo
=============================================
INFORMASI TAMBAHAN
[Ketika naskah artikel di atas selesai saya ketik dan saya mintakan saran perbaikan kepada beberapa tokoh Buddhis Theravada Indonesia yang saya anggap mengetahui betul hal-hal di seputar kedatangan dan peran Bhante Win alm. dalam perkembangan Agama Buddha maupun Sangha di Indonesia di masa lampau, saya memperoleh masukan yang sangat berharga dilihat dari segi sejarah Agama Buddha di Indonesia. Berikut ini masukan dari tokoh Buddhis yang menggunakan nama samaran H. Sudarsono itu saya muat selengkapnya setelah saya edit seperlunya./hudoyo]
Jakarta, 28 Mei 2006
Namo Buddhaya,
Saya akan melengkapi catatan tentang kedatangan Bhante Win ke Indonesia:
(1) Setelah upasampada Bhante Girirakkhito dan Jinaratana di Bangkok, ada rencana dari Bhante Ashin Jinarakkhita dan Bpk Suraji Ariakertawijaya (Ketua Perbudi pada waktu itu) untuk mempercepat penyiaran Dhamma di Indonesia dengan menambah jumlah bhikkhu. Hal ini dimulai dengan kedatangan Lord Abbot Wat Paknam (Mahanikaya) dan Lord Abbot Wat Bovoranives (sekarang Sangharaja) ke Indonesia, dan dilanjutkan dengan kedatangan 4 Dhammaduta Thai (Bhante Win, Bh. Khemasarano, Bh. Maha Sujib, Bh. Khemacaro; yakni dua bhikkhu dari kelompok Mahanikaya, dan dua bhikkhu dari kelompok Dhammayuttika di Thailand). Pada waktu itu Bpk Suraji, dengan kartu pengenal-(Jenderal)-nya, dapat melewati loket imigrasi Bandara Kemayoran untuk langsung menuju kaki tangga pesawat menjemput kedatangan para bhikkhu.
(2) B. Win dan B. Khemacaro berkesempatan tinggal di Cetiya Prajna Dipa, Jl. Tanah Abang II/38, untuk belajar bahasa Indonesia.
(3) Setelah izin tinggal di Indonesia habis, keempat bhikkhu Dhammaduta itu kembali ke Thailand. Ternyata yang kembali lagi ke Indonesia hanya bhikkhu-bhikkhu dari kelompok Dhammayuttika. Bh. Jinaratana pada waktu itu menjelaskan bahwa ada kebijakan dari Pemerintah/Sangha (?) Thailand untuk menahbiskan 200 bhikkhu dalam waktu singkat. Hal ini bisa dikonfrimasikan lagi kepada Romo Pandit Kaharuddin. Barangkali seperti adanya Sangha Thai di Sri Lanka.
(4) Hal ini menjadi kontroversi. Sejak itu Bh. Ashin (Sangha Suci Indonesia) tidak lagi mengundang Dhammaduta Thai. Barangkali ada ketidakcocokan terhadap corak atau tatacara pembinaan umat Buddha di Indonesia. Namun umat Buddha yang pada waktu itu memang sangat kekurangan bhikkhu Theravada menyambut kedatangan bhikkhu tamu itu dengan sangat antusias. Bh. Win mulai melakukan penahbisan samanera-samanera.
(5) Saya tidak tahu secara pasti siapa yang kemudian menjadi sponsor kedatangan Bh. Win. Yang saya ketahui adalah bahwa samanera-samanera yang ditabhbiskan oleh Bh. Win ini tidak ada hubungannya lagi dengan Bh. Ashin maupun Sangha Suci Indonesia. Mulailah Bh. Win mengirimkan samanera untuk penahbisan bhikkhu di Bangkok. Tentu saja hal ini sangat berbeda dengan upaya B. Ashin pada waktu mengantar samanera Jinagiri, Jinaratana dan kemudian, Pak Mochtar Rashid (Subhato) untuk upasampada di Bangkok.
(6) Bh. Win beberapa kali bolak-balik ke Indonesia sampai berdirinya Sangha Theravada Indonesia. Peranan beliau atas STI sangat besar, sehingga banyak yang menyatakan bahwa beliaulah sesungguhnya ketua STI, karena pada waktu itu hanya ada Sekjen STI, tanpa ketua formal.
(7) Pada waktu Magabudhi (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia / dahulu Mapanbudhi) keluar dari Walubi (Perwalian)
, yang dibubarkan menyimpang dari AD-ART, Bh. Win ikut berperan dalam aktivitas Walubi (Perwakilan) dengan mendukung berdirinya Majubuthi (Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia). Hal ini membuat tidak senang sebagian pengurus.
(
Dengan keluarnya STI dari Walubi (Perwalian), maka tidak ada bhikkhu Theravada dalam Dewan Sangha Walubi (Perwakilan). Dengan adanya murid2 Bh. Win yang tidak masuk dalam STI (sama seperti dahulu, karena tidak masuk dalam Maha Sangha Indonesia), maka kedudukan Bh. Win di Indonesia bertambah kuat, apalagi dikabarkan sebagai Ketua Sangha Thai di Indonesia. Hal ini menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dengan STI ditinjau dari sudut pandang perpolitikan sangha.
(9) Terlihat sekali bahwa kehadiran Bh. Win di Indonesia sangat dimanfaatkan untuk mendukung Dewan Sangha Walubi (Perwakilan) yang kontroversial itu. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau jenazah Bh. Win diusung ke sana-sini untuk popularitas Walubi dengan berbagai alasan yang tak masuk akal.
(10) Sepanjang ingatan saya, dalam sejarah Buddhis tidak pernah tercatat adanya jenazah yang diusung kesana-kemari untuk menerima penghormatan umatnya. Kalau ingin menyampaikan penghormatan yang tulus, umatlah yang harus mendatangi almarhum!
(11) Sepengetahuan saya, jenazah Bh. Win di kremasi di Bukit Dagi, bukan di Borobudur! Tetapi kenapa disebut Borobudur?
Terima kasih.
Salam metta,
H. Sudarsono
---------------------
Sejarah Walubi ini pun penuh kontroversi. Pada mulanya nama itu adalah singkatan dari PERWALIAN Umat Buddha Indonesia, yang pada zaman Orde Baru dinyatakan sebagai "wadah tunggal umat Buddha Indonesia". Ketika terjadi kericuhan di dalam tubuh Walubi (Perwalian), dan Magabudhi (dahulu disebut Mapanbudhi, Majelis Pandita Agama Buddha Theravada Indonesia) keluar dari Walubi (Perwalian), Walubi (Perwalian) pun dibubarkan--secara menyimpang dari AD/ART menurut sementara kalangan--lalu dibentuklah Walubi (PERWAKILAN Umat Buddha Indonesia), yang diketuai oleh Hartati Murdaya sampai sekarang. Namun dengan runtuhnya Orde Baru, tidak bisa lagi dipaksakan konsep "wadah tunggal umat Buddha Indonesia" sebagaimana dinikmati oleh Walubi (Perwalian) dulu. /hudoyo