//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: vinaya mahayana  (Read 13537 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
vinaya mahayana
« on: 26 September 2010, 08:53:27 AM »
Bhikkhu Yen Kiat


Alih Bahasa
U. SDG Kumuda Gayasih

Mahayana Vinaya

Penerbit;
Buddharasmi, Vihara Nagasena
Patjet Sindanglaya

Sekretariat. Djalan Petak Baru 48
Djakarta Kota







Pendahuluan

Dengan sangat gembira saya menulis sekata dua kata memujikan kitab yang
bernilai ini, buah pena dari teman dan guruku Yang Arya Bhikkhu Yen Kiat.
Dewasa ini, berkat fasilitas perhubungan modern dan terbitnya buku Buddhis
dalam satu bahasa internasional (Inggris), umat Buddha dari seluruh dunia
telah menjadi lebih dekat satu sama lain, maka teramat penting sekali kita
umat Buddha menjauhkan pertentangan-pertentangan picik yang tak mencerminkan
jiwa Buddhis. Dengan tak menghiraukan perbedaan-perbedaan aliran kita harus
bekerjasama menyebarluaskan djiwa sejati agama kita tanpa terlalu menitik
beratkan interpretasi yang harfiah atas Dharma yang memangnya sedikit
berbeda dari negara ke negara. Maka adalah maksud dan tujuan Yang Arya
Bhikkhu Yen Kiat untuk menerapkan pengetahuannya yang mendalam tentang
kedua-duanya kendaraan (Yana) demi untuk mengusir kesalahfahaman yang telah
timbul.

Ambillah misalnya konsepsi tentang corak sejati para bhikkhu Mahayana yang
sudah disalahartikan secara luas dan umum. Terkadang orang percaya bahwa
bhikksu Mahayana tidah diharuskan hidup mentaati Vinaya secara ketat. Dari
buku ini kita mengetahui bahwa versi vinaya dari kedua-duaya aliran Mahayana
dan Theravada terkecuali satu dua hal yang kecil adalah hampir identik, dan
bahwa versi Mahayana bukanlah kurang tetapi bahkan lebih.

Mengenai ketatnya aturan-aturan itu dipatuhi dalam praktek, hal ini berbeda
sejalan dengan keadaan politik atau lain-lain keadaan yang terdapat dinegeri
masing-masing, tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan perbedaan pokok
anatra kedua yana itu. Di Tiongkok saja pernah tinggal dalam vihara-vihara
dimana aturan-aturan itu di pegang dan ditaati secara ketat, dan tentu saja
juga telah tinggal atau mengunjungi vihara-vihara dimana bhiksu-bhiksunya
agak kendor melaksanakannya.

Sangatlah menggembirakan bahwa Yang Arya Bhikkhu Yen Kiat telah memberikan
penekanan khusus atas keputusan JMS Sang Buddha yang menyatakan bahwa aturan
Vinaya boleh diubah dalam hal-hal yang benar-benar membutuhkannya misalnya
seorang bhikkhu yang berkunjung ke negeri Inggris pada musim salju terpaksa
siang dan malam duduk di dekat perapian oleh karena hawa udara terlalu
dingin untuk keluar dalam jubahnya yang tipis, dan yang mungkin akan
menybabakan kematiannya kalupun dicobanya pergi keluar. Nyatalah bahwa hal
ini bukan perbuatan yang selaras dengan semangat Dharma yang diungkapkan
J.M.S Sang Buddha, Guru Agung Jalan tengah dan penentang keekstriman!
Mungkin J.M.S. Sang Buddha akan meminta seorang Eskimo yang hidupnya di
tengah-tengah es dan salju supaya ia berpakaian dan makan sesuai dengan
cara-cara yang berlaku didaratan panas yang membakar dari India ? Jikalau
demikian halnya, maka meminta seorang eskimo menjadi Buddhis adalah sama
dengan meminta kematiannya! Dalam hal yang sedemikian itu,
perubahan-perubahan peraturan jubah adalah satu persoalan penting untuk
tugas suci bhiksu dalam memyebarluaskan Dharma. Itu bukanlah satu kesalahan
tetapi satu kebajikan.! Terkecuali Bengal dan Khasmir, seluruh India pada
zaman kuno memperlihatkan bahwa sayuranis tidak dikenal di India sebelum
agama Buddha menyeluruh luas di India. Para sarjana Hindu pun mengakui bahwa
Praktek sayuranis diterima dari agama Buddha, dan selain Buddhsi dewasa ini.
Benar bahwa menurut Vinaya seorang bhiksu harus tidak menolak apa yang
diberikan kepadanya itu terdapat pula bukti-bukti bahwa India Buddhis zaman
dahulu adalah sayuranis seperti halnya Tiongkok, tetapi di lain pihak kalau
orang berkelurga yang taat mengetahui bahwa para bhiksu merasa jijik akan
makanan yang melibatkan pembunuhan hewan yang tdak bersalah, maka yang
manakah dari orang-orang berkeluarga itu akan penah berfikir untuk
memberikan makanan daging kepada para bhikkhu? Kalau kita semua menegaskan
bahwa membunuh hewan dan menggunakan dagingnya sebagai makanan adalah
bertentangan dengan semangat Sang Maha Penyayang, maka tidaklah akan ada
orang yang ingin memberikan makanan daging kepada bhiksu-bhiksu. Sejalan
dengan itu, jumlah hewan yang disembelih pun akan berkurang dengan ribuan
setiap harinya.

Dalam zaman modern ini hewan jarang disembelih untuk perorangan, namun
jelas bahwa sesungguhnya kita semua bertanggung jawab juga atas kematian
mereka sebab tukang-tukang jagal menyediakan daging sesuai dengan permintaan
kita.

Demikianlah maka pada zaman ini tidaklah masuk akal sama sekali untuk para
bhikkhu menuntut bahwa mereka tidak mengetahui hewan itu sengaja dibantai
khusus untuk mereka. Pada zaman dahulu keadaanya lain ,pada masa seorang
petani menyemblih seekor hewan untuk keluarganya dan dalam hal ini daging
yang diberikan kepad seorang bhikhu hanya sisanya.

Jika pada dewasa ini hanya ada segelintir bhiksu saja penghindaran mereka
akan daging tidak akan berapa berarti dan tidak menyelamatkan banyak jiwa
hewan. Akan tetapi kalau terdapat beratus-ratus ribu bhikkhu, maka mereka
jelas akan menambah banyak persediaan si tukang jagal. Dalam hal ini vinaya
mentaati ajaran Sang Maha Penyayang secara ketat sekali.

Sebagai penutup, marilah kita semua tidak merangkul pada Yana ini atau yana
itu, tetapi marilah kita menjadi oarang Buddhis yang sejati dan menerima
semua yang baik daripada kedua yana tersebut.

Semoga kitab ini membawa pada saling pengertian dan toleransi yang lebih
besar diantara semua umat Buddha. Semoga semua makhluk berbahagia.

John Blofeld
Chulalongkorn University
Bangkok

Bangkok, 3-3 -1960



P r a k a t a

Di Tiongkok terdapat tiga belas aliran Buddha Tionghoa :
1. Mazhab Abhidharma atau Sekte Kosa
2. Mazhab Satyasidhi
3. Maszab Vinaya
4. Mazhab Tri Sastra
5. Mazhab Nirvana
6. Mazhab Dasabhumika
7. Mazhab Sukhavati
8. Mazhab Dhyana
9. Mazhab Samparigraha
10. Mazhab Madhyamika
11. Mazhab Avatamsaka
12. Mazhab Dharmalaksana
13. Mazhab Mantra ( kini disebut Vajrayana)

Yang ketiga, yakni mazhab Vinaya atau Mazhab Preceptif adalah yang teramat
penting. Kata Vinaya diinterpretasikan peraturan, atau Perintah Disiplin
Kerahiban dan pertapan, atau Disiplin untuk para Bhikkhu.

Secara khusus Vinaya dikenal sebagi larangan-larangan atau perintah-peintah
yang berisikan hukum-hukum dan aturan-aturan untuk para rahib. Vinaya
terbagi dalam dua bagian yang terpisah, yaitu perturan Pratimoksa dan
Peraturan Luar. Yang belakangan itu adalah tegas berbeda dan terpisah dari
yang disebut duluan terdiri dari kesalahan-kesalahan yang ringan.

Sila dan Vinaya sebenarnya teramat penting sekali sebagai aturan utama yang
memimpin para baiarawan dan kemurnian dan pemeliharaan diri. Sila dan Vinaya
diperuntukkan biarawan umum yang selalu membutuhkan Vinaya untuk memlihara
kemmurniannya agar ia tak ternodakan oleh hidup sehari-hari. Dengan cara ini
maka mungkinlah untuk memasukkan semua peraturan-peraturan kedalam satu
kitab yang kiranya dapat diterima sebagai Kitab Pakem aturan Tata Kelakuan
baik untuk rahib maupun orang berkeluarga.

Saya harap umat Buddha di Timur dan Barat akan mendapatkan dalam kitab ini
satu penuntun yang praktis dalam usaha memperkembangkan diri.

Akhirnya saya ingin memanjatkan disini terima kasih saja kepada Profesor
John Blofeld dari fakultas Kesenian, Universitas Chulalongkorn, yang telah
memeriksa dan membandingkan pengolahan saja ini dengan aslinya Sutra-Sutra
Tionghoa dan membantu memberikan kata pendahulan pada kitab ini, dan kepada
Mr. Royston Mason dari Maha Mongkut University yang telah memeriksa
naskah-naskah dan memperbandingkanya dengan kitab-kitab Disiplin dari Pali
Tex Society, London



Bhikhu Yen Kiat

Bangkok 24 Januari 1960
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #1 on: 26 September 2010, 08:56:33 AM »
BAB I
Kodifikasi (Penyusunan ke dalam satu bahasa)
Mahayana Vinaya


Dalam kedua-duanya aliran Selatan dan Utara, kata Vinaya berarti
Aturan-Aturan Pasamuan Keagamaan. Aturan-aturan itu merupakan keharusan
dari pada perbuatan dan kemajuan untuk memimpin para bhiksu pada disiplin
pikiran dan praktek kebenaran.

Kata-kata Vinaya jug diinterpretasikan Disiplin, Peraturan. Vinaya adalah
laksana mutiara mutiara putih yang menghiasai mereka yang memakainnya. Ia
murni dan ia memurnikan secara air samudra yang memurnikan.

Dalam arti biasa dan dalam ukuran teladan, Vinaya berarti disiplin atau
Pelaksanan akan apa yang benar dan adil, serta diiringi hukuman-hukuman yang
sesuai dengan pelanggaran-pelanggaran.
Dalam memenuhi pemeliharaan diri, kesabaran diharapkan dengan jalan
mentaati disiplin-disiplin.

Oleh karena nampak adanya kesalah pahaman atas Mahayana maka dirasakan
perlu akan suatu penjelasan yang dimulai dari jaman sejak Parinirvana sang
Buddha.

Tata cara dalam sejarah Buddhis bahwa pada waktu Sang Buddha mencapai
Parinirvana. Beliau tidak meninggalkan catatan-catatan yang tertulis tetapi
hanya ajaran lisan yang semasa hidup Beliau telah dihafalkan oleh
siswa-siswa beliau secara lengkap dan terrinci.

Juga tercatat sebagai bukti sejarah di dalam Kitab Pacisma Prinirvana
sutra, bahwa pada tahun 543 SM, di kota Vaisali Sang Buddha jatuh sakit
disentry dalam usia 80 tahun. Pada saat menjelang Parinirvana. Beliau
meninggalkan sebuah perintah yang terakhir kepada Ananda mengenai Sangha
seperti berikut :

“Ananda, setelah Parinirvana, jika Sangha meminta pembatalan beberapa
peraturan Vinaya kecil, Tathagatha memberikan kamu ijin untuk
membatalkannya secara berturut-turut.

Kira-kita tiga bulan setelah parinirvana Sang Buddha, dilangsungkan Dewan
Agung Sangha Yang Pertama di kota Rajagraha, dihadiri oleh 500 arahat, dan
dipimpin oleh Mahakasyapa Arahat. Pada Dewan ini Ananda menyampaikan
perintah ijin yang terakhir dari Sang Buddha yang mengijinkan pembatalan
sebagian dari Vinaya Kecil secara berurut.

Dengan seketika Dewan Arahat itu mennyakan pada Anand apakah dia bertanya
kepada Sang Buddha nama dari apa yang disebut Vinaya Kecil itu. Atas itu
Ananda menjawab bahwa pada saat itu dirinya telah hilang dalam keheranan dan
lupa untuk beranya tentng nama-nama Vinaya Kecil itu. Atas kelalainnya dalam
soal itu Ananda dijatuhi hukuman Duskrta oleh dewan.

Akibatnya terjadilah serangkaian perdebatan dalam Dewan atas apa adanya
vinaya yang besar dan yang kecil itu. Ada yang menyatakan bahwa 4 Parajika
dan 13 Sanghadisesa adalah kesalahan besar dan yang lain-lainnya adalah yang
ringan. Ada lagi pula yang mengatakan bahwa 4 Parajika, 13 Sanghadisesa, 2
Aniyata, 30 Naihsargika Prayasticittika dan 92 Pravascita adalah kesalahan
besar dan yang lain-lainnya kecil, dan lain-lain.

Dalampada itu, untuk meredakan pertentangan, Arahat Ketua Maha Kasyapa
menyatakan bahwa semua vinaya sebenarnya aturan-aturan disiplin yang
diperuntukkan para bhiksu dalam usaha menghindari diri mereka dari pada
kesalahan-kesalahan, maka Beliau meminta agar tidak ada vinaya yang
dibatalkan. Seluruh hadirin setelah mendengar itu menjadi diam tertegun, dan
kemudian saran itu diterima oleh Sidang dengan suara bulat.

Juga tercatat bahwa pada masa berlangsungnya Dewan Sangha Pertama di
Rajagraha, pada waktu itu di India terdapat 70 Bhikkhu, dari jumlah mana 500
telah terpilih sebagai anggota Dewan untuk keprluan memperbincangkan dan
mengatur Doktrin Buddhis. Demi kepentingan para Bhikkhu maka kitab Buddhis
telah ditulis dalam kedua-duanya bahasa Magadha dan Sanskerta.
Komentar-komentar Bahasa Magadha adalah untuk para bhiksu di bagian Utara.

Dapatlah dikatakan bahwa Vinaya Pitaka menjelma ke dalam tulisan di dalam
Sidang Dewan Pertama disusun oleh Upali Arahat pada tahun Sang Buddha
meninggal (atau kira-kira 543 S.M) sebelum terjadinya peristiwa perpisahan
pohon utama menjadi dua bagian yaitu Hinayana dan Mahayana.

Dewan Sangha Agung kedua dilaksanakan kira-kira 100 tahun sesudah Dewan
agung Pertama, di kota Vaisali, dihadiri oleh 700 Bhiksu sesepuh dan
diketuai oleh Yasojakandakaputra.

Dalam sidang Dewan ini diajukan permintaan pembatalan 10 pasal dari Vinaya
Kecil, hal mana dengan hangat hangat diperdebatkan oleh Bhiksu Sansekerta
yang bernama Vajjiputra dan Bhiksu Magadha Yasojakandhakaputra yang memimpin
sidang itu.

Pengikut bagian Sansekerta menuntut bahwa oleh karena Sang Buddha sendiri
telah mengijinkan perubahan Vinaya Kecil sesaat sebelum beliau mencapai Maha
Parinirvana yang terakhir dari J.M. S. Sang Buddha.

Para pengikut bagian Magadha melandaskan pendirian mereka atas ketentuan
pertama dari Dewan Agung sangha Pertama yang dipimpin oleh Maha Kasyapa
arahat Sidang mana telah menolak peniadaan Vinaya Kecil.

(Pernyataan di atas diangkat dari Asoka Sutra No. 6)


10. Vinaya Kecil

Sepuluh vinaya Kecil itu adalah seperti berikut :
1. Tidak menerima baik sendiri ataupun orang lain untuk kepentingannya dan
yang menyimpankan untuknya, emas atau perak
2. Tidak memakan bila mengunjungi suatu desa, makanan apapun jika tak
terlebih dahulu diundang atau dipersilahkan
3. Tidak makan pada sore hari sampai keesokan harinya
4. Tidak menyampur makanan dengan garam yang telah disimpan dalam tanduk,
dan tidak akan memakannya.
5. Tidak minum, kelewat waktu yang telah ditentukan, lima tahap daripada
susu
6. Tidak meminum-minuman yang dimuaikan (jelasnya materi berair dalam
buah-buahan) yang warnanya menjadi kemerah-merahan seperti kaki merpati,
sekalipun tidak memabukkan.
7. Tidak melakukan Uposatha- Karma (membaca larangan-larangan Sangha dan
saling mengaku kesalahan setiap dua bulan sekali pada seorang bhiksu yang
datang sesudah pembacaan dimulai atau yang meninggalkan tempat itu sebelum
pembacaan terakhir.
8. Tidak melakukanUposatha-Karma yang terpisah dalam vihara yang besar dalam
lingkungan yang sama
9. Tidak mempergunakan Nisidana (kain untuk bernamaskara) yang terlalu
lebar.
10. Tidak mengikuti Pandiksa (initiator) dalam upacara tradisi kuno apapun.
(Pernyataan di atas di angkat dari Kamus Buddhis Tionghoa di bawah
perjudulan Vajjiputra dan lain-lain)

Ketidaksesuaian antara Sangha Sansekerta dan Sangha Magadha menimbulkan
perpisahan menjadai dua yaitu :
1. Kelompok Magadha yang disebut Sthavira. (Sthavira adalah kata Sansekerta
yang identik dengan kata Thera dari Magadha)
2. Kelompok Sansekerta yang disebut Mahasangika. (Mahasangika adalah kata
Sansekerta yang identik dengan kata Mahasangha dari Magadha)

Dari sana seterusnya Sangha Buddhis menjadi terpisah ke dalam dua Mazhab
yang masing-masing mengadakan Dewan Agung Sangha ke III :
1. Dewan Agung Sangha ke- III yang diadakan oleh Sangha Sthavira
berlangsung di Kota Pataliputra di bawah pimpinan Mogaliputra. Tissa 200
tahun sesudah Dewan Agung Sangha ke –II. Dewan Sangha ke-III ini dijiwai
oleh tunjangan yang hebat dari Raja Asoka
2. Raja Asoka adalah cucu raja Chandragupta, yang antara 10 dan 12 tahun
sesudah kunjungan Iskandar Agung ke India, telah mengangkat dirinya sendiri
sebagai Raja dari Magadha, dan setelah mempertahankan Lembah Indus dari
serangan Agresi Yunani kemudian memperluas kerjaanya atas sebagian besar
Hindustan. Raja Asoka memerintah dari tahun 264 sampai 273 A.D. Ketika
Beliau naik tahta beliau segera mengakui Agama Buddha sebagai agama resmi
dalam lingkungan seluruh kerajaanya, dan sejak saat itu agama Buddha
tersebar luas ke seluruh India.
3. Dewan Agung Sangha ke III yang diadakan oleh sangha Mahasangika
berlangsung di Kota Kashmir di bawah pimpinan Vasumitra, kira-kira 230 tahun
sesudah Dewan Agung Sangha ke II dengan tunjangan besar sekali dari raja
Kanisha yang menjadi pelindung dan penyebar Agung Agama Buddha. Disebutkan
bahwa ketika kanon Buddhis diperbaiki Beliau memerintahkan agar kanon itu
diukir atas kepingan-kepingan perunggu dan ditempatkan di dalam sebuah
Stupa. Raja Kanisha adalah Raja dari Gandhara di Punjab Utara yang
menakhlukkan India Utara sehingga sejauh Bactria. Beliau adalah Pelindung
Besar Agama Buddha, dan Beliau adalah Raja yang terbesar sesudah Raja asoka.

Perpecahan yang memisahkan Aliran Utara dan Selatan disebabkan perbedaan
pendapat, dan secara otomatis kelainan-kelainan doktrin menyusul perpecahan
yaitu :


I. Sthavira

Sthavira telah melahirkan Sthaviravada (Theravada). Sthaviravada adalah
kata Sanskerta yang sama dengan kata Pali Theravada. Nyatanya terjemahan
Magadha dan Pali hampir sama. Magadha dipergunakan di India dan Pali
dipergunakan di Srilangka.

Kanon Theravada merupakan satu bentuk kesusasteraan yang berlandaskan
Magadha di India dan ditulis dalam Bahasa Pali di Srilangka dalam tahun 80
SM (kira-kira 263 tahun Buddhis). Dengan perkataan lain Srilangka adalah
tempat kelahiran Theravada Buddhisme.

Theravada disebut Buddhisme Selatan. Buddha Dharma Aliran Selatan mengikuti
jalan Arahat (Arahatta Magga) yang berdasarkan Arahat. Jalan Arahat
berdasarkan teori yang mulai mengambil bentuk sejak masa Pangeran Siddhatta
menjadi Buddha dan disebut Sakya Arahatta Samma Sambuddha, dengan
ajaran-ajaran seperti berikut :
A. Ajaran Buddha
Aliran selatan menganut Ajaran Sang Buddha dari masa sekarang yaitu Sang
Sakyamuni Buddha.
B. Aturan Makanan
Dalam Aliran Selatan, seorang Bhikhu diijinkan makan daging hewan dia tidak
menganggap dirinya melakukan kesalahan atau pelanggaran sebab berdasarkan
pandangannya atas tiga syarat yang diijinkan oleh Sang Buddha seperti
diuraikan dalam Jivaka – Sutra seperti ;
1. Dia tidak melihat
2. Dia tidak mendengar dan
3. Dia tidak menduga bahwa hewan itu sengaja disembelih untuk menyediakan
makanan yang diberikan kepadanya.
(Disebut Trikotiparisudhi Mangsa yag berarti : Tiga macam daging yang
bersih)

Benar bahwa dia telah mengajar orang agar mengajar orang agar tidak
membunuh makhluk hidup tetapi adalah diluar kekuasaanya untuk mencegah orang
melakukan pembunuhan. Dalam hal orang tidak mengikuti ajarannya maka itu
adalah salah mereka sendiri kalau mereka mengabaikan keselamatan mereka
sendiri. Perbuatan adalah milik perorangan dan tiap orang bertanggung jawab
akan keselamatan dan pelanggarannya sendiri.
C. Pembebasan
Para arahat telah mencapai Nibbana yang memilih jalan pembebasan segera
untuk pembebasan mereka sendiri.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #2 on: 26 September 2010, 08:57:39 AM »
II.
Mahasangika
Mahasangika telah melahirkan Acaryavada.
Acaryavada adalah kata Sanskerta yang sama bahasa Palinya. Buddha Dharma
Aliran Utara mengikuti jalan Bodhisatva (Bodhisatva Marga) dan berlandaskan
tujuan Bodhisatva.

Teori itu mengambil bentuk mulai dari masa Pangeran Sidharta Gautama menjadi
seorang bhikkhu dan disebut Sakya Bodhisatva (sebelum mencapai tingkat
Buddha) dengan ajaran-ajaran seperti berikut :
A. Ajaran Buddha
Doktrin Utara mempergolongkan ajaran ke dalam 3 bagian, yakni :
1. Ajaran Buddha dari masa yang lampau
2. Ajaran Buddha dari masa yang sekarang
3. Ajaran Buddha dari masa yang mendatang
Oleh sebab itu mahayana menempatkan banyak patung-patung Buddha, Arahat dan
Bodhisatva di dalam Vihara mereka.

B. Aturan Makanan
Dalam doktrin Utara seorang Bhiksu harus mentaati peraturan
Tapassa-Silavrata yang telah dilaksanakan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau
masih disebut Sakya Bodhisatva (sebelum mencapai tingkat Buddha) seperti
diterangkan dalam Mahasimhanada Sutra. Peraturan ini mendapat sebutan Khusus
yaitu Bodhisatva Sila, yang salah satu dari pasal-pasalnya ialah Makanan
sayuranis. Dalam hal ini seorang bhikkhu mengajar orang agar tidak
melibatkan diri dalam pembunuhan hewan dan memberikannya pada seorang
bhikkhu. Penampilan itu dianggapnya sebagai usaha untuk menyadarkan orang
akan pahala membawa pada kemanfaatan penumpukan pahala-pahala.
Bahkan ia mengajar orang supaya menjauhkan perbuatan-perbuatan salah demi
kepentingan diri sendiri.
Para Mahayanis menganggap peraturan ini sebagai keharusan yang amat penting
sekali.

C. Pembebasan
Para Bodhisatva merupakan calon-calon Buddha yang memilih jalan terakhir
dengan mencarinya secara tanpa pamrih, dan menuntut hidup pengabdian pada
Agama melalui saling membantu untuk bersama-sama mencapai pembebasan.
Mengenai 10 Pasal Vinaya Kecil yang telah disebut, dalam Kitab-kitab Vinaya
Mahayana terdapat keterangan-keterangan lengkap tentang peraturan-peraturan
Sangha seperti yang terdapat keterangan-keterangan lengkap tentang
peraturan-peraturan Sangha seperti yang terdapat pada jaman dahulu. Dengan
persetujuan umum, pembatalan adalah dengan tujuan menghindarkan
rintangan-rintangan pada kemajuan seperti :

Dalam Pasal 1
Sebagai satu Paratayaya yang dibutuhkan, sebab hal itu bisa terjadi, dan
sebab barang itu dapat dipergunakan dalam pertukaran dengan sesuatu yang
lain seperti obat-obatan, pakaian dan sebagaianya (disebut Paratayayakara).

Dalam Pasal 3,5, dan 6
Sebagai obat untuk menyembuhkan gangguan fungsi-fungsi badaniah (keadaan
abnormal atau tidak sehat daripada badan atau pikiran) yang menyebabkan
orang tidak dapat melakukan tugasnya. (Disebut Bhaisajya Pana Bhojaniya).

Dalam Pasal 10
Sebab tidak ditentang dalam Vinaya, yaitu upacara untuk kebaikan arwah yang
telah meninggal, papan peringatan leluhur dan lain-lain yang merupakan dasar
untuk membawa para pengikut kepada kelakuan berbakti (disebut Uddissata –
Dana dan Kritivedhina).

Meskipun ada perbedaan antara kedua doktrin tersebut, namun tujuannya sama
yaitu kemurnian dan kesimpulannya telah ditarik dari kenyataan bahwa
masing-masing doktrin memiliki kode pemeliharaan diri

Catatan sejarah tahunan dari Dinasti Han memberitahukan bahwa Mingti, Kaisar
ke-17 dari Dinasti Han, pada suatu ketika bermimpi melihat se-Orang emas
yang terbang melayang memasuki istananya. Impian itu ditanyakannya pada
menteri menterinya dan diberitahukan bahwa itu adalah patung Buddha, seorang
India yang telah mencapai Kebijaksanaan Agung suatu alamat baik tentang
datangnya kebahagiaan yang luhur.

Sang Kaisar telah sedemikian terkesan oleh impian itu sehingga dalam tahun
A.D. 65, dikirimnya suatu delegasi yang terdiri dari para bangsawan ke India
untuk mencari tahu tentang kebenaran dari impiannya itu. Missi itu kembali
dengan dua orang bhiksu India yang bernama Kasyapamatanga dan Gobharana atau
Dharmaraksa yang mempersembahkan beberapa patung dan kitab kepada Kaisar.

Kemudian sang Kaisar membangun sebuah vihara yang disebut Vihara Kuda Putih
di Loyang yang pada waktu itu ibu kota, dan Beliau mempersilahkan kedua
bhikkhu tersebut untuk tinggal di vihara itu.
Kitab Buddhis yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa ialah
sutra dari empat puluh dua bagian oleh Kasyapamatanga dan Gobharana. Sutra
ini merupakan satu koleksi daripada ujar-ujar keagamaan dan susila dari
sang Buddha.

(Catatan : Kitab ini telah berulang kali diperbaiki, dan berkali-kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan yang akhir dan terbaik
adalah oleh dr. D.T. suzuki didalam “Sermons by a Buddhis Abbot”).

Banyak sutra-sutra Buddhis tentang sila atau moralitas telah dimasukkan ke
Tiongkok pada jaman Dinasti Han ini, akan tetapi tidaklah ada kitab Vinaya
yang diterjemahkan.

Pada bagian akhir dari Dinasti Han, seorang Bhiksu India dari India Tengah,
Dharmakala tiba di Tiongkok dalam A.D. 222. Ia meterjemahkan Pratimoksa dari
Mahasangika, tetapi sangat disayangkan terjemahan ini telah hilang di dalam
jaman berikutnya.

Mengenai Mahayana Vinaya Tionghoa, tercatat dalam kitab “Perjalanan Fa
Hsien” bahwa pada zaman pemerintahan An.Ti (A.D. 397-418) dari Dinasti Tsin,
seorang Sramana Tionghoa yang tersohor, Fa-hsien selagi masih belajar di
Chang-An ibukota dari Dinasti Tsin, telah tergugah hatinya ketika melihat
keadaan yang tak sempurna daripada Vinaya Buddhis. Dalam pada itu
bertekadlah ia akan pergi ke India untuk memperoleh Vinaya dan Sutra-Sutra
Buddhis. Fa-Hsien adalah Bhiksu Tionghoa pertama yang pergi ke India khusus
dengan tujuan memperoleh pengetahuan dan mempelajari Buddha-Dharma.

Fa-Hsien meninggalkan Tiongkok dalam A.D. 399, berjalan kaki melintasi Gurun
Gobi dan melalui Hindukush ke India. Ia melewatkan 18 tahun penuh
kesengsaraan di India dan kembali ke Tiongkok dengan jalan laut melalui
Srilanka dan Pulau Jawa dalam A.D. 414.

Sekembalinya di Tiongkok, dengan bantuan Buddhabadhra, ia menterjemahkan
versi yang lebih besar Vinaya-Mahasanghika (kanon besar) dalam tahun A.D.
418; dan salah satu Kanon Besar itu terdapatlah Pratimoksa Sanghika
Vinayamula.

Vinaya Sanghika, sebuah karya tentang Disiplin untuk bhiksu dan bhiksuni
dianggap karya pribadinya sendiri.

Catatan: Dengan terbitnya buku Fa-Hsien yang mencatatkan tentang buku-buku
Buddhis, maka timbul heboh yang menggugah hati dan membakar semangat pemuda-
pemuda dan pengabdi Buddhisme. Beratus-ratus pemuda meninggalkan rumah
tangga untuk mengikuti jejak Fa-Hsien berziarah ke tanah suci Sang Bhagavan,
dan untuk memperoleh kitab-kitab suci Buddha.

Banyak kitab-kitab Vinaya yang penting-penting telah dibawakan ke dalam
Bahasa Tionghoa pada jaman dinasti Tsin oleh para penterjemah India yang
tenar.
1. Punyatara, Seorang Sramana dari Kubha (Kabul) yang datang ke Tiongkok
dalam A.D 400, dengan bantuan Kumarajiva menterjemahkan Sarvastivada
Vinaya.
2. Buddhayasas, seorang Sramana dari Khasmir yang datang ke Tiongkok dalam
A.D. 405, menterjemahkan banyak kitab-kitab termasuk Dirghaghama Sutra. Dia
juga menterjemahkan sebuah Vinaya dan Pratimoksa dari aliran Dharmaghupta.
3. Buddhabadhra, seorang Sramana dari Kapilavastu dan tiba di Tiongkok dalam
AD 406. Ia menterjemahkan banyak sutra-sutra Sansekerta ke dalam bahasa
Tionghoa. Versinya yang paling digemari ialah Mahasangika Vinaya.
4. Kumarajiva yang terkenal sebagi salah satu matahari yang cemerlang dari
Mahayana. Pengkhotbah yang terutama dan paling efektif di Tiongkok. Dia
menterjemahkan Brahmajala Sutra dan sejumlah komentar-komentar ke dalam
bahasa Tionghoa. Terjemahannya dipandang sebagai satu contoh gaya sastera
Tonghoa yang terbaik. Beliau seorang Sramana dari Turkistan Timur yang tiba
di Tiongkok A.D 383. Beliau meninggal di Chang-An pada A.D 412 dan setelah
jenasahnya diperabukan, lidahnya ternyata tak termakan oleh api.
5. Buddhejiva, Seorang Sramana India dari Kashmir yang tiba di Tiongkok
dalam A.D. 423. Ia menterjemahkan Mahisasaka Vinaya.
Harus diakui bahwa banyak karya-karya Vinaya Sansekerta yang telah hidup
berdampingan dengan karya-karya Pali yang sama, Hal ini diperlihatkan secara
jelas dalam teks Vinaya, Karya-karya sanskerta Dianggap mempunyai dasar yang
sama atau hampir sama dengan Vinaya Pali.

Aliran Vinaya pertama-tama didirikan di Tiongkok oleh Tao-Hsuan dalam
Dinasti Tang dengan menitik beratkan peraturan dan Tata Disiplin. Tao-Hsuan
seorang Bhikkhu Tionghoa tenar yang membantu Hsuan Tsang dalam
penterjemahannya. Hsuan Tsang adalah seorang peziarah Tionghoa tersebut yang
meninggal pada A.D. 664.

Ada bebrapa kelompok Disiplin. Pada kenyatannya, dalam Mahayana Tionghoa
terdapat Catuh-Vinaya
Yang disebut Empat Tata Disiplin :
1. Sarvastivadda Vinaya
Diterjemahkan ke dalam 61 Chuan pada AD 404/406 oleh Punyatara
2. Dharmagupta Vinaya
Diterjemahkan ke dalam 61 Chuan pada A.D 405 oleh Buddhayasa
3. Mahasanghika Vinaya
Diterjemahkan ke dalam 40 Chuan pada A.D 403 oleh Buddhabhandra
4. Mahisasaka Vinaya
Diterjemahkan ke dalam 30 chuan pada A.D. 423 oleh Buddhajiva Dan disitu
terdapat juga Pancasastra disebut lima uraian etika
1. Uraian tentang Disipilin
2. Uraian tentang penghindaran dari kesalahan
3. Uraian tentang Penglihatan yang baik
4. Uraian tentang Kenyataan dan
5. Uraian tentang Pengertian yang baik.

Disamping yang dikutip di atas, terdapat juga banyak kitab tentang tata
kelakuan untuk para bhiksu seperti:
1. Aturan untuk menjadi siswa
2. Lima bagian larangan-larangan Sangha
3. Pelbagai golongan disiplin

Komentar-komentar Buddha Dharma Tionghoa memperlihatkan bahwa aliran Utara
mempunyai satu perpustakaan yang luas (diterjemahkan dari sansekerta pada
zaman dahulu) serta sejumlah besar sutra-sutra yang diklasifikasikan di
bawah vinaya, atau yang memenuhi tujuan vinaya terutama :
Brahmajala Sutta yang diterjemahkan oleh Kumarajiva A.D 406 Brahmajala Sutra
ini telah selalu dianggap sebagi kode utama Vinaya dari Aliran-aliran
Mahayana di Tiongkok. Dalam Sutra ini terdapat banyak risalah tentang Sila,
Upalaksa, dan Vinaya seperti Peraturan Pratimoksa dan Boddhisatva Sila yang
akan dihubungkan pula dalam Bab II dan III.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #3 on: 26 September 2010, 09:02:05 AM »
BAB III
Peraturan Pratimoksa

Berkenaan dengan Pratimoksa, agak jelas bahwa itu telah disusun di dalam
Dewan Agung Sangha pertama pada tahun Sang Buddha meninggal dunia kira-kira
tahun 543 S.M, dan bahwa Pratimokhsa telah diperdebatkan oleh para anggota
Dewan tentang mana yang tergolong besar.

Demikianlah nampaknya dapat dibenarkan kalau dikatakan bahwa Pratimoksa
telah ditulis pada jaman sebelum terjadinya perpisahan Sangha Magadha dan
sansekerta menjadi 2 partai, Hinayanan dan Mahayana.

Ini satu bagian dari Vinaya yang terpenting dari Vinaya dan harus dibacakan
dalam Sidang Sangha dua kali sebulan pada hari bulan purnama dan bulam tilam
dari peninggalan chandra-sangkala, dan diwaktu mana setiap bhikksu diminta
mengakui kesalahannya demi pengampunan/absolusi.

Ini satu bagian dari Vinaya yang bersangkutan dengan pengakuan kesalahan
secara terbuka dihadapan bhiksu lain. Tiap peraturan dibacakan agar dapat
didengar oleh setiap bhiksu dalam sidang itu. Pada akhirnya setiap bagian,
bhiksu pemimpin bertanya apakah ada bhikkhu-bhikkhu dalam pertemuan itu yang
telah melanggar peraturan tersebut. Dia mengulangi pertanyaan ini sampai
tiga kali dan jika tiada suara yang keluar maka itu menunjukkan bahwa
bhiksu-bhiksu yang hadir bersih dan murni. Upacara ini juga disebut
Pembacaan dua kali sebulan larangan-larangan Sangha.

Pratimoksa yang berikut ini adalah sebagian dari Vinaya yang disebut Vinaya
Empat Bagian dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada A.D 405 oleh
Buddhayasas dan Chu-Fo-Nien. Pratimoksa ini berisi 250 Pasal yang
dipergolongkan di bawah delapan bagian sebagai berikut;
1. Parajika 4 pasal
2. Sanghavasesa 13 pasal
3. Aniyata 2 pasal
4. Naihsargika Prayascittika 30 pasal
5. Prayascitta 90 pasal
6. Pratidesaniya 4 pasal
7. Siksakaraniya 100 pasal
8. Adhykarana Samadha 7 pasal

Jumlah 250 pasal

Catatan: Dalam Buddhisme Aliran selatan, Patimokkha berisikan 227 pasal,
atau 23 pasal kurang dari Pratimoksa Mahayana yaitu : 92 Pacittiya. Dan 75
sekhiya (Lihat catatan pada akhir Bagian 5 dan 7)


Peraturan Pratimoksa
Parajika (P = S)
Bagian Pertama

Ada empat Kesalahan Parajika. Semua empat itu adalah kesalahan yang
terberat yang disebut kesalahan Kematian dan Kesalahan maut. Empat
kesalahan-kesalahan itu adalah :
1. Abrahmacarya : Asusila Kelamin
Seorang Bhiksu yang mengumbar diri dalam perbuatan kelamin dengan wanita,
laki-laki, atau binatang betina, telah melakukan kesalahan parajika.
2, Adattadanad : Pencurian
Seorang bhiksu yang secara salah memgambil barang apapun seharga 5
masaka (dengan ukuran nilai 60 baht = 1 Pound Sterling, maka satu masaka =
4.50 baht atau satu masaka = 16 Thung Chien mata uang Tiongkok Kuno) telah
melakukan parajika.
3. Vadha (Himsa) : Membunuh
Seorang Bhiksu yang membunuh satu makhluk manusia, baik dengan tangannya
sendiri, ataupun melalui petunjuknya, atau melalui hasutannya, atau
berkomplot dengan pembunuh, dia telah melakukan parajika.
4. Uttaramanusyadharmaprdlapad : Berbicara Palsu
Seorang bhiksu yang berbohong dan menyombngkan diri telah mencapai Tingkat
Kesucian yang sebenarnya tak dimilikinya, dia telah melakukan parajika.

Ksama
(Peraturan untuk pengakuan dan pengampunan)

Parajika merupakan Bagian Pertama dari Pratimoksa yang berisikan aturan
pengusiran dari sangha bagi kesalahan-kesalahan yang tak berampun,
kesalahan-kesalahan itu tidak dapat diampuni dengan pengakuan dihadapan
Sidang sangha ataupun oleh resolusi Sidang sangha itu sekalipun.
Si pelanggar adalah seperti sebatang jarum tanpa mata, batu pecah yang tak
mungkin dipersatukan lagi, sebatang pohon terpotong dua yang tak akan tumbuh
lagi, ataupun seperti seorang mati. Dia telah sepenuhnya tergelincir dan
menjadi suatu pembawa malu selama hidupnya.
Seorang Bhiksu yang melakukan satu kesalahan Parajika melibatkan dirinya
dalam pengusiran dari sangha. Dia tidak dapat ditahbiskan lagi ke dalam
sangha. Kesalahan-kesalahan yang disebut di atas adalah parajika. Kesalahan
sanghavasesa akan dinyatakan dalam bagian berikutnya.

II. Sanghavasesa
(Pali : Sanghadisesa)
Bagian kedua

Ada 13 kesalahan Sanghavasesa. Kesalahan Sanghavasesa mendekati
pengusiran/pengeluaran dari sangha dan yang memerlukan pengakuan dihadapan
Sidang dan pengampunan oleh Sidang Sangha. Kesalahan-kesalahan itu adalah :
1. Seorang Bhiksu yang dengan sengaja mengeluarkan air maninya akibat
masturbasi apapun, terkecuali dalam impian, telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa
2. Seorang Bhiksu yang dengan birahi menyentuh bagian apapun dari tubuh
seorang wanita, telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa
3. Seorang Bhiksu yang menjalani pemikiran birahi, dan berbicara dengan
kata-kata yang menimbulkan birahi dengan seorang wanita telah melakukan satu
kesalahan Sanghavasesa
4. Seorang Bhiksu yang mempunyai nafsu birahi dan meminta seorang wanita
mengikutnya dalam hubungan kelamin, telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa
5. Seorang Bhiksu yang bertindak sebagai comblang (perantara), baik dalam
perkawinan yang sah dan terbuka maupun yang secara diam-diam dan sumbang
telah melakukan kesalahan Sanghavasesa
6. Seorang Bhiksu yang membangun kamar atau tempat tinggal untuk dirinya
sendiri, harus pertama-tama mendapat ijin dari kepala Vihara atau Sangha.
Kamar itu harus dibangun sesuai dengan ukuran biasa, yaitu panjang 12 kheub
dan lebar 7 kheub (1 kheub =1/4 meter atau 10 inchi). Jika dia gagal
mendapatkan ijin kepala vihara atau Sangha yang akan menunjukkannya tempat
untuk membangunya atau jika ia menbangunnya lebih dari ukuran tersebut, dia
telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
7. Seorang Bhiksu yang membangun kamarnya dengan sokongan seorang pengabdi
diijinkan membangunnya lebih dari ukuran tersebut, tetapi dia harus lebih
dahulu mendapat ijin kepala vihara atau Sangha dan dia harus membangunnya di
tempat yang telah ditunjuk. Jika tidak berbuat demikian, maka dia melakukan
kesalahan Sanghavasesa.
8. Jika seorang Bhiksu menjadi marah terhadap Bhiksu lain, membuat tuduhan
palsu dari kesalahan Parajika terhadap bhikkhu lainnya itu, dan jika tuduhan
palsu itu diketahui oleh Bhiksu lainnya maka dia telah melakukan pelanggaran
Sanghavasesa.
9. Jika seorang Bhiksu menginginkan balas dendam terhadap Bhiksu lain,
memfitnah bhiksu itu telah melakukan Parajika, dan jika fitnah itu diketahui
oleh bhiksu lain dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
10. Jika seorang Bhiksu mencoba memecah belah sangha, dan walaupun tiga kali
bhiksu-bhiksu lain berusaha menasihatinya dia masih meneruskan maksudnya
itu, dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
11. Jika seorang Bhiksu turut melindungi bhiksu yang telah memecah belah
sangha, dan walaupun telah tiga kali dinasehati oleh bhiksu lain dan dia
tidak menganggapnya maka ia telah melakukan kesalahan Sanghavasesa
12. Jika seorang Bhiksu yang melanggar Pratimoksa berkelakuan seperti orang
yang sudah berkeluarga dan dengan demikian kehilangan penghargaan dari
bhiksu-bhiksu yang lain, ia mengeluh bahwa bhiksu-bhiksu lain itu salah
mengerti terhadap dirinya, dan jika setelah dua peringatan tak berhasil dan
Bhiksu-bhiksu lainnya memberi peringatan ketiga dan memintanya memperbaiki
kelakuannya, dan dia tidak menghiraukannya, ia telah melakukan kesalahan
Sanghavasesa
13. Jika seorang Bhiksu yang keras kepala, yang sukar untuk bergaul
dengannya oleh karena sukar diajak bicara dan yang kelakuannya bertentangan
dengan ajaran, balas menjawab teguran yang ditujukan untuknya, jika setelah
dua peringatan tidak mampu merubahnya,maka bhiksu yang lain memberi
peringatan ketiga dan meminta untuk memperbaiki tingkah lakunya, dan dia
terus berkelakuan tidak pantas maka dia telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa.

Sanghavasesa adalah bagian kedua dari Peraturan pratimoksa yang terdiri dari
13 pasal. Semua 13 pasal ini merupakan kesalahan besar setelah Parajika.

Ksamayati
Keputusan dan Hukuman

Aturan-aturan untuk pengakuan dan pengampunan adalah sebagai berikut :
1. Si pelanggar harus mengakui kesalahannya di hadapan sesama bhiksu yang
jumlahnya tidak kurang dari 20. Jika tidak, kesalahannya tidak dapat
diampuni.
2. Si pelanggar harus melaksanakan Mdnatta, istilah untuk penebusan, yaitu
duduk seorang diri di tempat tersendiri dan melafal doa pertobatan untuk
meminta pengampunan selama 6 malam penuh.
Dua pasal di atas adalah upacara pengakuan biasa bagi bhiksu yang telah
melakukan Sanghavasesa. Untuk 9 pasal pertama seorang Bhiksu dikatakan
melakukan kesalahan tepat pada saat pelanggaran. Untuk 4 pasal akhir seorang
bhiksu dikatakan melakukan kesalahan hanya setelah tiga peringatan. Jika
seorang bhikkhu gagal untuk mengakui kesalahannya dia dapat diputuskan
hubungannya dari sangha. Kesalahan-kesalahan di atas disebut Sanghavasesa.

III. Aniyata (P = S)
Bagian Ketiga

Kata aniyata diinterpretasikan Karma yang tak tertentukan atau yang tak
terbataskan. Aniyata adalah perbuatan yang cirinya tidak dapat ditetapkan
dan yang terbuka pada pemeriksaan. Ada dua kesalahan aniyata, yaitu :
1. Seorang Bhiksu yang duduk sendirian dengan seorang wanita dalam suatu
tempat yang tertutup dan diduga mungkin telah melakukan satu kesalahan
asusila, yaitu satu kesalahan Parajika, Sanghavasesa atau
Naihsargika-Prayascittika, telah melakukan Aniyata. Jika ia mengaku bersalah
akan satu atau lain jenis kesalahan, maka jenis hukuman yang bersangkutan
akan dijatuhkan kepadanya.
2. Seorang bhiksu yng duduk sendirian dengan seorang wanita disuatu tempat
terbuka, tapi tidak kelihatan dan ternyata telah melakukan satu kesalahan
asusila, baik Sanghavasesa ataupun Naihsargika prayascittika. Dia melakukan
satu kesalahan Aniyata.
Dua kesalahan aniyata ini adalah antara Sanghavasesa dan Naihsargika
prayascittika dan kedua-duanya itu adalah kesalahan yang tidak ditentukan.
Jika Bhiksu itu mengaku bersalah akan satu jenis kesalahan, maka hukuman
jenis itu akan dijatuhkan atas dirinya.

Ksamayati
Keputusan dan Hukuman

Seorang Bhiksu yang melanggar salah satu dari kesalahn-kesalahan ini
dikatakan malakukan satu kesalahan Aniyata.
Akan tetapi kesalahan yang dilakukan adalah dalam keadan tidak diketahui
secara pasti, tidak dibatasi denganjelas, dan tidak mempunyai satu
halpenting yang pasti, oleh karena itu memerlukan pemeriksaan yang lebih
mendalam pada Sidang Sangha.
Kesalahan Naihsargika – Prayascittika akan dinyatakan dalam bagian
berikutnya.

IV. Naihsargika – Prayascittika
(Pali : Nissaggiya Pacittiya)
Bagian keempat

Ada 30 kesalahan Naihsargika- Prayascittika. Semua kesalahan itu adalah
kesalahan yang ringan (disebut Lahukapatti) sesudah kesalahan Aniyata,
seperti berikut :
1. Seorang Bhiksu boleh menyimpan satu pakaian yang berlebihan tetapi tidak
perlu, yang telah diberikan kepadanya untuk selama 10 hari. Jika dia
menyimpannya lebih dari 10 hari, dia telah melakukan
Naihsargika-Prayascittika.
2. Jika seorang Bhiksu tidur tanpa pakaian, bahkan hanya untuk 1 malam,
terkecuali diumumkan oleh bhiksu atau Sangha bahwa pikirannya kurang waras,
dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
3. Seorang Bhiksu yang telah memperoleh sepotong kain yang tidak cukup
untuk satu pakaian, dengan harapan akan mendapatkan kekurangannya, boleh
menyimpan kain itu selama satu bulan. Jika dia menyimpannya lewat dari
jangka waktu itu dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
4. Jika seorang Bhiksu menerima satu pakaian dari tangan seorang bhiksuni
yang bukan keluarganya, terkecuali kalau dia menerimanya sebagai pertukaran
dengan sesuatu barang, dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
5. Jika seorang bhiksu memberi perintah pada seorang pada seorang bhiksuni
yang bukan sanak keluarganya untuk mencuci, atau mencelup, atau menggosok
jubah untuknya, dia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
6. Jika seorang bhiksu meminta sehelai jubah dari seorang berkeluarga
laki-laki atau perempuan yang bukan sanak keluarganya, dan jika dia
memperolehnya,maka dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika (dalam hal
ini ada satu pengecualian, yaitu kalau ubahnya yang tua tercuri atau hilang,
terbakar atau hanyut dalam air)
7. Seorang bhikkhu yang telah kehilangan boleh meminta jubah untuk menutupi
badannya. Jika dia meminta dan memperolah jubah yang lebih dari itu (yang
hilang), dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
8. Jika seorang bhikkhu mengetahui bahwa seorang umat akan memberi jubah
dan ia menginginkan yang lebih baik mutunya dan lebih mahal harganya dari
yang umat bermaksud memberinya, dia telah melakukan Naihsargika-
Prayascittika
9. Jika seorang bhikkhu mengetahui bahwa banyak umat akan memberi jubah
secara kolektif, dan ia menginginkan yang mutunya lebih baik dan harganya
lebih mahal, dan dia pergi meminta kepada mereka serta memperolehnya, dia
telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
10. Bilamana Raja, brahmana, Pembesar atau Bangsawan mengirim sejumlah uang
dengan perantaraan seorang pesuruh kepada seorang bhiksu untuk membeli jubah
, dia harus meminta pesuruh itu memberikan uang itu kepada seorang
Vaiyavachakarana atau Vaiyavrtya (seorang berkeluarga yang melaksanakan
pelajaran pada seorang bhikshu). Setelah pesuruh itu memberikan uang itu
kepada Vaiyavachakarana diberitahukannya pada bhiksu tersebut bahwa bilamana
dia memrrlukan pakaian did boleh mendapatkannya dari Vaiyavachakarana. Jika
bhiksu itu meminta pakaian Vaiyavachakarana 3 kali dan gagal mendapatkannya,
dia harus pergi dan berdiri agar tertampak pada si Vaiyavachakarana untuk 6
kali. Jika dia memintanya lebih dari tiga kali atau berdiri untuk dilihat
oleh si Vaiyavachakarana lebih dari 6 kali dia telah melakukan Naihsargika
Prayascittika. Dalam hal ini, bhiksu yang bersangkutan harus pergi dan
memberitahukan kepada pesuruh tadi dan memintanya agar pergi dan mengambil
uang itu kembali dari si Vaiyavachakarana tersebut.
11. Jika seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila dari bulu binatang
bercampurkan sutra, dia melakukan Naihsargika-Prayascittika
12. Jika seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila seluruhnya dari
warna hitam, dia telah melakukan satu Naihsargika Prayascittika
13. Seorang bhiksu diijinkan membikin kain untuk bersila menurut rumus yakni
2 bagian hitam, 3 bagain putih, dan 4 bagian merah. Jika dia membikinnya
tidak menurut rumus tersebut, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
(Dalam bahasa Pali, warna 2 itu adalah : 2 bagian putih, 1 putuh, 1 merah).
14. Seorang bhiksu membikin kain untuk bersila dan mempergunakannya untuk 6
tahun. Jika sebelum 6 tahun dan tanpa alasan dia membikin pula satu kain
untuk bersila, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
15. Bilamana seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila yang baru, dia
harus memotong 1 kheub dari kain untuk bersila yang lama, dan
mencampurkannya dengan yang baru agar memudarkan warna-warnanya. Jika dia
tdak berbuat demikian, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
16. Jika seorang bhiksu berjalan kaki dalam satu perjalanan yang jauh dan
orang memberinya bulu binatang (wol), dia boleh menerimanya dan membawanya
dalam tangannya sejauh 3 yojana saja. (1 yojana = 10 mill). Lewat jarak
tersebut jika tidak ada orang membantu mambawakannya dan dia membawa sendiri
maka dia telah melakukan pelanggran Naihsargika Prayascittika.
17. Jika seorang bhiksu memerintah seorang bhiksuni yang bukan sanak
keluarganya untuk mnyelup dan menyisir bulu bnatang (wol) dia telah
melakukan Naihsargika Prayascittika.
18. Jika seorang Bhksu menerima emas atau perak apapun, baik dengan
tangannya sendiri ataupun melalui orang lain yang menyimpankan untuknya, dia
telah melakukan Naihsargika Prayascitika.
19. Seorang bhiksu yang berniaga dalam barang-barang berharga seperti emas,
perak, batu giok, dan sebagaianya, telah melakukan Naihsargika
Prayascittika.
20. Jika seorang bhiksu mengambil keuntungan dari seorang berkeluarga dalam
tukar menukar barang, dia melakukan satu Naihsargika Prayascittika
21. Seorang bhiksu boleh menyimpan Patra (mangkok untuk minta sedekah) yang
dengan tidak disengaja diberikan kepadanya untuk lamanya 10 hari. Jika dia
menyimpannya lebih dari 10 hari, dia telah melakukan satu Naihsargika
Prayascittika.
22. Jika seorang bhiksu memiliki patra yang retaknya tidak melebihi 5 celah,
meminta seorang berkeluarga untuk memberinya mangkok yang baru, dia telah
melakukan Naihsargika Prayascittika. Dia boleh meminta mangkok baru dari
sesama bhiksu dan dia harus memilih satu yang mutunya lebih rendah.
23. Seorang bhiksu yang mendapat benang yang belum tersisir, meminta seorang
penenun yang bukan sanak keluarganya untuk menenunnya menjadi kain untuknya,
telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
24. Jika seorang bhiksu mengetahui ada pengikut berkeluarga yang telah
memesankain guna ditenun untuknya, dan dia pergi dan meminta tukang tenun
untuk menukarnya dengan yang lebih baik dan berjanji untuk memberi ganti
rugi, dia telah melakukan Naihsargika- Prayascittika.
25. Jika seorang bhiksu yang telah memberikan kain kepada bhiksu lain,
kemudian menjadi marah pada bhiksu itu dan mengambil kembali kain itu
dengan kekerasan, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika
26. Seorang bhiksu yang sakit yang menerima persembahan seperti mentega,
susu ngadi, madu atau gula ceng (molasse), boleh menyimpannya selama 7 hari.
Jika dia menyimpannya lebih dari 7 hari, dia telah melakukan Naihsargika
Prayascittika.
27. Bila satu bulan sebelum musim panas, seorang bhiksu boleh mencari kain
guna dibuat menjadi jubah hujan, dan dalam waktu 15 hari sebelum musim hujan
sudah membuat kain itu menjadi jubah hujan. Jika dia mencari dan menggunakan
jubah hujan itu sebelum waktu yang ditentukan, dia telah melakukan
Naihsargika Prayascittika
28. Jika 10 hari sebelum musim varsa (vassa) seorang penderma menyampaikan
pada seorang bhiksu pakaian untuk bhiksu-bhiksu dalam upacara pahala
pakaian, Bhiksu itu belum menyimpannya tetapi dia harus tidak menyimpannya
lebih dari satu bulan sesudah mulai varsa.. Jika dia menyimpannya lebih dari
jangka waktu tersebut dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
29. Setelah jangka waktu satu bulan dari mulai varsa, seorang bhiksu yang
tinggal dihutan (yang disebut Sayanasana, atau yang tempat tidurnya dan
tempat duduknya di hutan) diijinkan menyimpan sebagian dari pakaiannya di
dalam rumah didekatnya untuk lamanya 6 malam saja. Jika dia mmberikan
pakaiannya dirumah itu lebih dari jangka waktu tersebut, dia telah melakukan
satu Naihsargika Prayascittika.
30. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seorang akan memberikan sesuatu
kepada bhiksu lain dan dia menyimpangkan pemberian itu untuk bhiksu lain
untuk dirinya sendiri, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.

Ksamakarma
(Permintaan Ampun)

Tiga puluh Naihsargika Prayascittika yang tersebut diatas merupakan
kesalahan yang ringan. Seorang bhiksu yang melakukan kesalahan itu harus
mengakui kesalahan atau kesalahannya – kesalahannya di hadapan Sidang Sangha
agar dapat dibersihkan dan dimurnikan.

V. Prayascitta
(Pali : Pacittiya)
Bagian Kelima


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #4 on: 26 September 2010, 09:05:25 AM »
Prayascitta adalah bagian kelima dalam vinaya yang terdiri dari 90
pelanggaran, untuk mana diperlukan penebusan kesalahan.
Pelanggaran-pelanggaran itu adalah sebagai berikut:
1. Jika seorang bhiksu berbohong, baik disengaja atau tidak disengaja dia
telah melakukan Prayascitta.
2. Jika seorang bhiksu memakai istilah kutukan dalam pembicaraan dia telah
melakukan Prayascitta.
3. Jika seorang bhiksu berbicara secara mengejek atau menyindir, dia telah
melakukan Prayascitta
4. Jika seorang bhiksu bermalam disuatu rumah yang hanya ada wanita atau
wanita-wanita dan tiada pria, dia telah melakukan Prayascitta
5. Jika seorang bhiksu tidur seranjang dengan seorang sramanera atau orang
berkeluarga lebih dari 3 malam dia telah melakukan Prayascitta.
6. Jika seorang bhiksu mengajar Dharma pada seorang sramanera atau seorang
berkeluarga dan mengucapkan kata-kata bersama-sama dengannya, dia telah
melakukan Prayascitta
7. Seorang bhiksu yang menceritakan kesalahan bhiksu lain kepada seorang
sramanera atau orang berkeluarga dia telah melakukan Prayascitta.
8. Seorang Bhiksu yang memberitahukan seorang Sramanera atau orang
berkeluarga tentang suksesnya dalam hal Bodhi yang sebenarnya telah
dimilikinya, telah melakukan Prayascitta.
9. Jika seorang bhiksu mengajar dharma pada seorang wanita dengan lebih dari
6 perkataan, terkecuali bila hadir seorang pria, dia telah melakukan
Prayascitta
10. Jika seorang bhiksu menggali tanah, baik dengan tangannya sendiri
ataupun dengan petunjuk-petunjuknya, dia telah melakukan Prayascitta.
11. Jika seorang bhiksu menyebabkan tumbuh-tumbuhan tercabut dari tempatnya,
dia telah melakukan Prayascitta.
12. Jika seorang bhiksu sengaja bebicara secara samar-samar, dia telah
melakukan Prayascitta.
13. Jika seorang bhiksu membenci bhiksu lain dan mencelanya, dia telah
melakukan Prayascitta.
14. Jika seorang bhiksu mengambil tempat tidur, atau bangku atau kursi milik
sangha, dan meletakkanya di tempat terbuka dan jika dia tidak membawanya
kembali atau meminta seorang untuk mengembalikannya, Dia telah melakukan
Prayascitta
15. Jika seorang bhiksu mengambil tempat tidur milik Sangha untuk tidur di
kamar bhiksu, dan jika dia tidak membawanya kembali ataupun meminta
seseorang untuk mengembalikannya maka dia melakukan Prayascitta.
16. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa satu kamar didiami bhiksu lain dan
penuh dengan barang-barang dan harta benda, jika dia pergi tidur di dalam
kamar itu sehingga bhiksu lainnya itu harus menyediakan tempat untuknya, dia
telah melakukan Prayascitta.
17. Jika seorang bhiksu menjadi marah pada bhiksu lain dan mengusirnya dari
kamar sangha, atau menariknya keluar, atau memerintahkan orang lain untuk
menariknya keluar dengan kekerasan dia telah melakukan Prayascitta.
18. Jika seorang bhiksu memasuki kamar bhiksu lain dan berbaring di atas
tempat tidur atau duduk di atas bangku yang dipergunakan untuk menaruh
barang-barang dan harta benda, dia telah melakukan Prayascitta.
19. Seorang bhiksu yang mengetahui ada mahkluk-makhluk hidup di air lalu
memercikkan dan menyuruh orang lain memercikkan air itu ke tanah atau
rumput, dia telah melakukan Prayascitta.
20. Jika seorang bhiksu memplester atap pintu atau jendela kamarnya dengan
tanah dan kapur dia diijinkan untuk memplesternya dengan tiga lapis plaster
saja. Jika dia membuat lebih dari 3 plaster maka dia melakukan Prayascitta.
21. Jika seorang bhiksu yang bukan ditunjuk sebagai guru pada para bhiksuni
mengajarkan dharma kepada para bhiksuni, dia telah melakukan Prayascitta.
22. Jika seorang Bhiksu yang ditunjuk sebagai guru para bhiksuni mengajarkan
dharma pada seorang bhiksuni setelah matahari turun dia telah melakukan
Prayascitta.
23. Jika seorang bhiksu yang membuat tuntutan palsu terhadap bhiksu lain
yang telah diangkat sebagai guru para bhiksuni bahwa dia mengajar mereka
demi untuk keuntungan, dia telah melakukan Prayascitta.
24. Jika seorang bhiksu memberi pakaian pada seorang bhiksuni yang bukan
sanak keluarganya, terkecuali dia memberinya dalam tukar menukar dengan
barang lain dia telah melakukan Prayascitta.
25. Jika seorang bhiksu menjahit pakaian untuk seorang bhiksuni yang bukan
sanak keluarganya, dia telah melakukan Prayascitta.
26. Jika seorang bhiksu duduk sendirian dengan seorang bhiksuni di tempat
yang sepi, dia telah melakukan Prayascitta.
27. Jika seorang bhiksu mengundang seorang bhiksuni untuk menemaninya dalam
satu perjalanan ke suatu tempat, dan kalau dia berjalan ditemani oleh
bhiksuni itu lebih jauh dari jaraknya satu desa, dia telah melakukan
Prayascitta atau satu pengecualian, yakni dalam hal perjalanan itu melalui
tempat-tempat sepi..
28. Jika seorang bhiksu mengundang seorang bhiksuni untuk menemaninya dalam
suatu perjalanan dengan perahu hilir atau mudik, dia telah melakukan
Prayascitta. Ada satu pengecualian, yakni menyeberangi sungai.
29. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seorang bhiksuni telah menyuruh
seorang yang telah berkeluarga untuk memasak makanan yang baik untuknya dan
jika ia memakan makanan itu, dia telah melakukan Prayascitta. Terkecuali
orang berkeluarga itu sendiri sebelumnya telah bermaksud untuk berbuat
demikian.
30. Jika seorang bhiksu mengundang seorang wanita untuk menemaninya dalam
perjalanan dan jika dia berjalan ditemani oleh seorang wanita itu lebih jauh
dari jarak satu desa, dia telah melakukan Prayascitta.
31. Seorang bhiksu yang tidak sakit diijinkan mengambil makan satu kali saja
dirumah-rumah penderita. Jika dia makan lebih dari satu kali, dia telah
melakukan Prayascitta.
32. Bilamana seorang pengikut (dayaka) mengundang seorang bhiksu tertentu
untuk pergi ke rumahnya untuk menerima pemberian makanan, dan jika pengikut
itu menyebutkan salah satu nama lima bhojananiya 95 macam makanan yang boleh
dimakan, yaitu nasi, kue segar, kue kering, ikan dan daging yang
diberikannya pada bhiksu itu, jika setelah kembali dari tempat tersebut
dengan makanan tersebut dia memakan dan menbagikannya pada lebih dari 4
bhiksu lainnya, dia telah melakukan Prayascitta. Terkecuali dalam hal
berikut : bhiksu kelima itu sedang sakit demam, atau sibuk dengan civarakala
(waktu tertentu untuk membuat pakaian), atau dalam perjalanan kaki yang
jauh, atau dalam perjalanan via dalam air, atau sedang tinggal bersama-sama
bhiksu lain, dan makanan yang diberikan kepadanya tidak cukup, atau makanan
itu milik sangha.
33. Jika seorang bhiksu telah menerima baik undangan untuk makan di suatu
tempat kediaman tertentu dan dia tidak pergi kesana, tetapi dia tidak pergi
ke sana, tetapi dia pergi makan ditempat lain, dia telah melakukan
Prayascittika.. Terkecuali dalam hal-hal berikut; dia sedang bepergian dalam
perjalanan yang jauh, atau sedang menderita sakit demam, atau sibuk dengan
Civarakala, atau mnghadiri pertemuan Sangha (dalam Bahasa Pali tidak
diuraikan).
34. Jika seorang bhiksu pergi meminta sedekah di suatu desa dan diberi
orang banyak kue, dia hanya diijinkan menerima tiga mangkok penuh saja. Dan
jika dia menerima lebih dari 3 mangkok penuh dia telah melakukan
Prayascitta.
35. Setelah seorang bhiksu memakan dan berhenti makan, dia tidak diijinkan
makan suatu makanan tambahan , terkecuali dia sakit. Jika dia berbuat
demikian dia telah melakukan Prayascitta.
36. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa bhiksu lain telah makan dan telah
berhenti makan, dan dia memikatnya untuk melanggar vinaya dengan
menganjurkannya agar makan lagi, dan jika bhiksu itu memakannya, dia telah
melakukan Prayascitta.
37. Jika seorang bhiksu makan diantara lewat tengah hari dan keesokan
paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
38. Jika seorang Bhiksu menerima makanan dan menyimpannya untuk semalam dan
memakannya esok paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
39. Jika seorang Bhiksu memakan suatu makanan yang tidak diserahkan
kepadanya, dan jika makanan itu melewati tenggorokannya, dia telah melakukan
Prayascitta. Satu pengecualian ialah untuk air dan Dartakastha (ranting
pohon salix untuk membersihkan gigi)
40. Jika seorang bhiksu yang tidak sakit meminta Bhojaniya seperti nasi
dicampur susu kental, mentega, minyak, madu, molasse, ikan, daging, susu dan
susu ngadi dari seorang yang bukan sanak keluarganya dia telah melakukan
Prayascitta.
41. Jika seorang bhiksu memberi makanan dengan tangannya sendiri kepada
seorang pertapa bukan Buddhis dia telah melakukan Prayascitta., lain yang
sedang makan dia telah melakukan Prayascitta.
42. Jika seorang Bhiksu menerima undangan untuk makan di suatu tempat
tertentu, dan sebelum atau sesudah itu dia ingin pergi ke suatu tempat lain,
dia harus memberitahukannya kepada sesama bhiksu didalam viharanya tentang
keperluannya. Jika dia tidak berbuat demikian dia telah melakukan
Prayascitta.
43. Jika seorang bhiksu memaksa menyelipkan dirinya diantara bhiksu-bhiksu
lain yang sedang makan, dia telah melakukan Prayascitta.
44. Jika seorang bhiksu duduk sendiri dengan seorang wanita di tempat sepi,
dia telah melakukan Prayascitta.
45. Jika seorang bhiksu duduk sendirian dengan seorang wanita di tempat
terbuka, dia telah melakukan Prayascitta.
46. Dalam hal seorang Bhiksu mengundang bhiksu lain untuk pergi minta
sedekah bersama-sama dengannya, jika setelah setengah perjalanan dia
mengusir bhiksu itu, dengan demikian ia menjadi bebas untuk melakukan
perbuatan asusila, dia telah melakukan Prayscitta.
47. Bilamana seorang berkeluarga memberikan dengan sukarela Catu-Pratyava
(Empat kebutuhan seorang bhiksu, yaitu pakaian, makanan, tempat tidur, dan
obat-oabatan) seorang bhiksu diijinkan menerimanya untuk keperluan lamanya 4
bulan saja. Jika dia memintanya lebih banyak, dia telah melakukan
Prayscitta, terkecualai orang berkeluarga itu atas kemauannya sendiri ingin
meneruskannya.
48. Dipersenjatai dan siap untuk bertempur, dia telah melakukan Prayscitta
terkecuali di mempunyai alasan cukup.
49. Jika seorangbhiksu harus mengunjungi tentara, dia harus tidak tinggal
dalam tangsi tidal kebih dari 3 hari. Jika dia tinggal lebih dari 3 hari dia
telah melakukan Prayscitta.
50. Jika seorang bhiksu berada bersama pasukan tentara untuk 3 hari. Dia
tdak diijinkan turuk ke medanperang, memasukiperkemahan tentara atau
erkemahan sementara dimana tentara berkuda, gajah, kereta perang dan pasukan
infanteri yang siap sedia untuk bertempur. Jika dia berbuat demikian di telh
melakukan Prayascitta.
51. Jika seorang bhiksu meminum- minuman keras, dia telah melakukan
Prayascitta.
52. Jika seorang Bhiksu berenang untuk bersenang, dia telah melakukan
Prayascitta
53. Jika seorang bhiksu menggelitiki seorang bhiksu lain, dia telah
melakukan Prayascitta.
54. Jika seorang bhiksu tidak mengindahkan peraturan-peraturan dan tidak
menghiraukan peringatan-peringatan bhiksu lain, dia telah melakukan
prayascitta.
55. Jika seorang bhiksu menakuti seorang bhiksu lain dengan hantu-hantu dia
telah melakukan Prayascitta.
56. Seorang Bhiksu yang hidup di India Tengah diijinkan mandi sekali dalam
15 hari dan jika dia mandi sebelum 15 hari di dikatakan telah melakukan
Prayascitta. Terkecuali dalam hal-hal berikut dia merasa panas, gelisah,
atau banyak berkeringat sehabis bekerja, atau jika pada musim hujan, atau
kalau dia sedang berada dalam perjalanan
57. Jika seorang bhiksu tidak sakit dan dengan tangannya sendiri menyalakan
api yang besar untuk menghangatkan badannya, dia telah melakukan
Prayascitta, Tetapi jika dia menyalakan api untuk keperluan yang lain dia
bebas dari kesalahan
58. Jika seorang bhiksu menyembunyikan patra bhiksu lain atau pakaiannya
atau kain untuk bersila, kotak jarum, ikat pinggangnya, ataupun
barang-barang lainnya, baik dengan tangannya sendiri atau dengan
petunjuknya, dia telah melakukan Prayascitta.
59. Jika seorang Bhiksu dengan tangannya sendiri memberikan Vikalpacivara
(berarti : pakaian yang seorang bhiksu berikan kepada bhiksu lain untuk
dipergunakan semaunya sendiri) kepada bhiksu lain atau bhiksuni atau
sramanera-sramaneri, dan kemudian mempergunakan pakaian itu tanpa ijin orang
pada siapa pakaian itu telah diberikan, maka dia telah melanggar hak orang
lain dan telah melakukan Prayascitta
60. Jika seorang bhiksu menerima pakaian yang baru dari seorang penyokong,
dia harus membuat satu Bindu (tanda bundaran dengan tanah liat atau warna
biru atau hitam) pada satu sudut dari pakaian itu sebelum menggunakannya.
Jika dia tidak berbuat demikian maka dia telah melakukan Prayascitta.
61. Seorang bhiksu yang dengan sengaja mengambil jiwa suatu binatang telah
melakukan Prayascitta.
62. Seorang bhiksu yang mengetahui adanya kehidupan di dalam air, dan
meminum air itu tanpa disaring, telah melakukan Prayascitta.
63. Jika seorang bhiksu yang mengetahui bahwa Adhyakarana Samadha (salah
satu tujuan Vinaya untuk menjauhi pertengkaran) telah dipertimbangkan secara
benar oleh sangha, merasa tidak puas dan meminta dengan sombong satu
pertimbangan baru, dia telah melakukan Prayascitta.
64. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa orang lain telah melakukan suatu
kesalahan dan merahasiakan fakta ini terhadap bhiksu-bhiksu lain, atau
menyimpan rahasia ini, dia telah melakukan Prayascitta.
65. Jika seorang bhiksu mengetahui seorang pemuda belum mencapai umur dua
puluh dan mentahbiskannya, dia telah melakukan Prayascitta.
66. Jika seorang bhiksu yang mengakui kesalahannya dihadapan bhiksu lain,
dan kesalahannya diampuni dengan penebusan menurut aturan Vinaya, kemudian
menyalahkan bhiksu itu karena menyalahartikan sebagai pembuat kesalahan atau
pelanggar, dia telah melakukan Prayascitta.
67. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seseorang adalah penyerang atau
perusak dan mengundangnya untuk menemaninya dalam suatu perjalanan kaki. Dan
jika dia berjalan ditemani oleh orang itu lebih jauh dari jarak satu desa,
dia telah melakukan Prayascitta.
68. Jika seorang bhiksu memprotes ajaran-ajaran Sang Buddha dan semua bhiksu
dengan suara bulat menyatakannya salah, dan jika setelah tiga percobaan
untuk menyadarkannya dan masih bertahan dan mengulangi protesnya dia telah
melakukan Prayascitta.
69. Jika seorang bhiksu bergaul dengan bhiksu lain yang memprotes
ajaran-ajaran Sang Buddha, dan melakukan upacara Sanghakarma (dua kali
sebulan membaca larangan Sangha dan pengakuan kesalahan bersama atau makan
atau tidur dengannya) dia telah melakukan Prayascitta.
70. Jika seorang bhiksu menganjurkan seorang sramanera yang memprotes
ajaran-ajaran Sang Buddha, atau mengambil pihaknya, atau menunjangnya atau
makan, atau tidur bersama dengannya, dia telah melakukan Prayascitta.
71. Jika seorang Bhiksu berkelakukan congkak, dan menjawab secara
samar-samar kepada bhikhu lain yang memperingatkannya tentang kelakuannya
itu, dia telah melakukan Prayascitta.
72. Jika seorang bhiksu mengganggu bhiksu lain dalam pembacaan Peraturan
Patimokha (Vinaya Empat Bagian) di luar kepala, ia telah melakukan
Prayascitta.
73. Pada saat pembacaan larangan-larangan itu di dalam sidang seorang bhiksu
yang telah melakukan pelanggaran itu dengan berdusta mengatakan bahwa dia
baru saja mengetahui larangan itu, dan seorang bhiksu lain yang mengetahui
alasannya yang bohong itu, membukakan kesalahannya jika dia tidak mengakui
kesalahannya dia telah melakukan Prayascitta.
74. Jika seorang bhiksu yang telah melakukan penebusan kesalahan dihadapan
sangha dan kemudian menyalahkan Sangha, dia telah melakukan Prayascitta.
75. Jika seorang bhiksu yang hadir pada sidang Sangha, meninggalkan Sidang
selagi sedang dipertimbangkannya suatu perkara tanpa memberi sesuatu alasan,
dia telah melakukan Prayascitta.
76. Jika seorang bhiksu dengan sengaja menyebabkan gangguan kepada
bhiksu-bhiksu lain, dia telah melakukan Prayascitta.
77. Jika terdapat pertengkaran antara dua bhiksu, seorang bhiksu
menyembunyikan darinya untuk mendengarkan dan kemudian memberitahukan pada
salah seorang yang bertengkar itu, dia telah melakukan Prayascitta.
78. Seorang bhiksu yag menjadi marah pada bhiksu lain dan memukulnya telah
melakukan Prayascitta.
79. Seorang bhiksu yang menjadi marah dan mengangkat tangannya seakan
hendak memukul bhiksu lain, telah melakukan Prayascitta.
80. Seorang bhiksu yang membuat tuduhan palsu dari kesalahan Sangahavasesa
tehadap bhiksu lain, telah melakukan Prayascitta.
81. Jika seorang bhiksu yang tidak mendapat ijin memasuki kamar di mana raja
sedang duduk bersama permaisurinya, dia telah melakukan Prayascitta.
82. Seorang bhiksu yang melihat suatu barang jatuh ke tanah dan menyimpannya
untuk keperluan sendiri atau memberikannya kepada orang lain telah melakukan
Prayascitta. Jika suatu barang jatuh ke tanah di dalam vihara atau kamarnya,
dia harus menyimpanya untuk dikembalikan kepada pemiliknya yang dikenalnya.
83. Jika seorang bhiksu harus pergi kesalah satu rumah di suatu desa pada
malam hari, dia harus memberitahukan tujuanya kepada seseorang sesama
bhiksu. Jika dia gagal untuk berbuat demikian dia telah melakukan
Prayascitta.
84. Jika seorang bhiksu membuat tempat tidurnya sendiri dia harus membuatnya
dengan tinggi kakinya 8 inchi, diukur dari papan tempat tidur pada mana kaki
itu dipakukan. Jika dia membuat kaki tempat tidurnya lebih tinggi dari itu,
dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus memotong kaki yang terlalu
panjang itu sebelum mempergunakannya, jika tidak dia tidak bebas dari
kesalahan.
85. Jika seorang bhiksu membuat tempat tidurnya dan melapisnya dengan kapuk
dia telah melakukan Prayascitta. dia harus menyingkirkan kapuk itu dari
tempat tidurnya sebelum mempergunakannya jika tidak dia tidak akan bebas
dari kesalahan.
86. Jika seorang bhiksu membuat kotak jarumnya dari tulang, tanduk atau
gading, dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus menyebabkan satu pecahan
atau celah didalamnya sebelum mempergunakannya, jika tidak dia tidak akan
bebas dari kesalahan.
87. Jika seorang bhiksu membuat kain untuk duduk (nisidana) dia harus
membuatnya menurut ukuran yang diterima yaitu, panjangnya 2 kheub. Lebar
11/2 dan 1 kheub di pinggiran keliling kain itu. Jika dia membuatnya lebih
dari ukuran yang ditentukan dia telah melakukan Prayascitta.
88. Jika seorang bhiksu membuat pakaian dalam untuk bagian bawah badannya,
dia diijinkan membuatnya menurut ukuran yang diterima, yaitu panjang 4
kheub, lebar 2 ½ kheup. Jika dia membuatnya lebih dari ukuran tersebut, maka
dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus memotong bagian yang terlalu
lebar atau terlalu panjang sebelum menggunakannya ,Jika tidak maka dia
tidak akan terbebas dari kesalahan.
89. Jika seorang bhiksu membuat jubah hujan, dia harus membuatnya menurut
ukuran yang diterima, yaitu panjang 6 kheub dan lebar 2 ½ kheub. Jika dia
membuatnya lebih besar dari itu dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus
memotong bagian yang terlalu panjang dan terlalu lebar sebelum
mengunakannya, Jika tidak dia tidak akan terbebas dari hukuman.
90. Jika seorang bhiksu membuat civaranya dengan ukuran yang sama atau lebih
besar dengan civara yang dipergunakan oleh Sangha Buddha, Dia telah
melakukan Prayascitta.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #5 on: 26 September 2010, 09:06:20 AM »
Untuk Civara yang dipergunakan Sang Buddha ialah panjang 9 Kheub dan lebar 6
kheub
Dan harus memotong bagian dari pakaiannya yang terlalu lebar dan terlalu
panjang, dan membuat civaranya di bawah ukuran yang ditentukan sebelum dia
menggunakannya, Jika tidak dia tidak akan terbebas dari kesalahan.

Kesalahan-kesalahan tersebut diatas di sebut Prayascitta dan semua kesalahan
itu adalah lebih ringan dari Naihsargika-Prayascittika.

KSAMAKARMA
Memohon Pengampunan

Kesalahan Prayascitta ini dapat diampuni dengan pengakuan dihadapan Sidang
atau dihadapan bhiksu atau bhiksu-bhiksu, supaya pelanggar dapat dibersihkan
daripada kesalahan.
Catatan : Dalam Pratimoksa Theravada terdapat 2 kesalahan Pacittiya, lebih
dari naskah Sansekerta yang diuraikan sebagai berikut :
I. Pasal 81 : Jika seorang bhiksu yang telah bermufakat dengan Sangha
untuk memberikan pakaian pada salah seorang sesama bhikhu, kemudian mengomel
dan menyalahkan Sangha menyimpangkan milik dari satu bhiksu kepada bhiksu
lainnya yang mereka senangi, dia telah melakukan Pacittiya.
II. Pasal 82 : Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seseorang akan
memberikan sesuatu pada Sangha dan jika karena perbuatannya barang itu
diberikan kepadanya, dia telah melakukan Pacittiya.

Dalam naskah sansekerta dan Pasal di atas dikatakan adalah sama beratnya
dengan menyimpangkan milik seorang bhiksu kepada bhiksu lain atau diri
sendiri seperti dinyatakan dalam Pasal 30 di dalam Naihsargika
Prayascittika, maka bagian ini kurang 2 pasal.

IV. Pratidesaniya
(Patidesaniya)
Bagian Keenam

Pratidesaniya merupakan satu bagian Pratimoksa. Kata Pratidesaniya dapat
diinterpretasikan sebagai uraian diri dalam pengakuan : ada 4 kesalahan
Pratidesaniya yaitu :
1. Bilamana seorang bhiksu pergi ke suatu desa, dia menerima makanan dengan
tanganya sendiri dari seorang bhiksuni yang bukan sanak keluarganya, dia
telah melakukan Pratidesaniya.
2. Bilamana seorang bhiksu diundang untuk makan di rumahnya seorang upasaka
dan jika seorang bhiksuni menyuruh upasaka itu untuk memberikan makanan ini
atau itu kepadanya, dia harus melarang bhiksuni itu dan menyuruhnya
meninggalkan tempat itu sampai dia habis makan. Jika dia gagal untuk berbuat
demikian di telah melakukan Pratidesaniya.
3. Bilamana seorang bhiksu tidak diundang oleh bhiksu lain yang telah
menerima pujian sebagai calon Arahat, jika ia berpikir bahwa dirinya sama
bijaksana dan terpelajarnya seperti bhiksu itu dan lalu makan bersama
dengannya kecuali dia sakit, dia telah melakukan Pratidesaniya.
4. Bilamana seorang bhiksu tinggal di hutan (disebut savanasana, atau yang
tidur dan tempat duduknya di hutan ) dan tidak di undang oleh seorang
upasaka, namun pergi juga makan, terkecuali dia sakit dia telah melakukan
Pratidesaniya.

Ksamakarma
Memohon Pengampunan

Kesalahan Pratidesaniya tersebut di atas semuanya adalah
kesalahan-kesalahan yang ringan yang memerlukan pengakuan salah dihadapan
seorang bhikkhu atau bhiksu yang lain

Pratidesaniya adalah pemeriksaan diri dan pengakuan di depan umum.
Kesalahan yang tersebut di atas adalah Pratidesaniya, Siksakaraniya akan
dinyatakan di dalam bagian yang berikutnya.

Siksakaraniya
(Dalam naskah Pali disebut : Sekhiya)
Bagian ketujuh

Siksakaraniya merupakan bagian ketujuh dari Pratimoksa yang terdiri dari
serangkaian 100 peraturan dengan menunjukkan pada tata kelakukan para
bhiksu, peraturan-peraturan itu adalah sebagai berikut :
1. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi secara pantas bagian bawah
dari badannya.
2. Seorang bhiksu harus belajar untuk menggunakan pakaiannya dan berpakaian
secara pantas.
3. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengangkat pakaiannya bila sedang
berjalan di desa.
4. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang berjalan di desa.
5. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang duduk di dalam rumah.
6. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalanya dengan sepotong
kain bila sedang berjalan di desa.
7. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalannya dengan sepotong
kain bila duduk di dalam rumah.
8. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak berjalan berjingkat bila berjalan
di desa.
9. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak menekuk jari kakinya kedalam atau
keluar selagi duduk di rumah.
10. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak merangkul lututnya selagi duduk
di dalam rumah.
11. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila berjalan di desa.
12. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila duduk di dalam rumah
13. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
berjalan di desa.
14. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
duduk di dalam rumah
15. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
berjalan di desa
16. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
duduk di dalam rumah
17. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian demi
kesopanan bila berjalan di desa.
18. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian
demi kesopanan bila berjalan di desa.
19. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak memandang ke kanan dan ke kiri
bila berjalan ke desa.
20. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melihat ke sekeliling kamar bila
duduk di dalam kamar.
21. Seorang bhiksu harus belajar untuk memiliki suatu kelakuan baik bila
berjalan di desa.
22. Seorang bhiksu harus belajar untuk duduk dengan tenang sekali bila duduk
di dalam rumah.
23. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
berjalan di desa.
24. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
duduk di dalam rumah.
25. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan dari orang
berkeluarga secara hormat.
26. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan sampai batas
mangkok makanannya penuh.
27. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian kari atau lauk pauk
sampai batas mangkok makanannya penuh.
28. Seorang bhiksu harus belajar makan kari atau lauk pauk secara seimbang
dengan nasi di dalam mangkok.
29. Seorang bhiksu harus belajar memakan makanan yang telah diberikan
kepadanya dengan ramah tamah dan menghormat.
30. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat lubang didalam nasi di
mangkoknya, sewaktu makan.
31. Seorang bhiksu harus belajar tidak meminta kari atau lauk pauk dari
seorang pengikut dan memakannya secara lahap, terkecuali dia sakit.
32. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan kari, lauk pauk atau
lain-lain makanan di bawah nasi atau di dalam mangkoknya untuk memperoleh
lebih banyak makanan lagi.
33. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengintip ke dalam mangkok bhiksu
lain selagi makan.
34. Seorang bhiksu harus belajar mengarahkan matanya pada mangkoknya selagi
makan.
35. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengambil suapan yang terlalu besar
sewaktu makan, yaitu sekepalan nasi yang dipencet dengan tangan sehingga
berbentuk bulat atau lonjong yang akan mudah dimasukkan ke dalam mulut.
36. Seorang bhiksu harus belajar tidak membukakan mulutnya sebelum nasi
masuk kemulutnya.
37. Seorang bhiksu harus belajar tidak berbicara selagi mulutnya penuh
dengan nasi atau makanan.
38. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan bola nasi ke dalam
mulutnya selagi makan.
39. Seorang bhiksu harus belajar tidak memungut nasi atau makanan yang jatuh
dari mangkoknya.
40. Seorang bhiksu harus belajar tidak menggembungkan pipinya selagi makan.
41. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat berisik selagi makan.
42. Seorang bhiksu harus belajar tidak menghisap nasi dengan menariknya
dengan lidah dan bibir selagi dia makan.
43. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengeluarkan lidahnya selagi dia
makan.
44. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengejang-ngejangkan tangannya selagi
dia makan.
45. Seorang bhiksu harus belajar tidak mencecerkan nasi di sekitar
mangkoknya selagi makan.
46. Seorang bhiksu harus belajar tidak mempergunakan tangannya yang kotor
untuk mengambil barang pecah belah yang berisi air.
47. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan air yang didalamnya
terdapat beberapa butir nasi yang ketinggalan setelah mencuci mangkoknya di
suatu rumah
48. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah di atas tetumbuhan hijau yang sedang tumbuh di tanah , kecuali dia
adalah seorang bhiksu yang sakit
49. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah ke dalam air, kecuali dia adalah seorang yang sakit.
50. Seorang bhiksu harus belajar tidak berdiri bila membuang air kecil atau
besar , kecuali dia sedang sakit.
51. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada orang
yang berpakaian secara tidak sopan, kecuali orang itu sedang sakit.
52. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang membuka bajunya dan melilitkannya di lehernya, kecuali orang itu sakit.
53. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan kepada seorang yang
menutupi kepala dengan kain, kecuali orang itu sakit.
54. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang melilitkan syaal (selendang) dilehernya , kecuali orang itu sakit.
55. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang bertolak pinggang , atau yang mempalangkan tangannya di belakangnya,
kecuali orang itu sakit.
56. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang kakinya bersepatu, kecuali orang itu sakit.
57. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang memakai bongkah/bakiak di kakinya, kecuali orang itu sakit.
58. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang menunggang hewan, atau duduk di atas kereta, gerobag atau
kendaraan-kendaraan lain, kecuali orang itu sakit.
59. Seorang bhiksu harus belajar tidak melewatkan malam (bermalan) di dalam
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya-cetiya). kecuali kalau ia penjaganya.
60. Seorang bhiksu harus belajar tidak menyimpan barang-barangnya di dalam
suatu upavasatha, stupa atau cetiya, kecuali barang-barang itu dimaksudkan
untuk membuatnya lebih kuat.
61. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu, sandal atau terompah.
Bila memasuki upavasatha atau stupa atau cetiya.
62. Seorang bhiksu harus belajar tidak menenteng membawa sepatu, sandal,
atau terompah ke dalam suatu upavasatha, Stupa atau cetiya
63. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu atau sandal sewaktu
mengelilingi upavasatha, stupa atau Cetiya.
64. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu yang terhias sewaktu
mengelilingi upavasatha, Stupa atau cetiya
65. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa sepatu yang berhiaskan bila
memasuki upavasatha, stupa atau cetiya.
66. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dimanapun didalam suatu
upavasatha, Stupa atau cetiya, ataupun memakan apapun dan melemparkan
bungkusnya didalam tempat yang keramatitu.
67. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa suatu mayat lewat dekat
upavasatha, stupa atau cetiya.
68. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan suatu mayat di bawah
sesuatu upavasatha Stupa atau Cetiya.
69. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuan di bawah
sesuatu upavasatha stupa atau cetiya.
70. Seorang bhiksu harus belajar tidak melakukan perabuan mayat disebelah
manapun dari suatu upavasatha, stupa atau Cetiya sehingga menimbulkan rasa
tak sedap dan busuk.
71. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuhan di hadapan
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
72. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa pakaian yang telah dipakai
oleh seorang mati atau tempat tidur untuk meletakkan seorang mati pada
suatu upavasatha, stupa atau Cetiya, kecuali sudah dicuci bersih.
73. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar di
bawah suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
74. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar di
hadapan suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
75. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar
disebelah manapun suatu upavasatha, stupa, atau cetiya sehingga menimbulkan
bau yang tak menyenangkan.
76. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa dengannya sesuatu patung Sang
Buddha bila memasuki kamar kecil.
77. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix adan air di bawah suatu Upavasatha, stupa atau cetiya.
78. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di hadapan suatu upavasatha, Stupa atau cetiya.
79. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di bawah suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
80. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah berdahak atau mengeluarkan
air liur di hadapan suatu Upavasatha Stupa atau Cetiya.
81. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air liur di bawah suatu upavasatha , stupa atau cetiya.
82. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air di sebelah upavasatha manapun, stupa atu Cetiya.
83. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dan melonjorkan atau
merenganggkan kakinya kehadapan ataupun kejurusan suatu upavasatha, stupa
atau Cetiya.
84. Seorang bhiksu harus belajar tidak menempatkan suatu upavasataha. Stupa
atu Cetiya di dalam sebuah kamar di bawah dan menempatkan dirinya dikamar
atasnya.

bersambung...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #6 on: 26 September 2010, 09:08:12 AM »
Untuk Civara yang dipergunakan Sang Buddha ialah panjang 9 Kheub dan lebar 6
kheub
Dan harus memotong bagian dari pakaiannya yang terlalu lebar dan terlalu
panjang, dan membuat civaranya di bawah ukuran yang ditentukan sebelum dia
menggunakannya, Jika tidak dia tidak akan terbebas dari kesalahan.

Kesalahan-kesalahan tersebut diatas di sebut Prayascitta dan semua kesalahan
itu adalah lebih ringan dari Naihsargika-Prayascittika.

KSAMAKARMA
Memohon Pengampunan

Kesalahan Prayascitta ini dapat diampuni dengan pengakuan dihadapan Sidang
atau dihadapan bhiksu atau bhiksu-bhiksu, supaya pelanggar dapat dibersihkan
daripada kesalahan.
Catatan : Dalam Pratimoksa Theravada terdapat 2 kesalahan Pacittiya, lebih
dari naskah Sansekerta yang diuraikan sebagai berikut :
I. Pasal 81 : Jika seorang bhiksu yang telah bermufakat dengan Sangha
untuk memberikan pakaian pada salah seorang sesama bhikhu, kemudian mengomel
dan menyalahkan Sangha menyimpangkan milik dari satu bhiksu kepada bhiksu
lainnya yang mereka senangi, dia telah melakukan Pacittiya.
II. Pasal 82 : Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seseorang akan
memberikan sesuatu pada Sangha dan jika karena perbuatannya barang itu
diberikan kepadanya, dia telah melakukan Pacittiya.

Dalam naskah sansekerta dan Pasal di atas dikatakan adalah sama beratnya
dengan menyimpangkan milik seorang bhiksu kepada bhiksu lain atau diri
sendiri seperti dinyatakan dalam Pasal 30 di dalam Naihsargika
Prayascittika, maka bagian ini kurang 2 pasal.

IV. Pratidesaniya
(Patidesaniya)
Bagian Keenam

Pratidesaniya merupakan satu bagian Pratimoksa. Kata Pratidesaniya dapat
diinterpretasikan sebagai uraian diri dalam pengakuan : ada 4 kesalahan
Pratidesaniya yaitu :
1. Bilamana seorang bhiksu pergi ke suatu desa, dia menerima makanan dengan
tanganya sendiri dari seorang bhiksuni yang bukan sanak keluarganya, dia
telah melakukan Pratidesaniya.
2. Bilamana seorang bhiksu diundang untuk makan di rumahnya seorang upasaka
dan jika seorang bhiksuni menyuruh upasaka itu untuk memberikan makanan ini
atau itu kepadanya, dia harus melarang bhiksuni itu dan menyuruhnya
meninggalkan tempat itu sampai dia habis makan. Jika dia gagal untuk berbuat
demikian di telah melakukan Pratidesaniya.
3. Bilamana seorang bhiksu tidak diundang oleh bhiksu lain yang telah
menerima pujian sebagai calon Arahat, jika ia berpikir bahwa dirinya sama
bijaksana dan terpelajarnya seperti bhiksu itu dan lalu makan bersama
dengannya kecuali dia sakit, dia telah melakukan Pratidesaniya.
4. Bilamana seorang bhiksu tinggal di hutan (disebut savanasana, atau yang
tidur dan tempat duduknya di hutan ) dan tidak di undang oleh seorang
upasaka, namun pergi juga makan, terkecuali dia sakit dia telah melakukan
Pratidesaniya.

Ksamakarma
Memohon Pengampunan

Kesalahan Pratidesaniya tersebut di atas semuanya adalah
kesalahan-kesalahan yang ringan yang memerlukan pengakuan salah dihadapan
seorang bhikkhu atau bhiksu yang lain

Pratidesaniya adalah pemeriksaan diri dan pengakuan di depan umum.
Kesalahan yang tersebut di atas adalah Pratidesaniya, Siksakaraniya akan
dinyatakan di dalam bagian yang berikutnya.

Siksakaraniya
(Dalam naskah Pali disebut : Sekhiya)
Bagian ketujuh

Siksakaraniya merupakan bagian ketujuh dari Pratimoksa yang terdiri dari
serangkaian 100 peraturan dengan menunjukkan pada tata kelakukan para
bhiksu, peraturan-peraturan itu adalah sebagai berikut :
1. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi secara pantas bagian bawah
dari badannya.
2. Seorang bhiksu harus belajar untuk menggunakan pakaiannya dan berpakaian
secara pantas.
3. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengangkat pakaiannya bila sedang
berjalan di desa.
4. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang berjalan di desa.
5. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang duduk di dalam rumah.
6. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalanya dengan sepotong
kain bila sedang berjalan di desa.
7. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalannya dengan sepotong
kain bila duduk di dalam rumah.
8. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak berjalan berjingkat bila berjalan
di desa.
9. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak menekuk jari kakinya kedalam atau
keluar selagi duduk di rumah.
10. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak merangkul lututnya selagi duduk
di dalam rumah.
11. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila berjalan di desa.
12. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila duduk di dalam rumah
13. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
berjalan di desa.
14. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
duduk di dalam rumah
15. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
berjalan di desa
16. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
duduk di dalam rumah
17. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian demi
kesopanan bila berjalan di desa.
18. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian
demi kesopanan bila berjalan di desa.
19. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak memandang ke kanan dan ke kiri
bila berjalan ke desa.
20. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melihat ke sekeliling kamar bila
duduk di dalam kamar.
21. Seorang bhiksu harus belajar untuk memiliki suatu kelakuan baik bila
berjalan di desa.
22. Seorang bhiksu harus belajar untuk duduk dengan tenang sekali bila duduk
di dalam rumah.
23. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
berjalan di desa.
24. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
duduk di dalam rumah.
25. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan dari orang
berkeluarga secara hormat.
26. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan sampai batas
mangkok makanannya penuh.
27. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian kari atau lauk pauk
sampai batas mangkok makanannya penuh.
28. Seorang bhiksu harus belajar makan kari atau lauk pauk secara seimbang
dengan nasi di dalam mangkok.
29. Seorang bhiksu harus belajar memakan makanan yang telah diberikan
kepadanya dengan ramah tamah dan menghormat.
30. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat lubang didalam nasi di
mangkoknya, sewaktu makan.
31. Seorang bhiksu harus belajar tidak meminta kari atau lauk pauk dari
seorang pengikut dan memakannya secara lahap, terkecuali dia sakit.
32. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan kari, lauk pauk atau
lain-lain makanan di bawah nasi atau di dalam mangkoknya untuk memperoleh
lebih banyak makanan lagi.
33. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengintip ke dalam mangkok bhiksu
lain selagi makan.
34. Seorang bhiksu harus belajar mengarahkan matanya pada mangkoknya selagi
makan.
35. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengambil suapan yang terlalu besar
sewaktu makan, yaitu sekepalan nasi yang dipencet dengan tangan sehingga
berbentuk bulat atau lonjong yang akan mudah dimasukkan ke dalam mulut.
36. Seorang bhiksu harus belajar tidak membukakan mulutnya sebelum nasi
masuk kemulutnya.
37. Seorang bhiksu harus belajar tidak berbicara selagi mulutnya penuh
dengan nasi atau makanan.
38. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan bola nasi ke dalam
mulutnya selagi makan.
39. Seorang bhiksu harus belajar tidak memungut nasi atau makanan yang jatuh
dari mangkoknya.
40. Seorang bhiksu harus belajar tidak menggembungkan pipinya selagi makan.
41. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat berisik selagi makan.
42. Seorang bhiksu harus belajar tidak menghisap nasi dengan menariknya
dengan lidah dan bibir selagi dia makan.
43. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengeluarkan lidahnya selagi dia
makan.
44. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengejang-ngejangkan tangannya selagi
dia makan.
45. Seorang bhiksu harus belajar tidak mencecerkan nasi di sekitar
mangkoknya selagi makan.
46. Seorang bhiksu harus belajar tidak mempergunakan tangannya yang kotor
untuk mengambil barang pecah belah yang berisi air.
47. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan air yang didalamnya
terdapat beberapa butir nasi yang ketinggalan setelah mencuci mangkoknya di
suatu rumah
48. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah di atas tetumbuhan hijau yang sedang tumbuh di tanah , kecuali dia
adalah seorang bhiksu yang sakit
49. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah ke dalam air, kecuali dia adalah seorang yang sakit.
50. Seorang bhiksu harus belajar tidak berdiri bila membuang air kecil atau
besar , kecuali dia sedang sakit.
51. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada orang
yang berpakaian secara tidak sopan, kecuali orang itu sedang sakit.
52. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang membuka bajunya dan melilitkannya di lehernya, kecuali orang itu sakit.
53. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan kepada seorang yang
menutupi kepala dengan kain, kecuali orang itu sakit.
54. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang melilitkan syaal (selendang) dilehernya , kecuali orang itu sakit.
55. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang bertolak pinggang , atau yang mempalangkan tangannya di belakangnya,
kecuali orang itu sakit.
56. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang kakinya bersepatu, kecuali orang itu sakit.
57. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang memakai bongkah/bakiak di kakinya, kecuali orang itu sakit.
58. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang menunggang hewan, atau duduk di atas kereta, gerobag atau
kendaraan-kendaraan lain, kecuali orang itu sakit.
59. Seorang bhiksu harus belajar tidak melewatkan malam (bermalan) di dalam
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya-cetiya). kecuali kalau ia penjaganya.
60. Seorang bhiksu harus belajar tidak menyimpan barang-barangnya di dalam
suatu upavasatha, stupa atau cetiya, kecuali barang-barang itu dimaksudkan
untuk membuatnya lebih kuat.
61. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu, sandal atau terompah.
Bila memasuki upavasatha atau stupa atau cetiya.
62. Seorang bhiksu harus belajar tidak menenteng membawa sepatu, sandal,
atau terompah ke dalam suatu upavasatha, Stupa atau cetiya
63. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu atau sandal sewaktu
mengelilingi upavasatha, stupa atau Cetiya.
64. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu yang terhias sewaktu
mengelilingi upavasatha, Stupa atau cetiya
65. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa sepatu yang berhiaskan bila
memasuki upavasatha, stupa atau cetiya.
66. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dimanapun didalam suatu
upavasatha, Stupa atau cetiya, ataupun memakan apapun dan melemparkan
bungkusnya didalam tempat yang keramatitu.
67. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa suatu mayat lewat dekat
upavasatha, stupa atau cetiya.
68. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan suatu mayat di bawah
sesuatu upavasatha Stupa atau Cetiya.
69. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuan di bawah
sesuatu upavasatha stupa atau cetiya.
70. Seorang bhiksu harus belajar tidak melakukan perabuan mayat disebelah
manapun dari suatu upavasatha, stupa atau Cetiya sehingga menimbulkan rasa
tak sedap dan busuk.
71. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuhan di hadapan
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
72. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa pakaian yang telah dipakai
oleh seorang mati atau tempat tidur untuk meletakkan seorang mati pada
suatu upavasatha, stupa atau Cetiya, kecuali sudah dicuci bersih.
73. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar di
bawah suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
74. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar di
hadapan suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
75. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar
disebelah manapun suatu upavasatha, stupa, atau cetiya sehingga menimbulkan
bau yang tak menyenangkan.
76. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa dengannya sesuatu patung Sang
Buddha bila memasuki kamar kecil.
77. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix adan air di bawah suatu Upavasatha, stupa atau cetiya.
78. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di hadapan suatu upavasatha, Stupa atau cetiya.
79. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di bawah suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
80. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah berdahak atau mengeluarkan
air liur di hadapan suatu Upavasatha Stupa atau Cetiya.
81. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air liur di bawah suatu upavasatha , stupa atau cetiya.
82. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air di sebelah upavasatha manapun, stupa atu Cetiya.
83. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dan melonjorkan atau
merenganggkan kakinya kehadapan ataupun kejurusan suatu upavasatha, stupa
atau Cetiya.
84. Seorang bhiksu harus belajar tidak menempatkan suatu upavasataha. Stupa
atu Cetiya di dalam sebuah kamar di bawah dan menempatkan dirinya dikamar
atasnya.
85. Seorang bhiksu harus belajar tidak megajarkan Dharma kepada seorang yang
duduk di atas kursi, kecuali orang itu sakit.
86. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan Dharma dengan duduk di
atas kursi kepada seseorang yang berbaring ditempat tidur atau bangku
kecuali, orang itu sakit.
87. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk di atas lantai tanpa sesuatu
lapisan lemek atau mengajarkan dhamma kepada seorang yang duduk di atas
tikar atau permadani, kecuali orang itu sakit.
88. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk di atas tempat yang lebih
rendah dan mengajarkan dharma kepada seorang yang duduk di tempat yang lebih
tinggi.
89. Seorang bhiksu harus belajar tidak berjalan di belakang seseorang dan
mengajarkan dharma kepada orang itu, kecuali orang itu sakit.
90. Seorang bhiksu harus belajar tidak berjalan di belakang seseorang yang
berjalan secara agung, dan dengan merendahkan diri mengajarkan dharma
kepadanya, kecuali orang itu sakit.
91. Seorang bhiksu harus belajar tidak berjalan diluar jalur jalanan dan
mengajarkan dhamma kepada seorang yang berjalan di atas jalanan kecuali
orang itu sakit.
92. Seorang bhiksu harus belajar tidak berjalan bertuntun atau bergandengan
tangan dengan seorang bhiksu atau orang lain.
93. Seorang bhiksu harus belajar tidak memanjat pohon,kecuali keadaannya
memaksakan untuk berbuat demikian.
94. Seorang bhiksu harus belajar tidak mempergunakan ikat pinggang yang
untuk memegang mangkoknya (dengan ikat pinggang dimaksudkan sepotong kain
yang dipakai dipundaknya untuk keperluan memegang mangkoknya sewaktu meminta
makanan) serta mengikatkannya pada tongkatnya dan membawanya di atas
pundaknya.
95. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dhamma kepada seseorang
yang membawa kayu pentungan (yang dipergunakan sebagai senjata )
ditangannya, kecuali orang itu sakit.
96. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seseorang
yang membawa pedang di tangannya,kecuali orang itu sakit.
97. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang membawa bambu runcing ditanganya, kecuali orang itu sakit.
98. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang membawa pisau ditangannya, kecuali dia itu sakit.
99. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma selagi ia berada
ditempat yang tak terlindung kepada seorang yang membawa payung ditangannya
untuk melindungi dirinya dari matahari,kecuali orang itu sakit.

Seorang bhiksu harus mempelajari aturan-aturan tersebut untuk kesucian
dirinya sendiri.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #7 on: 26 September 2010, 09:08:42 AM »
Ksamakarma
Memohon Pengampunan

Pelanggaran sesuatu dari Peraturan Siksakaraniya itu adalah kesalahan
Duskrata. Kesalahan duskrta adalah kesalahan ringan setelah kesalahan
Pratidesaniya.
Pengakuan kesalahan yang tersebut di atas oleh seorang Bhiksu kepada bhiksu
lain merupakan pembersihan daripada kesalahan itu.
Ada beberapa kesalahan ringan lain sesudahnya. Duskrta yang disebut
sthulatyaya dan Durabasita, dan semuanya itu merupakan
pelanggaran-pelanggaran yang ringan oleh seorang bhiksu.

Catatan
1. Dalam Pratimoksa naskah sansekerta terdapat 25 peraturan atau
siksakaraniya untuk aturan kelakuan yang selayaknya demi kesucian dan
kekeramatan daripada suatu Upavasatha, stupa atau Cetiya dari pasal 61
sampai 85. Dari itu terdapatlah 23 aturan Siksakaraniya lebih banyak dari
pada di dalam naskah Pali.
2. Dalam naskah Pali, terdapat 25 aturan siksakaraniya yang diuraikan
didalam kitab vinaya di luar dari Pratimoksa.
3. Pada intinya aturan siksakaraniya dalam kedua sekte adalah sama dan hanya
berbeda dalam jumlah nomornya.
4. Perbedaan jumlah pasal-pasal antara dua pratimoksa adalah sebagai berikut
:
Dalam Pratimoksa naskah sansekerta terdapat 25 aturan 2 siksakaraniya lebih
banyak daripada yang terdapat di dalam pratimoksa naskah Pali dan kurang 2
aturan dalam Prayascitta di dalam naskah sansekerta. Dalam keseluruhannya
maka pratimoksa naskah sansekerta, mempunyai 23 pasal lebih banyak daripada
Pratimoksa naskah Pali. Adhyakarana-samadha akan dinyatakan di dalam bagian
berikutnya.

Adhykarana- Samadha
(Pali : Adhikaranasamatha)
Bagian Kedelapan.

Ada 7 peraturan yang diberikan di dalam Vinaya untuk meredakan pertentangan
diantara bhiksu seperti berikut :

1. Samumukha Vinaya : Berarti muka dengan muka atau pengajuan pada hukum.
(Misalnya penyudahan dari suatu pertentangan ialah dengan tidak menyebutnya
lagi)
2. Smrti Vinaya : Berarti saksi atau bukti (misalnya kesaksian yang
membenarkan)
3. Amudha Vinaya : Berarti tidak bertanggung jawab (Misalnya kegilaan)
4. Tatsyabhavasiya Vinaya : Pengakuan sukarela
5. Patijnakaraka Vinaya : Keputusan dengan suara terbanyak
6. Yadbhuyasikiya Vinaya :. Penjauhan hukuman atas kesalahan yang tak
diakui dan yang dijelaskan serta dimufakatkan dan yang diterima baik oleh
sidang sangha
7. Tmastaraka vinaya : Menutupi lumpur dengan rumput kering. Misalnya
menunjuk seorang penengah oleh sesepuh dari masing-masing pihak yang
bertentangan agar menebarkan rumput kering hukum di atas lumpur
pertentangan (Misalnya Kompromi).

Ksamayati.
Keputusan Hukuman

Pertentangan timbul dari 4 sebab, yaitu :
1. Dari perdebatan-perdebatan
2. Dari kesalahan perbuatan yang kedapatan
3. Dari pertimbangan dan hukuman
4. Dari tempat atau tidaknya pentaatan agama

Yang tersebut di atas akan diserahkan kepada Badan sangha Untuk meredakan
perdebatan-perdebatan, dan semua pertentangan - pertentangan akan diatur
dalam Sidang Sangha.


BAB III
Bodhisatva Sila.
Peraturan Bodhisatva berasal mula daripada Tapasilavrata yang diuraikan di
dalam Mahasimhanada Sutra, dan salah satu pasalnya menuntut makanan
sayuranis.
Bodhisatva sila adalah suatu perpaduan atau gabungan daripada peraturan
Pratimoksa dengan atauran - aturan kebhiksuan untuk tata kelakukan umum dari
bhiksu-bhiksu yang mengabdikan diri pada Buddhisme Utara demi
memperkembangkan diri mereka sendiri ke dalam suatu Boddhisatva Sangha.
Diajarkan bahwa suatu Bodhisatva Sangha harus mengikuti jalan daripada
Bodhisatva dengan sebuah janji mengembangkan diri sendiri dan orang lain.
Seorang anggota Bodhisatva Sangha harus memberikan bantuannya kepada orang
yang berumah tangga dengan tujuan membujuk mereka agar membawa diri dari
mereka dengan mulia dan menuntut cara hidup yang paling bermanfaat yang akan
membawa rahmat dalam kehidupan masa sekarang dan kemuliaan dalam masa hidup
sekarang.
Sebagai kenyataan Ajaran Naskah Sansekerta bertujuan pada kelakukan
Bodhisatva tidak hanya bagi para anggota Bodhisatva Sangha, tetapi juga bagi
orang yang berkeluarga yang disebut Grastha Bodhisatva (yaitu seorang yang
berumah tangga yang mengikuti jalan kebodhisatvaan)
Peraturan Bodhisatva ini penuh dengan petunjuk-petunjuk kepada konsepsi
sila dengan mengajarkan kepada para anggota Bodhisatva Sangha dan Grahasta
Bodhisatva bagaimana memelihara Enam Paramita) yang dianggap sebagai
penyebaran benih-benih Bodhisatva untuk musim panen dikemudian hari.
Seorang Bodhisatva berusaha untuk menerangkan dirinya sendiri dan orang
lain agar bersama-sama mencapai pembebasan.
Aliran-aliran naskah Sansekerta di Tiongkok mengaku 250 Peraturan
Pratimoksa sebagai tata tertib kebhiksuan mereka. Pada Bhiksu di Tiongkok
diharuskan sesuai dengan Peraturan Pratimoksa dan ini bukti nyata bahwa
mereka tidak mengesampingkan Peraturan Pratimoksa dan ini bukti nyata bahwa
mereka tidak mengenyampingkan Peraturan Pratimoksa. Akan tetapi suatu
Siksasamiccara (koleksi daripada pelajaran) dan Bodhisatva Vrata (suatu
keharusan mengekang diri sendiri demi pemusatan pikiran atau pahala
jasa-jasa kebaikan) ditambahkan kepada Vinaya untuk pencapaian Bodhisatva
Hrdayabbu pemilikan batin Bodhisatva) yang akan memperkokoh kegigihannya
dalam memperkembangkan Bodhi Citta (Bathin boddhi atau batin penerangan) di
dalam jalan Bodhisatva.
Sebagian besar disiplin-disiplin itu peraturan kelakukan untuk
mempersatukan dan menguasai diri dalam jalannya kehidupan dengan menitik
beratkan pada karuna dan maitri (Metta), yang belas kasihan dan kasih sayang
demi memupuk dan menumpuk pahala dari perbuatan-perbuatan baik.
Buddhisme aliran utara mengikuti jalan Bodhisatva dan berurusan dengan
theori Kebodhisatvaan. Maka itu para Bhiksu aliran Utara harus mentaati
Peraturan Bodhisatva selain dan sebagai tambahan pentaatan Pratimoksha.
Peraturan Bodhisatva berikut ini di ambil dari teks Tionghoa Brahmajala
sutta yang diterjemahkan oleh Kumarajiva.
Peraturan Bodhisatva berisi 58 pasal yang diklasifikaskan di bawah 2 bagian
yaitu :
1. Garukapatti 10 pasal
2. Lahukapatti 48 pasal
Jumlah 58 pasal

Peraturan-peraturan Bodhisatva itu seperti berikut :

Bagian Pertama
Garukapatti
(Kesalahan Berat)

1. Membunuh
Seorang bhiksu yang membunuh satu makhluk manusia baik dengan tangannya
sendiri, maupun dengan petunjuk-petunjuknya, atau turut mengambil bagian
dalam pembunuhan, melakukan satu kesalahan Garukapatti.
2. Mencuri
Seorang bhiksu yang secara salah mengambil sesuatu barang seharga 5 masaka
baik dengan tangannya sendiri ataupun dengan petunjuk-petunjuknya, melakukan
satu kesalahan Garukapatti.
3. Mengumbar diri dalam hubungan kelamin
Seorang bhiksu yang mengumbar dirinya dalam perbuatan kelamin dengan seorang
wanita atau laki-laki atau binatang, baik perbuatan itu tertunaikan atau
tidak, melakukan satu kesalahan Garukapatti. Pelanggaran itu meliputi juga
segala bentuk rancapan.
4. Penyombongan diri palsu
Seorang bhiksu, baik dengan kata-katanya ataupun dengan petunjuk-petunjuknya
berbohong, atau menyombongkan suksesnya dalam Bodhi atau kekuatan gaibnya
atau pengetahuan masa mendatangnya, melakukan satu kesalahan Garukapatti.
5. Berniaga dalam minuman keras
Seorang bhiksu yang, baik dengan perbuatannya sendiri maupun dengan
petunjuk-petunjuknya, melakukan perdagangan dalam minuman keras, racun
ataupun perniagaan lain yang menyebabkan penderitaan mahkluk lain melakukan
satu kesalahan Garukapatti.
6. Membuat tuduhan Palsu
Seorang bhiksu yang, baik dengan kata-katanya sendiri maupun dengan
petunjuk-petunjuknya, meletakkan suatu tuduhan yang palsu terhadap 4 Varga
(4 kelompok yaitu bhiksu, bhiksuni, upasika, dan upasaka, termasuk calon
siksamana ataupun pengabdi-penabdi pria dan wanita, melakukan satu kesalahan
Garukapatti.
7. Membanggakan diri sendiri
Seorang bhiksu yang, apakah dengan kata-katanya sendiri ataupun dengan
petunjuk-petunjuknya, membanga-banggakan kepintarannya dan merendahkan orang
lain, melakukan satu kesalahan Garukapatti
8. Mengotori moral
Seorang bhiksu yang baik dengan perbuatannya sendiri atau dengan
petunjuk-petunjuknya, mengotori moral, tidak memberikan pertolongan pada
orang yang susah, tidak memberi amal kepada yang miskin dan bahkan
mencederai mereka, melakukan satu kesalahan Garukapatti.
9. Kosong dari rasa hati nurani
Seorang bhiksu yang baik dengan perbuatannya sendiri maupun dengan
petunjuk-petunjuknya, telah mempunyai hati jahat yang melewati batas akal
seperti kecederaan dan kemarahan, melakukan satu kesalahan Garukapatti.
10. Menjelek-jelekkan Sang Tri Ratna
Seorang bhiksu yang baik dengan kata-katanya sendiri ataupun dengan
petunjuk-petunjuknya memfitnah Sang Buddha, Dharma dan Sangha, melakukan
satu kesalahan Garukapatti.

Ksamakarma
Memohon Pengampunan

Pelanggaran-pelanggaran yang tersebut di atas adalah digolongkan di bawah
tiga tingkat pelanggaran, yaitu :
1. Berat
2. Sedang
3. Ringan

Untuk Pasal Pertama
Si pelanggar dikenakan pengasingan

Untuk Pasal Kedua
Si Pelanggar harus melaksanakan satu Manatta (istilah untuk pertobatan,
yaitu duduk seorang diri di tempat sepi dan meminta pengampunan selama 6
malam ) untuk meneguhkan rasa sesal dalam batinnya untuk menghapuskan
kesalahan itu, dan melaksanakan satu Ksama yaitu mengakui kesalahannya
dihadapan 10 bhiksu, jika kurang satu bhiksu pun dia belum bebas daripada
kesalahannya

Untuk Pasal Ketiga
Si Pelanggar harus melaksanakan upacara untuk memohon Ksamakarma, yaitu
mengakui kesalahannya dihadapan 5, 3 atau 1 bhiksu sesuai dengan beratnya
pelanggaran itu.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #8 on: 26 September 2010, 09:12:18 AM »
Kesalahan Lahukapatti akan dinyatakan di dalam bagian berikutnya :

Lahukapatti
Bagian Kedua
Ada 48 kesalahan Lahukapatti yang kesemuanya tergolong kesalahan ringan :
1. Seorang Bhikshu yang tidak sopan terhadap pendiksanya, sesama pendiksanya
atau seniornya, melakukan Lahukappati
2. Seorang bhiksu yang meminum - minuman keras atau sesuatu yang memabukkan,
melakukan Lahukappati
3. Seorang Bhiksu yang memakan daging hewan melakukan Lahukappati.
4. Seorang bhiksu yang memakan 5 macam akar pedas yang terlarang yaitu
bawang putih, 3 macam bawang dan bawang lokyo yang menimbulkan raga (nafsu
dan sebagainya) melakukan Lahukappati.
5. Seorang bhiksu yang tidak menasehati sesama bhiksu agar melakukan
pengakuan kesalahan secara teratur, melakukan Lahukappati
6. Seorang bhiksu yang menolak permintaan upacara pemberian amal atau
upacara kepada pengkhotbah Buddha Dharma melakukan Lahukappati.
7. Seorang bhiksu yang melalaikan pelajaran Buddha Dharma, melakukan yang
terdapat di dalam naskah Sansekerta melakukan Lahukappati.
8. Seorang Bhiksu yang menjelek-jelekkan atu menentang Buddha Dharma yang
terdapat dalam Naskah Sansekerta, melakukan Lahukappati.
9. Seorang Bhiksu yang tidak memberikan pertolongan kepada orang sakit yang
meminta bantuannya, melakukan Lahukappati
10. Seorang bhiksu yang memiliki senjata yang dapat menyebabkan pembunuhan
makhluk lain atau hewan-hewan, melakukan Lahukappati.
11. Seorang bhiksu yang mngembangkan diri sebagai diploman, duta atau
utusan dalam urusan perundingan internasional, melakukan Lahukappati.
12. Seorang bhiksu yang dengan perbuatannya sendiri atau atas
petunjuk-petunjuknya berniaga dalam perbudakan, pembantaian hewan atau
segala urusan immoral yang menyebabkan penderitaan pada makhluk-makhluk,
melakukan Lahukappati.
13. Seorang bhiksu yang menyebabkan menurunnya nama baik orang lain dan
meningkatnya nama baiknya sendiri melakukan Lahukappati.
14. Seorang Bhiksu yang membakar hutan yang dapat menyebabkan kebakaran
besar, melakukan Lahukappati
15. Seorang bhiksu yang berbicara secara mengutuk atau menyindir, melakukan
Lahukappati
16. Seorang bhiksu yang dengan samar-samar berbicara demi keuntungannya
melakukan Lahukappati.
17. Seorang bhiksu yang mempergunakan gaya omongan yanga memaksa agar diberi
pemberian-pemberian melakukan Lahukappati.
18. Seorang bhiksu yang dengan tidak benar menyombongkan
kepintarannya-kepintarannya atau pahala-pahalanya, melakukan Lahukappati
19. Seorang bhiksu yang tidak dapat dipercaya ucapannya, misalnya tidak
dapat diandalkan, melakukan Lahukappati.
20. Seorang bhiksu yang tidak mempunyai belas kasihan pada binatang dan
tidak menyelamatkan mereka dari bahaya maut, melakukan Lahukappati.
21. Seorang bhiksu yang melakukan balas dendam melakukan Lahukappati.
22. Seorang bhiksu yang congkak dan tinggi hati, melakukan Lahukappati
23. Seorang bhiksu yang membanggakan dan memegah-megahkan pengetahuannya
melakukan Lahukappati.
24. Seorang bhiksu yang malas dalam mempelajari dhamma, melakukan
Lahukappati.
25. Seoang bhiksu yang merusak keselarasan (harmoni) dari sesama bhiksunya
melakukan Lahukappati
26. Seorang bhiksu yang serakah dan mementingkan diri, melakukan
Lahukappati.
27. Seorang bhiksu yang mengalihkan kekayaan dari seseorang kepada dirinya
sendiri , melakukan Lahukappati
28. Seorang bhiksu yang mengalihkan kekayaan dari seseorang kepada orang
lain yang disenanginya, melakukan Lahukappati
29. Seorang bhiksu yang membuat minuman pengasih , melakukan Lahukappati
30. Seorang bhiksu yang bertindak sebagai perantara jodoh melakukan
Lahukappati
31. Seorang bhiksu yang kalau dia bisa berbuat demikian , tidak membebaskan
seseorang dari perbudakan , melakukan Lahukappati
32. Seorang bhiksu yang berniaga senjata, baik dengan tangannya sendiri
ataupun dengan petunjuk-petunjuknya, melakukan Lahukappati
33. Seorang bhiksu yang pergi untuk melihat suatu pasukan besar dari
orang yang bersenjata dan siap untuk bebperang, melakukan Lahukappati.
34. Seorang bhiksu yang tidak mempunyai kesabaran dalam mentaati
aturan-aturan tata kelakuan, melakukan Lahukappati.
35. Seorang bhiksu yang melanggar janji kebhiksuan, melakukan Lahukappati
36. Seorang bhiksu yang gagal untuk memenuhi keharusan aturan-aturan
kebhiksuan, melakukan Lahukappati
37. Seorang bhiksu yang melakukan Dhutanga Vrata (hidup di hutan untuk
perenungan keagamaan) atau Aranyaka (hidup di hutan) dan tinggal di suatu
tempat yang penuh dengan binatang liar atau dalam suatu tempat yang
berbahaya, melakukan Lahukappati.
38. Seorang bhiksu yang tidak membawa diri dengan kerendahan hati serta
tidak menghormat pada bhiksu yang tua melakukan Lahukappati.
39. Seorang bhiksu yang tidak menanam suatu sebab yang baik untuk suatu
akibat yang baik, melakukan Lahukappati
40. Seorang bhiksu yang dalam melakukan pentahbisan (pendiksaan) dengan
pikiran condong pada keuntungan, melakukan Lahukapati.
41. Seorang bhiksu yang mengajarkan dharma untuk keuntungan uang melakukan
Lahukappati.
42. Seorang bhiksu yang melaksanakan suatu Sangha Karma (pengakuan
kesalahan) pada seorang yang jahat , melakukan Lahukappati.
43. Seorang bhiksu yang sengaja berbuat bertentangan dengan vinaya,
melakukan Lahukappati.
44. Seorang bhiksu yang tidak menghormati Kitab Suci Buddhis, melakukan
Lahukappati
45. Seorang bhiksu yang tidak memberitahukan Pengetahan Dharma demi
membebaskan orang dari derita, melakukan Lahukappati
46. Seorang Bhiksu yang duduk di suatu tempat yang lebih rendah dan
mengajarkan Dharma kepada mereka yang duduk di suatu tempat yang lebih
tinggi, melakukan Lahukappati
47. Seorang bhiksu yang menyerah pada permintaan atasannya yang menurut
dharma tidak benar, melakukan Lahukappati
48. Seorang bhiksu yang melanggar Vinaya, melakukan Lahukappati


Kasamakarma
Memohon Pengampunan

48 Kesalahan yang tersebut di atas juga digolongkan di bawah 3 tingkat
penebusan kesalahan untuk menyudahi kesalahan seperti berikut :
I. Berat
Si pelanggar harus mengakui dihadapan 5 bhiksu (kelompok Sangha yang tidak
kurang dari 5 bhiksu)
II Sedang
Si pelanggar harus mengakui kesalahannya 3 bhiksu
III Ringan
Si pelanggar harus mengakui kesalahannya dihadapan 1 bhiksu, atau
dihadapan altar Sang Buddha untuk mendapatkan pengampunan.

BAB III
Peraturan Lain-lain
1. Peraturan-Peraturan untuk Bhiksuni

Pada tahun ke 14 sesudah Sang Buddha mencapai Anuttaro Samyak Sambodhi,
beliau melembut pada bujukan dan mengijinkan bibinya dan wanita-wanita untuk
diterima ke dalam sangha. Bhiksuni yang pertama adalah bibi Sang Buddha,
Maha Prajapati. Ibunda Beliau Maha Mayadevi meninggal dunia pada hari
ketujuh setelah kelahiran Sang Pangeran dan bibinya telah membesarkan
Beliau.
Diterimanya wanita ke dalam sangha telah merupakan, hingga kini, suatu soal
yang halus rapih akan tetapi disitu terdapat suatu jawaban dalam arti yang
negatif, yaitu satu hati yang indah tidak akan menodai dirinya sendiri
seperti juga “ Warna Biru sejati Tak Pernah akan ternodakan”
Dalam bagian dari Parinirvana Sutra tersebutlah bahwa Sang Buddha menjelang
Maha Parinirvana. Beliau mengajarkan Ananda sebagai berikut:
“Janganlah melihat pada seorang wanita;
kalau mesti juga, maka janganlah berbicara dengannya;
kalau mesti juga, maka berbicara dengannya tentang Dharma dan sila dan
sebutlah Sang Buddha dengan segala kekuatan batinmu”
Sabda ini berarti bahwa syarat-syarat daripada sila adalah Kesucian,
ketenangan, kesunyian, tanpa nafsu, yaitu tak lagi tergoyahkan oleh hawa
nafsu.
Sang Buddha memberi delapan Perintah penghormatan kepada ibu angkatnya dan
bibinya ketika ia diterima ke dalam Sangha dan Perintah itu telah menjadi
hukum pada para bhiksuni.
Delapan Perintah penghormatan itu adalah sebagai berikut :
1. Harus mengakui kelebihan setiap bhiksu, walaupun juga untuk bhiksuni
yang berumur 100 tahun
2. Harus tidak memarahi seorang bhiksu
3. Harus melapor dan memberi pengakuan pada yang berwenang setelah musim
hujan.
1. Harus dengan penuh hormat mentaati semua peraturan bagi para Bhiksu
2. Harus mengakui kesalahan dihadapan sidang bhiksu dan bhiksuni
3. Harus meminta dari sangha seorang bhiksu untuk menjadi guru
4. Harus tidak mempergunakan tempat istirahat musim hujan bersama-sama
dengan para bhiksu.
5. Harus melapor dan memberi pengakuan pada yang berwenang setelah musim
hujan.
Dalam Bhiksuni Sanghika Vinaya Pratimoksa Sutra yang diterjemahkan oleh Fa
Hsien pada tahun AD. 418 di jaman dinasti Tzin , terdapat aturan-aturan
untuk para bhiksuni. Perintah-perintah yang lengkap berjumlah 348 yang
umumnya disebut 500 aturan-aturan untuk bhiksuni.
Aturan-aturan itu dipasalkan di bawah perjudulan-perjudulan seperti
berikut :
1. Parajika 8
2. Sanghavasesa 17
3. Naihsargika Prayascittika 30
4. Prayascitta 178
5. Pratidesaniya 8
6. Siksakaraniya 100
7. Adhykarana Samadha 7
Jadi jumlahnya 348 pasal.

Dalam Pasal 1
Berikut ini adalah 2 Parajika bagi para Bhiksuni :
1. Tidak melakukan sesuatu asusila kelamin atau kebinatangan
2. Tidak mencuri sesuatu seharga 5 masaka
3. Tidak membunuh suatu makhluk manusia
4. Tidak berbohong atau menyombongkan hasilnya dalam Bodhi
5. Tidak mempunyai hubungan percintaan dengan seorang pria
6. Tidak berhubungan yang tak pantas yang dapat menjurus pada jina
7. Tidak menyembunyikan kesalahan dari orang bawahan atau sesamanya
8. Tidak berhubungan secara tidak pantas dengan seorang bhiksu
Dalam Pasal 2 sampai 7
Untuk pasamuan-pasamuan bhiksuni sendiri terdapat larangan-larangan yang
bersangkutan dengan usaha-usaha ini.
Perincian-perincian tentang aturan-aturan untuk pengakuan dan pengampunan
adalah sama dengan yang dinyatakan di dalam Pratimoksa Bhiksu. Seorang
Bhiksuni harus juga mentaati peraturan Bodhisatva sebagai tambahan pada
peraturan Bhiksuni yang tersebut di atas.
Dikatan bahwa praktek Pendiksian wanita-wanita Tionghoa menjadi Sramaneri
dan bhiksuni dimulai pada pemerintahan Kaisar Ming Ti (AD 70-72) dari
Dinasti Han. Bhiksuni yang pertama adalah puteri dari Liu-Chun, keturunan
dari keluarga Liu (kelurga ningrat). Disana seterusnya beberpa
wanita-wanita tingkat tinggi memasuki Sangha dan mereka tinggal di sebuah
rumah di Loyang yang telah didermakan oleh seorang sesepuh dari keluarga Ho,
seorang upasaka, praktik tersebut menjadi populer di jaman berikutnya dari
Dinasti Tsin.
Vihara Bhiksuni yang pertama telah ditegakkan dalam Dinasti Tsin, seorang
pangeran dari Khasmir Gunavarman yang menolak menaiki tahta agar dapat
mengembara seorang diri, tiba di Tiongkok dalam tahun A.D 410.
Pusat Kerajaanya adalah di Yang Chow dekat Nanking. Beliau juga yang
pertama mendirikan Bhiksuni Sangha di Tiongkok dan meninggal di Nanking
dalam tahun A.D 431.
Kaisar Hui Chung dari Dinasti Sung (A.D 1101-1126) telah memberikan istilah
Nu Teh untuk ganti Bhiksuni yang berarti wanita yang bajik.
Catatan:
1. Di Tiongkok pendiksaan seorang bhiksuni tidak dianggap dilarang oleh
Vinaya. Bahkan dewasa ini masih ada banyak Vinaya yang berkenaan dengan
kesalahan Lahukappati sehubungan dengan bhiksuni. Ini terdapat di dalam
Pratimoksa dari kedua-duanya aliran Selatan dan Utara sebagai berikut
Pasal 4,5 dan 7 dari Naihsargika Prayascittika
Pasal 21 sampaii dengan 29 dan 59 dari Prayascitta, dan
Pasal 1 dan 2 dari Pratidesaniya.
Semuanya peraturan itu berkenaan khusus dengan para bhiksuni, maka
tidaklah dapat dikatakan bahwa pentahbisan (pendiksaan) Bhiksuni
bertentangan dengan Vinaya itu sendiri.
2. Pendiksaan bhiksuni dalam doktrin Selatan telah diberhentikan sejak
kira-kira tahun Buddhis 800 atau A.D 1257

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: vinaya mahayana
« Reply #9 on: 26 September 2010, 09:12:36 AM »
37. Jika seorang bhiksu makan diantara lewat tengah hari dan keesokan
paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
« Last Edit: 26 September 2010, 09:23:11 AM by Indra »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #10 on: 26 September 2010, 09:14:01 AM »
Kathina

Kata Kathina berarti pakaian pahala yang diberikan setiap tahun oleh
seorang pengabdi atau pengabdi-pengabdi kepada Sangha sesudah pengunduran
diri selama 90 hari Varsa (pali Vassa).
Varsa umumnya dikenal sebagai Bhansa kala (bahasa Thai) yang berarti satu
pengunduran dari khusus untuk diabdikan pada meditasi, doa-doa dan
pemeriksaan diri sendiri di sesuatu tempat yang sepi dan sesuai selama 90
hari.
Kathina merupakan satu aturan yang harus ditaati oleh para bhiksu seperti
diterangkan di dalam Vinaya empat bagian.
Dalam aliran Utara, jangka waktu Varsa mulai pada hari ke 16 dari bulan ke
empat dan berakhir pada hari ke –15 dari bulan ke 7 dari pada penanggalan
bulan Tionghoa, yaitu mulai pada bulan Mei/Juni dan berakhir pada bulan
Oktober-Nopember.
Dalam Mahayana Tionghoa dikatakan bahwa varsa adalah dalam musim panas dari
itu Bhansa kala Tionghoa jatuh dua bulan lebih dahulu dari Bhansa kala
Muangthai.
Pada kenyataanya, Varsa kala atau Bhansa kala sama artinya dalam bahasa
Sansekerta maupun Pali, Bhansa berarti hujan, dan kala berarti waktu. Dari
itu Bhansa kala berarti musim hujan.
Dalam Vinaya empat bagian yang diterjemahkan oleh Buddhayasas dan Chu Fo
Nien dalam A.D 405, dari suatu catatan dapat diusut waktu yang sebenarnya
daripada Varsa. Dalam catatan tersebut diuraikan sebagai berikut :
“Pada suatu hari Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana di kota
Sravasti, maka kabar itu tersebarlah kepada sejumlah bhikkhu, Aranyaka
(dalam naskah Pali dikatakan mereka berjumlah 30 orang) dari berbagai tempat
pertapaan dan jurusan dari Hutan Pateyya, dan kesemuanya mereka itu adalah
Arya Sangha. Dikatakan bahwa varsa adalah dalam musim panas dari itu Bhansa
kala Tionghoa jatuh dua bulan lebih dahulu dari Bhansa kala Muangthai.
Pada kenyataannya, Varsa kala atau Bhansa kala sama artinya dalam bahasa
Sansekerta maupun Pali, Bhansa berarti hujan, dan kala berarti waktu. Dari
itu Bhansa kala berarti musim hujan.
Dalam Vinaya empat bagian yang diterjemahkan oleh Buddhayasas dan Chu Fo
Nien dalam A.D 405, dari suatu catatan dapat diusut waktu yang sebenarnya
daripada Varsa. Dalam catatan tersebut diuraikan sebagai berikut :
“Pada suatu hari Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana di kota
Sravasti, maka kabar itu tersebarlah kepada sejumlah bhikkhu, Aranyaka
(dalam naskah Pali dikatakan mereka berjumlah 30 orang) dari berbagai tempat
pertapaan dan jurusan dari Hutan Pateyya, dan kesemuanya mereka itu adalah
Arayasangha.Mereka meninggalkan tempat mereka dan menuju ke kota Sravasti
dengan maksud menghaturkan hormat kepada Sang Buddha.
Mereka berjumpa satu sama lain secara kebetulan di jalan di dekat kota
Saketa yang terletak kira-kira 60 mill dari Sravasti.
Ketika para bhiksu tersebut tiba di kota Saketa, Bhansa kala sudah akan
mulai, maka terpaksa mereka berdiam di kota Saketa selama 90 hari sesuai
dengan peraturan pertapaan yang berlaku.
Setelah 90 hari pengunduran diri itu, hujan tidak henti-hentinya turun
dengan deras sehingga tanah dan jalan-jalan tergenang air serta lumpur.
Tetapi oleh karena para bhiksu itu berkeras hendak berangkat selekas mungkin
ke kota Sravasti demi menghaturkan sembah sujud mereka kepada Yang Maha
Suci Sang Buddha, maka berangkatlah mereka walapun hujan turun dengan
derasnya.
Setibanya di Sravasti mereka langsung menuju ke Vihara Jetavana dan
menjatuhkan diri mereka memberi sujud kepada Sang Buddha. Beliau melihat
bahwa mereka basah kuyup dari kepala sampai ke ujung kaki, pakaian
merekapun basah dan penuh lumpur. Beliau bertanya apa yang telah terjadi,
dan merekapun menuturkan seluruh kejadian itu.
Sang Buddha bergembira mendengar kebhaktian dan pengabdian mereka , dan
memberikan ijin Beliau untuk segera menukar pakaian mereka yang basah kuyup
itu, kemudian Yang Maha Suci Sang Buddha mengeluarkan perintah Kathina agar
para anggota Sangha mendapat satu pakaian baru setahun sekali setelah
kesukaran pada para Aranyaka bhiksu yang tinggal di hutan,
Dari catatan tersebut di atas dapatlah dilihat bahwa Varsa adalah dalam
musim hujan pada waktu mana hujan besar telah menyebabkan kesukaran pada
para Aranyaka bhiksu yang tinggal di hutan.

A. Peraturan untuk melaksanakan Kathina

1. Upacara Khatina dilakukan setahun sekali dalam jangka waktu satu bulan
dimulai dari hari sesudah berakhirnya varsa. Dalam aliran Utara, mulai hari
ke 16 bulan ke 7 sampai hari ke 16 bulan ke 8 menurut penanggalan bulan
Tionghoa. Dalam aliran Selatan mulai hari ke-16 bulan ke –11 sampai hari
ke-12 bulan 12 menurut penanggalan bulan Muangthai.
2. Suatu Vihara harus mempunyai dewan yang terdiri atas sekurangnya 6
anggota sangha, dengan seorang ketua yang berwenang untuk mendengarkan
pengakuan kesalahan, memberikan absolusi dan mendiksakan Upacara Kathina.
3. Sebuah Vihara yang penghuni anggota sanghanya kurang dari 5 pada Bhansa
kala. Tidak kopeten untuk melaksanakan Upacara Kathina.
4. Sesuatu Vihara yang diijinkan untuk melakanakan Upacara Khatina sekali
setahun (tidak lebih dari satu Kathina dalam setahun).

B. Mencapai Pahala Kebajikan dari Kathina.

Kathina

Sehubungan dengan pencapaian pahala kebajikan dari pada Kathina Yang Maha
Suci Sang Buddha mengumumkan bahwa kebajikan yang tercapai adalah selayaknya
pahala yang tertinggi oleh karena pemberian kepada Sangha tersebut tidak
disertai ketentuan bahwa pemberian itu tertuju pada perorangan yang
tertentu. Dalam Daksina Vibhanga Sutra terkutip:
“Pada suatu ketika, Yang Maha Suci Sang Buddha bersemayam di kota
Kapilavastu bibi Beliau, Maha Prajapati Gotami yang telah membesarkan
Beliau, mempersembahkan Beliau sepotong kain yang telah ditenunnya sendiri.
Beliau menolak pemberian itu dan mengatakan agar kain itu dipersembahkan
kepada Sangha supaya pahala yang tercapai dari pemberian itu akan lebih
tinggi.
Berulang kali Maha Prajapati Gotami memohon agar Beliau berkenan
menerimanya, tetapi Yang Maha Suci Sang Buddha tetap mengulangi nasehat
Beliau.
Ananda, saudara sepupu Yang Maha Suci Sang Buddha yang bertindak selaku
pelayan pribadi Beliau juga turut memohon belas kasihan Beliau agar menerima
kain itu berdasarkan kesucian pengabdian Maha Prajapati Gotami dalam
kepercayaannya bahwa pahala dari pemberian itu akan menjamin kebahagiaan
baginya.
Sang Buddha kemudian menjelaskan kepada Ananda tentang dana dan pahala
kebajikan yang dicapai daripada dana, yakni :
1. Dana kepada Sang Tathagata (Sang Buddha)
2. Dana kepada Pratyeka Buddha (yang mencapai Bodhi untuk diri sendiri)
3. Dana kepada Arahat
4. Dana kepada calon Arahat
5. Dana kepada Anagamin
6. Dana kepada calon Anagamin
7. Dana kepada Sakrdagamin
8. Dana kepada calon Sakrdagamin
9. Dana kepada Srotapanna
10. Dana kepada calon Srotapanna
11. Dana kepada Sramana (segala macam pertapa)
12. Dana kepada Puggala (yang ketat mentaati perintah-perintah)
13. Dana kepada Puggala (yang mengabaikan perintah-perintah)
14. Dana kepada Tiryag (binatang-binatang)

Bilamana si pemberi amal murni pikirannya dan memberi sesuatu kepada yang
tersebut di atas, dia menerima suatu pencapaian kebajikan yang besar. Akan
tetapi, Ananda, suatu Daksina Dana yang diberikan kepada Sangha tanpa
spesifikasi seseorang yang tertentu mencapai kebajikan yang teragung dan
tertinggi”
Kutipan di atas adalah dari sutra tersebut. Dari itu Kathina adalah
peraturan yang berlaku dalam Vinaya yang dianggap sebagai pencapaian pahala
kebajikan tingkat tertinggi di dalam doktrin Buddhis.

B. Upacara Kathina

Upacara Kathina dilangsungkan di dalam Aula Agung Sang Buddha (disebut
Upavasatha) atau bangunan utama daripada sesuatu Vihara
Para penghuni bhiksu mengambil tempat duduk di sebelah kanan Aula Agung
Sang Buddha. Seluruh Sangha melafal doa pemberian selamat yeng menyatakan
pahala kepada semua pengabdi untuk berkah daripada perbuatan kebajikan itu.
Para upasaka-upasika memegang Kathina Civara (pakaian pahala), parikara
(pakaian tambahan, pakaian dalam dan lain-lain) atas tangan mereka dengan
mengangkatnya setinggi dada dan mengitari 3 kali Aula Agung Sang Buddha dari
sebelah kanannya Aula menuju ke sebelah kiri.
Setelah itu mereka memasuki aula, meletakkan barang-barang yang di bawa,
dan berlutut tiga kali di hadapan altar Sang Buddha. Segera setelah itu
mereka berlutut tiga kali di hadapan Sangha dan memohon Pansil.
Setelah menerima Pansil mereka menyatakan pikiran mereka dengan kata-kata
mengenai Kathina Civara kepada Sangha. Semua Bhiksu di dalam pertemuan itu
mengucapakan Sadhu.
Bhiksu pemimpin yang duduk di sebelah atas barisan bhiksu, menerima Civara
dan Parikara atas nama Sangha dan menaruhkan semua barang-barang itu ke
hadapan Sangha. Bhiksu yang kedua mengangkat dirinya atas lututnya,
merangkapkan kedua tangannya dan mengucapkan kepada Sangha bahwa Kathina
Dana ini diberikan tanpa menentukan siapa yaitu perorangan tertentu yang
ditujukan maka itu dia meminta Sangha memilih seorang bhiksu yang
kelakuannya baik tak tercela dan yang pakaiannya sudah tua, untuk menerima
pakaian-pakaian pahala ini. Pada saat yang sama dia memohon Sangha untuk
mempertimbangkan hal tersebut. Lalu ia duduk kembali.
Bhiksu yang ketiga mengangkat dirinya atas lututnya merangkapkan tangannya
dan mengucapkan persetujuan agar memilih seorang bhiksu diantara yang hadir
di pertemuan itu untuk menerima pakaian-pakaian itu. Dalam kata-katanya dia
memohon agar Sangha memberikan suara pendapat siapa yang berhak menerima
pakaian pahala itu. Lalu dia duduk kembali.
Bhiksu yang keempat mengangkat dirinya atas lututnya, merangkapkan
tangannya dan mengucapkan bahwa dia menyetujui usul tersebut, dan dia
menyebutkan seorang bhiksu yang mulia dengan memanggilnya. Kemudian ia
duduk kembali. Bhiksu yang kelima mengangkat dirinya atas lututnya
merangkapkan tangannya dan menunjang usul tersebut dan memohon keputusan
Sangha. Lalu dia duduk kembali. Semua bhiksu-bhiksu yang hadir, terkecuali
yang diusulkan, menyatakan persetujuan mereka dengan mengucapkan Sadhu.
Bhiksu yang kelima kembali berlutut dan mempersembahkan pakaian pahala itu
kepada bhiksu yang namanya diusulkan tadi. Bhiksu tersebut menerima pakaian
itu. Setelah dia membuat suatu Bindhu (tanda pensil di pinggir pakaian itu)
dia membawa pakaian itu ke belakang Aula dan mengenakannya kemudian dia
kembali ke tempat duduknya.



Pakaian Untuk para Bhiksu
Dalam Vinaya Mahayana Tionghoa terdapat satu aturan untuk pakaian para
bhiksu, yang telah ditetapkan sejak jaminan mulai Buddhis dikenalkan di
Tiongkok dari India.
Pakaian untuk para bhiksu di buat dalam gaya Tionghoa dengan ciri-ciri yang
jelas terpisah dari pakaian yang biasa dipakai umum. Baik dalam bahasa Pali
maupun Sansekerta, kata Civara berarti jubah bhiksu. Kata Tri Civara
diinterpretasikan sebagai tiga jubah, yaitu:
1. Antarayasa yaitu pakaian dalam
2. Uttarasangaha yaitu pakaian luar
3. Sangahti yaitu pakaian campuran
Menurut vinaya seorang bhiksu harus memiliki tiga pakaian itu untuk
keperluan pribadinya. Di Tiongkok seorang bhiksu memakai untuk Antarayaksa,
satu jubah Uttarasangha dan selendang (semacam kain yang panjang yang
dipakai di atas jubah menutupi pundak kiri menyimpang ke bawah tangan kanan)
untuk sanghati)
Ada dua macam jubah untuk Bhiksu yaitu :
1. Jubah resmi juga disebut pakaian keharusan, berwarna kuning
2. Jubah biasa, juga disebut pakaian yang diijinkan, berwarna abu-abu atau
hitam.

Bhiksu Tionghoa umumnya memakai pakaian mereka yang berwarna abu-abu atau
hitam, tetapi bila melakukan upacara pembacaan doa mereka biasanya
berpakaian warna kuning.
Oleh karena hawa udara yang amat dingin, maka perlu untuk bhiksu-bhiksu
memakai baju, celana, jubah, topi, kaos dan sepatu agar memungkinkan badan
mereka menimbulkan panas terhadap hawa udara dingin terutama di Tiongkok
Utara, Tibet dan sebagainya dimana hawanya sangat dingin.
Pada zaman ini keperluan perubahan pakaian untuk bhiksu sesuai dengan hawa
udara tempat dimana mereka hidup, telah diterima baik disebagian besar dunia
ni.
Perbedaan dalam hal pakaian tidak akan menjadi soal penting itu hanyalah
suatu usaha manusia untuk mempertahankan hidup sesuai dengan panggilan alam
dan keadaan-keadaan lahiriah yang terdapat di negeri masing-masing.
Dalam ajaran Buddhis, keseimbangan terhadap semua manusia tanpa perbedaan
merupakan salah satu prinsip dasar daripada kehidupan seperti :
1. Bebas daripada kecondongan
Tidak mencintai satu dan membenci yang lain
2. Bebas daripada berat sebelah
Tidak cenderung untuk melebihkan satu di atas yang lain
3. Bebas dari pada prasangka
Tidak bersandar pada salah satu partai dan memusuhi yang lain.
Buddhisme adalah doktrin kesamarataan ras manusia dan semua Bhiksu adalah
sama dalam pandangan Vinaya dan tidak diperlukan dengan jalan yang satu atas
yang lain.
Selama di dalam dunia ini masih ada sedikitpun sisa dari Buddhisme, maka
selama itu pula mungkin untuk sampai pada hati manusia dari segala umur
keistimewaan atau keadaan apapun dalam hidup ini dan menjamin kerjasama
mereka dalam menciptakan persatuan dunia Buddhis.

Addendum
(1) Astasatam – Pasakamala
108 biji Tasbih

Ada banyak interpretasinya, misalnya :
108 Trsna = Nafsu keinginan
108 Mangala = Kemakmuran
108 Hrdaya = Hati

Menurut interpretasi Buddhis, 108 biji tasbih itu membawa pernyataan tentang
108 Guna Sang Tri Ratna, yang berarti 108 kebajikan dari Sang Tiga Mustika,
yakni :
(a). Guna dari Sang Buddha:
1. Prthivi Dhatu (unsur tanah/padat) 21
2. Apos Dhatu (unsur air) 12
3. Tejas Dhatu (unsur api/panas) 6
4. Vayas Dhatu (unsur udara/gerak) 7
5. Akasa Dhatu (unsur ruang) 10
Jumlah 56

56 kebajikan Sang Buddha dalam kelengkapan prinsip aktifnya
.
(b) Guna dari Dharma
Kebajikan Sang Buddha di bagi dengan dua :
56:2 = 28
Di tambah dengan 10 Akasa dhatu sebagi prinsip aktif

(c ) Guna dari Sangha
Kebajikan sang Buddha dibagi dengan empat 56:4 = 14 Tidak ada yang ditambah
sebab Sangha mempunyai prinsip aktif sendiri, tetapi hanya ¼ Sang Buddha
Jumlah (56+18+14) Guna menjadi 108 Guna.

Mantram yang dipergunakan dalam mengulang-ulang doa atau dalam pengobatan
adalah dengan jalan menghafalkan 108 Guna itu seperti berikut:

56 Guna dari Sang Buddha

1. I 11. Sam 21. Sam 31. A 41. Ra 51. Bud
2. Ti 12. Ma 22. Pan 32. Nut 42. Thi 52. dho
3. Pi 13. Sam 23. No 33. Ta 43. Sat 53. Bha
4. So 14. Bud 24. Su 34. Ro 44. Tha 54. ga
5. Bha 15. Dho 25. Ga 35. Pu 45. De 55.va
6. Ga 16 Vij 26. To 36. Ri 46. Va 56. ti
7. Va 17. Ja 27. Lo 37. Sa 47. ma
8. A 18. Ca 28. Ka 38. Dam 48. nus
9. Ra 19. Ra 29. Vi 39. Ma 49. sa
10. Hang 20. Na 30. Du 40 sa 50. nang

38 Guna dari Dharma
1. Svak 10. San 19. Hi 28. Pac 37. hi
2. Kha 11. Dit 20. Pa 29. Cat 38. ti
3. To 12. Thi 21. Si 30. Tang
4. Bha 13. Ko 22. Ko 31. Ve
5. Ga 14. A 23. O 32. Di
6. Va 15. Ka 24. Pa 33. Tab
7. Ta 16. Li 25. Na 34. Bo
8. Dham 17. Kho 26. Yi 35. Vin
9. Mo 18. E 27. Ko 36. Nu

14 Guna dari Sangha
1. Su 6. Bha 11. Va
2. Pa 7. Ga 12. Ka
3. Ti 8. Va 13. Sang
4. Pan 9. To 14. Gho
5. No 10. sa

Singkatan dari sembilan perkataan seperti berikut di sebut Mangalanavaratana
(9 inti kebenaran yang berharga) atau Hati Tri ratna yang meliputi seluruh
guna itu.
1. a = Arahang
2. sam = Sammasambuddho
3. Vi = Vijjacaranasampanno
4. su = Sugato
5. lo = Lokaviduanuttaro
6. Pu = Purisadhammasarathi
7. sa = Sathadevamanusanang
8. Bu = Buddho
9. ba = Baghavati
Guna itu tanda atau sifat dari lima unsur yang menjadi segala bentuk dari
pada keadaan dan kehidupan.
Mengulang-ulangi mantra itu dianggap sebagi hafalan dan penghafalan 108
Guna Tri Ratna adalah berseru kepada Sang Buddha dengan bathin terpusat,
mempersiapkan keadaan batin untuk memperoleh pengertian dan untuk memeriksa
kenyataan dan kebenaran.

Catatan:
Kata Guna juga diinterpretasikan sebagai sifat tubuh dan mata batin.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: vinaya mahayana
« Reply #11 on: 26 September 2010, 09:26:08 AM »
37. Jika seorang bhiksu makan diantara lewat tengah hari dan keesokan
paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
maksudnya?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: vinaya mahayana
« Reply #12 on: 26 September 2010, 12:56:47 PM »
3. Tidak makan pada sore hari sampai keesokan harinya  <<< wah , gak salah neh?? bnyk lo yg ngemil2.. ekekeke
Samma Vayama

 

anything