***Hanya sebatas konsep belaka, bukan iman belaka.
Kutipan
Hudoyo Hupodio :
Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman
eksperiensial. Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai
kepercayaan/iman belaka.
***
Ini FAKTA nya bukan ?
Ada yang mampu menyangkalnya ?
[at] sumedho:
Para Sotapanna (pemasuk arus) sudah menghancurkan belenggu "kepercayaan akan adanya roh/jiwa yang kekal" (sakkayaditthi), namun kenapa Anattalakkhana Sutta yang berisi ajaran tentang anatta diajarkan kepada 5 bhikkhu pertama (Kondanna dkk) yang sudah mencapai kesucian Sotapanna?
Seperti yang kita ketahui Sang Buddha mengajarkan Dhammacakkappavattana Sutta di Taman Rusa Isipatana kepada 5 orang pertapa yang telah mengikuti Beliau sejak perjuangan Beliau di Hutan Uruvela untuk mencapai Pencerahan. Ajaran pertama ini berisi tentang Jalan Tengah (Jalan Mulia Berunsur Delapan) dan Empat Kesunyataan Mulia yang menyebabkan Kondanna mencapai mata Dhamma (Dhammacakkhu), yaitu mencapai kesucian Sotapanna, sedangkan keempat rekannya mencapai kesucian yang sama pada hari berikutnya. Setelah para bhikkhu pertama tersebut menjadi Sotapanna, Buddha mengajarkan Anattalakkhana Sutta yang kemudian menyebabkan mereka mencapai kesucian Arahat. Padahal kita tahu bahwa para Sotapanna telah memahami anatta dengan membasmi belenggu sakkayaditthi. Dengan demikian untuk apa Sang Buddha mengajarkan ajaran anatta lagi kepada mereka yang sudah membasmi pandangan salah tersebut? Apakah melepaskan sakkayaditthi belum tentu memahami anatta? Mohon penjelasannya. Thx
Mgkn maksudnya 5 topik bertingkat tsb bisa membawa seseorang pada kesucian Sotapanna,tetapi perlu pengajaran anatta yg lebih mendalam (utk dipraktekkan dlm vipassana) guna mencapai kesucian Arahat. Thx
Yang bisa menyangkal? Ada. Sang Buddha.Dengan menjawab Sang Buddha, artinya bro sendiri belum mampu menyangkalnya bukan ?
Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?
Yang bisa menyangkal? Ada. Sang Buddha.Dengan menjawab Sang Buddha, artinya bro sendiri belum mampu menyangkalnya bukan ?
Artinya pernyataan itu memang benar adanya bukan ?
dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?
dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Kalo menurut saya sih.. Arahant merealisasi anatta dalam pengalaman utuh sementara non-arahant masih dalam bentuk sepotong-potong. Sang Buddha tidak akan membuat pernyataan berbentuk dikotomi terpisahkan begitu saja tanpa solusi. Karena seorang arahant juga awalnya seorang awam belaka. Jadi tidak penting bagi Sang Buddha untuk membuat dikotomi demikian, melainkan lebih penting adalah bagaimana mencapai realisasi (pativedha) dari doktrin anatta sehingga seorang awam dapat menjadi arahant.
Anggaplah apa yang Bro HT quote itu benar, so what? ??? Apa point yang hendak disampaikan di situ? Sekadar pancingan debat intelektual antar sesama non-arahant?
saya jadi makin bingung.Yang bisa menyangkal? Ada. Sang Buddha.Dengan menjawab Sang Buddha, artinya bro sendiri belum mampu menyangkalnya bukan ?
Artinya pernyataan itu memang benar adanya bukan ?
Kutipan
Hudoyo Hupodio :
Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman
eksperiensial. Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai
kepercayaan/iman belaka.
***
Ini FAKTA nya bukan ?
Ada yang mampu menyangkalnya ?
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
be·la·ka adv 1 semuanya (tiada kecualinya): penghuni rumah itu perempuan --; 2 seluruhnya; sama sekali (tidak bercampur dng yg lain); semata-mata: perkataannya bohong --Maka keyakinan itu bukan sesuatu yang perlu disematkan "belaka". Malah oleh Sang Buddha, keyakinan itu timbul melalui pengalaman dan keyakinan itu sendiri merupakan awal dari banyak faktor kusala (bermanfaat) lainnya. Jadi dalam beberapa cara, ajaran Sang Buddha justru berawal melalui keyakinan. Tetapi bukan keyakinan dogmatik. :)
Sepotong-sepotong dalam artian tidak/belum utuh. Misalnya, dilihat berdasarkan dasa samyojana (10 belenggu) sebagai standar mengukur tingkat pemahaman anatta, seorang anagami dan seorang arahat berbeda dalam belenggu yang telah dihancurkan. Seorang sekha seperti anagami pemahaman mengenai anatta secara teoritis (pariyati) mungkin telah sempurna, dan sedang dalam proses praktek mengikis keakuan (patipatti) tetapi belum menembus (pativedha) karena meski 5 belenggu lebih rendah telah dihancurkan, masih tersisa 5 belenggu lebih tinggi yang mengikat dirinya.Kalo menurut saya sih.. Arahant merealisasi anatta dalam pengalaman utuh sementara non-arahant masih dalam bentuk sepotong-potong. Sang Buddha tidak akan membuat pernyataan berbentuk dikotomi terpisahkan begitu saja tanpa solusi. Karena seorang arahant juga awalnya seorang awam belaka. Jadi tidak penting bagi Sang Buddha untuk membuat dikotomi demikian, melainkan lebih penting adalah bagaimana mencapai realisasi (pativedha) dari doktrin anatta sehingga seorang awam dapat menjadi arahant.
Anggaplah apa yang Bro HT quote itu benar, so what? ??? Apa point yang hendak disampaikan di situ? Sekadar pancingan debat intelektual antar sesama non-arahant?
saya paham maksud yg hendak anda sampaikan, tapi apa maksudnya sepotong-sepotong? apakah anatta sebagian? jasmani adalah tanpa diri kecuali bagian kepala, begitu?
Sepotong-sepotong dalam artian tidak/belum utuh. Misalnya, dilihat berdasarkan dasa samyojana (10 belenggu) sebagai standar mengukur tingkat pemahaman anatta, seorang anagami dan seorang arahat berbeda dalam belenggu yang telah dihancurkan.
Ikut nimbrung juga ah.... :)Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Kalo boleh nambahin, saya rasa tidak masalah soal itu Om Suhu Guru Mbah Ki Fab yang baik.. _/\_
Kalau kita menilik arti dari kata belaka menurut KBBI:Quotebe·la·ka adv 1 semuanya (tiada kecualinya): penghuni rumah itu perempuan --; 2 seluruhnya; sama sekali (tidak bercampur dng yg lain); semata-mata: perkataannya bohong --Maka keyakinan itu bukan sesuatu yang perlu disematkan "belaka". Malah oleh Sang Buddha, keyakinan itu timbul melalui pengalaman dan keyakinan itu sendiri merupakan awal dari banyak faktor kusala (bermanfaat) lainnya. Jadi dalam beberapa cara, ajaran Sang Buddha justru berawal melalui keyakinan. Tetapi bukan keyakinan dogmatik. :)
_/\_
yang jadi masalah adalah saddha tersebar di tipitaka,
tapi sering sekalo dikaburkan dengan tuduhan bahwa tidak perlu ada saddha sama sekali karena saddha adalah iman.
saddha != iman. dan saddha dalam arti positif bisa membantu membawa pencerahan.
tuduhan orang-orang yang mengatakan tidak perlu ada keyakinan sama sekali itu gak beralasan.
"Ketidaktahuan (avijja) merupakan kondisi yang mendukung bagi Bentuk-bentuk pikiran (sankhara), Bentuk-bentuk pikiran (sankhara) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kesadaran (viññana), Kesadaran (viññana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Jasmani dan batin (namarupa), Jasmani dan batin (namarupa) merupakan kondisi yang mendukung bagi Enam landasan indera (salayatana), Enam landasan indera (salayatana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kontak (phassa), Kontak (phassa) merupakan Perasaan (vedana), Perasaan (vedana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Nafsu keinginan (tanha), Nafsu keinginan (tanha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemelekatan (upadana),Kemelekatan (upadana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemenjadian (bhava), Kemenjadian (bhava) kemenjadian merupakan kondisi yang mendukung bagi Kelahiran (jati), Kelahiran (jati) merupakan kondisi yang mendukung bagi Penderitaan (dukkha).
Penderitaan (dukkha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Keyakinan (saddha), Keyakinan (saddha) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegembiraan (pamojja), kegembiraan (pamojja) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegiuran (piti), kegiuran (piti) merupakan kondisi yang mendukung bagi ketenangan (passaddhi), ketenangan (passaddhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi kebahagiaan (sukha), kebahagiaan (sukha) merupakan kondisi yang mendukung bagi pemusatan pikiran (samadhi), pemusatan pikiran (samadhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana), pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana) merupakan kondisi yang mendukung bagi kekecewaan (nibidda), kekecewaan (nibidda) merupakan kondisi yang mendukung bagi pelenyapan nafsu (viraga), pelenyapan nafsu (viraga) merupakan kondisi yang mendukung bagi pembebasan (vimutthi), pembebasan (vimutthi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan akan lenyapnya kekotoran batin (asavakkhaya-nana)."
[at] seniya: sudah keduluan sama om Indra. grp/thanks sent
Sebuah kalimat itu bisa berarti berbeda dengan pemahaman berbeda.
Pada kasus Anattalakkhana sutta, walaupun dia seorang sotapanna yg sudah memahami itu tapi uraian dalam Anattalakkhana sutta itu memiliki makna yg lebih dalam lagi jika kita lihat dari sudut lain, dimana
Bukan diri -> tidak memuaskan -> tidak layak dilekati -> dispassion/menjadi tidak suka -> tidak melekat
dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagi
Yang bisa menyangkal? Ada. Sang Buddha.Dengan menjawab Sang Buddha, artinya bro sendiri belum mampu menyangkalnya bukan ?
Artinya pernyataan itu memang benar adanya bukan ?
Bro Hasan,
Pak Hudoyo dulunya adalah member aktif di forum ini, dan di masa lalu itu sering terjadi diskusi mengarah ke perdebatan, sebagian besar karena Pak Hudoyo tidak menganggap argumentasi yg berdasarkan Tipitaka itu valid, jadi tentu saja susah sekali untuk berbantahan dengan Pak Hudoyo yg selalu merujuk pada pengalaman pribadinya sendiri. bahkan jika ada member di sini yang telah mencapai Arahat juga belum tentu bisa membantah statement itu, saya setuju dengan Pak Sumedho bahwa hanya seorang Buddha yang mampu membantahnya.
di atas Pak Sumedho telah menyebutkan rujukan Sutta yang mengatakan bahwa tidak perlu Arahat untuk dapat memahami Anatta.
Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Ikut nimbrung juga ah.... :)
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Demikian pentingnya praktek dan pengalaman ini, sehingga mereka yang belum mengalami kebenaran tertinggi (Ultimate Truth/Nibbana) bahkan belum dianggap siswa yang sesungguhnya (belum sekha). Mereka yang belum mengalami Kebenaran Tertinggi masih dianggap umat awam, walau ia mampu menghafal Tipitaka (yang berjumlah 41 buku) beserta komentar dan subkomentar yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari Tipitaka.
_/\_
Kata-kata hanyalah sebuah kata2x. Sebuah pernyataan itu akan dipengaruhi oleh sudut pandang masing2x. Lagipula apa hubungannya dengan kasus ini?[at] seniya: sudah keduluan sama om Indra. grp/thanks sent
Sebuah kalimat itu bisa berarti berbeda dengan pemahaman berbeda.
Pada kasus Anattalakkhana sutta, walaupun dia seorang sotapanna yg sudah memahami itu tapi uraian dalam Anattalakkhana sutta itu memiliki makna yg lebih dalam lagi jika kita lihat dari sudut lain, dimana
Bukan diri -> tidak memuaskan -> tidak layak dilekati -> dispassion/menjadi tidak suka -> tidak melekat
dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagi
Jadi apakah menurut Anda,kebenaran itu adalah tentang "sudut pandang" ?
Atau ini adalah hasil "kreasi" Anda,dalam pengotakkan Ajaran Buddha selanjutnya?
Kata-kata hanyalah sebuah kata2x. Sebuah pernyataan itu akan dipengaruhi oleh sudut pandang masing2x. Lagipula apa hubungannya dengan kasus ini?[at] seniya: sudah keduluan sama om Indra. grp/thanks sent
Sebuah kalimat itu bisa berarti berbeda dengan pemahaman berbeda.
Pada kasus Anattalakkhana sutta, walaupun dia seorang sotapanna yg sudah memahami itu tapi uraian dalam Anattalakkhana sutta itu memiliki makna yg lebih dalam lagi jika kita lihat dari sudut lain, dimana
Bukan diri -> tidak memuaskan -> tidak layak dilekati -> dispassion/menjadi tidak suka -> tidak melekat
dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagi
Jadi apakah menurut Anda,kebenaran itu adalah tentang "sudut pandang" ?
Atau ini adalah hasil "kreasi" Anda,dalam pengotakkan Ajaran Buddha selanjutnya?
Dalam kasus ini sebuah petunjuk yang walaupun adalah sebuah kebenaran, belum tentu langsung dapat dimengerti dan dipahami oleh si pendengar karena tergantung sudut pandang dan pemahaman dia kembali.
oh iya, terima kasih atas tuduhan anda kepada saya utk mengkotak2xannya.
tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
jangan diubah...merasakan atau memahami..itu beda..
pertanyaan,apakah seseorang yang bukan arahatta bisa memahami esensi dari Anatta?
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Aduh,jadi malu saya..Penguasa forum jangan cepat "ngambek" doang..Stay cool,biasanya Anda kan selalu cool..haha..loh, ini masih cool koq. itu pernyataan terima kasih itu tidak dengan kebencian tapi dengan tulus loh, itu pernyataan kebenaran. mungkin persepsi dan pengalaman anda yg menyebabkan anda berpikir demikian :) Just let it go ;D
Saya tidak mempunyai indikasi apapun untuk menuduh Anda,tetapi kalau persepsi Anda berkata begitu,ya apa boleh buat..Just let it go... :D
Saya tidak bertanya soal "si pendengar",saya hanya tertarik dengan pernyataan Anda soal "sudut lain" itu.. :)
Kembali pada soal "Anatta",menurut Anda,apakah seseorang yang belum mengalami "anatta" bisa tahu tentang Anatta secara terperinci?
Menurut saya sebelum mengalaminya,itu hanya merupakan kepercayaan belaka saja..
ada 3 orang :
1.Orang yang melihat kerang dan mengumpulkannya di pantai
2.Orang yang diberitahukan ada kerang di pantai
3.Orang yang tidak tahu ada kerang di pantai
Kalau ditanya,"Apakah mereka tahu di pantai ada kerang.."
Ketiga-tiganya akan menjawab,"Mereka tahu bahwa dipantai ada kerang....tetapi siapakah sesungguhnya yang mengetahui "keindahan kerang" itu?"
Regards,
Riky
Kalo menurut saya sih.. Arahant merealisasi anatta dalam pengalaman utuh sementara non-arahant masih dalam bentuk sepotong-potong. Sang Buddha tidak akan membuat pernyataan berbentuk dikotomi terpisahkan begitu saja tanpa solusi. Karena seorang arahant juga awalnya seorang awam belaka. Jadi tidak penting bagi Sang Buddha untuk membuat dikotomi demikian, melainkan lebih penting adalah bagaimana mencapai realisasi (pativedha) dari doktrin anatta sehingga seorang awam dapat menjadi arahant.
Anggaplah apa yang Bro HT quote itu benar, so what? ??? Apa point yang hendak disampaikan di situ? Sekadar pancingan debat intelektual antar sesama non-arahant?
tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
jangan diubah...merasakan atau memahami..itu beda..
pertanyaan,apakah seseorang yang bukan arahatta bisa memahami esensi dari Anatta?
ehm mgkn tlg bro riky bisa melihat secara buddhism dimana vedana ada dalam setiap citta yah
karena ini yang seringkali rancu dimana merasakan dalam artian mengikuti apa yang menyenangkan/menolak apa yg tidak menyenangkan disamakan dengan vedana dalam artian sabbacitta sadharana cetasika
ini yang sering membuat diskusi jadi ga nyambung karena sudut pandang awam, dijadikan landasan utk diskusi buddhism
kembali ke pernyataan "pengalaman" bukan "paham anatta" loh, jadi tlg ini dibedakan loh........QuoteBro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Aduh,jadi malu saya..Penguasa forum jangan cepat "ngambek" doang..Stay cool,biasanya Anda kan selalu cool..haha..loh, ini masih cool koq. itu pernyataan terima kasih itu tidak dengan kebencian tapi dengan tulus loh, itu pernyataan kebenaran. mungkin persepsi dan pengalaman anda yg menyebabkan anda berpikir demikian :) Just let it go ;D
Saya tidak mempunyai indikasi apapun untuk menuduh Anda,tetapi kalau persepsi Anda berkata begitu,ya apa boleh buat..Just let it go... :D
Saya tidak bertanya soal "si pendengar",saya hanya tertarik dengan pernyataan Anda soal "sudut lain" itu.. :)
Kembali pada soal "Anatta",menurut Anda,apakah seseorang yang belum mengalami "anatta" bisa tahu tentang Anatta secara terperinci?
Menurut saya sebelum mengalaminya,itu hanya merupakan kepercayaan belaka saja..
ada 3 orang :
1.Orang yang melihat kerang dan mengumpulkannya di pantai
2.Orang yang diberitahukan ada kerang di pantai
3.Orang yang tidak tahu ada kerang di pantai
Kalau ditanya,"Apakah mereka tahu di pantai ada kerang.."
Ketiga-tiganya akan menjawab,"Mereka tahu bahwa dipantai ada kerang....tetapi siapakah sesungguhnya yang mengetahui "keindahan kerang" itu?"
Regards,
Riky
anatta dapat dipahami sebagai teori oleh umat awan dan dapat juga direalisasikan oleh umat awan karena sejujurnya itu semua dapat terjadi karena tanha/keinginan diri sebagai pematik api dari asap yang akan terlihat dikemudian hari
Bro Ricky yang baik, kulminasi dari pengalaman anatta adalah lenyapnya sakkaya ditthi (pandangan salah mengenai diri/adanya atta/roh yang kekal). Sakkaya ditthi lenyap pada pencapaian tingkat kesucian pertama. (Sotapanna).Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Ikut nimbrung juga ah.... :)
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Demikian pentingnya praktek dan pengalaman ini, sehingga mereka yang belum mengalami kebenaran tertinggi (Ultimate Truth/Nibbana) bahkan belum dianggap siswa yang sesungguhnya (belum sekha). Mereka yang belum mengalami Kebenaran Tertinggi masih dianggap umat awam, walau ia mampu menghafal Tipitaka (yang berjumlah 41 buku) beserta komentar dan subkomentar yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari Tipitaka.
_/\_
Nimbrung juga ah..Maksud Bro Fabian apa ya?Tidak perlu menjadi Arahat untuk "memahami" Anatta..Memahami apa maksudnya?
Arahat dulu baru memahami,atau memahami dulu baru Arahat? :)Pertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Regards,
Riky
tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
jangan diubah...merasakan atau memahami..itu beda..
pertanyaan,apakah seseorang yang bukan arahatta bisa memahami esensi dari Anatta?
ehm mgkn tlg bro riky bisa melihat secara buddhism dimana vedana ada dalam setiap citta yah
karena ini yang seringkali rancu dimana merasakan dalam artian mengikuti apa yang menyenangkan/menolak apa yg tidak menyenangkan disamakan dengan vedana dalam artian sabbacitta sadharana cetasika
ini yang sering membuat diskusi jadi ga nyambung karena sudut pandang awam, dijadikan landasan utk diskusi buddhism
kembali ke pernyataan "pengalaman" bukan "paham anatta" loh, jadi tlg ini dibedakan loh........QuoteBro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Saya tahu bahwa ada fenomena "anicca" "dukkha" dan "anatta",dan rasanya Anda juga tahu bahwa walau sudah "mengetahui" fenomena tersebut,toh banyak yang belum terbebaskan atau merealisasikan "nibbana" seperti yang direalisasikan oleh Buddha Gotama sendiri..
Kalian semua yang berKTP Buddhist,mempercayai Buddha Gotama,percaya dengan kata Buddha bahwa,"Hidup adalah dukkha.."
tetapi apakah dengan pengalaman kalian semua tentang dukkha itu,membawa kalian pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha?atau kalian semakin "bodoh" dan "gelap batin",karena merasa sudah tahu "tentang dukkha",padahal itu hanya berupa "kepercayaan/teori" kalian belaka?
Semakin kalian tahu,semakin kalian sombong,semakin kalian sombong,semakin tidak ada realitas disana,karena kalian menganggap diri kalian sendiri adalah REALITASNYA..Diri kalian sendiri adalah KEBENARANnya..walau bagi saya KEBENARAN kalian BUKAN merupakan KEBENARAN lagi BAGIKU.. :DSemoga saya tidak menjadi sombong, semoga saya tidak menjadi angkuh semoga saya semakin dekat pada Dhamma dan tujuan akhir, semoga saya tidak semakin menjauh dari Dhamma dan tujuan akhir.
Regards,
Riky Liau
Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman eksperiensial.
Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai kepercayaan/iman belaka.
cara elegan ya..namanya juga Dhammacitta gitu loch..cara kotor juga dianggap bersih.. :)
hihihi...menurut persepsimu juga koq,itu adalah pernyataan kebenaran,mungkin saja tidak benar toh?haha..
Melihat saja ya?Tanpa diri itu sendiri adalah nibbana,apakah perlu pendalaman lagi?atau karena pernyataan "melihat" bukan "memahami" itu? :D
Regards,
Riky Liau
Benar pak Hud menulis demikian. Setelah saya memberikan rujukan Okkanta Samyutta, pak Hud mengakui bahwa pernyataannya salah dan menjelaskan maksud dari kata2xnya yg seharusnya puthujana bukan arahant.Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman eksperiensial.
Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai kepercayaan/iman belaka.
anda yakin Hudoyo Hupodio mengatakan seperti diatas?
jika "Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai kepercayaan/iman belaka." diartikan orang biasa hanya mampu memahami anatta adalah sebuah kepercayaan/iman belaka, maka "Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman eksperiensial." diartikan hanya arahat memahami anatta adalah sebuah pengalaman eksperiensial.
bisa tolong dijelaskan apakah artinya adalah seperti yg saya pahami seperti diatas?
Sumedho: <<Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.>>Saya tetap memilih jalan yang ditunjukkan Sang Buddha dalam banyak Sutta2, salah satunya Anatthalakkhana/Pancavaggi sutta (http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_22_59_Pancavaggi_Sutta_Thanissaro) dimana melawan kotoran batin dengan konsep anatta. Juga dalam Ditthi Samyutta.
Thanissaro: "One who KNOWS and SEES that these phenomena are this way is called a stream-enterer, ... ." (Okkanta Samyutta)
Saya tidak mau berteori tentang batin Sotapanna s.d. Anagami. Tetapi, saya duga karena seorang Sotapanna masih mempunyai nafsu keinginan dan kebencian (sekalipun menurut teorinya tidak mungkin melanggar Sila lagi), pasti dalam batinnya ada aku/atta, terlepas dari apa pun yg dikatakan oleh kitab suci.
Yang ingin saya tekankan dengan pernyataan saya itu ialah bahwa di dalam batin orang biasa (puthujjana), seperti Anda, Gunadipo, Fabian, Markosprawira dll dan saya, 'anatta' itu tidak lebih daripada sekadar kepercayaan/iman.
Itulah sebabnya Bhante Pannavaro menekankan, janganlah melawan kotoran batin dengan konsep anatta.
Hudoyo
ternyata cuma DUGAAN, gak perlu dianggap seriusQuote from: Hudoyo from mailSumedho: <<Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.>>
Thanissaro: "One who KNOWS and SEES that these phenomena are this way is called a stream-enterer, ... ." (Okkanta Samyutta)
Saya tidak mau berteori tentang batin Sotapanna s.d. Anagami. Tetapi, saya duga karena seorang Sotapanna masih mempunyai nafsu keinginan dan kebencian (sekalipun menurut teorinya tidak mungkin melanggar Sila lagi), pasti dalam batinnya ada aku/atta, terlepas dari apa pun yg dikatakan oleh kitab suci.
Yang ingin saya tekankan dengan pernyataan saya itu ialah bahwa di dalam batin orang biasa (puthujjana), seperti Anda, Gunadipo, Fabian, Markosprawira dll dan saya, 'anatta' itu tidak lebih daripada sekadar kepercayaan/iman.
Itulah sebabnya Bhante Pannavaro menekankan, janganlah melawan kotoran batin dengan konsep anatta.
Hudoyo
Bro Tuhan yang baik, memang demikianlah seharusnya. Pernyataan pak Hudoyo disebabkan bahwa beliau beranggapan bahwa ada aku/diri yang kemudian lenyap/hancur dengan pencapaian Arahatta Magga-phala. Menurut Tipitaka ini adalah pandangan salah ucheda-ditthi/nihilisme, yaitu diri/aku yang ada kemudian menjadi lenyap.
cara elegan ya..namanya juga Dhammacitta gitu loch..cara kotor juga dianggap bersih.. :)
hihihi...menurut persepsimu juga koq,itu adalah pernyataan kebenaran,mungkin saja tidak benar toh?haha..
Terima kasih juga atas tuduhan bahwa DC, cara kotor dianggap bersih _/\_
diskusi model ini yg tidak sehat, dimulai dari niat tidak baik, nanti bakal debat tidak berujung.
Melihat saja ya?Tanpa diri itu sendiri adalah nibbana,apakah perlu pendalaman lagi?atau karena pernyataan "melihat" bukan "memahami" itu? :D
Regards,
Riky Liau
kalau begini, kita harus melihat apa definisi nibbana itu.
Nibbana adalah tanpa diri -> ini pernyataan tepat dimana sabbe dhamma anatta, tapi bukan berarti melihat dan memahami anatta itu adalah merealisasikan nibbana.
Nibbana != (tidak sama dengan) merealisasikan/melihat/memahami anatta itu
Nibbana = Padamnya kemelekatan/tanha
Proses merealisasikan Nibbana itu dimulai ketika "pintu terbuka" atau masuk ke dalam prosesnya itu ketika "memasuki arus" dimana dia melihat bahwa tidak ada diri.
Dari diskusi ini jelas sekali bahwa pak Hud memiliki konsep sendiri yang tak menurut dia tak perlu sama dengan kitab suci, konsepnya tak sesuai dengan Tipitaka.Benar pak Hud menulis demikian. Setelah saya memberikan rujukan Okkanta Samyutta, pak Hud mengakui bahwa pernyataannya salah dan menjelaskan maksud dari kata2xnya yg seharusnya puthujana bukan arahant.Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman eksperiensial.
Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai kepercayaan/iman belaka.
anda yakin Hudoyo Hupodio mengatakan seperti diatas?
jika "Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai kepercayaan/iman belaka." diartikan orang biasa hanya mampu memahami anatta adalah sebuah kepercayaan/iman belaka, maka "Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman eksperiensial." diartikan hanya arahat memahami anatta adalah sebuah pengalaman eksperiensial.
bisa tolong dijelaskan apakah artinya adalah seperti yg saya pahami seperti diatas?QuoteSumedho: <<Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.>>Saya tetap memilih jalan yang ditunjukkan Sang Buddha dalam banyak Sutta2, salah satunya Anatthalakkhana/Pancavaggi sutta (http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_22_59_Pancavaggi_Sutta_Thanissaro) dimana melawan kotoran batin dengan konsep anatta. Juga dalam Ditthi Samyutta.
Thanissaro: "One who KNOWS and SEES that these phenomena are this way is called a stream-enterer, ... ." (Okkanta Samyutta)
Saya tidak mau berteori tentang batin Sotapanna s.d. Anagami. Tetapi, saya duga karena seorang Sotapanna masih mempunyai nafsu keinginan dan kebencian (sekalipun menurut teorinya tidak mungkin melanggar Sila lagi), pasti dalam batinnya ada aku/atta, terlepas dari apa pun yg dikatakan oleh kitab suci.
Yang ingin saya tekankan dengan pernyataan saya itu ialah bahwa di dalam batin orang biasa (puthujjana), seperti Anda, Gunadipo, Fabian, Markosprawira dll dan saya, 'anatta' itu tidak lebih daripada sekadar kepercayaan/iman.
Itulah sebabnya Bhante Pannavaro menekankan, janganlah melawan kotoran batin dengan konsep anatta.
Hudoyo
Benar pak Hud menulis demikian. Setelah saya memberikan rujukan Okkanta Samyutta, pak Hud mengakui bahwa pernyataannya salah dan menjelaskan maksud dari kata2xnya yg seharusnya puthujana bukan arahant.Quote from: Hudoyo from mail...
Yang ingin saya tekankan dengan pernyataan saya itu ialah bahwa di dalam batin orang biasa (puthujjana), seperti Anda, Gunadipo, Fabian, Markosprawira dll dan saya, 'anatta' itu tidak lebih daripada sekadar kepercayaan/iman.
...
Hudoyo
Pak Hud menuduh bahwa saya tidak mengalami anicca, dukkha anatta adalah spekulasi disebabkan ketidak tahuan, ...Bro Fabian C,
+1 buat fabian ;DJika demikian, bhante yang mendukungnya juga mempunyai pandangan salah ?
keterangannya mantap, berarti pa Hudoyo mempunyai pandangan salah ya, padahal mengajar meditasi, jangan2 murid2nya jadi berpandangan salah juga dong ;D
benar2 sesuai dengan yang di katakan sallekha sutta ;D
dilihat dulu konteksnya, apakah perkataan bhante itu dimanfaatkan hanya untuk mendukung keperluannya atau memang bhante itupun mengajarkan hal yang sama :)+1 buat fabian ;DJika demikian, bhante yang mendukungnya juga mempunyai pandangan salah ?
keterangannya mantap, berarti pa Hudoyo mempunyai pandangan salah ya, padahal mengajar meditasi, jangan2 murid2nya jadi berpandangan salah juga dong ;D
benar2 sesuai dengan yang di katakan sallekha sutta ;D
+1 buat fabian ;DJika demikian, bhante yang mendukungnya juga mempunyai pandangan salah ?
keterangannya mantap, berarti pa Hudoyo mempunyai pandangan salah ya, padahal mengajar meditasi, jangan2 murid2nya jadi berpandangan salah juga dong ;D
benar2 sesuai dengan yang di katakan sallekha sutta ;D
Kalian semua yang berKTP Buddhist,mempercayai Buddha Gotama,percaya dengan kata Buddha bahwa,"Hidup adalah dukkha.."
tetapi apakah dengan pengalaman kalian semua tentang dukkha itu,membawa kalian pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha?atau kalian semakin "bodoh" dan "gelap batin",karena merasa sudah tahu "tentang dukkha",padahal itu hanya berupa "kepercayaan/teori" kalian belaka?
Semakin kalian tahu,semakin kalian sombong,semakin kalian sombong,semakin tidak ada realitas disana,karena kalian menganggap diri kalian sendiri adalah REALITASNYA..Diri kalian sendiri adalah KEBENARANnya..walau bagi saya KEBENARAN kalian BUKAN merupakan KEBENARAN lagi BAGIKU.. :D
Regards,
Riky Liau
Pada kasus Anattalakkhana sutta, walaupun dia seorang sotapanna yg sudah memahami itu tapi uraian dalam Anattalakkhana sutta itu memiliki makna yg lebih dalam lagi jika kita lihat dari sudut lain, dimana
Bukan diri -> tidak memuaskan -> tidak layak dilekati -> dispassion/menjadi tidak suka -> tidak melekat
Aduh,jadi malu saya..Penguasa forum jangan cepat "ngambek" doang..Stay cool,biasanya Anda kan selalu cool..haha..loh, ini masih cool koq. itu pernyataan terima kasih itu tidak dengan kebencian tapi dengan tulus loh, itu pernyataan kebenaran. mungkin persepsi dan pengalaman anda yg menyebabkan anda berpikir demikian :) Just let it go ;D
Saya tidak mempunyai indikasi apapun untuk menuduh Anda,tetapi kalau persepsi Anda berkata begitu,ya apa boleh buat..Just let it go... :D
apakah itu mengalami anatta ? apakah ada awal dan final saja?
apakah perbedaan antara sotapanaa dan arahant? apakah perbedaan "mengalami" anatta? ataukan kemelekatannya? belenggunya?
apakah itu mengalami anatta ?
Bro Tuhan yang baik, memang demikianlah seharusnya. Pernyataan pak Hudoyo disebabkan bahwa beliau beranggapan bahwa ada aku/diri yang kemudian lenyap/hancur dengan pencapaian Arahatta Magga-phala. Menurut Tipitaka ini adalah pandangan salah ucheda-ditthi/nihilisme, yaitu diri/aku yang ada kemudian menjadi lenyap.
Sebelum mencapai kesucian ada aku = ada atta
Setelah mencapai kesucian tak ada aku = anatta
Itulah sebabnya Bhante Pannavaro menekankan, janganlah melawan kotoran batin dengan konsep anatta.
+1 buat fabian ;DJika demikian, bhante yang mendukungnya juga mempunyai pandangan salah ?
keterangannya mantap, berarti pa Hudoyo mempunyai pandangan salah ya, padahal mengajar meditasi, jangan2 murid2nya jadi berpandangan salah juga dong ;D
benar2 sesuai dengan yang di katakan sallekha sutta ;D
Kesimpulannya, Hudoyo benar atau salah ;Dmaklum masih puthujana,
Bro Sumedho, kalau dari mail itu, pak Hudoyo masih tetap konsisten pada pernyataannya, yaitu :
di dalam batin orang biasa (orang awam, puthujjana) anatta itu tidak lebih daripada sekedar kepercayaan/iman.
Dari mana muncul pernyataan bro bahwa :
1. Pak Hudoyo mengakui pernyataannya salah ?
2. Seharusnya puthujjana bukan arahant ? Maksudnya ngimana ?
Jadi pernyataan yang benar ngimana bunyinya ?
***
Kutipan
Hudoyo Hupodio :
Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman
eksperiensial. Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai
kepercayaan/iman belaka.
***
Bro Hasan yang baik, ada orang yang memang suka berspekulasi, saya tak mau berspekulasi mengenai pencapaian teman-teman karena saya tidak tahu, kalau pak Hud mengakui dia puthujana ya sudah, pencapaian spiritual saya adalah untuk diri sendiri bukan untuk di share atau dipamerkan pada orang lain.Pak Hud menuduh bahwa saya tidak mengalami anicca, dukkha anatta adalah spekulasi disebabkan ketidak tahuan, ...Bro Fabian C,
Saya pikir pak Hudoyo tidak menuduh, tapi menilai bahwa :
- baik kamu maupun dia sendiri batinnya masih sebagai puthujjana.
Bro setuju dengan penilaian itu ?
+1 buat fabian ;D
keterangannya mantap, berarti pa Hudoyo mempunyai pandangan salah ya, padahal mengajar meditasi, jangan2 murid2nya jadi berpandangan salah juga dong ;D
benar2 sesuai dengan yang di katakan sallekha sutta ;D
***
Kutipan
Hudoyo Hupodio :
Hanya seorang arahat memahami anatta sebagai pengalaman
eksperiensial. Yang lain hanya bisa memahami anatta sebagai
kepercayaan/iman belaka.
***
Ini FAKTA nya bukan ?
Ada yang mampu menyangkalnya ?
Bro Tuhan yang baik, memang demikianlah seharusnya. Pernyataan pak Hudoyo disebabkan bahwa beliau beranggapan bahwa ada aku/diri yang kemudian lenyap/hancur dengan pencapaian Arahatta Magga-phala. Menurut Tipitaka ini adalah pandangan salah ucheda-ditthi/nihilisme, yaitu diri/aku yang ada kemudian menjadi lenyap.
Sebelum mencapai kesucian ada aku = ada atta
Setelah mencapai kesucian tak ada aku = anatta
Sang Buddha jelas mengatakan,
melekat pada rupa, aku ada
melekat pada vinanna, aku ada
dst utk... sanna, sankhara, vedana
"atta (diri)" sendiri memiliki makna yg lebih luas daripada "aku".Maaf saya kurang jelas, jadi bro Tesla berpandangan sebelum Arahat atta ada atau tidak?
atta disini pada zaman Bhramanisme dikatakan atau diidentifikasikan sebagai roh/inti... oleh karena itu ajaran Sang Buddha tentang anatta, tidak dapat diartikan sebagai "tidak ada diri".
sejauh yg saya tahu, Sang Buddha tidak pernah ingin menjawab pertanyaan tentang diri "ada" ataupun "tidak ada". sebab kedua kepercayaan ini telah ada sebelumnya...
arti anatta (bukan diri) telah dijelaskan oleh Mahasi Sayadaw dg baik di buku terbitan DC (promosi).Nah pandangan beliau juga sama dengan pandangan saya, selain itu juga tidak ada yang disebut roh yang kekal abadi (atman/atta) seperti yang ada di ajaran tetangga.
singkatnya setiap praktisi hendaknya selalu mengerti bahwa panca khandha ini "bukan aku" atau "bukan milikku".
memang kita sering mendengar dalam komunitas Buddhist yg mengartikan anatta sbg "tidak ada aku/diri/roh", tetapi menurut saya penerjemahan demikian sudah meleset jauh.
ajaran "tidak ada aku"/"tidak ada roh"/"tidak ada inti", sama sekali tidak masuk dalam ajaran Buddha.
cara elegan ya..namanya juga Dhammacitta gitu loch..cara kotor juga dianggap bersih.. :)
hihihi...menurut persepsimu juga koq,itu adalah pernyataan kebenaran,mungkin saja tidak benar toh?haha..
Terima kasih juga atas tuduhan bahwa DC, cara kotor dianggap bersih _/\_
diskusi model ini yg tidak sehat, dimulai dari niat tidak baik, nanti bakal debat tidak berujung.
Kalian semua yang berKTP Buddhist,mempercayai Buddha Gotama,percaya dengan kata Buddha bahwa,"Hidup adalah dukkha.."
[at] Bro Riky,
cara elegan ya..namanya juga Dhammacitta gitu loch..cara kotor juga dianggap bersih.. :)
hihihi...menurut persepsimu juga koq,itu adalah pernyataan kebenaran,mungkin saja tidak benar toh?haha..
Terima kasih juga atas tuduhan bahwa DC, cara kotor dianggap bersih _/\_
diskusi model ini yg tidak sehat, dimulai dari niat tidak baik, nanti bakal debat tidak berujung.
Maap nyela diskusi Saudara berdua.. Saya setuju dengan Suhu Medho kalau sebaiknya kita semua member DC menghindari diskusi yang tidak sehat. Sebaliknya mempelajari dan mengembangkan diskusi sehat yang diajarkan Sang Buddha, dapat dibaca di: Kathavatthu Sutta. (http://dhammacitta.org/dcpedia/AN_3_67_Kathavatthu_Sutta_Thanissaro)
Sejak awal kemunculan Bro Riky di thread ini spontan dengan tudingan langsung terhadap pihak terkait DC atau forum DC itu sendiri. Kalau boleh, tolong tunjukkan darimana munculnya kesimpulan2 Bro Riky tersebut. Ini saran saya sbg pihak yang mungkin "kepo" hendak menengahi. Dan tentunya lebih baik membuka topik baru yang membahas hal2 terkait tudingan tsb, agar thread ini tetap berjalan on topic.
Saya berharap semua rekan di sini yang membaca agar berhati-hati dalam mempelajari Dhamma. Jika ada Buddha atau siswa Buddha yang menyatakan bahwa "Hidup adalah dukkha.." Maka jangan langsung percaya dan menerima! Tolong investigasi kembali apakah benar hidup adalah dukkha?
Mengatakan hidup adalah kegembiraan (sukha) adalah 1 sisi ekstrim. Sebaliknya mengatakan hidup adalah penderitaan (dukkha) adalah sisi ekstrim lainnya.. Dan mereka yang meyakini yang mana pun tidak akan pernah terbebas dari perdebatan.Nah,Anda sendiri yang "memilah-milah"nya ya,saya tidak bilang tentang "sukha" maupun "dukkha",Anda sendiri yang menggunakan "dualisme" untuk memilah-milahnya.. :D
Sejauh yang saya mengerti, apa yang dinyatakan Sang Buddha mengenai dukkha adalah:Opss..sori... :D
"Kelahiran adalah dukkha. Usia tua adalah dukkha. Kematian adalah dukkha. Kesedihan adalah dukkha. Ratap-tangis adalah dukkha. Penderitaan fisik adalah dukkha. Penderitaan batin adalah dukkha. Keputus-asaan adalah dukkha. Perpisahan dengan yang disenangi adalah dukkha. Pertemuan dengan yang tidak disenangi adalah dukkha. Tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya, lima kelompok kemelekatan adalah dukkha."
Tidak pernah saya temukan di mana pun dan jika memang pernah Sang Buddha menyatakan "Hidup adalah dukkha." Saya minta tolong kemurahan hatinya untuk menunjukkan pernyataan tsb, dan secara lengkap.
Sukhi hotu,
_/\_
Bro Ricky yang baik, kulminasi dari pengalaman anatta adalah lenyapnya sakkaya ditthi (pandangan salah mengenai diri/adanya atta/roh yang kekal). Sakkaya ditthi lenyap pada pencapaian tingkat kesucian pertama. (Sotapanna).Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Ikut nimbrung juga ah.... :)
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Demikian pentingnya praktek dan pengalaman ini, sehingga mereka yang belum mengalami kebenaran tertinggi (Ultimate Truth/Nibbana) bahkan belum dianggap siswa yang sesungguhnya (belum sekha). Mereka yang belum mengalami Kebenaran Tertinggi masih dianggap umat awam, walau ia mampu menghafal Tipitaka (yang berjumlah 41 buku) beserta komentar dan subkomentar yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari Tipitaka.
_/\_
Nimbrung juga ah..Maksud Bro Fabian apa ya?Tidak perlu menjadi Arahat untuk "memahami" Anatta..Memahami apa maksudnya?
Pertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Vipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
jangan diubah...merasakan atau memahami..itu beda..
pertanyaan,apakah seseorang yang bukan arahatta bisa memahami esensi dari Anatta?
ehm mgkn tlg bro riky bisa melihat secara buddhism dimana vedana ada dalam setiap citta yah
karena ini yang seringkali rancu dimana merasakan dalam artian mengikuti apa yang menyenangkan/menolak apa yg tidak menyenangkan disamakan dengan vedana dalam artian sabbacitta sadharana cetasika
ini yang sering membuat diskusi jadi ga nyambung karena sudut pandang awam, dijadikan landasan utk diskusi buddhism
kembali ke pernyataan "pengalaman" bukan "paham anatta" loh, jadi tlg ini dibedakan loh........QuoteBro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Saya tahu bahwa ada fenomena "anicca" "dukkha" dan "anatta",dan rasanya Anda juga tahu bahwa walau sudah "mengetahui" fenomena tersebut,toh banyak yang belum terbebaskan atau merealisasikan "nibbana" seperti yang direalisasikan oleh Buddha Gotama sendiri..
Bro Riky yang baik, memang benar tahu fenomena anicca, dukkha dan anatta tidak membawa seseorang pada kebebasan, karena untuk tahu kita tak perlu memiliki pra kondisi yang diperlukan misalnya perhatian dan konsentrasi (sati dan samadhi). Hanya dengan mengalami membawa seseorang pada kebebasan, dan untuk mengalami seseorang harus memiliki pra kondisi yang diperlukan, yaitu perhatian dan konsentrasi yang cukup. Pernyataan bro Riky bahwa banyak yang belum terbebaskan (belum merealisasikan Nibbana) memang benar, tetapi yang terbebaskan (sudah merealisasi) juga sangat banyak.
Saya setuju percaya tidak membawa pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha, melainkan pengalaman langsung (direct experience) yang akan membawa kita pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha.
Tetapi percaya merupakan langkah awal yang akan memotivasi kita untuk mengalami sendiri esensi dukkha,dan padamnya dukkha.
Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) adalah teori bagi yang belum pernah mengalami dan merupakan pengalaman langsung bagi mereka yang pernah mengalami.
Semoga saya tidak menjadi sombong, semoga saya tidak menjadi angkuh semoga saya semakin dekat pada Dhamma dan tujuan akhir, semoga saya tidak semakin menjauh dari Dhamma dan tujuan akhir.
_/\_
cara elegan ya..namanya juga Dhammacitta gitu loch..cara kotor juga dianggap bersih.. :)
hihihi...menurut persepsimu juga koq,itu adalah pernyataan kebenaran,mungkin saja tidak benar toh?haha..
Terima kasih juga atas tuduhan bahwa DC, cara kotor dianggap bersih _/\_
diskusi model ini yg tidak sehat, dimulai dari niat tidak baik, nanti bakal debat tidak berujung.
kalau begini, kita harus melihat apa definisi nibbana itu.
Nibbana adalah tanpa diri -> ini pernyataan tepat dimana sabbe dhamma anatta, tapi bukan berarti melihat dan memahami anatta itu adalah merealisasikan nibbana.
Nibbana != (tidak sama dengan) merealisasikan/melihat/memahami anatta itu
Nibbana = Padamnya kemelekatan/tanha
Proses merealisasikan Nibbana itu dimulai ketika "pintu terbuka" atau masuk ke dalam prosesnya itu ketika "memasuki arus" dimana dia melihat bahwa tidak ada diri.
permainan kata yg tidak bermanfaat :)
ASTAGA!
Bro Ricky yang baik, kulminasi dari pengalaman anatta adalah lenyapnya sakkaya ditthi (pandangan salah mengenai diri/adanya atta/roh yang kekal). Sakkaya ditthi lenyap pada pencapaian tingkat kesucian pertama. (Sotapanna).Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Ikut nimbrung juga ah.... :)
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Demikian pentingnya praktek dan pengalaman ini, sehingga mereka yang belum mengalami kebenaran tertinggi (Ultimate Truth/Nibbana) bahkan belum dianggap siswa yang sesungguhnya (belum sekha). Mereka yang belum mengalami Kebenaran Tertinggi masih dianggap umat awam, walau ia mampu menghafal Tipitaka (yang berjumlah 41 buku) beserta komentar dan subkomentar yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari Tipitaka.
_/\_
Nimbrung juga ah..Maksud Bro Fabian apa ya?Tidak perlu menjadi Arahat untuk "memahami" Anatta..Memahami apa maksudnya?
Bro fabian yang baik,Sakkaya ditthi itu mencakup apa saja kah?Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran? :)
Tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Sang Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat, jadi segala sesuatu pasti ada sebabnya.QuotePertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Menurut Bro fabian,sebagai praktisi meditasi,apakah pengalaman anatta itu mengalami suatu proses yang berkelanjutan?Kalau begitu,saya jadi bertanya-tanya tentang "pencapaian" instan murid-murid Buddha Gotama,dan pencapaian dari YM Ananda..Menurut saya malah sebaliknya bahwa,sesungguhnya pemahaman akan esensi itu muncul "begitu" saja.. :)
Sati-Sampajanna adalah sikap batin dalam bermeditasi, sati-sampajanna akan bertambah kuat dengan latihan yang berkesinambungan. Tetapi Vipassana bukan hanya mengembangkan sati-sampajanna, ada faktor lainnnya yang perlu dikembangkan yaitu Satta Bhojangga, Pancabala dll...QuoteVipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
Setahu saya vipasanna itu penyederhananya adalah kesadaran dalam gerak gerik,disebut sebagai "sati-sampajana"...Apakah perlu pematangan,apakah perlu pelatihan dan seterusnya? :)
May All Being Happy
Hmm menarik sekali jadi bro Riky belum pernah mengalami dukkha? Selalu mengalami sukha?tidak harus arahat untuk merasakan pengalaman anatta
tapi semua arahat pasti paham anatta
jangan diubah...merasakan atau memahami..itu beda..
pertanyaan,apakah seseorang yang bukan arahatta bisa memahami esensi dari Anatta?
ehm mgkn tlg bro riky bisa melihat secara buddhism dimana vedana ada dalam setiap citta yah
karena ini yang seringkali rancu dimana merasakan dalam artian mengikuti apa yang menyenangkan/menolak apa yg tidak menyenangkan disamakan dengan vedana dalam artian sabbacitta sadharana cetasika
ini yang sering membuat diskusi jadi ga nyambung karena sudut pandang awam, dijadikan landasan utk diskusi buddhism
kembali ke pernyataan "pengalaman" bukan "paham anatta" loh, jadi tlg ini dibedakan loh........QuoteBro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Saya tahu bahwa ada fenomena "anicca" "dukkha" dan "anatta",dan rasanya Anda juga tahu bahwa walau sudah "mengetahui" fenomena tersebut,toh banyak yang belum terbebaskan atau merealisasikan "nibbana" seperti yang direalisasikan oleh Buddha Gotama sendiri..
Bro Riky yang baik, memang benar tahu fenomena anicca, dukkha dan anatta tidak membawa seseorang pada kebebasan, karena untuk tahu kita tak perlu memiliki pra kondisi yang diperlukan misalnya perhatian dan konsentrasi (sati dan samadhi). Hanya dengan mengalami membawa seseorang pada kebebasan, dan untuk mengalami seseorang harus memiliki pra kondisi yang diperlukan, yaitu perhatian dan konsentrasi yang cukup. Pernyataan bro Riky bahwa banyak yang belum terbebaskan (belum merealisasikan Nibbana) memang benar, tetapi yang terbebaskan (sudah merealisasi) juga sangat banyak.
permasalahannya adalah isi substansinya sama yaitu "dukkha",tetapi kemudian muncul permasalahan lainnya adalah "esensi" dukkha itu sendiri.. :)
Lihat kisah "kisagotami",kisah "bhikkhuni utama" Buddha,kisah YM Ananda,kisah YM Cula,disana akan terlihat bahwa mereka semua "mengalaminya" sendiri tentang "dukkha" dan "padamnya dukkha",sedangkan kebanyakan orang saat ini?Mereka tahu dukkha itu apa,tetapi hanya sebatas "pengetahuan tentang dukkha",bukan "pengalaman tentang dukkha",apakah itu tidak dikategorikan sebagai "iman" belaka?
Saya tidak paham sama sekali soal yang Bro Fabian sebutkan sebagai "konsentrasi" dan "perhatian",yang saya tahu adalah soal "aha"..
Saya memang lagi duduk santai kok bro... kepercayaan bro Riky berdasarkan persepsi dan kepercayaan. Apa yang saya alami bukan persepsi dan kepercayaan, apa yang saya alami juga dialami oleh banyak meditator lain. Saddha yang saya miliki adalah saddha yang dimaksud oleh Sang Bhagava bro :)QuoteSaya setuju percaya tidak membawa pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha, melainkan pengalaman langsung (direct experience) yang akan membawa kita pada esensi dukkha,dan padamnya dukkha.
Tetapi percaya merupakan langkah awal yang akan memotivasi kita untuk mengalami sendiri esensi dukkha,dan padamnya dukkha.
Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) adalah teori bagi yang belum pernah mengalami dan merupakan pengalaman langsung bagi mereka yang pernah mengalami.
Kalau Bro Fabian setuju,mari kita duduk disini dengan santai,dan berkata bahwa sesungguhnya semua kepercayaan kita saat ini adalah kepercayaan berdasarkan persepsi kita masing-masing,bukan kepercayaan yang sesungguhnya,bukan merupakan Saddha yang dimaksud oleh Bhagava...setuju?QuoteSemoga saya tidak menjadi sombong, semoga saya tidak menjadi angkuh semoga saya semakin dekat pada Dhamma dan tujuan akhir, semoga saya tidak semakin menjauh dari Dhamma dan tujuan akhir.
_/\_
Sadhu.. :)
bro fabian, itu ada di sutta, tapi bukan anattalakhana sutta. saya pernah posting sutta nya bahkan memberi link palinya.Sang Buddha jelas mengatakan,Bro Tesla yang baik, baca dimana terjemahan tersebut? Terjemahan versi pak Hudoyo ya?
melekat pada rupa, aku ada
melekat pada vinanna, aku ada
dst utk... sanna, sankhara, vedana
Untuk menyegarkan kembali ingatan bro Tesla, coba bro Tesla membaca kembali terjemahan anattalakkhana Sutta berikut ini:
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/mendis/wheel268.html (http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/mendis/wheel268.html)
jika yg anda tanya atta ada atau tidak, menurut saya itu pertanyaan yg sama yg didiamkan oleh Buddha.Quote"atta (diri)" sendiri memiliki makna yg lebih luas daripada "aku".
atta disini pada zaman Bhramanisme dikatakan atau diidentifikasikan sebagai roh/inti... oleh karena itu ajaran Sang Buddha tentang anatta, tidak dapat diartikan sebagai "tidak ada diri".
sejauh yg saya tahu, Sang Buddha tidak pernah ingin menjawab pertanyaan tentang diri "ada" ataupun "tidak ada". sebab kedua kepercayaan ini telah ada sebelumnya...
Maaf saya kurang jelas, jadi bro Tesla berpandangan sebelum Arahat atta ada atau tidak?
Jadi Ajaran Buddha menurut anda bagaimana?
Bro Ricky yang baik, kulminasi dari pengalaman anatta adalah lenyapnya sakkaya ditthi (pandangan salah mengenai diri/adanya atta/roh yang kekal). Sakkaya ditthi lenyap pada pencapaian tingkat kesucian pertama. (Sotapanna).Dikatakan bahwa orang yg meyakini bahwa pancakhanda bukan diri adalah dalam jalan pemasuk arus. Orang yg sudah melihat/mengalami itu adalah seorang pemasuk arus.Disini menyakini = kepercayaan/iman belaka juga diperlukan ya?dengan Sutta yg sama, bisa membuat orang memahami dan hancurlah tanha dan tidak melekat lagiAda kemungkinan dengan Sutta yang sama, membuat si pendengar makin tersesat ?
(cuman minta pendapat saja) :D
Ikut nimbrung juga ah.... :)
Bro Hasan yang baik, pengalaman anatta sudah diterangkan oleh penguasa jagad Dhammacitta yaitu tidak harus arahat karena pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman lain yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengalaman anicca dan pengalaman dukkha.
Banyak siswa meditasi Vipassana mengalami hal ini. Jadi pengalaman membuktikan secara langsung mengenai anicca, dukkha dan anatta ini.
Ajaran Buddha bukan mendasarkan ajarannya pada keyakinan atau iman.
Ajaran Sang Buddha mendasarkan Ajarannya pada pengalaman praktek, pengertian dan kebijaksanaan (practice, wisdom dan understanding)
Demikian pentingnya praktek dan pengalaman ini, sehingga mereka yang belum mengalami kebenaran tertinggi (Ultimate Truth/Nibbana) bahkan belum dianggap siswa yang sesungguhnya (belum sekha). Mereka yang belum mengalami Kebenaran Tertinggi masih dianggap umat awam, walau ia mampu menghafal Tipitaka (yang berjumlah 41 buku) beserta komentar dan subkomentar yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari Tipitaka.
_/\_
Nimbrung juga ah..Maksud Bro Fabian apa ya?Tidak perlu menjadi Arahat untuk "memahami" Anatta..Memahami apa maksudnya?
Bro fabian yang baik,Sakkaya ditthi itu mencakup apa saja kah?Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran? :)
Bro riky yang baik, ringkasnya sakkaya ditthi adalah mempercayai segala sesuatu digerakkan oleh roh seperti dalam agama tetangga.
Pada meditator Vipassana, setelah melihat dan mengalami sendiri bahwa semua pandangan palsu mengenai roh disebabkan ketidak tahuan (avijja) bahwa, sebenarnya segala sesuatu yang muncul hanya proses yang timbul-lenyap, dan tiada substansi yang kekal, maka pandangan salah bahwa ada "aku atau roh" yang menggerakkan semua ini menjadi lenyap dengan sendirinya bila avijja lenyap disebabkan berhentinya proses yang menimbulkan kondisi-kondisi.
Pada meditator Vipassana tidak dikembangkan konsep kejijikan, yang berkembang dan menjadi matang adalah pengetahuan pengalaman mengenai tilakkhana. pengalaman semakin tajam dengan semakin kuatnya perhatian dan konsentrasi.Siapa yang bilang meditator vipanssana dikembangkan melalui konsep kejijikan?Saya bilang apakah sakaya ditthi menyentuh sampai hal itu?bukankah Buddha berkata kepada Magadiya dalam dhammapada bahwa Buddha tidak akan menyentuh tubuh yang menjijikan dan wadah kotoran itu ,walau dengan ujung kakinya sekalipun?Buddha telah memahami "anatta" berserta semua esensinya..ternyata itu malah kembali membuktikan bahwa memang hanya seorang Buddha lah yang mampu mengetahui esensi anatta,selanjutnya hanya kepercaayaan/iman belaka..
Tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Sang Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat, jadi segala sesuatu pasti ada sebabnya.QuotePertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Menurut Bro fabian,sebagai praktisi meditasi,apakah pengalaman anatta itu mengalami suatu proses yang berkelanjutan?Kalau begitu,saya jadi bertanya-tanya tentang "pencapaian" instan murid-murid Buddha Gotama,dan pencapaian dari YM Ananda..Menurut saya malah sebaliknya bahwa,sesungguhnya pemahaman akan esensi itu muncul "begitu" saja.. :)
Sati-Sampajanna adalah sikap batin dalam bermeditasi, sati-sampajanna akan bertambah kuat dengan latihan yang berkesinambungan. Tetapi Vipassana bukan hanya mengembangkan sati-sampajanna, ada faktor lainnnya yang perlu dikembangkan yaitu Satta Bhojangga, Pancabala dll...[/quote]QuoteVipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
Setahu saya vipasanna itu penyederhananya adalah kesadaran dalam gerak gerik,disebut sebagai "sati-sampajana"...Apakah perlu pematangan,apakah perlu pelatihan dan seterusnya? :)
May All Being Happy
Banyak orang dengan mudah mengatakan sati-sampajanna tanpa mereka tahu bagaimana menerapkan sati-sampajanna dalam meditasi. Saya yakin bro Riky pernah bermeditasi? Bolehkah saya tahu bagaimana cara bro Riky menerapkan sati-sampajanna?Sama lho,dengan banyak orang dengan gampang mengatakan "nibbana" dan kepercayaannya akan "nibbana".. :D
_/\_
Bro Tesla yang baik, saya kira disini ada inaccuracy penerjemahan, saya bukan mau mengatakan saya lebih tahu dari Bhante Thanissaro, tapi bila kita ikuti asal kata "atta" parallelnya dalam sanskrit adalah "atman". Yang berarti jiwa atau roh/soul. Tapi Bhante Thanissaro mengalihkan artinya menjadi not-self dan no-self.bro fabian, itu ada di sutta, tapi bukan anattalakhana sutta. saya pernah posting sutta nya bahkan memberi link palinya.Sang Buddha jelas mengatakan,Bro Tesla yang baik, baca dimana terjemahan tersebut? Terjemahan versi pak Hudoyo ya?
melekat pada rupa, aku ada
melekat pada vinanna, aku ada
dst utk... sanna, sankhara, vedana
Untuk menyegarkan kembali ingatan bro Tesla, coba bro Tesla membaca kembali terjemahan anattalakkhana Sutta berikut ini:
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/mendis/wheel268.html (http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/mendis/wheel268.html)
saat ini saya udah lupa suttanya, kalau ber0kondisi akan saya posting kembali. kalau tidak yah anda lom beruntung.
sekilas info, di sutta itu sang Buddha mengatakan "aku ada" dalam bahasa palinya bukan "atta" (saya lupa lagi bahasa palinya...)
jadi disini berdasarkan Buddha, berbicara tentang aku, tidak sama dg berbicara tentang atta.
memang benar ada penterjemah yg menerjemahkan anatta sebagai = no-self. terimakasih atas linknya, selain dari terjemahan itu masih banyak sekali terjemahan yg mengartikan sbg no-self jg.
tapi bagi saya itu tidak tepat, saya lebih mengartikannya sebagai not-self.
sebagai referensi, saya lebih sependapat dg bhikkhu Thanissaro, silahkan baca essay beliau.
Quotejika yg anda tanya atta ada atau tidak, menurut saya itu pertanyaan yg sama yg didiamkan oleh Buddha.Quote"atta (diri)" sendiri memiliki makna yg lebih luas daripada "aku".
atta disini pada zaman Bhramanisme dikatakan atau diidentifikasikan sebagai roh/inti... oleh karena itu ajaran Sang Buddha tentang anatta, tidak dapat diartikan sebagai "tidak ada diri".
sejauh yg saya tahu, Sang Buddha tidak pernah ingin menjawab pertanyaan tentang diri "ada" ataupun "tidak ada". sebab kedua kepercayaan ini telah ada sebelumnya...
Maaf saya kurang jelas, jadi bro Tesla berpandangan sebelum Arahat atta ada atau tidak?
Jadi Ajaran Buddha menurut anda bagaimana?
menurut saya, Buddha sama sekali tidak pernah mengatakan soal "ada" atau "tidak ada"
sebaiknya anda baca essay bhikkhu Thanissaro agar mengerti maksud saya. isinya memang sesuatu yg radikal, jadi kalau anda berbeda pendapat yah gpp juga. saya tidak memaksakan pendapat, hanya ingin sharing.
_/\_
huh............... komentar riky yang pedas..............
Bro fabian yang baik,Sakkaya ditthi itu mencakup apa saja kah?Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran? :)
Bro riky yang baik, ringkasnya sakkaya ditthi adalah mempercayai segala sesuatu digerakkan oleh roh seperti dalam agama tetangga.
Pada meditator Vipassana, setelah melihat dan mengalami sendiri bahwa semua pandangan palsu mengenai roh disebabkan ketidak tahuan (avijja) bahwa, sebenarnya segala sesuatu yang muncul hanya proses yang timbul-lenyap, dan tiada substansi yang kekal, maka pandangan salah bahwa ada "aku atau roh" yang menggerakkan semua ini menjadi lenyap dengan sendirinya bila avijja lenyap disebabkan berhentinya proses yang menimbulkan kondisi-kondisi.
Bro fabian,ini sama saja..Anda hanya mengulang apa yang telah saya tanya,saya bertanya,"Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran?" :)
Dengan begitu jelas,bahwa sakkaya ditthi hanya menyentuh permukaannya bukan esensinya,jelas bahwa "sotapanna" masih dalam tahap yang bisa melakukan hal-hal seperti manusia biasa .. :)
Perhatikan yang saya bold apakah itu maksud bro dengan anatta? Itukah yang bro maksud dengan anatta? tubuh menjijikkan dan wadah kotoran?QuotePada meditator Vipassana tidak dikembangkan konsep kejijikan, yang berkembang dan menjadi matang adalah pengetahuan pengalaman mengenai tilakkhana. pengalaman semakin tajam dengan semakin kuatnya perhatian dan konsentrasi.Siapa yang bilang meditator vipanssana dikembangkan melalui konsep kejijikan?Saya bilang apakah sakaya ditthi menyentuh sampai hal itu? bukankah Buddha berkata kepada Magadiya dalam dhammapada bahwa Buddha tidak akan menyentuh tubuh yang menjijikan dan wadah kotoran itu ,walau dengan ujung kakinya sekalipun?Buddha telah memahami "anatta" berserta semua esensinya..ternyata itu malah kembali membuktikan bahwa memang hanya seorang Buddha lah yang mampu mengetahui esensi anatta,selanjutnya hanya kepercaayaan/iman belaka..
QuotePertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Menurut Bro fabian,sebagai praktisi meditasi,apakah pengalaman anatta itu mengalami suatu proses yang berkelanjutan?Kalau begitu,saya jadi bertanya-tanya tentang "pencapaian" instan murid-murid Buddha Gotama,dan pencapaian dari YM Ananda..Menurut saya malah sebaliknya bahwa,sesungguhnya pemahaman akan esensi itu muncul "begitu" saja.. :)
Maaf saya tanya balik kepada bro Riky: dimanakah saya mengatakan bahwa "bro Riky bilang pencerahan terjadi secara kebetulan?"QuoteTak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Sang Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat, jadi segala sesuatu pasti ada sebabnya.
Dalam Samyutta Nikaya (Samudda Sutta) Sang Buddha mengajarkan bahwa Dhamma yang beliau ajarkan tak ada yang seketika, semuanya terjadi melalui proses, bagai dasar laut yang semakin lama semakin dalam.
Maap,nyela dulu Bro fabian,mengapa Anda sangat senang menafsirkan "kalimat" saya sesuai "keinginan Anda"?Saya tidak bilang bahwa "pencerahan" itu adalah "kebetulan",pada kalimat yang manakah didalam kalimat saya yang secara tersirat maupun tersurat ada makna semacam itu?
Jadi,kembali ke pertanyaan saya,"Apakah pencapaian instan itu dilalui oleh proses ini dan itu?"Ya sesuai dengan Samudda Sutta pencerahan terjadi melalui proses yang semakin lama semakin dalam.
QuoteSati-Sampajanna adalah sikap batin dalam bermeditasi, sati-sampajanna akan bertambah kuat dengan latihan yang berkesinambungan. Tetapi Vipassana bukan hanya mengembangkan sati-sampajanna, ada faktor lainnnya yang perlu dikembangkan yaitu Satta Bhojangga, Pancabala dll...QuoteVipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
Setahu saya vipasanna itu penyederhananya adalah kesadaran dalam gerak gerik,disebut sebagai "sati-sampajana"...Apakah perlu pematangan,apakah perlu pelatihan dan seterusnya? :)
May All Being Happy
QuoteBanyak orang dengan mudah mengatakan sati-sampajanna tanpa mereka tahu bagaimana menerapkan sati-sampajanna dalam meditasi. Saya yakin bro Riky pernah bermeditasi? Bolehkah saya tahu bagaimana cara bro Riky menerapkan sati-sampajanna?Sama lho,dengan banyak orang dengan gampang mengatakan "nibbana" dan kepercayaannya akan "nibbana".. :D
_/\_
Baru tahu saya,bahwa "sati" "sampajana" harus "diterapkan",kalau sati sampajana versi saya cukup "diam" saja,tak ada penerapan apapun.. :)
Konsep mahayana beda pula yah, dkatakan kamu semulanya sebenarnya ialah Buddha, cuma saja kamu ditutupi awan awijya dan tanha, krnanya tidak sadar akan kebudhaan dirimu.
Bro Tesla yang baik, saya kira disini ada inaccuracy penerjemahan, saya bukan mau mengatakan saya lebih tahu dari Bhante Thanissaro, tapi bila kita ikuti asal kata "atta" parallelnya dalam sanskrit adalah "atman". Yang berarti jiwa atau roh/soul. Tapi Bhante Thanissaro mengalihkan artinya menjadi not-self dan no-self.no-self bukan sekedar tidak ada roh (no-soul) tapi tidak ada diri, diri dlm pandangan salah bisa dalam wujud macam2, mis: jiwa, nafas, dll. (sorry bukan ini yg saya tekankan, silahkan bahas dg yg lain kalau ingin bahas soal ini)
Saya kira kedua-duanya applicable juga yaitu :
not-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa semua yang dianggap self pada dasarnya adalah kelompok kemelekatan belaka (pancakhandha) yang selalu berubah.
No-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa memang tak ada roh, tetapi kelima pancakhandha tetap ada..
Menurut yang saya baca, yang didiamkan oleh Sang Buddha adalah mengenai apakah Sang Tathagata ada atau Tiada setelah Parinibbana?saya yakin 99% bro fabian pernah baca sutta tentang Sang Buddah ditanya soal atta itu ada atau tidak ada. dan Sang Buddha hanya diam. ketika ditanya alasannya oleh Ananda (kalau saya ga salah ingat), Sang Buddha mengatakan, kalau saya jawab ada, dia akan pergi ke kelompok yg percaya ada atta. dan kalau dijawab ga ada, dia pergi ke kelompok yg percaya ga ada atta.
Tetapi mengenai apakah Tathagata ada atau tiada sewaktu masih hidup dijawab oleh Beliau dalam Anuradha Sutta, Samyutta Nikaya saya hanya kutip bagian terakhir:
ad hominem =))Bro Tesla yang baik, saya kira disini ada inaccuracy penerjemahan, saya bukan mau mengatakan saya lebih tahu dari Bhante Thanissaro, tapi bila kita ikuti asal kata "atta" parallelnya dalam sanskrit adalah "atman". Yang berarti jiwa atau roh/soul. Tapi Bhante Thanissaro mengalihkan artinya menjadi not-self dan no-self.no-self bukan sekedar tidak ada roh (no-soul) tapi tidak ada diri, diri dlm pandangan salah bisa dalam wujud macam2, mis: jiwa, nafas, dll. (sorry bukan ini yg saya tekankan, silahkan bahas dg yg lain kalau ingin bahas soal ini)
Saya kira kedua-duanya applicable juga yaitu :
not-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa semua yang dianggap self pada dasarnya adalah kelompok kemelekatan belaka (pancakhandha) yang selalu berubah.
No-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa memang tak ada roh, tetapi kelima pancakhandha tetap ada..
permasalahan antara no-self vs not-self adalah "no" vs "not".
sebaiknya anda baca essay bhikkhu Thanissaro dg cara biasa, jgn pake abhinna atau cara luar biasa lainnya... sebab ga nyambung. jika ga tertarik, ya sudah lewatkan...QuoteMenurut yang saya baca, yang didiamkan oleh Sang Buddha adalah mengenai apakah Sang Tathagata ada atau Tiada setelah Parinibbana?saya yakin 99% bro fabian pernah baca sutta tentang Sang Buddah ditanya soal atta itu ada atau tidak ada. dan Sang Buddha hanya diam. ketika ditanya alasannya oleh Ananda (kalau saya ga salah ingat), Sang Buddha mengatakan, kalau saya jawab ada, dia akan pergi ke kelompok yg percaya ada atta. dan kalau dijawab ga ada, dia pergi ke kelompok yg percaya ga ada atta.
Tetapi mengenai apakah Tathagata ada atau tiada sewaktu masih hidup dijawab oleh Beliau dalam Anuradha Sutta, Samyutta Nikaya saya hanya kutip bagian terakhir:
okelah mungkin sangking banyaknya jadi lupa...
_/\_
Bro Tesla yang baik, saya kira disini ada inaccuracy penerjemahan, saya bukan mau mengatakan saya lebih tahu dari Bhante Thanissaro, tapi bila kita ikuti asal kata "atta" parallelnya dalam sanskrit adalah "atman". Yang berarti jiwa atau roh/soul. Tapi Bhante Thanissaro mengalihkan artinya menjadi not-self dan no-self.no-self bukan sekedar tidak ada roh (no-soul) tapi tidak ada diri, diri dlm pandangan salah bisa dalam wujud macam2, mis: jiwa, nafas, dll. (sorry bukan ini yg saya tekankan, silahkan bahas dg yg lain kalau ingin bahas soal ini)
Saya kira kedua-duanya applicable juga yaitu :
not-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa semua yang dianggap self pada dasarnya adalah kelompok kemelekatan belaka (pancakhandha) yang selalu berubah.
No-self (anatta / anatman :sanskrit) dalam pengertian bahwa memang tak ada roh, tetapi kelima pancakhandha tetap ada..
permasalahan antara no-self vs not-self adalah "no" vs "not".
sebaiknya anda baca essay bhikkhu Thanissaro dg cara biasa, jgn pake abhinna atau cara luar biasa lainnya... sebab ga nyambung. jika ga tertarik, ya sudah lewatkan...QuoteMenurut yang saya baca, yang didiamkan oleh Sang Buddha adalah mengenai apakah Sang Tathagata ada atau Tiada setelah Parinibbana?saya yakin 99% bro fabian pernah baca sutta tentang Sang Buddah ditanya soal atta itu ada atau tidak ada. dan Sang Buddha hanya diam. ketika ditanya alasannya oleh Ananda (kalau saya ga salah ingat), Sang Buddha mengatakan, kalau saya jawab ada, dia akan pergi ke kelompok yg percaya ada atta. dan kalau dijawab ga ada, dia pergi ke kelompok yg percaya ga ada atta.
Tetapi mengenai apakah Tathagata ada atau tiada sewaktu masih hidup dijawab oleh Beliau dalam Anuradha Sutta, Samyutta Nikaya saya hanya kutip bagian terakhir:
okelah mungkin sangking banyaknya jadi lupa...
_/\_
ad hominem =))itu joke aja kok... biar lebih enak ngobrolnya :P
Bro Tesla yang baik, coba dibaca postingan bro Indra mengenai 4 jenis atta ditthi, adakah yang mengatakan bahwa atta bukan entitas hidup / jiwa / roh / soul?yah, anda menyimpulkan "tidak ada", disitulah pokok yg dibahas bhante Thanissaro. bahwa pernyataan itu kurang tepat.
Saya tahu sutta yang dimaksudkan, Sang Buddha tak mau menjawab karena orang-orang yang sangat melekat pada pandangan salah (miccha ditthi) menganggap bahwa ada entitas hidup / roh dalam diri mereka, sehingga mereka akan tidak siap menerima kenyataan bahwa yang mereka anggap roh sebenarnya adalah kemelekatan pada nama khandha.
Tak ada entitas hidup yang disebut roh (atta / atman).
Sekarang pertanyaan saya: apakah anda percaya bahwa ada atta /entitas hidup / roh?disinilah inti permasalahannya... pertanyaan anda jatuh pada kesimpulan "tidak ada" ataupun "ada", sedangkan saya tidak sampai ke kesimpulan demikian.
ada hal yang membingungkan saya sebagai pemula,
di buddhism dikenal dengan istilah anatta (tiada inti/aku)..jadi sebenarnya siapa yg melewati dunia ini? siapa yang mengalami kesakitan? siapa yg berbuat kebajikan dan kejahatan, serta siapa yg mencapai pencerahan?kalo tiada aku lalu siapa pelakunya dan siapa yg mendapat karma baiknya?
mohon dibantu jawabannya..
ada hal yang membingungkan saya sebagai pemula,
di buddhism dikenal dengan istilah anatta (tiada inti/aku)..jadi sebenarnya siapa yg melewati dunia ini? siapa yang mengalami kesakitan? siapa yg berbuat kebajikan dan kejahatan, serta siapa yg mencapai pencerahan?kalo tiada aku lalu siapa pelakunya dan siapa yg mendapat karma baiknya?
mohon dibantu jawabannya..
- Yang melewati dunia ini adalah paduan nama (batin) dan rupa (fisik jasmani).
- Yang mengalami kesakitan adalah pikiran dan fisik jasmani.
- Yang berbuat kebajikan dan kejahatan adalah makhluk dengan pikiran dan fisik jasmani.
- Yang mencapai Pencerahan adalah makhluk yang menyadari bahwa dirinya adalah tidak kekal, sehingga tidak memuaskan; dan karena itu tidak pantas segala sesuatunya disebut sebagai "dirinya" ataupun "miliknya".
- Yang mendapat buah dari kamma baik adalah paduan dari nama dan rupa di masa depan.
apakah di seluruh dunia ini ada yang bisa disebut sebagai atta? atau apakah di seluruh dunia ini semuanya disebut sebagai anatta?
mohon dibantu jawabnnya..
To Upasaka:
Rupa sudah pasti selalu berubah bahkan berganti,
dan pesaraan, pencerapan dan bentuk2 pikiran bukan hal yang permanen,
lalu si A meninggal dan terlahir menjadi si B, yang dipindah itu kan kesadaran. jadi kenapa tidak bisa disebut kesadaran sebagai INTI/AKU ?
Udah bisa memahami dikit tentang atta. Thanks bro atas penjelasannya.To Upasaka:
Rupa sudah pasti selalu berubah bahkan berganti,
dan pesaraan, pencerapan dan bentuk2 pikiran bukan hal yang permanen,
lalu si A meninggal dan terlahir menjadi si B, yang dipindah itu kan kesadaran. jadi kenapa tidak bisa disebut kesadaran sebagai INTI/AKU ?
Kesadaran tidak berpindah. Namun kesadaran (dalam konteks ini adalah patisandhi vinnana) merupakan salah satu penghubung antara satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.
Kesadaran sendiri merupakan salah satu dari kelompok kehidupan yang timbul, berproses dan tenggelam karena beberapa faktor. Singkatnya, kesadaran pun bergantung dan terkondisikan oleh beberapa faktor. Jadi kesadaran pun tidak pantas disebut sebagai "inti" ataupun "aku".
ad hominem =))itu joke aja kok... biar lebih enak ngobrolnya :P
Bro Tesla yang baik, coba dibaca postingan bro Indra mengenai 4 jenis atta ditthi, adakah yang mengatakan bahwa atta bukan entitas hidup / jiwa / roh / soul?yah, anda menyimpulkan "tidak ada", disitulah pokok yg dibahas bhante Thanissaro. bahwa pernyataan itu kurang tepat.
Saya tahu sutta yang dimaksudkan, Sang Buddha tak mau menjawab karena orang-orang yang sangat melekat pada pandangan salah (miccha ditthi) menganggap bahwa ada entitas hidup / roh dalam diri mereka, sehingga mereka akan tidak siap menerima kenyataan bahwa yang mereka anggap roh sebenarnya adalah kemelekatan pada nama khandha.
Tak ada entitas hidup yang disebut roh (atta / atman).
Saya menunggu jawaban anda atas pertanyaan saya: Apakah anda percaya bahwa atta ada atau tidak ada?QuoteSekarang pertanyaan saya: apakah anda percaya bahwa ada atta /entitas hidup / roh?disinilah inti permasalahannya... pertanyaan anda jatuh pada kesimpulan "tidak ada" ataupun "ada", sedangkan saya tidak sampai ke kesimpulan demikian.
yg dibahas di Anatta Lakhana Sutta cuma a,b,c,d,e (5 khanddha) bukan diri (jika anda setuju dg versi Mahasi Sayadaw).
cuma sampai disini...
tidak sampai pada kesimpulan "tidak ada atta"
faktanya adalah, kalau seseorang tidak melekat pada kesadarannya, tubuhnya, dll (5 khanddha), pertanyaan ada atau tidak ada atta itu akan lenyap sendiri... ini disampaikan oleh bhante Thanissaro dipaling akhir paragraf essaynya. sebab asal dari pertanyaan itu sendiri sudah hilang...
itu joke aja kok... biar lebih enak ngobrolnya :P
Bagi anda enak, apakah anda pernah merenungkan bagi orang lain? Begitukah cara diskusi yang baik?
Saya menunggu jawaban anda atas pertanyaan saya: Apakah anda percaya bahwa atta ada atau tidak ada?
atta ada = eternalis
atta tidak ada = nihilis
pandangan atta ada = sesat
pandangan atta tidak ada = sesat
atta = jiwa/roh/spirit
Quoteitu joke aja kok... biar lebih enak ngobrolnya :P
Bagi anda enak, apakah anda pernah merenungkan bagi orang lain? Begitukah cara diskusi yang baik?
saya tidak merenungkan bro fabian, kalau anda merasa tidak enak, saya minta maaf. _/\_
soal cara diskusi, saya tidak ber-adhominem... saya tidak membantah bro ryu krn bagi saya tidak perlu. itu cuma saran, pilihan tetap ditangan anda, menerima atau menolak. bacalah essay bhikkhu Thanissaro dgn cermat.
& maaf lagi, saya tidak punya niat baik utk menerjemahkan ke bahasa Indonesia :)
QuoteSaya menunggu jawaban anda atas pertanyaan saya: Apakah anda percaya bahwa atta ada atau tidak ada?
pertanyaan ini ga ada gunanya, jadi saya tidak perlu berpikir utk menggenggam satu dari dua kepercayaan tsb.
Penggerak jasmani tak ada - pandangan nihilis
Penggerak jasmani entitas kekal abadi - atta ditthi /eternalis
But this interpretation of the Buddha’s teaching also involves certain difficulties. In the first place, even if we can understand the functional identity of the person as simply the continuity of a causal process in which the evanescent phenomena of the five aggregates occur and recur in a gradually changing pattern, it is hard to understand how this continuity is maintained through death to the birth of the person in a new life. If rebirth is immediate, as the Theravādins held, how can the final moments of one life bring about the beginning of a new life in a place necessarily at some distance from the place of death? But if there is an intermediate state between death and rebirth, as the Sarvāstivādins held, how can the person journey from one life to the next when the aggregates of the old life have passed away and the aggregates of the new life have not yet arisen? Or if there are aggregates in the intermediate state, why does this state not constitute a life interposed between the one that has ended and the one that is to begin?
In the second place, the denial of the ultimate reality of the self certainly seems to cut away the basis for selfishness, but it seems in the same way to cut away the basis for compassion. If the effort to gain anything for oneself is essentially deluded, how can it not be equally deluded to try to gain anything for other persons, other selves? If to be liberated is to realize that there was never anyone to be liberated, why would that liberation not include the realization that there was never anyone else to be liberated either? Yet it was out of compassion that the Buddha, freshly enlightened, undertook to teach in the first place, and without that compassion there would have been no Buddhism.
Schools that accepted this interpretation, such as the Theravāda and Sarvāstivāda, were of course aware of these difficulties and dealt with them as well as they could. But it is not surprising that the Pudgalavādin schools, sensitive to such problems, developed a fundamentally different interpretation of the Buddha’s teaching about the self.
The Pudgalavādins described the person or self as “inexpressible,” that is, as indeterminate in its relation to the five aggregates, since it cannot be identified with the aggregates and cannot be found apart from them: the self and the aggregates are neither the same nor different. But whereas other schools took this indeterminacy as evidence that the self is unreal, the Pudgalavādins understood it to characterize a real self, a self that is “true and ultimate.” It is this self, they maintained, that dies and is reborn through successive lives in Samsara, continuing to exist until enlightenment is attained. Even in Parinirvana, when the aggregates of the enlightened self have passed away in death and no new aggregates can arise in rebirth, the self, though no longer existent with the aggregates of an individual person, cannot actually be said to be non-existent.
[omitted....]
The Pudgalavādins distinguished three ways in which the self can be designated or conceived:
1. according to the aggregates appropriated as its basis in a particular life: In the this case, we have a conception of a particular person based on what we know of that person’s physical appearance, feelings, thoughts, inclinations and awareness.
2. according to its acquisition of new aggregates in its transition from a past life to its present one, or from the present life to a future one: In this case, we would have a conception of a particular person as one who was such-and-such a person, with that person’s body, feelings and so on, in a previous life, or as one who will be reborn as such-and-such a person, with that person’s body, feelings and so on, in a future life.
3. according to the final passing away of its aggregates at death after attaining enlightenment: In the this case, we have a conception of a person who has attained Parinirvana based on the body, feelings, thoughts, inclinations and awareness that have passed away at death without any possibility of recurrence.
If the self was supposed to be conceptual, as the Pudgalavādins seem initially to have asserted, that would tend to support the view that they regarded the self as the totality of its constituent aggregates. This view differed from the Theravādins and Sarvāstivādins in not thinking that this conceptual whole was reducible to its parts. On the other hand, if it was supposed to be substantial, as the Pudgalavādins seem later to have asserted, that would tend to support the view that they regarded it as an entity in its own right, non-different from the aggregates only in the sense that it was inseparably bound to them. But there is a problem that affects both of these interpretations. The person who has completely passed away in Parinirvana is supposed to be neither existent nor non-existent. If the self were the aggregates taken as a whole, then with the final destruction of body, feeling, and so on the self would simply be non-existent. But if the self were an entity distinct from the aggregates though bound to them, then in Parinirvana the self would either come to an end together with the aggregates and thus be non-existent, or else it would continue to exist without the aggregates, in spite of allegedly being bound to them, and so would be simply existent. The former interpretation in fact comes too close to identifying the self with the aggregates, and the latter, to treating it as a separate entity.
An analogy that the Pudgalavādins frequently made use of may give some indication of what they actually had in mind. They say that the person is to the aggregates as fire is to its fuel. This analogy appears in a number of the canonical texts and so would have to be accepted by all Buddhist who accepted these texts, though their understanding of it would of course be different from the Pudgalavādins’. As the Pudgalavādins explain it, fire is described in terms of its fuel, as a wood fire or a straw fire, but the fire is not the same as the fuel, nor can it continue to burn without the fuel. Similarly, the person is described in terms of the aggregates, as having such-and-such a physical appearance and so on, but it is not the same as that particular body, those feelings and so on, and cannot exist without a body, feelings and the other aggregates. This analogy makes it clear that although the aggregates in some sense support the self, they are not actually its constituents, since a fire, though supported by its fuel, is certainly not a whole constituted by some particular arrangement of logs.
Apart from appeals to the canonical texts, the Pudgalavādins also offered arguments pointing out what they saw as the inadequacy of their opponents’ view to account for some of the facts of personal existence and self-cultivation which were generally accepted by Buddhists. They argued, for example, that if there were no person distinguishable from the aggregates, there would be no real basis for identifying oneself, as the Buddha did, with the person that one was in a previous life, since the aggregates in the two lives would be completely different. They evidently felt that the causal relationship that was supposed to obtain between the aggregates of a past life and those of the present life was insufficient to establish a personal identity persisting through the successive lives.
They also argued that one of the meditations recommended by the Buddha, in which the meditator cultivates the wish that all sentient beings may be happy, presupposes the existence of real sentient beings, of persons, to be the objects of the meditator’s benevolence. They rejected their opponents’ opinion that the aggregates are the real object of benevolence, and insisted that if that were the case, the Buddha’s recommendation to wish that all sentient beings may be happy would not have been “well said”. In their opponents’ view, this was simply another case in which the Pudgalavādins failed to recognize that the Buddha spoke conventionally of sentient beings and persons when it would have been inconvenient to speak in terms of the aggregates, which were all that was ultimately there. But to the Pudgalavādins it seemed clear that benevolence toward a sentient being or person is not the same thing as benevolence (if it is possible at all) toward a series of constantly changing aggregates.
They argued also that the operation of karma is incomprehensible if the person is nothing more than an assemblage of phenomena. Destroying a particular arrangement of particles of clay in the form of an ox is not killing anything and has in itself no karmic consequences; but destroying a particular arrangement of aggregates in the form of a living ox is killing something and has unfortunate consequences for the person who killed it. If the ox is really nothing but an arrangement of aggregates, destroying that arrangement, rearranging the aggregates, should have no more moral and karmic significance than smashing the clay image of an ox. Their thought seems to have been something like this: the phenomena (dharmas) which are supposed to be the ox’s constituents cannot, strictly speaking, be destroyed, since their existence is in any case momentary; all that can be destroyed is the arrangement in which these phenomena have been occurring, and that, in the view of their opponents, is nothing real. As Buddhists, their opponents agree with the Pudgalavādins in accepting the effectiveness of karma, but their denial of the reality of the self makes nonsense of what they accept.
Sejauh yang saya perhatikan, justru banyak yang berusaha memahami Dhamma Buddha, termasuk doktrin anatta secara intelek-lah yang kemudian menyimpang.
Btw, mana ada yang manggil om? Hihi.. Salah baca kali?? :P
Buddha tidak menjawab pertanyaan mengenai atta ada atau tidak ada karena bila memberitahukanpun si orang itu tidak akan mengerti, tapi apabila si orang itu sudah melakukan meditasi atau di ajarkan buddha dan memahami bahwa ...selain itu juga mencari tau soal "ada" atau "tidak ada" seperti mencari tau siapa yg menembakkan panah beracun ke kita.
mahluk itu terdiri dari khanda2 maka dia akan mengerti bahwa atta itu sebenarnya tidak ada dan yang ada hanyalah unsur2 dari khanda2. CMIIWyg penting sekarang adalah mengerti bahwa pancakhanddha "bukan diri"... diluar itu adalah sesuatu yg tidak bisa dijelaskan, sama seperti halnya setelah Buddha parinibbana, yg sudah tidak ada lagi pancakhanddha.
mencari tahu ada dan tidak ada berdasarkan saddha tidak ada salahnya, sama seperti seseorang ingin mempunyai tujuan mencapai nibbana tapi tidak mau mencari tahu jalan untuk mencapai nibbana, atau tidak tahu nibbana maka dia tidak akan mau mencapai nibbana khan.Buddha tidak menjawab pertanyaan mengenai atta ada atau tidak ada karena bila memberitahukanpun si orang itu tidak akan mengerti, tapi apabila si orang itu sudah melakukan meditasi atau di ajarkan buddha dan memahami bahwa ...selain itu juga mencari tau soal "ada" atau "tidak ada" seperti mencari tau siapa yg menembakkan panah beracun ke kita.
Quotemahluk itu terdiri dari khanda2 maka dia akan mengerti bahwa atta itu sebenarnya tidak ada dan yang ada hanyalah unsur2 dari khanda2. CMIIWyg penting sekarang adalah mengerti bahwa pancakhanddha "bukan diri"... diluar itu adalah sesuatu yg tidak bisa dijelaskan, sama seperti halnya setelah Buddha parinibbana, yg sudah tidak ada lagi pancakhanddha.
mencari kepastian atta ada atau tidak ada, adalah salah satu bentuk kemelekatan thd pancakhanddha juga. pertanyaan tsb akan sirna (bukan terjawab), ketika seseorang sudah menerima bahwa pancakhanddha bukanlah diri. sebab pertanyaan tsb sebenarnya irrelevant & hanya menjadi deadlock bagi yg berlatih.
Buddha tidak menjawab pertanyaan mengenai atta ada atau tidak ada karena bila memberitahukanpun si orang itu tidak akan mengerti, tapi apabila si orang itu sudah melakukan meditasi atau di ajarkan buddha dan memahami bahwa mahluk itu terdiri dari khanda2 maka dia akan mengerti bahwa atta itu sebenarnya tidak ada dan yang ada hanyalah unsur2 dari khanda2. CMIIWSaya setuju. Jika kita mengatakan "atta/aku tidak ada", maka seperti yang selalu terjadi, orang bertanya, "lalu siapa yang lahir dari ayah/ibu? siapa yang menerima kamma? siapa yang mencapai pencerahan?" Bukankah dengan demikian akan jatuh pada spekulasi "atta sama dengan nama/rupa; atta tidak sama dengan nama/rupa"?
...sama seperti seseorang ingin mempunyai tujuan mencapai nibbana tapi tidak mau mencari tahu jalan untuk mencapai nibbana, atau tidak tahu nibbana maka dia tidak akan mau mencapai nibbana khan.
seseorang ingin mencapai sebrang tetap memerlukan alat bantu rakit, kalau hanya diam saja bagaimana bisa mencapai sebrang.yup, rakitnya adalah berpraktek sesuai dg anattalakhana sustta (salah 1). dan arah tujuannya adalah berakhirnya dukkha.
ada hal yang membingungkan saya sebagai pemula,
di buddhism dikenal dengan istilah anatta (tiada inti/aku)..jadi sebenarnya siapa yg melewati dunia ini? siapa yang mengalami kesakitan? siapa yg berbuat kebajikan dan kejahatan, serta siapa yg mencapai pencerahan?kalo tiada aku lalu siapa pelakunya dan siapa yg mendapat karma baiknya?
mohon dibantu jawabannya..
An-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
An-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
Kalo nurut saya dua2nya.
btw, kira2 kalo udah cerah/bebas....anatta sendiri akhirnya tidak ada.
Anatta timbul karena ada atta, yang dipegang erat oleh awam.
Selama belum sepenuhnya bebas, atta masih ada dan otomatis ada anatta
Pada saat bebas penuh, yaitu atta sepenuhnya tidak ada maka anatta sendiri juga tidak ada.
Demikianlah imajinasi saya......... :|
makanya dimulai dari saddha dulu untuk memulai perjalanan. sumbernya harus pasti dulu....sama seperti seseorang ingin mempunyai tujuan mencapai nibbana tapi tidak mau mencari tahu jalan untuk mencapai nibbana, atau tidak tahu nibbana maka dia tidak akan mau mencapai nibbana khan.
bagaimana tau nibbana?
mulailah dari fakta hidup, KM1, inilah dukkha. nibbana adalah KM4, akhir dari dukkha.
jadi sebenarnya umat Buddha pada umumnya udah tau sekali tentang nibbana sbg akhir dari dukkha.
hanya saja tidak puas dg sekedar itu... jadinya ada pertanyaan soal eksistensi (apakah diri ada apa enggak), apakah ada kehidupan kekal, ataukah nantinya hanya ada anihalisme (pelenyapan total).
[/quote]Quoteseseorang ingin mencapai sebrang tetap memerlukan alat bantu rakit, kalau hanya diam saja bagaimana bisa mencapai sebrang.yup, rakitnya adalah berpraktek sesuai dg anattalakhana sustta (salah 1). dan arah tujuannya adalah berakhirnya dukkha.
entah di pantai seberang ada pohon kelapa atau pasir putih itu nanti lihat di sana aja.
bukannya artinyaAn-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
Kalo nurut saya dua2nya.
btw, kira2 kalo udah cerah/bebas....anatta sendiri akhirnya tidak ada.
Anatta timbul karena ada atta, yang dipegang erat oleh awam.
Selama belum sepenuhnya bebas, atta masih ada dan otomatis ada anatta
Pada saat bebas penuh, yaitu atta sepenuhnya tidak ada maka anatta sendiri juga tidak ada.
Demikianlah imajinasi saya......... :|
No Self = Tidak ada diri...
Not Self = Tidak berdiri sendiri... ? ? ?
bukannya artinyaAn-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
Kalo nurut saya dua2nya.
btw, kira2 kalo udah cerah/bebas....anatta sendiri akhirnya tidak ada.
Anatta timbul karena ada atta, yang dipegang erat oleh awam.
Selama belum sepenuhnya bebas, atta masih ada dan otomatis ada anatta
Pada saat bebas penuh, yaitu atta sepenuhnya tidak ada maka anatta sendiri juga tidak ada.
Demikianlah imajinasi saya......... :|
No Self = Tidak ada diri...
Not Self = Tidak berdiri sendiri... ? ? ?
no self=tidak ada diri
not self=bukan diri
bukannya artinyaAn-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
Kalo nurut saya dua2nya.
btw, kira2 kalo udah cerah/bebas....anatta sendiri akhirnya tidak ada.
Anatta timbul karena ada atta, yang dipegang erat oleh awam.
Selama belum sepenuhnya bebas, atta masih ada dan otomatis ada anatta
Pada saat bebas penuh, yaitu atta sepenuhnya tidak ada maka anatta sendiri juga tidak ada.
Demikianlah imajinasi saya......... :|
No Self = Tidak ada diri...
Not Self = Tidak berdiri sendiri... ? ? ?
no self=tidak ada diri
not self=bukan diri
Not Me = Bukan saya...
No Me = Tidak ada Saya... ? ? ?
Setuju. Hanya berbeda dalam penggunaan istilah teknis saja.. Ada yg sreg dg Not-self. Ada yg sreg dng No-self. Sejauh pengertian yg dirujuk sama, apalah artinya sebuah nama? Kalau pengertian berbeda meski istilah sama, ya sama aja boong.. :Dbukannya artinyaAn-Atta = No SELF atau NOT-SELF ? Karena No-Self dan Not-Self berbeda sama sekali....
Kalo nurut saya dua2nya.
btw, kira2 kalo udah cerah/bebas....anatta sendiri akhirnya tidak ada.
Anatta timbul karena ada atta, yang dipegang erat oleh awam.
Selama belum sepenuhnya bebas, atta masih ada dan otomatis ada anatta
Pada saat bebas penuh, yaitu atta sepenuhnya tidak ada maka anatta sendiri juga tidak ada.
Demikianlah imajinasi saya......... :|
No Self = Tidak ada diri...
Not Self = Tidak berdiri sendiri... ? ? ?
no self=tidak ada diri
not self=bukan diri
Not Me = Bukan saya...
No Me = Tidak ada Saya... ? ? ?
menurut saya bukan perbedaan yg significant,
jika ini Not Me, itu Not Me, so where am I? there's no I.
sdr dilbert, kisah diatas memang jawabn yg briliant mengenai Atta, bhkan terkadang sabdanya bs dijadikan pedoman untk mencpai pembebasan. Tapi bro dilbert mgatakan kisah ini tidak bnar2 terjadi, berarti apakah tidak terdapat dlm tipitaka?? Salam ...ada hal yang membingungkan saya sebagai pemula,
di buddhism dikenal dengan istilah anatta (tiada inti/aku)..jadi sebenarnya siapa yg melewati dunia ini? siapa yang mengalami kesakitan? siapa yg berbuat kebajikan dan kejahatan, serta siapa yg mencapai pencerahan?kalo tiada aku lalu siapa pelakunya dan siapa yg mendapat karma baiknya?
mohon dibantu jawabannya..
Kembali saya meng-QUOTE jawaban yang "menurut saya" brilian sekali tentang ATTA, yang di-kutip dari Buku "Jalur Tua Awan Putih" Karya Thicht Nhat Hanh (walaupun ada pendapat bahwa kisah ini adalah tidak "benar-benar" terjadi" sebagai berikut :
--------
Suatu siang, kala Buddha dan Kassapa sedang berdiri di tepi sungai Neranjara, Kassapa berkata, "Gotama, di hari sebelumnya engkau menyebutkan tentang memeditasikan tubuh, perasaan-perasaan, persepsi persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Aku telah melatih meditasi itu, dan mulai dapat memahami betapa berbagai perasaan dan persepsi seseorang menentukan kualitas kehidupannya. Aku juga melihat tidak adanya elemen kekal abadi yang dapat diketemukan di dalam salah satu dari kelima sungai itu. Aku bahkan dapat melihat bahwa keyakinan akan suatu diri yang terpisah keliru adanya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa seseorang menelusuri jalur spiritual jika tanpa adanya diri ? Siapakah yang akan menjadi terbebaskan ?
Buddha bertanya, "Kassapa, apakah engkau setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran ?"
"Ya Gotama, aku setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran".
"Apakah engkau setuju penderitaan pasti ada seban-sebabnya ?"
"Ya, aku setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"
"Kassapa, ketika sebab sebab penderitaan hadir, maka penderitaan juga hadir. Ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, maka penderitaan pun hilang."
"Ya, aku melihat ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, penderitaan itu sendiri akan hilang."
"Penyebab penderitaan adalah kebodohan bathin, suatu cara yang keliru untuk melihat realita. Berpikir bahwa yang tidak kekal sebagai kekal merupakan kebodohan bathin. Berpikir ada diri sementara tak ada yang disebut diri merupakan kebodohan bathin. Dari kebodohan bathin lahirlah keserakahan, ketakutan, iri hati, dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Jalan menuju pembebasan adalah jalan untuk melihat segala sesuatu secara mendalam agar benar benar mampu memahami sifat dasar ketidak kekalan (Anicca), tiada diri yang terpisah (An-atta), akan saling ketergantungan dari segala sesuatu (Pattica Samupada). Jalan ini adalah jalan untuk mengatasi kebodohan bathin. Setelah kebodohan bathin di atasi, penderitaan pun terlampaui. Itulah pembebasan sejati. Tak perlu ada suatu diri di sana untuk dibebaskan."
--------
sdr dilbert, kisah diatas memang jawabn yg briliant mengenai Atta, bhkan terkadang sabdanya bs dijadikan pedoman untk mencpai pembebasan. Tapi bro dilbert mgatakan kisah ini tidak bnar2 terjadi, berarti apakah tidak terdapat dlm tipitaka?? Salam ...ada hal yang membingungkan saya sebagai pemula,
di buddhism dikenal dengan istilah anatta (tiada inti/aku)..jadi sebenarnya siapa yg melewati dunia ini? siapa yang mengalami kesakitan? siapa yg berbuat kebajikan dan kejahatan, serta siapa yg mencapai pencerahan?kalo tiada aku lalu siapa pelakunya dan siapa yg mendapat karma baiknya?
mohon dibantu jawabannya..
Kembali saya meng-QUOTE jawaban yang "menurut saya" brilian sekali tentang ATTA, yang di-kutip dari Buku "Jalur Tua Awan Putih" Karya Thicht Nhat Hanh (walaupun ada pendapat bahwa kisah ini adalah tidak "benar-benar" terjadi" sebagai berikut :
--------
Suatu siang, kala Buddha dan Kassapa sedang berdiri di tepi sungai Neranjara, Kassapa berkata, "Gotama, di hari sebelumnya engkau menyebutkan tentang memeditasikan tubuh, perasaan-perasaan, persepsi persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Aku telah melatih meditasi itu, dan mulai dapat memahami betapa berbagai perasaan dan persepsi seseorang menentukan kualitas kehidupannya. Aku juga melihat tidak adanya elemen kekal abadi yang dapat diketemukan di dalam salah satu dari kelima sungai itu. Aku bahkan dapat melihat bahwa keyakinan akan suatu diri yang terpisah keliru adanya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa seseorang menelusuri jalur spiritual jika tanpa adanya diri ? Siapakah yang akan menjadi terbebaskan ?
Buddha bertanya, "Kassapa, apakah engkau setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran ?"
"Ya Gotama, aku setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran".
"Apakah engkau setuju penderitaan pasti ada seban-sebabnya ?"
"Ya, aku setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"
"Kassapa, ketika sebab sebab penderitaan hadir, maka penderitaan juga hadir. Ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, maka penderitaan pun hilang."
"Ya, aku melihat ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, penderitaan itu sendiri akan hilang."
"Penyebab penderitaan adalah kebodohan bathin, suatu cara yang keliru untuk melihat realita. Berpikir bahwa yang tidak kekal sebagai kekal merupakan kebodohan bathin. Berpikir ada diri sementara tak ada yang disebut diri merupakan kebodohan bathin. Dari kebodohan bathin lahirlah keserakahan, ketakutan, iri hati, dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Jalan menuju pembebasan adalah jalan untuk melihat segala sesuatu secara mendalam agar benar benar mampu memahami sifat dasar ketidak kekalan (Anicca), tiada diri yang terpisah (An-atta), akan saling ketergantungan dari segala sesuatu (Pattica Samupada). Jalan ini adalah jalan untuk mengatasi kebodohan bathin. Setelah kebodohan bathin di atasi, penderitaan pun terlampaui. Itulah pembebasan sejati. Tak perlu ada suatu diri di sana untuk dibebaskan."
--------
Konsep mahayana beda pula yah, dkatakan kamu semulanya sebenarnya ialah Buddha, cuma saja kamu ditutupi awan awijya dan tanha, krnanya tidak sadar akan kebudhaan dirimu.Konsep Mahayana itu minimal meng-indikasi bahwa untuk mencapai pencerahan bukan dengan mencarinya di luar dari diri kita.
Sdg theravada tidak pernah brkata seperti itu. Krn kamu awalnya memang sudah avijja bukan buddha, dan kamu berjuang untk menghapus avijja n tanha brulah jd buddha. Maaf oot.
Dari kalimat Anda, berarti sebaliknya konsep Theravada itu mengindikasikan bahwa cara untuk mencapai pencerahan adalah dengan mencarinya di luar dari diri kita. Begitu?Konsep mahayana beda pula yah, dkatakan kamu semulanya sebenarnya ialah Buddha, cuma saja kamu ditutupi awan awijya dan tanha, krnanya tidak sadar akan kebudhaan dirimu.Konsep Mahayana itu minimal meng-indikasi bahwa untuk mencapai pencerahan bukan dengan mencarinya di luar dari diri kita.
Sdg theravada tidak pernah brkata seperti itu. Krn kamu awalnya memang sudah avijja bukan buddha, dan kamu berjuang untk menghapus avijja n tanha brulah jd buddha. Maaf oot.
Bukan bro. Kalimat saya itu tidak ada kaitan dengan konsep Theravada.Dari kalimat Anda, berarti sebaliknya konsep Theravada itu mengindikasikan bahwa cara untuk mencapai pencerahan adalah dengan mencarinya di luar dari diri kita. Begitu?Konsep mahayana beda pula yah, dkatakan kamu semulanya sebenarnya ialah Buddha, cuma saja kamu ditutupi awan awijya dan tanha, krnanya tidak sadar akan kebudhaan dirimu.Konsep Mahayana itu minimal meng-indikasi bahwa untuk mencapai pencerahan bukan dengan mencarinya di luar dari diri kita.
Sdg theravada tidak pernah brkata seperti itu. Krn kamu awalnya memang sudah avijja bukan buddha, dan kamu berjuang untk menghapus avijja n tanha brulah jd buddha. Maaf oot.
Saya menangkap demikian karena sebelumnya Juice_alpukat sedang berbicara antara perbedaan mahayana dan theravada mengenai hakikat kebuddhaan. Thanks klarifikasinya. Kalau begitu bagaimana menurut Bro Hasan mengenai konsep Theravada? Apakah mencari di luar diri atau ke dalam diri, untuk mencapai pencerahan?Mengenai konsep Theravada, kita serahkan kepada senior2 forum ini.
Saya pikir Bro Hasan sudah tahu jawabannya, tapi menghindari dengan menyerahkan pada senior2 lain. Kalau begitu saya juga bisa menjawab pertanyaan Bro Hasan.Saya menangkap demikian karena sebelumnya Juice_alpukat sedang berbicara antara perbedaan mahayana dan theravada mengenai hakikat kebuddhaan. Thanks klarifikasinya. Kalau begitu bagaimana menurut Bro Hasan mengenai konsep Theravada? Apakah mencari di luar diri atau ke dalam diri, untuk mencapai pencerahan?Mengenai konsep Theravada, kita serahkan kepada senior2 forum ini.
Pertanyaan susulan yang menarik, mungkin :
1. Mencari ke dalam diri itu maksudnya ngimana ?
2. Caranya ngimana ?
Semoga ada yang memberikan masukan.
Thanks.
Bro fabian yang baik,Sakkaya ditthi itu mencakup apa saja kah?Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran? :)
Bro riky yang baik, ringkasnya sakkaya ditthi adalah mempercayai segala sesuatu digerakkan oleh roh seperti dalam agama tetangga.
Pada meditator Vipassana, setelah melihat dan mengalami sendiri bahwa semua pandangan palsu mengenai roh disebabkan ketidak tahuan (avijja) bahwa, sebenarnya segala sesuatu yang muncul hanya proses yang timbul-lenyap, dan tiada substansi yang kekal, maka pandangan salah bahwa ada "aku atau roh" yang menggerakkan semua ini menjadi lenyap dengan sendirinya bila avijja lenyap disebabkan berhentinya proses yang menimbulkan kondisi-kondisi.
Bro fabian,ini sama saja..Anda hanya mengulang apa yang telah saya tanya,saya bertanya,"Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran?" :)
Dengan begitu jelas,bahwa sakkaya ditthi hanya menyentuh permukaannya bukan esensinya,jelas bahwa "sotapanna" masih dalam tahap yang bisa melakukan hal-hal seperti manusia biasa .. :)
Bro riky yang baik, boleh tahu siapa yang mengajarkan kepada bro Riky bahwa sakkaya ditthi menyentuh permukaannya saja? apakah bro tahu arti sakkaya ditthi?
Siapa yang mengajarkan bahwa esensi anatta adalah : tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja? Bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran?" boleh tahu referensinya?QuotePerhatikan yang saya bold apakah itu maksud bro dengan anatta? Itukah yang bro maksud dengan anatta? tubuh menjijikkan dan wadah kotoran?QuotePada meditator Vipassana tidak dikembangkan konsep kejijikan, yang berkembang dan menjadi matang adalah pengetahuan pengalaman mengenai tilakkhana. pengalaman semakin tajam dengan semakin kuatnya perhatian dan konsentrasi.Siapa yang bilang meditator vipanssana dikembangkan melalui konsep kejijikan?Saya bilang apakah sakaya ditthi menyentuh sampai hal itu? bukankah Buddha berkata kepada Magadiya dalam dhammapada bahwa Buddha tidak akan menyentuh tubuh yang menjijikan dan wadah kotoran itu ,walau dengan ujung kakinya sekalipun?Buddha telah memahami "anatta" berserta semua esensinya..ternyata itu malah kembali membuktikan bahwa memang hanya seorang Buddha lah yang mampu mengetahui esensi anatta,selanjutnya hanya kepercaayaan/iman belaka..QuoteQuotePertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Menurut Bro fabian,sebagai praktisi meditasi,apakah pengalaman anatta itu mengalami suatu proses yang berkelanjutan?Kalau begitu,saya jadi bertanya-tanya tentang "pencapaian" instan murid-murid Buddha Gotama,dan pencapaian dari YM Ananda..Menurut saya malah sebaliknya bahwa,sesungguhnya pemahaman akan esensi itu muncul "begitu" saja.. :)
bold: ya pengalaman anatta bertambah lama bertambah jelas.
Bisakah ditunjukkan dimanakah di Tipitaka dikatakan bahwa ada pencapaian Arahat yang instan? Siapa yang mengajarkan bro Riky?QuoteMaaf saya tanya balik kepada bro Riky: dimanakah saya mengatakan bahwa "bro Riky bilang pencerahan terjadi secara kebetulan?"QuoteTak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Sang Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat, jadi segala sesuatu pasti ada sebabnya.
Dalam Samyutta Nikaya (Samudda Sutta) Sang Buddha mengajarkan bahwa Dhamma yang beliau ajarkan tak ada yang seketika, semuanya terjadi melalui proses, bagai dasar laut yang semakin lama semakin dalam.
Maap,nyela dulu Bro fabian,mengapa Anda sangat senang menafsirkan "kalimat" saya sesuai "keinginan Anda"?Saya tidak bilang bahwa "pencerahan" itu adalah "kebetulan",pada kalimat yang manakah didalam kalimat saya yang secara tersirat maupun tersurat ada makna semacam itu?QuoteJadi,kembali ke pertanyaan saya,"Apakah pencapaian instan itu dilalui oleh proses ini dan itu?"Ya sesuai dengan Samudda Sutta pencerahan terjadi melalui proses yang semakin lama semakin dalam.
Menurut bro Riky bagaimana? terjadi seketika? Bisa diterangkan bagaimana caranya?QuoteQuoteSati-Sampajanna adalah sikap batin dalam bermeditasi, sati-sampajanna akan bertambah kuat dengan latihan yang berkesinambungan. Tetapi Vipassana bukan hanya mengembangkan sati-sampajanna, ada faktor lainnnya yang perlu dikembangkan yaitu Satta Bhojangga, Pancabala dll...QuoteVipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
Setahu saya vipasanna itu penyederhananya adalah kesadaran dalam gerak gerik,disebut sebagai "sati-sampajana"...Apakah perlu pematangan,apakah perlu pelatihan dan seterusnya? :)
May All Being Happy
Kalau begitu,apa sih arti "sati-sampajanna" menurut Anda?
Sati-Sampajanna berarti perhatian dan kewaspadaan. Itulah artinya sati-sampajanna.QuoteQuoteBanyak orang dengan mudah mengatakan sati-sampajanna tanpa mereka tahu bagaimana menerapkan sati-sampajanna dalam meditasi. Saya yakin bro Riky pernah bermeditasi? Bolehkah saya tahu bagaimana cara bro Riky menerapkan sati-sampajanna?Sama lho,dengan banyak orang dengan gampang mengatakan "nibbana" dan kepercayaannya akan "nibbana".. :D
_/\_
Baru tahu saya,bahwa "sati" "sampajana" harus "diterapkan",kalau sati sampajana versi saya cukup "diam" saja,tak ada penerapan apapun.. :)
Hmm... menarik sekali... siapakah yang mengajarkan mengenai sati-sampajanna seperti ini kepada bro Riky?
Apakah seseorang yang tidur dengan nyenyak juga sati-sampajana?
Tidur juga diam.... tak ada penerapan apapun... dan tak perlu penerapan apapun.... :)
_/\_
Bro fabian yang baik,Sakkaya ditthi itu mencakup apa saja kah?Sakkaya ditthi mengatakan tentang "pandangan salah akan kepercayaan adanya roh yang kekal",apakah sakkaya ditthi menyentuh pada esensi anatta bahwa tubuh hanya terdiri dari gugusan-gugusan pembentuk saja?bahwa tubuh ini sesungguhnya menjijikan dan memiliki 9 lubang kotoran? :)
Perhatikan yang saya bold apakah itu maksud bro dengan anatta? Itukah yang bro maksud dengan anatta? tubuh menjijikkan dan wadah kotoran?QuotePada meditator Vipassana tidak dikembangkan konsep kejijikan, yang berkembang dan menjadi matang adalah pengetahuan pengalaman mengenai tilakkhana. pengalaman semakin tajam dengan semakin kuatnya perhatian dan konsentrasi.Siapa yang bilang meditator vipanssana dikembangkan melalui konsep kejijikan?Saya bilang apakah sakaya ditthi menyentuh sampai hal itu? bukankah Buddha berkata kepada Magadiya dalam dhammapada bahwa Buddha tidak akan menyentuh tubuh yang menjijikan dan wadah kotoran itu ,walau dengan ujung kakinya sekalipun?Buddha telah memahami "anatta" berserta semua esensinya..ternyata itu malah kembali membuktikan bahwa memang hanya seorang Buddha lah yang mampu mengetahui esensi anatta,selanjutnya hanya kepercaayaan/iman belaka..
QuotePertanyaannya kurang tepat diterapkan bro, ada "degree" pengalaman anatta yang berbeda-beda pada setiap praktisi Vipassana, semakin tinggi pencapaian semakin jelas pengalaman anatta (tentunya juga pengalaman anicca dan dukkha karena ketiganya berkaitan) bagaimanakah pengalaman anatta? semakin mengalami berbagai macam fenomena semakin melihat ia bahwa tak ada aku, tak ada jiwa, tak ada roh, yang ada hanya bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran dll.
Menurut Bro fabian,sebagai praktisi meditasi,apakah pengalaman anatta itu mengalami suatu proses yang berkelanjutan?Kalau begitu,saya jadi bertanya-tanya tentang "pencapaian" instan murid-murid Buddha Gotama,dan pencapaian dari YM Ananda..Menurut saya malah sebaliknya bahwa,sesungguhnya pemahaman akan esensi itu muncul "begitu" saja.. :)
Maaf saya tanya balik kepada bro Riky: dimanakah saya mengatakan bahwa "bro Riky bilang pencerahan terjadi secara kebetulan?"QuoteTak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Sang Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat, jadi segala sesuatu pasti ada sebabnya.
Dalam Samyutta Nikaya (Samudda Sutta) Sang Buddha mengajarkan bahwa Dhamma yang beliau ajarkan tak ada yang seketika, semuanya terjadi melalui proses, bagai dasar laut yang semakin lama semakin dalam.
Maap,nyela dulu Bro fabian,mengapa Anda sangat senang menafsirkan "kalimat" saya sesuai "keinginan Anda"?Saya tidak bilang bahwa "pencerahan" itu adalah "kebetulan",pada kalimat yang manakah didalam kalimat saya yang secara tersirat maupun tersurat ada makna semacam itu?
Jadi,kembali ke pertanyaan saya,"Apakah pencapaian instan itu dilalui oleh proses ini dan itu?"Ya sesuai dengan Samudda Sutta pencerahan terjadi melalui proses yang semakin lama semakin dalam.
QuoteSati-Sampajanna adalah sikap batin dalam bermeditasi, sati-sampajanna akan bertambah kuat dengan latihan yang berkesinambungan. Tetapi Vipassana bukan hanya mengembangkan sati-sampajanna, ada faktor lainnnya yang perlu dikembangkan yaitu Satta Bhojangga, Pancabala dll...QuoteVipassana adalah proses pematangan pengalaman terhadap ketiga karakteristik ini (tilakkhana), bila pada meditasi Vipassana pengalaman terhadap ketiga karakteristik tak berkembang ada dua kemungkinan, yaitu sang meditator belum siap Vipassana atau meditasi yang diikutinya bukan Vipassana.
_/\_
Setahu saya vipasanna itu penyederhananya adalah kesadaran dalam gerak gerik,disebut sebagai "sati-sampajana"...Apakah perlu pematangan,apakah perlu pelatihan dan seterusnya? :)
May All Being Happy
QuoteBanyak orang dengan mudah mengatakan sati-sampajanna tanpa mereka tahu bagaimana menerapkan sati-sampajanna dalam meditasi. Saya yakin bro Riky pernah bermeditasi? Bolehkah saya tahu bagaimana cara bro Riky menerapkan sati-sampajanna?Sama lho,dengan banyak orang dengan gampang mengatakan "nibbana" dan kepercayaannya akan "nibbana".. :D
_/\_
Baru tahu saya,bahwa "sati" "sampajana" harus "diterapkan",kalau sati sampajana versi saya cukup "diam" saja,tak ada penerapan apapun.. :)
“Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan bijaksana bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’, ‘kamu’ atau ‘dirimu’ semata.”
“Siswa Yang Ariya setelah memahami uraian ini akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas, ia akan melihat kejijikan dari pancakkhandha tersebut. Setelah melihat kejijikannya, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak lagi melekat pada apapun.”
“Karena tidak lagi melekat pada apapun, maka timbullah Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas dari lingkaran tumimbal-lahir. Kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus ia kerjakan.”
[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Sebenarnya perbedaan pandangan mengenai anatta ini karena atta diterjemahkan sebagai self (diri), tetapi saya lebih suka penerjemahan atta/atma = soul, yang saya rasa lebih tepat.
buddha menerangkan dhamma dengan cara Pannatta & Paramatta :Sebenarnya perbedaan pandangan mengenai anatta ini karena atta diterjemahkan sebagai self (diri), tetapi saya lebih suka penerjemahan atta/atma = soul, yang saya rasa lebih tepat.
atta vagga (dlm dhammapada), disana semua yg dibahas adalah tentang "diri sendiri". :)
dalam agama lain ya, atta = soul. dalam Buddhisme, pendapat kita bertolak belakang
[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Sering dikatakan dalam untaian...
Sabbe Sankhara Anicca
Sabbe Sankhara Dukkha
Sabbe Dhamma An-atta...
Jika Anicca dan Dukkha di-hubungkan dengan Sankhara (bentukan), mengapa An-atta di-taut-kan dengan istilah dhamma (fenomena) ? Lantas bagaimana penjelasan Sabbe Dhamma An-atta itu sendiri ?
menurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut. apabila ajaran Buddha digolongkan dalam ilmu psikologi, ilmu pengetahuan alam, dll, maka akan lebih banyak orang yang mempelajari ajaran Buddha.[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_
[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_
menurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut.
Apabila ajaran Buddha digolongkan dalam ilmu psikologi, ilmu pengetahuan alam, dll, maka akan lebih banyak orang yang mempelajari ajaran Buddha. seperti misalnya ajaran Phytagoras, karena ajaran phytagoras tidak memakai embel-embel agama, maka sekarang ajaran beliau dapat memasuki semua sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi. bukankah hal ini jauh lebih baik?
ada juga filsuf besar semacam Kong Hu Cu yang ajarannya dipelajari seluruh rakyat China, selama berabad-abad, (sampai-sampai para pionir revolusi perancis juga mempelajari filsafatnya ). ini semua dapat terjadi apabila embel-embel agama dilenyapkan.
tapi masalahnya sederhana saja apakah benar embel-embel agama pada ajaran Buddha ini dapat dilenyapkan begitu saja? benarkah tidak ada keyakinan/iman dalam agama Buddha ?
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
menurut bro tesla ?
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
menurut bro tesla ?
terjemahan formal utk anatta adalah no-self atau not-self.
saya bukan bilang no-soul tidak benar, cuma bilang sok tau pikiran orang lain aja bisa menilai demikian (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul... geli saya bacanya)
kalau terjemahan Not-Self bisa tidak di-arti-kan sebagai Tidak berdiri sendiri. Kalau di liat dari penjelasan panjang x lebar dari anattalakkhana sutta, memang di katakan bahwa semua fenomena di dunia ini tidak terdiri dari satu sebab penyusun-nya saja...memang, semua fenomena berketergantungan/berkondisi pada sebabnya.
kalau terjemahan Not-Self bisa tidak di-arti-kan sebagai Tidak berdiri sendiri. Kalau di liat dari penjelasan panjang x lebar dari anattalakkhana sutta, memang di katakan bahwa semua fenomena di dunia ini tidak terdiri dari satu sebab penyusun-nya saja...memang, semua fenomena berketergantungan/berkondisi pada sebabnya.
berketergantungan ini menurut saya lebih tepat disebut dg "sankhara".
sankhara tidak terbatas pada bentukan mental saja.
contoh pesan Sang Buddha terakhir: "vaya dhamma sankhara",
tilakhanna "sabbe sankhara anicca & dukkha"
gak nyambung,[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_Quotemenurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut.
Bro 4dmyn yang baik, ada perbedaan antara orang yang mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas dan orang yang menanggapi kisah ayam bertelur emas dengan akal sehat. Orang-orang dungu mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas karena kisah itu diceritakan gurunya.
masyarakat umum jelas mendefinisikan hal ini: suatu ajaran yang memerlukan iman/keyakinan disebut sebagai agama.QuoteApabila ajaran Buddha digolongkan dalam ilmu psikologi, ilmu pengetahuan alam, dll, maka akan lebih banyak orang yang mempelajari ajaran Buddha. seperti misalnya ajaran Phytagoras, karena ajaran phytagoras tidak memakai embel-embel agama, maka sekarang ajaran beliau dapat memasuki semua sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi. bukankah hal ini jauh lebih baik?
ada juga filsuf besar semacam Kong Hu Cu yang ajarannya dipelajari seluruh rakyat China, selama berabad-abad, (sampai-sampai para pionir revolusi perancis juga mempelajari filsafatnya ). ini semua dapat terjadi apabila embel-embel agama dilenyapkan.
Nampaknya saya perlu bertanya kepada bro 4dmyn karena argumen saudara nampaknya tidak nyambung. Apakah yang dimaksud agama, apakah definisi dan kriteria agama?
Quotetapi masalahnya sederhana saja apakah benar embel-embel agama pada ajaran Buddha ini dapat dilenyapkan begitu saja? benarkah tidak ada keyakinan/iman dalam agama Buddha ?
Diatas saya sudah jawab pertanyaan saudara, sekarang saya menunggu jawaban pertanyaan saya, apakah definisi dan kriteria agama?
_/\_
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
menurut bro tesla ?
terjemahan formal utk anatta adalah no-self atau not-self.
saya bukan bilang no-soul tidak benar, cuma bilang sok tau pikiran orang lain aja bisa menilai demikian (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul... geli saya bacanya)
gak nyambung,[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_Quotemenurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut.
Bro 4dmyn yang baik, ada perbedaan antara orang yang mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas dan orang yang menanggapi kisah ayam bertelur emas dengan akal sehat. Orang-orang dungu mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas karena kisah itu diceritakan gurunya.
Sebaiknya anda lebih banyak mencari tahu definisi agama dan kriteria agama bro....Quotemasyarakat umum jelas mendefinisikan hal ini: suatu ajaran yang memerlukan iman/keyakinan disebut sebagai agama.QuoteApabila ajaran Buddha digolongkan dalam ilmu psikologi, ilmu pengetahuan alam, dll, maka akan lebih banyak orang yang mempelajari ajaran Buddha. seperti misalnya ajaran Phytagoras, karena ajaran phytagoras tidak memakai embel-embel agama, maka sekarang ajaran beliau dapat memasuki semua sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi. bukankah hal ini jauh lebih baik?
ada juga filsuf besar semacam Kong Hu Cu yang ajarannya dipelajari seluruh rakyat China, selama berabad-abad, (sampai-sampai para pionir revolusi perancis juga mempelajari filsafatnya ). ini semua dapat terjadi apabila embel-embel agama dilenyapkan.
Nampaknya saya perlu bertanya kepada bro 4dmyn karena argumen saudara nampaknya tidak nyambung. Apakah yang dimaksud agama, apakah definisi dan kriteria agama?
ada sebagian ajaran Buddha yang memang dengan mudah dilogika, masuk akal, bisa dibuktikan, tapi ada beberapa bagian yang gak bisa dibuktikan : 6 alam kehidupan, nibbana, dll..
_/\_QuoteQuotetapi masalahnya sederhana saja apakah benar embel-embel agama pada ajaran Buddha ini dapat dilenyapkan begitu saja? benarkah tidak ada keyakinan/iman dalam agama Buddha ?
Diatas saya sudah jawab pertanyaan saudara, sekarang saya menunggu jawaban pertanyaan saya, apakah definisi dan kriteria agama?
_/\_
Bila saya mengatakan "diri saya sedang sakit, ini bukan berarti saya percaya atta/roh yang sedang sakit, atau mengakui adanya atta/roh yang sakit, tetapi hanya menjelaskan bahwa jasmani saya sakit dan juga perasaan"
_/\_
Bro Ryu yang baik, saya kehilangan komentar terhadap tulisan anda bro, jujur speechless deh...., paling bisa ngasih GRP :) Oops maaf nunggu sebulan lagi nih...ngutang yak =))
Bila saya mengatakan "diri saya sedang sakit, ini bukan berarti saya percaya atta/roh yang sedang sakit, atau mengakui adanya atta/roh yang sakit, tetapi hanya menjelaskan bahwa jasmani saya sakit dan juga perasaan"
_/\_
entah bahasa anda yg aneh, atau anda ga mo ngakui arti dari tulisan anda sebelumnya...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
menurut bro tesla ?
terjemahan formal utk anatta adalah no-self atau not-self.
saya bukan bilang no-soul tidak benar, cuma bilang sok tau pikiran orang lain aja bisa menilai demikian (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul... geli saya bacanya)
Bro Tesla yang baik, saya rasa anda menuduh diri sendiri sok tahu, karena saya tidak mengatakan seperti itu (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul...)
Apakah anda bisa membaca pikiran saya sehingga menuduh saya seolah-olah bisa membaca pikiran orang? perhatikan bahwa setiap kalimat dipisahkan koma. Apakah anda terbiasa membaca tanpa peduli titik koma?
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.=))
Rupanya anda tidak jelas dengan tulisan saya, tanpa bertanya kepada saya apa maksudnya langsung menginterpretasikan tulisan saya. Sayangnya interpretasi anda salah :)jika ditilik dari sejarah, postingan anda selalu berhub dg debat di masa lalu, yah semoga saya yg salah :)
Baiklah supaya jangan berpanjang-panjang kita langsung to the point, saya ingin tahu anda ngotot not-self bukan no-self atau no-soul, jadi saya ingin bertanya:yg ngotot "no-soul" itu Anda, bukan saya. di awal2 thread anda udah tanya sama saya, not-self apa, dan soul ada atau tidak. saya sudah menjawab. tapi anda ngotot tanya terus. 1000x pun anda tanya, jawaban saya tidak akan berubah. "bacalah essay bhikkhu Thanissaro tentang No-Self & Not-Self". disitu dibahas mengenai no-self & not-self. sementara diakhir essay tsb, pertanyaan tentang ada atau tidak ada akan hilang dengan sendirinya.
- terangkan apa yang anda maksudkan bukan-diri (not-self)?
- menurut anda roh (soul) ada atau tidak?
Sering dikatakan dalam untaian...
Sabbe Sankhara Anicca
Sabbe Sankhara Dukkha
Sabbe Dhamma An-atta...
Jika Anicca dan Dukkha di-hubungkan dengan Sankhara (bentukan), mengapa An-atta di-taut-kan dengan istilah dhamma (fenomena) ? Lantas bagaimana penjelasan Sabbe Dhamma An-atta itu sendiri ?
entah bahasa anda yg aneh, atau anda ga mo ngakui arti dari tulisan anda sebelumnya...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
sok tau loe =))
menurut bro tesla ?
terjemahan formal utk anatta adalah no-self atau not-self.
saya bukan bilang no-soul tidak benar, cuma bilang sok tau pikiran orang lain aja bisa menilai demikian (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul... geli saya bacanya)
Bro Tesla yang baik, saya rasa anda menuduh diri sendiri sok tahu, karena saya tidak mengatakan seperti itu (org yg pake terjemahan self terlanjur percaya pada eternal soul...)
Apakah anda bisa membaca pikiran saya sehingga menuduh saya seolah-olah bisa membaca pikiran orang? perhatikan bahwa setiap kalimat dipisahkan koma. Apakah anda terbiasa membaca tanpa peduli titik koma?
ini saya quote tulisan anda sekali lagi:Quote...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.=))
...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an....tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, apakah menurut anda mudah bagi seseorang yang terlanjur percaya ada roh yang abadi, menerima bahwa mereka dikatakan tak memiliki roh?
QuoteRupanya anda tidak jelas dengan tulisan saya, tanpa bertanya kepada saya apa maksudnya langsung menginterpretasikan tulisan saya. Sayangnya interpretasi anda salah :)jika ditilik dari sejarah, postingan anda selalu berhub dg debat di masa lalu, yah semoga saya yg salah :)
QuoteBaiklah supaya jangan berpanjang-panjang kita langsung to the point, saya ingin tahu anda ngotot not-self bukan no-self atau no-soul, jadi saya ingin bertanya:yg ngotot "no-soul" itu Anda, bukan saya. di awal2 thread anda udah tanya sama saya, not-self apa, dan soul ada atau tidak. saya sudah menjawab. tapi anda ngotot tanya terus. 1000x pun anda tanya, jawaban saya tidak akan berubah. "bacalah essay bhikkhu Thanissaro tentang No-Self & Not-Self". disitu dibahas mengenai no-self & not-self. sementara diakhir essay tsb, pertanyaan tentang ada atau tidak ada akan hilang dengan sendirinya.
- terangkan apa yang anda maksudkan bukan-diri (not-self)?
- menurut anda roh (soul) ada atau tidak?
saya merasa terintimidasi nih, kaya diteror dg pertanyaan ini2 terus. :P
Mungkin bahasa saya yang terdengar aneh bagi anda atau anda yang tidak terbiasa baca titik koma bro, kita kutip lagi ya? :)okelah jadi bahas bahasa pula :)Quote...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
Nah ini yang saya bingung bro... saya justru berpikir anda yang begitu... menilik bahwa kadang anda begitu sengit dan seringkali offensif....berarti saya keliatan sengit & ofensif, ntar saya coba koreksi deh. thanks inputnya.
- apakah yang disebut atta itu?dalam dunia brahmanisme, atta berarti jiwa atau soul, inti diri, dll...
saya mengatakan tentang kerugian sebuah embel-embel "agama", tapi anda mengatakan tentang analogi ayam bertelur emas, kalau memang ada hubungannya tolong anda jelaskan.Quotegak nyambung,[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_Quotemenurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut.
Bro 4dmyn yang baik, ada perbedaan antara orang yang mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas dan orang yang menanggapi kisah ayam bertelur emas dengan akal sehat. Orang-orang dungu mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas karena kisah itu diceritakan gurunya.
Bro 4dmyn yang baik, saya rasa memang nggak nyambung, karena hanya orang yang kritis yang bila diberi analogi akan nyambung.
So? Persoalannya kata jadi? Sebenarnya bila kurang jelas, bertanya kepada yang menulis agar menjadi jelas.Mungkin bahasa saya yang terdengar aneh bagi anda atau anda yang tidak terbiasa baca titik koma bro, kita kutip lagi ya? :)okelah jadi bahas bahasa pula :)Quote...tapi bila direnungkan kadang memang sulit diterima oleh mereka yang terlanjur percaya bahwa ada roh yang abadi, jadi atta kadang diterjemahkan sebagai diri (self), bahkan ada yang menginterpretasikan bahwa atta adalah ke-aku-an.
Kita kadang kala memang tak sependapat bro, tapi saya rasa tak perlu menjadi emosi karena perbedaan pendapat, karena dalam diskusi semua peserta diskusi selalu berargumen bahwa pendapatnya lebih benar, wajar-wajar saja...QuoteNah ini yang saya bingung bro... saya justru berpikir anda yang begitu... menilik bahwa kadang anda begitu sengit dan seringkali offensif....berarti saya keliatan sengit & ofensif, ntar saya coba koreksi deh. thanks inputnya.
serius, saya ga bermaksud utk ofensif bro. kalau kata saya ada pedas tapi maksudnya baik kok.
(memang ga 100% krn kadang kebawa emosi)
Quote- apakah yang disebut atta itu?dalam dunia brahmanisme, atta berarti jiwa atau soul, inti diri, dll...
tapi dalam buddhisme, atta lebih berarti ke diri a.k.a self.
misalnya dalam atta vagga di dhamapadda, memang benar judulnya atta, tetapi isinya adalah tentang "diri sendiri".
fyi, makna self lebih luas daripada soul sendiri. soul/jiwa adalah sesuatu yg tidak memiliki definisi jelas. entah itu inti (materi) atau kesadaran yg lebih tinggi (bathin), tidak terdefinisi dg pasti.
sedangkan dalam buddhisme, di anattalakhana sutta, penolakan thd doktrin atta (anatta) didefinisi dg baik thd kelima pancakhandha...
Oleh karena itu bedakan pengertian atta untuk penggambaran secara umum yaitu mahluk yang memiliki lima khandha.
Dan pengertian atta berkaitan dengan tilakkhana, dalam pengertian tilakkhana disini arti atta yang dimaksud adalah jiwa, roh, nyawa....
saya mengatakan tentang kerugian sebuah embel-embel "agama", tapi anda mengatakan tentang analogi ayam bertelur emas, kalau memang ada hubungannya tolong anda jelaskan.Quotegak nyambung,[at] fabian
kalau tanpa kepercayaan atau iman, tentunya ajaran Buddha sudah masuk dalam golongan ilmu pengetahuan alam. lantas kenapa orang-orang non-Buddhist menambahkan embel-embel "agama" pada ajaran Buddha?
Bro 4DMYN yang baik, Umat Buddha bukan menambahkan embel-embel agama, tetapi meminta status sebagai agama agar dipandang pemerintah dan dihormati masyarakat. Selain itu agar haknya untuk beribadah terlindungi, bila statusnya bukan agama maka akan digolongkan aliran kepercayaan.
Mengenai ilmu pengetahuan alam, saya ingin bertanya pada bro 4dmyn, apakah ilmu psikologi atau ilmu ekonomi digolongkan ilmu pengetahuan alam?
BAgaimanakah kita menyikapi ilmu psikologi atau ilmu pengetahuan alam?
Apakah tidak diperlukan akal sehat?
Anda bebas memilih apakah menggunakan akal sehat menyikapi sesuatu atau percaya saja dan menelan mentah-mentah.
_/\_Quotemenurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama, karena dengan memakai embel-embel agama, bukannya dipandang pemerintah dan masyarakat, melainkan akan mengakibatkan ajaran Buddha terkotak-kotak dan tersudut.
Bro 4dmyn yang baik, ada perbedaan antara orang yang mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas dan orang yang menanggapi kisah ayam bertelur emas dengan akal sehat. Orang-orang dungu mempercayai begitu saja kisah ayam bertelur emas karena kisah itu diceritakan gurunya.
Bro 4dmyn yang baik, saya rasa memang nggak nyambung, karena hanya orang yang kritis yang bila diberi analogi akan nyambung.
mengapa harus ada "agama" dalam ajaran Buddha?
menurut saya, apabila benar ajaran Buddha tanpa iman/keyakinan, sebaiknya jangan lagi memakai embel-embel agama,analogi yang saya tulis adalah untuk orang-orang yang mengutamakan iman seperti agama tetangga. Bagai orang yang yakin ada ayam bertelur emas, walaupun tidak terbukti dan tak melihat, ia percaya begitu saja dongeng tersebut.
QuoteOleh karena itu bedakan pengertian atta untuk penggambaran secara umum yaitu mahluk yang memiliki lima khandha.
Dan pengertian atta berkaitan dengan tilakkhana, dalam pengertian tilakkhana disini arti atta yang dimaksud adalah jiwa, roh, nyawa....
anatta dalam tilakkhana (dukkha, anicca, anatta) pun yg dimaksud adalah pada panca khanddha. :)
menurut saya, buddhisme, tidak membahas sesuatu yg abstrak seperti roh, melainkan sesuatu yg ada, rupa + nama (a.k.a panca khandha) yg nyata2 ada dalam hidup kita sehari2, tubuh fabian, batin fabian, tubuh tesla, batin tesla. dan itulah yg ditegaskan dalam anattalakkhana sutta, kelima khandha ini bukan aku, bukan milikku, bukan diriku. (ref: anattalakkhana sutta)
[at] Bro Ryu, tulisan yang sangat luar biasa, boleh saya copy untuk dibaca2 ulang tidak Bro ?silahkan saja, tidak ada yang melarang kok.
Bila anda mengutip anattalakkhana sutta secara demikian sekarang coba jelaskan:tidak semua harus ada kepemilikan, say
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan milikku, jadi milik siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
QuoteBila anda mengutip anattalakkhana sutta secara demikian sekarang coba jelaskan:tidak semua harus ada kepemilikan, say
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan milikku, jadi milik siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
sama seperti halnya udara, tanah, matahari, samudra, dll demikian juga kelima khandha ini, bukan aku, bukan milikku, bukan diriku.
QuoteBila anda mengutip anattalakkhana sutta secara demikian sekarang coba jelaskan:tidak semua harus ada kepemilikan, say
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan milikku, jadi milik siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
sama seperti halnya udara, tanah, matahari, samudra, dll demikian juga kelima khandha ini, bukan aku, bukan milikku, bukan diriku.
kepemilikan cuma sebuah pemikiran bro :)QuoteBila anda mengutip anattalakkhana sutta secara demikian sekarang coba jelaskan:tidak semua harus ada kepemilikan, say
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan milikku, jadi milik siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
sama seperti halnya udara, tanah, matahari, samudra, dll demikian juga kelima khandha ini, bukan aku, bukan milikku, bukan diriku.
Maaf ikut nimbrung... Bro tesla mengatakan TIDAK SEMUA HARUS ADA KEPEMILIKAN.... berarti ADA YANG HARUS ADA KEPEMILIKAN.... Kira Kira apa yang HARUS ADA KEPEMILIKAN ? (artinya benar benar dimiliki ?)
Bro Tesla yang baik, jadi kelima khandha ini bukan milikku seperti udara, tanah, matahari, samudra, dll. Apakah kelima khandha ini benda mati seperti air angin, udara, tanah dan matahari? nanti kita bahas ini.sekarang aja yah, selagi saya ada kesempatan.
Masih ada dua pertanyaan lagi:kelima khandha adalah kelima khandha, bukan siapa-siapa...
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
Bro Tesla yang baik, jadi kelima khandha ini bukan milikku seperti udara, tanah, matahari, samudra, dll. Apakah kelima khandha ini benda mati seperti air angin, udara, tanah dan matahari? nanti kita bahas ini.sekarang aja yah, selagi saya ada kesempatan.
antara definisi benda mati & hidup memiliki garis pemisah masih tidak jelas, ini bahkan diakui oleh bidang science.
silahkan anda mendefinisikan dulu apa itu definisi hidup baru saya bisa menjawab berdasarkan definisi anda. dan jika definisi anda begitu baik, anda boleh mengajukan definisi anda utk memberi penjelasan bagi dunia ilmu pengetahuan saat ini. 1 hal lagi, pertanyaan anda adalah "benda" (matter) sedangkan pancakhanddha mencangkup mind & matter. jadi pertanyaan anda hanya validnya adalah: apakah rupa-khandha termasuk benda hidup? ;D
dalam jalan Buddhist, yg dituju adalah lenyapnya dukkha, bukan pengetahuan tentang segala sesuatu (omniscience). inilah dukkha adalah lahir, tua & mati, berpisah dg yg dicintai, dst... dst... singkatnya, kemelekatan terhadap kelima kelompok adalah penderitaan yg disebut dg panca upadana khandha. concern kita bukan panca khanddha hidup atau mati, melainkan panca upadana khandha inilah dukkha. disinilah ditekanan bahwa kelima khanddha ini bukanlah aku, bukanlah milikku, bukanlah diriku. saya pertegas lagi, Buddhisme sama sekali bukan membahas sesuatu metafisika.
QuoteMasih ada dua pertanyaan lagi:kelima khandha adalah kelima khandha, bukan siapa-siapa...
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
pertanyaan anda hanya valid jika seseorang berpikir bahwa kelima khandha itu adalah seseorang (eksistensi), jadi kalau bukan aku, berarti orang lain :hammer: padahal tidak demikian.
Bro Tesla yang baik, agar diskusi tidak melebar, saya kembalikan bertanya, matahari, angin dll memang bukan milik kita, tetapi apakah perasaan anda bukan milik anda? Apakah rumah anda bukan milik anda? Apakah jantung dan paru-paru anda bukan milik anda? Jadi milik siapa? Apakah milik saya?jika anda bertanya soal kehidupan sosial, maka motorku = milikku, semua yg atas namaku secara hukum adalah milikku. celana yg saya beli dan saya pakai juga secara hukum adalah milikku. ketika saya beli, kepemilikannya berpindah dari milik penjual menjadi milik pembeli, bisa anda lihat ini (kepemilikan) hanyalah sebuah konsep/pemikiran disini? ketika saya membeli tidak ada apa2 dari celana itu yg berpindah dari penjual ke pembeli shg kepemilikannya berubah dari milik penjual menjadi pembeli.
Oh ya mengenai pertanyaan apakah rupakhandha mahluk hidup? tentu saja bukan, karena rupakhandha hanya materi, bukan pancakhandha. Rupakhandha bukan Tesla. Tesla adalah pancakhandha. Dan Tesla adalah mahluk hidup, bukankah demikian?jika kita bicara tentang Buddhisme, maka kemelekatan terhadap rupa lah yg memunculkan aku (tesla). disini yg kita bahas adalah eksistensi.
Justru itu yang saya tanyakan, apakah anda tidak eksis? apakah anda tidak ada? Apakah pancakhandha anda tidak eksis?semoga udah cukup jelas.
kepemilikan cuma sebuah pemikiran bro :)QuoteBila anda mengutip anattalakkhana sutta secara demikian sekarang coba jelaskan:tidak semua harus ada kepemilikan, say
kelima khandha ini bukan aku, jadi kelima khandha ini siapa?
bukan milikku, jadi milik siapa?
bukan diriku, jadi siapa kelima khandha ini?
sama seperti halnya udara, tanah, matahari, samudra, dll demikian juga kelima khandha ini, bukan aku, bukan milikku, bukan diriku.
Maaf ikut nimbrung... Bro tesla mengatakan TIDAK SEMUA HARUS ADA KEPEMILIKAN.... berarti ADA YANG HARUS ADA KEPEMILIKAN.... Kira Kira apa yang HARUS ADA KEPEMILIKAN ? (artinya benar benar dimiliki ?)
utk kehidupan spiritual, justru tidak ada kepemilikan sama sekali.
yg harus ada kepemilikan yah di kehidupan sosial.
sbg warga negara yg baik, wajib punya KTP :)
Bro Tesla yang baik, agar diskusi tidak melebar, saya kembalikan bertanya, matahari, angin dll memang bukan milik kita, tetapi apakah perasaan anda bukan milik anda? Apakah rumah anda bukan milik anda? Apakah jantung dan paru-paru anda bukan milik anda? Jadi milik siapa? Apakah milik saya?jika anda bertanya soal kehidupan sosial, maka motorku = milikku, semua yg atas namaku secara hukum adalah milikku. celana yg saya beli dan saya pakai juga secara hukum adalah milikku. ketika saya beli, kepemilikannya berpindah dari milik penjual menjadi milik pembeli, bisa anda lihat ini (kepemilikan) hanyalah sebuah konsep/pemikiran disini? ketika saya membeli tidak ada apa2 dari celana itu yg berpindah dari penjual ke pembeli shg kepemilikannya berubah dari milik penjual menjadi pembeli.
mengenai jantung dll, disini mulai bias. sebab dalam bahasa sehari2, aku,saya,gw,dll ditujukan pada suatu persona/eksistensi/individu/character. dan persona itulah yg memiliki fisik & batinnya, berhubung ia terlahir bersama dg itu semua. padahal justru sebaliknya, kemelekatan thd fisik & batin inilah yg memunculkan persona itu sendiri.
Sang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
QuoteOh ya mengenai pertanyaan apakah rupakhandha mahluk hidup? tentu saja bukan, karena rupakhandha hanya materi, bukan pancakhandha. Rupakhandha bukan Tesla. Tesla adalah pancakhandha. Dan Tesla adalah mahluk hidup, bukankah demikian?jika kita bicara tentang Buddhisme, maka kemelekatan terhadap rupa lah yg memunculkan aku (tesla). disini yg kita bahas adalah eksistensi.
pada definisi ilmu pengetahuan, rupa khandha saja adalah mahkluk hidup, contohnya tumbuhan & menjadi rancu ketika dihadapkan dg virus. okelah sudah terlalu melebar... saya pun sebenarnya tidak kompeten utk membahas ilmu pengetahuan, coba tanya forte saja...
back to Buddhism, apa yg dimaksud mahkluk hidup adalah kemelekatan thd panca khandha. bukan panca khandha nya. fyi, arahat, yg tidak punya kemelekatan lagi, shg tidak dapat diidentifikasikan dg cara apapun lagi. namun anda tetap tidak bisa mengatakan arahat tidak ada, yg tidak ada hanyalah cara mengidentifikasikan mereka lagi.QuoteJustru itu yang saya tanyakan, apakah anda tidak eksis? apakah anda tidak ada? Apakah pancakhandha anda tidak eksis?
semoga udah cukup jelas.
aku ada, sebab masih ada kemelekatan pada panca khandha.
Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
Pertanyaan saya belum dijawab bro kalau yang berada diluar adalah milikku apakah jantung, paru-paru dsbnya bukan milikku? jadi milik siapa?anda menjurus ke debat kusir.
Apakah dalam diri anda ada sesuatu yang lain, selain dari kelima kelompok kemelekatan?bukankah pertanyaan ini adalah rasa haus akan eksistensi itu sendiri. sadarkah anda?
terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
saya cuma menemukan disini dari link google... sudah lupa link aslinya di mana...
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5941.msg153157.html#msg153157
silahkan dikoreksi.
Menurut saya dalam diskusi yang baik, kalau kita ditanya, kita menjawab apa yang ditanyakan, tidak menjawab dengan berputar-putar, pertanyaannya sederhana kan? Hanya menanyakan jantung dan paru-paru anda milik siapa? Apakah menurut anda pertanyaan seperti itu menjurus ke debat kusir?QuotePertanyaan saya belum dijawab bro kalau yang berada diluar adalah milikku apakah jantung, paru-paru dsbnya bukan milikku? jadi milik siapa?anda menjurus ke debat kusir.
saya yakin anda tidak terlalu bodoh utk berpikir semua itu ada subjek yg memiliki dan tidak mengerti jawaban saya sebelumnya.
Apakah rasa haus akan eksistensi termasuk dalam pancakhandha atau bukan termasuk panca khandha?QuoteApakah dalam diri anda ada sesuatu yang lain, selain dari kelima kelompok kemelekatan?bukankah pertanyaan ini adalah rasa haus akan eksistensi itu sendiri. sadarkah anda?
saya udah lupa, di link itu saya ada link referensi ke Pali, silahkan anda buat versi anda sendiri.terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
saya cuma menemukan disini dari link google... sudah lupa link aslinya di mana...
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5941.msg153157.html#msg153157
silahkan dikoreksi.
Seingat saya yang menerjemahkan dengan cara demikian adalah pak Hudoyo Hupudio, saya masih ingat karena saya pernah membantah terjemahannya waktu itu, karena terjemahannya bias, disesuaikan dengan pandangannya sendiri, bukan menerjemahkan secara netral.
Menurut saya dalam diskusi yang baik, kalau kita ditanya, kita menjawab apa yang ditanyakan, tidak menjawab dengan berputar-putar, pertanyaannya sederhana kan? Hanya menanyakan jantung dan paru-paru anda milik siapa? Apakah menurut anda pertanyaan seperti itu menjurus ke debat kusir?saya udah menjawab sebelumnya.
rekan tesla yang baik (cieee ngikutin kakakakak) yang anda kutip itu bukan perkataan Buddha, ini terjemaahan lengkapnya :saya udah lupa, di link itu saya ada link referensi ke Pali, silahkan anda buat versi anda sendiri.terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
saya cuma menemukan disini dari link google... sudah lupa link aslinya di mana...
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5941.msg153157.html#msg153157
silahkan dikoreksi.
Seingat saya yang menerjemahkan dengan cara demikian adalah pak Hudoyo Hupudio, saya masih ingat karena saya pernah membantah terjemahannya waktu itu, karena terjemahannya bias, disesuaikan dengan pandangannya sendiri, bukan menerjemahkan secara netral.QuoteMenurut saya dalam diskusi yang baik, kalau kita ditanya, kita menjawab apa yang ditanyakan, tidak menjawab dengan berputar-putar, pertanyaannya sederhana kan? Hanya menanyakan jantung dan paru-paru anda milik siapa? Apakah menurut anda pertanyaan seperti itu menjurus ke debat kusir?saya udah menjawab sebelumnya.
_/\_
saya udah lupa, di link itu saya ada link referensi ke Pali, silahkan anda buat versi anda sendiri.terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
saya cuma menemukan disini dari link google... sudah lupa link aslinya di mana...
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5941.msg153157.html#msg153157
silahkan dikoreksi.
Seingat saya yang menerjemahkan dengan cara demikian adalah pak Hudoyo Hupudio, saya masih ingat karena saya pernah membantah terjemahannya waktu itu, karena terjemahannya bias, disesuaikan dengan pandangannya sendiri, bukan menerjemahkan secara netral.
Yang mana bro? yang ini?QuoteMenurut saya dalam diskusi yang baik, kalau kita ditanya, kita menjawab apa yang ditanyakan, tidak menjawab dengan berputar-putar, pertanyaannya sederhana kan? Hanya menanyakan jantung dan paru-paru anda milik siapa? Apakah menurut anda pertanyaan seperti itu menjurus ke debat kusir?saya udah menjawab sebelumnya.
QuoteQuoteApakah dalam diri anda ada sesuatu yang lain, selain dari kelima kelompok kemelekatan?
bukankah pertanyaan ini adalah rasa haus akan eksistensi itu sendiri. sadarkah anda?
Apakah rasa haus akan eksistensi termasuk dalam pancakhandha atau bukan termasuk panca khandha?
rekan tesla yang baik (cieee ngikutin kakakakak) yang anda kutip itu bukan perkataan Buddha, ini terjemaahan lengkapnya :saya udah lupa, di link itu saya ada link referensi ke Pali, silahkan anda buat versi anda sendiri.terjemahan saya sendiri...QuoteSang Buddha berkata:
melekat pada jasmani, aku ada, bukan tidak melekat...
dst utk ke4 khandha lainnya.
Bro Tesla yang baik, boleh tahu sumbernya mana dan terjemahan dari siapa bro?
saya cuma menemukan disini dari link google... sudah lupa link aslinya di mana...
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5941.msg153157.html#msg153157
silahkan dikoreksi.
Seingat saya yang menerjemahkan dengan cara demikian adalah pak Hudoyo Hupudio, saya masih ingat karena saya pernah membantah terjemahannya waktu itu, karena terjemahannya bias, disesuaikan dengan pandangannya sendiri, bukan menerjemahkan secara netral.QuoteMenurut saya dalam diskusi yang baik, kalau kita ditanya, kita menjawab apa yang ditanyakan, tidak menjawab dengan berputar-putar, pertanyaannya sederhana kan? Hanya menanyakan jantung dan paru-paru anda milik siapa? Apakah menurut anda pertanyaan seperti itu menjurus ke debat kusir?saya udah menjawab sebelumnya.
_/\_
(83) ânando - Venerable ânanda
1. I heard thus. At one time venerable ânanda lived in the monastery offered by Anàthapiõóika in Jeta's grove in Sàvatthi.
2. From there venerable ânanda addressed the monks: Friends, monks!
And those monks replied: Yes, friend.
Venerable ânanda said:
3. Friends, when I was a novice, venerable Puõõa Mantàniputta helped me much. He advised me thus: Friend, ânanda, it occurs `I am' on account of seizing not without.
4. Seizing what does it occur `I am'.
Seizing matter it occurs, I am, not without . Seizing, feelings, perceptions, intentions and seizing consciousness it occurs, I am, not without.
5. Friend, ânanda, like a young man, woman or a child fond of adorning would see the reflection of the face in a mirror or a pure water surface, in the same manner friend, approaching matter one would think I am. Approaching feelings he would think I am. Approaching perceptions he would think I am. Approaching intentions he would think I am; And approaching consciousness he would think I am.
6. ânanda, is matter permanent or impermanent?
Friend, it is impermanent.
That which is impermanent, is it unpleasant or pleasant?
Friend, it is unpleasant.
That which is impermanent, unpleasant and changing, is it suitable to be reflected, it is mine, I am that, it is my self?
That is not so, friend.
7-10. Are feelings, perceptions, intentions or consciousness permanent or impermanent?
Friend, they are impermanent.
Those which are impermanent, are they unpleasant or pleasant?
Friend, they are unpleasant.
Those which are impermanent, unpleasant changing are they suitable to be reflected they are mine, I am there, it is my self?
That is not so, friend.
11. Therefore friend, whatever matter, feelings, perceptions, intentions, and consciousness in the past, future or at present, seized or not rough or fine, unexalted or exalted, far or near, is not mine, I am not there, it is not my self.
12. ânanda, the learned noble disciple seeing it thus turns from matter, turns from feelings, turns from perceptions, turns from intentions and turns from consciousness. Turning looses interest. Loosing interest is released and knowledge arises I am released. He knows birth is destroyed, the holy life is lived to the end, duties are done and I have nothing more to wish.
13. Friend, when I was a novice, venerable Puõõa Mantàniputta helped me much. He advised me, in this: manner and hearing this exposition I grasped the essence of the Teaching.
Bro Tesla yang baik, bagi seseorang yang sungguh-sungguh ingin belajar Dhamma dan mengerti resiko memburuk-burukkan Dhamma, dia tak akan berani mengubah dan memodifikasi Dhamma sesuai keperluannya, apalagi "sok tahu" dengan serampangan mengatakan Dhamma yang ini valid yang itu tidak valid. Karena ia menghormati Dhamma, karena ia telah menyatakan berlindung pada Tiratana yaitu : Buddha, Dhamma dan Sangha.anda punya standar sendiri bagaimana orang yg sungguh2 ingin belajar dhamma, perlu dicamkan, standar itu adalah sebuah pandangan yg belum tentu benar. selebihnya judge anda thd Hudoyo tidak perlu dipost disini, karena anda bicara dg saya. apa perlu saya kasih alamat emailnya? :P
apakah menurut anda ini jawaban? apakah ini jawaban dari pertanyaan saya? Maaf saya bingung dengan jawaban anda tidak jelas apa maksudnya.terakhir, rekan fabian yg baik.
Karena jawaban tidak nyambung dengan pertanyaan.
Apakah rasa haus akan eksistensi termasuk dalam pancakhandha atau bukan termasuk panca khandha?begini,
apakah ada sesuatu di luar pancakhandha?begini, rekan fabian.
Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
jika ditanya bisa atau tidak bisa jadi subjektif lagi alias pannati.
begini aja, pemikiran "aku memiliki" bisa ada. tetapi kepemilikan hanyalah pemikiran itu sendiri.
apa bisa di katakan ... WHAT THE HELL, apakah itu ada atau tidak ?Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
jika ditanya bisa atau tidak bisa jadi subjektif lagi alias pannati.
begini aja, pemikiran "aku memiliki" bisa ada. tetapi kepemilikan hanyalah pemikiran itu sendiri.
apa bisa di katakan ... WHAT THE HELL, apakah itu ada atau tidak ?Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
jika ditanya bisa atau tidak bisa jadi subjektif lagi alias pannati.
begini aja, pemikiran "aku memiliki" bisa ada. tetapi kepemilikan hanyalah pemikiran itu sendiri.
ada suatu ketika seseorang bertanya kepada Buddha, apakah atta itu ada atau tidak, Sang Buddha tetap diam walau ditanya 3x. & akhirnya orang itu pergi...
byk Buddhist, menterjemahkan/menangkap anatta sbg tidak-adanya atta... hal ini menghasilkan kebingunggan baru & mengaburkan makna kehidupan suci... utk apa menjalani kehidupan suci jika pada hakikatnya "tidak ada" apa2 yg perlu dibebaskan dari penderitaan :)
apa bisa di katakan ... WHAT THE HELL, apakah itu ada atau tidak ?Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
jika ditanya bisa atau tidak bisa jadi subjektif lagi alias pannati.
begini aja, pemikiran "aku memiliki" bisa ada. tetapi kepemilikan hanyalah pemikiran itu sendiri.
ada suatu ketika seseorang bertanya kepada Buddha, apakah atta itu ada atau tidak, Sang Buddha tetap diam walau ditanya 3x. & akhirnya orang itu pergi...
byk Buddhist, menterjemahkan/menangkap anatta sbg tidak-adanya atta... hal ini menghasilkan kebingunggan baru & mengaburkan makna kehidupan suci... utk apa menjalani kehidupan suci jika pada hakikatnya "tidak ada" apa2 yg perlu dibebaskan dari penderitaan :)
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,16557.135.html
reply #137
rekan tesla yang baik, Buddha tidak menjawab karena beliau tahu batin si orang itu belum siap, nah ketika muridnya sudah siap apakah yang di terangkan oleh Buddha? apakah atta ada/tidak ada?apa bisa di katakan ... WHAT THE HELL, apakah itu ada atau tidak ?Kalau bicara tentang pannati, tentu harus ada istilah kepemilikan... Tetapi di dalam konteks diskusi ini seharusnya yang dimaksud adalah arti kepemilikan di pandang dari pengertian paramatha. Jadi kembali lagi ditanyakan... Apakah memang ada "sesuatu"/"objek" yang bisa dimiliki ?
jika ditanya bisa atau tidak bisa jadi subjektif lagi alias pannati.
begini aja, pemikiran "aku memiliki" bisa ada. tetapi kepemilikan hanyalah pemikiran itu sendiri.
ada suatu ketika seseorang bertanya kepada Buddha, apakah atta itu ada atau tidak, Sang Buddha tetap diam walau ditanya 3x. & akhirnya orang itu pergi...
byk Buddhist, menterjemahkan/menangkap anatta sbg tidak-adanya atta... hal ini menghasilkan kebingunggan baru & mengaburkan makna kehidupan suci... utk apa menjalani kehidupan suci jika pada hakikatnya "tidak ada" apa2 yg perlu dibebaskan dari penderitaan :)
rekan tesla yang baik, Buddha tidak menjawab karena beliau tahu batin si orang itu belum siap, nah ketika muridnya sudah siap apakah yang di terangkan oleh Buddha? apakah atta ada/tidak ada?
Yang saya tahu, Buddha mengatakan orang yang meninggalkan rumah tangga untuk hidup sebagai bhikkhu dalam vinaya, bermoral, mengembangkan jhana (I-IV), mengembangkan 3 pengetahuan dan mengakhiri dukkha, tetap tidak bisa menjawab pertanyaan tentang teori "atta" karena hal demikian memang tidak ada hubungannya dengan apa yang diajarkan Buddha.‘Maka, ânanda, batin-dan-jasmani ini adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi semua kontak.’
Tentang Anatta, Buddha mengatakan apa yang dipersepsi adalah tidak kekal. Yang tidak kekal adalah tidak memuaskan, dan karena itu tidak bisa disebut sebagai "diri/atta" = anatta. Setahu saya, Buddha tidak pernah membahas "atta" lebih dari itu.
yah memang ada 2 pendapat umum, yaitu
1. no self
2. not self
yg ga disebut jgn marah
yg berpendapat no-self, akan lari ke kesimpulan sebenarnya tidak ada apa2 yg perlu dibebaskan.
namun jika tidak ada apa2 yg perlu dibebaskan dari penderitaan, tidak ada apa2 yg pada hakikatnya perlu utk melewati pantai eksistensi, tidak ada apa2 yg pada hakikatnya terlahir kembali maka utk apa menjalani kehidupan suci :)
mungkin ini terdengar seolah saya mengatakan "ada" sesuatu yg lain. namun tidak demikian. menurut saya, jika ingin terbebaskan, kita harus mengesampingkan masalah ada ataupun tidak ada dahulu... kita harus fokus kepada dukkha, yg nyata2 ada sekarang. setelah itu......................................... terserah anda
tambahan
[at] sumedho:itu khotbah ke dua untuk melenyapkan keangkuhan sehubungan dengan "aku". Khotbah pertama sebatas pandangan, khotbah ke dua dari kepemilikian hingga keangkuhan "aku". khotbah ke dua, untuk melenyapkan keangkuhan an-atta itu, hingga akarnya.
Para Sotapanna (pemasuk arus) sudah menghancurkan belenggu "kepercayaan akan adanya roh/jiwa yang kekal" (sakkayaditthi), namun kenapa Anattalakkhana Sutta yang berisi ajaran tentang anatta diajarkan kepada 5 bhikkhu pertama (Kondanna dkk) yang sudah mencapai kesucian Sotapanna?
Seperti yang kita ketahui Sang Buddha mengajarkan Dhammacakkappavattana Sutta di Taman Rusa Isipatana kepada 5 orang pertapa yang telah mengikuti Beliau sejak perjuangan Beliau di Hutan Uruvela untuk mencapai Pencerahan. Ajaran pertama ini berisi tentang Jalan Tengah (Jalan Mulia Berunsur Delapan) dan Empat Kesunyataan Mulia yang menyebabkan Kondanna mencapai mata Dhamma (Dhammacakkhu), yaitu mencapai kesucian Sotapanna, sedangkan keempat rekannya mencapai kesucian yang sama pada hari berikutnya. Setelah para bhikkhu pertama tersebut menjadi Sotapanna, Buddha mengajarkan Anattalakkhana Sutta yang kemudian menyebabkan mereka mencapai kesucian Arahat. Padahal kita tahu bahwa para Sotapanna telah memahami anatta dengan membasmi belenggu sakkayaditthi. Dengan demikian untuk apa Sang Buddha mengajarkan ajaran anatta lagi kepada mereka yang sudah membasmi pandangan salah tersebut? Apakah melepaskan sakkayaditthi belum tentu memahami anatta? Mohon penjelasannya. Thx
no self / not self semua itu terserah yg menerjemahkan. memang bhs inggris itu rancu. coba lihat terjemahan tipitaka inggris. ada berbagai versi. dan kelemahannya kata palinya tdk diikutkan.
kalau terjemahan indonesia yg umum adalah tanpa aku. apa ada yg menerjemahkan tidak aku?