Ya tidak bisa begitu donk. Kalau dikejar lantas bilang "diluar konsep." Apa bedanya dengan umat agama lain yang kalau diajak debat lantas bilang "T****N itu di luar konsep manusia." Ini tidak adil, rekan2 non Mahayana selalu mengejar rekan2 Mahayana dan meminta jawaban yang definitif. Tetapi waktu ditanya dengan pertanyaan di atas lantas dengan mudahnya menjawab "di luar konsep," "pertanyaan tidak valid," dan bla...bla...bla.. Mana letak keadilannya. Supaya adil saya juga mau bilang ah: "Dharmakaya berada di luar konsep, sehingga "ada" dan "tiada" juga tidak valid." Habis perkara bukan? Pelajaran yang bisa diambil adalah: Kita semua adalah tukang bajak atau contek dari buku yang disebut Sutta, Sutra, tulisan para guru sesepuh, buku Dhamma, buku Dharma, dan entah apa lagi. Kita semua cuma debatin buku, sehingga pada akhirnya tidak akan ada ujung pangkalnya. Dengan demikian "pertanyaan kritis terhadap Mahayana juga tidak valid."
Sebagai tambahan, apa yang diungkapkan pada Aggi Vacchagota Sutta itu hanya dapat diselami oleh orang yang sudah bebas dualisme, tetapi kita semua di sini belum; jadi jangan mencoba "melarikan diri" dengan jawaban semacam itu. Tetapi kalau masih memaksa "lari" dengan jawaban semacam itu, rekan2 Mahayana juga berhak "lari" dengan cara yang sama.
Kenyataannya memang Nibbana dlm aspek transendental adlh di luar konsep. Jika orang membandingkan dg T***N di konsep agama lain, yah silakan. Kita bukan harus mencari eksklusivitas toh? Kenyataannya yg Sang Buddha ajarkan adlh Dhamma, kebenaran. Bkn Buddhisme, generasi selanjutnya yg mengkotakkan. Sang Buddha sendiri mengatakan, bila ada 4KM & JMB8, maka ada arahat. Toh 'nibbana' itu hny istilah dlm bahasa Pali toh?
Boleh saja Anda mengatakan Dharmakaya di luar konsep, tp Anda telah salah dng mencoba menjelaskan Dharmakaya sebelumnya, seperti pula dlm sedikit yg pernah saya baca ttg tulisan2 kaum Mahayanis. Sama kontradiktifnya dg umat T***N yg mengatakan T***N di luar konsep tp kemudian mencoba mendeskripsikan T***N lagi.
Jadi sama kontradiktifnya jika saya mencoba menjelaskan hal yg sudah saya katakan di luar konsep.
Krn itu saya tidak dapat menjelaskan lebih jauh. Terlebih saya belum merealisasikan scr langsung.
Menarik sekali. Jadi nibanna dengan sisa itu tidak memadamkan pancakkhandha bukan? Jadi yang memadamkan pancakkhanda adalah nibanna tanpa sisa yang dicapai melalui proses kematian. Oleh karena itu, nibanna tanpa sisa jadi dikondisikan oleh kematian donk? Atau seseorang mungkin mengalami nibanna tanpa sisa tanpa harus mengalami kematian? Kalau "padam" tidak berarti "tidak ada," maka begitu pula umat Mahayana berhak mengatakan suatu "penjelmaan" Dharmakaya dalam wujud Nirmakaya hendaknya tidak diartikan sebagai "ada." Hayoo yang adil ya......
Kesadaran yang mengenali pencapaian pencerahan kayaknya menarik. Sekarang pertanyaannya APA yang dikenali oleh vijnana tersebut sebagai telah mencapai pencerahan? Secara logika, bila Anda mengenali sesuatu, maka harus ada SESUATU yang dikenali bukan? Nah apakah yang dikenali itu? Atta atau bukan? Kalau bukan atta lantas apa?
Karena sesuai pengertian Saupadisesa Nibbana dan Anupadisesa Nibbana, jadi ya, harus setelah penghancuran pancakkhandha barulah tercapai Anupadisesa Nibbana, yg tdk mengandung sisa unsur kehidupan. Krn sesuai dg yg telah diajarkan Sang Buddha ttg Sankhata: Apapun yg terbentuk, akan hancur. Kongruen pula dg doktrin Anicca dan Anatta.
Silakan buka kamus dan bandingkan antara 'padam' dgn 'tidak ada'.
Ya, memang menarik. Apa yg dikenali oleh vinnana belum tentu harus identik dg diri. Melainkan Vinnana mengenali terutama lenyapnya avijja dan tanha. Membandingkan dg 10 belenggu, vinnana mengenali pula lenyapnya 10 belenggu. Membandingkan dg 7 faktor pencerahan, vinnana mengenali adanya ke-7 faktor tsb. Tidak perlu ada diri di sana yg dibebaskan. Melainkan unsur2 yg muncul, terbentuk dan hancur. Haruskah saya posting cerita yg berulang kali telah diposting oleh Sdr. Dilbert?
Kalau bukan mampu atau tidak mampu terus apa? Sekali lagi ini jawaban yang ngambang dan tidak menjawab pertanyaannya. Kalau rekan Mahayana yang memberikan jawaban macam begitu, pasti deh rekan-rekan non Mahayana dengan "buas" akan mengejarnya habis-habisan. Sekarang saya tanya balik berdasarkan jawaban Anda. Jika Sang Buddha tidak ingin pertanyaannya dijawab oleh Ambattha, lalu mengapa ia menanyakannya sampai berulang2? Apalagi menurut saya pertanyaan itu adalah masalah sepele, yakni tinggi dan rendahnya derajat (Ambattha merasa keturunan Brahmana dan merasa lebih tinggi dari keturunan Khattiya). Apakah mendorong Buddha untuk menanyakan hal itu hingga berulang-ulang? Apakah Buddha menginginkan jawaban?
Anda bilang: "Tidak krn berbelas kasih lantas harus menghentikan apa yg harus terjadi, seorang arahat tidak lagi memiliki 'tanha' toh? Berhati2 dg cara pandang dan pola pikir yg naif, idealistis, krn Buddhism adlh ajaran yg realistis."
Pertanyaan saya: "Jadi menurut Anda membiarkan atau tidak mencegah kepala seseorang hancur dihajar gada hanya karena tidak menjawab suatu pertanyaan adalah tindakan yang sangat realistis ya?"
Bukan ngambang, tp memang pertanyaan 'mampu-tak mampu' itu sendiri tidak 'apply' pd masalah tsb. Spt pd kasus genosida suku Sakya o/ Pangeran Virudhaka, stlh Sang Buddha mencoba mencegah bbrp kali, tetapi tetap dilakukan oleh pangeran tsb. Apakah itu berarti Sang Buddha tidak mampu menghentikan genosida tsb? Atau krn Sang Buddha egois dan tidak peduli? Kenyataannya Sang Buddha tlh melihat terlebih dahulu bahwa buah kamma orang2 sakya telah matang.
Jadi spt dlm hal Ambattha, krn dia yg memulai perdebatan tsb, dia yg menuai hasil toh? Saat dia tdk bs menjawab, jika krn hal itu dan bbrp hal lain spti kammanya telah siap masak. Kenapa tidak realistis bila kepalanya hancur? Jika tidak siap dg konsekuensi, tentu dia tidak perlu memulai perdebatan dg Sang Buddha kan? Jd wajar Sang Buddha menuntut jawaban drnya, agar diskusi berjalan lancar. Ibarat membangunkan macan tidur. Kalau ga siap dimangsa ya jangan coba2.
Oleh krn belas kasihnya maka Sang Buddha menganjurkan pd dia utk menjawab, dg begitu mencegah dan menghindarkan pemuda Ambattha dr kematian.
Krn jika Sang Buddha berusaha merubah hukum kamma (menghentikan tindakan Vajirapani), menurut saya beliau bukan seorang Samma Sambuddha. Paling banter selevel Mr. J**** deh yg melawan hukum kamma, spti membangkitkan orang mati dll.
Sumbernya ya sama. Yang pasti Bhikkhu Sati sampai menunduk malu. Entah itu disebut "hardik" atau tidak, saya tidak tahu. Apakah bijaksana misalnya bila Anda berbuat salah, lalu boss Anda memarahi Anda di hadapan karyawan lainnya?
Jika Boss saya memarahi di hadapan karyawan lain dg tujuan agar yg lain tidak mengulangi kesalahan yg seperti saya lakukan di lain waktu. Menurut Anda itu bijaksana atau tidak?
Sama juga lah. Rekan-rekan non Mahayanis juga suka ditanya buah sukun yang dijawab malah buah mangga. Suka lari dengan menyatakan "wah pertanyaannya tidak valid" de el el... de el el.
Sang Buddha tidak mengajar siapa-siapa waktu berjalan dan mengucapkan Raungan Singa di Taman Lumbini? Menarik sekali! Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu ceritera itu? Siapa yang menceritakan dan siapa yang diceritakan dan siapa saksinya?
Berasumsi bahwa tidak ada perubahan spt penambahan bumbu dlm kanon Buddhis, maka Sang Buddha tentunya yg mengulangi cerita tsb.
Dan ingat, yg saya tuliskan sebelumnya adl mengikuti tulisan Anda, bahwa 'bayi bodhisattva Siddhartha' yg mengajarkan. Maka saya tidak melihat adanya kesalahan dlm tulisan saya, memangnya saat itu bayi bodhisattva Siddhartha telah mengajar orang? Dlm non-mahayanis sih tidak. Tp ngga tau sih kalo dlm kitab Mahayanis, krn yah.. bisa jadi Sang Buddha time travel ke saat masih bayi dan mengajar. Yah.. penuh cerita mujizat sih dlm Mahayana. Mirip2 ama dongeng2 agama tetangga. Gak heran pemeluk agama Buddha di tanah air akhir jaman Majapahit berbondong2 memeluk agama lain. Krn lebih byk lg mujizatnya.