Namo Buddhaya,
Untuk menarik minat diskusi saya berikan satu topik kesejajaran Agama Buddha dan Agama Hindu :
Kira-kira terjemahannya seperti ini : Di agama-agama yang berasal dari India, Moksha atau Mukti, secara tata bahasa berarti "pembebasan" (kedua-duanya dari akar kata muc yang artinya "untuk membebaskan, membebaskan"), adalah pembebasan dari samsara yang seiring sejalan dengan pembebasan dari penderitaaan lingkaran kematian dan kelahiran kembali (reinkarnasi).
Hindu mana dulu neh?
Hindu itu luassssssssssss
Dan pengertian Nirvana Hindu yang saya ketahui masih merupakan pandangan salah, sangat berbeda dengan konsep Nibanna yang diajarkan Sang Buddha.
Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Namo Buddhaya,
Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta. :)Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).
Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"
"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"
"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"
"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."
"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"
"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:
"the Pervasive Lord"
"the Supreme Guardian of the world"
"Buddha-Self"
"the Beginningless Self"
"the Self of Thusness"
"the Self of primordial purity"
"the Source of all"
"the Single Self"
"the Diamond Self"
"the Solid Self"
"the Holy, Immovable Self"
"the Supreme Self"
"the Supreme Self of All Creatures".
"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:
"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"
The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"
In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:
… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]
Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.
Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :
In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).
Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah :)
_/\_
Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Namo Buddhaya,
Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta. :)Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).
Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"
"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"
"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"
"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."
"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"
"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:
"the Pervasive Lord"
"the Supreme Guardian of the world"
"Buddha-Self"
"the Beginningless Self"
"the Self of Thusness"
"the Self of primordial purity"
"the Source of all"
"the Single Self"
"the Diamond Self"
"the Solid Self"
"the Holy, Immovable Self"
"the Supreme Self"
"the Supreme Self of All Creatures".
"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:
"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"
The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"
In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:
… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]
Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.
Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :
In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).
Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?
Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.
Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.
Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.
_/\_
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Namo Buddhaya,
Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta. :)Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).
Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"
"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"
"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"
"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."
"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"
"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:
"the Pervasive Lord"
"the Supreme Guardian of the world"
"Buddha-Self"
"the Beginningless Self"
"the Self of Thusness"
"the Self of primordial purity"
"the Source of all"
"the Single Self"
"the Diamond Self"
"the Solid Self"
"the Holy, Immovable Self"
"the Supreme Self"
"the Supreme Self of All Creatures".
"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:
"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"
The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"
In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:
… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]
Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.
Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :
In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).
Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah :)
_/\_
Namo Buddhaya,
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Bro Fabian yang baik,
Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.
Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini :)
_/\_
Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Bro Kevin Kin yang baik, tergantung dari pengertian Tuhan itu sendiri, bila Tuhan adalah pencipta tunggal seperti pandangan agama-agama timur tengah, atau Tuhan ada banyak seperti pandangan agama Hindu, Mesir dan Yunani, maka Tuhan seperti itu tak ada di Buddhis.
Tetapi bila yang dimaksud Tuhan itu pengertiannya hanya sebatas Udana VII:3, maka Tuhan itu ada.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Namo Buddhaya,
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Bro Fabian yang baik,
Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.
Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini :)
_/\_
maaf saya menyela,
kesadaran ada 6 jenis, yaitu kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. masing2 kesadaran itu timbul lenyap menurut landasan-landasannya internal dan eksternal. jadi kesadaran manakah yg abadi (tidak lenyap) itu?
Namo Buddhaya,
Coba anda memaknai mksud dari Udana 7:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 7:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 7:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Lalu ini apa bro :
Teks Pali
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ada Yang Mutlak. :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Bro Fabian yang baik,
Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.
Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini :)
_/\_
maaf saya menyela,
kesadaran ada 6 jenis, yaitu kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. masing2 kesadaran itu timbul lenyap menurut landasan-landasannya internal dan eksternal. jadi kesadaran manakah yg abadi (tidak lenyap) itu?
Silahkan disela ndak papa kok :)
Bro Indra yang baik,
Bukankah dengan mengatakan ada 6 jenis kesadaran dan masing-masing timbul dan lenyap berarti ada Yang Sadar dibelakang ke 6 indra itu sehingga mampu mengamati timbul dan lenyapnya 6 jenis kesadaran ?
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Lalu ini apa bro :
Teks Pali
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ada Yang Mutlak. :)
_/\_
Namo Buddhaya,
bro tiriyana yg baik...
NAH ITU JUGA TERMASUK BROOOOOOOOOOOOOOOOO.... ^-^ sesungguhnya bila kita melihat sesuatu apa adanya dan secara HISTORIK, maka itu bukan konsep ketuhanan , itu adalah sifat sifat dari nibbana itu sendiri!!! nibbana = kebahagiaan tertinggi = mutlakCoba kita lihat lagi bro!! ;D
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Oh bro tiriyana yg baik!! apakah sifat2 diatas tersebut yg saya bold bertentangan dgan Nibbana itu sendiri??
skrg yg ttg historik : Coba anda memaknai mksud dari Udana 8:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 8:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 8:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.
Maaf bila ada yg salah..
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Lalu ini apa bro :
Teks Pali
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ada Yang Mutlak. :)
_/\_
Namo Buddhaya,
bro tiriyana yg baik...
NAH ITU JUGA TERMASUK BROOOOOOOOOOOOOOOOO.... ^-^ sesungguhnya bila kita melihat sesuatu apa adanya dan secara HISTORIK, maka itu bukan konsep ketuhanan , itu adalah sifat sifat dari nibbana itu sendiri!!! nibbana = kebahagiaan tertinggi = mutlakCoba kita lihat lagi bro!! ;D
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Oh bro tiriyana yg baik!! apakah sifat2 diatas tersebut yg saya bold bertentangan dgan Nibbana itu sendiri??
skrg yg ttg historik : Coba anda memaknai mksud dari Udana 8:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 8:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 8:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.
Maaf bila ada yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Sepanjang yang pernah saya baca, Bhante Uttamo pernah mengatakan bahwa Ketuhanan YME dalam Agama Buddha Theravada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 identik dengan Nirvana, maka dalam hal ini berarti secara tegas dan langsung diakui adanya Yang Mutlak atau Dasar dari segala sesuatu yang ada walaupun Yang Mutlak atau Nirvana itu sendiri tidak berubah, hal ini sejalan dengan Ajaran Samkya Yoga dalam Agama Hindu yang mengatakan ada Sesuatu yang Tidak Berubah, Tetap,Tidak Dilahirkan, Yang Mutlak yaitu Purusa.
Saya yakin di Thailand juga ada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Lalu ini apa bro :
Teks Pali
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ada Yang Mutlak. :)
_/\_
Namo Buddhaya,
bro tiriyana yg baik...
NAH ITU JUGA TERMASUK BROOOOOOOOOOOOOOOOO.... ^-^ sesungguhnya bila kita melihat sesuatu apa adanya dan secara HISTORIK, maka itu bukan konsep ketuhanan , itu adalah sifat sifat dari nibbana itu sendiri!!! nibbana = kebahagiaan tertinggi = mutlakCoba kita lihat lagi bro!! ;D
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Oh bro tiriyana yg baik!! apakah sifat2 diatas tersebut yg saya bold bertentangan dgan Nibbana itu sendiri??
skrg yg ttg historik : Coba anda memaknai mksud dari Udana 8:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 8:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 8:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.
Maaf bila ada yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Sepanjang yang pernah saya baca, Bhante Uttamo pernah mengatakan bahwa Ketuhanan YME dalam Agama Buddha Theravada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 identik dengan Nirvana, maka dalam hal ini berarti secara tegas dan langsung diakui adanya Yang Mutlak atau Dasar dari segala sesuatu yang ada walaupun Yang Mutlak atau Nirvana itu sendiri tidak berubah, hal ini sejalan dengan Ajaran Samkya Yoga dalam Agama Hindu yang mengatakan ada Sesuatu yang Tidak Berubah, Tetap,Tidak Dilahirkan, Yang Mutlak yaitu Purusa.
Saya yakin di Thailand juga ada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..
Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.
Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.
Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.
Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan. :)
Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome :)
_/\_
Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape ^-^
Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')
Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya 8)
Maaf bila ada kata2 yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Lalu ini apa bro :
Teks Pali
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ada Yang Mutlak. :)
_/\_
Namo Buddhaya,
bro tiriyana yg baik...
NAH ITU JUGA TERMASUK BROOOOOOOOOOOOOOOOO.... ^-^ sesungguhnya bila kita melihat sesuatu apa adanya dan secara HISTORIK, maka itu bukan konsep ketuhanan , itu adalah sifat sifat dari nibbana itu sendiri!!! nibbana = kebahagiaan tertinggi = mutlakCoba kita lihat lagi bro!! ;D
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Oh bro tiriyana yg baik!! apakah sifat2 diatas tersebut yg saya bold bertentangan dgan Nibbana itu sendiri??
skrg yg ttg historik : Coba anda memaknai mksud dari Udana 8:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 8:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 8:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.
Maaf bila ada yg salah..
_/\_
Bro Kevin yang baik,
Sepanjang yang pernah saya baca, Bhante Uttamo pernah mengatakan bahwa Ketuhanan YME dalam Agama Buddha Theravada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 identik dengan Nirvana, maka dalam hal ini berarti secara tegas dan langsung diakui adanya Yang Mutlak atau Dasar dari segala sesuatu yang ada walaupun Yang Mutlak atau Nirvana itu sendiri tidak berubah, hal ini sejalan dengan Ajaran Samkya Yoga dalam Agama Hindu yang mengatakan ada Sesuatu yang Tidak Berubah, Tetap,Tidak Dilahirkan, Yang Mutlak yaitu Purusa.
Saya yakin di Thailand juga ada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 :)
_/\_
Namo Buddhaya,
Saya setuju bahwa udana 8 : 3 itu ada di Thailand, yg saya permasalahkan adalah makna yg didapatkan oleh umat di Thailand dan Indonesia sendiri.
Itulah bro ironisnya berbeda pandangan antar kita. menurut saya banyak umat buddhist di indonesia yg sudah terpengaruh dgan diajarkannya konsep ketuhanan dlam budhist di indonesia,padahal ironisnya kita tidak menemukan kata Tuhan dalam konteks tipitaka yg asli.. :|
Bila kita mengamati dgan jelas dan misalnya kita berada di jaman sang buddha pada saat syair tersebut di ucapkan dan melihat sesuatu apa adanya,tanpa di terpengaruhi oleh asas2 ajaran lain atau tradisi turun menurun atau hal2 yg sudah dipercayai oleh orang2 sekitar kita, maka itu adalah sifat2 dr nibbana itu sendiri.
Ehipassiko dan ingatlah makna dari Kalama Sutta
_/\_
Namo Buddhaya,
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Bro Fabian yang baik,
Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.
Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini :)
_/\_
Apa inti Ajaran Hindu?
Udana
8.3. Parinibbana
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar, memberi inspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu, dengan keyakinan dan penuh perhatian, mengkonsentrasikan seluruh pikiran, sangat berminat mendengarkan Dhamma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
O, bhikkhu, ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Sumber: http://www. w****a .com/forum/kumpulan-sutra-vinaya-buddhist/8450-udana-bab-8-pataligamiya-vagga-bab-terakhir.html
MAHATANHASANKHAYA SUTTA
(Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997)
1. Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, taman milik Anathapindika Savatthi.
2. Pada ketika itu suatu pandangan jahat telah timbul pada diri Bhikkhu Sati Kevattaputta (anak nelayan): "Aku mengerti dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran (vinnana) yang sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan (samsara) ini"
3. Banyak bhikkhu mendengar bahwa hal ini. Kemudian mereka pergi kepada Bhikkhu Sati Kevattaputta dan mereka bertanya kepadanya "Avuso, apakah benar bahwa suatu pandangan jahat telah timbul dalam dirimu: Aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava bahwa kesadaran sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan ini"
"Benar, para Avuso aku mengerti Dhamma yang diajarkan Sang Bhagava ... lingkaran kehidupan ini" Karena para bhikkhu ingin agar dia mau melepaskan pandangan jahatnya itu, mereka bertanya, menekan dan menyudutkan dia dengan kata-kata "Avuso Sati, janganlah berkata begitu, janganlah salah mewakili Sang Bhagava, adalah tidak baik untuk salah mewakili Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak berkata begitu, sebab kesadaran itu telah dikemukakan di dalam banyak kotbah dhamma oleh Sang Bhagava sebagai hal yang timbul karena adanya sebab, karena tanpa kondisi maka kesadaran tidak muncul (ada)." Namun walaupun ditekan, ditanyai serta disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaan mereka, bhikkhu Sati Kevattaputta masih dengan kepala batu salah menanggapi sesuai dengan pandangan jahatnya dan tetap bertahan dan berkata :
"Para Avuso, memang demikian seperti apa yang aku mengerti tentang Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava .... lingkaran kehidupan ini"
4. Karena para bhikkhu tidak dapat membebaskan dirinya dari pandangan salah itu, mereka pergi kepada Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, mereka duduk ditempat yang tersedia. Setelah duduk, mereka menceritakan kepada Beliau semua yang terjadi dan mereka menambahkan "Bhante, karena kita tidak dapat melepaskan bhikkhu Sati Kevattaputta dari pandangan jahat itu, kami melaporkan kepada Sang Bhagava tentang kejadian itu."
5. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu dengan kata-kata sebagai berikut "Ayo bhikkhu, atas namaku katakan kepada bhikkhu Sati bahwa Guru memanggilmu."
"Baik, bhante," jawabnya. Ia pergi menemui bhikkhu Sati dan berkata "Sang Guru memanggilmu avuso Sati"
"Baiklah, avuso," ia menjawab. Lalu bhikkhu Sati pergi menghadap Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Ketika ia telah duduk, Sang Bhagava bertanya kepadanya: "Sati, apakah betul, bahwa pandangan jahat berikut telah timbul pada dirimu 'Saya mengerti dhamma yang diajarkan Sang Bhagava ........ lingkaran kehidupan ini?'"
"Bhante, memang benar demikian. Seperti apa yang aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran .... lingkaran kehidupan ini."
"Apakah kesadaran itu Sati?"
"Bhante, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik dan jahat di sini maupun di sana"
6. "Orang bodoh, dari siapakah kamu pernah mendengar saya mengajar Dhamma seperti itu? Orang bodoh, bukankah saya telah nyatakan dalam banyak kotbah bahwa kesadaran muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi kamu telah salah menginterprestasikan dengan pengertian kamu yang salah dan mengatakan pandangan salahmu, itu akan menyebabkan banyak akibat buruk (apunna), karena hal ini maka kamu akan lama terganggu dan menderita"
7. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Sudahkah Sati Kevattaputta menyalakan (usmikato) dhamma dan vinaya ini?"
"Bhante, mengapa harus dia? Tidak, Bhante" Setelah hal ini dinyatakan, Bhikkhu Sati Kevattaputta duduk diam, cemas, bahu turun, kepala tertunduk, muram dan tak berkata sepatah katapun. Menyadari keadaan bhikkhu Sati, maka Sang Bhagava berkata kepadanya "Orang bodoh, ketahuilah karena pandangan jahatmu, Saya akan menanyakan hal ini kepada para bhikkhu"
8. Lalu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu "Para bhikkhu, apakah kamu sekalian tahu Dhamma yang Saya ajarkan adalah seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sati Kevattaputta, ketika ia salah menginterprestasikan karena pengertiannya yang salah dan mengatakannya yang salah, yang menyebabkan banyak akibat buruk, maka ia akan lama terganggu dan menderita"
"Tidak, bhante, karena kesadaran telah dinyatakan dalam banyak kotbah Sang Bhagava bahwa itu muncul karena adanya sebab karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul"
"Baik, para bhikkhu, bahwa kamu sekalian mengetahui dhamma yang telah Saya ajarkan. Karena kesadaran telah saya nyatakan dalam banyak kotbah bahwa itu muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi Bhikkhu Sati Kevattaputta telah salah menginterprestasikan .... terganggu dan mencerita."
9. "Para bhikkhu, kesadaran hanya muncul, tergantung pada sebabnya: bila kesadaran (vinnana) muncul tergantung pada mata (cakkhu) dan bentuk-bentuk (rupa), disebut kesadaran mata (cakkhuninnana): kesadaran muncul tergantung pada telinga (sota) dan suara (sadda) disebut kesadaran telinga (sotavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada hidung (nasa) dan bau (gandha) disebut kesadaran hidung (nasavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada lidah (jivha) dan rasa (rasa) disebut kesadaran lidah (jivhavinnana); kesadaran yang muncul tergantung pada tubuh (kaya) dan sentuhan (photthabba) disebut kesadaran tubuh (kaya vinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada pikiran (mano) dan obyek pikiran (dhamma) disebut kesadaran pikiran (manovinnana).
Seperti api yang hanya diperhitungkan tergantung pada sebab yang memunculkannya, api terbakar tergantung pada batang kayu di sebut api batang kayu, bila api terbakar tergantung pada kayu bakar disebut api kayu bakar, bila api terbakar tergantung pada rumput disebut api rumput, bila api terbakar tergantung pada kotoran sapi disebut api kotoran sapi, bila api terbakar tergantung pada dedak disebut api dedak, bila api terbakar tergantung pada sampah disebut api sampah. Demikian pula, kesadaran hanya muncul tergantung pada sebabnya. Ketika kesadaran muncul tergantung pada mata dan bentuk disebut kesadaran mata .... bila kesadaran muncul tergantung pada pikiran dan obyek pikiran disebut kesadaran pikiran."
...[dst]
Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=696
Namo Buddhaya,
Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ? :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.
Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).
Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
_/\_
Bro Fabian yang baik,
Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.
Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini :)
_/\_
Bro Triyana yang baik, bro Indra telah menjawab pertanyaan anda, anda tetap bersikeras mempercayai adanya kesadaran lain? Saya rasa yang dimaksud oleh bro Indra dengan kesadaran terhadap ke 6 indera pasti anda sudah mengerti.
Untuk menerangkan bahwa kesadaran timbul-lenyap, coba perhatikan pada waktu anda membaca postingan saya ini, kesadaran mata anda bekerja. Nah yang saya tanyakan: apakah kesadaran mata anda masih bekerja ketika anda tidur? Itu adalah contoh sederhana.
Sekali waktu bila sempat anda sebaiknya belajar Abhidhamma, sehingga anda mengerti Psikologi Buddhis. Masih terlalu banyak yang perlu anda pelajari bro...
Yang dimaksud selalu sadar, pada Arahat dan Buddha adalah batinnya selalu berjaga, selalu waspada. Walau dalam keadaan tidur batin mereka selalu waspada.
Tetapi batin yang selalu waspada itu juga timbul lenyap dengan kecepatan tak terhitung (trilyunan kali per detik)
_/\_
Wow, udah panjang banget diskusinya. Tetapi saya cuma ingin memberikan beberapa info buat sdr. Triyana
Pertama, tentang Udana bab VIII sutta 3 adalah benar tentang Nibbana seperti dikutipkan secara lengkap di bawah ini:QuoteUdana
8.3. Parinibbana
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar, memberi inspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu, dengan keyakinan dan penuh perhatian, mengkonsentrasikan seluruh pikiran, sangat berminat mendengarkan Dhamma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
O, bhikkhu, ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Sumber: http://www. w****a .com/forum/kumpulan-sutra-vinaya-buddhist/8450-udana-bab-8-pataligamiya-vagga-bab-terakhir.html
Kedua, tentang kesadaran (vinnana) dalam konsep Buddhis awal (Theravada) adalah muncul bergantung pada sebab dan kondisi serta bukan sesuatu yang kekal yang berkelana dalam samsara dan merasakan akibat perbuatan baik dan buruk seseorang. Hal ini ditegaskan dalam Mahatanhasankhaya Sutta ketika seorang bhikkhu bernama Sati menganut pandangan salah tentang kesadaran ini:QuoteMAHATANHASANKHAYA SUTTA
(Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997)
1. Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, taman milik Anathapindika Savatthi.
2. Pada ketika itu suatu pandangan jahat telah timbul pada diri Bhikkhu Sati Kevattaputta (anak nelayan): "Aku mengerti dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran (vinnana) yang sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan (samsara) ini"
3. Banyak bhikkhu mendengar bahwa hal ini. Kemudian mereka pergi kepada Bhikkhu Sati Kevattaputta dan mereka bertanya kepadanya "Avuso, apakah benar bahwa suatu pandangan jahat telah timbul dalam dirimu: Aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava bahwa kesadaran sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan ini"
"Benar, para Avuso aku mengerti Dhamma yang diajarkan Sang Bhagava ... lingkaran kehidupan ini" Karena para bhikkhu ingin agar dia mau melepaskan pandangan jahatnya itu, mereka bertanya, menekan dan menyudutkan dia dengan kata-kata "Avuso Sati, janganlah berkata begitu, janganlah salah mewakili Sang Bhagava, adalah tidak baik untuk salah mewakili Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak berkata begitu, sebab kesadaran itu telah dikemukakan di dalam banyak kotbah dhamma oleh Sang Bhagava sebagai hal yang timbul karena adanya sebab, karena tanpa kondisi maka kesadaran tidak muncul (ada)." Namun walaupun ditekan, ditanyai serta disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaan mereka, bhikkhu Sati Kevattaputta masih dengan kepala batu salah menanggapi sesuai dengan pandangan jahatnya dan tetap bertahan dan berkata :
"Para Avuso, memang demikian seperti apa yang aku mengerti tentang Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava .... lingkaran kehidupan ini"
4. Karena para bhikkhu tidak dapat membebaskan dirinya dari pandangan salah itu, mereka pergi kepada Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, mereka duduk ditempat yang tersedia. Setelah duduk, mereka menceritakan kepada Beliau semua yang terjadi dan mereka menambahkan "Bhante, karena kita tidak dapat melepaskan bhikkhu Sati Kevattaputta dari pandangan jahat itu, kami melaporkan kepada Sang Bhagava tentang kejadian itu."
5. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu dengan kata-kata sebagai berikut "Ayo bhikkhu, atas namaku katakan kepada bhikkhu Sati bahwa Guru memanggilmu."
"Baik, bhante," jawabnya. Ia pergi menemui bhikkhu Sati dan berkata "Sang Guru memanggilmu avuso Sati"
"Baiklah, avuso," ia menjawab. Lalu bhikkhu Sati pergi menghadap Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Ketika ia telah duduk, Sang Bhagava bertanya kepadanya: "Sati, apakah betul, bahwa pandangan jahat berikut telah timbul pada dirimu 'Saya mengerti dhamma yang diajarkan Sang Bhagava ........ lingkaran kehidupan ini?'"
"Bhante, memang benar demikian. Seperti apa yang aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran .... lingkaran kehidupan ini."
"Apakah kesadaran itu Sati?"
"Bhante, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik dan jahat di sini maupun di sana"
6. "Orang bodoh, dari siapakah kamu pernah mendengar saya mengajar Dhamma seperti itu? Orang bodoh, bukankah saya telah nyatakan dalam banyak kotbah bahwa kesadaran muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi kamu telah salah menginterprestasikan dengan pengertian kamu yang salah dan mengatakan pandangan salahmu, itu akan menyebabkan banyak akibat buruk (apunna), karena hal ini maka kamu akan lama terganggu dan menderita"
7. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Sudahkah Sati Kevattaputta menyalakan (usmikato) dhamma dan vinaya ini?"
"Bhante, mengapa harus dia? Tidak, Bhante" Setelah hal ini dinyatakan, Bhikkhu Sati Kevattaputta duduk diam, cemas, bahu turun, kepala tertunduk, muram dan tak berkata sepatah katapun. Menyadari keadaan bhikkhu Sati, maka Sang Bhagava berkata kepadanya "Orang bodoh, ketahuilah karena pandangan jahatmu, Saya akan menanyakan hal ini kepada para bhikkhu"
8. Lalu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu "Para bhikkhu, apakah kamu sekalian tahu Dhamma yang Saya ajarkan adalah seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sati Kevattaputta, ketika ia salah menginterprestasikan karena pengertiannya yang salah dan mengatakannya yang salah, yang menyebabkan banyak akibat buruk, maka ia akan lama terganggu dan menderita"
"Tidak, bhante, karena kesadaran telah dinyatakan dalam banyak kotbah Sang Bhagava bahwa itu muncul karena adanya sebab karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul"
"Baik, para bhikkhu, bahwa kamu sekalian mengetahui dhamma yang telah Saya ajarkan. Karena kesadaran telah saya nyatakan dalam banyak kotbah bahwa itu muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi Bhikkhu Sati Kevattaputta telah salah menginterprestasikan .... terganggu dan mencerita."
9. "Para bhikkhu, kesadaran hanya muncul, tergantung pada sebabnya: bila kesadaran (vinnana) muncul tergantung pada mata (cakkhu) dan bentuk-bentuk (rupa), disebut kesadaran mata (cakkhuninnana): kesadaran muncul tergantung pada telinga (sota) dan suara (sadda) disebut kesadaran telinga (sotavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada hidung (nasa) dan bau (gandha) disebut kesadaran hidung (nasavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada lidah (jivha) dan rasa (rasa) disebut kesadaran lidah (jivhavinnana); kesadaran yang muncul tergantung pada tubuh (kaya) dan sentuhan (photthabba) disebut kesadaran tubuh (kaya vinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada pikiran (mano) dan obyek pikiran (dhamma) disebut kesadaran pikiran (manovinnana).
Seperti api yang hanya diperhitungkan tergantung pada sebab yang memunculkannya, api terbakar tergantung pada batang kayu di sebut api batang kayu, bila api terbakar tergantung pada kayu bakar disebut api kayu bakar, bila api terbakar tergantung pada rumput disebut api rumput, bila api terbakar tergantung pada kotoran sapi disebut api kotoran sapi, bila api terbakar tergantung pada dedak disebut api dedak, bila api terbakar tergantung pada sampah disebut api sampah. Demikian pula, kesadaran hanya muncul tergantung pada sebabnya. Ketika kesadaran muncul tergantung pada mata dan bentuk disebut kesadaran mata .... bila kesadaran muncul tergantung pada pikiran dan obyek pikiran disebut kesadaran pikiran."
...[dst]
Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=696
Semoga bermanfaat _/\_
Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Dua pendapat diatas cukup menggambarkan perbedaan antara Hindu dan Buddha.
Hindu mengganggap ada diri sejati yaitu atma/atman/roh pada manusia yang merupakan percikan api ilahi, yaitu Brahman. Sedangkan di dalam Buddhism adalah anatta, tidak ada diri/roh/atman, yang ada hanyalah perpaduan unsur2 yang senantiasa berubah.
Btw, apakah bro Tri mewakili ajaran Hindu?
Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
setahu saya konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana juga berbeda dengan Brahman/ Atman
Tapi memang dibutuhkan pembahasan mendalam.
Pernah baca di buku kecil yang bahas Supreme Reality dalam Agama Buddha....
yang isinya njelimet itu lho.
Tapi yang saya ingat sih intinya, biarpun sebutannya sama (All-Pervading misalnya) tapi pengertiannya berbeda dan ini masuk ke dalam filosofi Mahayana yang paling dalam
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
yg sy tw aliran buddhis (termasuk mahayana) tdk ada atman tp maha atman/anatta
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
Bro Triyana,
Apakah inti ajaran Hindu?
[Dutiyampi]
Namaste
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Namo Buddhaya,setahu saya konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana juga berbeda dengan Brahman/ Atman
Tapi memang dibutuhkan pembahasan mendalam.
Pernah baca di buku kecil yang bahas Supreme Reality dalam Agama Buddha....
yang isinya njelimet itu lho.
Tapi yang saya ingat sih intinya, biarpun sebutannya sama (All-Pervading misalnya) tapi pengertiannya berbeda dan ini masuk ke dalam filosofi Mahayana yang paling dalam
Terima kasih sudah ikut berdiskusi disini :)
Mohon dijelaskan dengan rinci perbedaan konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana dengan Brahman/ Atman. Karena saya meyakini keduanya adalah beda bahasa tetapi sama arti _/\_
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Namo Buddhaya,setahu saya konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana juga berbeda dengan Brahman/ Atman
Tapi memang dibutuhkan pembahasan mendalam.
Pernah baca di buku kecil yang bahas Supreme Reality dalam Agama Buddha....
yang isinya njelimet itu lho.
Tapi yang saya ingat sih intinya, biarpun sebutannya sama (All-Pervading misalnya) tapi pengertiannya berbeda dan ini masuk ke dalam filosofi Mahayana yang paling dalam
Terima kasih sudah ikut berdiskusi disini :)
Mohon dijelaskan dengan rinci perbedaan konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana dengan Brahman/ Atman. Karena saya meyakini keduanya adalah beda bahasa tetapi sama arti _/\_
_/\_
nah itulah, aku harus cari dulu referensi yang banyak karena yang aku tangkap, bedanya Tipiiiiiiiiiiis banget.
Tapi beda.
entar deh kalau ada waktu aku cari bahannya, itu jg susah dicari karena jarang ada yang bahas Sanghyang Adi Buddha.
You know laah, "ngapain diomongin, teori doang, yang penting praktek"
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,setahu saya konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana juga berbeda dengan Brahman/ Atman
Tapi memang dibutuhkan pembahasan mendalam.
Pernah baca di buku kecil yang bahas Supreme Reality dalam Agama Buddha....
yang isinya njelimet itu lho.
Tapi yang saya ingat sih intinya, biarpun sebutannya sama (All-Pervading misalnya) tapi pengertiannya berbeda dan ini masuk ke dalam filosofi Mahayana yang paling dalam
Terima kasih sudah ikut berdiskusi disini :)
Mohon dijelaskan dengan rinci perbedaan konsep Sanghyang Adi Buddha di Mahayana dengan Brahman/ Atman. Karena saya meyakini keduanya adalah beda bahasa tetapi sama arti _/\_
_/\_
nah itulah, aku harus cari dulu referensi yang banyak karena yang aku tangkap, bedanya Tipiiiiiiiiiiis banget.
Tapi beda.
entar deh kalau ada waktu aku cari bahannya, itu jg susah dicari karena jarang ada yang bahas Sanghyang Adi Buddha.
You know laah, "ngapain diomongin, teori doang, yang penting praktek"
Sang Buddha mengatakan bahwa teori dan praktek bagaikan dua sayap yang digunakan untuk terbang, jadi antara teori dan praktek kedua-duanya sama penting :)
Setipis apapun bedanya akan sangat berarti bila bro Xeno dapat menjelaskan disini dengan gamblang agar tidak ada kesalahpahaman dan akan coba saya tanggapi dengan baik :)
Saya tunggu posting anda selanjutnya :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Bukankah seharusnya saya yang bersabar terhadap anda :), silahkan dibaca : http://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness_(Buddhism) :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Bukankah seharusnya saya yang bersabar terhadap anda :), silahkan dibaca : http://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness_(Buddhism) :)
_/\_
begitu banyak rujukan mengenai SATI dalam sutta tapi anda malah memilih merujuk pada wikipedia, maaf saya lebih suka menggunakan referensi yg lebih reliable seperti yg terdapat dalam PANCA BALA, dalam SATTABOJJHANGA, PANCAINDRIYA, dll.
apaakh anda mau bersabar pada saya atau tidak, who cares....?
Sorry OOT nih,
Triyana = 3 jalan,
jalan apa aja nih? Hindu, Buddha dan ............? :-?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Bukankah seharusnya saya yang bersabar terhadap anda :), silahkan dibaca : http://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness_(Buddhism) :)
_/\_
begitu banyak rujukan mengenai SATI dalam sutta tapi anda malah memilih merujuk pada wikipedia, maaf saya lebih suka menggunakan referensi yg lebih reliable seperti yg terdapat dalam PANCA BALA, dalam SATTABOJJHANGA, PANCAINDRIYA, dll.
apaakh anda mau bersabar pada saya atau tidak, who cares....?
Anda harus jujur pada diri sendiri bro :), dibaca dulu baru ngomong apakah yang ada di Wikipedia itu benar atau salah, kalo benar ya harus diakui benar-lah kalo salah anda musti mampu menunjukan dimana letak kesalahannya, nah itu baru gentlemen.........
_/\_
Namo Buddhaya,Sorry OOT nih,
Triyana = 3 jalan,
jalan apa aja nih? Hindu, Buddha dan ............? :-?
Ya kalo anda beranggapan saya keliru, silahkan tunjukan letak kesalahannya _/\_ Saya tunggu............ :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Bukankah seharusnya saya yang bersabar terhadap anda :), silahkan dibaca : http://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness_(Buddhism) :)
_/\_
begitu banyak rujukan mengenai SATI dalam sutta tapi anda malah memilih merujuk pada wikipedia, maaf saya lebih suka menggunakan referensi yg lebih reliable seperti yg terdapat dalam PANCA BALA, dalam SATTABOJJHANGA, PANCAINDRIYA, dll.
apaakh anda mau bersabar pada saya atau tidak, who cares....?
Anda harus jujur pada diri sendiri bro :), dibaca dulu baru ngomong apakah yang ada di Wikipedia itu benar atau salah, kalo benar ya harus diakui benar-lah kalo salah anda musti mampu menunjukan dimana letak kesalahannya, nah itu baru gentlemen.........
_/\_
saya tidak akan menghakimi apakah wikipedia benar atau salah, jika ini anda anggap tidak gentlemen, again, who cares ...
saya sendiri selalu mengartikan SATI sebagai PERHATIAN, bukan KESADARAN, saya memahami KESADARAN dalam arti 6 kesadaran yg telah saya jelaskan sebelumnya. dan ini juga adalah yg saya pelajari dari sutta2, bukan karangan saya sendiri. dan jika anda juga mau jujur, anda akan mengakui bahwa tidak ada kesadaran lain selain yg 6 itu.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
Pernahkah Bro Triyana membaca Anattalakkhana Sutta? bagian manakah dari sutta itu yg mengatakan tentang "diri kecil" ini? Dan dalam banyak Sutta sang Buddha telah mengupas makhluk selapis demi selapis dan tidak pernah ada ditemukan diri besar ataupun kecil. mohon Bro Triyana memberikan referensi atas gagasan ini.
Terima kasih atas reply dari teman-teman di DC Forum ini :)
Sekarang saya mau jawab pertanyaan bro Indra dulu :)
Anatta-lakkhana Sutta ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html )
Menurut pendapat saya Anattalakkhana Sutta adalah benar :) karena ia menguraikan hal-hal yang memang adalah subyek dari perubahan dan dimana ada perubahan maka ia masih tergolong pada diri kecil dan belum sampai pada Diri Buddha, Buddha telah mengajarkan dengan benar bahwa dengan mengamati faktor-faktor tersebut saja dengan kesadaran terlatih (mindfullness) tanpa anda terikat dengannya maka anda sedikit demi sedikit akan sampai pada Kearahatan dan bahkan Kebuddhaan apabila anda mengikuti Jalan Bodhisattva.
Didalam Mahayana ajaran Yogacara dijelaskan dengan mendetil lagi apa yang terjadi setelah anda menguasai khanda-khanda tersebut dengan baik, masih ada lagi kesadaran-kesadaran lainnya, dan selanjutnya sampai Amala Vijnana (Kesadaran kesembilan) yang merupakan tujuan tertinggi yaitu Kebuddhaan yang merupakan Diri Sejati anda.
_/\_
menurut Bro Triyana, apakah ajaran Theravada tidak lengkap? dan Dhamma belum sempurna dibabarkan? mengingat dalam Theravada hanya diajarkan 6 jenis kesadaran, dan tidak diajarkan mengenai diri BESAR atau kecil.
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
Sebelum saya menjawab pertanyaan bro Indra, ijinkanlah saya untuk sedikit bertanya, didalam Theravada setelah seseorang itu sampai pada tataran Kearahatan apakah ia masih memiliki kesadaran atau tidak?
_/\_
menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana
Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
menurut literatur yg saya baca, yg anda maksudkan itu adalah SATI, bukan KESADARAN, yg dalam pengelompokan Abhidhamma termasuk salah satu dari 52 jenis CETASIKA
Well terserah anda menyebutnya apa Sati atau Kesadaran atau definisi apapun, Dalam Vipasanna/Vipasyana (Skt) kita berlatih untuk mengamati dengan kesadaran pada ke-6 khanda tetapi terutama pada buah-buah pikir, nah back to topic mohon dijawab dulu pertanyaan saya :)
_/\_
pertanyaan yg manakah yg belum saya jawab?
Yg ini : Ketika seorang berlatih Vipasanna dan mengamati ke-6 kesadaran bukankah tidak selamanya selalu buah-buah pikir itu ada, kalo kita sudah cukup lama berlatih maka ada suatu kondisi dimana antara satu buah pikir dan buah pikir lain ada suatu jeda nah selama jeda waktu itu bukankah kita juga masih sadar dan tahu bahwa tidak muncul buah pikir ^-^
_/\_
silahkan anda baca pelan2 quote-quote di atas, pertanyaan itu sudah anda tanyakan dan sudah saya jawab, jika anda mengulangi lagi saya akan menjawab dengan cara yg sama, tapi saya merasa tidak perlu mengetik ulang, karena jawaban saya masih terbaca dalam quote di atas. pelan2 saja bacanya Bro, tidak perlu terburu2
Saya ndak terburu-buru ^-^ pertanyaan saya sederhana saja jika anda berlatih Vipasanna pada 6 kelompok kesadaran terutama pada bagian pikiran pasti suatu saat ada jeda waktu dimana buah-buah pikir itu tidak muncul, nah pada saat jeda tersebut bukankah anda masih sadar? :)
_/\_
Baiklah saya akan bersabar pada anda. pada saat itu kesadaran-mata saya tidak aktif karena mata saya tertutup. kesadaran-telinga mungkin agak melemah tapi tidak sepenuhnya tidak aktif, masih bergantung pada landasan eksternal, jika suara tidak ada maka kesadaran-telinga juga tidak ada, ini juga berlaku pada kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kesadaran-pikiran. pada saat itu SATI (yg merupakan salah satu dari kelompok CETASIKA) lah yg mengetahui. dan menurut pemahaman saya SATI bukan kesadaran dan bukan DIRI.
kalau anda masih mengulangi pertanyaan yg sama, saya tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi, mungkin member lain bisa membantu
Bukankah seharusnya saya yang bersabar terhadap anda :), silahkan dibaca : http://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness_(Buddhism) :)
_/\_
begitu banyak rujukan mengenai SATI dalam sutta tapi anda malah memilih merujuk pada wikipedia, maaf saya lebih suka menggunakan referensi yg lebih reliable seperti yg terdapat dalam PANCA BALA, dalam SATTABOJJHANGA, PANCAINDRIYA, dll.
apaakh anda mau bersabar pada saya atau tidak, who cares....?
Anda harus jujur pada diri sendiri bro :), dibaca dulu baru ngomong apakah yang ada di Wikipedia itu benar atau salah, kalo benar ya harus diakui benar-lah kalo salah anda musti mampu menunjukan dimana letak kesalahannya, nah itu baru gentlemen.........
_/\_
saya tidak akan menghakimi apakah wikipedia benar atau salah, jika ini anda anggap tidak gentlemen, again, who cares ...
saya sendiri selalu mengartikan SATI sebagai PERHATIAN, bukan KESADARAN, saya memahami KESADARAN dalam arti 6 kesadaran yg telah saya jelaskan sebelumnya. dan ini juga adalah yg saya pelajari dari sutta2, bukan karangan saya sendiri. dan jika anda juga mau jujur, anda akan mengakui bahwa tidak ada kesadaran lain selain yg 6 itu.
Bro Indra yang baik,
Mohon maaf tapi anda keliru mengartikan khanda/skandha (Skt) silahkan dicermati :
Khandha
Defined by Ajahn Punnadhammo
The word khandha is the Pali equivalent of the Sanskrit skandha, and their meanings are identical. Like many Pali (and Sanskrit) words, khandha has both a simple and a technical meaning, and both usages are found in the texts. The simple, or root, meaning of khandha as given in the Pali-English Dictionary is "mass, bulk, (gross) substance." This usage is used in the canon to refer to the bulk of an elephant, for instance. The word is also used specifically for a man's shoulders or back, and also for the trunk of a tree.
Used in a more technical sense, khandha refers to various aggregated collections. There is the phrase dukkhakhandha, "this whole mass of suffering," referring to samsaric existence. The principal technical usage of khandha, however, is in reference to the five khandhas as constituents of psychophysical existence. Sentient beings such as humans, animals, and devas are said to be composed of five khandhas—one physical and four mental. This is a formula often repeated in the suttas and may be considered as the most basic Buddhist analysis of what constitutes a conscious being.
The five khandhas are body (rupakkhandha), feeling (vedanakkhandha), perception (sayyakkhandha), mental formations (sankharakkhandha), and consciousness (viyyaakkhandha). Each of the five can itself be analyzed into finer constituents. Thus the body is composed of the four great elements: earth, air, fire, and water (these terms are to be taken as analogs for physical qualities rather than as literally referring to those substances). Feeling is pleasant, unpleasant, or neutral. Perception has manifold constituents, depending on the sense door a given perception is associated with, as well as the habitual or learned aspects that color it. Mental formations refer to all those processes or qualities that arise concomitant with consciousness, such as cognitive thought, emotion, volition, and so forth. (The Abhidhamma gives a list of fifty sankhara.) Consciousness can be classified in various ways, but in the suttas it is most often divided into six parts according to the sense door through which the object is cognized (the five physical senses plus the mind-sense, the object of which is thought).
The most important use of the five khandhas as a teaching device is to illustrate the doctrine of anatta (not-self). The idea is that when one looks within, only the five khandhas are seen, and no self-essence is found among them. In the Samanupassana Sutta of the Samyutta Nikaya collection of suttas, the Buddha enumerates twenty ways in which beings imagine a self by misapprehending the khandhas: "He assumes body to be the self, or the self as possessing body, or the body in the self, or the self in the body," and so on, for each of the other khandhas.
Elsewhere, the Buddha gives evocative similes to illustrate the ephemeral nature of the five khandhas: the body is like a lump of sea-foam, feelings like bubbles, perception like a mirage, mental formations like a plantain stem (i.e., hollow), and consciousness like a conjuring trick.
Another crucial use of the khandha concept occurs in the formula for the First Noble Truth, which begins with "Birth is suffering, death is suffering" and ends with "in short, these five aggregates of clinging (upadanakkhandha) are suffering." This establishes the universality of dukkha, since no samsaric experience is outside the five khandhas.
The standard English translation of khandha, "aggregate," is a fairly literal choice, but as so often with English translations of Pali technical terms, it does include some misleading connotations. An aggregate implies a collection of smaller or simpler units. This works very well for body and mental formations, but as Nyanatiloka Mahathera notes in his Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and Doctrines, the other khandhas (feeling, perception and consciousness), although having manifold types, are only experienced in each moment as a unitary phenomenon. Thus, for feeling, at any given mind-moment one can experience only pleasant, unpleasant, or neutral feeling, and never two or three together.
The five khandhas schema is ubiquitous in the Sutta Pitaka but is not found as such in the Abhidhamma, where the body-mind is first analyzed into four broad categories: rupa (body), citta (mind or consciousness), cetasika (mental concomitants, which include the remaining three mental khandhas), and nibbana (the unconditioned). Thai forest masters, following Ajahn Mun, sometimes use the term citta (or jit in Thai, literally "heart") to refer to something that is separate from—and needing to be freed from—the five khandhas. This usage is difficult to reconcile with the orthodox interpretation of the term found in the Abhidhamma. Perhaps, if one allows for poetic license, the term citta as used by the forest masters could refer to the unconditioned element, nibbana—that which is indeed beyond the khandhas.
Ajahn Punnadhammo is abbot of the Arrow River Forest Hermitage in northern Ontario.
http://www.thebuddhadharma.com/issues/2005/summer/dharma_dictionary.html
_/\_
[at] Triyana,
saya sudah melakukan kewajiban saya sebagai peserta diskusi yg baik dengan menjawab pertanyaan2 anda, terlepas apakah anda setuju atau tidak setuju dengan jawaban saya. saya pikir cukup adil jika anda juga menjawab pertanyaan2 saya.
Namo Buddhaya,
Bro Indra yang baik,
Tidak usah terburu-buru dalam diskusi ini :)
Mari kita luruskan terlebih dahulu pandangan anda, anda menggangap bahwa Sati bukanlah Kesadaran lalu menurut anda apakah itu Sati dan referensi apa yang anda gunakan ? _/\_
Ini Sati menurut saya :
Sati [sati]:
Mindfulness, self-collectedness, powers of reference and retention. In some contexts, the word sati when used alone covers alertness (sampajañña) as well.
Sumber : http://www.accesstoinsight.org/glossary.html
_/\_
Namo Buddhaya,
Bro Indra yang baik,
Tidak usah terburu-buru dalam diskusi ini :)
Mari kita luruskan terlebih dahulu pandangan anda, anda menggangap bahwa Sati bukanlah Kesadaran lalu menurut anda apakah itu Sati dan referensi apa yang anda gunakan ? _/\_
Ini Sati menurut saya :
Sati [sati]:
Mindfulness, self-collectedness, powers of reference and retention. In some contexts, the word sati when used alone covers alertness (sampajañña) as well.
Sumber : http://www.accesstoinsight.org/glossary.html
_/\_
untuk ke 3 kalinya saya tetap memberikan jawaban yg sama, SATI adalah salah satu dari 52 jenis CETASIKA, sesuai namanya maka ini adalah bagian dari CITTA.
sepertinya anda sedang mengeluarkan jurus geliat belut, apapun jawaban saya seharusnya tidak mempengaruhi jawaban anda atas pertanyaan saya, jadi kenapa begitu sulit bagi anda untuk menjawab saya? sekalipun tidak terburu2, saya akan melanjutkan diskusi dengan anda di thread ini hanya jika anda sudah menjawab pertanyaan saya.
take your time, no need to hurry
Saya tidak berani mengatakan ajaran Theravada tidak lengkap namun menurut Bhante The venerable Prof Walpola Sri Rahula Maha Thera (1907-1997) seperti ini :
Some people think that Voidness or Sunyata discussed by Nagarjuna is purely a Mahayana teaching. It is based on the idea of Anatta or non-self, on the Paticcasamuppada or the Dependent Origination, found in the original Theravada Pali texts. Once Ananda asked the Buddha, "People say the word Sunya. What is Sunya?" The Buddha replied, "Ananda, there is no self, nor anything pertaining to self in this world. Therefore, the world is empty." This idea was taken by Nagarjuna when he wrote his remarkable book, "Madhyamika Karika". Besides the idea of Sunyata is the concept of the store-consciousness in Mahayana Buddhism which has its seed in the Theravada texts. The Mahayanists have developed it into a deep psychology and philosophy.
http://www.urbandharma.org/udharma3/theramaya.html
bisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
The Yogācāra textual corpus
Sutras
The Unravelling the Mystery of Thought Sutra (Saṃdhinirmocana Sūtra, 2nd century CE) was the seminal Yogācāra sutra and continued to be a primary referent for the tradition. Also containing Yogācāra elements were the Pratyutpanna Samādhi Sūtra (1st century CE) and Daśabhūmika Sūtra (pre-3rd century CE).[12] The later Descent into Laṅkā Sūtra (Laṅkāvatāra Sūtra, 4th century CE) also assumed considerable importance.[13] Other prominent Yogācāra sutras include the Śrīmālādevīsiṃhanāda Sūtra and the Ghanavyūha Sūtra.[14]
Five treatises of Maitreya
Among the most important texts to the Yogācāra tradition to be the Five Treatises of Maitreya. These texts are said to have been related to Asaṅga by the Buddha Maitreya. They are as follows:
Ornament for Clear Realization (Abhisamaya-alaṅkāra, Tib. mngon-par rtogs-pa'i rgyan)
Ornament for the Mahāyāna Sutras (Mahāyāna-sūtra-alaṅkāra, Tib. theg-pa chen-po'i mdo-sde'i rgyan)
Sublime Continuum of the Mahāyāna (Ratna-gotra-vibhāga, Tib. theg-pa chen-po rgyud bla-ma'i bstan)
Distinguishing Phenomena and Pure Being (Dharma-dharmatā-vibhāga, Tib. chos-dang chos-nyid rnam-par 'byed-pa)
Distinguishing the Middle and the Extremes (Madhyānta-vibhāga, Tib. dbus-dang mtha' rnam-par 'byed-pa)
A commentary on the Ornament for Clear Realization called "Clarifying the Meaning" by Haribhadra is also often used, as is one by Vimuktisena.
Most of these texts were also incorporated into the Chinese tradition, which was established several centuries earlier than the Tibetan. However, the Ornament for Clear Realization is not mentioned by Chinese translators up to the 7th century, including Xuanzang, who was an expert in this field. This suggests it may possibly have emerged from a later period than is generally ascribed to it.
Other texts
Vasubandhu wrote three foundational texts of the Yogācāra: the Treatise on the Three Natures (Sanskrit: Trisvabhāva-nirdeśa, Tib. Rang-bzhin gsum nges-par bstan), the Treatise in Twenty Stanzas (Skt: Viṃśaṭikā-kārikā) and the Treatise in Thirty Stanzas (S: Triṃśikaikā-kārikā). He also wrote an important commentary on the Madhyantavibhaṅga. According to Buddhist scholar Jay Garfield:
While the Trisvabhāva-nirdeśa is arguably the most philosophically detailed and comprehensive of the three short works on this topic composed by Vasubandu, as well as the clearest, it is almost never read or taught in contemporary traditional cultures or centers of learning. The reason may be simply that this is the only one of Vasubandhu’s root texts for which no autocommmentary exists. For this reason, none of Vasubandhu’s students composed commentaries on the text and hence there is no recognized lineage of transmission for the text. So nobody within the Tibetan tradition (the only extant Mahāyāna scholarly tradition) could consider him or herself authorized to teach the text. It is therefore simply not studied, a great pity. It is a beautiful and deep philosophical essay and an unparalleled introduction to the Cittamatra system.
Authorship of critical Yogācāra texts is also ascribed to Asaṅga personally (in contrast to the Five Treatises of Maitreya). Among them are the Mahāyāna-saṃgraha and the Abhidharma-samuccaya. Sometimes also ascribed to him is the Yogācārabhūmi Śāstra, a massive encyclopedic work considered the definitive statement of Yogācāra, but most scholars believe it was compiled a century later, in the 5th century.
Other important commentaries on various Yogācāra texts were written by Sthiramati (6th century) and Dharmapāla (7th century), and an influential Yogācāra-Mādhyamaka synthesis was formulated by Śāntarakṣita (8th century).
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute."
Mahaparinirvana Sutra
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.
here we read in words attributed to the Buddha: "... it is not the case that they [i.e. all phenomena] are devoid of the Self. What is this Self? Any phenomenon ["dharma"] that is true ["satya"], real ["tattva"], eternal ["nitya"], sovereign/autonomous ["aishvarya"] and whose foundation is unchanging ["ashraya-aviparinama"] is termed 'the Self' [atman]." (translated from Dharmakṣema's version of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Zen
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".[17] Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen."[18] Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
Tathāgatagarbha Sūtra
Analogously, Professor Michael Zimmermann, a specialist on the Tathāgatagarbha Sūtra, writes: "the existence of an eternal, imperishable self, that is, buddhahood, is definitely the basic point of the Tathagatagarbha Sutra".
the Mahabheriharaka Sutra
the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]."
Srimala Sutra
Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
_/\_
Saya tidak berani mengatakan ajaran Theravada tidak lengkap namun menurut Bhante The venerable Prof Walpola Sri Rahula Maha Thera (1907-1997) seperti ini :
Some people think that Voidness or Sunyata discussed by Nagarjuna is purely a Mahayana teaching. It is based on the idea of Anatta or non-self, on the Paticcasamuppada or the Dependent Origination, found in the original Theravada Pali texts. Once Ananda asked the Buddha, "People say the word Sunya. What is Sunya?" The Buddha replied, "Ananda, there is no self, nor anything pertaining to self in this world. Therefore, the world is empty." This idea was taken by Nagarjuna when he wrote his remarkable book, "Madhyamika Karika". Besides the idea of Sunyata is the concept of the store-consciousness in Mahayana Buddhism which has its seed in the Theravada texts. The Mahayanists have developed it into a deep psychology and philosophy.
http://www.urbandharma.org/udharma3/theramaya.html
Tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis, namun saya tetap lebih menyukai sumber valid sutta/sutra bukan opini pihak ke3, walupun berasal dari Maha Super Thera. dan kutipan di atas juga belum menjawab pertanyaan saya.Quotebisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
The Yogācāra textual corpus
Sutras
The Unravelling the Mystery of Thought Sutra (Saṃdhinirmocana Sūtra, 2nd century CE) was the seminal Yogācāra sutra and continued to be a primary referent for the tradition. Also containing Yogācāra elements were the Pratyutpanna Samādhi Sūtra (1st century CE) and Daśabhūmika Sūtra (pre-3rd century CE).[12] The later Descent into Laṅkā Sūtra (Laṅkāvatāra Sūtra, 4th century CE) also assumed considerable importance.[13] Other prominent Yogācāra sutras include the Śrīmālādevīsiṃhanāda Sūtra and the Ghanavyūha Sūtra.[14]
Five treatises of Maitreya
Among the most important texts to the Yogācāra tradition to be the Five Treatises of Maitreya. These texts are said to have been related to Asaṅga by the Buddha Maitreya. They are as follows:
Ornament for Clear Realization (Abhisamaya-alaṅkāra, Tib. mngon-par rtogs-pa'i rgyan)
Ornament for the Mahāyāna Sutras (Mahāyāna-sūtra-alaṅkāra, Tib. theg-pa chen-po'i mdo-sde'i rgyan)
Sublime Continuum of the Mahāyāna (Ratna-gotra-vibhāga, Tib. theg-pa chen-po rgyud bla-ma'i bstan)
Distinguishing Phenomena and Pure Being (Dharma-dharmatā-vibhāga, Tib. chos-dang chos-nyid rnam-par 'byed-pa)
Distinguishing the Middle and the Extremes (Madhyānta-vibhāga, Tib. dbus-dang mtha' rnam-par 'byed-pa)
A commentary on the Ornament for Clear Realization called "Clarifying the Meaning" by Haribhadra is also often used, as is one by Vimuktisena.
Most of these texts were also incorporated into the Chinese tradition, which was established several centuries earlier than the Tibetan. However, the Ornament for Clear Realization is not mentioned by Chinese translators up to the 7th century, including Xuanzang, who was an expert in this field. This suggests it may possibly have emerged from a later period than is generally ascribed to it.
Other texts
Vasubandhu wrote three foundational texts of the Yogācāra: the Treatise on the Three Natures (Sanskrit: Trisvabhāva-nirdeśa, Tib. Rang-bzhin gsum nges-par bstan), the Treatise in Twenty Stanzas (Skt: Viṃśaṭikā-kārikā) and the Treatise in Thirty Stanzas (S: Triṃśikaikā-kārikā). He also wrote an important commentary on the Madhyantavibhaṅga. According to Buddhist scholar Jay Garfield:
While the Trisvabhāva-nirdeśa is arguably the most philosophically detailed and comprehensive of the three short works on this topic composed by Vasubandu, as well as the clearest, it is almost never read or taught in contemporary traditional cultures or centers of learning. The reason may be simply that this is the only one of Vasubandhu’s root texts for which no autocommmentary exists. For this reason, none of Vasubandhu’s students composed commentaries on the text and hence there is no recognized lineage of transmission for the text. So nobody within the Tibetan tradition (the only extant Mahāyāna scholarly tradition) could consider him or herself authorized to teach the text. It is therefore simply not studied, a great pity. It is a beautiful and deep philosophical essay and an unparalleled introduction to the Cittamatra system.
Authorship of critical Yogācāra texts is also ascribed to Asaṅga personally (in contrast to the Five Treatises of Maitreya). Among them are the Mahāyāna-saṃgraha and the Abhidharma-samuccaya. Sometimes also ascribed to him is the Yogācārabhūmi Śāstra, a massive encyclopedic work considered the definitive statement of Yogācāra, but most scholars believe it was compiled a century later, in the 5th century.
Other important commentaries on various Yogācāra texts were written by Sthiramati (6th century) and Dharmapāla (7th century), and an influential Yogācāra-Mādhyamaka synthesis was formulated by Śāntarakṣita (8th century).
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute."
Mahaparinirvana Sutra
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.
here we read in words attributed to the Buddha: "... it is not the case that they [i.e. all phenomena] are devoid of the Self. What is this Self? Any phenomenon ["dharma"] that is true ["satya"], real ["tattva"], eternal ["nitya"], sovereign/autonomous ["aishvarya"] and whose foundation is unchanging ["ashraya-aviparinama"] is termed 'the Self' [atman]." (translated from Dharmakṣema's version of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Zen
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".[17] Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen."[18] Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
Tathāgatagarbha Sūtra
Analogously, Professor Michael Zimmermann, a specialist on the Tathāgatagarbha Sūtra, writes: "the existence of an eternal, imperishable self, that is, buddhahood, is definitely the basic point of the Tathagatagarbha Sutra".
the Mahabheriharaka Sutra
the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]."
Srimala Sutra
Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
_/\_
dengan asumsi bahwa referensi anda adalah benar, maka bahwa kesamaan yg ada adalah antara AGAMA MAHAYANA (bukan Agama Buddha secara umum) dengan HINDU.
Saya tidak berani mengatakan ajaran Theravada tidak lengkap namun menurut Bhante The venerable Prof Walpola Sri Rahula Maha Thera (1907-1997) seperti ini :
Some people think that Voidness or Sunyata discussed by Nagarjuna is purely a Mahayana teaching. It is based on the idea of Anatta or non-self, on the Paticcasamuppada or the Dependent Origination, found in the original Theravada Pali texts. Once Ananda asked the Buddha, "People say the word Sunya. What is Sunya?" The Buddha replied, "Ananda, there is no self, nor anything pertaining to self in this world. Therefore, the world is empty." This idea was taken by Nagarjuna when he wrote his remarkable book, "Madhyamika Karika". Besides the idea of Sunyata is the concept of the store-consciousness in Mahayana Buddhism which has its seed in the Theravada texts. The Mahayanists have developed it into a deep psychology and philosophy.
http://www.urbandharma.org/udharma3/theramaya.html
Tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis, namun saya tetap lebih menyukai sumber valid sutta/sutra bukan opini pihak ke3, walupun berasal dari Maha Super Thera. dan kutipan di atas juga belum menjawab pertanyaan saya.Quotebisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
The Yogācāra textual corpus
Sutras
The Unravelling the Mystery of Thought Sutra (Saṃdhinirmocana Sūtra, 2nd century CE) was the seminal Yogācāra sutra and continued to be a primary referent for the tradition. Also containing Yogācāra elements were the Pratyutpanna Samādhi Sūtra (1st century CE) and Daśabhūmika Sūtra (pre-3rd century CE).[12] The later Descent into Laṅkā Sūtra (Laṅkāvatāra Sūtra, 4th century CE) also assumed considerable importance.[13] Other prominent Yogācāra sutras include the Śrīmālādevīsiṃhanāda Sūtra and the Ghanavyūha Sūtra.[14]
Five treatises of Maitreya
Among the most important texts to the Yogācāra tradition to be the Five Treatises of Maitreya. These texts are said to have been related to Asaṅga by the Buddha Maitreya. They are as follows:
Ornament for Clear Realization (Abhisamaya-alaṅkāra, Tib. mngon-par rtogs-pa'i rgyan)
Ornament for the Mahāyāna Sutras (Mahāyāna-sūtra-alaṅkāra, Tib. theg-pa chen-po'i mdo-sde'i rgyan)
Sublime Continuum of the Mahāyāna (Ratna-gotra-vibhāga, Tib. theg-pa chen-po rgyud bla-ma'i bstan)
Distinguishing Phenomena and Pure Being (Dharma-dharmatā-vibhāga, Tib. chos-dang chos-nyid rnam-par 'byed-pa)
Distinguishing the Middle and the Extremes (Madhyānta-vibhāga, Tib. dbus-dang mtha' rnam-par 'byed-pa)
A commentary on the Ornament for Clear Realization called "Clarifying the Meaning" by Haribhadra is also often used, as is one by Vimuktisena.
Most of these texts were also incorporated into the Chinese tradition, which was established several centuries earlier than the Tibetan. However, the Ornament for Clear Realization is not mentioned by Chinese translators up to the 7th century, including Xuanzang, who was an expert in this field. This suggests it may possibly have emerged from a later period than is generally ascribed to it.
Other texts
Vasubandhu wrote three foundational texts of the Yogācāra: the Treatise on the Three Natures (Sanskrit: Trisvabhāva-nirdeśa, Tib. Rang-bzhin gsum nges-par bstan), the Treatise in Twenty Stanzas (Skt: Viṃśaṭikā-kārikā) and the Treatise in Thirty Stanzas (S: Triṃśikaikā-kārikā). He also wrote an important commentary on the Madhyantavibhaṅga. According to Buddhist scholar Jay Garfield:
While the Trisvabhāva-nirdeśa is arguably the most philosophically detailed and comprehensive of the three short works on this topic composed by Vasubandu, as well as the clearest, it is almost never read or taught in contemporary traditional cultures or centers of learning. The reason may be simply that this is the only one of Vasubandhu’s root texts for which no autocommmentary exists. For this reason, none of Vasubandhu’s students composed commentaries on the text and hence there is no recognized lineage of transmission for the text. So nobody within the Tibetan tradition (the only extant Mahāyāna scholarly tradition) could consider him or herself authorized to teach the text. It is therefore simply not studied, a great pity. It is a beautiful and deep philosophical essay and an unparalleled introduction to the Cittamatra system.
Authorship of critical Yogācāra texts is also ascribed to Asaṅga personally (in contrast to the Five Treatises of Maitreya). Among them are the Mahāyāna-saṃgraha and the Abhidharma-samuccaya. Sometimes also ascribed to him is the Yogācārabhūmi Śāstra, a massive encyclopedic work considered the definitive statement of Yogācāra, but most scholars believe it was compiled a century later, in the 5th century.
Other important commentaries on various Yogācāra texts were written by Sthiramati (6th century) and Dharmapāla (7th century), and an influential Yogācāra-Mādhyamaka synthesis was formulated by Śāntarakṣita (8th century).
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute."
Mahaparinirvana Sutra
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.
here we read in words attributed to the Buddha: "... it is not the case that they [i.e. all phenomena] are devoid of the Self. What is this Self? Any phenomenon ["dharma"] that is true ["satya"], real ["tattva"], eternal ["nitya"], sovereign/autonomous ["aishvarya"] and whose foundation is unchanging ["ashraya-aviparinama"] is termed 'the Self' [atman]." (translated from Dharmakṣema's version of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Zen
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".[17] Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen."[18] Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
Tathāgatagarbha Sūtra
Analogously, Professor Michael Zimmermann, a specialist on the Tathāgatagarbha Sūtra, writes: "the existence of an eternal, imperishable self, that is, buddhahood, is definitely the basic point of the Tathagatagarbha Sutra".
the Mahabheriharaka Sutra
the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]."
Srimala Sutra
Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
_/\_
dengan asumsi bahwa referensi anda adalah benar, maka bahwa kesamaan yg ada adalah antara AGAMA MAHAYANA (bukan Agama Buddha secara umum) dengan HINDU.
Saya sangat menghormati Ajaran Theravada khususnya Bhante Dr.Walpola Sri Rahula Maha Thera pun dikalangan Theravada beliau dihormati sebagai cendekiawan jujur dan berwibawa, entah dengan anda :)
_/\_
Saya tidak berani mengatakan ajaran Theravada tidak lengkap namun menurut Bhante The venerable Prof Walpola Sri Rahula Maha Thera (1907-1997) seperti ini :
Some people think that Voidness or Sunyata discussed by Nagarjuna is purely a Mahayana teaching. It is based on the idea of Anatta or non-self, on the Paticcasamuppada or the Dependent Origination, found in the original Theravada Pali texts. Once Ananda asked the Buddha, "People say the word Sunya. What is Sunya?" The Buddha replied, "Ananda, there is no self, nor anything pertaining to self in this world. Therefore, the world is empty." This idea was taken by Nagarjuna when he wrote his remarkable book, "Madhyamika Karika". Besides the idea of Sunyata is the concept of the store-consciousness in Mahayana Buddhism which has its seed in the Theravada texts. The Mahayanists have developed it into a deep psychology and philosophy.
http://www.urbandharma.org/udharma3/theramaya.html
Tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis, namun saya tetap lebih menyukai sumber valid sutta/sutra bukan opini pihak ke3, walupun berasal dari Maha Super Thera. dan kutipan di atas juga belum menjawab pertanyaan saya.Quotebisakah mencantumkan di sini, referensi sehubungan dengan kesadaran yg ada banyak ini dan diri besar kecil ini?
The Yogācāra textual corpus
Sutras
The Unravelling the Mystery of Thought Sutra (Saṃdhinirmocana Sūtra, 2nd century CE) was the seminal Yogācāra sutra and continued to be a primary referent for the tradition. Also containing Yogācāra elements were the Pratyutpanna Samādhi Sūtra (1st century CE) and Daśabhūmika Sūtra (pre-3rd century CE).[12] The later Descent into Laṅkā Sūtra (Laṅkāvatāra Sūtra, 4th century CE) also assumed considerable importance.[13] Other prominent Yogācāra sutras include the Śrīmālādevīsiṃhanāda Sūtra and the Ghanavyūha Sūtra.[14]
Five treatises of Maitreya
Among the most important texts to the Yogācāra tradition to be the Five Treatises of Maitreya. These texts are said to have been related to Asaṅga by the Buddha Maitreya. They are as follows:
Ornament for Clear Realization (Abhisamaya-alaṅkāra, Tib. mngon-par rtogs-pa'i rgyan)
Ornament for the Mahāyāna Sutras (Mahāyāna-sūtra-alaṅkāra, Tib. theg-pa chen-po'i mdo-sde'i rgyan)
Sublime Continuum of the Mahāyāna (Ratna-gotra-vibhāga, Tib. theg-pa chen-po rgyud bla-ma'i bstan)
Distinguishing Phenomena and Pure Being (Dharma-dharmatā-vibhāga, Tib. chos-dang chos-nyid rnam-par 'byed-pa)
Distinguishing the Middle and the Extremes (Madhyānta-vibhāga, Tib. dbus-dang mtha' rnam-par 'byed-pa)
A commentary on the Ornament for Clear Realization called "Clarifying the Meaning" by Haribhadra is also often used, as is one by Vimuktisena.
Most of these texts were also incorporated into the Chinese tradition, which was established several centuries earlier than the Tibetan. However, the Ornament for Clear Realization is not mentioned by Chinese translators up to the 7th century, including Xuanzang, who was an expert in this field. This suggests it may possibly have emerged from a later period than is generally ascribed to it.
Other texts
Vasubandhu wrote three foundational texts of the Yogācāra: the Treatise on the Three Natures (Sanskrit: Trisvabhāva-nirdeśa, Tib. Rang-bzhin gsum nges-par bstan), the Treatise in Twenty Stanzas (Skt: Viṃśaṭikā-kārikā) and the Treatise in Thirty Stanzas (S: Triṃśikaikā-kārikā). He also wrote an important commentary on the Madhyantavibhaṅga. According to Buddhist scholar Jay Garfield:
While the Trisvabhāva-nirdeśa is arguably the most philosophically detailed and comprehensive of the three short works on this topic composed by Vasubandu, as well as the clearest, it is almost never read or taught in contemporary traditional cultures or centers of learning. The reason may be simply that this is the only one of Vasubandhu’s root texts for which no autocommmentary exists. For this reason, none of Vasubandhu’s students composed commentaries on the text and hence there is no recognized lineage of transmission for the text. So nobody within the Tibetan tradition (the only extant Mahāyāna scholarly tradition) could consider him or herself authorized to teach the text. It is therefore simply not studied, a great pity. It is a beautiful and deep philosophical essay and an unparalleled introduction to the Cittamatra system.
Authorship of critical Yogācāra texts is also ascribed to Asaṅga personally (in contrast to the Five Treatises of Maitreya). Among them are the Mahāyāna-saṃgraha and the Abhidharma-samuccaya. Sometimes also ascribed to him is the Yogācārabhūmi Śāstra, a massive encyclopedic work considered the definitive statement of Yogācāra, but most scholars believe it was compiled a century later, in the 5th century.
Other important commentaries on various Yogācāra texts were written by Sthiramati (6th century) and Dharmapāla (7th century), and an influential Yogācāra-Mādhyamaka synthesis was formulated by Śāntarakṣita (8th century).
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute."
Mahaparinirvana Sutra
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.
here we read in words attributed to the Buddha: "... it is not the case that they [i.e. all phenomena] are devoid of the Self. What is this Self? Any phenomenon ["dharma"] that is true ["satya"], real ["tattva"], eternal ["nitya"], sovereign/autonomous ["aishvarya"] and whose foundation is unchanging ["ashraya-aviparinama"] is termed 'the Self' [atman]." (translated from Dharmakṣema's version of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Zen
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".[17] Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen."[18] Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
Tathāgatagarbha Sūtra
Analogously, Professor Michael Zimmermann, a specialist on the Tathāgatagarbha Sūtra, writes: "the existence of an eternal, imperishable self, that is, buddhahood, is definitely the basic point of the Tathagatagarbha Sutra".
the Mahabheriharaka Sutra
the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]."
Srimala Sutra
Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
_/\_
dengan asumsi bahwa referensi anda adalah benar, maka bahwa kesamaan yg ada adalah antara AGAMA MAHAYANA (bukan Agama Buddha secara umum) dengan HINDU.
Saya sangat menghormati Ajaran Theravada khususnya Bhante Dr.Walpola Sri Rahula Maha Thera pun dikalangan Theravada beliau dihormati sebagai cendekiawan jujur dan berwibawa, entah dengan anda :)
_/\_
Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Jawab saja to the point bro, gitu saja kok repot :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Jawab saja to the point bro, gitu saja kok repot :)
_/\_
baiklah saya akan menjawab, untuk menunjukkan bahwa anda adalah bos di sini, tapi mohon jaga bahasa anda.
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Jawab saja to the point bro, gitu saja kok repot :)
_/\_
baiklah saya akan menjawab, untuk menunjukkan bahwa anda adalah bos di sini, tapi mohon jaga bahasa anda.
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.
Tidak usah khawatir bro disini tidak ada bos, bos-nya cuman satu yaitu bos Medho (Sumedho) :)
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran = jadi apa yang terjadi ? Lenyapkah? Lenyap kemana? Teruraikah? Terurai menjadi apa?
_/\_
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Jawab saja to the point bro, gitu saja kok repot :)
_/\_
baiklah saya akan menjawab, untuk menunjukkan bahwa anda adalah bos di sini, tapi mohon jaga bahasa anda.
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.
Tidak usah khawatir bro disini tidak ada bos, bos-nya cuman satu yaitu bos Medho (Sumedho) :)
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran = jadi apa yang terjadi ? Lenyapkah? Lenyap kemana? Teruraikah? Terurai menjadi apa?
_/\_
lenyap kemana? ini pertanyaan yg tidak valid.
sehubungan dengan hal ini Sang Buddha memberikan perumpamaan api kepada VacchagottaQuote19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
Pertanyaan buat bro Indra:
Apa yang terjadi pada kesadaran seorang Arahat ketika mencapai Parinibbana? :)
_/\_
sebelum saya menjawab.
1. Dari bro Indra = menurut yg saya pelajari kesadaran adalah bergantung pada landasan2nya, jika seorang arahat masih hidup, berarti landasan2 kesadarannya masih ada, jadi tentu saja masih ada kesadaran.
2. lain halnya jika seorang arahat telah parinibbana.
dengan mempertanyakan no.2 apakah anda menyetujui yg no.1?
Jawab saja to the point bro, gitu saja kok repot :)
_/\_
baiklah saya akan menjawab, untuk menunjukkan bahwa anda adalah bos di sini, tapi mohon jaga bahasa anda.
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.
Tidak usah khawatir bro disini tidak ada bos, bos-nya cuman satu yaitu bos Medho (Sumedho) :)
pada saat arahat parinibbana ini disebut Anupadisesa Nibbana, Nibbana tanpa sisa, artinya seluruh pancakkhandha menjadi terurai dan lenyap. pancakkhandha adalah jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran = jadi apa yang terjadi ? Lenyapkah? Lenyap kemana? Teruraikah? Terurai menjadi apa?
_/\_
lenyap kemana? ini pertanyaan yg tidak valid.
sehubungan dengan hal ini Sang Buddha memberikan perumpamaan api kepada VacchagottaQuote19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada MN 72 Aggivacchagotta Sutta ijinkanlah saya untuk berkomentar:
Didalam Mahaparinirvana Sutra Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau sekarang telah siap untuk membabarkan tentang Diri untuk mengkoreksi kesalahmengertian orang-orang tentang Buddhadharma, Beliau mengajarkan tentang kualitas-kualitas postitif yang terkandung dalam Nirvana, termasuk tentang Diri/Atman :
He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda
Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Namo Buddhaya,apabila api sudah padam dan pembentuk api itu sudah tidak ada, apakah api itu akan muncul lagi?Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
Sorry ikut nimbrung, kalau udara ga ada, apakah api bisa nyala?rasanya, jika berpatokan pada fire dan o2(oksigen) maka iya.
anasir is what ??Sorry ikut nimbrung, kalau udara ga ada, apakah api bisa nyala?rasanya, jika berpatokan pada fire dan o2(oksigen) maka iya.
namun jika berpatokan pada anasir.. rasanya tidak ya.. CMIIW
seingat saya itu lebih kecil dr element, CMIIWanasir is what ??Sorry ikut nimbrung, kalau udara ga ada, apakah api bisa nyala?rasanya, jika berpatokan pada fire dan o2(oksigen) maka iya.
namun jika berpatokan pada anasir.. rasanya tidak ya.. CMIIW
Harus pakai korek api, br nyala lagi, kalau koreknya sudah jadi abu gak bs pakai lg om.Namo Buddhaya,apabila api sudah padam dan pembentuk api itu sudah tidak ada, apakah api itu akan muncul lagi?Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
apakah udara bisa menjadi api?kyknya gak bisa om..
apakah api itu akan sama dengan api yang sebelumnya?api yg dulu ya api yg dulu, api sekarang ya api sekarang, tapi zat nya sama kok, namanya anasir..CMIIW..BUT OOT..
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
Api sama seperti kesadaran kita, semasa lelap (tanpa mimpi), entah kemana dia, ke selatan, timur, barat, atau utara?
ataukah ada kesadaran kita (lelap), berdiam & tersimpan di tubuh kita?
Api sama seperti kesadaran kita, semasa lelap (tanpa mimpi), entah kemana dia, ke selatan, timur, barat, atau utara?waittttt.....
ataukah ada kesadaran kita (lelap), berdiam & tersimpan di tubuh kita?
Namo Buddhaya,
Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta. :)
Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).
Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"
"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"
"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"
"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."
"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"
"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:
"the Pervasive Lord"
"the Supreme Guardian of the world"
"Buddha-Self"
"the Beginningless Self"
"the Self of Thusness"
"the Self of primordial purity"
"the Source of all"
"the Single Self"
"the Diamond Self"
"the Solid Self"
"the Holy, Immovable Self"
"the Supreme Self"
"the Supreme Self of All Creatures".
"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:
"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"
The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"
In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:
… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]
Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.
Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :
In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).
Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah :)
_/\_
Namo Buddhaya,apabila api sudah padam dan pembentuk api itu sudah tidak ada, apakah api itu akan muncul lagi?Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
apakah udara bisa menjadi api? apakah api itu akan sama dengan api yang sebelumnya?
hmm.. saya pikir seh bukan begitu ya..
api mungkin akan kembali ke anasir api. bukan ke anasir udara. mungkib begitu...
Mengenai padamnya api, mungkin itu hanyalah simbolik...
padamnya api LDM
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
Bro Triyana, hanya pandangan pribadi
Sutra Mahayana tidak bisa langsung diambil artinya secara literal. Kalau sutta pali kebanyakan bisa, tetapi sutra Mahayana tidak bisa begitu. Banyak kiasan dan perlambang, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra njelimet tingkat tinggi
Dan Sutra Mahayana itu dikhotbahkan kepada mereka yang sudah siap. Siap disini artinya sudah menguasai ajaran Buddha yang umum (Theravada). Dan hanya kepada mereka yang mau jadi Buddha (Samma Sambuddha) dan mempunyai benih/ kecenderungan untuk itu.
Karena itu, membantah Sutta Theravada dengan Sutra Mahayana sebenarnya tidak tepat.
Jika belajar Lamrim (tahapan jalan pencerahan), salah satu poin yang diajarkan adalah bahwa sebenarnya ajaran Buddha tidak ada kontradiksi. Persepsi kontradiksi muncul karena pemahaman yang tidak sempurna terhadap ajaran Buddha.
Hal ini misalnya, jika anak SMP baca buku Fisika universitas, pasti dia bingung karena sepertinya Fisika Kuantum bertentangan dengan apa yang dia pelajari di sekolah, karena baru belajar mekanika gerak Newton. Apakah teori newtonian dan Einstein kontradiksi?
Tidak, keduanya benar, tetapi aplikasi dan sudut pandangnya berbeda.
aku akan cari soal Sanghyang Adi Buddha....
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Some people think that Voidness or Sunyata discussed by Nagarjuna is purely a Mahayana teaching. It is based on the idea of Anatta or non-self, on the Paticcasamuppada or the Dependent Origination, found in the original Theravada Pali texts. Once Ananda asked the Buddha, "People say the word Sunya. What is Sunya?" The Buddha replied, "Ananda, there is no self, nor anything pertaining to self in this world. Therefore, the world is empty." This idea was taken by Nagarjuna when he wrote his remarkable book, "Madhyamika Karika". Besides the idea of Sunyata is the concept of the store-consciousness in Mahayana Buddhism which has its seed in the Theravada texts. The Mahayanists have developed it into a deep psychology and philosophy.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
hiks.....njelimet abis
ini penjelasan tentang alaya vijnana, yang berbeda dengan ATMAN
http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/advanced/tantra/level4_advanced_points/alaya_impure_02.html
Chittamatra and Madhyamaka Assertions
All four traditions of Tibetan Buddhism accept that the Chittamatra (sems-tsam, mind-only) system of Indian Buddhist tenets asserts alayavijnana (kun-gzhi rnam-shes, all-encompassing foundation consciousness, storehouse consciousness) as a truly existent (bden-grub) unclear consciousness that underlies all moments of cognition before enlightenment. It serves as the basis for imputation of the habits of unawareness and of karma, continues from lifetime to lifetime, but ceases with the attainment of Buddhahood.
The non-Gelug traditions – Sakya, Kagyu, Nyingma – accept that the Madhyamaka tenet systems that make positive assertions about reality (all Madhyamaka systems other than Prasangika) also assert alayavijnana. These Madhyamaka systems, however, assert only a conventionally existent (tha-snyad-du yod-pa) alayavijnana, not an ultimately existent one (don-dam-du yod-pa). The conventionally existent alayavijnana, however, lacks true existence.
The Gelug tradition asserts that no Madhyamaka system accepts even the conventional existence of an alayavijnana.
Sakya Explanation
The mainstream Sakya tradition asserts, in a similar manner to Gelug, that when clear-light mental activity is manifest, it gives rise to only pure appearances (dag-pa’i snang-ba). The habits (bag-chags) of unawareness (ma-rig-pa, ignorance) imputed on the clear-light mind do not give rise to impure appearances (ma-dag-pa’i snang-ba) at that time. They only give rise to impure appearances when clear-light mental activity is not manifest. In this context, impure appearances refer to appearances that are not beyond words and concepts, while pure appearances refer to appearances that are beyond words and concepts.
Sakya calls clear-light mental activity the "causal alaya continuum" (kun-gzhi rgyu’i rgyud, the causal everlasting continuum of the all-encompassing foundation) and the "ultimate alaya" (mthar-thug-gi kun-gzhi, ultimate all-encompassing foundation). It is the ultimate foundation or source of both impure and pure appearances as defined above. Gelug does not apply the term alaya to clear-light mental activity.
Sakya does not explain alayavijnana, then, as a source of impure appearances distinct from the causal alaya continuum. With the attainment of enlightenment, the alayavijnana transforms (gnas-‘gyur) into the causal alaya continuum, but not in the manner in which a seed transforms into a sprout. Both the alayavijnana and the causal alaya continuum have been ever present before enlightenment. With the attainment of enlightenment, only the causal alaya continuum goes on. The continuity of the alayavijnana ceases.
The provisional alaya (gnas-skabs-kyi kun-gzhi, provisional all-encompassing foundation), uniquely asserted by Sakya, refers to the four mandala-seats (gdan dkyil-‘khor bzhi):
1. energy-channels,
2. subtle syllables within them,
3. creative energy-drops,
4. energy-winds.
Based on these, the appearance-making aspects (gsal-cha, clarity) of ultimate alayas produce two inseparable quantum levels of appearances of our bodies, speech, minds, and the inseparable simultaneity of the three. The two quantum levels are their gross appearances in our usual human forms and their subtle appearances as Buddha-figures. In this context, impure appearances refer to the former and pure appearances to the latter.
The provisional alaya ceases with the attainment of enlightenment and the four mandala-seats transform into the four Buddha-bodies.
Karma Kagyu Explanation
The Karma Kagyu tradition differentiates the deep-awareness alaya (kun-gzhi ye-shes, deep-awareness that is an all-encompassing foundation) from the specific-awareness alaya (kun-gzhi rnam-shes, specific awareness that is an all-encompassing foundation). Specific-awareness alaya is synonymous with alayavijnana. As in the relationship between the environment in which sentient beings are based (or live) (rten) and sentient beings themselves who are based (who live) in it (brten), specific-awareness alaya is the environment in which deep-awareness alaya is based and deep-awareness alaya is what is based on it.
Although the two alayas are mixed like milk and water, the habits of unawareness are imputed only on the latter. When clear-light mental activity is manifest, these habits do not give rise to impure appearances, not beyond words and concepts. They give rise to them only when that activity is not manifest.
Nyingma Explanation
The Nyingma tradition differentiates basis pure awareness (gzhi’i rig-pa, basis rigpa), as the primordial deepest alaya (ye-don kun-gzhi, primordial deepest all-encompassing foundation) from the alaya for constant habits (bag-chags-kyi kun-gzhi, all-encompassing foundation for habits). The latter is synonymous with alayavijnana.
Before enlightenment, the everlasting continuum of basis rigpa has with it a factor of dumbfoundedness (rmongs-cha). This factor is equivalent to the unawareness of not knowing how rigpa exists – a type of unawareness included within unawareness regarding all phenomena and preventing omniscience. Because of this factor of dumbfoundedness, basis rigpa functions as an alaya for constant habits and, through a complex mechanism, produces impure appearances, not beyond words and concepts, during conceptual and nonconceptual cognition with limited awareness (sems).
When we access essence pure awareness (ngo-bo’i rig-pa, essence rigpa), which is the primal purity (ka-dag) aspect of rigpa – primally pure of all fleeting stains such as habits – basis rigpa does not function as an alaya for constant habits. It gives rise only to pure appearances, beyond words and concepts.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
saya tidak setuju mungkin karena anda tidak dapat memberikan penjelasan yg masuk akal bagaimana api menyatu dengan udara, dan sejauh ini memang anda belum memberikan penjelasan yg logis.
saya juga sudah membaca link mengenai api yg anda berikan, tapi saya tidak menemukan bagian yg menjelaskan bahwa api yg padam menyatu dengan udara, mungkin bahasa inggris saya yg payah, sudikah anda men-copas bagian itu?
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
saya tidak setuju mungkin karena anda tidak dapat memberikan penjelasan yg masuk akal bagaimana api menyatu dengan udara, dan sejauh ini memang anda belum memberikan penjelasan yg logis.
saya juga sudah membaca link mengenai api yg anda berikan, tapi saya tidak menemukan bagian yg menjelaskan bahwa api yg padam menyatu dengan udara, mungkin bahasa inggris saya yg payah, sudikah anda men-copas bagian itu?
"yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara" menurut bro Indra api yang padam menyatu dengan apa ? :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
saya tidak setuju mungkin karena anda tidak dapat memberikan penjelasan yg masuk akal bagaimana api menyatu dengan udara, dan sejauh ini memang anda belum memberikan penjelasan yg logis.
saya juga sudah membaca link mengenai api yg anda berikan, tapi saya tidak menemukan bagian yg menjelaskan bahwa api yg padam menyatu dengan udara, mungkin bahasa inggris saya yg payah, sudikah anda men-copas bagian itu?
"yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara" menurut bro Indra api yang padam menyatu dengan apa ? :)
_/\_
itu sudah saya jawab sebelumnya pada pertanyaan anda, "lenyap kemana?" dan saya memberikan perumpamaan yg diberikan Sang Buddha tentang api kepada Vacchagotta, silahkan anda balik ke halaman2 sebelumnya jika anda lupa
Namo Buddhaya,
Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta. :)
Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..
Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi
Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.
Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
_/\_
Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).
Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.
Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:
"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"
"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"
"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"
"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."
"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."
"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"
"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:
"the Pervasive Lord"
"the Supreme Guardian of the world"
"Buddha-Self"
"the Beginningless Self"
"the Self of Thusness"
"the Self of primordial purity"
"the Source of all"
"the Single Self"
"the Diamond Self"
"the Solid Self"
"the Holy, Immovable Self"
"the Supreme Self"
"the Supreme Self of All Creatures".
"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:
"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"
The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"
In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:
… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]
Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.
Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :
In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).
Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah :)
_/\_
Alex: Now we get into another topic that is difficult for us Westerners to deal with, which is the concept of no beginning. Just as there is no beginning to samsara, there is no beginning to people achieving Buddhahood. Although in the Kalachakra teachings we have the term Adi-Buddha, it doesn’t refer to the first one who ever achieved Buddhahood. There is no historical first Buddha. There is no logical way of presenting a first Buddha within the context of cause and effect. How would they have become a Buddha? By having some special creativity in them? Someone had to teach them and show them the way, and that someone would have had to have reached Buddhahood himself beforehand. “Adi-Buddha” means Buddhahood based on the primordial state, the primordial basic purity of the mind. There have always been Buddhas and teachings, though they may not have always taught them to others. Of course, there have been dark ages – we are talking about samsara, it goes up and down.
http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/sutra/level2_lamrim/initial_scope/karma/examining_karma_after_sep_11/session_3.html?query=adi+buddha
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
saya tidak setuju mungkin karena anda tidak dapat memberikan penjelasan yg masuk akal bagaimana api menyatu dengan udara, dan sejauh ini memang anda belum memberikan penjelasan yg logis.
saya juga sudah membaca link mengenai api yg anda berikan, tapi saya tidak menemukan bagian yg menjelaskan bahwa api yg padam menyatu dengan udara, mungkin bahasa inggris saya yg payah, sudikah anda men-copas bagian itu?
"yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara" menurut bro Indra api yang padam menyatu dengan apa ? :)
_/\_
itu sudah saya jawab sebelumnya pada pertanyaan anda, "lenyap kemana?" dan saya memberikan perumpamaan yg diberikan Sang Buddha tentang api kepada Vacchagotta, silahkan anda balik ke halaman2 sebelumnya jika anda lupa
Oh ya, lalu apa jawabannya mohon diketikkan dengan jelas disini supaya saya dan rekan-rekan semua bisa tahu dengan jelas jawaban anda _/\_ atau jangan-jangan anda tidak tahu ?
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Sekarang kembali ke MN 72 Aggivacchagotta Sutta, kalau saya seumpamanya ditanya kemanakah api yang padam itu arahnya, menurut sains tentu saja ia terurai dan menjadi satu dengan udara, nah disini ada udara sebagai basis penampung bagi elemen-elemen api yang padam.
tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tapi saya lebih percaya Sang Buddha daripada anda = itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, sekarang ijinkanlah saya untuk memperjelas : Bukankah kalau api padam maka ia akan terurai dan kembali kepada udara bro, artinya ada udara sebagai elemen yang menampung api yang padam tersebut, ini fakta yang tidak dapat dibantah. :)
Silahkan ditanggapi :)
_/\_
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini?
itu bukan jawaban atas pertanyaan saya kalimat di atas adalah komentar anda ditandai dengan kalimat "ijinkanlah saya untuk berkomentar", jadi anda tidak bertanya, jadi kenapa saya dibilang tidak menjawab?
api yg padam, ya padam saja, saya tidak setuju bahwa udara menjadi elemen penampung api yang padam. adakah referensi ilmiah sehubungan dengan hal ini? = Yang jujur bro, semua yang dibakar habis akan terurai dan kembali keelemen udara. ^-^
_/\_
loh saya memang menjawab dengan jujur, makanya saya minta referensi ilmiahnya supaya saya bisa menerima pandangan anda, karena saya mencoba masak air tanpa menyalakan kompor tapi kok bisa mendidih?
Tanpa elemen udara tidak ada api yang bisa menyala, berarti api tergantung pada udara.
Silahkan ditanggapi bro Indra ^-^
_/\_
saya setuju bahwa api dapat menyala dengan bergantung pada udara, anda menggeliat lagi, yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara?
yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara".
apakah menurut anda, api yg padam itu tetap ada hanya saja sekarang berada di udara? = Api kalo sudah padam maka unsur-unsur pembentuknya akan terurai dan melebur ke udara :)
Pandangan anda sendiri bagaimana, silahkan diuraikan dengan gamblang _/\_
_/\_
maaf bro, saya juga tidak pernah meneliti api, walaupun benar bahwa saya pernah meletakkan sepanci air di atas kompor yg tidak dinyalakan dari malam sampai pagi dan tidak mendidih. mohon maaf saya tidak bisa menjawab soal api ini, mungkin ada member lain yg kebetulan adalah peneliti api bisa membantu saya?
tapi saya tertarik dengan pendapat anda mengenai unsur pembentuk api. apakah unsur pembentuk api itu?
Kalo anda tidak bisa menjelaskan bagaimana anda bisa yakin tentang peryataan anda ini "yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara". Aneh to ^-^
Tentang api : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire
_/\_
saya tidak setuju mungkin karena anda tidak dapat memberikan penjelasan yg masuk akal bagaimana api menyatu dengan udara, dan sejauh ini memang anda belum memberikan penjelasan yg logis.
saya juga sudah membaca link mengenai api yg anda berikan, tapi saya tidak menemukan bagian yg menjelaskan bahwa api yg padam menyatu dengan udara, mungkin bahasa inggris saya yg payah, sudikah anda men-copas bagian itu?
"yg tidak saya setujui adalah "api yg padam menyatu dengan udara" menurut bro Indra api yang padam menyatu dengan apa ? :)
_/\_
itu sudah saya jawab sebelumnya pada pertanyaan anda, "lenyap kemana?" dan saya memberikan perumpamaan yg diberikan Sang Buddha tentang api kepada Vacchagotta, silahkan anda balik ke halaman2 sebelumnya jika anda lupa
Oh ya, lalu apa jawabannya mohon diketikkan dengan jelas disini supaya saya dan rekan-rekan semua bisa tahu dengan jelas jawaban anda _/\_ atau jangan-jangan anda tidak tahu ?
_/\_
tidak ada gunanya anda menggunakan cara2 begitu Bro, berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar, saya sudah menjawab pertanyaan itu dan saya tidak akan mengulanginya lagi, itu saya jawab kemarin malam, jadi anda tidak perlu jauh2 membalik postingan yg lalu, mungkin 2 atau 3 page sebelumnya saja dan anda akan menemukan.
Namo Buddhaya,
Berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar = Saya kira sudah benar kan saya meminta anda menjawab eh siapa tahu jawaban yang ada dipikiran saya tidak sama dengan jawaban bro Indra :)
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Mohon maaf sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Sutta tapi jawaban Vaccha “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.” saya kira tidak menjawab pertanyaan “Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?” tetapi saya hargai jawaban Vaccha, nah sekarang bagaimana dengan jawaban bro Indra sendiri apa mau ngikut-ikut saja atau punya prinsip jawaban sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut _/\_
_/\_
Namo Buddhaya,
Berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar = Saya kira sudah benar kan saya meminta anda menjawab eh siapa tahu jawaban yang ada dipikiran saya tidak sama dengan jawaban bro Indra :)
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Mohon maaf sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Sutta tapi jawaban Vaccha “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.” saya kira tidak menjawab pertanyaan “Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?” tetapi saya hargai jawaban Vaccha, nah sekarang bagaimana dengan jawaban bro Indra sendiri apa mau ngikut-ikut saja atau punya prinsip jawaban sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut _/\_
_/\_
anda menganggap sudah beretika dengan benar dalam diskusi ini? dengan cara mengulangi pertanyaan yg sama yg sudah dijawab?
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar = Saya kira sudah benar kan saya meminta anda menjawab eh siapa tahu jawaban yang ada dipikiran saya tidak sama dengan jawaban bro Indra :)
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Mohon maaf sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Sutta tapi jawaban Vaccha “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.” saya kira tidak menjawab pertanyaan “Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?” tetapi saya hargai jawaban Vaccha, nah sekarang bagaimana dengan jawaban bro Indra sendiri apa mau ngikut-ikut saja atau punya prinsip jawaban sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut _/\_
_/\_
anda menganggap sudah beretika dengan benar dalam diskusi ini? dengan cara mengulangi pertanyaan yg sama yg sudah dijawab?
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak = BUKTIKAN jangan asal NGOMONG doang, saya TUNGGU.............. :))
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar = Saya kira sudah benar kan saya meminta anda menjawab eh siapa tahu jawaban yang ada dipikiran saya tidak sama dengan jawaban bro Indra :)
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Mohon maaf sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Sutta tapi jawaban Vaccha “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.” saya kira tidak menjawab pertanyaan “Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?” tetapi saya hargai jawaban Vaccha, nah sekarang bagaimana dengan jawaban bro Indra sendiri apa mau ngikut-ikut saja atau punya prinsip jawaban sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut _/\_
_/\_
anda menganggap sudah beretika dengan benar dalam diskusi ini? dengan cara mengulangi pertanyaan yg sama yg sudah dijawab?
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak = BUKTIKAN jangan asal NGOMONG doang, saya TUNGGU.............. :))
_/\_
apa yg harus saya buktikan, saya sedang mengatakan apa adanya tentang diri saya, jadi apa yg harus saya buktikan pada anda? saya memang bangga bisa ikut2an sutta kok, tuh buktinya saya sudah niru MN 72
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Berdiskusilah sesuai etika diskusi yg benar = Saya kira sudah benar kan saya meminta anda menjawab eh siapa tahu jawaban yang ada dipikiran saya tidak sama dengan jawaban bro Indra :)
19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
sumber: MN 72 Aggivacchagotta Sutta
“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Mohon maaf sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Sutta tapi jawaban Vaccha “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.” saya kira tidak menjawab pertanyaan “Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?” tetapi saya hargai jawaban Vaccha, nah sekarang bagaimana dengan jawaban bro Indra sendiri apa mau ngikut-ikut saja atau punya prinsip jawaban sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut _/\_
_/\_
anda menganggap sudah beretika dengan benar dalam diskusi ini? dengan cara mengulangi pertanyaan yg sama yg sudah dijawab?
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak
tidak apa2 jika anda akan menganggap bahwa saya ikut2an, tapi asal tau aja, saya malah merasa bangga ikut2an Sutta, daripada sok2an pake opini pribadi dan ternyata salah pulak = BUKTIKAN jangan asal NGOMONG doang, saya TUNGGU.............. :))
_/\_
apa yg harus saya buktikan, saya sedang mengatakan apa adanya tentang diri saya, jadi apa yg harus saya buktikan pada anda? saya memang bangga bisa ikut2an sutta kok, tuh buktinya saya sudah niru MN 72
Berarti anda tidak tahu ya, sudah tidak apa-apa saya maklumi kan anda bukan ahli kimia ;D
_/\_
Apakah yang ditanyakan Bro Triyana2009 adalah validitas dari perumpamaan api yang padam?
Apakah yang ditanyakan Bro Triyana2009 adalah validitas dari perumpamaan api yang padam?
Apakah yang ditanyakan Bro Triyana2009 adalah validitas dari perumpamaan api yang padam?
Api yang padam larinya kemana, ya tentu terurai dan melebur dengan udara, api tidak kemana-mana karena ia hanya terurai saja tetapi tidak lenyap. :)
_/\_
entah apa itu adalah meragukan validitas atau yg lainnya, tapi Bro Triyana memiliki jawaban yg lebih baik untuk perumpamaan api itu, yaitu, seharusnya jawabannya adalah, "api yg padam akan menyatu dengan udara sebagai elemen penampung api yg padam"
Namo Buddhaya,Apakah yang ditanyakan Bro Triyana2009 adalah validitas dari perumpamaan api yang padam?
Saya bertanya kemana api itu setelah ia padam, itu saja, tapi bro Indra jawabannya berbelit-belit kayak belut :))
Akan saya tanyakan di bagian Sains forum DC ini :)
_/\_
Api yang padam larinya kemana, ya tentu terurai dan melebur dengan udara, api tidak kemana-mana karena ia hanya terurai saja tetapi tidak lenyap. :)
_/\_
Perumpamaan yang dipakai Sang Buddha tentu saja mengikuti pola pikir orang di masa itu. Jika meninjau dari Ilmu Fisika, memang api yang padam akan berubah menjadi energi yang lain (transformasi energi). Namun yang ditekankan Sang Buddha bukan pada penjelasan ilmiahnya...
Perumpamaan api yang padam itu mengandung pesan bahwa: Api bisa ada karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu tidak mendukungnya, maka api itu tidak ada. Demikian pula kita yang terdiri dari nama (batin) dan rupa (fisik jasmani) bisa ada, karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu kita cabut, maka kita (nama dan rupa) tidak akan ada.
Silakan lanjutkan komentar Anda...
Dr.Alexander Berzin adalah salah satu praktisi Vajrayana yang saya kagumi _/\_
Sekarang saya coba komentari :
Saya kira anda yang keliru mencermati :
The conventionally existent alayavijnana, however, lacks true existence. = Kesadaran tertinggi adalah Sugatagarbha atau Amala Vijnana, jadi alayavijnana lacks true existence itu sudah tepat.
The Gelug tradition asserts that no Madhyamaka system accepts even the conventional existence of an alayavijnana. = Sudah saya jelaskan diatas. :)
Ya memang artikel itu benar apa yang musti didebat :), dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
_/\_
20. “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku. Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.”
Dr.Alexander Berzin adalah salah satu praktisi Vajrayana yang saya kagumi _/\_
Sekarang saya coba komentari :
Saya kira anda yang keliru mencermati :
The conventionally existent alayavijnana, however, lacks true existence. = Kesadaran tertinggi adalah Sugatagarbha atau Amala Vijnana, jadi alayavijnana lacks true existence itu sudah tepat.
The Gelug tradition asserts that no Madhyamaka system accepts even the conventional existence of an alayavijnana. = Sudah saya jelaskan diatas. :)
Ya memang artikel itu benar apa yang musti didebat :), dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
_/\_
Disini menurut saya anda yang salah menganggap kesadaran ke-Buddha-an adalah Atman
Atman = Jiwa (soul), dengan sendirinya abadi dan tidak berubah.
Sementara Alaya (clear light mind), adalah pikiran primordial yang tidak ternoda. Apakah alaya ini kekal?
TIDAK
dalam Buddhisme tidak ada yang kekal.
Alaya adalah sebuah bentuk kesadaran terhalus, kalau di Buddhisme, pikiran itu seperti arus air (stream of consciousness). Sungainya sama, tetapi apakah sungainya kekal? Tidak, karena airnya berubah terus, mengalir terus.
Kalau diumpamakan, alaya itu adalah arus sungai yang bersih. Karena kotoran (kilesa, avijja), maka sungai itu jadi kotor.
Ketika sungainya dibersihkan, (pencerahan) sungainya jadi bersih lagi. Sungai yang kotor dan sungai yang bersih masih sungai yang sama, tetapi tidak benar-benar sama. Apakah sungai bersih yang awal dan setelah pencerahan sama? Gak juga, karena sudah mengalir air yang lama
Kira kira dengan penjelasan di atas ngerti gak? Bahkan dalam Mahayana, benih keBuddhaan juga mengikuti aturan Anicca
Sebuah rujukan:
_____
The Blessed One replied: No, Mahamati, my Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness. I also wish, Mahamati, that the Bodhisattva-Mahasattvas of the present and future would not attach themselves to the idea of an ego [imagining it to be a soul] (atman). Mahamati, it is like a potter who manufactures various vessels out of a mass of clay of one sort by his own manual skill and labour combined with a rod, water, and thread, Mahamati, that the Tathagatas preach the egolessness of things which removes all the traces of discrimination by various skilful means issuing from their transcendental wisdom, that is, sometimes by the doctrine of the Tathagata-garbha, sometimes by that of egolessness, and, like a potter, by means of various terms, expressions, and synonyms. For this reason, Mahamati, the philosophers' doctrine of an ego-substance is not the same as the teaching of the Tathagata-garbha. Thus, Mahamati, the doctrine of the Tathagata-garbha is disclosed in order to awaken the philosophers from their clinging to the idea of the ego, so that those minds that have fallen into the views imagining the non-existent ego as real, and also into the notion that the triple emancipation is final, may rapidly be awakened to the state of supreme enlightenment. Accordingly, Mahamati, the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones disclose the doctrine of the Tathagata-garbha which is thus not to be known as identical with the philosopher's notion of an ego-substance. Therefore. Mahamati, in order to abandon the misconception cherished by the philosophers, you must strive after the teaching of egolessness and the Tathagata-garbha.
(Lankavatara Sutra - Bab 6 Transcendental Intelligence)
--------
Sebuah rujukan dalam sutra Mahayana dimana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tidak mengajarkan adanya Atman Sejati seperti dalam agama lain (Brahmansime). Beliau menggunakan istilah-istilah, Tathagata-garbha, Aku-Sejati, Dharmakaya sebagai upaya kausalya untuk mereka-mereka yang masih melekat pada konsep atman.
Namo Buddhaya,Apakah yang ditanyakan Bro Triyana2009 adalah validitas dari perumpamaan api yang padam?
Saya bertanya kemana api itu setelah ia padam, itu saja, tapi bro Indra jawabannya berbelit-belit kayak belut :))
Akan saya tanyakan di bagian Sains forum DC ini :)
_/\_
seingat saya, saya menjawab dengan lugas dengan mengutip dari sutta, apakah anda berpendapat sutta itu berbelit2 kayak belut?
bukankah anda sebagai ahli sudah memberikan jawaban mengenai api, kenapa anda jadi tidak yakin dengan jawaban anda sendiri sehingga perlu bertanya kepada orang lain?
dan pertanyaan saya sehubungan dengan DIRI yg BESAR dan KECIL masih belum anda jawab sampai saat ini, sebaliknya anda malah memberikan referensi yg tidak menjawab pertanyaan saya. dan anda mengatakan saya yg berbelit2?
anda boleh beranggapan apa saja mengenai saya, tetapi hati2 jangan sampai anda mempermalukan diri anda sendiri.
saya akan lanjutkan lagi nanti malam
[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
[at] triyana..
sebelum bertanya mengenai api.. baiknya anda BELAJAR KIMIA dulu deh..
agar tidak seperti anak TK bertanya.. susah jawabnya..
gimana cara anda menjawab pertanyaan dari bro indra..
api aja anda gak bisa menjelaskan.. hanya bisa mengutip dari wikipedia..
jangan bilang pula gak bisa translate.
Namo Buddhaya,saya tidak minta anda menerjemahkan..gimana cara anda menjawab pertanyaan dari bro indra..
api aja anda gak bisa menjelaskan.. hanya bisa mengutip dari wikipedia..
jangan bilang pula gak bisa translate.
Wikipedia adalah media yang sah , kalo saya disuruh jelaskan dengan cara terjemahkan semua ya cape lah bro....... ;D
_/\_
Namo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
kalau ngikut gaya dia, gak akan nemu di sutta tertulis DIRI KECIL sama DIRI BESAR =))Namo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
mesti pelan2 nih,
Bro saya minta referensinya, karena referensi yg anda berikan sebelumnya tidak menjelaskan hal ini. kalo soal pendapat pribadi saya juga punya
Btw agak susah seh bro indra, mungkin bro indra bakal kecewa.
bro triyana ini hanya bisa men-copas, tanpa mengerti apa yang dia copas..
Namo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
mesti pelan2 nih,
Bro saya minta referensinya, karena referensi yg anda berikan sebelumnya tidak menjelaskan hal ini. kalo soal pendapat pribadi saya juga punya
Namo Buddhaya,bukti jelas.. anda tidak menjawab2 lagi di sains :))Btw agak susah seh bro indra, mungkin bro indra bakal kecewa.
bro triyana ini hanya bisa men-copas, tanpa mengerti apa yang dia copas..
Kok anda bisa ngomong begitu, coba tunjuk yang mana yang saya copas tapi saya tidak mengerti :))
_/\_
Namo Buddhaya,wakakakak.. hanya bisa kasih linkNamo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
mesti pelan2 nih,
Bro saya minta referensinya, karena referensi yg anda berikan sebelumnya tidak menjelaskan hal ini. kalo soal pendapat pribadi saya juga punya
http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
mesti pelan2 nih,
Bro saya minta referensinya, karena referensi yg anda berikan sebelumnya tidak menjelaskan hal ini. kalo soal pendapat pribadi saya juga punya
http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism)
_/\_
With the doctrine of anatta (Pāli; Sanskrit: anātman) Buddhism maintains that the concept of ātman is unnecessary and counterproductive as an explanatory device for analyzing action, causality, karma, and rebirth. Buddhists account for these and other self-related phenomena by means such as pratitya-samutpāda, the skandhas, and, for some schools, a pudgala. Buddhists regard postulating the existence of ātman as undesirable, as they believe it provides the psychological basis for attachment and aversion. Buddhism sees the apparent self (our identification as souls) as a grasping after a self — i.e., inasmuch as we have a self, we have it only through a deluded attempt to shore it up.
Buddhism greatly influenced the development of the Hindu Advaita Vedanta school of philosophy. There too the individual self is deconstructed. Advaita, however, postulates the existence of a monistic metaphysical "being in itself", i.e. Brahman or paramātman as part of its interpretation of the absolutist Upanishads, while Buddhism does not.
Namo Buddhaya,wakakakak.. hanya bisa kasih linkNamo Buddhaya,[at] Triyana,
sebelumnya saya sudah bertanya tentang DIRI yg BESAR dan kecil, sampai saat ini anda masih belum menjelaskan, selain daripada kutipan dari B.Walpola Rahula yg sama sekali tidak menjelaskan topik yg dimaksud.
saya masih menunggu penjelasan anda
mengenai api saya akan memberikan waktu lebih panjang untuk anda
Maaf tapi pertanyaan anda sudah saya jawab ^-^ :Namo Buddhaya,Buah pikir yang timbul tenggelam dan dapat diamati dalam meditasi ini bukanlah diri anda yang sesungguhnya.
untuk mempersingkat diskusi, saya akan langsung to the point saja.
sampai pada titik ini Bro Triyana menyatakan (seperti yang di-bold di atas) bahwa ada diri sejati (diri yang sesungguhnya) yg mana statement ini jelas berlawanan secara frontal dengan doktrin Anatta. mohon Bro Triyana sudi menjelaskan dengan jelas dan dengan bahasa yg mudah dipahami.
_/\_
Baik mari kita persingkat :
Menurut pendapat saya yang dimaksud oleh Sang Buddha dengan anatta/anatman(sanskrit) adalah diri kecil anda yang terbentuk karena faktor avidya (kebodohan fundamental) apabila anda mampu menyingkirkan diri kecil anda maka anda akan sampai ke Diri Buddha anda yang adalah anda yang sesungguhnya.
_/\_
_/\_
mesti pelan2 nih,
Bro saya minta referensinya, karena referensi yg anda berikan sebelumnya tidak menjelaskan hal ini. kalo soal pendapat pribadi saya juga punya
http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism)
_/\_
bro indra.. kerjain aja bro..
suruh dia rangkum pake pengertian dia sendiri..
kita lihat bagaimana dia merangkum.. dan apa yang dia tahu soal Atman yang tertulis di Wikipedia
[at] Triyana
walaupun menurut anda Wikipedia adalah media yg sah,
tapi sudah menjadi kebiasaan bagi kami di forum ini, sehubungan dengan topik Buddhism, referensi yg dianggap sah adalah dan hanya SUTTA atau SUTRA. kalau topik lain, misalnya, api padam kemana larinya, boleh lah cari di wikipedia
Namo Buddhaya,Sebuah rujukan:
_____
The Blessed One replied: No, Mahamati, my Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness. I also wish, Mahamati, that the Bodhisattva-Mahasattvas of the present and future would not attach themselves to the idea of an ego [imagining it to be a soul] (atman). Mahamati, it is like a potter who manufactures various vessels out of a mass of clay of one sort by his own manual skill and labour combined with a rod, water, and thread, Mahamati, that the Tathagatas preach the egolessness of things which removes all the traces of discrimination by various skilful means issuing from their transcendental wisdom, that is, sometimes by the doctrine of the Tathagata-garbha, sometimes by that of egolessness, and, like a potter, by means of various terms, expressions, and synonyms. For this reason, Mahamati, the philosophers' doctrine of an ego-substance is not the same as the teaching of the Tathagata-garbha. Thus, Mahamati, the doctrine of the Tathagata-garbha is disclosed in order to awaken the philosophers from their clinging to the idea of the ego, so that those minds that have fallen into the views imagining the non-existent ego as real, and also into the notion that the triple emancipation is final, may rapidly be awakened to the state of supreme enlightenment. Accordingly, Mahamati, the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones disclose the doctrine of the Tathagata-garbha which is thus not to be known as identical with the philosopher's notion of an ego-substance. Therefore. Mahamati, in order to abandon the misconception cherished by the philosophers, you must strive after the teaching of egolessness and the Tathagata-garbha.
(Lankavatara Sutra - Bab 6 Transcendental Intelligence)
--------
Sebuah rujukan dalam sutra Mahayana dimana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tidak mengajarkan adanya Atman Sejati seperti dalam agama lain (Brahmansime). Beliau menggunakan istilah-istilah, Tathagata-garbha, Aku-Sejati, Dharmakaya sebagai upaya kausalya untuk mereka-mereka yang masih melekat pada konsep atman.
Hmm tampaknya anda keliru memahami Arya Lankavatara Sutra silahkan dibaca pembahasan lengkap berikut ini :
Ini adalah pendalaman dan kajian lengkap oleh D.T Suzuki atas Arya Lankavatara Sutra :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Suzuki_Studies_in_the_Lankavatara.pdf
Kajian yang dilakukan oleh Jidiko Takasaki :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/jikido-analysis.pdf
Kajian lainnya :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Discourse_in_Lankavatara(Hamlin)ocr_jbig2.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/The_Lankavatarasutra_in_Early_Indian_Madhyamaka_Literature,Lindtner,AS,1992.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/A_Note_on_Vasubandhu_and_Lankavatarasutra,Schmithausen,AS,1992.pdf
The Laṅkāvatāra Sūtra draws upon the concepts and doctrines of Yogācāra and Tathāgatagarbha.[1] The most important doctrine issuing from the Laṅkāvatāra Sūtra is that of the primacy of consciousness (Skt. vijñāna) and the teaching of consciousness as the only reality. The sūtra asserts that all the objects of the world, and the names and forms of experience, are merely manifestations of the mind. The Laṅkāvatāra Sūtra describes the various tiers of consciousness in the individual, culminating in the "storehouse consciousness" (Skt. Ālayavijñāna), which is the base of the individual's deepest awareness and his tie to the cosmic.[citation needed]
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute.
The same Zen adept, Sokei-An, further comments:
The creative power of the universe is not a human being; it is Buddha. The one who sees, and the one who hears, is not this eye or ear, but the one who is this consciousness. This One is Buddha. This One appears in every mind. This One is common to all sentient beings, and is God.
Mahayana Buddhism is not only intellectual, but it is also devotional ... in Mahayana, Buddha was taken as God, as Supreme Reality itself that descended on the earth in human form for the good of mankind. The concept of Buddha (as equal to God in theistic systems) was never as a creator but as Divine Love that out of compassion (karuna) embodied itself in human form to uplift suffering humanity. He was worshipped with fervent devotion... He represents the Absolute (paramartha satya), devoid of all plurality (sarva-prapancanta-vinirmukta) and has no beginning, middle and end ... Buddha ... is eternal, immutable ... As such He represents Dharmakaya.
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen.Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
_/\_
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Namo Buddhaya,Sebuah rujukan:
_____
The Blessed One replied: No, Mahamati, my Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness. I also wish, Mahamati, that the Bodhisattva-Mahasattvas of the present and future would not attach themselves to the idea of an ego [imagining it to be a soul] (atman). Mahamati, it is like a potter who manufactures various vessels out of a mass of clay of one sort by his own manual skill and labour combined with a rod, water, and thread, Mahamati, that the Tathagatas preach the egolessness of things which removes all the traces of discrimination by various skilful means issuing from their transcendental wisdom, that is, sometimes by the doctrine of the Tathagata-garbha, sometimes by that of egolessness, and, like a potter, by means of various terms, expressions, and synonyms. For this reason, Mahamati, the philosophers' doctrine of an ego-substance is not the same as the teaching of the Tathagata-garbha. Thus, Mahamati, the doctrine of the Tathagata-garbha is disclosed in order to awaken the philosophers from their clinging to the idea of the ego, so that those minds that have fallen into the views imagining the non-existent ego as real, and also into the notion that the triple emancipation is final, may rapidly be awakened to the state of supreme enlightenment. Accordingly, Mahamati, the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones disclose the doctrine of the Tathagata-garbha which is thus not to be known as identical with the philosopher's notion of an ego-substance. Therefore. Mahamati, in order to abandon the misconception cherished by the philosophers, you must strive after the teaching of egolessness and the Tathagata-garbha.
(Lankavatara Sutra - Bab 6 Transcendental Intelligence)
--------
Sebuah rujukan dalam sutra Mahayana dimana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tidak mengajarkan adanya Atman Sejati seperti dalam agama lain (Brahmansime). Beliau menggunakan istilah-istilah, Tathagata-garbha, Aku-Sejati, Dharmakaya sebagai upaya kausalya untuk mereka-mereka yang masih melekat pada konsep atman.
Hmm tampaknya anda keliru memahami Arya Lankavatara Sutra silahkan dibaca pembahasan lengkap berikut ini :
Ini adalah pendalaman dan kajian lengkap oleh D.T Suzuki atas Arya Lankavatara Sutra :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Suzuki_Studies_in_the_Lankavatara.pdf
Kajian yang dilakukan oleh Jidiko Takasaki :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/jikido-analysis.pdf
Kajian lainnya :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Discourse_in_Lankavatara(Hamlin)ocr_jbig2.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/The_Lankavatarasutra_in_Early_Indian_Madhyamaka_Literature,Lindtner,AS,1992.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/A_Note_on_Vasubandhu_and_Lankavatarasutra,Schmithausen,AS,1992.pdf
The Laṅkāvatāra Sūtra draws upon the concepts and doctrines of Yogācāra and Tathāgatagarbha.[1] The most important doctrine issuing from the Laṅkāvatāra Sūtra is that of the primacy of consciousness (Skt. vijñāna) and the teaching of consciousness as the only reality. The sūtra asserts that all the objects of the world, and the names and forms of experience, are merely manifestations of the mind. The Laṅkāvatāra Sūtra describes the various tiers of consciousness in the individual, culminating in the "storehouse consciousness" (Skt. Ālayavijñāna), which is the base of the individual's deepest awareness and his tie to the cosmic.[citation needed]
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute.
The same Zen adept, Sokei-An, further comments:
The creative power of the universe is not a human being; it is Buddha. The one who sees, and the one who hears, is not this eye or ear, but the one who is this consciousness. This One is Buddha. This One appears in every mind. This One is common to all sentient beings, and is God.
Mahayana Buddhism is not only intellectual, but it is also devotional ... in Mahayana, Buddha was taken as God, as Supreme Reality itself that descended on the earth in human form for the good of mankind. The concept of Buddha (as equal to God in theistic systems) was never as a creator but as Divine Love that out of compassion (karuna) embodied itself in human form to uplift suffering humanity. He was worshipped with fervent devotion... He represents the Absolute (paramartha satya), devoid of all plurality (sarva-prapancanta-vinirmukta) and has no beginning, middle and end ... Buddha ... is eternal, immutable ... As such He represents Dharmakaya.
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen.Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
_/\_
Saya rasa anda yang salah Sdr. Triyana2009. Dalam Sutra jelas dinyatakan.:
Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness.
Dan sumber yang saya ambil adalah sumber yang anda ajukan, dan telah saya teliti sebelumnya sebelum topik ini ada.
Saya kutip berikut penjelasan dalam sumber yang sama yang anda ajukan
----------
The more ordinary expressions given to the highest reality known as Citta are Tathata, "suchness" or "thusness", Satyata, "the state of being true", Bhutata, "the state of being real", Dharmadhatu, "realm of truth", Nirvana, the Permanent (nitya), Sameness (samata), the One (advaya), Cessation (nirodha), the Formless (animitta), Emptiness (sunyata), etc.
From these descriptions it is found natural for Mahayanists psychologically to deny the existence of an ego-soul or ego-substance in the Alaya, and ontologically to insist that the tragedy of life comes from believing in the substantiality or finality of an individual object. The former is technically called the doctrine of Pudgalanairatmya, egolessness of persons,1 and the latter that of Dharmanairatmya, egolessness of things; the one denies the reality of an ego-soul and the other the ultimacy of an individual object.
Superficially, this denial of an Atman in persons and individual objects sounds negative and productive of no moral signification. But when one understands what is ultimately meant by Cittamatra (Mind-only) or by Vivikta-dharma (the Solitary), the negations are on the plane of relativity and intellection.
---------------
Jadi baik dalam sutra maupun penjelasan sudah jelas, terang benderang dan tidak perlu ditafsirkan macam-macam bahwa Mahayana juga tidak mengajarkan adanya atman sejati, tetapi menggunakannya untuk suatu pendekatan agar orang yang masih melekat pada atta/atman mau belajar dan memahami. Begitu juga Master Zen, Sekkei Harada menggunakan istilah "true Self is found when one "forgets the ego-self" adalah usaha pendekatan agar pemikiran orang yang masih melekat pada Atman dapat memahaminya. Penjelasan saya ini sama seperti penjelasan Sang Buddha dalam Lankavatara Sutra yang memang mengatakan demikian. Jadi tinggal anda pilih lebih percaya pada pendapat pribadi anda atau dengan ucapan Sang Buddha yang sudah jelas terdapat dalam sutra.
Lagi, dalam World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, tahun 1966 menyatakan dengan bulat bahwa semua tradisi Buddhisme mengajarkan mengenai anatman bukan atman. Jika saya salah berarti anda menepis kebenaran yang terkandung dalam Lankavatara Sutra yang disabdakan Sang Buddha sendiri dan World Buddhist Sangha Council yang jelas-jelas mengatakan bahwa tidak ada atman.
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
Api yang padam larinya kemana, ya tentu terurai dan melebur dengan udara, api tidak kemana-mana karena ia hanya terurai saja tetapi tidak lenyap. :)
_/\_
Perumpamaan yang dipakai Sang Buddha tentu saja mengikuti pola pikir orang di masa itu. Jika meninjau dari Ilmu Fisika, memang api yang padam akan berubah menjadi energi yang lain (transformasi energi). Namun yang ditekankan Sang Buddha bukan pada penjelasan ilmiahnya...
Perumpamaan api yang padam itu mengandung pesan bahwa: Api bisa ada karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu tidak mendukungnya, maka api itu tidak ada. Demikian pula kita yang terdiri dari nama (batin) dan rupa (fisik jasmani) bisa ada, karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu kita cabut, maka kita (nama dan rupa) tidak akan ada.
Silakan lanjutkan komentar Anda...
Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Api yang padam larinya kemana, ya tentu terurai dan melebur dengan udara, api tidak kemana-mana karena ia hanya terurai saja tetapi tidak lenyap. :)
_/\_
Perumpamaan yang dipakai Sang Buddha tentu saja mengikuti pola pikir orang di masa itu. Jika meninjau dari Ilmu Fisika, memang api yang padam akan berubah menjadi energi yang lain (transformasi energi). Namun yang ditekankan Sang Buddha bukan pada penjelasan ilmiahnya...
Perumpamaan api yang padam itu mengandung pesan bahwa: Api bisa ada karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu tidak mendukungnya, maka api itu tidak ada. Demikian pula kita yang terdiri dari nama (batin) dan rupa (fisik jasmani) bisa ada, karena ada sebab-sebab yang mendukungnya. Bila sebab-sebab itu kita cabut, maka kita (nama dan rupa) tidak akan ada.
Silakan lanjutkan komentar Anda...
bahkan untuk pola pikir masa kini juga perumpamaan Sang Buddha ini masih valid, api yg padam hanya padam, bukan terurai atau berubah, yg terurai dan berubah itu adalah materi yang terbakar itu, bukan apinya, eneri panas yg dihasilkan juga miungkin saja bertransformasi, tapi apinya tidak
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
Sudah saya sampaikan Sdr. Triyana2009, bahwa sumber link Lankavatara yang anda sampaikan merupakan sumber yang sama yang menjadi dasar saya memberikan argumen. Sebelum topik ini muncul pun saya sudah menelaah mengenai pemikiran yang muncul pada segelintir orang mengenai konsep True Self dalam Mahayana, khususnya pada sutra-sutra populer seperti Mahaparinirvana Sutra. Silahkan anda cari kalimat Sang Buddha dalam Lankavatara tersebut. http://lirs.ru/do/lanka_eng/lanka-nondiacritical.htm sebelum anda mengajukan sumber yang bukan sutra. Saya yakin tidak sulit kita mengartikan apa yang ada di sana, karena begitu jelas dan sutra merupakan sumber yang saih, katakanlah otoritas tertinggi untuk rujukan.
Nampaknya anda berusaha menghindar dari kenyataan yang ada dalam sutra dengan berusaha menyajikan sumber lain yang bukan sutra. Jika anda menyajikan sumber lain maka saya pun telah menyajikan sumber lain yaitu World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, tahun 1966 menyatakan dengan bulat bahwa semua tradisi Buddhisme mengajarkan mengenai anatman bukan atman. Karena nampaknya anda suka sumber dari wiki :
http://en.wikipedia.org/wiki/World_Buddhist_Sangha_Council
http://en.wikipedia.org/wiki/Basic_Points_Unifying_the_Theravada_and_Mahayana
Sekarang kita tinggal pilih, sutra atau non-sutra, seorang bhiksu atau dewan sangha sebagai rujukan. Jika sumber yang anda ajukan itu anda anggap benar hanya karena berbahasa Indonesia, saya rasa anda perlu mempertimbangkannya lagi, karena tidak semua terjemahan Indonesia benar-benar sesuai dengan apa yang ada.
ehipasshiko
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
Sudah saya sampaikan Sdr. Triyana2009, bahwa sumber link Lankavatara yang anda sampaikan merupakan sumber yang sama yang menjadi dasar saya memberikan argumen. Sebelum topik ini muncul pun saya sudah menelaah mengenai pemikiran yang muncul pada segelintir orang mengenai konsep True Self dalam Mahayana, khususnya pada sutra-sutra populer seperti Mahaparinirvana Sutra. Silahkan anda cari kalimat Sang Buddha dalam Lankavatara tersebut. http://lirs.ru/do/lanka_eng/lanka-nondiacritical.htm sebelum anda mengajukan sumber yang bukan sutra. Saya yakin tidak sulit kita mengartikan apa yang ada di sana, karena begitu jelas dan sutra merupakan sumber yang saih, katakanlah otoritas tertinggi untuk rujukan.
Nampaknya anda berusaha menghindar dari kenyataan yang ada dalam sutra dengan berusaha menyajikan sumber lain yang bukan sutra. Jika anda menyajikan sumber lain maka saya pun telah menyajikan sumber lain yaitu World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, tahun 1966 menyatakan dengan bulat bahwa semua tradisi Buddhisme mengajarkan mengenai anatman bukan atman. Karena nampaknya anda suka sumber dari wiki :
http://en.wikipedia.org/wiki/World_Buddhist_Sangha_Council
http://en.wikipedia.org/wiki/Basic_Points_Unifying_the_Theravada_and_Mahayana
Sekarang kita tinggal pilih, sutra atau non-sutra, seorang bhiksu atau dewan sangha sebagai rujukan. Jika sumber yang anda ajukan itu anda anggap benar hanya karena berbahasa Indonesia, saya rasa anda perlu mempertimbangkannya lagi, karena tidak semua terjemahan Indonesia benar-benar sesuai dengan apa yang ada.
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_Mengungkapkan suatu kebenaran bukanlah suatu yang mudah. Dalam mengungkapkan kebenaran perlu suatu cara yang benar dan tepat, tanpanya jangankan terungkap malah justru menjauhinya. Selain itu meskipun kebenaran itu sudah terbuka dan ada di hadapan mata namun tetap tidak terbuka karena kebebalan, kekeraskepalaan, ketinggihatian kita untuk mengakuinya.
bahkan untuk pola pikir masa kini juga perumpamaan Sang Buddha ini masih valid, api yg padam hanya padam, bukan terurai atau berubah, yg terurai dan berubah itu adalah materi yang terbakar itu, bukan apinya, eneri panas yg dihasilkan juga miungkin saja bertransformasi, tapi apinya tidak
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_Mengungkapkan suatu kebenaran bukanlah suatu yang mudah. Dalam mengungkapkan kebenaran perlu suatu cara yang benar dan tepat, tanpanya jangankan terungkap malah justru menjauhinya. Selain itu meskipun kebenaran itu sudah terbuka dan ada di hadapan mata namun tetap tidak terbuka karena kebebalan, kekeraskepalaan, ketinggihatian kita untuk mengakuinya.
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Maksud anda referensi yang lebih valid dari Wikipedia yang mana, coba tunjukan jangan asal komentar dong.... :)
Diskusi ini belum selesai jadi jangan ambil kesimpulan dulu ya ^-^
Kalo ada rekan yang komentar tapi belum saya jawab ya sabar dulu napa, saya kan gak isa online terus :)
_/\_
bahkan untuk pola pikir masa kini juga perumpamaan Sang Buddha ini masih valid, api yg padam hanya padam, bukan terurai atau berubah, yg terurai dan berubah itu adalah materi yang terbakar itu, bukan apinya, eneri panas yg dihasilkan juga miungkin saja bertransformasi, tapi apinya tidak
Memang masih valid. Yang hendak disampaikan Sang Buddha adalah "api ada karena beberapa sebab, dan ketika sebab itu dicabut; maka api itu akan padam dan tidak akan bisa membakar lagi".
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Maksud anda referensi yang lebih valid dari Wikipedia yang mana, coba tunjukan jangan asal komentar dong.... :)
Diskusi ini belum selesai jadi jangan ambil kesimpulan dulu ya ^-^
Kalo ada rekan yang komentar tapi belum saya jawab ya sabar dulu napa, saya kan gak isa online terus :)
_/\_
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana.
*kalau diskusi, jangan emosi; kalau emosi, jangan diskusi*
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Maksud anda referensi yang lebih valid dari Wikipedia yang mana, coba tunjukan jangan asal komentar dong.... :)
Diskusi ini belum selesai jadi jangan ambil kesimpulan dulu ya ^-^
Kalo ada rekan yang komentar tapi belum saya jawab ya sabar dulu napa, saya kan gak isa online terus :)
_/\_
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana.
*kalau diskusi, jangan emosi; kalau emosi, jangan diskusi*
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana = Kan belum saya jawab postingan dari rekan-rekan tersebut kok anda bisa ambil kesimpulan demikian, sabar ya..... ^-^
_/\_
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Maksud anda referensi yang lebih valid dari Wikipedia yang mana, coba tunjukan jangan asal komentar dong.... :)
Diskusi ini belum selesai jadi jangan ambil kesimpulan dulu ya ^-^
Kalo ada rekan yang komentar tapi belum saya jawab ya sabar dulu napa, saya kan gak isa online terus :)
_/\_
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana.
*kalau diskusi, jangan emosi; kalau emosi, jangan diskusi*
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana = Kan belum saya jawab postingan dari rekan-rekan tersebut kok anda bisa ambil kesimpulan demikian, sabar ya..... ^-^
_/\_
postingan mereka bukan baru muncul hari ini, udah ada sejak kemarin dan kemarinnya lagi
Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,Namo Buddhaya,
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Bro Triyana, mungkin jika anda menjelaskan maksud dan tujuan anda seperti disinggung oleh Bro Kelana di atas, kami mungkin bisa lebih menyesuaikan diri dengan anda dalam diskusi ini
Kita semua menginginkan kebenaran dan bukan kepalsuan bukan, kalo memang sama ya kita bilang sama kalo tidak ya kita bilang tidak, tidak lebih dan tidak kurang. _/\_
_/\_
baiklah, sejauh ini semua fakta mengarah pada TIDAK SAMA, tapi silahkan dilanjutkan
Lho jangan putar balikkan fakta to, sejauh ini semua fakta mengarah pada SAMA, mana yang tidak sama coba tunjukkan. :)
_/\_
dari semua member yg mengikuti thread ini, cuma anda yg bilang SAMA, member lainnya mengatakan TIDAK SAMA dengan referensi yg lebih valid daripada wiki, dan anda mengatakan saya memutarbalikkan fakta?
Maksud anda referensi yang lebih valid dari Wikipedia yang mana, coba tunjukan jangan asal komentar dong.... :)
Diskusi ini belum selesai jadi jangan ambil kesimpulan dulu ya ^-^
Kalo ada rekan yang komentar tapi belum saya jawab ya sabar dulu napa, saya kan gak isa online terus :)
_/\_
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana.
*kalau diskusi, jangan emosi; kalau emosi, jangan diskusi*
silahkan anda baca postingan dari rekan Xenocross dan rekan Kelana = Kan belum saya jawab postingan dari rekan-rekan tersebut kok anda bisa ambil kesimpulan demikian, sabar ya..... ^-^
_/\_
postingan mereka bukan baru muncul hari ini, udah ada sejak kemarin dan kemarinnya lagi
Yang mana bung SILAHKAN TUNJUK, yang dulu-kan sudah saya jawab, yang baru ya sabar dulu ya :))
_/\_
Namo Buddhaya,Sebuah rujukan:
_____
The Blessed One replied: No, Mahamati, my Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness. I also wish, Mahamati, that the Bodhisattva-Mahasattvas of the present and future would not attach themselves to the idea of an ego [imagining it to be a soul] (atman). Mahamati, it is like a potter who manufactures various vessels out of a mass of clay of one sort by his own manual skill and labour combined with a rod, water, and thread, Mahamati, that the Tathagatas preach the egolessness of things which removes all the traces of discrimination by various skilful means issuing from their transcendental wisdom, that is, sometimes by the doctrine of the Tathagata-garbha, sometimes by that of egolessness, and, like a potter, by means of various terms, expressions, and synonyms. For this reason, Mahamati, the philosophers' doctrine of an ego-substance is not the same as the teaching of the Tathagata-garbha. Thus, Mahamati, the doctrine of the Tathagata-garbha is disclosed in order to awaken the philosophers from their clinging to the idea of the ego, so that those minds that have fallen into the views imagining the non-existent ego as real, and also into the notion that the triple emancipation is final, may rapidly be awakened to the state of supreme enlightenment. Accordingly, Mahamati, the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones disclose the doctrine of the Tathagata-garbha which is thus not to be known as identical with the philosopher's notion of an ego-substance. Therefore. Mahamati, in order to abandon the misconception cherished by the philosophers, you must strive after the teaching of egolessness and the Tathagata-garbha.
(Lankavatara Sutra - Bab 6 Transcendental Intelligence)
--------
Sebuah rujukan dalam sutra Mahayana dimana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tidak mengajarkan adanya Atman Sejati seperti dalam agama lain (Brahmansime). Beliau menggunakan istilah-istilah, Tathagata-garbha, Aku-Sejati, Dharmakaya sebagai upaya kausalya untuk mereka-mereka yang masih melekat pada konsep atman.
Hmm tampaknya anda keliru memahami Arya Lankavatara Sutra silahkan dibaca pembahasan lengkap berikut ini :
Ini adalah pendalaman dan kajian lengkap oleh D.T Suzuki atas Arya Lankavatara Sutra :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Suzuki_Studies_in_the_Lankavatara.pdf
Kajian yang dilakukan oleh Jidiko Takasaki :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/jikido-analysis.pdf
Kajian lainnya :
http://lirs.ru/do/lanka_eng/Discourse_in_Lankavatara(Hamlin)ocr_jbig2.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/The_Lankavatarasutra_in_Early_Indian_Madhyamaka_Literature,Lindtner,AS,1992.pdf
http://lirs.ru/do/lanka_eng/A_Note_on_Vasubandhu_and_Lankavatarasutra,Schmithausen,AS,1992.pdf
The Laṅkāvatāra Sūtra draws upon the concepts and doctrines of Yogācāra and Tathāgatagarbha.[1] The most important doctrine issuing from the Laṅkāvatāra Sūtra is that of the primacy of consciousness (Skt. vijñāna) and the teaching of consciousness as the only reality. The sūtra asserts that all the objects of the world, and the names and forms of experience, are merely manifestations of the mind. The Laṅkāvatāra Sūtra describes the various tiers of consciousness in the individual, culminating in the "storehouse consciousness" (Skt. Ālayavijñāna), which is the base of the individual's deepest awareness and his tie to the cosmic.[citation needed]
Yogacara and the Absolute
Another scholar sees a Buddhist Absolute in Consciousness. Writing on the Yogacara school of Buddhism, Dr. A. K. Chatterjee remarks: "The Absolute is a non-dual consciousness. The duality of the subject and object does not pertain to it. It is said to be void (sunya), devoid of duality; in itself it is perfectly real, in fact the only reality ...There is no consciousness of the Absolute; Consciousness is the Absolute.
The same Zen adept, Sokei-An, further comments:
The creative power of the universe is not a human being; it is Buddha. The one who sees, and the one who hears, is not this eye or ear, but the one who is this consciousness. This One is Buddha. This One appears in every mind. This One is common to all sentient beings, and is God.
Mahayana Buddhism is not only intellectual, but it is also devotional ... in Mahayana, Buddha was taken as God, as Supreme Reality itself that descended on the earth in human form for the good of mankind. The concept of Buddha (as equal to God in theistic systems) was never as a creator but as Divine Love that out of compassion (karuna) embodied itself in human form to uplift suffering humanity. He was worshipped with fervent devotion... He represents the Absolute (paramartha satya), devoid of all plurality (sarva-prapancanta-vinirmukta) and has no beginning, middle and end ... Buddha ... is eternal, immutable ... As such He represents Dharmakaya.
The Zen Buddhist master, Sekkei Harada, likewise speaks of a true Self in his explications of Zen Buddhism. This true Self is found when one "forgets the ego-self".Harada states that the doctrine of "no-self" really means awakening to a self that is without any limits and thus invisible: "No-self means to awaken to a Self that is so vast and limitless that it cannot be seen.Harada concludes his reflections on Zen Buddhism by speaking of the need for an almost passionate encounter with the "person" of the essential True Self:
… in our lifetime there is only one person we must encounter, one person we must meet as though we were passionately in love. That person is the essential Self, the true Self. As long as you don’t meet this Self, it will be impossible to find true satisfaction in your heart …
_/\_
Saya rasa anda yang salah Sdr. Triyana2009. Dalam Sutra jelas dinyatakan.:
Tathagata-garbha is not the same as the ego (atman) taught by the philosophers; for what the Tathagatas teach is the Tathagata-garbha in the sense, Mahamati, that it is emptiness, reality-limit, Nirvana, being unborn, unqualified, and devoid of will-effort; the reason why the Tathagatas who are Arhats and Fully-Enlightened Ones, teach the doctrine pointing to the Tathagata-garbha is to make the ignorant cast aside their fear when they listen to the teaching of egolessness and to have them realise the state of non-discrimination and imagelessness.
Dan sumber yang saya ambil adalah sumber yang anda ajukan, dan telah saya teliti sebelumnya sebelum topik ini ada.
Saya kutip berikut penjelasan dalam sumber yang sama yang anda ajukan
----------
The more ordinary expressions given to the highest reality known as Citta are Tathata, "suchness" or "thusness", Satyata, "the state of being true", Bhutata, "the state of being real", Dharmadhatu, "realm of truth", Nirvana, the Permanent (nitya), Sameness (samata), the One (advaya), Cessation (nirodha), the Formless (animitta), Emptiness (sunyata), etc.
From these descriptions it is found natural for Mahayanists psychologically to deny the existence of an ego-soul or ego-substance in the Alaya, and ontologically to insist that the tragedy of life comes from believing in the substantiality or finality of an individual object. The former is technically called the doctrine of Pudgalanairatmya, egolessness of persons,1 and the latter that of Dharmanairatmya, egolessness of things; the one denies the reality of an ego-soul and the other the ultimacy of an individual object.
Superficially, this denial of an Atman in persons and individual objects sounds negative and productive of no moral signification. But when one understands what is ultimately meant by Cittamatra (Mind-only) or by Vivikta-dharma (the Solitary), the negations are on the plane of relativity and intellection.
---------------
Jadi baik dalam sutra maupun penjelasan sudah jelas, terang benderang dan tidak perlu ditafsirkan macam-macam bahwa Mahayana juga tidak mengajarkan adanya atman sejati, tetapi menggunakannya untuk suatu pendekatan agar orang yang masih melekat pada atta/atman mau belajar dan memahami. Begitu juga Master Zen, Sekkei Harada menggunakan istilah "true Self is found when one "forgets the ego-self" adalah usaha pendekatan agar pemikiran orang yang masih melekat pada Atman dapat memahaminya. Penjelasan saya ini sama seperti penjelasan Sang Buddha dalam Lankavatara Sutra yang memang mengatakan demikian. Jadi tinggal anda pilih lebih percaya pada pendapat pribadi anda atau dengan ucapan Sang Buddha yang sudah jelas terdapat dalam sutra.
Lagi, dalam World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, tahun 1966 menyatakan dengan bulat bahwa semua tradisi Buddhisme mengajarkan mengenai anatman bukan atman. Jika saya salah berarti anda menepis kebenaran yang terkandung dalam Lankavatara Sutra yang disabdakan Sang Buddha sendiri dan World Buddhist Sangha Council yang jelas-jelas mengatakan bahwa tidak ada atman.
Saya tidak tahu tujuan anda membahas ini dan berusaha keras menyama-samakan ajaran Buddha dengan Hinduisme. Saya katakan anda akan sia-sia, karena dari pengamatan saya, memang tidak sama.
Saya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
saya ubek2 koleksi ebook saya nih
Q : A re you familiar with the Hindu concepts of atman and brahman ?
Lama: While Hindu philosophy accepts the idea of a soul [atman], Buddhism does not. We completely deny the existence of a self-existent I, or a permanent, independent soul. Every aspect of your body
and mind is impermanent: changing, changing, changing. . . .
Buddhists also deny the existence of a permanent hell. Every pain, every pleasure we experience is in a state of constant flux; so transitory, so impermanent, always changing, never lasting. Therefore,
recognizing the dissatisfactory nature of our existence and renouncing the world in which transitory sense objects contact transitory sense organs to produce transitory feelings, none of which are worth
grasping at, we seek instead the everlasting, eternally joyful realizations of enlightenment or nirvana.
(hal 43)
Lama: Philosophically, the soul can be interpreted in a number of ways. In Christianity and Hinduism, the soul is different from the mind and is considered to be something permanent and self-existent.
In my opinion, there’s no such thing. In Buddhist terminology, the soul, mind or whatever you call it is ever-changing, impermanent. I don’t really make a distinction between mind and soul, but within yourself you can’t find anything that’s permanent or selfexistent.
With respect to mental problems, don’t think that the mind is totally negative; it’s the uncontrolled mind that causes problems. If you develop the right kind of wisdom and thereby recognize
the nature of the uncontrolled mind, it will automatically disappear.
But until you do, the uncontrolled mind will completely dominate you.
(hal 62)
Q: What is our mind’s true nature and how do we go about recognizing it?
Lama: There are two aspects to the mind’s nature, the relative and the absolute. The relative is the mind that perceives and functions in the sense world. We also call that mind dualistic and because of
what I describe as its “that-this” perception, it is totally agitated in nature. However, by transcending the dualistic mind, you can unify your view. At that time you realize the absolute true nature of the
mind, which is totally beyond the duality. In dealing with the sense world in our normal, everyday, mundane life, two things always appear. The appearance of two things always creates a problem. It’s
like children—one alone is OK, two together always make trouble.
Similarly, as our five senses interpret the world and supply dualistic information to our mind, our mind grasps at that view, and that automatically causes conflict and agitation. This is the complete
opposite of the experience of inner peace and freedom. Therefore, by reaching beyond that you will experience perfect peace. Now, this is just a short reply to what you asked and perhaps it’s unsatisfactory,
because it’s a big question. What I’ve said is merely a simple introduction to a profound topic. However, if you have some background in this subject, my answer might satisfy you.
(hal62-63)
Becoming Your Own Therapist
New Expanded Edition
Including
Make Your Mind an Ocean
Lama Yeshe
LAMA YESHE WISDOM ARCHIVE • BOSTONSaya yakin anda belum baca link yang saya kasih, betul begitu bukan ? :)
Buat mempermudah anda silahkan baca :
Dalam Yogacara ada Kesadaran Kebuddhaan yang disebut Sugatagarbha (baca buku Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang karya Vidyadara Chogyam Trungpa), tentang Kesadaran Terdalam kita yang kekal (baca buku Setenang Dasar Lautan karya Lama Yeshe cari disesi tanya jawab), tentang Kesadaran (baca buku Belaskasih Universal karya H.H. YA. Dalai Lama bagian Kesadaran).
Semuanya terbitan Karaniya dan dalam bahasa Indonesia tentunya.
_/\_
saya ubek2 koleksi ebook saya nih
Q : A re you familiar with the Hindu concepts of atman and brahman ?
Lama: While Hindu philosophy accepts the idea of a soul [atman], Buddhism does not. We completely deny the existence of a self-existent I, or a permanent, independent soul. Every aspect of your body
and mind is impermanent: changing, changing, changing. . . .
Buddhists also deny the existence of a permanent hell. Every pain, every pleasure we experience is in a state of constant flux; so transitory, so impermanent, always changing, never lasting. Therefore,
recognizing the dissatisfactory nature of our existence and renouncing the world in which transitory sense objects contact transitory sense organs to produce transitory feelings, none of which are worth
grasping at, we seek instead the everlasting, eternally joyful realizations of enlightenment or nirvana.
(hal 43)
Lama: Philosophically, the soul can be interpreted in a number of ways. In Christianity and Hinduism, the soul is different from the mind and is considered to be something permanent and self-existent.
In my opinion, there’s no such thing. In Buddhist terminology, the soul, mind or whatever you call it is ever-changing, impermanent. I don’t really make a distinction between mind and soul, but within yourself you can’t find anything that’s permanent or selfexistent.
With respect to mental problems, don’t think that the mind is totally negative; it’s the uncontrolled mind that causes problems. If you develop the right kind of wisdom and thereby recognize
the nature of the uncontrolled mind, it will automatically disappear.
But until you do, the uncontrolled mind will completely dominate you.
(hal 62)
Q: What is our mind’s true nature and how do we go about recognizing it?
Lama: There are two aspects to the mind’s nature, the relative and the absolute. The relative is the mind that perceives and functions in the sense world. We also call that mind dualistic and because of
what I describe as its “that-this” perception, it is totally agitated in nature. However, by transcending the dualistic mind, you can unify your view. At that time you realize the absolute true nature of the
mind, which is totally beyond the duality. In dealing with the sense world in our normal, everyday, mundane life, two things always appear. The appearance of two things always creates a problem. It’s
like children—one alone is OK, two together always make trouble.
Similarly, as our five senses interpret the world and supply dualistic information to our mind, our mind grasps at that view, and that automatically causes conflict and agitation. This is the complete
opposite of the experience of inner peace and freedom. Therefore, by reaching beyond that you will experience perfect peace. Now, this is just a short reply to what you asked and perhaps it’s unsatisfactory,
because it’s a big question. What I’ve said is merely a simple introduction to a profound topic. However, if you have some background in this subject, my answer might satisfy you.
(hal62-63)
Becoming Your Own Therapist
New Expanded Edition
Including
Make Your Mind an Ocean
Lama Yeshe
LAMA YESHE WISDOM ARCHIVE • BOSTON
www.fpmt.org
[/B]
www.fpmt.org
aduh masih belum ngerti juga ya....
ini aku copas lagi ya, dari buku yang bahas filosofi Madhyamika
Introduction to the Middle Way
Chandrakirti’s Madhyamakavatara
With commentary by Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche
Given at the Centre d’Etudes de Chanteloube
Dordogne, France
1996, 1998, 1999, 2000
Arranged according to Gorampa’s commentary
Edited by Alex Trisoglio
© 2003 by Khyentse Foundation
(a) Autogenesis (Self-Arising)
Here our symbolic opponents are the Samkhya school, which was founded by Kapila, who is
thought to have lived in the 7th century BC. It advocates a quite complicated dualistic vision of
the universe, starting with the old question, what is the universe made of. It leads on to questions
about the true self or, more accurately, telling the true self from that which appears to be self.
According to the Samkhyas, there are two basic categories in the universe: purusha and prakriti.
They say that the history of the world is the history of these two fundamental constituents, which
is quite different from Upanishad thought. From this simple dualism develops a very complex
set of interrelations between purusha, which is like the spirit of atman, and prakriti, which is like
the matter of original nature. The nature of purusha is spirit; it is many spirits. It is being,
consciousness. It is limitless, untainted awareness.
The Samkhyas argue that the world is formed as purusha infuses prakriti, and thereby stimulates
the three states of prakriti, which are called the three gunas. These are activity (rajas in
Sanskrit), inactivity (tamas) and transparency (sattva). This is a very interesting theory – it is the
highest Hindu philosophy. If you are not careful when explaining the Buddha nature, you might
end up talking about something more like purusha.
(hal 89)
kalau mau bukunya pm saya email, akan saya kirim, dalamnya isinya bantah Atman dan Tuhan dll
pm aja email anda
soalnya itu ebook yang agak susah didapat, gak ada link donlodnya
Di dalam buku itu jelas menerangkan bahwa kesadaran keBuddhaan itu bukan Atman, dan dikatakan adalah upaya kausalya untuk menarik ...ehem... orang Hindu supaya bisa tertarik belajar agama Buddha, biar gak shock gitu dengan konsep Sunyata
http://khyentsefoundation.com/2004/07/original-publications/
introduction to middle way
silahkan donlod disitu, tapi harus daftar dulu dll. Makanya saya bilang repot nyarinya
sekalian donlod Buddha-Nature/Uttaratantra
bandingkan dengan atman. Beda koook...
Namo Buddhaya,
Saya membuat topik ini karena setelah banyak membaca literatur Agama Hindu saya menemukan banyak sekali kesamaan dengan Agama Buddha bahkan bisa dibilang sama namun hanya berbeda dalam bahasa saja tapi tidak dalam arti.
Saya mengajak kawan-kawan semua untuk berdiskusi disini tetapi mohon tetap dalam koridor etika yang telah disepakati sehingga tidak menyinggung umat Agama Hindu.
Terima kasih banyak untuk partisipasinya.
_/\_