3.
Para Buddhis KTPMereka, baik yang suka datang ke vihara ataupun tidak. Mereka, walaupunmempunyai kesempatan yang baik untuk mempelajari Dhamma, tetapi karenakebodohan, kemalasan, dan terbelengguoleh keserakahan, mereka tidak mempelajarinya. Walaupun mereka tidak menjalanikehidupannya seperti orang-orang dalam kelompok kedua, tetapi mereka juga dalammenjalani hidupnya – ketika berusaha mencari kebahagiaan – sangat seringmelakukan pelanggaran sila. Mereka tidak banyak tahu tentang Dhamma, bahkanpengetahuan mengenai Dana dan Sila saja sangat minim sekali. Bagi mereka yangsuka pergi ke vihara, kebanyakan hanya sebatas hafal
Tisaraṇa,
Pañcasīla, danbeberapa paritta, tanpa mengetahui artinya. Hal ini sungguh sangat menyedihkan.
Akibat pengetahuan Dhamma yang sangat minim, walaupun mereka mempunyai niatyang baik, mereka sering kali menyalurkan niat baiknya dengan cara yang salah.Contoh yang umum terjadi di lapangan adalah
praktik berdana uang, mereka mendanakan uang secara langsung kepadapara bhikkhu, sangha, atau sekelompok bhikkhu yang mengaku sebagai sangha,misalnya pada saat selesai ceramah Dhamma dari suatu kebaktian biasa ataupunpada saat perayaan hari besar umat Buddha (baik itu dipimpin oleh para ketuadan pengurus vihara ataupun para romo pandita). Contoh lain lagi adalah paraumat yang membantu para bhikkhu
menjualkanjubah yang mereka dapat saat perayaan kathina. Mereka ini, juga disebutsebagai Manusia Malang, karena walaupun sudah mengeluarkan sumber daya (uang,tenaga, dll.) yang mereka dapatkan bukanlah karma baik, melainkan karma buruk.Sehingga, tidaklah berlebihan bila dikatakan “Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga.” [ix]
Masalah praktik berdana dengan cara yang salah ini sudah begitu kuat,karena sudah lama dilakukan. Hal ini bukan hanya terjadi pada orang dewasa ataupara orang tua, bahkan para mahasiswa juga mengira hal ini adalah hal yangbenar. Contohnya adalah ketika penulis selesai berceramah Dhamma untuk paramahasiswa Universitas Bina Nusantara, Jakarta (11/03/2011), mereka berusaha memberikanuang dalam amplop kepada penulis dan ketika ditolak, mereka kebingungan. Yanglebih parah lagi adalah para guru (bahkan guru pelajaran agama Buddha) mengajarkanpara muridnya untuk melakukan cara berdana yang salah ini. Pada tanggal19/05/2011 penulis diminta berceramah Dhamma dalam rangka menyambut perayaanWaisak di sekolah PaHoa, Gading Serpong, TNG. Ketika selesai ceramah, anak-anakSMP & SMA diminta oleh guru mereka untuk berdana dan ternyata itu ditujukanuntuk penulis. Guru yang berusaha memberikan dana tersebut merasa kaget ketikaditolak. Padahal, ketika ceramah belum dimulai, penulis sempat berdiskusidengan guru agama tersebut dan menjelaskan bahwa seorang bhikkhu tidak bolehmenerima uang; bahkan kira-kira satu minggu sebelumnya, keponakan penulis telahmemberikan buku DANA kepadanya. Satu contoh lagi, belum lama ini (14/11/2013),ada orang tua murid yang memberitahu penulis bahwa anaknya yang masih SD yangbersekolah di sekolah Ehipassiko, BSD, TNG, diminta oleh gurunya untuk menabungdi celengan dan hasilnya akan didanakan langsung ke bhikkhu/sangha pada saatperayaan kathina di sekolah tersebut.
- Dari kejadian ini, terlihat bahwa ternyata bukan hanya para umat awam biasa,tetapi bahkan banyak para guru agama, ketua dan pengurus vihara, serta pararomo pandita[xi]yang termasuk dalam kategori Buddhis KTP. Oh, betapa menyedihkannya!
Pengambilan Tisaraṇa, para Buddhis KTP ini juga tidak mengerti apa itu yang dimaksud berlindungkepada Buddha, Dhamma, dan (Ariya) Sangha. Mereka, pada umumnya, berpikir bahwadengan melakukannya mereka akan dilindungi oleh Tiratana. Bahkan penulismengetahui (dari pengakuan para umat) bahwa banyak dari mereka yang berdoamemohon perlindungan kepada Sang Buddha, mohon dapat berkah, umur panjang,jodoh, kesembuhan, dll. Hal ini juga sangat mudah dilihat, misalnya pada saatperayaan Waisak atau ulang tahun, banyak para umat yang mengirimkan ucapanselamat kepada sesama Buddhis yang berbunyi, “Semoga Sang Tiratana selalumelindungimu.” Sang Buddha telah wafat dan tidak terlahir kembali karena tidakada lagi pendambaan (
taṇhā) yangdapat membuat fenomena mental ataupun fenomena jasmaninya berlanjut kembali.Bagaikan api-lilin yang telah kebahisan baik lilin maupun sumbunya, lenyaptanpa jejak. Jangankan setelah Beliau wafat, bahkan ketika Beliau masih hidup,Beliau tidak bisa menolong sanak-saudaranya yang akan dibunuh oleh RajaVidūdabha (Viṭaṭūbha).[xii]Selain itu, Beliau juga tidak bisa menolong Āḷāra Kālāma danUddaka Rāmaputta dengan mengajarkan Dhamma kepada mereka karena keduanya telahterlahir di alam arupa brahma (tidak punya jasmani, contohnya tidak punyatelinga untuk mendengar Dhamma).[xiii] Dengan demikian, mengacupada hal itu, bagaimana Sang Buddha yang fenomena mental dan jasmani telahlenyap dapat mendengar doa atau permohonan anda? [xiv]
Pengambilan Pañcasīla, seperti pada pengambilan
Tisaraṇa,sebagian besar dari para Buddhis KTP hanya bisa mengucapkan bahasa Pāli-nyatanpa mengetahui artinya, bahkan banyak juga yang tidak tahu sama sekali.
Karena ketidaktahuan inilah, walaupunsetiap kali kebaktian membacakan pancasila, tetapi pelanggaran sila jalanterus. Maka, pengambilan silanya hampir tidak ada manfaatnya sama sekali. Contohyang lain adalah banyaknya Buddhis yang menyukai dan mengidolakan tokoh JamesBond, seorang pelanggar semua sila dari pancasila. Bahkan, banyak para wanita –yang merupakan objek permainannya – jugamenyukainya, bukankah ini merupakan suatu hal yang sudah keterlaluan! Contohlain, penulis mengenal seorang umat Buddhis KTP yang berdasarkan pandangan umumdapat dikatakan sebagai orang yang cukup baik. Dia sering melanggar silapertama dari pancasila Buddhis yaitu membunuh serangga, selain itu dia jugacepat marah. Walaupun dia adalah orang kaya, tetapi karena pikirannya kasar dansering melakukan perbuatan tidak baik ini, hidupnya sangat menderita – selaludihantui oleh ketakutan. Mengapa bisa demikian?, karena pikirannya sering atauselalu diliputi dengan pikiran yang kejam dan kasar. Orang yang demikian, jugaakan berpikir bahwa orang lain pun sama seperti dirinya, kejam dan kasar. Olehkarena itu, dia selalu dihantui oleh kecemasan dan ketakutan akan dijahati ataudicelakai oleh orang lain. Untuk dapat mengalami hal ini, seseorang tidak perlumenjadi seperti orang-orang dalam kelompok kedua.
Kelompok ketiga ini bagaikan orang yang lahir dan tinggal di area tambangpermata. Karena malas dan bodoh mereka tidak banyak mendapatkan manfaat dariterlahir dan tinggal di tambang permata tersebut. Mereka tidak berusahamenggali dan menambangnya, mereka hanya bersantai-santai di rumahnya dengansesekali berkeliling atau berjalan-jalan untuk melihat-lihat area tempat parapenambang bekerja. Ini bagaikan sesekali datang ke vihara, mungkin hanya untukmenghilangkan rasa bosan di rumah atau untuk bercengkerama dengan teman-teman,atau pada saat peringatan hari raya umat Buddha, tanpa ada niat untuk belajarDhamma. Sesekali mungkin mereka menemukan batu kerikil atau akik yang terdapatdi permukaan tanah saat berjalan-jalan di tambang. Maksudnya adalah merekaberdana atau mengambil sila (ini pun mungkin karena terpaksa atau sekedarikut-ikutan) ketika berkunjung datang ke vihara, tetapi hal itu sangat jarangsekali terjadi, seperti jarangnya mereka pergi ke vihara atau mempraktikkanDhamma.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa menjadi Buddhis KTP sangatlahrugi, karena mereka tidak bisa mendapatkan manfaat dan berkah dari keberadaanDhamma yang sungguh mulia ini. Selain itu, bila mereka tetap tidak mau berusahauntuk mempelajari Dhamma, mereka akan menjadi seperti orang-orang pada kelompokpertama dan kedua. Maka, mereka pun pantas dikatakan sebagai para ManusiaMalang.
https://www.facebook.com/notes/u-sikkhananda-andi-kusnadi/manusia-malang/10151586752897609