Brahma Anagami yang berbicara pada Bahiya adalah salah satu dari 7 orang yang naik ke atas bukit dan bersumpah tidak akan turun sebelum mencapai kesucian. 1 dari mereka mencapai Arahatta, 1 lagi adalah Brahma tersebut, 5 lainnya mati kelaparan karena tekad mulianya.
5 yang mati kelaparan itu adalah Pukkusati, Kumara Kassapa, Bahiya, Dabba Mallaputta, dan Sabhiya.
Seorang Sotapanna yang telah merealisasi kebenaran, tidak akan dibingungkan oleh "apakah saya arahat atau bukan?" Ia seharusnya telah memahami jalan dan bukan jalan sebagai satu dari 7 "harta" seorang Sotapanna. Sedangkan Bahiya masih dibingungkan hal tersebut karena orang-orang mengatakan ia adalah Arahat sampai akhirnya diberitahu oleh Brahma tersebut. Jadi sepertinya Bahiya memang belum seorang Sotapanna.
Menarik sekali, setelah search di google saya menemukan ini:
Bahiya Daruciriya
Disusun dan dituturkan oleh : Hananto
Pada saat Sang Buddha Padumutara muncul di dunia, Bahiya terlahir sebagai
seorang manusia berkasta brahmana. Brahmana menaruh saddha yang baik
terhadap Buddha sasana. Karenanya ia sering mendengarkan pembabaran Dhamma
yang disampaikan oleh Sang Buddha. Saat Sang Buddha berbicara tentang
siswa-Nya yang mampu dengan cepat menembus/mencapai Dhamma, ia merasa amat
tertarik. Dan ia pun ingin seperti siswa Sang Buddha tersebut. Maka, ia pun
mempersembahkan dana makanan selama tujuh hari kepada Sang Buddha dan
siswa-siswa-Nya serta beradhitthana agar mampu menembus Dhamma dengan cepat.
Sang Buddha Padumutara memberkahi tekadnya itu.
Beliau menyatakan, bahwa ia akan mencapai apa yang dicita-citakan, sesuai
dengan adhitthananya, pada masa Sang Buddha Gotama dengan nama Bahiya
Daruciriya. Sesudah kehidupan itu, karena perbuatan bajiknya, ia terlahir
pada alam-alam bahagia.
Pada akhir dari Sasana Kassapa Sammasambuddha, ia terlahir sebagai manusia
yang juga mempunyai saddha pada Buddha sasana. Ia kemudian upasampada
menjadi bhikkhu. Pada saat itu sasana telah amat merosot. Upasaka-upasika
maupun para bhikkhu-bhikkhuni tidak lagi mempedulikan Dhamma Vinaya.
Walaupun Dhamma sejati masih bisa ditemui, namun kebanyakan umat Buddha
[upasaka-upasika maupun para bhikkhu] tidak lagi berminat untuk
melaksanakannya. Mereka lebih senang berasyik-masyuk menikmati keduniawian.
Bhikkhu Bahiya merasa kecewa melihat keadaan itu. Namun saddha terhadap
sasana tetap berkobar-kobar dalam batinnya. Ia merasa tak bisa melaksanakan
Dhamma Vinaya pada lingkungan yang demikian. Sedikit atau banyak, cepat atau
lambat ia pasti akan terpengaruh dan tertulari praktek-praktek salah dari
lingkungan adhamma tersebut. Ia tak mau dan tak ingin terpengaruh dan
tertulari oleh mereka.
Maka ia mencoba mencari teman bhikkhu yang sehaluan untuk membicarakan apa
yang sebaiknya dilakukan. Ia menemukan enam orang bhikkhu yang sependapat
dengannya. Mereka memutuskan untuk menghindari masyarakat yang telah
berpaling dari Dhamma, dan mengasingkan diri ke puncak gunung yang tak bisa
dijangkau manusia lain.
Mereka ber adhitthana untuk melakukan patipatti Dhamma hingga berhasil
mencapai kesucian. Bila tak berhasil, mereka rela mati kelaparan karena
keadaan tempat mereka tinggal memang tidak memungkinkan untuk melakukan
pindapata.
Beberapa hari kemudian, walau dalam keadaan kelaparan, seorang dari ketujuh
bhikkhu itu berhasil mencapai kesucian arahat. Arahat Thera parinibbana pada
hari itu juga. Beberapa hari kemudian, seorang bhikkhu berhasil mencapai
kesucian anagami. Dan Anagami Thera pun meninggal pada hari itu, terlahir di
alam Suddhavasa. Sementara sisanya, lima orang bhikkhu termasuk Bahiya
meninggal dunia karena kelaparan.
Pada masa Gotama Sammasambuddha, ia terlahir sebagai manusia bernama Bahiya.
[Keempat orang bhikkhu rekannya terlahir sebagai Dabba Mallaputta, Kumara
Kassapa, Sabhiya dan Pukkusati. Keempat orang ini kemudian upasampada
menjadi bhikkhu.
Bhkikhu Dabba Mallaputta mencapai kesucian arahat, termasuk asitimahasavaka
serta etadagga dalam membagi senasana.
Bhikkhu Kumara Kassapa mencapai kesucian arahat, termasuk asitimahasavaka
serta etadagga dalam membabarkan Dhamma secara mendalam dan indah.
Bhikkhu Sabhiya mencapai kesucian arahat dan termasuk asitimahasavaka.
Sedangkan Bhikkhu Pukkusati mencapai kesucian anagami. Segera setelah
mencapai kesucian anagami tersebut, ia meninggal ditanduk oleh seekor kerbau
betina yang baru melahirkan. Ia terlahir di alam Suddhavasa, akan mencapai
kesucian arahat dan parinibbana di sana].
Bahiya tinggal di kota Bharukaccha yang makmur. Ia membangun hidupnya dengan
berdagang antar pulau. Dengan rajin ia mengumpulkan keuntungan yang didapat
hingga mampu membeli sebuah kapal yang cukup besar guna mengembangkan
perdagangan antar benua. Namun, mengarungi samudra yang luas bukannya
membawa keuntungan duniawi baginya. Pada suatu hari, ia mengalami musibah
yang membuat hidupnya berubah sama sekali.
Di suatu pelayaran di tengah samudra, kapalnya dihempas badai dan pecah
dihantam oleh seekor naga besar yang ganas. Semua anak buahnya meninggal
dunia. Barang dagangannya pun tak bersisa. Ia berusaha menyelamatkan diri,
berenang dengan pertolongan kayu serpihan kapalnya yang pecah.
Berhari-hari ia terapung-apung di tengah samudra luas tanpa bekal makanan
dan minuman. Hanya kamma baiknya yang membawanya menepi ke pantai Supparaka.
Terdampar di pantai pasir dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Badannya
kurus kering. Pakaiannya pun compang-camping, tak cukup untuk menutupi
tubuhnya secara layak. Ia benar-benar hampir telanjang.
Setelah siuman dari pingsannya serta cukup istirahat, dengan tertatih-tatih
ia berjalan masuk ke desa untuk mencari makanan.
Melihat orang aneh yang baru dilihat, kurus dan hampir telanjang dengan
sinar mata yang sayu, penduduk desa justru mengira ia adalah seorang pertapa
arahat. Rupanya penduduk desa itu mempunyai perasaan fanatik terhadap
pertapa yang berpenampilan aneh dan nyentrik.
Mereka bersujud, menghormat dan memuja Bahiya dengan segala macam
persembahan makanan dan minuman yang lezat-lezat. Tentu saja Bahiya yang
kelaparan terombang-ambing berhari-hari di samudera luas tidak ambil pusing
dengan segala macam tatacara, yang penting ia bisa segera memuaskan dahaga
dan rasa laparnya yang teramat sangat.
Namun ternyata Bahiya tak mampu menghabiskan banyak makanan dan minuman,
karena perut dan ususnya telah mengempis akibat derita yang dialaminya di
tengah lautan. Hal ini berlangsung berhari-hari, yang membuat penduduk desa
semakin yakin bahwa ia adalah seorang arahat.
Bahiya yang mengalami hempasan fisik dan guncangan derita karena kehilangan
seluruh investasinya, kesadarannya pun terganggu. Ia menjadi gila. Tapi
kadang-kadang sadar. Jadi gilanya kambuh-kambuhan.
Karena penghormatan dan pemujaan terhadap dirinya itu, pada suatu saat yang
hening ia berpikir:
“Kiranya aku telah mencapai kesucian arahat. Benar! Aku adalah seorang
arahat. Kalau tidak, mana mungkin penduduk desa yang miskin ini memberi
persembahan yang berlebihan padaku.”
Keadaan ini terus berlangsung dari hari ke hari, minggu ke minggu, hingga
Bahiya pun semakin yakin dengan pandangan sesatnya dan mengira dirinya
memang seorang arahat.