Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Komunitas => Keluarga & Teman => Topic started by: rika on 24 October 2008, 04:42:20 PM

Title: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: rika on 24 October 2008, 04:42:20 PM
Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
oleh: Dr. Christina Siwi Handayani


Di sebuah shopping arcade di pusat kota Kyoto, saat sedang menikmati
segelas cappucino sambil mengamati orang berbelanja, tiba-tiba saya
dikejutkan suara keras tangisan anak kecil. Rupanya ada gadis kecil
berumur 4 tahunan tersandung dan jatuh. Lututnya berdarah. Kami heran
ketika melihat respons ibunya yang hanya berdiri sambil mengulurkan
tangan ke arah gadis kecilnya tanpa ada kemauan untuk segera meraih
anaknya. Cukup lama. Beberapa menit adegan ini berlangsung. Si ibu tetap
sabar dan keras hati untuk menunggu anaknya menyelesaikan sendiri rasa
shock dan sakitnya. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya si gadis
kecil mulai berusaha berdiri lagi, dan dengan bantuan kecil tangan
ibunya dia kembali berdiri. Masih sambil terisak-isak ia pun berjalan
lagi.

Dalam benak saya waktu itu, kok tak punya hati ibu si gadis kecil ini?
Tega membiarkan anaknya dalam kondisi kesakitan. Ingatan langsung
terbang ke Indonesia. Jika kejadian yang sama terjadi di Kota Jakarta
ataupun Yogyakarta, saya yakin si ibu pasti akan langsung meraih dan
menggendong untuk menenangkan anaknya.

Dari adegan itu, bisa kita bayangkan perbedaan cara pengasuhan anak
Jepang dan anak Indonesia. Dari pengamatan saya selama hampir setahun
tinggal di Jepang, anak Jepang cenderung dibiasakan dari kecil untuk
mengatasi berbagai kesulitan sendiri, sementara anak Indonesia selalu
disediakan asisten untuk mengatasi kesulitannya. Babysitter atau
pembantu rumah tangga pun tidak ada dalam kebiasaan keluarga-keluarga di
Jepang. Sebaliknya di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan lain-lain kehadiran mereka wajib ada
sebagai asisten keluarga maupun sebagai asisten anak-anaknya.

Dalam sebuah studi perbandingan yang dilakukan oleh Heine, Takata dan
Lehman pada tahun 2000 yang melibatkan responden dari mahasiswa Jepang
dan mahasiswa Kanada dinyatakan bahwa mahasiswa Jepang lebih tidak
peduli dengan inteligensi dibandingkan orang Kanada. Hal ini disebabkan
orang Jepang lebih menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras
daripada berdasarkan kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang
kemauan untuk menderita dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih
penting daripada kemampuan dasar manusia seperti inteligensi.

Dalam keseharian dengan mudah kita dapat menyaksikan mereka selalu
berjalan dalam ketergesaan karena takut kehilangan banyak waktu,
disiplin dan selalu bekerja keras. Suasana kompetitif dan kemauan untuk
menjadi yang lebih baik (yang terbaik) sangat menonjol. Studi ini juga
menemukan bahwa orang Jepang memiliki budaya kritik diri yang tinggi,
mereka selalu mencari apa yang masih kurang di dalam dirinya. Untuk
kemudian mereka akan segera memperbaiki diri.

Lain lagi Indonesia, yang saat ini terjebak dalam kesalahan umum di mana
hasil akhir menjadi segala-galanya. Hasil akhir lebih dihargai
dibandingkan usaha keras. Tengok saja kompetisi yang terjadi dari anak
usia sekolah tingkat SD hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai
kelulusan yang tinggi. Guru, orang tua maupun masyarakat umum selalu
menekan anak untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi, sehingga
mereka pun menghalalkan segala cara. Kita baca di koran polisi menangkap
para guru karena berlaku curang dalam ujian nasional, sementara di
tempat lain orang tua membeli soal ujian, siswa menyontek dan lain
sebagainya.

Pola pengasuhan ini, pada gilirannya pasti berperan besar dalam
pembentukan karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Oleh karenanya,
memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan semua
potensinya adalah satu prinsip dasar dari satu pola pengasuhan yang
sangat baik bagi pembentukan karakter anak. Orang tua, asisten, atau pun
orang yang lebih dewasa jangan mengambil alih tanggung jawab anak.

Sebagai contoh, beri kesempatan pada anak untuk belajar makan secara
benar dengan tangannya sendiri sejak dia mampu memegang sendok. Jangan
diambil alih hanya karena alasan akan membuat kotor. Atau beri
kesempatan pada anak untuk menghadapi dunia sekolah pertama kali tanpa
banyak intervensi dari pengasuh maupun orang tua. Memberi rasa aman pada
anak memang penting jika diberikan pada saat yang tepat. Tetapi
menunggui anak selama dia belajar di sekolah adalah pemberian rasa aman
yang tidak perlu. Momen ini adalah momen penting bagi anak untuk belajar
menghadapi dunia di luar rumah tanpa bantuan langsung orang-orang di
sekitarnya.

Pengalaman anak merasa mampu menghadapi persoalan dengan kemampuannya
sendiri akan menumbuhkan kepercayaan diri. Oleh karena itu, orang tua
sebaiknya membatasi diri hanya menjadi partner diskusi yang membantu
anak menemukan berbagai kemungkinan solusi. Orang tua kadang harus
berteguh hati membiarkan anak mengalami rasa sakit, menderita, dan rasa
tertekan dalam isi dan porsi yang tepat, karena hal itu akan sangat baik
untuk perkembangan mental anak.

Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan hidup
dan tidak mudah menyerah. Hargai anak bukan dari hasil akhirnya
melainkan dari proses perjuangannya. Anak perlu diberi pembelajaran (dan
juga orang tua perlu belajar) untuk bisa menikmati dan menghargai
proses, meskipun proses seringkali tidak nyaman.

Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

kompas.com


sory kalo repost del aja

 _/\_
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: iwakbelido on 23 December 2008, 03:16:59 PM
nice article! thanks a lot dah share di sini _/\_
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: K.K. on 23 December 2008, 04:49:45 PM
Quote
Hal ini disebabkan
orang Jepang lebih menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras
daripada berdasarkan kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang
kemauan untuk menderita dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih
penting daripada kemampuan dasar manusia seperti inteligensi.

Itulah Jepang, makanya biarpun kena bom atom 2x, masih tetap jadi salah satu negara yang hebat. Mereka punya ungkapan, 七転び八起き (tujuh kali jatuh, bangun delapan kali).
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: Forte on 23 December 2008, 06:21:47 PM
Quote
Hal ini disebabkan
orang Jepang lebih menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras
daripada berdasarkan kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang
kemauan untuk menderita dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih
penting daripada kemampuan dasar manusia seperti inteligensi.

Itulah Jepang, makanya biarpun kena bom atom 2x, masih tetap jadi salah satu negara yang hebat. Mereka punya ungkapan, 七転び八起き (tujuh kali jatuh, bangun delapan kali).

yup.. slogan shichi korobi yaoki ki memang pantas ditiru.. :)
Teman saya cerita.. untuk menjadi seorang PNS di sana juga tidak gampang.. ada 3x ujian.. dan ujian terakhir hanya 1 orang yang bisa lolos..

Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: Huiono on 23 December 2008, 06:31:15 PM
Hmm...

Benar2 contoh yg sangat baik...
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: Sumedho on 23 December 2008, 06:38:55 PM
Kalau di indo?
Jatuh 5 kali, malas bangun 10 kali hehehee
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: N1AR on 23 December 2008, 07:08:30 PM
 lumayanlah untung masih ada kata bangunnya   [at] -)
Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: K.K. on 24 December 2008, 09:04:05 AM
Di Indo, etos yang berkembang: jatuh sekali cari kambing hitam. Jatuh dua kali nyalahin Iblis. Jatuh tiga kali nyalahin Tuhan. Lebih tiga kali udah kebal, ga berasa jatuh.

Title: Re: Belajar Dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang
Post by: Reenzia on 24 December 2008, 09:22:17 AM
 [at] ko kaiyn

=))

yg parahnya lagi kalo uda jatuh menyalahkan org tus mencari jalan kekerasan, drugs, menjadi gila, dll