Ketua waktu itu Bhikku Sukhemo Thera.
Sekretarisnya malah orang dari aliran Maitreya Drs. Sudarmo Tasmin
Ringkasan :
Agama Buddha bangkit seiring dengan perjuangan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Untuk pertama kalinya pada tahun 1953 diselenggarakan upacara Waisak nasional di Borobudur. Walau pemerintah belum secara formal mengakui keberadaan agama Buddha, peristiwa yang diikuti oleh lebih dari tiga ribu peserta itu dihadiri beberapa duta besar mancanegara. Penggagasnya Tee Boan An. Ia menjabat ketua umum Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) merangkap wakil ketua Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia. GSKI merupakan gabungan dari Sam Kauw Hwee dan Thian Li Hwee yang selanjutnya diikuti Bagian Kebaktian Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candra Naya sekarang) dan Buddha Tengger.
Tee Boan An menjadi samanera menurut tradisi Mahayana (C’han), dan ditahbiskan menjadi biksu Therawada di Myanmar dengan nama Ashin Jinarakkhita. Jinarakkhita merupakan biksu putra Indonesia pertama di abad ke-20. Setelah kembali ke Indonesia (1955), ia mengadakan perjalanan ke seluruh pelosok tanah air. Ajaran yang dikembangkannya non-sektarian. Ia mendirikan organisasi Buddhis nasional yang pertama, Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dengan anggota yang telah diinisiasi (1955). PUUI beberapa kali berganti nama, menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia, lalu Majelis Upasaka-pandita Agama Buddha Indonesia (MUABI) dan yang terakhir Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Dibentuk pula organisasi umat awam, Persatuan Buddhis Indonesia (1957), yang belakangan dinamakan Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi).
Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik. Sampai di akhir era demokrasi parlementer, umat Buddha dan organisasinya bersatu dengan solid, tidak terganggu oleh situasi politik liberal yang labil dan menghadapi ancaman separatis. Agaknya ketika itu kegiatan keagamaan Buddha di Indonesia praktis ada di dalam lingkar pengaruh figur Jinarakkhita.
Era Demokrasi Terpimpin
Menghadapi konsep NASAKOM di era Demokrasi Terpimpin sikap umat Buddha terhadap politik mendua. Ada yang menjauh, ada yang mendekat. Karena tidak ada tempatnya dalam partai agama, kalau bukan nasionalis, tentu dekat dengan komunis, namun tidak menjadi anggota partai, melainkan terhubung secara tidak langsung melalui organisasi onderbouw, khususnya Baperki bagi warga Tionghoa.
Warga Tionghoa ikut berpolitik sejak pergerakan nasional. Tanpa membedakan agamanya, setelah kemerdekaan, ada yang masuk dalam parlemen/DPR dan MPR, maupun kabinet. Namun berulang kali terjadi huru-hara anti-Cina. Timbul pro dan kontra mengenai asimilasi dan integrasi. Situasi ini memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan agama Buddha karena citra bahwa agama Buddha itu agama Tionghoa begitu kuat.
Di Tiongkok agama Buddha yang berasal dari India secara harmonis hidup berdampingan dengan budaya setempat. Umat Buddha tidak mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari satu peradaban tunggal Buddhis. Mereka tampil dengan identitas lokal, tercermin pada gambar/patung Buddha yang beragam disesuaikan dengan citra etnis si penganut. Ada Buddha dengan wajah India, Tionghoa, Tibet, Thailand, Jepang. Figur Buddha di Indonesia sendiri bisa dilihat pada versi Buddha di Candi Borobudur. Menjadi Buddhis bukan menjadi orang India. Bagi warga Tionghoa, dapat dikatakan Buddha telah di-Tionghoa-kan.
Menurut M. A. Lathouwers, Jinarakkhita menekankan perlunya mengembangkan agama Buddha di Indonesia yang khas, suatu bentuk asli yang sesuai dengan alam Indonesia, suatu wadah yang tetap bersumber pada sejarah agama Buddha di masa lampau yang kaya raya, akan tetapi tidak terikat atau dihambat selama perkembangannya. Kesempatan istimewa ini dihubungkan dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika”. Jakob Oetama pernah memublikasikan (1963) pendapat Biksu Ashin bahwa jiwa to¬leransi bangsa Indonesia tercermin pada Pancasila. Apabila Pancasila sungguh-sungguh diamalkan, maka dapat memberikan lichtpunt, sinar terang kepada dunia.
Jinarakkhita setelah tua berjenggot, sebagaimana penampilan sebagian biksu dari tradisi Tionghoa Mahayana. Walau terjadi kontroversi, ia menggabungkan tradisi Tionghoa, India (Hindu) dan lokal. Praktik pemujaan Eyang Suryakencana dan upacara mandi air tujuh pancuran di malam Jum’at Kliwon di Lembah Cipendawa menunjukkan kedekatannya dengan penghayat kepercayaan dan penganut Kejawen. Selain Tripitaka Pali, Sanskerta, Mandarin, karya peninggalan zaman Majapahit Sanghyang Kama¬ha¬yanikan dipandang sebagai bagian dari Tripitaka berbahasa Kawi. Pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputra Utama kepada tokoh ini (2005) setelah tiga tahun ia meninggal dunia.
Pasca G-30-S
Peristiwa G-30-S menyebabkan banyak orang yang dicurigai mendukung komunis terbunuh dan dipenjara. Orang Tionghoa yang termasuk penganut agama Buddha menjadi sasaran aksi-aksi anti-Cina. Tetapi jumlah umat Buddha meningkat cepat karena setiap orang diharuskan untuk memeluk salah satu agama. Sekolah-sekolah wajib memberi pendidikan agama. Belakangan, ketertinggalan dalam penyediaan tenaga guru dan sekolah Buddhis, membuat umat tradisional mengikuti pendidikan agama lain sehingga banyak yang pindah agama.
Sebagian penganut agama KTP tidak tahu apa itu ajaran Buddha. Sebaliknya tidak jarang orang yang aktif dalam kegiatan Buddhis, namun sekaligus memiliki KTP dengan agama lain. Supaya tidak serta-merta dicap Tionghoa, ada yang lebih suka tidak mencantumkan agama Buddha dalam KTP-nya. Mungkin agar lebih mudah mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Diskriminasi merupakan fakta. KTP bagi keturunan Tionghoa diberi kode tertentu. Bahkan beberapa orang pribumi yang mengaku beragama Buddha, dianggap sebagai orang Tionghoa dan ikut dipersulit ketika mengurus akta perkawinan.
Warga Tionghoa dianggap sebagai minoritas asing yang dibedakan dari minoritas suku-suku pribumi. Pemerintah menghendaki minoritas Tionghoa berasimilasi. Mereka diminta untuk ganti nama. Bahasa dan aksara Tionghoa dilarang. Film-film berbahasa Mandarin dibatasi. Namun pertimbangan ekonomi ternyata lebih kuat daripada prinsip asimilasi (Leo Suryadinata, 1984). Inpres No 14/1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, membatasi pelaksanaan tata-cara ibadah Cina. Perayaan agama dan adat istiadat Cina tidak boleh dilakukan di depan umum. Sementara itu, pengakuan terhadap agama minoritas, yaitu Buddha dan terlebih Konghucu tidak sejalan dengan kebijaksanaan asimilasi.
Aliran Mahayana yang terkait erat dengan ke-Tionghoa-an dan pemakaian bahasa Mandarin jelas menghadapi tekanan, sedangkan aliran Therawada menjadi lebih disukai. Untuk memberi perlindungan, muncul Dewan Wihara Indonesia (DEWI) yang diketuai oleh Letkol. Suraji Aria Kertawijaya, sekjen Perbudhi. Kebanyakan kelenteng ganti nama menjadi wihara, kecuali kelenteng non-Buddhis. Kelenteng sebenarnya merupakan wihara Mahayana yang berafinitas kultural Tionghoa. Menurut Cl. Salmon dan D. Lombard (1985) asal kata kelenteng adalah Guan-yin Ting. Adapun Guan-yin dalam bahasa Sanskerta Awalokiteswara, salah satu personifikasi Bakal Buddha.
Dari Organisasi ke Organisasi
Untuk menyalurkan aspirasi politik, Federasi Umat Buddha Indonesia menjadi anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (1967). Anggotanya: Buddhis Indonesia, Gabungan Tridharma, Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia, Agama Hindu Buddha Tengger dan Agama Buddha Wisnu Indonesia. Di luar itu, PUUI, Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia membentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia (1969). Sebagian biksu Therawada (di antaranya kemudian melepaskan jubah) memisahkan diri, memben¬tuk Sangha Indonesia (1972).
Konflik organisasi berulang kali terjadi, entah karena ambisi pribadi atau penganutan agama yang tidak sungguh-sungguh dipraktikkan, atau terdorong oleh semangat sektarian dan pengaruh asing. Sekjen Golkar (Brigjen Saparjo) mengambil prakarsa untuk mempersatukan (1972). Tiga tahun kemudian muncul wadah tunggal Buddha Dharma Indonesia (Buddhi). Namun Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) dan MUABI tidak sampai ikut fusi. Gantinya Perbudhi muncul Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) yang dibentuk dengan bantuan DPP Golkar dan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (1976).
Di pihak lain muncul majelis-majelis sektarian. Seorang pejabat di Ditjen Bimas Hindu dan Buddha mendirikan Majelis Dharmaduta Kasogatan (1975). Ia juga ikut membidani lahirnya Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (1975) yang berinduk di Taiwan. Bagian kerohanian dari Budhi berubah menjadi Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (1976), sekarang dinamakan Majelis Agama Buddha Teravada Indonesia (Magabudhi). Organisasi lainnya adalah Majelis Rohaniwan Tridharma se-Indonesia (1977), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (1978), dan Nichiren Soshu Indonesia (1964) yang berinduk di Jepang kemudian menjadi Majelis Agama Buddha Nichiren Soshu Indonesia (NSI).
Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja MA) memfasilitasi organisasi sangha hingga bersatu kembali dan memberinya nama Sangha Agung Indonesia disingkat SAGIN (1974). Tetapi tak lama kemudian beberapa biksu kembali memisahkan diri membentuk Sangha Therawada Indonesia (1976). Dua tahun berikutnya, muncul Sangha Mahayana Indonesia. Sejak itu terdapat tiga organisasi biksu. Ketiga sangha kemudian bersama-sama tujuh majelis mendirikan Walubi, Perwalian Umat Buddha Indonesia (1979).
Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah Orde Baru mengambil simpati warga Tionghoa yang telah mengalami trauma dalam kegiatan berpolitik. Dukungan suara dan finansial warga Tionghoa ketika Pemilu tentu sangat berarti. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional warga Tionghoa punya ruang gerak dalam dunia bisnis, sekalipun masih menghadapi diskriminasi. Bidang pekerjaan lain sulit dimasuki, apalagi menjadi pegawai negeri dan anggota ABRI. Untuk menjaga stabilitas politik, pemerintah juga mengawasi organisasi yang anggotanya banyak dari warga Tionghoa. Organisasi-organisasi Buddhis bukan hanya dibina lewat Departemen Agama RI tetapi juga mendapatkan pendampingan dari BAKIN dan Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).
Wadah Tunggal
Dalam birokrasi pemerintahan, agama Buddha mendapatkan tempat ketika Biro Urusan Hindu Bali di Departemen Agama RI ditingkatkan statusnya menjadi Ditjen Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha (1966). Setelah menjadi Ditjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha (1969) ada sebuah direktorat mengurus agama Buddha yang digabung dengan Hindu. Lebih dari sepuluh tahun kemudian baru urusan agama Buddha dipisahkan dari Hindu, masing-masing memiliki direktorat sendiri (1980).
Pemerintah mengarahkan terselenggaranya Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta (1979) untuk melahirkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawiranegara), yang menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980). Walubi memiliki organ Persidangan Sangha-Sangha sebagai lembaga fatwa dengan ketuanya Biksu Ashin Jinarakkhita.
Kongres tersebut mengukuhkan hasil Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Keputusannya antara lain mengenai kriteria agama Buddha di Indonesia. Kriteria menjadi penting untuk menyaring aliran yang menumpang hidup memakai nama agama Buddha tetapi tidak berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka. Kongres juga menyetujui kode etik menyatakan tekad untuk melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, padahal sebenarnya Pancasila adalah asas bersama.
Ketika Waisak menjadi hari libur nasional (1983), ketua NSI selaku Sekjen Walubi, menyatakan bahwa Waisak adalah Hari Balas Budi. Nichiren diakui sebagai Buddha zaman sekarang, menggantikan Buddha Gotama. Kongres I Walubi (1986) selain mengganti pengurus, juga menetapkan bahwa NSI tidak memenuhi kriteria agama Buddha, dan melanggar kode etik. NSI dikeluarkan dari Walubi (1987). Pemerintah tidak mencampuri masalah ini dan tetap mengakui eksistensi NSI.
Pemuda Buddhis Indonesia (Pembudi) yang lahir dari lingkungan MUABI (1973) ikut menandatangani Pernyataan Pemuda Indonesia 1986, dan mempersiapkan Kongres Pemuda Buddhis. Pemerintah ikut mengarahkannya dengan mengikutsertakan unsur pemuda majelis-majelis Walubi, melahirkan organisasi Generasi Muda Buddhis Indonesia disingkat Gema Budhi (1986). Begitu pula kelompok wanita dari majelis-majelis Walubi diarahkan untuk membentuk wadah tunggal dengan nama Keluarga Besar Wanita Buddhis Indonesia. Hanya mahasiswa yang mendirikan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (1988) bebas dari campur tangan pemerintah. Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, beberapa organisasi Buddhis yang pernah dikenal sebelumnya bubar.
Kasus Tragedi Walubi
Konflik organisasi Buddhis kembali terjadi setelah Munas II Walubi (1992). Biksu Girirakkhito menjadi ketua umum dan sekjennya Budi Setiawan, Direktur Urusan Agama Buddha yang juga adalah polisi. Seorang konglomerat, Dra Siti Hartati Murdaya, menjadi ketua Dewan Penyantun. Peran Widyeka Sabha yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap DPP ditiadakan, sehingga kekuasaan mutlak ada di tangan ketua umum dan sekjen. Terjadi rekayasa sidang paripurna untuk menetapkan AD/ART baru, yang dihadiri oleh pejabat pemerintah yang jumlahnya hampir sama dengan peserta sidang. Rapat-rapat Walubi biasa dihadiri aparat keamanan yang tidak sedikit jumlahnya. Walubi tampak berubah, seperti dikatakan Hartati, “Dulu Walubi hanya mengenal dharma agama yang urusannya vertikal, sekarang ada dharma negara yang urusannya horisontal“ (Suar 168, /9/1999).
Selisih pendapat berlanjut dengan laporan Walubi ke aparat keamanan tentang penyebaran AD/ART palsu. Kittinanda, ketua Panitia Munas yang juga salah satu ketua DPP, diciduk dan diinterogasi di sebuah markas militer (18/7/1994). Ia dipaksa mengakui bersalah. Orang yang kedua yang diciduk, Pramana Winardi, sekretaris Badan Perumus AD/ART yang juga wakil sekjen DPP. Mereka berdua berasal dari Majelis Tridharma. Yang ketiga, Tjoetjoe Alihartono, ketua MBI yang menjadi ketua Badan Perumus AD/ART, juga salah satu ketua DPP Walubi. Karena tuduhan tidak terbukti, Polda Metro Jaya mengeluarkan SP3. Namun atas laporan DPP Walubi kepada Bakorstanasda Jaya, mereka bertiga diciduk lagi. Pemeriksaan dilakukan dengan cara kekerasan, berupa pemukulan dan penyetruman listrik.
Ester Indahyani Jusuf mempertanyakan bagaimana terdapat konspirasi antara Walubi dengan militer. Teror terhadap orang-orang yang berseberangan dengan Walubi, penangkapan dan penyiksaan tokoh-tokoh Buddhis jelas bukan pekerjaan penduduk sipil biasa atau dalam kapasitas yang mungkin dilakukan Walubi secara legal (Glodok Standard, 13/7/1999). Penyiksaan terhadap ketiga tokoh itu, diadukan ke Komnas HAM. Walubi meresponsnya sebagai hal yang mempermalukan aparat keamanan di mata dunia internasional.
SAGIN dan MBI diberhentikan dari keanggotaan Walubi dengan alasan karena melanggar disiplin organisasi (15/10/1994). Mereka juga dituduh sesat, menganut sinkretisme besar (Sai Baba) dan sinkretisme kecil (merangkul semua sekte), memecahbelah umat, serta menghidupkan adat Cina. Pada hari yang sama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menerbitkan surat agar seluruh jajaran Departemen Agama mendukung keputusan Walubi tersebut. SAGIN dan MBI tidak lagi dibina oleh Departemen Agama. Isu menghidupkan adat Cina membuat berbagai instansi pemerintah lintas sektoral menekan SAGIN dan MBI. Kedua organisasi ini mengajukan gugatan lewat PTUN, yang memerintahkan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha serta Walubi untuk menangguhkan pemberhentian SAGIN dan MBI dari Walubi. Tetapi keadaan tidak berubah.
Peringatan HUT ke-73 Biksu Ashin Jinarakkhita digagalkan oleh aparat keamanan berdasar laporan Walubi bahwa bahwa umat Buddha keturunan Tionghoa mau berdemonstrasi menentang pemerintah. Padahal dalam acara itu banyak sekali umat pribumi yang datang dari daerah-daerah. Walubi dan aparat Departemen Agama berusaha memaksa umat dan wihara binaan SAGIN dan MBI untuk pindah ke organisasi lain. Penggalangan dilakukan oleh oknum-oknum militer. Namun umat Buddha tidak terpengaruh oleh bujuk rayu maupun intimidasi tersebut. Direktur Urusan Agama Buddha menawarkan SAGIN dan MBI ganti nama, mengganti kepengurusan, atau membentuk yayasan terpisah dari SAGIN dan MBI. Karena masih membangkang, mereka dinyatakan sebagai aliran kepercayaan, bukan agama.
Kembalikan Agama pada Pemeluknya
Dengan jatuhnya Orde Baru, re¬formasi sepertinya menyadarkan Walubi, sehingga menerima kembali SAGIN dan MBI (3/11/1998), sekaligus mengembalikan citra dan nama baiknya. Dalam Munas (6/11/1998), DPP Walubi menyebutkan penyesalan atas segala persoalan masa lalu, namun SAGIN dan MBI sendiri tidak diikutsertakan sebagai peserta Munas. Ternyata lewat Munas Khusus tersebut Walubi mem¬bubarkan diri. Mengapa? Memang ada desakan berbagai kalangan, namun kelihatannya ada alasan lain. Kalau Walubi masih dipertahankan, DPP Walubi dan Hartati harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lalu.
Setelah Walubi bubar, ketiga sangha, organisasi para biksu, mendirikan Konferensi Sangha Agung Indonesia, disingkat KASI (14/11/1998). KASI didukung oleh MBI, majelis-majelis Tridharma, Therawada, dan Mahayana. Prinsip-prinsap dasar pendirian KASI antara lain demokratis, tidak otoriter, mengakui pluralisme, kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat, kepemimpinan yang berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga.
Organisasi-organisasi umat awam di luar binaan sangha-biksu mendirikan Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dengan singkatan Walubi dan ketua umumnya Hartati Murdaya (30/12/1998). Pemakaian singkatan nama Walubi ini membuat masyarakat menganggapnya sama seperti Walubi-lama yang telah dibubarkan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen TNI (Purn.) I Wayan Gunawan mengeluarkan surat agar untuk dapat dilayani oleh Departemen Agama, SAGIN dan MBI harus mendapatkan rekomendasi dari Walubi. Tujuannya memaksa SAGIN dan MBI bergabung dengan Walubi-baru. Departemen Agama memperlakukan Walubi-baru sama seperti Walubi yang sudah dibubarkan, sehingga Walubi-baru, bukan KASI, yang mewakili umat Buddha duduk sejajar dengan MUI, KWI, PGI dan PHDI.
Namun dalam pertemuan dengan KASI dan majelis-majelis agama Buddha (17/12/1999), Menteri Agama, Malik Fadjar, menegaskan bahwa Departemen Agama akan melayani semua organisasi Buddhis tanpa pandang bulu karena semua adalah mitra pemerintah. Ia mengatakan “Kembalikan Agama pada Pemeluknya”. Wadah tunggal bukan lagi keharusan. Dirjen Bimas Hindu & Buddha memang kemudian mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia untuk membina kembali MBI dan SAGIN di luar Walubi