SAAT AKU BERHENTI, PENDERITAAN BERHENTI
Oleh: YM. Sri Paññāvaro Mahāthera
Ibu, Bapak & Saudara,
Pada saat Guru Agung Buddha Gotama membabarkan Dhamma, atau Dharma, untuk pertama kali, yang dikenal dengan “Memutar Roda Dhamma”, Dhamma-cakka-ppavattana, beliau membabarkan empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni. Kalau Empat Kebenaran Mulia ini boleh diringkas—dan yang meringkas adalah Guru Agung kita sendiri—maka ringkasan itu menjadi kalimat yang sederhana. Guru Agung kita pernah menyampaikan kalimat itu kepada Bhikkhu Anuradha. Guru Agung kita mengatakan, “Pubbe cāhaṃ Anurādha, etarahi ca dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodhan’ti.” Artinya, “O, Anuradha, dahulu dan sekarang, hanya ini yang Kuajarkan: dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodha, tentang dukkha/penderitaan dan tentang lenyapnya penderitaan.” Jadi kalau Empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni, diringkas, kepada Bhikkhu Anuradha Guru Agung kita mengatakan, “Dulu dan sekarang, yang Kuajarkan hanyalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.”
Ibu, Bapak & Saudara,
Uraian malam hari ini memang tidak begitu sederhana, sulit. Tidak berlebihan bila saya memohon dengan hormat dengan kerendahan hati perhatian Ibu, Bapak & Saudara. Kami mengira, Asadha Agung yang diisi dengan Dhamma-sakaccha, berbincang-bincang tentang Dhamma, akan dihadiri oleh dua ratus sampai tiga ratus orang; tetapi malam ini hadir dua ribu sampai tiga ribu orang. Tentu tidak mudah untuk memaparkan, menyampaikan, menjelaskan pokok dasar ajaran Guru Agung kita kalau tanpa perhatian seksama. Oleh karena itu harapan saya, semogalah Ibu, Bapak & Saudara bisa memberikan perhatian kepada uraian kami malam hari ini.
Ibu, Bapak & Saudara,
Persoalannya sekarang adalah tidak ada seorang pun yang senang menderita, semua orang emoh dukkha, apa pun agama, kepercayaan, golongan dsb. Siapakah di antara kita yang ingin menderita, yang senang menderita? Tidak ada seorang pun yang senang menderita, semuanya tidak ingin, tidak senang menderita. Semuanya ingin melenyapkan penderitaan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Mohon maaf, kalau saya harus menyampaikan, tetapi keinginan tinggallah keinginan, Ibu, Bapak & Saudara. Kita sering tidak sungguh-sungguh melenyapkan penderitaan. Kita tidak senang menderita, kita emoh menderita, tetapi kita tidak sungguh-sungguh melenyapkan penderitaan. Apa yang kita lakukan? Yang kita lakukan hanya menutup-nutupi penderitaan, tidak melenyapkan penderitaan.
Saya akan mulai dengan tidak berbuat buruk, karena perbuatan buruk menimbulkan kesedihan, korban, diri sendiri, demikian juga orang lain. Tidak usah harus menganut Agama Buddha, tapi saya mohon kalimat ini jangan dipotong, ikuti kalimat selanjutnya. Agama apa pun yang dianut, tidak harus mengerti hukum karma, hukum sebab-akibat; mengerti hukum karma atau tidak meyakini hukum karma, mengerti anicca atau tidak mengerti anicca, mengerti dan meyakini anatta atau tidak mengerti anatta sama sekali, tidak soal, Saudara. Tapi kalau membuat bom, itu buruk. Siapa pun, apa pun agamanya, apa pun keyakinannya, menimbulkan korban, menimbulkan kesedihan, menghancurkan. Tetapi, apa pun keyakinannya, mengerti anatta atau tidak mengerti anatta, mengerti hukum karma atau menolak hukum karma, kalau orang berbuat yang baik, yang bajik, mengendalikan dirinya dari perilaku yang buruk, menolong, membantu, meringankan mereka yang menderita, perbuatan mereka adalah perbuatan yang baik. Kebaikan membawa manfaat bagi orang banyak. dan kebaikan membawa manfaat bagi dirinya sendiri. Keburukan tidak hanya merugikan dirinya, tetapi setiap perbuatan yang buruk tentu memakan korban. Dari yang sederhana, mencaci maki, memfitnah, mencuri, berselingkuh, menyeleweng, berbohong, tidak jujur, sampai kepada pembunuhan dsb, mesti membawa korban, istri, anak, suami, lingkungan dan orang banyak.
Tetapi, Saudara, izinkan saya masuk kepada yang lebih dalam lagi. Tetapi, dengan tidak berbuat buruk, yang menghancurkan kehidupannya sendiri dan merugikan orang lain, dengan banyak berbuat bajik, banyak berbuat baik, tidak menyelesaikan penderitaan. Saya mengulangi kalimat ini: ya, menghindari keburukan, mengendalikan diri dari perbuatan buruk, yang menghancurkan orang lain, yang membawa korban, ya; dan berbuat bajik, berbuat baik semaksimal mungkin, benar; tetapi tidak berbuat buruk dan berbuat bajik tidak mampu melenyapkan penderitaan. Berbuat bajik berguna, benar; berbuat bajik membawa kemajuan, kelancaran, kebahagiaan, benar; keburukan menghancurkan, keburukan merugikan, benar sekali; tetapi apakah kebahagiaan kekal? Apakah kelancaran, kenyamanan itu bisa melenyapkan penderitaan untuk tidak timbul kembali? Tidak. Saya ingin memberikan ilustrasi yang sederhana.
Ibu, Bapak & Saudara,
Saudara sudah mempunyai tekad yang kuat, samādhāna, untuk tidak berbuat buruk. – “Apakah ini tidak terpuji, Bhante?” – Terpuji. Kemudian, Ibu/Bapak banyak menanam kebajikan, menolong, beramal. – “Apakah itu tidak terpuji, Bhante?” – Sangat terpuji. Tetapi, suatu saat Ibu memberikan satu bungkus roti yang enak kepada orang yang tidak Ibu kenal, tetapi Ibu berjumpa di mal, atau di airport, di stasiun, di terminal. Orang ini miskin tampaknya, menderita, kusut, Ibu memberikan satu dos besar berisi roti yang enak itu yang tentu Ibu punya perkiraan orang seperti itu tidak sering makan roti seperti ini, dan Ibu memberikan dengan terbuka, “Ini untuk kamu, makanlah.” Orang ini hanya berkata, “Terima kasih, Bu” – selesai. Ibu, Bapak & Saudara bisa mendongkol, “Kenapa orang ini tidak menunjukkan ekspresi yang terkejut, ‘Ooo, luar biasa hari ini, Bu, makanan yang sangat enak.” Ibu, Bapak & Saudara mengharapkan respons, tanggapan seperti itu dari orang yang menerima hadiah satu dos besar roti yang sangat enak. Ibu, Bapak & Saudara tidak mendapatkan itu. “Aku tidak dihargai” – pada saat itu penderitaan muncul, sekalipun Ibu, Bapak & Saudara tidak berbuat buruk dan sering berbuat baik.
barsambung...